• Tidak ada hasil yang ditemukan

Factors influence subak members in adopting system of rice intensification (sri) in seven regencies in the Province of Bali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Factors influence subak members in adopting system of rice intensification (sri) in seven regencies in the Province of Bali"

Copied!
380
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI ANGGOTA

SUBAK MENGADOPSI SYSTEM OF RICE

INTENSIFICATION (SRI)

DI TUJUH KABUPATEN DI PROVINSI BALI

OLEH:

I GEDE SETIAWAN ADI PUTRA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ii

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Faktor-faktor yang Memengaruhi Anggotas Subak Mengadopsi System of Rice Intensification (SRI) di Tujuh Kabupaten di Provinsi Bali adalah benar hasil karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada Perguruan Tinggi manapun. Bahan rujukan atau sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan ataupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

(3)

iii ABSTRACT

I GEDE SETIAWAN ADI PUTRA. Factors Influence Subak Members in Adopting System of Rice Intensification (SRI) in Seven Regencies in the Province of Bali Supervisor Commission: Amri Jahi (Chief Supervisor), Djoko Susanto, Pang S. Asngari, I Gusti Putu Purnaba and Sugiyanta (as members).

Subak as the traditional irrigation institusion of Bali has a large potential in adopting the System of Rice Intesification (SRI) innovation. The goals of this research are: (1) To find the factors which affect the adoption of SRI amongst subak members; (2) To analyse the perception, attitude, self-reliance and adoption factors of the subak members; (3) To analyse the causal relations (cause-effect) between the factors that affect the adoption of SRI amongst subak farmers; and (4) To formulate a model of SRI adoption amongst the subak member farmers in accordance to the social system of subak. This research is designed to be Ex post facto. The population of this research is 288 members of subak that have implemented the System of Rice Intensification (SRI). Using the Slovin formula, the sample of this research becomes 104 people. The analysis used is Structural Equation Model (SEM) with the Lisrel Version 8.3 programme. The results are: (1) The factors that affect the adoption of SRI by the members of subak are characteristics, facilitator competence, caretaker competence, perception, attitude, and self-reliance.; (2) Perception is affected by characteristic, facilitator competence, and caretaker competence. Attitude is affected by perception, characteristic, facilitator competence, and subak caretaker competence. Self-reliance is affected by attitude, perception, characteristic, facilitator competence, and subak caretaker competence. Adoption is affected by self-reliance, perception, attitude, characteristic, facilitator competence, and subak caretaker competence; (3) The better the characteristic, facilitator competence, subak caretaker competence, perception, attitude, and self-reliance of the subak members, the better the adoption of SRI; and (4) The suitable development model of SRI is the model which develops self-reliance and emphasizes on independent learning.

(4)

iv

I GEDE SETIAWAN ADI PUTRA. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Anggota

Subak Mengadopsi System of Rice Intensification (SRI) di Tujuh Kabupaten Provinsi Bali. Komisi Pembimbing: Amri Jahi (Ketua), Djoko Susanto, Pang S. Asngari, I Gusti Putu Purnaba dan Sugiyanta (masing-masing sebagai anggota).

Subak sebagai lembaga tradisional pengelola air irigasi di Bali memiliki potensi yang besar dalam pengadopsian inovasi SRI. Petani anggota subak memiliki sejumlah alasan yang kuat untuk mengadopsi SRI.

Tujuan utama penelitian ini adalah: (1) Menemukan faktor-faktor yang memengaruhi pengadopsian SRI di kalangan petani anggota subak; (2) Menganalisis pengaruh faktor-faktor persepsi anggota subak tentang SRI, sikap anggota subak terhadap SRI, dan kemandirian anggota subak menerapkan SRI terhadap pengadopsian SRI di kalangan petani anggota subak; (3) Menganalisis hubungan kausalitas (sebab-akibat) diantara faktor-faktor yang memengaruhi pengadopsian SRI di kalangan petani anggota subak; dan (4) Merumuskan model pengadopsian SRI di kalangan petani anggota subak yang sesuai dengan sistem sosial subak.

Populasi penelitian ini adalah anggota subak (kelompok tani tradisional di Bali yang berfungsi sebagai pengelola air irigasi) dan menerapkan System of Rice Intensification (SRI) yang berjumlah 288 orang yang tersebar di tujuh kabupaten di Bali. Dengan rumus Slovin, ditetapkan sampel penelitian sebanyak 104 orang petani anggota subak yang telah menerapkan SRI.

(5)

v

instrumen penelitian ini dikembangkan dengan menggunakan penilaian juri dari luar komisi pembimbing. Korelasi Cronbach alpha digunakan untuk menentukan tingkat reliabilitas butir-butir pertanyaan dalam kuesioner. Pengumpulan data dilakukan dari Bulan September sampai dengan Bulan Oktober 2011. Pendugaan parameter dan uji lanjut pada model SEM diselesaikan dengan perangkat lunak

Lisrel versi 8.3.

(6)

vi

anggota subak terhadap SRI, karakteristik anggota subak, kompetensi fasilitator dan kompetensi pengurus subak; (3) Semakin baik karakteristik anggota subak, kompetensi fasilitator, kompetensi pengurus subak, persepsi anggota subak tentang SRI, sikap anggota subak terhadap SRI, dan kemandirian anggota subak menerapkan SRI maka semakin baik pula pengadopsian SRI oleh anggota subak; dan (4) Model pengembangan SRI bagi anggota subak yang sesuai adalah model pengembangan kemandirian yang menekankan pada belajar mandiri di kalangan anggota subak.

(7)

vii

©Hak cipta milik IPB, tahun 2012

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

(1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebut sumber.

(a) Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah;

(b) Pengutipan tidak merugikan kepentingan wajar IPB.

(8)

viii

DI TUJUH KABUPATEN DI PROVINSI BALI

OLEH :

I GEDE SETIAWAN ADI PUTRA

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

ix Penguji Luar Komisi :

Penguji Ujian Tertutup : (1) Dr. Ir.Ma’Mun Sarma, MS., MEc. Dosen Departemen Komunikasi dan Pembangunan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

(2) Dr. Ir. Iskandar Lubis, MS. Dosen Departemen Agronomi dan

Holtikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penguji Ujian Terbuka : (3) Prof. Dr. Ir. I Gde Pitana Brahmananda, MSc. Kepala Badan Pengembangan Sumberdaya Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Republik Indonesia.

(10)

x Provinsi Bali

Nama : I Gede Setiawan Adi Putra

NRP : P.061050021

Program Mayor : Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN)

Disetujui Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. Ir. Amri Jahi, MSc.

Prof (Ris) Dr. Djoko Susanto, SKM.

Anggota Anggota

Prof. Dr. H. Pang S. Asngari

Dr. Ir. I Gusti Putu Purnaba, DEA.

Anggota Anggota

Dr. Ir. Sugiyanta, MSi.

Diketahui :

Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan,

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc

Tanggal Ujian: 28 Januari 2012

Dekan Sekolah Pascasarjana,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

(11)

xi PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah pengadopsian System of Rice Intensification (SRI) di kalangan anggota subak.

Penyelesaian penelitian ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Amri Jahi, MSc selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Prof. (Ris) Dr. Djoko Susanto, SKM. (anggota), BapaK Prof. Dr. H. Pang S. Asngari (Anggota), Bapak Dr. Ir. I Gusti Putu Purnaba, DEA (Anggota) dan Bapak Dr Ir. Sugiyanta, MSi (Anggota) yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pakar yang penulis libatkan untuk menilai kuesioner penelitian ini di antaranya praktisi SRI dari Lab Mikrobiologi Tanah Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, dan ahli SRI dari Departemen Agronomi dan Holtikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Kepada responden, para kelihan subak, dan PPL yang telah memberikan data dan informasi, penulis ucapkan terima kasih atas kesediaan dan kerjasamanya sehingga penulis mendapatkan data sesuai dengan yang diharapkan. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Sudirta, Agus, Janu, dan Angga mahasiswa Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Udayana yang telah membantu penulis mengumpulkan data penelitian.

Penulis sampaikan terima kasih kepada Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fema IPB, Ketua Departeman KPM, Ketua Program mayor PPN IPB beserta staff atas bantuan, pelayanan, dan perhatiannya sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan Program Doktor dengan baik.

(12)

xii

menempuh pendidikan Program Doktor di IPB.

Terima kasih penulis sampaikan kepada A.A. Sg. Dwinta Kuntaladara dan Ibu Prof. Dr. Ir. A.A. Annik Ambarawati, MEc yang telah membantu penulis dalam penerbitan bagian dari naskah disertasi ini pada jurnal ilmiah. Kepada sahabatku: Arief Sukmana, Sumarlan, Hatta Jamil, Prihandoko, Mutiya, Melvis, Farid, Hayati, Hartina Batoa, Syafruddin, Kodir, Desi, As-Zaitun Collony, Bapak Haji Obos, Bapak Acep Kusnadti (Piting), Bapak RT Nana, dan Bapak Umar yang telah membantu penulis menemukan kesalahan-kesalahan pengetikan sekaligus sebagai teman diskusi yang baik selama penulis menempuh pendidikan di IPB Bogor.

