KELUARGA HARAPAN (PKH) PADA SUKU DINAS
SOSIAL JAKARTA UTARA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar
Sarjana Sosial Islam
Oleh
Ahmad Rokhoul Alamin 106054002030
JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
PERAN PENDAMPING DALAM PROGRAM KELUARGA
HARAPAN (PKH) PADA SUKU DINAS SOSIAL
JAKARTA UTARA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Untuk Memenuhi Syarat Meraih
Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I)
Pada Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh:
Ahmad Rokhoul Alamin
106054002030
Di bawah bimbingan
Dr. Suparto,M.Ed.,MA NIP. 150288052
JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYAHTULLAH
JAKARTA
Ahmad Rokhoul Alamin
ANALISIS PERAN PENDAMPING DALAM PROGRAM KELUARGA HARAPAN (PKH) PADA SUKU DINAS SOSIAL JAKARTA UTARA
Kemiskinan dan kebodohan menjadikan Indonesia negara yang sedang mencari berbagai solusi bagi gerbang pencerahan. Karena kebutuhan masyarakat akan sandang, pangan, dan juga papan tak lepas dari kewajiban negara untuk memenuhinya. Untuk hal ini, negara harus bersedia membuka berbagai peluang (kerja, program pengetasan kemiskinan, dll). Jika tidak terpenuhi, maka Indonesia menyimpan berbagai potensi penyakit sosial (patologi sosial) yang akan berdampak pada negara anarksis (colapse). Dengan demikian, kehadiran pihak ketiga menjadi sangat penting untuk menjadi penengah antara pemerintah dan masyarakat dalam menyampaikan komunikasi yang berimbang dalam kaitannya terhadap pengembangan negara bangsa dan masyarakat. Penting artinya pemerintah menyiapkan pendamping bagi masyarakat (miskin) yang berperan dalam membangun kemakmuran masyarakat.
Tujuan dari penelitian ini adalah; untuk mengetahui peran pendamping dalam program pengembangan dan pengentasan kemiskinan masyarakat melalui Program Keluarga Harapan (PKH). Mendapatkan satu pola pemberdayaan masyarakat yang tepat melalui pendampingan. Tujuan lain adalah untuk mengetahui harapan pendamping dan masyarakat pada pemerintah dalam program perlindungan sosial. Selain itu, tujuan penelitian ini untuk mengetahui tindakan atau sikap masyarakat dalam menerima indikator kerja pendamping PKH.
Metodologi penelitian karya ilmiah ini menggunakan pendekatan kualitatif. Dimana pendekatan kualitatif menurut Taylor yang dikutip oleh Lexsi J. Moleong, adalah “prosedur sebuah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, tertulis atau lisan dari orang dan prilaku yang dapat diamati.”1
Hasil penelitian yang penulis temukan terkait dengan Peran pendamping masyarakat melalui program PKH adalah peran seseorang yang menjadikan dirinya sebagai mediator, fasilitator, pendidik, pemungkin, sekaligus sebagai perwakilan bagi masyarakat yang mengupayakan agar masyarakat sebagai anggota/peserta PKH berdaya dalam membangun hidup mereka (problem) secara mandiri. Selain menjadi “agen perubahan” yang mengorganisasi kelompok masyarakat, pendamping harus pula melaksanakan tugas teknis, seperti; melakukan analisis sosial, mengelola dinamika kelompok (masyarakat), menjalin relasi, bernegosiasi, berkomunikasi, memberi konsultasi, dan mencari serta mengatur sumber dana.
Dengan demikian, Analisis Peran Pendamping (Masyarakat) Dalam Program Keluarga Harapan (PKH) adalah untuk mengupayakan agar masyarakat memiliki keberdayaan diri dalam mambangun, mengembangkan, dan membina kehidupannya secara responsif (tanggung jawab) terhadap problem sosial apa pun yang tengah mereka hadapi.
1
Lexsi.J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung; PT. Remaja Rosda Karya
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’aalamiin, puji syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Peran
Pendamping Dalam Program Keluarga Harapan (PKH) Pada Suku Dinas Sosial
Jakarta Utara”
Kelancaran pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini tidak terlepas
dari arahan, bimbingan, dorongan, dan bantuan dari beberapa pihak. Oleh karena
itu dengan ketulusan hati penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada:
1. Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Dr.Arief Subhan, MA
2. Bapak Dr Suparto,M.ED.,MA dosen Pembimbing yang selalu bersedia
meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan, dan memberikan
masukan kepada penulis.
