PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN LAUT DANGKAL
DI GUGUSAN PULAU TIGA, KABUPATEN NATUNA
DENGAN MENGGUNAKAN CITRA ALOS AVNIR-2
LA ODE AHMAD MUSTARY
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul “ Pemetaan Batimetri Perairan Laut Dangkal di Gugusan Pulau Tiga, Kabupaten Natuna Dengan Menggunakan Citra Alos Avnir-2” adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
RINGKASAN
LA ODE AHMAD MUSTARY. Pemetaan Batimetri Perairan Laut Dangkal di Gugusan Pulau Tiga, Kabupaten Natuna Dengan Menggunakan Citra Alos Avnir-2. Dibimbing oleh VINCENTIUS P. SIREGAR.
Batimetri adalah proses penggambaran dasar perairan sejak pengukuran, pengolahan, hingga visualisasinya. Tujuan dari penelitian ini adalah 1) memetakan perairan laut dangkal Pulau Tiga, Kabupaten Natuna dengan menggunakan citra satelit ALOS AVNIR-2 dengan mengaplikasikan algoritma Lyzenga (1985). 2) Melakukan uji akurasi citra satelit dengan menggunakan formula Root Mean Square Error (RMSE) matriks kesalahan atau matriks konfusi. Data yang digunakan adalah data digital citra ALOS AVNIR-2 akuisisi pada tanggal 20 Mei 2009 yang telah dikoreksi geometrik dan radiometrik, data pasang surut pada saat peliputan citra dan saat pengambilan data kedalaman pemeruman yang dilakukan oleh lembaga riset South East Asia Center for Tropical Biology (SEMEO BIOTROP) pada bulan Oktober dan November 2010. Kanal hijau merupakan kanal yang sesuai untuk memetakan kedalaman perairan laut dangkal Pulau Tiga, Kabupaten Natuna. Estimasi kedalaman perairan laut dangkal hasil turunan dari citra ALOS AVNIR-2 pada perairan laut dangkal Pulau Tiga hanya mampu menginterpretasikan kedalaman hingga kedalaman sekitar 8 meter. Ketelitian seluruh hasil klasifikasi (Overall Accuracy) antara nilai kedalaman pemeruman dan kedalaman dugaan citra adalah 68,79%. Model regresi linier yang dianalisis cukup memadai untuk digunakan pada transformasi citra ALOS AVNIR-2
Kata kunci : Algoritma Lyzenga , ALOS AVNIR-2, Batimetri.
ABSTRACT
LA ODE AHMAD MUSTARY. Bathymetry Mapping of Marine Shallow Water on Tiga Islands, Natuna Regency by Using Image of ALOS AVNIR-2. Supervised by VINCENTIUS P. SIREGAR.
Bathymetry is a depiction of the bottom waters since the measurement, processing, up to the visualization. The purpose of this research is 1) To map the marine shallow waters on Tiga Island, Natuna Regency by using image of ALOS AVNIR-2 by applying the Lyzenga algorithm (1985). 2) To test the accuracy of satellite images using the formula Root Mean Square Error (RMSE) or confusion matrix. The data used is the digital image of ALOS AVNIR-2 acquisitions on May 20, 2009 which have geometric and radiometric correction, the data on the current tidal and current coverage of the image and depth of field data collection conducted by SEMEO BIOTROP in October and November 2010. Green canal is the canal corresponding to Mapping of Marine Shallow Water on Tiga Islands, Natuna Regency. Marine Shallow water estimation results derived from ALOS AVNIR-2 imagery in shallow waters of the Tiga Island only able to interpret the depth to a depth of about 8 meters. The accuracy of classification results (Overall Accuracy) between the values and depth of field image of the alleged depth is 68.79%. A linear regression Model that analyzed quite insufficient for use on image transformation of ALOS AVNIR-2.
DI GUGUSAN PULAU TIGA, KABUPATEN NATUNA
DENGAN MENGGUNAKAN CITRA ALOS AVNIR-2
LA ODE AHMAD MUSTARY
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
Nama Mahasiswa : La Ode Ahmad Mustary Nomor Pokok : C54062676
Program Studi : Ilmu dan Teknologi Kelautan
Disetujui oleh Pembimbing
Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA NIP. 19561103 198503 1 003
Diketahui oleh Kepala Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M. Sc NIP. 19640801 198903 1 001
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Pemetaan Batimetri Perairan Laut Dangkal di Gugusan Pulau Tiga, Kabupaten Natuna Dengan Menggunakan Citra Alos Avnir-2, untuk
memperoleh gelar sarjana pada program studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Selama penyusunan skripsi penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Orang tua dan keluarga yang selalu memberikan kasih sayang dan perhatian
serta doa dan dukungannya baik secara moril maupun materil.
2. Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA selaku Pembimbing Skripsi atas arahan dan bimbingan beliau selama proses penyelesaian skripsi.
3. Dr. Ir. Nyoman M.N. Natih, M.Si selaku Pembimbing Akademik selama penulis menuntut ilmu di Departemen ITK, FPIK, IPB.
4. Githa Prima Putra, Coryelisabety Dianovita, Achmad Rifai, Vicky Riski A. Katili, Hengky Wibowo, Luki Agus G.P.S. Sinaga, Risky Rizaldi yang selalu mendukung dan memberikan motivasi pada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
5. ITK 43 pada khususnya serta warga ITK pada umumnya atas kerjasama dan kebersamaanya.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, namun penulis berharap skrispsi ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi diri sendiri maupun pembacanya serta bermanfaat bagi dunia pendidikan khususnya di bidang Ilmu dan Teknologi Kelautan.
Bogor, Juli 2013
ii
2.1. Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Laut Dangkal 4 2.1.1. Batimetri ... 4
2.1.2. Pemetaan batimetri perairan laut dangkal ... 5
2.2. Karakteristik Citra Satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite) ... 8
2.3. Pasang Surut ... 10
2.4. Pengertian Perairan Laut Dangkal ... 11
3 METODOLOGI ... 12
2.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 12
2.2. Alat dan Bahan ... 13
2.3. Pengumpulan dan Pengolahan Data Lapang ... 14
2.3.1. Pengumpulan data ... 14
4.1.1 Transformasi Algoritma Lyzenga ... 24
4.1.2 Peta Batimetri ... 27
iii
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Karakteristik Satelit ALOS ... 9 2. Karakteristik Sensor AVNIR-2 pada ALOS ... 10 3. Matriks kesalahan (confusion matrix) ... 22 4. Korelasi antara hasil plot kedalaman pemeruman dan nilai digital citra
ALOS AVNIR-2 ... 26 5. Matriks konfusi selang kelas nilai kedalaman pemeruman dan
iv
1. Konversi kedalaman ke kedalaman bawah datum ( Zt = kedalaman air pada saat waktu t (baik di lapangan, maupun pada saat pengukuran melaui penginderaan jauh), ht = ketinggian pasut di atas datum pada saat waktu t. Kedalaman dasar perairan dihitung mulai dari bawah
datum, yaitu Zt - ht ) ... 7 2. Citra satelit ALOS ... 8 3. Pencitraan dan sensor AVNIR-2 pada ALOS ... 10 4. Lokasi penelitian di perairan laut dangkal pada gugusan
Pulau Tiga, Kabupaten Natuna, Provinsi Riau ... 12 5. Komposit citra ALOS AVNIR-2 akuisisi 20 Mey 2009 pada lokasi
penelitian di perairan laut dangkal pada gugusan Pulau Tiga,
Kabupaten Natuna, Provinsi Riau. ... 13 6. Diagram alir pengolahan data batimetri citra ALOS AVNIR-2 ... 23 7. Persamaan linear antara data kedalaman pemeruman dan nilai digital citra ALOS AVNIR-2 ( a=kanal biru, b=kanal hijau, c=kanal merah) ... 25 8. Histogram nilai transformasi algoritma Lyzenga ... 28 9. Peta estimasi kedalaman perairan laut dangkal Pulau Tiga dengan
menggunakan algoritma Lyzengan ... 29 10. Peta estimasi kedalaman perairan laut dangkal Pulau Tiga dengan
menggunakan algoritma Lyzengan yang telah dikelaskan ke dalam
beberapa kelas kedalaman ... 30 11. Nilai kedalaman duga (estimated depth)terhadap nilai kedalaman
pemeruman (actual depth) ... 31 12. Analisis residual antara nilai kedalaman pemeruman (actual depth)
v
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Regresi statistik hubungan antara kedalaman pemeruman dan nilai
digital citra ALOS AVNIR-2 ... 36 2. Regresi statistik hubungan antara kedalaman pemeruman dan nilai
hasil transformasi algoritma Lyzenga yang dikembangkan
(nilai kedalaman dengan nilai faktor koreksi) ... 37 3. Histogram citra ALOS AVNIR-2 hasil transformasi algoritma Lyzenga Pada perairan laut dangkal Pulau Tiga ... 38 4. Data nilai kedalaman pemeruman dan kedalaman dugaan, nilai
1 1.1. Latar Belakang
Batimetri adalah proses penggambaran dasar perairan sejak pengukuran, pengolahan, hingga visualisasinya (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005). Batimetri perairan dangkal biasanya dapat dicirikan dari warna pada beberapa habitat, seperti daerah terlindung, daerah cukup terlindung, dan daerah terekspos atau tak terlindung (Green et al., 2000).
