KAJIAN PENGEMBANGAN SENTRA MARKISA
DI KABUPATEN GOWA
YENNI FIQHIANY HAMTY
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul
Kajian Pengembangan Sentra Markisa Di Kabupaten Gowa adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2013
Yenni Fiqhiany Hamty F351100071
RINGKASAN
YENNI FIQHIANY HAMTY. Kajian Pengembangan Sentra Markisa Di Kabupaten Gowa. Dibimbing oleh SUKARDI dan LIEN HERLINA.
Markisa ungu (Passiflora edulis f. edulis) merupakan salah satu komoditi unggulan di Kabupaten Gowa, dengan cita rasa asam khas dan kandungan vitamin C tinggi. Sebagai daerah penghasil markisa, buah markisa tersebar di beberapa Kecamatan yaitu Tompo‟bulu, Tombolo‟pao, Tinggi mocong, Parigi dan Bontolempangan. Sebagai sentra markisa, Kabupaten Gowa menyuplai markisa ke industri besar di Makassar dan sekitarnya dan melakukan pengolahan. Tetapi pengolahan produk yang dilakukan berdaya saing rendah disebabkan kurangnya nilai tambah produk, aneka produk olahan yang kurang, desain produk yang kurang menarik, dan lemahnya akses pasar. Selain itu, pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perkembangan agroindustri markisa belum menunjukkan aktivitas terpadu terhadap pengembangan dari hulu kehilir. Rendahnya daya saing agroindustri markisa di Kabupaten Gowa, menjadikan masyarakat setempat sebagai pembudidaya dan penyuplai bagai industri markisa di wilayah lainnya dan tidak mendapatkan nilai tambah lebih. Hal ini juga menjadikan Kabupaten Gowa sebagai sentra markisa tidak di kenal di pasaran.
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh strategi pengembangan sentra industri markisa di Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan, yang menyatukan pelaku-pelaku dalam satu rangkaian aktivitas sentra industri markisa yang mampu menciptakan menciptakan nilai tambah, terjadi peningkatan daya saing yang memberikan dampak terhadap peningkatan perekonomian masyarakat setempat.
Penelitian ini sengaja dilakukan di Kabupaten Gowa berdasarkan kriteria tertentu. Dengan metode untuk mendapatkan informasi yang di butuhkan dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara mendalam, observasi dan data sekunder. Data yang diperoleh dari pelaku agroindustri markisa di Kabupaten Gowa, dianalisis menggunakan analisis rantai nilai secara kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui pelaku yang terlibat dan keterkaitannya serta kebutuhan pelaku sentra markisa. Diamon Porter digunakan untuk menganalisis daya saing yang dimiliki sentra markisa Kabupaten Gowa. Selanjutnya dilakukan analisis internal dan eksternal yang akan digunakan untuk merumuskan strategi pengembangan menggunakan analisis SWOT.
vi
Strategi pengembangan sentra untuk meningkatan daya saing dapat dilakukan dengan adanya kerjasama antara sentra di Kabupaten Gowa. Seperti: Kabupaten Parigi dan Bontolempangan sebagai sentra budidaya terbasar di Gowa
menjadi penyuplai bahan baku markisa ke Tombolo‟pao, dan Tinggi‟mocong,
sehingga proses produksi aneka produk olahan markisa di sentra ini dapat berlangsung secara kontinu. Adanya kerjasama antara sentra markisa di Gowa, mengurangi tekanan dari pihak luar (pesaing), sehingga nilai tambah diperoleh oleh pelaku sentra markisa Kabupaten Gowa. Strategi lainnya yang dapat dilakukan adalah mengurangi penjualan kepada industri diluar sentra dan pemanfaatan teknologi untuk peningkatan nilai tambah dengan melakukan pengembangan aneka produk turunan markisa serta penggunaan brand yang sama untuk setiap produk yang dihasilkan
SUMMARY
Passion fruit (Passiflora edulis f. edulis) is one of the best commodities in Gowa. As a regional producer of passion fruit, which spread it in more region in
Gowa such as Tompo‟ bulu, Tompo‟ pao, Tinggi moncong, Parigi and
Bontolempangan, Gowa regency supplies passion fruit to major industries in Makassar and processing it. However, The manufacturing products which is done have a low competitiveness due to the lack of additional value of products, unvariety products, unattractive product designs, and market access. In addition, the stakeholders who concerned with passion fruit agro-industry development
don‟t shown an integrate activity for development of the upstream to downstream.
The low competitiveness of passion fruit in Gowa made the local society as suppliers and farmers of passion fruit in order areas and it gives no more advantages. It is also made Gowa regency as a passion fruit center not be known in markets.
This study aim was to get the development strategy of passion fruit center in Gowa regency, South Sulawesi which joint the actors in a series of activity of passion fruit center which could make the additional value. Occurred the increase of competitiveness which gives effect for the economic increase of local society.
The study was done in Gowa regency based on specific criteria which used in-depth interview methods, observations and secondary data to get the information which was needed in this study. The data, which was obtained from the actors of passion fruit agro-industry in Gowa regency, was analyzed used the qualitative chain-value analysis which to identify the actors who was involved, their connections, and the needs of the actors of passion fruit center. Diamon Porter was used to analyze the competitiveness which had by the passion fruit center in Gowa regency. Furthermore, Internal and external analysis was done which will use to formulate the development strategies by using SWOT analysis.
The result showed that not all of passion fruit center in Gowa regency had interaction of the upstream to downstream and had SMEs passion fruit processors which were strongly influenced by availability of raw materials, the ability of society to process and utilize the potential of area which had it and the
government‟s role. For developing of passion fruit to compete, so the activity was
focused on integration of the upstream to downstream of the agro-industry chain-value of passion fruit in each passion fruit center. It focused on increased profit of actors especially for the farmer and processors of passion fruit. Increasing human source creativity, so it could compete with the other businesses.
viii
industry center and utilization of technology for increasing additional value by developing various derivat product of passion fruit, and also using the same brand
for each product which was produced.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
KAJIAN PENGEMBANGAN SENTRA MARKISA
DI KABUPATEN GOWA
YENNI FIQHIANY HAMTY
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
xii
Judul Tesis : Kajian Pengembangan Sentra Markisa di Kabupaten Gowa. Nama : Yenni Fiqhiany Hamty
NIM : F351100071
Disetujui Oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Sukardi, MM Ketua
Ir Lien Herlina, MSc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dr Ir Machfud, MS
Tanggal Ujian: 04 Juni
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
PRAKATA
Alhamdulillah, Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penelitian dengan judul Rancangan Pembentukan Klaster Industri Markisa di Kabupaten Gowa dapat dirampungkan.
Penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Dr Ir Sukardi, MM dan Ibu Ir Lien Herlina, MSc selaku pembimbing, Bapak Dr Ono Suparno, STP MSi selaku penguji luar komisi dan Bapak Dr Eng Taufik Djatna, STP MSi atas motivasi, arahan dan bimbingan hingga penyelesaian tesis ini
2. Segenap dosen pengajar, asisten dan staf Teknologi Industri Pertanian IPB.
3. Teman-teman Teknologi Industri Pertanian 2010 dan Pasca IPB serta semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam menyelesaiakan tesis ini.
Terima kasih yang istimewa kepada kedua orang tua Hamzah Tjaehe dan Ummiati Sirajuddin yang telah menyekolahkan hingga saat ini, serta seluruh keluarga atas doa dan dukungan yang diberikan selama ini.
