PROVINSI GORONTALO
(STUDI KASUS ARAH PENGELOLAAN KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR PERTAMBANGAN PASCA PERUBAHAN STATUS SEBAGIAN KAWASAN TAMAN
NASIONAL BNW MELALUI RTRWP GORONTALO)
AMIR HALID
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “Model Kelembagaan Pemanfaatan Sumberdaya Tambang dan Kaitannya Terhadap Pembangunan Wilayah
Di Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo (Studi Kasus Arah Pengelolaan
Kebijakan Ekonomi Di sektor Pertambangan Pasca Perubahan Sebagian Status
Kawasan Taman Nasional BNW Melalui RTRWP Gorontalo)” adalah benar
merupakan karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2012
Amir Halid
Regional Development in Bone Bolango Regency in Gorontalo Province. (Case Study of Governance Guidelines of Economy Policy at Mining Sector after Removing Part of National Park through Revision of Regional Planning of Gorontalo Province) Under supervision of AKHMAD FAUZI (Main Supervisor), BABA BARUS and SETIA HADI (Co-Supervisor).
Bone Bolango region located in Gorontalo Province covers an area of 188,006.43 Ha which consist of 142,664.38 Ha or 75,88% forest and 45,326,5 Ha or 24,22% is regional stated. The regency is endowed with rich mineral resources, yet it finds some difficulties in regional planning and developing in regional economics, based on existing land. The Government has already issued licenses for optimizing the mining resource called (Kontrak Karya) since 1971. In 2008 Minerals and Energy Resources Department calculated the deposit the value of mineral reached as much as $ 18,9 M, or equal with Rp 190 Trillion with price is 103,4/troy-once. Increased in mineral value and unclear land rights has created an un-fair competition and create conflicts
over resources. This is impacted “institutional vacuum”. The Illegal Mining and
social economy activities become informal institutional or shadow economy to fulfill the uncertainty of resources authority. The objectives of this study as follows: 1) provided historical perspective of changes in land ownership and to provide the map of identification, inventarization, occupied concession land using spatial analysis. 2) to analyze the economy feasibility of mining resources based on marketing structure and extraction aspects as well as at the ore, price and environmental fee and the effect for regional development using economics valuation and Hotelling model.3) developed an institutional framework for mining resources utilization for sustainable development using logistic regression analysis and institutional economic framewrok. Results are (1) the land use and land cover is dominated by forestry and agriculture is covered in Bulawa also Bone Raya sub districts. Property is covered in all sub districts. (2) sub district Bone Raya, Bulawa, Suwawa Timur, Bone and Bone Pantai sub district occupied in the land of consesion of this company. (3) the agriculture is covered in all sub districts, but Bone Raya and Bulawa is more much than the other sub districts. (4) Property also covered in all sub districts, such as Bone Raya, Bulawa and Bone sub districts. (5) illegal mining is more covered in Suwawa Timur sub district. Economic valuation showed that (1) IRR of investment is 21.3%, and NPV is $ 462.42 Billion, and payback period is 7,84 years, with the criteria of investment is evaluated by constant dollars. showed that production planning of gold, cooper, and silver of this company is feasible. (2) changed in discount rate of 5%, 8%, 10% and 15% will affect production on the first ten years only. The change of price from $ 900, $ 1200, $ 1600 to $ 2000 will tend to decrease extractio, yet it will not postpone the company for extraction planning. The change in environmental cost of 1%, 1,5%, and 5% will not change significantlt to the extraction. Variables that are significant to influence participation in mining sectors are age of respondent, education and socio-economics infrastructures. These will influence to reduce illegal mining and to form institutional framework. An institutional model is proposed to manage the
mining revenues through multi stake holder institution.
“
Kaitannya Terhadap Pembangunan Wilayah di Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo (Studi Kasus Arah Pengelolaan Kebijakan Ekonomi disektor Pertambangan Pasca Perubahan Sebagian Status Kawasan Taman Nasional BNW
Melalui RTRWP Gorontalo)”dibimbing olehAKHMAD FAUZI selaku ketua, BABA
BARUS, SETIA HADI sebagai anggota.
Kabupaten Bone Bolango memiliki luas wilayah 188.006,43 Ha, terdiri dari 142.664,38 Ha atau 75,88% adalah kawasan hutan (kawasan Lindung) dan 45.326,5 Ha atau 24,22% adalah kawasan pemanfaatan (budi daya). Daerah ini mengalami kesulitan menyusun perencanaan dan implementasi pembangunan saat ini, antara lain bagaimana menata ruang yang telah memiliki izin pemanfaatan (kontrak karya pertambangan) sementara terdapat pemanfaatan oleh masyarakat dan telah memiliki fasilitas umum dan fasilitas khsus Pemerintah. Daerah penelitian ini diduga merupakan bagian dari pulau Sulawesi yang memiliki potensi pertambangan tinggi terutama tembaga, emas dan perak. Pada tahun 2006, Departemen ESDM telah menghitung cadangan sumberdaya mineral yang ada mencapai $10,493.577 atau sekitar Rp 100 Trliyun dengan kisaran harga emas $ 103 /troy,once, dan pada tahun 2008 total nilainya mencapai $ 18,9 Miliyar atau setara dengan nilai rupiah Rp 190 Triliyun dengan kisaran harga emas yang sama. Pada tahun 2010 diperkirakan nialinya terus mengalami kenaikan karena harga emas saat itu $ 1130,3 /troy/once. Diduga bahwa pemicu hubungan persaingan antara Pemerintah, pengusaha dan masyarakat di wilayah tersebut telah menjurus pada konflik sosial ekonomi bahkan
telah masuk pada rana politik berawal dari persoalan ini. ketika terjadi “kekosongan”
kelembagaan formal baik Departemen Kehutanan sebagai pengelola kawasan hutan maupun perusahaan sebagai pemegang konsesi pertambangan berakibat adanya klaim kepemilikan dan penguasaan oleh Penambangan emas tanpa ijin (PETI), pertanian, perkebunan dan pemukiman muncul sebagai kelembagaan informal atau ekonomi bayangan mengisi ketidakpastian status penguasaan SDA negara.
Tabel frekuensi dan Kontigensi dan Analisis Statisitik Model Logistik.
Adapun output pada masing-masing alat analisis yaitu: Pertama analsis
spasial dan land tenure: 1) peta tutupan lahan Nampak di dominasi oleh hutan, kemudian areal perkebunan yang menyebar di Kecamatan Bulawa dan Kecamatan Bone Raya, sedangkan PETI dan semakbelukar menyebar di Kecamatan Bone dan Bone Raya, selanjutnya pemukiman menyebar disemua Kecamatan namun paling banyak berada di Kecamatan Bone Raya. 2) Peta batas administrasi yaitu seluruh wilayah Kecamatan Bone Raya berada di Wilayah Konsesi, kemudian di disusul oleh Kecamatan Bulawa dan Suwawa Timur, serta Kecamatan Bone dan Kecamatan Bone pantai. 3) Peta Areal Pertanian menyebar di semua Kecamatan namun paling dominan yaitu di Kecamatan Bulawa, Kecamatan Bone Raya dan Kecamatan Bone. 4) Peta permukiman juga menyebar di semua Kecamatan namun paling banyak berada di Kecamatan Bone Raya dan Bulawa serta Kecamatan Bone. 5) Peta Pertambangan tanpa izin (PETI) lebih banyak berada di Kecamatan Suwawa Timur di Desa Bangio, kemudian dikecamatan Bulawa di Desa Mamungaa, Kecamatan Bone Raya serta Kecamatan Bone di Desa Waluhu..
Kedua valuasi ekonomi mineral : 1) Dengan internal rate of return (IRR)
21.39%, nilai Net Present Value (NPV) $ 462.42 juta, pay back period (PBP) selama
7.84 tahun. Kriteria-kriteria investasi yang dievaluasi berdasarkan analisis konstan dollar, dapat disimpulkan bahwa rencana produksi tembaga-emas PT.Gorontalo Minerals layak secara ekonomi karena nilai tersebut menunjukkan positif. 2) Pengaruh diskonto pada ekstraksi cadangan menunjukkan bahwa pada 10 tahun pertama adalah faktor perubahan diskonto sebesar 5%, 8%, 10% dan 15%. Hal ini cukup memiliki pengaruh terhadap nilai cadangan karena pada T1 ini kecenderungan untuk mengoptimalkan nilai ekstraksi semakin tinggi. Pengaruh perubahan harga pada ekstraksi dengan asumsi $ 900, $ 1200, $ 1600 dan $ 2000 nilai ekstraksi mengalami penurunan meskipun hal ini tidak akan menunda pengekstrasian dari pihak perusahaan. Selanjutnya ditemukan bahwa perubahan biaya lingkungan antara 1%, 1,5% dan 5% tidak memiliki perubahan (sama). Hal ini memungkinkan manajemen perusahaan meningkatkan biaya lingkungan sehingga pada akhir masa produsi perusahaan tidak akan banyak mengeluarkan biaya lagi kecuali untuk reklamasi dan revegetasi. Namun jika biaya lingkungan berbeda antara 1,5% dan 5% yaitu perbedaan yang signifikan terjadi pada periode 10 tahun pertama, namun pada periode kedua perbedaanya cenderung tidak signifikan lagi yaitu biaya lingkungan
1,5%( 47,02 juta ton) sedangkan biaya lingkaungan 5% yaitu (48.12 juta ton).
