• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pengolahan dan Penambahan Na2EDTA pada Terigu Fortifikasi terhadap Ketersediaan Biologis Seng (Zn)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Pengolahan dan Penambahan Na2EDTA pada Terigu Fortifikasi terhadap Ketersediaan Biologis Seng (Zn)"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENGARUH PENGOLAHAN DAN PENAMBAHAN Na

2

EDTA

PADA TERIGU FORTIFIKASI TERHADAP KETERSEDIAAN

BIOLOGIS SENG (Zn)

ESTU NUGROHO

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

ii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK

CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Pengolahan dan Penambahan Na2EDTA pada Terigu Fortifikasi terhadap

Ketersediaan Biologis Seng (Zn) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013

Estu Nugroho

(3)

iii

ABSTRAK

ESTU NUGROHO. Pengaruh Pengolahan dan Penambahan Na2EDTA pada

Terigu Fortifikasi terhadap Ketersediaan Biologis Seng (Zn). Dibimbing oleh IKEU TANZIHA dan LEILY AMALIA FURKON.

Na2EDTA merupakan senyawa yang tahan panas dan dapat secara mudah

mengkelat atau mengikat mineral yang terlarut dalam lambung dan usus. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perubahan ketersediaan biologis seng (Zn) yang terjadi akibat penambahan Na2EDTA dan pengolahan terigu yang difortifikasi. Uji

ketersediaan biologis seng (Zn) dilakukan secara in vitro dengan mensimulaskan pencernaan manusia menggunakan enzim pepsin dan larutan pankreatin-bile.

Hasil uji ketersediaan biologis seng (Zn) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan ketersediaan biologis seng (Zn) yang nyata (p>0.05) pada terigu yang diolah dengan cara digoreng (donat), dikukus (bakpau), ataupun dipanggang (roti). Namun, terdapat kecenderungan peningkatan ketersediaan biologis pada terigu yang diolah dengan cara digoreng (donat) dan dipanggang (roti) bila dibandingkan dengan adonan mentah, walaupun secara statistik peningkatan yang terjadi tidak signifikan. Adonan mentah memiliki nilai ketersediaan biologis seng (Zn) sebesar 13.29%, setelah digoreng (donat) memiliki nilai ketersediaan biologis seng (Zn) sebesar 14.72% dan setelah dipanggang (roti) memiliki nilai ketersediaan biologis seng (Zn) sebesar 17.06%. Penambahan Na2EDTA juga

tidak memberikan peningkatan ketersediaan biologis seng (Zn) yang nyata (p>0.05) pada ketiga jenis pengolahan yang digunakan walaupun terjadi peningkatan ketersediaan biologis seng (Zn) pada donat sebesar 4.67%.

Kata kunci: terigu, ketersediaan biologis, seng (Zn), Na2EDTA, in vitro

ABSTRACT

ESTU NUGROHO. Effect of Processing and Addition of Na2EDTA on Wheat

Flour That Have Been Fortificated Toward Bioavailability of Zinc (Zn). Dibimbing oleh IKEU TANZIHA dan LEILY AMALIA FURKON.

Na2EDTA is a heat resistant compound and can be easily binding minerals dissolved in the stomach and intestines. The objectives of this research was to assess changes in bioavailability of zinc (Zn) caused by the addition of Na2EDTA and fortified wheat flour processing. Bioavailability of zinc (Zn) was tested by using in vitro method that made a simulation of human digestion using pepsin and pancreatin-bile. Test results of bioavailability of zinc (Zn) showed that there were no significant differences (p> 0.05) in the bioavailability of zinc (Zn) on wheat flour processed by frying (donuts), steaming (Steamed Bun), or baking (bread). However, there was a tendency to increase the bioavailability of wheat flour processed by frying (donuts) and baking (bread) when compared to the raw dough. Raw dough had bioavailability of zinc (Zn) by 13.29%, after frying (donut) increase to 14.72%, and after baking (bread) increase to 17.06%. The addition of Na2EDTA also did not increase bioavailability of zinc (Zn) significantly (p> 0.05) for the three types of processing, despite increased bioavailability of zinc (Zn) on the donuts by 4.67%.

(4)

iv Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

PENGARUH PENGOLAHAN DAN PENAMBAHAN Na

2

EDTA

PADA TERIGU FORTIFIKASI TERHADAP KETERSEDIAAN

BIOLOGIS SENG (Zn)

ESTU NUGROHO

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(5)

v Judul Skripsi : Pengaruh Pengolahan dan Penambahan Na2EDTA pada Terigu

Fortifikasi terhadap Ketersediaan Biologis Seng (Zn) Nama : Estu Nugroho

NIM : I14090069

Disetujui oleh

Dr Ir Ikeu Tanziha, MS Pembimbing I

Leily Amalia Furkon, STP, MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Rimbawan Ketua Departemen

(6)

vi

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah bioavailabilitas, dengan judul Pengaruh Pengolahan dan Penambahan Na2EDTA

pada Terigu Fortifikasi terhadap Ketersediaan Biologis Seng (Zn). Penelitian ini merupakan salah satu bagian dari penelitian PKM yang didanai oleh DIKTI dengan judul, ―Peningkatan Ketersediaan Biologis Besi dan Seng pada Produk Olahan Terigu dengan Penambahan Na2EDTA sebagai Upaya untuk Menurunkan

Prevalensi Defisiensi Zat Gizi Mikro di Indonesia‖.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS. dan Leily Amalia Furkon, MSi. selaku pembimbing serta kepada Ibu Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MS. selaku penguji yang telah banyak memberikan saran dan masukan selama ujian sidang. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Mashudi yang telah banyak membantu selama penelitian ini dilakukan, Yohanes, Rujito, Engkun Rokhimah, dan Hayu Ning Dewi selaku teman-teman rekan PKMP serta teman-teman Gizi 46 yang banyak memberi saran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2013

(7)

vii

DAFTAR ISI

ABSTRAK iii

PRAKATA vi

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

METODE 3

Bahan 3

Alat 4

Tahapan Penelitian 4

Rancangan Percobaan 7

Pengolahan dan Analisis Data 8

HASIL DAN PEMBAHASAN 8

Kadar Air, Lemak, Abu, Protein, dan Karbohidrat 8

Pengaruh Pengolahan dan Penambahan Na2EDTA terhadap Kadar Seng 13

Ketersediaan Biologis Seng 14

SIMPULAN DAN SARAN 20

Simpulan 20

Saran 20

DAFTAR PUSTAKA 21

LAMPIRAN 25

(8)

viii

DAFTAR TABEL

1 Kadar Air, Lemak, Abu, Protein, dan Karbohidrat Sampel pada Berbagai

Pengolahan 8

2 Kadar Seng (Zn) Sampel pada Berbagai Pengolahan dan Penambahan

Na2EDTA 13

3 Ketersediaan Biologis Seng (Zn) Sampel pada Berbagai Pengolahan dan

Penambahan Na2EDTA 15

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram Alir Penelitian 4

2 Diagrama Alir Pembuatan Donat, Bakpao, dan Roti 5 3 Proses Analisis Ketersediaan Biologis Zn (Roig et al. 1999) 6

4 Proses Analisis Total Zn 7

5 Grafik Perubahan Ketersediaan Biologis Seng Akibat Pengolahan 16 6 Grafik Ketersediaan Biologis Seng dengan Penambahan Na2EDTA 19

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil Pembacaan AAS 25

2 Perhitungan Hasil Pembacaan AAS 27

3 Hasil uji Statistik 28

(9)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penambahan zat gizi terhadap pangan atau fortifikasi pangan merupakan elemen penting dalam program kebijakan pangan nasional yang ditujukan untuk menjamin ketahanan pangan dan gizi penduduk. Fortifikasi pada terigu merupakan kebijakan nasional pemerintah Indonesia yang bertujuan untuk menanggulangi masalah kekurangan atau defisiensi zat gizi mikro.

Salah satu zat gizi mikro yang ditambahkan ke dalam terigu adalah seng (Zn). Seng merupakan zat gizi mikro esensial yang memiliki peran penting dalam perkembangan dan pertumbuhan manusia (Ikeda & Yamashita 1994). Beberapa fungsi dari seng (Zn) terhadap tubuh manusia adalah sebagai kofaktor atau bagian dari enzim untuk menjalankan metabolisme tubuh, pengembangan fungsi reproduksi laki-laki, detoksifikasi alkohol, metabolisme vitamin A, dan berperan dalam fungsi kekebalan. Kekurangan seng (Zn) dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan sehingga karakteristik tubuh pendek, keterlambatan pematangan seksual pada laki-laki, ganguan metabolisme vitamin A, penurunan fungsi kekebalan tubuh, nafsu makan, dan penurunan ketajaman indra rasa (Almatsier 2001). Hal-hal tersebut dapat memengaruhi kualitas hidup seseorang dan dalam jangka panjang dapat memengaruhi kualitas sumber daya manusia Indonesia.

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan 2010 menunjukkan bahwa prevalensi zat gizi mikro masih cukup tinggi. Berdasarkan Riskesdas 2007, prevalensi anemia secara nasional sebesar 14,8%, sementara berdasarkan Riskesdas 2010 prevalensi balita pendek nasional sebesar 35,6% dan balita kurus sebesar 13,3%. Hal tersebut menunjukkan bahwa kekurangan zat gizi mikro, terutama seng masih menjadi masalah gizi yang cukup tinggi di Indonesia.