Penulis menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang luput dari kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, saran dan kritik dari pembaca sangat penulis harapkan untuk perbaikan selanjutnya. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Bogor, Juli 2013
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI x
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR TABEL xi
1. PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 2
Permasalahan 2
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian 3
2. TINJAUAN PUSTAKA 5
Konsep Daya Saing 5
Konsep Pengembangan Daya Saing 6
Rantai Nilai 7
Evaluasi Eksternal 9
Evaluasi Internal 10
Matriks Internal - Eksternal 10
Penelitian Terdahulu 11
3. METODOLOGI PENELITIAN 13
Kerangka Penelitian 13
Lokasi dan Waktu Penelitian 14
Data dan Sumber data 14
Metode Pengumpulan Data 14
Metode Analisis Data 16
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 23
Gambaran Umum Lokasi Penelitian 23
Karakteristik Responden 27
Kondisi Sentra Markisa Kabupaten Gowa 29
Faktor Berpengaruh pada Pengembangan Sentra 34
Analisis Aktivitas dan Pelaku Agroindustri Markisa 37 Analisis Daya Saing Sentra Markisa dengan Pendekatan
Diamond Porter 43
Kondisi Sentra Markisa Gowa Berdsarkan Model Diamond Porter 48 Strategi Pengembangan Sentra Markisa di Kabupaten Gowa 50
5 SIMPULAN DAN SARAN 57
Simpulan 57
Saran 57
DAFTAR GAMBAR
1. Dimond Model (Dong Sun, 2005 6
2. Porter’s Diamond Framework (Kincaid, 2005) 18
3. PDRB atas Dasar Harga Berlaku (BPPS Kab Gowa, 2010) 26
4. Proses Pengolah Markisa 31
5. Peyimpanan Markisa Sebelum Pengolahan 31
6. Pulp dan Sari Markisa 32
7. Faktor Pendukung Pengembangan Sentra Markisa di Gowa 35 8. Aktivitas Pelaku yang Terlibat dalam Rantai Pasokan Proses Produksi
Pengolahan Markisa Di Kabupaten Gowa 38
9. Hubungan dan Keterkaitan Pelaku dalam Proses Produksi Markisa 39 10. Aktivitas dan Permasalahan yang Dihadapi Pelaku Inti Agroindustri
Markisa Kabupaten Gowa 40
11. Identifikasi Faktor Daya Saing Berdasarkan Model Diamond Porter 43
12. Pohon Pengembangan Produk Markisa 47
13. Kondisi Agroindsutri Markisa di Kabupaten Gowa 49 14. Matriks Internal Eksternal Sentra Markisa Kabupaten Gowa 52
DAFTAR TABEL
1. Data dan Sumber Data Penelitian 14
2. Skala Likert dan Bobot Nilai Jawaban Responden 15
3. Penentuan Bobot Faktor Eksternal 19
4. Penentuan Rating Faktor Eksternal 19
5. Ilustrasi Matriks EFE 20
6. Matriks Exernal Factor Evaluation (EFE) 20
7. Matrik SWOT 22
8. Sebaran Responden Menurut Usia Pekerja 28
9. Sebaran Responden Menurut Tingkat Pendidikan 28 10. Penggunaan Bahan Baku dalam Pengolahan Markisa Menjadi Sirup
Markisa yang Dilakukan Oleh Ukm Pengolah Kabupaten Gowa 30
11. Daftar Kebutuhan Pelaku yang Teribat 42
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Markisa ungu(Passiflora edulis f. edulis) merupakan salah satu komoditi unggulan di Kabupaten Gowa, dengan cita rasa asam khas dan kandungan vitamin C tinggi. Markisa di Kabupaten Gowa tersebar di beberapa Kecamatan, dengan luas areal budidaya sebesar 1.667,15 Ha, potensi lahan sebesar 4.341 Ha, dan peluang pengembangan tanaman markisa sebesar 2.673,86 Ha (Basamalah, 2004).Jumlah produksi sebanyak 2969 Ton. Tahun 2010 luas panen sebanyak 29.5 Ha dan jumlah produksi sebanyak 922 Ton tahun 2009 hingga 2007 luas panen sebanyak 12,965 Ha dan jumlah produksi sebanyak 519 Ton, dan tahun 2006 luas (Dinas Pertanian Kabupaten Gowa, 2012). Terjadinya peningkatan produksi setiap tahunnya dikarenakan adanya permintaan produk diluar pasaran dan mengembangan pasar ke daerah sekitar.
Besarnya potensi pengembangan markisa di Kabupaten Gowa, dimanfaatkan masyarakat untuk meningkatkan pendapatan dengan mengolah markisa menjadi sirup, sari dan pulp. Sari dan pulp dijual sebagai bahan baku industri besar yang ada di Sulawesi Selatan,sedangkan sirup markisa dijual untuk memenuhi permintaan masyarakat setempat dan konsumen didaerah sekitarnya. Usaha perkembangan produk markisa terus dilakukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, namun produk yang dihasilkan memiliki daya saing yang rendah, ditandai dengan rendahnya inovasi dan keaneka ragaman produk.
Pengembangan potensi daerah berdasarkan komoditi unggulan yang dimiliki setiap daerah untuk mencapai kesejahteraan bagi masyarakatnya diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU Nomor 32 tahun 2004. Undang-undang tersebut menegaskan bahwa pemerintah pusat memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah untuk mengembangkan semaksimal mungkin potensi wilayah yang dimilikinya. Kebijakan ini diperkuat dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2001 yang mengatur kewenangan setiap Kabupaten/kota untuk menjalankan rumah tangganya sendiri, yang kemudian diatur dengan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional Tanggal 7 Mei 2008. Peraturan tersebut menetapkan industri prioritas untuk pengembangan klaster industri, salah satunya adalah industri berbasis agro.
berbasis markisa masih sangat kurang, 5) Pengembangan industri markisa memiliki keterkaitan dengan sektor pertanian, perkebunan, perindustrian, perbankan, pengembangan daerah, koperasi dan usaha mikro, dan beberapa sektor lainnya.
Dengan pengembangan sentra industri markisa di Kabupaten Gowa diharapkan terjadi kesinambungan usaha dari hulu ke hilir, mengoptimalkan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia setempat, peningkatan produktifitas dan nilai tambah bagi UKM (Usaha Kecil Mikro), serta memperluas kesempatan kerja dan terjadi peningkatan perekonomian dan pendapatan daerah setempat. Melihat permasalahan, potensi dan peluang pengembangan sentra UKM markisa di Kabupaten Gowa, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui strategi yang tepat dalam penciptaan sentra UKM markisa untuk pengembangan UKM markisa yang ada diKabupaten Gowa.
Permasalahan
Kabupaten Gowa sebagai sentra markisa di Sulawesi Selatan tersebar
dibeberapa kecamatan yaitu Tompo‟bulu, Tombolo‟pao, Tinggi mocong, Parigi
dan Bontolempangan. Sebagai sentra markisa, Kabupaten Gowa menyuplai markisa ke industri besar di Makassar dan sekitarnya dan melakukan pengolahan. Pengolahan produk yang dilakukan berdaya saing rendah disebabkan kurangnya nilai tambah produk, kurangnya aneka produk olahan, desain produk yang kurang menarik, dan lemahnya akses pasar. Selain itu, pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perkembangan agroindustri markisa belum menunjukkan aktivitas terpadu terhadap pengembangan dari hulu ke hilir.
Rendahnya daya saing agroindustri markisa di Kabupaten Gowa, menjadikan masyarakat setempat sebagai pembudidaya dan penyuplai bagi industri markisa di wilayah lain dan tidak mendapatkan nilai tambah lebih. Hal ini juga menjadikan Kabupaten Gowa sebagai sentra markisa tidak di kenal di pasaran.
Permasalahan yang dihadapi UKM markisa Kabupaten Gowa dalam pengembangan komoditas markisa adalah UKM sering kali tidak sanggup menangkap peluang pasar yang membutuhkan volume produksi yang besar. Penyebab lainnya adalah UKM tidak dapat memenuhi standar produk yang homogen dan kontinyuitas produk, sistem manajemen yang tidak efisien, dan keterbatasan teknologi serta SDM.
Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini adalah perumusan strategi pengembangan sentra industri markisa di Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan. Adapun tujuan spesifik penelitian ini adalah:
1. Menganalisisfaktor pengembangan sentramarkisadi Kabupaten Gowa 2. Merumuskan strategi pengembangan sentra markisa di Kabupaten Gowa
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan masukan terhadap UKM Markisa Kabupaten Gowa untuk pengembangan produk dan diversifikasi produk serta pengembangkan pemasarannya
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Daya Saing
Daya saing dapat dibedakan dalam berbagai tingkatan. Daya saing nasional mengacu kepada kemampuan suatu negara untuk memasarkan produk yang dihasilkan negara itu relatif terhadap kemampuan negara lain. Sedangkan daya saing daerah mempunyai arti yang sama dengan daya saing nasional, namun pada skala daerah. Suatu daerah yang mampu bersaing dengan daerah lain dalam memproduksi dan memasarkan barang dan jasanya disebut mempunyai daya saing tinggi. Adapula daya saing perusahaan, yaitu kemampuan suatu perusahaan untuk menghasilkan suatu produk yang diminati konsumen relatif terhadap perusahaan lain. Bedanya diantara ketiga daya saing tersebut, daya saing nasional ditentukan oleh daya saing di daerah-daerah yang ada di negara tersebut, daya saing daerah ditentukan oleh daya saing perusahaan-perusahaan yang ada di daerah tersebut, sedangkan daya saing perusahaan ditentukan oleh tingkat produktivitas perusahaan itu.