Ketiga Analisis model kelembagaan mengacu pada dua komponen utama
yaitu Institutional Arrangement yang memiliki tuju sub-komponen yaitu prinsip
penjelasan naratif tentang hasil temuan dilokasi penelitian melalui uji Korelasi biasa
dan hasil analisis Logistik yaitu Variable X yang berpengaruh nyata terhadap
partisipasi adalah umur responden, nilai-p) (0.038) < alpha 10% maka umur
berpengaruh nyata terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 0.90. Variable X
yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi adalah responden berpendidikan sekolah lanjutan atas (SLTA), nilai-p) (0.079) < alpha 10% maka pendidikan sma
berpengaruh nyata terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 2.56. VariableX lain
yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi adalah responden berpendidikan tinggi (PT), nilai-p) (0.015) < alpha 10% maka pendidikan PT berpengaruh nyata terhadap
partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 15.19 . Variable X yang berpengaruh nyata
terhadap partisipasi adalah responden mengikuti sosialisasi, nilai-p) (0.035)<alpha
10% maka mengikuti berpengaruh nyata terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar
12.78. Variable X yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi adalah infrastruktur
jalan, nilai-p) (0.027) < alpha 10% maka persepsi infrastruktur jalan berpengaruh
nyata terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 5.2. Variable X yang berpengaruh
nyata terhadap partisipasi adalah sarana perhubungan, nilai-p) (0.003) < alpha 10%
maka persepsi perhubungan jalan berpengaruh nyata terhadap partisipasi. Nilai odds
ratio sebesar 4.71. Variable X yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi adalah sarana perekonomian , nilai-p) (0.060) < alpha 10% maka persepsi perekonomian
berpengaruh nyata terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 0.29. variable X yang
berpengaruh nyata terhadap partisipasi adalah sarana olah raga, nilai-p) (0.066) <
alpha 10% maka persepsi olah raga berpengaruh nyata terhadap partisipasi. Nilai odds
ratio sebesar 3.02 . Variable X yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi adalah posisi (pemilik PETI), nilai-p) (0.062) < alpha 10% maka posisi berpengaruh nyata
terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 0.062. Variable X yang berpengaruh
nyata terhadap partisipasi adalah aktivitas sosek, nilai-p) (0.056) < alpha 10% maka
aktivitas sosial ekonomi berpengaruh nyata terhadap partisipasi. Nilai odds ratio
sebesar 0.40. Sub komponen model kelembagaan terakhir yaitu implikasi kebijakan pengembangan model kelembagaan pemanfaatan sumberdaya tambang dihasilkan
satu kelembagaan yang dikenal dengan nama Dewan Tambang (Board Mining) dan
memiliki orgaisasi eksekutif yang dinamakan Lembaga Multi Pihak (Institutional
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012
Hak cipta dilindungi
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan wajar Institut Pertanian Bogor.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
PROVINSI GORONTALO
(STUDI KASUS ARAH PENGELOLAAN KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR PERTAMBANGAN PASCA PERUBAHAN STATUS SEBAGIAN KAWASAN TAMAN
NASIONAL BNW MELALUI RTRWP GORONTALO)
AMIR HALID
DISERTASI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup
1. Prof. Dr. Ir Affendi Anwar, M.Sc
2. Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka
1. Prof. Dr. Ir. Nelson Pomalingo, M.Pd
kaitannya terhadap Pembangunan Wilayah di Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo
(Studi Kasus Arah Pengelolaan Kebijakan Ekonomi di sektor Pertambangan Pasca Perubahan Sebagian Status Kawasan Taman Nasional BNW Melalui RTRWP Gorontalo)
Nama : Amir Halid
NRP : H162070021
Program Studi : Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc
Ketua
Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si
Anggota
Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc
Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Dengan Rahmat Allah Swt, Penulis memanjatkan kehadira Ilahi Robbi, atas segala karunia dan Hidayah-Nya, sehingga penyusunan dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa penyelesaian tulisan ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para pembimbing, Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi M.Sc. Dr. Ir Baba Barus M.Sc, Dr. Ir Setia Hadi M.Si, atas curahan waktu, bimbingan, arahan, nasihat dan motivasi moral sejak awal penulisan hingga selesainya disertasi ini. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir Bambang Juanda M.S dan Prof Dr. Ir Afendi Anwar M.Sc sebagai penguji pada ujian tertutup, Prof. Dr. Ir Nelson pomalingo M.Pd dan Prof. Dr. Ir Abrar Saling M.H sebagai penguji luar pada ujian terbuka yang telah banyak memberikan masukan dan saran bagi disertasi ini.
Penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Dr. Ir Suseno Kramadibrata, Ir. Sahrial Suandi M.M, Ahmaad Alyafi SE, Didik Hatmoko ST, dan seluruh karyawan PT Gorontalo Minerals juga Dr. Ir. Rudianto Ekawan (Alm), Ir Fadhila M.T. yang telah banyak memberikan informasi dan memberikan kesempatan kepada saya mengikuti pelatihan valuasi ekonomi minerals di Lembaga Ahli Pertambangan Indonesia (LAPI) di Bandung. Ucapan yang sama kepada Prof. Dr. Ir. Ketut Wantika, Dr. Ir.Andri Hernandi yang telah memberikan dorongan moral terhadap penyelesaian tulisan ini. Demikian pula saya ucapkan terimakasih kepada mahasiswa D1 Survei dan Pemetaan ITB antara lain Gusti, Rizki dan Esda yang telah membantu disaat pengedaran angket di wilayah pertambangan tanpa izin (PETI) yang menjadi lokasi penelitian dengan medan yang cukup berat dan sulitnya membangun komunikasi dengan para penambang tanpa izin karena adanya faktor kecurigaan.
Penghargaan dan ucapan terimakasih yang besar juga disampaikan kepada Ketua Program Studi PWD. Prof. Dr. Ir Bambang Juanda, Sekertaris Program Studi PWD 2010-2012 Dr. Ir Setia Hadi M.Si dan Sekertaris Program Studi Dr. Ir Eka Intan Kumala Putri M.Sc serta Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB atas curahan waktu, bimbingan, arahan dan nasehat sejak saya melangkahkan kaki menjadi mahasiswa PWD tahu 2007 hingga saat ini. Ucapan yang sama saya sampaikan kepada Dekan Fakultas Pertanian UNG Prof. Dr. Mahludin Baruwadi M.Si, Rektor UNG Dr. Syamsu Kamar Badu M.Pd, Ketua Program Studi Agribisnis Suprio Imran S.Pt. M.Si, Ahmad Fadli SE, M.Si, teman-teman seperjuangan yang telah selesai maupun yang menempuh studi di IPB telah banyak mendukung dan memotivasi.
Penghormatan dan ucapan terimakasih atas doa dan kasih sayang yang tidak akan pernah putus dari ibunda (alma) Raipah Wahidji dan ayahanda (alm) Halid
rekan mahasiswa PWD angkatan 2008, Juga buat Luh Putu Suciati SP, MSi mahasiswa PWD 2009, angkatan 2010 serta mahasiawa PWD angkatan 2011 yang telah banyak memberikan input pemikiran dalam tulisan ini.
Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun demikian penulis berharap dan berdoa agar disertasi ini dapat bermanfaat.
Bogor, Agustus 2012
Amir Halid
Penulis dilahirkan di Gorontalo tanggal 9 Januari 1972 anak ke 7 (terakhir) dari pasangan Halid Igirisa dan Raipah Wahidji. Pendidikan diploma ditempuh di Akademi Bahasa Asing Jurusan Bahasa Inggris ABA, UMI Makassar 1994. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen Universitas Muslim Indonesia Makassar tahun 1999. Pada tahun 2001 penulis mendapat kesempatan melanjutkan studi program Magister Sains di Program Studi Agribisnis Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar.
Penulis saat ini sebagai staf pengajar di Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo sejak tahun 2005 hingga sekarang. Mata kuliah yang diasuh terutama Manajemen Produksi, Manajemen Agribisnis, Manajemen Strategi, Manajemen Pemasaran, Ekonomi Manajerial dan Bahasa Inggris Ekonomi.
