POTENSI KARBON TERSIMPAN
DAN PENYERAPAN KARBON DIOKSIDA
HUTAN TANAMAN Eucalyptus sp.
TESIS
Oleh
KURNIAWANSYAH EFFENDI
107004006/PSL
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
POTENSI KARBON TERSIMPAN
DAN PENYERAPAN KARBON DIOKSIDA
HUTAN TANAMAN Eucalyptus sp.
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains Dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
KURNIAWANSYAH EFFENDI
107004006/PSL
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Telah diuji pada Tanggal : 27 Juli 2012
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS Anggota : 1. Prof. Dr. Erman Munir, MSc
2. Drs. Chairuddin, MSc
PERNYATAAN
“POTENSI KARBON TERSIMPAN
DAN PENYERAPAN KARBON DIOKSIDA
HUTAN TANAMAN
Eucalyptus sp.
”
Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat
untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Magister
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.
Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian
tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis
cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika
penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis
ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian
tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang
penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku.
Medan, Juli 2012
Penulis,
POTENSI KARBON TERSIMPAN DAN PENYERAPAN KARBON DIOKSIDA HUTAN TANAMAN Eucalyptus sp.
ABSTRAK
Penelitian tentang potensi karbon tersimpan dan penyerapan karbon dioksida hutan tanaman Eucalyptus sp. telah dilakukan pada PT. Toba Pulp Lestari, Tbk Sektor Aek Nauli Kabupaten Simalungun dan Sektor Tele Kabupaten Samosir dari Bulan Maret 2012 sampai dengan Mei 2012. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur, ketinggian tempat tumbuh serta interaksi antara umur dan ketinggian berpengaruh sangat nyata terhadap potensi karbon tersimpan hutan tanaman
Eucalyptus sp. Nilai penyerapan karbon dioksida pada hutan tanaman Eucalyptus sp. meningkat dengan bertambahnya umur tetapi menurun dengan naiknya ketinggian tempat tumbuh dengan nilai berkisar antara 39,30 ton/ha – 351,15 ton/ha. Nilai jasa lingkungan yang dihasilkan dari penyerapan karbon dioksida hutan tanaman Eucalyptus sp. berkisar antara US$179,61/ha – US$1.604,74/ha. Penerapan mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) pada hutan tanaman Eucalyptus sp. di PT. Toba Pulp Lestari, Tbk belum memenuhi semua persyaratan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.30/Menhut-II/2009.
Kata Kunci : Karbon Tersimpan, Penyerapan Karbon Dioksida, Kelas Umur, Ketinggian Tempat Tumbuh, Hutan Tanaman Eucalyptus sp., REDD
POTENTIAL OF CARBON SINK AND CARBON DIOXIDE ABSORPTION OF Eucalyptus sp. PLANTATION
ABSTRACT
A study on potential of carbon sink and carbon dioxide absorption of Eucalyptus sp. plantation was conducted at PT. Toba Pulp Lestari Tbk, Aek Nauli Sector, Simalungun District and Tele Sector, Samosir District from March to May 2012. The result of this study showed that age, altitude grow and the interaction between age and altitude had a very significant influence on the potential of carbon sink of Eucalyptus sp. plantation. The value of carbon dioxide absorption in Eucalyptus sp. plantation increased with age but decreased with increasing altitude to grow with the value ranging from 39.30 tons/ha to 351.15 tons/ha. The value of environmental service obtained from the absorption of carbon dioxide of Eucalyptus sp. plantation ranging from US$179.61/ha to US$1,604.74/ha. Implementation of Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) mechanism in Eucalyptus sp. plantation in PT. Toba Pulp Lestari, Tbk has not met all of the requirements set based on the Regulation of Minister of Forestry No: P.30/Menhut-II/2009.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah
SWT atas berkat Rahmat dan Karunia-NYA sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis yang berjudul “Potensi Karbon Tersimpan dan Penyerapan Karbon Dioksida Hutan Tanaman Eucalyptus sp.” ini dengan baik. Shalawat teriring salam kepada Rasulullah, Nabi Muhammad SAW,
junjungan utama seluruh umat manusia di muka bumi. Tesis ini disusun sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi
Magister Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Dalam pelaksanaan penelitian hingga penyelesaian tesis, penulis banyak
mendapatkan arahan, bimbingan, saran, petunjuk, dukungan dan motivasi dari
berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini secara khusus penulis menyampaikan
rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS selaku Ketua Program Studi Magister
PSL sekaligus ketua Dosen Pembimbing yang telah banyak meluangkan
waktu untuk membimbing dan memberikan petunjuk kepada penulis.
2. Bapak Drs. Chairuddin, MSc selaku Sekretaris Program Studi Magister PSL
sekaligus anggota Dosen Pembimbing yang terus memberikan motivasi
kepada penulis.
3. Bapak Prof. Dr. Erman Munir, MSc selaku anggota Dosen Pembimbing yang
waktunya banyak tersita untuk memberikan perbaikan-perbaikan tidak hanya
bagi tesis ini tetapi juga untuk pribadi penulis sendiri.
4. Bapak Prof. Dr. Ir. B. Sengli J. Damanik, MSc dan Dr. Budi Utomo, SP, MP
selaku Dosen Penguji yang telah memberikan saran untuk kesempurnaan tesis
ini.
5. Seluruh dosen yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan pegawai
Program Studi Magister PSL yang telah banyak berjasa bagi penulis.
6. Kepala BP2HP Wilayah II Medan yang telah memberikan ijin kepada penulis
7. Direktur dan staf PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. yang telah memberikan ijin
penelitian dan membantu penulis dalam pengambilan data di lapangan.
8. Teman-teman PSL Angkatan 2010, khususnya kepada M. Jandi Pinem, Eko
Bahariwanto, Mangatas Tambun dan Pirman Hutasoit sebagai teman
seperjuangan dari BP2HP Wilayah II Medan atas kebersamaan dan dorongan
semangat untuk selesainya sekolah ini.
9. Pihak-pihak yang secara sengaja dan tidak sengaja telah membantu penulis
menyelesaikan karya ilmiah ini.
10.Yang terakhir tetapi yang teristimewa buat istri penulis, Nur Idul Adha Isa,
dan ananda, Nadhifa Qarira Raisya, karena untuk kalian berdualah penulis
harus tetap selalu dan terus berkarya, serta kepada keluarga besar R. Syahrial
Effendi dan D. Syahrial Isa.
Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan dan berguna
bagi pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia.
Medan, Juli 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Medan Provinsi Sumatera Utara pada tanggal
15 April 1983 dari Bapak Raja Syahrial Effendi dan Ibu Rita Haslinda. Penulis
merupakan putra kedua dari empat bersaudara. Pada tanggal 14 Juni 2009, penulis
menikah dengan Nur Idul Adha Isa dan telah dianugerahi seorang putri pada
tanggal 25 April 2010 yang bernama Nadhifa Qarira Raisya.
Tahun 2001 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Medan dan pada tahun yang
sama melanjutkan pendidikan S1 pada Program Studi Teknologi Hasil Hutan
Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera . Penulis berhasil
menyelesaikan S1 pada tahun 2005 dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,90
predikat Cumm Laude. Pada tahun 2010 penulis mengikuti Program Studi
Magister Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan berhasil menamatkan studi pada
tanggal 27 Juli 2012.
Tahun 2006 penulis diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS)
Departemen Kehutanan pada Balai Sertifikasi Pengujian Hasil Hutan Wilayah II
Medan dengan jabatan Calon Pengendali Ekosistem Hutan (PEH). Tahun 2007
penulis diangkat sebagai PNS dan sekarang menjabat sebagai PEH Muda pada
Balai Pemantauan Pemanfataan Hutan Produksi Wilayah II Medan.
