Politik Lingkungan :
Analisa Reducing Emission From Deforestation Degradation
(REDD) Sebagai Program Penyelamatan Hutan Indonesia
Disusun Oleh :
Hendrik Manullang
050906008
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Politik Lingkungan :
Analisa Reducing Emission From Deforestation Degradation (REDD) Sebagai Program Penyelamatan Hutan Indonesia
Nama : Hendrik Manullang
Nim : 050906008
ABSTRAKSI
Pemanasan global telah menjadi isu yang menghangat beberapa dekade belakangan ini, hal ini tidak terlepas semakin terasanya dapak negative dari pemanasan global tersebut. Dan dampak negative ini di rasakan merata tanpa mengenal diskriminasi, baik negara maju maupun negara berkembang mengalami dampak negative pemanasan global. Oleh karena dampak negative tersebut seluruh negara di dunia sepakat untuk mengusahakan pencegahan pemanasan global tersebut. Diantara usaha yang dilakukan adalah REDD yaitu mekanisme pencegahan pemanasan global melalui penyerapan karbon hutan dengan mencegah deforestasi dan degradasi hutan. REDD yang lahir dari konfrensi yang diikuti oleh seluruh negara di dunia ini tentunya ada aktor-aktor yang merancangnya serta kepentingan dari aktor-aktor tersebut.
Skripsi ini merupakan hasil dari penelitian yang dilakukan melalui studi pustaka serta wawancara dan diskusi dengan ahli. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui siapa saja aktor-aktor serta kepentingan dari aktor-aktor tersebut dan juga ingin mengambarkan secara seobjektif mungkin terhadap mekanisme REDD.
Selain itu skripsi ini juga memaparkan analisa dampak mekanisme REDD bagi bidang sosial, politik, dan lingkungan hidup Indoneisa. Hal ini terait dengan adanya keinginan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan mekanisme REDD ini di kawasan wilayah kedaulatannya.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa Yang Maha pengasih
karena atas berkat dan anugerahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik.
Penelitian ini disusun melalui pengumpulan data dari berbagai sumber yaitu
sumber kepustakaan dan juga sumber yang berasal dari hasil diskusi dengan orang
yang dianggap ahli. Dalam skripsi ini digambarkan mengenai aktor-aktor serta
kepentingan-kepentingannya terhadap mekanisme REDD dan juga mengenai dampak
sosial, politik, ekonomi dan lingkungan negara Indonesia.
Dalam penyusunan skripsi ini terdapat bantuan dari berbagai pihak baik
berupa bimbingan, petunjuk dan saran, keterangan-keterangan serta data yang
diberikan secara tertulis maupun lisan oleh karenanya maka skripsi ini dapat
diselesaikan penulis.
Terima kasih yang tak terhingga kepada mama dan bapak yang selalu
mendoakan dan memberi dukungan kepada penulis. Dan juga kepada kakak-kakak
dan abangku, Hobbyna, Hansen, Herwina yang juga turut memberi semangat dan doa
serta dukungan finansial kepada penulis.
Penulis juga tidak lupa menyampaikan rasa terima kasih yang sebesarnya
kepada :
1. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU medan, Prof.DR. M.
2. Bapak Drs. Heri Kusmanto, MA. Selaku Ketua Departemen Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU.
3. Bapak Drs. A. Taufan Damanik, MA. Selaku dosen pembimbing yang
telah berkenan meluangkan waktu untuk membimbing dalam penyusunan
skripsi ini hingga dapat terselesaikan.
4. Bapak Indra Kesuma Nasution, SIP. MSi selaku dosen pembaca yang
telah memberikan arahan selama penelitian ini berlangsung.
5. Seluruh dosen yang telah mengajar penulis selama masa perkuliahan dan
juga kepada seluruh staf Departemen Ilmu Politik FISIP USU.
6. Kepada Bapak Suherry Aprianto Direktur Divisi Pendidikan LSM
Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) Medan atas waktunya untuk berdiskusi
serta masukan-masukannya dalam penelitian ini.
7. Kepada semua sahabat-sahabatku: Fx. Oktavianus, Ronald W.S, Rolas,
Pebrina, Bernad, Suhendra, Fadli, Anton. Terima kasih atas dukungan
serta bantuan kalian selama menjalani masa-masa perkuliahan hingga
penyelesaian penelitian ini. Dan juga bagi kawan-kawan lainnya yang
yang tak sempat di sebutkan satu persatu pada kesempatan kali ini, terima
kasih buat bantuan kalian selama ini.
8. Kepada seluruh kawan-kawan mahasiswa Departemen Ilmu Politik FISIP
USU.
9. Kepada seluruh keluarga besar Op. Hobbyna Manullang serta keluarga
10.Terkhusus kepada yang tercinta Maria Nome Crystine Saragih atas semua
kasih sayang, dukungan, dan motivasi yang tak terkira lagi selama awal
perkuliahan sampai dengan proses penelitian ini dan juga untuk semua
kenangan yang terlah diberikan selama 5 tahun ini.
Dalam Skripsi ini tentunya disadari oleh penulis terdapat kekurangan. Oleh
karena itu kiranya para pembaca dapat memaklumi kekurangan yang ditemui dalam
skripsi ini.
Akhir kata, salam penulis bagi seluruh pembaca yang tertarik dengan skripsi
ini dan semoga apa yang terdapat dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, 08 April 2010
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI………i
KATA PENGANTAR……….ii
DAFTAR ISI………..….. v
BAB I: PENDAHULUAN………...….………... 1
1. LATARBELAKANG MASALAH……….…..………. 1
2. PERUMUSAN MASALAH………... 7
3. BATASAN MASALAH………...……….. 7
4. TUJUAN PENELITIAN………….………..………. 8
5. MANFAAT PENELITIAN……….…………... 8
6. KERANGKA DASAR PEMIKIRAN ………. 9
6.1.Wacana Politik Lingkungan………... 9
6.2. Definisi Deforestation……….……….. 15
6.3.Pembangunan Berkelanjutan…..………16
6.4.Teori Ketergantungan………..……….. 20
7. TEKNIK PENGUMPULAN DATA…...………..………. 26
BAB II... 28
1. TAHAP PERKEMBANGAN REDD………. 28
2. AKTOR-AKTOR DIBALIK REDD……… 34
2.1. PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA……….………. 34
2.2. BANK DUNIA……….……….. 36
2.3. NEGARA-NEGARA ANNEX 1………. 43
2.4. PEMERINTAH INDONESIA……….………. 64
2.4.a. INISIATOR REDD……… 65
2.4.b. PEMERINTAH DAERAH DAN KESEPAKATAN REDD 70 2.5. LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM)……… 71
2.5.a. LSM PENDUKUNG REDD………. 73
2.5.b. LSM PENOLAK REDD……….…… 75
BAB III………. 78
1. ANALISA REDD PADA BIDANG POLITIK………...……. 78
1.1. PERATURAAN PERUNDANG-UNDANGAN………..…….. 78
1.2. PERATURAN SUMBER PENDANAAN PROYEK REDD YANG KONTROVERSI... 81
1.3. KEKHAWATIRAN TIMBULNYA KONFLIK SOSIAL AKIBAT PROYEK REDD………...………….. 82
1.4. KETIDAK SERIUSAN PEMERINTAH DALAM MENDUKUNG REDD ………....….85
1.6. MELEMAHNYA POSISI INDONESIA DALAM PERUNDINGAN
INTERNASIONAL………...………..……… 88
2. ANALISA REDD PADA BIDANG EKONOMI……….……..…….88
2.1. PENDEKATAN SKEMA PASAR……….….……..…..… 89
2.2. MAHALNYA BIAYA AWAL REDD………90
2.3. MURAHNYA HUTAN INDONESIA………..….…….… 91
3. ANALISA REDD PADA BIDANG LINGKUNGAN HIDUP………...……… 93
3.1. REDD, PEMENUHAN BAKU DAN ILEGAL LOGGING..………….93
3.2. PENDEKATAN KARBON OFFSET………..……...……….95
3.3. SISI POSITIF PROGRAM REDD………...………96
BAB IV………..……….………...101
1. KESIMPULAN ………...………...… 101
2. SARAN………..…………...……...…. 107
Politik Lingkungan :
Analisa Reducing Emission From Deforestation Degradation (REDD) Sebagai Program Penyelamatan Hutan Indonesia
Nama : Hendrik Manullang
Nim : 050906008
ABSTRAKSI
Pemanasan global telah menjadi isu yang menghangat beberapa dekade belakangan ini, hal ini tidak terlepas semakin terasanya dapak negative dari pemanasan global tersebut. Dan dampak negative ini di rasakan merata tanpa mengenal diskriminasi, baik negara maju maupun negara berkembang mengalami dampak negative pemanasan global. Oleh karena dampak negative tersebut seluruh negara di dunia sepakat untuk mengusahakan pencegahan pemanasan global tersebut. Diantara usaha yang dilakukan adalah REDD yaitu mekanisme pencegahan pemanasan global melalui penyerapan karbon hutan dengan mencegah deforestasi dan degradasi hutan. REDD yang lahir dari konfrensi yang diikuti oleh seluruh negara di dunia ini tentunya ada aktor-aktor yang merancangnya serta kepentingan dari aktor-aktor tersebut.
