• Tidak ada hasil yang ditemukan

. Klasifikasi Habitat Dasar Perairan Dangkal Gugusan Pulau Pari Dengan Menggunakan Citra Worldview-2 Dan Alos Avnir, Kepulauan Seribu, Dki Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan ". Klasifikasi Habitat Dasar Perairan Dangkal Gugusan Pulau Pari Dengan Menggunakan Citra Worldview-2 Dan Alos Avnir, Kepulauan Seribu, Dki Jakarta"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

KLASIFIKASI HABITAT DASAR PERAIRAN DANGKAL

GUGUSAN PULAU PARI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA

WORLDVIEW

-2 DAN ALOS AVNIR, KEPULAUAN SERIBU,

DKI JAKARTA

MUHAMMAD RAMADHANY

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Klasifikasi Habitat Dasar Perairan Dangkal Gugusan Pulau Pari dengan Menggunakan Citra Worldview -2 dan ALOS AVNIR, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2015

Muhammad Ramadhany

(4)

ABSTRAK

MUHAMMAD RAMADHANY. Klasifikasi Habitat Dasar Perairan Dangkal Gugusan Pulau Pari dengan Menggunakan Citra Worldview-2 dan ALOS AVNIR, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Dibimbing oleh SYAMSUL BAHRI AGUS dan TASLIM ARIFIN

Perairan laut tropis dangkal memiliki beberapa macam ekosistem yaitu terumbu karang, padang lamun, pantai berpasir dan mangrove, yang saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Tujuan penelitian ini adalah mengklasifikasikan habitat dasar komunitas bentik menggunakan citra WordlView-2 dan ALOS AVNIR di gugusan Pulau Pari. Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi pengumpulan data lapang di Gugusan Pulau Pari tanggal 28 Maret-1 April 2014 menggunakan GPS dan alat selam, analisis data, serta analisis penilaian akurasi dengan confussion matrix. Habitat dasar diklasifikasi transformasi Lyzenga menjadi 12 kelas. Hasil uji akurasi citra WorldView-2

sebesar (50,37%) dan citra ALOS AVNIR sebesar 57,8 %. Tutupan karang hidup tergolong sedang di bagian Selatan Pulau Pari, dengan nilai 35,62%. Kondisi tutupan substrat dasar yang tergolong buruk terlihat di bagian Timur Pulau Burung dan Utara Pulau Kongsi dengan nilai 19,03% dan 10,21%. Nilai IMK tertinggi terdapat di lokasi Utara Pulau Kongsi.

Kata kunci: habitat bentik, citra satelit, klasifikasi, terumbu karang, Pulau Pari

ABSTRACT

MUHAMMAD RAMADHANY. Classification of Shallow Water Benthic Habitat in Pari Island Cluster using Worldview-2 Image, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Underdirection of SYAMSUL BAHRI AGUS and TASLIM ARIFIN

Shallow waters in the tropicals features several types of ecosystems, among others are coral reefs, seagrass beds, sandy beaches and mangroves, where these ecosystems interact one another. The purpose of this study was to classify benthic habitats in Pari Island complex using and WorldView-2 and ALOS AVNIR image. Steps being taken in this study include the collection of field data in Pari Island Cluster, March 28-April 1 2014 using GPS and diving equipment, data analysis and also accuracy assessment with the confusion matrix analysis. Benthic habitat were classified in 12 classes. The Worldview-2 image results test accuracy of transformation lyzenga was 50.37% and ALOS AVNIR image was 57.8%. Condition of coral reef in South Pari is moderate with live coral cover of (35,62%). While at the East Burung Island and North Kongsi Island were poor (19,03%) and (10,21%). The highest coral mortality index was recorded for North Kongsi Island.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan

pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

KLASIFIKASI HABITAT DASAR PERAIRAN DANGKAL GUGUSAN

PULAU PARI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA

WORLDVIEW

-2 DAN

ALOS AVNIR, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA

MUHAMMAD RAMADHANY

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian hingga penyusunan skripsi dengan lancar. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini ialah pemetaan substrat dasar, dengan judul Klasifikasi Habitat Dasar Perairan Dangkal Gugusan Pulau Pari dengan Menggunakan Citra

Worldview-2, Jakarta.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Syamsul Bahri Agus, SPi, MSi selaku pembimbing pertama dan Dr Ir Taslim Arifin, MSi selaku pembimbing kedua yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran. Disamping itu, penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua saya yang selalu memotivasi, semangat dan doa selama menempuh pendidikan di IPB. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua pihak yang turut membantu dalam pelaksanaan kegiatan penelitian.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga segala bentuk kritik dan saran penulis harapkan untuk menjadi bahan evaluasi diri.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, September 2015

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

METODE 2

Waktu dan Tempat 2

Alat dan Bahan 2

Prosedur Penelitian 3

Pengumpulan Data Lapang 3

Analisisi Data 4

Pengolahan Citra Awal 4

Penajaman Citra 4

Analisis Uji Akurasi 5

Analisis Struktur Komunitas Bentik Terumbu 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 Struktur Komunitas Bentik Terumbu 7 Klasifikasi Habitat dengan Algoritma Lyzenga 8 Klasifikasi Habitat dengan Algoritma Lyzenga menggunakan Citra WorldView-2 10

Klasifikasi Habitat dengan Algoritma Lyzenga mengunakan Citra ALOS AVNIR 11 Pengujian Akurasi Hasil Klasifikasi Habitat Dasar Perairan 13

SIMPULAN DAN SARAN 17

Simpulan 17

Saran 17

DAFTAR PUSTAKA 17

LAMPIRAN 20

(10)

