• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Biologis dan Morfologis Oosit Domba setelah Kriopreservasi dengan Metode Vitrifikasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Biologis dan Morfologis Oosit Domba setelah Kriopreservasi dengan Metode Vitrifikasi"

Copied!
249
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)
(86)
(87)
(88)
(89)
(90)
(91)
(92)
(93)
(94)
(95)
(96)
(97)
(98)
(99)
(100)
(101)
(102)
(103)
(104)
(105)
(106)
(107)
(108)
(109)
(110)
(111)
(112)
(113)
(114)
(115)
(116)
(117)
(118)
(119)
(120)
(121)
(122)
(123)
(124)
(125)
(126)
(127)
(128)
(129)
(130)
(131)

KAJIAN

MORFOLOGIS DAN FUNGSl

BlOLOGIS

OOSlT DOMBA SETELAH KRlOPRESERVASl

DENGAN METODE VlTRlFlKASl

O l e h

I T A DJUWITA

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(132)

ABSTRAK

KAJIAN MORFOLOGIS DAN FUNGSI BIOWGIS OOSIT DOMBA SETELAH KRIOPRESERVASI DENGAN METODE VITRIFIKASI

ITA DSCTWlTA PEMBIMBING

YUHARA SUKRA, MOZES. R TOELIHERE,

IMAN SUPRIATNA, SRIEADI AGUNGPFUYONO, ARIEF BOEDIONO

(133)

ABSTRACT

THE STUDY OF MORPHOLOGY AND BIOLOGICAL FUNCTION

OF CRYOPRESERVED OVElYE OOCYTES

USING VITRIFICATION METHOD

ITA D.JUWITA ADVISORY CO-E

WHARA SUKRA, MOZES.

R

TOELIBERE,

lMAN SUPRIATNA, SRIEADI AGUNGPRIYONO, ARIEF BOEDIONO

(134)

M A N

BIOLOGIS DAN MORFOLOGIS

OOSIT DOMBA SETELAH KRIOPRESERVASI

DENGAN METODE VITRIFIKASI

Oleh

ITA DJUWITA NRP. 9650781gIO

Disertasi sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Dolctor

pada

Program Studi Biologi

Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor

PROGRAM PASCASARJ AN A INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(135)

Judul Disertasi : KAJIAN BIOLOGIS DAN MORFOLOGIS OOSIT DOh4BA SETELAH KRIOPRESERVASI DENGAN METODE VITRIFIKAS I

Nama Mahasiswa : ITA DJUWITA

Nomor Pokok : 965078/BIO

Menyetujui:

~ s i Pembimbing

'k

(Prof. Dr. drh Yuhara Sukra, MSc.) Ketua

(Prof. Dr. drh. Mozes R. Toelihere, MSc.) Anggota

(Dr. drh. Srihadi Agungpriyono) Anggota

2. Ketua Program Studi Biologi

(Dr. Ir. Dede ~ e t i a d i )

\ /

(I%. drh. Iman Supriatna) Anggota

(rk.

drh. Arief Boediono) Anggota

ascasarjana IPB

(136)

RIWAYAT HIDUP

Penulis adalah putri dari Ayahanda Endorn Nataatrnadja dan Ibunda Rt.

Sukeni. Dilahirkan tanggal 3 April 1959 di Kodya Bogor, Jawa Barat, kernudian

menikah dengan Wiryadi Afandi, pada tahun 1995.

Penulis rnengikuti pendidikan sekolah dasar (SD) sampai menengah atas

(SMA) dari tahun 1966 sarnpai tahun 1979 di Kodya Bogor, Jawa Barat. Pada tahun

1979/1980 melanjutkan pendidikan ke Institut Pertanian Bogor melalui Proyek

Perintis 11.

Pada tahun 1983, penulis lulus sebagai sarjana kedokteran hewan dari Institut

Pertanian Bogor, dan pada tahun berikutnya, 1984, lulus sebagai dokter hewan dari

tempat yang sarna. Sejak tahun 1981 rnenjadi asisten luar biasa untuk mata ajaran

Ernbriologi di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, dan sejak tahun

1986, diangkat rnenjadi pegawai negeri sebagai staf pengajar di Laboratonurn

Ernbriologi, Jurusan Anatorni, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Pada tahun 1987 penulis memperoleh beasiswa dari Pemerintah Indonesia

melalui Proyek Bank Dunia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk

rnengikuti program pendidikan Master ( S 2 ) di bidang bioiogi molekuler pada

Newcastle upon Tyne University, Newcastle upon Tyne, England dan memperoleh

gelar Master of Phylosophy (MPhil) pada tahun 1990. Pada tahun 1990-1995,

penulis sempat beberapa kali mempelajari metodologi dalam bidang bioteknologi

reproduksi di beberapa universitas di Jepang melalui Program JSPS. Pada tahu 1996

penulis mernperoleh beasiswa dari Pemerintah Indonesia melalui Bantuan Program

Past-ana, Departemen Pendidikan Nasional, untuk mengikuti pendidikan

Program S3 dalam bidang studi Biologi, Progam Pascasarjana, Institut Pertanian

(137)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur atas anugerah dan ridho Allah

Subhaanahu Wata'aala, penelitian terhadap 'Kajian Morfologis dan Fungsi

Biologis Oosit Domba setelah Kriopreservasi dengan Metode Vitrifikasi' dapat

penulis selesaikan dan tuangkan dalam bentuk Disertasi sebagai pertanggung-

jawaban penulis selama mengikuti pendidikan Program Doktor di Program

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Kriopreservasi dan produksi embrio in vitro merupakan bidang ilmu yang

sangat menarik dan berharga dalarn kaitannya dengan penerapan teknik transfer

embrio dalam upaya pengembangan peternakan masa depan. Metode

kriopreservasi yang efektif akan mendukung penyediaan oosit yang diperoleh

dengan biaya yang relatif murah seperti rumah pemotongan hewan ataupun hewan

yang merniliki nilai genetik tinggi, tanpa batas waktu. Untuk meningkatkan

keberhasilan metode kriopreservasi, dukungan penelitian serta informasi

mengenai khususnya keadaan morfologi, baik dalam skala makro, mikro maupun

ultra-mikro, serta fungsi biologis oosit setelah kriopreservasi sangat diperlukan.

Penelitian terhadap 'Kajian Morfologis dan Fungsi Biologis Oosit Domba

setelah Kriopreservasi dengan Metode Vitrifikasi' telah dilakukan dalam upaya

memproduksi oosit belcu serta produksi embrio in vitro. Metode kriopreservasi

yang dipergunakan adalah metode vitrifikasi dengan penekanan pada penggunaan

larutan sukrosa bertingkat (0,25M, 0,50M dan 1,OOM) serta penambahan sukrosa

ke dalam larutan vitrifikasi untuk memfasilitasi proses dehidrasi dan pengeluaran

krioprotektan setelah vitrifikasi dan warming. Dengan demikian, pengaruh

toksisitas krioprotektan maupun tekanan osmotik dari Larutan vitrifikasi dapat

diminimumkan. Pengarnatan terhadap keadaan morfologi dan ultra-struktur serta

h n g s i biologis oosit yakni tingkat pematangan, fertilisasi dan perkembangan

embrio in vitro menunjukkan bahwa penambahan sukrosa dengan konsentrasi

0,50M-1.00M memberikan pengaruh yang menguntungkan dan dapat

mempertahankan integrasi membran plasma maupun struktur oosit. Diharapkan

(138)

implementasi kegiatan bioteknologi reproduksi baik yang berhubungan dengan

pengembangan peternakan maupun pelestarian plasma nutfah.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besamya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Prof. Dr. drh. H.