Skripsi ini merupakan hasil dari penelitian yang dilakukan melalui studi pustaka serta wawancara dan diskusi dengan ahli. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui siapa saja aktor-aktor serta kepentingan dari aktor-aktor tersebut dan juga ingin mengambarkan secara seobjektif mungkin terhadap mekanisme REDD.
Selain itu skripsi ini juga memaparkan analisa dampak mekanisme REDD bagi bidang sosial, politik, dan lingkungan hidup Indoneisa. Hal ini terait dengan adanya keinginan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan mekanisme REDD ini di kawasan wilayah kedaulatannya.
BAB I
Politik Lingkungan :
Analisa Reducing Emission From Deforestation Degradation
(REDD) Sebagai Program Penyelamatan Hutan Indonesia
A. Latarbelakang
Substansi lingkungan hidup sebagai objek kajian keilmuan sangat luas
cakupannya. Kerusakan dan kebakaran hutan, keanekaragaman hayati, polusi udara,
akibat emisi karbon dari industri dan asap kendaraan bermotor, pencemaran sungai
dan laut, kerusakan pantai, pembuangan limbah nuklir, merupakan cakupan isu
lingkungan hidup yang mempengaruhi keberlangsungan hidup umat manusia sebagai
individu atupun kelompok. Akhir-akhir ini isu lingkungan hidup menjadi isu yang
hangat diperdebatkan dalam berbagai forum internasional karena adanya pemanasan
global.
Masalah lokal tentang degradasi lingkungan hidup semakin memiliki
implikasi internasional. Polusi udara yang terjadi tidak berhenti diperbatasan; hujan
asam dari Perancis, misalnya, mengancam masyarakat, persediaan air tanah, ikan di
danau dan hutan-hutan tidak hanya di Perancis tetapi juga dinegara-negara tetangga di
Eropa. Atau kebakaran hutan di Indonesia yang asapnya terbang hingga melintas
batas negara sehingga mengganggu negara-negara tetangganya seperti Singapura,
Malaysia, dan Brunei. Dan yang lebih parah lagi saat ini telah terjadi pengunaan
pendingin, penyejuk ruangan, bahan kimia dan produk industri lainnya. Hal ini
merupakan ancaman besar bagi lapisan ozon, selimut gas yang melindungi bumi dari
sinar ultra violet matahari. CFC berinteraksi secara kimiawi dengan lapisan ozon
sehigga menipiskan karbondioksida dan kandungan kimia lainnya terkunci dalam
panas dekat dengan permukaan bumi dan oleh karena itu menghasilkan pemanasan
global. Pemanasan global berarti polusi udara yang sangat dan meningkatkan
permukaaan air laut, suatu ancaman bagi sebagian penduduk yang hidup di wilayah
pantai.1
Sejak awal konfrensi ini telah terjadi banyak perdebatan tentang faktor-faktor
penyebab timbulnya pemanasan global, karena banyak negara yang mengetahui
bahwa negaranyalah yang ikut andil dalam percepatan pemanasan global mencoba Menangapi permasalahan pemanasan global ini negara-negara di dunia yang
tadinya melakukan program penanganan secara sediri-sendiri menyadari bahwa
tindakan mereka tidaklah cukup , negara-negara tersebut sadar bahwa permasalahan
global harus ditangulangi dengan sebuah gerakan bersama. Maka disepakatilah
diadakannya konfrensi yang tujuannya adalah menyamakan presepsi tentang
pemanasan global dan penanganannya.
Adalah United Nations Framework Convention on Climate
Change-Conference of parties (UNFCCC-CoP) sebuah pertemuan yang diprakarsai oleh PBB
untuk mengatasi permasalahan pemanasan global. Melalui konfrensi para pihak ini
(CoP) dibahas permasalahan dari dampak serta cara mengatasi pemanasan global.
1
menghindar dari tanggung jawabnya. Karena konsekuensi dari pengakuan tersebut
akan memberikan implikasi yang besar bagi negaranya. Konfrensi ini berubah
menjadi ruang saling menyerang antar negara bahwa merekalah penyebab pemanasan
global serta harus bertanggung jawab.
Pada UNFCCC CoP ke 3 tahun 1997 baru mulai mengalami kemajuan yang
riil. Pada CoP ke3 yang diselengarakan di Kyoto jepang ini terjadi perubahan besar
serta komitmen untuk mengatasi pemanasan global semakin serius. Hal ini dorong
oleh semakin nyata dampak-dampak bahaya pemanasan global. Pada Cop ini
menghasilkan sebuah kesepakatan bersama yang diberi nama Protokol Kyoto yang
pada intinya adalah komitmen pembatasan dan target pengurangan emisi.
Ketika mulai diberlakukannya Protokol Kyoto ini setiap tahunnya tetap
dilaksanakan konfrensi-konfrensi untuk mengevaluasi pencapaian dari protocol ini.
Pada tahun 2007 diadakannya kembali CoP ke 13 di Bali Indonesia, CoP kali ini
menjadi sangat istimewa karena pada CoP ini dilakukannya persiapan untuk
melanjutkan protokol Kyoto yang masa berlakunya akan berakhir pada tahun 2012.
Maka disaat semakin dekatnya berakhirnya protokol Kyoto dunia seakan tidak ingin
terlambat mengambil keputusan untuk menyelamatkan dirinya.
Dalam CoP ini juga menghasilkan suatu kesepakatan penrting untuk mengatsi
pemanasan global. Hasil dari CoP 13 ini di beri nama Bali Roadmap, yang salah satu
hasilnya adalah Program Reducing Emission From Deforestation and Degradation
(REDD). Yaitu sebuah program penurunan emisi gas penyebab pemanasan global
Indonesia yang berlaku sebagai tuan rumah dalam konfrensi ini memainkan
peran yang lebih. Menyadari posisinya saat itu dan juga pertimbangan lainnya,
Indonesia menyampaikan program yang disusunnya untuk ditawarkan pada para
negara peserta, REDD merupakan usulan dari Indonesia yang dalam penyampaiannya
ini mengungkapkan argumen bahwa untuk mencegah pemanasan global haruslah
menyelamatkan hutan dari eksloitasi, namun untuk menjaga lestarinya hutannya
maka negara pemilik hutan yang asri harus mendapat konpensasi. Pada dasarnya
REDD merupakan mekanisme internasional untuk memberikan insentif positif bagi
negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi
hutan. Jadi negara-negara maju yang menyumbang emisi lebih besar dari kemampuan
negaranya menyerap emisi di haruskan menutupi kelebihan emisinya dengan cara
memberikan kompensasi kepada negara-negara berkembang yang hutannya menyerap
emisi karbon.
Tidak dapat disangkal pembangunan ekonomi merupakan prioritas utama bagi
semua negara berkembang. Penyedian lapangan pekerjaan dan pengentasan
kemiskinan merupakan tujuan pembangunan ekonomi yang bersifat mendesak.
Sementara pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja terus meningkat. Pertumbuhan
ekonomi yang dicapai antara lain melalui eksploitasi sumber daya alam merupakan
pilihan yang tersedia bagi pemerintah untuk menunjukan kepedulian terhadap
kesejahteraan rakyatnya. Biasanya pemerintah negara berkembang pemilik hutan
memberikan kesempatan kepada investor asing atau perusahaan dalam negeri yang
mengelolah kekayaan alam secara komersial. Karena prioritas yang tinggi diberikan
sumber daya alam seperti hutan tidak dikelolah secara keberlanjutan dan lingkungan
hidup pun menjadi rusak.2
Dan ketika alam yang di eksploitasi besar-besaran ini mengalami kerusakan
yang parah, alam menunjukan responnya. Respon alam ini banyak berupa bencana
seperti banjir dan tanah longsor. Namun ternyata respon alam ini tidak hanya
memberdampak lokal saja. Ketika terjadi perusakan hutan di negara-negara Emisi gas rumah kaca global yang berasal dari bahan bakar fosil dan
deforstasi hutan tropis harus mulai diturunkan apabila ingin mencegah kenaikan suhu
global tetap pada kisaran dibawah 2 derajat celcius pada akhir tahun 2050.
Hutan memang dapat menjadi sumber (source) atau rosot (sink) gas rumah
kaca terutama karbondioksida, hutan menjadi sumber karbondioksida ketika hutan
dikonversi, hutan menjadi rosot karbondioksida ketika hutan itu lestari, sebab hutan
dalam pertumbuhannya menyedot karbondioksida yang ada diatmosfer. Jadi
sebenarnya fungsi alami hutan adalah mencegah berlebihannya gas rumah kaca yang
ada di atmosfer sehingga tidak terjadi pemanasan global.
Seperti diungkapkan diatas bahwa demi pembangunan ekonomi terkadang
pemerintah negara berkembang menyampingkan kelestarian lingkungannya, bahkan
pemerintah mengeksloitasi sumberdaya alamnya secara besar-besaran demi
pertumbuhan ekonomi sesaat. Hal ini yang terjadi dengan hutan di Indonesia.
