• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Pengembangan Teknologi Budidaya Padi Apung untuk Mengatasi Risiko Banjir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Potensi Pengembangan Teknologi Budidaya Padi Apung untuk Mengatasi Risiko Banjir"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

i

POTENSI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI BUDIDAYA PADI APUNG

UNTUK MENGATASI RISIKO BANJIR

SARAH PURNAMAWATI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ii

ABSTRACT

SARAH PURNAMAWATI, The Potential Development of Floating Rice Cultivation Technology to Address the Flood Risk. Supervised by RIZALDI BOER.

Rice is one of the main food in Indonesia. Demand for rice increases as the population increases. The national rice production has not been able to meet the needs of national consumption. In the last number of years, Indonesia has to import rice to meet the demand. On the other hand, the risks and impacts of climate anomalies, such as floods and droughts, become more frequent and more intense. The climate hazards have been found to be main threat to agricultural production systems and national food security. In some specific area such as in coastal areas, the occurrence of environmental damage coupled with the problem of rising sea, flood has already become an annual disaster. The floods last for a few months during the rainy season and this does not allow farmer to plant the rice in this season. This research examines the potential of rice floating technology to address the problem of the annual floods which occurred in Pamotan Village, Ciamis District, West Java and Rawaapu Village, Cilacap District, Central Java. Floating rice technology addresses the flood risk using raft as cropping medium. The results of the analysis indicated that the floating rice technology is very potential to be applied in areas that have already been experiencing annual flooding problem. The economic feasibility of this technology is also very high. The total revenue earned by floating rice farming is greater than the total income of the conventional rice farming in Pamotan and Rawaapu. This is demonstrated by the higher ratio of revenue and cost (R/C) of floating rice farming than that of the conventional technique. The R/C of the floating rice reached 2,03 while that of the conventional rice was only 1,71. This suggests that the floating rice cultivation is not only very potential to address the problem of permanent flood but also for increasing farmers income.

(3)

iii

ABSTRAK

SARAH PURNAMAWATI, Potensi Pengembangan Teknologi Budidaya Padi Apung untuk Mengatasi Risiko Banjir. Dibimbing oleh RIZALDI BOER.

Beras merupakan sumber makanan pokok masyarakat Indonesia. Permintaan terhadap beras terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Namun, produksi beras nasional belum dapat memenuhi kebutuhan konsumsi nasional. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia harus impor beras untuk memenuhi permintaan. Di lain pihak, risiko dan dampak anomali iklim, seperti banjir dan kekeringan, semakin sering terjadi. Bencana alam menjadi ancaman utama bagi sistem produksi pertanian dan ketahanan pangan nasional. Di beberapa wilayah tertentu seperti di kawasan pantai, terjadinya kerusakan lingkungan ditambah dengan adanya masalah kenaikan muka air laut, bencana banjir sudah menjadi bencana tahunan. Banjir terjadi beberapa bulan selama musim hujan sehingga penanaman padi tidak memungkinkan. Penelitian ini mengkaji potensi pengembangan teknologi padi apung untuk mengatasi masalah banjir tahunan yang terjadi di Desa Pamotan, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan Rawaapu, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Teknologi padi apung merupakan teknik budidaya padi yang menggunakan rakit sebagai media tanam sebagai upaya untuk adaptasi terhadap bencana banjir. Hasil analisis menunjukkan bahwa teknologi padi apung sangat berpotensi untuk dikembangkan di wilayah yang sudah mengalami masalah banjir tahunan. Kelayakan ekonomi teknologi ini sangat tinggi. Pendapatan total yang diperoleh usahatani padi apung lebih besar daripada pendapatan total usahatani padi konvensional baik di Desa Pamotan dan Rawaapu. Hal ini ditunjukkan oleh lebih tingginya nilai rasio antara penerimaan dan biaya (R/C) usahatani padi apung dibanding konvensional. R/C usahatani padi apung mencapai 2,03 sementara padi konvensional hanya 1,71. Hal ini menunjukkan bahwa budidaya padi apung perlu dikembangkan terutama pada lahan yang mengalami banjir permanen.

(4)

iv

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(5)

v

POTENSI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI BUDIDAYA PADI APUNG

UNTUK MENGATASI RISIKO BANJIR

SARAH PURNAMAWATI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains

pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

vi

Judul

: Potensi Pengembangan Teknologi Budidaya Padi Apung untuk

Mengatasi Risiko Banjir

Nama

: Sarah Purnamawati

NIM

: G24080068

Disetujui oleh

Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer M.Sc

NIP.

19600927 1989031 002

Diketahui oleh

Ketua Departemen

Geofisika dan Meteorologi

Dr. Ir. Rini Hidayati, MS

NIP. 19600305 198703 2 002

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Potensi Pengembangan Teknologi Budidaya Padi Apung untuk Mengatasi Risiko Banjir.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penyelesaian tugas akhir ini terdapat keterlibatan beberapa pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. Papa H. Muhidin. S.E (alm), Mama Dra. Hj. Nety Hermawati, dan Adik Dwiyanti Pertiwi, yang senantiasa memberikan doa, kasih sayang, dukungan, kesabaran dan pehatiannya. 2. Bapak Prof. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc atas segala bentuk bantuan, waktu, saran, pengarahan dan

bimbingan yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. 3. Bapak Yon Sugiarto, S.Si, M.Sc dan Bapak Muh. Taufik, S.Si, M.Si selaku dosen penguji

yang telah memberikan saran dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini.

4. Ibu Dr. Ir. Rini Hidayati, MS selaku ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi serta Bapak Sonni Setiawan, M.Sc selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan saran dan nasihat yang membangun.

5. CCROM (Pak Faqih, Pak Ardi, Kak Adi, dan Kak Ikhsan), IPPHTI (Pak Kustiwa, Pak Feri, Pak Nyabar, Pak Een dan Pak Josep), dan DKH (Pak Leo, Mba Inggrid, Pak Renee dan Pak Gedo) yang telah memberikan informasi, dukungan moral dan materil selama masa penelitian. 6. Pak Anan, Bu Ade, dan Fera serta seluruh petani di desa Pamotan dan Rawaapu yang telah

memberikan bantuan dan informasi selama masa penelitian.