DAFTAR ISI
2.5. Peran Hutan dalam Penyimpanan Karbon ... 14
3.4.2. Penyerapan karbon dioksida ... 26
4.1. Pendugaan Potensi Karbon Tersimpan ... 29
4.1.1. Biomassa tegakan Eucalyptus sp. ... 29
4.1.2. Biomassa tumbuhan bawah ... 31
4.1.3. Nekromassa ... 34
4.1.4. Potensi karbon tersimpan ... 37
4.2. Penyerapan Karbon Dioksida ... 42
4.3. Nilai Jasa Lingkungan dari Penyerapan Karbon Dioksida ... 45
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
3.1. Kombinasi Perlakuan Pendugaan Potensi Karbon Tersimpan Hutan Tanaman Eucalyptussp. ... 27
4.1. Konstribusi Nilai Potensi Karbon Tersimpan ... 41
4.2. Nilai Jasa Lingkungan dari Penyerapan Karbon Dioksida Hutan Tanaman
Eucalyptus sp. ... 46
DAFTAR GAMBAR
No Judul Halaman
4.1. Grafik Biomassa Tegakan Eucalyptus sp. ... 29
4.2. Hubungan Linear antara Biomassa Tegakan dan Diamater Tegakan ... 31
4.3. Grafik Biomassa Tumbuhan Bawah Hutan Tanaman Eucalyptus sp. ... 32
4.4. Grafik Nekromassa Hutan Tanaman Eucalyptus sp. ... 34
4.5. Nekromassa Hutan Tanaman Eucalyptus sp. ... 36
4.6. Grafik Potensi Karbon Tersimpan Hutan Tanaman Eucalyptus sp. ... 37
DAFTAR LAMPIRAN
No Lampiran Halaman
1. Biomassa Tegakan Eucalyptus sp. ... 65
2. Hubungan antara Diamater Tegakan dan Biomassa Tegakan ... 66
3. Biomassa Tumbuhan Bawah Hutan Tanaman Eucalyptus sp. ... 67
4. Nekromassa Hutan Tanaman Eucalyptus sp. ... 68
5. Penyerapan Karbon Hutan Tanaman Eucalyptus sp. ... 69
6. Penyerapan Karbon Dioksida Hutan Tanaman Eucalyptus sp. ... 70
7. Analisis Regresi Hubungan Diamater Tegakan dan Biomassa Tegakan ... 71
8. Analisis Keragaman Nilai Penyerapan Karbon ... 72
9. Uji Wilayah Berganda Duncan (Duncan Multiple Range Test) ... 73
10.Peta Lokasi Penelitian IUPHHK-HT PT. Toba Pulp Lestari, Tbk Sektor Aek Nauli Kabupaten Simalungun ... 74
POTENSI KARBON TERSIMPAN DAN PENYERAPAN KARBON DIOKSIDA HUTAN TANAMAN Eucalyptus sp.
ABSTRAK
Penelitian tentang potensi karbon tersimpan dan penyerapan karbon dioksida hutan tanaman Eucalyptus sp. telah dilakukan pada PT. Toba Pulp Lestari, Tbk Sektor Aek Nauli Kabupaten Simalungun dan Sektor Tele Kabupaten Samosir dari Bulan Maret 2012 sampai dengan Mei 2012. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur, ketinggian tempat tumbuh serta interaksi antara umur dan ketinggian berpengaruh sangat nyata terhadap potensi karbon tersimpan hutan tanaman
Eucalyptus sp. Nilai penyerapan karbon dioksida pada hutan tanaman Eucalyptus sp. meningkat dengan bertambahnya umur tetapi menurun dengan naiknya ketinggian tempat tumbuh dengan nilai berkisar antara 39,30 ton/ha – 351,15 ton/ha. Nilai jasa lingkungan yang dihasilkan dari penyerapan karbon dioksida hutan tanaman Eucalyptus sp. berkisar antara US$179,61/ha – US$1.604,74/ha. Penerapan mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) pada hutan tanaman Eucalyptus sp. di PT. Toba Pulp Lestari, Tbk belum memenuhi semua persyaratan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.30/Menhut-II/2009.
Kata Kunci : Karbon Tersimpan, Penyerapan Karbon Dioksida, Kelas Umur, Ketinggian Tempat Tumbuh, Hutan Tanaman Eucalyptus sp., REDD
POTENTIAL OF CARBON SINK AND CARBON DIOXIDE ABSORPTION OF Eucalyptus sp. PLANTATION
ABSTRACT
A study on potential of carbon sink and carbon dioxide absorption of Eucalyptus sp. plantation was conducted at PT. Toba Pulp Lestari Tbk, Aek Nauli Sector, Simalungun District and Tele Sector, Samosir District from March to May 2012. The result of this study showed that age, altitude grow and the interaction between age and altitude had a very significant influence on the potential of carbon sink of Eucalyptus sp. plantation. The value of carbon dioxide absorption in Eucalyptus sp. plantation increased with age but decreased with increasing altitude to grow with the value ranging from 39.30 tons/ha to 351.15 tons/ha. The value of environmental service obtained from the absorption of carbon dioxide of Eucalyptus sp. plantation ranging from US$179.61/ha to US$1,604.74/ha. Implementation of Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) mechanism in Eucalyptus sp. plantation in PT. Toba Pulp Lestari, Tbk has not met all of the requirements set based on the Regulation of Minister of Forestry No: P.30/Menhut-II/2009.
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kelestarian lingkungan dekade ini sudah sangat terancam, tidak hanya di
Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate
change) yang terjadi sudah masuk dalam tahap mengkhawatirkan akibat
peningkatan suhu, pemakaian bahan bakar fosil secara berlebihan atau penipisan
lapisan ozon. Terjadinya ketidakseimbangan ekosistem akibat aktivitas manusia
merupakan penyebab utama yang mendorong terjadinya pemanasan global (global
warming). Krisnawati (2010) mengemukakan aktivitas manusia yang
mengakibatkan deforestasi dan degradasi hutan yang berkembang saat ini dinilai
telah memberikan kontribusi dalam peningkatan emisi karbon dioksida (CO2
Untuk mengatasi hal ini diperlukan upaya migitasi pengaruh dan adaptasi
terhadap lingkungan. Salah satu upaya migitasi adalah dengan melaksanakan
penanaman pohon serta pengelolaan hutan yang lestari. Kebijakan pemerintah
dalam pengelolaan hutan produksi dengan memberikan Ijin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) sebenarnya adalah
langkah untuk meminimalkan terjadinya kerusakan lingkungan terutama pada
kawasan hutan di Indonesia. Pengembangan hutan tanaman selain akan
merehabilitasi lahan secara terus menerus karena adanya kegiatan penanaman
pada areal yang kosong maupun pada areal bekas pemanenan, juga akan
menghasilkan nilai jasa lingkungan melalui penyerapan karbon dioksida.
) di
Dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.8/Menhut-II/2010 tentang
Rencana Strategis Kehutanan Tahun 2010 – 2014, salah satu kebijakan prioritas
pembangunan sektor kehutanan adalah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim
sektor kehutanan. Program yang dijalankan di antaranya adalah program
peningkatan pemanfaatan hutan produksi dengan kegiatan peningkatan
pengelolaan hutan tanaman. Pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor :
61 Tahun 2011, salah satu rencana aksi nasional penurunan emisi gas rumah kaca
adalah peningkatan usaha hutan tanaman dengan sasaran terlaksananya
pencadangan areal hutan tanaman industri dan hutan tanaman rakyat seluas 3 juta
hektar dengan indikasi penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 110,10 juta ton
CO2
Peran hutan sebagai penyerap CO e.
2 dan menyimpannya dalam bentuk
biomassa harus terus dipertahankan dan ditingkatkan dengan cara pembuatan
hutan tanaman dan melakukan penanaman kembali hutan-hutan yang gundul
dalam bentuk kegiatan reforestasi atau afforestasi. Dengan adanya peningkatan
emisi karbon dioksida (gas rumah kaca) akibat deforestasi dan degradasi hutan
serta adanya upaya mitigasi melalui upaya konservasi dan pembangunan hutan,
maka kuantifikasi atau perhitungan persediaan karbon hutan perlu dilakukan
untuk mengetahui apakah target pengurangan emisi CO2
Sektor kehutanan dapat berfungsi sebagai sumber emisi dan penyerap
karbon jika dilihat dari konteks perubahan iklim di mana hutan berperan dalam
mencegah dan mengurangi emisi dari gas rumah kaca. Untuk ikut berpartisipasi di dunia dan terutama di
pengelolaan hutan yang baik, kegiatan konservasi dan peningkatan kapasitas stok
karbon dengan jumlah karbon yang dihasilkan dan diserap (Butarbutar 2009b).
Sutaryo (2009) menyatakan biomassa hutan sangat relevan dengan isu perubahan
iklim. Biomasa hutan berperan penting dalam siklus biogeokimia terutama dalam
siklus karbon. Dari keseluruhan karbon hutan, sekitar 50% di antaranya tersimpan
dalam vegetasi hutan. Sebagai konsekuensi, jika terjadi kerusakan hutan,
kebakaran, pembalakan dan sebagainya akan menambah jumlah karbon di
atmosfer.
Salah satu fungsi hutan termasuk hutan tanaman adalah mengendalikan
iklim melalui penyerapan emisi CO2 dari atmosfer dan menyimpannya dalam
bentuk materi organik dalam biomassa tanaman. Kemampuan hutan tanaman
dalam menyerap emisi CO2 bervariasi menurut jenis, umur dan kerapatan tanaman
(Heriansyah 2005a). Penyimpanan karbon sendiri terjadi didasarkan atas proses
kimiawi dalam aktivitas fotosintesis tumbuhan yang menyerap CO2
PT. Toba Pulp Lestari, Tbk adalah salah satu pemegang IUPHHK-HT
yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara yang tersebar pada 9 wilayah
administrasi kabupaten. Jenis tanaman utama yang menjadi tanaman unggulan
untuk hutan tanaman adalah jenis Eucalyptus sp. Jenis Eucalyptus sp. yang dari atmosfer
dan air dari tanah menghasilkan oksigen dan karbohidrat yang selanjutnya akan
berakumulasi menjadi selulosa dan lignin sebagai cadangan karbon. Apabila
dilihat dari produktivitasnya menyimpan karbon (per satuan luas dan per satuan
waktu) maka ada kemungkinan hutan tanaman akan memiliki kemampuan
menyimpan karbon pada tegakannya dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan
ditanam untuk dijadikan bahan baku pulp oleh industri pulp yang terintegrasi
dengan IUPHHK-HT adalah jenis-jenis Eucalyptus hasil klon yang telah berhasil
dikembangkan oleh PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. Grattapaglia dan Kirst (2008)
mengemukakan Eucalyptus merupakan tanaman kayu yang banyak ditanam di
daerah tropis dan subtropis karena pertumbuhannya yang cepat dan kemampuan
beradaptasi yang luas. Hutan tanaman Eucalyptus dapat menyediakan biomassa
kayu berkualitas tinggi.