Menurut Tyson dalam Cho (2003) daya saing adalah kemampuan untuk memproduksi barang dan jasa yang memenuhi uji persaingan internasional sementara para warga negara menikmati standar berkesinambungan. Porter (1994) mengemukakan bahwa secara nasional daya saing dipandang sebagai suatu fenomena makroekonomi yang berkaitan dengan peubah tingkat kurs, tingkat bunga dan defisit pemerintah. Jika daya saing diarahkan dengan kebijakan pemerintah (pentargetan, proteksi, promosi impor dan subsidi) akan mendorong suatu industri ke dalam keunggulan global. Daya saing suatu negara merupakan derajat negara tersebut dalam kondisi pasar yang bebas dan adil dapat memproduksi barang dan jasa yang memenuhi uji pasar internasional secara simultan meningkatkan pendapatan riil warga negaranya.Daya Saing tingkat nasional didasarkan pada kinerja produktivitas yang superior (Handayani 2007)
Ada dua prasyarat untuk teoridaya saing yang baik, yaitu teori harus cukup komprehensif untuk menangkap lebih dari satu variabel, seperti sumber daya alam, tenaga kerja, menjelaskan kompleksitas yang terus meningkat dari dunia nyata. Kedua, teori harus cukup dinamis untuk menjelaskan sifat perubahan daya saing nasional, yang tidak dapat dijelaskan baik oleh teori-teori klasik seperti keunggulan absolut dan prinsip keuntungan. Teori Porter Model berlian telah memenuhi kedua prasyarat tersebut, model ini terdiri dari empat variabel komperhensif yaitu faktor kondisi, adanya permintaan, industri terkait dan industri pendukung, adanya strategi dan adanya bisnis (Dong Sun, 2005) Sebagaimana pada Gambar 1.
semakin besar peluang permintaan maka industri akan semakin berupaya untuk meningkatkan kualitias produk atau melakukan inovasi untuk memenuhi keinginan pelanggan.
Demand Condition Factor Condition
Goverment Chance Firm Strategi, Structure and Rivalry
Related and Supporting Industries
Gambar 1 Dimond Model (Dong, 2005)
Related and supporting industry merupakan industri pendukung dan terkait akan meningkatkan efisiensi dan sinergi dalam klaster. Sinergi dapat tercipta dalam biaya transaksi, teknologi, informasi maupun skill yang dapat dimanfaatkan oleh industri atau perusahaan lainnya. Firm strategy, structure, and rivalary. Strategi perusahaan dan pesaing akan memotivasi perusahaan atau industri untuk selalu meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan. Dengan adanya persaingan antar perusahaan, perusahaan terus menerus mencari inovasi baru dalam peningkatan kualitas dan efisiensi produk.
Pemerintah dan perubahan ditambahkan kedalam sistem diamond Porter‟s,
dimana pemerintah memegang peranan penting dalam perkembangan dan pertumbuhan suatu bisnis, dimana pemerintah mengeluarkan standar produk dan peraturan-peraturan serta efek regulasi kondisi permintaan. Peluang ditambahkan untuk menjadi masukan bagi industri dalam pengembangan inovasi, dimana konsumen dan lingkuangan bisnis terus berubah seiring dengan perkembangan zaman (Eric, 2009)
Konsep Pengembangan Agroindustri
proses agroindustri merupakan upaya: 1) untuk meningkatkan nilai tambah produk, 2) menghasilkan produk yang dapat dipasarkan, dapat digunakan atau dapat dimakan, 3) meningkatkan daya simpan, 4) menambah pendapatan dan keuntungan bagi produsen (petani).
Dengan adanya proses pengolahan hasil pertanian (agroindustri) diharapkan dapat meningkatkan daya saing dibidang industri terutama pada produk-produk yang menjadi komoditas unggulan suatu daerah. Selain itu diharapkan dapat menimbulkan multiplier efek dari pengembangan agroindustri meliputi semua industri dari hulu sampai pada industri hilir. Karakteristik dari agroindustri yang memiliki kelebihan dibandingkan dengan industri lainnya, antara lain: (a) memiliki keterkaitan yang kuat baik dariindustri hulunya sampai ke industri hilirnya, (b) menggunakan sumber daya alam yang ada (lokal) dan dapat diperbaharui, (c) mampu memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif baik di pasar internasional maupun di pasar domestik, (d) dapat menampung tenaga kerja dalam jumlah besar, (e) produk agroindustri pada umumnya bersifat cukup elastis sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat yangberdampak semakin luasnya pasar khususnya pasar domestik.
Produk agroindustri dengan komoditas unggulan dalam pengembangannya agar dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan mempunyai kriteria-kriteria antaralain: a) bahan baku, b) pohon industri dengan pemanfaatannya, c) kondisi agroindustri dan komoditas pertanian saat ini, d) peluang pasar, e) teknologi yang digunakan, f) penyebaran tenaga kerja, g) dampak ganda terhadap produk lain, h) dampak lingkungan, i) kebijakan pemerintah. Dalam pengembangan agroindustri mempunyai konsep yang diorientasikan untuk mewujudkan kondisi dengan karakter : a) Peningkatan nilai tambah pada produk yang dihasilkan; b) Peningkatan produktifitas dan daya saing; c) Penguatan kapasitas dan kemampuan dari pelaku agoindustri; d) Penguatan keterkaitan struktural secara internal dan lintas sektoral; e) Kebijakan makro dan mikro ekonomi yang mendukung.
Rantai Nilai
Istilah rantai nilai mengacu pada serangkaian kegiatan yang diperlukan untuk menghadirkan suatu produk (barang atau jasa) dimulai dari tahap konseptual, dilanjutkan dengan beberapa tahap produksi, hingga pengiriman ke konsumen akhir dan pemusnahan setelah penggunaannya (Kaplinsky 1999; Kaplinsky dan Morris 2001). Rantai nilai terbentuk ketika semua pelaku dalam rantai tersebut bekerja sedemikian rupa sehingga memaksimalkan terbentuknya nilai sepanjang rantai tersebut. Istilah pelaku mengacu pada pihak yang memiliki peran dalam rantai nilai misalnya; petani, pedagang, pemasok, pembeli. Selain itu pelaku, terkadang terlibat dalam beberapa aktifitas pada satu proses produksi. Definisi mengenai rantai nilai dapat ditafsirkan secara sempit maupun luas.
dan perancangan, proses diperolehnya input/sarana produksi, proses produksi, kegiatan pemasaran dan distribusi, serta kinerja layanan purna jual. Seluruh kegiatan tersebut membentuk „rantai‟ yang menghubungkan produsen dan
konsumen, dan tiap kegiatan menambahkan „nilai‟ pada produk akhir
(ACIAR, 2012)
Definisi rantai nilai berdasarkan pendekatan yang luas melihat berbagai kegiatan kompleks yang dilakukan oleh berbagai pelaku (produsen utama, pengolah, pedagang, penyedia jasa) untuk membawa bahan baku melalui suatu rantai/aktivitas hingga menjadi produk akhir yang dijual. Rantai nilai yang „luas‟ ini dimulai dari sistem produksi bahan baku yang akan terus terkait dengan kegiatan usaha lainnya dalam perdagangan, perakitan, pengolahan, dan lain-lain. Kegiatan ini mencakup serangkaian kegiatan dan aktivitas dan semua hubungan, baik yang bergerak maju ataupun mundur, sampai ketika bahan baku produksi tersebut akhirnya terhubung dengan konsumen akhir.
Analisis rantai nilai bukanlah suatu proses linier namun sebaiknya berupaya menangkap dinamika dan fleksibilitas yang terdapat dalam rantai nilai. Pemilihan alat analisis yang akan digunakan dalam menganalisa rantai nilai tergantung pada ruang lingkup dan tujuan analisis itu sendiri, seringkali akan terbentur pada keterbatasan waktu atau dana, ataupun kendala lainnya. Suatu alat analisis dapat digunakan secara lebih intensif dibandingkan dengan alat lainnya, tergantung pada kepentingan dan tujuan analisis yang dilakukan, ketersediaan waktu untuk analisis, serta pengalaman penggunaan rantai nilai.
Kaplinsky dan Morris (2001) memberikan penekanan bahwa tidak ada cara
yang “benar” untuk melakukan analisis rantai nilai; alih-alih pendekatan yang diambil pada dasarnya bergantung pada pertanyaan yang diajukan. Namun demikian, terdapat empat aspek analisis rantai nilai di sektor pertanian yang dianggap penting yaitu memetakan para pelaku, mengidentifikasi distribusi manfaat bagi pelaku, mengkaji peran peningkatan (upgrading) dalam rantai nilai yang mencakup mutu, desain produk atau diversifikasi dalam lini produk, mengkaji peran peningkatan dalam rantai nilai yang mengacu pada struktur hubungan, mekanisme koordinasi antara para pelaku dalam rantai nilai.
Tiga aliran penelitian utama dalam literatur rantai nilai yaitu: (i) pendekatan
filière (Duruflé, Fabre et al. 1988), (ii) kerangka konseptual yang diuraikan oleh Porter (1985) dan (iii) pendekatan global yang diusulkan oleh Kaplinsky (1999) dan Gereffi et al (Gereffi 1994; Gereffi dan Korzeniewicz 1994; Gereffi 1999; Gereffi, Humphrey et all. 2003).