7. Seluruh dosen dan staff departemen Geofisika dan Meteorologi IPB.

8. Citra Pratiwi, Ernawati Apriani dan Ratna Dila atas persahabatan, cerita dan suka dukanya serta Dody Setiawan sebagai teman bimbingan tugas akhir.

9. Teman-teman seperjuangan di GFM 45 (Faiz, Fe, Arif, Sintong, Aulia, Miftah, Yuda, Hanifah, Joy, Ketty, Fida, Dewa, Firman, Iput, Akfia, Fitra, Okta, Dilper, Asep, Mirna, Dewi, Fitri, Fauzan, Maria, Pacul, Tiska, Putri, Geno, Ruri, Nia, Dora, Nadita, Widya, Fatchah, Topik, Ria, Farah, Aila, Usel, Nisa, Diyah, Emod, Mela, Pungki, Adit, Adi, Yoga, Dicky, Mail, Ian, Fella) atas canda, tawa, persahabatan, kerjasama, bantuan dan dukungannya. 10. Semua pihak yang telah membantu selama penelitian dan penyusunan skripsi ini yang tidak

dapat disebut satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.

Bogor, Januari 2013

(8)

viii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, tanggal 27 Juli 1991 dari pasangan Bapak H. Muhidin S.E. (alm) dan Ibu Dra. Hj. Nety Hermawati. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

Penulis menyelesaikan masa sekolah di TK Nurul Fatimah 1996, SD Negeri Pengadilan 3 Bogor tahun 2002, SMP Negeri 8 Bogor tahun 2005. Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bogor dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dengan program studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai anggota Gentra Kaheman divisi drama dan angklung tahun 2008-2010, anggota PRAMUKA IPB tahun 2009-2010, pengurus Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi (Himagreto) pada Departemen Informasi dan Komunikasi serta anggota Indonesian Climate Student Forum (ICSF) tahun 2010-2012. Pada tahun 2011 penulis melakukan kegiatan magang di Lembaga Penerbangan dan Antariksa (LAPAN) Pekayon Jakarta, bagian Mitigasi dan Bencana.

(9)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I.PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Tujuan Penelitian ... 1

II.TINJAUAN PUSTAKA ... 1

2.1Perubahan Iklim ... 1

2.2Dampak Perubahan Iklim Terhadap Pertanian ... 1

2.3Pengaruh Banjir Terhadap Produksi Padi ... 2

2.4Usahatani ... 2

2.5Analisis Usaha Tani ... 3

2.5.1Analisis Pendapatan Usaha Tani ... 3

2.5.2Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C Ratio Analysis) ... 3

III. METODOLOGI ... 3

3.1Waktu dan Tempat ... 3

3.2Alat dan Bahan ... 3

3.3Metode Penelitian ... 4

3.3.1Analisis Karakter Petani Responden ... 4

3.3.2 Analisis Pendapatan Usahatani ... 4

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 4

4.1Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 4

4.2 Karakteristik Petani Responden ... 5

4.2.1 Jenis Kelamin dan Usia ... 5

4.2.2 Tingkat Pendidikan ... 5

4.2.3 Jumlah Tanggungan Keluarga ... 6

4.2.4 Pengalaman Bertani ... 6

4.3Teknologi Budidaya Padi Apung ... 6

4.4Analisis Perbandingan Efisiensi Usahatani Padi Konvensional dengan Padi Apung ... 7

4.5Potensi Pengembangan Budidaya Padi Apung di Desa Pamotan dan Rawaapu ... 8

V.KESIMPULAN DAN SARAN ... 8

5.1Kesimpulan ... 8

5.2Saran ... 8

DAFTAR PUSTAKA ... 8

(10)

x

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kerawanan bencana pada sawah di Desa Pamotan ... 5

2 Kerawanan bencana pada sawah di Desa Rawaapu ... 5

3 Perbandingan biaya dan hasil padi konvensional dan padi apung ... 7

4 Biaya pembuatan rakit per hektar ... 8

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Peta Desa Pamotan dan Rawaapu ... 4

2 Perbandingan hasil produktivitas padi apung dengan padi konvensional di Kecamatan Kalipucang (a) dan Kecamatan Patimuan (b). ... 7

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Usahatani Pamotan ... 11

2 Usahatani Rawaapu ... 12

(11)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyediaan pangan, terutama beras merupakan prioritas utama dalam pembangunan nasional. Selain sebagai makanan pokok untuk lebih dari 95% rakyat Indonesia, padi juga telah menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 20 juta rumah tangga petani pedesaan. Menurut Badan Pusat Statistik (2012), selama 10 tahun terakhir produksi padi di Indonesia mengalami peningkatan rata-rata 2,4% per tahun. Walaupun meningkat ternyata laju produksi padi belum mampu memenuhi konsumsi beras yang mencapai 139 kg per kapita per tahun.

Keragaman produksi beras di Indonesia sangat dipengaruhi unsur iklim. Kegagalan panen yang meluas seringkali terjadi akibat berlangsungnya kejadian iklim esktrim baik dalam bentuk banjir maupun kekeringan. Beberapa hasil kajian menunjukkan bahwa kegagalan panen akibat kejadian iklim ekstrim baik banjir maupun kekeringan cenderung meningkat (Boer dan Subbiah 2005, Boer dan Suharnoto 2012). Disamping itu pada daerah dataran rendah, khususnya di dekat kawasan pantai, tingkat ancaman banjir juga meningkat karena terjadinya kerusakan lingkungan pada wilayah tangkapan hujan yang menyebabkan debit sungai meningkat di kawasan hilir ditambah dengan adanya masalah kenaikan muka air laut. Pada beberapa wilayah di Indonesia seperti di Kabupaten Ciamis dan Cilacap, wilayah pertanaman padi sudah ada yang tergenang selama musim hujan sehingga tidak bisa lagi dilakukan penanaman padi (Adinata 2012).

Di Desa Rawaapu, Kabupaten Ciamis sekitar 300 ha dan Pamotan, Kabupaten Cilacap sekitar 200 ha lahan pertanian selalu mengalami kebanjiran dengan tinggi hingga 1 m dengan lama waktu banjir sampai 4 bulan pada musim hujan (IPPHTI 2012). Hal ini disebabkan oleh peningkatan curah hujan, luapan sungai maupun rob yang disebabkan oleh perubahan iklim sehingga sumber mata pencaharian utama masyarakat kedua desa tersebut hilang. Untuk mengatasi hal tersebut, dikembangkan teknologi budidaya padi apung. Budidaya padi apung merupakan teknik budidaya padi yang menggunakan rakit sebagai media tanam sebagai upaya untuk adaptasi terhadap bencana banjir.