Yuhara Sukra, MSG. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan 'Bapak kami', atas

ketulusan, pethatian, bimbingan serta bantuannya baik moril maupun materiil

selama penulis mengikuti pendidikan maupun selama menjadi staf pengajar di

Fakultas Kedokteran Hewan, Instirut Pertanian Bogor. Rasa terima kasih yang

sebesar-besarnya dan penghargaan yang setingi-tingginya penulis sampaikan pula

kepada Bapalr Prof. Dr. drh. Mozes R. Toelihere dan Bapak Dr. drh. Iman

Supriatna, selaku Anggota Komisi Pembimbing, atas perhatian serta bimbingannya Kepada Bapak Dr. drh. Arief Boediono dan Bapak Dr. drh.

Srihadi Agungpriyono, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang tiada lelah

mencurahkan waktu dan memberikan arahan serta dorongan semangat yang tiada hentinya, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Secara khusus rasa terima kasih yang sebesar-besamya penulis sampaikan

kepada Prof Dr. Poul Hyttel, Department of Anatomy and Physiology, The Royal

Veterinary and Agricultural University, Copenhagen, Denmark, yang telah

rnemberikan kesempatan, fasilitas, arahan serta dorongan rnoril kepada penulis

untuk mernpelajari dan mengerjakan teknik imunositokimia serta penggunaan slat

mikroskop elektron transmisi untuk pengamatan ultra-struktur oosit domba.

Kepada Dr.

Y.

Yamarnoto, Gifh University, Japan, penulis mengucapkan terima kasih atas ban- bahan penelitian untuk pengamatan secara imunositokimia.

S-a h s u s pula, rasa terima kasih yang sebesar-besarnya penulis

sampaikan kepada Pemerintah Indonesia melalui Bantuan Pendidikan Pasca

Sarjana (BPPS) dan Proyek Hibah Tim Periode Tahun 1999-2001 yang telah

memberikan kepercayaan dan beasiswa serta bantuan biaya penelitian sehingga

penulis dapat menyelesaikan pendidikan Doktor

di

Program Pascasarjana IPB.

Tanpa mengurangi rasa hormat, tak lupa penulis sampaikan rasa terima

kasih yang sebesar-besamya kepada Bapak Rektor lnstitut Pertanian Bogor, serta

(139)

yang telah diberikan kepada penulis; kepada Bapak dan Ibu, seluruh staf pengajar

beserta karyawan di Jumsan Anatomi, FKH IPB, atas dorongan sernangatnya,

serta rekan-rekan mahasiswa dan peneliti di Laboratorium Embriologi, Jurusan

Anatomi, FKH IPB, atas diskusinya serta pengertian dan dorongan semangatnya. Akhirulkdam, dengan rasa cinta dan hormat, penulis mengucapkan terima

kasih kepada ayahanda dan ibunda yang senantiasa mendoakan dan memberikan

dorongan semangat, suarni tercinta atas kesabaran, pengertian, serta doa dan dorongan semangatnya dan seluruh keluarga atas doa dan pengertian yang telah

diberikan kepada penulis.

Penulis berdoa ke hadhirat Ilahi, semoga segala amal perbuatan semua

pihak yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang diridhoi dari

Allah Subhaanahu Wata'aala. Amin ya rabbal'aalamin.

Bogor, Mei 2001,

(140)

DAFTAR ISI Halaman ... DAFTAR IS1 ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIEUN ... PENDAHULUAN

1 . Latar Belakang ...

2 . Tujuan dan Manfaat Penelitian ...

...

TINJAUAN PUSTAKA

1 . Perkembangan Peternakan Domba d m Bioteknologi Petemakan di Indonesia ...

1 . 1 . Keadaan dan Potensi Pengembangan Peternakan Domba di Indonesia ... 1.2. Perkembangan Bioteknologi Peternakan ...

.

...

2 Pertumbuhan dan Perkembangan Folikel

3

.

Keadaan Morfologi dan Fungsi Biologis Oosit ...

4 . Potensi Koleksi Oosit dan Produksi Embrio secara In Virro

...

4.1- Maturasi In Vzfro

...

4.2. Fertilisasi If2 Vitro

4.3. Perkembangan Ernbrio In Vifro ...

...

5.1. Metode Pembekuan

... 5.2. Metode Vitrifikasi

5.3. Faktor-Faktor yang Berperanan didalam Proses

...

Vitrifikasi

MATERI DAN h4ETODE PENELITIAN . . .

. ...

1 Mhteri dan Metode yang Dipergunakan

1.1. Koleksi Ovarium dan Oosit

...

1.2. Pernatangan In Viiro ... 1.3. Metode vitrifikasi ...
(141)

Halaman

...

1.4. Pengamatan Mikroskopis dan Ultra-Struktur

...

1.5. Pengamatan Fungsi Biologis Oosit

2.1. Keadaan Umum Ovarium Domba ...

2.2. Keadaan Morfologi dan Struktur Oosit setelah

...

V~trifikasi

2.3. Keadaan Fungsi Biologis Oosit setelah Pemaparan dan Vitrifikasi ...

3 . Pengumpulan Data dan ~ n a l i s i s Statistik ...

HASIL DAN PEMBAHASAN ...

1 . Keadaan Umum Ovarium serta Perkembangan Oosit selama 24 Jam Inkubasi In M t r o

1.1. Keadaan Berat, Jurnlah Folikel dan Oosit pada Ovarium Domba ...

1.2. Perubahan Status Meiotik Inti Oosit seIama 24 Jam

...

Inkubasi In Vitro

2 . Keadaan Morfologi dan Ultra Struktur Oosit Mt-I1 setelah Vitrifikasi ...

2.1. Keadaan Morfologi Oosit Mt-I1 setelah Vitrifikasi ...

2.2. Keadaan Ultra-Struktur Mt-I1 setelah Vitrifikasi

...

3 . Keadaan Fungs Biologis Oosit setelah Pemaparan dan

Vitrifikasi ...

3.1. Tingkat Viabilitas Oosit setelah Pemaparan

...

3.2. Tmgkat =abilitas Oosit setelah Vitrifiksi ...

3.3. Tmgkat Pematangan In Vifro Oosit setelah Permparan dan Vitrifikasi ...

3.4. Tingkat Fertilisasi dan Perkernbangan Embrio In Vitro setelah Vitrifikasi ...

KESIMPULAN DAN

SARAN

1

.

Kesirnpulan ...

2 . Saran ...

DAFTAR PUSTAKA ...

(142)

DAFTAR TABEL

Nomor

Teks

1 . Berat ovarium dan jurnlah folikel per ovarium pada masing- masing ovarium kanan dan kiri ...

2. Berat ovarium, jumlah folikel dan oosit per pasang ovarium pada masing-masing ovariurn fase luteal dan folikuler ...

3 . Morfologi oosit setelah proses vitrifikasi di dalam berbagai

. .

larutan vltnfikasi ...

4. V~abilitas oosit pada berbagai tahap pematangan inti setelah

...

pemaparan di dalam berbagai larutan vitrifikasi

5. Pengamh dehidrasi di dalam larutan sukrosa bertingkat terhadap viabilitas oosit Mt-I1 ...

6. Viabilitas oosit pada berbagai tahap pematangan setelah vitrifikasi di dalam iarutan VSI ...

7. Tingkat pematangan oosit secara in vifro setelah pemaparan di datam larutan VS ...

8 Tingkat pematangan oosit secara in vitro setelah vitrifikasi di dalam lamtan

VS,

...

9. Wabilitas dan tingkat fertilisasi in vifro dari oosit setelah ... vihifikasi di dalam larutan VSI, VSZ dan VSs

(143)

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Oosit domba sebelum dan setelah pematangan in viiro

Tingkat pematangan oosit secara it1 vifro berdasarkan waktu inkubasi . . .

Oosit pada berbagai tahap pematangan meiotik inti . . . ..

Morfhlogi oosit tahap metafase-I1 setelah vitrifikasi .. . .

Ultra-struktur oosit metafase-I1 setelah vitrifikasi di dalam larutan VSz . . .

.

. . . .. . .

Morfologi sitoskeleton tubulin oosit metafase-I1 setelah vitrifikasi di dalarn larutan VS2 . . .

