3 TAHUN 2006
(Analisis Penetapan Nomor: 151 /Pdt.P/2013/PN.Wnsb.)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh
Eka Dita Martiana
NIM: 1110044100032
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
Eka Dita Martiana,1110044100032, Fakultas Syariah dan Hukum, Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan pengangkatan anak, pelaksanaan pengangkatan anak di Pengadilan Negeri khususnya pengangkatan anak bagi warga muslim pasca Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, karena pada saat ini, masyarakat kurang mengetahui dan memahami tentang kewenangan peradilan dalam pengangkatan
Penelietian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analisis dan apabila jenisnya termasuk dengan penelitian hukum normatif. Jenis data yang dipergunakan adalah data sekunder, primer dan tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu melalui studi kepustakaan, studi dokumen, wawancara. Analisis data menggunakan analisis data kualitatif dengan model secara non statistik.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pengangkatan anak yang memutuskan hubungan darah(nasab) diharamkan dalam hukum Islam, maka yang diperbolehkan adalah pengangkatan anak dalam pengertian, pemeliharaan, pengasuh anak, yang diperbolehkan tanpa memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandung. Sedangkan pengangkatan anak dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, bahwa pengangkatan anak merupakan pengalihan hak dari orang tua kandungnya kepada orang tua angkat dengan prinsip demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir. Proses pengangkatan anak bagi warga muslim berdasarkan hukum Islam dilakukan di Pengadilan Agama, sedangkan pengangkatan anak di Pengadilan Negeri dengan dasar SEMA Nomor 6 Tahun 1983 tentang penyempurnaan SEMA Nomor 2 Tahun 1979 tentang pemeriksaan permohonan pengangkatan anak di Indonesia dan atas dasar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.
Implikasi teoritis penelitian ini adalah adanya pembaharuan hukum di bidang pengangkatan anak di Indonesia, sedangkan implikasi praktiknya yaitu memberi informasi kepada berbagai pihak yang terkait dengan pengangkatan anak serta masyarakat pada umumnya.
Kata Kunci : Pengangkatan Anak , Kewenangan Peradilan Agama.
Pembimbing : Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H.,M.A.
i
Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini, Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW, pembawa Syariahnya yang universal bagi semua umat manusia
dalam setiap waktu dan tempat hingga akhir zaman.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ibunda Hj. Nur Halimah dan
Ayahanda H. Agus Cahyono, Eko Wiyono yang selalu memberikan dorongan,
bimbingan, kasih sayang, dan doa tanpa kenal lelah dan bosan. Semoga Allah
senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis
temukan, namun syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan inayah-Nya, kesungguhan,
serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak
langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhir
skripsi ini dapat terselesaikan.Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan
kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Bapak Dr. Phil JM. Muslimin, MA., selaku Dekan Fakultas Syariah dan
ii
2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., dan Ibu Hj. Rosdiana, M.A.,
selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., selaku dosen pembimbing yang
telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis.
4. Bapak Nur Rohim Yunus, L.LM yang telah membantu membimbing dalam
mengoreksi penulisan skripsi ini.
5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Program
Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan
ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.
6. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam
pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.
7. Bapak Sarwono, S.H., M.Hum., selaku Ketua Pengadilan Negeri Wonosobo
dan seluruh jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
dalam mencari data-data sebagai bahan rujukan skripsi.
8. Ibu Femina Mustikawati, S.H., MH., selaku Hakim yang memutus perkara
yang telah penulis teliti dan telah senatiasa memberikan wejangan dan
bimbingan pada penulis selama penulis melakukan wawancara.
9. Bapak Bawon, S.H., selaku Wakil Panitera di Pengadilan Negeri Wonosobo
yang senantiasa membantu penulis selama mencari data dan membimbing
iii
penulis dapat menyelesaikan skripsi.
11. Sahabat sahabat seperjuangan penulis Defi Uswatun Hasanah, Arini Zidna,
dan Eka Kurnia Maulida
12. Semua teman-teman Peradilan Agama Angkatan 2010 yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu yang telah mensupport penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
13. Serta terima kasih kepada calon imamku Muhammad Dail Makky yang telah
memberikan support dan selalu membantu agar tidak mudah menyerah dalam
menyelesaikan studi ini.
Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang
berlipat ganda. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.
Ciputat, 28 April 2014
ABSTRAK ...
KATA PENGANTAR ... i
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
D. Metode Penelitian... 8
E. Review Studi ... 12
F. Sistematika Penulisan ... 15
BAB II PENGANGKATAN ANAK A. Pengertian Pengangkatan Anak ... 16
B. Sejarah Singkat... 20
C. Dasar Hukum Pengangkatan Anak ... 22
D. Tujuan Pengangkatan Anak ... 27
E. Tata Cara Pengangkatan Anak ... 29
F. Lembaga Pengangkatan Anak ... 32
A. Kedudukan Peradilan Negeri di Indonesia ... 38
B. Ruang Lingkup Kewenangan Peradilan Negeri di Indonesia ... 40
C. Sejarah Singkat Pengadilan Negeri ... 42
D. Profil Pengadilan Negeri ... 44
BAB IV PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN A. Duduk perkara ... 46
B. Bentuk Kewenangan Peradilan Pasca Undang-Undang No.3 Tahun 2006 ... 49
C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam menetapkan Perkara No.151/Pdt.P/2013/PN. Wnsb... 53
D. Dampak Hukum Pengangkatan Anak Bagi Warga Muslim di Pengadilan Negeri Wonosobo ... 59
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 66
B. Saran ... 68
DAFTAR PUSTAKA ... 69
LAMPIRAN
1. Surat Permohonan Dosen Pembimbing
2. Surat Permohonan Data/ Wawancara Hakim Pengadilan Negeri Wonosobo
3. Surat Keterangan Pengadilan Negeri Wonosobo dan HasilWawancara
1 A.Latar Belakang Masalah
Pernikahan merupakan salah satu cara yang telah ditetapkan oleh Allah SWT
untuk memperoleh anak dan memperbanyak keturunan, serta melangsungkan
kehidupan manusia.1
Dalam suatu hadist diterangkan salah satu tujuan pernikahan
yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Habban, yang menganjurkan kaum laki-laki untuk
menikahi perempuan-perempuan yang dicintai dan yang subur, karena perempuan
yang subur akan menghasilkan keturunan.2
Anak merupakan amanah sekaligus karunia Allah SWT, bahkan anak dianggap
sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan harta benda
lainnya. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan masa,
sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang,
berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi
serta hak sipil dan kebebasan.3
Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab, perlu mendapat
kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik
fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu pula dilakukan upaya
1
Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 1995, Cet. Pertama), h.42.
2
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antar Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan , (Jakarta: Kencana, 2007, Cet.2), h. 44.