Pemerintah dan industri pangan memainkan peranan penting dalam mendukung keberhasilan fortifikasi terigu. Sejak tahun 1998, pemerintah dan industri sudah bekerjasama dalam mengemban SK menteri kesehatan No. 632/MENKES/SK/VI/1998 tentang kewajiban fortifikasi terigu di Indonesia. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No 49/M-IND/PER/&/2008, terigu wajib difortifikasi oleh zat gizi mikro, seperti zat besi (Fe) dengan dosis minimal 50 ppm, 30 ppm untuk seng (Zn), 2,5 ppm untuk tiamin (B1), 4 ppm untuk riboflavin (B2), dan 2 ppm untuk asam folat (B11).

Kekurangan seng masih menjadi masalah di Indonesia dan salah satu kebijakan pemerintah dalam mengatasi defisiensi seng tersebut adalah dengan cara fortifikasi seng pada terigu. Namun demikian, terdapat beberapa masalah dalam pelaksanaan program fortifikasi tersebut, yaitu pengetahuan konsumen dalam proses pengolahan pangan fortifikasi dan efektivitas senyawa tersebut untuk dicerna. Proses pengolahan dapat memengaruhi zat gizi mikro yang terkandung dalam pangan fortifikasi, dan mengakibatkan kandungan serta ketersediaan biologis zat gizi mikro produk hasil olahan menjadi berubah.

Jenis senyawa seng yang umum digunakan sebagai fortifikan saat ini adalah ZnSO4. Namun demikian, hasil penelitian Hettiarachchi et al. (2004)

(10)

tepung beras yang ditambah Na2EDTA. Hal tersebut didukung dengan kondisi

serealia sebagai sumber seng (Zn) tetapi memiliki ketersediaan biologis yang rendah karena adanya serat dan fitat yang menghambat absorbsi seng. Penelitian Halberg et al. (1987)menunjukkan bahwa fitat merupakan penyebab utama dalam terhambatnya penyerapan mineral, namun bukan merupakan satu-satunya faktor penghambat. Jackson (1997) mengatakan ada banyak faktor yang memengaruhi persentase zat gizi yang diserap, yang tidak berhubungan dengan karakteristik bahan pangan, antara lain efisiensi pencernaan, konsumsi zat gizi sebelumnya, status gizi, adanya kerusakan organ pencernaan atau penyakit, makanan lain yang dikonsumsi, serta perlakuan pemasakan dan pengolahan.

Na2EDTA merupakan senyawa yang tahan panas dan sering digunakan

sebagai bahan tambahan pangan untuk mencegah ketengikan dan pengawet bahan pangan. Selain itu, Na2EDTA (disodium etilendiamin tetraasetat) dapat secara

mudah mengkelat atau mengikat mineral yang terlarut dalam lambung dan usus (Palupi 2008).

Terigu merupakan bahan mentah yang harus diolah terlebih dahulu sebelum dapat dikonsumsi oleh manusia. Beberapa jenis pangan berbahan dasar terigu yang umum dikonsumsi masyarakat Indonesia umumnya diolah dengan cara digoreng, dikukus, dan dipanggang. Perbedaan cara pengolahan tersebut diduga akan menyebabkan tingkat absorpsi yang berbeda. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian untuk menentukan pengaruh penambahan senyawa Na2EDTA dan

pengolahan pada terigu fortifikasi terhadap penyerapan atau ketersediaan biologis seng yang telah difortifikasi ke dalamnya.

Perumusan Masalah

Makanan merupakan sumber utama manusia untuk memenuhi kebutuhan akan zat gizi. Selama hidup, manusia membutuhkan berbagai macam mineral. Lebih dari 20 jenis mineral telah diketahui bersifat esesnsial Seng (Zn) merupakan

trace mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah yang sangat kecil. Namun, peran seng (Zn) sangat besar bagi tubuh. Di Indonesia, tercatat prevalensi balita pendek nasional sebesar 35,6% dan balita kurus sebesar 13,3% yang merupakan beberapa tanda dan gejala defisiensi seng (Zn) (Riskesdas 2010).

Pemerintah membuat kebijakan dengan mewajibkan produsen terigu untuk menambahkan seng (Zn) minimal 30 ppm pada produknya sebagai upaya meningkatkan intik seng di Masyarakat. Penambahan ini berupa fortifikasi di terigu yang sudah dijalankan dari tahun 1998. Berbeda dengan konsumsi suplemen, fortifikasi tergolong lebih aman dan murah sehingga baik untuk diterapkan pada masyarakat luas dalam jumlah yang besar.

(11)

3 dengan cara digoreng menjadi donat, dikukus menjadi bakpau, dan dipanggang menjadi roti.

Penelitian-penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa Na2EDTA

dapat meningkatkan ketersediaan biologis seng. Oleh karena itu perlu diketahui pengaruh penambahan Na2EDTA pada terigu fortifikasi yang diolah dengan

pengolahan yang umum di masyarakat sehingga dapat diketahui apakah Na2EDTA dapat digunakan sebagai bahan tambahan pangan yang dapat menjadi

alternatif untuk menurunkan prevalensi defisiensi seng di Indonesia.

Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan ketersediaan biologis seng yang terjadi akibat penambahan Na2EDTA dan

pengolahan terigu yang difortifikasi. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis kadar air, kadar lemak, kadar protein, kadar abu, dan kadar

karbohidrat pada terigu fortifikasi yang diolah dengan tiga metode pengolahan, yaitu digoreng (donat), dikukus (bakpau), dan dipanggang (roti).

2. Menganalisis perbedaan kadar seng (Zn) pada tiga jenis produk olahan terigu fortifikasi dengan tidak dan ditambahkan Na2EDTA.

3. Menganalisis perubahan ketersediaan biologis seng pada terigu fortifikasi akibat penambahan Na2EDTA.

4. Membandingkan ketersediaan biologis seng pada produk olahan terigu hasil penggorengan, pengukusan, dan pemanggangan dengan dan tanpa ditambahkan Na2EDTA.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu :

1. Sebagai sumbangsih dalam khasanah ilmu pengetahuan dan teknologi terutama mengenai pengolahan terigu fortifikasi.

2. Menambah pengetahuan masyarakat mengenai pengolahan pangan berbahan dasar terigu fortifikasi yang baik, guna menjaga ketersediaan biologis seng yang efektif.

3. Rekomendasi jenis pengolahan terigu fortifikasi yang tepat untuk optimalisasi ketersediaan biologis seng.

4. Hasil penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan kebijakan pangan khususnya pangan fortifikasi.

METODE

Bahan

(12)

Bahan kedua yang digunakan adalah Na2EDTA. Bahan-bahan kimia yang

digunakan untuk analisis ketersediaan biologis dan zat besi adalah HCl teknis 3%, HCl 1N, air bebas ion, HCl 0,1N, pepsin (Sigma 7000), pankreatin (sigma P-1750), ekstrak bile (Sigma B-8631), NaHCO3, hidroksil amonium hidroklorida,

HCl pekat 98%, dan natrium asetat 2M.

Alat

Alat-alat yang digunakan untuk analisis ketersediaan biologis adalah wadah untuk merendam peralatan gelas, labu ukur (25 ml, 250 ml, 500ml), pipet mohr, pipet volumetrik, gelas ukur (100 ml, 250 ml), timbangan, cawan pengabuan, blender, pH meter, botol gelas, erlenmeyer, tabung reaksi, botol semprot, buret, gelas pengaduk, plastik, karet hisap, karet gelas, benang, kantung dialisis (Spectrapor I, MWCO 6000-8000 Da (Fisher No. 08-670C)), freezer, gunting, penangas air, magnetic stirer.

Tahapan Penelitian

Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Penelitian pendahuluan terdiri dari penambahan Na2EDTA

dan pengolahan/pembuatan donat, bakpau, dan roti. Sementara penelitian lanjutan terdiri dari analisis proksimat, analisis kadar Zn, dan analisis ketersediaan biologis Zn. Berikut adalah diagram alir penelitian ini (Gambar 1).

Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mempersiapkan bahan utama (donat, bakpao, roti) sehingga dapat dianalisis lebih lanjut pada penelitian ini. Penelitian pendahuluan terdiri penetapan jumlah Na2EDTA yang ditambahkan

dan pengolahan terigu (donat, bakpao, roti).

Gambar 1. Diagram alir penelitian Terigu

Tanpa Na2EDTA (Kontrol) Ditambah Na2EDTA

Dikukus

Analisis kadar seng (Zn), ketersediaan biologis seng (Zn)

Donat Bakpau Roti Donat Bakpau Roti

Digoreng

Dikukus Dipanggang Dipanggang

Digoreng

Adonan Adonan

(13)

5

Penetapan jumlah Na2EDTA yang ditambahkan

Penambahan Na2EDTA dilakukan pada adoanan masing-masing pangan

olahan terigu fortifikasi. Menurut Hurrell et al. (2000), penambahan Na2EDTA

yang aman ada pada perbandingan rasio molar Fe:Na2EDTA 1:1, sehingga jumlah

Na2EDTA yang digunakan per 1 Kg terigu :

Kandungan Fe / Kg terigu (Nutrition Fact) = 0.052 gram Molaritas Fe =

Pengolahan terigu pada penelitian ini menggunakan satu adonan dengan bahan dasar yang sama, yaitu terigu, gula, telur, air, margarin, ragi, dan garam. Adonan tersebut kemudian diolah dengan tiga cara pengolahan yang berbeda, yaitu goreng (donat), kukus (bakpao), dan panggang (roti). Proses pembuatan donat, bakpao, dan roti disajikan pada Gambar 2.