UItrastruktur oosit metafase--11 setelah vitrifikasi di dalam larutan VS3 ... . . .. . . .. .

.

. .. . .. . . .. . .

Kelainan lempeng metafase pada oosit setelah vitrifikasi

Oosit setelah vitrifikasi dan 16 jam setelah fertilisasi . . .

Preparat natif embrio tahap 4 sel sampai-morula yang

(144)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

Te ks

1 Komposisi Dulbecco 's Phosphate-Buffered Saline (Gibco

BRL) .

.

. . .

. . .

. . .

. . .

2 Komposisi medium CRlaa (Rosenkrans dan First) . . . ..

(145)

1. L a t a r Belakang

Pada rnasa kini, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk

mempercepat peningkatan populasi, produksi dan mutu ternak adalah dengan

penyediaan bibit berkuaIitas tinggi meialui penerapan dan pengembangan

bioteknologi reproduksi, antara lain teknologi Lnseminasi Buatan (IB) dan

Transfer Embrio (TE). Hal ini terbukti dari telah didirikannya Balai Inseminasi

Buatan di Lembang dan Singosari, yang diikuti dengan didirikannya Balai Ernbrio

Ternak di Cipelang, Bogor pada tahun 1992. Inseminasi Buatan dilakukan

sebagai upaya untuk meningkatkan nilai tambah sel garnet jantan (spermatozoa)

dari seekor pejantan unggul sehingga jumlah betina yang dapat dibuahi dapat

ditingkatkan dan keturunan yang diperoleh akan mendapatkan peningkatan mutu

genetik. Sedangkan TE ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah dari sel

gamet baik dari induk jantan maupun induk betina terhadap proses produksi

ternak, sehingga keturunan yang diperoleh akan rnendapatkan peningkatan mutu

genetik dari kedua tetuanya. Didalam penerapan TE, embrio yang akan ditransfer

dapat dihasilkan baik secara in vivo maupun in vitro, sehingga tersedianya garnet,

terutama sel tetur (oosit) secara kesinambungan merupakan faktor utama yang

hams terus diupayakan.

Kriopresewasi oosit merupakan salah satu cara untuk rneningkatkan nilai

tambah oosit sehingga dapat dipergunakan tanpa dibatasi oleh kendala waktu dan

jar&. Teknik kriopreservasi oosit merupakan suatu cara untuk menyimpan sampel

(146)

dan mempertahankan kelangsungan hidup sel. Dengan teknik kriopreservasi daya tahan hidup (viabilitas) oosit dapat dipertahankan dengan cara mereduksi fungsi-

fungsi dan aktivitas metabolik tanpa terjadinya kerusakan membran maupun

organel sel sehingga fbngsi biologis, fisiologis dan imunologis tetap ada.

Kemampuan untuk melakukan kriopreservasi oosit marnalia akan mernperpanjang

daya tahan oosit dan secara efektif akan meningkatkan penerapan dan peranan TE

serta kemampuan daya guna teknologi biologi reproduksi secara luas, antara lain

kloning dan rekayasa embrio.

Melalui teknik kriopreservasi, oosit dari hewan temak, hewan

laboratoriurn maupun hewan liar dapat disimpan dalam keadaan beku tanpa batas

waktu untuk aplikasi komersial ataupun keperluan penelitian di kemudian hari.

Oosit dari betina yang bermutu genetik tinggi, termasuk species-species yang

hampir punah dapat tetap terpelihara walaupun betina teIah kehilangan fungsi

fertilisasi secara normal atau bahkan telah mati; karenanya penyediaan oosit yang

diperoleh dari hewan bermutu genetik tinggi atau memiliki nilai ekonomi dapat

ditingkatkan dan dilakukan setiap saat setelah hewan dipotong atau mati

mendadak.

Keberhasilan kriopreservasi akan memungkinkan tersedianya oosit beku

sehingga (a) dapat mempermudahkan pengaturan waktu didalam program

produksi embrio in vifro berikut transfer embrio (atau program bayi tabung pada

manusia) serta teknik konsepsi terkait lainnya (Rall, 1992), dan (b) secara umum

merupakan upaya penyimpanan dan pemeliharaan pjasma nutfah (Wildt, 1989).

Pada manusia, kriopreservasi oosit selain akan mempermudah melakukan

(147)

pada wanita yang kehilangan k n g s i gonadal akibat proses bedah atau kemo-terapi sehingga potensi reproduksi masih dapat dipertahankan serta mengantisipasi

pertanyaan masalah etika dan legalitas sekitar penyimpanan embrio beku pada

manusia. Sedangkan plasma nutfah dari betina yang berniIai mutu genetik atau

ekonomi tinggi, serta species-species langka yang dilindungi (endangered

species) dapat diselamatkan setelah hewan betina dipotong atau bahkan mati.

Ditinjau dari fenomena fisik, ada dua metode kriopreservasi oosit, yaitu

metode pembekuan w e e z i n g ) , termasuk kedalamnya adalah pembekuan lambat

dan cepat (slow and rapid/ultra rapidfreezing) dan metode vitrifikasi. Perbedaan

yang menyolok diantara kedua metode tersebut adalah pada metode pembekuan

te ja d i pemadatan cairan tetjadi melalui pembentukan kristal es, sedangkan pada

vitrifikasi pemadatan cairan t e jadi tanpa melalui pembentukan kristai es (Rall dan

Fahy, 1985). Adapun kerusakan fisik yang dapat ditimbulkan oleh kedua metode

tersebut di atas adalah hampir sama.

Saat ini metode vitrifikasi telah dipakai sebagai metode alternatif

kriopreservasi embrio maupun oosit (Rall dan Fahy, 1985; Nakagata, 1989; Arav

e f al., 1990). Pada proses vitrifikasi, pemadatan cairan terjadi melalui peningkatan

viskositas yang ekstrim pada masa pendinginan cepat (Fahy, el at., 1984). Bagian

padat ini menyerupai kaca sehingga disebut vitreus, serta memiliki distribusi

molekuler dan ionik dalam keadaan cair. Dengan demikian, efek yang merusak

dari kristal es ekstra dan intraseluler dapat menghidari atau diminimumkan -11

dan Fahy, 1985). Kelebihan lain dari metode vitrifikasi adalah sederhana, murah,

(148)

diterapkan di tempat-tempat seperti rumah sakit, laboratorium atau balai-balai

ternak yang memiliki fasilitas kontainer nitrogen cair.

Adapun kelemahan pada rnetode vitrifikasi adalah untuk meniadakan atau

meminimunkan terbentuknya krista1 es dibutuhkan krioprotektan dengan

konsentrasi tinggi. Hal ini dapat mengakibatkan tingginya tekanan osmotik serta

toksisitas krioprotektan terhadap oosit (Arav, et al., 1993). Salah satu upaya untuk menimimunkan pengaruh tekanan osmotik, dapat dilakukan dengan

menambahkan krioprotektan ekstra seluler seperti sukrosa dengan konsentrasi

bertingkat (Takahashi dan Kanagawa, 1990; Tada et al., 1994) Sedangkan pengaruh toksisitas dapat dirninimumkan dengan menggunakan krioprotektan

dengan toksisitas rendah seperti etilen glikol. Penambahan sukrosa ke dalarn

larutan ekuilibrasi embrio sebelum dan sesudah kriopreservasi telah dilaporkan

dapat meningkatkan daya tahan hidup ernbrio maupun oosit setelah penghangatan

kembali (warming) (Szell dan Shelton, 1986; Takahashi dan Kanagawa, 1990). Tada et al. (1994) mempergunakan larutan sukrosa untuk proses dehidrasi oosit mencit pada proses vitrifikasi untuk menghindari penggunaan krioprotektan intra-

seluler yang bersifat toksik bagi oosit dan memfasilitasi pengeluaran krioprotektan intra-seluler pada masa pasca-penghangatan.

