• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Farmakoekonomi Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Pneumonia Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Farmakoekonomi Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Pneumonia Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Lampiran 3 Data Demografi Pasien Pneumonia RSUP H.Adam Malik

Kelamin Tgl Masuk Tgl Keluar Status

(4)
(5)

49.59.18 NH 47 Lk 9-Jan-12 17-Jan-12 Pbj 8 0.83

41.65.96 KL 56 Lk 15-Feb-12 19-Feb-12 Pbj 4 1.68

50.99.99 RS 39 Lk 1-Apr-12 5-Apr-12 Pbj 4 0.99

8

Ampisilin (Injeksi) +

Gentamisin (injeksi) 58.21.45 SM 11 (bln) Lk 20-Nov-13 24-Nov-13 Pbj 4 2.24

58.54.30 MR 1 (bln) Lk 23-des-13 27-des-13 Pbj 4 1.08

54.84.78 AL 5 (bln) Lk 16-Feb-13 22-Feb-13 Pbj 6 0.95

9

Ceftriakson (injeksi) +

Cefadroksil (oral) 56.41.84 RH 71 Pr 24-Jun-12 1-Jul-13 Pbj 7 1.69

54.84.97 BS 51 Pr 16-Feb-12 21-Feb-12 Pbj 6 1.14

(6)

Lampiran 4 Biaya Rawat Inap Pasien Pneumonia RSUP H. Adam Malik

No Rekam Medik Lama Rawat inap Kelas Rawat inap Biaya Per hari Rawat Inap (Rp)

Biaya Total Rawat Inap (Rp)

54.32.30 7 III 45000 315000

56.30.80 8 III 45000 360000

54.40.74 5 III 45000 225000

51.87.69 6 III 45000 270000

50.13.20 6 III 45000 270000

57.65.81 7 III 45000 315000

48.65.45 7 III 45000 315000

58.59.47 4 III 45000 180000

57.66.82 6 III 45000 270000

55.09.53 9 III 45000 405000

53.89.43 5 III 45000 225000

52.90.85 7 III 45000 315000

54.94.23 6 III 45000 270000

54.38.76 5 III 45000 225000

54.45.10 5 III 45000 225000

52.72.67 10 III 45000 450000

56.05.37 5 III 45000 225000

51.60.03 10 III 45000 450000

55.72.67 10 III 45000 450000

(7)

56.36.07 8 III 45000 360000

50.06.60 6 III 45000 270000

54.55.80 9 III 45000 405000

56.73.65 12 III 45000 540000

50.82.45 5 III 45000 225000

51.06.82 6 III 45000 270000

52.63.75 5 III 45000 225000

53.46.94 8 III 45000 360000

56.69.89 7 III 45000 315000

54.98.98 6 III 45000 270000

58.59.71 4 III 45000 180000

52.27.65 9 III 45000 405000

49.99.23 7 III 45000 315000

57.75.92 6 III 45000 270000

52.87.16 10 III 45000 450000

56.66.79 6 III 45000 270000

54.84.15 7 III 45000 315000

56.85.28 12 III 45000 540000

57.76.97 5 III 45000 225000

49.59.18 8 III 45000 360000

41.65.96 4 III 45000 180000

50.99.99 4 III 45000 180000

58.21.45 4 III 45000 180000

(8)

54.84.78 6 III 45000 270000

56.41.84 7 III 45000 315000

54.84.97 6 III 45000 270000

(9)

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, H. (2010). Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru . Surabaya: Airlangga University Press. Halaman: 33 – 35.

Anonim. (2011). Epidemiologi Pneumonia. epidemiologi pneumonia.html. 5(2): 212.

Anonim. (2012). Pneumonia. Diakses tanggal 11 September 2014.

Dahlan, S. (2000). Hukum Kesehatan. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Halaman: 48 – 49.

Departemen Kesehatan RI. (2005). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi

Saluran Nafas. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman: 22 – 25.

Departemen Kesehatan RI. (2003). Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) salah

satu pembunuh Utama Anak-Anak. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Halaman: 18 – 21.

DiPiro, J. T., Talbert, R.L., Yee, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M. (2005).

Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. 6th Edition. New York: McGraw-Hill Companies. Halaman: 345 – 346.

Drummond, M., F., Bernie O’Brien, Greg, L., Stoddart, George W., Torrance. (1997). Methods for the Economic Evaluation of Health Care

Programmes. London: Oxford University Press. Halaman: 264 – 269.

Eisenberg, J. M., Schulman, K. A., Glick H., Koffer H. (1994).

Pharmacoeconomics: Economic Evaluation of Pharmaceuticals. In:

Strom BL, ed., Pharmacoepidemiologi. London: Jhon Wiley & Sons Ltd. Halaman: 179 – 181.

Fatma, A. L. (2009). Ekonomi Kesehatan. Medan: USU Press. Halaman: 67- 69. Iseelbacher, J. B., Braundwald, K. J., Martin. (2000). Harrison Prinsip – Prinsip

Ilmu Penyakit Dalam. Volume 4. Jakarta: EGC. Halaman: 315 – 317.

Kementrian Kesehatan RI. (2013). Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi. Jakarta: Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Halaman: 27 , 30 – 32.

Lestari W., Almahdy A., Nasrul Z., Deswinar D. (2011). Studi Penggunaan

Antibiotika Berdasarkan Sistem ATC/DDD dan Kriteria Gyysens di bangsal penyakit dalam RSUP DR.M. Djamil Padang. Padang. Pasca.

Unand.ac.id/id-wp content/artikel-pblikasi.pdf. Diakses tanggal 24 Maret 2014.

Mansjoer, A., Kuspuji, T., Rakhmi, S., Setiwulan. (2000). Kapita Selekta

(10)

Mahdina, R. (2010). Mengenal, Mencegah, dan Mengobati Penularan Penyakit

dari Infeksi. Yogyakarta: Citra Pustaka. Halaman: 104 – 106.

Menendez, R., Cremandes, M., Martinez-Moragon, E. (2003). Duration Of Length

Of Stay In Pneumonia: Influence Of Clinical factors and Hospital Type.

ERS Journals Ltd. 6(3): 341.

Mycek, M. J., Harvey, R. A., Champe, C. (2001) Farmakologi Ulasan

Bergambar. Edisi ke – 2. Jakarta: Widya Medika. Halaman: 301, 308 –

309.

Nasution, E., dan Ronald, S. (1988). Masalah Infeksi Dalam Pernafasan. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Halamaan: 44 – 45, 88 - 92.

Neal, M. J. (2006). At a Glance Farmakologi Medis. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga. Halaman: 80 – 81, 83.

Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Halaman: 57 – 58.

Orion. (1997). Pharmacoeconomics Primer and Guide Introduction to Economic

Evaluation. Virginia: Hoesch Marion Rousel Incorporation. Dalam: BAB II Tinjauan Pustaka.http://repository.usu.ac.id/bitstream/1234567

89/Diakses tanggal: 17 Mei 2014.

Phillips, C. (2009). What is Cost-effectiveness. http: Diakses tanggal: 12 Februari 2014.

Puteri, T. D. (2012). Analisis Biaya Pengggunaan Antibiotika Pada Pasien Pneumonia di Instalasi Rawat Inap IRNA Anak RSUP DR. Djamil Padang. Jurnal Farmasi Indonesia. 2(4): 12 – 15.

Rahajoe, N., Nastiti., Supriyanto, B., Budi, S. (2008). Respiralogi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. Halaman: 15 – 17.

Rahmadina. (2010). Analisis cost effectiveness penggunaan antibiotika pada

terapi profilaksis apendiktomi di bangsal Bedah RSUP DR.M. Djamil Padang.Padang.Pasca.unand.ac.id/id/wpcontent/uploads/2011/09/8.pdf.

8(5):144 – 148.

Rascati, K. L. (2009). Essential of Pharmacoeconomics. Philadelphia. Lippincott Williams and Wilkins. Halaman: 76 – 78.

Sanjoyo, R. (2008). Obat Biomedik Farmakologik. http://yoyoke.web.ugm.ac.id/

(11)

Sevilla., Consuelo, G., dan Manila, F. (2007). Research Methods. Quezon City: Rex Printing Company. Halaman: 127, 137.

Setiabudy dan Vincent, H. S. (2007). Pengantar Antimikroba Farmakologi Dan

Terapi. Editor Ganiswarna, S.G. Edisi V. Jakarta: Bagian Farmakologi

FKUI. Halaman: 90 – 92, 124 – 126, 144.

Setyoningrum, R. A., Setiawati, L., Makmuri, M. S. (2008). Pneumonia Dalam:

Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak.

Surabaya: RSUD Soetomo. Halaman: 50 – 56.

Shulman, M., Kristanti, C. H., Phair., Soemmers. (1994). Dasar Biologi dan Klinis Penyakit Infeksi. Edisis 4. Yogyakarta: Gajahmada University Press. Halaman: 321 – 324.

Siswandono., dan Soekardjo, B. (1995). Kimia Medisinal.Surabaya: Airlangga University Press. Halaman: 351 – 353.

Sloane. (2004). Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC. Halaman: 245.

Suharjono, Yunitati T., Sumarno., dan Semedisi. (2009). Studi Penggunaan

Antibiotika Pada Penderita Rawat Inap Pneumonia ( Penelitian Di Sub Departemen anak Rumkital DR. Ramelan Surabaya).

Journal.ui.ac.id/index. Php/mik/article/view/1220. 14(4): 321.