Pengurangan emisi melalui penyerapan karbon dioksida pada hutan
tanaman Eucalyptus sp. belum sepenuhnya dikaji. Masih sebatas pada pendugaan
potensi karbon tersimpan. Salah satu penelitian pendugaan potensi karbon
tersimpan pada tegakan Eucalyptus sp. dilakukan oleh Butarbutar (2009a) dengan
hasil potensi karbon tersimpan rata-rata tegakan Eucalyptus grandis umur 1 tahun
sebesar 3,38 ton/ha dan umur 2 tahun sebesar 4,28 ton/ha. Data-data potensi
karbon tersimpan yang telah diperoleh sebelumnya tidak menunjukkan
perkembangan penyimpanan karbon pada pertumbuhan jenis Eucalyptus sp. Data
ketinggian tempat tumbuh juga tidak dijadikan sebagai variabel dalam penentuan
pendugaan potensi karbon tersimpan. Umur tanaman dan ketinggian tempat
tumbuh tentu saja diduga sangat berpengaruh pada hasil potensi karbon tersimpan
yang dihasilkan. Belum diketahui umur maksimal dan ketinggian tempat tumbuh
yang akan menghasilkan potensi karbon tersimpan yang optimal pada tegakan
Eucalyptus sp.
Kajian terhadap nilai jasa lingkungan yang dihasilkan dari penyerapan
besaran penyerapan karbon dioksida. Dengan harga jual karbon dioksida yang
ada, jasa lingkungan penyerapan karbon dioksida dapat dinilai. Kajian terakhir
adalah bagaimana data-data penyerapan karbon dioksida hutan tanaman
Eucalyptus sp. ini dapat diarahkan dan dimanfaatkan pada penerapan pengurangan
emisi dan deforestasi dan degradasi hutan atau yang dikenal dengan Reducing
Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) di Kementerian
Kehutanan.
1.2. Perumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini adalah :
a. Berapa umur tegakan dan ketinggian tempat tumbuh tegakan Eucalyptus sp.
yang akan menghasilkan karbon tersimpan yang optimal.
b. Berapa penyerapan karbon dioksida hutan tanaman Eucalyptus sp.
c. Berapa nilai jasa lingkungan yang dihasilkan melalui penyerapan karbon
dioksida hutan tanaman Eucalyptus sp.
d. Bagaimana mekanisme penerapan hasil pendugaan potensi karbon tersimpan,
penyerapan karbon dioksida dan nilai jasa lingkungan yang telah diperoleh
dari hutan tanaman Eucalyptus sp. dalam program Reducing Emissions from
Deforestation and Forest Degradation (REDD) di Kementerian Kehutanan.
1.3. Tujuan
Tujuan penelitian adalah untuk :
a. Menganalisis pengaruh kelas umur dan ketinggian tempat tumbuh terhadap
b. Menghitung penyerapan karbon dioksida hutan tanaman Eucalyptus sp.
c. Menghitung nilai jasa lingkungan yang dihasilkan melalui penyerapan karbon
dioksida hutan tanaman Eucalyptus sp.
d. Mengetahui kelayakan mekanisme penerapan hasil pendugaan potensi karbon
tersimpan, penyerapan karbon dioksida dan nilai jasa lingkungan yang telah
diperoleh dari hutan tanaman Eucalyptus sp. dalam Reducing Emissions from
Deforestation and Forest Degradation (REDD) di Kementerian Kehutanan.
1.4. Hipotesis
Potensi karbon tersimpan hutan tanaman Eucalyptus sp.dipengaruhi oleh
kelas umur dan ketinggian tempat tumbuh serta interaksi antara keduanya.
1.5. Manfaat
Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan informasi dalam pengambilan
kebijakan khususnya dalam rangka mendukung penerapan Reducing Emissions
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pemanasan Global
Pemanasan bumi disebabkan karena gas-gas tertentu dalam atmosfer bumi
seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitro oksida (N2O) dan uap air
Peristiwa perubahan iklim akan berakibat fatal bagi kehidupan di
permukaan bumi, seperti pada bidang pertanian, perubahan ekosistem alam,
meluasnya padang rumput dan gurun, areal hutan menyusut dan bergeraknya suhu
panas ke arah kutub. Sedangkan daerah kutub sendiri karena naiknya suhu air laut
mengakibatkan mencairnya sebagian besar bongkahan es dan lambat laun
mengakibatkan banyak daerah pantai yang terendam (Arief 2001). Pemanasan
global dapat menimbulkan berbagai kerusakan melalui dampak terhadap atmosfer,
hidrosfer, geosfer dan terakhir terhadap manusia. Semua dampak akan
menimbulkan bencana bagi umat manusia, baik yang melakukan pencemaran
maupun yang tidak melakukannya (Wardhana 2010).
membiarkan radiasi surya menembus dan memanasi bumi, menghambat
pemantulan sinar infra merah dan menyebabkan efek rumah kaca. Dengan
naiknya konsentrasi gas-gas tersebut maka akan lebih banyak panas tertekan di
dalam atmosfer dan menyebabkan suhu bumi naik (Mulyanto 2007).
Pemanasan global akan menimpa bumi dan segenap isinya yang diuraikan
oleh Wardhana (2010) sebagai berikut :
1. Panas matahari sebagian diserap bumi sebesar 160 watt/m2
2. Panas matahari sebagian dipantulkan kembali oleh atmosfer.
dan memanasi
3. Panas matahari sebagian dipantulkan oleh bumi dan diteruskan oleh atmosfer.
4. Panas matahari sebagian dipantulkan kembali oleh Gas Rumah Kaca sebesar
30 watt/m2
ke bumi dan menjadikan bumi, atmosfer dan lingkungan menjadi
panas.
2.2. Gas Rumah Kaca
Gas Rumah Kaca (GRK) adalah gas-gas di atmosfer yang bertanggung
jawab sebagai penyebab pemanasan global dan perubahan iklim. Gas-gas rumah
kaca yang utama adalah karbon dioksida (CO2), metan (CH4) dan Nitrogen oksida
(N2O). Gas-gas rumah kaca yang kurang umum, tetapi sangat kuat, adalah
hydrofluorocarbons (HFCs), perfluorocarbons (PFCts) dan sulphur hexafluoride
(SF6
Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan karena
terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfer. Keseimbangan
tersebut dipengaruhi antara lain oleh peningkatan gas-gas asam arang atau
karbondioksida (CO ) (TPIBLK 2010b).
2), metana (CH4) dan nitrogen oksida (N2O) yang lebih
dikenal dengan gas rumah kaca (GRK). Saat ini konsentrasi GRK sudah mencapai
tingkat yang membahayakan iklim bumi dan keseimbangan ekosistem.
Peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer sebagai akibat adanya pengelolaan
lahan yang kurang tepat, antara lain adanya pembakaran vegetasi hutan dalam
skala luas pada waktu yang bersamaan dan adanya pengeringan lahan gambut.
Kegiatan-kegiatan tersebut umumnya dilakukan pada awal alih guna lahan hutan
Emisi rumah kaca sebagai penyebab terjadinya pemanasan global.
Industrialisasi dan pembangunan memberikan andil terciptanya pemanasan global.
Sudah banyak upaya untuk menekan atau mencegah peningkatan pemanasan
global, tidak hanya dalam konteks lokal, tetapi juga di level internasional dan
nasional (Rudy 2008).
Akumulasi gas rumah kaca akibat perubahan tutupan lahan dan kehutanan
diperkirakan sebesar 20% dari total emisi global yang berkontribusi terhadap
pemanasan global dan perubahan iklim. Hal ini menegaskan bahwa upaya mitigasi
perubahan iklim perlu melibatkan sektor perubahan tutupan lahan dan kehutanan.
Mengingat hutan berperan sangat penting tidak hanya sebagai penyimpan karbon,
tetapi secara alami juga berfungsi sebagai penyerap karbon yang paling efisien di
bumi sekaligus menjadi sumber emisi gas rumah kaca pada saat tidak dikelola
dengan baik (Manuri et al. 2011).