Mengacu pada keberhasilan metode vitrifikasi embrio, vitrifikasi oosit

telah dilaporkan pada mencit (Nakagata et d., 1989; Shaw et al., 1991; Shaw e f

al., 1992; O'Neil, et al., 1998; Bautista, et al., 1998) dan beberapa hewan hewan

(149)

demikian, sejauh ini keberhasilan yang telah dilaporkan masih sangat terbatas dan

variatif.

Dari berbagai kajian tentang kriopreservasi oosit, kajian terhadap

morfologi dan fingsi biologis oosit setelah vitrifikasi masih sangat terbatas

(Niemann, 1991; Richardson dan Park, 1992; Aman dan Park, 1994; Lim et al.,

1992; Otoi el al., 1992; Rayos, et aL, 1994). Oosit beku akan memiliki nilai

tambah jika setelah kriopreservasi masih menunjukkan keadaan morfologi

maupun struktur organel yang normal. Keadaan ini sangat berkait erat dengan

perananannya didalarn menunjang dan menjalankan aktivitas hngsi biologis

oosit, yaitu sebagai salah satu unsur utama pembentuk sigot pada proses fertilisasi

disamping sebagai sarana atau tempat berlangsungnya proses fertilisasi dan

perkembangan embrio (Hyttel et al., 1997). Dengan demikian, kuantitas serta

kualitas dari organel ataupun bahan-bahan lain yang terkandung di dalam

sitoplasma oosit akan sangat menentukan keberhasilan proses fertilisasi dan

perkembangan embrio selanjutnya (Hyttel et al., 1997).

Dibandingkan dengan sel tubuh lainnya, oosit mamalia memiliki ukuran

yang relatif besar dengan diameter 120 pm, dan memiliki karakteristik morfologik

serta fbngsional yang unik. Keadaan susunan morfologi berturut-huut dari Iuar

adalah zona pelucida, membnrn plasma (oolemma) dan sitoplasma (ooplasma).

Di bagian luar, zona pelucida dikelilingi oleh sel-sel granulosa yang berhubungan

dengan membran plasma melalui g q junction. Sitoplasma oosit mengandung

organel-organel seperti mitokondria, retikulum endopiasmik, butir-butir korteks

(150)

pematangan ataupun species telah dilaparkan pula menunjukkan keadaan

perbedaan karakteristik rnembran maupun organel (Agca el al., 1997; Hyttel et

al., 1997). Dengan demikian, sampai saat ini, kriopreservasi oosit masih menjadi

tantangan terbesar bagi kriobiologis yang beke rja di bidang reproduksi. Kerusakan

yang te rjadi pada oosit yang mengalami kriopreservasi sangat variatif tergantung

pada dua faktor utama yaitu karakteristik oosit dan metode yang dipergunakan

sehingga penentuan metode yang akan dipergunakan serta kesesuaiannya dengan

karakteristik sel &an sangat menentukan keberhasilan kriopreservasi. Karenanya

setelah proses vitrifikasi, pemeriksaan morfologi serta keadaan struktur oosit

secara mikroskopis dan imunositokimia adalah penting sekali. Dan keadaan ini

perlu dibuktikan lebih lanjut dengan pengujian aktivitas fungsi biologis oosit

melalui proses pematangan dan fertilisasi in vitro serta perkembangan embrio in

vifro selanjutnya.

2. Tujuan dm Manfaat Penelitian

2. 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk rneningkatkan nilai tambah w s i t melalui

proses kriopreservasi dalam rangka memproduksi oosit beku dan embrio secara in

vitro. Sedangkan secara khusus, penelitian ini ditujukan untuk mengkaji keadaan

morfologi dan h g s i biologis oosit domba setelah kriopreservasi dengan metode

(151)

2.2. Manfmt Penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh dengan dihasilkannya oosit beku melalui

penelitian ini adalah:

(1) Memberikan informasi dasar mengenai vitrifikasi oosit yang dapat diterapkan

pada hewan ternak lainnya ataupun hewan mamalia lainnya.

(2) Memudahkan transportasi oosit.

(3) Mendukung dan mernudahkan implernentasi kegiatan proses produksi embrio

in vitro serta teknik terkait lainnya.

(4) Mendukung upaya pelestarian plasma nutfah melalui pembentukan bank

gamet.

(5) Memperluas khasanah pengetahuan dasar mengenai kriopreservasi melalui

(152)

TINJAUAN PUSTAKA

1. Perkembangan Peternakan Domba dam Bioteknologi Peternakan d i

Indonesia

1.1. Keadaan d a n Potensi Pengembangan Peternakan Domba d i Indonesia

Di Indonesia, khususnya Jawa Barat ternak domba dikenal sebagai salah

satu ternak penghasil daging, disamping penghasil bahan baku industri kulit Jan

serat (wool). Populasi domba pada tahun 1999 adalah sebanyak 7 502 437 ekor

dan sebagian besar tersebar di Jawa Barat (3 464 710 ekor), Jawa Tengah (1 838

214 ekor) dan Jawa Timur (1 355 518 ekor). Kontribusi daging domba terhadap

kebutuhan konsurnsi daging national yaitu 1 334 200 ton, hanya sekitar 2,76%

(Anonimouq 1999). Dibandingkan dengan produksi daging unggas serta kerbau

dan sapi, produksi dan kontribusi daging domba terhadap kebutuhan nasional

masih sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa peluang untuk meningkatan

populasi ternak domba berikut kontribusi daging domba untuk memenuhi

kebutuhan konsumsi daging nasional masih sangat besar. Beberapa keuntungan

dari ternak domba dibandingkan sapi dan kerbau adalah mudah beradaptasi, cepat

berkembang biak, mudah dipasarkan dan tidak memerlukan modal yang terlalu

besar. Di samping itu, berbeda dengan domba dari daerah sub-tropis, domba lokal

Indonesia (tennasuk domba ekor gemuk) tidak memiliki aktivitas reproduksi

musiman dan pada ternak domba ekor gemuk adalah sifatnya sebagai ternak

prolifik (Sutama, 1992).

Namun demikian, kendala yang dihadapi dalam upaya meningkatkan

(153)

berpola tradional dan harnpir 97% dipelihara di pedesaan dalam skala kecil secara

sarnbilan. Untuk rneningkatkan kontribusi daging domba dalam memenuhi

kebutuhan konsumsi daging nasional perlu diupayakan pengembangan peternakan

domba dari pola tradional menjadi suatu pola usaha komersiaI. Dan salah satu

cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitasnya adalah rnelalui

penerapan bioteknologi reproduksi.

1.2. Perkembangan Bioteknologi Peternakan

Bioteknologi Peternakan dapat diartikan sebagai produk biologis atau

proses biologis untuk menghasilkan suatu produk petemakan dalam skala besar

dan berwrak industri yang antara lain rneliputi pemanfaatan proses rekayasa

embrio dan garnet serta rekayasa genetika dalam upaya meningkatkan mutu dan

jumlah produksi. Dalam ha1 produksi ternak, penarapan teknologi tepat guna di

bidang reproduksi telah dilaksanakan sejak 35-40 tahun yang lalu dimulai dengan

Inseminasi Buatan (IB). Dengan menggunakan teknik IB seekor pejantan unggul

dapat rnengawini Iebih dari tiga ribu betina setiap tahunnya, sedangkan dengan

perkawinan alamiah seekor pejantan hanya mampu mengawini sekitar tujuh puluh

sapi betina per tahun. Narnun demikian teknik IB hanya mendayagunakan secara

optimal sifat-sifat genetik dari seekor pejantan unggul. Sekitar 20-25 tahun yang

lalu telah diernbangkan teknologi tepat guna untuk mendayagunakan sifat-sifat

genetik tidak saja dari pejantan unggul tetapi juga induk yang unggul. Dengan

teknologi transfer embrio (TE) seekor betina unggul dapat menghasilkan lebih

(154)

teknik IB -pun perkawinan alamiah seekor betina unggul hanya menghasilkan

seekor keturunan per tahun.