Tjay, T. H., dan Rahardja, K. (2006). Obat-Obat Penting. Edisi VI. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo. Halaman: 54 – 55, 154 – 156, 172.

Tjiptoherijanto P., dan Soesatyo, B. (2008). Ekonomi Kesehatan.. Jakarta : Rineka Cipta. Halaman: 4, 27 - 28.

Trisna, Y. (2010). Aplikasi Farmakoekonomi. http://www.ikatanapotekerindonesia

Underwood, J. C. E. (1999). Patologi Umum dan Sistematik. Edisi 2. Jakarta: EGC. Halaman: 110 – 112.

Vogenberg, F. R. (2001). Introduction To Applied Pharmacoeconomics. USA: Mc Graw-Hill Companies. Dalam: BAB II Tinjauan Pustaka. http://repository

Wawruch, M., Bozekova, L., Kozlikova, K., Foltan, V., Galatova, J., Lassanova, M., Kriska, M., (2004). Cost-Effectiveness Analysis Of Switching From Intravenous To Oral Administration Of Antibiotics In elderly Patients.

(12)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan desain cross-sectional dan menggunakan pendekatan retrospektif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara observasi, pengumpulan data sekaligus pada satu waktu dan menggunakan data yang lalu (Notoatmodjo, 2010).

3.2 Populasi dan Sampel 3.2.1 Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh data rekam medik pasien pneumonia rawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik periode Januari 2012 – Desember 2013.

3.2.2 Sampel

Subjek yang dipilih harus memenuhi kriteria sebagai berikut: Kriteria inklusi:

a. Pasien pneumonia yang dirawat di instalasi rawat inap Rumah Sakit Umum Pusat Haji adam Malik Januari 2012 – Desember 2013.

b. Pasien pneumonia tanpa penyakit penyerta.

c. Pasien pneumonia yang memakai Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).

(13)

Kriteria ekslusi:

a. Pasien pneumonia dengan penyakit penyerta.

b. Data status pasien yang tidak lengkap, hilang dan tidak jelas terbaca.

c. Pasien pneumonia yang pulang dengan status PAPS (pulang atas permintaan sendiri) dan meninggal dunia.

Sampel penelitian adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan subjek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Dalam menghitung besarnya sampel untuk mengukur proporsi dengan derajat akurasi pada tingkat statistik yang bermakna (signifikan) dengan menggunakan formula yang sederhana, karena populasi lebih kecil dari 10.000, dapat menggunakan rumus sebagai berikut (Notoatmodjo, 2010).

n = � 1+� (�2)

=

180

1+180 (0.052)

=

124

Keterangan:

N = Besar Populasi n = Besar Sampel

d = Tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan 5% (0,05)

(Sevilla, dkk., 2007).

2.3 Lokasi dan Waktu Penelitian 2.3.1 Lokasi Penelitian

(14)

2.4 Rancangan Penelitian 2.4.1 Pengumpulan Data

1. Pengumpulan data dilakukan dengan penelusuran data Rekam Medik, dan Daftar Harga Obat di Instalasi Farmasi secara retrospektif pada kasus pneumonia bulan Januari 2012 – Desember 2013. Data yang diambil meliputi:

a. Data karakteristik pasien meliputi nomor rekam medik, jenis kelamin, umur. b. Data klinis pasien meliputi diagnosis utama dan lama rawat inap.

c. Data penggunaan obat meliputi jenis, dosis, interval pemberian dan cara pemberian.

d. Data biaya keseluruhan meliputi biaya antibiotika, obat-obat lain, tindakan, rawat inap, penunjang dan administrasi.

2.5 Pengolahan Data

a. Data yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokkan dan diatur ke dalam Microsoft Excel.

b. Dianalisis biaya, lama rawat inap, dan keberhasilan terapi

c. Hasil pengolahan data kemudian dibahas secara farmakoekonomi. d. Pengambilan kesimpulan dilakukan berdasarkan hasil pengolahan data. 2.6 Analisis Data

Hasil penelitian dianalisis dengan analisis deskriptif. Besarnya biaya dihitung untuk memperoleh ada atau tidaknya efektivitas biaya pada pasien pneumonia yang menjalani rawat inap.

Analisis efektifitas biaya dihitung dengan menggunakan rumus Average

(15)

penggunaan antibiotik yang dikeluarkan pasien pneumonia terhadap efektivitas penggunaaan antibiotika dengan rumus sebagai berikut:

CEA = ����� ���������� �����������

������������� ���������� ���������� (Rp/mm 3

penurunan WBC)

Perbandingan antara jenis kombinasi atibiotika dengan antibiotika standar dianalisis menggunakan Incremental Cost Effectiveness Ratio (ICER) dengan rumus sebagai berikut:

ICER = ����� �����−����� �����

����������� ����� (%)−����������� ���� � (%)(Rp/mm

3

penurunan WBC)

Selain terhadap biaya penggunaan antibiotika, CEA dan ICER juga dilakukan terhadap total biaya perawatan.

2.7 Definisi Operasional

Definisi operasional dalam penelitian ini adalah:

a. Efektivitas biaya adalah suatu analisis untuk membandingkan total biaya langsung medis yang dikeluarkan oleh pasien pneumonia yang dirawat di instalasi rawat inap Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik.

b. Model terapi antibiotika adalah kelompok kombinasi obat antibiotika yang digunakan pasien pneumonia selama perawatan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik.

c. Biaya langsung medis adalah biaya yang dikelurkan oleh pasien terkait dengan jasa pelayanan medis meliputi biaya rawat inap dan biaya penaggunaan antibiotika.

(16)

e. Outcome adalah kesembuhan pasien yang dinilai dari normalisasi nilai

White Blood Cell (WBC)

2.8 Langkah Penelitian

Langkah penelitian yang dilaksanakan:

a. Meminta izin Dekan Fakultas Farmasi USU untuk mendapatkan izin

penelitian di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik.

b. Meminta izin Direktur Rumah Sakit Umum Pusat haji adam Malik untuk mendapatkan izin melakukan penelitian dan pengambilan data dengan membawa surat rekomendasi dari Fakultas.

c. Melakukan penelitian di bagian Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam

Malik, dengan mengambil data periode Januari 2012 – Desember 2013. d. Menganalisis data dan informasi yang diperoleh sehingga di dapatkan

(17)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengamatan dari data rekam medik pasien pneumonia rawat inap Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) periode Januari 2012 - Desember 2013 diperoleh data seluruh pasien yang menjalani perawatan adalah 180 pasien. Data yang didapatkan dari rekam medik pasien yang memenuhi kriteria inklusi adalah sebanyak 48 pasien. Data hasil penelitian kemudian diolah dengan analisis farmakoekonomi sehingga didapatkan kelompok antibiotika yang paling cost-effective. Adapun hasil penelitian dapat dilihat sebagai berikut:

4.1 Karakteristik Subjek Penelitian

4.1.1 Karakteristik Pasien Pneumonia Berdasarkan Jenis Kelamin

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah pasien pneumonia rawat inap RSUP H. Adam Malik pada periode Januari 2012 - Desember 2013 adalah 48 orang. Karakteristik pasien pneumonia berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 4.1. Persentase pasien pneumonia rawat inap RSUP Haji Adam Malik berdasarkan jenis kelamin.

laki-laki 62% perempuan

38%

(18)

Berdasarkan Gambar 1, dapat dilihat bahwa pasien laki-laki terdiri dari 30 orang (62%) dan pasien perempuan berjumlah 18 orang (38%). Dalam program Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut ( P2 ISPA) dijelaskan bahwa laki-laki adalah faktor resiko yang mempengaruhi kesakitan pneumonia (Depkes RI, 2003). Hal ini didukung oleh penelitian Sunyataningkamto (2004) menjelaskan anak laki-laki mempunyai resiko pneumonia sebesar 1,5 kali dibanding dengan perempuan, hal ini disebabkan karena diameter saluran pernafasan anak laki-laki lebih lebih kecil dibanding dengan anak perempuan. 4.1.2 Karakterisktik Pasien Pneumonia Berdasarkan Usia

Pada penelitian ini pasien pneumonia dikelompokkan menjadi 3 kelompok usia. Pertama dengan usia < 20 tahun, kelompok kedua dengan usia 20 - 60 tahun dan kelompok ketiga dengan usia > 60 tahun. Karakteristik pasien pneumonia berdasarkan usia dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 4.2. Persentase pasien pneumonia rawat inap RSUP Haji Adam Malik berdasarkan usia (tahun)

Berdasarkan Gambar 2, dapat dilihat bahwa pasien pneumonia dengan kelompok umur < 20 tahun terdiri dari 4 orang (8%), usia 20 - 60 tahun terdiri dari 30 orang (63%) dan usia > 60 tahun terdiri dari 14 orang (29%).

8%

63% 29%

Berdasarkan Usia

(19)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang terbanyak adalah kelompok usia 20 - 60 tahun (63%).

Pneumonia adalah penyakit infeksi yang menyebabkan peradangan akut

parenkim paru-paru dan pemadatan eksudat pada jaringan paru. Bakteri penyebab

yang utama adalah Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus untuk

bakteri yang tergolong gram positif dan Haemophilus influenzae, Klebsiella

pneumoniae, Mycobacterium tuberkulosis untuk bakteri yang tergolong gram

negatif. (Anonim, 2012).

