• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon fisiologis domba garut yang dipelihara secara semi intensif dengan perlakuan pencukuran di peternakan PT Indocement

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Respon fisiologis domba garut yang dipelihara secara semi intensif dengan perlakuan pencukuran di peternakan PT Indocement"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

RESPON FISIOLOGIS DOMBA GARUT YANG DIPELIHARA

SECARA SEMI INTENSIF DENGAN PERLAKUAN

PENCUKURAN DI PETERNAKAN

PT INDOCEMENT

SKRIPSI

WALFITRI YANI OKTAMEINA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

RINGKASAN

Walfitri Yani Oktameina. D14070110. 2011. Respon Fisiologis Domba Garut yang Dipelihara secara Semi Intensif dengan Perlakuan Pencukuran di Peternakan PT Indocement. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Sri Rahayu, M.Si Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS

Lingkungan adalah semua keadaan, kondisi dan pengaruh-pengaruh sekitarnya yang dapat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dan produksi ternak. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap ternak antara lain adalah suhu dan kelembaban. Ternak membutuhkan lingkungan yang cocok untuk kebutuhan fisiologisnya, jika tidak sesuai dengan lingkungannya, misalnya dengan kondisi terlalu panas atau terlalu dingin maka akan menyebabkan stres dan berakibat pada produktivitasnya. Suhu dan kelembaban lingkungan yang tinggi kurang menguntungkan bagi ternak domba. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut, maka dilakukan usaha seperti pencukuran bulu domba.

Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui dan membandingkan pengaruh pencukuran terhadap kondisi fisiologis domba garut yang dipelihara secara semi intensif telah dilaksanakan di Peternakan PT Indocement, Citeureup, selama 10 minggu. Penelitian dilakukan pada awal bulan Agustus sampai pertengahan bulan Oktober 2010. Materi penelitian berupa domba garut yang berjumlah 20 ekor, berumur kurang dari satu tahun. Ternak dibagi menjadi dua yaitu 10 ekor jantan dan 10 ekor betina dengan rataan bobot badan 15,75±2,85 kg. Masing-masing diberi perlakuan pencukuran pada 5 ekor jantan dan 5 ekor betina. Peubah yang diamati yaitu suhu tubuh, denyut jantung, laju respirasi dan profil darah. Rancangan yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap pola Faktorial (2x2), faktor A adalah pencukuran (dicukur dan tidak dicukur), dan faktor B adalah jenis kelamin (jantan dan betina), setiap kombinasi perlakuan terdiri dari lima ulangan untuk parameter suhu tubuh, denyut jantung, dan respirasi, sedangkan untuk peubah profil darah terdiri dari tiga ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA). Jika terdapat perbedaan nyata atau sangat nyata, maka dilanjutkan dengan ujiDuncan.

Respon fisiologis berupa suhu tubuh, denyut jantung, dan respirasi dipengaruhi oleh proses pencukuran, dan jenis kelamin. Pada pagi dan siang hari suhu tubuh domba yang dicukur lebih rendah dibandingkan yang tidak dicukur. Pada sore hari denyut jantung jantan lebih tinggi dibandingkan betina. Respirasi pada pagi hari untuk jantan lebih rendah dibandingkan dengan betina dan respirasi ternak yang dicukur lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak dicukur baik pada pagi maupun siang hari. Pada sore hari respirasi domba jantan maupun betina yang tidak dicukur sama, tetapi berbeda dengan respirasi jantan yang dicukur dan betina yang dicukur. Ternak jantan memiliki rasio netrofil/limfosit yang lebih tinggi dibandingkan dengan betina, hal ini dapat diindikasikan bahwa ternak jantan kurang tahan terhadap cekaman panas dibandingkan dengan betina.

(3)

ABSTRACT

 

Physiological Response of Garut Sheep Treated by Shearing in Semi Intensive System at PT Indocement Farm

Oktameina, W.Y, S. Rahayu, and D. A. Astuti

The study was conducted to identify physiological response of garut sheep in different treatments (shearing and not shearing) and sex (male and female) in semi intensive system. The experiment was carried out at the PT Indocement Farm in Citereup district of Bogor regency, West Java. Design of this experiment was completely randomized design factorial with factor A was shearing, and factor B was sex. The parameters observed included body temperature, heartbeat, respiration rate and blood profile. The result showed that shearing significantly (P<0,01) effect on body temperature in the morning. Body temperature of shearing sheep (37.97±0.28

0

C) was lower than not shearing (38.47±0.310C). In the afternoon showed that shearing significant (P<0.05) effect on body temperature. Body temperature of shearing sheep (38.45±0.20 0C) was lower than not shearing (38.70±0.25 0C). Heartbeat of male (86.72±6.47 rate/min) was significant higher than female (81.24±4.12rate/min) in the evening. Respiration rate of male (24.08±2.78rate/min) was significantly lower than female (28.16±2.20 rate/min) in the morning. For shearing sheep was lower than not shearing in the morning and afternoon. In the evening both male and female sheep that are not shearing was not significant, but significant with respiration of male sheared and female sheared. Stress indicated in male sheep and proved from neutrophils/lymphocytes ratio (0.88±0.36). Conclusion of this experiment showed that shearing, sex and time effected to the physiological response. 

(4)

RESPON FISIOLOGIS DOMBA GARUT YANG DIPELIHARA

SECARA SEMI INTENSIF DENGAN PERLAKUAN

PENCUKURAN DI PETERNAKAN

PT INDOCEMENT

LE

WALFITRI YANI OKTAMEINA D14070110

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(5)

Judul : Respon Fisiologis Domba Garut Yang Dipelihara secara Semi Intensif dengan Perlakuan Pencukuran di Peternakan PT Indocement

Nama : Walfitri Yani Oktameina

NIM : D14070110

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

Ir. Sri Rahayu, M.Si Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS. NIP: 19570611 198703 2 001 NIP: 19611005 198503 2 001

Mengetahui: Ketua Departemen

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 6 Mei 1989 di Garut, Jawa Barat. Penulis

adalah anak ketujuh dari tujuh bersaudara dari pasangan Bapak Eka Suryana dan Ibu

Sumiati.

Penulis mengawali sekolah dasar pada tahun 1995 di Sekolah Dasar Negeri

Karangmulya II Garut dan diselesaikan pada tahun 2001. Pendidikan Lanjutan

Tingkat Pertama Negeri 1 Kadungora, Garut. Penulis melanjutkan pendidikan di

Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Leles, Garut pada tahun 2004 dan diselesaikan

pada tahun 2007.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 melalui jalur

Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Produksi

dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan pada tahun 2008. Penulis aktif dalam

organisasi Himpunan Mahasiswa Produksi Peternakan (HIMAPROTER) periode

2008-2009 sebagai staf. Penulis pernah mengikuti kegiatan magang di Balai

Inseminasi Buatan (BIB) Lembang, Bandung pada tahun 2009, dan berkesempatan

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat, dan

karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang

berjudul ”Respon Fisiologis Domba Garut yang Dipelihara secara Semi Intensif

dengan Perlakuan Pencukuran di Peternakan PT Indocement”. Penulisan skripsi ini

merupakan tugas akhir dalam memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas

Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Penulisan skripsi ini dilatarbelakangi oleh kondisi di Indonesia yang berada

pada daerah tropis yang memiliki suhu sangat panas dengan kelembaban tinggi. Suhu

dan kelembaban lingkungan yang tinggi kurang menguntungkan bagi ternak domba.

Salah satu faktor yang dapat menghambat pembuangan panas tubuh pada domba

adalah wol, yang akan mempengaruhi produksi ternak. Salah satu cara untuk

mengatasi masalah tersebut, maka dilakukan pencukuran wol. Hal ini menarik

perhatian Penulis untuk memberikan informasi mengenai respon fisiologis yang

berupa suhu tubuh, denyut jantung, respirasi dan profil darah domba yang dipelihara

secara semi intensif di Peternakan Indocement, Citeureup, Bogor.

Penulis memahami bahwa dalam penulisan skripsi ini terdapat banyak

kekurangan. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan informasi yang

bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Bogor, Juni 2011

(8)

DAFTAR ISI

Laju Respirasi (kali/menit) ... 12

Denyut Jantung (kali/menit) ... 12

Profil darah ... 13

(9)

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15

Keadaan Umum ... 15

Kondisi Fisiologis Domba ... 17

Suhu Tubuh ... 18

Denyut Jantung ... 19

Profil Darah ... 23

KESIMPULAN DAN SARAN ... 30

Kesimpulan ... 30

UCAPAN TERIMA KASIH ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 32

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Rataan Suhu dan Kelembaban Udara ... 15

2. Rataan Konsumsi Bahan Kering Domba Garut ... 17

3. Rataan Konsumsi Protein Kasar Domba Garut ... 17

4. Rataan Suhu Tubuh pada Domba Garut ... 19

5. Rataan Denyut Jantung pada Domba Garut ... 20

6. Rataan Respirasi pada Domba Garut ... 21

7. Butir Darah Merah (BDM) pada Domba Garut (juta/mm3) ... 23

8. Hemoglobin (Hb) pada Domba Garut (%) ... 24

9. Hematokrit (PCV) pada Domba Garut (%) ... 24

10. Mean Corpuscular Volume (MCV) (fl) ... 26

11. Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) (%) ... 26

12. Butir Darah Putih (BDP) pada Domba Garut (ribu/mm3) ... 27

13. Netrofil (N) pada Domba Garut (%) ... 28

14. Limfosit (L) pada Domba Garut (%) ... 28

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Komposisi Nutrient Pakan ... 36

