(Eksperimen di MTs Al-Khairiyah,Citeureup-Bogor)
Skripsi
Oleh :
SITI NUR’AINI HANDAYANI NIM. 104016300484
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
Pembangunan dalam berbagai sektor pada era globalisasi seperti
sekarang sangat penting untuk menunjang kemajuan suatu bangsa. Kemajuan
suatu bangsa tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK) yang ada pada suatu bangsa tersebut. Perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi suatu bangsa tidak terlepas dari peranan yang
dibutuhkan dalam pelaksanaan pembangunan. Dalam pelaksanaan
pembangunan diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber
daya manusia yang berkualitas diperoleh melalui pendidikan. Karena
pendidikan merupakan kebutuhan dasar mendapatkan hak untuk pendidikan
dan pengajaran sesuai dengan kesanggupannya. Pendidikan dalam tingkat dan
lingkup manapun pada wujud nyata adalah belajar.
Berdasarkan informasi yang didapatkan, bahwa hampir setiap proses
pembelajaran berlangsung di kelas VII yang menjadi sampel penelitian masih
bersifat konvensional, maka guru yang menjadi pusat pembelajaran. Dan
dilihat dari nilai rata-rata siswa pada konsep wujud zat masih dibawah kriteria
ketuntasan minimal (KKM), yaitu 66. Sementara nilai KKM yang ditentukan
adalah 70. Sehingga peneliti memiliki keinginan untuk menciptakan proses
pembelajaran yang lebih efektif dengan mencoba menggunakan suatu
pendekatan melalui salah satu model pembelajaran, sehingga diharapkan
siswalah yang menjadi pusat pembelajaran, yang disebut dengan student
center, dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Pada proses pembelajaran, guru mengharapkan tercapainya tujuan
pembelajaran secara maksimal, dan tujuan tersebut tidak tercapai selama
komponen-komponen lainnya tidak ada, antara lain strategi atau pendekatan
pembelajaran.
Strategi pembelajaran adalah salah satu alat untuk mendukung
tercapainya tujuan pendidikan yang diharapkan, oleh karena itu seorang guru
harus mampu melakukannya untuk menunjang kegiatan pembelajaran,
sehingga dapat dijadikan alat yang efektif untuk mencapai tujuan
pembelajaran.
Dengan demikian, seorang guru menerapkan sebuah strategi pengajaran
dengan suatu pendekatan pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk
berperan aktif dan menggali potensi yang ada pada dirinya sendiri, sehingga
siswa mampu mengembangkan keterampilan tertentu seperti keterampilan;
menyelesaikan masalah, keterampilan mengambil keputusan, menganalisis
data, berpikir secara logis dan sistematis.
Pendekatan pembelajaran yang mengajak siswa untuk terlibat secara
nyata dalam pembelajaran adalah CTL salah satu model pembelajarannya
berbasis inkuiri.
Karakteristik sains yang bersifat fisik, empiris, observable,
eksperimental, dan terukur telah melahirkan sains yang mendistorsi nilai dan
berwatak sekuler-materialistik. Pandangan positivisme telah mengukuhkan
watak sains yang bertolak belakang dengan keyakinan agama. Seperti Laplace,
Darwin, Freud, Dhurkheim, dan lain-lain ke dalam ateisme.1
Islam membangun akidah tauhid yang murni dengan cara memaparkan
bukti dan fakta alam raya, jauh dari ilusi-ilusi filsafat konvensional anti-Tuhan
yang justru menutup cahaya ilmu dan keimanan.2 Islam yang bersumber pada
Al-Qur’an dan Hadis memberikan pandangan komprehensif dan metode
terpadu, yang tidak memisahkan antara alam fisika dan alam metafisika, atau
antara ilmu yang bersifat parsial dan tujuan ilmu itu sendiri yang bersifat
universal.
Oleh karena itu, melalui integrasi antara sains dan al-Qur’an diharapkan
siswa lebih memahami gejala-gejala alam secara konstruktivistik. Pada konsep
zat dan wujudnya terdapat nilai yang ada relevansinya dengan nilai
1
Kusmana, et.al, Integrasi Keilmuan ….,Jakarta : PPJM dan UIN Jakarta Press, 2006, h. 79
2
keagamaan, artinya selain belajar konsep perubahan sifat-sifat suatu materi
wujud zat siswa juga mengenal sifat-sifat wajib bagi Allah SWT.
Dalam prosesnya, peneliti menggunakan model pembelajaran berbasis
inkuiri pada pembelajaran konsep zat dan wujudnya yang diintegrasikan
dengan nilai keagamaan. Hal ini bertujuan untuk siswa dapat belajar dengan
aktif, konstruktivistik dan menyenangkan.
Melalui kegiatan pembelajaran CTL dengan pembelajaran berbasis
inkuiri (Inquiry Based Learning) siswa aktif dikelas juga mampu berpikir
rasional dan membuat konsep zat dan wujudnya yang terintegrasi nilai
keagamaan (religius).
B. Identifikasi Masalah
Dengan melihat masalah sebelumnya dapat diidentifikasi
masalah-masalah ini sebagai berikut:
1. Proses Pembelajaran yang ada belum efektif karena masih bersifat
konvensional.
2. Menerapkan strategi pengajaran melalui pendekatan pembelajaran yang
mengarahkan siswa untuk berperan lebih aktif.
3. Belajar konsep wujud zat sebelumnya bersifat konvensional, guru sering
menggunakan metode ceramah dan belum terintegrasi nilai keagamaan.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan di atas, maka
penelitian dibatasi pada :
1. Proses pembelajaran kontekstual (CTL) pada konsep zat dan wujudnya
terintegrasi nilai keagamaan terhadap hasil belajar siswa.
2. Hasil belajar siswa dibatasi aspek kognitif yang diambil dari siswa yang
diberikan model pembelajaran berbasis inkuiri.
3. Pada prosesnya pendekatan CTL yang digunakan adalah model
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah pada penelitian ini
dirumuskan:”Bagaimana pengaruh pendekatan Contextual Teaching and
Lerning (CTL) dengan model pembelajaran berbasis inkuiri pada konsep zat
dan wujudnya yang terintegrasi nilai keagamaan terhadap hasil belajar.”?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang ingin
dicapai melalui penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaruh dari pendekatan CTL dengan menggunakan
pembelajaran berbasis inkuiri (Inquiry Based Learning) pada konsep zat
dan wujudnya terintegrasi nilai keagamaan
2. Untuk mengetahui hasil belajar siswa pada konsep zat dan wujudnya
terintegrasi nilai keagamaan melalui pendekatan CTL dengan
menggunakan pembelajaran berbasis inkuiri (Inquiry Based Learning).
F. Manfaat Penelitian
Peneliti mengharapkan dari penelitian, masalah ini bisa memberikan
beberapa manfaat diantaranya :
1. Bagi instansi, memberikan informasi tentang pendekatan pembelajaran
kontekstual dengan menggunakan pembelajaran berbasis inkuiri (Inquiry
Based Learning) terhadap hasil belajar siswa pada konsep zat dan
wujudnya terintegrasi nilai keagamaan.
2. guru, dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif pembelajaran agar dapat
tercipta suasana pembelajaran yang efektif dan efisien.
3. siswa, dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa dalam mata pelajaran
A. Kajian Teori
1. Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) a. Landasan Filosofis CTL
CTL banyak dipengaruhi oleh filasafat konstruktivisme yang mulai
digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh Jean
Piaget. Aliran filsafat konstruktivisme berangkat dari pemikiran
epistimologi Giambatista Vico (Suparno, 1997). Vico mengungkapkan:
“Tuhan adalah menciptakan alam semesta dan manusia adalah tuan dari
ciptaannya.” Mengetahui, menurut Pico, berarti mengetahui bagaimana
membuat sesuatu. Artinnya, seseorang dikatakan menegtahui manakala ia
dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Oleh
karena itu menurut Vico, pengetahuan itu tidak lepas dari orang (subjek)
yang tahu. Pengetahuan merupakan struktur konsep dari subjek yang
mengamati. Selanjutnya, pandangan filsafat konstruktivisme tentang
hakikat pengetahuan memengaruhi konsep tentang proses belajar, bahwa
belajar bukanlah sekadar menghafal, tetapi proses mengkonstruksi
pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil
“pemberian” dari orang lain seperti guru, tetapi proses mengkonstruksi
yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari pemberitahun tidak
akan menjadi pengetahuan yang makna. Bagaimana proses
mengkonstruksi pengetahuan yang dilakukan oleh setiap subjek?