Dalam upaya pengembangan budidaya padi apung untuk mengatasi masalah banjir tahunan, perlu dilakukan analisis ekonomi sehingga dapat diketahui perbandingan potensi usaha ini dengan padi konvensional di Indonesia terutama di Desa Pamotan dan Rawaapu.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mempelajari teknologi padi apung. 2. Menganalisis efektifitas biaya (analisis

ekonomi) pengelolaan padi apung. 3. Menduga potensi pengembangan

budidaya padi apung di Desa Pamotan dan Rawaapu.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perubahan Iklim

Iklim adalah rata-rata jangka panjang kondisi atmosfer (cuaca) di suatu tempat. Menurut IPCC (2007), perubahan iklim adalah perubahan yang terjadi pada kondisi iklim yang dapat diidentifikasi (misal, dengan menggunakan uji statistik) melalui perubahan-perubahan pada nilai rata-rata atau variabilitas iklim, dan perubahan-perubahan tersebut terjadi pada periode panjang, yaitu dekade atau lebih. Perubahan iklim disebabkan oleh proses-proses alamiah maupun yang dipercepat akibat aktifitas manusia (antropogenik) di muka bumi ini.

Dampak-dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim adalah: a) Meningkatnya frekuensi bencana alam/cuaca ekstrim seperti tanah longsor, banjir, kekeringan, dan badai tropis b) Mengancam ketersediaan air c) Mengakibatkan pergeseran musim dan perubahan pola hujan d) Menurunkan produktivitas pertanian e) Peningkatan temperatur akan mengakibatkan kebakaran hutan f) Mengancam biodiversitas dan keanekaragaman hayati (Susandi et al.

2008). Beberapa daerah tertentu di Indonesia sangat rentan terhadap berbagai bahaya perubahan iklim antara lain seperti kekeringan, banjir, tanah longsor, dan kenaikan permukaan air laut. Hal ini sangat signifikan pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat dan keadaan sumberdaya alam (Lietmann 2009).

2.2 Dampak Perubahan Iklim Terhadap Pertanian

(12)

2

rentan terhadap kemungkinan perubahan dan anomali iklim. Kedua gejala alam ini bersifat global dan sangat besar pengaruhnya terhadap pola unsur-unsur iklim, seperti jumlah dan pola curah hujan, presipitasi lainnya, serta suhu udara dan lain-lain. Perubahan iklim yang terjadi secara global secara jelas dapat dirasakan dalam beberapa tahun terakhir seperti peningkatan temperatur udara, peningkatan ketinggian permukaan air laut dan perubahan pola hujan yang menyebabkan terjadinya kekeringan dan kebanjiran secara ekstrim (Mirza 2003).

Peningkatan intensitas kejadian banjir sebagai efek perubahan iklim global dapat menjadi ancaman serius terhadap keberlanjutan produksi beras nasional. Banjir yang terjadi pada saat musim tanam padi akan menyebabkan penurunan produksi padi. Berdasarkan hasil simulasi, apabila terjadi perubahan iklim diperkirakan pada tahun 2030 untuk kondisi normal, rata-rata hasil tanaman padi akan lebih rendah dari rata-rata hasil padi saat ini, terjadi penurunan masing-masing sekitar 20% hingga 30% (Amien et al. 1999).

2.3 Pengaruh Banjir Terhadap Produksi Padi

Banjir adalah peristiwa meluapnya air yang menggenangi permukaan tanah, dengan ketinggian melebihi batas normal. Banjir umumnya terjadi pada saat aliran air melebihi volume air yang dapat ditampung dalam sungai, danau, rawa, drainase, tanggul, maupun saluran air lainnya pada selang waktu tertentu (Rahayu 2009).

Banjir dapat terjadi karena peluapan air yang berlebihan di suatu tempat akibat hujan besar, peluapan air sungai, atau pecahnya bendungan sungai. Hal ini terjadi karena air hujan tidak dapat merembes ke bumi melainkan mengalir menjadi air permukaan. Penyebab banjir antara lain adalah curah hujan yang tinggi, penutupan hutan dan lahan yang tidak memadai serta perlakuan atas lahan yang salah (Abidin et al. 2004).

Menurut Gusti dan Padjung (2003), kedalaman banjir dikategorikan menjadi 3 yaitu banjir ringan, banjir sedang dan banjir berat. Banjir ringan adalah banjir dengan kedalaman 0,85 m dengan waktu genangan 21,7 jam, yang dikategorikan sebagai banjir sedang, kedalamannya 1,16 m dengan waktu genangan 34,9 jam, dan yang termasuk kategori banjir berat, kedalamannya 1,89 m dengan waktu genangan 42 jam.

Banjir dengan kategori ringan menyebabkan bibit yang dipindah-tanam pertama (first transplanted seedlings) mengalami kerusakan sebesar 20,6%, sedangkan banjir dengan kategori berat dapat merusak sampai 60%. Hal tersebut lebih menjelaskan bahwa tanaman padi rentan terhadap banjir pada periode pertumbuhan awal, khususnya pada saat baru dipindahtanamkan (Gusti dan Padjung 2003).

Tanaman padi meskipun secara alami merupakan tanaman semi-akuatik yang dapat beradaptasi dengan baik di lingkungan berair, namun terjadinya rendaman terhadap seluruh bagian tanaman dalam jangka panjang dapat merusak jaringan tanaman padi akibat terganggunya proses fisiologis tanaman hingga menyebabkan kematian (Ito

et al. 1999). Semakin lama tanaman padi dalam kondisi terendam, presentase tanaman yang tumbuh akan semakin kecil. Menurut Gomosta, Hossain dan Haque (1981), tanaman padi air dalam (deepwater rice) tidak mampu menghasilkan anakan atau tidak mampu tumbuh kembali setelah direndam pada kedalaman air 70 cm selama 5 hari.

2.4 Usahatani

Pertanian merupakan kegiatan yang dilakukan oleh manusia pada suatu lahan tertentu, dalam hubungannya antara manusia dengan lahan yang disertai pertimbangan tertentu. Menurut Soekartawi (2002), ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari cara mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan efektif bila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki sebaik-baiknya, dan dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input). Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi suatu usahatani adalah lahan, tenaga kerja, modal, dan manajemen (Rahim dan Hastuti 2007).