2.3. Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor :
P.30/Menhut-II/2009 Pasal 1 dinyatakan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi
hutan yang selanjutnya disebut REDD adalah semua upaya pengelolaan hutan
dalam rangka pencegahan dan atau pengurangan penurunan kuantitas tutupan
hutan dan stok karbon yang dilakukan melalui berbagai kegiatan untuk
mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan. Dalam Pasal 2 dijelaskan
bahwa maksud dari kegiatan REDD adalah untuk mencegah dan mengurangi
emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dalam rangka memantapkan tata kelola
deforestasi dan degradasi hutan dalam rangka mencapai pengelolaan hutan
berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD)
merupakan sebuah mekanisme yang dirancang untuk memberikan kompensasi
bagi negara miskin yang mampu memberikan perlindungan bagi hutan mereka
dan mengurangi emisi gas rumah kaca, terutama CO2
Strategi REDD dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK)
menurut Nugroho et al. (2012) meliputi :
. Negara-negara kaya dapat
membeli kredit karbon, atau melakukan “offsets,” (memberikan kompensasi) bagi
negara-negara berkembang yang dapat menjaga hutannya dengan baik, sehingga
emisi bersih pada skala global dapat dikurangi. Sebagai alternatif, REDD dapat
dipisahkan dari pasar kredit karbon, sehingga negara kaya atau negara maju harus
dapat memenuhi komitmen REDD serta mengurangi emisi mereka sendiri
(RECOFTC 2010).
1. Mengurangi laju deforestasi dari hutan ke non hutan secara permanen.
2. Mengurangi degradasi hutan.
3. Menjaga stok karbon melalui konservasi hutan.
4. Meningkatkan stok karbon melalui penanaman/reboisasi dan rehabilitasi lahan
dan hutan.
Menurut CIFOR (2009), ada empat tantangan dalam implementasi skema
REDD di Indonesia, yaitu :
1. Teknologi penghitungan karbon, apakah pemerintah lokal dan masyarakat
2. Pembayaran, bagaimana cara suatu negara dapat memperoleh pembayaran dan
dalam bentuk apa pembayaran itu diberikan? Siapa yang nantinya akan
menerima pembayaran untuk upaya melindungi kawasan hutan tertentu:
pemerintah nasional, masyarakat lokal sekitar hutan atau perusahaan kayu?
3. Akuntabilitas, jika pembayaran REDD dilakukan, namun hutan tetap saja
dirusak, apa yang akan terjadi? Akuntabilitas terkait dengan jaminan bahwa
pembayaran karbon dapat mewujudkan perlindungan hutan berkelanjutan.
4. Pendanaan, apakah sebaiknya negara maju menyediakan dana untuk
memberikan penghargaan bagi negara-negara yang dapat mengurangi
emisinya dari deforestasi? Atau apakah sebaiknya pengurangan emisi ini
dikaitkan dengan sistem perdagangan karbon yang berbasis pasar? Kita perlu
mencari sistem pasar yang paling sesuai.
Transaksi pembayaran REDD merupakan aliran pembayaran dari pembeli
manfaat REDD kepada penghasil manfaat REDD yaitu pihak yang terlibat dalam
rangkaian pengurangan emisi dari deforestasi. Dalam hal ini penghasil manfaat
dapat merupakan pengusul kegiatan REDD. Pengusul REDD dapat berasal dari
pemerintah daerah. Hal ini akan mempengaruhi usulan mekanisme distribusi
pembayaran REDD dan proporsi insentif untuk masing-masing pihak (Indartik et
al. 2010).
2.4. Karbon Tersimpan
Tanaman atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun di
kebun campuran (agroforestri) merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan
karena itu, hutan alami dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang dan
serasah yang banyak merupakan gudang penyimpanan C tertinggi (baik di atas
maupun di dalam tanah). Hutan juga melepaskan CO2 ke udara lewat respirasi dan
dekomposisi (pelapukan) serasah, namun pelepasannya terjadi secara bertahap,
tidak sebesar bila ada pembakaran yang melepaskan CO2 sekaligus dalam jumlah
yang besar. Bila hutan diubah fungsinya menjadi lahan-lahan pertanian atau
perkebunan atau ladang pengembalaan maka C tersimpan akan merosot.
Berkenaan dengan upaya pengembangan lingkungan bersih, maka jumlah CO2 di
udara harus dikendalikan dengan jalan meningkatkan jumlah serapan CO2 oleh
tanaman sebanyak mungkin dan menekan pelepasan (emisi) CO2 ke udara
serendah mungkin. Jadi, mempertahankan keutuhan hutan alami, menanam
pepohonan pada lahan-lahan pertanian dan melindungi lahan gambut sangat
penting untuk mengurangi jumlah CO2
Penghitungan emisi dapat dilakukan dengan menghitung perbedaan
cadangan karbon (carbon stock) pada waktu tertentu (stock difference method).
Perbedaan cadangan karbon tersebut menunjukkan terjadinya pengurangan atau
penambahan stok (emisi atau sink). Untuk pengukuran karbon di tingkat
sub-nasional atau skala proyek REDD, dilakukan melalui kombinasi pengukuran
karbon di lapangan (ground survey) dan remote sensing (TPIBLK 2010b).
yang berlebihan di udara (Hairiah dan
Rahayu 2007).
Karbon hutan tersimpan dalam bentuk biomassa sehingga untuk
mengetahui kandungan karbon yang tersimpan dalam hutan dapat diperoleh
seluruh atau sebagian tubuh organisme, populasi atau komunitas dan dinyatakan
dalam berat kering oven per satuan area (ton/unit area) (Krisnawati 2010).
Peningkatan penyerapan cadangan karbon dapat dilakukan dengan: (a)
meningkatkan pertumbuhan biomasa hutan secara alami, (b) menambah cadangan
kayu pada hutan yang ada dengan penanaman pohon atau mengurangi pemanenan
kayu, dan (c) mengembangkan hutan dengan jenis pohon yang cepat tumbuh.
Karbon yang diserap oleh tanaman disimpan dalam bentuk biomasa kayu,
sehingga cara yang paling mudah untuk meningkatkan cadangan karbon adalah
dengan menanam dan memelihara pohon (Hairiah dan Rahayu 2007).
Sutaryo (2009) mengemukakan dalam inventarisasi karbon hutan, carbon
pool yang diperhitungkan setidaknya ada 4 kantong karbon. Keempat kantong
karbon tersebut adalah :
1. Biomassa atas permukaan
Semua material hidup di atas permukaan. Termasuk bagian dari kantong
karbon ini adalah batang, tunggul, cabang, kulit kayu, biji dan daun dari
vegetasi baik dari strata pohon maupun dari strata tumbuhan bawah di lantai
hutan.
2. Biomassa bawah permukaan
Semua biomassa dari akar tumbuhan yang hidup. Pengertian akar ini berlaku
hingga ukuran diameter tertentu yang ditetapkan. Hal ini dilakukan sebab akar
tumbuhan dengan diameter yang lebih kecil dari ketentuan cenderung sulit
3. Bahan organik mati
Meliputi kayu mati dan serasah. Serasah dinyatakan sebagai semua bahan
organik mati dengan diameter yang lebih kecil dari diameter yang telah
ditetapkan dengan berbagai tingkat dekomposisi yang terletak di permukaan
tanah. Kayu mati adalah semua bahan organik mati yang tidak tercakup dalam
serasah baik yang masih tegak maupun yang roboh di tanah, akar mati, dan
tunggul dengan diameter lebih besar dari diameter yang telah ditetapkan.
4. Karbon organik tanah
Mencakup carbon pada tanah mineral dan tanah organik termasuk gambut.
2.5. Peran Hutan dalam Penyimpanan Karbon
Peranan hutan dalam mencegah dan mengurangi emisi karbon atau
mitigasi perubahan iklim dapat dilihat dari berbagai kemungkinan menurut
Thomson (2008) sebagai berikut:
1. Mengurangi kebakaran hutan dan emisi gas rumah kaca.
2. Mempertahankan penutupan hutan dan potensinya untuk mencegah perubahan
iklim.
3. Pengaturan kegiatan manajemen hutan untuk menangkap atau menyerap
tambahan CO di atmosfer.
4. Penangkapan dan penyimpanan karbon dalam pool karbon hutan dan
penggunaan kayu dalam jangka panjang.
5. Mengembangkan pasar perdagangan karbon dan menciptakan insentif untuk
Hutan-hutan Indonesia menyimpan jumlah karbon yang sangat besar.
Menurut FAO, dengan jumlah total vegetasi hutan di Indonesia yang terus
meningkat, dapat menghasilkan lebih dari 14 milliar ton biomassa, jauh lebih
tinggi daripada negara-negara lain di Asia dan setara dengan 20% biomassa di
seluruh hutan tropis di Afrika. Jumlah biomassa ini secara kasar menyimpan 3,5
milliar ton karbon (FWI 2003).