Piaget berpendapat, bahwa sejak kecil setiap anak sudah memiliki
struktur kognitif yang kemudian dinamakan ‘skema”. Skema terbentuk
karena pengalaman. Pandangan Piaget tentang bagaimana sebenarnya
pengetahuan itu terbentuk dalam struktur kognitif anak, sangat
berpengaruh terhadap beberapa model pembelajaran, diantaranya model
pembelajaran kontekstual. Menurut pembelajaran kontekstual,
penegetahuan itu akan bermakna manakala ditemukan dan dibangun
sendiri oleh siswa. Pegetahuan yang diperoleh dari hasil pemberitahuan
orang lain, tidak akan menjadi penengetahuan yang bermakna.
Pengetahuan yang demikian akan mudah dilupakan dan tidak fungsional.1
b. Pengertian CTL
CTL adalah sebuah sistem yang menyeluruh. CTL terdiri dari
bagian-bagian yang saling terhubung. Jika bagian-bagian ini terjalin satu
sama lain, maka akan dihasilkan pengaruh yang melebihi hasil yang
diberikan bagian-bagiannya secara terpisah.2 Ada beberapa pengertian
yang diberikan oleh para ahli, disini ditampilkan lima pengertian yang
berasal dari beberapa sumber yang berbeda.
Pertama, Contextual Teaching Learning (CTL) merupakan suatu
proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk
memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan
mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari
sehingga siswa mmiliki pengetahuan/keterampilan yang secara fleksibel
dapat diterapkan ( ditransfer ) dari satu permasalahan ke permasalahan
lain.3
Kedua, Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu
strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa
secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan
menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong
siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.4
1
Dr. Wina Sanjaya, M.Pd., Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses…, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, h. 257
2
Elaine B. Johnson, PH.D., Contextual Teaching & Learning: Menjadikan kegiatan belajar-mengajar….., Bandung: Mizan Learning Center (MLC), 2007, h. 65
3
http://mariman-guruku.blogspot.com/2008/12/contextual-teaching-and-learning-ctl.html
4
Ketiga, Contextual Teaching Learning (CTL) merupakan konsep
belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkan
dengan situasi dunia nyata dan mendorong pebelajar membuat hubungan
anatara meteri yang diajarkannya dengan penerapannya dalam kehidupan
mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.5
Keempat, Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan
konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang
diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya
dalam dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan
masyarakat.6 Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih
bermakna bagi siswa., sehingga strategi pembelajaran lebih dipentingkan
daripada hasil.
Kelima, Finger dalam Suryobroto (77) mengungkapkan metode
mengajar lingkungan hidup di mana guru membawa anak-anak keluar
kelas untuk mengamati menyelidiki dan mempelajari hal-hal yang
diajarkan.7 Pembelajaran kontekstual merupakan konsep pembelajaran
yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan
dunia kehidupan peserta didik secara nyata, sehingga para peserta didik
mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam
kehidupan sehari-hari.. Melalui proses penerapan kompetensi dalam
kehidupan sehari-hari, peserta didik akan merasakan pentingnya belajar,
dan akan memperoleh makna yang mendalam terhadap apa yang
dipejarinya.8
Dari beberapa pengertian, dapat disimpulkan bahwa CTL dapat
dikatakan sebagai sebuah strategi pembelajaran yang menunjukan kondisi
alamiah dari pengetahuan. Melalui hubungan di dalam dan diluar kelas,
5
http://dahli-ahmad.blogspot.com/2009/01/peran-pembelajaran-ctl-dalam.html. 6
http://fisikamobile.multiply.com/journal/item/3. 7
Paul Suparno, Metodologi Pembelajaran Fisika; Konstruktivistik & Menyenangkan, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2007, h.120
8
bagi siswa dalam membangun pengetahuan dan mengkonstruksi
pemahamannya berdasarkan pengalamannya yang akan mereka terapkan
dalam kehidupannya. CTL menyajikan suatu konsep yang mengaitkan
materi pelajaran yang dipelajari siswa dengan konteks dimana materi
tersebut digunakan, serta berhubungan dengan bagaimana cara belajar
siswa.
Materi belajar akan semakin berarti jika siswa mempelajari materi
pelajaran yang disajikan melalui konteks kehidupan mereka, dan
menemukan arti di dalam proses pembelajaran, sehingga pembelajaran
akan menjadi lebih berarti dan menyenangkan. Siswa akan belajar keras
untuk mencapai tujuan pembelajaran, dan selanjutnya siswa akan
memanfaatkan kembali pemahaman pengetahuan dan kemampuannya itu
dalam konteks di luar sekolah untuk menyelesaikan permasalahan dunia
nyata, baik secara mandiri maupun secara kelompok.
c. Asas-asas CTL
CTL sebagai suatu pendekatan pembelajaran memiliki 7 asas.
Asas-asas ini melandasi pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan CTL, diantaranya yaitu:9
1. Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun
pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan
pentingalaman.
2. Menemukan (Inquiry)
Inkuiri artinya, proses pemebelajaran sidasarkan pada pencarian
dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Secara umum
proses inkuiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu:
a. Merumuskan masalah
b. Mengajukan hipotesis
c. Mengumpulkan data
9
d. Menguji hipotesis
e. Membuat kesimpulan
3. Bertanya (Questioning)
Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab
pertanyaan.Dalam suatu pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya
akan sangat berguna untuk:
a. Menggali informasi tentang kemampuan siswa untuk belajar
b. Membangkitkan motivasi siswa untuk belajar.
c. Merangsang keingintahuan siswa terhadap sesuatu.
d. Memfokuskan siswa pada sesuatu yang diinginkan.
e. Membimbing siswa untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu.
4. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Dalam kelas CTL, penerapan asas masyarakat belajar dapat
dilakukan dengan menerapkan pembelajaran melalui kelompok belajar.
Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya bersifat
heterogen, baik dilihat dari kemampuan dan kecepatan belajarnya, maupun
dilihat dari bakat dan minatnya. Biarkan dalam kelompoknya mereka
saling membelajarkan; yang cepat belajar didorong untuk membantu yang
lambat belajar, yang memiliki kemampuan tertentu didorong untuk
menularkannya pada yang lain.
5. Pemodelan (Modeling)
Proses modeling tidak terbatas dari guru saja, akan tetapi dapat
juga guru memanfaatkan siswa yang dianggap memiliki kemampuan.
Modeling merupakan asas yang cukup penting dalam pembelajaran CTL,
sebab melalui modeling siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang
teoritis-abstrak yang dapat memungkinkan terjadinya verbalisme.
6. Refleksi (Reflection)
Dalam proses pembelajaran dengan menggunakan CTL, setiap
untuk “merenung’ atau mengingat kembali apa ayang telah dipelajarinya,
sehingga ia dapat menyimpulkan tentang pengalaman belajarnya.
Konsep pengetahuan baru siswa juga akan lebih bermakna jika
seorang guru memperhatikan berbagai jenis kecerdasan yang dimiliki
siswa, yaitu setiap orang memiliki kesemua kecerdasan tersebut. Walau
bagaimanapun, tahapan dan kombinasi kecerdasan yang berbeda-beda
diantara individu. Dari berbagai jenis kecerdasan tersebut tidak hanya
memberi informasi tentang apa yang dipelajari, tetapi lebihpenting lagi
bagaimana mempelajarinya. Justru CTL dapat membangkitkan potensi
kecerdasan siswa dan pembelajaran akan lebih berkesan.
Dalam CTL, berbagai gaya pembelajaran dapat diterapkan, yaitu:10
1. Pembelajaran secara konkrit seperti mengalami dan melakukan
percobaan, merasakan dan melihatnya.
2. Pembelajaran abstrak, yaitu: dengan melihat konsep yang
dipelajarinya, siswa memikirkan informasi yang mereka terima ketika
pembelajaran.
Dalam penerapan CTL juga diperlukan berbagai macam pasilitas,
diantaranya: berbagai lingkungan, daftar pelajaran, peraturan fisik dikelas,
dan anggaran.11
d. Langkah-langkah Pembelajaran CTL
Dalam CTL, guru berperan dalam memilih, menciptakan, dan
menyelenggarakan pembelajaran yang menggabungkan seberapa banyak
bentuk pengalaman siswa termasuk aspek social, fisikal, dan psikologikal
untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan. Dalam lingkungan
sekitar, siswa menemukan hubungan yang bermakna antara ide abstrak
dan aplikasi pratikal dalam konteks nyata. Siswa akan memproses
10
Pusat Perkembangan Kurikulum Kementrian Pendidikan Malaysia, Pembelajaran Secara Kontekstual, [oneline], http:// myschoolnet.ppk.kpm.my/bhn /modul/kontekstual.pdf. h. 20
11
informasi atau pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga dirasakan
masuk akal dengan kerangka berpikir yang dimilikinya (ingatan,
pengalaman, dan tanggapan).
Dalam pelaksanaan kegiatan CTL di kelas, guru harus
memperhatikan langkah-langkah pembelajaran seperti di bawah ini.12
1. Guru memotivasi siswa
Sebelum proses pembelajaran dimulai guru memberikan stimulus
dengan memberikan pertanyaan mengenai materi yang dibahas atau yang
dipelajari.
2. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran
Siswa diajak untuk mempelajari sebuah materi ajar yang sesuai
dengan standar kompetensi. Dalam hal ini bahwa siswa harus mampu
menyelidiki sifat-sifat zat berdasarkan wujudnya dan penerapannya dalam
kehidupan sehari-hari.
3. Guru membagi kelompok
Siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok sesuai dengan jumlah
siswa. Tiap siswa ditugaskan untuk melakukan observasi. Melalui
observasi siswa ditugaskan untuk mencatat berbagai hal yang ditemukan
di perpustakaan.
4. Melakukan percobaan
Untuk memperoleh pembelajaran yang bermakna, siswa diharapkan
mampu dan mengetahui penerapannya pada proses yang sebenarnya yang
berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
5. Diskusi kelompok
Setiap kelompok mendiskusikan hasil temuan mereka sesuai dengan
pembagian tugas masing-masing.
6. Hasil diskusi dipresentasikan
Di dalam kelas semua siswa mendiskusikan hasil temuan mereka
sesuai dengan kelompoknya masing-masing. Kemudian siswa melaporkan
hasil diskusi.
12
7. Guru menerangkan konsep
Guru membantu menyampaikan materi sekitar masalah yang
dipelajari yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi oleh siswa.
8. Menyimpulkan
Dengan bantuan guru siswa menyimpulkan hasil observasi sekitar
hasil eksperimen yang dilakukan siswa sesuai dengan indikator hasil
belajar yang harus dicapai.
9. Penugasan
Guru menugaskan siswa untuk membuat laporan dari hasil diskusi
dan eksperimen yang merupakan hasil pengalaman dari proses
pembelajaran berlangsung.
Agar proses instruksional dapat dianggap sebagai CTL, guru harus
memperhatikan factor-faktor berikut ketika menggunakan pendekatan
CTL. Konsep ini berdasarkan pada bagaimana siswa belajar, oleh Karena
itu guru harus; 13
1. Merencanakan pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan para
siswa. Hubungan antara isi kurikulum dan metode yang digunakan
untuk mengajar para siswa harus didasarkan pada tingkatan tertentu,
perkembangan social, emosional, dan intelektual siswa. Dengan
demikian yang harus menjadi pertimbangan adalah unsure para siswa,
karakteristik individual, lingkungan social dan budaya mereka.
2. Membentuk kelompok yang saling tergantung. Melalui kelompok yang
kecil, siswa belajar dari yang lain dan belajar bekerjasama, perputaran
kualitas, dan bentuk-bentuk kerjasama lainnya yang diperlukan orang
dewasa di tempat kerja dan dalam konteks yang lain dimana siswa
diharapkan untuk berperan aktif.
3. Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri
(diatur sendiri). Para siswa harus memahami kekuatan dan kelemahan
13
Robert G. Bern and Patricia M. Erickson, CTL The Higlightzone: Research @ Work No. 5 [online],
mereka, untuk menetapkan target yang dicapai, dan untuk
mengembangka strategi untuk mencapai target mereka. Ketika mereka
mempelajari keterampilan ini mereka akan memperoleh kepercayaan
diri dan kompetisi. Melalui guru juga menciptakan lingkungan dimana
siswa merefleksikan bagaimana mereka belajar, bagaimana mereka
mengatasi pekerjaan sekolah, bagaimana mereka mengatasi kesulitan
mereka, dan bagaimana mereka dapat bekerja secara harmonis dengan
yang lain. Dengan pendekatan CTL yang membutuhkan kerja
kelompok., para siswa harus mampu memberikan kontribusi sehingga
kelompok mereka sukses.
4. Mempertimbangkan perbedaan para siswa. Para guru harus mengajar
berbagai siswa. Pertimbangan termasuk latar belakang suku dan ras
siswa, status social, ekonomi mereka, dan berbagai ketidak mampuan
yang mereka miliki.
5. Memperhatikan multi-intelgensi siswa. Dalam menggunakan
pendekatan CTL, maka cara siswa berpartisipasi di dalam keas harus
memperhatikan kebutuhan delapan orientasi pembelajaran. Delapan
orientasi pembelajaran yang melibatkan factor-faktor seperti bahasa,
pendengaran atau penglihatan, musik, bilangan, visualisasi, gerakan
manusia, sosialisasi, dan kepemimpinan.
6. Menggunakan teknik pertanyaan yang meningkatkan pembelajaran
siswa dan perkembangan pemecahan masalah dan kemampuan berpikir
tingkat tinggi. Agar CTL mencapai tujuannya harus digunakan jenis
dan tingkat pertanyaan yang sesuai. Pertanyaan-pertanyaan harus
disiapkan untuk menghasilkan tingkat berpikir, respon, dan tindakan
yang diharapkan dari siswa.
7. Menerapkan penilaian yang sebenarnya. Assessment adalah proses
pengumpulan berbagai data yang dapat memberikan gambaran
perkembangan belajar siswa. Penilaian sebenarnya mengevaluasi
aplikasi penegatahuan siswa dan pemikiran yang kompleks daripada
Scott G. Paris meninjau 12 prinsip pembelajaran mandiri dalam
empat kategori umum yang dapat digunakan oleh para guru di dalam
kelas, yaitu: kategori menilai diri sendiri, kategori mengatur diri sendiri,
menolong siswa, memperoleh pemahaman, dan membentuk identitas
siswa sebagai pelajar.14
e. Strategi yang Berasosiasi dengan CTL
Startegi pengajaran yang berasosiasi dengan CTL diperlukan dalam
proses belajar mengajar dikelas agar pembelajaran berlangsung lebih
terarah dan baik. Dibawah ini merupakan beberapa strategi pengajaran
yang berasosiasi dengan CTL dan pelaksanaannya di lapangan dapat
dikombinasikan satu dengan yang lainnya. Strategi tersebut adalah:15
1) Cara Belajar Siswa Aktif
2) Pendekatan Proses
3) Life Skill Education (Pendidikan Kecakapan Hidup)
4) Authentic Instruction
5) Inquiry-Based Learning
6) Cooperatif Learning
7) Service Learning
CTL mengarahkan para guru untuk menggunakan beraneka ragam
strategi pembelajaran, yaitu: kegiatan keterampilan, pengetahuan,
bekerjasama, pengetahuan dasar masalah dan penelitian, penerapan
kehidupan nyata, penilaian sebenarnya dan penggabungan teknologi.16
Para guru di dunia pendidikan, sains telah memperjuangkan beberapa
cara untuk mengkontekskan materi. Mereka telah menggunakan aktivitas
keterampilan, permainan, simulasi, eksperimen, dan menghubungkan
14
Scott G. Paris dan Peter Wiegrad, The Role Self-Regulated Learning in Contextual Teaching: Priciples and Practices for Teacher Preparation, [online], http;//www.ciera.org/library/archive/2001-04/0104 parwin.htm. h.5
15
Dirjen Dikdasmen, Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, Pendekatan Kontekstual(Contextual Teaching and Learning/CTL), 2003, h. 6
16
dengan kehidupan nyata (seperti tes darah, masalah control statistik,
menggambar kebun), di laboratorium sekolah dan teknologi. Para guru
lebih menggunakan strategi dasar disekolah (seperti pemecahan masalah
penemuan, penilaian portofolio) dan ini sudah banyak terkenal pada mata
pelajaran pilihan, aan tetapi mereka lebih mempercayakan kuliah,
membuat catatan, menguji fakta dan isi buku, dan instruksi guru.
Beberapa strategi lain yang dapat diterapkan dalam CTL,
diantaranya:17
1. Menghubungkan kepada keterkaitan siswa
2. Membawa IPA ke dalam kerikulum
3. Memerankan pekerjaan sains ke dalam bntuk simulasi.
4. Menggunakan penilaian alternatif
f. Perbedaan CTL dengan Pembelajaran Konvensional
Dibawah ini dijelaskan secara singkat perbedaan kedua model
tersebut dilihat dari konteks tertentu.
1) CTL menempatkan siswa sebagai subjek belajar, artinya siswa
berperan aktif dalam setiap proses pembelajaran dengan cara
menemukan dan menggali sendiri materi pelajaran. Sedangkan,
dalam pembelajaran konvensional siswa ditempatkan sebagai objek
belajar yang berperan sebagai penerima informasi secara pasif.
2) Dalam pembelajaran CTL, siswa belajar melalui kegiatan kelompok,
seperti kerja kelompok, berdiskusi, saling menerima dan memberi.
Sedangkan dalam pembelajaran konvensional siswa lebih banyak
belajar secara individual dengan menerima, mencatat, dan menghafal
materi pelajaran.
3) Dalam CTL, pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata secara
riil; sedangkan dalam pembeljaran konvensional, pembelajaran
bersifatteoritis dan abstrak.