(i) Pendekatan filière (Duruflé, Fabre et al. 1988)
Pendekatan „filière‟ (filière berarti untaian atau rantai) mencakup
(ii) Kerangka konseptual yang diuraikan oleh Porter (1985)
Porter mengkaji tentang keunggulan kompetitif. Porter menggunakan kerangka nilai untuk mengkaji bagaimna suatu perusahaan seharusnya memposisikan dirinya dipasaran serta dalam hubungan mereka dengan pemasok, pembeli dan pesaing. Bagaimana suatu kegiatan usaha dapat memberikan konsumen suatu produk atau layanan yang nilainya setera dengan produk atau layanan yang diberikan pesaing namun dengan biaya yang rendah (strategi harga) atau meskipun memiliki harga yang mahal tapi tetap diminati oleh konsumen dan konsumen membayar lebih (strategi diferensiasi). Daya saing suatu usaha dapat dianalisis dengan cara melihat rantai nilai yang mencakup perencanaan produk, pengadaan input/sarana produksi, logistik ekternal, pemasaran, penjualan, purna jual dan layanan pendukung seperti perencanaan strategis, manajemen SDM, dan kegiatan penelitian. Model porter berguna untuk mengidentifikasi kegiatan utama dan kegiaatan pendukung perusahaan yang dijumpai dalam berbagai kegiatan bisnis. Akan tetapi, perlu diingat bahwa dalam kerangka Porter, konsep sistem nilai kebanyakan dianggap sebagai alat untuk membantu pihak manajemen eksekutif mengambil keputusan strategis.
(iii) Pendekatan global yang diusulkan oleh Kaplinsky (1999) dan Gereffi et all
(Gereffi 1994; Gereffi dan Korzeniewicz 1994; Gereffi 1999; Gereffi, Humphrey et all 2003).
Kerangka rantai nilai untuk mengkaji bagaimana perusahaan dan negara dapat terintegrasi secara global, dan untuk mengkaji penentu distribusi pendapatan global. Melalui pemetaan atas serangkaian kegiatan dalam suatu rantai, analisis rantai nilai memilah pendapatan total dari suatu rantai nilai menjadi perolehan yang dicapai oleh berbagai pihak dalam rantai tersebut. Analisis rantai nilai dapat menunjukkan bagaimana perusahaan, daerah, dan negara terhubung pada perekonomian global. Dalam kerangka rantai nilai, hubungan dagang internasional dianggap sebagai bagian dari jaringan produsen, eksportir, importir, dan pengecer, tempat dikembangkannya pengetahuan dan hubungan untuk dapat mencapai akses ke pasar dan ke pemasok.
Evaluasi Eksternal
Perusahaan harus merespon secara agresif atau defensif terhadap faktor dengan memformulasikan strategi yang mengambil keuntungan dari peluang eksternal atau yang meminimalkan pengaruh dari ancaman potensial.
Menurut David (2009), kekuatan eksternal (external forces) dapat dibagi menjadi lima kategori besar: (1) kekuatan ekonomi; (2) kekuatan sosial, budaya, demografi, dan lingkungan; (3) kekuatan politik, pemerintah, dan hukum; (4) kekuatan teknologi; dan (5) kekuatan kompetitif. Perubahan dalam kekuatan eksternal mengakibatkan perubahan dalam permintaan konsumen untuk barang industri dan konsumsi serta jasa. Kekuatan eksternal memengaruhi tipe produk yang dikembangkan, karakteristik dari strategi segmentasi pasar dan
positioning, tipe jasa yang ditawarkan dan pilihan bisnis yang ingin diakuisisi atau dijual.
Evaluasi Internal
Evaluasi internal menekankan pada identifikasi dan evaluasi kekuatan dan kelemahan perusahaan pada area fungsional bisnis, termasuk manajemen, pemasaran, keuangan/akuntansi, produksi/operasi, penelitian dan pengembangan, sistem informasi manajemen. Semua organisasi memiliki kekuatan dan kelemahan dalam area fungsional bisnis. Kekuatan/kelemahan internal, digabungkan dengan peluang/ancaman eksternal dan pernyataan misi yang jelas, menjadi dasar untuk penetapan tujuan dan strategi.
Tujuan dan strategi ditetapkan dengan memanfaatkan kekuatan internal dan mengatasi kelemahan. Kekuatan perusahaan yang tidak dapat dengan mudah disamakan atau ditiru oleh pesaing disebut kompetensi yang unik (distinctive competencies). Menciptakan kompetensi yang unik melibatkan pemanfaatan kompetensi yang unik..
Matriks Internal-Eksternal (I-E)
Matriks I-E menggunakan parameter yang meliputi parameter kekuatan internal dan pengaruh eksternal perusahaan yang masing-masing akan diidentifikasi ke dalam elemen eksternal dan internal melalui matriks Eksternal Factor Evolution (EFE) dan Internal Factor Evolution (IFE). Tujuan penggunaan matriks I-E adalah untuk memperoleh strategi bisnis ditingkat perusahaan yang lebih detail.Penggabungan kedua matriks tersebut menghasilkan matriks Internal-Eksternal (IE) yang menghasilkan sembilan macam sel yang memperlihatkan kombinasi total nilai terboboti dari matriks-matriks IFE dan EFE. Tetapi pada prinsipnya kesembilan sel dapat dikelompokkan menjadi tiga strategi utama yang memiliki implikasi strategi yang berbeda.
mengejar pertumbuhan dalam keuntungan, pangsa pasar dan tujuan primer lain. Strategi intensif (penetrasi pasar, pengembangan pasar dan produk) atau integratif (integrasi ke belakang, ke depan dan horizontal) tepat untuk divisi ini.
Kedua. Stability Strategy, dapat dikelola dengan strategi pertahanan dan pemeliharaan. Divisi ini masuk dalam sel III, V, VII. Dalam hal ini perusahaan menerapkan strategi tanpa mengubah arah strategi yang ditetapkan. Tujuannya relatif defensif, yaitu menghindari kehilangan penjualan dan profit.
Ketiga. Retrenchment Strategy, dapat disebut pula dengan strategi panen atau divestasi. Divisi masuk dalam sel VI, VII atau IX. Pada saat kelangsungan hidup perusahaan terancam dan tidak dapat lagi bersaing secara efektif, seringkali strategi yang menekankan penghematan dibutuhkan.
Penelitian Terdahulu
Suhendar (2009) mengkaji strategi pemasaran ikan asap (smoked fish) di UKM Petikan Cita Halus Citayam - Bogor. Permasalahan yang dihadapi UKM petikan cita halus Citayem - Bogor adalah rendahnya permintaan ikan asap pasar dalam negeri sehingga keuntungan yang didapat jauh dari angka yang diproyeksikan. Tujuannya yaitu merumuskan strategi pemasaran UKM yang tepat sehingga mampu berkembang dan bertahan. Penelitian ini mengkaji strategi fungsional pemasaran yaitu: a) segmentasi dan target pasar; b) posisi produk dipasaran; c) bauran pemasaran (strategi produk, strategi distribusi, promosi; d) analisis penjualan berdasarkan siklus umur produk. Metode yang digunakan adalah deskriptif, dengan alat analisis SWOT dan analisis industry foresight. Hasil analisis strategi pengembangan yang dikembangkan yaitu: mengefisienkan pengeluaran untuk memperoleh keuntungan yang optimal; mengembangkan dan memperbanyak faktor yang dimiliki; menjaga kelangsungan pasokan bahan baku; melakukan kerjasama.
Purnawan (2010), menganalisa industri-industri kecil menengah roti kue tersebut dengan melakukan studi kasus pada industi kecil Elsari Brownies dan Bakery Bogor. Terdapat empat kriteria investasi yang dianalisa yaitu NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return), B/C ratio (Benefit/Cost Ratio) dan
penetrasi pasar berupa memperluas wilayah jaringan pemasaran dengan sasaran utama pada tempattempat yang sudah dikenal sebagai tempat wisata kuliner terpilih dan di daerah wisata di luar Bogor, dengan cara menjalin kerjasama dengan counter yang telah ada di tempat tersebut atau membuka cabang baru. Strategi pengembangan produk yang disarankan adalah memperbanyak produk kue kering/brownies kering.
Taringan (2008) mengkaji strategi pengembangan agroindustri alam melalui pendekatan klaster industri. Penelitian in menghasilkan Kabupaten Wajo sebagai lokasi potensial pengembangan klaster industri sutera dengan industri inti adalah industri penenunan. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Location Quotion (LQk) untuk identifikasi lokasi pengembangan klaster,
Analytical Hierarcy Process (AHP) untuk memelih lokasi pengembangan klaster dan pemilihan industri inti klaster, Independent Preference Evaluation (IPE) untuk mengidentifikasi rantai nilai industri.
