• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Maltodekstrin Hasil Hidrolisis Pati Gadung (Dioscorea hispida Dennst) Secara Enzimatis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Karakteristik Maltodekstrin Hasil Hidrolisis Pati Gadung (Dioscorea hispida Dennst) Secara Enzimatis"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK MALTODEKSTRIN HASIL HIDROLISIS

PATI GADUNG (

Dioscorea hispida

Dennst)

SECARA ENZIMATIS

TESIS

Oleh

SYARIFAH ENITA SARI

127051010

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU PANGAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KARAKTERISTIK MALTODEKSTRIN HASIL HIDROLISIS

PATI GADUNG (

Dioscorea hispida

Dennst)

SECARA ENZIMATIS

TESIS

Oleh

SYARIFAH ENITA SARI

127051010

Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains Pada Program Studi Magister Ilmu Pangan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU PANGAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis : Karakteristik Maltodekstrin Hasil Hidrolisis Pati Gadung (Dioscorea hispida Dennst) Secara Enzimatis

Nama : Syarifah Enita Sari

NIM : 127051010

Program Studi : Magister Ilmu Pangan

Menyetujui Komisi Pembimbing,

(Prof. Dr. Ir. Zulkifli Lubis, M.App.Sc) (Dr.Ir. Herla Rusmarilin. MP) Ketua Anggota

Mengetahui :

Ketua Program Studi Dekan

(Dr. Ir. Elisa Julianti, M.Si) (Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MS)

(4)

PERNYATAAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis dengan judul “Karakteristik Maltodekstrin Hasil Hidrolisis Pati Gadung (Dioscorea hispida Dennts) Secara

Enzimatis” adalah benar merupakan gagasan dan hasil penelitian saya sendiri,

dibawah arahan komisi pembimbing. Semua data dan sumber informasi yang digunakan dalam tesis ini telah dinyatakan secara jelas dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir tesis serta dapat diperiksa kebenarannya.

Tesis ini juga belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada Program Studi sejenis di Perguruan Tinggi lain. Apabila di emudian hari ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku .

Medan, April 2015

(5)

KARAKTRISTIK MALTODEKSTRIN HASIL DARI

HIDROLISIS PATI GADUNG (

Dioscorea hispida

Dennst)

SECARA ENZIMATIS

ABSTRAK

Beberapa jenis Dioscorea yang tumbuh di Indonesia belum dimanfaatkan secara maksimal, salah satunya umbi gadung. Gadung (Dioscorea hispida Dennst) adalah jenis umbi yang tumbuh liar di hutan dan tidak begitu sulit mendapatkannya. Memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber maltodekstrin. Maltodekstrin merupakan polimer dari glukosa dengan panjang ikatan rata-rata 5-10 unit rantai glukosa per molekul. Maltodekstrin adalah turunan pati yang dihasilkan dari degradasi rantai amilosa dan amilopektin secara kimia atau enzimatis menjadi dekstrin. Maltodekstrin memiliki DE dari 3-20. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pH dan waktu likuifikasi terhadap kualitas maltodesktrin dan hasil hidrolisis enzimatis pati umbi gadung.

Penelitian ini menggunakan metode enzimatis, dengan penambahan enzim amilase. Analisis data menggunakan Rancangan Acak Lengkap (2 faktor 3 ulangan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pH 5, 6 dan 7, waktu likuifikasi 60, 90 dan 120 menit dan interaksi pH dan waktu likuifikasi memberi pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap gula reduksi, dekstrosa equivalen, daya larut, viskositas, daya serap dan rendemen maltodesktrin. pH yang paling optimal adalah 6, waktu likuifikasi yang paling optimal adalah 90 dan 120 menit.

(6)

CHARACTERISTIC MALTODEKSTRIN HYDROLYSIS OF STARCH YAM (

Dioscorea hispida

Dennst) ENZYMATICALLY

ABSTRACT

Some of types Dioscorea that grows in Indonesia have not been fully utilized, one yam tubers. Yam (Dioscorea hispida Dennst) is a type of bulb that grows wild in the woods and not so difficult to get. Has the potential to be used as a source of maltodextrin. Maltodextrin is a polymer of glucose with an average bond length of 5-10 units per molecule of glucose chains. Maltodextrin is a starch derivative resulting from the degradation of amylose and amylopectin chains chemically or enzymatically into dextrin. Maltodextrin has a DE of 3-20. This study aimed to determine the effect of pH and liquefaction time to maltodesktrin quality and enzymatic hydrolysis of starch yam tubers.

This study uses the enzymatic method, with the addition of enzyme. Analysis of the data using a completely randomized design (2 factor 3 replications). The results showed that pH 5, 6 and 7, liquefaction time 60, 90 and 120 minutes and the interaction of pH and time likuifikasi gave highly significant effect on reducing sugar, dextrose equivalent, solubility, viscosity, absorption and yield maltodesktrin. The most optimal pH was 6, the most optimal liquefaction time was 90 and 120 minutes.

(7)

RIWAYAT HIDUP

Syarifah Enita Sari, dilahirkan di Aceh Barat, pada tanggal 27 Maret 1982

anak dari Bapak H. Said Razali dan Ibu Hj. Syarifah Rahmah.Penulis merupakan

anak ke enam dari enam bersaudara. Syarifah Enita Sari telah menikah dengan

Musriadi, ST, memiliki dua orang putra yakni Faisal Muntasir dan Rhaisan

Rahman.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis adalah sebagai berikut :

1. Tahun 1989 Madrasah Ibtidaiyah Negeri Drien Rampak

2. Tahun 1995 Madrasah Tsanawiyah Negeri 1 Meulaboh

3. Tahun 1998 masuk Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Meulaboh

4. Tahun 2001 diterima di Program Studi Ilmu Teknologi Ternak (S1) di Institut

Pertanian Bogor

5. Tahun 2002 pindah ke Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Aceh pada

program studi Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian.

6. Tahun 2012 melanjutkan pendidikan S2 di Program Studi Magister Ilmu

Pangan Universitas Sumatera Utara.

Saat ini penulis tercatat sebagai salah satu pengajar di Universitas Teuku

Umar, Meulaboh_Aceh pada program studi Budidaya Tanaman Pangan,

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT,

atas segala karunia dan ridhaNya, sehingga tesis dengan judul “ Karakteristik

Maltodekstrin Hasil Hidrolisis Pati Gadung (Dioscorea hispida Dennst) Secara

Enzimatis ” ini dapat diselesaikan.

Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh

gelar Magister Sains di Program Studi Ilmu Pangan, Universitas Sumatera Utara.

Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan

ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Zulkifli Lubis, MApp.Sc selaku ketua komisi pembimbing

dan Ibu Dr. Ir. Herla Rusmarilin, MP selaku anggota komisi pembimbing serta

Ibu Dr. Ir. Elisa Julianti, M.Si dan Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si selaku

penguji yang telah membimbing dan membantu dalam penulisan tesis ini.

2. Teruntuk suami ku Musriadi, ST , kedua putra ku Faisal Muntasir dan Rhaisan

Rahman dan semua pihak yang telah membantu.

Dengan keterbatasan pengalaman, pengetahuan maupun pustaka yang

ditinjau, penulis menyadari bahwa tesis ini masih belum sempurna dan perlu

pengembangan lebih lanjut agar benar-benar bermanfaat. Oleh sebab itu, penulis

sangat mengharapkan kritik dan saran agar tesis ini lebih sempurna serta sebagai

masukan bagi penulis, sehingga tesis ini dapat bermanfaat untuk perkembangan

ilmu pengetahuan. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Februari 2015

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN TESIS ... ii

SURAT PERNYATAAN ... iii

Hidrolisis Pati Secara Enzimatis ... 14

Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Hidrolisis Pati Menjadi Glukosa ... 15

Enzim α-amilase dan Sifat-sifat Enzim α-amilase ... 16

Pembuatan Maltodekstrin dari Pati Umbi Gadung secara Enzimatis ... 17

Maltodekstrin ... 18

Hasil-hasil Penelitian Sebelumnya ... 19

METODOLOGI PENELITIAN ... 22

(10)

Analisis Produk Maltodekstrin ... 28

Penentuan % Kadar Gula Pereduksi Metode Luff Schroll ... 28

Penentuan DE ... 30

Hasil Analisis dan Pembahasan Maltodekstrin ... 35

Rendemen (%) ... 35

Hubungan Antara Perlakuan pH dengan Waktu Terhadap Rendemen ... 35

Gula Reduksi ... 37

Hubungan Antara Perlakuan pH dengan Waktu Terhadap Gula Reduksi ... 37

Dextrosa Equivalent ... 40

Hubungan Antara Perlakuan pH dengan Waktu Terhadap Dextrosa Equivalent ... 40

Viskositas (%) ... 44

Hubungan Antara Perlakuan pH dengan Waktu Terhadap Viskositas ... 44

Daya Serap (%) ... 46

Hubungan Antara Perlakuan pH dengan Waktu Terhadap Daya Serap ... 46

Daya Larut ... 48

(11)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Komposisi Kimia Gadung ... 8