17
Deborah J. Tippins, Implementasi CTL: Casr Study of Julia a middle School Science Novice Tescher, (Universitas Georgia: 2003), [online],
4) Dalam CTL, kemampuan didasarkan atas pengalaman; sedangkan
dalam pembelajaran konvensional kemampuan dperoleh melalui
latihan-latihan.
5) Tujuan akhir dari proses pembelajaran melalui CTL adalah kepuasan
diri; sedangkan dalam pembeajaran konvensional, tujuan akhir
adalah nilai dan angka.
6) Dalam CTL tindakan atau perilaku dibangun atas kesadaran diri
sendiri; sedangkan dalam pembelajaran konvensional, tindakan atau
prilaku individu didasarkan oleh factor dari luardirinya, misalnya
individu tidakmelakukan sesuatu disebabkan takut hukuman atau
sekadar untuk memperoleh angka atau nilai dari guru.
7) Dalam CTL pengetahuan yang dimilii setiap individu selalu
berkembang sesuai dengan pengalaman yang dialaminya, oleh sebab
itu terjadi perbedaan dalam memaknai hakikat pengetahuan yang
dimilikinya. Dalam pembelajaran konvensional hal ini tidak
mungkin terjadi. Kebenaran yang dimiliki bersifat absolute dan final,
oleh karena pengetahuan dikonstruksi oleh orang lain.
8) Dalam pembelajarn CTL, siswa bertanggung jawab dalam
memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka
masing-masing; sedagkan dalam pembelajaran konvensional guru adalah
penentu jalannya proses pembelajaran.
9) Dalam pembelajaran CTL, pembelajaran biasa terjadi di mana saja
dalam konteks dan setting yang berbeda sesuai dengan kebutuhan;
sedangkan dalam pembelajaran konvensional hanya terjadi di dalam
kelas.
10) Oleh karena tujjuan yang ingin dicapai adalah seluruh aspek
erkembangan siswa, maka dalam CTL keberhasilan pembelajaran
diukur dengan cara misalnya dengan evaluasi proses, hasil karya
sebagainya; sedangkan dalam pembelajaran konvensional
keberhasilan pembelajaran biasanya hanya diukur dengan tes. 18
2. Pembelajaran Berbasis Inkuiri
Inkuiri berasal dari bahasa inggris inquiry yang dapat diartikan sebagai
proses bertanya dan mencari tahu jawaban terhadap pertanyaan ilmiah yang
diajukan. Pertanyaan ilmiah ini adalah pertanyaan yang dapat mengarahkan
pada kegiatan penyelidikan terhadap objek pertanyaan. Dengan kata lain,
inkuiri adalah suatu proses untuk memperoleh dan mendapatkan informasi
dengan melakukan observasi atau eksperimen untuk mencari jawaban atau
memecahkan masalah terhadap pertanyaan atau rumus masalah dengan
menunjukkan kemampuan berpikir kritis.19
Pembelajaran dengan penemuan (inquiry) merupakan satu pilar
penting alam pendekatan konstruktivistik yang memiliki sejarah panjang
dalam inovasi atau pembaharuan pendidikan. Burner (1966), penganjur
pembelajaran dengan basis inkuiri, menyatakan idenya sebagai berikut : ” Kita
mengajarkan suatu bahan kajian tidak untuk menghasilkan perpustakaan hidup
tentang bahan kajian, tetapi lebih ditujukan untuk membuat siswa berpikir …
untuk diri mereka sendiri, meneladani seperti apa yang dilakukan oleh seorang
sejarawan, mereka turut mengambil bagian dalam proses mendapatkan
pengetahuan. Mengetahui adalah suatu proses bukan suatu produk” (Nurhadi
& Wikandari, 2000:10) 20. Dengan demikian belajar dengan penemuan dapat
diterapkan dalam banyak mata pelajaran
Menurut Dettrick (Rustaman et al. 2003) melakukan pembelajaran
dengan pendekatan inkuiri berarti membelajarkan siswa untuk mengendalikan
situasi yang dihadapi ketika berhubungan dengan dunia nyata, yaitu dengan
18
Wina Sanjaya M.Pd., op. cit., h. 261-262 19
Muslimin Ibrahim, Inkuiri, Diakses dari http://www.puspa-Unindra6.Blogspot.com/2008_03_01 archive.html.2008
20
menggunakan teknik yang digunakan oleh para ahli penelitian.21 seperti
dalam merumuskan masalah, mengajukan pertanyaan, menentukan
langkah-langkah penelitian, membuat ramalan, dan menjelaskan hasil penelitian
Sementara ini menurut Sund dan Trowbridge (1973), model
pembelajaran inkuiri adalah mempersiapkan situasi dan kondisi bagi anak
untuk melakukan eksperimen sendiri untuk melihat apa yang terjadi, ingin
menggunnakan simbol-simbol dan mencari jawaban atas pertanyaan sendiri,
menghubungkan yang satu dengan yang lain, membandingkan apa yang
ditemukan dengan apa yang ditemukan orang lain.22
Menurut Sund pengajaran dengan inkuiri mempunyai proses mental
yang lebih kompleks misalnya merumuskan masalah, merancang eksperimen,
menganalisis data, dan menarik kesimpulan. Dalam pelaksanaan inkuiri
dibutuhkan sikap-sikap objektif, jujur, terbuka, penuh dorongan ingin tahu,
dan tangguh dalam pengajaran.
Menurut NRC (1996) pembelajaran berbasis inkuiri meliputi kegiatan:
observasi, mengajukan pertanyaan, memeriksa buku-buku dan sumber-sumber
lain untuk melihat informasi yang ada, merencanakan penyelidikan,
merangkum apa yang sudah diketahui dalam bukti eksperimen, menggunakan
alat untuk mengumpulkan, menganalisa, dan prediksi serta
mengkomunikasikan hasil.23
Jenis-jenis keterampilan proses yang dikembangkan sejak kurikulum
1984 meliputi keterampilan mengamati (observasi), berkomunikasi,
menafsirkan (inter-pretasi), meramalkan, menerapkan (aplikasi),
melaksanakan percobaan. Keterampilan mengajukan pertanyaan dan yang
penting dikembangkan dalam bekerja ilmiah, yaitu berhhipotesis24
Pembelajaran inkuiri membutuhkan strategi pengajaran yang
mengikuti metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran
21
Nengsih Juanengsih, Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan…, Tesis, 2006, h. 22.
22
Wartono, Model Pembelajaran Inkuiri dalam Pendidikan Sains di Sekolah Dasar, IMAPIPA: Khazanah Pengajaran IPA, 1996, h. 34.
23
Sri Anggraeni, Pembelajaran Biologi Berbasis Inkuiri ….. 24
bermakna. Inkuiri adalah seni dan ilmu bertanya serta menjawab. Inkuiri
melibatkan observasi dan pengukuran, pembuatan hipotesis dan interpretasi,
pembentukan model dan pengujian model. Inkuiri menuntut adanya
eksperimentasi, refleksi, dan pengenalan akan keunggulan dan kelemahan
metode-metodenya sendiri.
Pembelajaran inkuiri dilakukan melalui beberapa siklus, berikut.25
a. Observasi (Observation). Dalam siklus ini siswa melakukan observasi
terhadap objek atau bahan yang akan dijadikan sumber belajar.
b. Bertanya (Questioning). Setelah melakukan observasi, siswa mengajukan
pertanyaan-pertanyaan berdasarkan observasi.
c. Mengajukan hipotesis (Hipothesis), kegiatan pembuatan prediksi atau
jawaban-jawaban sementara atas pertanyaan-pertanyaan diatas.
d. Pengumpulan data (Data gathering), yaitu kegiatan mengumpulkan data
atau informasi yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam masalah
di atas melalui berbagai sumber yang ada.
e. Pembahasan, yaitu kegiatan menganalisis dan membahas data atau bahan
yang telah berhasil dikumpulkan oleh siswa.
f. Penyimpulan (Conclusion), yaitu kegiatan menyimpulkan atas apa yang
sudah dibahas dan ditemukan terhadap suatu masalah.
Langkah-langkah kegiatan inkuiri adalah sebagai berikut:26
1) Merumuskan masalah
2) Mengamati atau melakukan observasi
3) Menganalisis dan menyajikan hasil delam Tulsan, gambar, laporan, bagan,
table, dan karya lainnya
4) Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman
sekelas, guru, atau audien yang lain.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa
pendekatan contextual Teaching and Learning (CTL) dengan menggunakan
pembelajaran berbasis inkuiri adalah pendekatan yang ditujukan untuk
25
Kunandar, Guru Profesional…….h. 374 26
membantu siswa mengembangkan disiplin intelektual dan keahlian yang
diperlukan memunculkan masalah dan menemukan pemecahan masalah
tersebut (konsep-konsep, hukum-hukum, dan teori-teori baru) oleh siswa itu
sendiri, sehingga siswa menjadi penemu pemecahan masalah yang
independen.