Sejalan dengan perkembangan teknologi TE, berkembang pula teknologi

yang melibatkan perekayasaan proses biologis. Perkembangan teknik-teknik

lainnya yang terkait dengan TE antara lain adalah produksi embrio in vitro,

kloning dan kriopreservasi. Karena embrio merupakan salah satu tahap

perkembangan yang banyak dipakai didalam penelitian maupun penerapan teknik

transfer embrio serta teknik terkait lainnya, penelitian yang berkait erat dengan

proses perkembangan embrio berikut faktor-faktor pembentuknya, yaitu oosit dan

sperrna menjadi sangat penting.

2. Pertumbuhan d a n Perkembangan Folikel

Domba memiliki siklus estrus sekitar 14-17 hari, dengan lamanya estrus

sekitar dua sampai tiga hari. Pada hari pertama betina menunjukkan gejala berahi

merupakan hari ke-0 (HO) dari siklus berahi, sehingga dari satu gejala estrus ke

gejala estrus berikutnya dikatakan sebagai satu periode siklus estrus.

Proses pertumbuhan dan perkembangan oosit t e j a d i bersamaan dengan

sel-sel gramlosa yang mengelilinginya di dalam suatu folikel, sehingga dikenal

dengan proses perkembangan folikel atau folikulogenesis. Serdasarkan keadaan

stmktur dan morfologinya, perkembangan folikel dapat dibedakan atas folikel pre-

antral dan folikel antral. Folikel pre-antral merupakan folikel sebelum

terbentuknya rongga, sedangkan folikel antral merupakan folikel yang telah

memiliki rongga. Folikel pre-antral berasal dari folikel primordial, yaitu foliiel

(155)

pipih (sebagai prelcursor dari sel-sel lcumulus atau sel-sel granulosa). Folikel

primordial akan mengalami pertumbuhan dan pematangan menjadi folikel

preantral (folikel primer dan sekunder), antral, dan ovulatori atau mengalami

atretik (Findlay et al., 1996). Pada folikel primer dan sekunder, sel-sel pipih telah

merubah menjadi sel-sel yang berbentuk kuboid masing-masing terdiri dari satu

dan lebih dari dua lapis sel. Pada folikel tertier mulai tarnpak adanya pertumbuhan

intrum (rongga) dan mencapai diameter dua milimeter pada saat mencapai folikel

antral. Pada tahap ini pertumbuhan folikel berjalan sangat lambat dan sangat

berkait erat dengan proliferasi dari sel-sel granulosa. Pertumbuhan folikel antral

selanjutnya adalah ditandai dengan terjadinya pembesaran antrum, dan pada tahap

ini pertumbuhan sangat tergantung kepada suplai gonadotropin (Momiaux ef al.,

1996).

Pertumbuhan dan perkembangan folikel ovulatori terdiri dari atas beberapa

tahap yaitu rekruitmen, seleksi dan ovulasi. Tahap rekruitmen terjadi pada saat

corpus luteurn (CL) mengalami regresi dan pertumbuhan folikel telah menjadi

sangat tergantung pada gonadotropin. Pada masa tersebut dua sampai lima folikel

berdiameter lebih dari dua milimeter akan direkruit, namun memasuki tahap

seleksi hanya satu atau lebih folikel (yaitu folikel yang berdiameter di atas empat

milimeter) yang &an tetap tumbuh (tergantung species) menjadi folikel dominan

(yang berdiameter enam sampai delapan milimeter), sedangkan folikel lainnya

yang berdiameter kurang dari empat milimeter akan mengalami atresia atau

regresi.

Kriteria untuk menentukan folikel ovulatori adalah (a) ukuran folikel, (b)

(156)

reseptor

LH)

serta jumlah estradiol yang dihasilkan dan ( c ) perubahan yang

berhubungan dengan populasi folikel kecil subordinat (Driancourt, 199 1).

Pada domba dalam satu periode siklus estrus terdapat sekitar dua sampai

tiga gelombang pertumbuhan folikel. Dengan demikian, proses rekruitmen dan

seleksi folikel dorninan tidak terbatas hanya pa& awal masa fase folikuler, namun

juga pada fase luteal. Gelombang pertama terjadi pada fase folikuler, dari hari ke-

12 sampai hari ke-0, biasanya &an merekruit dua folikel besar yang akan tumbuh

secara cepat sampai hari ke 15, setelah terjadi luteolisis pada hari ke-14. Folikel yang berdiameter besar atau folikel pre-ovulatori (berdiameter enam sampai

delapan rnilimeter dengan jumlah sel granutosa sekitar 3 x lo6), terlihat pada awal

estrus, dan diikuti dengan atresia dari folikel yang berdiameter medium yaitu dua

sampai empat milimeter.

Gelombang kedua terjadi pada fase luteal, dari hari pertama sampai hari

ke-12, puncaknya pada folikel tertier yaitu pada hari ke-tujuh dan rnenjadi atretik

pada hari ke-sembilan. Pada fase f o l i i l e r kehadiran folikel yang berdiameter

besar akan diakhiri dengan proses ovulasi, sedangkan pada fase luteal kehadiuan

folikel berdiameter besar akan bertahan sampai mendekati fase folikuler,

kemudian mengalami atresia. Namun demikian, kehadiran dari folikel

berdiameter kurang dari dua milimeter terjadi secara konstan sepanjang siklus

estrus. Pada dornba semua folikel sehat yang berdiameter kurang dari dua

milimeter rnemiliki kesempatan untuk owlasi pada saat CL mengalami regresi

(Driancourt, 1991).

Pada sapi tejadinya gelombang pestumbuhan folikuler diawali dengan

(157)

dengan disekresikannya inhibin dan estradiol oleh folikel dominan yang

berhubungan dengan regresi cepat dari folikel-folikel non dominan (Kaneko el al.,

1996). Pada fhse folikuler, terjadi pengeluaran LH yang tajam yang berhubungan

dengan peningkatan yang tajam dari reseptor LH pada sel-sel granulosa dari

folikel dominan, dan merangsang perkembangan akhir mencapai tahap pre-

ovulatori.

Sebaliknya, pada fase luteal, fiekuensi pulsa LH yang rendah tidak dapat

memelihara pematangan akhir dari folikel dominan, yang kemudian regresi dan

sekresi estradiol serta inhibin menurun, sehingga memungkinkan terjadinya

peningkatan konsentrasi FSH dan dimuiainya gelombang folikular baru (Taya et

al., 1996). Corpus luteum memberikan pengaruh lokal terhadap perkembangan

folikel, yaitu pada fase luteal terdapat lebih banyak folikel yang berdiameter lebih

dari empat rnilimeter pada ovarium yang mengadung CL dibanding ovarium

pasangannya.

Pada domba semua folikel berdiameter lebih dari dua rnilimeter (foiikel

sehat) memiliki kesempatan untuk ovulasi pada saat CL mengalami regresi.

Persentase folikel yang sensitif terhadap LH sangat tinggi (di atas 80%) pada

ovarium tanpa melihat fisiologis ovarium, yang menunjukkan bahwa gelombang

pertumbuhan folikel pada domba berlangsung secara kontinyu. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa sensitivitas terhadap LH dari folikel luteal tidak

menunjukkan perbedaan dengan pada folikel ovulatori, kecuali terhadap

konsentrasi estradiol yang dihasilkan. Konsentrasi estradiol pada folikel fase

luted sangat tertekan. Setelah terjadi pelepasan FSH (pada HO) akan diikuti

(158)

baik pada fase folikuler maupun fase luteal setiap dua jam walaupun tanpa ritmik

yang tetap. Sebaliknya peningkatan LH terjadi setiap dua setengah jam pada fase

luteat, dan terus meningkat setiap satu jam pada h e folikuler. Puncak pelepasan

estradiol tejadi pada saat level LH dan FSH tinggi.