Tekanan manusia terhadap sumber daya hutan, menyebabkan deforestasi
dan degradasi terhadap hutan yang ada. Penurunan jumlah dan kualitas hutan
tidak hanya menyebabkan berkurangnya jumlah karbon yang tersimpan, tetapi
juga menyebabkan pelepasan emisi karbon ke atmosfer serta mengurangi
kemampuan hutan dalam menyerap karbon. Karenanya hutan berperan penting di
dalam upaya mitigasi perubahan iklim, melalui penyerapan CO2
Cadangan karbon pada berbagai kelas penutupan lahan di hutan alam
berkisar antara 7,5 – 264,70 ton C/ha. Secara umum pada hutan lahan kering
primer mampu menyimpan karbon dalam jumlah lebih besar dibandingkan dengan
hutan lahan kering sekunder karena pada hutan sekunder telah terjadi gangguan
terhadap tegakannya. Kebakaran, ekstraksi kayu, pemanfaatan lahan untuk
bercocok tanam dan kejadian atau aktivitas lainnya di kawasan hutan yang
menyebabkan berkurangnya potensi biomassa yang berindikasi langsung terhadap
kemampuannya menyimpan karbon. Pola tersebut juga terjadi pada hutan rawa
primer dan hutan rawa sekunder. Selanjutnya pada hutan lahan kering relatif
memiliki kemampuan menyimpan karbon dalam jumlah lebih besar daripada
hutan rawa dan mangrove karena kemampuannya dalam membangun tegakan menjadi
yang tinggi dan berdiameter besar sebagai tempat menyimpan karbon (TPIBLK
2010a).
Karbon pohon merupakan salah satu sumber karbon yang sangat penting
pada ekosistem hutan, karena sebagian besar karbon hutan berasal dari biomasa
pohon. Pohon merupakan proporsi terbesar penyimpanan C di daratan.
Pengukuran biomasa pohon dapat dilakukan dengan cara pengukuran langsung
hasil penebangan (destruktif sampling) dan cara tidak langsung dengan
menggunakan persamaan alometrik yang didasarkan pada pengukuran diameter
batang. Beberapa persamaan alometrik yang dapat digunakan untuk hutan tropis
telah disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan secara global maupun lokal
(TPIBLK 2010b).
Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) digalakkan oleh pemerintah
untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan penerapan sistem
silvikultur yang intensif. Rehabilitasi kawasan hutan produksi yang telah rusak
dan tidak produktif merupakan sasaran utama pembangunan HTI disamping
menghasilkan devisa dari hasil proses produksi pabrik pengolahan kayu HTI
(Ulya 2006). Penyerapan CO2
Karbondioksida dianggap sebagai gas rumah kaca utama karena memiliki
laju pertambahan emisi yang tinggi, waktu tinggal di atmosfer yang lama dan
tingginya emisi yang berasal dari sektor industri. Berdasarkan hasil-hasil
penelitian yang telah dilakukan pada beberapa jenis hutan tanaman, hutan dapat dijadikan penambah pendapatan selain kayu
dan hasil hutan bukan kayu bagi kehutanan Indonesia dan mendorong terciptanya
diserap oleh hutan tanaman dari jenis Eucalyptus grandis, Acacia mangium,
meranti dan jati berturut-turut adalah 31,948 ton/CO2/ha; 30,100 ton/ CO2/ha;
18,640 ton/CO2/ha; dan 5,800 ton/CO2/ha. Dengan peran tersebut, adanya kondisi
hutan yang terjaga akan mampu menjaga konsentrasi CO2
Residu biomassa dari hutan tanaman berpotensi besar sebagai sumber
energi, dimana program pemanfaatannya bisa diintegrasikan dengan kegiatan lain
berbasis sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. Dalam implementasinya,
program pengembangan bioenergi di daerah sekitar hutan ini selain berkontribusi
dalam peningkatan taraf dan kualitas hidup masyarakat yang umumnya
berpenghasilan rendah, juga dapat menjadi sarana komunikasi yang efektif untuk
tujuan pengelolaan hutan berkelanjutan. Dengan limpahan residu dari biomassa
hutan yang sangat besar, maka implementasi energi biomassa memiliki prospek
yang besar. Di samping itu pemanfaatan biomassa menjadi energi pun dapat
mengurangi emisi CO
di atmosfer tetap stabil.
Hal ini berarti pula beberapa bencana alam yang sering dihubungkan dengan
fenomena gas rumah kaca dan perubahan iklim global akan dapat dicegah
(Junaedi 2008).
2 baik dari respirasi akibat dekomposisi maupun dari
kemungkinan kebakaran, serta berkontribusi besar pada penurunan penggunaan
bahan bakar fosil yang semakin langka dan mahal (Heriansyah 2005b).
2.6. Eucalyptus
Eucalyptus spp. termasuk famili Myrtaceae, terdiri dari kurang lebih 700
jenis. Jenis Eucalyptus dapat berupa semak atau perdu. Umumnya berbatang
sedikit ramping, ringan dan banyak meloloskan sinar matahari. Percabangannya
lebih banyak membuat sudut ke atas, jarang-jarang dan daunnya tidak begitu
lebat. Daunnya berbentuk lanset hingga bulat telur memanjang dan bagian
ujungnya runcing membentuk kait. Pada pohon yang masih muda letak daunnya
berhadapan bentuk dan ukurannya sering berbeda dan lebih besar daripada pohon
tua. Pada umur tua, letak daun berselang seling (Irwanto 2007).
Jenis-jenis Eucalyptus terutama hidup pada iklim bermusim dan daerah
yang beriklim basah dari tipe hujan tropis. Jenis Eucalyptus tidak menuntut
persyaratan yang tinggi terhadap tempat tumbuhnya. Eucalyptus dapat tumbuh
pada tanah yang dangkal, berbatu-batu, lembab, berawa-rawa, secara periodik
digenangi air, dengan variasi kesuburan tanah mulai dari tanah-tanah kurus
gersang sampai pada tanah yang baik dan subur. Jenis Eucalyptus dapat tumbuh di
daerah beriklim A sampai C dan dapat dikembangkan mulai dari dataran rendah
sampai daerah pegunungan yang tingginya per tahun yang sesuai bagi
pertumbuhannya antara 0 - 1 bulan dan suhu rata-rata per tahun 20°-32o
PT. Toba Pulp Lestari, Tbk sejak pesatnya perkembangan pembangunan
hutan tanaman telah memproduksi bibit secara generatif dan vegetatif. Namun
sejak awal Tahun 2002 penggunaan bibit secara generatif tidak dikembangkan
lagi karena dengan sistem vegetatif yang dihasilkan dalam bentuk klon-klon yang C (Irwanto
2007). Eucalyptus umumnya mempunyai arsitektur tajuk ringan mengakibatkan
intensitas penutupan tajuk relatif ringan. Kondisi tersebut memberikan peluang
besar bagi air hujan untuk lolos dari cegatan tajuk (intersepsi tajuk), sehingga air
mempunyai potensi yang lebih seragam dalam hal pemenuhan volume pohon
untuk memenuhi kebutuhan perusahaan (jumlah dan kualitas) dan perawatannya
juga lebih mudah. Jenis-jenis bibit Eucalyptus yang diproduksi oleh PT. Toba
Pulp Lestari, Tbk adalah Eucalyptus grandis, Eucalyptus urophylla, dan
Eucalyptus hybrid. Sedangkan benih Eucalyptus yang diproduksi di Nursery PT
Toba Pulp lestari, Tbk berasal dari beberapa daerah di Indonesia (PT. TPL 2005).
Kemampuan Eukaliptus dalam menyerap karbon terbesar berdasarkan
perbandingan umur pada setiap jenis yaitu pada umur 1 tahun terbesar terdapat
pada E.Ind 33, pada umur 2 tahun terdapat pada E.Ind 32, pada umur 3 tahun
terdapat pada E.Ind 47 dan pada umur 4 tahun didapat besar penyimpanan karbon
tertinggi pada E.Ind 33. Dibandingkan dengan Eucalyptus grandis bahwa E.Ind
33 memiliki kemampuan lebih besar dalam menyerap karbon di udara (Hutabarat
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada Bulan Maret 2012 sampai dengan Mei 2012.
Penelitian dilaksanakan pada Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada
Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) PT. Toba Pulp Lestari, Tbk Sektor Aek Nauli
Kabupaten Simalungun dan Sektor Tele Kabupaten Samosir Provinsi Sumatera
Utara serta di Laboratorium Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara.
PT. Toba Pulp Lestari, Tbk Sektor Aek Nauli Kabupaten Simalungun
memiliki formasi geologi Tuf Toba Masam, Perbukitan dan Pegunungan dengan
jenis tanah secara umum berdasarkan klasifikasi USDA adalah Dystropepts dan
Hydrandepts dan berdasarkan klasifikasi FAO adalah Latosol Coklat dan
Andosol. Tipe iklim masuk dalam tipe A (sangat basah) dengan curah hujan
rata-rata 238 mm/bulan. Ketinggian tempat berkisar 250 – 1.500 mdpl.