2. Jenis Dekstrin dan Penggunaannya Berdasarkan Nilai DE ... 19

3. Syarat Mutu Dekstrin SNI ... 20

4. Karakteristik Pati Gadung ... 33

5. Nilai Rendemen Maltodekstrin... 35

6. Nilai Gula Reduksi Maltodekstrin... 37

7. Nilai Dextrosa Equivalent... 40

8. Nilai Viskositas... 44

9. Nilai Daya Serap... 47

(12)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Proses Hidrolisis Pati Oleh Enzim α-amilase ... 3

2 Gadung ... 7

3 α-amilase yang Memotong Rantai Pati Pada Ikatan Alfa-1,4 ... 17

4 Hubungan Antara pH Proses dan Waktu Terhadap Rendemen ... 36

5 Hubungan Antara pH dan Waktu yang Berbeda Terhadap Gula Reduksi ... 38

6 Hubungan Antara pH dan Waktu yang Berbeda Terhadap DE ... 41

7 Hubungan Antara pH dan Waktu yang Berbeda Terhadap Viskositas ... 44

8 Hubungan Antara pH dan Waktu yang Berbeda Terhadap Daya Serap ... 47

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1 Proses Pembuatan Pati Gadung ... 57

2. Proses Pembuatan Maltodekstrin ... 58

3. Rendemen ... 59

4. Gula Reduksi... 60

5. Dekstrosa Ekuivalen... 61

6. Viskositas ... 62

7. Daya Serap ... 63

8. Daya Larut ... 64

(14)

KARAKTRISTIK MALTODEKSTRIN HASIL DARI

HIDROLISIS PATI GADUNG (

Dioscorea hispida

Dennst)

SECARA ENZIMATIS

ABSTRAK

Beberapa jenis Dioscorea yang tumbuh di Indonesia belum dimanfaatkan secara maksimal, salah satunya umbi gadung. Gadung (Dioscorea hispida Dennst) adalah jenis umbi yang tumbuh liar di hutan dan tidak begitu sulit mendapatkannya. Memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber maltodekstrin. Maltodekstrin merupakan polimer dari glukosa dengan panjang ikatan rata-rata 5-10 unit rantai glukosa per molekul. Maltodekstrin adalah turunan pati yang dihasilkan dari degradasi rantai amilosa dan amilopektin secara kimia atau enzimatis menjadi dekstrin. Maltodekstrin memiliki DE dari 3-20. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pH dan waktu likuifikasi terhadap kualitas maltodesktrin dan hasil hidrolisis enzimatis pati umbi gadung.

Penelitian ini menggunakan metode enzimatis, dengan penambahan enzim amilase. Analisis data menggunakan Rancangan Acak Lengkap (2 faktor 3 ulangan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pH 5, 6 dan 7, waktu likuifikasi 60, 90 dan 120 menit dan interaksi pH dan waktu likuifikasi memberi pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap gula reduksi, dekstrosa equivalen, daya larut, viskositas, daya serap dan rendemen maltodesktrin. pH yang paling optimal adalah 6, waktu likuifikasi yang paling optimal adalah 90 dan 120 menit.

(15)

CHARACTERISTIC MALTODEKSTRIN HYDROLYSIS OF STARCH YAM (

Dioscorea hispida

Dennst) ENZYMATICALLY

ABSTRACT

Some of types Dioscorea that grows in Indonesia have not been fully utilized, one yam tubers. Yam (Dioscorea hispida Dennst) is a type of bulb that grows wild in the woods and not so difficult to get. Has the potential to be used as a source of maltodextrin. Maltodextrin is a polymer of glucose with an average bond length of 5-10 units per molecule of glucose chains. Maltodextrin is a starch derivative resulting from the degradation of amylose and amylopectin chains chemically or enzymatically into dextrin. Maltodextrin has a DE of 3-20. This study aimed to determine the effect of pH and liquefaction time to maltodesktrin quality and enzymatic hydrolysis of starch yam tubers.

This study uses the enzymatic method, with the addition of enzyme. Analysis of the data using a completely randomized design (2 factor 3 replications). The results showed that pH 5, 6 and 7, liquefaction time 60, 90 and 120 minutes and the interaction of pH and time likuifikasi gave highly significant effect on reducing sugar, dextrose equivalent, solubility, viscosity, absorption and yield maltodesktrin. The most optimal pH was 6, the most optimal liquefaction time was 90 and 120 minutes.

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gadung (Dioscorea hispida Dennst) merupakan salah satu jenis tanaman

umbi-umbian yang tergolong kedalam kelompok yam yang terdapat di Indonesia.

Tanaman ini awalnya ditemukan di India bagian barat, penyebarannya meluas ke

Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, serta kepulauan Karibia, Afrika Barat,

Amerika Selatan, Kepulauan Pasifik, dan seluruh daerah tropis. Di Indonesia

sendiri gadung ini banyak diusahakan sebagai tanaman pelarangan, tumbuh liar di

hutan-hutan dan berkembang secara luas di daerah tropis (Koswara, 2006).

Umbi gadung pada saat panen puncak dapat mencapai hingga 19,7 ton/ha.

Melalui pengusahaan yang intensif, kemungkinan besar tanaman ini dapat

menghasilkan umbi yang lebih banyak lagi, khususnya di Indonesia, karena

tanaman ini dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di iklim tropis. Di

Indonesia tanaman ini tumbuh liar, sedangkan pembudidayaan gadung banyak

ditemukan di Jawa dan Madura (Deptan, 2005).

Menurut Webster et al., (1984), gadung merupakan umbi yang tergolong

beracun, namun beberapa daerah di Indonesia gadung ini digunakan untuk

makanan pokok setelah potongan umbi ini dicuci pada air yang mengalir selama

3-4 hari berturut-turut. Di beberapa daerah Indonesia bagian timur, pada musim

paceklik umbi gadung dimanfaatkan untuk bahan pangan.

Di dunia ini terdapat sekitar 3000 spesies tanaman dari 110 famili yang

dapat melepaskan hidrogen sianida memalui proses yang disebut cyanogenesis. Di

dalam sel tanaman asam sianida dalam bentuk bebas maupun terikat. Pada

(17)

dihasilkan sekitar 400mg sianida per kg, maka untuk dapat mengkosumsi gadung

diperlukan proses penghilangan HCN sebelum gadung diolah (Fitchner dan

Nasser, 1978).

Gadung merupakan golongan umbi yang kaya pati, sehingga dapat diolah

seperti umbi-umbi lain, misalnya seperti menjadi maltodekstrin merupakan salah

satu jenis pati termodifikasi dan telah banyak digunakan dalam industri makanan,

minuman, kimia dan farmasi. Di bidang industri pangan, maltodekstrin banyak

digunakan sebagai pengganti lemak susu pada minuman yogurt, produk roti, es

krim dan sebagai bahan tambahan pada produk margarine serta “cheese cakes

filling” (Anonim, 2008). Di bidang industri farmasi/kesehatan, dekstrin diyakini

dapat mengurangi kadar kolesterol, mencegah timbulnya racun dalam tubuh,

melancarkan buang air besar, meningkatkan nafsu makan dan mengurangi resiko

penyakit jantung koroner (Anonim, 2009).

Kebutuhan maltodekstrin di Indonesia cukup besar. Pada tahun 2002,

Indonesia mengimport 44.000-52.000 ton maltodekstrin dari total import 80.000

ton produk pati termodifikasi (Triyono, 2007) dan pada tahun 2006, import

produk pati termodifikasi meningkat hingga 283.046 ton (Deptan, 2005). Melihat

besarnya kebutuhan dan banyaknya industri pengguna maltodekstrin serta

ketersediaan bahan baku yang melimpah, maka usaha untuk menjadikan umbi

gadung sebagai maltodekstrin sangatlah tepat.

Reaksi hidrolisa pati merupakan reaksi pemecahan pati menjadi struktur

gula yang lebih sederhana. Maltodekstrin dapat dibuat dari hasil reaksi hidrolisis

pati tidak sempurna. Pati mengalami proses pemutusan rantai oleh asam atau

(18)

disebut maltodekstrin dengan dextrose equivalent, DE < 20, kemudian secara

bertahap menjadi maltodekstrin dengan DE 20-60, tahap akhir menjadi glukosa

dengan DE=100 (Othmer, 1984).

Reaksi pembentukan maltodekstrin berlangsung dalam fasa cair, bersifat

irreversible endotermis. Maltodekstrin terbentuk melalui dua tahapan yaitu

gelatinisasi dan liquifikasi. Proses gelatinisasi terjadi apabila pati mentah

dimasukkan kedalam air, granula patinya akan menyerap air dan membengkak,

tetapi jumlah air yang diserap dan pembengkakannya terbatas. Granula pati

membengkak dan tidak dapat kembali pada kondisi semula disebut gelatinisasi,

suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi (Winarno,2002).