3
perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan
jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.4
Melihat tingginya frekuensi perceraian, poligami, dan pengangkatan anak yang
dilakukan dalam masyarakat merupakan akibat dari perkawinan yang tidak
menghasilkan keturunan, jadi seolah-olah apabila suatu perkawinan tidak
memperoleh keturunan, maka tujuan perkawinan tidak tercapai. 5
Memang semula yang mempunyai kewenangan absolut dalam memberikan
penetapan pengangkatan anak adalah Pengadilan Negeri hal ini didasari oleh SEMA
Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979,
pengangkatan anak yang dilakukan oleh golongan tionghoa melalui notaris tidak
dibenarkan tetapi harus melalui pengadilan.6
Umat Islam melakukan hubungan-hubungan baik yang bersifat vertikal maupun
horizontal. Fitrahnya ketika umat Islam melakukan hubungan tersebut tidak akan
terlepas atau keluar dari keluarga hukum Islam, oleh karena itu bagi orang yang
beragama Islam yang ingin melakukan hubungan-hubungan horizontal dalam hal ini
ialah melakukan pengangkatan anak yang sesuai dengan pandangan dan kesadaran
hukumnya yaitu berdasarkan hukum Islam. Sesuai dengan penafsiran Prof. Hazairin
terhadap Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 bahwa negara republik Indonesia wajib
4
Soefyanto, Perlindungan Anak dalam Pengadilan Anak, (Jakarta: Universitas Islam Negeri, 2007), h.1.
5
Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986, Cet. III), h. 275.
6
menjalankan dalam makna menyediakan fasilitas hukum agama yang dipeluk bangsa
Indonesia sepanjang pelaksanaannya memerlukan bantuan penyelenggaraan negara.7
Dalam penafsiran tersebut demi mendapatkan kepastian hukum mengharuskan orang
yang beragama Islam dengan memulai mengajukan permohonan pengangkatan anak
tersebut kepada peradilan agama. Peradilan Agama hanya berwenang di bidang
perdata tertentu, tidak termasuk bidang pidana dan hanya untuk orang-orang Islam di
Indonesia, serta dalam perkara-perkara perdata Islam tertentu dan tidak mencakup
seluruh perdata Islam.8
Dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, menyatakan:
“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang a. Perkawinan...”.9
Penjelasan huruf a Pasal 49 ini, antara lain, menyatakan:
“Yang dimaksud dengan perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam
atau berdasarkan Undnag-Undang mengenai perkawinan yang berlaku
yang dilakukan menurut Syari’ah antara lain...penetapan asal-usul
anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam;...”
Dalam Peraturan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama dalam pasal 49 bahwa yang dimaksud dengan pengangkatan anak
7
Abdul Jamil, Print Out Mata Kuliah Peradilan Agama Fakultas Hukum UII, (Yogyakarta: 2012)
8
Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta:Amzah, 2012), h.7.
9
berdasarkan hukum Islam disini adalah bahwa tata cara pengangkatan yang ada di
Peradilan Agama berdasarkan hukum Islam yang akibat hukumnya tidak
menasabkan atau tidak memberi status anak tersebut menjadi anak kandung dan
merupakan ketentuan yang sesuai dengan hukum Islam.
Pasal 171 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam mengatur mengenai pengangkatan
anak menurut hukum Islam. Memberikan pengertian bahwa” anak angkat adalah anak
yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan
sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua
angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”.10
Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang telah diperbarui
dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama ruang
lingkup kewenangan absolute Peradilan Agama untuk memeriksa, memutuskan, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam dan dalam hal ini pun termasuk masalah pengangkatan anak. Akan tetapi sejak
lahirnya Undang-Undang tersebut masih ada masyarakat atau pegawai pengadilan
negeri yang masih menerima bahkan telah memberikan putusan/penetapan kepada
orang yang beragama Islam termasuk hal permohonan pengangkatan anak, padahal
itu sudah tidak berlaku lagi untuk Pengadilan Negeri.
Oleh karena itu, berawal dari latar belakang di atas, penulis tertarik untuk
menganalisa lebih jauh dengan melakukan penelitian dengan mengangkat judul
10
Pengangkatan Anak Bagi Warga Muslim di Pengadilan Negeri Pasca
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 (Analisis Penetapan Nomor: 151
/Pdt.P/2013/PN.Wnsb.
B.Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Studi ini difokuskan pada kajian peran Peradilan Umum terhadap
pengangkatan anak, serta di mana letak persinggungan wewenang Peradilan
Umum dengan Peradilan Agama terhadap pengangkatan anak. Khususnya pasca
lahirnya Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Studi ini difokuskan untuk mencoba menjelaskan tentang kewenangan
Peradilan Agama setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,
dalam hal ini lebih khusus mengenai kewenangan menangani perkara
pengangkatan anak. Yang dimaksud kewenangan disini adalah kewenangan
mengenai memeriksa, mengadili serta menyelesaikan perkara antar orang-orang
yang beragama Islam atau orang dan badan hukum yang dengan sukarela
menundukkan diri kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi
kompetensi absolut peradilan agama sesuai dengan penjelasan Pasal 49
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 7
2. RumusanMasalah
Menurut Peraturan bahwa pengangkatan anak merupakan kewenangan
absolut Peradilan Agama, akan tetapi kenyataan di lapangan, masih ada Peradilan
Negeri mengambil hak absolut Peradilan Agama tentang Pengangkatan Anak.
Berdasarkan rumusan tersebut penulis merinci dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut:
a. Bagaimana bentuk kewenangan Peradilan Negeri dalam perkara pengangkatan
anak pasca lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama ?
b. Apa landasan hukum yang dijadikan sebagai pertimbangan hukum oleh hakim
Pengadilan Negeri Wonosobo dalam memutus perkara pengangkatan anak bagi
pemohon yang beragama islam ?
c. Bagaimana dampak hukum pengangkatan anak bagi warga muslim di
Pengadilan Negeri khususnya Pengadilan Negeri Wonosobo?
C.Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui bentuk kewenangan Peradilan Negeri dalam pengangkatan
anak, pasca lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan
b. Untuk mengetahui landasan hukum sebagai pertimbangan hukum yang
digunakan hakim Pengadilan Negeri Wonosobo dalam memutus perkara
pengangkatan anak bagi pemohon yang beragama Islam.
c. Untuk mengetahui dampak hukum pengangkatan anak bagi warga muslim di
Pengadilan Negeri khususnya Pengadilan Negeri Wonosobo.
2. ManfaatPenelitian
Manfaat dari penelitian ini di kualifikasi menjadi dua manfaat yakni manfaat
teoritis dan manfaat praktis. Kedua manfaat tersebut dijabarkan sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a Menambah wawasan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya
pada bidang hukum keluarga mengenai konsep pengangkatan anak di dalam
Islam.
b. Memiliki gambaran yang jelas mengenai pelaksanaan dari pengangkatan
anak dan akibat hukumnya melalui Pengadilan.
c. Memberikan konsepsi teoritis mengenai hal ihwal yang berkaitan dengan
hukum permasalahan pengangkatan anak.
d. Menjadikan konstruksi pengangkatan anak dan varianya sebagai dialog
intelektual akademis.