Akhirnya, terima kasih mendalam kepada kedua orang tua (Bapak Drs. Ketut Astika dan Ibu Made Karoni) yang senantiasa memberikan dukungan moril spirituil yang tiada terhingga kepada penulis, demikian juga kepada Adinda Kadek Happy Kardiawan, SPd. dan keluarga, serta Nyoman Herlina Kristianti, Amd. yang telah mendorong penulis berjuang meraih prestasi. Kepada motivator sejati, istriku tersayang Ni Made Ary Yunharmini, SE. dan Ibu Mertua Dra. Putu Darmini beserta keluarga besar Sahadewa dan Angsoka penulis ucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya berkat dorongan dan dukungan yang begitu besar sehingga penulis dapat meraih gelar doktor.

Penulis mengharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat khususnya kepada kemajuan ilmu penyuluhan pembangunan. Kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat penulis harapkan demi kesempurnaan karya ilmiah ini.

Bogor, Januari 2012

(13)

xiii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Penarukan Kabupaten Buleleng Provinsi Bali pada tanggal 14 September 1978 dari Ayah Drs. Ketut Astika dan Ibu Made Karoni, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara.

Jenjang pendidikan penulis dimulai dari SD Negeri 4 Penarukan di Singaraja lulus pada tahun 1990. Kemudian dilanjutkan di SMP Negeri 1 Singaraja lulus pada tahun 1993, setelah itu melanjutkan sekolah di SMA Negeri 1 Singaraja, lulus pada tahun 1996. Selanjutnya penulis meneruskan pendidikan S1 pada Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Udayana pada tahun 1996 dan lulus tahun 2000.

Pada tahun 2000 penulis diangkat menjadi Dosen pada Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Selanjutnya, tahun 2002 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2 di Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN) atas biaya BPPS dari DIKTI dan lulus pada tahun 2004.

Gelar Magister Sains yang penulis peroleh di tahun 2004 menjadi bekal hidup penulis dalam melaksanakan Tridarma Perguruan Tinggi seperti: (1) mendampingi anggota subak dalam penguatan kelembagaan melalui kegiatan Water Management Study in Saba River, dana hibah dari JICA tahun 2004, (2) menjadi editor penerbitan buku yang berjudul “Revitalisasi Subak dalam Memasuki Era Globalisasi” yang diterbitkan Penerbit Andi Yogyakarta pada tahun 2005, dan (3) melaksanakan kegiatan pendidikan dan pengajaran seperti mengasuh mata kuliah Dasar-Dasar Penyuluhan dan Komunikasi pertanian serta menjadi pembimbing skripsi mahasiswa Jurusan Agribisnis FP UNUD.

(14)

xiv

Sandwich Programs dari DIKTI selama empat bulan dan menghasilkan karya tulis dengan judul: Analizing Farmer’s Problems in Indonesia atas bimbingan Prof. Dr. Hj. Nurahimah Muh. Yusoff, MSc.

Pada tahun 2009 penulis menjadi tenaga ahli untuk merumuskan buku panduan penyelenggaraan penyuluhan di Timor Leste pada kegiatan

Rural Development Programs II-Timor Leste bekerjasama dengan GTZ. Pada tahun 2010, penulis berkesampatan mendampingi peneliti System of Rice Intensification dari Jepang yang melaksanakan penelitian di Tasikmalaya bekerjasama dengan JIRCAS.

(15)

xv

Karakteristik Petani Anggota Subak ... 22

Kompetensi Penyuluh... 26

Kompetensi Pengurus Subak ... 27

Persepsi ... 31

Sikap ... 35

Community Development Menuju Kemandirian Petani ... 54

Perilaku ... 56

Proses Adopsi Inovasi dan Faktor-Faktor yang Memengaruhinya ... 57

Kecepatan Adopsi ... 66

(16)

xvi

1. Perbandingan SRI dan metode konvensional ... 20

2. Sebaran data populasi dan sampel penelitian ... 85

3. Peubah dan indikator peubah penelitian ... 86

4. Pengukuran peubah karakteristik anggota dan pengurus subak (X1 5. Kompetensi fasilitator (X ) .. 88

2 6. Kompetensi pengurus subak (X ) ... 89

3 7. Persepsi anggota subak tentang SRI (Y ) ... 90

1 8. Sikap anggota subak tentang SRI (Y ) ... 91

2 9 . Kemandirian Anggota Subak (Y ) ... 92

3 10. Pengadopsian SRI (Y ) ... 93

4 11. Pengujian model pengadopsian SRI di kalangan anggota subak ... 100

) ... 94

12. Luas wilayah, jumlah kecamatan dan Dewsa per Kabupaten se Bali Tahun 2007 ... 103

13. Sebaran karakteristik petani anggota subak dalam pengadopsian SRI 107

14. Distribusi responden berdasarkan kompetensi fasilitator... 109

15. Distribusi responden berdasarkan kompetensi pengurus subak ... 111

16. Persepsi anggota subak tentang SRI ... 113

17. Sikap anggota subak terhadap SRI ... 114

18. Kemandirian anggota subak menerapkan SRI ... 116

(17)

xvii DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Bibit padi siap ditanam pada SRI ... 17

2. Pemindahan bibit pada SRI ... 17

3. Pengelolaan air pada SRI ... 18

4. Jarak tanam pada SRI ... 18

5. Diperlukan pengendalian gulma lebih cermat pada SRI ... 19

6. Persepsi... 34

7. Hubungan antara nilai, sikap, nilai, motif, dan dorongan ... 36

8. Sikap ... 43

9. Proses pengambilan keputusan inovasi ... 60

10 Faktor-Faktor yang mempengaruhi proses adopsi inovasi ... 63

11. Hubungan proses komunikasi, proses adopsi dan berbagai metoda penyuluhan ... 64

12. Proses perubahan adopsi ... 65

13. Model cervero program evaluasi ... 66

14. Model logik penelitian ... 69

15. Kerangka berpikir penelitian ... 80

16. Model empiris untuk uji Structural Equation Model (SEM) ... 101

17. Hasil CFA peubah karakteristik individu petani ... 108

18. Hasil CFA peubah kompetensi fasilitator ... 110

19. Hasil CFA peubah kompetensi pengurus subak ... 112

20. Hasil CFA peubah persepsi anggota subak tentang SRI ... 113

21. Hasil CFA peubah sikap anggota subak terhadap SRI ... 115

22. Hasil CFA peubah kemandirian anggota subak menerapkan SRI ... 116

23. Hasil CFA peubah pengadopsian SRI dikalangan anggota subak ... 117

(18)

xviii

1. Peta wilayah Provinsi Bali ... 151

2. Hasi uji CFA peubah penelitian ... 152

3. Data deskriptif peubah penelitian ... 153

4. Kompetensi fasilitator ... 158

5. Kompetensi pengurus subak ... 159

6. Persepsi anggota subak tentang SRI ... 160

7. Sikap anggota subak terhadap SRI ... 161

8. Kemandirian anggota subak menerapkan SRI ... 162

9. Pengadopsian SRI di kalangan anggota subak ... 163

10. Perbandingan budidaya padi metode SRI dan konvensional ... 167

11. Analisis usahatani SRI ... 168

12. Hasil uji analisis SEM dengan softwareLisrel Versi 8.3 ... 169

(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Konferensi Bali dan berbagai organisasi dunia, baik lembaga swadaya

masyarakat maupun lembaga pemerintah, sudah mengakui dampak perubahan

iklim terhadap berbagai sektor, khususnya di sektor pertanian. Jika intensitas

bencana akibat pemanasan global makin sering dan tanpa ada upaya-upaya

adaptasi maka kegagalan panen akan makin sering terjadi dan pada akhirnya

berdampak pada ketahanan pangan nasional. Pemanasan global telah

mengacaukan musim hujan dan musim kemarau. Para petani kini sulit

menentukan jenis varietas dan kalender tanam, karena iklim sulit diduga. Di

berbagai wilayah di Indonesia, kekeringan dan banjir menggagalkan produksi

pangan. Sawah banyak puso atau gagal panen yang disebabkan oleh kemarau

panjang dan banjir. Oleh sebab itu mesti ada upaya untuk mengatasi perubahan

iklim global dalam dunia pertanian.

Dari aspek pengelolaan air irigasi sawah pada umumnya dilakukan dengan

penggenangan secara terus-menerus; di lain pihak kesediaan air semakin terbatas.

Untuk itu diperlukan peningkatan efisiensi penggunaan air melalui usahatani

hemat air. Usahatani padi sawah metode System of Rice Intensification (SRI)

merupakan teknologi usahatani ramah lingkungan, efisiensi input melalui

pemberdayaan petani dan kearifan lokal.

SRI mulai berkembang di Indonesia pada tahun 1997 dan telah

diujicobakan di beberapa kabupaten di Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara

Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan. Hasil penerapan SRI di

beberapa lokasi penelitian menunjukkan bahwa budidaya padi metode SRI telah

meningkatkan hasil dibandingkan dengan budidaya padi metode konvensional.

Anggota subak memiliki sejumlah alasan yang kuat untuk mengadopsi SRI

di sawahnya. SRI menggunakan benih yang lebih sedikit dibandingkan dengan

penanaman padi secara konvensional. Rata-rata benih yang digunakan berkisar

antara lima hingga 10 kg/ha. Dengan menggunakan benih yang lebih sedikit,

maka secara otomatis dapat menekan biaya yang mesti dikeluarkan untuk

(20)

dapat memilih bermacam varietas yang sesuai dengan kondisi setempat yang telah

biasa mereka tanam.