Wibowo (2008) mengkaji analisis pembangunan klaster industri furniture dikota Palangkaraya. Analisis dilakukan berdasarkan teori daya saing yang digunakan oleh Porter dan Martin (2000) dan menggunakan LQ (Location Quotion) untuk menganalisa dan menghitung industri yang layak untuk dikembangkan. Penelitian ini menghasilkan industri yang prospektif untuk dikembangkan adalaha barang kayu dan hasil hutan lainnya. Dengan faktor yang mendukung pengembangan klaster adalah adanya dorongan dan bantuan pemerintah Palangkaraya, ketersedian bahan baku rotan yang cukup banyak, dan adanya SMK teknik pertukangan yang melakukan inovasi terhadap rotan yang dihasilkan.
Hendrastuti 2012, mengkaji rancangan bangun model pemberdayaan
masyarakat perdesaan dalam klaster agroindustri minyak atsiri “studi kasus minya
nilam”. Pada penelitiannya, melakukan pemodelan terkait dengan pengambilan
keputusan harga jual, dan sistem rantai pasokan. Serta melakukan pemodelan terhadap sistem kelembagaan masyarakat pedesaan dalam klaster industri minyak nilam di Kuningan dan Brebes. Model pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam klaster agroindustri minyak atsiri dibuat dalam perangkat lunak Sistem Penunjang Keputusan (SPK) PAP-Klaster. Yang terdiri dari: 1) model kelayakan usaha yang memiliki dua sub model yaitu sub model kelayakan usahatani dan sub model kelayakan usaha industri kecil penyulingan; 2) model kesepakatan harga yang memiliki dua sub model yaitu sub model kesepakatan harga usahatani dan sub model kesepakatan harga industri kecil penyulingan; 3) model kinerja usahatani dan industri kecil penyulingan; dan 4) model kelembagaan.
3 METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Markisa merupakan salah satu komoditi unggulan di Kabupaten Gowa, karena mengandung vitamin C tinggi dengan cita rasa asam khas dan penyebarannya di beberapa kecamatan. Sebagai sentra markisa, pengolahan markisa dilakukan oleh masyarakat setempat dengan menyuplai markisa ke industri besar di Makassar dan sekitarnya maupun melakukan pengolahan. Tetapi pengolahan produk yang dilakukan berdaya saing rendah disebabkan kurangnya nilai tambah produk, kurangnya aneka produk olahan, desain produk yang kurang menarik, dan lemahnya akses pasar. Selain itu, pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perkembangan agroindustri markisa belum menunjukkan aktivitas terpadu terhadap pengembangan dari hulu ke hilir.
Rendahnya daya saing agroindustri markisa di Kabupaten Gowa, menjadikan masyarakat setempat sebagai pembudidaya dan penyuplai bagai industri markisa di wilayah lainnya dan tidak mendapatkan nilai tambah lebih, sehingga menjadikan Kabupaten Gowa sebagai sentra markisa tidak di kenal di pasaran.
Pendekatan yang dapat digunakan untuk pengembangan agroindustri markisa di Kabupaten Gowa adalah pendekatan klaster industri, yang menekankan keterkaitan pelaku dan kegiatan dalam agroindustri markisa baik secara vertikal maupun secara horizontal untuk peningkatan daya saing. Hal ini sesuai dengan penelitian Hongbo (2011), yang menyatakan bahwa hubungan industri secara horizontal atau vertikal dengan indsutri atau perusahaan-perusahaan terkait dalam bisnis yang sama dan saling mendukung terjadi pada klaster industri. Dimana keterkaitan vertikal adalah keterkaitan antar industri utama dengan industri pemasok dan penyalur, horizontal keterkaitan antar industri utama dengan industri/institusi terkait yang saling melengkapi dalam teknologi dan pemasaran (Kotler 1997 dalam Taringan, 2008). Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan suatu rancangan klaster industri agar agroindustri markisa di Kabupaten Gowa memilik daya saing yang tinggi dan meningkatkan penghasilan masyarakat setempat.
Lokasi dan waktu Penelitian
Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yang diperoleh dari observasi, kuesioner yang telah disiapkan dengan teknik wawancara langsung kepada petani, pengolah, pedagang markisa serta pemerintah dan akademisi.
Data sekunder diperoleh dari instansi lembaga atau instansi pemerintah, seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian serta berbagai literature dan refrensi relefan yang mendukung penelitian ini. Jenis dan sumber data penelitian selengkapnya pada Tabel 1.
Tabel 1 Data dan Sumber Data Penelitian
Jenis Data Sumber data
1. Karakteristik pelaku agroindustri Kuesioner dan wawancara 2. Proses pengolahan dan jenis produk yang dihasilkan
dan alur produksi produk
Kuesioner dan wawancara 3. Sumber bahan baku dan peralatan yang digunakan Kuesioner dan
wawancara 4. Pihak-pihak yang terlibat dalam agroindustri markisa Kuesioner dan
wawancara 5 Faktor-faktor pengembangan sentra markisa
Metode Pengumpulan Data
Pemilihan lokasi penelitian di Kabupaten Gowa dilakukan secara purposive sampling. Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan pertimbangan bahwa Kabupaten Gowa adalah daerah sentra penghasil markisa terbesar di Sulawesi Selatan dan tersebar di beberapa Kecamatan.
Pengumpulan data primer dilakukan dengan berbagai cara sebagai berikut: - Untuk mengetahui lokasi sentra markisa di Kabupaten Gowa, dilakukan
penelusuran informasi melalui dinas perindustrian dan dinas pertanian Kabupaten Gowa
- Informasi yang diperoleh berupa unit pengolah markisa dan sentra budidaya markisa
- Setelah memperoleh informasi yang dibutuhkan, dilakukan observasi untuk menyesuaikan informasi yang diberikan dengan kondisi lapangan (Pengecekan unit usaha pengolahan markisa)
- Diperoleh bahwa informasi yang diberikan terkait dengan unit pengolahan markisa di Kabupaten Gowa, ada beberapa yang sudah tidak beroperasi. - Data primer dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini, diperoleh
- Siapa saja pelaku-pelaku yang terlibat dalam agroindustri markisa ditanyakan kepada UKM pengolah. Dari informasi yang diberikan diperoleh UKM pengolah lainnya yang melakukan pengolahan markisa di Kabupaten Gowa, petani yang menyuplai markisa dan pedagang yang terlibat dalam proses penjualan produk yang dihasilkan
- Pemilihan petani sebagai responden didasarkan pada informasi terkait besarnya jumlah markisa yang disuplai. Petani yang menyuplai markisa terbesar menjadi sampel untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan - Untuk petani markisa lainnya, dilakukan observasi sebagai pembanding
dengan sampel yang dipilih untuk melihat kesesuaian dan keterkaitan informasi yang diberikan petani yang menjadi sampel
- Pedagang yang dijadikan sampel pada penelitian ini adalah pedagang yang berada di Kabupaten Gowa. Pemilihan pedagang di Kabupaten Gowa dikarenakan akses dan untuk mengetahui pasar dari produk olahan yang dilakukan
- Untuk sampel dari pemerintahan di pilih dari dinas perindustrian, pertanian, dan BAPPEDA
- Pemilihan sampel dilakukan kepada pihak-pihak yang mengetahui tentang agroindustri markisa di Kabupaten Gowa.Demikian halnya dengan pemilihan akademisi
Data primer yang bersumber dari kuesioner tergolong data kualitatif, agar memiliki nilai nominal dilakukan perubahan menjadi data kuantitatif dengan skala likert.Skala Likert yang dikembangkan oleh Rensis Likert serta banyak digunakan dalam riset-riset yang menggunakan metode survei (Istijanto 2005). Skala Likert yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas lima pilihan sikap alternatif, pada Tabel 2.
Tabel 2 Skala Likert dan Bobot Nilai Jawaban Responden
No Jawaban Bobot
Metode Analisis Data
Data primer dan data sekunder yang diperoleh selanjutnya dianalisis dan dijadikan bahan masukan bagi rancangan pembentukan klaster industri markisa di Kabupaten Gowa. Analisis yang dilakukan adalah analisis rantai nilai dan analsis
Diamond Porter. Rincian metode analisis yang dilakukan secara rinci dipaparkan dibawah ini.