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai wujud kontribusi positif penulis terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan, khususnya pada bidang hukum dan ilmu perundang-undangan
b. Memberikan satu karya ilmiah yang bermanfaat bagi civitas akademika
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
c. Sebagai bahan acuan bagi masyarakat umum untuk mewujudkan kepastian
hukum dalam pengangkatan anak di Pengadilan Agama.
D.Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif yakni proses penelitian yang difokuskan untuk menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang dijadikan
sumber informasi dan perilaku yang dapat diamati11, untuk penganalisaan data
secara non- statistik.
2. Metode Pendekatan
Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan yuridis
normatif yakni dengan kajian perundang-undangan (statute approach). Dengan
pendekatan ini dilakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan tema sentral penelitian ini.12
3. Sumber data
11
Nurul Zuhriah, Metedologi penelitian Sosial dan Pendidikan :Teori- Aplikasi, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007), Hal. 92.
12
Data yang digunakan terdiri dari data primer, sekunder, dan tersier.13 Data
primer terdiri dari beberapa peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
a. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
b. Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang
No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
c. Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak
d. Undang-Undang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
e. Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum
Islam
f. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 tentang penyempurnaan
Surat Edaran No. 2 tahun 1979 mengenai pengangkatan anak.
g. Penetapan Pengadilan Negeri Wonosobo (Nomor 151 /Pdt.P/2013/PN.Wnsb.)
Data sekunder14 bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini yaitu hasil karya dari para
13
Johnmy Ibrahim membagi sumber data pada penelitian yuridis normative menjadi 3 (tiga) macam, yakni sumber primer, sekunder, dan tersier. Di mana sumber primer merupakan bahan hukum yang diurut berdasar hierarki perundang-undangan, sumber sekunder adalah bahan dan data yang didapatkan dari buku-buku, jurnal-jurnal, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil symposium mmutakhir yang berkaitan dengna topic penelitian. Adapun sumber tersier merupakan bahan hukum yang member petunjuk atau penjelasan terhadap ban\han hukum primer dan juga sekunder. Lihat Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Bayumedia, 2008), h. 295-296, lihat juga Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 144-146.
14
akademisi hukum, makalah, seminar, majalah, kamus, ensiklopedia, artikel hukum
serta hasil penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya.
Adapun data tersier yang digunakan pada penelitian ini yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder, seperti kamus hukum dan ensiklopedia.
4. Subjek dan Objek Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Wonosobo. Adapun yang
menjadi objek dalam penelitian ini adalah penetapan Pengadilan Negeri
Wonosobo Nomor 151 /Pdt.P/2013/PN.Wnsb terkait dengan pengangkatan anak
dan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Sehubungan dengan itu maka
respondennya adalah hakim Pengadilan Negeri Wonosobo.
5. Alat Pengumpul Data
Untuk memperoleh semua data yang dibutuhkan, digunakan alat pengumpul
data sebagai berikut;
a. Studi dokumen, baik bahan primer berupa peraturan perundang-undangan
terkait dan bahan-bahan yang mengikat. Dalam hal ini berupa putusan
Pengangkatan Anak dengan nomor perkara 151 /Pdt.P/2013/PN.Wnsb , maupun
bahan skunder berupa buku, literatur, jurnal, dan tulisan lainnya yang mengkaji
seputar peraturan perundang-undangan tersebut, serta bahan tersier berupa
b. Wawancara, berupa indeept interview (wawancara yang mendalam) terhadap beberapa orang informan yang hal ini dilakukan pada hakim yang menangani langsung perkara Nomor 151 /Pdt.P/2013/PN.Wnsb.
6. Metode Analisis Data
Data yang telah terkumpul dianalisis secara deskriptif-kualitatif. Deskriptif
yaitu metode analisa dengan memilih data yang menggambarkan keadaan sebenarnya
di lapangan. Selanjutnya semua bahan dan data dianalisa secara deduktif, yakni suatu
bentuk penalaran yang berpangkal dari suatu proposisi umum yang kebenarannya
telah diketahui atau diyakini (self-evident) dan berakhir suatu pengetahuan baru yang bersifat khusus.15 Dalam penelitian ini proposisi umum tersebut berupa
kaedah-kaedah hukum. Sedangkan metode kualitatif adalah metode analisa data yang
mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian menurut
kualitas dan keberadaannya, yang terdiri dari dua variable. Pertama mengenai Pengangkatan Anak Bagi Warga Muslim di Pengadilan Negeri Pasca
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 . Kedua, landasan hukum dalam pertimbangan hukum yang diambil oleh hakim Pengadilan Negeri Wonosobo kemudian dihubungkan
dengan teori-teori yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga diperoleh jawaban
atas permasalahan yang diajukan.
E.Review Studi Terdahulu
15
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari lima (5) bab, di mana masing-masing bab berisikan
pembahasan yang berkesinambungan sebagai berikut;
Bab pertama berisikan pendahuluan menguraikan latar belakang masalah,
batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian,
tinjauan (review) kajian terdahulu, teori konseptual dan sistematika penulisan.
Bab kedua menjelaskan tinjauan umum tentang pengangkatan anak yang
meliputi pengertian, sejarah singkat, tujuan pengangkatan anak, dasar hukum
pengangkatan anak, tata cara pengangkatan anak dan pengangkatan anak menurut
lembaga yang berwenang dalam permohonan pengangkatan anak.
Bab ketiga menguraikan tentang profil terhadap peradilan negeri Wonosobo.
Bab keempat didalam bab ini akan menjelaskan tentang hasil penelitian dan
pembahasan pengangkatan anak di Pengadilan Negeri, yang berisikan analisis
Penetapan Pengadilan Negeri Wonosobo dengan nomor perkara 151
/Pdt.P/2013/PN.Wnsb, dan analisis akibat hukum penetapan pengangkatan anak serta
analisis penulis.
Bab kelima adalah bagian akhir dari penulisan skripsi ini, yang di dalamnya
akan berisikan kesimpulan dari penelitian dan saran yang bersifat kontribusi
16
PENGANGKATAN ANAK
A.Pengertian Pengangkatan Anak
1. Secara Etimologis
Istilah “Pengangkatan Anak” bukan hanya berkembang di Indonesia, namun
dalam masyarakat Arab, kini pengangkatan anak sudah menjadi tradisi, yang dikenal
dengan istilah “ىَِّبَتلَا“yang berarti mengambil anak.1
Dalam kamus al-Munawir, istilah tabani diambil dari kata al-Tabanni yang berasal dari bahasa arab يََّبَت – يَِّبَتَي - اًِّيَبَت , mempunyai arti mengambil,mengangkat
anak atau mengadopsi. Sedangkan dalam Ensiklopedia Hukum Islam, tabanni disebut
dengan “adopsi” yang berarti “pengangkatan anak orang lain sebagai anak orang
lain”.2
Pengangkatan anak sering diistilahkan dengan adopsi. Adopsi berasal dari kata
Adoptie dalam bahasa Belanda atau adoption dalam bahasa Inggris. Adoption artinya
pengangkatan, pemungutan, adopsi, dan untuk sebutan pengangkatan anak disebut
adoption of a child.3
1
Ahmad Kamil dan Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h. 95.