Usia merupakan salah satu resiko utama pada beberapa penyakit. Hal ini disebabkan karena usia dapat memperlihatkan kondisi kesehatan seseorang. Anak-anak yang berusia 0 - 24 bulan lebih rentan terhadap penyakit pneumonia dibanding anak-anak yang berusia diatas 2 tahun. Hal ini disebabkan imunitas yang belum sempurna dan lubang pernafasan yang masih relatif sempit. Usia yang sangat muda dan sangat tua juga lebih rentan menderita pneumonia yang lebih berat (Depkes RI, 2003).

4.1.3 Karakteristik Pasien Berdasarkan Lama Rawat Inap

(20)

Gambar 4.3. Persentase pasien pneumonia rawat inap RSUP Haji Adam Malik berdasarkan lama rawat inap (hari)

Berdasarkan Gambar 3, dapat dilihat bahwa katagori efektif dengan lama rawat inap ≤ 9 hari terdiri dari 42 orang (87%) dan katagori tidak efektif ≥ 10 hari terdiri dari 6 orang (13%). Masing-masing 6 orang tersebut menggunakan terapi yang berbeda, diantaranya 3 orang menggunakan terapi injeksi cefotaxim dan injeksi gentamisin, 1 orang menggunakan terapi tunggal injeksi ceftriaxon, 1 orang menggunakan terapi injeksi ceftriakson dan injeksi gentamisin, dan 1 orang menggunakan terapi injeksi ceftazidin dan injeksi ciprofloksasin.

4.1.4 Model Terapi Antibiotika

Dari hasil penelitian yang dilakukan menggunakan rekam medik pasien, terapi antibiotika pasien pneumonia rawat inap RSUP H. Adam Malik dikelompokkan menjadi 9 model terapi antibiotika. Dalam hal ini model terapi antibiotika adalah kelompok kombinasi obat antibiotika yang digunakan pasien pneumonia selama menjalani perawatan di rumah sakit sampai pasien dinyatakan sembuh oleh dokter dan diizinkan pulang. Model terapi antibotika yang digunakan pada pasien pneumonia dapat dilihat pada Tabel 4.1

87% 13%

Berdasarkan Lama Rawat Inap

lama rawat inap ≤ 9

(21)

Tabel 4.1 Model terapi antibiotika pada pasien pneumonia rawat inap RSUP Haji Adam Malik

No Model Terapi Antibiotika Jumlah

pasien % 1 Infus Ciprofloksasin + Injeksi Ceftriakson 12 25 2 Injeksi Ceftriakson + Injeksi Gentamisin 9 18,75 3 Injeksi Cefotaxim + Injeksi Gentamisin 5 10,41

4 Injeksi Ceftriakson 5 10,41

5 Injeksi Ceftazidin + Injeksi Ciprofloksasin 5 10,41 6 Oral Eritromisin + Injeksi Ceftriakson 3 6,25 7 Injeksi Ceftriakson + Oral Ciprofloksasin 3 6,25 8 Injeksi Ampisilin + Injeksi Gentamisin 3 6,25 9 Injeksi Ceftriakson + Oral Cefadroksil 3 6,25

(22)

terapi yang masing-masing terapi terdiri 3 pasien (6,25%) yaitu: kombinasi oral eritromisin dan injeksi ceftriakson, injeksi ceftriakson dan oral ciprofloksasin, injeksi ampisilin dan injeksi gentamisin, injeksi ceftriakson dan oral cefadroksil (oral).

Pemilihan kombinasi antibiotika pada pasien pneumonia selain berdasarkan hasil kultur yang biasanya ditentukan sesuai peta kuman yang terdapat di rumah sakit juga berdasarkan hasil kultur mikroorganisme patogen serta ditentukan oleh keamanan obat dan dengan harga terjangkau dari segi farmakoekonomi. Pengobatan pneumonia kebanyakan dilakukan secara empiris yaitu menggunakan antibiotik spektrum luas yang bertujuan agar dapat langsung melawan beberapa penyebab infeksi (Rahmadina, 2010).

4.2 Analisis Biaya

Analisis efektivitas biaya digunakan untuk kajian farmakoekonomi untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan yang memberikan besaran efek yang berbeda (Rascati, 2009).

Kajian farmakoekonomi senantiasa mempertimbangkan dua sisi, yaitu biaya (cost) dan hasil pengobataan (outcome). Kenyatannya, dalam kajian yang mengupas sisi ekonomi dari suatu pengobatan ini, faktor biaya (cost) selalu dikaitkan dengan efektivitas (effectiveness), utilitas (utility) atau manfaat (benefit) dari pengobatan yang diberikan (Kemenkes RI, 2013).

(23)

adalah 4.000 sampai 10.000 per mm3. Infeksi atau kerusakan jaringan mengakibatkan peningkatan jumlah total leukosit. Leukosit berfungsi untuk meindungi tubuh terhadap invasi benda asing, termasuk bakteri dan virus. Sebagian besar aktivitas leukosit berlangsung dalam jaringan dan dalam aliran darah (Sloane, 2004).

Tabel 4.2 Outcome pasien pneumonia rawat inap RSUP Haji Adam Malik

Model terapi Jenis Antibiotika %

Outcome 1 Injeksi Cefotaxim + Injeksi Gentamisin 80 2 Infus Ciprofloksasin + Injeksi Ceftriakson 83 3 Injeksi Ceftriakson + Injeksi Gentamisin 88 4 Oral Eritromisin + Injeksi Ceftriakson 100

5 Injeksi Ceftriakson 100

6 Injeksi Ceftazidin + Infus Ciprofloksasin 100 7 Injeksi Ceftriakson + Oral Ciprofloksasin 100 8 Injeksi Ampisilin + Injeksi Gentamisin 100 9 Injeksi Ceftriakson + Oral Cefadroksil 100

Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa 6 model terapi yaitu model terapi 4, 5, 6, 7, 8, 9 memiliki

outcome yang sama sehingga 6 model terapi tersebut akan dianlisis dengan

metode analisis minimalisasi biaya (AMB). Model terapi yang lainnya yaitu model terapi 1, 2, 3 menghasilkan outcome yang berbeda sehingga akan dianalisis dengan metode analisis efektivitas biaya (AEB).

4.2.1 Total Biaya Langsung Medis

(24)

Dilihat dari sudut pandang pemberi asuransi Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) maka yang diteliti dari penelitian ini hanya dari biaya langsung saja. Dalam penelitian ini biaya langsung yang diteliti terbatas yaitu hanya dari segi biaya pengobatan antibiotika yang diberikan dan biaya rawat inap selama pasien dirawat di rumah sakit. Biaya lainnya seperti biaya pemeriksaan laboratorium, biaya administrasi dan biaya obat tambahan tidak diikutsertakan dalam perhitungan karena setiap pasien mendapatkan perlakuan yang bervariasi dalam hal tersebut. Distribusi biaya penggunaan antibiotika pada pasien pneumonia dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Distribusi biaya penggunaan antibiotika pada pasien pneumonia rawat inap RSUP Haji Adam Malik

Model Jenis Antibiotika

Jumlah

Infus Ciprofloksasin 111 5 2.857.236 571.447 2 Infus Ciprofloksasin +

Injeksi Ceftriakson 335 12 5.695.688 474.640 3 Injeksi Cefotaxim +

Injeksi Gentamisin 137 5 1.317.850 263.570 4 Injeksi Ceftriakson +

(25)

Rp. 571.447,- dan rata-rata biaya yang paling rendah adalah kombinasi obat injeksi ampisilin dan injeksi gentamisin yaitu Rp. 54.733,-. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan jumlah antibiotika yang digunakan, jumlah pasien yang menggunakan antibiotika dan harga yang bervariasi dari setiap antibiotika. Harga antibiotika injeksi ceftazidin (Rp. 26.246,-/vial), infus ciprofloksasin infus (Rp. 25.000,-/botol) yang digunakan pada 5 pasien dengan jumlah pemakaian antibotika 111 unit lebih mahal dibanding harga injeksi ampisilin (Rp. 3.700,-/vial) dan injeksi gentamisin (Rp. 3.875,-/ampul) yang digunakan pada 3 pasien dengan jumlah pemakaian antibiotika 44 unit.

(26)

Tabel 4.4 Distribusi biaya rawat inap pada pasien pneumonia rawat inap RSUP Haji Adam Malik

Berdasarkan Tabel 4.4 rata-rata lama rawat inap semua kelompok model terapi antibiotika termasuk dalam kategori yang efektif yaitu ≤ 9 hari. Distribusi biaya rawat inap pasien pneumonia yeng tertinggi terdapat pada model terapi kombinasi injeksi cefotaxim dan injeksi gentamisin yaitu Rp. 387.000,- dengan rata-rata lama rawat inap 8,6 hari dan jumlah pasien 5 orang, sedangkan biaya terendah terdapat pada model terapi kombinasi injeksi ampisilin dan injeksi gentamisin yaitu Rp. 210.000,- dengan rata-rata lama rawat inap 4,66 hari dan jumlah pasien 3 orang.

