MENGGUNAKAN CITRA IKONOS PAN-SHARPENED
CORYELISABETY DIANOVITA
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
iii
Dangkal Karang Congkak dan Karang Lebar Dengan Menggunakan Citra
IKONOS Pan-Sharpened. Dibimbing oleh JONSON LUMBAN GAOL DAN
VINCENTIUS P. SIREGAR.
Batimetri perairan dangkal sangat penting untuk studi morfologi dasar laut, pengelolaan dan manajemen sumber daya zona pesisir. Pendugaan batimetri dengan menggunakan metode penginderaan jauh umumnya dilakukan pada kondisi air yang jernih. Survei batimetri dilakukan untuk mendapatkan data kedalaman aktual. Data kedalaman tersebut digunakan dalam mengestimasi kedalaman dengan menggunakan algoritma yang telah dikembangkan oleh Lyzenga. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji penggunaan citra IKONOS Pan-Sharpened dalam memetakan batimetri perairan dangkal Karang Congkak dan Karang Lebar.
Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap, diantaranya adalah
pengumpulan data survei lapang, pengumpulan data sekunder, pengolahan citra dan analisis data. Survei lapang dilakukan pada tanggal 5 dan 6 Juni 2010, pengumpulan data sekunder (data pasang surut) dilakukan pada bulan Oktober-November 2010, pengolahan citra dan analisis data akhir pada bulan Desember 2010-Januari 2011. Pengambilan data kedalaman in situ dilakukan pada bagian dalam tubir gobah baik Karang Congkak maupun Karang Lebar.
Model pendugaan kedalaman dikembangkan dengan menggunakan 3 kanal (merah, hijau, dan biru) Citra IKONOS Pan-Sharpened yang menunjukkan bahwa kanal hijau lebih baik digunakan untuk pemetaan batimetri. Model tersebut adalah �= 3,602∗ln(� − �������ℎ����)−16,86 dengan nilai koefisien korelasi dan determinasi sebesar 0,88 dan 0,78.
Perbandingan antara nilai kedalaman estimasi dan kedalaman aktual menunjukkan galat sebesar 1,61 m. Walaupun demikian, korelasi antara kedalaman estimasi dan aktual sangat baik dengan nilai sebesar 0,88 m.
MENGGUNAKAN CITRA IKONOS
PAN-SHARPENED
CORYELISABETY DIANOVITA
SKRIPSI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
©
Hak cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian/seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN DANGKAL KARANG
CONGKAK DAN KARANG LEBAR DENGAN
MENGGUNAKAN CITRA IKONOS
PAN-SHARPENED
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2011
KARANG CONGKAK DAN KARANG LEBAR
DENGAN MENGGUNAKAN CITRA IKONOS
PAN-SHARPENED
Nama Mahasiswa : Coryelisabety Dianovita
Nomor Pokok : C54061233
Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan
Menyetujui,
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA
NIP.196600721 199103 1 002 NIP. 19561103 198503 1 003
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
NIP. 19580909 198303 1 003 Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M. Sc
vii
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas semua karunia yang telah diberikan-Nya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat selesai. Skripsi yang berjudul Pemetaan Batimeri Perairan Dangkal Karang Lebar dan Karang
Congkak Dengan Menggunakan Citra IKONOS Pan-Sharpened diajukan
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan.
Selama penyusunan skripsi penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si dan Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA
selaku Pembimbing Skripsi atas arahan dan bimbingan selama proses penyelesaian skripsi.
2. Bapak Sam Wouthuyzen atas bimbingannya selama penelitian. 3. Bapak M. Banda Selamat atas bimbingannya selama penelitian.
4. Orang tua dan keluarga yang selalu memberikan kasih sayang dan perhatian serta dukungan baik secara moril maupun materil.
5. Teman-teman yang selalu memberikan semangat dan motivasi.
Penulis menyadari bahwa proposal ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca. Penulis berharap skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi diri sendiri maupun pembacanya.
Bogor, September 2011
viii
2.1. Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal ... 4
2.1.1. Batimetri ... 4
2.1.2. Pemetaan batimetri perairan dangkal ... 6
2.2. Satelit IKONOS ... 10
4.1.1. Transformasi Algoritma Lyzenga ... 31
4.1.2. Peta Batimetri ... 35
4.1.3. Matriks Kesalahan ... 33
4.2. Galat (Error) Model Nilai Digital Asli dengan Algoritma Lyzenga ... 37
5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 40
5.1. Kesimpulan ... 40
5.2. Saran ... 40
ix
x
Halaman
1. Spesifikasi Satelit IKONOS ... 11
2. Matriks kesalahan (confusion matrix) ... 26
3. Korelasi antara nilai kedalaman lapang dengan nilai digital
transformasi citra Ikonos ... 30
4. Matriks kesalahan kelas nilai kedalaman lapang dan
kedalaman estimasi ... 35
5. Matriks kesalahan kelas kedalaman aktual dan
xi
Halaman
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya jumlah gelombang
cahaya yang diterima sensor setelah melalui massa air ... 7
2. Konversi kedalaman ke kedalaman bawah datum ... 9
3. Piksel asli MS, piksel PAN, dan piksel pan-sharpened MS ... 13
4. Citra pan-sharpened IKONOS yang digabung
dari citra pankromatik dan multispektral ... 13
5. Lokasi Penelitian di Karang Congkak dan Karang Lebar,
Kep. Seribu, DKI Jakarta ... 15
6. Diagram alir pengolahan data batimetri dengan citra satelit IKONOS 21
7. Citra IKONOS Pan-Sharpened hasil transformasi nilai ln(V-VS) pada algoritma Lyzenga di perairan dangkal Karang Lebar ... 28
8. Grafik model persamaan regresi linier dan koefisien determinasi Karang Lebar dari hasil plot kedalaman pemeruman dan nilai digital citra
IKONOS pan-sharpened ... 29
9. Kedalaman estimasi perairan dangkal Karang Congkak dan
Karang Lebar dengan menggunakan algoritma Lyzenga ... 33
10. Kedalaman estimasi perairan dangkal Karang Congkak dan Karang Lebar dengan menggunakan algoritma Lyzenga (reclass)... 34
11. Grafik perbandingan antara nilai kedalaman duga (estimated depth) terhadap nilai kedalaman sebenarnya (actual depth) ... 37
12. Grafik analisis residual antara nilai kedalaman sebenarnya
xii
Halaman
1. Metadata Citra IKONOS Pan-Sharpened yang diakuisisi
pada tanggal 8 Juli 2008. ... 44
2. Histogram pengkelasan nilai kedalaman ... 45
3. Hasil analisis regresi statisik hubungan antara nilai kedalaman aktual dan nilai kedalaman estimasi dari
algoritma Lyzenga (1985) yang dikembangkan ... 46
4. Data nilai kedalaman survei lapang dan kedalaman dugaan, nilai digital kanal hijau citra IKONOS pada pengembangan
1
1.1. Latar Belakang
Hidrografi adalah cabang ilmu yang berkaitan dengan pengukuran dan
deskripsi dari fitur fisik perairan, wilayah pesisir, danau, dan sungai, serta dengan
prediksi evolusi mereka, dengan tujuan utama keselamatan navigasi dan kegiatan
kelautan lainnya seperti, pengembangan ekonomi, keamanan dan pertahanan,
penelitian ilmiah, dan perlindungan lingkungan laut (IHO, 2010). Survei
hidrografi umumnya banyak dimanfaatkan untuk memetakan dasar laut yang
digunakan untuk berbagai kegiatan di laut seperti pengerukan, navigasi,
pengendalian sedimentasi dan banjir. Kondisi hidrografi mengalami perubahan
tanpa batas waktu tertentu. Perubahan kondisi hidrografi umumnya disebabkan
oleh beberapa faktor seperti pengikisan pantai oleh gelombang, sedimentasi,
penggunaan lahan di wilayah pesisir, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, revisi
terhadap peta-peta batimetri perlu dilakukan terus menerus, walaupun telah
banyak perairan yang dipetakan melalui survei hidrografi.
Kajian mengenai kondisi fisik perairan perlu dilakukan dengan cepat dan
akurat sehubungan dengan faktor-faktor penting seperti keselamatan pelayaran.
Karena luas perairan Indonesia yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km,
maka perlu dilakukan survei untuk pemeruman kedalaman (batimetri) yang lebih
efisien dan efektif tanpa memerlukan biaya yang besar dan waktu yang lama
(Wouthuyzen, 2001). Survei batimetri merupakan salah satu kegiatan dari survei
hidrografi yang digunakan untuk mendapatkan data kedalaman dan menampilkan
yaitu dengan menggunakan tali atau kabel berat terukur yang diturunkan dari sisi
kapal. Metode konvensional ini dianggap tidak efisien karena setiap satu kali
pengukuran hanya dapat dilakukan dalam satu waktu saja. Selain itu, metode ini
tidak cocok digunakan dalam pemetaan perairan dangkal karena kapal yang
digunakan untuk memetakan daerah perairan dangkal akan sulit untuk bergerak
leluasa dan berbahaya bagi badan kapal apabila substrat dasar tidak beraturan.