2
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid 1 (Jakarta : Ichtiar baru Van Hoeve, 1996), h. 28.
3
Tabanni diartikan mengambil anak. Sedangkan di dalam kamus bahasa
Indonesia istilah pengangkatan anak disebut juga dengan adopsi yang berarti
pengambilan (pengangkatan) anak orang lain secara sah menjadi anak
sendiri.4Maksud dari pengangkatan anak disini adalah mengangkat anak untuk
dijadikan anak kandung sendiri secara hukum di hadapan masyarakat.
2. Secara Terminologis.
Beberapa ahli telah memberikan rumusan tentang pengertian pengangkatan
anak sebagai mana berikut:
a. Menurut Wahbah al-Zuhaili, Secara terminologis tabanni menurut Wahbah al-Zuhaili adalah pengangkatan anak )tabanni) “Pengambilan anak
yang dilakukan oleh seorang terhadap anak yang jelas nasab-nya, kemudian
anak itu dinasab-kan kepada dirinya.”5
b. Mahmud Syaltut, Ia mengemukakan setidaknya ada dua pengertian
“pengangkatan anak.” Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh
dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status
“anak kandung” kepadanya; hanya diperlakukan oleh orang tua angkatnya
sebagai anak sendiri. Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi status sebagai “anak kandung”, sehingga ia berhak
memakai nama keturunan (nasab) orang tua angkatnya dan saling mewarisi
4Depdikbud, “
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 11.
5
harta peninggalan, serta hak-hak lain sebagai akibat hukum antara anak
angkat dan orang tua angkatnya.6
c. Surojo Wignjodipuro, Konsepsi pengangkatan anak menurutnya
didasarkan kepada hukum adat.7
d. Muderis Zaeni, yang mengatakan bahwaAdopsi adalah cara untuk
mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam
pengaturan perundang-undangan dan untuk mendapat pewaris atau untuk
mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak mempunyai keturunan atau
anak.8
Berdasarkan pengertian tersebut, adopsi lebih cenderung kepada pengertian
anak asuh dalam rangka membantu orang tua kandung si anak. Boleh juga
karenaorang tua angkatnya dengan alasan tidak mempunyai keturunan dan belas
kasihan kepada anak karena orang tua tidak mampu membiayai anaknya.9 Tujuan
6
Andi Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 21.
7
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), h.118.
8
Muderis Zaeni, Adopsi Suatu Tinjauan Dari tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h .4. Lihat juga Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak , (Jakarta: Akademika Pressindo CV, 1984), h. 44.
9
mengangkat disini adalah untuk mendidik agar menjadi anak berguna di masa
depan.10
3. Menurut Perundang-undangan Republik Indonesia
Pengertian anak angkat dalam perundang-undangan Republik Indonesia dapat
ditemukan dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dan dalam Pasal 47 ayat (1) Nomor 23 Tahun 2006 Tentang
Administrasi Kependudukan.11Bahwa yang dimaksud dengan anak angkat adalah
anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang
sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan
membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya
berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.12
4. Pengertian Menurut Hukum Islam
Menurut hukum Islam Pengangkatan Anak adalah mengambil anak orang lain
untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, dan diperlukan
oleh orang tua angkatnya seperti anaknya sendiri, tanpa memberi status anak kandung
10
Yaswirman, Hukum Keluarga Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), h. 251-252.
11
Pengertian atau Batasan Pengangkatan Anak tersebut sama dengan pengertian atau batasan anak angkat yang diatur dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak, bahwa Anak Angkat ialah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keptusan atau penetapan pengadilan.
12
kepadanya dan tidak menimbulkan akibat hukum diantara keduanya seperti hak
pewarisan dan perwalian. Pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam itu sendiri
yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah serta hasil Ijtihad yang berlaku di
Indonesia yang diformulasikan dalam berbagai produk pemikiran hukum Islam, baik
dalam bentuk fikih, fatwa, putusan pengadilan, maupun peraturan
perundang-undangan, termasuk di dalamnya Kompilasi Hukum Islam tercantum dalam pasal 209
ayat (1) dan ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.13
. B.Sejarah Singkat
Tradisi pengangkatan anak sebenarnya dipraktikan oleh masyarakat dan
bangsa-bangsa lain sebelum kedatangan Islam, seperti yang dipraktikan bangsa
Yunani, Romawi, India, dan beberapa bangsa pada zaman kuno.14Di kalangan bangsa
Arab sebelum Islam (masa jahiliyah) istilah pengangkatan anak dikenal dengan
at-tabanni, dan sudah ditradisikan secara turun temurun.15
Nabi Muhammad SAW. pernah melakukan pengangkatan anak sebelum masa
kenabiannya. Anak angkatnya bernama Zaid bin Harisah, tetapi kemudian tidak lagi
dipanggil Zaid berdasar nama ayahnya (Harisah) melainkan diganti dengan panggilan
Zaid bin Muhammad. Nabi Muhammad SAW. Mengumumkan di hadapan kaum
Quraisy dan berkata: “Saksikanlah bahwa Zaid, aku jadikan anak angkatku, ia
13
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji.Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: 2003), h.94.
14
Andi Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, h. 22. 15
mewarisiku, dan aku pun mewarisinya”. Sikap Nabi Muhammad SAW tersebut
merupakan cerminan tradisi yang ada pada waktu itu. Oleh karena Nabi menganggap
sebagai anaknya, maka para sahabat pun memanggilnya dengan Zaid bin
Muhammad.16
Setelah Nabi Muhammad SAW. menjadi Rasul, turun surat al-Ahzab ayat 4,
ayat 5, dan ayat 40 yang pada intinya melarang pengangkatan anak dengan akibat
hukum memanggilnya sebagai anak kandung dan saling mewarisi seperti yang telah
dilakukan Nabi Muhammad SAW. Ulama sepakat bahwa ayat itu turun berkenaan
dengan peristiwa Zaid bin Harisah. Melalui peristiwa asbab an-nuzul ayat al-Qur’an tersebut dapat dipahami bahwa pengangkatan anak itu boleh dilakukan, karena nabi
Muhammad SAW.telah mempraktikannya, tetapi pengangkatan anak itu tidak
mengubah status nasab seseorang, karena Allah SWT. Telah menyatakannya dalam
Al-Qur’an bahwa status nasab Zaid tidak boleh dinisbahkan kepada Nabi Muhammad
SAW.dalam peristiwa selanjutnya, ternyata bahwa Nabi Muhammad SAW pernah
melakukan pernikahan dengan bekas istri anak angkatnya menegaskan bahwa adanya
hubungan pengangkatan anak tidak serta merta menciptakan hubungan nasab yang
mengakibatkan statusnya sama dengan anak kandungnya, karena menikahi bekas istri
anak angkat itu dibolehkan, sedangkan menikahi bekas istri anak kandung
diharamkan untuk selama-lamanya.17
16
Nasroen Haron, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 29-30.