Indonesia yang tidak memliki sumber uang yang mencukupi untuk membiayai
pembangunannya terpaksa mengeksploitasikan hutannya.
2
berkembang bukan hanya negara-negara berkembang tersebut saja yang terkena
dampak negativenya, negara-negara maju pun ikut terkena dampaknya.
Secara tidak langsung dampak negative dari alam membuat khawatir juga
negara-negara maju, sebab gaya hidup mereka terganggu oleh fenomena alam
tersebut. Tentu saja mereka kembali menekan negara-negara berkembang tersebut
untuk memperbaiki alamnya. Negara-negara maju dengan mudahnya
mempersalahkan negara-negara berkembang karena terlalu mengeksploitasi
alamnya.Padahal dari eksploitasi alam oleh negara-negara berkembang tersebut
semuanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan energi negera-negara maju tersebut.
Hal yang tidak adil kembali terjadi ketika negara-negara maju memaksakan
agar negara-negara berkembang mengunakan teknologi canggih yang lebih ramah
lingkungan dalam proses produksinya. Tentu hal ini menyebabkan masalah baru bagi
negara-negara berkembang yang menyebabkan mereka semakin ketergantungan pada
negara maju, sebab yang memiliki teknologi canggih hanya negara-negara industri
maju saja, karena adanya keterbatasan sumber daya manusia negara berkembang
dalam membuat teknologi canggih tersebut. Teknologi yang canggih ini pun bukan
sesuatu yang murah.
Ketidakadilan inilah yang mendorong Indonesia mengajukan penawaran
Program REDD pada CoP ke 13. Keyakinan bahwa dengan adanya hutan lestari
pemanasan globaldapat dicegah maka hal ini mendorong banyak negara menyetujui
REDD ini sehingga program ini masuk kedalam salah satu butir kesepakatan dari Bali
Roadmap. Tentunya dimasukannya REDD bukan tanpa perdebatan sehingga dapat
Pembahasaan REDD inilah yang hendak diungkapkan lebih lanjut dalam
penelitian ini, sebab REDD sebagai program usulan dari pemerintah Indonesia masih
banyak masyarakat belum jelas mengerti tentang apa itu program Reducing Emissions
from Deforestation and Degradation sehingga mendorong penulis untuk memberikan
informasi yang utuh mengenai REDD tersebut.
B. Perumusan Masalah
Berangkat dari latarbelakang masalah, peneliti mencoba untuk merumuskan
masalah yang hendak di teliti yaitu:
1. Siapa aktor-aktor di balik usul Reducing Emission From Deforestation
Degradation (REDD) pada Conference of Parties ke 13 United Nations
Framework Convention on Climate Change ( CoP ke 13 UNFCCC ) Di Bali
tahun 2007 dan apa saja kepentingan yang hendak dicapainya?
2. Apa dampak dari program Reducing Emission From Deforestation Degradation
bila diterapkan di Indonesia?
C. Batasan Masalah
Untuk memperjelas dan mempertegas serta membatasi ruang lingkup
penelitian dengan tujuan menghasilkan uraian yang sistematis maka diperlukan
adanya batasan masalah. Penenelitian ini membatasi masalah yang dibahas hanya
pada hal berikut :
1. Penelitian ini akan melihat bagaimana para aktor berperan dalam Program
2. Penelitian ini juga akan melihat pandangan-pandangan para ahli tentang
Reducing Emission From Deforestation Degradation (REDD) serta analisis
para ahli tentang dampak REDD bila di terapkan di Indonesia.
D. Tujuan Penelitian
Ada pun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui siapa saja aktor dibalik program Reducing Emission From
Deforestation Degradation (REDD).
2. Untuk mengetahui dampak bagi Indonesia jika menerapkan program Reducing
Emission From Deforestation Degradation (REDD) ini, baik dampak sosial,
ekonomi serta dampak politiknya.
E. Manfaat Penelitian
Layaknya penelitian ilmiah tentunya penelitian ini juga diharapkan
memberikan manfaat baik bagi penulis maupun orang lain yang membaca laporan
penelitian ini. Berikut adalah manfaat yang ingin dicapai dalam penlitian ini :
1. Secara akademis, penelitian ini untuk memperkaya penelitan ilmiah dibidang
politik lingkungan terutama yang berhubungan dengan isu Pemanasan global
yang disebabkan oleh kerusakan hutan.
2. Bagi penulis sendiri penelitian ini untuk mengembangkan kemampuan dalam
F. Kerangka Dasar Pemikiran
1. Wacana Politik Lingkungan
Masalah mendesak mengenai Perubahan Iklim atau pemanasan global yang
terjadi saat ini adalah berhubungan dengan pengelolahan yang salah atas eksploitasi
atas sumber daya alam yang menunjukkan korelasi indikator sebagai berikut:
Pertama, kelengahan atas pengelolahan sumberdaya alam diantara aktor yang
langsung (seperti negara). Mereka seringkali lengah mengimplementasikan konsep
dan sistem pembangunan ekonomi yang berbasis lingkungan.
Kedua, para aktor ini tidak memperhatikan pentingnya tabiat manusia dengan
lingkungan, dan mereka gagal untuk mengintegrasikan sistem hubungan manusia
dengan alam. Hal ini penting untuk diakui perbedaan antara sistem manusia dan alam.
Dinamika lingkungan adalah sebagai produk saling penguatan dari banyak susunan
yang saling berinteraksi dan proses dari pada suatu desain. Dengan demikian,
perbedaan yang fundamental antara tabiat manusia dan lingkungan bermakna bahwa
pemahaman peran suatu masyarakat di dalam sistem lingkungan bermakna bahwa
pemahaman bagaimana masyarakat telah terbuat di masa lampau, tetapi juga apa
yang mereka rencanakan untuk masa depan.
Sekarang perlu dijelaskan tentang apa arti dari Political Ecology (politik
lingkungan). Tercatat ada beberapa ilmuan yang yang memberikan defenisi yang
berbeda mengenai politik lingkungan. Diantaranya adalah Gary Paterson, Bryant,
Vayda, Blaike dan Brookfield, Rocheleau dan Abe ken-ichi.3
3
Menurut Paterson, bahwa politik lingkungan adalah pendekatan yang
menggabungkan masalah lingkungan dengan politik ekonomi untuk mewakili suatu
pergantian tensi yang dinamik antara lingkungan dan manusia, dan antara kelompok
yang bermacam-macam didalam masyarakat dalam skala individu lokal pada
transnasional secara keseluruhan.
Blaike dan Brookfield, politik lingkungan adalah suatu bingkai untuk
memahami kompleksitas saling berhubungan antara masyarakat lokal, nasional,
politik ekonomi global dan ekosistem.
Bryant mendefinisikan politik lingkungan sebagai usaha untuk memahami
sumber-sumber politik, kondisi dan menjadi jaringan dari pergantian lingkungan.
Rocheleau mendefinisikan politik lingkungan sebagai kecenderungan untuk
melihat mendalam dinamika lingkungan dan memfokuskan atas suatu sistem
manusia.
Abe ken-ichi mendefinisikan politik lingkungan sebagai suatu kolektif nama
untuk semua usaha intelektual untuk secara kritis menganalisis masalah ketepatan
sumber daya alam dan asal usul kerusakan sumber daya secara politik ekonomi,
dengan maksud itu diperoleh studi akademik atau aplikasi yang bersifat praktis.
Sedangkan Vayda menjelaskan politik lingkungan adalah suatu metode
terapan oleh ahli-ahli lingkungan yang menganalisis kebijakan mengenai masalah
lingkungan yang relevan, ini yang dikenal sebagai ‘progressive contextualization’
(kontekstualisasi yang maju). Pendekatan ini memulai dengan aktor (pelaku), dalam
suatu konteks apa mereka berbuat atau tidak berbuat dalam cara khusus terhadap
suatu sumber daya alam.
Mengamati skala sosial dan lingkungan yang berbeda, politik lingkungan
menjelaskan sekurangnya dua peneltian area yang berbeda. Pertama, penelitian ke
dalam sumber yang kontekstual perubahan lingkungan yang menguji pengaruh
lingkungan secara umum pada suatu negara, hubungan antar negara, dan kapitalisme
global. Kedua, area penelitian mencari tahu suatu lokasi dari aspek-aspek khusus
mengenai perubahan lingkungan, yaitu dengan studi suatu konflik atas akses
sumber-sumber lingkungan.
Jon Schubart menyatakan bahwa ekologi politik mencoba untuk menelusuri
empat hal, yakni (a) bagaimana struktur sosial dan alam saling menentukan, dan
bagaimana keduanya membentuk akses terhadap sumber daya alam, (b) bagaimana
konsep alam dan masyarakat yang telah dikonstruksi menentukan interaksi manusia
dengan lingkungan, (c) koneksi antara akses terhadap dan kontrol atas sumber daya
dan perubahan lingkungan, (d) hasil sosial dari perubahan lingkungan.