(13)

3

jumlah keluarga. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor di luar usahatani, seperti tersedianya sarana transportasi dan komunikasi, aspek-aspek yang menyangkut pemasaran hasil dan bahan usahatani (harga hasil, harga saprodi, dan lain-lain), fasilitas kredit, dan sarana penyuluhan bagi petani (Suratiyah 2006).

Sistem usahatani berbasis padi sawah dilakukan pada hamparan (landscape) datar di zona agroekologi basah sampai lembab yang lebih dari 70% berupa lahan sawah irigasi. Padi sawah bergantung pada curah hujan, masa tanam dan ketersediaan air irigasi (Fagi dan Partohardjono 2004).

2.5 Analisis Usaha Tani

Analisis usahatani adalah alat analisis yang digunakan untuk pengukuran keberhasilan usahatani dan bertujuan untuk melihat keragaan suatu kegiatan usahatani, yang terdiri dari analisis pendapatan usahatani dan analisis rasio penerimaan atas biaya (Soekartawi 2002).

2.5.1Analisis Pendapatan Usaha Tani Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya. Pendapatan usahatani terdiri dari pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Pendapatan tunai merupakan selisih antara penerimaan total dengan biaya tunai. Sedangkan pendapatan yang diperhitungkan merupakan selisih antara penerimaan total dengan biaya yang diperhitungkan (Soekartawi 2002).

Biaya usahatani diklasifikasikan menjadi dua, yaitu biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai merupakan biaya yang dikeluarkan secara tunai. Sedangkan biaya yang diperhitungkan merupakan biaya yang tidak termasuk ke dalam biaya tunai tetapi diperhitungkan dalam usahatani (Hernanto 1991).

Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual produk. Penerimaan terdiri dari penerimaan tunai dan penerimaan yang diperhitungkan. Penerimaan tunai merupakan penerimaan yang diterima petani dari hasil produksi yang benar-benar dijual. Sedangkan penerimaan yang diperhitungkan merupakan penerimaan didapat dari hasil produksi yang digunakan sendiri oleh petani tetapi tetap diperhitungkan kepada orang lain (Soekartawi 2002).

2.5.2Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C Ratio Analysis)

Menurut Soeharjo dan Patong (1973), pendapatan yang besar bukanlah sebagai petunjuk bahwa usahatani efisien. Suatu usahatani dikatakan layak apabila memiliki tingkat efisiensi penerimaan yang diperoleh atas setiap biaya yang dikeluarkan hingga mencapai perbandingan tertentu. Kriteria kelayakan usahatani dapat diukur dengan menggunakan analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C ratio analysis) yang didasarkan pada perhitungan secara finansial. Analisis ini menunjukkan besar penerimaan usahatani yang akan diperoleh petani untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan usahatani. Semakin besar nilai R/C maka akan semakin besar pula penerimaan usahatani yang diperoleh untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan atau usahatani dikatakan menguntungkan. Adapun rumus yang digunakannya adalah sebagai berikut:

Analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C Ratio) dapat digunakan untuk melihat keuntungan relatif dari suatu kegiatan cabang usahatani berdasarkan perhitungan finansial dimana yang menjadi titik perhatian adalah unsur biaya yang merupakan unsur modal. Dalam analisis ini akan diuji seberapa jauh setiap nilai rupiah biaya yang dipakai dalam kegiatan cabang usahatani yang bersangkutan dapat memberikan sejumlah nilai penerimaan sebagai manfaatnya.

III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan di Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan Rawaapu, Kecamatan Patimuan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah pada bulan Mei sampai dengan November 2012.

3.2 Alat dan Bahan

Data yang digunakan, yaitu: 1. Data Primer

(14)

4 tahun 2005-2010 (BPS 2011)

c. Data hasil produksi padi di Kabupaten Ciamis dan Cilacap pada musim hujan tahun 2005-2010 (BPS 2011)

d. Data harga gabah 2012 (GKP dan GKG) (BPS 2011)

e. Data harga jual Beras Organik (IPPHTI 2012)

Alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa:

1. Seperangkat komputer

2. Perangkat lunak Microsoft Office

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Analisis Karakter Petani

Responden

Karakteristik petani diperoleh melalui wawancara yang dilakukan di lokasi penelitian. Pengambilan contoh dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling (pengambilan contoh sengaja), yaitu metode pengambilan contoh dimana peneliti menentukan dengan sengaja contoh yang akan diteliti dengan tujuan menyajikan atau menggambarkan beberapa sifat di dalam populasi (Suhaeti dan Basuno 2004). Petani responden dalam penelitian ini berjumlah 30 orang, terdiri dari 15 petani Desa Pamotan dan 15 petani Desa Rawaapu.

3.3.2 Analisis Pendapatan Usahatani Usahatani adalah suatu kegiatan ekonomi yang ditujukan untuk menghasilkan output (penerimaan) dengan input fisik, tenaga kerja, dan modal (Suratiyah 2006). Secara umum pendapatan atas biaya total:

dimana Keterangan:

YT = pendapatan total atau keuntungan total usaha tani (Rp.)

TR = total penerimaan usaha tani (Rp.) BT = biaya total termasuk biaya tunai dan

biaya yang diperhitungkan (Rp.) Px = harga output (Rp./kg)

Qx = jumlah output (kg)

3.3.3Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C Ratio)

Analisis perbandingan antara penerimaan dan biaya dilakukan untuk mengetahui efisiensi dan kelayakan usahatani (Soekartawi 2002).

Jika nilai R/C > 1 maka usahatani tersebut layak atau sudah efisien, sedangkan jika nilai R/C < 1 maka usahatani tersebut tidak layak atau tidak efisien.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Pamotan dan Rawaapu didominasi oleh dataran rendah dengan ketinggian sekitar dua meter di atas permukaan laut. Walaupun berbatasan dengan laut Indonesia, kedua desa ini bukan termasuk tipe topografi pantai. Terdapat Laguna Segara Anakan yang menjadi pembatas antara daratan desa dengan wilayah perairan. Menurut klasifikasi iklim Schmidt Ferguson, kedua desa ini termasuk tipe iklim A dengan curah hujan rata-rata 3,4 mm/tahun dan curah hujan bulanan berkisar 7-34 mm selama musim kemarau dan 226,4-852 mm selama musim hujan. Lokasi desa yang berjarak cukup dekat dengan lautan ini menyebabkan suhu udara relatif panas dengan suhu rata-rata bulanan 26,7 oC.