2. Hasil Sidik Ragam Suhu Tubuh Pagi ... 36

3. Hasil Sidik Ragam Suhu Tubuh Siang ... 36

4. Hasil Sidik Ragam Suhu Tubuh Sore ... 36

5. Hasil Sidik Ragam Denyut Jantung Pagi ... 36

6. Hasil Sidik Ragam Denyut Jantung Siang ... 37

7. Hasil Sidik Ragam Denyut Jantung Sore ... 37

8. Hasil Sidik Ragam Laju Respirasi Pagi ... 37

9. Hasil Sidik Ragam Laju Respirasi Siang ... 37

10. Hasil Sidik Ragam Laju Respirasi Sore ... 37

11. Hasil Sidik Ragam Hemoglobin ... 38

12. Hasil Sidik Ragam Hematokrit (PCV) ... 38

13. Hasil Sidik Ragam Butir Darah Merah ... 38

14. Hasil Sidik Ragam Butir Darah Putih ... 38

15. Hasil Sidik Ragam Limfosit ... 38

16. Hasil Sidik Ragam Netrofil ... 38

(12)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Lingkungan adalah faktor yang memberikan pengaruh cukup besar terhadap

tingkat produksi. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap ternak antara lain

adalah suhu dan kelembaban. Produktivitas ternak merupakan fungsi dari faktor

genetik dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang dimaksud antara lain pakan,

pengelolaan dan perkandangan, pemberantasan dan pencegahan penyakit. Ternak

agar dapat berproduksi dengan baik, maka harus dipelihara pada kondisi lingkungan

yang nyaman. Sehingga dalam hal ini lingkungan merupakan faktor yang

berpengaruh cukup besar terhadap penampilan produksi seekor ternak.

Ternak domba merupakan hewan berdarah panas yang mempertahankan suhu

tubuhnya pada kisaran tertentu dengan cara homeostasis melalui proses

termoregulasi. Pada temperatur lingkungan yang rendah domba akan memanaskan

tubuhnya melalui pembakaran zat makanan dalam darah, sebaliknya pada temperatur

yang tinggi domba akan berusaha menurunkan temperatur tubuhnya melalui kulit

maupun pernafasan. Ternak akan selalu beradaptasi dengan lingkungan tempat

hidupnya. Apabila terjadi perubahan maka ternak akan mengalami stres.

Stres adalah respon fisiologi, biokimia dan tingkah laku ternak terhadap variasi

faktor fisik, kimia dan biologis lingkungan. Stres terjadi apabila terjadi perubahan

lingkungan yang ekstrim, seperti peningkatan atau penurunan temperatur lingkungan.

Indonesia berada pada daerah tropis yang memiliki suhu sangat panas dengan

kelembaban tinggi. Suhu dan kelembaban lingkungan yang tinggi kurang

menguntungkan bagi ternak domba. Salah satu faktor yang dapat menghambat

pembuangan panas tubuh pada domba adalah wol, yang akan mempengaruhi

produksi ternak. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut, maka dilakukan

pencukuran wol.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan membandingkan

pengaruh pencukuran, dan jenis kelamin terhadap kondisi fisiologis domba garut

(13)

TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut

Domba garut memiliki sifat profilik atau memiliki anak lebih dari satu

dengan jumlah anak perkelahiran ialah 1.97 ekor. Domba garut merupakan domba

yang berasal dari persilangan antara domba lokal asli, domba Merino dan domba

Ekor Gemuk dari Afrika Selatan yang telah menjadi satu bangsa karena seleksi

bertahun-tahun adaptasinya terhadap lingkungan di daerah Garut (Balai Informasi

Pertanian, 1990).

Domba garut memiliki ciri-ciri berat badan domba jantan hidup dapat

mencapai 60-80 kg dan berat badan domba betina sekitar 30-40 kg, memiliki daun

telinga yang relatif kecil dan kokoh, bulu cukup banyak serta domba betina tidak

memiliki tanduk sedangkan domba jantan memiliki tanduk besar, kokoh, kuat, dan

melingkar (Mason, 1980).

Suhu dan Kelembaban

Suhu optimal untuk domba di daerah tropis berkisar antara 24-26 0C (Kartasudjana, 2001), dengan kelembaban di bawah 75% (Yousef, 1985). Keadaan

optimal tersebut tidak terjadi di Indonesia karena suhu rataan harian wilayah

Indonesia adalah 29 0C pada musim hujan dan 30-32 0C pada musim kemarau. Pada lingkungan dengan suhu dan kelembaban yang tinggi domba akan berusaha

menurunkan suhu tubuhnya melalui kulit maupun pernafasan (Yeates et al,. 1975).

Keadaan lingkungan yang kurang nyaman akibat suhu dan kelembaban tinggi juga

menyebabkan domba mengurangi konsumsi makan dan meningkatkan konsumsi air

minum.

Pelepasan panas tubuh dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban udara. Panas

tubuh ini dilepaskan secara konveksi, radiasi, konduksi dan evaporasi. Suhu tubuh

tergantung pada neraca keseimbangan antara panas yang diproduksi atau diabsorbsi

dengan panas yang hilang. Radiasi adalah transfer energi secara elektromagnetik,

tidak memerlukan medium untuk merambat dengan kecepatan cahaya. Konduksi

merupakan transfer panas secara langsung antara dua materi padat yang berhubungan

langsung tanpa ada transfer panas molekul. Panas menjalar dari yang suhunya tinggi

(14)

panas melalui aliran cairan atau gas. Besarnya konveksi tergantung pada luas kontak

dan perbedaan suhu. Evaporasi merupakan konveksi dari zat cair menjadi uap air,

besarnya laju konveksi kehilangan panas karena evaporasi (Martini, 1998).

Tingkat cekaman yang terjadi dipengaruhi oleh insulasi wol, kecepatan angin,

kelembaban udara, umur ternak dan makanan. Suhu dan kelembaban yang tinggi

menyebabkan evaporasi lambat sehingga pelepasan panas tubuh terhambat

(McDowell, 1972). Jika ternak dalam lingkungan panas energinya berkurang maka

aktivitas akan terganggu misalnya laju pertumbuhan menurun, laju pernafasan dan

keringat meningkat (Curtis, 1983).

Pencukuran Bulu Domba

Pencukuran bulu domba merupakan pekerjaan musiman, meskipun

pencukuran dapat dilakukan setiap saat. Pencukuran akan kurang baik apabila

dilakukan pada musim dingin, kecuali di daerah-daerah yang beriklim lebih panas.

Wol pada domba tidak berganti tetapi terus tumbuh secara berkelanjutan. Jumlah zat

yang berbeda pada tiap wol tergantung jenis dan kondisi sekelilingnya, seperti iklim

dan pakan. Wol bersifat tidak menghantarkan panas (insulator) (Johnston, 1983).

Pencukuran bulu sebaiknya dilakukan setelah domba berumur lebih dari

enam bulan. Sebelum dicukur, sebaiknya domba dimandikan agar bulunya bersih.

Bulu sebagai penutup tubuh alami pada ternak yang berfungsi sebagai perlindungan

dari sengatan radiasi matahari di daerah tropis. Bulu yang halus dan pendek akan

menyebabkan ternak lebih toleran terhadap cuaca yang panas (Williamson dan

Payne, 1993). Mencukur bulu dapat menurunkan insulasi, meningkatkan pelepasan

panas (heat loss), meningkatkan konsumsi pakan, pertumbuhan dan kualitas semen

pejantan (Havez, 1968).

Wol yang terdapat pada domba, merupakan rambut yang bergelombang

dengan sedikit medulla, dan bagian jaringan ikat dari folikelnya tidak padat (jarang)

(Frandson, 1992). Tubuh dapat memperoleh panas secara langsung dari sinar

matahari. Tingkat penyerapan panas tergantung pada tipe kulit hewan bersangkutan

dan bulu yang terdapat pada kulit (insulasi). Pergerakan udara dapat mengubah

(15)

Respon Fisiologis Domba

Domba sebagai hewan berdarah panas yang mempertahankan suhu tubuhnya

pada kisaran tertentu. Domba banyak dijumpai di daerah tropis karena mempunyai

daya adaptasi tinggi. Respon fisiologis domba merupakan respon domba terhadap

berbagai macam faktor baik itu fisik, kimia, maupun lingkungan sekitar. Respon

fisiologis pada domba dapat diketahui diantaranya dengan melihat suhu tubuh, laju

respirasi, denyut jantung, nilai hematrokit, dan rasio heterofil/limfosit (Yousef,

1985).

Hewan membutuhkan lingkungan yang cocok untuk kebutuhan fisiologisnya,

jika tidak sesuai dengan lingkungannya, misalnya dengan kondisi terlalu panas atau

terlalu dingin maka akan menyebabkan stres dan berakibat pada produktivitasnya,

sehingga pertumbuhan, perkembangan atau produksi ternak akan menurun (Johnston,

1983). Secara fisiologis tubuh ternak akan bereaksi terhadap rangsangan yang

mengganggu fisiologis normal. Sebagai ilustrasi ternak akan mengalami cekaman

panas jika jumlah rataan produksi panas tubuh dan penyerapan radiasi panas dari

sekelilingnya lebih besar daripada rataan panas yang hilang dari tubuh (Devendra

dan Burns, 1994).

Laju Respirasi

Respirasi meliputi semua proses baik fisik maupun kimia, dimana hewan

mengadakan pertukaran gas-gas dengan lingkungan sekelilingnya, khususnya gas O2

dan CO2 (Widjajakusuma dan Sikar, 1986). Pernafasan pada hewan terdiri dari tiga

fase yaitu respirasi external, pertukaran gas, dan respirasi internal. Respirasi external

yaitu mekanisme saat hewan mengambil oksigen dari lingkungan dan melepaskan

karbondioksida ke lingkungan. Pertukaran gas yaitu mekanisme pendistribusian

oksigen ke seluruh sel-sel tubuh hewan dan mekanisme perpindahan karbondioksida

dari sel tubuh ke lingkungan. Respirasi internal merupakan reaksi metabolik saat

oksigen dalam sel memproduksi energi dan reaksi untuk memproduksi

karbondioksida dalam sel (Wilson, 1979).