3. Pembelajaran Fisika Terintegrasi Nilai Keagamaan (religius) a. Hakikat Ilmu Fisika
Menurut K.H Bahaudin Mudhary, “Ilmu pengetahuan fisika merupakan ilmu yang mempelajari materi dan energi, mulai inti atom, yang dipelajari para ahli fisika nuklir, sampai bintang-bintang dan galaksi. Dalam kajian fisika segala sesuatu digolongkan menjadi materi (seperti benda padat, cair, dan gas), dan energi (seperti cahaya, listrik, dan panas), Dengan kata lain, kajian dari ilmu pengetahuan fisika adalah alam semesta yang sering disebut al-Amin atau al-Kaun. Alam semesta ini merupakan salah satu sumber kebenaran ilmiah yang harus di tafakurkan, diobservasi, diteliti, dan dinalari secara cermat, akurat, dan seksama. ILmu pengetahuan fisika ini oleh Kiai Bahaudin digolongkan sebagai ilmu pengetahuan eksata. Perintah Allah untuk mengkaji ayat-ayat kauniyah ini sangat banyak disebutkan dalam Al-Qur’an, seperti pada surat al-Ghasyiyah ayat 17-20, yang berbunyi:27
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia
diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan. Dan gunung-gunungbagaimana ia ditegakkan. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan”.
mengintegrasikan, menyatupadukan, menggabungkan, mempersatukan,
(dua hal atau lebih menjadi satu). Sebagai kata benda, integration, berarti
integrasi, pengintegrasian atau penggabungan, atau integrity berarti
ketulusan hati, kejujuran dan keutuhan. Dalam kamus besar Bahasa
Indonesia, kata integrasi mengndung arti:1. mengenai keseluruhannya;
meliputi bagian yang perlu untuk menjadikan lengkap; utuh, bulat,
sempurna; 2. tidak terpisah terpadu. Berintegrasi: bergabung supaya
menjadi kesatuan yang utuh, yang tidak akan bias berubah lagi.
27
Hal lain yang perlu dijelaskan adalah pengetahuan dan ilmu (dan
atau ilmu pengetahuan). Menurut Jujun S. Suriasumantri pengetahuan
dapat diartikan sebagai segala hal ynag kita ketahui tentang suatu obyek
tertentu. Pengetahuan didapat lewat proses berpikir, merasa dan
,mengindra atau melalui intuisidan wahyu dari Tuhan. Terdapat tiga jenis
penetahuan: etis, estetis, dan logis. Pengetahuan etis membicarakan
pengetahuan yang baik dan buruk, estetis yang indah dan jelek, dan logis
yang benar atau salah. Dalam kerangka ini, menurut Jujun, ilmu termasuk
pada penegtahuan logis. Sementara ilmu adalah “organized knowledge
especially when obtained by observation and testing of facts, about
physical world, natural laws and society; study leading to such
knowledge.” (pengetahuan yang terorganisir, khususnya ketika didapat
melalui observasi dan pengujian fakta-fakta tentang dunia fisik, hokum
alam dan masyarakat; suatu kajian yang mengarahkan pada peraihan
pengetahuan seperti itu). Jujun mendefinisikannya sebagai “ suatu
pengetahuan yang mencoba menjelaskan rahasia alam agar gejala alamiah
tersebut tidak lagi merupakan misteri.” Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa ketika disebut ilmu atau ilmu pengetahuan, maka yang
dimaksud adalah satu cabang pengetahuan yang dicirikan dengan sifat
sistematis atau terorganisir, dapat diuji kembali, dan dapat didapat melalui
pikiran, perasaan, indera, intuisi dan wahyu.28
b. Integrasi Sains dengan Agama (Kesadaran Ketuhanan)
Upaya untuk menegakkan obyektivitas ilmu, dan melepaskannya
dari dogma agama (kristen) dalam sejarah Eropa mengalami pergulatan
yang sangat panjang. Setelah ilmu mendapatkan otonomi yang terbebas
dari segenap nilai yang bersifat dogmatic, ilmu dengan leluasa dapat
mengembangkan dirinya baik dalam bentuk abstrak maupun konkret
seperti teknologi. Perkembangan ilmu berbanding terbalik dengan
28
kepercayaan agama, seperti dalam tradisi positivisme. Satu-satunya
kebenaran ialah kebenaran ilmiah yang bersifat obyektif, dapat diobservasi
(observable) dan terukur (measurable). Penemuan-penemuan ilmiah hanya
dapat dilakukan oleh mereka yang sudah meninggalkan keyakinan agama
yang bersifat dogmatis.
Perkembangan ilmu dan teknologi yang merupakan puncak
intelektualitas manusia yang tidak terkait dengan persoalan moral dan
agama, ternyata menimbulkan ekses negatif yang cenderung menimbulkan
fenomena dehumanisasi. Dihadapkan masalah moral dan ekses sains dan
teknologi yang bersifat merusak, pendapat para ilmuan terbagi kedalam
dua kelompok. Kelompok pertama berpendapat bahwa ilmu harus bersifat
netral terhadap nilai-nilai baik secara ontologism maupun aksiologis.
Dalam hal ini hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada
orang lain untuk mempergunakannya, apakah akan digunakan untuk tujuan
yang baik ataukah untuk tujuan yang buruk. Kelompok ini ingin
melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total, seperti pada masa
Galileo. Kelompok kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap
nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam
penggunaannya haruslah berlandaskan nilai-nilai moral. Kelompok ketiga
mendasarkan pendapatnya pada realitas bahwa: (a) ilmu menimbulkan
ekses yang bersifat destruktif, seperti munculnya senjata pemusnah missal;
(b) Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin eksoterik hingga kaum
ilmuan lebih mengetahui ekses-ekses yang mungkin terjadi dalam kasus
penyalahgunaan ilmu; dan (c) ilmu dapat mengubah manusia dan
kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika.29
Bagaimana memasukan nilai-nilai, etika, dan moral Islam ke dalam
bangunan sains? Hal ini dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, ditinjau dari
hasil proses sains dan teknologi yang dapat dilihat dalam dua bentuk,
yakni: (a) teori, gagasan, rumusan-rumusan tentang nilai dan etika yang
dibangun berdasarkan realitas empiris, laboratories (dilakukan
29
dilaboratorium), replicable (dapat diulang), measurable (dapat diukur),
dan adanya kemungkinan kesalahan yang diketahui melalui rumus-rumus
dan perhitungan statistic. Kedua, ditinjau dari kerangka berpikir yang
menghasilkan teori.30
Dalil-dalil yang melahirkan ide-ide keilmuan (Scientific Ideas)
al-Qur’an dan sunnah adalah rujukan ilmu-ilmu Islam. Al-al-Qur’an adalah
himpunan wahyu yang merupakan dalil ilmu-ilmu. Dalil disini
mengandung arti petunjuk adanya ilmu-ilmu, bukan ilmu itu sendiri. Oleh
karena itu, sejarah menunjukan adanya fakta bahwa al-Qur’an mendorong
umatnya untuk menciptakan ide-ide sains yang menjadi dasar bagi
perkembangan ilmu dikemudian hari.31
c. Signifikansi Pembelajaran Sains dengan Agama (bernuansa IMTAQ)
Pembelajaran sains bernuansa IMTAQ dapat diberikan secara
eksplisit maupun implisit. Pembelajaran sains bernuansa IMTAQ secara
eksplisit adalah mempelajari sains dengan sistem nilai dan moralnya
dikaitkan dengan dalil-dalil ajaran agama, seperti dikaitkan dengan
ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang relevan untuk melegitimasinya. Adapun
pembelajaran sains bernuansa IMTAQ secara implisit adalah menggali
sistem nilai dan moral yang dikandung oleh setiap bahan ajarnya dikaitkan
dengan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat untuk dianalogikan
dalam kehidupan manusia. Pemberian nuansa secara implicit dalam setiap
pembelajaran sains tersebut adalah sangat diberikan kepada kelas yang
bersifat heterogen, yaitu siswa-siswa di dalam kelas itu menganut Agama
yang berbeda-beda sehingga penganut Agama lainnya tidak merasa
tersinggung. Tetapi untuk sekolah-sekolah yang sifatnya homogen, seperti
madrasah-madrasah sudah semestinya pemberian nuansanya secara
eksplisit, seehingga menambah keyakinan dan keimanan terhadap ajaran
30
Kusmana, Ibid., h. 93 31
agamanya, serta lebih meyakini kebenaran ilmu yang dipelajarinya.