Selain dapat menghemat benih, alasan lainnya adalah masa tanam padi

metode SRI lebih cepat dibandingkan dengan cara bertanam padi secara

konvensional. Pada SRI, umur delapan hingga 12 hari semaian siap ditanam

ketika baru tumbuh dua tangkai daun. Tujuannya adalah saat benih tumbuh lebih

memungkinkan untuk menghasilkan rumpun yang lebih banyak dan pertumbuhan

akar yang lebih banyak.

Anggota Subak tertarik menerapkan SRI di sawah mereka karena hemat

air. Dalam bercocok tanam padi secara konvensional pada umumnya dilakukan

dengan penggenangan secara terus menerus, di lain pihak kesediaan air semakin

terbatas. Sistem bercocok tanam padi metode SRI tidak membutuhkan air yang

berlebih. Namun, lahan tidak boleh mengalami kekeringan secara terus menerus

sehingga diperlukan manajemen air yang lebih baik. SRI memerlukan irigasi

berkala untuk menjaga tanah tetap basah. Aktivitas pengairan yang terputus

(intermiten) harus dilakukan untuk memberikan kondisi aerobik dan anaerobik

bagi biota tanah untuk menyalurkan nutrisi yang diperlukan oleh tanaman. Ini

bertujuan untuk memperkuat perakaran tanaman.

SRI menarik minat anggota subak untuk diterapkan pada sawah-sawah

mereka karena sedikit memerlukan pupuk dan pestisida buatan pabrik. Pupuk

menjadi input produksi yang memerlukan biaya semakin besar karena semakin

hari harganya semakin tinggi. Pemakaian pestisida yang cenderung berlebihan dan

tidak terkontrol mengakibatkan keseimbangan alam terganggu, musuh alami hama

menjadi punah sehingga banyak hama dan penyakit tanaman semakin tumbuh

berkembang dengan pesat, dan adanya residu pestisida pada hasil panen.

Jika anjuran bercocok tanam SRI diikuti dengan baik oleh anggota subak

maka padi metode SRI akan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan metode

konvensional. Pada metode konvensional, benih padi mengalami proses adaptasi

yang panjang pada lingkungannya yang baru. Berbeda dengan SRI proses itu

tidak memerlukan waktu yang lama, sehingga benih yang ditanam lebih awal

(21)

3

secara otomatis padi metode SRI memiliki umur panen yang lebih cepat

dibandingkan dengan metode konvensional.

Jumlah anakan/rumpun padi metode SRI lebih banyak dibandingkan

dengan metode konvensional. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi anggota

subak untuk menerapkannya. Jarak tanam yang lebih lebar memungkinkan

tanaman padi leluasa untuk mendapatkan bahan makanan yang tersedia tanpa

harus bersaing dengan tanaman padi yang ada di sekitarnya. Hal ini akan

merangsang tumbuhnya anakan/rumpun yang jauh lebih banyak jika dibandingkan

dengan metode konvensional.

Kualitas batang dan daun padi metode SRI adalah lebih kuat. Hal ini

berawal dari menanam bibit lebih muda yang menyebabkan potensi tumbuhnya

tangkai dan akar tanaman akan semakin banyak dan kokoh. Hal ini dapat

meningkatkan minat anggota subak untuk menerapkan SRI, karena tanaman

tumbuh dengan sehat. Jika tanaman padi tumbuh dengan sehat maka padi metode

SRI lebih tahan terhadap berbagai penyakit. Selain itu, tanaman juga akan

semakin kokoh karena ditopang oleh akar-akar yang sehat, sehingga petani tidak

merasa khawatir tanaman mereka roboh jika diterpa hujan dan angin yang kuat.

Padi metode SRI lebih bernas karena pertumbuhan tanaman menjadi lebih

optimal jika dibandingkan dengan metode konvensional. Selain itu jumlah bulir

padi lebih banyak sesuai dengan jumlah anakannya. Hal ini yang menjadi alasan

lainnya anggota subak menerapkan SRI pada lahan usaha taninya. Alasan lain

anggota subak menerapkan SRI adalah waktu panen yang lebih cepat. Padi

metode SRI dapat menghemat waktu hingga 10 hari jika dibandingkan dengan

metode konvensional.

Rasa nasi padi metode SRI adalah lebih enak. Tidak digunakannya pupuk

anorganik dan pestisida menghasilkan beras yang alami, sehingga rasa nasi padi

metode SRI lebih enak dibandingkan padi yang menggunakan pupuk buatan dan

pestisida yang berlebihan. Alasan ini semakin menguatkan anggota subak untuk

menerapkan SRI di lahan usahataninya.

Pada akhirnya, alasan yang paling kuat anggota subak menerapkan SRI

adalah keuntungan yang lebih besar. Pada metode SRI jerami lebih tinggi dan

(22)

sama sekali memakai bahan kimia, lebih hemat air dibandingkan dengan metode

konvensional, sedikit bulir padi yang kosong, meningkatkan ketahanan tanaman

dari angin, dan lahan semakin sehat karena terjadi aktivitas biologis dalam tanah.

Secara ilmiah, SRI telah menunjukkan hasil-hasil yang sangat baik dan

menjanjikan cara becocok tanam padi yang intensif dan dengan produksi yang

jauh lebih tinggi dibandingkan dengan cara bercocok tanam padi konvensional.

Kenyataannya, inovasi SRI baru diadopsi oleh sebagian kecil angota subak di

seluruh Bali. Hal inilah yang menjadikan minat penulis untuk meneliti lebih jauh

faktor-faktor yang memengaruhi anggota subak menerapkan metode SRI pada

lahan usahataninya.

Banyak perubahan yang terjadi pada level individual, dimana seseorang

bertindak sebagai individu yang menerima atau menolak inovasi. Perubahan pada

level ini disebut dengan bermacam-macam nama, antara lain difusi, adopsi,

modernisasi, akulturasi, belajar atau sosialisasi. Perubahan juga terjadi pada level

sistem sosial. Ada berbagai istilah yang dipakai untuk perubahan macam ini,

misalnya pembangunan, sosialisasi, integrasi atau adaptasi.

Perubahan pada kedua level itu berhubungan erat. Subak adalah suatu

sistem sosial, maka pengadopsian SRI akan membawa pada proses pengambilan

keputusan yang dilakukan oleh anggota subak untuk mengubah cara bertaninya

dari cara-cara konvensional ke penerapan SRI. Perubahan pada sebagian anggota

subak akan menyebabkan perubahan pada subak sebagai suatu sistim sosial.

Keputusan anggota subak untuk mengadopsi SRI akan diikuti dengan perubahan

pada cara-cara bertani yang ada pada sistem sosial subak di Bali.

Dibalik semua itu, semua analisis perubahan sosial harus memusatkan

perhatian pada proses belajar anggota subak. Masuknya inovasi SRI ke dalam

sistem sosial subak tidak semata-mata sebagai proses alih teknologi dari metode

konvensional ke metode SRI, tetapi lebih pada proses belajar anggota subak di

dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya.

Semua inovasi pasti mempunyai komponen ide, tetapi banyak inovasi

yang tidak memiliki wujud fisik misalnya ideologi. Inovasi yang tidak memiliki

wujud fisik tidak dapat diadopsi secara fisik, pengadopsiannya hanyalah berupa

(23)

5

komponen objek (fisik) seperti yang terdapat pada SRI, pengadopsiannya akan

diikuti keputusan tindakan berupa tingkah laku nyata.

Penerimaan atau penolakan suatu inovasi adalah keputusan yang dibuat

oleh seseorang. Jika seseorang menerima (mengadopsi) inovasi, dia mulai

menggunakan ide baru, praktek baru atau barang baru itu dan menghentikan

penggunaan ide-ide yang digantikan oleh inovasi itu. Keputusan inovasi adalah

proses mental, sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambil

keputusan untuk menerima atau menolaknya kemudian mengukuhkannya.

Keputusan inovasi merupakan suatu tipe pengambilan keputusan yang khas;

Keputusan ini mempunyai cici-ciri dan dipengaruhi oleh banyak faktor yang tidak

diketemukan dalam situasi pembuatan keputusan yang lain. Faktor-faktor yang

memengaruhi pengambilan keputusan untuk menerima ataupun menolak suatu

inovasi menjadi topik utama penelitian ini. Untuk membahas faktor-faktor

tersebut akan melibatkan pengertian-pengertian tentang belajar dan pengambilan

keputusan dari teori-teori dan konseptualisasi proses keputusan inovasi.

Penyebaran suatu inovasi tidak bisa terpelas dari peranan agen pembaru

dalam usaha memengaruhi keputusan inovasi yang diambil anggota subak.

Kenyataannya, masih sering ditemukan jarak pemisah antara agen pembaru

dengan orang-orang atau sistem sosial yang menjadi sasarannya, karena mereka

berbeda dalam bahasa, status sosial ekonomi, kemampuan teknis maupun

nilai-nilai dan sikap-sikapnya. Kesenjangan yang demikian tidak hanya dengan sistim

kliennya, tetapi kadang-kadang juga dengan atasannya di lembaga penyuluhan

dimana agen pembaru itu bekerja. Hal yang demikian ini sering mengakibatkan

terjadinya konflik peranan pada diri agen pembaru dan kesulitan-kesulitan

berkomunikasi. Sebagai jembatan dua sistem sosial, agen pembaru diharapkan

menjadi seseorang yang tetap melaksanakan tugas intansinya dan juga

memperjuangkan kepentingan petani, ibaratnya sebelah kakinya ditaruh di

lembaga pembaru sedang sebelah kaki lainnya diletakkan di sistem kliennya.