Oleh karena itu, saat ini teknik penginderaan jauh banyak digunakan sebagai
alternatif untuk survei batimetri tersebut dalam pendugaan kedalaman perairan,
terutama perairan dangkal.
Penginderaan jauh yang dimanfaatkan untuk pendugaan batimetri ini
adalah penginderaan jauh warna air laut atau dikenal dengan istilah penginderaan
jauh ocean color dengan memanfaatkan radiasi gelombang elektromagnetik pada
panjang gelombang cahaya tampak yang dipantulkan kembali dari bawah
permukaan laut. Metode ini memiliki beberapa keunggulan seperti data yang
dihasilkan berupa data digital dalam bentuk foto atau citra yang memudahkan
manusia untuk mengolahnya, cakupan daerah yang diobservasi luas dan mampu
mendeteksi daerah yang sulit dijangkau atau berbahaya bagi manusia, dan tidak
memerlukan pengeluaran yang besar karena biayanya yang relatif murah.
Pendugaan batimetri dengan menggunakan metode ini dapat dilakukan
hingga ke kedalaman ±25 m pada kondisi air yang jernih, dan kurang dari itu pada
kondisi air yang keruh (Green et al., 2000). Namun pemetaan batimetri juga
sering mengalami pembauran pada warna yang disebabkan oleh variasi pada
albedo substrat, misal perubahan dari pasir putih hingga lamun berwarna gelap
memiliki kesalahan (error) di dalamnya karena nilai dugaan yang dihasilkan
merupakan hasil olahan data yang tercatat oleh sensor satelit. Oleh karena itu
perlu dilakukan suatu pengukuran langsung (ground truth) untuk mengetahui
keakuratan dan ketelitian dari data satelit yang masih dipengaruhi faktor lain
seperti keterbatasan daya tembus radiasi gelombang elektromagnetik.
Pendekatan algoritma merupakan salah satu metode yang digunakan untuk
memecahkan kelemahan-kelemahan pendugaan batimetri dengan data satelit.
Pada penelitian ini kedalaman perairan diestimasi dengan menggunakan algoritma
yang telah dikembangkan oleh Lyzenga (1985). Algoritma yang digunakan
berfungsi untuk menerjemahkan data yang direkam oleh sensor satelit IKONOS.
Namun, algoritma ini memiliki kesulitan untuk memecahkan masalah lain seperti
faktor kekeruhan air, efek atmosfir, dan lainnya.
Penelitian pendugaan batimetri ini dilakukan pada perairan dangkal
Karang Congkak dan Karang Lebar, Kepulauan Seribu, perairan yang cukup
jernih dan ekosistem yang cukup beragam. Informasi dari pendugaan batimetri
juga memudahkan upaya karakterisasi habitat sehingga juga dapat digunakan
untuk memetakan kondisi habitat karang dan pendugaan potensi pemutihan
karang (Siregar dan Selamat, 2010).
1.2. Tujuan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji penggunaan citra
IKONOS Pan-Sharpened dalam memetakan batimetri perairan dangkal Karang
4
2.1. Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal
Data kedalaman merupakan salah satu data dari survei hidrografi yang
biasa digunakan untuk memetakan dasar lautan, hal ini sangat penting dalam
keselamatan navigasi. Pemetaan dasar perairan (batimetri) juga sangat penting
untuk menunjang pengembangan wilayah pantai dan pesisir sehingga dapat
diketahui tempat-tempat berpotensi rawan dan berbahaya.
Pemetaan kedalaman perairan telah banyak dilakukan oleh beberapa
peneliti dengan menggunakan citra satelit. Citra satelit yang umum digunakan
untuk memetakan batimetri perairan terutama perairan dangkal (shallow water),
yaitu citra Landsat TM dan Landsat MSS, SPOT XS, dan Airborne MSS (Green
et al., 2000). Beberapa peneliti pada abad ini menggunakan citra yang beresolusi
tinggi untuk memetakan kedalaman perairan kedalaman, seperti Mishra (2001)
yang menggunakan citra multispektral IKONOS untuk memetakan kedalaman
perairan pulau Roatan, Honduras dan Deng et al. (2008) memetakan Estuaria
Beilun, China dengan menggunakan citra multispektral Quickbird dan Landsat-7
ETM+.
2.1.1. Batimetri
Batimetri menjelaskan tentang pengukuran kedalaman dasar perairan,
seperti danau, sungai, dan laut. Pengetahuan mengenai batimetri berawal dari
pemetaan topografi dasar laut yang telah lama dilakukan oleh beberapa peneliti,
batimetri dengan tujuan tertentu. Peta batimetri biasanya menyajikan tentang
relief suatu dasar perairan dengan garis-garis kontur yang disebut dengan kontur
kedalaman (depth contour atau isobath) dan informasi tambahan berupa informasi
navigasi permukaan.
Batimetri perairan dangkal sangat penting untuk studi morfologi dasar
laut, pengelolaan dan manajemen sumber daya zona pesisir. Selain itu informasi
batimetri juga dapat digunakan dalam pembuatan peta lainnya, seperti pemetaan
kondisi habitat karang. Pengaruh reflektansi dasar perairan sering sekali menjadi
faktor penghambat dalam pemetaan habitat dasar perairan. Oleh karena itu perlu
pengetahuan mengenai nilai reflektansi dasar perairan agar memperoleh model
elevasi digital kedalaman perairan yang memadai, terutama untuk sistem terumbu
karang (Mumby et al., 1998).
Pengukuran kedalaman perairan diawali dengan menggunakan metode
konvensional yang dilakukan dengan menggunakan tali tambang terukur dengan
pemberat yang diturunkan dari kapal ke dalam perairan. Pendekatan konvensional
ini mengandalkan survei lapangan kedalaman air di lokasi penelitian. Namun
pendekatan ini memerlukan tenaga kerja yang banyak dan memerlukan waktu
yang lama. Sejak tahun 1970-an hingga saat ini, teknologi satelit penginderaan
jauh telah banyak digunakan sebagai alternatif untuk memperkecil kerja lapangan
untuk pemetaan batimetri air jernih (Deng, et al. 2008), metode ini memetakan
kedalaman dengan menggunakan sistem foto udara dan penginderaan jarak jauh
Gelombang elektromagnetik yang digunakan untuk memetakan perairan
dangkal berada dalam kisaran spektrum sinar tampak (400-700 nm). Sinar
tampak (merah, hijau, dan biru) yang dipancarkan dari sensor satelit mampu
menembus badan air sehingga dapat penetrasi kedalaman ke dalam beberapa kelas
kedalaman. Pada saat sinar tampak menembus air laut, sinar tersebut akan
mengalami atenuasi akibat interaksi dengan kolom perairan. Intensitas cahaya
akan berkurang (Id
� = �0. −�� ... (1)
) setelah memasuki kedalaman perairan tertentu p, dimana
dapat dirumuskan seperti berikut (Green et al., 2000):
dimana, Io
Koefisien atenuasi akan semakin besar pada kanal yang memiliki panjang
gelombang yang besar, seperti yang dikemukakan pada penelitian Selamat dan
Nababan (2009) yang menggunakan citra satelit SPOT untuk memetakan
batimetri Pulau Pandangan. Dikatakan bahwa kanal dengan panjang gelombang
sinar hijau yang mampu menembus air hingga ke kedalaman maksimum yang
mampu direkam oleh satelit SPOT memiliki koefisien atenuasi terkecil
dibandingkan dengan kanal merah (panjang gelombang sinar merah) dan kanal
inframerah (panjang gelombang inframerah) pada satelit SPOT.
= intensitas awal sebelum memasuki permukaan air dan k = koefisien
atenuasi yang bervariasi tergantung oleh panjang gelombang elektromagnetik
tersebut.
Perairan yang jernih memungkinkan sensor satelit dapat mendeteksi
kedalaman ±30 m (Green et al., 2000). Pada kondisi perairan yang jernih, kanal
perairan, kemudian dipantulkan kembali dan ditangkap oleh sensor. Berbeda
dengan cahaya biru dan hijau, cahaya merah umumnya akan diserap atau
dihamburkan di kolom perairan sehingga tidak mampu menembus lebih jauh lagi
ke dasar perairan. Meaden dan Kapetsky (1991) mengemukakan bahwa tingkat
kecerahan pada setiap kedalaman memiliki nilai yang berbeda. Kontur kedalaman
digambarkan berdasarkan tingkat kedalaman yang sama. Penetrasi energi cahaya
kedalaman perairan dipengaruhi oleh fitoplankton dan kekeruhan air yang
umumnya terdiri dari partikel sedimen tersuspensi dan komponen organik terlarut
(Gambar 1). Komponen-komponen tersebut akan menghamburkan dan
mengabsorbsi cahaya yang masuk ke dalam air sehingga mengakibatkan atenuasi
semakin besar dan perubahan sifat optik air laut.