Analisis Pelaku dan Kebutuhan Pelaku Sentra Markisa
Untuk mengetahui pelaku yang terlibat dalam sentra markisa di Kabupaten Gowa, dilakukan dengan pendekatan metode analisis rantai nilai. Penggunaan analisis rantai nilai untuk mengetahui alur produk dan pihak-pihak yang berperan dalam sentramarkisa di Kabupaten Gowa, bukan untuk mengetahui besarnya nilai yang terlibat dalam setiap proses yang terjadi pada sentra markisa. Hasil dari analisis ini menjadi masukan dalam pengembangan sentra markisa diKabupaten Gowa. Adapun tahap yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:
- Memetakan proses dalam rantai nilai industri markisa di Kabupaten Gowa Pertanyaan yang diajukan dalam memetakan proses industri markisa adalah proses apa saja yang terjadi mulai dari input produksi bahan baku hingga konsumsi akhir produk oleh konsumen
- Memetakan pelaku yang terlibat dalam industri markisa di Kabupaten Gowa Tahapan ini menjawab siapa saja pelaku yang terlibat dalam proses produksi pada industri markisa di Kabupaten Gowa dan apa yang mereka lakukan. - Memetakan alur produk
Tahapan ini mencakup identifikasi produk di tiap tahapan proses ketika produk tersebut mengalami tranformasi dari input menjadi bahan baku, menjadi bahan antara, dan menjadi bahan produk akhir. Tahapan ini memberikan gambaran mengenai bentuk produk apa yang diubah, ditangani, dan diangkut
- Memetakan hubungan dan keterkaitan antar para pelaku
Hasil dari pemetaan pelaku yang terlibat dalam industri markisa di Kabupaten Gowa menjadi masukan dalam memetakan hubungan dan keterkaitan antar para pelaku yang terlibat dalam industri markisa. Pada tahapan ini dilakukan analisis jenis hubungan yang terdapat antara tiap pelaku, dengan menjawab pertanyaan jenis hubungan apa dan keterkaitan apa saja yang terjalin.
Analisis Daya Saing Berdasarkan Diamond Porter
- Mengidentifikasi pelaku-pelaku yang terkait dalam klaster industri, yang dikelompokkan dalam industri inti, industri terkait, industri pendukung, pembeli, serta institusi pendukung dan perubahan yang terjadi
- Industri inti; merupakan sentra indusri atau fokus perhatian dan tematik yang dijadikan sebagai titik dari kajian serta sebagai industri yang maju
- Industri pemasok; industri yang memasok bahan baku, bahan tambahan yang digunakan dalam produksi produk, aksesoris dan lainnya
- Industri pendukung; meluputi industri yang menyediakan barang dan jasa, termasuk layanan pembiayayan. Industri pendukung antara lain terdiri dari: pembiayayan (bank,modal ventura), jasa, infrastruktur, peralatan, pengemasan - Pembeli; berupa distributor, pengecer atau pemakai langsung, dimana pembeli
yang sangat penuntut merupakan pemacu kemajuan klaster
- Mengidentifikasi keterkaitan hubungan antara elemen-elemen klaster industri markisa, yang dibuat dalam bentuk tabel. Keterkaitan hubungan antar elemen-elemn pembetuk klaster menggunakan hasil dari analsis rantai nilai yang dilakukan pada tahap awal, menggunakan data primer (survei dan observasi langsung, wawancara dan kuesioner), dan data sekunder
- Hasil dari analasis dan identifikasi faktor peningkatan daya saingberdasarkan model Diamond Porter selanjutnya digunakan dalam perumusan strategi pengembangan dan peningkatan daya saing sentra markisa Kabupaten Gowa
Tahapan analisis daya saing yang dilakukan sesuai dengan pendapat Porter (1990) yang mengatakan bahwa teori Berlian Porter dapat dilakukan untuk melihatdaya saing yaitu dengan menganalisis tiap komponen dari Teori Berlian Porter(Poter’s Diamond Theory). Komponen-komponen dalam Teori Berlian Porterdapat dilihat pada Gambar 2. Komponen tersebut adalah sebagai berikut :
a. Factor Condition (FC), yaitu keadaan faktor-faktor produksi dalam suatuindustri seperti tenaga kerja dan infrastruktur
b. Demand Condition (DC), keadaan permintaan atas barang dan jasa dalamnegara
c. Related and Supporting Industries (RSI), yaitu keadaan para penyalur danindustry lainnya yang saling mendukung dan berhubungan
Kondisi Permintaan: Lokal, Nasional,
Eksport Faktor Kondisi
Pemerintah Peluang Strategi perusahaan, struktur dan persaingan
Pihak Pendukung dan Industri Terkait
Gambar 2 Porter’s Diamond Framework (Kincaid, 2005)
Keunggulan bersaing mencakup tersedianya peran sumber daya dan melihat lebih jauh pada industri yang berbeda. Sebagian besar sumber daya yang penting seperti keahlian tenaga kerja yang tinggi, teknologi dan sistem manajemen yang canggih diciptakan melalui investasi oleh orang dan perusahaan. Faktor penentu keunggulan bersaing yaitu kondisi sumber daya, kondisi permintaan, industri pendukung dan terkait, serta persaingan, struktur dan strategi perusahaan. Selain itu ada faktor yang terkait dengan keempat komponen utamayaitu pemerintah dan peluang. Keempat faktor utama dan dua faktor pendukung tersebut saling berinteraksi. Hasil analisis komponen penentudaya saing dapat menetukan komponen yang menjadi keunggulan dan kelemahan daya saing sentra markisa Kabupaten Gowa. Hasil keseluruhan interaksi antar komponen yang saling mendukung sangat menentukan perkembangan yang dapat menjadi competitive advantage dari sentra markisa.
Analisis Matriks Eksternal Factor Evaluation (EFE)
Menurut David (2009), evaluasi faktor eksternal (external factor evaluation) digunakan untuk mengevaluasi faktor-faktor ekternal dalam perusahaan/organisasi. Faktor-faktor peluang dan ancaman yang diidentifkasi dalam penelitian ini akan dievaluasi dengan analisis eksternal, yaitu dengan menggunakan matriks EFE. Hasil analisis eksternal ini akan menggambarkan apakah peluang kemungkinan yang dapat direspon dengan baik, serta apakah ancaman yang bakal muncul kemungkinan akan dapat diatasi. Terdapat lima langkah yang harus dilakukan dalam mengembangkan matriks EFE (David, 2009 dalam Trudo 2011) sebagai berikut:
a. Mendaftar faktor eksternal kunci sebagaimana diidentifikasi dalam proses penilaian. Terlebih dahulu didaftar peluang kemudian ancaman. Dilakukan sekhusus mungkin dengan menggunakan persentase atau rasio;
tersebut. Jumlah seluruh bobot sama dengan 1,0. Pengolahan data dilakukan dengan teknik Delphi untuk mengetahui bobot dari setiap faktor strategis (Jain, 1997). Perhitungan bobot faktor eksternal dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Penentuan Bobot Faktor Eksternal Faktor
Tabel 4. Penentuan Rating Faktor Internal
Faktor Strategis Besarnya Nilai Jumlah Responden
o 1...5 = Besarnya nilai faktor strategis
o A...N = Faktor-faktor strategis yang digunakan
o G = {(1 x a) + (2 x b) + (3 x c) + (4 x d) + (5 x e)} : f o K = g + h + i + j
o L = g/K
o p = Modus dari jawaban kolom nilai
c. Memberikan rating 1 sampai dengan 4 pada tiap faktor eksternal kunci untuk menunjukkan seberapa efektif strategi yang ada saat ini merespon faktor tersebut, dimana: 1 adalah respon superior (luar biasa), 3 adalah respon diatas rata-rata, 4 adalah respon rata-rata dan 5 adalah respon di bawah rata-rata.
Rating adalah seberapa efektif perusahaan dalam merespon faktor-faktor eksternal. Dengan demikian, nilainya didasarkan pada kondisi perusahaan. Perhitungan rating eksternal dapat dilihat pada Tabel 4.
d. Mengalikan bobot masing-masing faktor dengan rating pada tiap faktor untuk memperoleh skor terbobot (weighted score). Jika hasil yang diperoleh adalah 1 berarti situasi eksternal sangat tidak baik atau tidak mampu memanfaatkan peluang yang ada serta tidak mampu mengatasi ancaman yang ada. Nilai 4 berarti situasi eksternal sangat baik, yaitu mampu memanfaatkan peluang yang ada; e. Menjumlahkan semua hasil kali yang ada disemua faktor untuk mendapatkan
skor terbobot total (total weighted score);
Tabel 5. IlustrasiMatriks EFE
Faktor Strategis Eksternal Bobot Rating Skor terbobot
Peluang
Evaluasi Faktor Internal (Internal Factor Evaluation)
Evaluasi faktor internal (internal factor evaluation) digunakan untuk mengetahui faktor-faktor internal perusahaan/organisasi berkaitan dengan kekuatan dan kelemahan yang dianggap penting (David, 2009). Pada prinsipnya tahapan kerja pada matriks IFE sama dengan matriks EFE. Matriks EFE mengklasifikasikan faktor-faktor eksternal menjadi peluang dan ancaman perusahaan. Tahapan dalam mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan eksternal dalam matriks EFE adalah sebagai berikut (David, 2009):
1. Membuat daftar faktor eksternal yang menjadi peluang dan ancaman.
2. Memberikan bobot pada setiap faktor dari 0,0 (tidak penting) sampai 1,0 (paling penting). Bobot mengindikasikan suatu faktor terhadap keberhasilan perusahaan. Jumlah seluruh bobot harus sama dengan 1,0.