Difusi SRI akan lebih berhasil jika agen pembaru mengenal dan dapat

menggerakkan para pengurus subak sebagai tokoh masyarakat setempat. Waktu

dan tenaga agen pembaru untuk menyebarluaskan SRI terbatas. Jika agen

(24)

memengaruhi pengurus subak, maka agen pembaru dapat menghemat tenaga,

biaya, dan sosial. Dengan menghubungi tokoh masyarakat berarti agen pembaru

tidak perlu lagi menghubungi semua anggota subak satu persatu, karena setelah

sampai ke pengurus subak SRI akan lebih cepat tersebar.

Pembentukan persepsi anggota subak tentang SRI yang baik menjadi

masalah tersendiri bagi agen pembaru. Agen pembaru cenderung memberikan

jawaban terhadap stimuli berdasarkan kebiasaan, dan jawaban tersebut akan rusak

jika ditata dalam situasi yang baru. Masalah demikian sering dihadapi agen

pembaru yang melayani kliennya dengan latar belakang budaya yang beragam.

Agen pembaru yang telatih dan berasal dari daerah perkotaan biasanya harus

belajar untuk mengamati situasi pertanian, karena yang diajak bekerjsama dan

mengamati sesuatu adalah orang-orang dengan latar belakang yang berbeda.

Anggota subak mungkin memandang kondisi tertentu dengan cara berbeda.

Sebelum anggota subak mengenal SRI, maka anggota subak tidak dapat

membentuk sikap tertentu terhadap SRI. Kepribadian anggota subak, begitu pula

norma-norma sistem sosialnya memengaruhi anggota subak mencari informasi,

pesan apa saja yang belum diterima, dan bagaimana menafsir keterangan yang

diperoleh itu untuk kelangsungan usahataninya. Dengan demikian persepsi

penting dalam menentukan perilaku komunikasi anggota subak pada tahap

penentuan sikap terhadap metode SRI. Ciri-ciri inovasi yang tampak seperti

keuntungan relatif, kompatibilitas, dan kerumitan atau kesederhanaannya sangat

penting artinya pada tahap anggota subak mempersepsikan inovasi SRI.

Dalam mengembangkan sikap berkenan atau tidak berkenan terhadap SRI,

anggota subak menerapkan ide baru itu secara mental pada situasi dirinya

sekarang atau masa mendatang sebelum menentukan apakah akan mencobanya

atau tidak. Proses mental ini dapat dianggap sebagai percobaan pengganti

(semacam penilaian, namun berbeda dengan percobaan inovasi secara fisik yang

dipandang sebagai bagian dari tahap keputusan). Setiap inovasi termasuk SRI

mengandung risiko subyektif tertentu pada anggota subak. Anggota subak belum

tahu persis akibat atau hasil yang akan diperoleh dari SRI, karena itu anggota

(25)

7

Tujuan akhir seorang agen pembaru adalah berkembangnya perilaku

“memperbarui diri sendiri” pada anggota subak. Dengan kata lain, penyuluhan

pertanian menghasilkan petani pembelajar, petani penemu ilmu dan teknologi,

petani pengusaha agribisnis yang unggul, petani pemimpin di masyarakatnya,

petani “guru” dari petani lain yang bersifat mandiri. Sifat mandiri meliputi

kemandirian material, kemandirian intelektual, dan kemandirian pembinaan.

Kemandirian material artinya anggota subak memiliki kapasitas untuk

memanfaatkan secara optimal potensi sumberdaya alam yang mereka miliki

sendiri tanpa harus menunggu bantuan orang lain atau tergantung dari luar.

Kemandirian intelektual artinya anggota subak memiliki kapasitas untuk

mengkritisi dan mengemukakan pendapat tanpa dibayang-bayangi rasa takut atau

tekanan dari pihak lain. Kemandirian pembinaan artinya anggota subak memiliki

kapasitas untuk mengembangkan dirinya sendiri melalui proses belajar tanpa

harus tergantung atau menunggu sampai adanya “pembina” atau “agen pembaru”

dari luar sebagai “guru” mereka.

Masalah Penelitian

Proses resosialisasi sangat diperlukan untuk mengembangkan program

belajar pada masyarakat tani. Proses resosialisasi ini penting karena proses

sosialisasi cara bertani yang didapat dari nenek moyangnya tidak cukup dan tidak

memadai untuk dijadikan bekal bertani untuk memenuhi kebutuhan hidup di masa

depan. Dengan demikian, petani sangat memerlukan wadah untuk belajar kembali

tentang teknik bertani yang lebih baik.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan

masalah penelitian sebagai berikut:

(1) Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi pengadopsian SRI di kalangan

anggota subak;

(2) Bagaimanakah pengaruh faktor-faktor persepsi anggota subak tentang SRI,

sikap anggota subak terhadap SRI, dan kemandirian anggota subak

menerapkan SRI terhadap pengadopsian metode SRI di kalangan anggota

subak;

(3) Bagaimanakah hubungan kausalitas (sebab-akibat) diantara faktor-faktor yang

(26)

(4) Bagaimanakah model pengadopsian SRI di kalangan anggota subak yang

sesuai dengan sistem sosial subak di Bali.

Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah menghasilkan suatu model peningkatan

kapasitas subak untuk mengadopsi SRI di Bali, sehingga petani memiliki tempat

untuk belajar, saling tukar menukar informasi, dan pengalaman, serta memiliki

ikatan yang kuat di antara sesama petani. Dengan demikian, petani memiliki

kekuatan untuk memecahkan masalah bersama-sama dengan dukungan nilai-nilai

tradisional yang sudah ada sejak dahulu kala.

Berdasarkan masalah penelitian, maka dirumuskan tujuan penelitian secara

lebih spesifik sebagai berikut.

(1) Menemukan faktor-faktor yang memengaruhi pengadopsian SRI di kalangan

anggota subak.

(2) Menganalisis pengaruh faktor-faktor persepsi anggota subak tentang SRI,

sikap anggota subak terhadap SRI, dan kemandirian anggota subak

menerapkan SRI terhadap pengadopsian SRI di kalangan anggota subak.

(3) Menganalisis hubungan kausalitas (sebab-akibat) diantara faktor-faktor yang

memengaruhi pengadopsian SRI di kalangan anggota subak

(4) Merumuskan model pengadopsian SRI di kalangan anggota subak yang sesuai

dengan sistem sosial subak.

Kegunaan Penelitian

Perubahan iklim global menjadi dasar kajian dalam penelitian ini, karena

salah satu akibat dari perubahan iklim global tersebut menyebabkan kelangkaan

sumber daya alam terutama air irigasi. Padahal air irigasi adalah sumber

kehidupan untuk kelangsungan hidup pertanian di negeri ini.

Subak sebagai lembaga tradisional pengelola air irigasi di Bali memiliki

potensi yang besar untuk menerima inovasi dan dikembangkan menjadi wahana

belajar petani. Dengan peningkatan kapasitas subak menjadi wahana belajar

petani maka diharapkan penelitian ini berguna dalam merumuskan konsep-konsep

dasar pengembangan subak sebagai wahana belajar petani. Dengan dukungan

(27)

9

kontribusi yang berharga untuk memberikan solusi penyelesaian masalah yang

terkait dengan isu-isu lemahnya sumberdaya manusia, penguatan kelembagaan

tradisional, menurunnya fungsi lingkungan, ketahanan pangan, dan kesehatan.

Hasil penelitian tentang adopsi SRI dapat dimanfaatkan dalam kegiatan

penyuluhan, sehingga proses adopsi SRI oleh anggota subak dapat dipercepat.

Adapun implikasi penelitian adopsi SRI terhadap kegiatan penyuluhan adalah: (1)

Penyuluh dapat memilih dan mengembangkan berbagai sumber informasi yang

digunakan pada awal dan akhir proses adopsi metode SRI; (2) Media sangat

berperan menarik minat untuk melakukan komunikasi pribadi mengenai SRI,

penyuluhan akan efektif apabila ada tindak lanjut di lapangan. Contohnya: (a)

Siaran pedesaan tentang SRI. Walaupun minat masyarakat tani dapat

ditumbuhkan untuk menerapkan SRI, namun bila tidak ada tindak lanjut (diskusi,

denplot yang didampingi penyuluh) kegiatan ini tidak ada gunanya, (b)

Penempelan poster “SRI pola tanam masa kini” memang dapat menumbuhkan

minat dan kesadaran, tapi tidak ada gunanya jika tidak diikuti tindak lanjut, dan

(3) Agen penyuluh dapat membantu anggota subak untuk meningkatkan kapasitas

subak sebagai wahana belajar dan lembaga ekonomi sehingga menjadi lebih kuat

menghadapi penjual, pemberi kredit, dan/atau tuan tanah. Apabila ini dilakukan

akan mengubah suatu sistem yang lebih berpihak kepada yang lemah.