Politik lingkungan dalam banyak negara di dunia mempunyai peran penting
tidak hanya pada tingkatan yang berbeda, tetapi juga dalam bingkai kerja struktural
yang berbeda. Banyak lembaga antar pemerintahan mempunyai peranan penting
dalam aktivits serupa, membuat aturan lingkungan, membuat kebijakan , penelitian,
monitor, training, proyek pembiayaan dan supervisi. 4
Meskipun politik lingkungan muncul pada tahun 1980-an sebagai agenda riset
di negara-negara berkembang, sejak tahun 1990-an disiplin ilmu ini telah berkembang
4
secara luas melalui wacana publik dibanyak negara. Ada banyak pendekatan untuk
politik lingkungan.
Pertama, untuk menjelaskan penelitian atas politik lingkungan dunia ketiga
mengenai masalah-masalah lingkungan yang khusus atau menunjukan masalah,
misalnya kerusakan hutan tropis, banjir, erosi tanah dan rusaknya mutu tanah.5
Kedua, memfokuskan pada suatu konsep yang mengandung hubungan penting
terhadap pertahanan politik lingkungan. Pendekatan ini untuk memahami
karakteristik dari banyak aktor yang berbeda dan membatasi promosi dari minat aktor
yang khusus.
Ketiga, untuk menguji saling hubungan antara masalah-masalah politik dan
lingkungan dalam hubungan kondisi geografis yang khusus. Hal ini dihubungkan
dengan sering munculnya masalah alam yang bervariasi dari suatu negara ke negara
lain, tetapi tujuannya ialah untuk mengevaluasi masalah tersebut dalam suatu konteks
negara.
Keempat, untuk mengali masalah politik lingkungan dalam hubungan
karakteristik sosial-ekonomi seperti golongan, etnisitas atau gender.
Kelima, menekankan perlunya memfokuskan minat, karakteristik dan aksi
dari tipe pelaku yang berbeda didalam memahami konflik-konflik politik lingkungan.
Pendekatan berbasis aktor ini dihubungkan dengan pemahaman para pelaku terhadap
proses lingkungan dan politik.
5
Politik Lingkungan Global
Pendefinisian masalah lingkungan hidup dalam tataran hubungan
internasional memiliki definisi tersendiri. Menurut Porter dan Brown, untuk masuk
dalam kategori “global environmental politics”, kualitas persoalan lingkungan yang
dimaksud harus mengandung ancaman terhadap daya dukung alam sebagai sebuah
ekosistem (the global commons) yang mempengaruhi sendi-sendi kehidupan umat
manusia, yang tidak hanya terbatas dalam wilayah jurisdiksi negara tertentu. dengan
kata lain minimal harus ada transedensi isu dalam cakupan:
1. Dampak atau akibat (impacts) dari kerusakan lingkungan itu bersifat
transboundary. Lintas jurisdiksi nasional ini baik yang berkenaan dengan
aspek social (seperti human health)maupun aspek ekonomi termasuk aspek
politik dan keamanan. adanya kenyataan bahwa sekup dari kerusakan
lingkungan tertentu seperti deforestation, loss of biodiversity dan global
warming, demikian luasnya. Dan karena biaya yang dikeluarkan untuk
mengatasi persoalan demikian besarnya, telah melampaui batas kapasitas
individual Negara-negara tertentu yang karenanya menuntut kerjasama
internasional yang luas dan solid. Dengan kata lain global problems need
global solutions. Akan tetapi pada gilirannya realitas obyektif ini harus
bersinggungan dengan karakter dari politik internasional yang memberikan
tingkat kesulitan tersendiri dalam upaya pencapaian solusi yang diharapkan.
2. Para pelaku yang terlibat lebih beragam. Intensitas isu lingkungan global tidak
saja melibatkan peran (banyak) negara sebagai actor utama, tetapi juga
termasuk pula perusahaan-perusahaan multinasional. Perkembangan isu
lingkungan dewasa ini menunjukkan semakin pentingnya peran non-state
actors yang bagi kaum hyperglobalist dianggap telah mengikis kedaulatan
dan peran Negara sebagai aktor dominan dalam mengupayakan berbagai
penyelesaian internasional untuk mengatasi masalah lingkungan global.
Namun demikian, tesis ini masih dapat diperdebatkan. Yang pasti
masing-masing actor memiliki peran dan powernya masing-masing-masing-masing yang memberi
karakteristik tersendiri bagi lingkungan global misalnya :
a. Negara : Dalam politik internasional yang masih menganut sistem
negara bangsa, maka peran negara sangat dominan dalam proses
pembentukan rejim bagi perlindungan lingkungan global. Ini sangat
memungkinkan karena negara dapat menggunakan kekuatan vetonya.
Dalam setiap perundingan internasional selalu terjadi proses
pengelompokkan untuk menggalang kekuatan veto (Veto Coalitions).
Yang kedua kekuatan ekonomi sebuah Negara, dan bukan militer,
merupakan laverage yang sangat menentukan posisi tawar
menawarnya di dalam setiap perundingan multilateral.
b. Non Governmental Organizations (NGOs) : Memainkan peran yang
semakin besar dalam era globalisasi ini sebagai berkah kemajuan
teknologi informasi, komunikasi dan transportasi. NGOs berperan
dalam pembentukan opini public secara luas, membangun jaringan
kerja yang efektif serta memberikan tekanan yang kuat kepada
c. International Institution : Berperan sebagai fasilitator yang aktif dalam
pembentukan berbagai rejim internasional bagi pengawasan,
perlindungan dan pemeliharaan alam dan segala sumber-sumbernya.
Setidaknya peran mereka adalah menghasilkan kesepakatan
multilateral (soft law).
2. Definisi Deforestation
Deforestation telah didefinisikan oleh FAO (Food and Agricultural
Organization) sebagai konversi lahan hutan untuk penggunaan lahan lain atau
pengurangan yang tajam dari tutupan hutan dibawah 10%. Disamping itu,
deforestation (kerusakan hutan) menekankan kehilangan permanen tutupan hutan
dalam jangka panjang. Kehilangan itu hanya dapat disebabkan melalui pengaruh
manusia yang berlanjut atau gangguan alam. 6
WRI (World Resources Institute) juga mendefinisikan deforestation sebagai
konversi lahan hutan untuk penggunaan lahan pertanian. Deforestation mencakup
lahan hutan yang dipakai untuk infrastruktur seperti pembangunan, pertambangan,
permukiman, ladang berpindah, dan sebagainya.
Definisi dasar oleh FAO mengenai deforestation telah dikembangkan dan
pada umumnya diterima oleh negara-negara yang berpartisipasi dan dikenal oleh para
ahli penemuan dan penilaian hutan. Istilah internasional dan definisi adalah tidak
tetap, tetapi mengikuti perkembangan umum dari proses internasional.
7
6
Food and Agricultural organization(FAO), Global Forest Resources Assessment 2000: Main Report. 7
Norman Myers mendefinisikan deforestation sebagai penghancuran tutupan
hutan secara sempurna melalui pembersihan lahan (land clearing) untuk sektor
pertanian. Misalnya, pengembalaan sapi, pertanian dalam skala besar dan kecil. Ini
berarti tidak ada pohon yang tersisa, dan lahannya diberikan untuk tujuan bukan
hutan.8
Penggunaan istilah pembangunan berkelanjutan (sustainable development)
diperkenalkan pertama kali pada masa 1970-an dan menjadi istilah utama pada saat
dan setelah terbentuknya World Commission on Environment and Development
(WCED) pada 1987 atau lebih dikenal dengan Brundtland Commission. Komisi
tersebut mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang
dapat memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan
generasi masa depan.
Definisi FAO dan WRI mengenai deforestation lebih cocok dalam
menjelaskan skala deforestation dalam skala besar dan menengah yang terjadi di
Indonesia.
3. Pembangunan Berkelanjutan
9
8
Herman Hidayat, op.cit, hal.91 9
Pan Mohamad Faiz, paper position pada Forum Diskusi Kelompok Kerja Pakar Hukum mengenai
“Perubahan Iklim” yang diselenggarakan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) di Hotel Grand Mahakam, Jakarta pada tanggal 27 April 2009. Perubahan Iklim dan Perlindungan
Terhadap lingkungan : Suatu Kajian Berperspektif Hukum Konstitusi. http://www.wordPress.com.