DAFTAR TABEL

1 Nilai spektral kanal citra Worldview-2 (Digital Globe 2010, 2011) 4 2 Nilai spektral kanal citra ALOS AVNIR (JAXA 2009) 4 3 Nilai confusion matrix pada klasifikasi 12 kelas habitat citra Worldview-2

dengan Lyzenga (kanal 2 dan 3) 13

4 Nilai confusion matrix pada klasifikasi 4 kelas habitat citra ALOS AVNIR

dengan Lyzenga (kanal 2 dan 1) 14

5 Hasil uji akurasi (producer dan user) untuk seluruh kelas habitat bentik

Citra WorldView-2 15

6 Hasil uji akurasi (producer dan user) untuk seluruh kelas habitat bentik

citra ALOS AVNIR 16

DAFTAR GAMBAR

1 Peta lokasi penelitian 2

2 Alur pengolahan dan analisis data citra satelit 3 3 Confusion matrix (Congalton dan Green 2009) 6 4 Tutupan habitat bentik di terumbu karang Gugusan Pulau Pari 7 5 Nilai Indeks Mortalitas Karang (IMK) di Gugusan Pulau Pari 8

6 Indeks habitat dasar perairan 8

7 Hasil transformasi dengan algoritma Lyzenga, A) ALOS AVNIR dan B)

Worldview-2 9

8 Histogram hasil transformasi algoritma “depth invariant index”, A) ALOS AVNIR dan B) WorldView-2 9 9 Peta tematik habitat perairan laut dangkal berdasarkan analisis

Worldview-2 menggunakan algoritma Lyzenga pada kanal 2 dan 3 10 10 Peta tematik habitat perairan laut dangkal berdasarkan hasil analisis

ALOS AVNIR menggunakan algoritma Lyzenga pada kanal 1 dan 2 12

DAFTAR LAMPIRAN

1 Titik pengamatan habitat dasar perairan dangkal 19

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perairan dangkal laut tropis memiliki beberapa macam ekosistem antara lain, terumbu karang, padang lamun, pasir, lumpur dan hutan mangrove, dimana ekosistem-ekosistem tersebut saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Ekosistem terumbu karang dan lamun berada lingkungan perairan yang dangkal. Tipe habitat dasar di perairan dangkal dapat menjadi salah satu parameter yang mempengaruhi penentuan kawasan konservasi laut, karena merupakan tempat biota-biota laut hidup. Gugusan Pulau Pari merupakan salah satu pulau yang memiliki perairan dangkal dan habitat substrat dasar yang bervariasi.

Informasi tentang habitat dasar perairan pada umumnya diperoleh melalui pengamatan langsung (survei lapang) dan juga dengan teknologi penginderaan jauh berupa citra satelit (Green et al. 2000; Nadaoka et al. 2004). Pemetaan habitat dasar perairan dengan citra satelit menggunakan berbagai sensor satelit telah banyak dilakukan (Hochberg and Atkinson 2000; Green et al., 2000; Isoun

et al. 2003; Mumby et al. 2002; Nurlidiasari 2004; Siregar dan Wouthuyzen 2006; Chris et al. 2006). Kemampuan berbagai sensor penginderaan jauh tersebut untuk pengkajian ekosistem terumbu karang dan perairan dangkal juga telah banyak dibahas oleh beberapa peneliti (Phinn 2013; Yamano 2013; Hedley 2013) yang dirangkum oleh Goodman et al. (2013).

Dengan metode konvensional, pendeteksian atau pemetaan dasar perairan dangkal ini memerlukan waktu yang lama dan biaya yang relatif mahal mengingat wilayah tersebut pada umumnya berada pada daerah yang jauh dari akses jalanan. Oleh karena itu, pemanfaatan citra satelit penginderaan jauh (inderaja) sebagai alternatif merupakan cara yang paling ideal untuk menjawab kebutuhan tersebut (Green et al. 2000). Saat ini telah banyak sensor satelit inderaja yang memiliki kemampuan yang baik untuk mendeteksi berbagai fitur-fitur di ekosistem perairan dangkal seperti komunitas bentik karang (Nurlidiasari 2004), penutupan karang hidup (Isoun et al. 2003, Purkis et al. 2002), bahkan spesies hewan bentik dan kesehatan karang (Evanthia et al. 1999).

Citra satelit Worldview-2 merupakan satelit komersial pertama beresolusi tinggi yang terbagi dalam 8 sensor spektral pada cakupan sinar tampak dengan inframerah-dekat. Citra satelit ini mempunyai tingkat detail yang tinggi untuk memroses klasifikasi, salah satunya klasifikasi habitat perairan dangkal (Digital Globe 2010). Citra satelit ALOS memiliki 4 kanal dan tiga sensor utama. ALOS AVNIR dapat merekam pada kanal gelombang tampak hingga inframerah dekat dan memiliki resolusi spasial 10 meter (JAXA 2009).

Tujuan Penelitian

(12)

2

METODE

Waktu dan Tempat

Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta (Gambar 1). Kegiatan penelitian dibagi menjadi tiga meliputi proses pengolahan citra awal, survei lapang dan analisis akhir. Kegiatan survei lapang dilaksanakan pada tanggal 28 Maret-1 April 2014. Analisis akhir dilaksanakan pada bulan Januari 2015.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini terbagi atas perangkat lunak dan perangkat keras. Perangkat lunak untuk image processing yaitu, ER Mapper 6.4, ArcGIS 10.2, dan Microsoft Excel. Sedangkan perangkat keras yang digunakan antara lain adalah: komputer yang sudah dilengkapi dengan perangkat lunak untuk mengolah citra, Hand Global Positioning System (GPS) jenis Garmin CSX 76 dengan presisi 3-5 meter, kamera bawah air, alat selam untuk pengamatan struktur komunitas bentik dan habitat dasar perairan dangkal, serta sabak dan pensil untuk menulis di dalam air.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit

Worldview-2 tahun (21 Agustus 2012) dan ALOS AVNIR (3 Agustus 2009) serta data hasil survei lapang berupa titik koordinat, jenis habitat dasar yang diamati dan data struktur komunitas bentik.

(13)

3

Prosedur Penelitian

Tahapan penelitian (Gambar 2) berkaitan dengan proses cara pengumpulan dan analisis data untuk mencapai tujuan penelitian. Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi pengumpulan data lapang, analisis data, dan analisis penilaian akurasi.