Bertambahnya pemahaman dan penghayatan seseorang terhadap system
nilai dan moral dari materi pelajaran sains, serta akhirnya meningkatkan
keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Orang yang
senantiasa ingat adanya Allah, dalam kehidupannya akan terjaga dari
perbuatan nista atau terhindar dari perbuatan yang dimurkai oleh Allah,
karena ia meyakini bahwa siksa Allah adalah sangat pedih.Dengan
demikian pembelajaran sains bernuansa IMTAQ diharapkan dapat
menghasilkan generasi yang memiliki wawasan IPTEK dan menghayati
akan nilai-nilai dan moral yang didukung oleh setiap bahan ajarnya.32
d. Konsep Zat dan Wujud
Bentuk zat ada yang padat, cair, dan juga gas. Ini merupakan tiga
keadaan atau fase zat. Bahwa suatu zat mampu berubah bentuk atau wujud
tetapi zatnya tetap sama. Zat kayu akan tetap kayu walaupun bentuknya
berubah-ubah. Misalkan batang dari pohon digunakan untuk membangun
rumah dan membuat perabotan meja atau kursi. Begitu juga dengan wujud
es, air, dan uap air yang memiliki bentuk yang berbeda tetapi merupakan
zat yang sama. Cara termudah dan umum dilakukan untuk membedakan
fase-fase zat ialah dengan memperhatikan bentuk dan volume zat.33
Padat: partikel zat padat sangat rapat sehingga tidak dapat bergerak dengan bebas. Setiap partikel tersusun teratur dan tetap pada posisinya
karena diikat kuat oleh gaya tarik-menarik antar partikel. Susunan ini
menyebabkan partikel tidak dapat berpindah, tatpi memiliki energi untuk
bergerak. Jadi, partikel zat padat hanya dapat bergetar dan berputar
ditempatnya. Inilah alasan mengapa zat padat memiliki bentuk dan volume
yang tetap.
32
DR. H. Suroso Adi Yudianto, M.Pd., Manajemen Alam; Sumber Pendidikan Nilai, Bandung: Mughni Sejahtera, 2005, h. 28
33Kamajaya, Tedy Wibowo, Inspirasi Sains Pelajaran IPA Terpadu
Cair: Partikel zat cair juga rapat tetapi tidak serapat partikel zat padat sehingga dapat bergetar dan bergerak lebih bebas. Walaupun
demikian, partiel zat cair tidak mudah meninggalkan kelompoknya karena
gaya tarik-menarik antar partikel yang mengikat. Hal ini menyebabkan zat
cair mempunyai volume tetap tetapi tidak mempunyai posisi yang tetap
sehingga dapat dikatakan zat cair mengalir
Gas: Partikel zat gas terbesar luas dan tidak tersusun. Partikel-partikelnya bergerak bebas ke semua arah dengan cepat karena gaya
tarik-menarik antar partikel zat sangat lemah. Partikel-partikel tidak lagi
bersentuhan kecuali pada saat bertumbukan. Selain itu, partikel juga
bertumbukan dengan dinding wadah yang ditempatinya. Kondisi inilah
yang menyebabkan gas dapat memberikan tekanan. Partikel zat gas tidak
mempunyai bentuk dan volume yang tetap.
Nilai religius : Menurut Suroso Adi Yudianto, ”nilai religius suatu bahan ajar IPA adalah kandungan nilai yang dapat meningkatkan keyakinan terhadap Allah SWT. Keteraturan, keseimbangan, peristiwa sebab akibat, dan sebagainya merupakan aspek yang dapat menumbuhkan kesadaran bahwa segala hal yang terjadi pasti ada yang menciptakan dan mengaturnya ( Suroso Adi Y., 1998: 14).”34
Perkara gaib yang paling agung dan paling jauh dari jangkauan
pengetahuan manusia adalah tentang hakikat zat Tuhan Yang Maha Suci,
yang Mahaluhur mengatasi semua makhluk, yang tersifati dengan segala
kesempurnaan dan suci dari setiap kekurangan.35
lembaga-lembaga Al-Qur’an mengajak akal untuk mengakui
kekurangan dirinya dalam menegtahui hakikat zat Allah SWT, yaitu
dengan mengetahui wujud-Nya, keesaan-Nya, dan kekhasan pribadi-Nya
dengan kesempurnaan yang paling luhur. Juga dengan mengetahui
keindahan pengaturan-Nya terhadap jagat raya ini dan kebersifatan-Nya
dengan sifat ilmu, hikmah, berkehendak, kuasa, mulia, kasih saying, dan
seterusnya dari sifat-sifat kesempurnaanyang layak bagi zat-Nya.
34
Suroso Adi Yudianto,., op.cit, h. 306-307 35
Untuk mengetahui dalil-dalil secara rinci tentang sifat wujud Allah
SWT. Firman-Nya,
⌧
⌧
☺
“apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi?....” (ath-Thur: 35-36)
Karena, adanya akibat pasti ada penyebabnya. Segala gerak pasti ada
penggeraknya dan setiap ciptaan pasti ada penciptanya. Ini fitrah hukum
alam yang tidak mungkin dispungkiri kecuali oleh para pendusta. Kalau
mereka tidak tercipta dari sesuatu, mungkinkah mereka menciptakan dari
mereka sendiri? Tentu tidak, karena sesuatu tidak akan menciptakan
dirinya sendiri, juga karena makhluk sebelum kejadiannya adalah ‘adam’
tidak ada’, sedang ketiadaan (‘adam) mustahil bisa menjadikan sesuatu
menjadi ada.
Wujud Sang Pencipta merupakan hakikat yang baku dan beriman
kepada-Nya merupakan fitrah dalam jiwa yang bersih. Dari sini dapat
dikatakan bahwa perasaan pertama yang muncul dalam diri manusia ketika
ia mengamati dirinya dan alam sekitarnya adalah tentang adanya sebuah
kekuatan besar yang mengendalikan, memelihara, mengatur alam dan
kehidupan, serta bertindak sekehendak sekehendak dirinya. Kepercayaan
dan keyakinan seseorang terhadap sesuatu sudah cukup jika perasaan
fitrahnya sesuai dengan hal-hal yang dicapai oleh peneliti melalui
metodologi yang benar. Jika penelitian tidak dipengaruhi oleh hawa nafsu
dan fanatisme, akan menagantarkan penelitianya mencapai hasil yang
beriman kepada Allah serta beriman kepada semua yang ditetapkan oleh
Islam, agama yang benar.36
Dari penjelasan di atas, penulis menganalisa bahwa konsep zat dan
wujudnya dapat diintegrasikan dengan nilai keagamaan yang dihubungkan
dengan nilai-nilai ilahiyah melalui ayat-ayat qauniyyah. Dengan harapan
siswa lebih paham akan konsep materi tersebut, dan dapat meningkatkan
keyakinan dank ke-Esaan Allah SWT (tauhid) pada diri siswa.
B. Bahasan Hasil Penelitian yang Relevan
CTL dikembangkan oleh The Washington State Concortium for
Contextual Teaching and Learning, yang melibatkan 11 perguruan tinggi,
20 sekolah dan lembaga lembaga ayat-ayat 37
Pendekatan Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning
(CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara
materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong
siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan
masyarakat (US Departement of Education, 2001). Dalam konteks ini
siswa perlu mengerti apa makna belajar, manfaatnya, dalam status apa
mereka dan bagaimana mencapainya. Dengan ini siswa akan menghidari
bahwa apa yang mereka pelajari berguna sebagai hidupnya nanti.
Sehingga, akan membuat mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang
memerlukan suatu bekal yang bermanfaat untuk hidupnya nanti dan siswa
akan berusaha untuk meggapainya.
36
Ahmad Fuad Pasya, Dimensi Sains Al-Qur’an …., Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2004, h. 7
37
C. Kerangka Berpikir
Belajar dan pembelajaran adalah aktivitas dimana guru dan siswa dapat
saling berinteraksi. Didalam proses interaksi yang terjadi di kelas melibatkan
adanya perbedaan kecepatan setiap siswa dalam menerima dan memahami
suatu materi pelajaran, ada siswa yang cepat, sedang, dan ada juga yang
lambat.
Beberapa faktor yang menjadi penghambat atau penghalang proses
pembelajaran siswa antara lain: pertama hambatan psikologis misalnya minat,
sikap, dan intelgensi. Dan kedua adalah hambatan fisik seperti kelelahan,
sakit, dan keterbatasan dengan indera. Karena adanya hambatan tersebut
menyebabkan proses pembelajaran siswa kurang efektif dan efisien. Oleh
karena itu pembelajaran CTL terintegrasi nilai keagamaan dengan
menggunakan metode inkuiri (Inquiry Based Learning) dapat dijadikan salah
satu pilihan strategi dan metode yang efektif dalam pelaksanaan kegiatan
pembelajaran agar tercapai hasil belajar yang bermakna.