Dikutip dari World Commission on Environment and Development (WCED), Our Common Future, Oxford University Press, Oxford, 1987, hlm. 43. (diakses tanggal 16 Mei 2009)
Secara sekilas, definisi seperti ini terlihat begitu sederhana,
akan tetap isu yang berkembang cepat serta mendalam nyatanya membuat ruang
Dalam World Summit Report 2005, pembangunan berkelanjutan haruslah
didirikan di atas tiga pilar pokok, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ketiganya
dibentuk untuk saling menopang antara satu dengan lainnya. Dengan demikian
dapatlah dirumuskan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak saja memfokuskan diri
pada aspek-aspek pembangunan ekonomi dan sosial semata, namun juga harus
berlandaskan pada perlindungan terhadap lingkungan. Pengembangan konsep
pembangunan berkelanjutan juga masuk dalam hal terpenuhinya kebutuhan dasar
(basic needs) dan tersalurkannya kesempatan untuk memberikan aspirasi kehidupan
yang lebih baik.10
Lebih lanjut, apabila ditarik melalui persepektif kerangka hukum
internasional, Dominic McGoldrick merumuskan pembangunan berkelanjutan yang
ditopang oleh tiga pilar menyerupai bangunan rumah. Pilar-pilar tesebut dibangun di
atas tiga ranah hukum internasional, yaitu hukum lingkungan internasional, hukum
ekonomi internasional, dan hukum hak asasi manusia internasional.11
10
Pan Mohamad Faiz, Ibid, dikutip dari Dinah M. Payne dan Cecily A. Rainborn, Sustainable
Development: The Ethics Support the Economics, dalam Thomas A. Easton, ed., Taking Sides: Clashing Views on Controversial Environmental Issues, McGraw Hill, 2008, hlm. 28-33.
11
Pan Mohamad Faiz, Ibid, dikutip dari Dominic McGoldrick,Sustainable Development and Human Rights: An Integrated Conception, dalam The International and Comparative Law Quarterly, Vol. 45,
No. 4, Oktober, 1996, hlm. 2-7.
Dengan
demikian, antara pembangunan berkelanjutan dengan hak asasi manusia dapat
dikatakan juga memiliki hubungan yang begitu erat. Oleh karenanya, hak-hak asasi
manusia yang secara tegas tercantum dalam Pasal 28 hingga Pasal 28J UUD 1945
juga menjadi persyaratan penting untuk dipenuhi apabila pembangunan berkelanjutan
ingin dikatakan berjalan sesuai dengan amanat konstitusi. Sebab, ketentuan dan
yang selaras dengan ketentuan perlindungan HAM yang bersifat universal
sebagaimana tercantum dalam berbagai Konvensi Internasional, seperti UDHR,
ICCPR, ECOSOC, dan lain sebagainya.
Terkait dengan issu perubahan iklim, maka perlu juga diperhatikan hasil KTT
Pembangunan Berkelanjutan yang dilaksanakan di Johannesburg, Afrika Selatan pada
tahun 2002. Asas-asas pembangunan berkelanjutan yang tercantum dalam UNCED
tersebut, terdiri dari:
1. keadilan antargenerasi (intergenerational equity);
2. keadilan dalam satu generasi (intra-generational equity);
3. prinsip pencegahan dini (precautionary principle);
4. Perlindungan keanekaragaman hayati (conversation of biological
diversity); dan
5. Internalisasi biaya lingkungan (internalisation of environment cost and
incentive mechanism).
Kemudian, salah satu hasil yang disepakati untuk menunjang pembangunan
berkelanjutan yaitu dilakukannya suatu pendekatan yang terpadu, memperhatikan
berbagai aspek bahaya (multihazard) dan inklusi untuk menangani kerentanan,
penilaian resiko, dan penanggulangan bencana, termasuk pencegahan, mitigasi,
kesiapan, tanggapan dan pemulihan yang merupakan unsur penting bagi dunia yang
lebih aman di abad ke-21.12
12
Berwawasan Lingkungan
Menurut Surna T. Djajadiningrat, proses pembangunan berkelanjutan
bertumpu pada tiga faktor utama, yaitu: (1) kondisi sumber daya alam; (2) kualitas
lingkungan, dan (3) faktor kependudukan. Dengan demikian, pembangunan
berkelanjutan tidak akan bermakna banyak apabila tidak turut memperhatikan
aspek-aspek yang berwawasan lingkungan.
Oleh karena itu, pembangunan haruslah mampu untuk menjaga keutuhan
fungsi dan tatanan lingkungan, sehingga sumber daya alam yang ada dapat senantiasa
tersedia guna mendukung kegiatan pembangunan baik untuk masa sekarang maupun
masa yang akan datang. Untuk menciptakan konsep pembangunan berkelanjutan
yang berwawasan lingkungan (CBESD), maka diperlukanlah pokok-pokok
kebijaksanaan yang di antaranya berpedoman pada hal-hal sebagai berikut:13
a. Pengelolaan sumber daya alam perlu direncanakan sesuai dengan daya
dukung lingkungannya;
b. Proyek pembangunan yang berdampak negatif terhadap lingkungan
dikendalikan melalui penerapan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL) sebagai bagian dari studi kelayakan dalam proses perencanaan
proyek;
c. Adanya pengutamaan penanggulangan pencemaran air, udara, dan tanah;
d. Pengembangan keanekaragaman hayati sebagai persyaratan bagi stabilitas
tatanan lingkungan;
13
Pan Mohamad Faiz, Ibid, dikutip dari Surna T. Djajadiningrat, Jurnal Hukum Lingkungan, Tahun I
e. Pengendalian kerusakan lingkungan melalui pengelolaan daerah aliran
sungai, rehabilitasi dan reklamasi bekas pembangunan, serta pengelolaan
wilayah pesisir dan lautan;
f. Pengembangan kebijakan ekonomi yang memuat pertimbangan
lingkungan;
g. Pengembanan peran serta masyarakat, kelembagaan, dan ketenagaan
dalam pengelolaan lingkungan hidup;
h. Pengembangan hukum lingkungan yang mendorong badan peradilan
untuk menyelesaikan sengketa melalui penerapan hukum lingkungan;
i. Pengembangan kerja sama luar negeri.
4. Teori Ketergantungan
Ketergantungan (dependency) adalah sebuah konsep yang digunakan secara
populer dalam analisis negara-negara dunia ketiga di Asia, Afrika dan Amerika Latin
selama tahun 1960-an dan kemudian sering dipakai dalam beberapa tulisan tentang
Asia dan Afrika. Sedikitnya ada enam ilmuan yang tercatat menulis tentang teori
ketergantungan yaitu Philip J. O’brien, Fernando Henrique Cardoso, Claire Savir
Bacha dan Ronald H Chilcote, Andre Gunder Frank dan Theotonio Dos Santos.14
Mereka yang menerapkan ketergantungan dalam analisis pembangunan dan
keterbelakangan seringkali berfokus pada masalah penetrasi asing ke dalam ekonomi
politik dunia ketiga. Frank menyatakan bahwa pemahaman terhadap sejarah ekonomi,
sosial dan politik menjadi suatu hal yang penting dalam menentukan kebijakan
14
pembangunan pada suatu negara. Karakteristik suatu negara yang khas dapat dikaji
dari perspektif historis. Pendekatan pembangunan yang dilakukan oleh negara
terbelakang saat ini sebenarnya merupakan hasil pengalaman sejarah negara maju
yang kapitalis seperti negara-negara Eropa dan Amerika Utara.
Terdapat perbedaan sejarah yang sangat mendasar antara negara maju dan
negara bekas koloni atau daerah jajahan sehingga menyebabkan struktur sosial
masyarakatnya berbeda. Frank juga menganggap adanya kegagalan penelitian sejarah
dalam menganalisis hubungan ekonomi yang terjadi antara negara penjajah dan
negara jajahannya selama masa perdagangan dan imperialisme. Pembangunan
ekonomi merupakan sebuah perjalanan menuju sistem ekonomi kapitalisme yang
terdiri dari beberapa tahap. Saat ini negara terbelakang masih berada pada awal
tahapan tersebut.
Frank menyajikan lima tesis tentang dependensi, yaitu :
1. Terdapat kesenjangan pembangunan antara negara pusat dan satelitnya,
pembangunan pada negara satelit dibatasi oleh status negara satelit tersebut.
2. Kemampuan negara satelit dalam pembangunan ekonomi terutama
pembangunan industri kapitalis meningkat pada saat ikatan terhadap negara
pusat sedang melemah. Pendapat ini merupakan antitesis dari modernisasi
yang menyatakan bahwa kemajuan negara dunia ketiga hanya dapat dilakukan
dengan hubungan dan difusi dengan negara maju. Tesis ini dapat dijelaskan
dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu “isolasi temporer” yang
disebabkan oleh krisis perang atau melemahnya ekonomi dan politik negara
pada saat Spanyol mengalami kemunduran ekonomi pada abad 17, perang
Napoleon, perang dunia pertama, kemunduran ekonomi pada tahun 1930 dan
perang dunia kedua telah menyebabkan pembangunan industri yang pesat di
Argentina, Meksiko, Brasil dan Chili. Pengertian isolasi yang kedua adalah
isolasi secara geografis dan ekonomi yang menyebabkan ikatan antara
“pusat-satelit” menjadi melemah dan kurang dapat menyatukan diri pada sistem
perdagangan dan ekonomi kapitalis.
3. Negara yang terbelakang dan terlihat feodal saat ini merupakan negara yang
memiliki kedekatan ikatan dengan negara pusat pada masa lalu. Frank
menjelaskan bahwa pada negara satelit yang memiliki hubungan sangat erat
telah menjadi “sapi perah” bagi negara pusat. Negara satelit tersebut hanya
sebatas sebagai penghasil produk primer yang sangat dibutuhkan sebagai
modal dalam sebuah industri kapitalis di negara pusat.