Total biaya langsung medis yang dihitung dalam penelitian ini terbatas yaitu hanya dari segi biaya pengobatan antibiotika yang diberikan dan biaya rawat inap

Model Jenis Antibiotika

Rata- rata

3 Injeksi Ceftriakson +

Oral Cefadroksil 7,33 3 990.000 330.000

4 Injeksi Ceftriakson +

Injeksi Gentamisin 6,88 9 2.790.000 310.000

5 Injeksi Ceftriakson +

Oral Ciprofloksasin 6,66 3 900.000 300.000

6 Injeksi Ceftazidin +

Infus Ciprofloksasin 6,6 5 1.485.000 297.000

7 Infus Ciprofloksasin +

Injeksi Ceftriakson 6,41 12 3.465.000 288.750

8 Oral Eritromisin +

Injeksi Ceftriakson 5,33 3 720.000 240.000

9 Injeksi Ampisilin +

(27)

selama pasien dirawat di rumah sakit. Total biaya langsung medis pasien pneumonia dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Total biaya langsung medis pasien pneumonia rawat inap RSUP Haji Adam Malik

Model Jenis Antibiotika

Biaya langsung Total biaya langsung

1 Infus Ciprofloksasin +

Injeksi Ceftriakson 5.695.688 3.465.000 9.160.688 2 Injeksi Ceftriakson +

Injeksi Gentamisin 1.812.128 2.790.000 4.602.128 3 Injeksi Ceftazidin +

Infus Ciprofloksasin 2.857.236 1.485.000 4.342.236 4 Injeksi Cefotaxim +

Injeksi Gentamisin 1.317.850 1.935.000 3.252.850 5 Injeksi Ceftriakson 673.730 1.755.000 2.428.709 6 Injeksi Ceftriakson +

Oral Cefadroksil 518.687 990.000 1.508.687 7 Injeksi Ceftriakson +

Oral Ciprofloksasin 441.809 900.000 1.341.809 8 Oral Eritromisin +

Injeksi Ceftriakson 325.656 720.000 1.045.656 9 Injeksi Ampisilin +

(28)

model terapi ini yaitu hanya terdiri dari 3 pasien dengan jumlah penggunaan antibiotika 44 unit dan rata-rata lama rawat inap 4,66 hari.

4.3 Cost Effectiveness Average (CEA) dan Incremental Cost Effectiveness Ratio (ICER)

Untuk mengetahui nilai cost effective ditentukan dengan CEA dan ICER. CEA digunakan untuk mengetahui efektifitas secara total tidak hanya berdasarkan biaya yang dikeluarkan tetapi dihubungkan dengan outcome atau efektifitas. Pada penelitian ini CEA berguna menggambarkan total biaya terapi atau intervensi dibagi outcomes klinis. Semakin rendah nilai CEA, maka semakin cost effective karena dengan biaya perawatan kesehatan yang rendah mampu memberikan hasil terapi yang lebih tinggi (Dipiro, dkk., 2005). Hasil analisa CEA terhadap total biaya langsung dapat dilihat pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Hasil analisa CEA terhadap total biaya langsung pada pasien pneumonia rawat inap RSUP Haji Adam Malik

Model Jenis Antibiotika

Total biaya 1 Infus Ciprofloksasin +

Injeksi Ceftriakson 9.160.688 76.339.066 83 916.435 2 Injeksi Cefotaxim +

Injeksi Gentamisin 3.252.850 65.057.000 80 813.212 3 Injeksi Ceftriakson +

Injeksi Gentamisin 4.602.128 51.134.755 88 581.076

Berdasarkan Tabel 4.6, dari perhitungan CEA model terapi antibiotika yang paling cost effective adalah injeksi ceftriakson dan injeksi gentamisin dengan nilai CEA terendah Rp. 581.076,- dengan outcome tertinggi mencapai 88%.

Incremental Cost Effectivenesss Ratio (ICER) digunakan untuk

(29)

dengan terapi yang lainnya, sehingga didapat terapi mana yang paling efektif berdasarkan biaya, efektivitas dan waktu. Incremental Cost Effectiveness Ratio

(ICER) berfungsi sebagai arahan menetukan keputusan dari sudut pandang

penyandang dana, mana yang lebih baik (Drummond, 1997). Hasil analisa ICER terhadap total biaya langsung dapat dilihat pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7 Hasil analisa ICER terhadap biaya total langsung medis pasien pneumonia RSUP H. Adam Malik

Berdasarkan Tabel 4.7, dari perhitungan nilai ICER model terapi antibiotika yang paling cost effective adalah injeksi ceftriakson dan injeksi gentamisin dengan nilai ICER terenda Rp. -5.040.862,-. Sesuai dengan diagram efektivitas biaya model terapi injeksi ceftriakson dan injeksi gentamisin terdapat pada kuadran II dengan biaya yang kecil tetapi mempunyai efektivitas besar.

No Jenis Antibiotika

(30)

Gambar 4.4. Diagram Efektivitas Biaya

Berdasarkan perhitungan CEA dan ICER model terapi antibiotika yang paling cost effective adalah kombinasi injeksi ceftriakson dan injeksi gentamisin dengan harga lebih murah dan memberikan efektivitas yang lebih baik. Ceftriakson merupakan obat antimikroba golongan sefalosporin generasi ketiga yang mempunyai peranan penting dalam pengobatan penyakit infeksi. Sefalosporin mempunyai waktu paruh yang panjang (6 - 8 jam). Kadar obat yang tinggi dapat dicapai dalam darah dan cairan serebrospinal. Obat dieksresikan dalam kandung empedu dan dapat digunakan pada pasien dengan insufisiensi ginjal. Ceftriakson mempunyai spektrum kerja yang luas dan meliputi banyak kuman gram-positif dan gram-negatif yang berkhasiat bakterisid dalam fase pertumbuhan kuman, berdasarkan penghambatan sintesa peptidoglikan yang diperlukan kuman untuk ketangguhan dindingnya ( Mycek, dkk., 2006 dan Tjay dan Raharja, 2008).

(31)

lebih aman seperti generasi ketiga sefalosporin. Gentamisin mempunyai aktivitas sebagai bakterisid, berdasarkan dayanya untuk menembus dinding bakteri dan mengikat diri pada ribosom di dalam sel. Proses translasi (RNA dan DNA) diganggu sehingga biosintesa proteinnya dikacaukan (Mycek, 2006).

Analisis minimalisasi biaya adalah tipe analisis yang menentukan biaya program terendah dengan asumsi besarnya manfaat yang diperoleh sama. Analisis ini digunakan untuk menguji biaya yang dihubungkan dengan intervensi yang sama dalam bentuk hasil yang diperoleh (Orion, 1997). Hasil analisis minimalisasi biaya dapat dilihat pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8 Hasil analisis minimalisasi biaya pasien pneumonia RSUP Haji Adam Malik

No Jenis Antibiotika

Total Biaya

1 Injeksi Ampisilin + Injeksi

Gentamisin 26.473.333 100

2 Oral Eritromisin +

Infus Ceftriakson 34.855.200 100

3 Injeksi Ceftriakson + Oral

Ciprofloksasin 44.726.966 100

4 Injeksi Ceftriakson 48.574.180 100 5 Injeksi Ceftriakson + Oral

Cefadroksil 50.283.566 100

6 Injeksi Ceftazidin +

Infus Ciprofloksasin 86.844.720 100

(32)

Berdasarkan analisis efektivitas biaya (AEB) model terapi yang paling

cost effective adalah model terapi injeksi ceftriakson dan injeksi gentamisin.

Menurut hasil penelitian (Puteri, 2012) tentang analisis analisis biaya penggunaan antibiotika pada pasien pneumonia di RSUP DR. M. Djamil Padang beradasarkan hasil perhitungan CEA dan ICER model terapi antibiotika yang paling cost

effective adalah kombinasi amoksisilin dan gentamisin. Sedangkan menurut

penelitian (Suharjono, dkk., 2009) tentang studi penggunaan antibiotika pada pasien pneumonia yang paling baik digunakan adalah kombinasi gentamisin dan cefotaksim. Menurut penelitian (Wawruch L, dkk., 2004) tentang analisis cost

effectivenesss peralihan penggunaan antibiotika intravena ke oral obat

ciprofloksasin merupakan terapi yang paling baik.

(33)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah : a. Demografi pasien: berdasarkan jenis kelamin pasien laki-laki terdiri dari

30 orang (62,5%) pasien perempuan berjumlah 18 orang (37,5%), berdasarkan kelompok umur < 20 tahun terdiri dari 4 orang (8%), usia 20-60 tahun terdiri dari 30 orang (63%) dan usia > 20-60 tahun terdiri dari 14 orang (29%). Berdasarkan lama rawat inap katagori efektif dengan lama rawat inap ≤ 9 hari terdiri dari 42 pasien (87%) dan katagori tidak efektif

≥ 10 hari terdiri dari 6 pasien (13%).

b. Berdasarkan analisis efektivitas biaya model terapi yang paling cost

effective adalah kombinasi injeksi ceftriakson dan injeksi gentamisin

dengan nilai CEA Rp. 581.076.- dan mencapai outcome 88% dan nilai ICER Rp. –5.040.862.-.

(34)

5.2 Saran

Disarankan kepada penelitian selanjutnya agar:

a. Untuk pihak rumah sakit setelah mengetahui hasil penelitian ini diharapkan kombinasi antibiotik ceftriakson (injeksi) dan gentamisin (gentamisin) menjadi terapi pilihan utama karena telah terbukti secara farmakoekonomi.

(35)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pneumonia 2.1.1 Definisi

Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) bagian bawah yang mengenai parenkim paru (Mansjoer, dkk., 2000). Pneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang dapat terjadi pada semua umur. Pneumonia juga merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai dengan gejala demam, batuk, sesak napas, adanya ronki basah kasar, dan gambaran infiltrat pada foto polos dada (Setyoningrum, dkk., 2006).