3. Memberikan peringkat 1 sampai 5 pada setiap faktor, untuk menunjukan seberapa efektif strategi perusahaan saat ini dalam merespon faktor-faktor tersebut
4. Mengalikan bobot dengan peringkat untuk memperoleh skor bobot.
5. Menjumlahkan skor bobot untuk memperoleh total skor bobot. Nilai total skor bobot menunjukkan bagaimana perusahaan tersebut merespon faktor-faktor strategis eksternalnya.
Tabel 6.MatriksExernal Factor Evaluation (EFE)
Selanjutnya, hasil skor EFE dan IFE tersebut akan dipasangkan sebagai ordinat guna mengetahui posisi perusahaan dalam matrik IE agar tipikal strategi yang akan disusun di dalam matriks SWOT dapat sesuai dengan alternatif tipikal strategi yang direkomendasikan dalam matrik IE tersebut.
SWOT
Analisa SWOT adalah merupakan suatu metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi faktor-faktor yang menjadi kekuatan (Strengths), Kelemahan (Weaknesses), Peluang (Opportunities), dan Ancaman (Threats) yang mungkin terjadi dalam mencapai suatu tujuan dari suatu kegiatan usaha. Sehingga diperlukan kajian dari aspek lingkungan sekitar, baik yang berasal dari lingkungan internal maupun eskternal yang dapat mempengaruhi pola strategi dalam pencapaian tujuan tersebut. Faktor linkungan internal relatif lebih mudah dikendalikan karena berada di dalam lembaga itu sendiri, sedangkan faktor lingkungan eksternal merupakan faktor yang sulit untuk dikendalikan karena berada di luar lembaga itu sendiri sehingga dalam proses pelaksanaannya harus diprioritaskan.
Tujuan dari teknik analisis SWOT adalah:
1) Mengetahui peluang-peluang mana yang perlu untuk dimanfaatkan secara langsung karena mempunyai kekuatan yang cukup untuk menanganinya. 2) Mengetahui hambatan-hambatan mana yang perlu di atasi karena mempunyai
kekuatan-kekuatan yang cukup untuk menanggulanginya.
3) Mengetahui peluang-peluang mana yang masih belum dapat dimanfaatkan pada saat sekarang karena adanya kelemahan-kelemahan yang dimiliki, dan kelemahan-kelemahan tersebut harus secepatnya diatasi agar peluang-peluag yang ada tidak akan hilang.
4) Mengetahui kendala-kendala yang dapat menjadi ancaman karena kelemahan-kelemahan yang dimiliki, dan harus secepatnya ditanggulangi.
Analisis situasi internal-eksternal adalah untuk mengidentifikasi situasi secara internal yang mencakup faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan dan faktor-faktor yang menjadi peluang dan ancaman untuk pengembangan UKM markisa. Perencanaan strategi harus mempertimbangkan dan menganalisis faktor-faktor strategis yang dimiliki pada saat sekarang.
Matriks SWOT menghasilkan empat sel yang menjadi kemungkinan alternatif strategi yaitu strategi S-O, strategi W-O, Strategi W-T dan strategi S-T yang menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal dalam kebijakan pengembangan daerah dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki internal daerah dapat dilihat pada Tabel 7.Langkah-lngkah menyusun matriks SWOT sebagai berikut.
1. Menentukan peluang eksternal 2. Menentukan ancaman eksternal 3. Menentukan kekuatan internal 4. Menentukan kelemaha internal
memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang dengan sebesar-besarnya.
6. Menyesuaikan kekuatan internal dengan ancaman eksternal dan mencatat resultan strategi S-T dalam sel yang tepat. Strategi S-T dilakukan untuk menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman yang ada. 7. Menyesuaikan kelemahan internal dengan peluang eksternal dan mencatat
resultan strategi W-O dalam sel yang tepat. Strategiini dilaksanakan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada
8. Menyesuaikan kekuatan internal dengan ancaman eksternal dan mencatat resultan strategi W-T dalam sel yang tepat. Strategi W-T merupakan kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha untuk meminimalkan kelemahan yang ada serta untuk menghindari ancaman
Threats (T) Strategi TS Strategi TW
faktor-4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Letak Geografis
Kabupaten Gowa terletak di bagian selatan dari Sulawesi Selatan, dimana ibukotanya adalah Kota Sungguminasa. Berdasarkan letak astronomi, Kabupaten Gowa berada pada 12,33-13,15 Bujur Timur dan 50,5 – 50.34,7 Lintang Selatan. Luas wilayah Kabupaten Gowa adalah 1.883,33 Km2.
Wilayah Kabupaten Gowa terletak pada ketinggian 0–2800m diatas permukaan laut, berada pada jarak ± 10 Km dari Kota Makassar. Dari segi morfologis Kabupaten Gowa dibagi menjadi 3 wilayah yaitu : morfologi dataran rendah di bagian Barat, perbukitan di tengah dan pegunungan di bagian Timur-Selatan. Kabupaten Gowa beriklim cukup basah dan kering dengan curah hujan rata-rata 1.000-4.000 mm. Temperatur relatif tinggi sepanjang tahun, yaitu antara 220-260 pada daerah dataran rendah dan 180-210 pada daerah dataran tinggi. Secara Administratif Luas wilayah Kabupaten Gowa sebesar 1.883,33 Km2 yang terdiri dari 18 (Delapan Belas) Kecamatan dan 167 Kelurahan pada Tahun 2009.
Dataran tinggi di Kabupaten Gowa sebesar72,26%, dengan ketinggian sampai diatas 1000 meter dari permukaan laut (mdpl). Berdasarkan kemiringan lereng, wilayah Kabupaten Gowa meliputi daerah yang landai, bergelombang sampai daerah yang memiliki kecuraman yang tinggi, Terdapat Delapan (8) wilayah Kecamatan yang merupakan daratan tinggi yaitu Parangloe, Manuju, Tinggimoncong, Tombolo Pao, Bungaya, Bontolempangan, Tompobulu dan Biringbulu. Sedangkan Kecamatan yang memiiki daerah dengan tingkat kecuraman yang tinggi adalah Kecamatan Parangloe, Tinggimoncong, Bungaya, Bontolempangan dan Tompobulu.Peta Administrasi Kabupaten Gowa berdasarkan Pembagian Kecamatandapat dilihat padagambar 6, dengan Batas administrasi Kabupaten Gowa adalah sebagai berikut:
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kec. Walenrang Kota Makassar dan Kabupaten Maros
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sinjai, Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Bulukumba
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Takalar dan Kabupaten Jeneponto.
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kota Makassar dan Kabupaten Takalar.
Penduduk dan Ketenagakerjaan
sebesar 617.317 jiwa. Pada Tahun 2008 jumlah penduduk mencapai 605.876 jiwa, sehingga penduduk pada Tahun 2008 bertambah sebesar 1,88 persen.
Persebaran penduduk di Kabupaten Gowa pada 18 kecamatan bervariasi. Hal ini terlihat dari kepadatan penduduk per kecamatan yang masih sangat timpang dan keadaan geografis, jarak dari pusat kota. Untuk wilayah Somba Opu, Pallangga, Bontonompo, Bontonompo Selatan , Bajeng dan Bajeng Barat, yang wilayahnya hanya 11,42 persen dari seluruh wilayah Kabupaten Gowa, dihuni oleh sekitar 54,35 persen penduduk Gowa. Sedangkan wilayah Kecamatan Bontomarannu, Pattallassang, Parangloe, Manuju, Barombong, Tinggimoncong, Tombolo Pao, Parigi, Bungaya, Bontolempangan, Tompobulu dan Biringbulu, yang meliputi sekitar 88,58 persen wilayah Gowa hanya dihuni oleh sekitar 45,65 persen penduduk Gowa.
Penduduk usia anak-anak usia 0-14 tahun sejumlah 31,71 persen, penduduk usia produktif mencapai 60,29 persen dan penduduk usia lanjut terdapat 7,99 persen dari jumlah penduduk di Kabupaten Gowa. Penduduk Usia Kerja berdasarkan data SUSENAS 2009 berjumlah 421.557 jiwa yang terdiri dari 203.295 laki-laki dan 218.262 perempuan dengan angkatan kerja berjumlah 260.933 jiwa atau 61,89 persen dari seluruh Penduduk. Bila dibedakan menurut jenis kelamin, angkatan kerja laki-laki berjumlah 171.642 jiwa sedangkan angkatan kerja perempuan sebanyak 89.291 jiwa. Dilihat dari lapangan usaha, sebagian besar penduduk Kabupaten Gowa bekerja di sektor pertanian yaitu sekitar 42,82 persen dari jumlah penduduk yang bekerja.