Artikel ilmiah penulis sebagai bagian dari disertasi yang tela diterbitkan adalah sebagai berikut:
1. Preferensi Masyarakat terhadap Pemanfaatan Sumberdaya Tambang Oleh PT Gorontalo Minerals di Kabupaten Bone Bolango. Jurnal Agropolitan volume 5 Nomor 1 April 20012.
i
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... v
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 13
1.3 Tujuan, Kegunaan dan Manfaat Penelitian ... 13
1.3.1 Tujuan Penelitian ... 13
1.3.2 Manfaat Penelitian ... 14
1.3.3 Kegunaan Penelitian ... 14
1.4 Batasan Penelitian dan Kebaruan (Novelty) ... 15
1.4.1 Batasan Penelitian ... 15
1.4.2 Kebaruan (Novelty) ... 16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 17
2.1 Sumber Mineral Dan Pembangunan Ekonomi Wilayah ... 17
2.2 Hak dan Rezim Kepemilikan ... 20
2.3. Konflik Penguasaan Lahan Sebagai bagian Perilaku Kelembagaan ... 24
2.4 Pemetaan Potensi Sumberdaya Ekonomi Wilayah melalui Perubahan Peruntukan Kawasan ... 25
2.5 Valuasi Sumberdaya Mineral Sebagai Pendorong Pembangunan Wilayah ... 29
2.6 Konsep Dasar Pengelolaan Sumber Daya Alam ... 34
2.7 Kewenangan otonomi Daerah Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral ... 40
2.8 Peran Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral Pasca Otonomi Daerah... 41
BAB III METODE PENELITIAN ... 43
3.1 Kerangka Pikir ... 43
3.2 Hipotesis ... 45
3.3 Alur Penelitian ... 45
3.4 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 47
3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 47
ii
3.7.3 Valuasi Sumberdaya Mineral (Tambang) ... 54
3.7.4 Valuasi Sumberdaya Tambang Model Hotelling ... 59
3.7.5 Analisis Regresi Model Logistik ... 62
BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH ... 65
4.1 Kondisi Kependudukan ... 65
4.1.1 Pertumbuhan Penduduk ... 67
4.1.2 Perkembangan Penduduk Menurut Kelompok Umur ... 68
4.1.3 Kepadatan Penduduk ... 69
4.1.4 Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 70
4.1.5 Proyeksi Kependuduk ... 71
4.2 Sektor Ekonomi ... 73
4.2.1 Pertumbuhan Ekonomi ... 73
4.2.2 Keunggulan Komparatif dan Kompetitif ... 79
4.3 Struktur Ekonomi ... 81
4.3.1 Sektor Pertanian ... 81
4.3.2 Sektor Tambang dan Penggalian ... 82
4.3.3 Sektor Perdagangan ... 83
4.3.4 Sektor Keuangan Persewaan dan Jasa Perusahaan ... 83
4.3.5 Sektor Jasa ... 83
4.3.6 Sektor Industri Pengolahan ... 84
4.3.7 Sektor Listrik dan Air Bersih ... 85
4.3.8 Keuangan Daerah ... 86
4.4 Ekologi Wilayah ... 88
4.4.1 Ekologi DAS ... 89
4.4.2 Ekologi Pantai ... 91
4.4.3 Ekologi Air Tanah ... 92
4.5 Tinjauan Demografi Lokasi Penelitian ... 93
4.5.1 Profil Rumah Tangga Responden ... 93
BAB V ANALIS SPASIAL DAN LAND TENURE ... 101
5.1 Analisis Land Tenure ... 101
5.1.1 Aspek Yuridis ... 101
5.1.2 Aspek Biofisik/Ekologi ... 105
5.1.3 Aspek Ekonomi, Sosial dan Budaya ... 106
5.1.4 Aspek Hukum dan Kelembagaan ... 107
5.2 Analisis Spasial ... 107
5.2.1 Analisis Identifikasi ... 108
iii
6.1.2 Modal Kerja ... 137 6.2 Model Pembiayaan dan Pendapatan ... 138 6.2.1 Biaya Produksi ... 138 6.2.2 Pendapatan ... 140 6.3 Analisis Kelayakan ... 140 6.4 Analisis Sensitivitas... 142 6.4.1 Metode Deterministik ... 143 6.4.2 Metode Probabilistik ... 144 6.5 Kontribusi Ekonomi PT.Gorontalo Minerals Kepada
Pemerintah ... 147 6.6 Model Analisis Hotelling ... 152 6.6.1 Pengaruh Diskonto Pada Ekstraksi ... 153 6.6.2 Pengaruh Perubahan Harga Pada Ekstraksi ... 155 6.6.3 Pengaruh Biaya Lingkungan Terhadap Ekstraksi... 157
BAB VII MODEL KELEMBAGAAN SEBAGAI SINTESA KERANGKA RESOLUSI KONFLIK ... 161
7.1 Analisis Fakta dalam Pendekatan Institusional Governance ... 161
7.1.1 Peranan Hukum (Rule of Law) ... 161
7.1.2 Partisipasi (Participation) ... 168
7.1.3 Kesepakatan (Consensus Orientation). ... 169
7.1.4 Keterbukaan (Transparance) . ... 173
7.1.5 Kepekaan (Responsiveness) . ... 175
7.1.6 Keadilan (Equity). ... 180 7.1.7 Model Tata Kelola ... 188 7.1.8 Biaya Transaksi ... 188 7.2 Analisis Regresi Model Logistik Persepsi dan Kelembagaan .... 192
7.2.1 Regresi Partisipasi Versus Jenis Kelamin dan Umur dan Pekerjaan ... 192 7.2.2 Regresi Partisipasi Versus Model Advokasi Pemanfaatan
sumberdaya.Tambang ... 193
7.2.3 Binary Logistic Regression Partisipasi versus Persepsi
Responden Terhadap Sarana dan Prasarana di Wilayah Pemanfaatan Sumberdaya Tambang... 194
7.2.4 Binary Logistic Regression Partisipasi versus
Pertambangan Tanpa Izin ... 195
7.2.5 Binary Logistic Regression Partisipasi versus
iv
7.3.3 Prinsip Good Corporate Governance ... 198
7.3.4 Prinsip Pengembangan Komunitas ... 198 7.3.5 Prinsip Pendidikan... 199
7.3.6 Prinsip Keterbukaan informasi... 199
7.3.7 Prinsip Pencegahan Kerusakan Lingkungan ... 200
7.4 Sintesa Kerangka Model Kelembagaan Pemanfaatan Sumber-
daya Tambang Sebagai Alternatif Resolusi Konflik di Kabupaten
Bone Bolango……… 201
7.4.1 Kerangka Resolusi ………... 201
7.4.2 Tujuan dan Kerangka Struktur Kelembagaan Dewan
Tambang serta Lembaga Multi pihak di Kabupaten
Bone Bolango... 203
7.4.3 Struktur Kelembagaan Dewan Tambang... 204
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN... 211 8.1 Simpulan ... 211 8.2 Saran ... 212 8.3 Rekomendasi ... 213
DAFTAR PUSTAKA ... 215
v
Tabel 1 Nilai Ekonomi Sumberdaya Mineral dan Tambang di Kabupaten
Bone Bolango Tahun 2006 ... 5
Tabel 2 Nilai Ekonomi Sumberdaya Mineral Tahun 2008 ... 6
Tabel 3 Kumpulan Hak dan Posisi Aktor ... 24
Tabel 4 Model Peningkatan Kemandirian Ekonomi Lokal Terhadap
Tambang ... 33
Tabel 5 Pembagian Penerimaan SDA Menurut PP. No.104 Tahun 2000 .. 40
Tabel 6 Tujuan Penelitian, Data Dasar, Analisis Variabel Indikator dan
Output Analisis Spasial dan Rapid Land Tanur Assesment
(RATA) ... 51
Tabel 7 Tujuan Penelitian, Data Dasar, Analisis Variabel Indikator Dan
Output Analisis Tabel Frekuensi Dan Analisis Tabel Silang ... 53
Tabel 8 Tujuan Penelitian, Data Dasar, Sumber Data, Analisis Variabel
Indikator dan Output Valuasi Sumberdaya Mineral di Wilayah
KK PT Gorontalo Mineral 2014-2044 ... 58
Tabel 9 Tujuan Penelitian, Data Dasar, Sumber Data, Analisis Analisis
Variabel Indikator dan Output Analisis Valuasi Ekonomi
Tambang Model Hotelling ... 61
Tabel 10 Tujuan Penelitian, Data Dasar, Sumber Data, Analisis Analisis Variabel Indikator dan Output Analisis Persepsi Masyarakat Terhadap Kesiapan Pemanfaatan Sumberdaya Tambang di
Wilayah Konsesi Kontrak karya PT Gorontalo Minerals ... 63
Tabel 11 Jumlah Penduduk Kabupaten Bone Bolango dirinci per
Kecamatan Tahun 2005 /d 2010... 66
Tabel 12 Perkembangan Jumlah Penduduk Setiap Tahun di Kabupaten
Bone Bolango Tahun 2007 s/d 2010 ... 67
Tabel 13 Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur dan Beban
Ketergantungan di Kabupaten Bone Bolango Tahun 2009 ... 68