Pengumpulan Data Lapang

Pengumpulan data lapang dilakukan beberapa tahap yaitu pengambilan data primer dan pengumpulan data sekunder. Pengambilan data primer yang dilakukan di lapang meliputi: 1) pengamatan objek dasar perairan secara langsung (in situ) dengan menggunakan alat dasar selam, 2) pengambilan data posisi pada titik pengamatan dengan menggunakan GPS (Global Positioning System) (Lampiran 1), dan 3) pengambilan gambar objek. Metode pengamatan dan pengambilan data pada penelitian ini menggunakan teknik sampling data spasial secara acak. Metode pengambilan data dilakukan menggunakan transek kuadrat (1x1 m) setiap 10 m tegak lurus dari tepi pantai menuju tubir. Setiap transek dicatat titik koordinat posisi menggunakan GPS, kondisi habitatnya dan pengambilan gambar objek, dapat dilihat pada Lampiran 2. 4) Data struktur komunitas bentik di kedalaman 3-10 meter. Pengumpulan data lapang dapat didukung dengan pengumpulan data sekunder.

(14)

4

Analisis Data

Proses analisis data meliputi dua tahapan, yaitu pra-pengolahan citra dan pengolahan citra. Berikut adalah sensor kanal Worldview-2 yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Nilai spektral kanal citra Worldview-2 (Digital Globe 2010 2011) Nama kanal Panjang gelombang

Tabel 2 Nilai spektral kanal citra ALOS AVNIR (JAXA 2009) Kanal Panjang gelombang Resolusi (m)

Blue 0,42 to 0,50 µm 10

Green 0,52 to 0,60 µm 10

Red 0,61 to 0,69 µm 10

NIR 0,76 to 0,89 µm 10

Pengolahan Citra Awal

Tahap pra-pengolahan citra dapat berupa koreksi geometrik. Koreksi geometrik citra merupakan koreksi posisi koordinat agar sesuai dengan koordinat geografis. Koreksi geometrik yang dilakukan yaitu dengan dua langkah, antara lain transformasi koordinat dan resampling citra. Koreksi ini menggunakan

ground control point (GCP) yang didapat dari survei lapang yang dikenali dalam citra untuk koreksi geometrik. Selanjutnya, tahap rektifikasi (pembetulan) citra berdasarkan informasi posisi GCP. Hal ini bertujuan untuk menempatkan pixel citra pada posisi sebenarnya di permukaan bumi. Tahap ini dipengaruhi saat pengambilan data in situ, metode penentuan akurasi posisi, dan GPS yang digunakan.

Penajaman Citra

(15)

5

Proses penajaman ini merupakan proses penggabungan informasi dua citra secara spektral melalui band rationing atau menghitung perbandingan nilai digital piksel setiap saluran. Teknik ini bertujuan untuk mendapatkan penampakan substrat dasar yang maksimal. Algoritma lyzenga yang digunakan adalah algoritma lyzenga (Green et al 2000) dengan bentuk perumusan sebagai berikut:

Y = ln (kanal 1) + K x ln (kanal 2).. ... (1) = ... (2) K= + ... (3) Dimana :

Y = nilai digital baru / citra hasil ekstraksi dasar perairan Kanal 1 = nilai digital kanal biru dari citra

Kanal 2 = nilai digital kanal hijau dari citra var = fungsi statistik ragam

covar = fungsi statistik peragam

= koefisien untuk penentuan nilai x K = proporsi koefisien attenuasi

Nilai proporsi koefisien attenuasi (K) didapat dari training sample area

pada data citra terkoreksi dengan pemilihan daerah yang dianggap mewakili objek yang akan dianalisis. Nilai varian dan covarian dihitung menggunakan software, sehingga diperoleh nilai a serta nilai K.

Klasifikasi citra dan substrat dasar perairan dilakukan dengan mengacu kepada citra hasil transformasi algoritma lyzenga. Teknik klasifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah klasifikasi terbimbing (supervised classification) yang kemudian dibagi ke dalam 12 kelas, diantaranya adalah adalah Pecahan karang atau karang hidup bercampur pecahan karang (KRB), Lamun Tutupan Sedang (LTS), Lamun Tutupan Tinggi (LTT), Perairan Dalam (AD), Pasir (P), Pasir Karang/Lamun/Alga (PKLA), Pasir Lamun (PL), Pasir

Rubble (PR), Pasir Rubble/Lamun/Alga (PRLA), Rubble (R), Rubble Alga (RA). Analisis Uji Akurasi

Hasil uji ketelitian mempengaruhi besarnya tingkat kepercayaan pengguna terhadap setiap jenis data maupun metode analisisnya. Uji akurasi dapat dilakukan dengan menggunakan confusion matrix atau matrix kesalahan. Presentase ketelitian dari klasifikasi dihitung dari perbandingan titik sampel di lapangan (groundtruth atau GCP ) dengan data hasil klasifikasi citra (jumlah pikselnya).

(16)

6

Gambar 3 Confusion matrix (Congalton dan Green 2009)

Untuk akurasi secara keseluruhan (overall accuracy), akurasi pengguna (user accuracy) dan akurasi penghasil (producer accuracy) antara klasifikasi penginderaan jauh dan referensi data dapat dihitung dalam persamaan berikut ini: � ���� � �: ... (4) P � ′ � � y: ...(5) U ’ � � �: ...(6) Dimana :

k = Banyak kelas

nii = Banyak kelas yang terklasifikasi dengan tepat

nij = Banyak kelas yang terklasifikasi ke kategori i dan j

n+1 = Jumlah pengamatan yang terklasifikasi pada kelas ke-i pada referensi

n1+= Jumlah pengamatan yang terklasifikasi pada kelas ke-i pada peta

N = Jumlah kelas pengamatan

Analisis Struktur Komunitas Bentik Terumbu

Kondisi terumbu karang di lokasi pengamatan ditentukan berdasarkan persentasi tutupan karang hidup (Buruk: tutupan karang hidup < 25%, Sedang: 25-50%, Baik: 50-75%, dan sangat baik >75%) (Gomez danYap 1988):

Dimana :

Li = Persentase penutupan biota karang ke-i

Ni= Panjang total kelompok biota karang ke-i

L = Panjang total transek garis

Indeks mortalitas karang (IMK), nilai IMK berkisar antara nol sampai dengan satu. Semakin mendekati satu, berarti tingkat kematian karang semakin tinggi.