Gelatinisasi merupakan faktor yang diharus diperhatikan terkait dengan

proses likuifikasi, dimana larutan pati harus sempurna, bila larutan pati terlalu

pekat maka akan sulit tersuspensi dengan baik selama proses gelatinisasi dan

mengakibatkan likuifikasi juga akan sulit terjadi secara sempurna. Adapun secara

ringkas hidrolisis pati dapat digambarkan sebagai berikut:

Pati Dekstrin + maltosa + maltotresa + glukosa

Gambar 1. Proses Hidrolisis Pati Oleh Enzim α-amilase (Tjokroadikoesoemo, 1986).

Penelitian pembuatan maltodekstrin telah banyak dilakukan sebelumnya

dengan menggunakan enzim α-amilase, salah satunya dilakukan oleh Chafid, et

al., (2010) terhadap pati sagu. Hidrolisis secara enzimatik dilakukan pada pH

proses 7 dengan menggunakan waktu proses 60 menit, 90 dan 120 menit.

Didapatkan DE berkisar 4,79 – 9,57. Pada penelitian ini enzim yang digunakan

juga α-amilase dengan menggunakan bahan pati gadung, dengan variabel berubah

(19)

nya adalah pH dan waktu proses yang berbeda, sehingga nantinya didapatkan nilai

DE dan beberapa parameter lain dalam nilai yang bagus.

TujuanPenelitian

Tujuan penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui kharakteristik maltodekstrin hasil hidrolisis enzimatik dari

pati umbi gadung (Dioscorea hispida Dennst).

2. Untuk mengetahui kombinasi perlakuan terbaik antara pengaruh pH dan waktu

proses yang berbeda untuk hasil maltodekstrin yang baik.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Penggunaan pH dan waktu proses yang berbeda dan interaksinya pada

hidrolisis pati umbi gadung (Dioscorea hispida Dennst) secara enzimatis

berpengaruh terhadap nilai Dextrosa Equivalent maltodekstrin yang dihasilkan.

2. Maltodekstrin hasil hidrolisis pati umbi gadung secara enzimatis (Dioscorea

hispida Dennst) dengan pH dan waktu yang berbeda menghasilkan Dextrosa

Equivalent dengan nilai di bawah 10.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Dapat memberikan informasi akan pengaruh penggunaan enzim dalam proses

hidrolisis terhadap kualitas maltodekstrin dari pati ubi gadung (Dioscorea

(20)

2. Dapat memberikan informasi tentang komposisi maltodekstrin dari pati ubi

gadung (Dioscorea hispida Dennst) dengan metode penambahan enzim dan

kondisi pHdan waktu yang berbeda.

3. Dapat memberikan informasi tentang penggunaan umbi gadung sebagai bahan

baku pembuat maltodekstrin, yang selama ini kurang dimanfaatkan secara baik.

4. Bagi perkembangan IPTEK, dapat mengetahui katalis biologi yang

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Umbi Gadung (Dioscorea hispida Dennst)

Gadung (Dioscerea hispida Dennst., suku gadung-gadungan atau

dioscoreaceae) tergolong tanaman umbi-umbian yang cukup populer walaupun

kurang mendapat perhatian. Gadung menghasilkan umbi yang dapat dimakan,

namun mengandung racun yang dapat mengakibatkan pusing dan muntah apabila

kurang benar pengolahannya. Produk gadung yang paling dikenal adalah dalam

bentuk keripik meskipun rebusan gadung juga dapat dimakan. Di Indonesia,

tumbuhan ini memiliki nama seperti bitule (Gorontalo), gadu (Bima), gadung

(Bali, Jawa, Madura, Sunda), Iwi (Sumba), kapak (Sasak), salapa (Bugis), sikapa

(Makasar), (Anonim, 2014).

Taksonomi

Taksonomi umbi gadung sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Ordo : Dioscoreales

Famili : Dioscoreaceae

Genus : Dioscorea

(22)

Gambar 2. Umbi Gadung Hutan (Sibuea, 2002)

Gadung dapat menjadi sumber pangan alternatif selain sebagai sumber

pangan pokok seperti beras, jagung, singkong, gandum, dan lain-lain. Gadung

memang tidak sulit untuk didapatkan, tanaman ini tumbuh liar di hutan-hutan.

Selama masa pertumbuhan gadung ini tidak memerlukan perawatan khusus atau

penanganan khusus. Biasanya masyarakat yang mengkonsumsinya melakukan

pengolahan terhadap umbi gadung ini pada saat musim kemarau panjang tiba.

Ketika kemarau datang masyarakat pergi mencari umbi hutan dan kemudian

mengolahnya menjadi bahan makanan (Ode, 2007).

Morfologi

Gadung merupakan perdu memanjat yang tingginya dapat mencapai

5-10m. Batangnya bulat, berbentuk galah, berbulu, berduri yang tersebar sepanjang

batang dan tangkai daun. Umbinya bulat diliputi rambut akar yang besar dan

kaku. Kulit umbi berwarna gading atau coklat muda, daging umbinya berwarna

putih atau kuning. Umbinya muncul dekat permukaan tanah. Dapat dibedakan dari

jenis-jenis dioscorea lainnya karena daunnya merupakan daun majemuk terdiri

(23)

tipis lemas, bentuk lonjong, ujung meruncing, pangkal tumpul, permukaan kasar

(Ndaru, 2012).

Untuk membedakan antar spesies dalam gadung dapat dibedakan

berdasarkan arah lilitan batang, bentuk batang, ada atau tidaknya duri pada

batang, bentuk dan jumlah helaian daun, ada tidaknya buah di atas (Anonim,

2014). Ada beberapa varietasnya, diantaranya yang berumbi putih (yang besar

dikenal sebagai gadung punel atau gadung ketan, sementara yang kecil

berlekuk-lekuk disebut gadung suntil dan yang berumbi kuning antara lain gadung kuning,

gadung kunyit atau gadung padi. Gadung kuning umumnya lebih besar umbinya

bila dibandingkan gadung putih. Jumlah umbi dalam satu kelompok dapat

mencapai 30 umbi (Anonim, 2014).

Komposisi Kimia Umbi Gadung

Umbi Gadung adalah jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai

alternatif sumber karbohidrat dan merupakan komoditi yang mempunyai prospek

yang sangat baik. Kandungan gizi gadung dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Kimia Umbi Gadung

Parameter Komposisi

Umbi hutan nama lain dari gadung atau (Dioscorea hispida Dennst) dapat

menjadi sumber bahan pangan alternatif selain sebagai sumber bahan pokok

(24)

beberapa masyarakat yang pernah mengkosumsi umbi hutan ini apabila diolah

secara benar maka akan didapatkan makanan olahan yang enak dan bergizi,

(Sibuea, 2002).

Beberapa jenis nutrisi yang ditemukan didalam gadung ini ternyata juga

merupakan kandungan utama bahan pangan yang dijadikan masyarakat Indonesia

sebagai pokok selama ini, yaitu padi (Oryza sativa Linn) dan jagung (Zea mays

Linn). Disamping kandungan nutrisi tersebut, ternyata ubi hutan juga

mengandung zat yang bersifat toksik atau anti nutrisi, yakni glikosida sianogenik,

alkaloid dioscorin dan senyawa pahit yang terdiri dari saponin dan sapogenin

(Webster et al., 1984).

HCN dalam Gadung

Glikosida sianogenik yang dikandung umbi hutan (Dioscorea hispida

Dennst) dapat bersifat toksik karena dapat terhidrolisis sehingga terbentuk asam

sianida (HCN). Kandungan HCN dalam bahan makanan akan mengalami

pengurangan bahkan penghilangan apabila bahan makanan tersebut mendapat

perlakuan penghancuran atau pengirisan. Racun yang terdapat didalam umbi

gadung antara lain dioskorin, diosgenin, serta asam sianida (HCN).

Senyawa-senyawa ini memiliki efek hemolisis apabila masuk ke dalam tubuh manusia.

Senyawa ini juga memiliki efek paralisis pada susunan saraf sehingga dapat

menyebabkan kelumpuhan (Pambayun, 2008). Penghilangan racun-racun pada

umbi gadung yang biasa dilakukan oleh masyarakat umum adalah dengan

menggunakan cara tradisional yaitu perendaman irisan umbi gadung dalam air

(25)

Keracunan karena HCN pernah dilaporkan terjadi dia Mauritius tahun

1844 setelah mengkosumsi jenis kacangan yang disebut Phaseolus lunatus,

sedangkan keracunan karena mengkosumsi singkong ketela pohon dilaporkan

terjadi di Nigeria tahun 1965 dan di India tahun 1973. Juga pernah dilaporkan

keracunan karena mengkosumsi bambu muda (rebung), almond pahit, biji peach,

apricot dan chezzy. Di Indonesia, laporan tentang keracunan setelah mengkosumsi

umbi hutan terjadi di kabupaten Sikka, Nusa Tenggara timur, november 2006, dan

di Bengkulu tahun 2002.

Senyawa racun dalam gadung berupa senyawa glukosida sianogenik.

Senyawa ini dapat terpecah menjadi asam sianida apabila terhidrolisis oleh enzim

atau berada pada pH asam. Pada sistem pencernaan yang bersuasana asam

senyawa ini akan melepaskan HCN yang bisa meracuni tubuh. Oleh karena itu

detoksifikasi harus difokuskan pada pengurangan senyawa kompleks tersebut.