Tabel 14 Kepadatan Penduduk Per Kecamatan Tahun 2010 di Kabupaten Bone Bolango ... 69
Tabel 15 Berdasarkan Jenis Pekerjaan Tahun 2009 di Kabupaten Bone
Bolango ... 70
Tabel 16 Proyeksi Jumlah Penduduk Kabupaten Bone Bolango Tahun
2011 –2031... 72
Tabel 17 Perkembangan PDRB (Atas Dasar Harga Berlaku) Menurut
Lapangan Usaha di Kabupaten Bone Bolango Tahun 2005 –
vi
Tabel 19 Distribusi Persentase Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha (Persen) Di Kabupaten Bone
Bolango Tahun 2008-2010 ... 78
Tabel 20 Distribusi Persentase Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha (Persen) Di Kabupaten Bone Bolango ... 79
Tabel 21 Nilai LQ Sektor-Sektor Ekonomi di Kabupaten Bone Bolango
Tahun 2005– Tahun 2007 ... 80
Tabel 22 Jumlah Industri Kecil di Kabupaten Bone Bolango Tahun 2009 .. 84
Tabel 23 Pelanggan Listrik Menurut Unit Kerja Di Kabupaten Bone
Bolango Tahun 2005 - 2008 ... 85
Tabel 24 Banyaknya Pelanggan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)
di Kabupaten Bone Bolango Tahun 2008-2009 ... 86
Tabel 25 Ringkasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah di
Kabupaten Bone Bolango Tahun 2009-2010 ... 87
Tabel 26 Nama-Nama Sungai Besar dan Kecil di Kabupaten Bone
Bolango ... 91
Tabel 27 Data Pembangunan Sumur Bor di Kabupaten Bone Bolango ... 92
Tabel 28 Data Daerah Irigasi (DI) di Kabupaten Bone Bolango Tahun
2005 ... 93
Tabel 29 Jumlah Kepala Keluarga ... 94
Tabel 30 Tingkat Pendidikan ... 95
Tabel 31 Pekerjaan Utama Responden ... 96
Tabel 32 Pekerjaan Sampingan Responden ... 97
Tabel 33 Umur Anggota Rumah Tangga Keluarga ... 98
Tabel 34 Jumlah Anggota Rumah Tangga Keluarga ... 98
Tabel 35 Anggota Keluarga Rumah Tangga Responden yang Sedang
Sekolah ... 99
Tabel 36 Jumlah Anggota Keluarga Umur Produktif ... 100
Tabel 37 Sampel Penelitian dan Titik Koordinat Lokasi 1, 2 dan 3
Kecamatan Bulawa , Bone Raya dan Kab Bone Bolango ... 110
Tabel 38 Lokasi Sampel Pengamatan Lanjutan di Kecamatan Suwawa
Timur dan Enclove Pinogu Kabupaten Bone Bolango ... 112
Tabel 39 Luas Penguasaan Lahan di Kecamatan Suwawa Timur ... 122
vii
Tabel 43 Luas Penguasaan Lahan di Kecamatan Bone Pantai ... 129
Tabel 44 Prospek Mineralisasi Kecamatan Tombulilato ... 131
Tabel 45 Perkiraan Biaya Kapital PT. Gorontalo Minerals ... 136
Tabel 46 Prosentase Biaya Kapital Digunakan Pada Fase Konstruksi ... 137
Tabel 47 Perkiraan Biaya Operasi ... 139
Tabel 48 Asumsi untuk Perhitungan Pendapatan Bersih ... 141
Tabel 49 Probabilitas NPV Tembaga Emas dan Perak ... 145
Tabel 50 Kontribusi Ekonomi PT. Gorontalo Minerals ... 148
Tabel 51 Skema Bagi Hasil Ke Daerah ... 149
Tabel 52 Skema Bagi Hasil Sesuai Peruntukan ... 150
Tabel 53 Dana Bagi Hasil Atas Pengenaan Royalty ke Kabupaten Bone
Bolango, Kab/kota Sekitar serta Provinsi Gorontalo ... 151
Tabel 54 Pengaruh Diskonto Terhadap Ekstraksi ... 153
Tabel 55 Nilai Diskonto Terhadap Ekstraksi ... 154
Tabel 56 Pengaruh Perubahan Harga Pada Ekstraksi ... 156
Tabel 57 Pola Ekstraksi Pada Tingkat Harga yang Berbeda ... 157
Tabel 58 Pengaruh Ekstraksi Pada Biaya Lingkungan Berbeda ... 158
ix
Gambar 1 Peta Administrasi Kabupaten Bone Bolango ... 2
Gambar 2 Peta Aktivitas Geologi di Pulau Sulawesi ... 3
Gambar 3 Peta Potensi Cu-Au-Ag di Provinsi Gorontalo ... 4
Gambar 4 Peta Blok 1 dan 2 Kontrak Karya PT.Gorontalo Mineral ... 7
Gambar 5 Peta Penunjukan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone ... 8
Gambar 6 Peta Kegiatan Pertambangan Tanpa Izin di Lokasi Kontrak
Karya ... 9
Gambar 7 Overlay Peta Rekomondasi Perubahan Kawasan Hutan
Dengan Peta Kawasan Hutan Yang Dimutakhirkan Dalam
RTRWP Gorontalo ... 10
Gambar 8 Peta Penunjukan Kawasan Hutan Kabupaten Bone Bolango ... 11
Gambar 9 Skema Keterpaduan Konsep ... 23
Gambar 10 Kerangka Analisis dan Pendekatan Aktor ... 24
Gambar 11 Proses Pengembangan Wilayah ... 35
Gambar 12 Interaksi Ekonomi - Lingkungan Hidup dan Tujuan
Pembangunan ... 36
Gambar 13 Kaitan Antara Fungsi Produksi dan Fungsi Manajemen ... 38
Gambar 14 Matrik Manajemen Kebijakan Versus Sumberdaya ... 39
Gambar 15 Kerangka Pikir Penelitian ... 44
Gambar 16 Alur Penelitian ... 46
Gambar 17 Peta Lokasi Sampel Wilayah Tumpang Tindih (Berhimpitan Langsung) dengan Konsesi Kontrak Karya PT Gorontalo
Minerals Dan Penambang Tanpa Izin ... 47
Gambar 18 Alur Pemikiran Analisis Spatial ... 50
Gambar 19 Peta Citra Satelit Spot4 Lokasi Penelitian di Kabupaten Bone
Bolango ... 109
Gambar 20 Peta Prospek dan Penelitian Eksplorasi Sungai Mak
PT.Gorontalo Minerals ... 113
Gambar 21 Peta Prospek dan Penelitian Eksplorasi Wilayah Cabang Kiri
PT.Gorontalo Minerals ... 114
Gambar 22 Peta Wilayah Administrasi Lokasi Penelitian Konsesi
Kontrak Karya PT.Gorontalo Minerals ... 115
Gambar 23 Peta Pertambangan Tanpa Izin (PETI) ... 116
Gambar 24 Permukiman yang Berhimpitan Langsung dengan Peta
x
Gorontalo) Minerals ... 120
Gambar 27 Grafik Penguasaan Lahan Di Kecamatan Suwawa Timur ... 122
Gambar 28 Grafik Penguasaan Lahan Di Kecamatan Bone ... 124
Gambar 29 Grafik Penguasaan Lahan Di Kecamatan Bone Raya ... 126
Gambar 30 Grafik Penguasaan Lahan Di Kecamatan Bulawa ... 128
Gambar 31 Grafik Penguasaan Lahan Di Kecamatan Bone Pantai ... 130
Gambar 32 Grafik Sensitivitas ... 143
Gambar 33 Grafik Frekuensi Probabilitas NPV Tembaga ... 145
Gambar 34 Grafik Frekuensi Probabilitas NPV Emas ... 146
Gambar 35 Grafik Frekuensi Probabilitas NPV Perak ... 146
Gambar 36 Grafik Pengaruh Diskonto Pada Ekstraksi Cadangan ... 155
Gambar 37 Grafik Ekstraksi Pada Tingkat Harga Berbeda ... 157
Gambar 38 Grafik Pengaruh Ekstraksi Pada Biaya Lingkungan Berbeda .. 159
Gambar 39 Model Kelembagaan Pemanfaatan Sumberdaya Tambang di
xi
1. Inventarisasi Luasan Lahan Berhimpitan Langsung Dengan Konsesi
Kontrak Karya PT Gorontalo Mineral di Tingkat Desa ... 221
2. Inventarisasi Luasan Lahan Berhimpitan Langsung Dengan Konsesi
Kontrak Karya PT Gorontalo Mineral di Tingkat Kecamatan ... 223
3. Proyeksi Aliran Kas PT. GM Berdasarkan Analisis Dollar Konstan ... 224
4. Binary Logistic Regression: Partisipasi Versus Jenis Kelamin, Umur
dan Pekerjaan Responden ... 227
5. Binary Logistic Regression: Partisipasi Versus Model Advokasi
Pemanfaatan Sumberdaya Tambang... 228
6. Binary Logistic Regression: Partisipasi Versus Persepsi Responden
Terhadap Sarana dan Prasarana di Wilayah Pemanfaatan
Sumberdaya Tambang ... 229
7. Binary Logistic Regression: Partisipasi Versus Pertambangan Tanpa
Izin ... 230
8. Binary Logistic Regression Partisipasi versus Kelembagaan yang
Efektif dalam Penyelesaian Konflik ... 232
9. Sebaran Sampel Lokasi Pengambilan Data ... 233
10. Tahun Mulai Penambangan Tanpa Izin (PETI) ... 234
11. Hubungan PETI dengan TN Bogani Nani Wartabone ... 234