IMK = Dimana:

IMK = Indeks Mortalitas Karang

(17)

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Struktur Komunitas Bentik Terumbu

Pengamatan kondisi struktur komunitas habitat bentik menggunakan metode transek garis menyinggung (English et al. 1997), pada kedalaman 3-12 meter. Pengambilan data komunitas bentik di dua kedalaman untuk melihat persentase tutupan karang hidup dan karang mati di gugusan Pulau Pari dan kondisi ekosistem terumbu karang secara keseluruhan.

Dari Gambar 4 dapat dilihat bahwa kategori Dead Coral with Algae

(DCA) mendominasi tutupan substrat dasar di Gugusan Pulau Pari. Penutupan karang hidup di 3 titik pengamatan menunjukkan kondisi yang tergolong sedang di bagian Selatan Pulau Pari, dengan kisaran nilai 35,62%. (Gomes and Yap 1988). Kondisi terumbu karang yang tergolong buruk terlihat di bagian Timur Pulau Burung dan Utara Pulau Kongsi dengan tutupan masing-masing sebesar 19,03% dan 10,21%.

Kondisi struktur komunitas bentik terumbu dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor antroplogi dan lingkungan (fisik, kimia dan biologis) (Supriharyono 2000). Presentase kategori DCA yang tinggi pada setiap lokasi pengamatan dapat disebabkan oleh pengaruh sedimentasi dari Teluk Jakarta dan proses pembangunan resort, khususnya di Pulau Tengah.

Proses pembangunan resort dengan menggunakan alat-alat berat menyebabkan tekanan ekologis yang mengakibatkan terumbu karang harus beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Jangkar dan propeller (baling-baling) kapal pembawa material bangunan dapat menyebabkan kerusakan pada ekosistem terumbu karang. Hal tersebut menyebabkan tingkat kematian karang tinggi dan tutupan bentik yang lain meningkat terutama alga dan patahan karang ketika kegiatan pembangunan berlangsung. Makroalga pada umumnya tunbuh di daerah batu karang yang telah mati karena rusaknya lingkungan dengan pertumbuhannya yang sangat cepat (Lirman 2001). Selain itu, aktifitas pembangunan menyebabkan

(18)

8

sedimentasi. Sedimentasi menimbulkan dampak negatif terhadap biota pesisir dan lautan (Kordi 2010). Menurut Dahuri (2003) sedimentasi akan menimbulkan dampak merugikan, yaitu menutupi biota laut, terutama yang berada di dasar.

Gambar 5 Nilai Indeks Mortalitas Karang (IMK) di Gugusan Pulau Pari Nilai Indeks Mortalitas Karang (IMK) pada Gambar 5 berkisar antara 0,57-0,96. Nilai IMK tertinggi terdapat pada lokasi Utara Pulau Kongsi yang berdekatan dengan Pulau Tengah. Hal ini menunjukkan dampak pembangunan resort di Pulau Tengah mempengaruhi kondisi tutupan bentik terumbu di Gugusan Pulau Pari.

Klasifikasi Habitat dengan Algoritma Lyzenga

Permasalahan mendasar untuk penginderaan jauh bentik dasar perairan adalah adanya kolom perairan di atas substrat dasar perairan. Intensitas cahaya berkurang secara eksponensial dengan meningkatnya kedalaman. Penampakan yang dihasilkan suatu karakteristik dasar perairan dapat dilakukan dengan mengoreksi kolom perairan menggunakan algoritma Lyzenga atau “depth invariant index” (Phinn 2013).

Pendugaan warna Lyzenga berdasarkan Kobayashi dan Ogawa (2008) yang dapat dilihat pada Gambar 6 yaitu warna coklat hingga kuning menunjukkan substrat pasir (Sand Bottom), Hijau (Coral/Seaweed) dan cyan-biru menyebar menunjukkan kekeruhan (Mud Bottom).

(19)

9

Gambar 8 Histogram hasil transformasi algoritma menggunakan “depth invariant index” untuk citra satelit, A) ALOS AVNIR dan B) WorldView-2

Gambar 7 Hasil transformasi dengan algoritma Lyzenga untuk citra satelit A) ALOS AVNIR dan B) Worldview-2

Nilai rasio koefisien atenuasi digunakan untuk menghitung nilai pada metode transformasi Lyzenga setiap kombinasi band. Nilai rasio kombinasi kanal 2 dan kanal 3 pada citra WorldView-2, yaitu sebesar 0,412. Nilai tersebut didapatkan dari rasio kanal blue (22,28 nm) dan kanal green (104,69 nm). Citra

ALOS AVNIR memiliki nilai rasio kombinasi kanal 2 dan kanal 1, yaitu sebesar 0,427. Nilai tersebut didapatkan dari rasio kanal blue (19,32 nm) dan kanal green

(93,17 nm).

(20)

10

transformasi Lyzenga. Pada citra WorldView-2 memiliki nilai digital sebesar 7,900079 - 8,945937 dan ALOS-AVNIR memiliki nilai sebesar0,36258-255.

Histogram A dan B memiliki puncak yang tinggi di sebelah kiri yang merupakan nilai yang paling menonjol pada kedua citra yaitu kelas perairan dalam. Histogram menyebar merata pada nilai digital habitat dasar perairan dangkal. Perbedaan rentang nilai digital disebabkan resolusi radiometrik citra yang berbeda. Nilai digital pada citra tersebut berguna untuk proses pengklasifikasian citra. Nilai digital titik pengamatan habitat dasar perairan dangkal menjadi acuan pengklasifikasian citra dengan proses density slicing. Klasifikasi Habitat dengan Algoritma Lyzenga Menggunakan Citra

WorldView-2

Hasil transformasi diklasifikasi lebih lanjut dengan metode density slicing. Habitat bentik di klasifikasi sesuai nilai digitalnya menjadi 12 kelas yaitu Pecahan karang atau karang hidup bercampur karang hidup dan pecahan karang (KRB) (Hijau tua), Lamun Tutupan Sedang (LTS) (Hijau muda), Lamun Tutupan Tinggi (LTT) (Hijau terang), Perairan Dalam (AD) (Biru muda), Pasir (P) (Coklat muda), Pasir Karang/Lamun/Alga (PKLA) (Merah muda), Pasir Lamun (PL) (Coklat tua), Pasir Rubble (PR) (Merah sangat muda), Pasir Rubble/Lamun/Alga (PRLA) (Jingga), Rubble (R) (Merah), Rubble Alga (RA) (Biru tua), dan Terumbu Karang (TK) (Ungu tua).