Frekuensi respirasi bervariasi tergantung dari besar badan, umur, aktivitas

tubuh, kelelahan dan penuh tidaknya rumen. Domba tropis mempunyai frekuensi laju

respirasi berkisar 15-25 hembusan per menit. Bersamaan dengan peningkatan suhu

(16)

panting (terengah-engah) dan sweating (berkeringat berlebihan) (Smith dan

Mangkoewidjojo, 1988). Pada sapi, kerbau, kambing dan domba peningkatan

frekuensi respirasi merupakan salah satu mekanisme pengaturan suhu tubuh.

Kecepatan respirasi meningkat sebanding dengan meningkatnya suhu lingkungan.

Meningkatnya frekuensi respirasi menunjukkan meningkatnya mekanisme tubuh

untuk mempertahankan keseimbangan fisiologik dalam tubuh hewan (McDowell,

1972).

Denyut Jantung

Jantung adalah suatu struktur muskular berongga yang bentuknya menyerupai

kerucut. Jantung terbagi menjadi bagian kanan dan bagian kiri, masing-masing

bagian terdiri atas atrium, yang berfungsi menerima curahan darah dan pembuluh

vena, dan ventrikel, yang berfungsi memompakan darah dari jantung ke seluruh

tubuh melalui pembuluh arteri (Frandson, 1992). Satu denyut terdiri dari satu sistol

dan satu diastole. Siklus jantung terdiri atas satu periode relaksasi yang disebut

diastole, yaitu periode pengisian jantung dengan darah, yang diikuti oleh satu periode

kontraksi yang disebut sistol (Guyton, 1997).

Kisaran denyut jantung domba normal menurut Smith dan Mangkoewidjojo

(1988) adalah 70-80 kali tiap menit. Peningkatan laju denyut jantung yang tajam

terjadi pada saat peningkatan suhu lingkungan, gerakan dan aktivitas otot (Edey,

1983). Secara umum, kecepatan denyut jantung yang normal cenderung lebih besar

pada hewan-hewan kecil dan semakin lambat dengan semakin besarnya ukuran

hewan (Frandson, 1992). Al-Haidary (2004) menyatakan bahwa tantangan stres

panas mengurangi denyut jantung pada ternak yang diam, dan pengurangan tanda

denyut jantung menurun karena upaya umum untuk binatang penurunan produksi

panas.

Menurut Adisuwirdjo (2001), faktor-faktor yang mempengaruhi denyut

jantung yaitu: (1) aktivitas, aktivitas yang tinggi dapat menigkatkan frekuensi kerja

jantung. (2) ion kalsium, ion kalsium memicu sistol yaitu kontraksi salah satu

ruangan jantung pada proses pengosongan ruangan tersebut. Diastol adalah reaksi

dari satu ruang jantung sesaat sebelum dan selama pengisian ruangan tersebut.

(3) kadar CO2, dapat menaikkan frekuensi maupun kekuatan kontraksi jantung.

(17)

frekuensi jantung. (6) atropin dan nikotin, dapat mempercepat frekuensi jantung.

(7) morphin, dapat memperlambat frekuensi jantung. (8) suhu tubuh, semakin tinggi

suhu maka frekuensi jantung juga semakin besar. (9) berat badan, semakin berat

badan seseorang maka frekuensi jantung juga semakin besar. (10) usia, usia muda

memiliki frekuensi jantung yang lebih cepat.

Suhu Tubuh

Suhu tubuh hewan homeotermi merupakan hasil keseimbangan dari panas

yang diterima dan dikeluarkan oleh tubuh. Suhu tubuh dapat diamati melalui suhu

rektal, karena suhu rektal merupakan indikator yang baik untuk menggambarkan

suhu internal tubuh ternak. Suhu rektal juga sebagai parameter yang dapat

menunjukkan efek dari cekaman lingkungan terhadap domba. Suhu rektal harian,

pada pagi hari rendah sedangkan pada siang hari tinggi (Edey, 1983).

Suhu rektal domba di daerah tropis berada pada kisaran 39,2-40 0C (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Kelembaban dapat pula mempengaruhi mekanisme

temperature tubuh, pengeluaran panas dengan cara berkeringat ataupun melalui

respirasi akan lebih cepat (Parakkasi, 1999).

Profil Darah Hematokrit

Hematokrit atau Packed Cell Volume (PVC) merupakan persentase sel-sel

darah merah di dalam 100% darah (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Nilai

hematokrit adalah suatu istilah yang artinya persentase (berdasar volume) dari darah

yang terdiri dari sel-sel darah merah. Nilai hematokrit yang normal pada domba

adalah 32%. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) nilai hematokrit pada

domba berkisar antara 29%-45%.

Nilai hematokrit biasanya dianggap sama manfaatnya dengan hitungan sel

darah merah total, dan pelaksanaannya juga jauh lebih mudah. Penentuannya

dilakukan dengan mengisi tabung hematokrit dengan darah yang diberi zat agar tidak

menggumpal di bagian dasar (Frandson, 1992). Nilai hematokrit dipengaruhi oleh

enam faktor, yaitu (1) bangsa dan jenis ternak, (2) umur dan fase produksi, (3) jenis

(18)

Sel-sel darah merah

Elemen-elemen darah yang memiliki bentuk meliputi sel-sel darah merah,

sel-sel darah putih dan keping darah (platelet). Sel-sel darah merah atau eritrosit

berbentuk lempeng bikonkaf dengan diameter rata-ratanya sebesar 7,8µm, dan

ketebalan pada bagian yang tebal 2,5 µm dan pada bagian tengah 1 µm. Fungsi

utama dari sel darah merah adalah mengangkut hemoglobin, dan seterusnya

mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan (Guyton, 1997). Menurut Smith dan

Mangkoewidjojo (1988) jumlah sel darah merah pada domba yaitu 9-15 juta/mm3. Adanya hemoglobin di dalam eritrosit memungkinkan timbulnya kemampuan

untuk mengangkut oksigen, serta menjadi penyebab timbulnya warna merah pada

darah. Dari segi kimia, hemoglobin merupakan suatu senyawa organik yang komplek

yang terdiri dari empat pigmen porfirin merah (heme), masing-masing mengandung

atom besi ditambah globin, yang merupakan protein globular yang terdiri dari empat

rantai asam amino. Karena adanya hemoglobin, darah dapat mengangkut sekitar 60

kali oksigen lebih banyak dibandingkan dengan air dalam jumlah dan kondisi yang

sama. Konsentrasi hemoglobin diukur dalam gram per 100 ml darah. Konsentrasi

hemoglobin normal menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) yaitu 9-15g/100 ml.

Fungsi utama hemoglobin dalam tubuh bergantung pada kemampuannya untuk

bergabung dengan oksigen dalam paru-paru dan kemudian melepaskan oksigen ini

dalam kapiler jaringan dimana tekanan gas oksigen jauh lebih rendah daripada di

paru-paru (Guyton, 1997).

Saat kondisi normal konsentrasi hemoglobin hampir selalu mendekati

maksimum dalam setiap sel. Namun, bila pembentukan hemoglobin dalam sumsum

tulang berkurang, maka persentase hemoglobin dalam sel dapat turun dan volume sel

darah merah juga menurun karena hemoglobin untuk mengisi sel berkurang. Setiap

keadaan yang menyebabkan penurunan transportasi jumlah oksigen ke jaringan

biasanya akan meningkatkan kecepatan produksi sel darah merah. Pada suatu daerah

dengan ketinggian yang sangat tinggi, jumlah oksigen dalam udara sangat rendah

maka jumlah oksigen yang diangkut ke jaringan tidak cukup dan produksi sel darah

merah meningkat (Guyton, 1997).

Anemia berarti kekurangan sel darah merah, yang dapat disebabkan oleh

(19)

merah (Guyton, 1997). Salah satu efek utama dari anemia adalah meningkatkan

beban kerja jantung.

Sel darah Putih

Sel darah putih atau leukosit sangat berbeda dengan eritrosit, karena adanya

nukleus dan memiliki kemampuan gerak yang independen. Manfaat dari sel darah

putih ialah sebagian besar ditransfer secara khusus ke daerah yang terinfeksi dan

mengalami peradangan (Guyton, 1997).

Leukosit digolongkan menjadi Granulosit dan Agranulosit. Granulosit terdiri

dari Netrofil, Eosinofil, Basofil. Netrofil mengandung granula yang memberikan

warna indiferen dan tidak merah ataupun biru. Ini merupakan jajaran pertama untuk

sistem pertahanan melawan infeksi dengan cara migrasi dari pembuluh darah menuju

daerah infeksi untuk membunuh bakteri sebagai respon terhadap infeksi tersebut dan

membersihkan sisa jaringan yang rusak. Jumlah netrofil di dalam darah meningkat

cepat apabila terjadi infeksi yang akut. Jumlah netrofil pada domba yaitu 17,50%-

50,0% (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

Agranulosit terdiri dari monosit dan limfosit. Limfosit memiliki fungsi utama

dapat merespon antigen (benda-benda asing) dengan membentuk antibodi yang

bersirkulasi di dalam darah atau dalam pengembangan imunitas (kekebalan) seluler.

Smith dan Mangkoewidjojo (1988), menyatakan bahwa jumlah limfosit normal

untuk domba daerah tropis yaitu 50%-75%. Cekaman iklim dan lingkungan seperti

transportasi dan panas menghasilkan perbandingan netrofil dan limfosit yang

meningkat karena adanya cekaman fisiologis (Maxwell, 1983).