Infrastruktur, Sarana dan Prasarana Publik
Panjang jalan di Kabupaten Gowa di tahun 2009 2.687,19 kilometer, tahun 2008 sebesar 2.603,69 kilometer. Panjang jalan yang menjadi wewenang negara 23,906 kilometer; 194,33 kilometer menjadi wewenang Provinsi dan sisanya sebanyak 2.468,96 kilometer merupakan wewenang Pemerintah Kabupaten. Pada Tahun 2009 proporsi panjang jalan yang diaspal adalah 49,14 persen kemudian 18,33 persen dengan permukaan kerikil dan 32,53 persen masih jalan tanah. Kondisi jalan pada Tahun 2009, berada pada kondisi baik sebesar 35,95 persen, kondisi jalan rusak berat 47,27 persen.
Angkutan Darat
Kendaraan umum yang sering digunakan sebagai alat transportasi oleh sebagian besar penduduk Kabupaten Gowa adalah jenis mikrolet (pete-pete). Jenis kendaraan tersebut pada Tahun 2008 mengalami penurunan jumlah. Pada Tahun 2008 jumlah mikrolet tercatat sebanyak 724 buah atau menurun sekitar 66,30 persen dibanding tahun sebelumnya.
Listrik
Berdasarkan perkiraan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2008 Jumlah rumah tangga di Kabupaten Gowa yang menikmati penerangan listrik Perusahaan Listrik Negara (PLN) sekitar 89,40 persen dari total jumlah rumahtangga. Sedangkan selebihnya masih menikmati penerangan dari sumber penerangan selain yang berasal dari PLN.
Sumber Daya Keuangan
Tahun 2009 realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Gowa tercatat sebesar 85,39 milyar rupiah yang berarti meningkat 39,57 milyar rupiah atau 86,35 persen dari tahun 2008. Peningkatan PAD Kabupaten Gowa ini sangat dipengaruhi oleh realisasi pendapatan Retribusi Daerah, pajak daerah, hasil perusahaan daerah dan pengelolaan kekayaan serta lain-lain pendapatan asli daerah yang meningkat cukup drastis.
Jumlah bank dengan status cabang/cabang pembantu yang beroperasi di Gowa sampai tahun 2009 ada sembilan bank. Total dana perbankan yang tersedia dari 9 bank tersebut sampaidengan bulan Desember 2009 tercatat sebesar 15.689.174.000 rupiah, yang berarti bertambah sebesar 106.535.000 rupiah atau meningkat6,83 persen bila dibandingkan dengan keadaan Desember tahun 2008.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Gambar 3 PDRB atas Dasar Harga Berlaku (BPPS Kab Gowa, 2010)
Harga konstan 2000 tercatat bahwa PDRB Tahun 2008 sebesar 1.650,32 milyar rupiah meningkat menjadi 1.782,16 milyar rupiah pada Tahun 2009. Hal ini menunjukkan bahwa pada Tahun 2009 disamping ekonomi Gowa mengalami perkembangan, secara riil ekonomi daerah ini juga mengalami pertumbuhan sebesar 7,99 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Struktur perekonomian Kabupaten Gowa pada Tahun 2009 tidak mengalami pergeseran yang berarti dibanding Tahun 2008. Sumbangan terbesar masih diberikan oleh sektor Pertanian yaitu sebesar 45 persen atau turun sekitar 3 persen dibandingkan dengan Tahun 2008 yang sebesar 48 persen.
Potensi Daerah
Komoditas pertanian yang potensial di Kabupaten Gowa sangat beragam baik tanaman pangan, perkebunan, sayuran dan buah-buahan. Potensi pengembangan sektor pertanian ini terutama kondisi lahan sangat potensial baik secara kualitas maupun kuantitas.
Berdasarkan laporan SP LAHAN Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Gowa pada Tahun 2009, luas penggunaan lahan kering seluruhnya mencapai 158.479 ha dan hanya sekitar 28.525 ha yang merupakan tanah sawah. Dari keseluruhan luas lahan kering, 39.09 persen merupakan kawasan hutan, tegalan 33,80 persen, ladang 13,52 persen,kolam/empang 8,22 persen sedangkan sisanya yang digunakan untuk bangunan dan pekarangan serta lainnya 5,37 Persen. Luas sawah di Kabupaten Gowa mencapai 32.542 ha dimana 40,47 persen dari luas keseluruhan merupakan sawah non irigasi dan 59,53 persen merupakan tanah sawah berpengairan.
tomat dan bayam. Kabupaten Gowamerupakan salah satu daerah yang menjadi tujuan wisata di Sulawesi selatan, karena lokasinya dekat dengan kota Makassar. Dengan potensi yang dimiliki, sistem perekonomian Kabupaten Gowa selain berasal dari pertanian dan kehutanan, pariwisata memberikan masukan PDRB yang besar bagi Kabupaten Gowa.
Karakteristik Resonden
Karakteristik responden merupakan gambaran umum mengenai latar belakang pelaku agroindustri markisa di Kabupaten Gowa yang mempengaruhi pola piker dan perilaku dalam pengembangan markisa sebagai komoditi unggulan Kabupaten Gowa.
Responden dalam penelitian ini adalah petani, pengolah dan pedagang markisa sebagai pelaku inti dalam agroindustri markisa. Pemerintah dan akademisi selaku penunjang dari aktifitas agroindustri markisa di Kabupaten Gowa. Berdasarakan wawancara dan kuesioner diperoleh 35 responden yang terdiri dari petani sebanyak 10 responden, pengolah sebanyak 7 responden, pedagang sebanyak 4 responden, akademis sebanyak 5 responden, dan pemerintahan sebanyak 9 responden. Karakteristik responden digambarkan melalui beberapa variabel, antara lain umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, luas lahan, status usaha.
Umur dan Tingkat Pendidikan
Faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan fisik dan psikis seseorang adalah umur. Usia pekerja mempengaruhi kemampuan seseorang melakukan kegiatan atau usaha. Kriteria umur dikelompokkan dalam empat tingkatan yaitu kurang 17 tahun, antar 17-35 tahun, 36-50 tahun dan lebih dari 50 tahun. Umur kurag dari 17 tahun dikategorikan usia belum produktif, umur 17-50 tahun merupakan umur produktif dan umur lebih dari 50 tahun diasumsikan sebagai umur yang tidak produktif lagi (Koes, 2013).
Tabel 8.Sebaran Responden Menurut Usia Pekerja
Umur Petani Pengolah Pedagang Pemerintah Akademisi Jumlah
Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % Jml %
17 – 35 4 40 3 42.87 2 50 1 11.12 - - 10 28,57
36 – 50 6 60 4 57.14 2 50 8 88.89 - - 20 57,14
> 50 - - - 5 100 5 14,29
Total 10 100 7 100 4 100 9 100 5 100 35 100
Umur diatas 50 tahun termasuk dalam usia pekerja yang tidak produktif, akan tetapi bagi akademisi umur diatas 50 tahun termasuk dalam usia produktif karena akademisi diumur ini memilik pengalaman dan pengetahun lebih banyak dibandingkan dengan umur dibawahnya yang berkesesuaian deng tingkat pendidikan yang dimilikinya.
Tingkat pendidikan berkaitan dengan pola pikir, kreativitas yang dimiliki, yang terlihat pada sistem manajemen pengolahan dan inovasi pengembangan produk dan teknologi yang dimiliki. Tingkat pendidikan dalam penelitian ini adalah penidikan terakhir yang ditempu responden, dimana dibagi menjadi lima kelompok yaitu tidak sekolah, SD, SMP, SMA, Sarjana dan Pasca. Tabel 9 menunjukkan sebanyak 5,72 persen responden berpendidikan sekolah dasar, 20 persen responden berpendidikan SMP, bepedidikan sarjana sebanyak 22,86 persen, sedangkan responden berpendidikan sekolah menengah dan Pascasarjana sebanyak 25.71 persen.
Tabel 9 Sebaran Responden Menurut Tingkat Pendidikan
Umur Petani Pengolah Pedagang Pemerintah Akademisi Jumlah
Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % Jml %
SD 2 20 - - - 2 5,72
SMP 6 60 - - 1 25 - - - - 7 20
SMA 2 20 4 57.14 3 75 - - - - 9 25,71
Sarjana - - 3 42.86 - - 5 55.56 - - 8 22,86
Pasca - - - 4 44.44 5 100 9 25,71
Total 10 100 7 100 4 100 9 100 5 100 35 100