12. Posisi Penambang Tanpa Izin (PETI) ... 235
13. Hubungan PETI Dengan Para Pihak ... 235
14. Kenyamanan Bekerja PETI ... 235
15. Dukungan Para Pihak ... 236
16. Penggunaan Mercury dan Cianida ... 236
17. Penertiban Penambang Tanpa Izin (PETI) ... 236
18. Konsesi Lahan Perusahaan PT Gorontalo Mineral ... 237
19. Kohesivitas Antar Masyarakat dengan PT Gorontalo Minerals ... 237
xii
23. Organisasi kemasyarakatan Fasilitasi konflik Pemerintah dan
Masyarakat ... 238
24. Bentuk-Bentuk Konflik ... 239
25. Alternatif Penyelesaian Konflik ... 239
26. Partisipasi Responden Pada Advokasi Pemanfaatan Sumberdaya
Tambang ... 240
27. Intensitas Mengikuti_Penyuluhan ... 240
28. Kemampuan Menyerap Materi Advokasi ... 240
29. Sifat Dukungan Pemanfaatan Sumberdaya Tambang ... 241
30. Bentuk dan Dukungan Pemanfaatan Sumberdaya Tambang ... 241
31. Keterlibatan Dalam Organisasi ... 241
32. Frekuensi Kehadiran dalam Rapat Organisasi ... 242
33. Keterlibatan dalam Memberikan Saran ... 242
34. Pemahaman Terhadap Pemanfaatan Sumberdaya Tambang ... 242
35. Perubahan Status Kawasan ... 243
36. Awal Informasi Adanya Potensi Tambang Emas ... 243
37. Pemahaman Terhadap Pemanfaatan Sumberdaya Tambang ... 243
38. Informasi Status Kontrak Karya... 244
39. Peran Informal Leader (Tokoh Masyarakat) ... 244
40. Organisasi Sosial Budaya ... 244
41. Syarat Organisasi Sosial Budaya ... 245
42. Manfaat Organisasi Sosial Budaya ... 246
43. Kelengkapan Organisasi yang Diikuti ... 246
44. Manfaat Organisasi Sosial Budaya ... 246
xiii
48. Syarat Kearifan Lokal Pada Organisasi Sosial ... 248
49. Peran Organisasi dalam Penyelesaian Konflik ... 248
50. Syarat dimiliki Organisasi dalam Penyelesaian Konflik ... 249
51. Waktu Terbentuk Lembaga Ekonomi ... 249
52. Posisi Dalam Lembaga Ekonomi ... 250
53. Organisasi Sosial Ekonomi ... 250
54. Kegiatan Ekonomi Masyarakat... 252
55. Organisasi Sosial Ekonomi dan Kemasyarakatan Banyak Diikuti ... 252
56. Organisasi Sosial Ekonomi dan Kemasyarakatan Banyak Manfaat ... 253
57. Bentuk Manfaat Organisasi Sosial Ekonomi Dan Kemasyarakatan... 254
58. Persepsi Terhadap Sarana ... 255
59. Persepsi Terhadap Sarana Perekonomian ... 255
60. Persepsi Terhadap Sarana Kesehatan ... 255
61. Persepsi Terhadap Sarana Pendidikan ... 256
62. Persepsi Terhadap Sarana Penerangan ... 256
63. Persepsi Terhadap Sarana Air Bersih ... 256
64. Persepsi Terhadap Sarana Olahraga ... 257
65. Tatakelola Sumberdaya Tambang yang Aktual ... 257
66. Biaya Perlindungan PETI ... 257
67. Bentuk dan Skema Biaya Perlindungan PETI ... 258
68. Lembaga Pemberi Bantuan ... 258
69. Responden Merasa Terbantu ... 258
70. Peningkatan Usaha... 259
xiv
74. Alasan Perlu Adanya Organisasi Sosial Budaya ... 260
75. Kepemilikan Lahan Kering ... 261
76. Kepemilikan Lahan Bagi Hasil ... 261
1.1 Latar Belakang
Pengesahan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara pada tanggal 12 Juni 2009 oleh Presiden Republik
Indonesia berikut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2010
tentang Wilayah Pertambangan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara tujuannya antara lain untuk memperbaiki Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1967 tentang ketentuan pokok pertambangan di zaman orde baru
yang telah banyak menimbulkan polemik karena motif kebijakan politik ekonomi.
Hal ini disebabkan karena pada ketentuan pelaksanaan pertambangan
Undang-Undang Pokok Pertambangan jaman orde baru bersifat liberal dan
kapitalis. Bagi investor asing Undang-Undang ini cukup memberikan angin segar
untuk melakukan investasi dalam bentuk kontrak karya, sedangkan bagi
pemerintah merupakan sektor yang cukup signifikan dalam memberikan
kontribusi ekonomi bagi peningkatan penerimaan negara, dan bagi para-pihak hal
ini menjadi sensitif bahkan telah menimbulkan isu-isu negatif bagi lingkungan
dan menimbulkan kemiskinan serta ketimpangan wilayah.
Undang-Undang Mineral dan Batubara yang baru sangat diharapkan
berfungsi sebagai pilar dan lokomotif baru yang memberikan ruang gerak yang
lebih luas kepada pemerintah. Undang-Undang ini menjadi tantangan sekaligus
kesempatan dalam mengelola sumberdaya mineral, namun hal ini merupakan
tantangan sekaligus kesempatan untuk mewujudkan desentralisasi politik dan
bukan hanya sekadar desentralisasi manajemen. Hal ini merupakan babak baru
dalam penataan kelembagaan pemerintahan daerah. Kebijakan dan program yang
sentralistis tidak dapat ditempatkan lagi sebagai pendekatan pembangunan, yang
pada akhirnya memunculkan persoalan-persoalan baru dan mengganggu kinerja
pemerintah daerah.
Eksistensi Undang-Undang Minerba dan turunannya belum sepenuhnya
dapat menyelesaikan persoalan pembangunan ekonomi di sektor pertambangan
terhadap pembangunan wilayah karena masih menyisahkan beberapa persoalan
mendasar yang belum terakomodir di dalamnya, antara lain mengenai tidak
jelasnya aspek kelembagaan yang menjadi wadah para pihak untuk
memanifestasikan amanat Undang-Undang Minerba yaitu tidak lepas dari amanat
pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945 sebagai dasar penguasaan dan pengelolaan
sumberdaya berdasarkan demokrasi ekonomi.
Saat ini salah satu daerah Kabupaten di Indonesia yang sedang giat
membangun adalah Kabupaten Bone Bolango yang dibentuk atas dasar
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bone Bolango
dan Kabupaten Pohuwato (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4269).
Kabupaten Bone Bolango memiliki luas 188.006,43 hektar dimana 142.664,38
hektar atau 75,88 persen adalah kawasan hutan (kawasan Lindung TN) sedangkan
kawasan pemanfaatan (budidaya) 45.326,5 hektar atau 24.22 persen. Luasnya
kawasan hutan ini akan mempersulit pemerintah Kabupaten Bone Bolango dalam
merencanakan dan menyusun tata ruang. Hal ini nampak pada Gambar 1 berikut
menunjukkan peta pola ruang Kabupaten Bone Bolango.
Sumber: BAPPEDA 2011
Berdasarkan aspek geologis Kabupaten Bone Bolango merupakan bagian
aktivitas perbenturan lempengan Australia/Papua dengan lempengan Asia yang
terjadi 15-25 juta tahun yang lalu. Kegiatan vulkanis dan tektonis mengakibatkan
terbentuknya rangkaian pegunungan yang timbul dari dasar laut terangkat oleh
lempengan Australia dan retakan dasar kristal lempengan Asia menimbulkan
batuan yang berbeda antara bagian yang timbul dan tenggelam. Formasi vulkanis
tertua dengan batuan vulkanis dasar terdapat di sebelah Timur dan Selatan lembah
Dumoga dan membentuk rangkaian pegunungan ke pantai Utara Labuan Uki.
Pada bagian Selatan Gunung Mogogonipa terdapat gunung-gunung kecil yang
terdiri dari batuan lava, konglomerat, dan breccia. Gambar 2 menggambarkan
aspek geologi di Pulau Sulawesi termasuk Kabupaten Bone Bolango.