Konsumsi pakan dan minum

Tingkat konsumsi adalah jumlah makanan yang terkonsumsi bila bahan

makanan tersebut diberikan ad libitum. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat

konsumsi pakan menurut Parakkasi (1999) adalah faktor hewan itu sendiri yaitu

permintaan fisiologis dari hewan tersebut untuk hidup pokok dan produksi. Faktor

pakan yang diberikan berkaitan dengan nilai nutrisi yang terkait pada pakan tersebut.

Faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban udara dapat mempengaruhi tingkat

konsumsi. Pada suhu lingkungan tinggi, konsumsi pakan pada umumnya menurun,

(20)

Pakan konsentrat diberikan sebelum pakan hijauan. Hal tersebut dilakukan

agar semua zat makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan, produksi, dan

(21)

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Domba Indocement Citeureup,

Bogor selama 10 minggu. Penelitian dilakukan pada awal bulan Agustus sampai

pertengahan bulan Oktober 2010. Analisa darah dilakukan di laboratorium Fisiologi

dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan.

Materi Ternak

Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah domba garut sebanyak 20

ekor berumur kurang dari satu tahun, yang terdiri dari 10 ekor jantan, dan 10 ekor

betina dengan rataan bobot badan 15,75±2,85 kg.

Peralatan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu gunting cukur untuk

mencukur domba, thermohigrometer untuk mengukur suhu dan kelembaban

lingkunan, termometer untuk mengukur suhu tubuh, stetoskop untuk mengukur

denyut jantung, stopwatch untuk menghitung waktu, syiring (spoite dan jarum

suntik), tabung yang berisi EDTA, alkohol, dan kapas untuk mengambil darah.

Prosedur

Penelitian dibagi menjadi dua tahap, yaitu pertama tahap pendahuluan dan

kedua tahap pengambilan data pengukuran. Tahap pendahuluan dilakukan selama

dua minggu, dan pengambilan data selama delapan minggu. Penelitian diawali

dengan menyiapkan peralatan di kandang seperti menempel termohigrometer,

pembersihan kandang.

Pencukuran domba dilakukan satu kali selama penelitian yaitu pada minggu

kedua. Pencukuran dimulai dari perut bagian bawah, kemudian keatas, kedepan, dan

kebelakang sampai daerah kepala dan kaki. Ternak yang mendapat perlakuan

pencukuran sebanyak sepuluh ekor, terdiri atas lima ekor domba jantan dan lima ekor

domba betina, yang sepuluh ekor sisanya tidak dicukur.

Respon fisiologis diukur dengan beberapa parameter meliputi: suhu tubuh,

laju pernafasan, denyut jantung, dan profil darah. Pengukuran dilakukan sebelum

(22)

Suhu tubuh diukur dengan menggunakan termometer digital yang

dimasukkan ke dalam rektal dan ditunggu sampai menunjukkan suhu tetap (2-3

menit). Denyut jantung diukur dengan menggunakan stetoskop yang ditempelkan

pada bagian toraks kiri selama satu menit. Pengukuran pernafasan dilakukan dengan

cara menghitung jumlah hembusan nafas dari hidung dengan bantuan stopwatch

selama satu menit. Pengukuran dilakukan pagi hari pukul 05.30-06.00, siang pukul

12.30-13.00, dan sore hari pukul 16.30-17.00 WIB setiap dua minggu sekali.

Pengukuran suhu dan kelembaban lingkungan di dalam kandang dan di luar kandang

dengan menggunakan termohigrometer pada pagi, siang dan sore hari selama

penelitian.

Pengambilan sampel darah dengan menggunakan syiring ukuran 10 ml pada

minggu kesepuluh. Langkah pertama yaitu dengan perabaan pada bagian leher

domba bagian kiri atau bagian kanan untuk mencari vena jugularis. Setelah

ditemukan vena jugularis selanjutmya ditekan dengan ibu jari agar tampak

menggelembung. Bagian yang menonjol dibersihkan dengan alkohol, lalu ditusuk

dengan syiring sampai darah mengalir. Darah dimasukkan ke dalam tabung yang

berisi EDTA, setelah itu dimasukkan ke dalam tempat yang berisi es. Darah lalu

dianalisa di laboratorium untuk mengetahui profil darah yang meliputi sel darah

merah, hemoglobin, hematokrit, sel darah putih, limfosit, dan netrofil.

Rancangan

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap

Pola Faktorial (2 x 2), faktor A adalah pencukuran (dicukur dan tidak dicukur),

faktor B adalah jenis kelamin (jantan dan betina). Setiap kombinasi perlakuan

terdiri dari lima ulangan untuk suhu tubuh, denyut jantung dan respirasi, sedangkan

untuk profil darah terdiri dari tiga ulangan.

Model matematik yang digunakan menurut Steel dan Torrie (1993) adalah:

(23)

Keterangan:

Yijk = variabel respon akibat pengaruh faktor pencukuran ke-i dan faktor jenis

kelamin ke-j pada ulangan ke-k.

µ = nilai tengah umum

Ai = pengaruh faktor pencukuran ke-i

Bj = pengaruh faktor jenis kelamin ke-j

(AB)ij= pengaruh interaksi antara faktor pencukuran ke-i dengan faktor jenis kelamin

ke-j

εijk = pengaruh galat percobaan dari factor pencukuran ke-i dan faktor jenis

kelamin ke-j pada ulangan ke-k.

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (Analysis of

Variance) berdasarkan Steel dan Torrie (1993). Jika terdapat perbedaan yang nyata

atau sangat nyata maka dilanjutkan dengan uji Duncan.

Peubah yang diamati Suhu Tubuh ( 0C)

Suhu tubuh domba diukur pada bagian rektal, karena merupakan salah satu

indikator yang baik untuk menggambarkan suhu internal tubuh ternak. Pengukuran

dilakukan menggunakan termometer yang dimasukkan ke dalam rektal, pengukuran

ini dilakukan pada waktu pagi, siang dan sore hari.

Laju Respirasi (kali/menit)

Laju respirasi merupakan proses pengambilan oksigen dari lingkungan dan

pelepasan karbondioksida ke lingkungan. Laju respirasi domba diukur dengan

mengamati kenaikan dan penurunan pada bagian perut, atau dengan cara menghitung

jumlah hembusan nafas pada bagian hidung selama satu menit.

Denyut Jantung (kali/menit)

Denyut jantung merupakan suara yang terdengar yang akan terulang sampai

tak terbatas. Suara yang pertama dan kedua dipisahkan oleh suatu interval singkat

yang diikuti oleh suatu istirahat yang lebih panjang. Denyut jantung diukur dengan

(24)

Profil darah

Profil darah adalah komponen-komponen yang merupakan komposisi dari

darah. Komponen tersebut diantaranya sel darah merah, hemoglobin, hematokrit, sel

darah putih, limfosit, dan netrofil. Darah diambil dengan menggunakan syiring, lalu

dianalisa di laboratorium Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan,

Institut Pertanian Bogor. Pengambilan darah dilakukan pada minggu kesepuluh.

Pengukuran nilai-nilai profil darah menurut Sastradipraja (1989), nilai

hemoglobin dilakukan dengan cara larutan Rengen dimasukkan ke dalam tabung

sebanyak 2,5 ml lalu ditambahkan sampel darah sebanyak 10 mikroliter. Setelah itu

dimasukan ke dalam spektrofotometer. Lalu dibaca angka yang tertera pada

spektrofotometer.

Penghitungan nilai hematokrit dilakukan dengan metode mikrohematokrit

dengan mikrocapillary hematocrite reader. Ujung mikrokapiler ditempelkan pada

tabung berisi darah, biarkan darah mengalir sendiri mengisi ¾ bagian pipa kapiler.

Ujung pipa disumbat dengan penyumbat yang berbeda warna. Selanjutnya pipa

kapiler disimpan dalam alat pemusing microcentrifuge selam lima menit dengan

kecepatan 12.000 RPM. Setelah dipusing terbentuk lapisan-lapisan yang terdiri atas

lapisan plasma yang jernih dibagian atas, kemudian lapisan putih abu-abu yaitu

trombosit dan leukosit dan lapisan merah yang terdiri atas eritrosit. Nilai hematokrit

ditentukan dengan mengukur % volume eritrosit (lapisan merah) dari darah dengan

menggunakan alat baca mikrohematokrit (mikrocapillary hematocrite reader).

Perhitungan eritrosit (butir darah merah) menggunakan pipet (pengencer)

eritrosit dengan ciri di dalamnya terdapat butiran warna merah, dan skala pipet

0,5-1,0-101. Larutan pengencer yang digunakan yaitu Hayem. Langkah pertama darah

diisap dengan aspirator pada pipet sampai batas angka 0,5, kemudian larutan

pengencer Hayem diisap sampai tanda 101 yang tertera pada pipet. Aspirator

dilepaskan lalu kedua ujung pipet ditutup dengan ibu jari dan telunjuk dan dikocok

dengan membuat gerakan angka delapan. Setetes cairan dimasukan kedalam kamar

hitung dengan cara menempelkan ujung pipet pada pertemuan dasar kamar hitung

dan kaca penutup. Jumlah butir darah merah dihitung menggunakan teknik yaitu

dengan mengamati kamar hitung dibawah mikroskop dengan pembesaran 100 x

(25)

Perhitungan leukosit sama dengan eritrosit akan tetapi pengencer yang

digunakan yaitu larutan pengencer Turk. Pipet yang digunakan memiliki ciri di

dalamnya terdapat butiran berwarna putih, . Langkah pertama darah diisap dengan

aspirator pada pipet sampai batas angka 0,5, kemudian larutan pengencer Turk diisap

sampai tanda 11 yang tertera pada pipet.