PT. Toba Pulp Lestari, Tbk Sektor Tele Kabupaten Samosir memiliki
formasi geologi secara umum Tuf Toba Masam dengan jenis tanah secara umum
berdasarkan klasifikasi USDA adalah Dystropepts, Andaquepts, Troporthents dan
Hydrandepts dan berdasarkan klasifikasi FAO adalah Latosol Coklat dan Andosol
Coklat. Tipe iklim masuk dalam tipe A (sangat basah) dengan curah hujan
rata-rata 220 mm/bulan. Ketinggian tempat berkisar 900 – 1.850 mdpl.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian adalah tegakan
Eucalyptus sp., tumbuhan bawah dan nekromassa. Alat yang digunakan dalam
pelaksanaan penelitian adalah Global Positioning System (GPS), spidol, parang,
pita ukur (meteran), tali rafia, phiband, timbangan, neraca analitik, oven, blangko
pengamatan, kamera digital, gunting, kantong plastik, kantong kertas semen,
kuadran, sekop, ayakan dan ember.
3.3. Metode Penelitian
Variabel yang diambil dalam penelitian ini adalah kelas umur dan
ketinggian tempat tumbuh tegakan Eucalyptus sp. Variabel kelas umur dibagi atas
kelas umur 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun, 4 tahun dan 5 tahun. Variabel ketinggian
tempat tumbuh dibagi atas ketinggian < 1.000 mdpl, 1.000 – 1.500 mdpl dan
> 1.500 mdpl. Masing-masing variabel dilakukan 3 (tiga) ulangan/petak
pengukuran.
3.3.1. Pendugaan potensi karbon tersimpan
Penelitian untuk pendugaan potensi karbon tersimpan dilaksanakan di
lapangan dan di laboratorium. Pengumpulan data dan pengambilan sampel
dilaksanakan di lapangan dan pengujian sampel dilaksanakan di laboratorium.
Penelitian di lapangan dilaksanakan dengan membuat petak pengukuran dengan
metode jalur. Pengukuran tegakan Eucalyptus sp. menggunakan metode non
destructive, pengukuran tumbuhan bawah dan nekromassa dengan metode
destructive. Sampel yang didapatkan di lapangan akan diuji di laboratorium. Hasil
pengaruh variabel yang diambil dalam penelitian ini terhadap pendugaan potensi
karbon tersimpan yang dihasilkan.
3.3.2. Penyerapan karbon dioksida
Hasil pendugaan potensi karbon tersimpan yang paling kecil dan paling
optimal menjadi data untuk perhitungan penyerapan karbon dioksida. Penyerapan
karbon dioksida didapat dengan mengkonversi data potensi karbon tersimpan.
3.3.3. Nilai jasa lingkungan dari penyerapan karbon dioksida
Nilai jasa lingkungan dari penyerapan karbon dioksida diperoleh dengan
mengalikan nilai penyerapan karbon dioksida dengan harga karbon yang berlaku.
3.3.4. Mekanisme penerapan reducing emissions from deforestation and forest degradation (REDD) hutan tanaman Eucalyptus sp.
Kajian penerapan Reducing Emissions from Deforestation and Forest
Degradation (REDD) dari Hutan Tanaman Eucalyptus sp. didasarkan pada hasil
pendugaan potensi karbon tersimpan, penyerapan karbon dioksida dan nilai jasa
lingkungan yang telah diperoleh. Kajian dilakukan dengan cara mendeskripsikan
hasil-hasil yang diperoleh tersebut berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan
Republik Indonesia Nomor : P.30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan
Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD).
3.4. Pelaksanaan Penelitian
3.4.1. Pendugaan potensi karbon tersimpan
Penelitian untuk mencari pendugaan potensi karbon tersimpan
persamaan allometrik yang telah ada sebelumnya serta perhitungan biomassa
tumbuhan bawah dan nekromassa berdasarkan berat kering dari hasil uji
laboratorium.
3.4.1.1. Pengukuran biomassa tegakan Eucalyptus sp.
Biomassa tegakan pada hutan tanaman diukur pada petak pengukuran.
Penentuan petak pengukuran ditentukan secara simple random sampling. Menurut
Hanafiah (2006), metode pengambilan sampel ini digunakan apabila kita memilih
sampel dari populasi yang berkarakteristik homogen seperti seareal lahan Hutan
Tanaman Industri (HTI) yang ditumbuhi oleh sejenis tanaman hutan yang
pertumbuhannya seragam.
Petak pengukuran dibuat dengan ukuran 6 m x 40 m. Pengukuran
dilakukan dengan cara non destructive. Data biomassa tegakan diperoleh dengan
mengukur diameter setinggi dada (dbh) semua tegakan yang terdapat di dalam
petak pengukuran. Perhitungan biomassa tegakan menggunakan persamaan
allometrik yang telah didapatkan oleh Eamus et al. (2000) sebagai berikut :
B = 0,162 x D
dimana, B = Biomassa Tegakan dan D = Diameter setinggi dada (dbh)
2,383
3.4.1.2. Pengukuran biomassa tumbuhan bawah
Biomassa tumbuhan bawah diukur pada petak pengukuran (kuadran)
dengan ukuran 0,5 m x 0,5 m yang terletak di dalam petak pengukuran biomassa
tegakan Eucalyptus sp. Pengambilan sampel biomassa tumbuhan bawah harus
dilakukan dengan metode destructive. Tumbuhan bawah yang diambil sebagai
sampel adalah herba dan rumput-rumputan yang terdapat dalam kuadran. Semua
Pada uji laboratorium, sampel tumbuhan bawah yang diambil ditimbang
berat basah daun atau batang. Selanjutnya ambil subsampel tanaman dari
masing-masing biomassa daun dan batang sekitar 100 gr. Bila biomassa sampel yang
didapatkan hanya sedikit (< 100 gr), maka semua sampel ditimbang dan jadikan
sebagai subsampel. Subsampel dikeringkan dalam oven pada suhu 80 o
Total berat kering tumbuhan bawah per kuadran dihitung dengan rumus
sebagai berikut (Hairiah dan Rahayu 2007) :
C selama 2
x 24 jam. Setelah pengovenan selesai, ditimbang berat keringnya.
������� (��) =BK subsampel (gr)
BB subsampel (gr) x Total BB (gr)
dimana, BK = berat kering dan BB = berat basah
3.4.1.3. Pengukuran nekromassa
Pengukuran nekromassa dilakukan terhadap nekromassa berkayu dan
nekromassa tidak berkayu. Nekromassa berkayu berupa pohon mati yang masih
berdiri maupun yang roboh, tunggul tanaman, cabang dan ranting. Nekromassa
tidak berkayu berupa serasah daun yang masih utuh (serasah kasar) dan bahan
organik lainnya yang telah terdekomposisi sebagian serta berukuran > 2 mm
(serasah halus).
Pengukuran nekromassa berkayu dengan mengukur diameter semua pohon
mati yang berdiri maupun yang roboh, tunggul tanaman mati, cabang dan ranting.
Selanjutnya nekromassa tersebut dihitung dengan menggunakan persamaan
perhitungan biomassa tegakan. Pengukuran ini dilakukan pada petak pengukuran
yang sama dengan petak pengukuran tegakan.
ranting-ranting gugur yang terdapat dalam tiap-tiap kuadran dimasukkan ke dalam
kantong kertas dan diberi label sesuai variabel pengukuran. Pengambilan sampel
ini dilakukan pada petak pengukuran yang sama dengan petak pengukuran
tumbuhan bawah.
Pada uji laboratorium, semua serasah dikeringkan di bawah sinar matahari.
Bila sudah kering goyang-goyangkan dan ditimbang sampel serasah kering
matahari (gr). Selanjutnya ambil subsampel serasah dari sekitar 100 gr. Bila
biomassa sampel yang didapatkan hanya sedikit (< 100 gr), maka semua sampel
ditimbang dan jadikan sebagai subsampel. Subsampel dikeringkan dalam oven
pada suhu 80 o
Total berat kering tumbuhan bawah per kuadran dihitung dengan rumus
sebagai berikut (Hairiah dan Rahayu 2007) :
C selama 2 x 24 jam. Setelah pengovenan selesai, ditimbang berat
keringnya.
������� (��) =BK subsampel (gr)
BB subsampel (gr) x Total BB (gr)
dimana, BK = berat kering dan BB = berat basah
3.4.1.4. Pengukuran potensi karbon tersimpan
Semua data biomassa dan nekromasa yang telah diperoleh di jumlahkan
per variabel pengukuran yang merupakan estimasi akhir jumlah C tersimpan.