Penelitian Lanjutan

Penelitian lanjutan bertujuan untuk menganalisis proksimat dan kadar seng serta ketersediaan biologis seng pada produk olahan. Analisis proksimat dilakukan pada produk olahan dengan terigu tanpa penambahan Na2EDTA, sementara

analisis kadar seng (Zn) dan ketersediaan biologis seng (Zn) dilakukan pada adonan dan produk olahan terigu (donat, bakpao, roti) baik yang ditambahkan Na2EDTA maupun tanpa penambahan Na2EDTA (kontrol). Analisis proksimat

hanya dilakukan pada produk olahan dengan terigu tanpa penambahan Na2EDTA

Na2EDTA

dilarutkan dalam air

Ditambahkan terigu secara bertahap dan diaduk hingga terbentuk adonan yang kalis Dicampurkan hingga homogen

Gula, telur, ragi, margarin, dan garam

Adonan dibiarkan mengembang selama ± 50 menit

Adonan dibagi-bagi, dibentuk, dan dibiarkan memgembang selama ± 40 menit

(14)

dikarenakan Na2EDTA tidak akan memengaruhi nilai proksimat dari suatu bahan

(Hettiarachchi et al. 2004).

Analisis Proksimat

Analisis proksimat terdiri dari analisis kadar air (AOAC 1995), kadar abu (AOAC 1995), kadar lemak (AOAC 1995), kadar protein (AOAC 1995), kadar karbohidrat (by difference).

Analisis Kadar dan Ketersediaan biologis Zn (Roig et al. 1999)

Analisis ketersediaan biologis seng (Zn) diawali dengan perendaman alat-alat yang digunakan dengan HCl teknis 3% untuk menghilangkan kontaminan, serta pembuatan larutan enzim yang ditujukan untuk mensimulasikan proses pencernaan oleh enzim pada tubuh manusia. Proses analisis ketersediaan biologis menggunakan sampel yang ditempatkan pada tiga gelas piala yang berbeda. Gelas piala pertama (T1) digunakan untuk mengetahui jumlah NaHCO3 yang

dibutuhkan setiap sampel, gelas piala kedua (T2) digunakan untuk melakukan proses dialisis, dan gelas piala ketiga (T3) digunakan untuk menghitung kadar seng total. Berikut diagram analisis ketersediaan biologis seng (Zn) (Gambar 3).

Ditimbang dialisatnya

Sampel setara 2 g protein Ditambahkan H2O bebas ion 100 mL

pH diatur menjadi 2.0 dengan HCl 4 N

Larutan sampel dibagi kedalam dua gelas piala T1 dan T2 masing-masing 20 g 20 g larutan sampel (T2) 20 g larutan sampel (T1) Ditambahkan suspensi pepsin

Diinkubasi dalam shaker 37oC

120 menit Diinkubasi dalam shaker 37

o Kantung dialisis yang telah diisi 20

mL larutan NaHCO3 dimasukan ke

dalam larutan sampel

(15)

7 Larutan pepsin dibuat dengan melarutkan 1.6 g pepsin ke dalam 10 mL HCl 0.1 N, sementara pembuatan pankreatin-bile dilakukan dengan melarutkan 1 g pankreatin (sigma p 170) yang mengandung amilase, protease, dan lipase + 6.23 ekstrak bile (sigma B-8631) ke dalam 250 mL larutan NaHCO3 0.1 N.

Kandungan (%) seng (Zn) yang tersedia kemudian diukur menggunakan AAS. Gelas piala ketiga (T3) yang diisi dengan 0.5 g sampel sampel ditambahkan 10 ml HNO3 pekat dan H2SO4 pekat dan dipanaskan hingga larut dan tidak

berwarna gelap lagi dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml serta diencerkan hingga tanda tera. Larutan lalu disaring dengan kertas whatman No. 42 dan kadar seng (Zn) tersedia diukur dengan AAS (Atomic Absorbtion Spectroscopy). Berikut diagram analisis kadar Zn (Gambar 4).

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Tersarang (nested) dengan dua kali pengulangan. Model yang digunakan adalah sebagai berikut:

Yij= + Ai + Bj(i) + Ɛijk

Dimana:

Yij = pengamatan penambahan Na2EDTA taraf ke-i, pengolahan

taraf ke-j dan ulangan ke-k

i = banyaknya perlakuan penambahan Na2EDTA (i = 2)

j = banyaknya pengolahan (j=3) k = banyaknya ulangan (k=2)

= rataan umum

Ai = pengaruh penambahan Na2EDTA pada taraf ke-i

Bj(i) = pengaruh pengolahan pada taraf ke-j pada Ai

Ɛijk = pengaruh galat pada penambahan Na2EDTA taraf ke-i,

pengolahan taraf ke-j dan ulangan ke-k. Ditimbang ± 0,5 gr sampel Ditambah 10 mL H2SO4 pekat

Ditambahkan 10 mL HNO3 pekat

Didiamkan semalam Ditambahkan H2O bebas ion

Dipanaskan sampai jernih Diencerkan dalam labu takar 100 mL Disaring dengan kertas whatman No. 42 Dibaca absorban dengan AAS pada = 213,86 nm

(16)

Pengolahan dan Analisis Data

Data hasil analisis ditabulasi menggunakan program Ms. Excel 2010 dan diuji statistik menggunakan SPSS ver.16 for Windows dengan nested ANOVA untuk mengetahui pengaruh pengolahan terigu pada setiap perlakuan. Jika hasil yang diperoleh berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan. Galat yang digunakan adalah 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Air, Lemak, Abu, Protein, dan Karbohidrat

Di Indonesia, terigu pada umumnya diolah dan dibuat produk dengan cara dikukus (steamed), digoreng (fryed), dan dipanggang (baked), termasuk produk

bakery. Meskipun demikian, sebagian besar hasil produk bakery di Indonesia diolah dengan cara dipanggang. Menurut Winarno (2008), waktu dan suhu pemanasan saat pengolahan merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap tingkat kerusakan zat gizi pada pengolahan dengan panas. Suhu dan waktu yang digunakan dalam penelitian disesuaikan dengan suhu dan waktu yang sering digunakan oleh masyarakat untuk mengolah terigu menjadi pangan olahan, donat, bakpau, dan roti. Hasil analisis kadar air, protein, abu, lemak, dan karbohidrat dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Kadar air, lemak, abu, protein, dan karbohidrat sampel pada berbagai pengolahan

(17)

9 Analisis kadar air, protein, abu, lemak dan karbohidrat pada penelitian ini menerapkan sistem duplo pada setiap sampel dengan dua kali ulangan. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan (p > 0.05) untuk kadar protein dan kadar abu pada terigu yang diolah dengan cara digoreng, dikukus, ataupun dipanggang. Namun, terdapat perbedaan yang signifikan (p > 0.05) untuk kadar air, lemak, dan karbohidrat pada terigu yang diolah dengan cara digoreng, dikukus, ataupun dipanggang.

Kadar Air

Air dalam tubuh manusia diperoleh dari tiga sumber, yaitu dari minuman, makanan, dan hasil metabolisme (air metabolik) (Santoso et al. 2011). Kandungan air yang terdapat dalam makanan dapat memengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa dari makanan yang dihasilkan (Winarno 2008). Hasil penelitian Menunjukkan bahwa bakpau (kukus) memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan dengan donat (goreng) ataupun roti (panggang). Rata-rata kadar air bakpau adalah 35.35% sementara kadar air donat dan roti berturut-turut adalah 27.54% dan 28.34%.

Setelah dilakukan uji sidik ragam, diketahui terdapat perbedaan kadar air yang nyata pada donat, bakpau, dan roti dengan (p < 0.05). Setelah dilakukan uji lanjut Duncan, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan kadar air yang nyata pada terigu yang diolah dengan cara digoreng (donat) dan dipanggang (roti), namun keduanya berbeda nyata dengan terigu yang diolah dengan cara di kukus (bakpau). Hasil penelitian yang diperoleh sejalan dengan penelitian Sumiati (2008) yang menunjukkan bahwa bahan pangan yang diolah dengan cara dikukus memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan pangan yang diolah dengan cara digoreng ataupun dipanggang.