17
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-masalah Kontemporer,
Adopsi yang telah dikenal jauh pada masa Nabi Seperti Nabi Ilyas as, Nabi
Musa as. serta masa pra Islam. Pada masa Pra Islam Masyarakat jahiliyah sudah lebih
dahulu mengenal adopsi daripada masyarakat Islam setelahnya.18
Tradisi Arab jahiliyah juga memiliki kebiasaan, yaitu jika seorang ibu tidak
mampu menyusui anaknya sendiri, maka dicarikan pengganti (inang penyusu), Nabi
Muhammad saw pun diserahkan kepada seorang inang penyusu, yaitu sayyidah
Halimah setalah ibunya (aminah) tidak mampu menyusui anaknya. Hal itu dalam
masyarakat arab sering disebut dengan pengangkatan anak.19
C. Dasar Hukum Pengangkatan Anak
1. Peraturan Perundang-undangan
a. Pasal 2 Ayat 3 dan 4.20 Pasal 12 Ayat 1 dan 3 Undang-Undang RI Nomor 4
Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak. 21
b. Pasal 55 dan 57 Undang–Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia.
c. Pasal 2, 9, dan 49 Undang–Undang RI Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama.
18
Munawar Ahmad Annes, Islam dan Masa Depan Biologis Umat Manusia, (Bandung: Mizan, 1991, cet. Ke-1), h. 132.
19
Munawar Ahmad Annes, Islam dan Masa Depan Biologis Umat Manusia, h. 54. 20
Republik Indonesia, Undang-Undang Kesejahteraan Anak Nomor 4 Tahun 1999 tentang Kesejahteraan Anak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009, cet-IV), h. 98.
21
d. Pasal 5 Ayat 2 dan Pasal 21 ayat 2 Undang–Undang RI Nomor 12 Tahun 2006
Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.22
e. Pasal 1 angka 9, 6, dan Pasal 39 ayat 1,2,3,4,dan 5, Pasal 40,41, dan 42
Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.23
f. Pasal 47,48, dan 90 Undang–Undang RI Nomor 23 Tahun 2006 Tentang
Admnistrasi Kependudukan.24
g. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA) Nomor 3
Tahun 2005 Tentang Pengangkatan Anak, berlaku mulai 8 Februari 2005,
setelah terjadinya bencana alam gempa bumi dan gelombang Tsunami Aceh
dan Nias.25
h. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
1979 Tentang Pengangkatan Anak.
i. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
1983 Tentang Penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979.26
22
Republik Indonesia, Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009, cet-III), h. 4.
23
Kumpulan Perundangan Perlindungan Hak Asasi Anak, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2006), h. 113.
24
Republik Indonesia, Undang-Undang Administrasi Kependudukan, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 22.
25
Direktorat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Informasi Peraturan Perundang-undangan (JDI-HUKUM), Edisi 2005 No 32, h.363.
26
j. Staatsblad 1917 Nomor 129, Pasal 5 sampai Pasal 15 mengatur masalah adopsi yang merupakan kelengkapan dari KUHPerdata/BW, dan khusus
berlaku untuk golongan masyarakat keturunan Tionghoa.27
2. Hukum Islam
Dalam Islam Istilah Tabbani memang sudah ada hal ini berdasarkan pada
kejadian pada masa Nabi Muhammad SAW tanpa menasabkan kepada orang tua
angkatnya, akan tetapi implikasi terhadap peraturan perundangan yang ada di
Indonesia atau hukum positif bahwa pengangkatan anak bertujuan untuk
perlindungan anak di mata hukum.
a. Al- Quran Adapun landasan hukum yang berasal dari al-Qur’an dan Sunnah
adalah sebagai berikut:
Allah SWT telah mencantumkan dalam surat al-Ahzab ayat 4-5 :
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar28 itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri).yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja.dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)
27
Musthofa ,Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, h. 10. 28
bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.29 Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
b. Petunjuk Rasulullah SAW yaang tertuang dalam Al Sunnah adalah sebagai
berikut:30 Panggillah mereka dengan nama ayah (kandungnya ), maka itulah yang lebih
adil di sisi Allah, lalu Nabi bersabda ; “ engkau adalah Zaid bin Harisah”.31
29
Maula-maula ialah seorang hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seorang yang telah dijadikan anak angkat, seperti Salim anak angkat Huzaifah, dipanggil maula Huzaifah.
30
Hadits-hadits tersebut penulis kutip dari Buku Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia halaman 333.Oleh MUI Hadits tersebut dijadikan dasar hukum fatwanya mengenai Hukum Pengangkatan Anak Menurut Islam.
31
- Dari Abu Dzar r.a. bahwa ia mendengar Rasullulah SAW.Bersabda “ tidak seorangpun yang mengakui ( membangsakan diri ) kepada orang yang bukan bapak yang sebenarnya, sedangkan ia mengetahui benar bahwa orang itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur. Dan barang siapa yang telah melakukan hal itu, maka bukan dari golongan kami (kalangan kaum muslimin ) dan hendaklah dia menyiapkan sendiri tempatnya dalam api neraka.32
- Muhammad Ali As-Shabuni mengatakan: “Sebagaimana Islam telah
membatalkan zihar, demikian pula halnya dengan “Tabanni” . Syariat Islam
telah mengharamkan tabanni yang menisbatkan seorang anak angkat kepada
yang bukan bapaknya, hal itu termasuk dosa besar yang mewajibkan
pelakunya mendapatkan murka dan kutukan Allah SWT.”33
c. Kompilasi Hukum Islam Pasal 98,99, 100, 101, 106, 107 huruf h dan 20934
3. Fatwa MUI
Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang pengangkatan anak pada Maret 1984
atau Jumadil Akhir 1405 Hijriah mengemukakan sebagai berikut:
1. Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah ialah anak yang lahir dari
perkawinan (pernikahan).
32
Muslim bin Hajjaj, Sahih al Muslim, (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabî, tt), Nomor Hadist.2425, h.1884.
33
Muhammad Ali As-Shabuni, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash- Shabuni 2 ( Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset,t.tp), h. 363.
34
2. Mengangkat anak dengan pengertian anak tersebut putus hubungan
keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya adalah bertentangan
dengan syariat Islam.
3. Adapun pengangkatan anak dengan tidak mengubah status nasab dan
agamanya, dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara,
mengasuh, dan mendidik mereka dengan penuh kasih sayang seperti anak
sendiri adalah perbuatan yang terpuji dan termasuk amal salih yang
dianjurkan oleh agama Islam.