Menurut Damardjati dkk (1991), pengelompokan kadar sianida adalah < 50 ppm

tidak beracun, 50-80 ppm agak beracun, 80-100 ppm beracun dan > 100 ppm

sangat beracun.

Prinsip dasar metode detoksifikasi sianida pada umbi gadung adalah

menghambat terjadinya reaksi antara subtrat linamarin dan metal linamarin

dengan enzim linamarase. Perendaman irisan umbi dalam larutan 8 persen selama

tiga hari mampu mengurangi racun sianida dengan residu yang terbentuk relatif

rendah yaitu 7,32 ppm. Pemanasan irisan umbi gadung setebal 2 mm dalam air

mendidih selama 30 menit ternyata lebih efektif menurunkan kadar sianida bila

dibandingkan dengan metode perendaman dalam garam, yakni 4,12 ppm.

(26)

air mendidih selama 30 menit bisa mengakibatkan enzim linamarase dan

glukosidase tidak aktif dan pembentukan asam sianida pun menjadi terputus

(Pambayun, 2000).

Pati

Pati atau amilum adalah karbohidrat kompleks, tidak larut dalam air

dingin, berwujud bubuk, tawar dan tidak berbau. Pati merupakan bahan utama

yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk menyimpan kelebihan glukosa (sebagai

produk fotosintesis) dalam jangka panjang. Hewan dan manusia juga menjadikan

pati sebagai sumber energi yang penting. Pati tersusun dari dua macam

karbohidrat, amilosa dan dan amilopektin dalam komposisi yang berbeda-beda.

Pati (starch) alami memiliki keterbatasan dalam kegunaannya untuk

aplikasi komersial. Sifat alami pati antara lain diantaranya tidak larut dalam air

dingin dan tidak dapat dicerna oleh tubuh manusia (Hay, 2002). Wurzburg (1989)

telah memberikan pengetahuan yang mendalam tentang sifat fisika dari pati alami

dibandingkan dengan pati modifikasi. Modifikasi pati memberikan perubahan dari

sifat fisika dan sifat kimia. Perubahan ini mempunyai sasaran utama untuk

aplikasi produk makanan lebih spesifik yang dapat memperbaiki sifat fungsional

produk terhadap viskositas, stabilitas, integritas, tekstur dan pengemulsi

sebagaimana keterbatasan dalam bentuk alaminya.

Dalam referensi lain, pati adalah salah satu yang paling banyak dan luas

terdapat dialam, sebagai karbohidrat cadangan pangan pada tanaman. Sebagian

besar pati di simpan dalam akar, umbi, akar, biji buah dan umbi lapis. Cadangan

tersebut berada dalam bentuk granula lebih besar disebut dengan pati cadangan.

(27)

sebagai pengental ataupun pembentukan gel hidrokoloid lainnya meliputi samping

itu banyak pati digunakan untuk pengikat lemak dan pembantu pembentukan

emulsi (Hawab, 2004). Perbedaan amilosa dengan amilopektin yaitu amilosa

memberikan sifat keras, sedangkan amilopektin menyebabkan sifat lengket.

Amilosa memberikan warna ungu pekat amilopektin tidak bereaksi. Secara

struktur amilosa dan amilopektin memiliki perbedaan. bahan penyusunan yang

granula-granula berukuran gum, pektin, gelatin, selulosa agar, dan lainnya.

Pati merupakan cadangan karbohidrat dalam tumbuh-tumbuhan dan

merupakan karbohidrat utama yang dikonsumsi manusia seluruh dunia.

Komposisi amilosa dan amilopektin pada setiap jenis berbeda. Amilopektin pada

umumnya terdapat dalam jumlah lebih besar. Sebagian besar pati mengandung

antara 15% dan 35% amilosa. Dalam butiran pati, rantai-rantai amilosa dan

amilopektin tersusun dalam bentuk semi kristal, yang menyebabkan tidak larut

dalam air dan memperlambat proses pencernaannya oleh amilase pankreas. Bila

dipanaskan dengan air, struktur kristal rusak dan rantai polisakarida akan

mengambil posisi acak. Hal inilah yang menyebabkan mengembang dan memadat

(gelatinisasi). Cabang-cabang yang terletak pada bagian amilopektin yang

terutama sebagai penyebab terbentuknya gel yang cukup stabil. Proses pemasakan

pati disamping menyebabkan terbentuknya gel juga dapat melunakkan dan

memecahkan sel, sehingga mempermudah pencernaan. Dalam proses pencernaan

semua bantuk pati akan terhidrolisa sebagian besar menghasilkan glukosa

(Afrianti, 2004).

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik.

(28)

serta lurus atau bercabangkah rantai molekulnya. Pati terdiri dari dua fraksi yang

dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut dinamakan amilosa dan fraksi

tidak terlarut dinamakan amilopektin. Amilosa menpunyai struktur lurus dangan

cabang ikatan α- (1,4) D-glukosa sebanyak 4,5 5 dari berat total (Winarno, 2004).

Peranan perbandingan amilosa dan amilopektin terlihat jelas pada serealia

contohnya pada beras, semakin kecil kandungan amilosa atau semakin tinggi

kandungan amilopektin semakin lekat nasi tersebut. Amilosa adalah molekul

berantai linier yang dihubungkan oleh ikatan α-1,4 dari sejumlah 500-5000 unit

glukosa. Amilosa bertindak sebagai pengisi amorf dalam granula, dalam

perdagangan dikenal dua macam pati, yaitu pati yang belum dimodifikasi dan pati

yang telah dimodifikasi. Pati yang tidak dimodifikasi atau pati biasa adalah semua

jenis pati yang dihasilkan di pabrik pengolahan dasar, misalnya tepung tapioka,

(Abu Bakar, 1986). Kandungan pati di dalam bahan cukup penting, sehingga

semakin tinggi kandungan pati semakin dikehendaki konsumen. Kandungan pati

didalam bahan bakunya akan dipengaruhi oleh umur tanaman dan lama

penyimpanan setelah panen. Oleh karena itu pada pembuatan tepung umbi

dikehendaki kandungan patinya maksimum, maka umbi hasil panen sebaiknya

segera diolah dan tidak dilakukan penyimpanan (Antarlina dan Utomo, 1999).

Berbagai proses kimia yang dapat diterapkan pada modifikasi pati

antaranya oksidasi, hidrolisa, cross linking atau cross bonding serta subsitusi

(Fleche, 1985). Maltodekstrin merupakan salah satu produk dari hasil hidrolisa

pati dengan menggunakan asam maupun enzim, yang terdiri dari campuran

(29)

Hidrolisis Pati Secara Enzimatis

Reaksi hidrolisa berlangsung lambat, untuk dapat mempercepat

digunakalah katalisator. Katalisator adalah zat yang dapat mempercepat reaksi

tetapi dia tidak ikut bereaksi pada prosesnya secara keseluruhan. Pada hidrolisa

pati katalisator yang digunakan adalah enzim. Enzim adalah zat organik yang

dihasilkan oleh sel hidup baik tanawan, hewan maupun mikroorganisme

(Sherman, 1962).

Enzim adalah biomolekul berupa protein yang berfungsi sebagai katalis

(senyawa yang mempercepat proses reaksi tanpa habis bereaksi) dalam suatu

reaksi kimia organik. Molekul awal yang dihasilkan disebut substrat akan

dipercepat perubahannya menjadi molekul lain disebut produk. Jenis produk yang

dihasilkan bergantung pada suatu kondisi zat, yang disebut promoter. Sebagian

besar enzim bekerja secara khas, artinya setiap enzim hanya akan bekerja pada

satu macam senyawa atau reaksi kimia. Hal ini disebabkan perbedaan struktur

kimia tiap enzim yang bersifat tetap. Sebagai contoh, enzim α-amilase hanya

dapat digunakan pada proses perombakan pati menjadi glukosa. Kerja enzim

dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama adalah substrat, suhu, keasaman,

kofaktor dan inhibitor (Februadi, 2011). Hidrolisis dengan enzim dapat

menghasilkan beberapa produk hidrolisat pati dengan sifat-sifat tertentu yang

didasarkan pada nilai DE (Ekuivalen dekstrosa). Beberapa jenis enzim yang

sering digunakan dalam menghidrolisis pati yaitu α-amilase, β-amilase, pullunase

(30)

Faktor – faktor yang berpengaruh pada hidrolisis pati menjadi glukosa : Suhu

Pengaruh suhu terhadap enzim ternyata agak kompleks, misalnya suhu

yang terlalu tinggi dapat mempercepat pemecahan atau perusakan enzim.

Sebaliknya semakin tinggi suhu (dalam batas tertentu) semain aktif enzim

tersebut. Bila suhu naik terus laju kerusakan enzim akan melampaui reaksi

katalisis enzim (Winarno, 1984). Reaksi paling cepat terjadi pada suhu optimum,

oleh karena penentuan suhu optimum aktivitas enzim sangat perlu karena apabila

suhu terlalu rendah maka kestabilan enzim akan naik namun aktitivitas menurun,

sedangkan pada suhu tinggi aktivitas enzim akan naik namun kestabilan menurun.