Pemanggangan dan penggorengan termasuk dalam pengolahan kering (dry heat), sementara pengukusan merupakan pengolahan basah (moist heat) yang menggunakan uap air sebagai media untuk menghantarkan panas. Hal tersebut menyebabkan penurunan kadar air pada terigu yang diolah dengan cara digoreng (donat) ataupun dipanggang (roti) lebih tinggi dibandingkan dengan cara dikukus (bakpau). Hasil penelitian Sumiati (2008) juga menunjukkan bahwa kadar air pada bahan pangan yang diolah dengan cara pengolahan basah (kukus atau rebus) lebih tinggi dibandingkan dengan bahan pangan yang diolah dengan pengolahan kering (panggang atau goreng). Selain itu, perbedaan penggunaan suhu juga diduga memengaruhi kadar air. Pada pengolahan terigu dengan cara dikukus, suhu yang digunakan berkisar antara 96-98oC, sementara pemanggangan dan penggorengan dilakukan pada suhu masing-masing 160oC dan 200oC, sehingga kehilangan air lebih besar dibandingkan pengukusan. Selain itu, pada waktu pengukusan juga terjadi penyerapan air atau uap air oleh bahan. Bahan yang dikukus dalam waktu yang lebih lama akan memberikan kesempatan kepada bahan tersebut untuk kontak dan menyerap uap air lebih besar sehingga mengakibatkan peningkatan kadar air bahan (Lukman 1992 dalam Nisviaty 2006).

Kadar Lemak

(18)

vitamin A, D, E, K (Winarno 2008). Pada umumnya setelah proses pengolahan bahan pangan, akan terjadi kerusakan lemak yang terkandung di dalamnya. Tingkat kerusakannya sangat bervariasi tergantung suhu yang digunakan serta lamanya waktu proses pengolahan. Makin tinggi suhu yang digunakan, maka kerusakan lemak akan semakin tinggi. Asam lemak esensial terisomerisasi ketika dipanaskan dalam larutan alkali dan sensitif terhadap sinar, suhu dan oksigen. Proses oksidasi lemak dapat menyebabkan inaktivasi fungsi biologisnya dan bahkan dapat bersifat toksik. Pada proses pemanggangan yang ekstrim, asam linoleat dan kemungkinan juga asam lemak yang lain akan dikonversi menjadi hidroperoksida yang tidak stabil oleh adanya aktivitas enzim lipoksigenase. Perubahan tersebut akan berpengaruh pada nilai gizi lemak dan vitamin (oksidasi vitamin larut-lemak) produk (Palupi et al. 2007). Hasil penelitian Prabandari et al. (2005) tentang pengaruh waktu perebusan dari dua jenis udang yang berbeda menunjukkan bahwa lemak akan mencair menjadi senyawa volatil seperti aldehid, keton, alkohol, asam dan hidrokarbon yang akan menguap saat pemanasan. Pemanasan akan mempercepat gerakan-gerakan molekul lemak, sehingga jarak antara molekul lemak menjadi besar dan akan mempermudah proses pengeluaran lemak (Winarno 2008). Proses tersebut dipengaruhi oleh suhu pengolahan dan lama pemanasan (Gurr 1992 dalam Mulyaningtyas 2011).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai kadar lemak yang cukup besar dari ketiga jenis pangan olahan yang dihasilkan. Donat (digoreng) memiliki rata-rata kadar lemak tertinggi, yaitu 7.16% dibandingkan dengan bakpau (dikukus) sebesar 1.59% ataupun roti (dipanggang) sebesar 2.83%. Perbedaan kadar lemak yang signifikan (p < 0.05) terjadi pada ketiga pengolahan tersebut. Setelah dilakukan uji lanjut Duncan, diketahui bahwa ketiga jenis pengolahan menghasilkan kadar lemak yang berbeda nyata. Penggorengan menghasilkan kadar lemak yang berbeda dengan pengukusan dan pemanggangan, pengukusan menghasilkan kadar lemak yang berbeda dengan penggorengan dan pemanggan, dan pemanggangan menghasilkan kadar lemak yang berbeda dengan pengukusan dan penggorengan. Dapat disimpulkan bahwa pengolahan terigu dengan cara dikukus akan menghasilkan kadar lemak yang lebih rendah dibandingkan dengan cara dipanggang ataupun digoreng, dan pengolahan terigu dengan cara digoreng akan menghasilkan kadar lemak yang lebih tinggi dibandingkan dengan cara dipanggang ataupun dikukus.

(19)

11 dasar pembuatan sampel pada penelitian ini adalah 0.6%. Rata-rata kadar abu pada donat, bakpau, dan roti berturut-turut adalah 0.48%, 0.47%, dan 0.56%. Berbeda dengan kadar air, lemak, dan karbohidrat, tidak terlihat adanya perbedaan yang nyata pada kadar abu (p > 0.05) dari ketiga jenis pengolahan.

Abu merupakan residu anorganik yang tersisa setelah dilakukan pembakaran ataupun oksidasi penuh senyawa organik pada bahan pangan (Nielsen 2010). Kadar abu juga dapat dikatakan sebagai kadar mineral total dari suatu bahan pangan (Berdanier 2002). Ketiga jenis pengolahan yang dilakukan tidak menyebabkan perbedaan kadar abu yang nyata diduga karena pengolahan dengan panas tidak memengaruhi total mineral yang ada pada sampel. Menurut Palupi et al. (2007), pada umumnya garam-garam mineral tidak terpengaruh secara sigifikan dengan perlakuan kimia dan fisik selama pengolahan. Adanya oksigen dapat menyebabkan kemungkinan beberapa mineral teroksidasi menjadi mineral bervalensi lebih tinggi, namun tidak memengaruhi nilai gizinya. Meskipun beberapa komponen pangan rusak dalam proses pemanggangan bahan pangan, proses tersebut tidak memengaruhi kandungan mineral dalam bahan pangan. Kadar Protein

Pengolahan bahan pangan berprotein yang tidak dikontrol dengan baik dapat menyebabkan terjadinya penurunan nilai gizinya. Pengolahan yang paling banyak dilakukan adalah proses pengolahan menggunakan pemanasan seperti sterilisasi, pemasakan dan pengeringan (Palupi et al. 2007). Pemanasan merupakan salah satu proses pengolahan yang menggunakan suhu tinggi. Pada suhu 100oC, protein akan terkoagulasi dan air akan keluar. Keluarnya cairan disebabkan karena protein kehilangan daya ikat terhadap air sewaktu terjadi penggumpalan. Semakin tinggi suhu, protein akan terhidrolisis dan terdenaturasi, sehingga terjadi peningkatan kandungan senyawa terekstrak bernitrogen, amonia dan hidrogen sulfida dalam daging (Zaitsev et al. 1969 dalam Sumiati 2008).

Sementara itu telah diketahui bahwa protein merupakan senyawa reaktif yang tersusun atas beberapa asam amino yang mempunyai gugus reaktif yang dapat berikatan dengan komponen lain, misalnya gula pereduksi, polifenol, lemak dan produk oksidasinya serta bahan tambahan kimia lainnya seperti alkali, belerang dioksida atau hidrogen peroksida. Reaksi dengan senyawa-senyawa tersebut dapat menyebabkan menurunnya nilai gizi protein akibat terjadinya penurunan daya cerna protein dan ketersediaan asam-asam amino esensial. Selain itu reaksi antara protein dengan gula pereduksi yang dikenal dengan reaksi Maillard, juga merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan protein selama pengolahan dan penyimpanan (Palupi et al. 2007). Reaksi maillard adalah reaksi antara karbohidrat khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer. Gula nonreduksi tidak dapat melakukan reaksi Mailard selama tidak terjadi pemecahan ikatan glikosida yang dapat membebaskan monosakarida dengan gugus peredeuksi. Hasil reaksi Maillard berupa produk berwarna cokelat yang sering kali dikehendaki untuk muncul. Namun demikian, hal tersebut juga dapat menjadi tanda penurunan mutu (Makfoeld et al. 2002). Protein yang telah mengalami reaksi Maillar daya cernanya akan menurun, sehingga dikeluarkan melalui feses (Palupi et al. 2007).

(20)

penyerapan seng (Zn). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kadar protein terigu yang digoreng (donat), dikukus (bakpau), dan dipanggang (roti) secara berturut-turut adalah 8.22%, 8.26%, dan 8.49%. Setelah dilakukan uji sidik ragam, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan kadar protein yang nyata (p > 0.05) antara terigu yang diolah dengan cara digoreng (donat), dikukus (bakpau), ataupun dipanggang (roti). Menurut hasil penelitian Sumiati (2008), terdapat perbedaan yang nyata dalam hal kadar protein pada pengolahan digoreng dibandingkan pada pengolahan dikukus ataupun dipanggang. Namun, pada penelitian ini, tidak terdapat perbedaan yang nyata. Hal tersebut diduga karena metode yang digunakan dalam analisis kadar protein adalah metode kjeldahl yang mengukur kadar protein secara kasar (crude protein content) dengan mengukur kadar protein berdasarkan hasil pengukuran nitrogen di dalam protein tersebut. Oleh karena itu, walaupun pengolahan dapat merusak protein, nitogen di dalamnya tetap terukur setelah melalui proses pengolahan dan dijadikan sebagai dasar penentuan kadar protein sampel yang digoreng (donat), dikukus (bakpau), dan dipangggang (roti).

Kadar Karbohidrat

Karbohidrat atau Hidrat Arang adalah suatu zat gizi yang fungsi utamanya sebagai penghasil energi, dimana setiap gramnya menghasilkan 4 Kalori. Secara umum definisi karbohidrat adalah senyawa organik yang mengandung atom Karbon, Hidrogen dan Oksigen, dan pada umumnya unsur hidrogen dan oksigen dalam komposisi menghasilkan H2O (Hutagalung 2004). Ditinjau dari nilai

gizinya, karbohidrat dalam 1 bahan pangan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) karbohidrat yang dapat dicerna, yaitu monosakarida (glukosa, fruktosa, galaktosa dsb), disakarida (sukrosa, maltosa, laktosa) serta pati, dan (2) karbohidrat yang tidak dapat dicerna, seperti oligosakarida penyebab flatulensi (stakiosa, rafinosa dan verbaskosa) serta serat pangan (dietary fiber) yang terdiri dari selulosa, pektin, hemiselulosa, gum dan lignin (Palupi et al. 2007).