Sumber: Biertwith, et al. (1993).
Gambar 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya jumlah gelombang cahaya yang diterima sensor setelah melalui massa air (dimana, E0 =
pencahayaan sinar matahari di atas atmosfir; TΦ, Tθ = Transmitansi atmosfir; ED = hamburan cahaya dari langit; RWS = pantulan dari permukaan air; Rw = pantulan dari molekul-molekul dan
partikel-partikel di kolom air; RB = pantulan dari subtrat dasar; RE = pantulan
efektif dari badan air (tidak termasuk RWS); LP = hambur balik di atmosfir; LT = radiasi dari target yang ditransmisikan oleh atmosfir; LS
E0
= radiasi sinar tampak yang diterima oleh sensor)
metode Benny dan Dawson, metode Jupp, dan metode Lyzenga (Green et al.,
2000). Metode-metode pemetaan batimetri ini umumnya mengasumsikan 3 hal,
yaitu (i) atenuasi cahaya merupakan fungsi eksponensial untuk kedalaman, (ii)
kualitas air tidak tampak berbeda pada citra, (iii) albedo dari substrat adalah
konstan. Biasanya metode satu dengan yang lain merupakan metode yang
dikembangkan dari metode sebelumnya, seperti metode Jupp merupakan
pengembangan dari metode Lyzenga.
Metode yang digunakan untuk menduga batimetri melalui citra juga dapat
menimbulkan permasalahan apabila terjadi variasi pemantulan yang signifikan
pada substrat dasar sehingga perlu dilakukan validasi data kedalaman yang
biasanya menggunakan metode survei lapang. Oleh karena itu dibutuhkan suatu
uji akurasi atau validasi data yang berfungsi untuk menguji ketelitian dari data
atau informasi yang dihasilkan dari pengolahan citra. Pada umumnya uji akurasi
ini dilakukan untuk membandingkan antara kedua data atau informasi, yaitu data
dari hasil analisis penginderaan jauh dan data dari survei lapang (ground truth),
dimana data dari survei lapang berisi sumber informasi atau data yang lebih akurat
dan detail. Hasil dari uji akurasi ini biasanya disusun dalam bentuk matriks
kesalahan yang juga dinamakan dengan matriks konfusi. Selain
mengindentifikasi kesalahan dalam suatu kategori, matriks konfusi juga dapat
mengindentifikasi kesalahan pada klasifikasi antar kategori (Siregar et al., 2008).
Kedalaman perairan yang terukur, baik secara in situ maupun melalui citra
satelit, terukur mulai dari bawah permukaan air. Pengukuran kedalaman secara in
GPS sounder atau Map souder. Pada saat pengukuran dapat terjadi suatu
kesalahan yang dapat diindikasikan dari presisi dan akurasinya. Presisi mengacu
dari ulangan bacaan alat tersebut, sedangkan akurasi mengacu pada pendekatan
pengukuran terhadap angka sebenarnya (Chapra dab Canale dalam Siregar et al.,
2008). Hubungan antara nilai aproksimasi dan nilai sebenarnya dirumuskan
sebagai berikut:
Xs = Xa
dimana, Xs = nilai sebenarnya
+ ΔX ... (2)
Xa = nilai aproksimasi (pendekatan)
ΔX = kesalahan (bias)
Sumber: Green et al. (2000).
Gambar 2. Konversi kedalaman ke kedalaman bawah datum. Zt = kedalaman air pada saat waktu t (baik di lapangan, maupun pada saat pengukuran melaui penginderaan jauh), ht = ketinggian pasut di atas datum pada
saat waktu t. Kedalaman dasar perairan dihitung mulai dari bawah datum, yaitu Zt - ht
Koreksi data kedalaman perlu dilakukan sehubungan dengan adanya
beberapa faktor yang mempengaruhi pengukuran kedalaman tersebut, seperti
tinggi pasang surut (pasut) pada waktu pengukuran. Ketinggian pasang surut
dalam satu hari dapat berbeda-beda sehingga hal ini sangat mempengaruhi
Ketinggian air pada waktu t
datum
ht
Z Zt
pada pembuatan peta batimetri, maka perlu dilakukan koreksi data kedalaman
terhadap data pasang surut (Gambar 2).
Nilai kedalaman dasar perairan yang diukur adalah nilai kedalaman
sebenarnya ditambah dengan nilai pasut. Oleh karena itu penting untuk mencatat
waktu pada saat pengukuran kedalaman agar datum yang diperoleh dapat
dikoreksi dengan benar. Perhitungan ketinggian pasang surut di atas datum
(Gambar 2) pada saat survei lapang umumnya dilakukan secara langsung dengan
menggunakan alat perum seperti GPS Sounder. Namun saat ini ketinggian pasang
surut juga dapat diukur melalui alat perekam kedalaman otomatis seperti GPS
Sounder.
2.2. Satelit IKONOS
IKONOS merupakan salah satu satelit observasi bumi dan satelit
komersial pertama dengan resolusi spasial dan radiometrik yang tinggi (Grodecki
dan Dial, 2001). Satelit IKONOS diluncurkan pertama kali pada tanggal 24
September 1999 di Vandenberg Air Force Base, California dan telah
mengirimkan data komersial sejak tahun 2000. IKONOS berasal dari bahasa
Yunani, yaitu Eye Koh Nos yang berarti image atau citra.
Satelit IKONOS mengindera dan merekam citra pankromatik dengan
resolusi spasial 1 meter dan multispektral 4 meter dalam 4 kanal. Resolusi
radiometrik pada citra IKONOS sebesar 11 bit per pixel yang berarti adanya
perluasan pada nilai tingkatan warna sehingga pengguna (user) bisa melihat lebih
waktu ke waktu, citra IKONOS diskala ulang hingga 8 bit dengan tujuan untuk
memperkecil ukuran dari file citra tersebut (GeoEye, 2010).
Satelit ini dirancang untuk beroperasi selama 10 tahun yang mengorbit di
ketinggian 681 km dari permukaan laut, dengan orbit sinkron matahari (
sun-synchronous) dengan sudut inklinasi 98,1º (Pike dan Brown dalam Hildanus,
2002). Pada lintang 40º satelit IKONOS memiliki waktu revisit selama 2,9 hari
pada 1 meter Ground Sampling Distance (GSD) dan 1,5 hari pada 1,5 GSD.
Waktu revisit akan lebih sedikit pada lintang yang lebih tinggi dan akan lebih
panjang untuk bujur yang mendekati ekuator (Grodecki dan Dial, 2001).
Tabel 1. Spesifikasi Satelit IKONOS.
(Sumber : GeoEye, 2010)
Seperti yang terlihat pada Tabel 1 satelit IKONOS memiliki 3 kanal
dengan panjang gelombang sinar tampak (merah, hijau, dan biru) dan 1 kanal
pankromatik yang berguna untuk mengukur panjang gelombang yang
menampilkan karakteristik spektral dari suatu obyek di bumi yang terlihat oleh
mata. Kanal inframerah dekat yang mengukur reflektansi spektrum
Imaging Mode Pankromatik Multispektral Pan-Sharpened
Resolusi Spasial 0.82 m 3.2 m 1 m Resolusi Spektral Band
Blue 450-950 nm 450-520 nm
Green - 520-600 nm
Red - 625-695 nm
Near IR - 760-900 nm
Lebar Sapuan 11 x 11 km Off-Nadir Imaging ±60°
Resolusi Radiometrik 11 bit per pixel Masa pengoperasian ±10 Tahun
Resolusi Temporal 3-5 hari (off-nadir) dan 144 hari (true-nadir) Ketinggian (altitude) 681 km
mengklasifikasikan vegetasi (Hildanus, 2002).
Produk citra IKONOS yang dikeluarkan oleh perusahaan GeoEye ini
menyediakan standar pengkoreksian citra IKONOS. Citra IKONOS yang
disediakan oleh GeoEye umumnya telah terkoreksi radiometrik dan geometrik.
Citra dikoreksi radiometrik dengan melakukan rescale pada data mentah hasil
transmisi dari satelit. Selama tidak ada permintaan perubahan dynamic range
adjusment dalam proses produksi, akurasi radiometrik yang asli akan tetap
dipertahankan dan piksel dalam citra tetap direkam dalam 11 bit. Koreksi
geometrik biasa digunakan untuk menghilangkan distorsi pada citra (Wang et al.,
2004).