4. Kemunculan perkebunan besar di negara satelit sebagai usaha pemenuhan
kebutuhan dan peningkatan keuntungan ekonomi negara pusat. Perkebunan
yang dirintis oleh negara pusat ini menjadi cikal bakal munculnya industri
kapitalis yang sangat besar yang berdampak pada eksploitasi lahan,
sumberdaya alam dan tenaga kerja negara satelit.
5. Eksploitasi yang menjadi ciri khas kapitalisme menyebabkan menurunnya
kemampuan berproduksi pertanian di negara satelit. Ciri pertanian subsisten
pada negara terbelakang menjadi hilang dan diganti menjadi pertanian yang
Dalam tulisan Dos Santos membenarkan bahwa dengan ketergantungan kita
mengartikan sebuah situasi dimana ekonomi negara-negara tertentu terkondisikan
oleh perkembangan dan ekspansi ekonomi lain yang menjadi tempat tergantung
negara-negara tadi. Hubungan saling ketergantungan antara dua atau lebih ekonomi,
dan antara ekonomi-ekonomi ini dengan perdagangan dunia, mengambil bentuk
ketergantungan sementara beberapa negara (yang dominan) dapat melakukannya
hanya sebagai pencerminan ekspansi, yang bisa memiliki pengaruh positif ataupun
negatif bagi perkembangan langsung mereka.15
Lebih lanjut lagi Dos Santos dengan teori ketergantungan baru menunjukan
bahwa hubungan negara-negara dependen dengan negara dominan tidak dapat diubah
tanpa adanya perubahan dalam struktur internal dan hubungan-hubungan
eksternalnya. Selanjutnya, struktur ketergantungan bertambah dalam, membawa Dan di pertegas lagi oleh ekonom Chili, Osvaldo Sunkel bahwa faktor-faktor
asing tidak hanya dilihat sebagai hal-hal eksternal melainkan interistik pada sistem,
dengan bermacam-macam akibat politik, keuangan, ekonomi, teknis dan budaya,
yang terkadang tersembunyi dan terselubung di dalam negara terbelakang. Dengan
konsep ketergantungan secara internasional menghubungkan evolusi kapitalisme
paska perang dengan sifat-sifat diskriminatif proses pembangunan lokal, sebagaimana
kita ketahui. Akses terhadap proses-proses dan keuntungan-keuntungan
pembangunan bersifat selektif; bukan menyebarkannya, proses ini cenderung
memastikan adanya akumulasi keistimewaan dan penguatan diri bagi
kelompok-kelompok khusus maupun lanjutan kebereadaan suatu kelas marjinal.
15
negara-negara dependen pada keterbelakangan, memperburuk permasalahan
masyarakat ketika negara-negara tersebut mengikuti struktur internal dan
internasional yang dipengaruhi secara kuat oleh peran perusahaan-perusahaan
multinasional maupun pasar-pasar komoditas dan modal internasional.
Santos mengamsusikan bahwa bentuk dasar ekonomi dunia memiliki
aturan-aturan perkembangannya sendiri, tipe hubungan ekonomi yang dominan di negara
pusat adalah kapitalisme sehingga menyebabkan timbulnya saham melakukan
ekspansi keluar dan tipe hubungan ekonomi pada negara periferi merupakan bentuk
ketergantungan yang dihasilkan oleh ekspansi kapitalisme oleh negara pusat. Santos
menjelaskan bagaimana timbulnya kapitalisme yang dapat menguasai sistem ekonomi
dunia. Keterbatasan sumber daya pada negara maju mendorong mereka untuk
melakukan ekspansi besar-besaran pada negara miskin. Pola yang dilakukan
memberikan dampak negatif berupa adanya ketergantungan yang dialami oleh negara
miskin. Negara miskin akan selalu menjadi negara yang terbelakang dalam
pembangunan karena tidak dapat mandiri serta selalu tergantung dengan negara maju.
Negara maju identik menjadi negara pusat, sedangkan negara miskin menjadi
satelitnya. Konsep ini lebih dikenal dengan istilah “pusat - periferi”.
Menurutnya ada 3 bentuk ketergantungan, yakni :
a. Ketergantungan Kolonial: hubungan antar penjajah dan penduduk setempat
bersifat eksploitatif.
b. Ketergantungan Finansial- Industri: pengendalian dilakukan melalui kekuasaan
c. Ketergantungan Teknologis-Industrial: penguasaan terhadap surplus industri
dilakukan melalui monopoli teknologi industri.16
Intinya Ketergantungan adalah :
1. Yang menjadi hambatan pembangunan bukan karena tidak ada modal melainkan
pembagian verja internasional yang terjadi.
2. Pembagian verja Internasional itu diuraikan menjadi hubungan antar kawasan
yakni pusat dan pinggiran, terjadilah surplus dari negara pinggirian ke negara
pusat
3. Akibat pengalihan surplus ini negara pinggiran kehilangan sumber yang
dibutuhkan karena di hisap negara pusat. Pembangunan dan keterbelakangan
adalah dua aspek dari proses global yang sama. Proses global tersebut adalah
kapitalisme dunia.
4. Teori Ketergantungan menganjurkan untuk memutuskan hubungan dengan
kapitalisme dunia.
5. Dalam pandangan ketergantungan negara pusat dan kapitalisme mengandung inti
Dominasi, Hegemoni dan Eksploitasi.
Dan ketika berbicara tentang penyelamatan lingkungan tidak terlepas dari
ketergantungan negara-negara berkembang terhadap negara-negara berkembang.
Dalam hal ini negara-negara berkembang yang biasanya dalam pembangunan
ekonominya selalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi tetapi kurang
16
Slamet Widodo, Ketergantungan dan Keterbelakangan,
memperdulikan dampak negative dari pembangunan tersebut bagi lingkungan hidup.
Ketika hasil dari pembangunan ekonomi tersebut memberi dampak buruk bagi
kehidupan bersama, beramai-ramai negara-negara maju melakukan aksi kritik
terhadap pembangunan di negara-negara berkembang.
Negara-negara berkembang ditekan agar dalam pembangunan ekonominya
mengunakan teknologi yang canggih dan bersih sehingga tidak memberikan efek
negative terhadap kondisi lingkungan. Dibuatlah standarisasi pengelolahan produk
sesuai dengan keinginan negara-negara maju. Sehingga menyebabkan produk yang
dihasilkan oleh negara satelit sulit masuk kedalam pasar negara pusat. Dan untuk itu
terpaksa negara satelit membeli teknologi baru dari negara pusat yang lebih maju, hal
ini yang menyebabkan semakin kaburnya kesepakatan internasional tentang
penyelamatan lingkungan atau hanya sebagai bentuk baru lagi dari evolusi system
penghisapan baru negara pusat terhadap negara satelit.
G. Teknik Pengumpulan Data
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah Deskriptif, yaitu analisis
masalah dengan pengumpulan data melalui Studi Pustaka (Library Research) dengan
teknik Pengumpulan bahan kepustakaan buku-buku, artikel, media massa cetak dan
media massa elektronik serta data-data tertulis yang berkaitan dengan masalah
H. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang terperinci, dan untuk mempermudah isi
dari skripsi ini, maka penulis membagi dalam empat (4) bab. Untuk itu disusun
sistematika sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini akan membahas tentang latarbelakang, Perumusan
masalah, Batasan Masalah, Tujauan Penelitian, Kerangka
Dasar pemikiran, Ruang lingkup Penelitian, Teknik
Pengumpulan Data, Hipotesa, serta Sistematika Penulisan.
BAB II : DESKRIPSI PERKEMBANGAN DAN AKTOR-AKTOR
REDD
Bab ini berisikan sekilas tentang perkembangan wacana
Progaram REDD dari awal hingga dimasukannya sebagai salah
satu butir kesepakatan dalam Bali Roadmap, serta bagaimana
actor-aktor dibalik REDD ini berperan.
BAB III : ANALISA PENERAPAN REDUCING EMISSION FROM
DEFORESTATION AND DEGRADATION
Bab ini membahas tentang analisa dampak serta resiko
penerapan REDD di Indonesia.
BAB IV : PENUTUP
Bab ini berisikan Kesimpulan dan saran, yaitu kesimpulan dari
keseluruhan penelitian yang telah tercantum dalam bab-bab
BAB II
DESKRIPSI PERKEMBANGAN DAN AKTOR-AKTOR
REDD
A. Tahap Perkembangan REDD
Deforestation dan emisi menjadi perdebatan politik dan ilmiah telah
berlangsung sejak awal UNFCCC namun keseriusan untuk menjadikan isu ini sebagai
salah satu isu penting adalah pada kesepakatan Protokol Kyoto pada tahun 1997.
Namun dalam protokol ini hanya disepakati tentang perlunya melindungi dan
mengkonservasi tempat penyimpanan karbon termasuk hutan. Protokol ini juga
berisikan tentang target penurunan wajib emisi dari negara-negara industri maju dan
juga memuat Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development
Mechanism/CDM, yang memungkinkan negara-negara tersebut mendapatkan kredit
karbon di negara-negara berkembang jika mereka gagal dalam penurunan emisi.