Saluran pernapasan bagian bawah terdiri dari cabang-cabang bronkus, parenkim paru, dan pleura. Infeksi bakteri atau jamur atau virus yang menyerang parenkim paru dapat menimbulkan infeksi sekunder pada saluran pernapasan bagian bawah dimana seluruh persediaan darah harus melewati pembuluh darah kapiler paru sehingga infeksi bakterti atau jamur atau virus dapat ikut bersama aliran darah (Shulman, dkk., 1994).

(36)

2.1.2 Etiologi

Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorgansime baik virus maupun bakteri. Sebagian besar pneumonia disebabkan karena infeksi virus yang kemudian mengalami komplikasi bakteri. Secara klinis, pada anak sulit dibedakan pneumonia bakteri dengan pneumonia virus. Demikian pula pemeriksaan radiologis dan laboratorium tidak menunjukkan perbedaan nyata (Tjay dan Raharja, 2006). Selain itu pneumonia dapat juga disebabkan oleh bahan kimia (Hidrokarbon, lipoid substance) ataupun benda asing yang teraspirasi (Setyoningrum, dkk., 2006).

Beberapa kasus pasien pneumonia juga mengalami komplikasi seperti efusi pleura, abses paru, dan sepsis. Bakteri penyebabnya pun berbeda. Berikut bakteri penyebab pneumonia dengan komplikasi (DepKes RI, 2003):

i. Efusi pleura disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, Haemophillus

influenza, Flora mulut, dan Staphylococcus aureus. Efusi pleura adalah akumulasi

cairan di dalam rongga pleura. Timbulnya efusi pleura didahului oleh peradangan pleura atau pleuritis. Efusi pleura cukup banyak dijumpai. Penyebab terbanyak adalah peradangan jaringan paru yang meluas ke pleura sekitarnya, misal bronkopneumonia, dan tuberculosis paru (Alsagaff, 2010).

ii. Abses paru disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, Haemophillus

influenza, Staphylococcus aureus, dan Flora mulut. Abses paru adalah lesi paru

berupa suprasi dan nekrosis jaringan. Bila terjadi aspirasi, kuman Klebsiela

pneumonia sebagai kuman komensal di saluran atas ikut masuk ke dalam saluran

pernapasan bawah. Akibat aspirasi berulang, aspirat tidak dapat dikeluarkan dan

(37)

Proses peradangan dimulai dari bronkus atau bronkiolus, menyebar ke parenkim paru yang kemudian dikelilingi jaringan granulasi. Perluasan pleura atau hubungan dengan bronkus sering terjadi sehingga pus atau jaringan nekrotik dapat dikeluarkan dan lama kelamaan menjadi abses akut menahun (Alsagaff, 2010). iii. Sepsis disebabkan oleh Streptococcus pneumonia dan Staphylococcus

aureus. Sepsis adalah suatu infeksi di dalam aliran darah. Sepsis merupakan

akibat dari suatu infeksi bakteri di bagian tubuh manusia. Yang sering menjadi sumber terjadinya sepsis adalah infeksi ginjal, hati atau kandung empedu, usus, kulit (selulitis), dan paru-paru (pneumonia karena bakteri), gangguan sistem kekebalan. Gejala yang timbul antara lain demam, hiperventilasi, menggigil, kulit terasa hangat, takikardi, lingglung, penurunan produksi air kemih (Mahdiana, 2010).

Menurut Departemen Kesehatan RI, 2003, Pneumonia dapat dibagi menjadi 2, sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini:

i. Infectious pneumonia juga dibagi 2, yaitu pneumonia tipikal (karena

bakteri) dan pneumonia atipikal (karena virus dan Mycoplasma).

ii. Non-infectious pneumonia, dapat karena aspirasi makanan, hidrokarbon atau

reaksi hipersensitif.

Pneumonia dapat dibedakan berdasarkan klinis dan epidimiologis, antara lain (Departemen Kesehatan RI, 2005):

i. Community Acquired Pneumonia (CAP)

Community Acquired Pneumonia (CAP) merupakan pneumonia yang

(38)

influenza, bakteri atipikal, virus influenza, Respiratory Synctial Virus (RSV).

Patogen yang dijumpai pada anak-anak, juga sama seperti patogen yang menginfeksi pada pasien dewasa, tetapi pada anak-anak sering dijumpai

Mycoplasma pneumonia, Chlamydia pneumonia.

ii. Pneumonia Nosokomial atau Hospital Acquired Pneumonia (HAP)

Pneumonia nosokomial atau Hospital Acquired Pneumonia (HAP) merupakan pneumonia yang didapat selama pasien di rawat di rumah sakit yang perkembangannya lebih dari 48 jam setelah pasien memeriksakan diri ke rumah sakit. Patogen yang umum menginfeksi adalah bakteri nosokomial yang resisten terhadap antibiotika yang beredar di rumah sakit. Bakteri nosokomial yang biasanya adalah bakteri enterik golongan gram negatif batang seperti Klebsiella

sp, Escherichia coli, Proteus sp, Staphylococcus aureus khususnya yang resisten

terhadap methicilin seringkali dijumpai pada pasien yang dirawat di Intensive

Care Unit (ICU).

iii. Pneumonia Aspirasi

Pneumonia aspirasi merupakan pneumonia yang diakibatkan aspirasi flora arofaring dan cairan lambung. Pneumonia aspirasi biasa didapat pada pasien dengan status mental yang buruk atau depresi, dan pasien dengan gangguan refleks menelan. Patogen yang menginfeksi pada Community Acquired Aspiration

Pneumoniae adalah kombinasi dari flora mulut dan flora saluran napas atas, yaitu

Streptococci anaerob, sedangkan pada Nosocomial Aspiration Pneumoniae,

bakteri yang sering ditemukan adalah campuran antar gram negatif batang,

(39)

Kelompok pneumonia lain adalah pneumonia khusus yang dapat disubklasifikasikan ke dalam kelompok yang normal (non-imunosupresi) dan imunosupresi. Pneumonia pada pasien non-imunosupresi, diantaranya pneumonia mikroplasma, pneumonia virus, dan pneumonia Legionnaires. Pasien yang imunosupresi, misal pada pasien AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah Pneumocystic cariini (Underwood, 1999).

Pneumonia juga dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya sebagaimana akan dijelaskan berikut ini (Underwood, 1999).

i. Pneumonia bakteri disebabkan oleh Streptococcus pneumonia,

Haemophillus influenza, Staphylococcus aureus.

ii. Pneumonia atipikal disebabkan oleh Clamydia pneumonia, Mycoplasma

pneumonia, aspirasi.

iii. Pneumonia virus disebabkan oleh Influenza virus, parainfluenza virus,

Rhinovirus, Respiratory synctial virus.

iv. Pneumonia jamur disebabkan oleh Candida, Aspergillus, Crytococcus. 2.1.3 Patofisiologi

Jalan pernapasan yang menghantarkan udara ke paru-paru adalah hidung, faring, laring, trakea, bronkus dan bronkhiolus. Saluran pernapasan dari hidung sampai bronkhiolus dilapisi oleh membran mukosa bersilia. Ketika udara masuk melalui rongga hidung, maka udara disaring, dihangatkan dan dilembabkan (Dahlan, 2000).

(40)

refleks batuk, sistem pembersihan oleh lapisan mukosiliar, dan respon imun. Apabila mekanisme pertahanan paru ini terganggu maka partikel asing atau organisme dapat masuk atau menginfeksi saluran pernapasan bagian atas hingga bawah dan kemungkinan besar terjadi pneumonia (Setyoningrum, dkk., 2006).

Rute yang dilalui oleh penyebab infeksi berbeda-beda untuk mencapai paru-paru dan menyebabkan pneumonia. Penyebab infeksi ini paling sering masuk ke paru-paru dengan cara terhirup. Penyebab tersering infeksi saluran pernapasan adalah virus. Infeksi virus primer menyebabkan mukosa membengkak dan menghasilkan banyak lendir sehingga bakteri dapat berkembang dengan mudah dalam mukosa. Pneumonia biasanya dimulai pada lobus kanan bawah, kanan tengah, atau kiri bawah, karena gaya gravitasi. Aktivitas gaya gravitasi pada daerah tersebut dapat membawa sekresi saluran napas bagian atas yang diaspirasi pada waktu tidur. Refleks batuk yang menjadi gejala klinik pneumonia dirangsang oleh zat yang melalui barier-barier yaitu glotis dan laring yang berfungsi melindungi saluran napas bagian bawah (Isselbacher, dkk., 2001).

Gambaran patologis foto toraks spesifik untuk setiap bakteri. Infeksi

Streptococcus pneumonia biasanya bermanisfestasi sebagai bercak-bercak

konsolidasi merata di seluruh lapangan paru (bronkopneumonia), dan pada remaja dapat berupa konsolidasi pada satu lobus (pneumonia lobaris). Pneumotokel atau abses - abses kecil sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus pada neonatus, karena Staphylococcus aureus menghasilkan berbagai toksin dan enzim seperti hemolisin, lekosidin, stafilokinase, dan koagulase (Rahajoe, dkk., 2008).

(41)

mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin, sehingga terjadi eksudat fibrinopurulen. Produksi koagulase ditentukan oleh virulensi kuman. Staphylococcus aureus yang tidak menghasilkan koagulase jarang menimbulkan penyakit yang serius. Pneumotokel dapat menetap hingga berbulan-bulan, tetapi biasanya tidak memerlukan terapi lebih lanjut (Rahajoe, dkk., 2008).