Peta batimetri dalam aplikasinya memiliki banyak manfaat dalam bidang kelautan dan perikanan, untuk bidang kelautan antara lain penentuan jalur
pelayaran yang aman, perencanaan bangunan pinggir pantai, pendeteksian adanya potensi bencana tsunami di suatu wilayah, dan pertambangan minyak lepas pantai. Selain itu, peta batimetri diperlukan untuk mengetahui kondisi morfologi suatu daerah perairan. Peta batimeri untuk bidang perikanan dibutuhkan dalam menentukan lokasi potensi untuk perikanan budidaya laut (Nurjaya, 1991).
Indonesia memiliki garis pantai sepanjang ± 81.000 km, maka pemeruman kedalaman (batimetri) yang lebih efisien dan efektif tanpa memerlukan biaya yang besar dan waktu yang lama menjadi sangat penting (Wouthuyzen, 2001).
2
Teknologi pemetaan batimetri berkembang dari waktu ke waktu. Pada awalnya, kedalaman diukur dengan menggunakan tambang yang ujungnya diberi pemberat dan mencoba untuk memperhitungkan kapan pemberat tersebut
menyentuh dasar. Metode ini sulit dilakukan dan hasilnya hampir selalu tidak akurat karena arus yang kuat dapat menarik tambang dan pemberatnya ke samping sehingga kedalaman yang dihasilkan sering bukan kedalaman sebenarnya.
Metode ini kurang akurat juga membutuhkan waktu yang lama karena kapal harus berhenti dalam waktu yang lama untuk menurunkan dan menaikan tambang (Sager 1988). Oleh karena itu, saat ini teknik penginderaan jauh banyak
digunakan sebagai alternatif untuk survei batimetri, terutama untuk perairan laut dangkal.
Teknologi penginderaan jauh memiliki beberapa keunggulan seperti memberikan informasi secara kontinu, data yang dihasilkan berupa data digital dalam bentuk foto atau citra yang memudahkan manusia untuk mengolahnya, cakupan daerah yang diobservasi luas dan mampu mendeteksi daerah yang sulit dijangkau atau berbahaya bagi manusia, dan tidak memerlukan pengeluaran yang besar karena biayanya yang relatif murah. Teknologi ini juga dapat menimbulkan permasalahan apabila terjadi variasi pemantulan yang signifikan pada
dimana data pemeruman berisi informasi atau data yang lebih akurat dan detail. Hasil dari uji akurasi ini biasanya disusun dalam bentuk matriks kesalahan yang juga dinamakan dengan matriks konfusi. Selain mengindentifikasi kesalahan dalam suatu kategori, matriks konfusi juga dapat mengindentifikasi kesalahan pada klasifikasi antar kategori (Siregar, 2008). Karena teknologi ini masih belum mampu memberikan hasil yang memuaskan dalam hal keakuratan informasi, sehingga masalah keakuratan ini merupakan suatu kegiatan penelitian yang terus berkembang sampai saat ini.
Pendekatan algoritma merupakan salah satu metode yang digunakan untuk memecahkan kelemahan-kelemahan pendugaan batimetri dengan data satelit. Penelitian ini akan mencoba menggunakan algoritma Lyzenga (1985) untuk pendugaan kedalaman yang hanya terbatas pada perairan laut dangkal dengan menggunakan citra satelit ALOS di perairan Gugusan Pulau Tiga, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.
1.2. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Memetakan perairan laut dangkal Gugusan Pulau Tiga, Kabupaten Natuna dengan menggunakan citra satelit ALOS AVNIR-2 dengan mengaplikasikan algoritma Lyzenga (1985).
4
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Laut Dangkal 2.1.1. Batimetri
Istilah batimetri (bathymetry) berasal dari bahasa yunani yang
didefisinikan sebagai pengukuran dan pemetaan topografi dasar laut, (pipkin et al,
1987). Poerbandono dan Djunarsjah (2005), menjelaskan bahwa batimetri adalah
proses penggambaran dasar perairan sejak pengukuran, pengolahan, hingga
visualisasinya. Batimetri perairan dangkal biasanya dapat dicirikan dari warna
pada beberapa habitat, seperti daerah terlindung, daerah cukup terlindung, dan
daerah terekspos atau tak terlindung (Green et al., 2000).
Batimetri perairan dangkal sangat penting untuk studi morfologi dasar laut,
pengelolaan dan manajemen sumber daya zona pesisir. Selain itu informasi
batimetri juga dapat digunakan dalam pembuatan peta lainnya, seperti pemetaan
kondisi habitat karang. Pengetahuan tentang kedalaman air memungkinkan
estimasi albedo dasar, yang dapat meningkatkan kualitas pemetaan habitat
(Mumby et al dalam Siregar dan Selamat, 2010).
Batimetri perairan dangkal biasanya dapat dicirikan dari warna beberapa
habitat pada daerah terlindung, daerah cukup terlindung, dan daerah terekspos
atau tak terlindung (Green et al., 2000). Hal ini dikarenakan oleh banyaknya
pantulan cahaya dari dasar laut di perairan dangkal dan kurangnya penyerapan
cahaya tersebut pada kolom perairan.
Pengukuran kedalaman perairan dengan metode konvensional dilakukan
ke perairan dengan pemberat. Namun sekarang ini metode pengukuran
kedalaman telah berkembang yaitu dengan menggunakan sistem foto udara atau
penginderaan jarak jauh dengan citra satelit.
2.1.2. Pemetaan batimetri perairan laut dangkal
Hidrografi adalah ilmu yang mempelajari dan membahas tentang deskripsi
serta pengukuran fisik laut, danau, sungai dan kaitannya dengan wilayah pantai
(BSNI, 2010). Informasi yang diperoleh dari kegiatan ini bermanfaat dalam
pengelolaan dan pembangunan sumberdaya laut dalam industri kelautan.