4. Pengangkatan anak Indonesia oleh warga Negara asing selain
bertentangan dengan UUD 1945 juga merendahkan martabat bangsa.35
D.Tujuan Pengangkatan Anak
Pengangkatan anak dikalangan masyarakat Indonesia mempunyai beberapa
tujuan dan motivasi diantaranya:
1. Untuk meneruskan keturunan, bilamana di dalam suatu perkawinan tidak
memperoleh keturunan.
2. Sebagai pancingan (di jawa) yakni dengan mengangkat anak, keluarga yang
mengadopsi akan dikarunia anak kandung sendiri.36 Atau dengan
mengangkat anak akan mungkin ketularan mendapat anak kandung.37
35
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975, (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 333.
36
3. Menambah jumlah keluarga, dengan maksud agar si anak angkat mendapat
pendidikan yang baik, sebagai misi kemanusiaan dan pengalaman ajaran
agama.38
4. Pengangkatan anak ini dilakukan guna memenuhi instingtif manusia yang
berkehendak menyalurkan kasih sayangnya kepada anak yang dirasakan
akan merupakan kelanjutan hidupnya.39
5. Untuk mensejahterakan anak dan melindunginya dari kekerasan dan
diskriminasi serta memberikan kehidupan yang layak bagi seorang anak
dengan memberikan perhatian dan kasih sayang, tanpa menjadikannya
sebagai anak kandung sendiri diperbolehkan dalam Islam. Alasan–alasan
orang melakukan pengangkatan pengangkatan anak adalah
bermacam-macam, tetapi terutama yang terpenting adalah :Rasa belas kasihan terhadap
anak terlantar atau anak yang orang tuanya tidak mampu memeliharanya.
Tidak mempunyai anak dan ingin mempunyai anak untuk menjaga dan
memeliharanya di hari tua. Untuk mempertahankan ikatan perkawinan /
kebahagiaan keluarga.40
37
B. Sebastian Tafal, Pengangkatan Anak menurut Hukum Adat serta akibat-akibat hukumnya di kemudian hari, (Jakarta : Rajawali, 1989, Cet. 2), h. 71.
38
Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer Buku Pertama, h. 147.
39
Ahmad Azhar Basyir, Kawin Campur, Adopsi, Wasiat Menurut Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’rif, 1972). H. 19.
40
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan pengangkatan anak
dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu:
1. Untuk mendapatkan atau melanjutkan keturunan keluarga orang tua
angkat.
2. Untuk kesejahteraan atau kepentingan bagi anak.
3. Begitu pula dalam pengangkatan anak juga harus dilihat dari orang tua
kandung anak yang akan diangkat .41
E.Tata Cara Pengangkatan Anak di Pengadilan
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007
Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak disebutkan mengenai prosedur
pengangkatan anak antar WNI yang dalam Pasal 19 menyebutkan bahwa:
“Pengangkatan anak secara adat kebiasaan dilakukan sesuai dengan tata cara yang
berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan”.42
Dalam SEMA No.6 Tahun 1983 tentang penyempurnaan SEMA No. 2 Tahun
1979 tentang Pengangkatan Anak, ada beberapa tahap dan persyaratan pengangkatan
anak antar warga Negara Indonesia, ataupun antar warga-negara asing, namun yang
41
Soedaryo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak , (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 28.
42
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departeman Hukum dan HAM RI,
akan diuraikan oleh penulis adalah prosedur pengangkatan anak antar-warga Negara
Indonesia, yang tahap dan persyaratannya sebagai berikut :43
i. Syarat dan Bentuk Surat Permohonan
1. Sifat surat permohonan bersifat voluntair.
2. Permohonan pengangkatan anak hanya dapat diterima apabila ternyata
telah ada urgensi yang memadai, misalnya ada ketentuan
undang-undangnya.
3. Permohonan pengangkatan anak dapat dilakukan secara lisan atau tertulis
berdasarkan ketentuan hukum acara yang berlaku.
4. Surat permohonan pengangkatan anak dapat ditandatangani oleh
pemohon sendiri, atau oleh kuasa hukumnya.
5. Surat permohonan pengangkatan anak ditujukan kepada ketua Pengadilan
Negeri atau Ketua Pengadilan Agama. Pemohon yang beragama Islam
yang bermaksud mengajukan permohonan pengangkatan anak
berdasarkan Hukum Islam, maka pemohonnya diajukan kepada
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal pemohon.
ii. Isi Surat Permohonan Pengangkatan Anak
1. Bagian dasar hukum permohonan pengangkatan anak, harus secara jelas
diuraikan motivasi yang mendorong niat untuk mengajukan permohonan
pengangkatan anak.
2. Harus diuraikan secara jelas bahwa permohonan pengangkatan anak,
terutama didorong oleh motivasi untuk kebaikan dan/atau kepentingan
calon anak angkat, didukung dengan uraian yang memberikan kesan
bahwa calon orang tua angkat benar-benar memiliki kemampuan dari
berbagai aspek bagi masa depan anak angkat menjadi lebih baik.
43
3. Isi petitium permohonan pengangkatan anak bersifat tunggal, yaitu hanya memohon “agar bernama A ditetapkan sebagai anak angkat dari B”, tanpa ditambahkan permintaan lain, seperti: “agar anak bernama A ditetapkan sebagai ahli waris dari si B”.
iii. Syarat-syarat Permohonan Pengangkatan Anak antar WNI44
1. Syarat bagi calon orang tua angkat/pemohon, berlaku ketentuan sebagai
berikut:
a. Pengangkatan anak yang langsung dilakukan antar orang tua kandung
dengan orang tua angkat (private adoption) diperbolehkan.
b. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang yang tidak terkait
dalam perkawinan sah/belum menikah diperbolehkan.45
c. Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh
calon anak angkat.46
2. Syarat bagi calon anak angkat47
a. Belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
b. Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan.48
c. Berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak.49
d. Memerlukan perlindungan khusus.50
44
Andi Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, h.211. 45
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983, dan Lihat Musthofa Sy,
Pengangkatan Anak Kewenangan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 86. 46
Kumpulan Perundangan perlindungan Hak Asasi Anak,(Yoyakarta: Pustaka Yustisia, 2006), h. 89.
47
Rusli Pandika, Hukum Pengangkatan Anak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 113. 48
Anak terlantar atau ditelantarkan adalah anak yang tidak dipenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial.(UU Perlindungan Anak; Pasal 1 Butir 6; Permen Sosial Pengangkatan Anak; Pasal 1 Butir 13).
49
e. Dalam hal calon anak angkat berada dalam asuhan suatu yayasan
sosial harus dilampirkan surat izin tertulis Menteri Sosial bahwa
yayasan yang bersangkutan telah diizinkan bergerak di bidang kegiatan
anak.
f. Calon anak angkat yang berada dalam asuhan yayasan sosial, maka
harus punya izin tertulis dari Menteri Sosial atau pejabat yang ditunjuk
bahwa anak tersebut diizinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat.