Konsentrasi C dalam bahan organik biasanya sekitar 46%, oleh karena itu estimasi
potensi karbon tersimpan per komponen dapat dihitung dengan mengalikan
total berat massanya dengan konsentrasi C, sebagai berikut (Hairiah dan
Rahayu 2007) :
3.4.2. Penyerapan karbon dioksida
Data penyerapan karbon dioksida dapat dihitung melalui persamaan
kimiawi (C + 02 → CO2), dimana 1 gram karbon (C) equivalen dengan 3,67 gram
CO2 sehingga jumlah CO2
CO
yang dapat diserap oleh tegakan hutan adalah jumlah
karbon tersimpan dikali dengan 3,67 atau dengan rumus (Mirbach 2000) :
2
dimana, CO
= C x 3,67
2
3.4.3. Nilai jasa lingkungan dari penyerapan karbon dioksida
= penyerapan karbon dioksida dan C = potensi karbon tersimpan
Nilai jasa lingkungan dari penyerapan karbon dioksida diperoleh dengan
mengalikan nilai penyerapan karbon dioksida dengan harga karbon yang berlaku
dikurangi dengan biaya transaksi. Harga karbon yang digunakan mengacu pada
The World Bank (2011) sebesar US$5,8 per ton CO2
3.4.4. Mekanisme penerapan reducing emissions from deforestation and
e. Antinori dan Sathaye
(2007) menyatakan biaya transaksi adalah biaya yang dikeluarkan untuk proses
administrasi, monitoring dan verifikasi jasa pengurangan emisi dan penyerapan
karbon dioksida. Besarnya biaya transaksi pada sektor kehutanan adalah US$1,23.
forest degradation (REDD) hutan tanaman Eucalyptus sp.
Kajian penerapan Reducing Emissions from Deforestation and Forest
Degradation (REDD) dari Hutan Tanaman Eucalyptus sp. didasarkan pada hasil
pendugaan potensi karbon tersimpan, penyerapan karbon dioksida dan nilai jasa
lingkungan yang telah diperoleh. Kajian dilakukan dengan cara mendeskripsikan
hasil-hasil yang diperoleh tersebut berdasarkan peraturan dan kebijakan yang
a. Areal/lahan, lokasi dan jenis tegakan yang tumbuh di atasnya.
b. Data stok karbon dan penyerapan karbon dioksida.
c. Estimasi pendapatan dari REDD.
d. Pelaku REDD.
e. Kelengkapan persyaratan REDD.
f. Verifikasi dan sertifikasi.
3.5. Analisis Data
Analisis data yang digunakan untuk pendugaan potensi karbon tersimpan
adalah analisis ragam Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial dengan 2
(dua) variabel penelitian yaitu kelas umur dan ketinggian tempat tumbuh.
Kombinasi perlakuan variabel seperti pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Kombinasi Perlakuan Pendugaan Potensi Karbon Tersimpan Hutan Tanaman Eucalyptus sp.
Kelas Umur (A) Ketinggian Tempat Tumbuh (B)
B1 B2 B3
A1 A1 B1 A1 B2 A1 B3
A2 A2 B1 A2 B2 A2 B3
A3 A3 B1 A3 B2 A3 B3
A4 A4 B1 A4 B2 A4 B3
A5 A5 B1 A5 B2 A5 B3
Keterangan :
A = Kelas Umur (1 tahun, 2 tahun, 3 tahun, 4 tahun dan 5 tahun)
B = Ketinggian Tempat Tumbuh (< 1.000 mdpl, 1.000 – 1.500 mdpl dan
Hipotesis yang digunakan adalah :
Ho
H
: Variabel penelitian tidak berpengaruh terhadap pendugaan potensi karbon
tersimpan hutan tanaman Eucalyptus sp.
1
Untuk mengetahui pengaruh variabel penelitian terhadap pendugaan
potensi karbon tersimpan hutan tanaman Eucalyptus sp. dilakukan analisis
keragaman dengan kriteria uji jika F hitung < F tabel maka H
: Variabel penelitian berpengaruh terhadap pendugaan potensi karbon
tersimpan hutan tanaman Eucalyptus sp.
0 diterima dan jika F
hitung > F tabel maka H0 ditolak. Untuk mengetahui variabel penelitian mana
yang berpengaruh maka pengujian dilanjutkan dengan menggunakan Uji Wilayah
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pendugaan Potensi Karbon Tersimpan 4.1.1. Biomassa tegakan Eucalyptus sp.
Data hasil pengukuran biomassa tegakan Eucalyptus sp. disajikan pada
Lampiran 1 dan grafik biomassa tegakan Eucalyptus sp. rata-rata disajikan pada
Gambar 4.1.
Gambar 4.1. Grafik Biomassa Tegakan Eucalyptus sp.
Dari Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa nilai biomassa tegakan Eucalyptus
sp. meningkat dengan bertambahnya umur tetapi menurun dengan naiknya
ketinggian tempat tumbuh. Nilai biomassa tegakan Eucalyptus sp. yang dihasilkan
berkisar antara 11,25 – 188,189 ton/ha dengan rata-rata 99,84 ton/ha. Nilai
umur 1 tahun pada ketinggian > 1.500 mdpl, sedangkan yang tertinggi didapat
pada tegakan Eucalyptus sp. umur 5 tahun pada ketinggian < 1.000 mdpl.
Nilai biomassa tegakan Eucalyptus sp. hasil penelitian dipengaruhi oleh
diameter tegakan, dimana semakin besar diameter tegakan maka semakin besar
pula biomassa tegakan. Hal ini berkaitan juga dengan umur tegakan, dimana
semakin besar umur tegakan maka diameter tegakan pun semakin besar. Siahaan
(2009) menyatakan bahwa diameter batang tanaman Eucalyptus sp. semakin besar
dengan semakin bertambahnya umur. Rata-rata diameter setinggi dada tanaman
Eucalyptus sp. pada plot ukur setiap umur adalah 3,2 cm, 8,9 cm, 12,1 cm, 12,7
cm, 14,7 cm. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian Elias et al
(2010) pada pohon Acacia mangium yang mengemukakan kadar karbon dalam
biomassa komponen-komponen pohon A. mangium terlihat semakin tinggi seiring
dengan semakin besarnya diameter pohon. Data hubungan antara diameter
tegakan dengan biomassa tegakan disajikan pada Lampiran 2.
Berdasarkan analisis regresi linier sederhana yang disajikan pada
Lampiran 7, didapatkan bahwa koefisien bebas (a2) sebesar 16,379 dan koefisien
terikat (a1
Ŷ = -74,716 + 16,379 X
) sebesar -74,716 sehingga persamaan regresinya sebagai berikut :
dimana Ŷ adalah Biomassa Tegakan (ton/ha) dan X adalah diameter tegakan (cm)
Berdasarkan pengujian parameter untuk koefisien α2, didapatkan bahwa
nilai koefisien α2 untuk α = 5% sangat mempengaruhi nilai taksiran dari
biomassa tegakan, sehingga nilai biomassa tegakan memiliki hubungan linear
tegakan telah dapat dijelaskan oleh data diameter. Gambar 4.2 berikut
menampilkan hubungan linear antara biomassa tegakan dan diameter tegakan.
Gambar 4.2. Hubungan Linear antara Biomassa Tegakan dan Diameter Tegakan
Nilai biomassa tegakan Eucalyptus sp. berdasarkan ketinggian tempat
tumbuh berturut-turut semakin menurun dari ketinggian < 1.000 mdpl, 1.000 –
1.500 mdpl dan > 1.500 mdpl. Ketinggian tempat tumbuh berkaitan dengan
temperatur udara, dimana semakin naik elevasi suatu daerah maka temperatur
udara akan semakin rendah, sehingga akan mempengaruhi kemampuan tegakan
untuk tumbuh dan berkembang.
4.1.2. Biomassa tumbuhan bawah
Data hasil pengukuran biomassa tumbuhan bawah hutan tanaman
Eucalyptus sp. disajikan pada Lampiran 3 dan grafik biomassa tumbuhan bawah
Gambar 4.3. Grafik Biomassa Tumbuhan Bawah Hutan Tanaman Eucalyptus sp.
Dari Gambar 4.3 dapat dilihat bahwa nilai biomassa tumbuhan bawah pada
hutan tanaman Eucalyptus sp. secara umum menurun dengan bertambahnya umur
dari umur 1 tahun ke umur 3 tahun, tetapi pada umur 4 tahun dan 5 tahun nilainya
meningkat kembali. Nilai biomassa tumbuhan bawah pada hutan tanaman
Eucalyptus sp. juga menurun dengan naiknya ketinggian tempat tumbuh kecuali
pada ketinggian 1000 – 1500 mdpl. Nilai biomassa tumbuhan bawah yang
dihasilkan berkisar antara 0,41 – 5,13 ton/ha dengan rata-rata 1,95 ton/ha. Nilai
biomassa tumbuhan bawah terendah didapat pada tumbuhan bawah umur 3 tahun
pada ketinggian 1.000 - 1.500 mdpl, sedangkan yang tertinggi didapat pada
Rendahnya nilai biomassa tumbuhan bawah pada umur 1 tahun, 2 tahun
dan 3 tahun pada hutan tanaman Eucalyptus sp. karena pada umumnya di hutan
tanaman masih terdapat kegiatan pemeliharaan terhadap tapak tegakan, seperti
penyemprotan dan pembersihan hama serta pemupukan. Hal ini menyebabkan
hanya sedikit tumbuhan bawah yang hidup. Sedangkan pada umur 4 tahun dan 5
tahun, kegiatan pemeliharaan terhadap tapak tegakan tidak dilakukan lagi,
sehingga banyak tumbuhan bawah yang hidup. Siahaan (2009) menambahkan
tumbuhan bawah merupakan salah satu tempat penyimpanan karbon pada tegakan
Eucalyptus sp. Pertumbuhan tumbuhan bawah dikontrol untuk mendukung
pertumbuhan tanaman menggunakan bahan kimia yang disempotkan secara
berkala.