Pendekatan CTL merupakan konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan dunia nyata, mendorong
siswa membuat hubungan antar pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka menambahkan keyakinan mereka
terhadap apa yang jadi pengalamannya dalam belajar. Guru mengintegrasikan
suatu ilmu pengetahuan dalam ilmu fisika dengan nilai religius. Kemampuan
para siswa mengaitkan pengetahuan akademis mereka dengan kehidupan
sehari-hari mereka, semakin banyak makna pelajaran.
Proses pembelajaran CTL berlangsung alamiah. Siswa bekerja
mengalami sendiri, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi
pembelajaran lebih dipentingkan dari pada hasil, Siswa akan menyadari bahwa
yang mereka pelajari berguna bagi kehidupannya nanti.
Belajar berbasis inkuiri membutuhkan strategi pengajaran yang
mengikuti metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran
bermakna. Dengan mengaplikasikan CTL berbasis inkuiri, siswa dapat
dalam proses pembelajaran sehari-hari. Hal ini dapat meningkatkan minat
belajar fisika siswa dan berimplikasi pada hasil belajar yang berupa
pemahaman siswa terhadap konsep zat dan wujudnya yang terintegrasi nilai
religius.
Pendekatan CTL dengan menggunakan pembelajaran berbasis inkuiri
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pikir
D. Pengajuan Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis penelitian dapat
dirumuskan sebagai berikut:
Ho = Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara penggunaan CTL model
inquiry based learning pada konsep zat dan wujudnya terhadap hasil
belajar siswa.
Ha = Terdapat pengaruh yang signifikan antara penggunaan CTL model
inquiry based learning pada konsep zat dan wujudnya terhadap hasil
belajar siswa. Faktor Internal
Faktor Eksternal
Pembelajaran CTL Inquiry Based Learning
Mengaktifkan Potensi Siswa BELAJAR
Penerimaan dan penggunaan konsep Terintegrasi Nilai Keagamaan
Menghubungk an pikiran danTindakan
Kebergantung an Positif
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian dan Desain Penelitian 1. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
eksperimen, dengan menganalisis uji-t yang menganalisis pengaruh yang
terjadi antara variabel X dan O berdasarkan perbedaan hasil belajar antara
kelompok eksperimen yang menggunakan pendekatan CTL dengan model
pembelajaran berbasis imkuiri, dan kelompok kontrol dengan menggunakan
metode demonstrasi. Metode eksperimen merupakan kegiatan yang
direncanakan dan dilaksanakan oleh peneliti untuk mengumpulkan bukti-bukti
yang ada hubungannya dengan hipotesis yang diajukan, yaitu dengan melihat
akibat setelah subjek dikenai perlakuan pada variabel bebasnya.
Tujuan penelitian eksperimen yaitu mengetahui sebab-akibat dengan
cara mengenakan kepada satu kelompok atau lebih kelompok eksperimental
kondisi perlakuan dan membandingkan hasilnya dengan satu atau lebih
kelompok kontrol yang tidak dikenai kondisi perlakuan.1
2. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah “Control
Group Pre test-Post test Design”2. Dalam rancangan ini dilibatkan dua
kelompok yang dibandingkan. Kelompok eksperimen diberikan perlakuan
untuk jangka waktu tertentu.
Pengukuraran dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan diberikan dan
pengaruh perlakuan diukur dari perbedaan antara tes awal (O1) dan tes akhir
(O2). Desain penelitian ini tampak pada tabel 3.1.
1
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: suatu pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, h. 108-109.
2
. Suharsimi Arikunto, Ibid, h. 86-87.
Tabel 3.1 Control Group Pre test-Pos test Design
Grup Pre test Variabel Terikat Post test
Eksperimen O1 XM O2
Kontrol O1 Xm O2
Keterangan:
O1 = Tes yang diberikan sebelum proses belajar mengajar dimulai,
diberikan kepada kedua kelompok (eksperimen dan kontrol).
XM = Pemberian perlakuan proses belajar mengajar untuk kelompok
eksperimen menggunakan model pembelajaran berbais inkuiri
(inquiry based learning)
Xm = Pemberian perlakuan proses belajar mengajar untuk kelompok kontrol
dengan menggunakan metode demonstrasi
O2 = Tes yang diberikan setelah proses belajar mengajar dan diberikan
kepada kedua kelompok.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada semester ganjil tahun ajaran 2009/2010,
pada bulan Oktober 2009. Dan bertempat di MTs Al-Khairiyah
Citeureup-Bogor.
C. Prosedur Penelitian
1. Tahap Awal (Pendahuluan)
Langkah awal pada tahap persiapan sebelum melaksanakan penelitian
adalah pengurusan surat izin penelitian dari Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Langkah selanjutnya adalah survey ke tempat penelitian
yang dituju, melalui informasi yang diperoleh dapat dikaji suatu masalah
yang terdapat pada proses kegiatan belajar-mengajar kemudian melakukan
studi literatur yang berhubungan dengan kajian teori yang sesuai dengan
mengetahui perangkat penelitian yang harus disiapkan, juga dapat menentukan
waktu yang direncanakan untuk penelitian.
Pada tahap ini, melakukan pembuatan perangkat pembelajaran dengan
bimbingan dosen pembimbing, dan penyusunan instrumen untuk penelitian.
Setelah itu instrumen yang telah dibuat dapat diuji cobakan.
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Menentukan dua kelompok sampel, yaitu kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol. Selanjutnya, dilaksanakan tes awal (pre test) kepada kedua
kelompok penelitian menggunakan soal-soal hasil analisis data uji coba
instrumen penelitian. Setelah itu dilaksanakan kegiatan belajar mengajar dapat
dilaksanakan. Kelompok eksperimen diberi perlakuan berupa pembelajaran
melalui pendekatan CTL dengan menggunakan model pembelajaran berbasis
inkuiri, sedangkan kelompok kontrol dengan menggunakan metode
demonstrasi. Setelah diberikan perlakuan, dilaksanakan tes akhir ( post test)
untuk kedua kelompok penelitian dengan menggunakan soal-soal yang sama
pada saat tes awal (pre test) dilaksanakan. Tes post test merupakan langkah
terakhir pada tahap pelaksanaan penelitian. Tahap selanjutnya adalah tahap
akhir dalam proses penelitian.
3. Tahap Akhir Penelitian
Setelah kelompok penelitian melaksanakan tes akhir (post test).
Selanjutnya adalah melakukan analisis data hasil tes awal (pre test) dan tes
akhir (post test) kedua kelompok penelitian, kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol, menggunakan uji statistik. Setelah itu dilakukan penarikan
kesimpulan berdasarkan hasil uji statistik yang telah dilakukan sebelumnya.
Penarikan kesimpulan merupakan langkah paling akhir dalam prosedur
Studi Literatur Survei
Pendahuluan
Telaah Kurikulum
Masalah
Pembuatan Perangkat Pembeljaran
Penyusunan Instrumen
Gambar 3.1 Prosedur Penelitian
Uji coba Revisi
Pelaksanaan
Pretest
Penerapan CTL dengan menggunakan pembelajaran
berbasis inkuiri di kelas
Pelaksanaan Posttest
Analisa Data
Hasil Penelitian
D. Populasi dan Sampel
Populasi merupakan keseluruhan subjek penelitian, sedangkan sampel
adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti.3Populasi dalam penelitian
ini adalah seluruh siswa kelas VII MTs Al-Khairiyah Citeureup-Bogor.
Pembagian kelas di sekolah tersebut disebar secara merata dan tidak dibagi
berdasarkan kelas unggulan.
Sampel penelitian yang digunakan diambil dua kelas VII yang ada.
Adapun sampel yang akan diambil adalah kelas VII-A sebagai kelas
eksperimen dan kelas VII-B sebagai kelas kontrol.
E. Teknik Pengambilan Sampel Penelitian
Teknik pengambilan sampel dilaksanakan secara claster sampling, dan
pemilihan kelas diambil secara random, sehingga terpilih satu kelas yakni
kelas VII-A sebagai kelas eksperimen dengan jumlah sebanyak 30 siswa yang
diberi metode CTL dan kelas VIII-B sebagai kelas control dengan jumlah 30
siswa yang diajar dengan metode demonstrasi.
F. Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan, yaitu dengan tes (Test). Instrumen penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen tes hasil belajar pada
aspek kognitif. Tes merupakan alat ukur dalam menentukan adanya perubahan
akibat perlakuan dari penelitian. Tes diberikan dalam bentuk pilihan ganda (a,
b, c, dan d). Soal-soal yang diambil dari beberapa sumber yang relevan dan di
adaptasi untuk tujuan penelitian ini.
G. Instrumen Penelitian
Sebelum instrumen tes di buat, peneliti terlebih dahulu membuat
kisi-kisi instrumen tes. Kisi-kisi-kisi adalah suatu format atau tes matriks yang
3
membuat kriteria tentang soal-soal yang diperlukan oleh suatu tes atau ujian4.