2.2.1. Citra Pan-Sharpened IKONOS
Penggabungan citra (image fusion) dilakukan dengan menggabungkan
beberapa citra (multiple images) untuk meningkatkan kualitas citra. Salah satu
teknik penggabungan ini adalah pan-sharpening. Teknik pan-sharpening
menggantikan estimasi informasi kecerahan yang berasal dari kanal-kanal citra
multispektral (MS) beresolusi spasial rendah dengan nilai-nilai yang ada pada
resolusi spasial tinggi kanal pankromatik (PAN). Hal ini dapat dilihat dari
ilustrasi Gambar 3 penggabungan 1 piksel MS dengan 16 piksel PAN sehingga
Gambar 3. (a) piksel asli MS, (b) piksel PAN, dan (c) piksel pan-sharpened MS MS (Hanaizumi, et al., 2008)
Salah satu citra pan-sharpened adalah Citra IKONOS Pan-sharpened yang
menggabungkan citra (image fusion) resolusi 1 meter pankromatik (black/white
image) dan resolusi 4 meter multispektral (colour image) sehingga tampilan
ekstraksi fitur tampak lebih detail dalam warna dan kejernihannya karena
menyajikan true-color dan false-color dalam resolusi 1 meter. Ilustrasi
penampakan detail citra hasil penggabungan (citra pan-sharpened) antara citra
pankromatik dan multispektral dapat dilihat pada Gambar 4.
14
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap, diantaranya adalah
pengumpulan data survei lapang, pengumpulan data sekunder (pendukung), serta
pengolahan citra dan analisis data. Survei lapang pengukuran kedalaman perairan
dilakukan pada tanggal 4, 5, dan 6 Juni 2010, pengumpulan data sekunder (data
pasang surut) dilakukan pada bulan Oktober-November 2010, dan tahap akhir
dilakukan pengolahan citra dan analisis data akhir pada bulan Desember
2010-Januari 2011. Letak geografis lokasi pengambilan data lapang di perairan Karang
Congkak dan Karang Lebar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta terletak pada
koordinat 106°33’ BT -106°38’ BT dan 5°41’ LS -5°46’ LS (Gambar 5).
3.2. Alat dan Bahan
Pembuatan peta batimetri ini menggunakan data primer dan data sekunder.
Data primer yang digunakan berupa data Satelit IKONOS yang telah digabung
menjadi Citra IKONOS Pan-Sharpened dengan resolusi spasial 1 meter yang
sudah terkoreksi geometrik dan radiometrik (Lampiran 1). Citra IKONOS
Pan-Sharpened ini diakuisisi pada tanggal 8 Juli 2008 dengan koordinat liputan citra
5°40’39” LS – 5°46’15” LS (669998,02 mT – 679749,15 mT) dan 106°32’7” BT
– 106°37’23” BT (9361898,89 mU – 9372219,68 mU). Selain data satelit, data
kedalaman yang diambil pada saat survei lapang juga digunakan sebagai data
15
Pada saat survei lapang, data pasang surut diukur untuk digunakan sebagai
koreksi kedalaman perairan. Selain itu data sekunder juga digunakan pada
penelitian ini, data sekunder yang digunakan adalah data ramalan pasang surut
perairan Kepulauan Seribu tahun 2008 dan 2010 yang diperoleh dari Dinas Hidro
Oseanografi TNI-AL (DISHIDROS TNI-AL) dengan titik stasiun terdekat yang
digunakan adalah stasiun Tanjung Priok.
Alat yang digunakan dalam penelitian terbagi menjadi dua kategori, yaitu
perangkat lunak dan perangkat keras. Perangkat lunak yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Microsoft Excel, Idrisi Andes, dan ArcGIS 9.3.
Perangkat-perangkat lunak tersebut digunakan untuk pengolahan citra (Idrisi dan ArcGIS)
dan analisis data (M. Excel). Perangkat keras yang digunakan adalah sebagai
berikut.
1. Personal Computer (PC) untuk analisis data.
2. Printer untuk mencetak dokumen.
3. Global Positioning System (GPS) Map 420 Si untuk menentukan posisi dan
pengukuran kedalaman perairan pada titik-titik pengamatan.
4. Papan Pasang Surut (Pasut) yang digunakan untuk mengukur tinggi rendah
muka air pada saat penelitian dilakukan.
3.3. Metode Perolehan Data
3.3.1. Kedalaman
Pengambilan data lapang dilakukan dengan pengukuran secara langsung
(ground check) pada lokasi penelitian. Parameter yang diambil pada survei
merupakan perairan dangkal, alat transportasi yang digunakan pada saat
pengukuran berupa perahu kecil bertenaga motor. Pada perahu dipasang alat
instrumentasi GPS Sounder pada bagian salah satu sisi perahu. Sebelum
dilakukan perekaman data GPSSounder diatur ke pengaturan merekam informasi,
seperti kedalaman, secara otomatis selama suvey lapang berlangsung. Data yang
tersimpan dalam GPS Sounder dalam format GDB file kemudian ditransfer ke
dalam PC untuk disimpan dalam format text (*.txt) dan diolah.
Pengambilan data kedalaman pada Karang Congkak dilakukan sekitar
pukul 09.00-15.00, dan Karang Lebar dilakukan sekitar pukul 07.40-12.00 dan
12.30-15.30 WIB. Metode pengambilan data dilakukan dengan membuat suatu
jalur berbentuk zig-zag pada bagian dalam tubir gobah baik Karang Congkak
maupun Karang Lebar, jalur tersebut merupakan jalur yang dapat dilalui oleh
perahu kecil yang biasa digunakan oleh nelayan.
3.3.2. Pasang Surut
Karena waktu pengambilan data lapang dengan waktu perekaman citra
berbeda, maka ada kemungkinan perbedaan kedalaman pada wilayah kajian yang
diteliti. Oleh karena itu perlu dilakukan koreksi kedalaman perairan dengan
melakukan kalibrasi data kedalaman lapang terhadap pasang surut. Koreksi
kedalaman perairan ini didasari oleh kondisi muka air laut yang bersifat dinamis
sehingga adanya perbedaan pasang surut dari waktu ke waktu dapat
mempengaruhi perbedaan data kedalaman yang terukur.
Koreksi kedalaman perairan dilakukan dengan mengkalibrasi data
kedalaman lapang terhadap data kedalaman perairan pada waktu perekaman citra.
survei lapang, data ramalan pasang surut pada waktu pengambilan data kedalaman
lapang dan data ramalan pasang surut pada waktu perekaman citra.
Pengambilan data pasang surut dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan
menggunakan papan pasut dan GPS Sounder yang merekam data secara otomatis
pada saat melakukan survei lapang. Perolehan data dengan menggunakan papan
pasang surut biasanya diletakkan pada daerah yang terendam dengan air laut di
salah satu dermaga Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Kemudian data diperoleh
dengan melakukan pengamatan terhadap tinggi rendahnya muka air laut yang
terkena papan pasut setiap 30 menit.
Karena data hasil pengamatan lapang dengan menggunakan papan pasang
surut tidak dilakukan sesuai dengan waktu survei lapang yang dilakukan, maka
data tidak dapat digunakan. Data pasang surut dari pemeruman GPS Sounder
digunakan untuk melihat pola pasang surut selama 2 hari pengamatan, namun
untuk pengoreksian kedalaman perairan terhadap pasang surut menggunakan data
ramalan pasang surut DISHIDROS TNI-AL bulan Juni 2010 dari stasiun terdekat,
yaitu Tanjung Priok. Karena data ramalan pasang surut dengan data pengukuran
di lapang tidak berbeda jauh dan data ramalan merupakan data 30 hari sehingga
pola pasang surut dapat terlihat lebih jelas, maka data ini cukup baik untuk
digunakan pada pengoreksian kedalaman perairan pada saat survei lapang.
Koreksi pasang surut dilakukan dengan cara melakukan kalibrasi data
pasang surut pada waktu pengambilan data lapang terhadap data pasang surut
pada saat perekaman citra, yaitu pada pukul 10.30 WIB. Hal ini dilakukan agar
informasi dari data kedalaman lapang sama dengan informasi yang diperoleh data
3.4. Metode Pengolahan Citra
Pemrosesan citra dilakukan secara bertahap, yaitu pengolahan citra awal
dan pengolahan citra lanjutan. Pemrosesan citra awal meliputi Pemulihan citra
(image restoration). Pemulihan citra terdiri dari koreksi geometrik dan
radiometrik, dalam penelitian ini citra yang digunakan telah mengalami koreksi
geometrik dan radiometrik. Oleh karena itu, penelitian ini memfokuskan pada
pengolahan citra lanjutan yang meliputi tahap pengekstraksian citra untuk
memperoleh nilai reflektansi atau digital number (DN) citra dengan menggunakan
algoritma Lyzenga yang telah dikembangkan.
Pemotongan citra IKONOS Pan-Sharpened disesuaikan dengan lokasi
penelitian yang diteliti, yaitu perairan dangkal Karang Lebar. Potongan citra ini
digunakan untuk mengekstrak nilai DN pada area kajian (training area) yang
diteliti. Masking citra dilakukan untuk memisahkan obyek laut dan obyek yang
bukan laut, dimana obyek yang bukan laut diberi nilai nol. Masking citra ini perlu
dilakukan sebelum citra digunakan untuk pengolahan lebih lanjut, hal ini
bertujuan untuk memfokuskan area kajian ke daerah perairan pada saat
pengolahan data citra.