3. Keadaan Morfologi dan Fungsi Biologis Oosit

Oosit mamalia merupakan sel tunggal dan dibandingkan dengan sel tubuh

lainnya, &ran oosit relatif sangat besar (120 pm) serta memiliki karakteristik

morfologik dan fingsional yang unik. Keadaan ukuran, serta struktur dan

morfologi sangat berkait erat dengan fungsi biologis oosit, sehingga tidak dapat

dipisahkan satu sama lainnya.

Oosit memiliki fingsi biologis utama yaitu (1) sebagai pembawa unsur genetis dari maternal melalui proses penggabungan dua unsur genetis yang berasal

dari paternal dan maternal, yang dikenal dengan proses fertilisasi; serta (2)

sebagai tempat atau media yang memungkinkan sigot yang dihasilkan melalui

proses fertilisasi untuk menjalani proses perkembangan embrio.

U& itu oosit hams merniliki kapasitas untuk mendukung proses

fertilisasi dam perkembangan embrio (Bevers et al., 1997). Oosit akan memiliki kapasitas tersebut setelah menjalani proses pertumbuhan serta pematangan baik

inti maupun sitoplasma sehingga oosit tersebut memiliki keadaan inti yang

haploid serta kandungan sitoplasma yang siap mendukung proses fertilisasi dan

perkembangan embrio. Selarna menjalani proses pertumbuhan keadaan morfologi

(159)

diameter, aktivitas transkripsi dan kandungan sitoplasma, serta perpindahan inti dari pusat ke tepi.

Pada folikel primordial dan primer, komunikasi antara oosit dengan sel-sel

granulosa diperantarai melalui jalur endositotik yang ditandai dengan banyaknya

vesikel serta celah-celah pada oosit. Dan setelah pertumbuhan memasuki folikel

sekunder jalur komunikasi mengalami perubahan yaitu berlangsung melalui gap

junction (hubungan berupa celah) yang terbentuk diantara oosit dan sel-sel

granulosa (Hyttel ef ai., 1997).

Berdasarkan tahap perkembangannya, inti oosit dapat dibedakan atas tahap

Germinal Vesicle (GV), Germinal Vesicle Break Down (GVBD), Metafase-I (Mt-

I) dan Metake-I1 (Mt-11). Oosit pada folikel primordial dan primer berukuran

sekitar 30-50 prn dengan inti berada pada tahap germinal vesicle. Dengan

berlangsungnya proses perkembangan oosit, inti yang semula berada pada tahap

GV dan kromosom dalam keadaan istirahat (tahap profase dari pembelahan

meiosis I), berturut-turut akan mengalami perubahan dimulai dengan pecahnya

membran inti atau germinal vesicle break down, kemudian mencapai Mt-I dan

dilanjutkan ke Mt-I1 yang siap untuk difertilisasi oleh sperma. Pada saat tersebut

ukuran oosit telah mencapai 120 pm.

Pada pematangan sitoplasma te qadi perubahan molekuler dan struktural

yaitu tejadinya peningkatan yang pesat terhadap jumlah maupun ukuran organel

seperti ribosom, butir-butir lernak, badan golgi dan mitokondria serta butir-butir

korteks, sehingga oosit memiliki kapasitas untuk mendukung fertilisasi dan

(160)

yang semula berada di bagian dalam ooplasrna kemudian menyusun diri di bagian

perifer di bawah membran plasma. Pembahan kandungan sitoplasma mulai

tampak pada folikel sekunder dan meningkat pada folikel tertier.

Pada s a p i ukuran serta keadaan struktur dan morfologi dari oosit matang

(Mt-II) adalab diameter zona pelucida sekitar 110-120 ~ u n , granulasi ooplasma

homogen clan diielilingi oleh sel-sel kumulus yang fonggar. Dengan mikroskop

cahaya fase kontras dapat dilihat bahwa inti yang berada pada metafase-I1

mengandung aparatus kumparan anastral di perifer, dengan mikrotubulin yang

memanjang dari masing-masing kutub ke kinetokhors kromosom bivalen.

Sedangkan dengan mikroskop elektron transmisi tampak bahwa butir-butir

korteks berada tepat di bawah membran plasma dimana mereka akan dipacu untuk

menjalani eksositosis pada waktu proses fertilisasi. Keluarnya kandungan butir-

butir korteks mengakibatkan perubahan pada zona pelucida (reaksi butit-butir

korteks), rnenciptakan hambatan terhadap polisperma. Membran plasma oosit

mamalia ditutupi oleh sejumlah mikrovili yang mengandung filament aktin inti

(core). Komposisi biokimia dari membran lapis ganda (bilayer) pada oosit

mamalia belum banyak diketahui, namun amat mudah mengalami destabilisasi.

Susunan dari mikrofilamen yang mengandung aktim ditemukan di dalam

perinuklear dan korteks sitoplasma yang terlibat didalam distribusi organel pada

masa pematangan oosit, deformasi pemukaan yang berhubungan dengan

pengelurnan badan kutub (polm boby) (Hyttel et al., 1997).

Baik mikrotubulin maupun mikrofilamen merupakan bagian dari skeleton

(161)

meiosis, fertilisasi, serta kompaksi (compaction) dan kavitasi embrio pada proses

pembentukan biastosis (Kim ei al., 1993). Skeleton sel bersifat dinamis dan

mengalami perubahan susunan pada masa pembelahan sel. Pada masa pertumbuhan dan pembelahan sel, mikrotubulus akan mengalami perubahan dan

pada saat metafase mikrotubulin tampak sebagai kumparan meiotik yang

memegang kromosom di ekuator.

4. Potensi Koleksi Oosit d a n Produksi Embrio Secara In M t r o

Penggunaan teknik in vitro sudah menjadi suatu prosedur yang rutin di

banyak laboratorium baik untuk tujuan penelitian maupun untuk memproduksi

embrio skala besar yang berkaitan dengan peningkatan kuantitas dan kualitas

ternak (Gordon dan Lu, 1990). Koleksi oosit maupun produksi embrio secara in

vitro erat kaitan dengan teknologi transfer embrio. Keuntungan lain dari sistern in

vitro, adalah untuk mempelajari perkembangan embrio, mengetahui penyebab

kematian embrio, sintesa protein pada perkembangan transisi antara maternal-

embrionik, transfer inti dan produksi hewan transgenik (Wilmut et al., 2000).

Telcnologi produksi embrio secara in vitro (in vitro produced; IVP)

merupakan serangkaian sistem kultur in vitro yang meliputi maturasi in vitro (in

vifro maturation; IVM), fertilisasi in vitro (in vitro fertilization; IVF) dan kultur

embrio in vitro sampai tahap morula atau blastosis (in vitro culture; IVC). Sarnpai

saat ini metode-metode tersebut telah dipergunakan secara ekstensif pada

beberapa hewan ternak antara lain sapi (Schellander et al., 1990; Utsumi et al..

1991; Bavister et al., 1992; Lonergan et al., 1992; Boediono et al., 1995; Djuwita

(162)

Czlonkowska ef al., 1999; Wani ef al., 1999; Rusyiyantono et al., 2000) dan

kambing Q3oediono et al., 2000).

4.1. Maturasi In Viiro (IVM)

Maturasi (pematangan) oosit yang meliputi pematangan inti dan

sitoplasma merupakan suatu tahapan yang sangat penting didalam mendukung

keberhasilan Fertilisasi serta perkembangan embrio selanjutnya (Bevers et af.,

1997; Hyttel, et al., 1997). Perubahan yang berhubungan dengan proses

pematangan akhir in vivo dapat ditiru secara in vifro di dalam medium kultur. Hal

ini telah dibuktikan melalui beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa oosit

mamalia setelah dilepaskan dari folikel ovari dapat melanjutkan proses

pematangan inti secara spontan di dalam medium kultur in vifro (Edwards, 1 9 6 5 )

dan fertilisasi in vifro (Iritani dan Niwa, 1977). Namun demikian perkembangan

embrio hasil pematangan dan fertilisasi in vifro menunjukkan tingkat yang lebih

rendah dibandingan hasiI pematangan in vivo (Leibfried-Rutledge et at., 1987).