Sumber: BAPPEDA 2011
Gambar 2. Peta Aktivitas Geologi di Pulau Sulawesi
Formasi geologi di wilayah ini (pulau Sulawesi) mengandung deposit
mineral dengan nilai ekonomi yang tinggi yaitu batuan instrusi yang mengandung
biji timah dan emas. Kabupaten Bone Bolango merupakan bagian dari proses
rangkaian potensi tumbukan yang menyebabkan wilayah ini umumnya
berbukit-bukit. Selain tumbukan yang berasal dari utara (Laut Sulawesi) juga terdapat
tumbukan yang berasal dari sebelah timur pulau sulawesi. Adanya proses geologi
satu daerah potensial untuk pengembangan usaha pertambangan terutama di
Kabupaten Bone Bolango. Pada awalnya pengembangan kawasan diarahkan
sebagai penggerak perekonomian wilayah (prime mover) yang memiliki kriteria
sebagai daerah cepat tumbuh dibandingkan daerah lainnya. Kabupaten Bone
Bolango memiliki sektor pertambangan cukup potensial untuk dijadikan unggulan
dan memiliki keterkaitan ekonomi dengan daerah sekitar (hinterland). Hal ini
nampak pada peta potensi sumberdaya mineral pada (Gambar 3).
Sumber: Dept. ESDM 2008
Gambar 3. Peta Potensi Cu-Au-Ag di Provinsi Gorontalo
Hasil eksplorasi potensi tambang di kawasan ini telah dilakukan sebelum
adanya Surat Keputusan Penetapan kawasan ini menjadi Taman Nasional pada
tahun 1991. Eksplorasi dimulai sejak tahun 1982 dan dari hasil eksplorasi
pemerintah telah mengeluarkan data melalui Kementerian Pertambangan dan
Energi RI bahwa kawasan tersebut termasuk dalam daftar cadangan nasional.
Sejak tahun 2006 kawasan tersebut dapat dimanfaatkan dengan tanpa mengurangi
fungsi ekologi yang terdapat di sekitar kawasan.
Pembangunan daerah yang dilakukan pemerintah maupun swasta dan
masyarakat dewasa ini nampaknya tidak terjalin suatu keterpaduan dalam hal
pemanfaatan ruang. Hal tersebut menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan
Cu-Au-Ag
Cu-Au
Cu-Au-Ag
Daerah Cabang
Bijih (juta ton) 139,6 82 75 3,5
Kadar (%) 0,43 0,77 0,62 1,63
Kand. Logam (ton) 600,28 631,4 465 5,705 1.702.385
Nilai (103 US$) 2.701.260 2.841.300 2.092.500 25,672 7.660.732
Kadar (g/t) 0,58 0,39 0,53 4,8
Kand. Logam (ton) 80,97 31,98 24,75 16,8 154,5
Nilai (103 US$) 1.431.807 565.508 437.659 297.077 2.732.051
Kadar (g/t) - - - 94,5
seperti meluasnya pemukiman kumuh, tidak efisiennya penggunaan lahan,
rendahnya tingkat pelayanan umum dan kebersihan lingkungan. Dampak yang
muncul adalah makin menyulitkan terjangkaunya pelayanan prasarana dan sarana
dasar bagi masyarakat karena tidak adanya paduserasian antar kawasan.
Tabel 1 menunjukkan potensi sumber daya mineral di Kabupaten Bone
Bolango yang memiliki nilai ekonomi yang cukup prospektif untuk dimanfaatkan
meskipun hasil penelitian eksplorasi ini masih perlu diperkuat lagi akurasinya.
Dengan asumsi perhitungan cadangan Au dan Cu pada tahun 2006, maka total
jumlah sumberdaya mineral yang ada dalam kawasan tersebut sebesar $ 10,5
miliyar atau sama dengan nilai dalam Rupiah 100 Triliyun. Perhitungan ini
dilakukan dengan asumsi produksi rata-rata (flat production) dengan nilai kontrak
karya selama 30 tahun. Sesuai informasi yang diperoleh dan dalam kegiatan
pertambangan jarang ditemui asumsi produksi rata-rata, biasanya produksi dalam
kegiatan pertambangan selalu mengalami peningkatan (Ekawan, 2010 ).
Tabel 1. Nilai Ekonomi Sumberdaya Mineral dan Tambang ($ miliyar) di Kabupaten Bone Bolango Tahun 2006
Daerah Cabang Kiri East
Sungai Mak Kayu Bulan Tulabolo jumlah
Bijih (juta ton) 139,6 82 75 3,5
Kadar (%) 0,43 0,77 0,62 1,63
Nilai (103 2.419.753 955,708 739,643 502,06 4.617.164
Kadar (g/t) - - - 94,5
Pada tahun 2008, Departemen Energi Sumberdaya Mineral (ESDM)
melakukan perhitungan ulang tentang cadangan sumberdaya mineral yang ada di
kawasan tersebut dan hasilnya telah mengalami peningkatan yang cukup
signifikan seiring dengan harga logam mulia dan ikutannya mengalami kenaikan.
Hasil perhitungan tersebut meningkat hampir 2 kali lipat dengan nilai cadanga
sebelumnya yaitu sekitar $ 18,9 milyar atau setara dengan nilai rupiah Rp 190
trilyun. Data terperinci terdapat pada Tabel 2 berikut. Perhitungan ini akan terus
meningkat seiring dengan harga logam mulia dan ikutannya di pasar dunia, karena
harga di pasar dunia pada tahun 2008 berkisar $103,4/troy/once dan pada tahun
2010 harga emas di pasar dunia telah meningkat berkisar $ 1130,3 /troy/once.
Tabel 2. Nilai Ekonomi Sumberdaya Mineral Tahun 2008
Sumber: Dep.ESDM. RI 2008
Sementara itu pada kawasan tumpang tindih, Departemen Energi Sumber
Daya Mineral mengeluarkan alokasi pemanfaatan sumberdaya emas berupa
kontrak Karya Generasi II tahun 1971 berpayung pada Undang-Undang
Pertambangan No 11 tahun 1967 kepada PT. Tropic Endeavour Indonesia.
Wilayah kelola kontrak karya tersebut berada di blok 2 Tombulilato dengan luas
Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBWN). Namun demikian kawasan ini
belum sempat dieksploitasi, jangka waktu kontrak karya tersebut berakhir dan
diperbarui kembali melalui Kontrak Karya Generasi VII pada tahun 1998
(Gambar 4). Konsesi pertambangan tersebut dikuasasi oleh PT Gorontalo Mineral
yang merupakan perusahaan patungan antara Internasional Minerals Company (80
persen) dan PT. Aneka Tambang (20 persen).
Gambar 4. Peta Blok 1 dan 2 Kontrak Karya PT.Gorontalo Mineral
Kawasan konservasi, termasuk Taman Nasional merupakan salah satu
bentuk alokasi pemanfaatan sumberdaya alam yang bersifat sektoral. Penetapan
kawasan konservasi oleh pemerintah (Kemenhut RI), melalui keputusan hukum
yang sah. Namun di sisi lain keberadaan kandungan sumberdaya alam di wilayah
melalui Kementerian ESDM, juga memberikan ijin kepada pihak-pihak tertentu
untuk melakukan kegiatan ekstraksi di kawasan yang sama dengan keputusan
hukum yang sah pula.
TNBNW merupakan kawasan konservasi yang terletak di dua Provinsi,
yaitu Provinsi Gorontalo dan Provinsi Sulawesi Utara, seperti yang ditetapkan
melalui SK Menteri Kehutanan No.731/Kpts-II/91 jo SK Menteri Kehutanan No.
1068/Kpts-II/1992 jo SK Menteri Kehutanan No. 1127/Kpts-II/92. Kawasan ini
memiliki luas 287.115 hektar. Kawasan TNBNW yang terletak di wilayah
administratif Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo meliputi luas kurang
luas yang sama melalui SK Menteri Pertanian No. 746/Kpts/Um/12/1979, yang
ditunjukkan pada (Gambar 5).
Gambar 5. Peta Penunjukan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
Berdasarkan data di atas, maka wajarlah cadangan sumberdaya mineral ini
menjadi target para pihak karena jumlah cadangan tersebut sangat menjanjikan
kemaslahatan ekonomi yang apabila tidak diatur dengan baik potensi konflik
terbuka sangat memungkinkan akan terjadi. Berdasarkan pengamatan di atas maka
sangatlah mendesak untuk melakukan langkah pro-aktif dan antisipatif dalam
rangka menyiapkan perumusan dan penetapan kebijakan penanganan konflik
alokasi pemanfaatan sumberdaya alam yang sekaligus memberdayakan
masyarakat lokal. Melalui kegiatan ini, pemerintah Kabupaten Bone Bolango
berinisiatif untuk mencari bentuk-bentuk alternatif pemanfaatan sumberdaya alam
yang mampu menyelaraskan kepentingan berbagai pihak menuju tiga tujuan
utama: 1) merupakan pembelaan terhadap eksistensi sumberdaya alam dan
lingkungan, 2) derajat kesejahteraan sosial masyarakat, dan 3) pertumbuhan
ekonomi yang mampu menjamin daya hidup generasi mendatang. Namun
demikian harapan tak akan terwujud tanpa dukungan konstruktif semua pihak
menggambarkan aktivitas pertambangan tanpa izin (PETI) di wilayah konsesi
kontrak karya PT Gorontalo minerals di Desa Bangio Kecamata Suwawa Timur.