Penelitian ini juga berguna kepada anggota subak baik yang telah

mengadopsi SRI maupun yang belum mengadopsi SRI. Kepada anggota subak

yang telah mengadopsi SRI, hasil penelitian ini dapat dipertimbangkan dan

dijadikan bahan evaluasi untuk memperbaiki paket-paket teknologi SRI yang

belum diterapkan ataupun penerapannya di lapangan belum sempurna, sehingga

dapat meningkatkan kualitas penerapan SRI di masa depan. Kepada anggota

subak yang belum menerapkan SRI, hasil penelitian ini sebagai

stimuli/rangsangan menumbuhkan minat untuk menerapkan SRI di lahan

usahataninya, sehingga penyebaran SRI di kalangan anggota subak semakin cepat.

Kepada pengurus subak, hasil penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan

untuk menjadikan subak sebagai tempat belajar petani anggotanya untuk

mempertimbangkan, menilai, mencoba, dan menerapkan suatu inovasi baru yang

(28)

dapat dijadikan inspirasi bahwa subak yang dipimpinnya mempunyai potensi

untuk dikembangkan sebagai lembaga tradisional yang tidak hanya mengelola air

irigasi tetapi juga sebagai tempat belajar, tempat penguatan ekonomi pedesaan

terutama sebagai penyedia sarana produksi yang diperlukan anggotanya.

Penelitian ini juga berguna dalam pengembangan ilmu penyuluhan

pembangunan di masa depan. Diketahuinya faktor-faktor yang memengaruhi

adopsi inovasi pertanian dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk

menyusun informasi, program, dan aksi penyuluhan yang sesuai dengan

kebutuhan petani.

Definisi Istilah Subak:

Subak adalah lembaga irigasi tradisional di Bali yang berfungsi sebagai pengelola

air untuk memproduksi pangan, khususnya beras yang bersifat

socio-agraris-religius.

Karakteristik anggota subak:

Karakteristik anggota dan pengurus subak merupakan kondisi yang

menggambarkan ciri atau profil seseorang atau sekelompok orang yang

membedakannya dengan individu atau kelompok lain.

Kompetensi Penyuluh:

Kompetensi penyuluh adalah kemampuan seseorang untuk mengubah perilaku

masyarakat menuju kondisi yang lebih bermutu, sekaligus mencapai tujuan

program intervensi. Peubah ini diukur berdasarkan kemampuan berkomunikasi,

kemampuan memotivasi, dan kemampuan melakukan transfer belajar. Transfer

belajar berarti kemampuan seseorang untuk menggunakan hasil-hasil belajar yang

telah didapatnya di dalam situasi yang baru yang sama dengan situasi sebelumnya

atau yang lebih kompleks.

Kompetensi Pengurus Subak:

Kompetensi pengurus subak adalah kemampuan pengurus subak dalam membantu

menyebarluaskan inovasi. Peubah ini diukur berdasarkan kemampuan pengurus

(29)

11

Persepsi anggota subak tentang SRI:

Persepsi anggota subak adalah pengertian anggota subak terhadap paket-paket

teknologi SRI. Peubah ini diukur berdasarkan atas tingkat penerimaan ataupun

penolakan secara mental terhadap prinsip-prinsip SRI dengan bekal pengetahuan

dan pengalaman usahataninya.

Sikap petani angota subak terhadap SRI:

Sikap anggota subak adalah tingkat persetujuan anggota subak terhadap

paket-paket teknologi SRI. Peubah ini diukur dengan skala sikap.

Kemandirian anggota subak:

Kemandirian (self-reliance) adalah suatu suasana atau kondisi yang telah mencapai kondisi itu tidak lagi tergantung pada bantuan atau kedermawanan

pihak ketiga untuk mengamankan kepentingan individu atau kelompok.

Pengadopsian metode SRI:

Pengadopsian metode SRI adalah proses mental yang terjadi pada individu

anggota subak untuk menerima atau menolak inovasi SRI.

Sistem of Rice Intensification (SRI):

SRI adalah cara bercocok tanam padi dengan pengelolaan tanah, tanaman, dan air

secara intensif dan efisien melalui pemberdayaan kelompok dan kearifan local,

(30)
(31)

13

TINJAUAN PUSTAKA

System of Rice Intensification (SRI)

SRI merupakan model pertanian yang menekankan pada pengolahan

sistem pertanian yang ramah lingkungan dan mulai dikembangkan di Madagaskar

awal tahun 1980 oleh Fr. Henri de Laulanie, S.J. yang datang dari Prancis sejak

tahun 1961. Henri menghabiskan waktu selama 34 tahun bekerja bersama petani

Madagaskar, mengamati dan bereksperimen, dalam rangka meningkatkan sistem

pertanian, terutama produksi padi yang menjadi makanan pokok di Madagaskar.

Henri merekomendasikan perubahan yang sederhana dan murah pada praktik

penanaman, seperti tanam bibit muda pada jarak yang lebar, penanaman bibit

dilakukan pada saat 10-15 hari setelah benih disebar dengan jarak 25 x 25 cm

(Stoop dan Kassam 2006:1), selain itu menghemat air, namun produktivitas tetap

tinggi dan menguntungkan petani. Menurut Uphoff (2003:5), SRI dapat

menghemat penggunaan air (25-50%), penggunaan benih (80-90%), penurunan

biaya produksi (10-20%), dan peningkatan produktivitas padi (50-100%) bahkan

lebih.

Metode ini dikenal juga dengan nama Metode Madagaskar, SRI didasari

pemahaman bahwa padi mempunyai potensi untuk menghasilkan lebih banyak

batang dan biji daripada yang diamati sekarang. Uphoff dan Fernandes (2003:6)

menyebutkan bahwa SRI didasari pengetahuan bahwa potensi pertumbuhan

tanaman padi dapat diwujudkan dengan pemindahan lebih awal dan menciptakan

kondisi untuk pertumbuhan terbaik (jarak jauh, kelembaban, tanah yang aktif dan

sehat dari segi biologis, serta keadaan tanah aerobic selama masa pertumbuhan).

SRI mulai dikembangkan di Madagaskar sebagai respon atas menurunnya

kesuburan lahan, langka dan tingginya harga pupuk kimia, serta suplai air yang

terus berkurang. Pada tahun 1990 dibentuk Association Tefy Sains (ATS), sebuah

lembaga swadaya masyarakat Malagasy untuk memperkenalkan SRI. Empat

tahun kemudian, Cornell International Institut for Food, Agriculture and

Development (CIIFAD), mulai bekerjasama dengan ATS untuk memperkenalkan SRI di sekitar Ranomafama National Park di Madagaskar Timur yang didukung

(32)

Hasil metode SRI di Madagaskar sangat memuaskan, pada beberapa tanah

tak subur produksi normalnya dua ton/ha, petani yang menggunakan SRI

memperoleh hasil panen lebih dari delapan ton/ha, beberapa petani memperoleh

10-15 ton/ha, bahkan ada yang mencapai 20 ton/ha. Panen SRI di Srilanka dapat

menghasilkan panen sampai 17 ton/ha dan di Kuba percobaan metode SRI pada

satu hektar tanah mendapatkan hasil 9.5 ton/ha dibanding 6,6 ton/ha yang

biasanya diperoleh, musim berikutnya, 11,2 ton/ha (Uphoff dan Fernandes,

2003:10). Menurut Mutakin (2009:15), metode SRI minimal menghasilkan panen

dua kali lipat dibandingkan metode yang biasa dipakai petani.

Berdasarkan sistem pertanian ini membuat perkembangan meluas ke

berbagai negara di Asia Selatan dan Asia Tenggara dan telah berkembang sampai

ke-39 negara (Suryanata, 2007:3). SRI menyebar ke negara lain melalui bantuan

CIIFAD khususnya dari Prof. Norman Uphoff, dan Nanjing Agricultural

University China dan Agency for Agricultural Reseach and Development (Bilad, 2009:6). Pengembangan SRI juga dilakukan melalui uji coba di berbagai negara

di kawasan Asia, termasuk Asia Selatan seperti India, Bangladesh dan Srilanka,

maupun Asia Tenggara seperti Filipina, Vietnam, dan Indonesia. Kegiatan

validasi pengaruh SRI pada tahun 2006 dilaksanakan di 20 negara meliputi:

Bangladesh, Benin, Cambodja, Cuba, Gambia, Guinea, India, Laos, Mali,

Mozambique, Myanmar, Nepal, Pakistan, Peru, Filipina, Senegal, Sierra Leone,

Srilanka, Thailand, dan Vietnam. Uji coba tersebut menghasilkan perkembangan

yang positif (Anugrah et al. 2008:21).

Menurut Suryanata (2007:5), usahatani padi sawah metode SRI merupakan

usahatani padi sawah irigasi secara intensif dan efisien dalam pengelolaan tanah,

tanaman, dan air melalui pemberdayaan kelompok dan kearifan lokal serta

berbasis pada kaidah ramah lingkungan dan berkelanjutan. Budidaya padi metode

SRI disebut pertanian ramah lingkungan, karena sangat mendukung terhadap

pemulihan kesehatan lingkungan dan kesehatan pengguna produknya (Mutakin,

2009:17). SRI juga dapat dijadikan sebagai pertanian organik, karena mulai dari

pengolahan lahan, pemupukan hingga penanggulangan serangan OPT

(33)

15

Berdasarkan pengertian tersebut, usahatani padi sawah metode SRI

merupakan teknologi usahatani yang menekankan pada efisiensi input luar,

mengurangi penggunaan bahan kimia, memperhatikan keseimbangan lingkungan

dan penyediaan hasil produksi secara kontinyu dengan kuantitas dan kualitas

mencukupi yang sesuai dengan konsep pertanian berkelanjutan. Pertanian

berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk usaha

pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah, sekaligus

mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan

sumberdaya alam (Reijntes et al. 2008:14).