Citra Worldview-2 dengan resolusi spasial yg dimilikinya dapat mengklasifikasikan 12 kelas habitat bentik dasar dengan baik dan detail. Dapat dilihat pada Gambar 9 klasifikasi habitat dasar perairan dari darat ke laut lepas

(21)

11

yaitu pasir, pasir lamun, lamun tutupan sedang, pecahan karang, pecahan karang dan alga, pasir dan pecahan karang, pasir diselingi karang/lamun/alga, terumbu karang, pecahan karang, dan perairan dalam. Kelas lamun tutupan tinggi, karang dan pecahan karang, dan pasir diselingi pecahan karang/lamun/alga menyebar acak ke seluruh perairan dangkal Gugusan Pulau Pari.

Gugusan Pulau Pari yang memiliki perairan dangkal dengan substrat pasir yang cukup luas di antara pulau-pulau lain di Kepulauan Seribu membuat habitat lamun dapat tumbuh dengan baik. Tumbuhan ini banyak ditemukan pada daerah yang masih tinggi penetrasi cahayanya terutama di lingkungan pesisir (Nontji 2005) Hasil klasifikasi menunjukkan kondisi di sekitar Pulau Pari didominasi habitat pasir lamun (cokelat), Pulau Tengah, Kongsi dan Burung didominasi habitat lamun (hjau). Pecahan karang terdapat pada tubir perairan karena berhadapan langsung dengan lautan lepas. Kelas karang dan pecahan karang (KR) dan pecahan karang (R) banyak terdapat di daerah goba Gugusan Pulau Pari. Klasifikasi tersebut menggunakan citra tahun 2012 dengan pengamatan tahun 2014 dan titik pengamatan yang kurang mewakili pengklasifikasian habitat dasar smenyebabkan ada beberapa habitat yang terklasifikasi tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Kondisi habitat disekitar Pulau Tengah yang sedang dalam proses pembangunan resort, memiliki habitat dominan pasir namun tetap terklasifikasi sebagai habitat lamun.

Nilai digital citra suatu kelas habitat dasar memiliki nilai yang hampir sama dengan kelas habitat yang lainnya sehingga memungkinkan kelas tersebut masuk ke dalam kelas yang tidak seharusnya. Perlu dilakukan uji akurasi untuk melihat nilai akurasi peta tematik tersebut yang akan dibahas pada bab selanjutnya.

Klasifikasi Habitat dengan Algoritma Lyzenga Menggunakan Citra ALOS AVNIR

Habitat bentik pada citra ALOS AVNIR di klasifikasi menjadi 12 kelas yaitu Pecahan karang atau karang hidup bercampur karang hidup dan pecahan karang (KRB) (Coklat muda), Lamun Tutupan Sedang (LTS) (Hijau muda), Lamun Tutupan Tinggi (LTT) (Hijau tua), Perairan Dalam (AD) (Biru muda), Pasir (P) (Coklat sangat muda), Pasir Karang/Lamun/Alga (PKLA) (Biru muda terang), Pasir Lamun (PL) (Hijau lumut), Pasir Rubble (PR) (Biru tua), Pasir

(22)

12

Gambar 10 Peta tematik habitat perairan laut dangkal berdasarkan hasil analisis ALOS AVNIR menggunakan algoritma Lyzenga pada (Kanal 1 dan 2)

Dapat dilihat pada Gambar 10 klasifikasi habitat dasar perairan dari darat ke laut lepas yaitu pasir, pasir lamun, lamun tutupan sedang, pasir dan pecahan karang, pasir diselingi karang/lamun/alga, pecahan karang dan alga, pasir diselingi pecahan karang/lamun/alga, terumbu karang, pecahan karang, dan perairan dalam. Kelas lamun tutupan tinggi, pasir lamun, dan karang pecahan karang menyebar acak ke seluruh perairan dangkal Gugusan Pulau Pari.

Hasil klasifikasi ditemukan persamaan habitat dasar perairan dangkal kedua citra yaitu habitat pasir lamun di sekitar Pulau Pari, pecahan karang di daerah tubir dan karang dan pecahan karang di goba Gugusan Pulau Pari. Selain itu, habitat terumbu karang, pecahan karang, dan pasir diselingi pecahan karang/lamun/alga terdapat di goba. Perbedaan ditemukan pada habitat terumbu karang, pecahan karang, pasir, pasir diselingi pecahan karang/lamun/alga. Hal tersebut disebabkan perbedaan data akuisisi citra ALOS AVNIR (2009) dan

WordlView-2 (2012), titik pengamatan yang tidak diambil pada nilai digital citra tersebut dan kurangnya titik pengamatan yang belum mewakili habitat dasar perairan dangkal tersebut.

(23)

13

Pengujian Akurasi Hasil Klasifikasi Habitat

Pengujian akurasi dilakukan dengan membandingkan dua peta, satu peta bersumber dari hasil analisis penginderaan jauh (peta yang akan diuji) dan satunya adalah peta yang berasal dari sumber lainnya atau hasil survei lapang. (Campbell 1987). Uji ini sangat penting dilakukan untuk mendapatkan peta yang dapat dipercaya (Chris et al., 2006). Dalam penelitian ini, uji akurasi yang digunakan mengacu pada metode Congalton and Green (2009) yaitu menggunakan dua pengukuran antara lain hasil survei dan klasifikasi citra yang disusun dalam sebuah matrik dua dimensi (confusion matrix). Pengambilan titik sampel diambil sebanyak 135 titik dari hasil citra klasifikasi dengan data lapang sebagaimana terlampir pada Lampiran 1. Pengambilan titik sampel ini untuk referensi dalam perhitungan nilai parameter user accuracy (UA), producer accuracy (PA), dan

overall accuracy (OA). Nilai-nilai parameter tersebut merupakan bagian dari

confusion matrix.