Pengaruh pemanggangan terhadap karbohidrat umumnya terkait dengan terjadinya hidrolisis. Sebagai contoh, pemanasan akan menyebabkan gelatinisasi pati yang akan meningkatkan nilai cernanya. Sebaliknya, peranan karbohidrat sederhana dan kompleks dalam reaksi Maillard dapat menurunkan ketersediaan karbohidrat dalam produk-produk hasil pemanggangan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa pengolahan hanya sedikit memengaruhi kandungan serat dalam bahan pangan yang diuji (Palupi et al. 2007).

(21)

13 Pengaruh Pengolahan dan Penambahan Na2EDTA terhadap Kadar Seng

Analisis total seng (Zn) pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Atomic Absorption Spectroscopy (AAS) atau Spektrofotometri Serapan Atom (SSA). Atomic Absorption Spectroscopy (AAS) atau Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) adalah suatu metoda analisis untuk penentuan konsentrasi suatu unsur dalam suatu cuplikan. AAS pertama kali digunakan oleh Gustav Kirch-hoff dan Robert Bunsen pada tahun 1859 dan 1860 untuk melakukan uji kualitatif atom. Absorbsi atom, baik menggunakan api ataupun elektrotermal secara luas digunakan untuk menganalisis trace mineral, termasuk seng. Penggunaan AAS dalam analisis mineral, contohnya seng telah banyak digunakan dalam penentuan berbagai sampel seperti, air, air limbah, udara, darah, urin, jaringan otot, rambut, makanan, shampoo, bensin, minyak, sedimen, bebatuan, dll. AAS dapat mendeteksi mineral seng (Zn) sampai 0.8 ppb (part per billion) (Harvey 2000). Prinsip kerja AAS didasarkan pada proses penyerapan energi radiasi oleh atom-atom yang berada pada tingkat dasar (ground state), untuk mengeksitasi elektron terluar. Proses penyerapan energi terjadi pada panjang gelombang yang spesifik dan karakteristik untuk tiap unsur. Intensitas radiasi yang diserap sebanding dengan jumlah atom dalam contoh sehingga dengan mengukur intensitas radiasi yang diserap (absorbansi) atau mengukur intensitas radiasi yang diteruskan (transmitansi), maka konsentrasi unsur di dalam cuplikan dapat ditentukan (Asminar & Dahlan 2000).

Hasil analisis kadar Seng (Zn) untuk setiap sampel disajikan pada Tabel 2. Sampel terdiri dari adonan (mentah) serta adonan yang diolah dengan cara digoreng, dikukus, dan dipanggang. Analisis dilakukan terhadap terigu yang ditambahkan Na2EDTA dan tanpa penambahan Na2EDTA.

Tabel 2 Kadar seng (Zn) sampel pada berbagai pengolahan dan penambahan Na2EDTA

*Tanda yang berbeda menunjukkan hasil uji berbeda signifikan dengan selang kepercayaan 95%

(22)

(adonan), dengan pangan yang telah diolah (donat, bakpau, atau roti). Hal tersebut menunjukkan bahwa pengolahan terigu baik dengan cara digoreng, dikukus, ataupun dipanggang tidak akan memengaruhi kadar seng (Zn) dari bahan yang digunakan.

Menurut Palupi et al. (2007), pada umumnya garam-garam mineral tidak terpengaruh secara sigifikan dengan perlakuan kimia dan fisik selama pengolahan. Dengan adanya oksigen, beberapa mineral kemungkinan teroksidasi menjadi mineral bervalensi lebih tinggi, namun tidak memengaruhi nilai gizinya. Meskipun beberapa komponen pangan rusak dalam proses pemanggangan bahan pangan, proses tersebut tidak memengaruhi kandungan mineral dalam bahan pangan.

Penambahan Na2EDTA juga tidak memengaruhi kadar seng. Hasil Uji

sidik ragam tersarang menunjukkan tidak terdapat perbedaan kadar seng (Zn) yang nyata (p >0.05). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa baik pengolahan (penggorengan, pengukusan, atau pemanggangan) dan penambahan Na2EDTA pada terigu tidak akan memengaruhi kadar seng secara nyata.

Ketersediaan Biologis Seng

Ketersediaan biologis didefinisikan sebagai persentase kandungan total zat gizi pada suatu pangan yang masuk ke dalam sistem sirkulasi darah dari saluran pencernaan. Secara umum ketersediaan biologis mineral untuk diserap berhubungan dengan kelarutannya di dalam saluran pencernaan (Ikeda dan Murakami 1995). Jackson (1997) mengatakan ada banyak faktor yang memengaruhi persentase zat gizi yang diserap, yang tidak berhubungan dengan karakteristik bahan pangan, antara lain efisiensi pencernaan, konsumsi zat gizi sebelumnya, status gizi, adanya kerusakan organ pencernaan atau penyakit, makanan lain yang dikonsumsi, serta perlakuan pemasakan dan pengolahan.

Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan selang penyerapan seng (Zn) yang cukup besar. Menurut Whitney dan Rolfes (2007), banyaknya seng yang diabsorbsi berkisar 15-40%. Sementara pada penelitian Hettiarachchi et al. (2004) disimpulkan bahwa penyerapan seng berada pada 6.4-55% dan pada penelitian Herman et al. (2002) 10-40%. Penelitian Lonnerdal (2000) menunjukkan bahwa konsumsi pitat dan kalsium dapat menghambat penyerapan seng, sementara konsumsi protein dapat meningkatkan penyerapan seng. Ketersediaan biologis seng dalam suatu bahan pangan dapat diperkirakan dengan melihat rasio antara kadar pitat dengan kadar seng dalam bahan pangan tersebut (IZiNC 2004 dalam Good 2009). Bila rasio molar antara pitat dengan seng diatas 15, maka ketersediaan biologisnya tergolong rendah, antara 5 sampai 15 tergolong sedang, dan dibawah 5 tergolong tinggi (WHO 2004 dalam Good 2009). Ketersediaan biologis seng pada bahan pangan berbahan dasar serealia tergolong rendah dilihat dari rasio molaritas antara pitat dengan kadar seng >15 (Good 2009). Seperti halnya besi, absorbsi seng dipengaruhi oleh status seng tubuh. Bila lebih banyak seng yang dibutuhkan, lebih banyak pula jumlah seng yang diabsorbsi (Whitney & Rolfes 2007).

(23)

15

trace element. Pertama melalui metode in vivo yaitu mengukur penyerapan pada manusia dengan menggunakan metode keseimbangan kimia dan teknik radioisotop. Metode kedua dengan menggunakan hewan percobaan. Ketiga dengan menggunakan metode in vitro yang mensimulasikan proses pencernaan dengan menggunakan enzim pencernaan sehingga menyerupai pencernaan pada tubuh manusia (Rao 1994).

Metode in vitro dapat digunakan untuk mendeteksi faktor yang memengaruhi penyerapan seng dalam usus, namun tidak dapat mengukur bioavailabilitas secara tepat dibandingkan dengan metode in vivo. Tetapi metode

in vitro memungkinkan pengontrolan kondisi secara tepat selama pengujian dan mengurangi keragaman yang terjadi dalam penentuan secara in vivo (Gueguen et al. 2000). Selain itu, saat menggunakan metode in vivo, faktor fisiologis individu akan sangat memengaruhi penyerapan atau absorbsi zat gizi, sementara pada metode in vitro faktor fisiologis individu diasumsikan sama (Astuti 1986 dalam Elnovriza 2001). Walaupun terdapat beberapa keuntungan dalam penggunaan uji secara in vitro, uji secara in vitro tidak dapat digunakan untuk pengembangan produk industri. Bukti uji pada manusia tetap harus dilakukan untuk penentuan segala kebijakan (Fairweather-Tait et al. 2005). Namun demikian, studi-studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa uji ketersediaan biologis mineral dapat dilakukan secara in vitro. Studi yang dilakukan Schricker et al. (1981) menunjukkan bahwa metode in vitro untuk mengukur persentase besi yang terserap menghasilkan nilai yang menyerupai besaran pada uji in vivo pada manusia. Selain itu metode in vitro juga lebih murah dan cepat dibanding metode

in vivo. Berdaraskan uraian di atas, maka pada penelitian ini digunakan metode in vitro untuk melakukan uji ketersediaan biologis Zn. Hasil analisis ketersediaan biologis seng (Zn) disajikan pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3 Ketersediaan biologis seng (Zn) sampel pada berbagai pengolahan dan penambahan Na2EDTA

Bioavailabilitas (%)

Tanpa Na2EDTA (Kontrol) Ditambah Na2EDTA

Adonan

(24)

Pengaruh Pengolahan terhadap Ketersediaan Biologis Seng

Pada prinsipnya pengolahan pangan dilakukan dengan tujuan: (1) untuk pengawetan, pengemasan dan penyimpanan produk pangan (misalnya pengalengan); (2) untuk mengubah menjadi produk yang diinginkan (misalnya pemanggangan); serta (3) untuk mempersiapkan bahan pangan agar siap dihidangkan. Semua bahan mentah merupakan komoditas yang mudah rusak, sejak dipanen, bahan pangan mentah, baik tanaman maupun hewan akan mengalami kerusakan melalui serangkaian reaksi biokimiawi. Kecepatan kerusakan sangat bervariasi, dapat terjadi secara cepat hingga relatif lambat (Palupi et al. 2007).