Pengukuran diferensiasi leukosit dengan menggunakan mikroskop. Langkah

pertama membuat sediaan ulas darah yang diwarnai dengan zat warna Giesma lalu

dikeringkan. Selanjutnya permukaan apus ditetesi dengan larutan zat warna Wright

lalu didiamkan selama satu menit. Setelah itu ditambahkan larutan buffer fosfat pada

seluruh permukaan preparat, lalu dikeringkan. Sebelum dilihat di mikroskop preparat

ditetesi dengan imersi.

Sediaan ulas bentuk butir-butir darah dapat diamati dan % jenis-jenis butir

darah putih dapat dihitung. Netrofil berupa granula netral, dengan inti berbentuk

batang atau segmen. Limfosit berupa inti bulat, biru tua, dan sitoplasma sedikit.

Suhu dan kelembaban lingkungan

Suhu dan kelembaban diukur menggunakan termohigrometer pada waktu

pagi, siang dan sore hari. Pengamatan ini dilakukan di dalam kandang dan diluar

kandang setiap satu minggu sekali.

(26)

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum

Peternakan PT Indocement merupakan salah satu peternakan yang berdiri

pada tahun 2008 di daerah Citeureup, Bogor. Peternakan ini merupakan kerjasama

antara Fakultas Peternakan IPB dengan Indocement. Peternakan Indocement

dibangun diatas lahan bekas penambangan semen. Ternak yang dipelihara di

peternakan ini yaitu domba garut, yang didatangkan dari Garut.

Domba dipelihara secara semi intensif, domba digembalakan pada siang hari

yaitu pukul 13.00 WIB sampai 16.00 WIB dan selebihnya domba dikandangkan.

Kandang yang digunakan yaitu kandang panggung. Kandang panggung dicirikan

dengan adanya tiang penyangga kandang sehingga lantai kandang terletak diatas

tanah (sekitar 0,5–1 m) dan berbentuk seperti panggung. Bahan lantai terbuat dari

bilah bambu yang dipasang dengan sedikit celah sehingga memudahkan kotoran

terjatuh ke bawah kandang. Tipe kandang ini memiliki kolong yang bermanfaat

sebagai penampung kotoran. Lantai kolong diberi semen dan dibuat miring ke arah

selokan agar lebih memudahkan pekerja ketika membersihkan kotoran. Atap

kandang berupa monitor dengan bahan genteng. Atap berfungsi sebagai pelindung

terhadap hujan, terik sinar matahari dan pengatur panas dalam kandang. Bahan atap

genteng dapat menghantarkan panas dan radiasi yang kecil, dan sangat baik menahan

panas sehingga dapat mempertahankan suhu kandang relatif konstan, serta aliran

udara dapat keluar melalui celah.

Rataan suhu dan kelembaban lingkungan di peternakan Indocement pada

pagi, siang dan sore hari di kandang dan di luar kandang tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Rataan Suhu dan Kelembaban Udara

Lokasi Waktu Suhu (oC) Kelembaban (%)

(27)

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa suhu di dalam kandang baik pagi,

siang, ataupun sore lebih rendah dibandingkan dengan suhu di luar kandang,

sedangkan kelembaban di dalam kandang lebih tinggi dibandingkan dengan di luar

kandang. Hal ini menandakan kandang dapat memanipulasi kondisi lingkungan

dengan menurunkan suhu udara. Kelembaban di dalam kandang yang tinggi

menunjukan bahwa udara di dalam kandang mengandung uap air yang tinggi yang

dihasilkan dari proses respirasi ternak.

Suhu optimal untuk domba berkisar antara 24-26 0C (Kartasudjana, 2001), dengan kelembaban di bawah 75% (Yousef, 1985). Hal ini menunjukan bahwa

lingkungan di peternakan Indocement berada di atas suhu nyaman untuk domba.

Siang hari suhu di dalam kandang 32,04±3,23 0C dan suhu di luar kandang yaitu 40,25±5,02 0C yang artinya berada di atas kisaran suhu nyaman. Pada pagi hari kelembaban di dalam kandang berada di atas kisaran normal (81,63% ± 12,70%) dan

pada siang dan sore hari berkisar kurang dari 75%.

Hewan membutuhkan lingkungan yang cocok untuk kebutuhan fisiologisnya,

jika tidak sesuai dengan lingkungannya, misalnya dengan kondisi terlalu panas atau

terlalu dingin maka akan menyebabkan stres dan berakibat terhadap

produktivitasnya, sehingga pertumbuhan, perkembangan atau produksi ternak akan

menurun (Johnston, 1983). Secara fisiologis tubuh ternak akan bereaksi terhadap

rangsangan yang mengganggu fisiologis normal. Sebagai ilustrasi ternak akan

mengalami cekaman panas jika jumlah rataan produksi panas tubuh dan penyerapan

radiasi panas dari sekelilingnya lebih besar daripada rataan panas yang dikeluarkan

dari tubuh (Devendra dan Burns, 1994).

Konsumsi pakan merupakan sejumlah makanan yang dimakan oleh ternak.

Kandungan yang terdapat di dalam pakan digunakan untuk mencukupi kehidupan

pokok dan untuk keperluan produksi. Kebutuhan ternak dapat dikelompokkan

menjadi komponen utama yaitu energi, protein, mineral dan vitamin. Energi

merupakan suatu komponen penting yang terkandung dalam pakan. Energi dapat

didefinisikan sebagai kalori yang berasal dari senyawa-senyawa organik seperti

karbohidrat, protein dan lemak.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi pakan menurut Parakkasi

(28)

tersebut untuk hidup pokok dan produksi. Faktor lingkungan seperti suhu dan

kelembaban udara dapat mempengaruhi tingkat konsumsi. Pada suhu lingkungan

tinggi, konsumsi pakan pada umumnya menurun, sedangkan konsumsi air minum

meningkat.

Domba diberi pakan rumput dan konsentrat serta air minum diberikan secara

ad libitum. Pakan konsentrat diberikan sebelum pakan hijauan. Hal tersebut

dilakukan agar semua zat makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan, produksi,

dan reproduksi dapat terpenuhi (Ridwan, 2010). Rataan konsumsi bahan kering pada

domba garut dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan Konsumsi Bahan Kering (BK) pada Domba Garut

Jenis Kelamin Pencukuran Rataan

Cukur Tidak cukur

--- g/ekor/hari ---

Jantan 426,27±21,22 432,32±33,88 429,29±26,84

Betina 434,44±26,10 405,58±15,71 420,01±25,37

Rataan 430,35±21,93 418,95±28,61 424,65±25,86

Rataan konsumsi bahan kering yaitu 424,65±25,86 g/ekor/hari yang setara

dengan 2,7% dari bobot badan. Menurut Kearl (1982) kebutuhan konsumsi bahan

kering domba adalah 3% dari bobot badan. Rataan bobot badan domba yang

digunakan yaitu 15,75±2,85 kg sehingga jumlah bahan kering yang dibutuhkan

adalah 500-1000 g/ekor/hari. Hal ini berarti konsumsi bahan kering domba penelitian

masih di bawah konsumsi standar yang dibutuhkan domba.

Protein merupakan suatu zat makanan yang dapat berfungsi sebagai bahan

bakar, zat pembangun dan pengatur. Rataan konsumsi protein kasar domba garut

selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rataan Konsumsi Protein Kasar Domba Garut

Jenis Kelamin Pencukuran Rataan

Cukur Tidak cukur

--- g/ekor/hari ---

Jantan 59,06±3,04 59,95±4,89 59,50±3,86

Betina 60,24±3,76 56,08±2,28 58,16±3,66

(29)

Rataan konsumsi protein kasar pada domba garut yaitu 58,83±3,41

g/ekor/hari. Menurut National Research Counsil (1985), domba dengan bobot badan

10-20 kg membutuhkan protein kasar sebesar 127-167 g/ekor/hari. Hasil ini

menunjukan bahwa konsumsi protein kasar domba dibawah standar yang dibutuhkan

untuk domba.

Kemampuan ternak dalam memanfaatkan energi yang terkandung di dalam

pakan mampu mempengaruhi pertumbuhan dari ternak tersebut. Rendahnya

konsumsi pakan pada domba penelitian dapat disebabkan oleh kurangnya jumlah

pakan atau konsumsi pakan yang berkualitas rendah.  

Kondisi Fisiologis Domba

Respon fisiologis domba merupakan tanggapan fisiologis domba terhadap

berbagai macam faktor lingkungan sekitar. Respon fisiologis pada domba dapat

diketahui diantaranya dengan melihat suhu tubuh, laju respirasi, denyut jantung, nilai

hematrokit, dan rasio netrofil/limfosit.

Suhu Tubuh

Suhu tubuh dapat diukur melalui suhu rektal, karena suhu rektal merupakan

indikator yang baik untuk menggambarkan suhu internal tubuh ternak. Suhu rektal

juga sebagai parameter yang dapat menunjukkan efek dari cekaman lingkungan

terhadap domba. Rataan suhu tubuh domba tertera pada Tabel 4.

Suhu rektal harian, pada pagi hari rendah sedangkan pada siang hari tinggi

(Edey, 1983). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pencukuran sangat

berpengaruh nyata (P<0,01) terhadap suhu tubuh pagi yaitu domba yang dicukur

lebih rendah (37,97±0,28 0C) dibandingkan dengan yang tidak dicukur (38,47±0,31

0

C). Pada siang hari pencukuran berbeda nyata (P<0,05) terhadap suhu tubuh, yaitu

suhu tubuh yang dicukur lebih rendah (38,45±0,20 0C) dibandingkan dengan yang tidak dicukur (38,70±0,25 0C).