Salah satu penyebab kegagalan fertilisasi adalah oosit yang diperoleh berasal dari

populasi folikel yang kondisinya heterogen, disamping pematangan sitoplasma

yang tidak sempurna atau oosit telah mengalami aging (penuaan) (Pevlok et al.,

1988, Hyttel et al., 1997).

Pemataugan oosit in viiro dimaksudkan agar oosit primer dapat

berkembang menjadi oosit sekunder yang a k a melakukan proses pembelahan

meiosis dengan normal dan sempurna sehingga dihasilkan oosit yang siap dibuahi

oleh spermatozoa dan akhimya mampu berkembang menjadi embrio yang

(163)

Oosit dapat diperoleh dari hewan hidup ataupun ovaria dari rumah potong

hewan. Oosit yang dipergunakan diperoleh dari ovaria hewan betina tanpa

memperhatikan fase siMus berahinya (Djuwita et a / . , 1995; Wani et ai., 1999).

Oosit diambil langsung dari foiikel yang berukuran dua sarnpai fima milimeter

dan disimpan di dalam medium yang s e d untuk kemudian dirangsang proses

pematangannya.

Di luar tubuh, proses pematangan dapat dilakukan di dalam medium

kultur antara lain Tissue Culture Medium (TCM) 199 (Moor dan Trounson,

1977). Untuk membantu proses pematangan, umumnya medium diberi tambahan

protein seperti fetal calf serum (FCS), newborn calf serum (NCS), bovine

serum albumine (SSA) ataupun serum induk (Schellander et al., 1990). serta

foIIicIe stirnuloring hormone ( F S H ) , luteinizing hormone ( L H ) dan estradiol- 17-

B (Schellander et al., 1989). Namun peranan hormon seperti LH dan hormon

steroid diketahui masih bersifat kontroversial (Fukui dan Ono, 1989, Zuelke dan

Brackett, 1990; Keefer et al., 1991). Beberapa fakior pertumbuhan lainnya seperti

Epidermal Growth Factor (EGF), Transfrming Growth Factor (TGF)-a, TGF-p

dan Insulin Growth Factor (1GF)-I diketahui dapat mempengaruhi tingkat

pematangan in vitro (Bevers et al., 1997). Epidemal growth factor diketahui

memiliki pengaruh mitotik terhadap sel-sel granulosa serta memberikan kontribusi

pula terhadap tetjadinya germinal vesicle break down dan pembentukan badan

kutub @as el d . 1991).

Hasil penelitian Critser et al., (1986) menunjukkan bahwa interaksi antara

(164)

vifro sangat berpengaruh terhadap kompentensi perkembangan dan pematangan oosit. Interaksi ini sangat diperiukan untuk membantu komunikasi dan

metabolisme oosit dengan lingkungannya melalui gap junction (Staigmiller dan

Moor, 1984; Larsen et al., 1987; Goto et a/., 1988).

4.2. Fertilisasi In Etro (IVF)

Fertilisasi atau fertilisasi merupakan rangkaian proses kompleks yang

dimulai dengan (1) terjadinya kontak antara garnet jantan (spermatozoa) dengan

gamet betina (oosit), (2) penetrasi sperma ke dalam zona pelucida, (3) hsi antara

membran sperma dan membran msit, dan diakhiri dengan (4) synkaryosis, yaitu

bersatunya kedua pro-inti (pro-nukleus) sperma dan oosit. Sarat mutlak bagi

sperma untuk mampu melakukan penetrasi ke dalam oosit adalah terlebih dahulu

mengalami kapasitasi (capacifation), yaitu suatu perubahan fisiologik dan

biokimia . Perubahan ini terjadi akibat adanya ion-ion kalsium bebas sehingga

te qadi perubahan pada membran plasma sperma serta reaksi akrosom. Pada saat

terjadi reaksi akrosom terjadi pelepasan suatu~~~komponen dari permukaan

akrosom sehingga sperma yang juga dibantu dengan pergerakan ekornya mampu

menembus barier oosit yang berupa sel-sel kumulus, zona pelucida serta membran

vitelin @landau, 1980).

Secara in vitro, proses kapasitasi dapat dilakukan dalam medium BO

(Bracken dan Oliphant, 1975) atau CRlaa (Rorenkrans dan First, 1994) yang

telah diberi tambahan kafein (5,0mM), heparin (10,O ug/ml) dan B S A (1,0%)

(Niwa dan Ohgoda, 1988). Dari hasil penelitian Niwa et al. (1992) pada sapi

(165)

meningkatkan motilitas sperma sehingga merangsang penetrasi sperma terhadap

w s i t .

4.3. Perkembangan Embrio In Yilro (IVCJ

Sigot yang dihasilkan melalui proses pematangan dan fertiiisasi in vitro

telah berhasil dikembangkan secara in vitro di dalam medium kultur seperti TCM

199, C r l a a (Rosenkrans dan First, 1994), Sjmthetic oviductfCuid (SOF) (Tervit et

al., 1974; Walker et al., 1989), ataupun medium dengan komposisi bahan kimia

tertentu (chemically defined medium) (Gardner et al., 1994). Namun demikian,

w s i t yang telah mengalami pematangan di dalam media kultur, setelah dibuahi

dan ditransfer ke resipien mempunyai kemampuan berkembang yang sangat

rendah (Trounson el al., 1977). Hal ini menunjukkan masih belum

memadainya kondisi in vifro bagi sistem perkembangan embrio selanjutnya.

Hambatan yang paling besar adalah terjadinya fenomena cell-block pada

pertumbuhan embrio rnamalia secara in viwo (Barbehenn et al.

m:

Thompson,

2000). Pada kambing dan domba, embrio umumnya mengalami hambatan

pertumbuhan pada tingkat 4-8 sel. Diduga ada faktor-faktor pertumbuhan yang

dapat dihasilkan oleh sel-sel somatis alat reproduksi betina yang sangat penting

untuk perkembangan dan pertumbuhan embrio.

Usaha-usaha yang telah dilakukan untuk mengatasi hambatan

perkembangan embrio antara lain adalah ( I ) penggunaan ko-kultur sel-sel somatis

seperti mo~mlayer sel granulosa (Jiang er al.. 1991; Waiker et al., 1992), sel-sei

kumulus (Kajihara et al., 1987; Fukui ef al., 1988, 1989, Goto, et al., 1988), sel-

(166)

1991; Watson et al., 1994) atau sel-sel uterin, penggunaan chemically defined

medium (Gardner et al., 1994) atau penambahan bahan-bahan growth factor (Fry

et al., 1992).

5. Kriopreservasi

Secara umum teknik kriopreservasi rnerupakan suatu cara untuk

menyimpan sarnpel populasi hewan, tanaman atau sumber genetik lainnya dalam

bentuk beku. Tujuan kriopreservasi adalah untuk penyimpanan, pemeliharaan,

menjamin dan mempertahankan kelangsungan hidup sel, serta memperbaiki

lingkungan alamiah. Dengan teknik kriopreservasi yang efektif, viabilitas sel

dapat dipertahankan dengan cara mereduksi fingsi-fungsi dan aktivitas metabolik

sel tanpa terjadinya kerusakan membran maupun organel sel sehingga fungsi

imunologis, biologis dan fisiologis sel tetap ada.