Kebanyakan enzim tidak aktif pada suhu 55ºC-60ºC (Rabyt dan White, 1987).

Waktu

Semakin lama waktu reaksi, maka kadar glukosa yang dihasilkan semakin

besar. Lamanya waktu reaksi juga dipengaruhi atau bergantung oleh banyaknya

substrat yang di hidrolisa dan jumlah enzim yang ditambahkan.

pH

Sebagian besar aktivitas enzim dipengaruhi derajat keasaman media

tempat enzim tersebut melakukan kegiatan katalitiknya. Derajat keasaman optimal

yang ditunjukan oleh enzim tertentu tidak selalu konstan. Masih ada berbagai

faktor lain yang memberikan pengaruh atas aktivitas enzim tersebut.

Kadar Suspensi Pati

Pada penggunaan kadar rendah, keseimbangan akan bergeser kekanan

dengan baik. Pada kadar suspensi tinggi mengakibatkan kekentalan campuran

(31)

meningkat. Hal ini mengakibatkan proses hidrolisa tidak dapat berjalan dengan

baik atau sempurna. Semakin tinggi kadar suspensi pati yang dihidrolisa, maka

waktu proses yang diperlukan untuk menghidrolisa pati tersebut akan semakin

lama. Jumlah enzim yang dibutuhkan juga semakin banyak.

Jumlah Penambahan Enzim

Semakin banyak jumlah enzim yang ditambahkan pada pati, akan

menghasilkan kadar glukosa yang semakin banyak pula. Keadaan ini juga

semakin mempercepat reaksi hidrolisa, untuk enzim α- amilase digunakan

perbandingan 2kg enzim untuk setiap ton pati, sedangkan untuk enzim

glukoamilase digunakan sebanyak 0,5-1,1 L untuk setiap ton pati.

Aktivator dan Inhibitor

Beberapa enzim memerlukan aktivator dalam reaksi katalisnya. Aktivator

adalah senyawa atau ion yang dapat menaikkan kecepatan reaksi enzimatis.

Komponen kimia yang membentuk aktivitas enzim disebut juga kofaktor.

Kofaktor tersebut dapat berupa ion anorganik seperti Zn2+, Fe2+, Ca2+ atau dapat

pula sebagai molekul organik komplek yang disebut koenzim. Pada umumnya

ikatan senyawa organik dengan protein enzim itu lemah apabila iktannya kuat.

Selain aktivator juga dipengaruhi oleh inhibitor, inhibitor adalah senyawa atau ion

yang dapat menghambat aktivitas enzim pada saat enzim bekerja pada substrat

(Lehninger, 1982).

Enzim α-amilase dan Sifat-Sifatnya

Hidrolisis amilosa oleh enzim α-amilase terjadi dalam dua tahap, pertama,

degradasi amilosa menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara acak.

(32)

cepat pula. Kedua, relatif sangat lambat yaitu pembentukan glukosa dan maltosa

sebagai hasil akhirnya (Muchtadi dkk., 1992). Sebagian besar enzim bekerja khas

yaitu artinya setiap jenis enzim hanya dapat bekerja pada satu macam senyawa

atau reaksi kimia. Hal ini disebabkan perbedaan struktur kimia tiap enzim yang

bersifat tetap. Sebagai contoh, enzim α-amilase hanya dapat digunakan pada

proses perombakan pati menjadi glukosa.

Cara kerja α-amilase pada molekul amilosa akan menghasilkan glukosa,

maltosa dan berbagai jenis α-limit dekstrin. Jenis α-limit dekstrin yaitu

oligosakarida yang terdiri dari 4 atau lebih residu glukosa yang semuanya

mengandung ikatan α-1,6. Laju hidrolisis akan meningkat bila tingkat

polimersisasi menurun, dan laju hidrolisis akan lebih cepat pada rantai yang lurus

(Winarno,1995).

Gambar 3. α-amilase yang memotong rantai pati pada ikatan α-1,4 (Purba dan Elida, 2009).

Pembuatan Maltodekstrin dari Pati Umbi Gadung Secara Enzimatis

Proses hidrolisa pati secara enzimatis dilakukan melalui tahap liquifikasi.

(33)

Liquifikasi merupakan kombinasi dari dua proses, pertama yaitu hidrasi atau

gelatinisasi dari polimer pati, untuk mempermudah serangan-serangan hidrolitik,

yang kedua yaitu dekstrinasi, sehingga dapat mencegah terjadinya retrogradasi

untuk tahap selanjutnya (Muchtadi et al., 1992).

Maltodekstrin

Maltodekstrin merupakan polimer dari glukosa dengan panjang ikatan

rata-rata 5-10 unit rantai glukosa per molekul. Maltodekstrin banyak digunakan

dalam industri makanan sebagai pengisi, dan dalam industri farmasi sebagai

pengisi tablet, (Anwar, 2002). Maltodekstrin adalah turunan pati yang dihasilkan

dari degradasi rantai amilosa dan amilopektin secara kimia atau enzimatis menjadi

dekstrin, memiliki DE dari 2-30. Beberapa DE yang rendah telah dipatenkan

terbukti dapat digunakan sebagai pengganti lemak. Maltodekstrin 2-5 mempunyai

sifat fungsional membentuk gel dalam air panas pada konsentarsi diatas 15%.

Maltodekstrin dengan DE rendah sangat cocok sebagai bahan pengganti lemak

(Ingglet dan Grismore, 1991).

Maltodekstrin sebagai komponen bahan dalam industri pangan telah

banyak digunakan karena terbukti lebih aman dan terdaftar pada GRAS (Generaly

Recognized As Safe). Dalam aplikasinya maltodekstrin dapat memberikan

kekerasan dan tekstur dalam produk pangan, maltodekstrin yang mengandung

sakarida tinggi 95% dan Dextrose Equivalent rendah mempunyai sifat gel yang

dapat lumer dan bersifat thermoreversible, sehingga dapat diaplikasikan sebagai

pengganti lemak dalam produk pangan (Roper, 1996). Pada Tabel. 2 dapat dilihat

(34)

Tabel 2. Jenis Dextrin dan Penggunaannya Berdasarkan Nilai DE

Nama Hasil Hidrolisis Pati Nilai DE Aplikasi Penggunaannya

Maltodekstrin 2-5

5 9-12

Pengganti lemak susu didalam makanan dan pencuci mulut, yoghurt, produk bakery dan es krim.

Bahan tambahan margarine. Cheesecake filling.

Thin Boiling >20 Kembang gula, pastellis dan jeli

Oligosakarida >50 Pemanis

Maltodekstrin memiliki kelarutan yang lebih tinggi, mampu membentuk

film, memiliki higroskopisitas rendah, mampu menghambat kristalisasi dan

memiliki daya ikat kuat, (Luthana, 2008). Maltodektrin tidak berasa dan dikenal

sebagai bahan tambahan makanan yang aman, (Blancard dan Katz, 1995).

Maltodektrin lebih mudah larut dari pada pati, maltodekstrin juga mempunyai rasa

yang enak dan lembut, (Sadeghi, et al., 2008). Maltodekstrin telah banyak

digunakan pada industri makanan, seperti pada minuman, susu bubuk, minuman

berenergi dan minuman prebiotik, (Blancard dan Katz, 1995).

Hasil-hasil Penelitian Sebelumnya

Triyono (2007) telah melakukan penelitian “Peningkatan Fungsional Pati

dari Ubi Jalar dengan Enzim α-Amilase Sebagai Bahan Subsitusi Pengolahan

Pangan”, diperoleh hasil terbaik pada konsentrasi enzim sebesar 0,5% dan pH

kondisi 6 dengan nilai DE sebesar 5-6 dan nilai kelarutan sebesar 98%.

Chafid et al (2010) membuktikan bahwa nilai DE terendah dari

maltodekstrin tepung sagu didapat pada kondisi konsentrasi enzim 0,09% selama

60 menit sebesar 4,69% dan DE tertinggi diperoleh pada konsentrasi enzim 0,09%

(35)

Anita et al (2009) telah melakukan penelitian berupa “Pembuatan

Maltodekstrin Dengan Proses Hidrolisa Pati Singkong Menggunakan Enzim α

-Amilase” didapatkan bahwa harga DE dipengaruhi oleh beberapa faktor,

diantaranya waktu dekstrinasi dan pH proses. Semakin lama waktu dekstrinasi

maka semakin besar pula harga DE. Perlakuan terbaik didapatkan pada kondisi

pH 6 dengan waktu 120 menit nilai DE 19,56 sedangkan pada pH 7 dengan waktu

60 menit didapatkan DE sebesar 11,79. Syarat mutu Maltodekstrin secara umum

disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Syarat Mutu Dekstrin SNI 01 2593 1992

Komponen Persyaratan

Warna Putih sampai

Kekuningan

Warna dengan Lugol Ungu Kecoklatan

Kehalusan Mesh 80 % b/b Min 90 mesh Lolos

Maltodekstrin memiliki kelarutan yang lebih tinggi, mampu

membentuk film, memiliki higroskopisitas rendah, mampu menghambat

(36)

berasa dan dikenal sebagai bahan tambahan makanan yang aman, (Blancard dan

Katz, 1995). Maltodektrin lebih mudah larut dari pada pati, maltodekstrin juga

mempunyai rasa yang enak dan lembut, (Sadeghi et al., 2008). Maltodekstrin

telah banyak digunakan pada industri makanan, seperti pada minuman, susu

bubuk, minuman berenergi dan minuman prebiotik, (Blancard dan Katz, 1995).

