• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Kepatuhan 1. Pengertian Kepatuhan - Kepatuhan Perawat dalam Penerapan Protap Perawatan Luka Post Operasi Sectio Caesarea (SC) di RSUD Langsa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Kepatuhan 1. Pengertian Kepatuhan - Kepatuhan Perawat dalam Penerapan Protap Perawatan Luka Post Operasi Sectio Caesarea (SC) di RSUD Langsa"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Kepatuhan 1. Pengertian Kepatuhan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pranoto, 2007), patuh adalah

suka menurut perintah, taat pada perintah, sedangkan kepatuhan adalah perilaku

sesuai aturan dan berdisiplin.

Sedangkan menurut Ali (1999) dalam Slamet (2007), kepatuhan berasal

dari kata dasar patuh, yang berarti disiplin dan taat. Patuh adalah suka menurut

perintah, taat pada perintah atau aturan. Sedangkan kepatuhan adalah perilaku

sesuai aturan dan berdisiplin.

Kepatuhan petugas profesional (perawat) adalah sejauh mana perilaku

seorang perawat sesuai dengan ketentuan yang telah diberikan pimpinan perawat

ataupun pihak rumah sakit (Niven, 2002).

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan

Menurut (Niven, 2002) faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat

kepatuhan adalah :

a. Pendidikan

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan

(2)

kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan

dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Tingginya pendidikan seorang perawat

dapat meningkatkan kepatuhan dalam melaksanakan kewajibannya, sepanjang

bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif.

b. Modifikasi Faktor Lingkungan dan Sosial

Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari pimpinan rumah sakit,

kepala perawat, perawat itu sendiri dan teman-teman sejawat. Lingkungan

berpengaruh besar pada pelaksanaan prosedur asuhan keperawatan yang telah

ditetapkan. Lingkungan yang harmonis dan positif akan membawa dampak yang

positif pula pada kinerja perawat, kebalikannya lingkungan negatif akan

membawa dampak buruk pada proses pemberian pelayanan asuhan keperawatan.

c. Perubahan Model Prosedur

Program pelaksanan prosedur asuhan keperawatan dapat dibuat

sesederhana mungkin dan perawat terlihat aktif dalam mengaplikasikan prosedur

tersebut. Keteraturan perawat melakukan asuhan keperawatan sesuai standar

prosedur dipengaruhi oleh kebiasaan perawat menerapkan sesuai dengan

ketentuan yang ada.

d. Meningkatkan Interaksi Profesional Kesehatan

Meningkatkan interaksi profesional kesehatan antara sesama perawat

(3)

penting untuk memberikan umpan balik pada perawat. Suatu penjelasan tetang

prosedur tetap dan bagaimana cara menerapkannya dapat meningkatkan

kepatuhan. Semakin baik pelayanan yang diberikan tenaga kesehatan, maka

semakin mempercepat proses penyembuhan penyakit klien.

e. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap suatu obyek tertentu, dari pengalaman dan penelitian

terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari

pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang adalah pendidikan,

pekerjaan dan usia (Mubarak, 2006).

Menurut Notoadmojo (2003) tingkat pengetahuan manusia dibagi menjadi

6 tingkat. Pertama yaitu tahu (know), diartikan sebagai pengingat suatu materi

yang telah dipelajari sebelum terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh yang

dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

Setelah tahu, kemudian sesorang akan memahami (compherension).

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar.

Orang yang telah paham objek-objek atau materi harus dapat menjelaskan, dengan

menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dari terhadap objek yang

dipelajari.

Selanjutnya, apa yang telah dipahami akan diaplikasikan (Aplication).

(4)

dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya. Aplikasi juga merupakan

penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan dalam konteks atau

situasi lain. Kemudian, materi atau objek yang telah diplikasikan selanjutnya

diartikan untuk dijabarkan ke dalam komponen-komponen, tetapi dalam struktur

organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain (Analysis). Kemampuan

analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, dapat menjabarkan,

membedakan, mensyahkan dan mengelompokkan.

Materi atau obejk yang telah dianalisis, digabungkan untuk menyusun

formulasi-formulasi yang ada (Syntesis). Kemudian dinilai berdasarkan suatu

kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang ada (Evaluasi).

f. Sikap (Attitude)

Sikap merupakan aksi atau respon seseorang yang masih tertutup Menurut

Notoadmodjo (2007), sikap manusia terhadap suatu rangsangan adalah perasaan

setuju (favorablere) ataupun perasaan tidak setuju (non favorable) terhadap

rangsangan tersebut.

Selain itu Allport (1935 dalam Notoadmodjo, 2003) menjelaskan bahwa

sikap mempunyai 3 (tiga) komponen pokok yaitu: kepercayaan (keyakinan) yang

merupakan ide dan konsep terhadap suatu objek, kehidupan emosional atau

evaluasi emosional terhadap suatu objek dan kecenderungan untuk bertindak.