Data yang diperoleh pada saat ground truth/check disimpan ke dalam
bentuk file berekstensi GDB, kemudian dikonversi ke format text (*.txt). Data
kedalaman ini direduksi dengan data pasang surut (pasut) dan data koreksi lainnya
sehingga diperoleh nilai kedalaman tanpa dinamika gelombang air laut (Selamat
dan Nababan, 2009).
Pada tahap ekstraksi citra dilakukan analisis data dengan membandingkan
kanal satelit yang berupa nilai digital (digital number) yang disajikan dalam
bentuk grafik Cartesian. Ketiga kanal citra dianalisis untuk melihat perbandingan
antara ketiga kanal dan menentukan kanal citra yang paling baik untuk digunakan
pada proses pemetaan batimetri (Gambar 6).
Digital Number (DN) ketiga kanal citra IKONOS Pan-Sharpened hasil
ekstraksi dari citra yang merupakan nilai pantulan radiansi (reflektansi) dengan
kisaran panjang gelombang sinar tampak (kanal biru, hijau dan merah) dianalisis
relasinya terhadap nilai kedalaman aktual. Agar dapat mengetahui kekuatan relasi
dari kedua variabel tersebut, maka dilakukan uji statistik terhadap persamaan
regresi linier yang diperoleh dari data hasil olahan ketiga kanal citra. Nilai
koefisien korelasi linier (r) dan determinansi (R2) akan diperoleh dari hasil uji
regresi linier masing-masing persamaan regresi.
3.5. Pemetaan Batimetri
Informasi yang diperoleh dari hasil pemeruman adalah data kedalaman dan
data pasang surut. Data kedalaman ini akan digunakan untuk menentukan model
dugaan terbaik dari ketiga kanal Citra IKONOS Pan-Sharpened dalam
mengestimasi kedalaman perairan di Karang Congkak dan Karang Lebar. Data
pasang surut digunakan untuk pengkoreksian data kedalaman itu sendiri seperti
21
Koreksi kedalaman lapang terhadap pasang surut (koreksi pasang surut) 1. Kedalaman (Z lapang)
2. Pasang surut
1. Pasang surut 2008 (waktu perekaman citra) 2. Pasang surut 2010 (waktu survei)
Kedalaman terkoreksi Cropping citra
Tracking area
Nilai reflektansi gelombang berupa digital number (DN)
Masking citra awal
Penentuan kanal dengan model regresi terbaik
Kanal terpilih (model regresi terbaik)
Peta batimetri perairan dangkal dengan model nilai digital asli
Pengolahan citra (Perhitungan nilai X) dimana, X = ln (Vi-VS).
Uji Akurasi (RMS Error)
Masking citra akhir
Pada penelitian ini, kedalaman suatu perairan diestimasi dengan
menggunakan algoritma yang dikembangkan oleh Lyzenga (1985). Transformasi
algoritma Lyzenga (1985) ini mampu memberikan informasi kedalaman pada
suatu citra satelit, namun untuk mentransformasikannya algoritma ini hanya
membutuhkan 1 kanal terbaik dari citra tersebut agar mampu membedakan antar
obyek dalam citra secara nyata. Persamaan algoritma Lyzenga (1985) secara
umum dinyatakan sebagai berikut (Wouthuyzen, 2001):
(
V-VS)
k*(
VO)
V = Sinyal radians yang diamati pada citra (DN),
VS = Bagian sinyal hasil pembaruan radiasi di atmosfir, kolom air, dan permukaan laut,
k = Koefisien attenuasi , dan
VO = Faktor sensitifitas yang meliputi kontribusi irradians matahari di permukaan air, pantulan dasar perairan, transmisi atmosfir dan pengaruh dari sensor itu sendiri.
Fungsi linier kedalaman (Z) dapat diperoleh dengan mengasumsikan nilai
radians (V) pada Persamaan 3 bervariasi terhadap kedalaman perairan. Nilai VS
Konstanta
diduga dengan mengasumsikan bahwa perairan dalam (>40 m) nilai radians pada
panjang gelombang biru telah terserap habis oleh kolom air dalam tersebut,
sehingga memiliki DN = 0 dan jika DN bernilai lebih dari 0, maka nilai tersebut
merupakan pengaruh dari faktor lain seperti pembauran dari atmosfir
Setelah kedua data dari olahan citra IKONOS dan survei lapang diperoleh,
dilakukan estimasi akurasi citra satelit untuk mengetahui bahwa data yang
diperoleh dari citra satelit baik untuk digunakan dalam pemetaan batimetri.
Estimasi akurasi dilakukan dengan membandingkan data citra dengan data survei
lapang sebagai validasi data kedalaman. Analisis regresi yang dilakukan pada
setiap model regresi linier menunjukkan seberapa baik model tersebut dapat
digunakan untuk memetakan kedalaman perairan dengan melihat nilai koefisien
korealasi dan determinasi dari hasil analisis tersebut.
Koefisien korelasi linier ini digunakan untuk mengukur kekuatan
hubungan linier antara kedua variabel dalam persamaan regresi linier yang
dianalisis (Walpole, 1997). Rentang nilai koefisien korelasi linier ini adalah -1
hingga 1(-1 ≤r≤ 1). Koefisien korelasi dapat dikatakan memiliki hubungan linier
yang baik bila mendekati -1 atau 1. Berikut adalah formula dari koefisien korelasi
(Walpole, 1997):
dimana, r = koefisien korelasi
x = nilai peubah bebas ke-i (nilai digital masing-masing kanal)
y = nilai peubah tak bebas ke-i (nilai kedalaman aktual)
n = jumlah pasangan data
Koefisien determinasi menyatakan proporsi variasi variabel dependen
yang dapat dijelaskan oleh variasi variabel independen (Walpole, 1997). Nilai
besaran koefisien determinasi merupakan hasil kuadrat dari koefisien korelasi,
sehingga nilai koefisien ini selalu bernilai positif antara nol dan satu (0≤R2≤1).
Nilai koefisien determinasi akan lebih baik apabila nilai tersebut semakin
dijelaskan oleh variasi variabel dependen. Dari hasil uji koefisien determinasi ini
dapat diketahui persamaan regresi yang baik untuk mengestimasi kedalaman
perairan dangkal pada daerah kajian.
Residual merupakan perbedaan antara nilai in situ dan nilai hasil prediksi
dari suatu pendugaan. Residual ini merepresentasikan porsi dari validasi data
yang tidak dapat dijelaskan dari model (Mathworks, 2011). Uji analisis residual
digunakan untuk mengetahui seberapa besar ketepatan data hasil estimasi terhadap
data in situ yang dibatasi oleh suatu selang kepercayaan antara kedua parameter
tersebut.
Kalkulasi nilai akurasi untuk estimasi data satelit menggunakan formula
Root Mean Square error (RMSE) yang dinyatakan oleh Walpole (1997) untuk
menunjukkan besarnya galat antara nilai kedalaman aktual dan nilai kedalaman
estimasi. Persamaan untuk menentukan nilai RMSE dapat dinyatakan sebagai
berikut.
Selain itu, untuk mengindentifikasi kesalahan dan ketelitian dalam suatu
klasifikasi citra yang telah dikelaskan ke dalam beberapa kelas kedalaman juga
dilakukan uji akurasi dengan menggunakan matriks kesalahan atau matriks
konfusi (confusion matrix). Evaluasi akurasi ini menentukan seberapa besar
persentase ketelitian antara nilai kedalaman lapang dan nilai kedalaman duga yang
telah dibentuk menjadi kelas-kelas kedalaman baru dengan selang kelas tertentu. = nilai interpolator data; N = total number dari
Nilai-nilai yang dihasilkan dari matriks kesalahan adalah producer’s accuracy,
user’s accuracy, dan overall accuracy. Berikut adalah formula yang digunakan
untuk ke empat nilai di atas.
x100%
dimana, N = jumlah piksel setiap kelas pada training area
r = jumlah kelas
Xi+ = ∑ Xij (jumlah kolom pada baris ke-i) X+j = ∑ Xij (jumlah kolom pada baris ke-j)
Evaluasi akurasi dilakukan pada seluruh data dengan mengkelaskan data
ke dalam beberapa kelas. Penentuan selang kelas kedalaman dilakukan
berdasarkan histogram hasil estimasi dari citra (Lampiran 2). Pengkelasan ini
dilakukan dengan mengukur nilai-nilai pada tiap puncak di histogram dan
menggunakan nilai-nilai tersebut sebagai acuan untuk memetakan kedalaman
estimasi dan kedalaman aktual ke rentang kelas baru. Kemudian data kedalaman
hasil estimasi dari algroritma dievaluasi terhadap data kedalaman aktual. Hasil
akurasi dari perbandingan kedua data kedalaman tersebut disajikan seperti pada
Tabel 2. Matriks kesalahan (confusion matrix)
Data Acuan Training Area
Diklasifikasikan Ke Kelas
Total Baris Xk+
User Accuracy
(Xkk/Xk+)
A B ... D
A Xii ... ... ... ... ... B ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... D ... ... ... ...