(37)

Proses Pembuatan Pati Gadung (Dioscorea hispida Dennst)

Bubur Umbi Gadung

 Umbi gadung di kupas lalu dibersihkan  Kemudian diiris tipis-tipis

 Irisan umbi gadung direndam pada air yang mengalir selama 3 hari berturut-turut untuk selanjutnya dikeringkan selama 3 hari sehingga umbi gadung kering.

 Kemudian irisan umbi gadung dihaluskan dan ditambah air dengan  Disaring dengan kain saring untuk

memisahkan ampasnya lalu

diendapkan.

 Endapan pati gadung dipisahkan dari supernatant dan dicuci dengan penambahan air 1:2 (b/v)

 Diaduk, dan kembali diendapkan. Pencucian diulangi ±10 kali

(38)
(39)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan Desember

2014 di Laboratorium Laboratorium Analisa Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas

Pertanian dan Laboratorium Biokimia Fakultas FMIPA Universitas Sumatera

Utara, Medan.

Bahan dan Alat Penelitian

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi gadung

(Dioscorea hispida Dennst) yang termasuk dalam varietas gadung putih, kulit

umbinya berwarna gading atau coklat muda, daging umbinya berwarna putih

gading tau kuning serta memiliki ukuran umbi dengan panjang 20-25 cm serta

lebar 1-12 cm), yang diperoleh dari Lhokseumawe, Aceh. NaOH 1%, enzim

amylase (Merk Himedia), Na2HPO4 10 %, KI 30 %, H2SO4 25 %, Na2S2O3 0,1 N,

aquades, NaOH 30%, HCl 30%, karbon aktif, amilum 1%, larutan Luff Schrool.

Pisau, kain saring, stoples bening, labu takar 100 ml dan 250 ml (pyrex), pipet

tetes, magnetic stirrer, gelas ukur 10ml (pyrex), kertas saring, shaker incubator

(vision), autoclave, termometer, tabung reaksi, corong, beker glass 250ml, 500ml,

1000ml (pyrex), pipet volume 10ml dan 50ml, batang pengaduk dan alat titrasi,

neraca analitik, erlenmeyer 500 ml dan 250ml (pyrex), pH meter, oven

(Gallencamp), hot plate (PMC), gelas arloji, desikator, mafel, alat tulis dan alat

(40)

Metoda Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara eksprimen dan menggunakan Rancangan

Acak Lengkap (RAL) dengan dua faktor, yang terdiri dari 9 (sembilan) perlakuan

dan 3 (tiga) kali ulangan sehingga diperoleh 27 unit. Perlakuan tersebut terdiri

dari

Faktor I : pH pada proses Likuifikasi (P) yang terdiri dari 3 taraf :

P1 = 5

P2 = 6

P3 = 7

Faktor II: Lama proses Likuifikasi (W) yang terdiri dari 3 taraf :

W1 = 60 menit

W2 = 90 menit

W3 = 120 menit

Model Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang digunakan adalah sebagai berikut :

Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + εijk

dimana :

Yijk = Hasil pengamatan faktor A pada taraf ke-i, dan faktor B pada taraf

ke-j dengan ulangan ke-k

μ = Efek nilai tengah atau rataan

αi = Pengaruh dari faktor A pada taraf ke-i

βj = Pengaruh dari faktor B pada taraf ke-j

(αβ)ij = Komponen interaksi dari faktor A dan faktor B

(41)

Apabila diperoleh hasil berbeda nyata dan sangat nyata maka uji dilanjutkan

dengan uji beda rataan dengan menggunakan uji Anova, program SPSS 20,00.

Pelaksanaan Penelitian

Analisis HCN dari Umbi Gadung (Dioscorea hispida Dennst)

Langkah-langkah penentuan kadar sianida dari umbi gadung adalah, bahan

uji yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak 10 g. Lalu dimasukkan kedalam

labu erlenmeyer dan ditambahkan 100 ml air suling, direndam selama 2 jam lalu

dilakukan destilasi uap. Hasil destilat ditampung dalam labu erlenmeyer yang

berisi 20 ml larutan NaOH 2,5% telah mencapai 150 ml destilasi dihentikan.

Distilat yang diperoleh dititrasi dengan larutan AgNO3 0,02 N sampai timbul

kekeruhan. Penentuan kadar sianida memenuhi perhitungan 1 ml AgNO3 = 1,08

mg HCN, (Anonim, 2014).

Pembuatan Pati dari Umbi Gadung (Dioscorea hispida Dennst)

Proses pembuatan pati umbi gadung dimulai dengan proses pengupasan

dan membersihkan umbi, kemudian diiris tipis-tipis. Irisan umbi gadung direndam

pada air mengalir selama 3 hari, selanjutnya dikeringkan selama 3 hari dibawah

sinar matahari, selanjutnya umbi gadung yang telah kering tersebut dihaluskan

dan ditambah air dengan rasio 1:1. Bubur gadung disaring dengan kain saring

untuk memisahkan ampasnya lalu diendapkan.

Endapan pati gadung dipisahkan dari supernatant dan dicuci dengan

penambahan air 1:2 (b/v), diaduk, dan kembali diendapkan. Pencucian diulangi ±7

kali. Setelah itu dilanjutkan dengan pengeringan dengan oven pada suhu 55˚C

(42)

Pembuatan Maltodekstrin dari Umbi Gadung Liar dengan Hidrolisis Enzimatis

Pati umbi gadung ditimbang sesuai dengan kebutuhan proses, kemudian

dilarutkan menggunakan aquades dan diatur pHnya sesuai kebutuhan proses

menggunakan HCL atau NaOH. Setelah itu baru ditambahkan CaCL2 sebanyak 40

ppm dan enzim alpha amilase sebanyak konsentrasi yang diinginkan. Pengadukan

dilakukan pada suhu yang diinginkan dengan kecepatan putar 1080 rpm selama

waktu tertentu. Setelah proses pengadukan berakhir maka proses inaktivasi enzim

dihentikan dengan menambahkan HCL hingga pH nya mencapai 3,7-3,9. Setelah

selang waktu 30 menit, larutan yang diperoleh dinetralkan menggunakan NaOH

sampai pH 7. Kemudian larutan tersebut dikeringkan menggunakan oven, setelah

kering dihaluskan dengan blender dan dilakukan pengayakan dan hasilnya adalah

maltodekstrin yang halus, (Risnoyatiningsih, 2011).

Pengamatan dan Analisis Data

Analisis Proximat Umbi Gadung

Analisa Kadar Asam Sianida (Sudarmadji dkk., 1997)

Ditimbang sebanyak 20 g pati umbi gadung yang telah dihaluskan

kemudian ditambahkan 100 ml aquadest dalam erlenmeyer dan didiamkan selama

2 jam. Ditambahkan lagi 100 ml aquadest dan didestilasi dengan uap. Destilat

ditampung dalam erlenmeyer yang telah diisi dengan 20 ml NaOH 2,5%. Setelah

didestilasi (ditampung dalam erlenmeyer) mencapai volume 150 ml maka proses

(43)

NH4OH. Campuran destilat tersebut dititrasi dengan larutan AgNO3 0,02 N

sampai terjadi kekeruhan. Kemudian dihitung kadar asam sianida dengan rumus :

HCN =

Kadar Air (Sudarmadji dkk., 1989)

Ditimbang sampel sebanyak 2 g dalam cawan porselin yang tetah

diketahui beratnya. Dikeringkan dalam oven pada suhu 105 0C selama 4 jam.

Kemudian didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang.

Dipanaskan lagi dalam oven selama 30 menit, didinginkan lagi dalam desikator

dan ditimbang. Perlakuan ini diulangi sehingga didapat berat yang konstan.

Dihitung pengurangan berat yang merupakan banyaknya air dalam bahan dengan

% Kadar air = Berat awal – berat akhir x 100 % Berat awal

Kadar Abu (Sudarmadji dkk., 1989)

Ditimbang 2 g sampel dalam krus porselin yang kering dan telah diketahui

beratnya. Dipijarkan dalam muffle sampai diperoleh abu berwarna

keputih-putihan. Dimasukkan krus dan abu ke dalam desikator dan ditimbang berat abu

setelah dingin.