(15)

5

Desa Pamotan dan Rawaapu memiliki masyarakat dengan mata pencaharian utama sebagai petani. Tanah di kedua desa tersebut terdiri atas lapisan tanah aluvial sehingga sangat cocok untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Luas sawah di Desa 100 ha di Dusun Cikadim.

Tabel 1 Kerawanan bencana pada sawah di Desa Pamotan

Sumber: Data Risk Assesment IPPHTI (2012)

Tabel 2 Kerawanan bencana pada sawah di Desa Rawaapu

Sumber: Data Risk Assesment IPPHTI (2012) rawan terhadap ancaman banjir baik akibat luapan sungai dan naiknya muka air laut (rob), khususnya saat terjadi penyimpangan iklim cukup ekstrim. Pada beberapa tahun terakhir, sawah produktif hanya mampu dipanen 1 kali dalam setahun akibat kondisi lahan dan iklim yang tidak mendukung. Hasil pengamatan IPPHTI (2012) menunjukkan bahwa sawah yang mengalami ancaman banjir akibat rob (banjir bandang)

dan megu (banjir menggenang) mencapai 109 ha untuk desa Pamotan (Tabel 1) dan 122 ha untuk desa Rawaapu (Tabel 2).

Pada musim banjir masyarakat sudah melakukan adaptasi dengan menanam varietas padi yang cukup tahan terhadap air asin seperti varietas Ciherang dan IR serta melakukan sistem tanam ulang. Namun pada lahan yang tergenang lama (banjir tahunan) belum ditemukan upaya adaptasi karena lahan tidak dapat ditanami.

4.2 Karakteristik Petani Responden 4.2.1 Jenis Kelamin dan Usia

Responden didominasi oleh petani berjenis kelamin laki-laki yaitu 29 responden (97%) dan perempuan 1 responden (3%) dengan usia termuda 35 tahun dan usia tertua 80 tahun.

Umur merupakan faktor yang berpengaruh pada pola pikir dan kemampuan fisik untuk bekerja. Menurut BPS (2011) Usia produktif yaitu usia 15-64 tahun sedangkan usia non produktif yaitu penduduk dengan kelompok usia 0-14 dan 65 tahun ke atas. Umur responden didominasi oleh umur petani yang memiliki rentang umur antara 51-60 tahun yaitu sejumlah 18 responden (60%). Kisaran umur tersebut masih termasuk pada golongan usia produktif. Petani responden lainnya berasal dari kelompok umur 41-50 tahun yang berjumlah 5 orang (17%), kelompok umur dibawah 41 tahun berjumlah 3 orang (10%), dan kelompok umur diatas 60 tahun berjumlah 4 orang (13%).

4.2.2 Tingkat Pendidikan

Pada umumnya petani yang memiliki tingkat pendidikan terbatas, menggunakan teknologi sederhana yang diperoleh turun temurun dalam kegiatan usahatani. Penyerapan teknologi baru cenderung lebih cepat ditangkap oleh petani yang berpendidikan (Hendayana 2003).

(16)

6

Adapun responden yang tidak sekolah berjumlah 2 orang (7%).

4.2.3 Jumlah Tanggungan Keluarga Jumlah tanggungan petani mempengaruhi pendapatan yang akan diperoleh dari suatu usahatani, karena semakin tinggi jumlah tanggungan artinya semakin tinggi pula pengeluaran petani, sehingga tidak mampu mengembangkan pertanian yang diusahakan (Malian 2004).

Jumlah tanggungan rata-rata petani responden yaitu sebanyak 4 orang dengan jumlah tanggungan terbanyak sebesar 9 orang dan tanggungan terendah sebanyak 1 orang. Pada umumnya jumlah tanggungan berada pada kisaran 1 sampai 5 orang, yakni sebanyak 26 orang (87%). Responden lainnya memiliki jumlah tanggungan 6-10 orang sebanyak 4 orang (13%).

4.2.4 Pengalaman Bertani

Tingkat pengalaman yang dimiliki seorang petani dapat dilihat dari seberapa lama petani tersebut terjun dalam kegiatan usahatani (Swastika 2004). Petani responden pada umumnya memiliki pengalaman bertani sejak kecil yang diajarkan turun temurun dari orang tua mereka dengan rata-rata pengalaman bertani sebanyak 9 tahun. Sebagian besar petani responden memiliki pengalaman bertani sebanyak 31 sampai 40 tahun, yaitu 11 orang (7%). Hal ini menunjukkan bahwa petani responden sangat berpengalaman. Responden lainnya memiliki pengalaman bertani selama 11-20 tahun berjumlah 5 orang (17%), 21-30 tahun berjumlah 8 orang (27%), 31-40 tahun berjumlah 11 orang (37%), di atas 40 tahun berjumlah 4 orang (13%).

4.3Teknologi Budidaya Padi Apung Budidaya padi apung merupakan teknik budidaya padi yang menggunakan rakit sebagai media tanam sebagai upaya untuk adaptasi terhadap bencana banjir. Rakit berfungsi sebagai penahan agar tanaman tidak rubuh ketika terkena angin dan tidak tenggelam di lahan yang terkena bajir. Rakit tersebut terbuat dari bambu agar mudah terapung dan untuk bagian tengah rakit menggunakan bambu yang dibelah dua dan disusun seperti pagar yang kemudian diisi dengan menggunakan limbah jerami dan sabut kelapa yang dicampur dengan kompos organik kemudian bagian atas rakit ditutup dengan jaring. Media tanam rakit tersebut

dapat digunakan hingga 6 kali musim tanam (3 tahun) (Adinata 2012).

Dalam budidaya padi apung ini digunakan metode SRI (System Rice Intensification), yaitu suatu metode untuk meningkatkan produktivitas padi yang memanfaatkan dan mengelola kekuatan sumberdaya alam secara terpadu (tanaman, tanah, air, biota, dan nutrisi) untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi yang berbasis organik (Berkelaar 2001). Tanaman dipindahkan ke media tanam (rakit) ketika bibit padi sudah di semai selama 10 hari dan pupuk disemprotkan ke batang serta daun agar lebih efektif. Pupuk organik yang digunakan adalah PPC (Pupuk Pelengkap Cair) dan MOL (Micro Organism Local) (Adinata 2012).