Informasi-informasi tersebut salah satunya dapat berupa kedalaman perairan.
Pemetaan dasar perairan ini juga sangat penting untuk menunjang pengembangan
wilayah pantai dan pesisir sehingga dapat diketahui tempat-tempat yang rawan,
seperti topografi yang curam yang dekat dengan garis pantai. Peta batimetri
sekarang ini telah banyak diproduksi oleh beberapa instansi kelautan, tetapi
kebanyakan peta batimetri tersebut memetakan kedalaman pada perairan dalam
yang digunakan untuk keperluan navigasi.
Pemetaan kedalaman perairan telah banyak dilakukan oleh beberapa
peneliti dengan menggunakan citra satelit. Citra satelit yang umum digunakan
untuk memetakan batimetri perairan terutama perairan dangkal (shallow water),
yaitu citra Landsat TM dan Landsat MSS, SPOT XS, dan Airborne MSS (Green
et al., 2000).
Umumnya pemetaan batimetri ini dilakukan dengan beberapa persyaratan
kondisi perairan, seperti kecerahan air yang cukup penting perannya pada saat
satelit merekam data. Perairan yang jernih memungkinkan sensor satelit untuk
6
berhubungan dengan atenuasi cahaya pada perairan, dimana sensor satelit dengan
cahaya biru dan hijau yang mampu menembus hingga ke dasar perairan,
sedangkan cahaya merah umumnya akan diserap atau dihamburkan di kolom
perairan sehingga tidak mampu menembus lebih jauh lagi ke dasar perairan. Oleh
karena itu, dalam memetakan kedalaman perairan dangkal juga memerlukan data
lain, seperti turbiditas air yang mempengaruhi penetrasi kedalaman.
Ada beberapa metode yang dikenal untuk memetakan batimetri, seperti
metode Benny dan Dawson, metode Jupp, dan metode Lyzenga (Green et al.,
2000). Metode-metode pemetaan batimetri ini umumnya mengasumsikan 3 hal,
yaitu (i) atenuasi cahaya merupakan fungsi eksponensial untuk kedalaman, (ii)
kualitas air yang tidak tampak berbeda pada citra, (iii) albedo (penampakan
warna) dari substrat adalah konstan. Biasanya metode satu dengan yang lain
merupakan metode yang dikembangkan dari metode sebelumnya, seperti metode
Jupp merupakan pengembangan dari metode Lyzenga. Sedangkan metode yang
paling modern yang lebih tinggi tingkat teknologinya adalah metode Airborne
Lidar Bathymetry (Selamat dan Nababan, 2009).
Metode yang digunakan untuk menduga batimetri melalui citra juga dapat
menimbulkan permasalahan apabila terjadi variasi pemantulan yang signifikan
pada karakteristik substrat dasar sehingga perlu dilakukan validasi data kedalaman
yang biasanya menggunakan metode pemeruman. Oleh karena itu dibutuhkan
suatu uji akurasi atau validasi data yang berfungsi untuk menguji ketelitian dari
data atau informasi yang dihasilkan dari pengolahan citra. Pada umumnya uji
akurasi ini dilakukan untuk membandingkan antara kedua data atau informasi,
pemeruman (Ground truth), dimana data dari hasil pemeruman berisi sumber
informasi atau data yang lebih akurat dan detail. Hasil dari uji akurasi ini
biasanya disusun dalam bentuk matriks kesalahan yang juga dinamakan dengan
matriks konfusi. Selain mengindentifikasi kesalahan dalam suatu kategori,
matriks konfusi juga dapat mengindentifikasi kesalahan pada klasifikasi antar
kategori (Siregar, 2008).
Kedalaman perairan yang terukur, baik secara in situ maupun melalui citra
satelit, terukur mulai dari bawah permukaan air. Pengukuran kedalaman ini perlu
dilakukan akurasi data sehubungan dengan adanya beberapa faktor yang
mempengaruhi pengukuran kedalaman tersebut, seperti tinggi pasang surut (pasut)
pada waktu pengukuran. Ketinggian pasang surut dalam satu hari dapat
berbeda-beda sehingga hal ini sangat mempengaruhi pengambilan data kedalaman
tersebut. Agar menghindari kesalahan klasifikasi pada pembuatan peta batimetri,
maka perlu dilakukan koreksi data kedalaman terhadap data pasang surut seperti
pada Gambar 1 berikut :
Sumber: Modifikasi dari Green et al. (2000).
Gambar 1. Konversi kedalaman ke kedalaman bawah datum (Zt = kedalaman
air pada saat waktu t (baik di lapangan, maupun pada saat pengukuran melaui penginderaan jauh), ht = ketinggian pasut di
Ketinggian air pada waktu t
Datum
ht
Z Zt
8
atas datum pada saat waktu t. Kedalaman dasar perairan dihitung mulai dari bawah datum, yaitu Zt - ht).
Nilai kedalaman dasar perairan yang diukur umumnya nilai kedalaman
sebenarnya ditambah dengan nilai pasut. Oleh karena itu penting untuk mencatat
waktu pada saat pengukuran kedalaman agar datum yang diperoleh dapat
dikoreksi dengan benar.
2.2.Karakteristik Citra Satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite)
ALOS singkatan dari Advanced Land Observing Satellite adalah satelit
milik Jepang yang merupakan satelit generasi lanjutan dari JERS-1 dan ADEOS
yang dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju. ALOS yang diluncurkan pada
tahun 2006 adalah satelit pemantau lingkungan yang biasa dimanfaatkan untuk
kepentingan kartografi, observasi wilayah, pemantauan bencana alam, dan survei
sumber daya alam. Selain Indonesia, Jepang juga mengajak Thailand sebagai
mitra proyek ALOS di Asia. Satelit ALOS ini membawa 3 jenis sensor, yaitu
PALSAR, PRISM dan AVNIR-2. ALOS diluncurkan dari Pusat Ruang Angkasa
Tanagashima, Jepang pada tahun 2006 seperti telihat pada Gambar 2 berikut :
Sensor Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)
mempunyai keistimewaan dapat menembus awan, sehingga informasi permukaan
bumi dapat diperoleh setiap saat, baik malam maupun siang hari. Resolusi untuk
high resolusion mode dan ScanSAR masing-masing 10 meter dan 100 meter. Data
PALSAR ini dapat digunakan untuk pembuatan DEM (Digital Elevation Model),
interferometry untuk mendapatkan informasi pergeseran tanah, monitoring
kehutanan, pertanian, tumpahan minyak, mineral, soil moisture, pencarian
pesawat dan kapal yang hilang. ALOS dilengkapi dengan dua teknologi yang
lebih maju : pertama teknologi yang mampu mengerjakan data dalam kapasitas
yang sangat besar dengan kecepatan tinggi, dan kedua adalah untuk menentukan
posisi satelit dan ketinggian yang lebih tepat. Karakteristik dari Satelit ALOS
dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:
Tabel 1. Karakteristik satelit ALOS
Alat Peluncuran Roket H-IIA
Tempat Peluncuran Pusat Ruang Angkasa Tanagashima
Berat Satelit 4000 Kg
Power 7000 W
Waktu Operasional 3 sampai 5 Tahun
Orbit Sun-Synchronous Sub-Recurr Orbit
Periode Ulangan 46 hari sub-cycle 2 hari Tinggi Lintasan 692 km di atas equator
Inclinasi 98,2 °
Sumber : JAXA, 2006
Sensor AVNIR-2 merupakan instrumen pada satelit ALOS yang
dilengkapi kanal multispektral untuk pengamatan permukaan daratan dan wilayah
pesisir dengan resolusi spasial lebih baik dari AVNIR-ADEOS. Sensor ini
digunakan untuk tujuan pemetaan dan klasifikasi penutup/penggunaan lahan skala
regional, dengan memiliki kemampuan “cross track pointing” untuk pemantauan
10
Gambar 3. Pencitraan dan sensor AVNIR-2 pada ALOS (Sumber : JAXA, 2006)
Karakteristik sensor AVNIR-2 pada ALOS dapat dilihat pada Tabel 2 berikut :
Tabel 2. Karakteristik sensor AVNIR-2 satelit ALOS
Kanal Observasi
Kanal 1: 0,42 – 0,50 μm (warna biru) Kanal 2: 0,52 – 0,60 μm (warna hijau) Kanal 3: 0,61 – 0,69 μm (warna merah) Kanal 4: 0,76 – 0,89 μm (infra merah dekat)
S/N > 200
MTF Kanal 1-3 : > 0,25
Kanal 4 : > 0,20
Resolusi 10 m (Nadir)
Lebar cakupan 70 km (Nadir)
Jumlah Detektor 7000 / Kanal Sudut Pengambilan -44 to +44 Derajat
Panjang Bit 8 Bit
Sumber : JAXA, 2006
2.3.Pasang Surut
Pasang surut merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya
permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya
sentrifugal dan gaya tarik menarik dari benda-benda astronomi terutama oleh
matahari, bumi dan bulan. Pengaruh benda angkasa lainnya dapat diabaikan
non astronomi yang mempengaruhi pasang surut terutama di perairan semi
tertutup (teluk) antara lain adalah bentuk garis pantai dan topografi dasar perairan
(Bishop, 1984).