% Kadar Abu = Berat abu x 100 % Berat contoh

Kadar Pati (SNI 01-2892-1992)

Sebanyak 1 g sampel dilarutkan dalam 40 mL HCl 3%, dan di refluks

selama 3 jam dengan suhu sekitar 200-250˚C. Kemudian sampel didinginkan dan

kemudian dinetralkan dengan menambahkan beberapa tetes NaOH 3% dengan

bantuan indikator PP sampai berwarna merah muda dan diasamkan sedikit dengan

(44)

ditera dalam labu takar 100 mL dengan menggunakan akuades, kemudian

disaring. Sebanyak 5 mL filtrat dipipet ke dalam erlenmeyer asah dan

ditambahkan 25 mL larutan Luff Schrool dan 20 mL akuades dan direfluks

kembali selama 10 menit (dihitung pada saat mulai mendidih). Setelah mendidih,

kemudian didinginkan dalam es selama beberapa menit. Kemudian sampel yang

telah dingin ditambahkan 25 mL H2SO4 25% dan 15 mL larutan KI 20% lalu

segera dititrasi dengan Na2S2O3 0.1 N yang telah distandarisasi. Penambahan

indikator kanji 0.5% dilakukan pada saat titrasi berlangsung, titrasi dihentikan

pada saat larutan berubah warna dari ungu menjadi putih keruh.

Kadar pati diukur dengan cara sebagai berikut :

Kadar Pati =

x 100%

Dimana :

G = mg glukosa dari tabel (Vol Na2S2O3 Blanko - Vol Na2S2O3 contoh)

Fp = Faktor pengenceran

W = Bobot contoh (mg)

Kadar Amilosa (Apriyantono et al., 1989) dan Amilopektin

Sebanyak 100 mg sampel ditimbang dan dimasukkan dalam labu ukur 100

ml, kemudian 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N ditambahkan ke dalam

sampel. Larutan dipanaskan dalam waterbath (air mendidih) selama 10 menit

(sampai pati tergelatinisasi. Setelah itu, labu ukur yang berisi sampel didinginkan

selama 1 jam dan ditambahkan akuades sampai tanda tera, kemudian dikocok.

Sebanyak 5 ml larutan sampel dipipet dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml

(45)

kemudian ditambahkan air sampai tanda tera. Larutan sampel dikocok dan

dibiarkan selama 20 menit. Larutan sampel diambil untuk dianalisa

spektrofotometer. Selain itu, dibuat juga larutan blanko dengan cara

mencampurkan semua bahan kecuali sampel. Kadar amilosa diukur dengan cara

sebagai berikut :

Kadar amilosa (%) =

x 100%

Dimana:

A = konsentrasi amilosa dari kurva standar (mg/ml)

Fp = faktor pengenceran

V = volume awal (ml)

W = bobot awal (mg)

Kadar amilopektin diperoleh dari selisih antara kadar pati dengan kadar

amilosa sampel.

Analisis Produk Maltodekstrin

1. Penentuan % kadar gula pereduksi metode Luff Schrool (SNI 01- 2891-1992 titrasi iodometri)

Sampel diambil sebanyak 5 g ditimbang dengan neraca analitik dan

dimasukkan ke dalam labu takar 250 ml serta ditambah air aquades hingga tanda

batas. Kemudian disaring dan dipipet 10 ml, filtratnya dimasukkan ke dalam labu

takar 250 ml. Ditambahkan 10 ml Pb asetat 5% kemudian dikocok. Larutan yang

didapat dites dengan tetesan larutan Na2HPO4 10 %, bila timbul endapan putih

(46)

dibiarkan sekitar 30 menit dan kemudian disaring. Sebelum terjadi inversi filtrat

sebanyak 10 ml dipipet ke dalam labu erlenmeyer 500 ml bertutup asah.

Kemudian ditambahkan 15 ml air, dan 25 ml larutan Luff Schoorll

dipanaskan selama 2 menit sampai mendidih dan dididihkan terus selama 10

menit dengan nyala kecil diangkat dan didinginkan cepat. Setelah dingin

ditambahkan 5 ml KI 20 % dan 5 ml H2SO4 25 % dengan pelan-pelan.

Selanjutnya dititrasi dengan larutan Natrium thiosulfat 0,1 N dan larutan kanji 1

% sebagai indikator titrasi sampai warna biru tua hilang. Dari selisih kedua

penitaran dapat dihitung jumlah glukosa fruktosa atau gula invert dengan

menggunakan daftar tabel Lehman.

Penentuan pada tabel Lehman (mg kesetaraan).

Kadar gula reduksi =

x

100%

Dimana :

mg kesetaraan = volume blanko – volume sampel ( yang dikorelasikan

dengan tabel Luff Schroorl )

fP = faktor pengenceran yaitu bagian dari keseluruhan suatu

sampel yang diambil dari labu ukur

fN = faktor normalitas Na2S2O3 (0,1 N )

ml sampel total = volume sampel sebelum dianalisis

Ket : dari 100 ml larutan sampel diambil 10 ml untuk setiap kali titrasi, jadi factor

(47)

2. Penentuan DE (Dekstrosa Ekuivalen) (Shi dkk, 2000)

Nilai Dextrose Equivalen diawali dengan mencari nilai Fehling factor

dengan cara 2,5g glukosa dilarutkan dengan aquades sampain 1000 ml lalu

diambil 15 ml dan ditambahkan larutan Fehling A dan B masing-masing 5 ml.

Campuran di didihkan kemudian dititrasi dengan larutan glukosa sampai warna

cokelat kemerahan, kebutuhan titran dicatat lalu Fehling factor dihitung dengan

cara:

FF =

Setelah itu membuat maltodekstrin 10 gr dalam 200 ml aquades,

masukkan kedalam buret. Sedangkan kedalam elemeyer masukkan 50ml aquades,

ditambahkan masing-masing 5 ml Fehling A dan Fehling B dan indicator metilen

blue 3 tetes. Larutan di didihkan dan dititrasi dengan larutan sirup gula sampai

berwarna cokelat kemerahan. Titran yang dibutuhkan dicatat kemudian hitung

nilai DE.

DE = FF x

3. Penentuan Rendemen

Rendemen dihitung atas dasar rumus sebagai berikut :

%

(48)

4. Penentuan viskositas (Sukardjo, 2002)

Penentuan waktu alir zat pada viskosimeter oswald (t2) dilakukan dengan

cara yaitu diambil 10 ml sampel dan dimasukkan kedalam viskosimeter oswald.

Sampel diisap dengan bola bulb sampai batas tanda yang terdapat pada alat

viskometer. Sampel dibiarkan mengalir kebawah sampai batas tanda yang terdapat

pada alat. Dicatat waktu yang diperlukan dengan menggunakan stopwatch.

Penentuan massa jenis zat (ρ2) dilakukan dengan cara yaitu diambil 10 ml sampel

kemudian diukur beratnya. Massa jenis adalah hasil pembagian antara berat zat

dengan volum zat. Dilakukan penghitungan viskositas dengan menggunakan

rumus sebagai berikut:

η1/η2= ρ1 t1/ρ2 t2

5. Daya Larut Air (SNI 06-1451-1989)

Ditimbang teliti 2 g sampel, kemudian dimasukkan kedalam labu ukur 200

ml. Dibilas botol timbang dengan air aquadest sampai volume kira-kira 150 ml.

Kemudian dikocok dan dibiarkan beberapa jam sambil sesekali digoyangkan.

Ditambahkan air sampai tanda tera dan dibiarkan sampai 24 jam di dalam oven

pada suhu 37oC. Disaring dalam pipet 10 ml filtrate dimasukkan ke dalam krus

porselin 50 ml yang diketahui beratnya. Dipanas kan dalam oven selama 3 jam

hingga bobot tetap.

Daya Larut dalam Air = ( ) x100% C

B A

(49)

B = Berat akhir C = Berat sampel

6. Daya Serap (SNI 06-1451-1989)

Ditimbang teliti 2 g sampel, kemudian dimasukkan kedalam labu ukur 200

ml. Dibilas botol timbang dengan air aquadest sampai volume kira-kira 150 ml.

Kemudian dikocok dan dibiarkan beberapa jam sambil sesekali digoyangkan.

Ditambahkan air sampai tanda tera dan dibiarkan sampai 24 jam di dalam oven

pada suhu 37oC. Disaring dalam pipet 10 ml filtrate dimasukkan ke dalam krus

porselin 50 ml yang diketahui beratnya. Dipanas kan dalam oven selama 3 jam

hingga bobot tetap.

Daya Serap = ( ) x100% C

B A

(50)

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pati Gadung

Pati gadung yang dihasilkan dalam penelitian pendahuluan mempunyai

rendemen 20,09% terhadap umbi tanpa kulit, dengan komposisi kimia pati gadung

seperti pada Tabel 4 di bawah ini:

Tabel 4. Karakteristik pati gadung.

Keterangan : Analisis dilakukan dengan ulangan 3 kali, hasil rataan

Kadar air pati gadung adalah sebesar 8,3%. Menurut Syafi’i dkk. (2009)

kadar air pati rata-rata gadung berkisar antara 11,26% - 12,34%. Kadar air pati

gadung akan semakin turun dengan semakin meningkatnya lama pemanasan.

Winarno (2004) mengatakan bahwa semakin lama waktu pemanasan maka

molekul-molekul air yang terdapat pada jaringan, membran, ataupun kapiler pada

tanaman akan mudah keluar karena dinding jaringan akan mengalami

perenggangan atau pengembangan sehingga kekuatan ikatan molekul air akan

menurun.