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total

attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan

(5)

Seperti halnya dengan pengetahuan, Notoadmodjo (2007) menyebutkan

bahwa sikap terdiri dari berbagai tingkatan. Pertama adalah subjek mau dan

memperhatikan stimulus yang diberikan objek (receiving). Kemudian merespon

(memberikan) jawaban apabila ditanya serta mengerjakan dan menyelesaikan

tugas yang diberikan (responding). Selanjutnya, subjek akan menunjukan sikap

menghargai (valuating) yaitu dengan mengajak orang lain untuk mengerjakan atau

mendiskusikan suatu masalah, lalu bertanggung jawab atas segala sesuatu yang

telah dipilihnya dengan segala resiko (responsible)

Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap secara psikologi ada dua yaitu:

faktor instriksik dan faktor ekstrinsik. Yang termasuk faktor instrinsik diantaranya

intelegensi, bakat, minat, dan kepribadian, sedangkan yang termasuk didalam

ekstrinsik antara lain yang datang dari lingkungan individu itu sendiri. Maka sikap

seseorang terhadap rangsangan sangat tergantung pada berbagai situasi dan

kondisi lingkungan dimana orang itu berada. Dan sikap juga terukir melalui

pengalaman seseorang, dengan motivasi yang ada pada dirinya. Sikap merupakan

reaksi yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu rangsangan

(Notoadmodjo, 2007).

g. Usia

Usia adalah umur yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat akan

berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan

seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan,

(6)

cukup tinggi tingkat kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan

kematangan jiwanya. Semakin dewasa seseorang, maka cara berfikir semakin

matang dan teratur melakukan suatu tindakan (Notoatmodjo, 2007).

3. Proses Perubahan Sikap dan Tindakan (Perilaku)

Menurut Teori Kelman, perubahan sikap dan perilaku individu dimulai

dengan tahap kepatuhan. Mula-mula individu mematuhi anjuran atau instruksi

tanpa kerelaan untuk melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin

menghindari hukuman/sanksi jika tidak patuh, atau untuk memperoleh imbalan

yang dijanjikan jika mematuhi anjuran tersebut, tahap ini disebut tahap

kesediaan. Biasanya perubahan yang terjadi dalam tahap ini bersifat sementara, artinya bahwa tindakan itu dilakukan selama masih ada pengawasan petugas.

Tetapi begitu pengawasan itu mengendur atau hilang, perilaku itupun ditinggalkan

(Niven, 2002).

Pengawasan itu tidak perlu berupa kehadiran fisik petugas atau tokoh

otoriter, melainkan cukup rasa takut terhadap ancaman sanksi yang berlaku, jika

individu tidak melakukan tindakan tersebut. Dalam tahap ini pengaruh tekanan

kelompok sangatlah besar, individu terpaksa mengalah dan mengikuti perilaku

mayoritas kelompok meskipun sebenarnya dia tidak menyetujuinya. Namun

segera setelah dia keluar dari kelompok tersebut, kemungkinan perilakunya akan

berubah menjadi perilakunya sendiri (Niven 2000).

Kepatuhan individu berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpahaman

(7)

berbeda, yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan petugas kesehatan

atau tokoh (pimpinan) yang menganjurkan perubahan tersebut (change agent).

Biasanya kepatuhan ini timbul karena individu merasa tertarik atau

mengagumi petugas (pimpinan) tersebut, sehingga ingin mematuhi apa yang

dianjurkan atau diinstruksikan tanpa memahami sepenuhnya arti dan manfaat dari

tindakan tersebut, tahap ini disebut proses identifikasi. Meskipun motivasi untuk mengubah perilaku individu dalam tahap ini lebih baik dari pada dalam tahap

kesediaan, namun motivasi ini belum dapat menjamin kelestarian perilaku itu

karena individu belum dapat menghubungkan perilaku tersebut dengan nilai-nilai

lain dalam hidupnya, sehingga jika dia ditinggalkan petugas atau tokoh idolanya

itu maka dia merasa tidak perlu melanjutkan perilaku tersebut.

Perubahan perilaku individu baru dapat menjadi optimal jika perubahan

tersebut terjadi melalui proses internalisasi, dimana perilaku yang baru itu

dianggap bernilai positif bagi diri individu dan diintegrasikan dengan nilai-nilai

lain dari hidupnya.

Niven (2002) menyebutkan proses internalisasi ini dapat dicapai jika

petugas atau pimpinan tersebut merupakan seseorang yang dapat dipercaya

(kredibilitasnya tinggi) yang dapat membuat individu memahami makna dan

penggunaan perilaku tersebut serta membuat mereka mengerti akan pentingnya

perilaku tersebut bagi kehidupan mereka sendiri. Memang proses internalisasi ini

tidaklah mudah dicapai sebab diperlukan kesediaan individu untuk mengubah

nilai dan kepercayaan mereka agar menyesuaikan diri dengan nilai atau perilaku

(8)

4. Faktor Penentu Derajat Ketidakpatuhan

Niven (2002) mengungkapkan derajat ketidak patuhan ditentukan oleh

kompleksitas prosedur pengobatan, derajat perubahan gaya hidup/lingkungan

kerja yang dibutuhkan, lamanya waktu dimana perawat mematuhi prosedur

tersebut, apakah prosedur tersebut berpotensi menyelamatkan hidup, dan

keparahan penyakit yang dipersepsikan sendiri oleh pasien bukan petugas

kesehatan.