Permukaan air laut senantiasa berubah setiap saat karena gerakan pasang
surut. Periode selama permukaan air laut naik disebut air pasang (floo tide),
sedangkan kedudukan pada waktu permukaan air laut menurun akibat gaya
pasang surut disebut air surut (ebb tide) dan kedudukan rendah dan air tinggi
disebut tunggang (tidal range) yang besarnya tergantung pada tempat dan
karakteristik daerah setempat (Gross, 1993).
2.4.Pengertian Perairan Laut Dangkal
Menurut Nyabakken (1992) laut dangkal yaitu wilayah perairan dekat dan
berbatasan dengan daratan berada pada zone neritik pelagik. Perairan ini berada
di pinggiran daratan utama, lautan sangat dangkal menutupi bawah air benua
yang disebut paparan benua yang mencakup 7-8 % seluruh luas lautan,
mempunyai kemiringan sangat landai dari pantai samapai kedalaman 200 m.
Sistem penginderaan jauh pasif hanya mampu mengestimasi kedalaman
perairan dangkal kurang lebih sampai kedalaman 30 m (Lyzenga 1978). Pada
beberapa tempat bahkan kurang dari 30 m, seperti Perairan Great Barrier Reef
hanya mampu mengestimasi kedalaman sampai dengan 11 meter. Stumpt et al.
(2003) mampu mengestimasi kedalaman pada perairan yang sedikit keruh sampai
dengan kedalaman 25 meter.
Kondisi perairan yang bermacam-macam mengakibatkan dasar laut
dangkal terdapat ekosistem yang berbeda dengan perairan dalam. Ekosistem yang
12
3. METODE
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini menggunakan data sekunder dari hasil kegiatan yang
dilakukan oleh lembaga riset South East Asia Center for Tropical Biology
(SEMEO BIOTROP) pada tahun 2010 yang berjudul “Studi Kesesuaian Budidaya
Rumput Laut di Kabupaten Natuna”. Dalam penelitian ini, lokasi yang dipilih
untuk studi kasus adalah terbatas pada perairan laut dangkal pada gugusan Pulau
Tiga, Kabupaten Natuna, Provinsi Riau. Penelitian ini dilakukan pada bulan
Agustus 2011 sampai bulan Mei 2013. Lokasi yang menjadi kajian penelitian
ditampilkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Lokasi penelitian di perairan laut dangkal pada gugusan Pulau
Citra ALOS AVNIR-2 yang digunakan pada Gambar 4 diatas adalah
merupakan hasil akuisisi pada tanggal 20 Mei 2009, dimana tampilan citra awal
yang dihasilkan adalah seperti Gambar 5 berikut.
Gambar 5. Komposit citra ALOS AVNIR-2 akuisisi 20 Mei 2009 pada lokasi
penelitian di perairan laut dangkal pada gugusan Pulau Tiga,
Kabupaten Natuna, Provinsi Riau.
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan untuk pengolahan data citra yaitu sebuah personal
komputer dengan spesifikasi intel Pentium IV yang dilengkapi dengan perangkat
lunak Microsoft Excel untuk mengolah data statistik. IDRISI Kilimanjaro dan ER
MAPER 6.4 untuk mengolah data Citra ALOS AVNIR-2 serta ArcGis 9.2 untuk
layout peta. Bahan yang digunakan yakni data digital citra ALOS AVNIR-2
14
saat pengambilan data kedalaman pemeruman dengan GPS (GARMIN 76CX)
yang dilakukan oleh SEMEO BIOTROP.
3.3. Pengumpulan dan Pengolahan Data Lapang 3.3.1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juli sampai Agustus 2011. Data
yang dikumpulkan adalah data hasil pengukuran yang dilakukan oleh SEMEO
BIOTROP pada bulan Oktober dan November 2010, yaitu meliputi :
a) Pengukuran kedalaman air yang dilakukan dengan alat perum gema frekuensi
ganda yang dilengkapi dengan alat penentu posisi global (GPS). Hasil
pengukuran kedalaman disurutkan ke Mean Sea Level (MSL). Jalur
pemeruman direncanakan akan mengikuti profil pantai secara melintang
(cross) dimulai dari daerah terdangkal (diluar zona gelombang pecah), hingga
kedalaman 10 meter.
b) Pengukuran pasang surut yang dilakukan selama 15 hari dari tanggal 23
Oktober – 6 November 2010 dengan menggunakan alat pengukur pasang surut
yang ditempatkan didaerah yang diperkirakan tetap tergenang air bila air surut.
Tempat lokasi pengukurannya berada di daerah Pulau Tiga. Pencatatan
dilakukan denagn interval 1 jam selama 15 piantan, yang dimulai pada pukul
00.00 waktu setempat.
c) Pencatatan posisi koordinat pada daerah kajian serta pengukuran pasang surut
waktu perekaman citra.
3.3.2. Pengolahan Data
Pengolahan data awal yang dilakukan adalah koreksi pasang surut, hal ini
dengan waktu perekaman citra sehingga memungkinkan kedalaman yang
berbeda. Data kedalaman pemeruman perlu dilakukan kalibrasi dengan data
kedalaman laut pada saat perekaman citra. Koreksi ini perlu dilakukan dengan
alasan kondisi tinggi muka air laut dan kedalaman laut bersifat tidak statis dan
mengalami perubahan karena adanya pasang surut air laut. Proses kalibrasi ini
memerlukan data pasang surut pada waktu pengambilan data kedalaman
pemeruman, prediksi pasang surut pada waktu kedalaman pemeruman dan data
prediksi pasang surut pada waktu perekaman citra.