Namun dalam Protokol ini belum ada kesepakatan mengenai pemberian kompensasi
terhadap negar-negara berkembang yang mampu menekan deforestation di
negaranya, walaupun demikian Protokol ini menjadi pijakan awal dari kesepakatan
tentang perlunya penyelamatan hutan.
Usul memberikan insentif positif bagi negara-negara pemilik hutan yang
mampu mengurangi dampak deforestation baru muncul ketika Koalisi Pemilik Hutan
Tropis (Coalition for Rain Forest Nations/CfRFN) yang dipelopori oleh Papua
deforestation yang kemudian masuk dalam agenda CoP ke 11di Montreal dengan
nama Reducing Emission From Deforestation in Developing Countries dengan
mengunakan pendekatan emisi nasional, hampir sama dengan Papua Nuginea dan
Costarica, Brasil pun memberikan usul agar adanya kompensasi bagi negara yang
mampu mencegah deforestasi.
Proposal ini banyak disambut baik oleh negara-negara para pihak, teruatama
karena adanya fokus baru, yang memecahkan berbagai permasalah dari diskusi
mengenai isu “penghindaran deforestation” yang ada sebelumnyayang lebih
berfokus pada tingkatan proyek atau pendekatan sub-nasional. CoP merujuk isu
tersebut kepada Badan Tambahan untuk Masukan Ilmiah dan Teknis (Subsidiary
Body for Scientificand Technica Advice/SBSTA), yang telah banyak menerima usulan
dan mengadakan dua lokakarya (FCCC/SBSTA/2006/10 dan FCCC/SBSTA/2007/3),
namun sampai pada Cop ke 12 di Nairobi, Kenya, negara-negara yang telah
meratifikasi Protokol Kyoto gagal mendesak negara-negara maju untuk mengurangi
emisinya sesuai dengan target yang ditentukan. Pada CoP ke 12 ini dapat dikatakan
tidak ada sebuah kemajuan. Namun kesimpulan yang diperoleh SBSTA menjadi
sesuatu yang penting bagi perkembangan pencegahan deforestation. Temuan tersebut
disampaikan oleh ketua SBSTA pada CoP ke 13 di bali.
Pada UNFCCC CoP ke 13 yang berlangsung pada Desember 2007 di Bali,
Indonesia selaku tuan rumah penyelenggaraan dan didorong oleh kesadaran sebagai
negara pemilik hutan terbesar ke 3 di dunia dan juga nomor 2 sebagai negara
penghasil emisi karbon dari proses deforestasi mengusulkan sebuah mekanisme baru
Berbeda dengan apa yang diusulkan oleh Papua Nuginea dan Costarica pada
CoP ke 11 di Monteral. Dalam usulannya Indonesia menambahkan lagi poin tentang
pencegahan degradation maka program yang diusulkan oleh Indonesia disebut
dengan Reducing Emission from Deforestation and Degradation. REDD ini berhasil
menjadi salah satu program yang disepakati dalam CoP ke 13 yang kesepakatan
tersebut tertuang dalam Bali Road Map.
Sebelum CoP ke-13 Indonesia memang telah mempersiapkan Progaram ini,
departemen kehutanan melalui kordinasi Indonesia Forest Climate Alliance (IFCA)
telah menetapkan Road Map Reducing Emission from Deforestation and Degradation
in Indonesia (REDDI). Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi merupakan
initatif internasional kedalam konteks nasional. Oleh karenannya REDDI tidak
dirancang ekslusif terhadap kebijakan kehutanan, tetapi untuk mendukung
tercapainya tujuan kebijakan dan upaya-upaya yang dilakukan dalam menuju
pembangunan hutan yang berkelanjutan.
Berikut adalah tahapan program REDD yang telah disusun oleh Departemen
Kehutanan melalui kordinasinya dalam Indonesia Forest Climate Alliance ( IFCA):
1. Fase Persiapan (Pre-CoP 13)
Pada fase ini kegiatan difokuskan pada persiapan basis negosiasi di CoP-13 dan
penyiapan desain serta kriteria pemilihan lokasi sebagai pilot sites. Studi
komprehensif yang mencakup metodologi dan strategi serta kajian strategi serta
kajian aspek pasar dan insentif, dilakukan selama bulan Juli-November 2007. Studi
dilakukan oleh tenaga ahli internasional dan nasional, dengan narasumber dari
oleh World Bank, Inggris, Jerman dan Australia. Hasil dipresentasikan pada site
events CoP ke-13.
2. Fase Transisi (2008-2012)
Pada tahap transisi, pelaksanaan Pilot activities, dimaksudkan sebagai sarana
learning by doing process, termasuk didalamnya testing metodologi dan strategi yang
dihasilkan dari studi bulan Juli-November 2007,termasuk mekanisme insentif. pilot
activities dapat berupa pengurangan emisi dari deforestasi, pengurangan emisi dari
degradasi dan konservasi
3. Fase Implementasi (mulai 20012 atau lebih awal tergantung pada
perkembangan dalam negoisasi CoP)
Fase ini merupakan implementasi mekanisme REDD dengan modalities, rules,
dan prosedur sesuai keputusan CoP
Reducing Emission from Deforestation and Degradation dalam Bali
RoadMap
Dalam UNFCCC CoP ke 13 di Bali memang sudah disepakati tentang
program REDD namun REDD yang tertuang dalam Bali RoadMap masih sekedar
butir kesepakatan yang belum dapat dilaksanakan dan perlu pengkajian lebih lanjut
mengenai bagaimana mekanisme penerapan program ini. Berikut ini adalah bentuk
REDD dalam Bali Roadmap :
• REDD merupakan mekanisme internasional yang dimaksudkan untuk
member insentif yang positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi
• REDD merupakan mekanisme internasional yang bersifat sukarela
(voluntary) dan tetap menghormati kedaulatan negara (sovereignty)
• Negara maju sepakat memberikan dukungan untuk capacity
building,transfer teknologi dibidang metodologi dan institusional, pilot/demonstration activities,
• Untuk melaksanakan pilot/demostration activities dan
implementasikan REDD, diperlukan penguasaan aspek metodologi sesuai standar
internasional. Oleh karenanya CoP 13 menyepakati indicative guidance untuk
pilot/demonstration activities, dimana terdapat tanggung jawab internasional,
nasional (pemerintah), dan sub-nasional (pelaksana daerah).
Indicative guidance untuk pilot/demonstration activities yang disepakati
dalam CoP Ke-13 adalah sebagai berikut :
Demonstration activities harus mendapat persetujuan host party dalam
hal ini pemerintah.
Penghitungan pengurangan/peningkatan emisi harus sesuai
hasilterukur,transparan, dapat diverivikasidan konsisten sepanjang waktu.
Pelaporan pengunaan reporting guidelines (Good Practice Guidance
for Land, land-use Change and Forestry) sebagai dasar penghitungan dan monitoring
emisi.
Pengurangan emisi dari national demonstration activities dievaluasi
Subnational demonstration activities dievaluasi dalam batas kegiatan
tersebut, termasuk evaluasi terhadap pengalihan emisi sebagai dampak dari kegiatan
yang dimaksud (leakage).
Pengurangan/peningkatan emisi dari demonstration activity
didasarkan pada emisi masa lalu, dengan memperhatikan kondisi masing-masing
negara.
Pemakaian pendekatan sub-nasional harus merupakan suatu langkah
menuju pendekatan national reference levels/baseline dan estimasi pengurangan
emisi,
Demonstration activities harus konsisten dengan provisi di bawah
UNFF, CDD, dan CBD.
Pengalaman dari implementasi demonstration activities dilaporkan dan
tersedia memalui web platform.
Termasuk dalam pelaporan demonstration activities adalah deskripsi
kegiatan, efektifitas, dan informasi lain yang relevan.
Dianjurkan mengunakan Indipendent expert review.
Sampai saat ini REDD masih dalam pembahasan, negoisasi akan dilakukan
Adhoc Working on Long Term Cooperatif Action (AWG-LCA) atau Kelompok
Kerja untuk Aksi Kerjasama Jangka Panjang. Keputusan akhir mengenai REDD akan
B. Aktor-aktor dibalik Reducing Emission From Deforestation and
Degaradation pada UNFCCC ke 13 di Bali
Pada kenyataanya bahwa dalam REDD ini terdapat banyak aktor yang
berperan dalam pengusulan serta sampai pada tahap di setujuinya REDD dan menjadi
salah satu butir kesepakatan yang tercantum dalam Bali Action Plan. Namun bukan
dalam maksud untuk mengurangi peran dari aktor-aktor yang lain tetapi dalam
laporan penelitian ini menekankan pada aktor-aktor yang dianggap mempunyai porsi
besar dalam pengusulan ide REDD ini dikarenakan besarnya kepentingan mereka
terhadap REDD tersebut. Berikut adalah aktor-aktor dalam Pengusulan REDD:
1. Perserikatan Bangsa-bangsa ( United Nations)
Program REDD seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa REDD ini
dilahirkan pada UNFCCC CoP ke 13 di Bali hal ini secara langsung menjelaskan
bagaimana peran dari Perserikatan Bangsa-bangsa sebagai organisasi yang menaungi
penyelenggaraan konfrensi perubahan iklim. Namun tentu saja peran Perserikatan
Bangsa-bangsa ini tak sederhana itu saja tetapi perannya juga sangat penting dalam
penentuan kesepakatan yang lahir dari konfrensi perubahan iklim tersebut.