Hasil ini mengindikasikan bahwa tingkat cekaman atau beban panas yang

dialamin oleh domba yang tidak dicukur lebih tinggi jika dibandingkan dengan

domba yang dicukur. Domba yang dicukur memiliki bulu yang lebih sedikit

dibandingkan domba yang tidak dicukur, sehingga domba dapat melepaskan panas

(30)

Tabel 4. Rataan Suhu Tubuh Pagi, Siang dan Sore Hari pada Domba Garut

Waktu Jenis Kelamin Pencukuran Rataan

Cukur Tidak Cukur

---oC---

Pagi

Jantan 37,91±0,25 38,28±0,13 38,10±0,28

Betina 38,04±0,32 38,65±0,34 38,34±0,45

Rataan 37,97±0,28B 38,47±0,31A 38,22±0,38

Siang

Jantan 38,34±0,19 38,64±0,26 38,49±0,27

Betina 38,56±0,15 38,76±0,24 38,66±0,22

Rataan 38,45±0,20b 38,70±0,25a 38,57±0,25

Sore

Jantan 39,05±0,15 39,23±0,26 39,14±0,22

Betina 39,15±0,17 39,26±0,13 39,20±0,15

Rataan 39,10±0,16 39,24±0,20 39,17±0,19

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan sangat berbeda nyata (P<0,01) dan berbeda nyata (P<0,05). Pagi, siang, dan sore hari menunjukan waktu pengukuran.

Meskipun nilai rataan suhu tubuh domba pada kondisi yang berbeda, namun

suhu tubuh keduanya masih berada dalam kisaran normal. Sebagaimana yang

dikemukakan Smith dan Mangkoewidjojo (1988), suhu rektal domba di daerah tropis

berada pada kisaran 39,2-40 0C.

Suhu lingkungan pada siang dan sore hari lebih tinggi dibandingkan dengan

suhu lingkungan pagi hari sehingga dapat mempengaruhi tingginya suhu tubuh

domba. Suhu dan kelembaban yang tinggi menyebabkan evaporasi lambat sehingga

pelepasan panas tubuh terhambat (McDowell, 1972). Pada saat siang sampai sore

hari domba digembalakan ditempat yang tidak dinaungi, sebagai akibatnya ada

tambahan panas dari luar tubuh terutama yang berasal dari radiasi panas matahari

secara langsung. Oleh sebab itu suhu tubuh domba pada siang dan sore lebih tinggi

dibandingkan pagi hari. Pada keadaan normal suhu tubuh ternak sejenis dapat

bervariasi karena adanya perbedaan umur, jenis kelamin, iklim, panjang hari, suhu

lingkungan, aktivitas, pakan, aktivitas pencernaan dan jumlah air yang diminum.

Denyut Jantung

Satu denyut terdiri dari satu sistol dan satu diastol. Siklus jantung terdiri atas

(31)

darah, yang diikuti oleh satu periode kontraksi yang disebut sistol (Guyton, 1997).

Fungsi jantung adalah memompa darah ke seluruh tubuh untuk mempertahankan

jaringan selalu disuplai darah (Soeharsono, 2010). Denyut jantung dapat diukur

dengan menggunakan stetoskop dan stopwatch untuk menghitung waktu. Hasil

pengamatan dapat dilihat lebih jelas pada Tabel 5.

Tabel 5. Rataan Denyut Jantung Pagi, Siang dan Sore Hari pada Domba Garut

Waktu Jenis Kelamin Pencukuran Rataan

Cukur Tidak Cukur

---kali/menit---

Pagi

Jantan 73,92±4,92 75,84±5,26 74,88±4,91

Betina 73,28±3,69 72,64±4,88 72,96±4,09

Rataan 73,60±4,11 74,24±5,07 73,92±4,51

Siang

Jantan 78,88±3,13 82,40±4,31 80,64±4,01

Betina 79,84±7,21 78,56±6,38 79,20±6,46

Rataan 79,36±5,26 80,48±5,52 79,92±5,28

Sore

Jantan 88,40±2,50 85,04±8,99 86,72±6,47a Betina 79,92±3,78 82,56±4,43 81,24±4,12b Rataan 84,16±5,39 83,80±6,81 83,98±5,98

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0,05). Pagi, siang, dan sore hari menunjukan waktu pengukuran.

Denyut jantung domba 70-80 kali/menit (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

Hasil analisis ragam menunjukan bahwa denyut jantung pada pagi dan siang hari

tidak terdapat perbedaan yang nyata baik dari faktor jenis kelamin maupun

pencukuran. Pada sore hari faktor jenis kelamin berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap

denyut jantung. Denyut jantung jantan (86,72±6,47 kali/menit) lebih tinggi

dibandingkan dengan betina (81,24±4,12 kali/menit). Hal ini disebabkan domba

garut jantan bersifat lebih agresif dan sangat kuat dibandingkan dengan betina.

Sehingga aktivitas jantan lebih banyak yang menyebabkan denyut jantungnya pun

lebih tinggi dibandingkan dengan betina.

Denyut jantung domba pada sore hari meningkat seiring dengan peningkatan

suhu tubuh, selain itu aktivitas yang dilakukan oleh ternak pada sore lebih tinggi

(32)

kandang setelah digembalakan sehingga ternak berlari-larian yang dapat

menyebabkan denyut jantung domba berdetak lebih cepat.

Hasil penelitian ini sesuai dengan Adisuwirdjo (2001), yang menyatakan

bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi denyut jantung yaitu suhu tubuh, semakin

tinggi suhu maka frekuensi jantung juga semakin besar. Aktivitas yang tinggi dapat

meningkatkan frekuensi kerja jantung. Namun berbeda dengan Al-Haidary (2004)

menyatakan bahwa tantangan stres panas mengurangi denyut jantung pada ternak

yang diam, dan pengurangan tanda denyut jantung karena upaya umum untuk ternak

menurunkan produksi panas.

Laju Respirasi

Respirasi meliputi semua proses baik fisik maupun kimia, hewan

mengadakan pertukaran gas-gas dengan lingkungan sekelilingnya, khususnya gas O2

dan CO2 (Widjajakusuma dan Sikar, 1986). Frekuensi respirasi bervariasi tergantung

dari aktivitas ternak, temperatur dan kondisi tubuh, ukuran tubuh hewan, dan

aktivitas metabolisme serta faktor umur (Soeharsono, 2010). Hasil pengukuran

respirasi dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Rataan Respirasi Pagi, Siang dan Sore Hari pada Domba Garut

Waktu Jenis Kelamin Pencukuran Rataan

Cukur Tidak Cukur

(33)

Faktor jenis kelamin dan pencukuran berpengaruh sangat nyata (P<0,01)

terhadap respirasi pada pagi hari. Domba jantan (24,08±2,78 kali/menit) lebih rendah

dibandingkan dengan betina (28,16±2,20 kali/menit). Respirasi domba yang dicukur

(24,46±2,90 kali/menit) lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak dicukur

(27,78±2,69 kali/menit). Pagi hari domba tidak mengalami stres karena suhu

lingkungan berada pada kisaran suhu nyaman, sehingga laju respirasi berada pada

kisaran normal. Domba tropis mempunyai frekuensi laju respirasi berkisar 15-25

hembusan per menit (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

Berdasarkan hasil analisis ragam, pada siang hari faktor pencukuran

berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap respirasi. Respirasi pada domba yang

dicukur (38,84±6,56 kali/menit) lebih rendah dibandingkan yang tidak dicukur

(55,86±8,53 kali/menit). Domba yang tidak dicukur memiliki respirasi yang tinggi

karena pada saat pelepasan panas tubuh domba yang tidak dicukur akan terhambat

maka cara yang lebih tepat untuk pelepasan panas yaitu melalui respirasi. Domba

yang dicukur respirasinya lebih rendah karena pada saat pelepasan panas tubuh lebih

efisien.

Respirasi pada sore hari domba jantan dan betina yang tidak dicukur lebih

tinggi dibandingkan dengan domba jantan yang dicukur dan domba betina yang

dicukur. Pada saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman ternak, jalur utama

pelepasan panas tubuh terjadi melalui mekanisme evaporative heat loss dengan jalan

melakukan pertukaran panas melalui permukaan kulit (sweating) atau melalui

pertukaran panas di sepanjang saluran pernafasan (panting) dan sebagian melalui

feces dan urin (McDowell, 1972). Berdasarkan rataan konsumsi pakan pada domba

jantan lebih tinggi dibandingkan dengan betina, sehingga metabolisme dan sifat

keaktifan jantan lebih tinggi dari betina. Makin tinggi aktivitas metabolisme maka

makin banyak jumlah oksigen yang diperlukan dengan konsekuensi peningkatan

frekuensi pernafasan (Soeharsono, 2010).

Peningkatan frekuensi respirasi pada sapi, kerbau, kambing dan domba

merupakan salah satu mekanisme pengaturan suhu tubuh. Kecepatan respirasi

meningkat sebanding dengan meningkatnya suhu lingkungan. Meningkatnya

frekuensi respirasi menunjukkan meningkatnya mekanisme tubuh untuk

(34)

Irma (2009) melaporkan panjang bulu kurang dari 1 cm dengan tidak dimandikan

memiliki laju respirasi yang mendekati normal yaitu 26,45±3,42 kali/menit. Oleh

sebab itu domba yang dicukur memiliki laju respirasi yang lebih rendah

dibandingkan dengan domba yang tidak dicukur.