Total Kolom X+k N
Producer Accuracy
Xkk/X k
27
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pemetaan Batimetri
4.1.1. Pemilihan Model Dugaan Dengan Nilai Digital Asli
Citra hasil transformasi pada Gambar 7 menunjukkan nilai reflektansi hasil transformasi ln (V-VS
Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), kemampuan penetrasi yang baik terletak pada panjang gelombang 400-600 nm. Sinar dengan panjang gelombang tersebut merupakan yang terbaik dalam mengintepretasikan kedalaman perairan. Kanal yang tergolong mampu penetrasi kedalaman dengan baik adalah kanal dengan panjang gelombang sinar hijau dan biru. Secara visual pada Gambar 7 terlihat bahwa hasil tranformasi dari nilai ln(V-V
), dimana rentang nilai pada masing-masing kanal berkisar antara nol hingga enam. Nilai mendekati nol atau daerah yang gelap pada citra hasil transformasi diasumsikan sebagai suatu perairan yang dalam, namun daerah bernilai nol juga dapat merepresentasikan darat yang telah mengalami masking. Secara visual terlihat pada gambar semakin tinggi nilai digital, semakin dangkal kedalaman perairan yang juga dapat dilihat korelasi antara keduanya pada grafik di Gambar 8. Hal ini juga dinyatakan oleh Ibrahim dan Cracknell (1990) dalam Wouthuyzen (2001) bahwa umumnya pada suatu titik pengamatan yang bernilai digital rendah akan memiliki nilai kedalaman yang tinggi dan begitu pun sebaliknya.
S) pada kanal hijau dan kanal biru
baik. Namun hal ini belum dapat dipastikan kedua kanal tersebut adalah kanal dengan model regresi linier terbaik.
Gambar 7. Citra IKONOS Pan-Sharpened hasil transformasi nilai ln(V-VS
Hasil transformasi dari nilai ln(V-V
) pada algoritma Lyzenga di perairan dangkal Karang Lebar (Kiri merupakan citra awal (sebelum ditransformasi), kanan merupakan citra setelah ditransformasi)
S) pada Gambar 7 diplotkan terhadap
nilai kedalaman aktual ke dalam suatu grafik sehingga menghasilkan suatu model regresi linier seperti yang terlihat pada Gambar 8. Pada Gambar 8 terlihat bahwa dalam satu kisaran nilai ln(V-VS
(a) Kanal Merah
) yang sama terdapat banyak sebaran nilai (b) Kanal Hijau
kedalaman sehingga perlu dilakukan analisis regresi linier untuk mengetahui model yang cukup memadai dari ketiga model yang ada.
Tabel 3. Korelasi antara nilai kedalaman lapang dengan nilai digital transformasi citra IKONOS.
Jenis Kanal Model Regresi Linier Koefisien Korelasi (r)
Koefisien Determinasi (R2)
Merah y = 1,918x – 8,203 0,73 0,54 Hijau y = 3,602x – 16,867 0,88 0,78 Biru y = 3,666x – 17,040 0,80 0,64
Nilai korelasi tertinggi ditunjukkan oleh model regresi linier kanal hijau dengan nilai sebesar 0,881. Nilai korelasi model regresi kanal biru adalah nilai korelasi tertinggi kedua setelah nilai korelasi model regresi kanal hijau dengan nilai sebesar 0,798. Model regresi kanal merah memiliki nilai korelasi terendah diantara ketiga model yang dihasilkan dengan nilai sebesar 0,734.
Pada Tabel 3 diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) untuk kanal merah dengan nilai sebesar 0,538 menyatakan bahwa 53,8% diantara keragaman dalam nilai-nilai kedalaman dapat dijelaskan oleh hubungan liniernya dengan
transformasi nilai digital ln(V-VS). Nilai R2 kanal hijau menyatakan bahwa 77,5% keragaman dalam nilai-nilai kedalaman mampu dijelaskan oleh hubungan
liniernya dengan transformasi nilai digital ln(V-VS). Dan nilai R2 pada kanal biru menyatakan 63,7% keragaman dalam nilai-nilai kedalaman dapat dijelaskan oleh hubungan liniernya dengan transformasi nilai digital ln(V-VS
Nilai korelasi yang baik adalah nilai korelasi yang mendekati 1 atau -1 (Walpole, 1997), pada kasus ini kanal hijau adalah kanal dengan nilai korelasi yang paling baik dibandingkan dengan nilai korelasi kanal biru dan merah. Selain itu dinyatakan juga, nilai R
).
2
memiliki nilai R2 yang lebih baik karena presentase yang mendekati 100%. Berdasarkan rangkaian uji statistik yang dilakukan dengan melihat nilai r dan R2
�= 3,602∗ln(� − � �����ℎ����)−16,86 ... (10)
4.1.2. Peta batimetri
Biertwith et al. (1993) mengemukakan masalah utama dalam memetakan batimetri perairan dangkal adalah ketika menganalisis penginderaan jauh
diperoleh efek yang kontras di kedalaman air keruh dan sifat natural dari substrat dasar perairan mengalami distorsi. Beberapa faktor seperti penghamburan cahaya oleh fitoplankton dan kekeruhan air laut (penghamburan oleh materi sedimen tersuspensi dan komponen organik terlarut), penyerapan (absorption) dan penghamburan (scattering) oleh molekul-molekul air dalam kolom air dapat mempengaruhi intesitas gelombang sinar tampak yang ditangkap oleh sensor.
Pada peneltitian ini peta batimetri dibuat berdasarkan model regresi 10 yang merupakan hasil dari tranformasi algoritma Lyzenga yang telah
dikembangkan. Nilai hasil dari transformasi algoritma tersebut merupakan nilai kedalaman estimasi.
yang dihasilkan dan pertimbangan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kanal hijau Citra IKONOS Pan-sharpened adalah kanal yang terbaik untuk memetakan kedalaman perairan Karang Congkak dan Karang Lebar. Hasil
transformasi algoritma Lyzenga dengan model regresi linier yang terbaik dapat dinyatakan sebagai berikut:
hingga kedalaman sekitar 16 meter. Namun model regresi yang digunakan untuk membuat peta batimetri perairan dangkal masih dapat digunakan karena nilai kedalaman aktual yang digunakan saat pengolahan analisis regresi tidak melebihi 16 meter (Gambar 8).
Kelas kedalaman terbagi menjadi 8 kelas (Lampiran 2a). Pada Gambar 9 menunjukkan detail kelas kedalaman perairan dangkal dengan rentang nilai dari 0 hingga 8 m. Kelas terakhir merupakan kelas kedalaman dengan selang kelas yang tak terhingga. Namun karena wilayah kajian yang digunakan adalah perairan dangkal, maka kelas terakhir tersebut tidak diikutsertakan. Kelas kedalaman perairan dangkal ini kurang sesuai digunakan untuk acuan pada pemetaan terumbu karang karena adanya selang kelas kedalaman yang terlalu kecil (kelas ≤ 0,4 m dan kelas 0,5 hingga 0,9 m) dan total akurasi yang diperoleh kurang memadai seperti yang dipaparkan pada subbab 4.1.3 (Tabel 4). Oleh karena itu dilakukan pengkelasan ulang (reclass) sehingga menghasilkan 5 kelas baru (Lampiran 2b).
Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Siregar et al. (2008) dan observasi visual dapat dinyatakan bahwa substrat pasir pada Karang Congkak dan Karang Lebar lebih mendominasi seluruh wilayah kajian, hal ini pun terlihat pada Gambar 10 yang ditampilkan dengan warna putih dengan kedalaman kurang dari 1,3 meter pada Karang Congkak dan Karang Lebar. Namun warna putih juga dapat disertai informasi lain seperti adanya buih (ombak) yang tercipta pada saat air laut menghempas tubir yang didominasi oleh habitat karang hidup. Warna hijau muda dengan kedalaman antara 1,4-1,9 meter didominasi dengan substrat lamun, hal ini juga terlihat pada saat survei lapang bahwa lamun banyak
33
34
4.1.3. Matriks Kesalahan
Berdasarkan hasil perhitungan user accuracy dan producer accuracy yang diperoleh tidak semua kelas kedalaman terwakili dengan baik. Pada selang kelas kedalaman 2-4,3 m diperoleh user accuracy dengan nilai sebesar 54% dan
producer accuracy sebesar 60%, sehingga dapat dikatakan model regresi yang
digunakan untuk mengestimasi kedalaman memadai pada selang kedalaman tersebut. Selain itu, pada kelas kedalaman >8 m diperoleh user accuracy sebesar 72% yang merupakan akurasi yang cukup tinggi. Namun belum dapat dikatakan pada kelas kedalaman tersebut kedalaman aktual dapat terwakili dengan baik oleh kedalaman estimasi karena selang kedalaman tersebut berada pada kelas
kedalaman akhir dengan batasan yang tak tentu.