2.1.4 Gambaran Klinis

Berdasarkan pedoman diagnosis dan penatalaksanaan pneumonia komunitas yang diterbitkan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) pada tahun 2003:

i. Anamnesis

Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dan dapat melebihi 40°C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.

ii. Pemeriksaan fisik

Temuan pemeriksaan fisik dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada infeksi dapat terlihat bagian yang sakit saat bernapas, pada palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan fisik yang biasa dilakukan adalah (Departemen Kesehatan RI, 2005): i. Gambaran radiologis

(42)

air broncogram (udara yang terdapat pada percabangan bronkus), penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, tetapi merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi. Misalnya gambaran pneumonia lobaris sering disebabkan oleh

Streptococcus pneumoniae, dan Pseudomonas aeruginosa. Pneumonia lobaris

sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia, sedangkan pneumonia yang disebabkan oleh Klebsilla pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.

ii. Pemeriksaan labolatorium

Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih dari 10.000/mm3 hingga mencapai 30.000/mm3, dan terjadi peningkatan laju endapan darah (LED). Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Pemeriksaan kultur darah menunjukkan hasil yang positif pada 20 - 25% penderita yang tidak melakukan pengobatan sejak dini. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.

2.2 Antibiotika

2.2.1 Defenisi antibiotika

(43)

Faktor-faktor yang mendasari pemilihan antibiotika (Sanjoyo, 2008): a. Penyebab infeksi

pemilihan antibiotika yang rasional adalah berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan uji kepekaan kuman. Pada infeksi berat seringkali harus segera diberikan antibiotika sementara sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologik. Pemilihan antibiotika harus didasarkan kepada pengobatan empiris yang rasional berdasarkan etiologi yang paling mungkin serta antibiotika terbaik untuk infeksi tersebut (Setiabudy dan Vincent, 2007).

b. Faktor pasien

Faktor pasien yang perlu diperhatikan dalam pemberian antibiotika adalah fungsi organ tubuh pasien yaitu fungsi ginjal, fungsi hati, riwayat alergi, daya tahan terhadap infeksi (status imunologis), daya tahan terhadap obat, beratnya infeksi, usia, untuk wanita apakah sedang hamil atau menyusui.

2.2.2 Klasifikasi antibiotika

Antibiotika dapat digolongkan atas dasar mekanisme kerjanya sifatnya apakah bakterisid atau bakteriostatis (Tjay dan Rahardja, 2006):

a. Bakterisid adalah zat yang pada dosis biasa berkhasiat mematikan kuman. Contohnya penisilin, sefalosporin, aminoglikosida, polimiksin B, kolistin, vankomisin, basitrasin, sikloserin, heksamin dan rifampisin.

(44)

Penggolongan lain juga didasarkan spektrum aktivitasnya (Siswandono dan Soekardjo 1995):

a. Antibiotika broad-spektrum (aktivitas luas) efektif terhadap kuman gram positif dan kuman gram negatif. Antara lain turunan tetrasiklin, kloramfenikol, rifampisin, beberapa turunan penisilin seperti ampisilin, amoksisilin, karbenisilin dan sebagian besar turunan sefalosporin.

b. Antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadap Gram positif. Misalnya penisilin G, penisilin V, eritromisin (lebih peka terhadap gram positif dan larut dalam suasana basa), klindamisin, kanamisin dan asam fusidat.

c. Antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadap Gram negatif. contohnya streptomisin, gentamisin, polimiksin B dan asam nalidiksat.

d. Antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadap Mycobacteriae (anti tuberkulosis). Contoh: streptomisin, kanamisin, rifampisin, sikloserin dan viomisin.

e. Antibiotika yang aktif terhadap jamur (anti jamur). Contoh: griseofulvin dan antibiotika polien seperti nistatin,amfoterisin B dan kandisidin.

(45)

a. Antibiotika penghambat sintesis dinding sel

Antibiotika yang menghambat sintesis dinding sel mikroba. Obat yang termasuk dalam kelompok ini adalah penisilin, sefalosporin, basitrasin, vankomisin dan sikloserin. Dinding sel bakteri, terdiri dari polipeptidoglikan yaitu suatu kompleks polimer mukopeptida (glikopeptida). Sikloserin menghambat reaksi yang paling dini dalam proses sintesis dinding sel, diikuti berturut-turut oleh basitrasin, vankomisin dan diakhiri oleh pensilin serta sefalosporin, yang menghambat reaksi terakhir (transpeptidasi) dalam rangkaian reaksi tersebut. Oleh karena tekanan osmotik dalam sel kuman lebih tinggi daripada di luar sel maka kerusakan dinding sel kuman akan menyebabkan dinding sel pecah atau lisis (Setiabudy dan Vincent, 2007).

b. Antibiotika penghambat sintesis protein ribosom

(46)

sedangkan kloramfenikol mengikatkan diri pada ribosom 50S menghambat pengikatan asam amino oleh enzim peptidil transferase (Nasution dan Ronald, 1988).

c. Antibiotika penghambat sintesis asam nukleat

Antimikroba yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba, yang termasuk ke dalam kelompok ini ialah rifampisin dan golongan kuinolon. Rifampisin berikatan dengan enzim polimerase ribonuclic acid (RNA) sehingga menghambat sintesis RNA dan deoxyribonucleic acid (DNA). Golongan kuinolon menghambat enzim DNA girase pada kuman yang berfungsi menata kromosom yang sangat panjang menjadi bentuk spiral hingga muat dalam sel kuman yang kecil (Nasution dan Ronald, 1988).

d. Antibiotika pengganggu fungsi membran sel

Antibiotika yang menggangu keutuhan membran sel mikroba. Obat yang termasuk dalam kelompok ini ialah polimiksin. Antibiotika seperti polimiksin mengandung 5 buah gugus NH2 bebas dalam molekulnya sehingga bersifat basa. Polimiksin ini akan merusak membran sel setelah bereaksi dengan fosfat pada fosfolipid membran sel mikroba. Polimiksin tidak efektif terhadap bakteri gram positif karena kadar fosfat bakteri ini sangat rendah sedangkan pada bakteri gram negatif yang telah resisten terhadap antibiotika ini terhadap antibiotika ini ternyata telah mempunyai kadar fosfat yang rendah pula pada membran selnya (Nasution dan Ronald, 1988).

e. Antibiotika penghambat metabolisme energi mikroba (antimetabolit)

(47)

salisilat (PAS) dan sulfon. Dengan mekanisme kerja ini diperoleh efek bakteriostatik. Mikroba membutuhkan asam folat untuk kelangsungan hidupnya. Kuman patogen harus mensintesis sendiri asam folat dari asam para amino benzoat (PABA) untuk kebutuhan hidupnya. Apabila solfonamid atau sulfon menang bersaing dengan PABA maka terbentuklah analog asam folat yang non fungsional. Akibatnya kehidupan mikroba akan terganggu. Untuk dapat bekerja dihidrofolat harus diubah menjadi asam tetrahidrofolat, Enzim dihidrofolat reduktase yang berperan di sini dihambat oleh trimetropim (Setiabudy dan Vincent, 2007).

2.3Farmakoekonomi

2.3.1 Pengertian farmakoekonomi

Farmakoekonomi adalah ilmu yang mengukur biaya dan hasil yang diperoleh dihubungkan dengan penggunaan obat dalam perawatan kesehatan. Analisis farmakoekonomi menggambarkan dan menganalisis biaya obat untuk sistem perawatan kesehatan (Orion, 1997). Farmakoekonomi juga didefenisikan sebagai deskripsi dan analisis biaya terapi dalam suatu sistem pelayanan kesehatan, lebih spesifik sebagai penelitian tentang proses identifikasi, pengukuran dan perbandingan biaya, risiko dan keuntungan dari suatu program, pelayanan dan terapi serta determinasi suatu alternatif terbaik. Evaluasi farmakoekonomi adalah memperkirakan harga dari suatu produk atau pelayanan berdasarkan satu atau lebih sudut pandang (Vogenberg, 2001).

2.3.2 Manfaat farmakoekonomi

(48)

(treatment) yang berbeda untuk kondisi yang berbeda. Adapun prinsip farmakoekonomi adalah:

a. menetapkan masalah

b. mengidentifikasi alternatif intervensi

c. menentukan hubungan antara income dan outcome sehingga dapat diambil kesimpulan yang tepat

d. mengidentifikasi dan mengukur outcome dari alternatif intervensi e. menilai biaya dan efektivitas

f. menginterprestasi dan pengambilan keputusan.

Farmakoekonomi diperlukan karena sumber daya terbatas, misalnya pada rumah sakit pemerintah dengan dana terbatas, sehingga sangat penting bagaimana memberikan obat yang efektif dengan dana yang tersedia dan pengalokasian sumber daya yang tersedia secara efisien (Vogenberg, 2001). Hasil analisis farmakoekonomi bisa dijadikan sebagai informasi yang dapat membantu para pembuat kebijakan dalam menentukan pilihan atas alternatif-alternatif pengobatan yang tersedia agar pelayanan kesehatan lebih efisien dan efektif. Informasi farmakoekonomi pada saat ini sama pentingnya dengan informasi khasiat dan keamanan obat dalam menentukan pilihan intervensi mana yang akan digunakan (Trisna, 2010).

2.3.3 Metode farmakoekonomi

Ada lima jenis metode farmakoekonomi yang telah dikenal, yaitu: a. Cost-Minimization Analysis (CMA)

b. Cost-Effectiveness Analysis (CEA)

(49)

d. Cost-Utility Analysis (CUA) dan e. Cost of Illness (COI) .