Budidaya padi apung merupakan salah satu upaya adaptasi terhadap perubahan iklim yang dikembangkan oleh Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI) dan Center for Climate Risk and Oportunities Management (CCROM) IPB Bogor. Budidaya tersebut pertama kali dilakukan pada bulan Desember 2011 di Desa Pamotan dan Rawaapu. Kelebihan teknik budidaya padi apung, yaitu:

1. Tidak membutuhkan penyiraman air dan saluran irigasi.

2. Tidak membutuhkan traktor untuk membajak lahan.

3. Tidak membutuhkan pupuk kimia dan pestisida organik.

4. Tidak membutuhkan perawatan membersihkan rumput.

5. Mengurangi limbah jerami dan sabut kelapa.

6. Memanfaatkan lahan yang terbengkalai/ tidak produktif karena banjir dengan durasi yang panjang (satu musim tanam).

7. Bebas ancaman kekeringan pada musim kemarau untuk wilayah yang banjir tahunan.

Namun budidaya padi apung juga memiliki kendala, antara lain:

1. Biaya pembuatan rakit yang cukup besar pada awal tanam.

2. Belum adanya fasilitas pemasaran beras organik di Desa Pamotan dan Rawaapu sehingga hasil panen masih di jual ke tengkulak dengan harga sama seperti beras biasa.

(17)

7

(a)

(b)

Gambar 2 Perbandingan hasil produktivitas padi apung dengan padi konvensional di Kecamatan Kalipucang (a) dan Kecamatan Patimuan (b).

Di Desa Pamotan dan Rawaapu, hasil produktivitas padi apung menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan padi konvensional karena budidaya padi apung menggunakan metode SRI yang menghasilkan rumpun yang lebih banyak. Hal ini menunjukkan bahwa budidaya padi apung sangat berpotensi untuk dikembangkan terutama di lahan yang mengalami banjir tahunan.

4.4 Analisis Perbandingan Efisiensi Usahatani Padi Konvensional dengan Padi Apung

Usahatani adalah ilmu yang mempelajari tentang cara petani mengelola input atau faktor-faktor produksi dengan efektif, efisien, dan kontinu untuk menghasilkan produksi yang tinggi sehingga pendapatan usahataninya meningkat (Rahim dan Hastuti 2007). Analisis biaya usahatani dibagi menjadi dua yaitu biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan.

Kegiatan usahatani dikategorikan layak jika memiliki nilai R/Cratio lebihbesar dari satu, artinya setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan

penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biaya atau secara sederhana kegiatan usahatani menguntungkan. Sebaliknya kegiatanusahatani dikategorikan tidak layak jika memiliki nilai R/C ratio

lebih kecil dari satu, yang artinya untuk setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih kecil daripada tambahan biaya atau kegiatan usahatani merugikan. Sedangkan untuk kegiatan usahatani yang memiliki nilai R/C ratio sama dengan satu berarti kegiatan usahatani berada pada keuntungan normal (Suratiyah 2006).

Pada analisis usahatani di Desa Pamotan dan Rawaapu, diketahui bahwa penerimaan total rata-rata usahatani konvensional adalah sebesar Rp. 8.414.000 dengan biaya total rata-rata sebesar Rp. 14.350.000. Berdasarkan nilai tersebut diperoleh R/C ratio total usahatani padi konvensional adalah sebesar 1,71 artinya setiap Rp. 1 dari biaya total yang dikeluarkan oleh petani padi konvensional akan memberikan penerimaan sebesar Rp. 1,71. Sedangkan untuk usahatani padi apung penerimaan total rata-rata yaitu sebesar Rp. 46.080.000 dengan biaya total rata-rata sebesar Rp. 22.742.000. Berdasarkan nilai tersebut diperoleh R/C ratio total usahatani padi apung sebesar 2,03 yang berarti bahwa setiap Rp. 1 dari biaya total yang dikeluarkan oleh petani padi apung akan memberikan penerimaan sebesar Rp. 2,03.

Tabel 3 Perbandingan biaya dan hasil padi konvensional dan padi apung

No Komponen

(Rp./ha) 8.414.000 22.742.000 A Biaya Tunai

(18)

8

Biaya pembuatan rakit meliputi bilah bambu, bambu reng, jaring kolam, pupuk kandang dan tenaga kerja.

Tabel 4 Biaya pembuatan rakit per hektar No Biaya Pembuatan

Rakit Satuan Harga (Rp.)

4 Kompos organik 16.000.000 5 Tenaga kerja 16.000.000 Jumlah Biaya Rakit (6 musim) 76.000.000 Jumlah per Musim 12.670.000

4.5 Potensi Pengembangan Budidaya Padi Apung di Desa Pamotan dan Rawaapu

Di Desa Pamotan terdapat sekitar 70 ha dan Rawaapu sekitar 135 ha lahan sawah yang terkena banjir menahun sehingga tidak dapat ditanami. Lahan tersebut merupakan lahan yang sangat berpotensi terhadap pengembangan budidaya padi apung.

Pendapatan (keuntungan) padi apung per hektar yaitu sebesar Rp. 23.338.000 hektar dengan hasil produksi rata-rata sebesar 6,4 ton. Apabila pada semua lahan yang berpotensi tersebut dikembangkan teknologi budidaya padi apung, maka akan terjadi peningkatan hasil produksi dan pendapatan bagi para petani di Desa Pamotan sebesar 448 ton dengan keuntungan Rp. 1.633.660.000 dan Rawaapu sebesar 864 ton dengan keuntungan Rp. 3.150.630.000.

Hasil analisis ini menunjukkan bahwa penerapan teknologi padi apung memberikan keuntungan yang sangat besar, tidak hanya bagi petani, tetapi juga terhadap perkembangan ekonomi di kedua desa tersebut. Namun demikian, agar teknologi ini dapat diterima dan diterapkan dengan baik oleh petani, pemerintah setempat dengan dukungan Kementerian Pertanian perlu mengembangkan kegiatan demonstrasi (pilot) yang lebih luas dan memperkuat program penyuluhan dan juga akses terhadap kredit khususnya dalam membantu petani memenuhi kebutuhan investasi awal yang cukup besar untuk membangun media tanam untuk padi apung (lihat Tabel 3).