5. Stretegi untuk Meningkatkan Kepatuhan

Menurut Smet (1994), berbagai strategi telah dicoba untuk meningkatkan

kepatuhan, diantaranya adalah:

a. Dukungan Profesional Kesehatan

Dukungan profesional kesehatan sangat diperlukan untk meningkatkan

kepatuhan, contoh yang paling sederhana dalam hal dukungan tersebut adalah

dengan adanya tehnik komunikasi. Komunikasi memegang peranan penting

karena komunikasi yang baik diberikan oleh profesional kesehatan, isalnya antara

kepala perawatan dengan bawahannya.

b. Dukungan Sosial

Dukungan sosial yang dimaksud adalah pasien dan keluarga. Pasien dan

keluarga yang percaya pada tindakan dan perilaku yang dilakukan oleh perawat

dapat menunjang peningkatan kesehatan pasien, sehingga perawat dapat bekerja

(9)

c. Perilaku Sehat

Modifikasi perilaku sehat sangat diperlukan, misalnya kepatuhan perawat

untuk selalu mencuci tangan sebelum dan sesudah menyentuh pasien ataupun

melakukan tindakan asuhan keperawatan.

d. Pemberian Informasi

Pemberian informasi yang jelas tentang pentingnya pemberian asuhan

keperawatan berdasarkan prosedur yang ada membantu meningkatkan kepatuhan

perawat, hal ini dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan-pelatihan

kesehatan yang diadakan oleh pihak rumah sakit ataupun instansi kesehatan lain.

B. Luka dan Perawatannya

1. Konsep Luka a. Pengertian

Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit (Taylor, 1997).

Luka adalah kerusakan kontiniuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ

tubuh lain (Kozier et all, 2004).

Ketika luka timbul, akan muncul beberapa efek, seperti: hilangnya seluruh

atau sebagian fungsi organ, terjadi respon stres simpatis, adanya perdarahan dan

(10)

b. Jenis-Jenis Luka

Luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana cara mendapatkan luka

itu dan menunjukkan derajat luka (Taylor, 1997).

1) Berdasarkan Tingkat Kontaminasi

Clean wounds (luka bersih), yaitu luka bedah tak terinfeksi, yang mana

tidak terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada sistem pernafasan,

pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi. Luka bersih biasanya menghasilkan

luka yang tertutup. Jika diperlukan dimasukkan drainase tertutup (misal; Jackson

– Pratt). Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5%.

Clean-contamined wounds (luka bersih terkontaminasi), merupakan luka

pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan dalam

kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi. Kemungkinan timbulnya

infeksi luka adalah 3% - 11%.

Contamined wounds (luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka, luka

akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik aseptik atau

kontaminasi dari saluran cerna. Pada kategori ini juga termasuk insisi akut,

inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%.

Dirty or infected wounds (luka kotor atau infeksi), yaitu terdapatnya

(11)

2) Berdasarkan Kedalaman dan Luasnya Luka

Luka superfisial (Non-Blanching Erithema), yaitu luka yang terjadi pada

lapisan epidermis kulit (Stadium I). Luka “Partial Thickness”, yaitu hilangnya

lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis, Merupakan luka

superfisial dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal

(Stadium II). Luka “Full Thickness”, yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi

kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi

tidak melewati jaringan yang mendasarinya, lukanya sampai pada lapisan

epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot, selain itu timbul secara

klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan

sekitarnya (Stadium III). Terakhir adalah luka “Full Thickness” yang telah

mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang

luas (Stadium IV).

3) Berdasarkan Waktu Penyembuhan Luka

Berdasarkan waktu penyembuhannya, luka terbagi atas luka akut dan luka

kronis. Luka akut yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep

penyembuhan yang telah disepakati, sedangkan luka kronis yaitu luka yang

mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan, dapat karena faktor eksogen

(12)

c. Mekanisme Terjadinya Luka

Terdapat beberapa penyebab terjadinya luka (Sjamsuhidayat 1997), yaitu:

luka yang terjadi karena teriris oleh instrumen yang tajam. Misal, luka yang

terjadi akibat pembedahan. Luka bersih (aseptik) biasanya tertutup oleh sutura

setelah seluruh pembuluh darah yang luka diikat (Ligasi). Ini disebut dengan luka

insis (incised wounds).

Terdapat juga luka yang terjadi akibat benturan oleh suatu tekanan dan

dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan bengkak, yang

disebut dengan luka memar (contusion wound). Luka akibat kulit bergesekan

dengan benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam, disebut dengan

luka lecet (abraded wound). Luka akibat adanya benda, seperti peluru atau pisau

yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang kecil, disebut dengan kuka tusuk

(punctured wound).