3. Ibu Wati Nilam Sari, M.Si serta Bpk Hudri,MA selaku Ketua Jurusan
Pengembangan masyarakat Islam dan Sekretaris Jurusan, yang senantiasa
mendoa’kan dan selalu memotivasi penulis.
4. Dan kepada seluruh Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi beserta Staf
Administrasi yang telah membantu dan memberikan masukan kepada penulis.
5. Rasa terima kasih yang sangat besar penulis sampaikan kepada kedua orang
tua tercinta ayahanda H. Muhamad Toha dan ibunda Hj.Cicih beserta kakanda
Abdul Kholil dan ketiga adik tersayang saya Badru tamam, Fitriyatullailah,
dan Mar’atusholihah. Terima kasih atas do’a yang tulus dan motivasinya yang
berkah dan karunia Allah senantiasa melimpahi kita, Amien.
6. Kakanda Apen Makese, kawan-kawan La-Hila dan Fera yang senantiasa
memberikan bantuan secara moril maupun materil.
7. Kepada Mas Krisno Sutanto selaku pendamping Kelurahan Koja, Bang
Abdurrahman, Bapak Agus dan Staff UPPKH yang tidak saya sebutkan satu
persatu namanya. Terimakasih atas dukungan semangatnya dan berterima
kasih sudah banyak meluangkan banyak waktu untuk memberikan penjelasan
mengenai judul skripsi ini.
8. Ibu-ibu peserta PKH yang senantiasa diberiakan ketabahan dan kesabaran
dalam menjalankan kehidupan, penulis sangat berterimakasih atas waktu
ibu-ibu berikan, yang sudah mengambil waktu masak dan waktu tidurnya. Semoga
ibu-ibu sekalian selalu dalam lindungan Allah SWT amien...
9. Sahabat-sahabatku Ari Kurniawan, Hidmatullah, Siti Rohmah, Nurul Hikmah,
Ida, Fy, Ika, Roy, M. Kahfi dan kawan-kawan PMI angkatan 2005,
2006-2007 dan angkatan selanjutnya, yang tidak dapat disebutkan satu persatunya
yang selalu mewarnai hari-hari sepanjang perkuliahan berlagsung, terimakasih
yah semuanya.
10.Terima kasih kepada pegawai Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, pegawai Perpustakaan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, dan perpustakaan Kakanda Apen makese.
11.Last but not least, terima kasih untuk diriku yang berhasil mengalahkan
bagian diriku yang lain, melawan kemalasan serta teman-temannya. Penulis
menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana layaknya,
baik dari segi bahasa maupun materi yang tertuang di dalamnya. Besar
harapan penulis skripsi ini dapat berguna untuk menambah wawasan baru dan
membuka cakrawala yang lebih luas bagi pembaca sekalian. Amien...
Jakarta, 28 September 2010 M
Penulis
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 10
1. Perumusan Masalah ... 10
2. Pembatasan Masalah ... 10
C. Tujuan dan Manfaat/Kegunaan Penelitian ... 11
D. Tinjauan Pustaka ... 12
E. Metodologi Penelitian ... 16
1. Bentuk dan Jenis Penelitian ... 17
2. Jenis dan Sumber Data ... 17
3. Teknik Pemilihan Subjek dan Objek Penelitian ... 17
4. Teknik Pengumpulan Data ... 18
5. Lokasi Penelitian ... 20
6. Teknik Analisa Data ... 21
7. Teknik Keabsahan Data ... 22
8. Penulisan Laporan ... 23
F. Sistematika Penulisan ... 23
BAB II LANDASAN TEORI
A. Peran ... 25
1. Pengertian Peran ... 25
2. Tinjauan Sosiologis tentang Peranan ... 26
B. Pengertian Pekerja Sosial (Pendamping) ... 31
C. Pekerja Sosial dalam Pendampingan ... 36
D. Sekilas Tentang Prorgram Keluarga Harapan (PKH) ... 43
E. Tujuan PKH ... 47
F. Komponen PKH ... 49
G. Peran Pendamping dalam Program Keluarga Harapan (PKH) .. 51
BAB III GAMBARAN UMUM A. Profil ... 54
B. Tujuan PKH ... 58
C. Sasaran Program Keluarga Harapan (PKH) ... 58