Tabel 3 Nilai confusion matrix pada klasifikasi 12 kelas habitat citra Worldview-2 dengan Lyzenga (kanal 2 dan 3)\

Keterangan: KRB= Karang hidup dan pecahan karang; LTS= Lamun tutupan sedang (30-

60%); LTT= Lamun tutupan tinggi (≥ 60%); AD= Perairan dalam (≥ 15 meter); P= Pasir;

PKLA= Pasir diselingi karang/lamun/alga (penutupan lamun < 30%); PL= Pasir diselingi lamun (penutupan lamun < 30%); PR= Pasir dan pecahan karang; PRLA= Pasir diselingi pecahan karang/lamun/alga (penutupan lamun < 30%); R= Pecahan karang (rubble); RA= Pecahan karang dan alga; TK= Terumbu karang; CE= Commission Error; OE=

(24)

14

Hasil perhitungan uji akurasi dengan confision matrix meggunakan transformasi Lyzenga disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4. Nilai akurasi klasifikasi 12 kelas habitat citra Worldview-2 dengan algoritma Lyzenga secara keseluruhan atau overall accuracy didapatkan sebesar 62,22 %. Nilai akurasi klasifikasi 12 kelas habitat citra ALOS AVNIR dengan algoritma lyzenga secara keseluruhan atau

overall accuracy didapatkan sebesar 58,52%. Overall accuracy yang didapatkan dari pengolahan data dari kedua citra satelit tergolong baik dan dapat menggambarkan habitat dasar perairan dangkal di Gugusan Pulau Pari.

Tabel 4 Nilai confusion matrix pada klasifikasi 4 kelas habitat citra ALOS AVNIR

dengan Lyzenga (kanal 2 dan 1) Keterangan: KRB= Karang hidup dan pecahan karang; LTS= Lamun tutupan sedang (30-

60%); LTT= Lamun tutupan tinggi (≥ 60%); AD= Perairan dalam (≥ 15 meter); P= Pasir;

PKLA= Pasir diselingi karang/lamun/alga (penutupan lamun < 30%); PL= Pasir diselingi lamun (penutupan lamun < 30%); PR= Pasir dan pecahan karang; PRLA= Pasir diselingi pecahan karang/lamun/alga (penutupan lamun < 30%); R= Pecahan karang (rubble); RA= Pecahan karang dan alga; TK= Terumbu karang; CE= Commission Error; OE=

Ommission Error; OA= Overall Accuracy ( Klasifikasi bentik mengacu pada Agus 2012)

Berdasarkan referensi diketahui overall accuracy (OA) pemetaan habitat dasar perairan dangkal menggunakan Worldview-2 dengan 4 kelas sebesar 65,89%, 13 kelas sebesar 40%, dan 18 kelas sebesar 36,6% (Wicaksono 2014). Pada penelitian Agus (2012) dengan pengklasifikasian 12 kelas habitat dasar menggunakan data inderaja resolusi tinggi (Quickbird) meghasilkan OA sebesar 68,98%.

(25)

15

dan menurunkan nilai akurasi klasifikasi. Hal tersebut dapat dilihat pada producer’s

accuracy yang dihasilkan rendah pada kelas yang diduga terkena faktor lingkungan. Resolusi temporal satelit yang tidak setiap waktu berada tepat di atas pengambil data pada saat pengambilan data koordinat GPS sehingga titik kordinat memiliki galad. Peralatan pengambilan titik koordinat GPS (Garmin 76 CSX presisi 3-5 meter) tidak disesuaikan dengan kemampuan citra satelit yang digunakan (Citra Worldview-2 resolusi spasial 1,84 m).

Faktor lainnya yaitu jumlah kelas yang digunakan dan data survei lapang (groundtruth) yang tidak menyebar luas di daerah pengambilan titik sehingga kurang mewakili sampel untuk pengklasifikasian. Berdasarkan Congalton dan Green (1999) menyarankan 50 stasiun untuk satu habitat. Green et al. (2000) berpendapat bahwa 30 stasiun per habitat sudah cukup. Namun jumlah dan bentuk stasiun survei perhitungan akurasi belum memiliki kesepakatan yang universal dan dikembalikan kepada masing – masing peneliti (Stehman dan Czaplewski, 1998). Jumlah kelas yang lebih sedikit dapat menghasilkan data akurasi yang lebih tinggi dibuktikan dari hasil penelitian Siregar (2013) menggunakan data indera Worldview-2 sebesar 78% dengan 6 kelas bentik dasar.

Tabel 5 Hasil uji akurasi (producer dan user) untuk seluruh kelas habitat bentik Citra WorldView-2

KRB Karang hidup dan pecahan

karang 3/5 60 3/6 50

(26)

16

alga yaitu sebesar 33%. Nilai UA citra ALOS AVNIR dalam klasifikasi lyzenga pada Tabel 5 terlihat bahwa nilai terbesar diwakili oleh perairan dalam (AD) dengan nilai persentase sebesar 100% yang telah terklasifikasi dengan benar, dengan nilai ommission error (OE) (Tabel 3 dan 4) yaitu 0%. Nilai UA terkecil diwakilkan pada kelas lamun tutupan tinggi (LTT) yaitu sebesar 31%.