Prinsip utama usahatani padi sawah metode SRI sesuai dengan konsep

yang ada di pertanian organik dikarenakan sistem produksi pertanaman yang

berdasarkan daur ulang hara secara hayati (Sutanto, 2000:5). Menurut Bilad

(2009:7), prinsip utama usahatani padi sawah metode SRI adalah: penanaman

bibit muda (8-12 hari setelah berkecambah), jarak penanaman yang lebar

(minimal 25 x 25 cm, satu bibit per-titik), menghindari “trauma” pada bibit saat

penanaman, penanaman padi secara dangkal, manajemen air (tanah dijaga terairi

dengan baik, tidak terus menerus direndam dan penuh, hanya lembab),

meningkatkan aerasi tanah dengan pembajakan mekanis, dan menjaga

keseimbangan biologis tanah.

SRI mulai berkembang di Indonesia pada tahun 1997 dan telah

diujicobakan di beberapa kabupaten di Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara

Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan. Hasil penerapan gagasan SRI di

beberapa lokasi penelitian menunjukkan bahwa budidaya pada model SRI telah

meningkatkan hasil dibanding budidaya padi model konvensional. Menurut

Uphoff (2005:19), keberhasilan penerapan SRI di Indonesia apabila dilihat dari

budidayanya, dengan model SRI tanaman padi lebih cepat panen sekitar tujuh hari

dari model konvensional.

Diperkirakan + 60 persen lahan sawah di Pulau Jawa telah mengalami

degradasi kesuburan tanah (fisika, kimia, dan biologi) yang diindikasikan oleh

rendahnya kandungan bahan organik (dibawah 1%). Dampak dari rendahnya

kandungan bahan organik (BO) ini antara lain tanah menjadi keras dan liat

(34)

unsur hara tertentu, tanah menjadi masam, penggunaan air irigasi menjadi tidak

efisien serta produktivitas tanaman cenderung levelling-off dan semakin susah

untuk ditingkatkan. Hal ini disebabkan oleh kesuburan tanah yang semakin

menurun karena cara-cara pengelolaan lahan sawah yang kurang tepat sehingga

sawah semakin tandus sementara pemberian pupuk buatan yang terus-menerus,

bahan organik yang berupa jerami padi tidak dikembalikan ke lahan, tetapi

dibuang/dibakar sehingga mengakibatkan lahan sawah menjadi miskin beberapa

unsur hara yang dibutuhkan tanaman serta memburuknya sifat fisik lahan (Deptan

2007:6).

Pemakaian pestisida yang cenderung berlebihan dan tidak terkontrol

mengakibatkan: (1) Keseimbangan alam terganggu, (2) Musuh alami hama

menjadi punah sehingga banyak hama dan penyakit tanaman semakin tumbuh

berkembang dengan pesat, dan (3) Adanya residu pestisida pada hasil panen

(Deptan 2007:6).

Dari aspek pengelolaan air, usahatani sawah pada umumnya dilakukan

dengan penggenangan secara terus-menerus; di lain pihak kesediaan air semakin

terbatas. Untuk itu diperlukan peningkatan efisiensi penggunaan air melalui

usahatani hemat air. Usahatani padi sawah metode SRI merupakan teknologi

usahatani ramah lingkungan, efisiensi input melalui pemberdayaan petani dan

kearifan lokal (Deptan 2007:7).

SRI dikembangkan pertama kali di Madagaskar sejak tahun 1980-an. SRI

menggunakan lebih sedikit input produksi. SRI menggunakan lebih sedikit benih,

air irigasi, pupuk kimia, dan pestisida tetapi lebih banyak menggunakan input dari

bahan-bahan organik sehingga tanaman padi tumbuh dengan volume akar yang

banyak dan dalam, tangkai yang kuat dan butir padi yang dihasilkan lebih bernas

(Ikisan 2000: 1)

Terdapat enam prinsip dasar SRI. Pertama, menggunakan bibit semaian

yang lebih muda. Bibit siap ditanam umur 8-12 hari sejak benih disemaikan.

Dengan menanam bibit lebih muda maka potensi tumbuhnya tangkai dan akar

(35)

17

Gambar 1. Bibit padi siap ditanam pada SRI.

Kedua, memerlukan kecermatan dalam memindahkan bibit. Kecermatan

yang dimaksud adalah hati hati dalam memindahkan semaian untuk mengurangi

”trauma” tanaman pada lingkungan yang baru. Dengan demikian potensi

tumbuhnya akar dan tangkai akan semakin baik (Gambar 2).

Gambar 2. Pemindahan bibit pada SRI.

Ketiga, manajemen air yang baik. Dengan pemberian air secara reguler

dapat menyimpan (memelihara lengas tanah) dan kondisi tanah anaerob dan aerob

dapat bertukar setiap saat. Hal ini akan potensi untuk pertumbuhan akar sehingga

tanaman mampu memperoleh banyak bahan nutrisi yang bervariasi dari lahan

(36)

Gambar 3. Pengelolaan air pada SRI.

Keempat, menggunakan pupuk organik. Pupuk kompos digunakan sebagai

ganti atau sebagai tambahan terhadap pupuk kimia. Diperlukan 10 ton/ha kompos

untuk tanaman padi dengan SRI. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan

pertumbuhan tanaman oleh karena kesehatan dan struktur lahan yang lebih baik

dan lebih banyak suplai hara yang seimbang.

Kelima, menggunakan jarak tanam yang lebih lebar. Jarak tanam yang

digunakan adalah 25 x 25 cm bahkan bisa lebih. Tanaman padi ditanam dengan

pola bujur sangkar bukan pola baris. Sehingga tanaman padi tidak bersaing untuk

mendapatkan makanan dengan sesama sehingga potensi pertumbuhan akan lebih

baik (Gambar 4).

(37)

19

Keenam, memerlukan pengendalian gulma. Penyiangan pertama kali

dilakukan 10 hari setelah benih ditanam. Penyiangan yang baik bertujuan untuk

menghindarkan persaingan tanaman padi dengan gulma dalam mendapatkan

makanan, memberikan peluang masuknya oksigen ke dalam tanah, mikroba tanah

dapat bekerja dengan baik untuk menghasilkan N. Dengan demikian akar dengan

mudah mendapatkan unsur N yang diperlukan tanaman (Gambar 5).

Gambar 5. Diperlukan pengendalian gulma lebih cermat pada SRI.

Hasil pengujian di India (Ikisan 2000: 3) dengan teknologi SRI

menunjukkan bahwa terjadi peningkatan produksi sebesar 2,5 ton/ha

dibandingkan dengan teknologi konvensional yang biasa dilakukan petani India.

Biaya yang dikeluarkan untuk produksi juga lebih murah. Benih yang diperlukan

hanya 2 kg/ha, berbeda dengan teknologi konvesional yang mencapai 15-20

kg/ha.

Pada SRI, umur delapan hingga 12 hari semaian siap ditanam ketika baru

tumbuh dua tangkai daun. Tujuannya adalah saat benih tumbuh lebih

memungkinkan untuk menghasilkan rumpun yang lebih banyak dan pertumbuhan

akar yang lebih banyak. Ketika 30 cabang setiap tanaman tumbuh, bukan tidak

mungkin anakan ini akan bertambah hingga mencapai 50 cabang baru.

Pengairan harus dikelola dengan baik dalam metode SRI. Irigasi berkala

dilakukan untuk menjaga tanah tetap basah. Aktivitas “setting dan keringkan”

harus dilakukan untuk memberikan kondisi aerobik dan anaerobik bagi biota

(38)

untuk menghindari kemerosotan akar, di mana pada umumnya terjadi saat

penggenangan berlanjut. Kondisi air yang tidak menggenang, yang

dikombinasikan dengan penyiangan mekanik, akan menyebabkan aerasi di dalam

tanah akan lancar sehingga pertumbuhan akar akan semakin kokoh. Akar yang

kokoh dan banyak memudahkan untuk menyalurkan unsur hara yang diperlukan

tanaman.

SRI banyak memberikan manfaat kepada petani padi. Pada SRI Jerami

lebih tinggi dan butir padi lebih bernas, menghemat waktu hingga 10 hari, sedikit

bahkan tidak sama sekali memakai bahan kimia, lebih hemat air dibandingkan

dengan metode konvensional, sedikit butir padi yang kosong, butir lebih berat

tanpa perubahan ukuran, meningkatkan ketahanan tanaman dari angin ribut, lahan

semakin sehat karena terjadi aktifitas biologis dalam tanah, adalah sebagian kecil

dari manfaat selain peningkatan hasil yang lebih baik.

Perbandingan SRI dengan metoda konvensional dapat lebih meyakinkan

petani padi yang ingin mencoba beralih dari sistem konvensional ke SRI.