Teknik penyesuaian data kedalaman antara waktu perekaman citra dengan
waktu pengambilan data pemeruman dilakukan dengan menghitung selisih
kedalaman antara kedua data. Hal yang dapat dilakukan dan yang harus
diperhatikan adalah sebagai berikut :
1. Pastikan pengamatan pasang surut dilakukan pada waktu-waktu tersebut dan
nilai-nilai elevasi muka laut acuan (air tinggi, air tengah, air rendah) diikatkan
ke Bencmark (BM) yang sama agar memiliki sistim vertikel yang sama.
2. Plot waktu satelit melintas di kurva pasang surut untuk mendapatkan elevasi
muka air aktual.
3. Plot waktu pemeruman di kurva pasang surut.
4. Hitung beda elevasi muka air
Perbedaan elevasi muka air saat satelit melintas dengan muka air pada saat
pemeruman (K) :
K = As-Ap ... (1) Elevasi muka air satelit (As) = elevasi muka air perum (Ap) + koreksi (K)
16
Dengan dilakukannya koreksi muka air mengacu pada elevasi muka air saat
satelit melintas, maka nilai-nilai kedalaman hasil pengukuran diharapkan telah
mewakili kondisi aktual kedalaman yang direkam oleh citra.
3.4. Pengolahan Data Satelit
Pengolahan citra dilakukan dengan menggunakan komputer yang
dilengkapi dengan software ER MAPPER dan IDRISI Kilimanjaro yang bertujuan
memperbaiki kualitas citra agar mudah diinterpretasi oleh manusia/mesin
(komputer).
Pemrosesan citra dilakukan secara bertahap, yaitu pengolahan citra awal
dan pengolahan citra lanjutan. Pemrosesan citra awal meliputi Pemulihan citra
(image restoration) dan penajaman citra (image enhancement). Pemulihan citra
terdiri dari koreksi geometrik dan radiometrik. Dalam penelitian ini citra yang
digunakan telah mengalami koreksi geometrik dan radiometrik. Oleh karena itu,
penelitian ini memfokuskan pada pengolahan citra lanjutan yang meliputi tahap
pengekstraksian citra untuk memperoleh nilai reflektansi atau digital number
(DN) citra dengan menggunakan algoritma Lyzenga yang telah dikembangkan.
Proses pemotongan citra (Cropping Datasheet) hanya dipilih pada lokasi
penelitian yang diperlukan saja yaitu perairan sekitar Pulau Tiga. Potongan citra
ini digunakan untuk mengekstrak nilai Digital Number (DN) pada area kajian
(training area) yang diteliti.
Objek laut dan yang lainnya perlu dibedakan, pembedaan dilakukan
dengan masking citra yaitu memberikan nilai nol untuk obyek bukan laut
(menghilangkan objek bukan laut). Tahapan ini diperlukan agar obyek bukan laut
bertujuan untuk memfokuskan area kajian ke daerah perairan pada saat
pengolahan data citra.
3.5. Transformasi citra
Transformasi citra yang digunakan yaitu transformasi algoritma Lyzenga
(1985), secara umum dinyatakan sebagai berikut (Wouthuyzen, 2001) :
K*
lnVO
V = Sinyal radians yang diamati pada citra,
VS = Bagian sinyal hasil pembaruan radiasi di atmosfir, kolom air,
dan permukaan laut,
k = Koefisien attenuasi , dan
VO = Faktor sensitifitas yang meliputi kontribusi irradians matahari di
permukaan air, pantulan dasar perairan, transmisi atmosfir dan
pengaruh dari sensor itu sendiri.
3.6. Klasifikasi citra
Klasifikasi citra merupakan proses pengelompokan pixel pada suatu citra
ke dalam sejumlah class (kelas), sehingga setiap kelas dapat menggambarkan
suatu entitas dengan ciri-ciri tertentu. Klasifikasi citra bertujuan untuk
menghasilkan peta tematik, dimana suatu warna mewakili suatu objek tertentu.
Pada tahap ekstraksi citra dilakukan analisis data dengan membandingkan nilai
kedalaman in situ dan nilai reflektansi gelombang yang dipancarkan dari kanal
satelit yang berupa DN yang disajikan dalam grafik Cartesian. Ketiga kanal citra
18
menentukan kanal citra yang paling baik untuk digunakan pada proses pemetaan
batimetri. Nilai digital (digital number/DN) ke tiga kanal citra ALOS AVNIR-2
hasil olahan citra dengan kisaran panjang gelombang sinar tampak (kanal biru,
hijau dan merah) dianalisis relasinya terhadap nilai pantulan radiasi (nilai
reflektansi) dari citra hasil transformasi. Agar dapat mengetahui kekuatan relasi
dari kedua variabel tersebut, maka dilakukan uji regresi linier terhadap persamaan
regresi linier yang diperoleh dari data hasil olahan ketiga kanal citra. Hasil uji
regresi linier ini akan diperoleh nilai koefisien korelasi linier (r) dan determinansi
(R2) dari persamaan-persamaan regresi tersebut.
3.7. Analisis Hasil
Penggunaan analisa regresi bertujuan untuk menentukan besarnya
hubungan antara data kedalaman dan nilai digital pada masing-masing band.
Analisa regresi untuk variabel bebas (x) yaitu nilai digital pada masing-masing
band dan variabel terikat (y). Hasil dari uji regresi linier ini akan diperoleh nilai
koefisien korelasi linier (r) dan determinansi (R2). Persamaan-persamaan regresi
tersebut yaitu sebagai berikut (Walpole 1997) :
……... (3)
... (4)
Keterangan :
JKr : Jumlah kuadrat regresi JKt : Jumlah kuadrat total
r : koefisien korelasi x : nilai digital masing-masing band
n : jumlah data y : nilai kedalaman pemeruman
Koefisien korelasi linier ini digunakan untuk mengukur kekuatan
hubungan linier antara kedua variabel dalam persamaan regresi linier yang
dianalisis (Walpole, 1997). Rentang nilai koefisien korelasi linier ini adalah -1
hingga 1(-1 ≤ r ≤ 1). Koefisien korelasi dapat dikatakan memiliki hubungan
linier yang baik bila mendekati -1 atau 1.
Koefisien determinasi menyatakan proporsi variasi variabel dependen
yang dapat dijelaskan oleh variasi variabel independen (Walpole, 1997). Nilai
besaran koefisien determinasi merupakan hasil kuadrat dari koefisien korelasi,
sehingga nilai koefisien ini selalu bernilai positif antara nol dan satu (0≤R2≤1).
Nilai koefisien determinasi akan lebih baik apabila nilai tersebut semakin
mendekati 1, yang menyatakan bahwa sekitar 100% nilai variabel dependen dapat
dijelaskan oleh variasi varibel dependen. Dari hasil uji koefisien determinasi ini
dapat diketahui persamaan regresi yang baik untuk mengestimasi kedalaman
perairan laut dangkal pada daerah kajian.
3.8. Pemetaan Batimetri
Pengukuran kedalaman in situ menggunakan GPS Sounder. Pada saat
pengukuran dapat terjadi suatu kesalahan yang dapat diindikasikan dari presisi
dan akurasinya. Presisi mengacu dari ulangan bacaan alat tersebut, sedangkan
akurasi mengacu pada pendekatan pengukuran terhadap angka sebenarnya
(Chapra dab Canale dalam Siregar et al., 2008). Hubungan antara nilai
aproksimasi dan nilai sebenarnya dirumuskan sebagai berikut:
20
Pada penelitian ini, kedalaman suatu perairan diduga dengan
menggunakan algoritma Lyzenga (1985) yang dikembangkan mampu
memberikan informasi kedalaman pada suatu citra satelit, namun untuk
mentransformasikannya algoritma ini hanya membutuhkan 1 kanal terbaik dari
citra tersebut agar mampu membedakan antar obyek dalam citra secara nyata.