Persamaan dan perbedaan dari kelima jenis farmakoekonomi tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1

Tabel 2.1 Metode farmakoekonomi

No Metode Satuan Unit Satuan Hasil

1. Cost-Minimization Analysis (CMA) Mata Uang Hasil yang sama 2. Cost-Effectiveness Analysis (CEA) Mata Uang Natural unit 3. Cost-Benefit Analysis (CBA) Mata Uang Mata uang 4. Cost-Utility Analysis (CUA) Mata Uang Kualitas hidup

5. Cost of Illness (COI) Mata Uang -

a. Cost-Minimization Analysis (CMA)

Cost-Minimization Analysis (CMA) adalah analisis yang digunakan untuk

menguji biaya yang dihubungkan dengan intervensi terhadap program yang sama dengan hasil yang sama (Orion, 1997). Misalnya, terapi dengan menggunakan antibiotika generik dan antibiotika bermerek. Outcome klinik (efikasi dan efek samping sama) maka pemilihan obat difokuskan pada obat yang biaya per harinya lebih murah (Vogenberg, 2001).

Pada pola ini perlu studi epidemiologis sebelumnya, yang mungkin menunjukkan bahwa dua intervensi atau lebih terhadap suatu kegiatan menghasilkan suatu luaran (output) yang sama (Fatma, 2009).

b. Cost-Effectiveness Analysis (CEA)

(50)

beberapa program yang berbeda dengan tujuan yang sama tersedia untuk dipilih. Kriteria penilaian program mana yang akan dipilih didasarkan pada discounted

unit cost dari masing-masing alternatif program sehingga program yang

mempunyai discounted unit cost terendahlah yang akan dipilih oleh para analisis/pengambil keputusan (Tjiptoherianto dan Soesetyo, 2008).

Ketika menganalisis suatu penyakit, Analisis Cost-Effectiveness didasarkan pada perbandingan antara biaya suatu program pemberantasan tertentu dan akibat dari program tersebut dalam bentuk perkiraan dari kematian dan kasus yang bisa dicegah. Aplikasi Analisis Cost-Effectiveness, misalnya dua obat atau lebih digunakan untuk mengobati suatu indikasi yang sama tapi cost dan efikasi berbeda. Analisis Cost-Effectiveness mengkonversi cost dan benefit (efikasi) ke dalam rasio pada obat yang dibandingkan (Tjiptoherianto dan Soesetyo, 2008). c. Cost-Benefit Analysis (CBA)

Cost-Benefit Analysis (CBA) merupakan tipe analisis yang mengukur biaya

(51)

i. hanya mengerjakan program/intervensi yang mempunyai manfaat lebih besar dari biayanya.

ii. jangan memilih mengerjakan program/intervensi yang manfaatnya lebih kecil dari biayanya. Kedua hal ini diukur dalam uang.

d. Cost-Utility Analysis (CUA)

Penetapan output pada cost-utility analysis adalah dalam bentuk outcome, yaitu berupa peningkatan kualitas hidup. Seperti CEA, CUA membandingkan biaya terhadap program kesehatan yang diterima dihubungkan dengan peningkatan kesehatan yang diakibatkan perawatan kesehatan. Dalam CUA, peningkatan kesehatan diukur dalam bentuk penyesuaian kualitas hidup (quality

adjusted life years/QALYs) dan hasilnya ditunjukkan dengan biaya per

penyesuaian kualitas hidup. Dalam kualitas dan kuantitas hidup dapat dikonversi kedalam nilai QALYs. Keuntungan dari analisis ini dapat ditujukan untuk mengetahui kualitas hidup, kelemahannya yaitu bergantung kepada penentuan QALYs pada status tingkat kesehatan pasien (Orion, 1997).

e. Cost of Illness (COI)

(52)

membandingkan alternatif pengobatan tetapi untuk memberikan estimasi beban keuangan untuk mengobati penyakit tertentu. Jadi, nilai biaya pencegahan dan pengobatan dapat diukur melalui COI (Eisenberg, dkk., 1994).

2.4 Biaya Pelayanan Kesehatan

Biaya pelayanan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi enam kategori, (Vogenberg, 2001) yaitu:

1. Biaya langsung medis (direct medical cost)

Biaya langsung medis adalah biaya yang dikeluarkan oleh pasien terkait dengan jasa pelayanan medis, yang digunakan untuk mencegah atau mendeteksi suatu penyakit seperti kunjungan pasien, obat-obat yang diresepkan, lama perawatan.

2. Biaya langsung non-medis (direct non-medical cost)

Biaya langsung non-medis adalah biaya yang dikeluarkan pasien tidak terkait langsung dengan pelayanan medis, seperti transportasi pasien ke rumah sakit, makanan, jasa pelayanan lainnya yang diberikan pihak rumah sakit.

3. Biaya tidak langsung (indirect cost)

Biaya tidak langsung adalah biaya yang dapat mengurangi produktivitas pasien, atau biaya yang hilang akibat waktu produktif yang hilang.

4. Biaya tak berwujud (Intangible cost)

(53)

5. Opportunity Cost

Jenis biaya ini mewakili manfaat ekonomi bila menggunakan suatu terapi pengganti dibandingkan dengan terapi terbaik berikutnya. Oleh karena itu, jika sumber daya telah digunakan untuk membeli program atau alternatif pengobatan, maka Opportunity Cost menunjukkan hilangnya kesempatan untuk

menggunakannya pada tujuan yang lain. Dengan kata lain, Opportunity Cost adalah nilai yang dikorbankan. Misalnya, hilangnya kesempatan ataupun dikorbankannya penghasilan/pendapatan.

6. Incremental Cost

(54)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini, biaya pelayanan kesehatan semakin meningkat sebagai akibat berbagai faktor, diantaranya perubahan pola penyakit dan pola pengobatan, peningkatan penggunaan teknologi canggih, meningkatnya tuntutan pasien dan perubahan ekonomi secara global. Di lain pihak ketersediaan biaya kesehatan masih terbatas, karena kemampuan pemerintah masih terbatas dan peran masyarakat masih belum maksimal. Sementara itu sesuai dengan kebijakan pemerintah diharapkan untuk dapat lebih mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Untuk mengantisipasi tantangan tersebut diperlukan penelitian untuk diaplikasikan dalam peningkatan efisiensi atau penggunaan dana secara rasional (Rahmadina, 2010).

(55)

tidak tepat. Penulisan resep dan penggunaan antibiotika yang tidak tepat cenderung meluas (Lestari, dkk., 2011).

Dampak negatif yang sangat berbahaya dari penggunaan antibiotika secara irrasional adalah dengan muncul dan berkembangnya kuman-kuman kebal antibiotika atau terjadinya resistensi antibiotika. Dengan demikian mengakibatkan pengobatan menjadi tidak efektif, peningkatan morbiditas maupun mortalitas pasien dan meningkatnya biaya parawatan kesehatan. Dampak tersebut harus dievaluasi bersama dengan cara yang efektif, antara lain dengan menggunakan antibiotika secara rasional, dan melakukan monitoring penggunaan antibiotika terutama di rumah sakit yang merupakan tempat paling banyak ditemukan penggunaan antibiotika (Lestari, dkk., 2011).

Salah satu penyebab kematian utama pada bayi dan anak balita di negara berkembang yang penatalaksanaannya membutuhkan terapi antibiotika adalah pneumonia. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) dan Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas) 2007 menunjukkan bahwa tahun 2007 kematian pada balita tertinggi adalah akibat pneumonia yaitu 4,6 per 1000 balita. Pneumonia adalah penyakit infeksi yang menyebabkan peradangan akut parenkim paru - paru dan pemadatan eksudat pada jaringan paru. Bakteri penyebab utama adalah Streptococcus pneumonia, Staphylococcus aureus untuk bakteri yang tergolong gram positif dan Haemophilus influenza, Klebsiella pneumoniae,

Mycobacterium tuberkulosis untuk bakteri yang tergolong gram negatif

(Suharjono, dkk., 2009).

(56)

merupakan risiko tinggi untuk pneumonia, hal ini tergantung kepada keadaan penderita dan berdasarkan tempat mereka berada. Pada orang - orang yang tinggal di rumah sendiri insidens pneumonia berkisar antara 25 - 44 per 1000 orang dan yang tinggal di tempat perawatan 68 - 114 per 1000 orang (Anonim, 2011).

Berdasarkan data World Health Organization (WHO) dan United Nations

International Children’s Emergency Fund (UNICEF) tahun 2006 dalam

“pneumonia: The Forgotten Killer of Children”, Indonesia menduduki peringkat ke- 6 dunia untuk kasus pneumonia pada balita dengan jumlah penderita mencapai 6 juta jiwa. Diperkirakan sekitar sepuluh dari total kasus kematian pada anak yang menderita pneumonia di dunia disebabkan oleh bakteri pneumococcus (Anonim, 2011).

Tujuan farmakoekonomi adalah memberikan informasi yang dapat membantu para pengambil keputusan dalam menentukan pilihan atas beberapa alternatif pengobatan yang tersedia agar pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan ekonomis. Kini informasi farmakoekonomi dianggap sama pentingnya dengan informasi yang terkait khasiat dan keamanan obat dalam menentukan pilihan obat yang akan digunakan. Farmakoekonomi dapat diaplikasikan baik dalam skala mikro misalnya untuk mementukan pilihan terapi seorang pasien dalam suatu penyakit, maupun skala makro misalnya dalam menentukan obat yang akan disubsidi atau yang akan dimasukkan kedalam formularium (Eisenberg, dkk., 1994).