Profil Darah

Darah merupakan cairan yang berfungsi mengirimkan zat-zat nutrien dan

oksigen yang dibutuhkan oleh tubuh, mengangkut bahan-bahan kimia hasil

metabolisme, dan mengambil limbah dari sel kembali ke jantung untuk dibuang

melalui paru-paru dan ginjal (Soeharsono, 2010). Elemen-elemen darah yaitu

eritrosit, keping-keping darah dan leukosit. Darah ternak berwarna merah yang

disebabkan oleh adanya hemoglobin yang merupakan tempat terikatnya

molekul-molekul oksigen.

Jumlah eritrosit normal domba menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988)

berada pada kisaran 9-15 juta/mm3. Berdasarkan hasil pengamatan tidak ada pengaruh nyata baik faktor jenis kelamin maupun faktor pencukuran terhadap jumlah

eritrosit. Jumlah rataan eritrosit baik jantan maupun betina yang dicukur ataupun

tidak berada sedikit dibawah kisaran normal yaitu 8,80 ± 1,62 juta/mm3. Rataan jumlah eritrosit pada domba garut dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Rataan Butir Darah Merah (BDM) pada Domba Garut

Jenis Kelamin Pencukuran Rataan

Cukur Tidak cukur

--- Juta/mm3---

Jantan 8,42±1,99 8,11±2,27 8,27±1,91

Betina 8,84±1,24 9,82±1,18 9,33±1,21

Rataan 8,48±1,68 9,12±1,65 8,80±1,62

Nilai rataan hemoglobin domba penelitian adalah 9,89±1,24 g/100ml berada

pada kisaran normal. Hemoglobin domba 9-15 g/100ml (Smith dan Mangkoewidjojo,

1988). Hasil analisis ragam menunjukan bahwa jenis kelamin berpengaruh sangat

nyata (P<0,01) terhadap hemoglobin. Hemoglobin jantan (9,04±0,92 g/100ml) lebih

rendah dibandingkan dengan betina (10,75±0,87 g/100ml). Hal ini disebabkan

(35)

yang terbentuk juga jantan lebih sedikit daripada betina. Hal ini sesuai dengan

Guyton (1997) bahwa bila pembentukan hemoglobin dalam sumsum tulang

berkurang, maka persentase hemoglobin dalam sel turun sehingga volume sel darah

merah juga menurun karena hemoglobin untuk mengisi sel berkurang. Nilai

hemoglobin domba garut saat penelitian dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Rataan Hemoglobin (Hb) pada Domba Garut

Jenis Kelamin Pencukuran Rataan

Cukur Tidak cukur

--- g/100ml ---

Jantan 9,47±0,80 8,60±0,97 9,04±0,92 B

Betina 11,09±0,92 10,40±0,83 10,75±0,87 A

Rataan 10,28±1,18 9,50±1,27 9,89±1,24

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan sangat berbeda nyata (P<0,01).

Hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV) merupakan fraksi darah merah

yang dinyatakan dalam persen dari keseluruhan darah (Smith dan Mangkoewidjojo,

1988). Hasil pengamatan hematokrit domba garut dapat dilihat lebih jelas pada Tabel

9.

Tabel 9. Hematokrit (PCV) pada Domba Garut

Jenis Kelamin Pencukuran Rataan

Cukur Tidak cukur

--- % ---

Jantan 24,92±3,45 22.08±3.26 23,50±3,38 b

Betina 28.42±1.94 27,75±2,25 28,08±1,91 a

Rataan 26,67±3,15 24,92±3,99 25,79±3,55

Keterangan:Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0,05).

Berdasarkan Tabel 9, jenis kelamin berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap

nilai hematokrit. Nilai hematokrit jantan (23,50%±3,38%) lebih rendah dibandingkan

dengan betina (28,08%±1,91%). Hal ini karena hematokrit merupakan fraksi sel

darah merah maka apabila jumlah sel darah merah sedikit menyebabkan

(36)

hematokrit dari jantan dan betina berada dibawah kisaran normal. Hematokrit domba

29%-45% (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

Nilai hematokrit dipengaruhi oleh enam faktor, yaitu bangsa dan jenis ternak,

umur dan fase produksi, jenis kelamin, iklim setempat, penyakit, pakan dan dehidrasi

(Sujono 1991). Nilai hematokrit sangat berhubungan dengan viskositas (kekentalan)

darah, peningkatan nilai hematokrit akan meningkatkan nilai viskositas darah. Nilai

hematokrit ternak akan berkurang pada suhu lingkungan tinggi (Wilson. 1979).

Jumlah butir darah merah, hemoglobin, dan hematokrit domba penelitian

lebih rendah dibandingkan dengan normalnya, hal ini dapat mengindikasikan adanya

gejala anemia pada tubuh ternak. Anemia berarti kekurangan sel darah merah yang

dapat disebabkan oleh hilangnya darah yang terlalu cepat atau karena terlalu

lambatnya produksi sel darah merah (Guyton, 1997).

Hasil perhitungan konsumsi protein pada domba garut penelitian berada

dibawah standar kebutuhan domba sehingga domba mengalami defisiensi protein.

Protein merupakan salah satu komponen dari pembentuk sel darah, oleh sebab itu

kurangnya konsumsi protein dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya anemia

pada domba garut penelitian. Sesuai dengan pernyataan Frandson (1992) anemia

dapat terjadi karena pembentukan darah yang kurang memadai karena gizi yang

kurang baik, adanya defisiensi zat besi, Cu, vitamin, dan asam amino di dalam

makanan.

Tipe anemia pada domba garut penelitian dapat ditentukan melalui

perhitungan Mean Corpuscular Volume (MCV) dan Mean Corpuscular Hemoglobin

Concentration (MCHC). MCV digunakan untuk mengukur volume rata-rata dari sel

darah merah dengan cara membagi hematokrit dengan sel darah merah. MCV

mengkategorikan sel darah merah berdasarkan ukuran. Sel yang mempunyai ukuran

normal disebut normositik, sel yang mempunyai ukuran kecil disebut mikrositik dan

sel yang mempunyai ukuran besar disebut makrositik. Data MCV dari domba garut

(37)

Tabel 10. Nilai Mean Corpuscular Volume (MCV) pada Domba Garut

Jenis Kelamin Pencukuran Rataan

Cukur Tidak cukur

--- fentoliter (fl)---

Jantan 31,75±5,64 26,69±3,28 29,22±4,97

Betina 32,37±2,41 28,34±1,23 30,36±2,79

Rataan 32,06±3,89 27,52±2,40 29,79±3,89

Rataan nilai Mean Corpuscular Volume (MCV) yaitu 29,79±3,89 fl. Menurut

Soeharsono (2010) MCV normal untuk domba adalan 25-35 fl. MCV pada domba

penelitian berada di dalam kisaran normal untuk domba sehingga dikategorikan

anemia normositik. Pada anemia normositik sel darah merah berukuran normal.

Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) digunakan untuk

mengukur konsentrasi rata-rata hemoglobin dalam sel darah merah. Ukuran ini dapat

dihitung dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit dikalikan 100. Sel darah

merah dengan konsentrasi hemoglobin yang normal disebut normokromik dan sel

darah merah dengan konsentrasi hemoglobin yang rendah disebut anemia

hipokromik. Data Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) dari darah

domba garut penelitian disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Nila Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC)

Jenis Kelamin Pencukuran Rataan

Cukur Tidak cukur

--- % ---

Jantan 38,24±2,76 39,11±1,86 38,67±2,16

Betina 39,00±0,62 37,50±1,09 38,25±1,14

Rataan 38,62±1,84 38,31±1,63 38,46±1,66

Rataan nilai Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) yaitu

38,46%±1,66%. Menurut Soeharsono (2010) MCHC normal untuk domba adalah

33% - 43%. MCHC pada domba garut penelitian berada di dalam kisaran normal

untuk domba sehingga dikategorikan anemia normokromik. Berdasarkan nilai MCV

(38)

normositik-normokromik. Anemia normositik-normokromik berarti suatu keadaan

dengan jumlah sel darah merah di bawah normal, tetapi sel darah merah tersebut

memiliki ukuran normal dan konsentrasi hemoglobin yang terkandung di dalam sel

darah merah juga normal.

Sel darah putih atau leukosit berbeda dengan eritrosit, karena adanya nukleus

dan memiliki kemampuan gerak yang independen. Menurut Smith dan

Mangkoewidjojo (1988) jumlah normal leukosit dalam darah domba yaitu 4-12

ribu/mm3. Hasil yang diperoleh pada pengamatan terhadap leukosit dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Butir Darah Putih (BDP) pada Domba Garut

Jenis Kelamin Pencukuran Rataan

Cukur Tidak cukur

--- Ribu/mm3---

Jantan 12,45±1,95 11,20±0,51 11,83±1,45

Betina 12,28±3,15 10,72±0,23 11,50±2,17

Rataan 12,37±2,34 10,96±0,44 11,66±1,77

Berdasarkan analisis ragam tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap

jumlah leukosit antar perlakuan. Rataan jumlah leukosit pada domba garut yaitu

11,66±1,77 ribu/mm3, berada pada kisaran normal. Sel-sel darah putih yang ada dalam aliran darah sebagian besar bersifat nonfungsional dan hanya diangkut ke

jaringan ketika dan dimana dibutuhkan saja (Frandson, 1992). Manfaat dari sel darah

putih ialah sebagian besar ditransfor secara khusus ke darah yang terinfeksi dan

mengalami peradangan (Guyton, 1997).