Fungsi linier kedalaman (Z) dapat diperoleh dengan mengasumsikan nilai
radians (V) pada persamaan 3 bervariasi terhadap kedalaman perairan. Nilai VS
diduga dengan mengasumsikan bahwa perairan dalam (>40 m) nilai radians pada
panjang gelombang biru telah terserap habis oleh kolom air dalam tersebut,
sehingga memiliki DN = 0 dan jikai DN bernilai lebih dari 0, maka nilai tersebut
merupakan pengaruh dari faktor lain seperti pembauran dari atmosfir
(Wouthuyzen, 2001).
Setelah kedua data dari olahan citra ALOS AVNIR-2 dan pemeruman
diperoleh, dilakukan estimasi akurasi citra satelit untuk mengetahui apakah data
yang diperoleh dari citra satelit sesuai digunakan untuk pemetaan batimetri atau
tidak. Estimasi akurasi dilakukan dengan membandingkan data dari citra dengan
data hasil pemruman sebagai validasi data kedalaman. Kalkulasi nilai akurasi
untuk estimasi data satelit menggunakan formula Root Mean Square Error
Selain itu, untuk mengindentifikasi kesalahan dan ketelitian dalam suatu
klasifikasi citra yang telah dikelaskan ke dalam beberapa kelas kedalaman juga
dilakukan uji akurasi dengan menggunakan matriks kesalahan atau matriks
konfusi. Evaluasi akurasi ini menentukan seberapa besar persentase ketelitian
antara nilai kedalaman pemeruman dan nilai kedalaman dugaan yang telah
dibentuk menjadi kelas-kelas kedalaman baru dengan selang kelas tertentu.
Nilai-nilai yang dihasilkan dari matriks konfusi adalah producer’s accuracy, user’s
accuracy, overall accuracy, dan kappa accuracy. Berikut adalah formula yang
digunakan untuk ke empat nilai di atas.
22
dimana, N = jumlah piksel setiap kelas pada training area
r = jumlah kelas
Xi+ = ∑ Xij (jumlah kolom pada baris ke-i)
X+j = ∑ Xij (jumlah kolom pada baris ke-j)
Hasil dari seluruh akurasi di atas dievaluasi ke dalam matriks kesalahan
(confusion matrix) seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Matriks kesalahan (confusion matrix)
Data Acuan Diklasifikasi Ke Kelas Total Baris Producer's accuracy
Training Area A B ... D Xk+ Xkk / Xk+
A X ... ... ... ... ...
B ... ... ... ... ... ...
... ... ... ... ... ... ...
D ... ... ... ...
Total Kolom X+k N
User's Accuracy Xkk / X+k
Sumber : (Congalton dan Green, 1999)
Gambar 6. Diagram alir pengolahan data batimetri dengan citra satelit ALOS AVNIR-2. Citra ALOS AVNIR-2
yang sudah terkoreksi
Cropping citra
Training area
Nilai reflektansi gelombang berupa
digital number (DN)
Masking citra awal
Koreksi kedalaman pemeruman terhadap pasang surut (koreksi pasang surut)
Data Pendukung
1. Pasang Surut 2009 (waktu perekaman citra) 2. Pasang Surut 2010 (waktu survei)
3. Kedalaman Pemeruman 2010 (waktu survei)
4. Koordinat tracking area 2010 (waktu survei)
Kedalaman terkoreksi
Pengolahan citra (Perhitungan nilai X)
Konstanta
Masking citra akhir
24
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pemetaan Batimetri
4.1.1. Transformasi Algoritma Lyzenga
Penggunaan Transformsi algoritma Lyzenga (1985) dalam pengolahan
data citra ALOS AVNIR-2 salah satunya adalah untuk mengestimasi kedalaman
suatu perairan serta mendapatkan informasi obyek di bawah air. Ekstraksi
informasi kedalaman perairan laut dangkal dari citra guna menghasilkan peta
estimasi kedalaman yang optimum, transformasi algoritma Lyzenga
menggunakan kanal tunggal. Nilai kedalaman air dugaan diperoleh dari hasil
analisis regresi antara data kedalaman pemeruman dengan nilai reflektansi
gelombang yang berupa digital number (DN) pada ke 3 kanal citra sehingga
menghasilkan suatu persamaan linear seperti terlihat pada Gambar 7 yang
dipergunakan untuk memilih kanal yang tepat untuk digunakan pada algoritma
kedalaman Lyzenga.
Persamaan linier yang dihasilkan dari masing-masing kanal citra pada
wilayah perarain laut dangkal Pulau Tiga memperlihatkan bahwa kanal hijau
adalah kanal yang sesuai untuk memetakan kedalaman perairan laut dangkal pada
wilayah kajian, hal ini karena kanal hijau berkorelasi lebih baik dengan
kedalaman dibandingkan dengan kanal-kanal lainnya. Seperti yang terlihat pada
Gambar 7, model persamaan yang dihasilkan dari masing-masing kanal bervariasi,
oleh karena itu penting untuk menganalisis masing-masing model persamaan
linier untuk mengetahui model persamaan regresi linier yang baik digunakan
(a)
(b)
(c)
26
Penentuan model persamaan regresi linier untuk mentransformasi seluruh
nilai yang menjadi nilai piksel citra yang menunjukkan kedalaman dugaan
ditentukan berdasarkan koefisien korelasi yang tertinggi dari ketiga persamaan
regresi tersebut. Transformasi persamaan ini didasarkan pada persamaan linier
sederhana dari algoritma Lyzenga. Koefisien korelasi (r) dan koefisien
determinasi (R2) yang dihasilkan dari masing-masing kanal dapat dilihat pada
Tabel 4 berikut.
Tabel 4. Korelasi antara hasil plot kedalaman pemeruman dan nilai digital citra ALOS AVNIR-2.
Jenis Kanal Nilai Koefisien Korelasi (r) Nilai KoefisienDeterminasi (R2)
Biru 0.87 0.76
Hijau 0.89 0.79
Merah 0.79 0.62
Penggunaan analisa korelasi bertujuan untuk menentukan besarnya
hubungan antara kedalaman hasil pemeruman dengan hasil klasifikasi spektral
(nilai digital) kedalaman dari masing-masing algoritma. Tabel 4 diatas
menunjukan bahwa nilai koefisien korelasi pada kanal hijau adalah sebesar 0.89,
nilai tersebut cukup menunjukan keeratan hubungan linear yang terbentuk
diantara nilai-nilai kedalaman pada wilyah kajian dengan nilai-nilai reflektansi
hasil transformasi citra. Berdasarkan hal tersebut, maka transformasi algoritma
Lyzenga yang digunakan untuk mentransformasi citra pada wilayah kajian
dituliskan sebagai berikut :
Z = 5,35 * ln (V – VS kanal hijau) – 24,83 ………. (12) Nilai koefisien Determinasi (R2) kanal hijau pada wilayah kajian adalah
sebesar 0,79; dengan demikian dapat dikatakan bahwa 79% di antara keragaman
dalam nilai-nilai kedalaman pada wilyah kajian dapat dijelaksan oleh hubungan
dari sisi pemetaan dengan menggunakan metode matriks konfusi menunjukkan
hasil seperti terlihat pada Tabel 5 berikut.
Tabel 5. Matriks konfusi selang kelas nilai kedalaman pemeruman dan kedalaman dugaan.