Janis selanjutnya, luka yang terjadi akibat benda yang tajam seperti oleh

kaca atau oleh kawat, disebut dengan kuka gores (lacerated wound). Luka yang

menembus organ tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil

tetapi pada bagian ujung biasanya lukanya akan melebar, disebut dengan luka

tembus (penetrating wound). Terakhir adalah luka bakar (combustio), yaitu luka

yang terjadi akibat terbakar api langsung atau tidak langsung, pajanan tinggi dari

(13)

d. Penyembuhan Luka

Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan

memulihkan dirinya. Peningkatan aliran darah ke daerah yang rusak,

membersihkan sel dan benda asing dan perkembangan awal seluler bagian dari

proses penyembuhan. Proses penyembuhan terjadi secara normal tanpa bantuan,

walaupun beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk mendukung proses

penyembuhan. Sebagai contoh, melindungi area yang luka bebas dari kotoran

dengan menjaga kebersihan membantu untuk meningkatkan penyembuhan

jaringan (Taylor, 1997).

1) Prinsip Penyembuhan Luka

Ada beberapa prinsip dalam penyembuhan luka menurut Taylor (1997)

yaitu: (1) Kemampuan tubuh untuk menangani trauma jaringan dipengaruhi oleh

luasnya kerusakan dan keadaan umum kesehatan tiap orang, (2) Respon tubuh

pada luka lebih efektif jika nutrisi yang tepat tetap dijaga, (3) Respon tubuh secara

sistemik pada trauma, (4) Aliran darah ke dan dari jaringan yang luka, (5)

Keutuhan kulit dan mukosa membran disiapkan sebagai garis pertama untuk

mempertahankan diri dari mikroorganisme, dan (6) Penyembuhan normal

ditingkatkan ketika luka bebas dari benda asing tubuh termasuk bakteri.

2) Fase Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka adalah suatu kualitas dari kehidupan jaringan hal ini

juga berhubungan dengan regenerasi jaringan. Fase penyembuhan luka

(14)

Menurut Potter & Perry (2005), fase penyembuhan luka dimulai dengan

tahap inflamatory (devensive), yaitu ketika integritas kulit rusak/terganggu dan

berlanjut hingga 4-6 hari. Tahap ini terbagi atas (1) Homeostasis, (2) Respon

inflamatori, (3) Tibanya sel darah putih di luka. Hemostasis adalah kondisi

dimana terjadi konstriksi pembuluh darah, membawa platelet menghentikan

perdarahan. Bekuan membentuk sebuah matriks fibrin yang mencegah masuknya

organisme infeksius.

Respon inflammatory adalah saat terjadi peningkatan aliran darah pada

luka dan permeabilitas vaskuler plasma menyebabkan kemerahan dan bengkak

pada lokasi luka. Sampainya sel darah putih di luka melalui suatu proses,

neutrophils membunuh bakteri dan debris yang kemudian mati dalam beberapa

hari dan meninggalkan eksudat yang menyerang bakteri dan membantu perbaikan

jaringan. Monosit menjadi makrofag, selanjutnya makrofag membersihkan sel

dari debris oleh pagositosis, meningkatkan perbaikan luka dengan mengembalikan

asam amino normal dan glukose. Epitelial sel bergerak dari dalam ke tepi luka

selama lebih kurang 48 jam.

Tahap selanjutnya adalah prolifrasi (reconstruksion), dimana terjadi

penutupan dimulai hari ke-3 atau ke-4 dari tahap defensive dan berlanjut selama 2

– 3 minggu. Fibroblast berfungsi membantu sintesis vitamin B dan C, dan asam

amino pada jaringan kollagen. Kollagen menyiapkan struktur, kekuatan dan

integritas luka. Epitelial sel memisahkan sel-sel yang rusak.

Tahap terakhir adalah maturasi yang merupakan akhir penyembuhan luka,

(15)

Penyembuhan luka dapat terganggu oleh penyebab dari dalam tubuh

(endogen) atau oleh penyebab dari luar tubuh (eksogen) (Oswari, 2005).

Penyebab endogen terpenting adalah gangguan bekuan darah (hematoma).

Seringkali darah pada luka secara bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam

sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang besar hal tersebut memerlukan waktu

untuk dapat diabsorbsi tubuh, sehingga menghambat proses penyembuhan luka

(Oswari, 2005). Adanya penurunan suplai darah pada bagian tubuh akibat dari

obstruksi dari aliran darah juga menganggu proses penymuhan. Hal ini dapat

terjadi akibat dari balutan pada luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor

internal yaitu adanya obstruksi pada pembuluh darah itu sendiri (Syamsuhidayat,

1997).

Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Adanya

sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan lemak (yang memiliki sedikit

pembuluh darah). Pada orang-orang yang gemuk penyembuhan luka lambat

karena jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah infeksi, dan lama untuk

sembuh. Aliran darah dapat terganggu pada orang dewasa dan pada orang yang

menderita gangguan pembuluh darah perifer, hipertensi atau diabetes millitus

(Kozier, 2004).

Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang menderita anemia atau

gangguan pernapasan kronik pada perokok. Kurangnya volume darah akan

mengakibatkan vasokonstriksi dan menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi

(16)

Faktor usia juga mempengaruhi proses penyembuhan luka. Usia anak dan

dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada orang tua. Orang tua lebih sering

terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati dapat mengganggu sintesis dari

faktor pembekuan darah (Potter & Perry, 2005).

Gangguan sistem imun akan menghambat dan mengubah rekasi tubuh

terhadap lukaa, kematian jaringan, dan kontaminasi. Imun ini sendiri dipengaruhi

oleh nutrisi dan penyakit yang diderita. Klien memerlukan diit kaya protein,

karbohidrat, lemak, vitamin C dan A, dan mineral seperti Fe, Zn. Klien kurang

nutrisi memerlukan waktu untuk memperbaiki status nutrisi mereka setelah

pembedahan jika mungkin (Oswari, 2005). Seseorang yang menderita diabetes

mellitus juga mengalami kesulitan dalam proses penyembuhan luka. Hambatan

terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula darah, nutrisi tidak

dapat masuk ke dalam sel. Akibat hal tersebut juga akan terjadi penurunan

protein-kalori tubuh (Kozier, 2004).

Penyebab eksogen meliputi adanya infeksi yang menghambat

penyembuhan. Faktor infeksi dapat berasal dari bakteri maupun benda asing,

seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan terbentuknya suatu abses

sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari serum, fibrin, jaringan sel

mati dan lekosit (sel darah merah), yang membentuk suatu cairan yang kental

yang disebut dengan nanah (“Pus”).

Pemakaian obat anti inflamasi (seperti steroid dan aspirin), heparin dan

anti neoplasmik mempengaruhi penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik yang

(17)

steroid, akan menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh terhadap cedera.,

penggunaan antikoagulan akan mengakibatkan perdarahan, dan penggunaan

antibiotik efektif diberikan segera sebelum pembedahan untuk bakteri penyebab

kontaminasi yang spesifik. Jika diberikan setelah luka pembedahan tertutup, tidak

akan efektif akibat koagulasi intravaskular.

e. Komplikasi Penyembuhan Luka

Komplikasi penyembuhan luka meliputi infeksi, perdarahan, dehiscence

dan eviscerasi.

Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama

pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala dari infeksi sering muncul dalam 2

– 7 hari setelah pembedahan. Gejalanya berupa infeksi termasuk adanya purulent,

peningkatan drainase, nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling luka,

peningkatan suhu, dan peningkatan jumlah sel darah putih (Kozier, 2004).

Perdarahan dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit membeku

pada garis jahitan, infeksi, atau erosi dari pembuluh darah oleh benda asing

(seperti drain). Hipovolemia mungkin tidak cepat ada tanda. Sehingga balutan

(dan luka di bawah balutan) jika mungkin harus sering dilihat selama 48 jam

pertama setelah pembedahan dan tiap 8 jam setelah itu. Jika perdarahan

berlebihan terjadi, penambahan tekanan balutan luka steril mungkin diperlukan.

Pemberian cairan dan intervensi pembedahan mungkin diperlukan (Oswari, 2005).

Dehiscence dan eviscerasi adalah komplikasi operasi yang paling serius.

(18)

keluarnya pembuluh melalui daerah irisan. Sejumlah faktor meliputi, kegemukan,

kurang nutrisi, ,multiple trauma, gagal untuk menyatu, batuk yang berlebihan,

muntah, dan dehidrasi, mempertinggi resiko klien mengalami dehiscence luka.

Dehiscence luka dapat terjadi 4 – 5 hari setelah operasi sebelum kollagen meluas

di daerah luka. Ketika dehiscence dan eviscerasi terjadi luka harus segera ditutup

dengan balutan steril yang lebar, kompres dengan normal saline. Klien disiapkan

untuk segera dilakukan perbaikan pada daerah luka (Tylor, 1997).

2. Luka pada Sectio Caesarea (SC)

Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan

melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat

rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Sarwono, 1991).

Sectio caesaria adalah suatu pembedahan guna melahirkan anak lewat insisi pada

dinding abdomen dan uterus (William & Oxorn, 2010).

Jadi operasi seksio sesaria (sectio caesarea) adalah suatu pembedahan

guna melahirkan janin (persalinan buatan), melalui insisi pada dinding abdomen

dan uterus bagian depan sehingga janin dilahirkan melalui perut dan dinding perut

dan dinding rahim agar anak lahir dengan keadaan utuh dan sehat.

a. Indikasi dan KontraindikasiSectio Caesarea (SC)

Operasi sectio caesarea dilakukan jika kelahiran pervaginal mungkin akan

(19)

yang perlu tindakan SC proses persalinan normal lama/kegagalan proses

persalinan normal (dystasia).