Gambar 6. Peta Kegiatan Pertambangan Tanpa Izin di Lokasi Kontrak Karya
Situasi ini pada gilirannya telah melahirkan hubungan persaingan antara
negara dan masyarakat sekitar yang juga menjurus pada terjadi konflik , terutama
ketika terjadi “kekosongan” kelembagaan formal baik TN sebagai pengelola
kawasan konservasi maupun perusahaan sebagai pemegang konsesi
pertambangan. Aktivitas Penambangan Emas Tanpa Ijin (PETI) kemudian muncul
sebagai kelembagaan informal atau ekonomi bayangan mengisi ketidakpastian
status penguasaan SDA negara. Tindakan eksploitasi tersebut juga dimungkinkan
sebagai bentuk kompensasi dan menjadi instrumen untuk memperoleh keadilan
pemanfaatan SDA. Di sisi lain, tidak bisa dipungkiri bahwa potensi pertambangan
emas yang berada di kawasan TNBNW ini sebagai sumberdaya alam penting bagi
daerah, yang jika memungkinkan untuk dimanfaatkan, dapat menjadi sumber
pendapatan daerah untuk pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat.
Persoalan dinamika pembangunan yang begitu tinggi yang berkaitan
dengan pola pemanfaatan dan peruntukan ruang dan tuntutan Undang Undang No
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang maka untuk penataan kawasan lindung,
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah melakukan kajian dan mengusulkan perubahan
kawasan konservasi ini melalui Revisi Tata Ruang Wilayah Provinsi Gorontalo
melalui proses di tingkat kabupaten agar menyampaikan peta usulan perubaha
kawasan untuk ditandatangani oleh para Bupati dan Gubernur Gorontalo untuk
diusulkan kepada menteri Kehutanan RI. Peta Rekomendasi Tim Terpadu dapat
dilihat pada (Gambar 7).
Gambar 7. Overlay Peta Rekomondasi Perubahan Kawasan Hutan dengan Peta
Kawasan Hutan yang Dimutakhirkan dalam RTRWP Gorontalo
Melalui mekanisme persetujuan DPR RI dan sesuai amanah
Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 19 ayat 2, pada tanggal 25
Mei 2010 Menteri Kehutanan RI menetapkan peta perubahan dan penunjukan
kawasan hutan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI No.324 tahun
2010 tentang perubahan kawasan Hutan dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan
RI No 325 tahun 2010 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dalam Revisi Tata
Ruang Wilayah Provinsi Gorontalo setelah proses dan tahapan kajian Tim
Terpadu dalam memberikan pertimbangan rekomendasi ilmiah berdasarkan hasil
kajian juga dikonsultasikan dengan komisi IV DPR RI. Hal tersebut nampak pada
peta penunjukkan kawasan hutan Kabupaten Bone Bolango (Gambar 8).
Perubahan Kawasan Hutan Konservasi di kabupaten Bone Bolango menarik untuk
dikaji karena kawasan tersebut merupakan bagian kawasan Taman Nasional
Bogani Nani Wartabone yang berada di wilayah administrasi Kabupaten Bone
Bolango dengan isu pokok yaitu adanya pemukiman, perkebunan, peladangan
berpindah, perambahan hutan, penambangan tanpa izin, penurunan kualitas air,
adanya izin kontrak karya sebelum terbentuknya kawasan TN.
Gambar 8. Peta Penunjukan Kawasan Hutan Kabupaten Bone Bolango 2010
Mencermati persoalan diatas dihasilkan beberapa rumusan pemikiran yaitu:
1. Pembentukan Taman Nasional pada era tahun 80-an, pada dasarnya
dilakukan melalui suatu proses yang lebih menekankan efektivitas
pembentukan fisik kawasan. Proses ini dibangun dalam kondisi keterbatasan
data dan kurang mempertimbangkan kondisi dan proyeksi aspek sosial
ekonomi daerah yang berkembang secara dinamis. Partisipasi para pihak di
daerah dalam pembentukan dan perencanaan pengelolaan Taman Nasional
kurang mendapatkan ruang termasuk pengesahan Taman Nasional BNW di
Kabupaten Bone Bolango Tahun 1991, sehingga terkesan mengabaikan
prinsip paduserasi antara kawasan. Wilayah setelah
2. Dalam perkembangannya, keberadaan Taman Nasional di suatu wilayah
tidak terlepas dari dinamika interaksi sosial, ekonomi, dan budaya
masyarakat di sekitarnya. Dinamika tersebut antara lain berwujud adanya
konflik kepentingan, khususnya dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang
berdampak pada terjadinya kerusakan lingkungan. Keberadaan kontrak
karya pertambangan dan aktivitas 6.000 orang penambang tanpa izin (PETI)
di zona rimba TNBNW dan enclave penduduk dalam kawasan TNBNW
merupakan fakta dari konflik kepentingan tersebut.
3. Dalam kondisi status quo, dalam arti tidak dilakukan tindakan pengelolaan
dan resolusi konflik, maka yang terjadi adalah keberlanjutan trend negatif
status lingkungan. Kerusakan lingkungan akan semakin parah, karena
berlangsung terus menerus dan semakin tidak terkendali.
4. Kawasan konservasi TNBNW yang secara legal merupakan kewenangan
pemerintah pusat, secara faktual tidak dapat dipisahkan dengan peran
daerah. Faktor-faktor yang mempengaruhi kelestarian kawasan konservasi
banyak bersumber dari luar kawasan, yang banyak terkait dengan
kewenangan daerah. Oleh karena itu, pemecahan masalah pengelolaan
TNBNW perlu pendekatan resolusi konflik yang diselenggarakan secara
partisipatif multipihak, dan tidak cukup didekati secara parsial/sektoral
berbasis kewenangan dan aturan formal semata.
5. Kepentingan daerah yang dilandasi oleh pasal 33 UUD 45, untuk
pembangunan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakatnya
memerlukan upaya optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam, sehingga
manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan dapat diperoleh secara
berkelanjutan. Upaya pemanfaatan sumberdaya alam dilakukan pada
batas-batas kelestarian lingkungan. Keserasian kepentingan ini akan mengurangi
potensi konflik pemanfaatan sumberdaya alam, yang mana disatu sisi akan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan disisi lain akan memberikan
jaminan kemantapan kawasan perlindungan dan konservasi sekaligus
menghilangkan stigma ketidakpastian pemanfaatan dan pengelolaan yang
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat diformulasi yaitu:
1. Perubahan pengelolaan kawasan pertambangan di Kabupaten Bone
Bolango secara khusus telah membuka permasalahan yang kompleks
terkait dengan kewenangan pengelolaan. Oleh karenanya, bagaimana
dampak permasalahan-permasalahan masa lalu tersebut terhadap konflik
pemanfaatan ruang dilahan konsesi kontrak karya saat ini?
2. Sejatinya sumberdaya tambang dapat menjadi pendorong kinerja
pembangunan wilayah, namun dalam kasus sumberdaya tambang di
Kabupaten Bone Bolango belum dapat dibuktikan. Apakah sumberdaya
tambang menjadi faktor pendorong kinerja pembangunan wilayah layak
dikelola secara profesional ?
3. Terdapat perubahan dan perbedaan dalam struktur kelembagaan sosial
ekonomi serta sosial budaya dalam pemanfaatan sumberdaya tambang di
era otonomi daera saat ini. Bagaimanakah model kelembagaan yang sesuai
pada pengelolaan sumberdaya tambang di Kabupaten Bone Bolango?
1.3 Tujuan, Kegunaan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian
Atas dasar rumusan masalah, penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan :
1. Mendiskripsikan sejarah perubahan dan pemanfaatan kawasan serta
menyusun peta identifikasi dan inventarisasi luasan pemanfaatan lahan di
wilayah konsesi kontrak karya PT Gorontalo Minerals untuk mendapatkan
ganti rugi yang adil dan layak bagi pemukiman, pertanian, perkebunan,
hutan, dan pertambangan tanpa izin melalui model persentase luasan klaim
lahan masing-masing Kecamatan dan Desa.
2. Menganalisis kelayakan ekonomi sumberdaya tambang ditinjau dari aspek
struktur pasar dan aspek ekstraksi baik ekstraksi terhadap cadangan, harga
dan nilai lingkungan dan dampaknya terhadap pembangunan wilayah.
3. Tersusunnya model kelembagaan pada pengelolaan sumberdaya tambang
di daerah dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam untuk pembangunan
1.3.2 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai :
1. Bahan masukan bagi pemerintah untuk dapat membuat suatu komitmen
antara pemerintah, masyarakat, dunia usaha, akademisi, bahwa hasil
penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam implementasi alih
fungsi kawasan konservasi melalui revisi tata ruang wilayah Kabupaten
Bone Bolango.
2. Bahan referensi bagi para pihak pada alih fungsi sebagian kawasan
konservasi melalui revisi tata ruang wilayah provinsi Gorontalo dalam
rangka mewujudkan tata ruang wilayah yang partisipatif, termasuk pada
bagian wilayah provinsi lainnya.