Didalam bidang reproduksi penerapan teknik kriopreservasi embrio maupun

oosit dipakai sebagai alat untuk melakukan intervensi dan pengaturan terhadap

siklus reproduksi (Rall, 1992). Kini teknik kriopreservasi telah menjadi bagian

dalarn (1) industri transfer embrio yang dapat mengatasi kendala waktu maupun

ternpat; karena embrio beku (terutama ras yang mempunyai genetik superior)

lebih mudah diperdagangkan dalam skala national maupun international serta

dapat ditransfer setiap waktu disesuaikan dengan keadaan siklus reproduksi

hewan resipien. (2) penanggulangan infertilitas, d i i a n a perlakuan kriopreservasi

dipakai sebagai usaha untuk dapat menyesuaikan terhadap waktu pelaksanaan

fertilisasi in vilro serta teknik konsepsi yang terkait lainnya, dan (3) menunjang

(167)

Berdasmkan fenornena fisik ada dua metode kriopreservasi yakni rnetode

pembekuan (freezing) yang disertai dengan pernbentukan kristal e s dan metode

tanpa pembentukan kristal e s yang dikenal dengan istilah vitrzfikasi (Rall dan

Fahy, 1985; Nakagata, 1989; Arav et a/., 1993). Namun demikian, prinsip dasar

kerja dari kedua metode tersebut di atas adalah serupa yakni pengaturan yang seksama terhadap volume osmotik sel pada masing-masing tahapan proses

pembekuan (Rall, 1992).

Demikian pula dengan faktor-faktor yang berperanan didalam

keberhasilan kriopreservasi pada kedua metode tersebut di atas adalah serupa

yakni: (1) jenis dan konsentrasi krioprotektan yang dipergunakan (Fahy, 1986;

Fahy et a/., 1990); (2) proses pendinginan dan pernbekuan (Farrant dan Moms,

1973; McGrath dan Walterson, 1985); (3) proses rehidrasi dan perubahan osrnotik

(Meryman, 1985), serta (4) karakteristik sel (oosit atau embrio) seperti morfologi

(bentuk dan ukuran) dan tahap pernatangan atau perkembangan, serta kuditas dan

sumber garnet (in vivo atau in vitro) (Rall, 1992; Han e t a/., 1994; Takagi et a/.,

1994, Saha cf a/., 1996b).

5.1. Metodc Pembekuan dengan Pembentukan Kristal Es

Kedalam katagori ini termasuk metode pembekuan konventional atau

lambat (slow peezing) serta pembekuan cepat maupun sangat cepat (rapid a n d

ultra rapid freezing). Dari fenomena fisik, rnetode ini merupakan proses

pernbekuan air melalui pembentukan kristal e s jika didinginkan di bawah 0°C.

Pembentulcan kristal es senantiasa diawali dlbagian cairan ekstraseluler sampai

(168)

tekanan o s ~ m t i k dari cairan ekstraseluler yang tersisa. Konsekuensinya teijadi

ekstraksi air dari dalam sel (intraseluler) secara berlebihan dapat rnengakibatkan kekeringan sel (dehidrasi) yang sangat berat serta distorsi organel-organel

intraseluler (Rail, 1992).

Dengan demikian, pembekuan lambat merupakan suatu usaha untuk

mempertahankan keseimbangan diantara berbagai sumber kerusakan fisik (injury)

dengan konsentrasi krioprotektan yang relatif rendah (akan meminimumkan

kerusakan akibat osmotik serta toksisitas) dan mengatur pembentukan kristal es,

yang mengakibatkan larutan kriopreservasi yang terkonsentrasi masuk ke dalam

sel.

Metode pernbekuan oosit telah dilaporkan pada mencit (Van der Elst ef al..

1993; Rayos et al., 1994), sapi (Niemann, 1991; Parks dan Ruffing, 1992) dan

kambing (Le Gal, 1996) umumnya rnengacu pada metode pernbekuan yang telah

diterapkan pada embrio. Sejauh ini telah dilaporkan bahwa proses pembekuan

oosit dapat mengakibatkan kerusakan morfologi dan struktur serta menurunkan

bahkan menghilangkan fingsi biologis oosit, yaitu menurunnya tingkat fertilisasi

dan perkembangan embrio mencit (Van der Elst ei al.. 1993; Rayos et al., 1994)

dan sapi (Otoi et al., 1992; Lim ef al, 1992; Schmidt et al., 1993; Martino et al.,

1996: Kubota et al., 1998). Kerusakan morfologi yang te jadi addah pecahnya

w n a pelucida, dis-integrasi membran plasma, kerusakan bahan serta organel

sitoplasma sepmti skeleton sel dan kromosom, butir-butir korteks dan butir-butir

lemak (Didion et al., 1990, Richardson dan Parks, 1992; Schmidt et al., 1993;

Van der Elst, et al.. 1993; Aman dan Park, 1994; Fulcui ef al., 1995; Zhu et al.,

(169)

Beberapa -or yang diduga dapat mengakibatkan perubahan morfologi dan fingsi biologis oosit adalah pemaparan terhadap krioprotektan (Taha d m

Schellander, 1992), proses pendinginan (Pickering dan Johnson, 1987; Richardson dan Parks, 1992; Stoffregen, et a/, 1992; Arnan dan Park, 1994; Wu et

at.,

1999) serta kristal es yang terbentuk (Aman d m Parks, 1994; Fukui et

at.,

1995; Vajta et

al., 1997).

5.2. Metode Vitifikasi

Alternatif lain untuk metode kriopreservasi adalah vitrifikasi (Rall dan

Fahy, 1985; Nakagata, 1989). Pada proses vitrifikasi, pernadatan cairan terjadi melalui peningkatan viskositas yang ekstrim pada masa pendinginan cepat tanpa

disertai pembentukan kristal-kristal es (Rall, 1987). Bagian padat ini tampak bening sehingga disebut vitreus yang berarti kaca, serta merniliki distribusi

molekuler clan ionik dalam keadaan cair, d m dengan demikian dapat menghidari

efek yang merusak dari kristal es ekstra dan intraseluler.

Metode vitrifikasi bersifat radikal karena pada dasarnya adalah

menghindari terbentuknya kristal es secara total. Hal ini dapat dilakukan dengan

cara peningkatan viskositas larutan serta melalui

Gambar

Tabel 1. Rataan berat ovarium dan jumlah folikel per ovarium pada masing-
Tabel 2. Rataan berat ovarium dan jurnlah folikel per pasang ovarium pada masing-masing ovarium fase folikuler dan luteal
Gambar 1. Oosit domba, (A) sebehun dan (J3) sesudah pemataagan in viiro. (a)
Gambar 2. Tingkat pematangan meiotik inti oosit berdasarkan waktu inkubasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rainbow pao menjadi pilihan makanan ringan untuk disantap yang mampu menunda rasa lapar untuk sementara waktu dengan cita rasa yang menarik karena kulit bakpao terdiri dari

Hal ini akan membuktikan hasil analisis yang menunjukkan, bahwa rhitung diperoleh 0,874 lebih besar daripada rkritik 0,264 atas taraf signifikan 5%, oleh karena itu

39 „Bilbilis aut haerens scopulis Calagorris habebit” – Ausonius, 1886. Ezt a felsorolást veszi át válaszá- ban Nolai Szent Pál. Lásd: Paulinus Nolanus: Carm. szerint

Akan tetapi MRI dapat dipertimbangkan pada wanita muda dengan payudara yang padat atau pada payudara dengan implant, dipertimbangkan pasien dengan risiko tinggi untuk

Tidak adanya subjek yang memiliki kepercayaan diri yang rendah atau tidak percaya diri mengindikasikan bahwa mahasiswi Fakultas Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yakin

Citra yang baik digunakan sebagai alat bagi perusahaan, tidak hanya sebagai alat untuk menarik konsumen dalam memilih produk, jasa atau perusahaan, citra perusahaan

Larutan KOH dengan konsentrasi maksimum yang diperoleh dimasukkan dalam tabung pelarut dan dialirkan ke dalam kolom ekstraksi dengan laju alir 4 dan 6 mL/menit

Perusahaan telah melakukan pengendalian internal yang baik dalam pemisahan fungsi ini. Fungsi keuangan berada di bagian keuangan yang bertugas terhadap pengawasan kas perusahaan