Indikasi sectio caesaria pada ibu seperti disproporsi cevalo-pelvik

(ketidakseimbangan antar ukuran kepala dan panggul), disfungsi uterus, distosia

jaringan lunak, plasenta previa, his lemah/melemah, ruptur uteri, primi muda atau

tua, partus dengan komplikasi dan masalah plasenta. Sedangkan indikasi sectio

caesaria pada anak antara lain janin besar, gawat janin, janin dalam posisi

sungsang atau melintang, fetal distress, dan hydrocephalus (Manuaba, 2006).

Selain itu, terdapat kontra indikasi untuk dilakukannya sectio saesaria,

yaitu sectio caesarian tidak dilakukan pada janin mati, syok, anemi berat sebelum

diatasi, dan kelainan kongenital berat (Sarwono, 1991).

b. Jenis – Jenis Operasi Sectio Caesarea

Terdapat beberapa jenis dan lokasi tempat dilakukannya sectio caesarea.

Pada abdomen (sectio caesarea abdominalis) terdapat sectio caesarea

transperitonealis. Jenis ini merupakan SC klasik atau corporal (dengan insisi

memanjang pada corpus uteri). Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang

pada korpus uteri kira-kira 10 cm. Kelebihannya adalah dapat mengeluarkan janin

dengan cepat, tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik, sayatan

bisa diperpanjang proksimal atau distal. Namun tindakan ini juga memiliki

kekurangan yaitu infeksi mudah menyebar secara intra abdominal karena tidak

ada reperitonealis yang baik, untuk persalinan yang berikutnya lebih sering terjadi

(20)

Jenis SC berikutnya yang dilakukan di abdomen adalah sc ektra

peritonealis, yaitu tanpa membuka peritoneum parietalis dengan demikian tidak

membuka cavum abdominal. Dilakukan dengan melakukan sayatan melintang

konkat pada segmen bawah rahim (low servical transversal) kira-kira 10 cm.

Kelebihannya adalah penjahitan luka lebih mudah, penutupan luka dengan

reperitonealisasi yang baik, tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk

menahan penyebaran isi uterus ke rongga peritoneum, perdarahan tidak begitu

banyak, dan kemungkinan ruptur uteri spontan berkurang atau lebih kecil.

Sedangkan kekurangannya adalah luka dapat melebar kekiri, kanan, dan bawah

sehingga dapat menyebabkan uteri pecah sehingga mengakibatkan perdarahan

banyak, keluhan pada kandung kemih post operasi tinggi (Manuaba, 2001).

Menurut sayatan pada rahim (Muchtar, 1998) , sectio caesarea dapat

dilakukan dengan sayatan memanjang (longitudinal), sayatan melintang

(transversal), dan sayatan huruf T (T insicion)

c. Komplikasi Operasi Sectio Caesarea (SC)

Kemungkinan yang timbul setelah dilakukan operasi sectio caesarea

antara lain: terjadi infeksi puerperal (nifas), yang terbagi menjadi ringan (ditandai

dengan suhu meningkat dalam beberapa hari), sedang (ditandai dengan suhu

meningkat lebih tinggi disertai dengan dehidrasi dan perut sedikit kembung, dan

berat (ditandai dengan peritonealis, sepsis dan usus paralitik). Perdarahan, terjadi

(21)

terlalu tinggi, dan kemungkinan rupture tinggi spontan pada kehamilan berikutnya

(Oxorn & Forte, 2010).

3. Perawatan Luka

a. Perkembangan Perawatan Luka

Profesional perawat percaya bahwa penyembuhan luka yang terbaik

adalah dengan membuat lingkungan luka tetap kering (Potter & Perry, 2005).

Perkembangan perawatan luka sejak tahun 1940 hingga tahun 1970, tiga peneliti

telah memulai tentang perawatan luka. Hasilnya menunjukkan bahwa lingkungan

yang lembab lebih baik daripada lingkungan kering. Winter (1962) mengatakan

bahwa laju epitelisasi luka yang ditutup poly-etylen dua kali lebih cepat daripada

luka yang dibiarkan kering. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa migrasi

epidermal pada luka superficial lebih cepat pada suasana lembab daripada kering,

dan ini merangsang perkembangan balutan luka modern (Potter & Perry, 2005).

Perawatan luka lembab tidak meningkatkan infeksi. Pada kenyataannya

tingkat infeksi pada semua jenis balutan le:mbab adalah 2,5 %, lebih baik

dibanding 9 % pada balutan kering (Thompson, 2000). Lingkungan lembab

meningkatkan migrasi sel epitel ke pusat luka dan melapisinya sehingga luka lebih

cepat sembuh. Konsep penyembuhan luka dengan teknik lembab ini merubah

penatalaksanaan luka dan memberikan rangsangan bagi perkembangan balutan

lembab (Potter & Perry, 2005).