Penelitian tentang pengembangan model media tanam padi apung dengan biaya yang lebih murah dan lebih tahan lama juga perlu dikembangkan. Menurut Kementerian Pertanian Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan (2012) lahan pertanian seluas 3.457 potensi pengembangan teknologi padi apung di Indonesia diperkirakan sangat besar.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan

Budidaya padi apung merupakan teknik budidaya padi yang menggunakan rakit sebagai media tanam sebagai upaya untuk adaptasi terhadap bencana banjir. Usahatani padi apung layak untuk dikembangkan lebih lanjut pada lahan yang mengalami banjir tahunan sebab menunjukkan pendapatan dan hasil produktivitas yang lebih tinggi daripada usahatani padi konvensional di Desa Pamotan dan Rawaapu. Hal ini terlihat dari hasil R/C ratio total usahatani padi apung sebesar 2,03 lebih besar daripada R/C rasio total usahatani padi konvensional sebesar 1,71. Apabila pada semua lahan yang berpotensi tersebut dikembangkan teknologi budidaya padi apung, maka akan terjadi peningkatan hasil produksi dan pendapatan bagi para petani di Desa Pamotan dan Rawaapu.

5.2Saran

Diperlukan pembinaan dan penyuluhan mengenai budidaya padi apung agar petani lebih terampil dan mendapatkan hasil yang optimal. Adanya bantuan dari pemerintah maupun pihak terkait akan sangat membantu para petani dalam memberikan modal awal pembuatan rakit. Selain itu adanya fasilitas pemasaran hasil produksi petani berupa beras organik melalui sistem kontrak ke pedagang dan supermarket baik antar pulau maupun ekspor akan sangat membantu bagi petani.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin R, Oentarjo JR, Oemijati, Wasis B. 2004. Pedoman Kegiatan Pencegahan dan Perusakan Lingkungan. Forum Pengkajian Kebijakan dan Manajemen Ekosistem Hutan Tropika. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. p 21.

Adinata K. 2012. Petunjuk Teknis Padi Apung. IPPHTI, Cilacap.

(19)

9

Yields as Affected by Interannual Climate Variability and Possible Climate Change in Java. Climate Buletin ECHO Development Notes. Januari 2001 Issue 70.

Boer R, Subbiah AR. 2005. Agriculture Drought in Indonesia. In V.K. Boken, A.P. Cracknell and R.L. Heathcote (eds). Monitoring and predicting agriculture drought: A global study. Oxford Univ Pr, New York. p 330-344. Boer R, Suharnoto Y. 2012. Climate Change

and It’s Impact on Indonesia’s Food Crop Sector. Paper presented at the Sixth Forum on Natural Resource Management: Water and Food in a Changing Environtment on 11-13 April 2012 at SEARCA headquarters, Los Banos, Philippines.

Fagi AM, Partohardjono S. 2004. Diversifikasi Usahatani Berorientasi Padi dalam Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Hernanto F. 1991. Ilmu Usaha Tani. Penebar

Swadaya, Jakarta.

Gomosta AR, Hossain MM, Haque MZ. 1981. Screening Methods for Submergence Tolerance in Rice in Bangladesh. Proceedings of the 1981 International Deepwater Rice Workshop. International Rice Research Institute, Los Banos, Laguna. Philippines. p 98.

Gusti S, Padjung R. 2003. Karakteristik Banjir Tahun 1998 di Daerah Hilir Sungai Gilireng, Kabupaten Wajo dan Pengaruhnya Terhadap Kehilangan Hasil Gabah dalam J Sains dan Teknologi 3(2): 73-80.

Hendayana R. 2003. Dampak Penerapan Teknologi Terhadap Perubahan Struktur Biaya dan Pendapatan Usahatani Padi. Working Paper. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor. p 14.

[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2007. Impact, adaptation and vulnerability. Contribution of Working

Group II to the Fourth Assesment Report. Cambrige Univ Pr, Cambridge, United Kingdom.

[IPPHTI] Ikatan Petani Pengendali Hama Tanaman Indonesia. 2012. Data Risk Assesment. Cilacap.

Ito O, Ella E, Kawano N. 1999. Physiological Basis of Submergence Tolerance in Rainfield Lowland Rice Ecosystem. Field Crops Res 64: 75-90. Kementerian Pertanian Direktorat

Perlindungan Tanaman Pangan. 2012. Statistik Pertanian. Jakarta.

Lietmann J. 2009. Berinvestasi untuk Indonesia yang lebih Berkelanjutan: Analisa Lingkungan Indonesia. Seri CEA, Kawasan Asia Timur dan Pasifik. Bank Dunia. Washington DC.

Malian AH. 2004. Analisis Ekonomi Usahatani dan Kelayakan Finansial Teknologi pada Skala Pengkajian. Makalah Disajikan dalam Pelatihan Analisa Finansial dan Ekonomi bagi Pengembangan Sistem dan Usahatani Agribisnis Wilayah, Bogor, 29 November - 9 Desember 2004. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Mirza MMQ. 2003. Climate Change and Extreme Weather Event Can Developing Countries Adopt. Climate Policy 3: 233.

Rahayu S, Widodo RH, van Noordwijk M, Suryadi I, Verbist B. 2009. Monitoring air di Daerah Aliran Sungai. World Agroforestry Centre–ICRAF, SEA Regional Office. p 104.

Rahim A, Hastuti DRD. 2007. Ekonomika Pertanian (Pengantar, Teori dan Kasus). Penebar Swadaya, Jakarta.

Soeharjo A, Patong D. 1973. Sendi-Sendi Pokok Ilmu Usahatani. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani.

Universitas Indonesia, Jakarta.

Suhaeti RN, Basuno E. 2004. Analisis Dampak Pengkajian Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Terhadap Produktivitas (Kasus: BPTP Nusa Tenggara Timur). J Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis SOCA 4(2): 214-223.

Suratiyah K. 2006. Ilmu Usahatani: Biaya dan Pendapatan dalam Usahatani. Edisi ke-I. Penebar Swadaya. Jakarta. p 61. Susandi A, Herlianti I, Tamamadin M,

(20)

10

Di Wilayah Banjarmasin. J Ekonomi Lingkungan 12(2): 208.