Hasil uji sidik ragam tersarang menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan ketersediaan biologis seng (Zn) yang nyata (p > 0.05) antara pangan yang belum diolah (adonan) ataupun pangan yang telah diolah (donat, bakpau, dan roti). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa baik penggorengan, pengukusan, ataupun pemanggangan tidak akan memengaruhi ketersediaan biologis seng (Zn) pada terigu secara nyata. Menurut Whitney dan Rolfes (2007), ketersediaan biologis seng sangat dipengaruhi oleh kadar protein sampel. Kadar protein pada ketiga jenis pengolahan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata sehingga ketersediaan biologis seng pada ketiga jenis pengolahan tidak berbeda nyata..

Menurut Muchtadi dan Palupi (1992), ketersediaan seng secara biologis ditentukan berdasarkan kekuatan seng yang terikat pada protein. Protein berperan sebagai carrier seng untuk dapat diserap oleh tubuh. Protein utama dalam penyerapan seng adalah albumin. Nilai albumin dalam plasma merupakan penentu utama penyerapan seng. Albumin merupakan alat transport utama seng. Absorbsi seng menurun bila albumin darah menurun, misalnya dalam keadaan gizi kurang atau kehamilan (Almatsier 2001). Namun, seng juga dapat berikatan dengan transferin seperti pada penyerapan besi. Pada manusia normal, transferin biasanya disaturasi oleh besi kurang dari 50%, tetapi pada konsumsi besi berlebih transferrin dapat lebih tersaturasi oleh besi sehingga transferrin yang tersedia untuk penyerapan seng berkurang. Hal tersebut dapat mengakibatkan penurunan penyerapan seng di dalam tubuh, yang terjadi bila konsumsi besi lebih dari dua kali konsumsi seng (Whitney & Rolfes 2007).

Uji statistik yang dilakukan menunjukkan bahwa pengolahan tidak menyebabkan perubahan ketersediaan biologis seng (Zn) secara nyata. Namun, bila dilihat dari nilai ketersediaan biologisnya, terdapat perbedaan akibat pengolahan yang dilakukan. Berikut Grafik perubahan ketersediaan biologis seng akibat pengolahan (Gambar 5)

Gambar 5. Grafik perubahan ketersediaan biologis seng akibat pengolahan

(25)

17 Grafik di atas menunjukkan bahwa terdapat perubahan ketersediaan biologis seng akibat pengolahan. Walaupun secara statistik perubahan akibat pengolahan tidak nyata, namun kecenderungan peningkatan ketersediaan biologis seng (Zn) terjadi pada terigu yang diolah dengan cara digoreng (donat) dan dipanggang (roti), tetapi tidak terjadi peningkatan pada terigu yang diolah dengan cara dikukus (bakpau). Pada proses penggorengan (donat), terdapat peningkatan sebesar 1.43% atau sebesar 10.76% lebih tinggi dibandingkan adonan mentah, dan pada proses pemanggangan (roti) terdapat peningkatan sebesar 3.77% atau sebesar 28.37% lebih tinggi dibandingkan adonan mentah. Perbedaan tersebut diduga terjadi karena penggunaan suhu yang berbeda. Pada penggorengan dan pemanggangan, digunakan suhu tinggi, yaitu masing-masing 200-205oC dan 160oC, sementara pada pengukusan hanya digunakan suhu 96-98oC. Meskipun demikian, perlakuan panas dapat menyebabkan terjadinya pemecahan ikatan dan memengaruhi penyerapan atau penggunaan beberapa mineral, (Palupi et al. 2007). Disamping itu, prinsip pengukuran bioavailabilitas metode in vitro dengan teknik dialisis menggunakan kantung dialisis diukur dengan proses pelepasan molekul mineral pada kantung dialisis tersebut. Dialisis digunakan untuk memisahkan molekul-molekul besar dan molekul-molekul kecil berdasarkan sifat membran semi permeabel yang meloloskan molekul-molekul kecil dan menahan molekul besar (Gilmore 2002 dalam Khoiriyah 2011). Kantung dialisis yang digunakan memiliki spesifikasi MWCO (Molecule Weight Cut off) 6000-8000Da sehingga molekul yang memiliki berat molekul diatas 8000Da tidak dapat melewati kantung membran. Diduga terjadi kerusakan matriks yang mengikat mineral pada bahan makanan saat pengolahan dengan suhu tinggi (donat dan roti). Hal ini menyebabkan mineral terbebas dari matriks dan dapat melewati membran kantung dialisis karena memiliki molekul yang lebih kecil diabandingkan kompleks matriks dengan mineral. Pemanasan dapat mengurangi daya tarik-menarik antara molekul-molekul air dan akan memberikan cukup energi pada molekul-molekul air tersebut untuk dapat mengatasi daya tarik menarik antar molekul dalam bahan pangan tersebut. Dengan demikian daya kelarutan mineral pada bahan akan meningkat dengan meningkatnya suhu (Winarno 2008). Ketersediaan biologis mineral, termasuk seng sangat erat kaitannya dengan kelarutannya dalam saluran pencernaan (Ikeda et al. 2005). Dengan meningkatnya kelarutan akibat panas yang diberikan, maka akan meningkatkan pula ketersediaan biologis mineral, termasuk seng. Menurut Palupi et al. (2007), selain timbulnya hal yang tidak diinginkan karena banyak merusak zat-zat gizi yang terkandung dalam bahan pangan, proses pengolahan dapat bersifat menguntungkan terhadap beberapa komponen zat gizi yang terkandung dalam bahan pangan tersebut, yaitu perubahan kadar kandungan zat gizi, peningkatan daya cerna dan ketersediaan zat-zat gizi serta penurunan berbagai senyawa antigizi yang terkandung di dalamnya. Proses pemanasan bahan pangan dapat meningkatkan ketersediaan zat gizi yang terkandung di dalamnya, misalnya pemanasan kacang-kacangan (kedelai) mentah dapat meningkatkan daya cerna dan ketersediaan protein yang terkandung di dalamnya.

Pengaruh Penambahan Na2EDTA pada Ketersediaan Biologis Seng (Zn)

Na2EDTA merupakan senyawa yang tahan panas dan sering digunakan

(26)

digunakan oleh pemerinntah berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.18 Tahun 2013 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Sekuestran. Peraturan tersebut menjelaskan bahwa sekuestran (sequestrant) merupakan bahan tambahan pangan yang dapat mengikat ion logam polivalen untuk membentuk kompleks sehingga meningkatkan stabilitas dan kualitas pangan. Ion logam yang bebas mudah bereaksi dan mengakibatkan perubahan warna, ketengikan, kekeruhan dan perubahan rasa. Sekuestran akan mengikat ion logam tersebut sehingga menjaga kestabilan bahan dan dapat memperpanjang umur simpan dari bahan tersebut.

Selain itu, Na2EDTA (disodium etilendiamin tetraasetat) dapat secara

mudah mengkelat atau mengikat mineral yang terlarut dalam lambung dan usus. Na2EDTA meningkatkan penyerapan zat besi hingga dua atau tiga kali lipat pada

bahan pangan yang mengandung senyawa inhibitor dalam jumlah tinggi, dengan catatan zat besi berasal dari sumber yang mudah larut dalam air (misalnya fero sulfat) (Palupi 2008).

Menurut Hettiararachchi et al. (2004), ketersediaan biologis Fe dan Zn pada tepung beras setelah ditambah FeSO4 dan Na2EDTA dapat meningkat.

Davidson et al (1994) melakukan studi efek EDTA terhadap penyerapan Zn pada wanita yang mengkonsumsi terigu fortifikasi mengakibatkan penyerapan Zn meningkat. Kemampuan Na2EDTA untuk meningkatkan penyerapan seng (Zn)

terletak pada kemampuannya untuk mengkelat mineral sehingga meningkatkan kelarutan dari mineral tersebut. Tanpa Na2EDTA, mineral non-heme memiliki

kelarutan yang rendah pada pH dibawah 2 dan lebih rendah lagi pada pH diatas 6. Penelitian Rao dan Prabhavathi (1978) menunjukkan bahwa mineral non-heme lebih tidak larut pada pH 7,5 dibandingkan pH 1,35. Namun, hasil penelitian Garcia et al. (2009) menunjukkan bahwa Na2EDTA dapat menjaga kelarutan dari

besi yang tereduksi pada pH 2 ataupun 6, yang merupakan pH saat proses pencernaan dalam tubuh. Secara umum ketersediaan biologis mineral untuk diserap berhubungan dengan kelarutannya di dalam saluran pencernaan (Ikeda & Murakami 1995).