Kadar abu pati gadung pada penelitian ini didapatkan sebesar 0,8%

menunjukkan bahwa tepung gadung telah melalui proses pengolahan yang baik.

Kadar abu pati gadung lebih rendah dibandingkan kadar abu maksimum untuk

terigu dan tepung beras berdasarkan SNI yaitu berturut-turut sebesar 0,70% dan

1%. Menurut Suismono (1998) penurunan kadar abu pati gadung disebabkan oleh

(51)

pengepresan akan menyebabkan mineral keluar bersama dengan air. Kadar abu

memiliki hubungan dengan mineral suatu bahan. Mineral yang terdapat dalam

suatu bahan dapat merupakan dua macam garam yaitu garam organik dan garam

anorganik. Kadar abu merupakan ukuran umum kualitas dan berguna bagi

identifikasi bahan makanan. Bila diperoleh nilai abu yang lebih besar maka di

dalam bahan makanan tersebut terkandung zat pengotor asing yang tinggi pula

(Triyono, 2007).

Pati merupakan unsur dengan jumlah terbesar yang terkandung dalam

tepung gadung. Pada hasil penelitian sebelumnya (Triyono, 2007) menunjukkan

rendemen pati ubi kayu berkisar antara 46,66 – 59,92%. Rendemen pati gadung

ditentukan dari pati gadung dengan kadar air 8,3% diperoleh hasilnya sekitar

70,63%.

Kadar HCN pada pati gadung didapatkan sebesar 14,95ppm. Hal ini

dapat tolerir karena pada penelitian yang dilakukan oleh Harijono, dkk (2008)

didapatkan kadar HCNnya yaitu 60,88ppm. Pati gadung telah mengalami

beberapa tahapan proses berupa pemanasan, pencucian dan pembilasan kembali

serta pengeringan pada saat pengolahan gadung menjadi pati gadung. Proses

pengeringan juga mampu menurunkan kandungan HCN dalam pati gadung.

Menurut Suryani dan Wesniati (2000) saat dikeringkan sianida yang terkandung

dalam bahan akan menguap sehingga kadar sianida pada pati pun menurun.

Gula Reduksi yang terkandung pada pati gadung hasil penelitian adalah

sebesar 1,02%. Mengindikasikan bahwa gula reduksi pati gadung cukup rendah

dibanding umbi lainnya.

(52)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pH yang berbeda serta

waktu yang berbeda pada saat likuifikasi pati gadung menggunakan enzim α

-amilase yang hasilnya adalah maltodekstrin ternyata memberikan pengaruh yang

berbeda nyata (P< 0,05) terhadap parameter yang diamati yaitu : Dextrosa

equivalent, gula reduksi, viskositas, rendemen, daya serap dan daya larut.

Rendemen (%)

Perlakuan pH dengan Waktu Terhadap Rendemen

Dari daftar analisis sidik ragam (Lampiran 3) dapat dilihat bahwa

pengaruh perlakuan pH dan waktu memberikan pengaruh yang berbeda sangat

nyata (P < 0,01) terhadap rendemen yang dihasilkan, dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Nilai Rendemen Maltodekstrin pada pH dan Waktu yang Berbeda

pH Waktu (menit) Rendemen

sebesar 70,80%. Rendemen adalah persentase produk yang didapatkan dari

perbandingan berat awal bahan dengan berat akhirnya. Sehingga diketahui

(53)

Gambar 4. Hubungan antara pH proses enzimatis dan waktu terhadap Rendemen maltodekstrin

Banyak faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya nilai rendemen yang

dihasilkan beberapa faktornya adalah susut bobot pada saat proses likuifikasi,

pengeringan, penggilingan dan pengayakan ( Triyono, 2007). Pada pH 6 dan

waktu likuifikasi 120 menit juga didapatkan nilai rendemen yang relatif baik, hal

ini menunjukkan bahwa aktivitas kerja enzim yang optimum cenderung terjadi

pada waktu proses 90 menit dan 120 menit dengan pH 6.

pH yang optimal dan stabil meningkatkan efektifitas enzim mengubah pati

menjadi glukosa, sehingga diperoleh rendemen sirup glukosa lebih banyak. pH

yang tidak tepat akan memperlambat atau menghambat kerja enzim, sehingga

enzim tidak dapat mengubah pati menjadi sirup glukosa. Hal ini sesuai dengan

pendapat Bastian (2012), tiap enzim memerlukan suhu dan pH (tingkat keasaman)

optimum yang berbeda-beda karena enzim adalah protein, yang dapat mengalami

perubahan bentuk jika suhu dan keasaman berubah. Di luar suhu atau pH yang

sesuai, enzim tidak dapat bekerja secara optimal atau strukturnya akan mengalami

(54)

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Anita (2009) nilai

rendemen maltodekstrin pada pH 6 paling optimum sebesar 77,49% sedangkan

pada pH 7 paling optimum sebesar 76,80%. Hal ini menunjukkan bahwa pada pH

6 lebih optimum dari pada pH 7 untuk mendapatkan nilai rendemen yang lebih

tinggi.

Gula Reduksi

Dari daftar analisis sidik ragam (Lampiran 4) dapat dilihat bahwa

pengaruh perlakuan pH dan waktu memberikan pengaruh yang berbeda sangat

nyata (P < 0,01) terhadap gula reduksi yang dihasilkan, dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Nilai Gula Reduksi Maltodekstrin pada pH dan Waktu yang Berbeda

pH Waktu (menit) Gula Reduksi

pH 5 (P1)

(W1) 60 2,613c

(W2) 90 3,500a

(W3) 120 2,376d

pH 6 (P2)

(W1) 60 2,866b

(W2) 90 3,333a

(W3) 120 3,333a

pH 7 (P3)

(W1) 60 1,613e

(W2) 90 2,613c

(W3) 120 1,613e

Nilai gula reduksi yang tertinggi terdapat pada pH 5 dengan waktu

likuifikasi 90 menit yaitu 3,5% dan yang terendah terdapat pada pH 7 dengan

(55)

Gambar 5. Hubungan antara pH proses enzimatis dan waktu terhadap Gula Reduksi maltodekstrin

Data awal pada penelitian ini menunjukkan bahwa kadar gula reduksi pati

gadung adalah sekitar 1,02%. Secara kuantitatif lebih rendah dari nilai gula

reduksi yang didapat setelah dilakukan hidrolisis dengan penambahan enzim. Hal

ini disebabkan oleh granula pati gadung akan terhidrolisa secara sempurna saat

hidrolisis berlangsung, jika suhu medium substrat melewati suhu 84ºC (suhu

maksimum gelatinisasi pati gadung) maka seluruh bagian granula pati akan

tergelatinisasi secara keseluruhan (Parwiyanti, et al., 2011).

Kadar gula reduksi meningkat pada menit 90 dan menit ke 120, diduga

bahwa penggunaan enzim α- amilase dapat menghidrolisa substrat pati secara

sempurna pada pH 6 sehingga saat gelatinisasi terjadi menghasilkan amilosa dan

amilopektin dengan rantai yang lebih pendek. Suhu gelatinisasi pati gadung

berkisar antara 70ºC sampai dengan 84ºC (Satyatama, 2005). Hal ini juga

disebabkan semakin lama waktu hidrolisa maka kesempatan enzim untuk

Gambar

Gambar 2. Umbi Gadung Hutan (Sibuea, 2002)
Tabel 1. Komposisi Kimia Umbi Gadung
Gambar 3. α-amilase yang memotong rantai pati pada ikatan α-1,4   (Purba dan Elida,  2009)
Tabel 2. Jenis Dextrin dan Penggunaannya Berdasarkan Nilai DE
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi NaCl dan rasio air dengan bahan serta interaksinya berpengaruh sangat nyata terhadap karakteristik mutu pati

Gambar 2 menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi protease biduri sampai 0,15% dan semakin lama waktu hidrolisis sampai 120 menit, kadar protein terlarut

Adapun judul penelitian ini adalah“ Mempelajari Pengaruh Konsentrasi Ragi instan dan Waktu Fermentasi terhadap Pembuatan Alkohol dari Pati Gadung (Dioscorea hispida dennst)”,

Berdasarkan Tabel 1 rekapitulasi pada pengaruh perendaman enzim papain kasar menunjukan tanpa perlakuan dengan waktu 60, 90 dan 120 menit tidak berbeda

Berdasarkan hal tersebut diatas maka peneliti tertarik untuk membuat penelitian tentang pengaruh konsentrasi bahan penaut silang terhadap karakteristik plastik

Hal ini disebabkan karena waktu kontak antara enzim dan pati sangat lama, dengan menjaga pH dan suhu pada kondisi yang terbaik akar enzim tidak rusak dan

Hal ini mungkin disebabkan pada lama perendaman 48 jam dan 60 jam makin tinggi konsentrasi larutan garam makin banyak zat yang larut dan ikut terdifusi bersama air ke luar

Bagaimana pengaruh interaksi varietas tanaman kedelai dan konsentrasi ekstrak umbi gadung Dioscorea hispida dennst dan varietas kedelai terhadap intensitas serangan hama belalang L..