Kisi-kisi disusun bertujuan untuk menjamin bahwa soal yang dikembangkan
sesuai dengan tujuan yang hendak diukur. Untuk itu, sebelum uji coba
instrumen peneliti melakukan validitas isi berdasarkan jugdmen pakar, yaitu
pembimbing skripsi dan praktisi, yaitu guru bidang studi fisika.
Tabel 3.2 Kisi-kisi Instrumen
Aspek yang diukur
H. Variabel Penelitian
Variabel Bebas (O) :Pembelajaran menggunakan pendekatan CTL
dengan pembelajaran berbasis inkuiri.
Variabel Terikat (X) :Hasil belajar siswa pada konsep Zat dan
wujudnya terintegrasi nilai keagamaan.
4
I. Uji Coba Instrumen
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini sebelumnya telah
diujicobakan terlebih dahulu kepada siswa kelas VIII yang tidak diikutkan
dalam sampel. Uji coba instrumen ini dimaksudkan untuk mengetahui
syarat-syarat suatu tes yang baik seperti validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran dan
daya pembeda.
1. Pengujian Validitas
Pengujian validitas dilakukan dengan analisis faktor, yaitu dengan
mengkorelasikan antara skor item instrumen dengan menggunakan rumus
korelasi Pearson Product Moment,5 yaitu :
(
) ( )( )
rxy = koefisien korelasi
ΣXi = jumlah skor item
ΣYi = jumlah skor total (seluruh item) n = jumlah responden
Setelah harga koefisien korelasi Pearson Product Moment diperoleh,
maka dilakukan uji signifikansi untuk mengukur keberartian korelasi
berdasarkan distribusi kurva normal dengan menggunakan statistik uji-t
dengan rumus :
thitung = nilai hitung koefisien validitas
rxy = koefisien korelasi tiap butir soal
n = jumlah responden
5
Ridwan, Belajar Mudah Penelitian untuk Guru-Karyawan dan Peneliti Pemula,
Kemudian hasil di atas dibandingkan dengan nilai t-tabel pada
signifikansi 5% (α = 0.05) dan derajat kebebasan (dk) = n – 2. Kaidah
keputusannya : jika thitung > ttabel berarti valid, sebaliknya jika thitung < ttabel
berarti tidak valid. Jika instrumen itu valid, maka dilihat kriteria penafsiran
indeks korelasinya (r)6 sebagai berikut :
Tabel 3.3 Interpretasi Koefisien Korelasi Nilai r
Interval Koefisien Tingkat Hubungan
0.80 – 1.000 Sangat tinggi
0.60 – 0.799 Tinggi
0.40 – 0.599 Sedang
0.20 – 0.399 Rendah
0.00 – 0.199 Sangat rendah (tidak valid)
2. Pengujian Reliabilitas
Dalam hal ini peneliti menguji reliabilitas dengan menggunakan
metode single test single trial method, maksudnya pengetesan hanya
menggunakan sebuah tes dan di uji cobakan satu kali. Reliabilitas tes
ditentukan dengan menggunakan rumus (KR20): 7
⎟
r 11 = koefisien reliabilitas tes
p = proporsi subjek yang menjawab item yang benar
q = proporsi subjek yang menjawab item dengan salah (q = 1- p)
Σpq = jumlah hasil perkalian antara p dan q
6
Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan Edisi Revisi, Jakarta : Erlangga, 2008,, h. 81- 82.
7
n = banyaknya item
S2 = standar deviasi dari tes
Jika instrument itu reliable, maka dapat dilihat kriteria penafsiran indeks
reliabilitasnya (r11) sebagai berikut:
Tabel 3.4 Interpretasi Kriteria Reliabilitas Instrumen Interval Koefisien Tingkat Korelasi
< 0,20 Tidak ada korelasi
0,020 – 0,40 Korelasi rendah
0,40 – 0,70 Korelasi sedang
0,70 – 0,90 Korelasi tinggi
0,90 – 1,00 Korelasi sangat tinggi
1,00 Korelasi sempurna
3. Tingkat Kesukaran
Taraf kesukaran butir soal merupakan bagian dari keseluruhan siswa
yang menjawab benar pada butir soal tersebut, soal yang baik memiliki 3
variasi, yaitu mudah (25%), sedang (50%), dan sukar (25%). Angka indeks
kesukaran item itu dapat diperoleh dengan menggunakan rumus:8
JS B
P=
Keterangan:
P = Taraf kesukaran butir soal
B = Jumlah siswa yang menjawab benar pada butir soal yang
dianalisis
JS = jumlah seluruh siswa peserta tes
Berdasarkan harga P yang dimiliki masing-masing butir soal, dapat
diketahui butir soal mana yang tergolong sukar, sedang dan mudah. Butir soal
8
dengan P>0.75 tergolong mudah, butir soal dengan 0.25≤P≤0.75 tergolong
sedang, dan butir soal dengan P<0.25 tergolong sukar.
4. Daya Pembeda (Discriminating Power)
Daya pembeda butir soal menunjukka seberapa jauh kemampuan butir
soal tersebut dalam membedakan siswa pandai atau berkemampuan tinggi
dengan siswa yang berkemampuan rendah. Daya pembeda (DP) daya
pembeda butir soal diperoleh melalui persamaan:9
B
BA = banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab soal
dengan benar
BB
= banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab soal
dengan benar
JA = banyaknya peserta kelompok atas
JB = banyaknya peserta kelompok bawah
DP = daya pembeda
Klasifikasi daya pembeda soal:
Tabel 3.5 Klasifikasi daya pembeda
Indeks Kriteria
J. Teknik Analisis Data
Analisis data diawali dengan pengujian persyaratan analisis, yaitu uji
normalitas dan uji homogenitas kemudian dilanjutkan dengan pengujian
hipotesis.
1. Uji Normalitas
Uji normalitas adalah pengujian terhadap normal tidaknya sebaran data
yang akan dianalisis. Teknik yang digunakan untuk menguji normalitas dalam
penelitian ini adalah dengan metode Chi-Kuadrat.10
Adapun langkah-langkah pengujiannya sebagai berikut:
1) Mencari skor terkecil dan terbesar
2) Mencari nilai rentang (R)
3) Mencari banyaknya kelas (BK)
4) Mencari nilai panjang kelas:
BK R i=
5) Membuat tabulasi dengan table penolong
6) Mencari rata-rata:
n fXi
∑
=
χ
7) Mencari simpangan baku (standar deviasi):
(
)
8) Membuat daftar frekuensi yang diharapkan dengan cara:
a) Menentukan batas kelas
b) Mencari nilai Z-skor untuk batas kelas interval dengan rumus:
S
menggunakan angka-angka untuk batas kelas
d) Mencari luas kelas interval dengan mengurangkan angka-angka 0 – Z
yaitu angka baris pertama dikurangi baris ketiga dan seterusnya.
e) Mencari frekuensi yang diharapkan (fe) dengan cara mengalikan luas
tiap interval dengan jumlah responden.
9) Mencari Chi Kuadrat hitung
(
χ2hitung)
:kebebasan (dk) = k – 1, dengan criteria:
Jika χ2hitung ≥ χ2tabel artinya distribusi data tidak normal
Jika χ2hitung ≤ χ2tabel artinya data berdistribusi normal
2. Uji Homogenitas
Setelah kelas diuji kenormalannya maka setelah itu kelas diuji
kehomogenitasannya. Teknik yang digunakan untuk uji homogenitas pada
penelitian ini adalah dengan uji Bartlett.11
Adapun langkah-langkah pengujiannya adalah sebagai berikut:
1) Masukan angka-angka statistic untuk pengujian homogenitas pada table
penolong
2) Menghitung varians (S) gabungan dari kedua sampel:
3) Menghitung Log S
4) Menghitung B
5) Menghitung nilai χ2hitung
3. Uji Hipotesis
Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan rata-rata antara dua
kelompok, maka dilakukan uji-t.
Uji-t adalah tes statistik yang dapat dipakai untuk menguji perbedaan
atau kesamaan dua kondisi perlakuan atau dua kelompok berbeda. Kemudian
diuji dengan rumus:12
χ : rata-rata nilai hasil belajar kelompok siswa yang diajar
menggunakan pendekatan CTL dengan pembelajaran
berbasis inkuiri
2
χ : rata-rata nilai hasil belajar kelompok siswa yang diajar tidak
menggunakan pendekatan CTL dengan pembelajaran
berbasis inkuiri
1
n : jumlah sample kelas eksperimen
2
n : jumlah sampel kontrol
1
S : varians kelompok esperimen
2
S : varians kelompok kontrol
S : nilai varians gabungan
Langkah selanjutnya adalah sebagai berikut:
1) Menentukan derajat kebebasan (dk) dengan rumus:
dk=
(
n1−1) (
+ n2−1)
2) Menentukan nilai ttabel
3) Menguji hipotesis
12