D. Kerangka Kelembagaan Tingkat Pusat dan Fungsinya ... 61
E. Unit Pelaksana Program Keluargga Harapan (UUPKH) Pada Tingkat Kabupaten Kota Jakarta Utara ... 68
BAB IV ANALISIS TENTANG PERAN PENDAMPING DALAM PROGRAM KELUARGA HARAPAN A. Peran Pendamping dalam Program Keluarga Harapan (PKH) Oleh Suku Dinas Sosial Jakarta Utara Di Kecamatan Koja, Kelurahan Koja ... 71
vi
Harapan (PKH)... 71
2. Tugas Rutin ... 72
B. Harapan Pendamping dan Harapan Peserta (RTSM) dalam
Pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) ... 79
C. Kesesuaian antara Harapan Pendamping dan Harapan Peserta
(RTSM) dalam Program Keluarga Harapan (PKH) Di
Kecamatan Koja, Kelurahan Koja Jakarta Utara ... 84
D. Kendala atau Hambatan Pendamping dalam Program PKH ... 89
E. Solusi Dari Kendala Pendamping Program PKH ... 91
BAB V KESIMPULAN dan SARAN
A. Kesimpulan ... 95
B. Saran-Saran ... 97
DAFTAR PUSTAKA ... 98
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah salah satu negara yang sedang berkembang di antara
negara-negara Asia lain pada umumnya. Jika dibandingkan dengan negara-negara
Eropa yang telah lebih dulu menggapai kemajuan (modern), maka negara-negara
Asia adalah negara yang bagian lain yang identik dengan kemiskinan. Berbagai
krisis yang melanda negara Asia Tenggara sejak tahun 1990-an hingga tahun
2000-an kawasan negara Asia Tenggara (Malaysia, Indonesia, Singgapura,
Vietnam, Thailand) mengalami krisis yang multidimensional.
Sebagai negara besar, Indonesia tidak terlepas dengan berbagai krisis yang
melanda di hampir seluruh Asia, Khususnya Asia Tenggara. Menjadi sulit bagi
Indonesia untuk bergerak ke peradaban yang lebih maju (modern), dalam arti
mampu mensejahterakan negara-bangsa dan rakyatnya, kalau tidak dikatakan
terperosok tak sanggup bersaing dan bersanding dengan negara-negara setingkat
Asia (Jepang, Iran, India), atau salah satu dari mereka. Krisis multidimensi
menjadikan Indonesia berpotensi menetaskan bencana (patologi sosial), dinamika
dan problem sosial (gesekan antar etnis), kemiskinan, kebodohan (pendidikan),
kejahatan, kelaparan, dan tidak sehatnya dinamika kepemimpinan Indonesia
(politik)
Dengan berbagai problem dan konflik sosial tersebut, Indonesia seakan
sulit melepaskan diri dari lobang hitam tiada celah tanpa solusi untuk perbaikan
masa depan Indonesia yang lebih baik. Wajah Indonesia rusak, sebagian daerah
ingin memisahkan diri mencari bentuk muka yang baru, koordinasi pusat dan
daerah stagnan, kabupaten bermunculan untuk menjadi provinsi tersendiri.
Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia, seakan
hanya ada dalam mimpi dan ilusi, negara kesejahteraan hanya wacana utopis yang
enak didiskusikan. Kepemimpinan Indonesia menjadi pertanyaan mendasar bagi
rakyat yang apatis dan semakin anarkis. Ekonomi negara menjadi lika-liku tak
berwujud pada hal-hal yang kongkrit dan spesifik, hingga akhirnya, sosial dan
agama akan menjadi arena pembenaran dalam melakukan kerusakan oleh
masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kemiskinan dan kebodohan menjadikan Indonesia satu negara yang
hendak mencari berbagai solusi yang pasti bagi gerbang pencerahan bangsa dan
negara. Menjadi negara nomor satu dalam soal korupsi dan kemiskinan, bukanlah
sebuah kebanggaan. Di sisi lain, kebutuhan masyarakat akan sandang, pangan,
dan juga papan menjadi keharusan negara dan pemerintah untuk memenuhinya.