Perbandingan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan SRI dan metode konvensional

No Metode Konvensional Metode SRI

1. 50 kg benih per ha 15 kg per ha

2. Umur 25 – 30 hari baru ditanam Umur 7-12 hari sudah ditanam

3. Jumlah anakan maksimal 26 batang Jumlah anakan maksimal 56 batang

4. 3 bahkan lebih bibit yang ditaman Hanya satu bibit padi yang ditanam

5. Menggunakan pupuk NPK Dapat murni organik, anorganik maupun

gabungan organik dan anorganik

6 Penggenangan berlanjut Tanah macak-macak (kondisi lembab)

Sumber: Ikisan, 2000

Subak

Dinyatakan oleh Geertz (Suyatna, 1982:51) bahwa orang yang memiliki

tanah persawahan dalam satu aliran sungai, terikat dalam satu ikatan kelompok

yang ada hubungannya dengan air untuk persawahan. Ketua kelompoknya

disebut Kelihan Subak. Warga banjar dalam satu banjar kemungkinan terikat oleh

(39)

21

karena subak sangat tegas berpegangan pada daerah persawahan yang dialiri oleh

satu aliran sungai, sehingga subaknyapun berbeda jika orang mempunyai sawah

dengan lokasi aliran sungai berbeda.

Ada beberapa pendapat tentang asal kata subak. Semua pendapat

mengandung arti baik dan adil. Karena itu kiranya dapat disimpulkan bahwa

pembentukan subak didasarkan atas maksud hati nurani yang baik guna

kesejahteraan bersama bagi anggotanya. Grade (Suyatna, 1982:51) menunjukkan

dua kewajiban utama subak yaitu pekaryan dan penyubaktian. Pekaryan

merupakan kewajiban di luar keagamaan, antara lain membuat, memelihara dan

memperbaiki bendungan, terowongan, saluran air, dan juga jalan subak.

Penyubaktian merupakan kewajiban yang ada hubungannya dengan keagamaan,

antara lain membuat sesajen dan sembahyang di pura subak.

Selanjutnya Grader (Suyatna, 1982:52) menunjukkan awig-awig sebagai

peraturan subak. Di dalam awig tercantum hukuman atas pelanggaran

awig-awig tersebut. Pelanggaran disampaikan kepada kelian subak, yang selanjutnya

kelian subak menetapkan hukuman lewat pertemuan berikutnya. Umumnya

disiplin pada subak sangat tinggi sehingga sangat jarang pemerintah ikut campur

menangani permasalahan yang timbul. Umumnya pelanggaran yang timbul

tentang keterlambatan datang pada suatu pekerjaan subak, sama sekali tidak

datang, datang tanpa membawa alat yang dibutuhkan, serta pencurian air. Setiap

pelanggaran ada hukumannya yang umumnya berupa denda.

Arya (Suyatna, 1982:52) menyatakan bahwa peraturan tentang waktu

menanam juga dapat dijumpai di dalam subak. Peraturannya disebut kertamase,

yaitu peraturan subak tentang penertiban penanaman di sawah menurut masa atau

musim yang ditetapkan oleh subak tersebut.

Menurut Grade (Suyatna, 1982:52), sawah yang tidak ditanami tanpa

alasan, dapat dikenakan denda. Dendanya menjadi dua kali lipat dan diberi

peringatan, serta sawahnya tidak mendapatkan pembagian air jika terlambat

membayar denda tersebut. Ada beberapa kelompok tani yang bertujuan

(40)

barang. Orang yang tidak memiliki sawah juga dapat menjadi anggota sekeha

memule dan sekeha manyi.

Karakteristik Anggota Subak

Petani memiliki karakteristik yang beragam. Karakteristik tersebut dapat

berupa karakter demografis, karakter sosial serta karakteristik kondisi ekonomi

petani itu sendiri. Karakter-karakter tersebutlah yang membedakan tipe perilaku

petani pada situasi tertentu. Berikut adalah sejumlah karakteristik yang diamati

dalam penelitian ini.

Tingkat Subsistensi

Menurut Redfield (1983:106), tidak semua petani merasakan hal yang

sama terhadap pekerjaannya, tergantung pada kepemilikan tanah, kondisi

ekonomi, kondisi ekologi. Petani juga mengalami tekanan-tekanan kebutuhan

yang berbeda-beda, sehingga secara kritis perlu mencermati ciri-ciri khas petani

dan nilai-nilai yang dianutnya spesifik menurut waktu dan lokasi (Wolf, 1983:79).

Scott (1983:74) juga menyebutkan bahwa pola pengambilan keputusan

petani tergantung pada kondisi subsistensi petani, yang diasumsikan petani berada

dalam kondisi yang rawan terhadap krisis subsistensi. Sedikit saja kegagalan akan

sangat membahayakan kelangsungan hidup petani, petani akan memilih menolak

resiko dengan prinsip dahulukan selamat, dan melakukan strategi pembentukan

pengaturan bersama dalam bentuk desa serta kecenderungan untuk

mempertahankan ikatan patron-klien.

Wahono (1994;23) menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar

merupakan hal penting yang diperjuangkan oleh petani miskin dibandingkan

kebutuhan sosialnya. Petani miskin cenderung tidak mengalokasikan anggarannya

terlalu banyak pada kebutuhan sosial. Upaya-upaya menjalin hubungan dengan

petani lain, elit desa, atau pedagang, dan kegiatan sosial lainnya lebih banyak

didasarkan pada alasan ekonomi yaitu selalu dikaitkan dengan pemenuhan

(41)

23

Umur

Menurut Padmowihardjo (1999:36-37), umur bukan merupakan faktor

psikologis, tetapi apa yang diakibatkan oleh umur itu adalah faktor psikologis

dalam belajar. Semakin tinggi umur semakin menurun kerja otot, sehingga terkait

dengan fungsi kerja indera yang semuanya memengaruhi daya belajar. Pada masa

remaja, yaitu menjelang kedewasaan, perkembangan jauh lebih maju, walaupun

tidak banyak terjadi perubahan intelektual.

Menurut Salkind (1985;31-32), menentukan umur kronologis sebagai

ukuran perkembangan lebih mudah dilakukan. Walaupun dalam

perkembangannya masih terdapat perdebatan apakah umur memang berpengaruh

pada perkembangan dan pencapaian kemampuan tertentu sebagai wujud

perkembangan di samping umur akan mencirikan suatu perkembangan tertentu.

Menurut Schaie (Salkind ,1985:32), dari hasil penelitian yang ditemukan bahwa

perbedaan umur menunjukkan perbedaan kematangan,

perbedaan-perbedaan ini juga disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan interaksinya dengan

individu sebagai diri yang bersangkutan. Terkait dengan perkembangan umur,

kebutuhan-kebutuhan terhadap keterampilan tertentu berubah. Perbedaan umur

menunjukkan perbedaan keterampilan yang dibutuhkan.

Soetrisno dkk. (1999:12) menyatakan bahwa umur rata-rata petani

Indonesia yang cenderung tua dan hal itu sangat berpengaruh pada

produktivitasnya, lagi pula petani yang berusia tua biasanya cenderung sangat

konservatif dalam menerima inovasi teknologi.

Pendidikan

Menurut Ranaweera (1989:8), negara berbeda memberikan ragam

pendidikan non formal yang berbeda. Terdapat beberapa negara misal Amerika

Latin dan Filipina yang melaksanakan pendidikan non formal dalam kerangka

pluralisme budaya. Terkait dengan konteks interaksi dengan lingkungan ini maka

Klies (Sudjana, 2004:25) menyatakan bahwa pendidikan adalah sejumlah

pengalaman yang dengan pengalaman itu, seseorang atau sekelompok orang dapat

(42)

Cara mendidik oleh keluarga atau masyarakat secara alamiah disebut

sebagai pendidikan informal. Pendidikan yang dilakukan oleh suatu bangsa

secara bersistem melalui sekolah disebut sebagai pendidikan formal. Proses dan

hasil dari kedua jenis pendidikan ini saling mendukung dan memperkuat dalam

proses pencapaian kecakapan hidup untuk mengarungi kehidupan (DEPDIKNAS,

2004:7).

Menurut Nabung (2005:13), sistem pendidikan yang memadai apabila

pertama, mampu melahirkan profesional yang cakap secara intelektual, emosional,

dan sosial, tidak gagap dengan spesialisasi pilihannya. Kedua, mampu

menyediakan peluang diajarkannya bidang-bidang pengetahuan umum. Ketiga,

mampu membuka peluang bagi kelahiran kelompok diskusi lintas masalah.

Pendekatan pendidikan yang tepat akan memengaruhi kelanggengan

individu dalam menyelesaikan proses belajarnya. Pendekatan formal pendidikan

memberikan kesulitan bagi peserta yang ingin belajar tetapi tidak memiliki waktu

ke dalam kelas. Kelompok yang tinggal di pedesaan, memiliki keterbatasan untuk

mengakses pendidikan formal yang memadai. Pendidikan nonformal menjadi

penting untuk menunjang kemampuan individu yang tidak dapat mengakses ke

pendidikan formal (Ranaweera, 1989:8).

Segala situasi hakekatnya dapat menjadi proses pembelajaran yang

kategori pendidikan disebut sebagai pendidikan informal. Pendidikan informal

adalah sebutan untuk proses pendidikan seumur hidup bagi setiap orang dalam

mencari dan menghimpunkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan pengertian

diperoleh dari pengalaman sehari-hari dan pengaruh lingkungan. Pendidikan

informal tidak terorganisasi, tidak tersistem, dan tersebar sepanjang hidupnya

(Combs dan Ahmed, 1985:9-10). Dalam pendidikan informal ini termasuk di

dalamnya adalah proses-proses yang terjadi dalam keluarga, kelompok-kelompok

kepemudaan, maupun sistem sosial lainnya (Joesoef, 2004:73-78).