Kegiatan penjarangan yang dilakukan terhadap tegakan, baik pada batang,
cabang maupun ranting juga berpengaruh terhadap pertumbuhan tumbuhan
bawah. Hal ini berkaitan dengan intensitas cahaya matahari yang dapat diterima
oleh tumbuhan bawah. Semakin banyak cahaya matahari yang diterima tumbuhan,
berarti semakin baik proses fotosintesis pada tumbuhan tersebut. Pada lokasi
penelitian, penjarangan mulai dilaksanakan pada tegakan yang berumur 3 tahun.
Kegiatan penjarangan ini menyebabkan kerapatan tegakan menjadi berkurang dan
intensitas cahaya matahari yang masuk menjadi semakin besar, sehingga
tumbuhan bawah pada umur 4 tahun dan 5 tahun semakin banyak. Dibandingkan
dengan tegakan umur 1 tahun, 2 tahun dan 3 tahun, tegakan masih sangat rapat,
intensitas cahaya matahari sedikit dan tumbuhan bawah yang tumbuh pun sedikit.
Nilai biomassa tumbuhan bawah pada hutan tanaman Eucalyptus sp.
bawah lebih dapat bertahan hidup pada ketinggian yang tidak terlalu tinggi,
dimana temperatur tidak terlalu rendah dan tanahnya tidak lembab. Kondisi
lapangan pada Sektor Tele dengan ketinggian < 1.500 mdpl menunjukkan
temperatur udara berkisar 25 – 28oC dan kondisi tanah lembab dan hanya sedikit
tumbuhan bawah yang tumbuh. Sedangkan kondisi lapangan pada Sektor Aek
Nauli sebagai lokasi penelitian dengan ketinggian > 1.000 mdpl dan 1.000 – 1.500
mdpl memiliki temperatur yang lebih tinggi dan tanahnya lebih kering
dibandingkan pada Sektor Tele. Kondisi ini menyebabkan tumbuhan bawah lebih
banyak tumbuh.
4.1.3. Nekromassa
Data hasil pengukuran nekromassa hutan tanaman Eucalyptus sp. disajikan
pada Lampiran 4 dan grafik nekromassa hutan tanaman Eucalyptus sp. rata-rata
disajikan pada Gambar 4.4.
1 tahun 2 tahun 3 tahun 4 tahun 5 tahun
Dari Gambar 4.4 dapat dilihat bahwa nilai nekromassa pada hutan tanaman
Eucalyptus sp. secara umum menurun dengan bertambahnya umur dari umur 1
tahun ke umur 3 tahun, tetapi pada umur 4 tahun dan 5 tahun nilainya meningkat
kembali. Nilai nekromassa pada hutan tanaman Eucalyptus sp. juga menurun
dengan naiknya ketinggian tempat tumbuh, kecuali pada ketinggian 1000 – 1500
mdpl. Nilai nekromassa yang dihasilkan berkisar antara 10,73 – 15,50 ton/ha
dengan rata-rata 12,71 ton/ha. Nilai nekromassa terendah didapat pada
nekromassa umur 2 tahun pada ketinggian > 1.500 mdpl, sedangkan yang
tertinggi didapat pada nekromassa umur 5 tahun pada ketinggian 1.000 – 1.500
mdpl.
Nilai nekromassa hutan tanaman Eucalyptus sp. yang rendah pada umur 2
tahun dan 3 tahun disebabkan karena belum banyaknya bahan organik yang mati
yang berasal dari ranting, cabang dan daun tegakan Eucalyptus sp. Nilai
nekromassa pada umur 1 tahun lebih tinggi daripada umur 2 tahun dan 3 tahun
disebabkan karena masih terdapatnya sisa-sisa pemanenan yang belum terangkut,
terutama cabang dan ranting tegakan. Sedangkan nilai nekromassa yang semakin
meningkat pada umur 4 tahun dan 5 tahun karena sudah banyaknya ranting,
cabang dan daun tegakan Eucalyptus sp. yang gugur. Gambar 4.5. menampilkan
perbandingan nekromassa hutan tanaman Eucalyptus sp. pada umur 1 tahun
Gambar 4.5. Nekromassa Hutan Tanaman Eucalyptus sp.
(a = sisa penebangan pada umur 1 tahun; b = umur 2 tahun; c = umur 3 tahun; d = umur 4 tahun; e = umur 5 tahun)
Karbon tersimpan dipengaruhi juga oleh produktivitas serasah. Tanaman
Eucalyptus sp. yang mempunyai daun dengan ciri morfologi kecil dan tipis
menyebabkan mudahnya daun tersebut untuk gugur, sehingga pada umur 4 tahun
dan 5 tahun terdapat lebih banyak serasah di bandingkan pada umur pertumbuhan
sebelumnya. Kecepatan pelapukan yang lambat di atas permukaan tanah
menyebabkan banyaknya serasah yang ada sehingga nilai karbon tersimpannya
juga tinggi. Hairiah et al (2004) menyatakan makin tebal daun makin sulit lapuk,
demikian pula bila daun makin mengkilat dan berminyak dipermukaannya makin
lambat lapuk. Bentuk dan ukuran tidak berpengaruh terhadap kecepatan
pelapukan daun. Kecepatan pelapukan serasah di permukan tanah hutan berjalan
paling lambat, dimana sekitar 50% dari serasah yang ada di permukaan tanah
hilang terlapuk pada saat 101 minggu. Mindawati (2011) menambahkan sifat
a b
serasah lebih besar dari laju dekomposisi. Produktivitas serasah tegakan hibrid E.
urograndis berkisar antara 3,5-5,3 ton/ha/tahun pada rotasi 1 dan sekitar 3,7-6,2
ton/ha/tahun pada rotasi 2. Produktivitas serasah dipengaruhi oleh faktor
lingkungan terutama curah hujan, suhu dan faktor kesuburan tanah di samping
faktor genetik tanaman.
4.1.4. Potensi karbon tersimpan
Data hasil potensi karbon tersimpan hutan tanaman Eucalyptus sp.
disajikan pada Lampiran 5 dan grafik potensi karbon tersimpan hutan tanaman
Eucalyptus sp. rata-rata disajikan pada Gambar 4.6.
Gambar 4.6. Grafik Potensi Karbon Tersimpan Hutan Tanaman
Eucalyptus sp.
Dari Gambar 4.6 dapat dilihat bahwa potensi karbon tersimpan pada hutan
tanaman Eucalyptus sp. meningkat dengan bertambahnya umur tetapi menurun 14,13
1 tahun 2 tahun 3 tahun 4 tahun 5 tahun
P
dengan naiknya ketinggian tempat tumbuh. Nilai karbon tersimpan yang
dihasilkan berkisar antara 10,71 – 95,68 ton/ha dengan rata-rata 52,67 ton/ha.
Nilai karbon tersimpan terendah didapat pada hutan tanaman Eucalyptus sp. umur
1 tahun pada ketinggian > 1.500 mdpl, sedangkan yang tertinggi didapat pada
hutan tanaman Eucalyptus sp. umur 5 tahun pada ketinggian < 1.000 mdpl.
Berdasarkan analisis keragaman yang disajikan pada Lampiran 8 diperoleh
bahwa umur, ketinggian tempat serta interaksi antara umur dan ketinggian tempat
berpengaruh sangat nyata terhadap potensi karbon tersimpan hutan tanaman
Eucalyptus sp. Dengan kata lain, variabel dalam penelitian ini dapat menyebabkan
terjadinya perbedaan dalam nilai karbon tersimpan hutan tanaman Eucalyptus sp.
yang dihasilkan.
Hasil Uji Wilayah Berganda Duncan yang disajikan pada Lampiran 9
menunjukkan bahwa pada selang kepercayaan 95 %, umur tegakan dan ketinggian
tempat tumbuh hutan tanaman Eucalyptus sp. berbeda nyata satu sama lain dalam
menghasilkan nilai karbon tersimpan. Semakin besar umur tegakan maka nilai
karbon tersimpan hutan tanaman Eucalyptus sp. meningkat. Semakin besar
ketinggian tempat maka maka nilai karbon tersimpan hutan tanaman Eucalyptus
sp. menurun.
Nilai karbon tersimpan yang didapatkan dari hasil penelitian pada hutan
tanaman Eucalyptus sp. berbeda dibandingkan dengan karbon tersimpan pada
hutan tanaman jenis lainnya pada umur yang relatif sama. Data hasil penelitian
yang dirangkum oleh TPIBLK (2010a) menyatakan cadangan karbon hutan