Tabel 4. Matriks kesalahan kelas nilai kedalaman aktual dan kedalaman estimasi.
Aktual
bahwa substrat dasar perairan dianggap sama sehingga menurunkan nilai korelasi dan mempengaruhi nilasi estimasi hasil dari model yang terpilih.
Tabel 5. Matriks kesalahan kelas kedalaman aktual dan kedalaman estimasi (reclass).
Aktual
Estimasi 0-1.3 1,4-1,9 2-4,3 4.4-8 >8 Total baris User accuracy
0-1.3 145 19 0 0 0 164 0.88
1,4-1,9 43 45 7 0 0 95 0.47
2-4,3 30 40 84 3 0 157 0.54
4,4-8 7 6 48 59 76 196 0.30
>8 0 0 5 18 84 107 0.79
Total kolom 225 110 144 80 160 719
Producer accuracy 0.64 0.41 0.58 0.74 0.53 0.58
Karena nilai user accuracy dan producer accuracy pada beberapa kelas kurang dari 50%, maka pada selang kelas kedalaman dilakukan pengkelasan baru. Pada pengkelasan baru ini menghasilkan 5 kelas kedalaman yang baru dengan total akurasi sebesar 58%. Selang kelas kedalaman 0 hingga 1,3 m, kelas 2 hingga 4,3 m, dan kelas 4,4 hingga 8 m citra mampu mewakili kedalaman aktual karena producer accuracy yang melebihi 50%. Pada selang kelas kedalaman 1,4 hingga 1,9 m memiliki user accuracy dan producer accuracy yang rendah dengan nilai 47% dan 41%. Hal ini dapat disebabkan oleh tingkat kecerahan perairan yang dapat mempengaruhi nilai reflektansi yang tercatat oleh sensor, hal ini juga dinyatakan dalam penelitian Vahtmäe dan Kutser (2007) bahwa absorpsi cahaya oleh coloured dissolved organic matter (CDOM) dan penghamburan cahaya oleh partikel tersuspensi dapat mempengaruhi pengukuran kedalaman oleh instrumen penginderaan jauh.
akurasi yang lebih besar. Namun dalam hal ini tidak dilakukan karena persantese total akurasi yang diperoleh dari kelima kelas tersebut lebih dari 50% dan hal ini dapat dikatakan cukup memadai.
4.2. Galat (Error) Model Nilai Digital Asli dengan Algoritma Lyzenga
Grafik antara kedalaman aktual dan kedalaman estimasi pada Gambar 10 menunjukkan bias yang tinggi pada kedalaman estimasi lebih dari 8 meter, hal ini dapat dilihat dari banyak nilai kedalaman yang mengalami penyimpangan. Model dugaan yang digunakan hanya mampu mengestimasi kedalaman yang mendekati kedalaman aktual hingga nilai kedalaman ± 16 m, hal ini juga dapat terlihat pada grafik Gambar 11. Walaupun demikian, kedalaman estimasi perairan dangkal dalam Gobah Karang Congkak dan Karang Lebar dapat terwakili dengan baik kisaran nilai kedalaman 0 hingga 6 m.
Gambar 11. Grafik perbandingan antara nilai kedalaman estimasi (estimated depth) terhadap nilai kedalaman aktual (actual depth)
Berdasarkan grafik Gambar 11 yang membandingkan data kedalaman aktual dan data kedalaman estimasi hasil transformasi algoritma Lyzenga yang
dikembangkan, menunjukkan nilai r sebesar 0,882 (Lampiran 3) dengan RMSE sebesar 1,61 m. Karena nilai korelasi yang dihasilkan mendekati 1, maka dapat dikatakan keeratan hubungan antara kedalaman estimasi dan kedalaman aktual sangat baik. Hal ini juga dibuktikan dengan banyak bias (selisih antara nilai kedalaman aktual dan kedalaman estimasi) yang kecil pada setiap data kedalaman (Lampiran 4).
Nilai RMSE akan meningkat seiring meningkatnya nilai kedalaman aktual sehingga dapat mempengaruhi perhitungan nilai kedalaman estimasi, hal ini juga dinyatakan pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Mishra et al. (2001) yang menggunakan citra IKONOS Multispektral untuk memetakan kedalaman dengan algoritma Lyzenga. Mishra et al. (2001) menyatakan bahwa apabila semakin dalam (kedalaman) jalur panjang gelombang sinar tampak yang akan dilalui, maka akan semakin bertambah besar atenuasi cahaya yang akan
mengurangi intensitas cahaya tersebut. Mishra et al. (2001) juga menambahkan korelasi antara dua variabel input pada model akan semakin kecil dengan seiringnya bertambah nilai kedalaman. Hal ini disebabkan karena adanya kontribusi dari suatu faktor yang berkurang seperti nilai reflektansi dari dasar perairan yang seharusnya dapat ditangkap oleh sensor satelit. Oleh karena itu, nilai transformasi dari panjang gelombang sinar tampak pada masing-masing kanal pun mengalami penurunan dan lebih banyak dipengaruhi oleh reflektansi dari partikel-partikel di kolom air.
digunakan. Nilai kedalaman aktual dan nilai kedalaman estimasi diplotkan ke dalam grafik analisis residual sehingga membentuk pola tersebar acak seperti yang terlihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Grafik analisis residual antara nilai kedalaman aktual dengan kedalaman estimasi
Karena nilai RMSE pada grafik perbandingan antara kedalaman estimasi dan aktual sebesar 1,61 m, oleh karena itu kisaran keakurasian yang digunakan antara -2 dan 2 meter. Pada grafik analisis residual terlihat bahwa 561 titik sampel dari 741 titik sampel yang diplotkan berada selang pada -2 dan 2 meter. Hasil analisis residual menunjukkan bahwa data kedalaman estimasi dapat dipercaya tingkat keakurasiannya sebesar 75,71% ± 2 meter. Oleh karena itu dapat dikatakan model regresi linier yang dianalisis memiliki akurasi sebesar 75,71% pada kisaran bias ± 2 meter.
40
5. SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Pemetaan kedalaman perairan Karang Congkak dan Karang Lebar
menggunakan Citra IKONOS Pan-Sharpened kanal hijau dengan model dugaan
�= 3,602∗ln(� − �������ℎ����)−16,860T. Model dugaan ini memiliki nilai koefisien korelasi dan determinasi yang tinggi yaitu sebesar 0,88 dan 0,78.
Perbandingan antara nilai kedalaman aktual dan estimasi menunjukkan nilai
RMSE sebesar 1,61 m. Bias semakin besar seiring dengan meningkatnya
kedalaman. Kedalaman dibagi menjadi 5 kelas. Kelas kedalaman estimasi yang
mampu mewakili kedalaman aktual adalah kelas kedalaman 0 hingga 1,3 m, kelas
2 hingga 4,3 m, dan kelas 4,4hingga 8 m dengan nilai producer accuracy yang
melebihi 50%.
5.2. Saran
Pada penelitian selanjutnya diharapkan untuk mempertimbangkan
perbedaan tipe substrat dasar sehingga model dugaan yang dihasilkan lebih akurat
karena pada penelitian ini mengasumsikan substrat dasar perairan semua sama
41
Biertwith, P. N., T. J. Lee, dan R. V. Burne. 1993. Shallow Sea-Floor Reflectance and Water Depth Derived by Unmixing Multispectral Imagery. Photogrammetric Engineering & Remote Sensing. 59(3): 331-338.
Deng, Z., Ji, M., dan Zhang, Z. 2008. Mapping Bathymetry From Multi-Source Remote Sensing Images: A Case Study In The Beilun Estuary, Guangxi, China. The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences. 37(8): 1321-1326.
GeoEye, LLC. 2010. IKONOS high-resolution satellite imagery.
Geosage. 2010. Image Fusion.
http://www.geosage.com/highview/imagefusion.html. [7 April 2010]
Green, E.P., P.J. Mumby, dan A.J. Edwards. 2000. Mapping bathymetry. In A.J. Edwards (Ed.), Remote Sensing Handbook for Tropical Coastal
Management. Coastal Management Sourcebook 3. UNESCO, Paris. Hal. 219-234
Grodecki, J. dan G. Dial. 2001. IKONOS Geometric Accuracy. Space Imaging. Thornton, USA.
Hildanus. 2002. Kajian penggunaan data IKONOS dan Landsat untuk evaluasi hutan hujan tropika dataran rendah. Tesis (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hanaizumi, H., M. Akiba, H. Yamano, dan T. Matsunaga. 2008. A
pan-sharpening method for satellite image-based coral reef monitoring with higher accuracy. Proceedings of the 11th International Coral Reef Symposium, 7-11 July 2008. Ft. Lauderdale, Florida. Hal. 626-630.