Dengan demikian menurut ulama fiqih, tata cara pengangkatan anak adalah
dasar ingin mendidik dan membantu orang tua kandungnya agar anak tersebut bisa
mandiri di masa mendatang, dan tidak dikenal yang namanya perpindahan nasab dari ayah kandung ke ayah angkatnya. Ia tetap bukan mahram dari orang tua angkatnya,
sehingga tidak ada larangan kawin tetapi tidak saling mewarisi. Apabila
pengangkatan anak diiringi dengan perpindahan nasab anak dari ayah kandung ke ayah angkatnya, maka konsekuensinya, antara dirinya dengan ayah angkatnya ada
larangan kawin, sehingga apabila anak tersebut ingin menikah maka yang menjadi
wali nikahnya adalah orang tua angkatnya.51
F.Lembaga yang Berwenang dalam Pengangkatan Anak
Anak angkat sebagaimana yang telah yang dikemukakan, adalah seseorang
yang bukan keturunan dua orang suami istri yang dipelihara dan diperlakukan sebagai
50
Anak yang memerlukan perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan hukum, anak dari minoritas, dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban dari penyalahgunaan narkoba, alcohol, psikotropika, dan zat adiktif(napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan, baik fisik dan/ atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. (Permen sosial pengangkatan anak;Pasal 1 Butir 14).
51
anak angkat keturunannya sendiri. Akibat hukum terhadap pengangkatan anak ini
ialah bahwa anak itu mempunyai kedudukan hukum terhadap yang mengangkatnya,
yang bagi beberapa daerah di Indonesia mempunyai kedudukan hukum yang sama
dengan anak keturunannya sendiri, juga termasuk hak untuk mewarisi kekayaan yang
ditinggalkan orang tua angkatnya pada waktu meninggal dunia. Oleh karena itu
adanya akibat hukum yang terlalu jauh dan luas ini, di samping faktor-faktor lain dari
pengangkatan anak itu sendiri, seperti faktor sosial, faktor psikologis dan lain-lain,
maka tidak jarang akibat pengangkatan anak menimbulkan berbagai problema dalam
masyarakat.52
Hukum perkawinan di Indonesia di atur dalam Undang-Undang RI Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah menentukan pengadilan agama sebagai
pengadilan yang berwenang mengadili perkara-perkara bidang perkawinan bagi
mereka yang beragama Islam dan pengadilan umum bagi lainnya. Lembaga
pengangkatan anak merupakan bagian dari hukum perkawinan, sehingga sepanjang
pengangkatan anak itu dilakukan oleh mereka yang beragama Islam atau memenuhi
asas personalitas keislaman, maka pengangkatan anak itu menjadi kewenangan
pengadilan agama.
Lembaga pengangkatan anak tidak diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Tidak diaturnya lembaga pengangkatan anak
tersebut dalam sejarah proses pembuatan hukum (law making process) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan karena alasan sosial dan politik
52
pada saat itu. Namun demikian, pengangkatan anak merupakan bagian dari bidang
perkawinan dan sesuai ketentuan Pasal 63 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yang menegaskan bahwa pengadilan agama sebagai pengadilan
yang berwenang mengadili perkara bidang perkawinan bagi mereka yang beragama
Islam dan pengadilan umum bagi lainnya, maka kewenangan yang berkaitan dengan
pengangkatan anak dilakukan oleh orang-orang yang beragama Islam seharusnya
menjadi kewenangan pengadilan agama.53
Kesadaran dan kepedulian semangat masyarakat muslim yang makin meningkat
telah mendorong semangat untuk melakukan koreksi terhadap hal-hal yang
bertentangan dengan syariat Islam antara lain masalah pengangkatan anak. Kemudian
aturan pengangkatan anak masuk dalam Kompilasi Hukum Islam yang menjadi
pedoman hukum materiil peradilan agama. Kendati pengaturan tersebut sebatas
pengertian, namun telah memberikan perubahan yang signifikan bagi masyarakat
muslim Indonesia dalam memandang lembaga pengangkatan anak.54
Kebutuhan hukum orang-orang beragama Islam untuk melakukan perbuatan
hukum pengangkatan anak sesuai dengan pandangan hidup dan kesadaran hukumnya,
yaitu berdasarkan hukum Islam yang seharusnya menjadi kewenangan pengadilan
agama itu, akhirnya ditegaskan dalam Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2006
bahwa pengangkatan anak antara orang-orang yang beragama Islam menjadi
53
Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus Untuk Anggota ABRI.POLRI.PEGAWAI KEJAKSANAAN, PNS, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2007,Cet-VII), h. 20.
54
kewenangan pengadilan agama dan pengadilan agama memberikan penetapan
pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.55
Kewenangan absolut Peradilan Agama telah dirumuskan dalam Pasal 49
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Sebagai berikut: Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam salah satunya di bidang
perkawinan, bahwa yang dimaksud dengan bidang perkawinan adalah hal-hal yang
diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku
menurut syariat Islam adalah salah satunya pada point 20 tentang penetapan
pengesahan anak berdasarkan hukum Islam.56
Pada Pasal 49 ayat (1) tersebut, telah secara jelas menyatakan bahwa akidah
Islam yang melekat pada jiwanya, maka menjadi patokan untuk menyelesaikan
persoalan sengketa hukum perdata kekeluargaannya dengan hukum Islam sebagai
hukum yang hidup (positif) bagi keluarga muslim itu. Kehadiran anak angkat di
dalam keluarga tidak dapat dipisahkan dari sebuah cita-cita keluarga ideal.57
55
Musthofa , Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, h. 60 56
Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktik Pada Peradilan Agama,(Yogyakarta: UII Press 2009), h. 15-16.
57
G.Kewenangan Absolut dan Relatif Pengadilan
Dalam Pasal 50 UU No.8 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang
No.2 Tahun 1986 tentang peradilan umum yang bahwasanya menyatakan
“Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama.”58 Jadi dapat diberikan
sebuah kesimpulan dasar dan mempunyai maksud bahwa Peradilan Negeri menerima
semua perkara pidana maupun perdata menjadi kewenangan peradilan umum(asas lex
generalis).59 Akan tetapi ada ketentuan lain dalam undang-undang yang menentukan
bahwa terhadap perkara-perkara tertentu menjadi kewenangan peradilan dalam
lingkungan peradilan khusus yang dinamakan dengan asas lex specialis. Apabila
kedua asas tersebut berhadapan maka lex specialis (asas ketentuan khusus)
tersebutlah yang lebih diutamakan.60
Pengadilan Negeri adalah pengadilan yang bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama.61
Kewenangan terhadap pengangkatan anak belum ada pelimpahan kepada pengadilan
58
Republik Indonesia, Undang-Undang Peradilan Umum dan PTUN Tahun 2004, (Jakarta: CV. Tamita Utama, 2004), h. 48.
59 Ahmad kamil dan M fauzan “
Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2008), h.1 liat juga Yahya Harahap, “ Hukum Perdata tentang
Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) , h. 189.