Pemeruman
Citra 1-2 2,01-4 4,01-8 >8 ∑ pengamatan/sampel
1-2 19 27 4 1 51
2,01-4 9 70 34 2 115
4,01-8 2 11 193 27 233
>8 4 8 8 20 40
Total kolom 34 116 239 50 439
Overall Accuracy 68,79
User Accuracy Producer Accuracy
Kelas Akurasi Kelas Akurasi
1-2 19/34 0,56 1-2 19/51 0,37
2,01-4 70/116 0,60 2,01-4 70/115 0,61
4,01-8 193/239 0,81 4,01-8 193/233 0,83
>8 20/50 0,4 >8 20/40 0,50
Rata-rata 0,59 Rata-rata 0,58
Hasil uji akurasi pada pada wilayah kajian (Tabel 5) dapat dilihat bahwa
ketelitian seluruh hasil klasifikasi (Overall Accuracy) antaranilai kedalaman
pemeruman dan kedalaman dugaan citra adalah 68,79%. Nilai tersebut berarti
bahwa hubungan antara nilai kedalaman pemeruman dan kedalaman duga kurang
baik karena nilai ketelitian yang diharapkan tidak memenuhi syarat yaitu lebih
besar dari 70% (Purwadi, 2001). Pada User Accuracy dan Producer Accuracy
terjadi kesalahan klasifikasi berupa kekurangan jumlah piksel pada kelas
kedalaman (1-2 meter) dan pada kedalaman (>8 meter) hal ini di akibatkan
masuknya piksel-piksel kelas tersebut ke kelas yang lain.
4.1.2. Peta Batimetri
Transformasi citra untuk ekstraksi informasi kedalaman menggunakan
28
obyek pada masing-masing kanal. Pada peneltitian ini peta batimetri dibuat
berdasarkan persamaan regresi (Nomor 12). Hasil dari transformasi algoritma
Lyzenga merupakan nilai kedalaman dan nilai faktor koreksi kedalaman
berdasarkan data pasang surut (Z+K). Histogram yang dihasilkan dari persamaan
regresi yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 8 berikut.
Gambar 8.Histogram nilai transformasi algoritma Lyzenga.
Peta estimasi kedalaman perairan laut dangkal gugusan Pulau Tiga
yang dihasilkan dari histogram diatas (sebelum dikelaskan ke dalam beberapa
Gambar 9.Peta estimasi kedalaman perairan laut dangkal Pulau Tiga dengan
menggunakan algoritma Lyzenga.
Pengkelasan kedalaman untuk pemetaan dilakukan dengan mengkelaskan
nilai hasil transformasi ke dalam beberapa kelas baru. Pengkelasan ini
berdasarkan penyesuaian dengan histogram pada citra hasil transformasi dan
dilakukan dengan mengukur nilai-nilai pada tiap puncak pada histogram dan
menggunakan nilai-nilai tersebut sebagai acuan untuk memetakan kedalaman
30
Gambar 10. Peta estimasi kedalaman perairan laut dangkal Pulau Tiga dengan
menggunakan algoritma Lyzenga yang telah di kelaskan kedalam
beberapa kelas kedalaman.
Estimasi kedalaman perairan laut dangkal hasil turunan dari citra ALOS
AVNIR-2 ini hanya mampu mengintepretasikan kedalaman hingga kedalaman
sekitar 8 meter (Gambar 10), lebih dari itu gelombang elektromagnetik tidak dapat
lagi menembus perairan sampai ke dasar laut dikarenakan adanya faktor
kekeruhan dan merupakan laut dalam. Namun model regresi yang digunakan
untuk membuat peta batimetri perairan laut dangkal masih dapat digunakan
karena nilai kedalaman pemeruman yang digunakan pada saat pengolahan analisis
4.2. Galat (Error) Model Nilai Digital Asli dengan Algoritma Lyzenga
Grafik antara kedalaman pemeruman dan estimasi kedalaman dengan
algoritma Lyzenga pada Gambar 11 untuk kedalaman perairan laut dangkal Pulau
Tiga, Kabupaten Natuna menunjukkan bias yang tinggi pada kedalaman duga
lebih dari 8 meter. Maka persamaan regresi linier yang digunakan untuk menduga
kedalaman di perairan laut dangkal Pulau Tiga dapat dikatakan hanya mampu
menduga kedalaman mendekati kedalaman yang sebenarnya hingga nilai
kedalaman sekitar 8 meter saja. Selain itu, keakuratan data hasil analisis regresi
pada kanal hijau juga dapat terlihat dari RMSE atau standard error yaitu sebesar
0,14 meter yang dapat dilihat pada Lampiran 1.
Hasil korelasi antara kedalaman pemeruman dan data hasil transformasi
algoritma Lyzenga pada wilayah kajian menunjukkan koefisien korelasi sebesar
0,89 dengan standard error sebesar 0,72 m (Lampiran 2). Nilai ini menunjukkan
korelasi yang baik antara nilai kedua kedalaman. Hal ini juga dibuktikan dengan
rata-rata bias (selisih antara nilai kedalaman pemeruman dan kedalaman duga)
yang kecil pada setiap data kedalaman (Lampiran 4).
Gambar 11. Nilai kedalaman duga (estimated depth) terhadap nilai kedalaman pemeruman (actual depth).
Seperti yang terlihat pada Lampiran 2 RMSE atau standard error dan
32
kedalaman pemeruman. Mishra et al. (2001) menyatakan bahwa apabila semakin
dalam penetrasi gelombang sinar tampak, maka akan semakin bertambah besar
atenuasi yang terjadi pada energy gelombang tersebut.
Hasil analisis residual merupakan selisih antara hasil model dugaan
kedalaman dengan kedalaman pemeruman (Gambar 12). Analisis residual dalam
analisis regresi memegang peranan penting, yang umumnya digunakan untuk
pendeteksian atau penafsiran kesesuaian antara data dugaan dengan data hasil
pemeruman yang digunakan.
Gambar 12. Analisis residual antara nilai kedalaman pemeruman (actual depth) dengan kedalaman duga (estimated depth).
Kisaran keakurasian yang digunakan sebesar ±2 meter pada
masing-masing analisis residual data kedalaman, dimana pada gambar diatas jumlah data
adalah 237 dan jumlah data yang tidak masuk pada kisaran ±2 meter adalah
sebanya 41 data. Berdasarkan data tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sekitar
82,70% data kedalaman dugaan perairan laut dangkal Pulau Tiga dapat dipercaya
tingkat keakurasiannya dan dapat dikatakan bahwa model regresi linier yang
dianalisis cukup memadai untuk digunakan pada transformasi citra ALOS
33 5.1. Kesimpulan
Kanal hijau adalah merupakan kanal yang berkorelasi lebih baik dengan kedalaman dibandingkan dengan kanal biru dan kanal merah. Nilai koefisien korelasi (r) dan koefisien determinasi (R2) pada kanal hijau adalah sebesar 0.89 (r) dan 0,79 (R2). Keakuratan data hasil analisis regresi pada kanal hijau terlihat dari nilai RMSE atau standard error yang kecil yaitu 0,14 meter. Berdasarkan data-data tersebut maka kanal hijau adalah merupakan kanal yang sesuai untuk memetakan kedalaman perairan laut dangkal Pulau Tiga, Kabupaten Natuna. Transformasi algoritma Lyzenga yang digunakan untuk mentransformasi citra pada wilayah kajian adalah (Z = 5,35 * ln (V – VS kanal hijau) – 24,83) dan berdasarkan analisis residual, model regresi linier yang dianalisis cukup memadai untuk digunakan pada transformasi citra ALOS AVNIR-2. Hasil uji akurasi dengan matriks konfusi, bahwa ketelitian seluruh hasil klasifikasi (Overall Accuracy) antaranilai kedalaman pemeruman dan kedalaman dugaan citra adalah 68,79%.