Penggantian balutan dilakukan sesuai kebutuhan tidak hanya berdasarkan

(22)

Penggunaan antiseptik hanya untuk yang memerlukan saja karena efek toksinnya

terhadap sel sehat. Untuk membersihkan luka hanya memakai normal saline

(Dewi, 1999). Citotoxic agent seperti povidine iodine, asam asetat, seharusnya

tidak secara sering digunakan untuk membersihkan luka karena dapat

menghambat penyembuhan dan mencegah reepitelisasi. Luka dengan sedikit

debris dipermukaannya dapat dibersihkan dengan kassa yang dibasahi dengan

sodium klorida dan tidak terlalu banyak manipulasi gerakan. (Walker D, 1996)

Tepi luka seharusnya bersih, berdekatan dengan lapisan sepanjang tepi

luka. Tepi luka ditandai dengan kemerahan dan sedikit bengkak dan hilang

kira-kira satu minggu. Kulit menjadi tertutup hingga normal dan tepi luka menyatu

(Potter & Perry, 2005).

Perawat dapat menduga tanda dari penyembuhan luka bedah insisi, seperti

tidak ada perdarahan dan munculnya tepi bekuan di tepi luka, tepi luka akan

didekatkan dan dijepit oleh fibrin dalam bekuan selama satu atau beberapa jam

setelah pembedahan ditutup, adanya inflamasi (kemerahan dan bengkak) pada tepi

luka selama 1 – 3 hari, terjadi penurunan inflamasi ketika bekuan mengecil,

jaringan granulasi mulai mempertemukan daerah luka dimana luka bertemu dan

menutup selama 7 – 10 hari, adanya pembentukan bekas luka, pembentukan

kollagen mulai 4 hari setelah perlukan dan berlanjut sampai 6 bulan atau lebih,

dan terjadi pengecilan ukuran bekas luka lebih satu periode atau setahun.

Peningkatan ukuran bekas luka menunjukkan pembentukan kelloid (Potter &

(23)

b. Tujuan Perawatan Luka

Potter & Perry (2005) menyebutkan tujuan dari perawatan luka adalah

memberikan lingkungan yang memadai untuk penyembuhan luka, absorbsi

drainase, menekan dan imobilisasi luka, mencegah luka dan jaringan epitel baru

dari cedera mekanis, mencegah luka dari kontaminasi bakteri, meningkatkan

hemostasis dengan menekan dressing, dan memberikan rasa nyaman mental dan

fisik pada pasien.

c. Bahan yang Digunakan dalam Perawatan Luka

1) Sodium Klorida 0,9 %

Sodium klorida adalah larutan fisiologis yang ada di seluruh tubuh karena

alasan ini tidak ada reaksi hipersensitivitas dari sodium klorida. Normal saline

aman digunakan untuk kondisi apapun (Lilley & Aucker, 1999). Sodium klorida

atau natrium klorida mempunyai Na dan Cl yang sama seperti plasma. Larutan ini

tidak mempengaruhi sel darah merah (Handerson, 1992). Sodium klorida tersedia

dalam beberapa konsentrasi, yang paling sering adalah sodium klorida 0,9 %. Ini

adalah konsentrasi normal dari sodium klorida dan untuk alasan ini sodium

klorida disebut juga normal saline (Lilley & Aucker, 1999). Merupakan larutan

isotonis aman untuk tubuh, tidak iritan, melindungi granulasi jaringan dari kondisi

kering, menjaga kelembaban sekitar luka dan membantu luka menjalani proses

(24)

2) Larutan Povodine-Iodine

Iodine adalah element non metalik yang tersedia dalam bentuk garam yang

dikombinasi dengan bahan lain. Walaupun iodine bahan non metalik iodine

berwarna hitam kebiru-biruan, kilau metalik dan bau yang khas. Iodine hanya

larut sedikit di air, tetapi dapat larut secara keseluruhan dalam alkohol dan larutan

sodium iodide encer. Iodide tinture dan solution keduanya aktif melawan spora

tergantung konsentrasi dan waktu pelaksanaan (Lilley & Aucker, 1999). Larutan

ini akan melepaskan iodium anorganik bila kontak dengan kulit atau selaput lendir

sehingga cocok untuk luka kotor dan terinfeksi bakteri gram positif dan negatif,

spora, jamur, dan protozoa. Bahan ini agak iritan dan alergen serta meninggalkan

residu (Sodikin, 2002).

Studi menunjukan bahwa antiseptik seperti povodine iodine toxic terhadap sel

(Thompson, 2000). Iodine dengan konsentrasi > 3 % dapat memberi rasa panas

pada kulit. Rasa terbakar akan nampak dengan iodine ketika daerah yang dirawat

ditutup dengan balutan oklusif kulit dapat ternoda dan menyebabkan iritasi dan

nyeri pada sisi luka. (Lilley & Aucker, 1999).

d. Prosedur Perawatan Luka

1) Pengertian

Perawatan luka merupakan tindakan merawat luka untuk mencegah trauma

(injury) pada kulit, membran mukosa atau jaringan lain yang disebabkan oleh

adanya trauma, fraktur, luka operasi yang dapat merusak permukaan kulit.

(25)

kulit dan membran mukosa, mencegah bertambahnya kerusakan jaringan,

mempercepat penyembuhan, membersihkan luka dari benda asing atau debris,

drainase untuk memudahkan pengeluaran eksudat, mencegah perdarahan dan

(Oswari, 2005).