Leukosit digolongkan menjadi Granulosit dan Agranulosit. Granulosit

mengandung granula di dalam sitoplasma. Netrofil merupakan salah satu golongan

granulosit. Netrofil mengandung granula yang merupakan jajaran pertama untuk

sistem pertahanan melawan infeksi dengan cara migrasi dari pembuluh darah menuju

daerah infeksi, untuk membunuh bakteri sebagai respon terhadap infeksi tersebut dan

membersihkan sisa jaringan yang rusak. Berikut adalah hasil pengamatan netrofil

(39)

Tabel 13. Rataan Netrofil (N) pada Domba Garut

Jenis Kelamin Pencukuran Rataan

Cukur Tidak cukur

--- % ---

Jantan 43,67±5,13 35,67±7,02 39,67±7,03a

Betina 30,00±10,44 19,33±11,93 24,67±11,60 b

Rataan 36,83±10,50 29,33±10,21 33,08±10,62

Keterangan:Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0,05).

Berdasarkan analisis ragam, jenis kelamin berpengaruh nyata (P<0,05)

terhadap netrofil. Nilai netrofil jantan (39,67%±7,03%) lebih tinggi dibandingkan

dengan betina (24,67%±11,60%). Jumlah netrofil di dalam darah meningkat cepat

apabila terjadi infeksi yang akut. Jumlah netrofil dari jantan dan betina berada pada

kisaran normal. Begitu juga dengan ternak yang dicukur maupun tidak dicukur

berada pada kisaran normal. Jumlah netrofil pada domba yaitu 17,5%-50,0% (Smith

dan Mangkoewidjojo, 1988).

Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), menyatakan bahwa jumlah

limfosit normal untuk domba daerah tropis yaitu 50%-75%. Fungsi utama limfosit

adalah responnya terhadap antigen (benda-benda asing) dengan membentuk antibodi

yang bersirkulasi di dalam darah atau dalam pengembangan imunitas (kekebalan)

seluler (Frandson, 1992). Berdasarkan hasil pengamatan tidak terdapat perbedaan

nyata terhadap jumlah limfosit dari pengaruh jenis kelamin maupun pencukuran.

Rataan jumlah limfosit darah domba yaitu 50,17%±16,00% berada pada kisaran

normal. Rataan hasil pengamatan limfosit darah domba garut disajikan pada Tabel

14.

Tabel 14. Limfosit (L) pada Domba Garut

Jenis Kelamin Pencukuran Rataan

Cukur Tidak cukur

--- % ---

Jantan 41,67±10,69 56,00±8,72 48,83±11,74

Betina 60,67±17,10 68,33±9,29 64,50±13,00

(40)

Perubahan dari rasio netrofil / limfosit merupakan indikator untuk menilai

respon individu terhadap perubahan lingkungan (Maheswari, 2008). Pada siang hari

aktivitas mikroba di padang penggembalaan akan meningkat, sehingga pada saat

domba digembalakan mikroba akan mudah masuk ke dalam tubuh domba. Di dalam

tubuh, netrofil yang berperan sebagai sistem pertahanan melawan infeksi dengan cara

migrasi dari pembuluh darah menuju daerah infeksi untuk membunuh bakteri akan

meningkat pula. Akan tetapi peran limfosit yang memiliki fungsi utama dapat

membentuk antibodi akan mempertahankan jumlahnya.

Maxwell (1983) melaporkan cekaman iklim dan lingkungan seperti

transportasi dan panas menghasilkan perbandingan netrofil dan limfosit yang

meningkat karena adanya cekaman fisiologis. Rataan rasio netrofil/limfosit darah

domba garut disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15. Rataan Nilai Rasio Netrofil / Limfosit

Jenis Kelamin Pencukuran Rataan

Cukur Tidak cukur

Jantan 1,11±0,35 0,66±0,24 0,88±0,36a

Betina 0,57±0,40 0,29±0,20 0,43±0,32b

Rataan 0,84±0,45 0,62±0,18 0,66±0,40

Keterangan:Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0,05).

Berdasarkan hasil analisi ragam, jenis kelamin berpengaruh nyata (P<0,05)

terhadap rasio netrofil/limfosit. Nilai rasio netrofil/limfosit jantan (0,88±0,36) lebih

tinggi dibandingkan dengan betina (0,43±0,32). Hal ini disebabkan jumlah netrofil

jantan yang lebih banyak dibandingkan dengan betina. Selain itu jumlah limfosit

jantan lebih sedikit dibandingkan dengan betina. Jumlah netrofil berbanding terbalik

dengan jumlah limfosit.

Nilai rasio netrofil/limfosit domba adalah 0,5 menurut Schalm (2010). Rataan

nilai rasio netrofil/limfosit pada jantan berada diatas kisaran normal, hal ini

diindikasikan ternak mengalami cekaman panas. Pada betina nilai rasio

netrofil/limfosit berada pada kisaran normal sehingga dapat dikatakan betina masih

(41)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Domba garut yang dipelihara secara semi intensif di peternakan PT

Indocement dengan perlakuan pencukuran memiliki respon fisiologis yang lebih baik

dibandingkan dengan yang tidak diberi perlakuan pencukuran, baik dari suhu tubuh,

denyut jantung dan respirasi. Berdasarkan rasio netrofil/limfosit, ternak jantan

memiliki rasio lebih tinggi (0,88±0,36) dibandingkan dengan betina (0,43±0,32), hal

ini dapat mengindikasikan bahwa ternak jantan kurang tahan terhadap cekaman

panas dibandingkan dengan betina pada suhu 32 0C dan kelembaban 53% disiang hari.

Saran

Daerah tropis dengan suhu lingkungan terendah 25,06 ± 2.27 0C dan suhu

tertinggi 40,25 ± 5,02 0C dengan kelembaban terendah 32,88%±11,61% dan tertinggi 81,63%±12,70%, disarankan untuk melakukan pencukuran karena domba garut yang

dicukur mempunyai kecenderungan yang lebih baik yaitu dapat mengurangi cekaman

panas. Selain itu penggembalaan ternak sebaiknya dilakukan pada pagi hari agar

ternak tidak mengalami cekaman panas. Perbaikan manajemen pemberian pakan juga

perlu diperhatikan yaitu dengan meningkatkan kualitas pakan serta pemberian pupuk

(42)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan

karunianya maka Penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini.

Penelitian ini ditujukan untuk menggali informasi yang berkaitan dengan fisiologi

domba garut yang diharapkan dapat bermanfaat bagi peternakan domba.

Penelitian dan skripsi ini dapat terselesaikan atas bimbingan dan pengarahan

dari komisi pembimbing. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Sri Rahayu

M.Si selaku pembimbing utama, Prof. Dr.Ir. Dewi Apri Astuti, M.S selaku

pembimbing anggota, atas bimbingan dan motivasi yang diberikan selama kegiatan

penelitian dan penulisan skripsi ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ahmad Yani, S.TP.M.Si sebagai

pembimbing akademik, Ir. Lucia Cyrilla, M.Si sebagai panitia sidang, M. Baihaqi

Spt, MSc dan Ir Lilis Katdijah M.Si sebagai penguji sidang atas semua arahan,

masukan, dan saran selama ujian sidang. Kepada Pak Subhan, S.Pt serta pekerja

kandang yang telah membantu saat pelaksanaan penelitian.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

Bapak, Ibu, serta Kakak-kakak yang selalu memberikan motivasi dan doa serta

dukungan baik moril maupun material kepada Penulis. Tidak lupa kepada

keponakan-keponakan yang senantiasa selalu menghibur.

Ucapan terima kasih juga Penulis sampaikan kepada Reiza Rizki atas semua

doa, dukungan, pengorbanan, kesabaran dan perhatian yang diberikan kepada

penulis. Kepada teman satu tim penelitian (Aan dan Maya) atas semua bantuannya,

kepada teman-teman (Sari, Neng Depi, Dewi, Diny, Rofika, dan Annisa Oktavia),

teman-teman satu kost (Herti, Millah, Fuji, Yunita, Eka, Kenyo, Emil dan Titi), serta

semua teman-teman IPTP 44 yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas

bantuannya sehingga penelitian dan penulisan skripsi ini dapat dijalankan dengan

baik.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembacanya.

Bogor, Juni 2011

Gambar

Tabel 1. Rataan Suhu dan Kelembaban Udara
Tabel 2. Rataan Konsumsi Bahan Kering (BK) pada Domba Garut
Tabel 4. Rataan Suhu Tubuh Pagi, Siang dan Sore Hari pada Domba Garut
Tabel 5. Rataan Denyut Jantung Pagi, Siang dan Sore Hari pada Domba Garut
+7

Referensi

Dokumen terkait

/aktor ek&amp;terna# !enyangkut keterbata&amp;an ekono!i ke#uarga &amp;e&#34;ingga uang yang ter&amp;eia tiak %ukup untuk !e!be#i keterbata&amp;an ekono!i ke#uarga

Berdasarkan observasi pada bulan Juni 2016 yang dilakukan oleh guru disekolah SMK Negeri 1 Laguboti, jurusan tata busana pada mata pelajaran produktif (pembuatan

Undang-Undang Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Lembaran Negara

Dalam makalah ini, Principal Component Analysis (PCA) dilakukan pada sejumlah variabel lingkungan untuk membuat indeks lingkungan yang bisa dimasukkan ke dalam

Oleh yang demikian, penggunaan etanol dalam industri pembuatan makanan dan minuman untuk tujuan mempercepatkan proses pertumbuhan makanan atau minuman (seperti ragi)

Dari beberapa pengertian Qard{ diatas, dapat disimpulkan bahwa Qard{ adalah memberikan harta kepada orang lain (dalam hal ini yang dimaksud memberikan harta ialah menghutangkan

Temuan utama dari penelitian ini bahwa adaptasi konsep film kartun 1930-an dalam gim Cuphead oleh studio MDHR sudah sesuai dengan konsep yang diambil, dapat dilihat dari tiap

Menurut penelitian Sear, dkk (1944) rancangan bangunan asrama sendiri berpengaruh pada penghuni di dalamnya. Misalnya: asrama berlorong panjang dengan asrama terpusat, dimana