International Hidrographyc Organization (IHO). 2010. Definiton of Hidrographyc
Lillesand, T. M. dan R. W. Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Intepretasi Citra. Diterjemahkan oleh Dulbahri, P. Suharso, Hartono, dan Suharyadi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta, Indonesia.
Mathworks. Residual analysis.
Meaden, G. J. dan J. M. Kapetsky. 1991. Geographycal information systems and remote sensing inland fisheries and acuaculture. FAO Tech. Pap. 318.
Mumby, P. J., C. D. Clark, E. P. Green, dan A. J. Edwards. 1998. Benefits of water column correction and contextual editing for mapping coral reefs.
Int. J. Remote Sensing. 19(1): 203-210.
Mishra, D., S. Narumalani, M. Lawson, dan D. Rundquist. 2001. Bathymetric Mapping Using IKONOS Multispectral Data. GIS Science and Remote sensing. 41(4): 301-321.
Selamat, M. B. dan B. Nababan. 2009. Bathymetric mapping using SPOT satellite of Pandangan Island waters in the Makassar strait. Jurnal Kelautan Nasional. 1: 98-107.
Siregar, V., S. Wouthuyzen, dan S. Sukimin. 2008. Pendugaan potensi ikan karang dengan citra satelit resolusi tinggi dan merancang alat tangkap yang selektif di Kepulauan Seribu. Laporan Penelitian. Seameo Biotrop.
Siregar, V. P. dan M. B. Selamat. 2010. Evaluasi citra Quickbird untuk pemetaan batimetri gobah dengan menggunakan data perum: studi kasus gobah karang lebar dan pulau panggang. Ilmu Kelautan. 1: 99-109.
Vahtmäe, E. dan T. Kutser. 2007. Mapping Bottom Type and Water Depth in Shallow Coastal Waters with Satellite Remote Sensing. Journal of Coastal Research, SI 50(Proceedings of the 9th International Coastal Symposium):185-189. Gold Coast, Australia.
Walpole, R. E. 1997. Pengantar Statistika. PT Gramedia Pustaka Umum. Jakarta.
Wang, L., W. P. Sousa, P. Gong, dan G. S. Biging. 2004. Comparison of IKONOS and Quickbird images for mapping mangrove species on the Carribean coast of Panama. Remote Sensing of Environment. 91: 432-440.
Lampiran 1. Metadata Citra IKONOS Pan-Sharpened yang diakuisisi pada tanggal 8 Juli 2008.
Creation Date: 10/15/08
Product Work Order Number: sa-or-ik-341-1008 Product Order Number: 1846967
Customer Project Name: sa-or-ik-341-1008 Ground Station ID: PGS
License Type: Single Organization
Product Order Area (Geographic Coordinates) Number of Coordinates: 4
Product Order Area (Map Coordinates in Map Units) Coordinate: 1
Processing Level: Standard Geometrically Corrected Image Type: PAN/MSI
Interpolation Method: Cubic Convolution Multispectral Algorithm: Projective Stereo: Mono
Mosaic: No
Map Projection: Universal Transverse Mercator UTM Specific Parameters
Hemisphere: S Zone Number: 48 Datum: WGS84
Product Order Pixel Size: 1.0000000000 meters Product Order Map Units: meters
MTFC Applied: Yes Multispectral Files: RGB File
RGB Bands
Lampiran 2. Histogram pengkelasan nilai kedalaman a. Kelas kedalaman awal.
b. Kelas kedalaman hasil pengkelasan ulang (reclass).
Lampiran 3. Hasil analisis regresi statisik hubungan antara nilai kedalaman aktual dan nilai kedalaman estimasi dari algoritma Lyzenga (1985) yang dikembangkan.
Regression Statistics Multiple R 0.8824 R Square 0.7786 Adjusted R Square 0.7783 Standard Error 1.6081 Observations 741 ANOVA
df SS MS F
Significance F Regression 1 6722.7543 6722.7543 2599.5688 3.3901E-244 Residual 739 1911.1306 2.5861
Lampiran 4. Contoh Data nilai kedalaman in situ dan kedalaman estimasi hasil pengembangan model Lyzenga, dan nilai biasnya.
Easting Northing Kedalaman aktual (m) Kedalaman Estimasi (m) Bias (m)
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 28 November 1987. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari Bapak K. Johnson Rajagukguk dan Ibu Ida Hutagalung. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan di SMA TARAKANITA I dan lulus tahun 2006. Penulis diterima sebagai mahasiswa IPB pada tahun 2006 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Selama perkuliahan penulis pernah aktif menjadi asisten mata kuliah
Penginderaan Jarak Jauh Kelautan (2010-2011) dan asisten mata kuliah Dasar-dasar Penginderaan Jauh Kelautan (2010-2011). Penulis juga aktif dalam organisasi
kemahasiswaan sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) periode 2008 – 2009 dan periode 2009 – 2010.
Sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian dengan judul “Pemetaan Batimetri Perairan Dangkal Karang Congkak dan Karang Lebar Dengan Menggunakan
Citra IKONOS Pan-Sharpened” di bawah bimbingan Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol,
iii
CORYELISASABETY DIANOVITA. Pemetaan Batimetri Perairan Dangkal Karang Congkak dan Karang Lebar Dengan Menggunakan Citra
IKONOS Pan-Sharpened. Dibimbing oleh JONSON LUMBAN GAOL DAN
VINCENTIUS P. SIREGAR.
Batimetri perairan dangkal sangat penting untuk studi morfologi dasar laut, pengelolaan dan manajemen sumber daya zona pesisir. Pendugaan batimetri dengan menggunakan metode penginderaan jauh umumnya dilakukan pada kondisi air yang jernih. Survei batimetri dilakukan untuk mendapatkan data kedalaman aktual. Data kedalaman tersebut digunakan dalam mengestimasi kedalaman dengan menggunakan algoritma yang telah dikembangkan oleh Lyzenga. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji penggunaan citra IKONOS Pan-Sharpened dalam memetakan batimetri perairan dangkal Karang Congkak dan Karang Lebar.
Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap, diantaranya adalah
pengumpulan data survei lapang, pengumpulan data sekunder, pengolahan citra dan analisis data. Survei lapang dilakukan pada tanggal 5 dan 6 Juni 2010, pengumpulan data sekunder (data pasang surut) dilakukan pada bulan Oktober-November 2010, pengolahan citra dan analisis data akhir pada bulan Desember 2010-Januari 2011. Pengambilan data kedalaman in situ dilakukan pada bagian dalam tubir gobah baik Karang Congkak maupun Karang Lebar.
Model pendugaan kedalaman dikembangkan dengan menggunakan 3 kanal (merah, hijau, dan biru) Citra IKONOS Pan-Sharpened yang menunjukkan bahwa kanal hijau lebih baik digunakan untuk pemetaan batimetri. Model tersebut adalah �= 3,602∗ln(� − �������ℎ����)−16,86 dengan nilai koefisien korelasi dan determinasi sebesar 0,88 dan 0,78.
Perbandingan antara nilai kedalaman estimasi dan kedalaman aktual menunjukkan galat sebesar 1,61 m. Walaupun demikian, korelasi antara kedalaman estimasi dan aktual sangat baik dengan nilai sebesar 0,88 m.
CORYELISABETY DIANOVITA
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
1
1.1. Latar Belakang
Hidrografi adalah cabang ilmu yang berkaitan dengan pengukuran dan
deskripsi dari fitur fisik perairan, wilayah pesisir, danau, dan sungai, serta dengan
prediksi evolusi mereka, dengan tujuan utama keselamatan navigasi dan kegiatan
kelautan lainnya seperti, pengembangan ekonomi, keamanan dan pertahanan,
penelitian ilmiah, dan perlindungan lingkungan laut (IHO, 2010). Survei
hidrografi umumnya banyak dimanfaatkan untuk memetakan dasar laut yang
digunakan untuk berbagai kegiatan di laut seperti pengerukan, navigasi,
pengendalian sedimentasi dan banjir. Kondisi hidrografi mengalami perubahan
tanpa batas waktu tertentu. Perubahan kondisi hidrografi umumnya disebabkan
oleh beberapa faktor seperti pengikisan pantai oleh gelombang, sedimentasi,
penggunaan lahan di wilayah pesisir, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, revisi
terhadap peta-peta batimetri perlu dilakukan terus menerus, walaupun telah
banyak perairan yang dipetakan melalui survei hidrografi.
Kajian mengenai kondisi fisik perairan perlu dilakukan dengan cepat dan
akurat sehubungan dengan faktor-faktor penting seperti keselamatan pelayaran.
Karena luas perairan Indonesia yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km,
maka perlu dilakukan survei untuk pemeruman kedalaman (batimetri) yang lebih
efisien dan efektif tanpa memerlukan biaya yang besar dan waktu yang lama
(Wouthuyzen, 2001). Survei batimetri merupakan salah satu kegiatan dari survei
hidrografi yang digunakan untuk mendapatkan data kedalaman dan menampilkan