(57)

akan dipilih adalah berdasarkan discounted unit cost dari masing-masing alternatif program sehingga program yang mempunyai discounted unit cost terendahlah yang akan dipilih oleh para pengambil keputusan (Tjiptoherijanto dan Soesetyo, 2008).

Hasil akhir perhitungan cost effectiveness dapat juga berupa cost

effectiveness average ratio (CEA ratio) yang rasio antara perkiraan biaya

kegiatan tertentu dengan jumlah efek atau hasil (out put). Jadi, keputusan akhir dalam memilih antara alternatif kegiatan adalah membandingkan cost

effectiveness average ratio (CEA ratio) dari tiap-tiap kegiatan (Phillips, 2009).

Penggunaan antibiotika yang tidak rasional akan meningkatkan pengeluaran biaya baik bagi pasien maupun bagi rumah sakit dan pemerintah. Hal ini memicu perlunya gambaran cost effectiveness pada pengobatan pneumonia. Harga antibiotika termasuk mahal dibandingkan obat lain, jika pemberian dan penggunaan antibiotika tidak rasional akan memperlama kesembuhan pasien, sehingga memperbesar biaya rawatan pasien. Untuk itu perlu dilakukan analisis farmakoekonomi penggunaan antibiotika pada pasien pneumonia rawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Adam Malik (RSUP HAM).

1.2 Kerangka Pikir Penelitian

(58)

Adapun kerangka pikir penelitian ini ditunjukkan pada bagan dibawah ini:

Variabel bebas Variabel terikat

Variabel bebas adalah yang mempengaruhi varibel terikat. Pada penelitian ini variabel bebas adalah:

a. Biaya langsung medis berupa biaya perawatan (pasien yang menggunakan

Jaminan Kesehatan Masyarakat), biaya laboratorium (pemeriksaan urin dan darah rutin), biaya tindak medis, dan biaya obat

b. Nilai WBC (White Blood Cell)

Variabel terikat adalah yang dipengaruhi oleh variabel bebas dan akan berubah karena variabel bebas (Saryono, 2008).

Dalam hal ini variabel terikat adalah Length Of Stay (LOS) atau kesembuhan pasien yang di lihat dari lama rawat inap pasien di rumah sakit.

1.3 Perumusan Masalah

Bedasarkan latar belakang, maka rumusan masalah penelitian adalah: a. apakah terdapat variasi demografi pada pasien pneumonia yang di rawat

inap di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik?

b. apakah ada perbedaan efektivitas biaya diantara pasien pneumonia pengguna antibiotika yang di rawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Adam Malik?

Nilai WBC (White Blood Cell) Biaya Langsung Medis

Length Of Stay

(59)

c. apakah ada perbedaan penggunaan model terapi antibiotika diantara pasien pneumonia yang di rawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Adam Malik? 1.4 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah, adapun hipotesa dalam penelitian ini adalah:

a. terdapat variasi berdasarkan jenis kelamin, usia, lama rawat inap, dan penggunaan model terapi pada pasien pneumonia yang di rawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat HAji Adam Malik.

b. ada perbedaan efektivitas biaya diantara pasien pneumonia pengguna antibiotika yang di rawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Adam Malik. c. ada perbedaan penggunaan model terapi antibiotika diiantara pasien

pneumonia yang di rawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik.

1.5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan hipotesis, tujuan penelitian ini adalah untuk:

a. mengetahui demografi pasien pneumonia rawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik.

b. mengakses model pengobatan pada pasien pneumonia rawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik.

(60)

1.6 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini:

a. bagi Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik dapat digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan pada pasien pneumonia Rumah Sakit Umum Pusat haji Adam Malik.

b. bagi manajemen Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, diharapkan dapat memberikan gambaran pengetahuan tentang analisis biaya penggunaan antibiotika dan biaya pengobatan secara umum untuk pneumonia di rawat inap, serta untuk mengetahui hubungan jenis antibiotika dengan lama rawatan pasien dan tingkat kesembuhan.

c. dapat dijadikan bahan pertimbangan terhadap pemberian antibiotika pada pasien pneumonia rawat inap Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik.

(61)

ANALISIS FARMAKOEKONOMI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN PNEUMONIA RAWAT INAP

DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK ABSTRAK

Pneumonia adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur ataupun parasit yang meradang kantung udara pada salah satu atau kedua paru-paru. Model terapi antibiotika untuk pengobatan pneumonia bervariasi dari satu pasien dengan pasien lainnya dan dapat memberikan hasil klinis yang berbeda, oleh karena itu dibutuhkan analisis efektivitas biaya untuk mengoptimalkan biaya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi penggunaan model terapi yang tersedia pada pasien pneumonia rawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode cross-sectional dan retrospektif (n = 48). Sumber data diperoleh dari rekam medik pasien dan daftar harga obat di instalasi farmasi periode Januari 2012 – Desember 2013.

Dari 9 alternatif kombinasi antibiotika, maka ditemukan dari penelitian ini kombinasi injeksi ceftriakson dan injeksi gentamisin mempunyai nilai Cost

Effectiveness Average (CEA) terbaik yaitu Rp. 581.076,- dengan nilai Incremental Cost Effectiveness Ratio (ICER) Rp. -5.040.862,-. Berdasarkan analisis

minimalisasi biaya (CMA) yang dilakukan menunjukkan model terapi injeksi ampisilin dan injeksi gentamisin memiliki biaya terendah (Rp. 26.473.333,-) dari 6 model terapi. Sebaliknya model terapi injeksi ceftazidin dan infus ciprofloksasin memiliki biaya tertinggi yaitu Rp. 86.844.720,-.

Berdasarkan penelitian ini, injeksi ceftriakson dan injeksi gentamisin adalah model terapi yang lebih cost effective . Menurut analisis minimalisasi biaya, pengobatan pneumonia dengan model terapi injeksi ampisilin dan injeksi gentamisin adalah model terapi dengan biaya paling minimal.

Kata kunci: Analisis Efektivitas Biaya, Analisis Minimalisasi Biaya, Antibiotika,

(62)

PHARMACOECONOMIC ANALYSIS THE USE OF ANTIBIOTIC FOR PNEUMONIA PATIENTS

IN HAJI ADAM MALIK HOSPITAL

ABSTRACT

Pneumonia is an infection caused by bacteria, viruses, fungi or parasites that inflames the air sacs in one or both lungs. Antibiotics model therapies to treat pneumonia vary from one patient to another and can result in different clinical outcomes, therefore cost effectiveness analysis is required to optimize theraphy. The aim of this study was to evaluate antibiotic models provided to pneumonia in-patients in Haji Adam Malik Hospital.

This study applied a cross-sectional and retrospective method (n = 48). The required data were taken from medical records of the patients and list of drug cost in pharmacy installation in periode of January 2012 – December 2013.

Out of the 9 alternative antibiotic combinations found in this study, ceftriaxone injection and gentamycin injection combination had the best Cost Effectiveness Avarage (CEA) value which is Rp 581,076.00 with Incremental Cost Effectiveness Ratio (ICER) of Rp -5,040,862.00 Based on cost minimization analysis (CMA) undertaken indicated that ampicillin injection and gentamycin injection had the lowest cost (Rp 26,473,333.00) out of 6 models. Contrarily, theraphy model of ceftazidine injection and ciprofloxacine infuse had the highest cost which is Rp. 86,844,720.00

It could be concluded, ceftriaxone injection and gentamycin injection was the most cost effective combination. Based on cost minimization analysis,treatment of pneumonia with ampicillin injection and gentamycin injection that the most minimum cost.

Key words: Cost Effectiveness Analysis, Cost Minimize Analysis, Antibiotic,

(63)

ANALISIS FARMAKOEKONOMI PENGGUNAAN

ANTIBIOTIKA PADA PASIEN PNEUMONIA RAWAT INAP

DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu Syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

DARA FAHRIA NOPA

NIM 101501113

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

Gambar

Gambar 4.1. Persentase pasien pneumonia rawat inap RSUP Haji Adam Malik berdasarkan jenis kelamin
Gambar 4.2. Persentase pasien pneumonia rawat inap RSUP Haji Adam Malik berdasarkan usia (tahun)
Gambar 4.3. Persentase pasien pneumonia rawat inap RSUP Haji Adam Malik berdasarkan lama rawat inap (hari)
Tabel 4.1 Model terapi antibiotika pada  pasien pneumonia rawat inap RSUP Haji Adam Malik
+7

Referensi

Dokumen terkait

To obtain well-distributed, stable and quantity controllable features, UR-SIFT algorithm is adopted in source image, meanwhile, SIFT with lower contrast threshold

Pajak penghasilan terkait pos-pos yang tidak akan direklasifikasi ke laba rugi. Penyesuaian akibat penjabaran laporan keuangan dalam mata

3.3 Mengenal teks buku harian tentang kegiatan anggota keluarga dan dokumen milik keluarga dengan bantuan guru atau teman dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis yang dapat

bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 dan Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 1 Tahun 2004, penetapan hasil seleksi calon

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 108 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama secara terbuka

Dengan berlakunya Peraturan ini ketentuan mengenai besaran honorarium pada Lampiran I dan II Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 034/U/2003, Surat

Bantuan Keuangan Khusus yang selanjutnya disingkat BKK adalah bantuan keuangan dari Pemerintah Kabupaten Bantul kepada Desa yang diberikan melalui APBD

[r]