Swastika DKS. 2004. Beberapa Teknik Analisis Dalam Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian.

Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian Bogor. J Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian

(21)

11

LAMPIRAN Lampiran 1 Usahatani Pamotan

1. Pengeluaran Sarana Produksi, Tenaga Kerja dan Lainnya

No Uraian Satuan Harga (Rp.)

A Sarana Produksi

1 Benih 75 kg x 8000 600.000

2 Pupuk

Ponska 250 kg x 3000 750.000

Urea 250 kg x 2500 625.000

3 Peptisida

Pastak 5 botol 75.000

Sidatan 5 botol 75.000

Akor 5 botol 75.000

B Tenaga Kerja

1 Pengolahan tanah/ media tanam

Traktor 750.000

Perataan & pematang 700.000

2 Pembibitan

Pembuatan persemaian 3 hari 210.000

3 Penanaman

Cabut & tanam bibit 3 hari 210.000

4 Pemeliharaan

Penyiangan I 20 hari 700.000

Penyiangan II 20 hari 700.000

Penyemprotan 2 hari 70.000

Pemupukan 2 hari 70.000

5 Panen 6 Pasca Panen

Pengeringan 4 hari 560.000

Penggilingan 500.000

C Lainnya

1 Pajak Negara 65.000

2 Pajak Desa 600.000

3 Karung 50 x Rp 2.000 100.000

2. Penggunaan Peralatan

No Jenis Alat Padi Konvensional

Jumlah (buah) Harga (Rp.) Masa pakai (tahun)

1 Cangkul 1 100.000 5

2 Kored 1 50.000 5

3 Parang 1 50.000 5

4 Handsprayer 1 350.000 5

5 Garokan 1 25.000 3

6 Caplakan 1 100.000 3

7 Terpal 4 600.000 2

8 Perata tanah 1 25.000 2

3. Penerimaan Hasil Produksi

No Produksi Padi Konvensional

Luas Panen (ha) Produksi (ton/ha) Total Harga (Rp.)

1 GKP 1 3 ton -

2 GKG 1 2,5 ton 10.000.000

3 Beras 1 1,5 ton 10.500.000

(22)

12

Lampiran 2 Usahatani Rawaapu

1.Pengeluaran Sarana Produksi, Tenaga Kerja dan Lainnya

No Uraian Satuan Harga (Rp.)

A Sarana Produksi

1 Benih 75 kg x 8000 600.000

2 Pupuk

KCl 50 kg 140.000

TSP 50 kg 125.000

Urea 50 kg 285.000

3 Peptisida

Pastak ½ liter 60.000

Regen ½ liter 60.000

4 Lain-lain

Score 5 botol 160.000

B Tenaga Kerja

1 Pengolahan tanah/ media tanam Traktor

11 hari 1.300.000

Perataan & Pematang 880.000

2 Pembibitan

Pembuatan persemaian 4 hari 240.000

3 Penanaman

Cabut & tanam bibit 6 hari 320.000

4 Pemeliharaan Penyiangan I

40 hari 800.000

Penyiangan II 800.000

Penyemprotan 1 hari 40.000

Pemupukan 1 hari 80.000

5 Panen 6 Pasca Panen

Pengeringan 15 hari 600.000

Penggilingan 1.300.000

C Lainnya

1 Pajak Negara 62.500

2 Pajak Desa 600.000

3 Karung 130 x Rp 2500 325.000

2.Penggunaan Peralatan

No Jenis Alat Padi Konvensional

Jumlah (buah) Harga (Rp.) Masa pakai (tahun)

1 Cangkul 1 65.000 3

2 Kored 1 30.000 3

3 Parang 1 150.000 3

4 Handsprayer 1 350.000 3

5 Tambang 1 kg 50.000 4

6 Terpal 4 1.120.000 3

7 Perata tanah 1 25.000 2

3.Penerimaan Hasil Produksi

No Produksi Padi Konvensional

Luas Panen (ha) Produksi (ton/ha) Total Harga (Rp.)

1 GKP 1 5,2 ton -

2 GKG 1 3,25 ton 13.000.000

3 Beras 1 2,6 ton 18.200.000

(23)

13

Lampiran 3 Dokumentasi

Sawah sebelum banjir

Padi konvensional roboh akibat banjir

Sungai Citanduy

Pembibitan padi apung dengan metode SRI

Sawah setelah banjir

Saluran pembuangan air (apur) penyebab banjir rob

Laguna Segara Anakan

(24)

14

Proses pembuatan rakit

Tanaman padi apung

Wawancara dengan petani

Gambar

Gambar 1 Peta Desa Pamotan dan Rawaapu
Gambar 2 Perbandingan hasil produktivitas

Referensi

Dokumen terkait

92 Kekuasaan MRP seperti yang dimuat di Undang-undang adalah: Memberikan pertimbangan dan persetujuan atas calon Gubernur dan wakil Gubernur yang diajukan oleh DPRP; Memberikan

Obyek dari performance bond adalah barang serta jasa lingkungan hidup (hutan, udara, air) yang dapat terkena dampak polutif atau ekstraktif dari suatu kegiatan ekonomi..

Sitti Murniati Muhtar, Stategi komunikasi dalam pelaksanaan program corporate social responsibility (CSR) oleh Humas PT semen tonasa terhadapkomunitas lokal di Kabupaten

Judul skripsi : “Peranan Metode Bermain Sambil Belajar dalam Meningkatkan Hasil Belajar Matematika pada Anak Tunagrahita Sedang (Penelitian Tindakan Bersama Keluarga Anak

Agustinus Hermino mengemukakan bahwa akuntabilitas adalah, pertanggung jawaban atas semua program yang dilaksanakan sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya.

– memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan – baik yang dilaksanakan langsung oleh Pemerintah Daerah. maupun yang ditempuh dengan mendorong

Penelitian ini dilakukan dengan menguji pengaruh variabel bebas yaitu daya tarik iklan (X1), kualitas pesan iklan (X2), dan frekuensi penayangan iklan (X3) dari

Program sitcom “Keluarga Su“ menyajikan sebuah tayangan komedi yang unik dan baru, dengan tidak mengandalkan humor multikulturalisme dan slapstick yang berlebihan, ditambah