Penambahan Na2EDTA didasarkan pada batas aman yang telah diuji pada

penelitian-penelitian sebelumnya. Pemberian Na2EDTA yang aman ada pada

perbandingan rasio molar Fe:Na2EDTA 1:1 (Hurrell et al. 2000). Menurut Wolf

dan Gilbert (1992) yang dicantumkan pada Hazardous Substances Data Bank (HSDB), batas aman konsumsi EDTA adalah 2.5 mg/BB/hari, sehingga batas aman jika dikonsumsi oleh pria dewasa dengan berat badan 60 kg adalah 150 mg/hari. Bila dikonsumsi pada batas aman, EDTA tidak menimbulkan efek negatif pada tubuh manusia. Pada penelitian Davidsson et.al.(1998), penambahan Fe dalam bentuk NaFe(III)EDTA tidak meningkatkan penyerapan mangan (Mn) ataupun pengeluarannya lewat urin, yang dicurigai dapat menimbulkan efek negatif pada manusia.

Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan ketersediaan biologis seng yang nyata (p > 0.05) pada kelompok olahan terigu yang ditambah dengan Na2EDTA ataupun yang tidak ditambah dengan Na2EDTA. Secara

statistik, Na2EDTA tidak berhasil meningkatkan ketersediaan biologis pangan

(27)

19 bakpau, dan roti yang ditambah dengan Na2EDTA ataupun yang tidak ditambah

dengan Na2EDTA disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Grafik ketersediaan biologis seng dengan penambahan Na2EDTA

Peningkatan ketersediaan seng (Zn) dapat dilihat pada sampel donat (goreng) setelah ditambahkan Na2EDTA. Pada donat, terjadi peningkatan

ketersediaan biologis seng dari 14.72% menjadi 19.39% atau sebesar 31.73%. Peningkatan yang terjadi memang relatif kecil. Namun, penelitian-penelitan sebelumnya juga menunjukkan hal yang sama. Hasil penelitian Hettiararachchi et al. (2004) menunjukkan peningkatan ketersediaan biologis seng pada tepung beras dari 8.8% menjadi 13.5% atau sebesar 53.41% dari nilai ketersediaan biologis kontrol setelah ditambah dengan Na2EDTA. Selain itu, penelitian lainnya

menunjukkan kemampuan Na2EDTA dalam meningkatkan ketersediaan biologis

mineral tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian yang diperoleh. Hasil penelitian Govindaraj et al. (2007) yang menunjukkan peningkatan ketersediaan biologis besi pada biskuit dari 14.40% menjadi 16.65% atau sebesar 15.62% dari nilai ketersediaan biologis kontrol. Peningkatan mineral dengan penambahan Na2EDTA hanya berkisar antara 2-10%.

Peningkatan tidak terjadi pada terigu yang diolah dengan cara dikukus. Hal tersebut diduga karena suhu pengukusan merupakan suhu terendah dari ketiga pengolahan yang digunakan. Hal tersebut menyebabkan mineral dalam makanan masih terikat dalam kompleks di dalam makanan sehingga mineral yang melewati membran kantung dialisis lebih sedikit dibanding dengan pengolahan dengan cara digoreng ataupun dipangggang. Pitat, serat, dan protein diduga merupakan komponen utama sebagai penyusun kompleks tersebut yang dapat mengikat mineral sehingga memengaruhi penyerapannya (Palupi et al. 2007). Karena mineral masih terikat, maka Na2EDTA tidak dapat mengikat mineral sehingga

tidak terjadi peningkatan ketersediaan biologis yang diharapkan.

Melihat hasil yang diperoleh, perlu dipertimbangkan mengenai penambahan Na2EDTA sebagai bahan tambahan pangan (BTP) melihat adanya peningkatan

ketersediaan biologis seng (Zn) walaupun tidak signifikan. Harga dari 1 kg Na2EDTA adalah Rp1.200.00,00 dan dari 1 kg terigu dapat dihasilkan 30 – 35

(28)

donat akan meningkatkan ketersediaan biologisnya sebesar 0.36% – 0.42%. Namun demikian, perlu dilakukan penelitian yang lebih dalam mengenai efek dari Na2EDTA dalam meningkatkan ketersediaan biologis seng. Penggunaan metode

in vivo dapat menjadi salah satu alternatif untuk mempelajari efek dari Na2EDTA

dengan lebih baik dikarenakan dapat menggambarkan keadaan tubuh manusia yang sebenarnya.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) pada kadar air, kadar lemak, dan kadar karbohidrat donat (goreng), bakpau (kukus), dan roti (panggang). Namun tidak terdapat perbedaan yang nyata pada kadar abu dan kadar protein (p>0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa pengolahan yang dilakukan pada penelitian ini memengaruhi kadar air, lemak, dan karbohidrat terigu.

Pengolahan tidak menyebabkan perubahan ketersediaan biologis seng secara nyata (p > 0,05). Namun demikian, terdapat kecenderungan pengolahan dengan cara digoreng (donat) dan dipanggang (roti) dapat meningkatkan ketersediaan biologis seng (Zn). Secara statistik ketersediaan biologis seng terigu yang digoreng (donat), dikukus (bakpau), dan dipanggang (roti) adalah sama. Hal yang sama juga terlihat pada efek dari penambahan Na2EDTA. Tidak terdapat

perbedaan yang nyata pada sampel yang ditambah Na2EDTA ataupun sampel

yang tidak ditambah Na2EDTA, baik untuk donat, bakpau, ataupun roti. Secara

statistik, Na2EDTA tidak dapat dikatakan meningkatkan ketersediaan biologis

seng (Zn). Namun bila dilihat dari nilainya, terdapat peningkatan pada terigu yang diolah dengan cara digoreng (donat) sebesar 4.67%. Peningkatan yang terlihat relatif kecil sehingga perlu dilakukan penelitian yang lebih dalam terutama mengenai efek dari Na2EDTA dalam meningkatkan ketersediaan biologis seng.

Penggunaan metode in vivo dapat menjadi salah satu alternatif untuk mempelajari efek dari Na2EDTA dengan lebih baik dikarenakan dapat menggambarkan

keadaan tubuh manusia yang sebenarnya.

Saran

Untuk melihat efek dari Na2EDTA dengan lebih baik, sebaiknya digunakan

terigu yang belum difortifikasi dan dilakukan premix secara wet mixing sebelum pembuatan adonan antara Zn dengan Na2EDTA sehingga pengkelatan dapat

terjadi lebih baik ataupun penambahan seng (Zn) yang sudah terkelat (NaZnEDTA) pada terigu yang belum difortifikasi. Selain itu, perlu dilakukan penelitian yang lebih dalam mengenai efek dari Na2EDTA dalam meningkatkan

ketersediaan biologis seng. Penggunaan metode in vivo dapat menjadi salah satu alternatif untuk mempelajari efek dari Na2EDTA dengan lebih baik dikarenakan

(29)

21

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Antonson A.L., Barak A.J., dan Vanderhoof J.A. 1979. Determination of the Site

of Zinc Absorption in Rat Small Intestine. J. Nutr. 109: 142-147.

[AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Analytical Chemistry. Washington DC. Asminar, Dahlan H. 2000. Analisis Komposisi Logam Paduan AlMg2 Produk

Tuang Dengan Metode AAS. URANIA 6: 23-26.

Astuti M. 1986. Uji Gizi I. Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada.

Berdanier C.D. 2002. Handbook of Nutrition and Food. Florida: CRC Press. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2007. Keputusan Kepala Badan

Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor: HK.00.05.52.6291 tentang Acuan Label Gizi Produk Pangan. Jakarta. Brown K.H., Hambridge M.K., Ranum P., Zinc Fortification Working Group.

2010. Zinc Fortification of Cereal Flours: Current Recommendations and Research Needs. Di dalam: Aburto NJ, Perrine CG, dan Mei Z, editor. Flour fortification with iron, folic acid, vitamin B12, vitamin A, and zinc: Proceedings of the Second Technical Workshop on Wheat Flour Fortification; 2008-03-30 sampai 2008-04-03; Stone Montain, Georgia, USA.

Darlan A. 2012. Fortifikasi dan Ketersediaan Zat Besi pada Bahan Pangan Berbasis Kedelai dengan menggunakan Fortifikasi FeSO4.7H2O Campuran

FeSO4.7H2O + Na2H2EDTA.2H2O dan NaFeEDTA [Tesis]. Depok:

Program Pasca Sarjana Departemen Kimia FMIPA-Universitas Indonesia. Davidson et.al. (1994). Sodium iron EDTA [NaFe(III)EDTA] as a food

fortificant: the effect on iron deficiencyanemia and serum zinc. Food Agric. Environ. 3:69-71.

Davidsson L, Almgren A, Hurrell R.F. 1998. Sodium Iron EDTA [NaFe(III)EDTA] as a Food Fortificant Does Not Influence Absorption and Urinary Excretion of Manganese in Healthy Adults. J. Nutr. 128:1139-1143. Elnovriza D. 2001. Ketersediaan Biologis Mineral Seng dari Beberapa Jenis dan Cara Pemasakan Beras pada Tikus Percobaan [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Fairweather-Tait S. et al. 2005. The Usefulness of in vitro Models to Predict the Bioavailability of Iron and Zinc: A Consensus Statement from the Harvest Plus Expert Consultation. Int J Vitam Nutr Res. 75: 371–374.

(30)

Garcia-Casal M.N., Ramirez J., Leets I. 2009. Bioavailability From Electrolytic and Reduced Iron In Human is Enhanced by NaFe-EDTA and Vitamin A in Corn and Wheat Flours, Effect of Serum Retinol Status. African Journal of Food Science 3: 131-138.