5.2. Saran
34
DAFTAR PUSTAKA
Bishop, J.M. 1984. Applied Oceanography. A Wiley-Interscience Publication. John Wiley & Sons. Newyork, USA.
Badan Standardisasi Nasional, 2010. Survei Hidrogarafi dengan Menggunkan Singlebeam Echosounder. Jakarta.
Congalton, R. G., and K. Green. 1999. Assessing the Accuracy of Remotely Sensed Data. CRC Press, Boca Raton.
Dronkers, J.J. 1964. Tidal Computations in River and Coastal Waters. North Holland Publishing Company. Amsterdam.
Green, E.P., P.J. Mumby, dan A.J. Edwards. 2000. Mapping bathymetry. h. 219-234. In A.J. Edwards (Ed.), Remote Sensing Handbook for Tropical Coastal Management. Coastal Management Sourcebook 3. UNESCO, Paris.
Gross, M.G. 1993. Oceanography : A View of Earth. (6th edition). Prentice Halls, Englewood Cliffs. New jersey.
JAXA. 2006. ALOS User handbook. Earth Observation Research Center Japan Aerospace Exploration Agency. Japan.
Lyzenga D.R. 1978. Passive Remote Sensing Technique for Mapping Water depth and Bottom Features. Applied Optics 17:379-383.
Lyzenga D.R. 1985. Shallow-water bathymetry using combined lidar and passive multispectral scanner data. Int. J, Remote Sens. 6:115-125.
Mishra, D., S. Narumalani, M. Lawson, dan D. Rundquist. 2001. Bathymetric MappingUsing IKONOS Multispectral Data. GIS Science and Remote sensing. 41(4):301-321.
Nurjaya, I.W. 1991. Penuntun Praktikum Dasar-dasar Oseanografi. Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nybakken J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. M. Eidman,
Koesoebiono, Dietrich G.B., Malikusworo H. Dan Sukristijono S, Penerjemah. Jakarta : PT. Gramedia 459 hlm.
Pipkin, B.W., Gorsline, R.E. casey dan D.E. Hammond, 1987. Laboratory Exercises in Oceanography. Second Edition. W.H. Freeman and Company. New York.
Lampiran 1. Regresi statistik hubungan antara kedalaman pemeruman dan nilai digital citra ALOS AVNIR-2.
Regression Statistics
Multiple R 0.887077765 R Square 0.786906962 Adjusted R
Square 0.785467144 Standard Error 0.141923573 Observations 150
df SS MS F
Significance F
Regression 1 11.00842 11.00842 546.5323 1.51865E-51 Residual 148 2.98106 0.020142
37
Lampiran 2. Regresi statistik hubungan antara nilai kedalaman pemeruman dan nilai hasil tranformasi algoritma Lyzenga yang dikembangkan (nilai kedalaman dengan nilai faktor koreksi).
Regression Statistics
Multiple R 0.886785356 R Square 0.786388268 Adjusted R
Square 0.785479282 Standard Error 0.720536549 Observations 237
ANOVA
df SS MS F Significance F
Regression 1 449.1504268 449.1504268 865.1268406 9.96733E-81 Residual 235 122.0056359 0.519172919
39
Lampiran 4. Data nilai kedalaman pemeruman dan kedalaman dugaan, nilai digital kanal hijau citra ALOS AVNIR-2 pada pengembangan model Lyzenga, dan nilai biasnya.
kedalaman Pemeruman (m)
Data Analisis Citra Alos
VNIR-2 Kedalaman Duga
(m) Bias
Ln (V-Vs) Kanal Hijau
Penulis dilahirkan di Masiri pada Tanggal 5 Maret 1986. Anak ke 3 dari 4 bersaudara keluarga Bapak La Ode Basri dan Ibu Wa Ode Nuriani. Jenjang pendidikan yang telah di tempuh oleh penulis adalah Taman Kanak – kanak Majapahit, Buton tahun 1993. SDN 2 Bola lulus pada tahun 20000, SMPN 2 Batauga lulus tahun 2003 dan SMUN 1 Bau-bau lulus pada tahun 2005.
Pada tahun 2005, penulis diterima di Jurusan Tekhnik Energi, Politeknik Negeri Jakarta (tidak diselesaikan) karena pada tahun 2006 penulis diterima di Intitut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB dan tahun 2007 penulis diterima di Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama kuliah, penulis pernah menjadi asisten m.a Dasar-dasar Instrumentasi Kelautan. Penulis juga aktif pada organissai kemahasiswaan yaitu menjadi delegasi dari Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor untuk kegiatan Musyawarah Kerja Nasional (MUKERNAS) mahasiswa Kelautan Indonesia di Institut Teknologi Surabaya (ITS) pada tahun 2008.
Penulis melakukan penelitian di bidang penginderaan jauh dan SIG kelautan untuk penyusunan skripsi dengan judul “Pemetaan Batimetri Perairan Laut Dangkal Di Gugusan Pulau Tiga, Kabupaten Natuna Dengan Menggunakan Citra Alos Avnir-2”.
-1,70 3,14 -2,33 0,63
-7,90 3,14 -7,82 -0,08
-12,60 3,14 -8,54 -4,06
-2,10 3,04 -2,83 0,73
-3,40 3,04 -4,11 0,71
-4,80 3,04 -5,50 0,70
-13,80 3,04 -8,80 -5,00
-2,70 3,00 -3,29 0,59
-6,10 2,94 -5,80 -0,30
-6,80 2,94 -6,28 -0,52
-15,40 2,94 -9,07 -6,33
-1,80 2,89 -2,33 0,53
-4,40 2,89 -5,36 0,96
-2,20 2,83 -2,92 0,72
-2,20 2,77 -2,92 0,72
-15,70 2,40 -9,67 -6,03
-15,70 2,20 -9,67 -6,03
-15,60 1,95 -9,36 -6,24
-1,90 0,69 -2,49 0,59
-1,90 0,69 -2,57 0,67
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Masiri pada Tanggal 5 Maret 1986. Anak ke 3 dari 4 bersaudara keluarga Bapak La Ode Basri dan Ibu Wa Ode Nuriani. Jenjang pendidikan yang telah di tempuh oleh penulis adalah Taman Kanak – kanak Majapahit, Buton tahun 1993. SDN 2 Bola lulus pada tahun 20000, SMPN 2 Batauga lulus tahun 2003 dan SMUN 1 Bau-bau lulus pada tahun 2005.
Pada tahun 2005, penulis diterima di Jurusan Tekhnik Energi, Politeknik Negeri Jakarta (tidak diselesaikan) karena pada tahun 2006 penulis diterima di Intitut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB dan tahun 2007 penulis diterima di Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama kuliah, penulis pernah menjadi asisten m.a Dasar-dasar Instrumentasi Kelautan. Penulis juga aktif pada organissai kemahasiswaan yaitu menjadi delegasi dari Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor untuk kegiatan Musyawarah Kerja Nasional (MUKERNAS) mahasiswa Kelautan Indonesia di Institut Teknologi Surabaya (ITS) pada tahun 2008.
Penulis melakukan penelitian di bidang penginderaan jauh dan SIG kelautan untuk penyusunan skripsi dengan judul “Pemetaan Batimetri Perairan Laut Dangkal Di Gugusan Pulau Tiga, Kabupaten Natuna Dengan Menggunakan Citra Alos Avnir-2”.