Tabel 6 Hasil uji akurasi (producer dan user) untuk seluruh kelas habitat bentik citra ALOS AVNIR

KRB Karang hidup dan pecahan

karang 4/6 67 4/6 67 sebuah kelas telah tepat terklasifikasi. Nilai PA citra Worldview-2, klasifikasi yang menggunakan algoritma lyzenga (kombinasi kanal 2 dan kanal 3) pada Tabel 5 terlihat bahwa nilai tertinggi diwakili oleh kelas pasir (P), terumbu karang (TK), dan perairan dalam (AD) dengan nilai persentase sebesar 100%. Nilai PA citra

ALOS AVNIR, klasifikasi yang menggunakan algoritma Lyzenga (kombinasi kanal 2 dan kanal 1) pada Tabel 6 terlihat bahwa nilai terbesar yaitu perairan dalam (AD) dengan nilai persentase sebesar 100% dan kelas yang memiliki nilai terendah yaitu pasir diselingi pecahan karang/lamun/alga (PRLA) sebesar 13%.

(27)

17

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Klasifikasi ini disesuaikan dengan skema klasifikasi habitat yaitu 12 kelas habitat untuk citra Worldview-2 dan ALOS AVNIR antara lain Pecahan karangatau karang hidup bercampur pecahan karang (KRB), Lamun Tutupan Sedang (LTS), Lamun Tutupan Tinggi (LTT), Perairan Dalam (AD), Pasir (P), Pasir Karang/Lamun/Alga (PKLA), Pasir Lamun (PL), Pasir Rubble (PR), Pasir

Rubble/Lamun/Alga (PRLA), Rubble (R), Rubble Alga (RA), dan Terumbu Karang (TK). Hasil uji akurasi klasifikasi citra Worldview-2 transformasi Lyzenga

sebesar (50,37%) dan pada citra ALOS AVNIR sebesar 57,8 %.

Penutupan substrat dasar tergolong sedang di bagian Selatan Pulau Pari, dengan nilai 35,62%. Kondisi tutupan substrat dasar yang tergolong buruk terlihat di bagian Timur Pulau Burung dan Utara Pulau Kongsi dengan presentase masing-masing sebesar 19,03% dan 10,21%. Nilai IMK tertinggi terdapat pada lokasi Utara Pulau Kongsi.

Saran

Dalam proses pengambilan data, titik pengamatan dibuat lebih menyebar dan data habitat dasar perairan lebih diperbanyak untuk setiap kelasnya agar dapat mewakili pengklasifikasian pada saat pengolahan data.

DAFTAR PUSTAKA

Agus SB. 2012. Kajian Konektivitas Habitat Ontogeni Ikan Terumbu Menggunakan Pemodelan Geospasial di Perairan Kepulauan Seribu [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Campbell JB. 1987. Introduction to Remote Sensing. The Guilford Press.

Chris MR, SR Phinn, and KE Joice. 2006. Evaluating benthic survey technique for validating maps of coral reef derived from remotely sensed images. Proceeding of 10th International Coral reef Symposium. 1771-1780pp. Congalton RG, K Green. 2009. Assessing The Accuracy of Remotely Sensed

Data: Principles and Practices. Lewis Publishers. New York. xv + 179h. Choudhury PR. 2006. Marine Habitat Mapping in A Shallow Sea Area of Bahrain

Using Remote Sensing and Field Survey Data. Geomatec, Bahrain Center for Studies and Research. Bahrain. 16 h.

Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Digital Globe. 2010. The benefits of the 8 spectral bands of WorldView-2. White paper. Longmont (US): DigitalGlobe,Inc.

(28)

18

English SC, Wilkinson, dan V Baker. 1997. Survey Manual for Marine Resources. Townsville (AUS): Australian Institute of Marine Science

Evanthia K, TJ Malthus, CJ Place. 1999. Hyperspectral Discrimination of Coral Reef Benthic Communities in the Western Caribbean. Coral Reefs 11:141-151

Green EP, PJ Mumby, AJ Edwards, C.D. Clark. 2000. Remote sensing handbook for tropical coastal management. UNESCO, Paris. 316p.

Gomez ED and Yap HT. 1998. Monitoring Reef Condition. in Kenchington R A and Hudson B E T (ed). Coral Reef Management Hand Book. UNESCO Regional Office for Science and Technology for South East Asia. Jakarta. Hedley JD. 2013. Hyperspectral application: In Goodman JA, SJ Purkis, SR Phinn

(eds.) 2013. Coral reef remote sensing: A guide for mapping, monitoring and management. Springer. 51-78pp.

Hochberg EJ, MJ Atkinson. 2000. Spectral discrimination of coral reef benthic communities. Coral Reefs 19:164–171

Isoun E, C Fletcher, N Frazer, and J Gradie. 2003.Multi-spectral mapping of reef bathymetry and coral cover; Kailua Bay, Hawaii. Coral Reefs, 22:68–82. JAXA. 2009. ALOS Data Users Handbook. Japan: Japan Aerospace Exploration

Agency

Kordi. 2010. Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta: Rineka Cipta

Liman, D. 2001. Competition between macroalgae and corals: effects of herbivore exclusion and increased algal biomass on coral survivorship and growth. Coral Reefs 19: 392-399.

Mumby JP and AJ Edwards. 2002. Mapping marine environments with IKONOS imagery: enhanced spatial resolution can deliver greater thematic accuracy. Remote Sensing of Environment, 82:248- 257

Nadaoka K, EC Paringit, and H Yamano.2004. Remote sensing of coral reef in Japan. 89-102pp.

Nurlidiasari N. 2004. The Application of Quickbird and Multi-temporal Landsat TM data for coral reef habitat mapping. The degree of Master of Science in Geo-Information Science and Earth Observation spesialisation Coastal Zone Studies [tesis]. Netherlands (NL): International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation. Phinn SR. 2013. In Goodman JA, SJ Purkis, SR Phinn (eds) 2013. Coral reef remote sensing: A guide for mapping, monitoring and Management. Springer. 51-78pp.

Nontji A. 2005. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. 368 h.

Purkis SJ, Kenter JAM, Oikonomou EK, dan Robinson IS. 2002. High resolution ground verification, cluster analysis and optical model of reef substrate coverage on Landsat TM imagery (Red Sea, Egypt). Int. J. Remote Sensing. 23 (8) :1677-1698.