Luas Lahan Usahatani

Menurut Kasryno dkk. (1986:14), dalam banyak hal hubungan yang

terjalin antara petani dengan sumberdaya pertanian di desa sangatlah penting.

Sumberdaya pertanian paling penting adalah lahan pertanian. Mempelajari pola

(43)

25

desa yang bisa dijadikan dasar dalam pengembangan dan perbaikan taraf hidup

petani. Menurut Tjakrawiralaksana dan Soeriaatmadja (1983:7), lahan merupakan

pencerminan dari faktor-faktor alam yang berada di atas dan di dalam permukaan

bumi. Berfungsi sebagai (1) tempat diselenggarakan kegiatan produksi pertanian

seperti bercocok tanam dan memelihara ternak atau ikan, dan (2) tempat

pemukiman keluarga tani yang melakukan aktivitas dan berinteraksi sehari-hari.

Hernanto (1993:46) menyatakan bahwa luas lahan usahatani dapat

digolongkan menjadi tiga bagian yaitu (1) sempit dengan luas lahan < 0,5 ha, (2)

sedang dengan luas lahan antara 0,5 sampai 2 ha, dan (3) luas dengan luas lahan >

2 ha. Tohir (1983:115) mengemukakan bahwa luas lahan yang sangat sempit

dengan pengelolaan cara tradisional dapat menimbulkan (1) kemiskinan, (2)

kurang mampu memproduksi bahan makanan pokok khususnya beras, (3)

ketimpangan dalam penggunaan teknologi, (4) bertambahnya jumlah

pengangguran, dan (5) ketimpangan dalam penggunaan sumber daya alam.

Menurut Lionberger dan Gwin (1984:15), keterbatasan lahan yang dimiliki petani

akan memberikan pengaruh pada kekurang efisienan pengelolaan pertanian.

Mengingat selain lahan sebagai sarana produksi, lahan juga merupakan barang

yang harus dikeluarkan pajaknya. Perlu pemikiran ke arah kebijaksanaan lahan

pertanian yang proporsional.

Modal dan Akses Pada Kredit Usahatani

Petani Indonesia pada umumnya adalah petani gurem dengan modal uang

dan barang terbatas serta kepemilikan lahan yang sempit. Dengan modal terbatas

dan tingkat pendidikan yang masih rendah, berhadapan dengan lingkungan tropika

yang penuh risiko seperti banyaknya hama, tidak menentunya curah hujan dan

sebagainya, membuat para petani harus lebih berhati-hati dalam menerima inovasi

atau upaya-upaya pembaharuan. Karena apabila mereka gagal memanfaatkan

inovasi berarti seluruh keluarga mereka akan menderita (Mosher, 1987:179).

Kredit di pedesaan terdapat dua segmen terpisah, yaitu pasar kredit formal

dan kredit informal. Lembaga keuangan formal jarang dimanfaatkan petani untuk

membiayai usahatani padi, mengingat petani umumnya tidak memiliki jaminan

(44)

Badan-badan efisien, yang memberikan kredit produksi kepada petani

dapat merupakan faktor pelancar penting bagi pembangunan pertanian. Untuk

memproduksi lebih banyak, petani harus lebih banyak mengeluarkan uang untuk

bibit unggul, pestisida, pupuk, dan alat-alat. Pengeluaran-pengeluaran seperti itu

harus dibiayai dari tabungan atau dengan memimjam selama jangka waktu antara

saat pembelian sarana produksi itu dan saat penjualan hasil panen. (Mosher,

1978:179).

Pengalaman Usahatani

Menurut Padmowihardjo (1999:19), pengalaman adalah suatu kepemilihan

pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu yang tidak ditentukan.

Pengaturan pengalaman yang dimiliki oleh seseorang sebagai hasil belajar selama

hidupnya dapat digambarkan dalam otak manusia. Seseorang akan berusaha

menghubungkan hal yang dipelajari dengan pengalaman yang dimiliki dalam

proses belajar. Pengalaman yang menyenangkan dan memuaskan akan

berdampak pada hal positif bagi perilaku yang sama yang akan diterapkan pada

situasi berikutnya.

Dalam mengelola usahataninya, petani masih banyak menggunakan

sendiri atau pengalaman orang lain dan perasaan atau feeling (Tohir, 1983:180).

Menurut Lubis dan Endriatmo (1991:67), beberapa cara bertani dari para pemuda

berasal dari interaksi dengan orang tua. Selanjutnya pengalaman yang kurang

menyenangkan dalam bekerja pada sektor ini berpengaruh terhadap pilihan untuk

melanjutkan bertani sebagai suatu pilihan usaha.

Kompetensi Penyuluh

Strategi penyuluhan diarahkan untuk: (1) berkembangnya kelembagaan

petani, (2) berkembangnya kemandirian petani, (3) berkembangnya kemampuan

penyuluh sesuai dengan perubahan orientasi penyuluhan pertanian, (4)

meningkatnya kerjasama antara peneliti, penyuluh, dan petani, (5)

mengembangkan pendekatan partisipatory dan cost-sharing, (6) membaiknya mekanisme tata hubungan kelembagaan terkait, dan (7) meningkatnya komunikasi

(45)

27

kuantitas, standar mutu, ilmu pengetahuan, kredit perbankan, dan kesempatan

usaha) (Abbas, 1995;18).

Untuk mendukung strategi penyuluhan, maka penyuluh seharusnya tetap

berpegang pada falsafah dasar penyuluhan pertanian (Samsudin, 1987:15), yaitu

(1) penyuluhan merupakan proses pendidikan, (2) penyuluhan merupakan proses

demokrasi, dan (3) penyuluhan merupakan proses kontinyu. Sebagai proses

pendidikan, penyuluh harus dapat membawa perubahan perilaku sasaran baik

pada aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Sebagai proses demokrasi,

penyuluh harus mampu mengembangkan suasana bebas untuk mengembangkan

kemampuan masyarakat, mengajak sasaran penyuluhan berpikir menyelesaikan

masalahnya, merencanakan dan bertindak bersama-sama di antara mereka untuk

mereka. Sebagai proses yang kontinyu, penyuluhan harus dimulai atas dasar

kebutuhan yang senantiasa dirasakan oleh petani untuk mencapai tujuan yang

mereka kehendaki. Penyuluhan berkewajiban menyadarkan petani tentang adanya

kebutuhan yang nyata ada (real need) menjadi kebutuhan yang dirasakan (felt need).

Kompetensi penyuluh menunjukkan profesionalisasi dengan mengacu

pada penerapan manajemen mutu terpadu, yakni pola manajemen penyuluhan

yang memuat prosedur agar setiap orang dalam organisasi penyuluhan terus

menerus memperbaiki jalan menuju sukses, dan dengan penuh semangat

berpartisipasi dalam perbaikan pelaksanaan kerja (Slamet dan Soemardjo,

2003:5). Penyuluh dikatakan bermutu baik jika dapat memenuhi atau melebihi

kebutuhan dan harapan pihak yang disuluh (sasaran). Agar penyuluhan dapat

bermutu baik, maka seluruh sumber daya harus dipergunakan dengan baik, dan

proses penyuluhan harus tetap berpegang pada falsafah dan prinsip penyuluhan.

Kompetensi Pengurus Subak

Orang-orang tertentu di dalam suatu masyarakat menjadi tempat tempat

bertanya dan tempat meminta nasehat anggota masyarakat lainnya mengenai

urusan-urusan tertentu. Mereka ini seringkali memiliki kemampuan untuk

memengaruhi orang lain untuk bertindak dalam cara-cara tertentu. Mungkin

mereka itu menduduki jabatan formal, tetapi pengaruh itu berlaku secara informal;

Gambar

Gambar 2.  Pemindahan bibit  pada SRI.
Gambar 3.  Pengelolaan air pada SRI.
Gambar 9.  Proses pengambilan keputusan inovasi
Gambar  10.  Faktor-faktor yang memengaruhi proses adopsi inovasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh komitmen organisasi, akuntabilitas, partisipasi masyarakat, tranparansi kebijakan publik, dan political background

[r]

The result of this research should to strengthen the awareness teachers’ interpersonal skill is important in teaching and learning process.. why the teachers should maintain

Gambar 3.2 Grafik Hasil Peramalan Jumlah Wisatawan Mancanegara yang Berkunjung ke Sumatera Utara... Kolom 6 adalah a (konstanta) untuk persamaan ramalan yang akan

KAJIAN PENGARUH TATA RUANG TERHADAP PSIKOLOGI ANAK (STUDI KASUS : LEMBAGA PEMASYARAKATAN PENJARA ANAK PRIA.. KELAS II A

Tabel 1 ' Hasil analisis tekstur tanah (kandungan pasir, debu, dan liat), jenis tanah dan indeks kemantapan agregat.. Spektrum infra red gugus fungsional utama eksopolisakarida

Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PBHS) dikategorikan baik yaitu sebanyak 22 orang (73,33%), hampir seluruh responden dikategorikan

ETSA merupakan anak perusahaan dengan 90% kepemilikan ELNUSA, yang bergerak di bidang jasa marine support yang secara spesifik memberikan jasa pendukung operasional bagi