Pada juli 2008, PBB melahirkan UN-REDD (United Nations Collaborative
Programe on Reducing Emission from Deforestation and Degradation in developing countries). Program tersebut dipimpin oleh UNDP, FAO, dan UNEP untuk
mengarahakan kegiatan persiapan (Rediness activities) untuk REDD.
Maksud dari UN-REDD ini adalah membantu negara-negara berkembang
yang memiliki hutan dan komunitas internasional untuk memperoleh pengalaman
menghasilkan arus transfer sumberdaya yang dibutuhkan untuk mengurangi emisi
global dari deforestasi dan degradasi hutan secara signifikan. Namun tujuan utamanya
adalah menyalurkan dana dari negra maju untuk diberikan kepada
negara-negara pemilik hutan.
UN-REDD akan meliputi peningkatan kapasitas (capacity building),
pengembangan strategi, menguji sistem keuangan dan pengaturan institusi untuk
pengawasan dan verifikasi. Program UN-REDD mendukung ketersangkutan REDD
dengan pasar karbon dan akan memadukan inisiatif internasional lain seperti FCPF,
FIP dan GEF. Program UN-REDD berkomitmen melakukan pendekatan berdasarkan
hak asasi manusia (rights based) dan dalam dokumentasinya menyebutkan Free,Prior
and Informed Consent17.
Selanjutnya peran Perserikatan Bangsa-bangsa dalam persoalan REDD ini
hanya lebih memfokuskan pada program UN-REDD saja sehingga dirasakan kurang
memiliki peran yang besar dalam pengembangan konsep REDD, kalah dibandingkan
aktor-aktor lainnya. Mungkin ini disebabkan PBB harus sanggat berhati-hati dalam
mengeluarkan kebijakan karena PBB harus mampu memberikan kebijakan yang
mampu mengakomodir semua kepentingan negara-negara di dunia.
17
2. Bank Dunia.
Keterlibatan Bank Dunia terhadap REDD diawali saat mendanai Indonesian
Forest Climate Alliance (IFCA). Aliansi ini merupakan suatu forum komunikasi,
koordinasi, dan konsultasi bagi sekelompok ahli yang bergerak di bidang kehutanan
dan perubahan iklim di Indonesia, terutama untuk menganalisa praktek skema REDD
di Indonesia. IFCA beranggotakan pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil,
lembaga-lembaga saintifik dan mitra internasional yang dikoordinatori oleh
Departemen Kehutanan. Keterlibatan Bank Dunia pada IFCA ini adalah untuk dana
bantuan yang diberikan oleh pemerintah Australia, Jerman dan Inggris.
IFCA inilah yang merumuskan program apa yang nantinya akan di tawarkan
oleh pemerintah Indonesia pada CoP ke 13 di Bali. IFCA merumuskan kebijakan
yang terkait dengan (i) penentuan tingkat emisi (ii) strategi penggunaan lahan (iii)
pemantauan (iv) mekanisme keuangan (V) pembagian keuntungan dan tanggung
jawab dalam pencegahan pemanasan global. Hasil dari penelitian IFCA yang
disampaikan Pemerintah Indonesia pada CoP ke 13 ini salah satunya ada usulan
tentang Progaram REDD. Dengan kata lain pemerintah Indonesia merupakan negara
pengusul REDD.
Keterlibatan Bank Dunia sebenarnya banyak mendapat kritik dari
negara-negara berkembang G77 terutama mengenai pendanaan dan pembiayaan multilateral
skema REDD, negara-negara G77 menghendaki bahwa pembiayaan REDD harus
dibawah kekuasaan UNFCCC. The Global Environmental Facility (GEF) diusulkan
oleh G77 sebagai badan pembiayaan resmi yang diakui UNFCCC. Namun GEF
besar, padahal Bank Dunia hanya salah satu aparat pelaksana GEF (yang lain adalah
UNDP dan UNEP), ia mempunyai pengaruh yang besar mengenai pembagian dana
GEF. Dan yang menjadi kritik lagi juga mengenai Prosedur GEF dalam pemilihan
sangat menguntungkan negara donor besar diatas yang lain. GEF sendiri juga di duga
ingin memajukan proyek konservasi besar yang ekslusif di Asia dan Afrika.
Ditengah kontroversi tersebut selain keterkaitannya dengan pendanaan IFCA,
Bank Dunia juga memperkuat lagi posisinya dalam CoP ke 13 dengan
mengumumkan Progaram fasilitas kemitraan karbon hutan baru yaitu The Forest
Carbon Partnership Facility (FCPF)18
FCPF terdiri dari dua skema - Mekanisme Kesiapan (Readiness Mechanism),
untuk membantu negara berkembang untuk siap berpartisipasi dalam program
insentif REDD, dan Mekanisme Pendanaaan Karbon (Carbon Finance Mechanism),
yang menjadi percontohan pembayaran karbon bagi sekitar lima peserta Mekanisme
Kesiapan yang berhasil. Setiap mekanisme memiliki dana perwalian (trust fund)
sendiri, dengan Bank bertindak sebagai pengawas bagi keduanya. Intinya FCPF ini
mendorong agar pendanaan REDD ini mengunakan pendekatan pasar. Dibuktikan . FCPF ini merupakan sistem insentif skala
besar untuk penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, dengan
menyediakan sumber-sumber dana segar untuk pemanfaatan yang lestari atas
sumberdaya hutan dan konservasi keanekaragaman hayati, bagi lebih dari 1,2milyar
penduduk yang hidupnya sedikit banyak tergantung terhadap hutan.
18
dengan banyaknya concept notes tidak memperhatikan hak milik tanah dan hak
adat19
19
WALHI, Tim Mann, Muhamad Teguh Surya, REDD Wrong Path : Pathetic Ecobusiness, Jakarta : Walhi, 2009.
.
Selanjutnya pada pasca CoP 13 bulan Mei 2008 Bank Dunia kembali
meluncurkan lagi sebuah rogram baru yang merupakan program pendamping dari
FCPF yang dinamai Forest Investment Program (FIP). Jika FCPF adalah program
Bank dunia untuk mendukung kegiatan persiapan (Readliness Activities) serta
mekanisme pembayaran pilot program sedangkan FIP sendiri diluncurkan oleh Bank
Dunia untuk memberikan dana pinjaman untuk pelaksanaan reformasi dan
perencanaan yang dibutuhkan dilapangan.
Melalui FIP inilah Bank Dunia mendorong agar para Pemerintah yang hendak
mengkuti REDD menyiapkan segala bentuk perundangan-undangan serta membentuk
tim yang nantinya mengurusi pelaksanaan REDD. Melalui kedua program inilah
Bank Dunia mencoba mengambil perannnya dalam perdagangan Karbon dunia
melalui program REDD.
Dalam kaitannya dengan kerjasama Bank Dunia dan Pemerintah Indonesia
sendiri, Bank Dunia saat ini lebih banyak melalui pendekatannya dengan Program
FCPF. Pendekatan ini berfokus pada reformasi generasi baru yang dibutuhkan untuk
meningkatkan daya saing Indonesia serta integarasinya ke perekonomian dunia
sambil memenuhi pertumbuhan kebutuhan atas kepemerintahan yang baik. Dalam
konteks ini Bank Dunia membantu Indonesia dalam upaya mitigasi dan adaptasi
Lebih spesifiknya Bank Dunia Di Indonesia dalam kaitannya dengan REDD
melakukan tindakan-tindakan seperti :
a. Membantu Departeman Kehutanan dalam mempersiapkan Prakarsa
REDD dengan Aliansi Iklim Kehutanan Indonesia (LSM dan
universitas) dengan pembiayaan bersama dari DFID, AUSAID dan
GTZ.
b. Mendukung prakarsa Indonesia dalam dialog global mengenai
perdagangan dan perubahan iklim membangun kapasitas Departeman
Perdagangan mengenai aspek hukum perdagangan dan perubahan
iklim, serta melakukan studi mengenai bagaimana Indonesia bisa
mendapat manfaat dari liberalisasi perdagangan dalam produk ramah
lingkungan.
c. Mendukung pengembangan proyek uji coba potensial melalui prakarsa
konservasi hutan termasuk Aceh Forest Enviroment Project (dengan
dukungan MDF) dan Birdlife Rehabilatation Project dengan
kemungkinan mendapatkan manfaat perdagangan karbon
d. Mempermudah pertimbangan Indonesia mengenai peluang
Pembiayaan Iklim yang diwakili oleh Climate Investment Fund dan
berbagai Carbon Patnership Funds termasuk juga FCPF melalui
keterlibatan dalam proses konsultasi.20
20
Makalah Seminar Infid, Indonesia, Bank Dunia dan Perubahan Iklim,