2) Persiapan alat

Alat-alat yang di persiapkan adalah set steril (terdiri atas,

pembungkus/kasa, kapas atau kasa untuk membersihkan luka, com tempat untuk

larutan, larutan anti septik, 2 pasang pinset), alat-alat yang diperlukan lainnya

seperti: extra balutan dan zalf, gunting, kantong bengkok, plester, dan alkohol

untuk mengeluarkan bekas plester.

3) Cara kerja

Pada tahap pra interaksi, tindakan yang dilakukan perawat adalah

melakukan verifikasi data sebelumnya bila ada, mencuci tangan, dan

menempatkan alat di dekat pasien dengan benar.

Kemudian pada tahap orientasi, memberikan salam sebagai pendekatan

terapeutik, menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada klien/keluarga,

menanyakan kesiapan klien sebelum kegiatan dilakukan.

Pada tahap kerja, bantu pasien untuk mendapatkan posisi yang

menyenangkan. Bukan hanya pada daerah luka, gunakan selimut mandi untuk

menutup pasien jika perlu. Tempatkan tempat sampah (bengkok) pada tempat

(26)

pembalut. Jika menggunakan plester angkat dengan cara menarik dari kulit

dengan hati-hati kearah luka. Gunakan alkohol untuk melepaskan jika perlu.

Keluarkan balutan atau surgipad dengan tangan jika balutan kering atau

menggunakan sarung tangan jika balutan lembab. Angkat balutan menjauhi

pasien. Tempatkan balutan yang kotor dalam kantong plastik. Buka set steril.

Tempatkan pembungkus steril di samping luka. Angkat balutan paling dalam

dengan pinset dan perhatikan jangan sampai mengeluarkan drain atau mengenai

luka insisi. Jika gaas dililitkan pada drain gunakan 2 pasang pinset, satu untuk

mengangkat gaas dan satu untuk memegang drain. Catat jenis drainnya bila ada,

banyaknya jahitan dan keadaan luka. Buang kantong plastik. Untuk menghindari

dari kontaminasi ujung pinset dimasukkan dalam kantong kertas, sesudah

memasang balutan pinset dijauhkan dari daerah steril.

Membersihkan luka menggunakan pinset jaringan atau arteri dan kapas

dilembabkan dengan antiseptik, lalu letakkan pinset ujungnya labih rendah

daripada pegangannya. Gunakan satu kapas satu kali mengoles, bersihkan dari

insisi kearah drain: bersihkan dari atas ke bawah daripada insisi dan dari tengah

keluar, jika ada drain bersihkan sesudah insisi, untuk luka yang tidak teratur

seperti dekubitus ulcer, bersihkan dari tengah luka ke arah luar, gunakan

pergerakan melingkar.

Ulangi pembersihan sampai semua drainage terangkat, olesi zalf, ratakan

zalf (Bioplasenton) diatas luka dan gunakan alat steril. Gunakan satu balutan

dengan plester atau pembalut. Amankan balutan dengan plester atau pembalut.

(27)

kantong plastik yang berisi balutan kotor. Bersihkan alat dan buang sampah

dengan baik. Cuci tangan.

Tahap terakhir adalah tahap terminasi, dengan melakukan gevaluasi hasil

tindakan, berpamitan dengan pasien, membereskan dan kembalikan alat ke tempat

semula, mencuci tangan, dan mencatat kegiatan dalam lembar catatan

Referensi

Dokumen terkait

Asuhan kebidanan pada Ny “F” dilakukan secara berkelanjutan dimulai dari asuhan kehamilan pada Ny “F” pada usia kehamilan 38 minggu, dari hasil pemeriksaan tidak

As a result of the alliance between the municipal government and Universidad del Valle, various studies were conducted for the purpose of strengthening the municipality’s capacity

yang sudah ditumbuk dioleskan pada kertas buram lalu dipanaskan, sehingga kandungan air mudah mengering, jika ada noda trasnparan maka bahan

Tanaman yang diberi pupuk organik cair menghasilkan fotosintat yang lebih banyak dibandingkan dengan tanaman yang tidak diberi pupuk organik cair (kontrol) karena

Hasil uji ketersediaan biologis seng (Zn) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan ketersediaan biologis seng (Zn) yang nyata ( p >0.05) pada terigu yang diolah

Dalam Peraturan Pemerintah itu, pemerintah memasukkan industri pakaian jadi (konveksi) dari tekstil sebagai bidang usaha yang memperoleh fasilitas pajak

Dalam penelitian ini, peneliti mendapati bahwa, (1) siswa tidak memahami tiga sinar istimewa yang digunakan untuk mengetahui posisi bayangan, (2) siswa tidak

Dari hasil pengujian diperoleh waktu yang dibutuhkan untuk melebur 1 Kg Aluminium adalah 25 menit pada temperature mencapai 701 o C dengan konsumsi bahan bakar sebanyak 1,48