3. Bahan publikasi bagi masyarakat yang baru ingin berpartisipasi dan
mereka yang ingin mengetahui manfaat penataan ruang baik aspek
ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan.
1.3.3 Kegunaan Penelitian
1. Menyajikan informasi peta identifikasi dan inventarisasi tutupan kawasan
dan relasi sosial ekonomi yaitu pemukian, pertanian, perkebunan,
penambang tanpa izin, kehutanan, semak belukar dan sungai .
2. Tertatanya arah langkah (road map) solusi konflik pada pemanfaatan
potensi sumberdaya mineral dalam perencanaan pembangunan ekonomi di
kabupaten Bone Bolango .
3. Menyajikan kondisi riil kelembagaan sosial ekonomi, sosial budaya, dan
daya dukung sarana dan prasarana sertan resolusi konflik sumberdaya
tambang yang menjadi bagian dasar dari kebijakan pemerintah pada
1.4. Batasan Penelitian dan Kebaruan (Novelty) 1.4.1 Batasan Penelitian (Ruang Lingkup)
Adapun batasan penelitian diformulasi dalam beberapa item yaitu:
1. Perubahan-perubahan status kawasan yang mengarah pada ketidakpastian
dikaji dan dianalisis pada batasan kepemilikan dan penguasaan lahan (land
Tenure), dan pada eksisting kawasan baik penggunaan (land use), tutupan (land cover) serta luasan penguasaan dan pemanfaatan lahan.
2. Kelayakan ekonomi yang diarahkan untuk menjadi salah satu faktor
pendorong pembangunan wilayah dianalisis aspek finansial dan asumsi
royalti, pajak dan land rent secara makro, artinya proyeksi penerimaan
daerah dari sektor pertambangan memiliki tantangan (obstacle) karena
Undang-Undang dan peraturan Pemerintah yang mengatur dana bagi hasil
ini menggunakan beberapa kriteria diantaranya fakator harga dimana
faktor ini cukup dipengaruhi oleh mekanisme pasar yang berpusat di
London Metal Exchange (LME) dan salah satu faktor yang menentukan yaitu pola ekstraksi yang dilakukan perusahaan terhadap cadangan
tertambang baik dari aspek diskonto, harga dan nilai lingkungan.
3. Pandangan kelembagaan (institutional minded) pada hakekatnya
merupakan proses transformasi dari masukan yang nantinya dapat
menghasilkan output berupa sumberdaya fisik, informasi, teknologi dan
cara pengelolaan. Disis lain faktor geografis dan perilaku penambang
tanpa izin (PETI) cukup mempengaruhi penelusuran data dalam penelitian
ini. Oleh karena itu model kelembagaan dalam penelitian ini berada pada
obyek yang masih pada stadia kelayakan ekonomi tambang (belum pada
output dan stadia produksi), artinya kelembagaan dalam penelitian ini
bermakna umum untuk jenis kasus yang ditimbulkan oleh konflik
pemanfaatan dan penguasaan lahan. Tentulah jenis karakter persoalan
kelembagaan tidak dapat digeneralisir adanya, tetapi dengan adanya
karakteristik tersebut cukup beragam merupakan jalan masuk untuk
mengelaborasi unsur-unsur pendekatan ilmiah, sehingga output dari
penelitian dapat merekomondasikan unsur keragaman dan kecenderungan
1.4.2 Kebaruan (Novelty)
Kebaruan (Novelty) penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang mengintegrasikan aspek
sejarah dan aspek ruang (spasial) dalam konteks pemanfaatan dan
penguasaan lahan di wilayah kontrak karya PT Gorontalo minerals dengan
aspek kelembagaan sosial ekonomi masyarakat.
2. Penelitian ini juga yang pertama kali yang mengkombinasikan aspek
valuasi ekonomi minerals dari analisis kelayakan finansial berdasarkan
struktur pasar dengan analisis model Hotelling berdasarkan nilai ekstraksi
untuk menghasilkan pengelolaan sumberdaya tambang yang terbaik.
3. Penelitian ini menghasilkan model kelembagaan pengelolaan sumberdaya
tambang yang dapat diadopsi oleh para pihak di daerah untuk
2.1. Sumberdaya Mineral Dan Pembangunan Ekonomi Wilayah
Fenomena “Penyakit Belanda” atau ”Dutch Desease” yakni fenomena
yang menggambarkan daerah yang kaya dengan sumber daya alam namun
mengalami pertumbuhan ekonomi yang lamban, sebenarnya bukan karena apa
yang disebut sebagai “kutukan sumber daya” (resource curse) namun lebih karena ketidak-mampuan institusi dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya
alam tersebut sehingga menimbulkan konflik yang pada akhirnya menggerogoti
manfaat yang seharusnya dinikmati tersebut. Hal ini telah dilakukan di Norwegia
dari tahun 1969 sampai 2001 negara ini mampu mengoptimalkan produksi
sumberdaya mineralnya dalam rangka memperkuat sistem tatakelola
pemerintahan, hukum, perekonomian, norma sosial, pertanian dalam arti yang
luas, industri serta usaha jasa sehingga Norwegia dapat terhindar dari kutukan
sumberdaya (Larsen, 2006). Keberadaan sumberdaya alam juga sering
menimbulkan tidak stabilnya struktur ekonomi, bahkan pada daerah dengan
sumberdaya alam sedikit.
Pada sisi lain daerah dengan sumberdaya alam yang kaya, ketidakstabilan
ini semakin rapuh dan memicu konflik tehadap sumber daya alam yang lebih luas.
Bahkan dalam skala tertentu perselisihan yang tidak ada hubungannya dengan
sumber daya alam seperti masalah keluarga, bisa saja kemudian disalahkan pada
keberadaan sumber daya alam dan timpangnya akses terhadap sumber daya alam.
Hal ini sering terjadi pada beberapa daerah di Indonesia dimana sumber daya
mineral yang dikelola oleh kuasa pertambangan menimbulkan gejolak sosial yang
cukup hebat pada masyarakat ( Fauzi, 2006).
Mengacu pada Fauzi (2006) ada beberapa hal yang dapat dilakukan daerah
untuk menghindari dan mencegah terjadi konflik atas akses dan pemanfaatan
sumberdaya alam, khususnya mineral dan kaitannya dengan lingkungan. Pertama
mereka melakukan apa yang disebut sebagai factor movement policy atau
kebijakan pergerakan faktor produksi. Melalui program yang disebut sebagai
industri pertambangan terhadap industri lain, khususnya industri primer yakni
pertanian dan perikanan-kelautan. Kedua sektor ini amat rentan terhadap
goncangan yang terjadi yang disebabkan oleh tumbuhnya industri pertambangan
di daerah yang awalnya didominasi oleh sektor pertanian. Tenaga kerja pertanian
kemudian lebih banyak terserap pada sektor pertambangan yang kemudian sektor
ini terabaikan sehingga ketika tambang habis mereka tidak siap untuk kembali ke
sektor pertanian. Semestinya sektor pertambangan menjadi komplemen bagi
sektor pertanian, bukan sebagai substitusi. Artinya keduanya harus dikembangkan
secara simultan melalui alternatif solidaritas ini. Kebijakan faktor “movement
policy” ini kemudian dibarengi juga oleh kebijakan yang disebut sebagai
”spending effect policy”.
Mekanisme penyakit Belanda timbul karena adanya spending effect, yakni
belanja publik yang sangat besar yang dihasilkan dari sektor pertambangan,
akibatnya belanja publik untuk sektor primer menjadi terbengkalai sehingga
menimbulkan keterpurukan pada sektor pertanian dan perikanan. Oleh karenanya
untuk mengatasi dampak tersebut diperlukan kebijakan pengeluaran melalui
disiplin fiskal. Pembayaran utang dilakukan secepat mungkin dan menetapkan
mekanisme pendanaan (fund) di berbagai peluang investasi seperti pasar modal
dan sebagainya (hal yang sama kini dilakukan oleh negara-negara Asia Tengah).
Kebijakan ketiga yang dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit
Belanda dan kutukan sumber daya adalah melalui spill-over loss policy dengan
cara menganjurkan akumulasi pengetahuan tenaga domestik ketimbang asing dan
dibarengi dengan investasi di bidang riset dan eksplorasi. Kebijakan ini dibarengi
pula kebijakan di bidang pendidikan dan penelitian. Penerimaan dari sumber daya
alam disalurkan untuk pendidikan dan penelitian serta pengembangan sehingga
terjadi akumulasi pengetahuan khususnya dalam hal pengelolaan ekonomi
sumberdaya alam.
Kebijakan berikutnya yang sangat mendukung untuk keluar dari penyakit
Belanda dan kutukan sumber daya adalah kebijakan tenaga kerja (labor policy)
dan kebijakan industri. Norwegia misalnya menetapkan sistim negosiasi upah
yang terpusat (centralized wage negotiation system) untuk menghindari adanya