60
Ahmad kamil dan Fauzan, “ hukum perlindungan dan pengangkatan anak di Indonesia h.1
liat juga yahya harahap, “ hukum perdata tentang gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian, dan putusan pengadilan”, h. 1.
61
lain pada saat itu. Oleh karenanya semua perkara yang berkaitan dengan
pengangkatan anak menjadi kewenangan Pengadilan Negeri.
Ruang lingkup kewenangan absolut peradilan agama untuk memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragamaa Islam di bidang: Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat,
Infaq, Shadaqah danEkonomi syariah.62
Yang dimaksud dengan perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam
berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku dan dilakukan
menurut syariat Islam. Salah satu diantaranya adalah dalam Pasal 49 Point 20 tentang
Penetapan asal usul anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum
Islam.63
Sehingga dalam perkara-perkara tersebut dilakukan oleh orang yang selain
beragam Islam dan tidak dengan hukum Islam atau tidak berlandaskan dengan hukum
Islam maka perkara tersebut secara absolut bukan kewenangan peradilan agama
melainkan kewenanangan peradilan negeri/umum.64
62
Pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
63
Direktorat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Informasi Peraturan Perundang-undangan (JDI-HUKUM),Edisi 2006 No 34, h.323.
64
Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah
38
PROFIL PENGADILAN NEGERI WONOSOBO
A.Kedudukan Peradilan Negeri di Indonesia
Keberadaan peradilan umum telah ditegaskan secara rinci di dalam UU No. 2
Tahun 1982 dalam penjelasan umum bahwa di Negara Republik Indonesia sebagai
Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
keadilan, kebenaran, kepastian hukum, dan ketertiban penyelenggaraan sistem
hukum merupakan hal-hal pokok untuk menjamin kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.1
Pengaturan-pegaturan baru tentang pengadilan dan peradilan diakui memang
harus diadakan terutama sebagai akibat dari tuntutan reformasi yang tercemin dalam
perubahan UUD 1945 dan juga UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.2
Adapun penyelenggara atau pelaksana dari kekuasaan kehakiman tersebut
sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan yang dikutip di atas adalah Mahkamah
agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara,
dan Mahkamah Konstitusi. Hal ini juga ditegaskan kembali dalam pasal 10 ayat (1)
1
Sudarsono, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung dan Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), h. 517.
2
dan (2) UU. No. 4 Tahun 2004 yang telah dirubah dengan Undang-Undang no. 48
tahun 2009 Tentang kekuasaan Kehakiman:3
Peradilan umum diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum, sebagaimana telah diubah dengan undang-undang Nomor 8 Tahun
2004 tentang perubahan atas Undang Nomor 2 Tahun 1986. Pasal 2
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tersebut menentukan: “ Peradilan Umum adalah salah
satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya.”4
Pengadilan Negeri berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota, dan daerah
hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Pembinaan teknis peradilan, organisasi,
administrasi dan financial pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung.Pembinaan
tersebut tidak boleh mengurangi kekuasaan hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara.5
Menurut Pasal 14 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum
tersebut, untuk dapat diangkat menjadi hakim, seseorang harus lebih dahulu menjadi
pegawai negeri yang terdaftar sebagai calon hakim. Namun dalam pasal 12 ayat (1),
3
Bagir Manan, Suatu Tinjauan Terhadap Kekuasaan Kehakiman Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2005), h. 88.
4
Dalam penjelasan pasal ini dinyatakan disamping Pengadilan Umum yang berlaku bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya mengenai perkara perdata dan pidana, pelaku kekuasaan kehakiman lain yang merupakan peradilan khusus bagi golongan rakyat tertentu, yaitu Pengadilan Agama, Pengadilan Militer, Pengadilan Tata Usaha Negara. Yang dimaksud dengan rakyat mencari keadilan adalah setiap orang baik warga Negara Indonesia maupun orang asing yang mencari keadilan pada pengadilan di Indonesia.
5
dinyatakan bahwa hakim pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan
kehakiman.6
Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas
usul Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.Ketua
dan Wakil pengadilan diangkat oleh Ketua Mahkamah Agung.Tentang
pemberhentian dengan hormat diatur dalam pasal tersendiri.
B.Ruang Lingkup Kewenangan Peradilan Negeri
Berbicara tentang kekuasaan Peradilan dalam kaitannya dengan Hukum Acara
Perdata, biasanya menyangkut dua hal, yaitu tentang “Kekuasaan Relatif” dan
“Kekuasaan Absolut”, sekaligus dibicarakan pula didalamnya tentang tempat
mengajukan gugatan/permohonan serta jenis perkara yang menjadi kekuasaan
Pengadilan.7 Kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili
berdasarkan materi hukum(hukum materi).8 Sedangkan Kompetensi relatif adalah
kekuasaan mengadili berdasarkan wilayah atau daerah. Kewenangan Pengadilan
Agama sesuai tempat dan kedudukannya.
Di dalam Pasal 50 UU No.8 Tahun 2004 tentang perubahan atas
Undang-Undang No.2 Tahun 1986 tentang peradilan umum yang bahwasanya menyatakan“
Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
6
Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, h. 228.
7
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut, (Malang: UIN- Malang Press, 2008), h.193.
8
perkara pidana dan perdata di tingkat pertama.”9
Jadi dapat diberikan sebuah
kesimpulan dasar dan mempunyai maksud bahwa Peradilan negeri bahwa semua
perkara pidana maupun perdata menjadi kewenangan peradilan umum(asas lex
generalis).10 Akan tetapi ada ketentuan lain dalam undang-undang yang menentukan
bahwa terhadap perkara-perkara tertentu menjadi kewenangan peradilan dalam
lingkungan peradilan khusus yang dinamakan dengan asas lex specialis. Maka apabila
kedua asas tersebut berhadapan maka secara lex specialis asas ketentuan khusus
tersebutlah yang lebih diutamakan.11
Arti penting suatu daerah hukum bagi Pengadilan Negeri adalah hubungan
dengan kewenangan nisbi (kompetensi relatif ) dalam mengadili suatu perkara. Yang
berwenang mengadili suatu perkara pidana adalah Pengadilan Negeri yang daerah
hukumnya meliputi tempat terjadinya suatu tindak pidana (locus delicti).Dalam
perkara perdata, daerah hukum Pengadilan Negeri berat hubunganyya dengan tempat
tinggal penggugat dan tergugat dalam hal pengajuan gugatan.12
9
Republik Indonesia, Undang-Undang Peradilan Umum dan PTUN Tahun 2004, (Jakarta: CV. Tamita Utama, 2004), h. 48.
10Ahmad kamil dan M fauzan “ Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2008), h.1 liat juga Yahya Harahap, “ Hukum Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) h. 189.
11
Ahmad kamil dan Fauzan, “ hukum perlindungan dan pengangkatan anak di Indonesia h.1 liat juga yahya harahap, “ hukum perdata tentang gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian, dan putusan pengadilan”, h. 1.
12