Gueguen L., Pointillart. 2000. The Bioavailability of Dietary Calcium. Journal of American College of Nutrition 19: 119-136.

Good S. 2009. Animal Source Food and Nutrition During Early Life: An Evaluation of the Possible Link Between Livestock Keeping, Food Intake and Nutritional Status of Young Children in Ethiopia [Disertasi]. Switzerland: ETH Zurich.

Govindaraj T., KrishnaRau L., Prakash J. 2007. In vitro Bioavailability of Iron and Sensory Qualities of Iron-Fortified Wheat Biscuits. Food and Nutrition Bulletin 28: 299-306.

Halberg L. 1987. Phytates and the Inhibitory effect of Bran On Iron Absorption in Man. Am. J. Clin. Nutr.34: 988-996.

Harvey D. 2000. Modern Analytical Chemistry. USA: McGrac-Hill Companies. Hemalatha S. 2006. Studies on The Bioavailability of Micronutrients from Indian

Foods [Thesis]. Mysore: Department of Biochemistry and Nutrition Central Food Technological Research Institute Mysore.

Hettiarachchi et al. 2004. Na2EDTA enhances the absorption of iron and zinc from fortified rice flour in Sri Lankan children. J. Nutr. 134: 3031-3036. Herman S., Griffin I.J., Suwati S., Ernawati F., Permaesih D., Pambudi D.

Abrams S. 2002. Co-fortification of iron fortified flour with zinc sulfate but not zinc oxide, decreases iron absorption in Indonesian children. Am. J. Clin. Nutr. 76: 813–817.

[HSDB] Hazardous Substances Data Bank. Ethylenediamine Tetraacetic Acid (terhubung berkala) http://toxnet.nlm.nih.gov [23 Februari 2013].

Hurrell et al. 2000. An evaluation of EDTA compounds for iron fortification of cereal-based foods. J. Nutr. 84: 903–910.

Hutagalung. 2004. Karbohidrat (terhubung berkala) http://library.usu.ac.id/downlo ad/fk/gizi-halomoan [12 Juli 2013].

Ikeda S., Murakami T. 1995. Zinc Chemical Form in Some Traditional Soy Foods.

J Food Sci. 60: 1151-1156.

Ikeda S., Yamashita Y. 1994. Buckwheat as a Dietary Source of Zinc, Copper, and Manganese. Fagopyrum 14: 29-34.

Ikeda S., Yamashita Y., Kusumoto K. Ivan K. 2005 . Nutritional Characteristics of Minerals in Various Buckwheat Groats. Fagopyrum 22: 71-75.

Jackson M.J. 1997. The Assessment of Bioavailability of Micronutrient : Introduction. Euro J. Clin. Nutr.51: S1-S2.

(31)

23 Khoiriyah R.A. 2011. Bioavailabilitas Kalsium dan Zat Besi pada Berbagai Proses Pengolahan Sayur Daun Torbangun Sebagai Bagian Menu Makanan Ibu Menyusui [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Komari et al. 2002. Fortifikasi Seng (Zn) pada Tepung Terigu dalam Rangka

Penanggulangan Masalah Kekurangan Zat Gizi Mikro (terhubung berkala) http://grey.litbang.depkes.go.id/ [11 Juli 2013].

Latifah dan Febriyanti. 2000. Penggunaan gluten pada pembuatan roti manis dengan bahan baku tepung komposit (tepung terigu dan tepung gaplek). Dalam L. Nuraida, Hariyadi R.D., dan Budijanto S. editor. Prosiding Seminar Nasional Industri Pangan. 10-1 I Oktober 2000; Surabaya, Indonesia.

Lonnerdal B. 2000. Dietary Factors Influencing Zinc Absorption. J. Nutr. 130: 1378S—1383S.

Makfoeld D, Marseno DW, Hastuti P, Anggrahini S, Raharjo S, Sastrosuwignyo, Suhardi, Martoharsono S, Hadiwiyoto S, Tranggono. 2002. Kamus Istilah Pangan dan Nutrisi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Muchtadi D. dan N.S. Palupi. 1992. Metoda Kimia Biokimia dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Petunjuk laboratorium. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.

Mulyaningtyas J.R. 2011. Perubahan Kandungan Asam Lemak dan Kolestrol pada Daging Remis (Corbicula javanica) Akibat Proses Pengolahan [Skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Nielsen S.S. 2010. Food Analysis 4th Edition. New York: Springer.

Nisviaty A. 2006. Pemanfaatan Tepung Ubi Jalar (Ipomea Batatas L.) Klon BB00105.10 Sebagai Bahan Dasar Produk Olahan Kukus Serta Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemiknya [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Palupi N.S. 2008. Fortifikasi zat besi. (terhubung berkala) www.foodrivew.biz/login/preview.php?view&id=56100 [12 Okt 2012]. Palupi N.S., Zakaria F.R., Prangdimurti E. 2007. Modul e-learning ENBP:

Pengaruh Pengolahan Terhadap Nilai Gizi Pangan. Bogor. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB.

Rao N. 1994. Methods for Determination of Bioavailability of Trace Metal: A Critical Evaluation. J. Food Sci. Tech 31: 352 – 361.

Rao N., Prabhavathi T. 1978. An In vitro Method for Predicting the Bioavailability of Iron from Foods. The American Journal of Clinical Nutrition 31: 169 – 175.

(32)

. 2010. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.

Roig M.J., Alegria A., Barbera R., Farre R., Lagarda M.J. 1999. Calcium Bioavailability in Human Milk, Cow Milk and Infant Formulas–Comparison between Dialysis and Solubility Methods. Food Chem, 65: 353 - 357.

Romdhijati L. 2010. Olahan dari Kentang. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Santoso B.I., Hardinsyah, Siregar P., Pardede S.O. 2011. Air Bagi Kesehatan. Jakarta: Centra Communications.

Saputra I. 2008. Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemik Cookies dan Donat Tepung Terigu yang Disubstitusi Parsial dengan Tepung Bekatul [Skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Schricker B.R., Miller D.D., Rasmussen R.R., Campen D.V.A. 1981. Comparison of in vivo and in vitro Methods for Determining Availability of Iron From Meals. Am J Clin Nutr, 34: 2257–2263.

Sejati T.K.A. 2012. Perubahan Komposisi Kimia, Vitamin C, dan Mineral pada Pengukusan Genjer (Limnocharis flava) [Skripsi]. Bogor : FPIK IPB.

Soekirman 2011. Fortifikasi Pangan: Program Gizi Utama Masa Depan (terhubung berkala) http://www.kfindonesia.org/index.php?pgid=11&conten tid=81 [11 Juli 2013].

Soenaryo E.S. 2007. Peluang Industri Pangan dalam mengatasi Masalah Defisiensi Seng (Zn). Di dalam : Madanijah S, Palupi NS, editor. Prosiding Seminar Nasional Penanggulangan Masalah Defiensi Seng (Zn): From Farm to Table; 2007-05-15; Jakarta, Indonesia. Bogor: South East Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, Institut Pertanian Bogor.

Sulistianing R. 1995. Pembuatan dan Optimisasi Formula Roti Tawar dan Roti Manis Skala Kecil [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Sumiati T. 2008. Pengaruh Pengolahan Terhadap Mutu Cerna Protein Ikan Mujair [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Thomas P.R. 2007. Pengembangan Produk Makanan Ringan dengan Proses Ekstruksi dan Penggorengan [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Whitney E., Rolfes S.R. 2007. Understanding Nutrition Eleventh Edition. Belmont: Thomson Wadsworth.

Winarno F.G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

(33)

25

(34)

Gambar

Gambar 2 Diagram alir pembuatan donat, bakpao, dan roti
Gambar 3. Proses analisis ketersediaan biologis Zn (Roig et al. 1999)
Gambar 4. Proses analisis total Zn
Tabel 1  Kadar air, lemak, abu, protein, dan karbohidrat sampel pada berbagai pengolahan
+5

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian pemanfaatan lumpur aktif untuk menurunkan seng (Zn) dalam limbah cair pewarna indigosol pada industri batik dengan penambahan bakteri

Perbedaan konsentrasi penambahan maizena berpengaruh terhadap sifat organolelptik mi basah terigu-beras hitam, yaitu kekenyalan dengan rentang nilai 2,39-5,03 dan warna

Adapun proses peleburannya adalah memasukkan logam tembaga terlebih dahulu hingga mencair pada temperatur 1080ºC kemudian logam seng dapat dimasukkan ke dalam krus hingga

Tinggi tanaman hampir sama pada masing-masing perlakuan, baik pemupukan Zn dan P maupun interaksinya, tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap pertambahan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh perbandingan tepung terigu dengan tepung labu kuning memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kadar abu, kadar

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh perbandingan tepung terigu dengan tepung labu kuning memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kadar abu, kadar

Perbedaan konsentrasi tepung terigu dalam masing-masing bagian daging babi memberikan perbedaan yang nyata terhadap kadar air, kadar lemak, kadar protein, dan hardness tetapi

Penelitian tentang pembuatan film tipis ZnO pada substrat kaca dengan perbedaan konsentrasi seng asetat dehidrat menggunakan metode sol-gel spin coating telah