Siregar V, Wouthuyzen, Sunuddin, Anggoro, dan Mustika. 2013. Pemetaan Habitat Dasar Dan Estimasi Stok Ikan Terumbu Dengan Citra Satelit Resolusi Tinggi. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 453-463

(29)

19

Stehman VS dan RL Czaplewski. 1998. Design and Analysis for Thematic Map Accuracy Assessment: Fundamental Principles. Remote Sensing Environment

64 : 331-344.

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Wicaksono P.2014. The use of image rotations on multispectral-based benthic habitats mapping. 12th Biennial Conference of Pan Ocean Remote Sensing Conference (PORSEC 2014), Bali-Indonesia.

(30)

20

LAMPIRAN

Lampiran 1 Titik pengamatan habitat dasar perairan dangkal

Lintang Bujur Ket Titik Kode -5,86668 106,6121 Pasir diselingi karang/L/Alga 208 PKLA

(31)

21 -5,86802 106,6127 Pasir diselingi karang/L/Alga 224 PKLA -5,86812 106,6127 Pasir diselingi karang/L/Alga 225 PKLA -5,8682 106,6127 Pasir diselingi pecahan karang/L/Alga 226 PRLA

-5,86829 106,6128 Karang hidup dan pecahan karang 227 KRB -5,86836 106,6128 Karang hidup dan pecahan karang 228 KRB -5,86844 106,6128 Pasir dan pecahan karang 229 PR -5,86854 106,6129 Pasir dan pecahan karang 230 PR

(32)
(33)

23

-5,85091 106,6227 Pecahan karang 297 R -5,85081 106,6227 Pecahan karang 298 R -5,85073 106,6227 Pecahan karang 299 R -5,85064 106,6227 Pecahan karang 300 R

-5,85072 106,6228 Pecahan karang 301 R -5,85119 106,6228 Pecahan karang 302 R

-5,85134 106,6228 Pasir 303 P

-5,85141 106,6228 Pecahan karang dan alga 304 RA

-5,85208 106,6228 Lamun tinggi 305 LTT

-5,8523 106,6229 Mangrove 306 M

-5,85311 106,623 Mangrove 307 M

-5,85321 106,6229 Mangrove 308 M

-5,85331 106,6228 Pasir 309 P

-5,85363 106,6227 Pasir 310 P

-5,85405 106,6226 Pasir 311 P

-5,85427 106,6225 Pecahan karang 312 R

(34)

24

Lampiran 2 Gambar objek pengamatan habitat perairan dangkal

Lamun tutupan sedang Pecahan karang dan alga

Pasir diselingi pecahan karang/lamun/alga Karang hidup dan pecahan karang

Pasir lamun Pasir diselingi karang/lamun/alga

(35)

25

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, 02 Januari 1992 merupakan anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan Ayah Ir. Teguh. M. Sardjono M.Sc dan Ibu Emma Romadiah. Pada tahun 2007-2010 penulis menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 1 Bogor. Pada tahun 2010 penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian Seleksi Mahasiswa Baru (USMI) pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama kuliah di Institut Pertanian Bogor penulis mendapatkan kesempatan sebagai asisten mata kuliah Selam Ilmiah (2012), Pemetaan Sumberdaya Hayati Laut (2014) dan magang di NGO dari United Kingdom (UK) yaitu Manta Watch (2014) di Manggarai Barat dan Komodo, NTT. Penulis aktif dalam organisasi Fisheries Diving Club (FDC-IPB) sebagai anggota divisi dokumentasi 2011-2012, koordinator divisi Pendidikan dan Latihan tahun 2012-2013, dan koordinator divisi Hubungan Luar Klub 2013-2014 serta anggota divisi kewirausahaan Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) tahun 2011-2012. Penulis mengikuti sertifikasi selam One Star Scuba Diver (A-1) POSSI tahun 2010, Advanced Scuba Diver (A2) PADI tahun 2014, Rescue Diver (A3) dan Dive Master (A4) POSSI-CMAS tahun 2015.

Penulis aktif menjadi panitia dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di kampus mejadi koordinator divisi dokumentasi Ekspedisi Zooxanthellae XII FDC-IPB, Sambas-Paloh, Kalimantan Barat dan anggota divisi dokumentasi Ekspedisi Zooxanthellae XIII FDC-IPB, Pulau Sabu-Raijua, NTT.

Gambar

Gambar 1 Peta lokasi penelitian
Gambar 2 Alur pengolahan dan analisis data citra satelit
Tabel 1 Nilai spektral kanal citra Worldview-2 (Digital Globe 2010  2011)
Gambar 3 Confusion matrix (Congalton dan Green 2009)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Hamdan Dimyanti (2014) kontrak unit price / harga satuan, yaitu kontrak pengadaan barang / jasa atas penyelesaiaan seluruh pekerjaan dalam batas waktu

Laporan ini memuat tentang identitas serta permasalahan dari keluarga dampingan, realisasi pemecahan masalah dan kegiatan yang dilakukan mahasiswa sebagai pendamping

Dengan keahlian pengguna atau pemakai komputer (user) maka semakin efektif penerapan sistem informasi di suatu perusahaan. Perumusan masalah penelitian ini adalah 1)

Ketika diperhatikan pada satu kegiatan pembelajaran guru tidak hanya mengajarkan satu karakter saja namun karakter lain yang sekiranya dapat diajarkan pun tetap

Hal ini berarti jika pengecoran menggunakan dengan massa jenis polystyrene foam lebih rendah maka massa jenis benda cor akan lebih tinggi (Kim dan Lee, 2007 dalam Sutiyoko

Dari pelaksanaan pre-tes yang dilakukan peneliti yang bertindak mengajar dan meneliti pada materi pelajaran ruang lingkup kearsipan diperoleh data sebagai berikut:

kabupaten Tuban kecamatan Palang sudah lama berlaku dan dipakai oleh masyarakat. Mengingat jual beli yang berlaku di masyarakat Kecamatan Palang Kabupaten Tuban masih

(b) Vena pulmonari mengangkut darah beroksigen dari peparu ke jantung, manakala aorta mengangkut daarah beroksigen dari jantung ke semua bahagian bada, kecuali peparu..