Untuk hal ini, negara harus bersedia membuka berbagai peluang (lapangan kerja,
program pengetasan kemiskinan, buta aksara) untuk menyediakan kebutuhan
rakyat Indonesia dalam satu lapangan yang dapat terjangkau (rakyat Indonesia
memenuhi kriteria pasar kerja) oleh masyarakat Indonesia. Kalau tidak, maka,
negara Indonesia akan menyimpan berbagai potensi penyakit sosial (patologi
sosial), jika demikian, Indonesia akan memiliki kemungkinan-kemungkinan
menjadi negara anarksis, atau colapse.
Kemiskinan pada dasarnya bukan hanya karena permasalahan ekonomi
belaka, tetapi kemiskinan merupakan permasalahan yang multidimensional. Ada
banyak faktor yang melatarbelakangi kemiskinan, dan perlu dicarikan perspektif
3
kemiskinan Indonesia. Kemiskinan yang multidimensional ini mencakup
kemiskinan dalam dimensi ekonomi, kemiskinan dalam dimensi sosial, politik,
dan budaya, kemiskinan dalam dimensi kesehatan, pendidikan, sejarah,
kemiskinan dalam dimensi sosio-politik (wacana), kemiskinan yang berdimensi
pendidikan, agama, budi pekerti, serta kemiskinan dalam dimensi perdamaian
dunia (hubungan bilateral atau diplomasi).1
Isbandi Rukminto Adi dalam bukunya yang berjudul “Pemberdayaan,
Pengembangan Masyarakat Dan Intervensi Komunitas...” mengatakan bahwa
dalam proses pembangunan yang terjadi di Indonesia dipengaruhi oleh dua
dimensi yaitu yang pertama dimensi makro yang menggambarkan bagaimana
institusi negara melalui kebijakan dan peraturan yang dibuatnya mempengaruhi
proses perubahan suatu masyarakat, sedangkan dimensi yang kedua adalah
dimensi mikro yaitu individu dan kelompok masyarakat mempengaruhi proses
pembangunan itu sendiri.2
Sedangkan menurut Syaiful Arif, kemiskinan dapat digolongkan menjadi 2
(dua) kategori yaitu kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural3. Kemiskinan
kultural dipahami sebagai akibat dari adanya karakter budaya masyarakat dan etos
kerja yang lemah, sedangkan kemiskinan struktural bisa terjadi karena adanya
1
Kemisikinan merupakan faktor dominan yang mempengaruhi persoalan kemanusiaan lainnya, contohnya, seperti keterbelakangan, kebodohan, ketelantaran, kematian dini. Problema buta hurup, putus sekolah, anak jalanan, pekerja anak, perdagangan manusia (human trafficking) tidak bisa dipisahkan dari masalah kemiskinan. Juga misalnya, Seseorang dikatakan miskin, misalnya, kalau memiliki pendapatan rendah, rumah tidak layak huni, atau buta hurup.
2
Isbandi Rukminto Adi, Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi
Komunitas (Pengantar Pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis), (Jakarta: Lembaga Penerbit
FEUI, 2003), Cet 1, h.1
3
Misalnya, pada konsep mengenai kemiskinan kebudayaan dan kemiskinan struktural. Yang pertama melihat budaya kemiskinan seperti malas, apatis, kurang berjiwa wiraswasta sebagai penyebab seseorang miskin. Yang kedua menilai bahwa struktur sosial yang tidak adil, korup,
struktur dan kebijakan pemerintah yang timpang, sebagai akibat dari terjadinya
ketidakadilan dalam kehidupan masyarakat.4
Dari dua pendapat di atas, antara Adi Isbandi Rukminto dan Syaiful Arif
dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa dalam membangun masyarakat Indonesia
agar mampu menggapai kesejahteraan dan pemberdayaan adalah dengan
melibatkan semua unsur yang ada dalam sebuah negara, masyarakat, dan
pemerintah. Pemerintah turut serta mempengaruhi perubahan sosial masyarakat
dengan landasan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (struktural-mikro).
Sedangkan disisi lain, masyarakat sebagai individu atau kelompok yang secara
langsung mempengaruhi perubahan itu sendiri memerlukan keterbukaan budaya
maupun peningkatan etos kerja yang selaras dan terarah (mikro-kultural).
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional. Pada tahun 2007
jumlah penduduk miskin di Indoensia sebesar 37,7 juta atau 16,58% dari total
penduduk Indonesia yang tersebar diberbagai provinsi yang ada di Indonesia.
Diharapkan angka kemiskinan pada akhir 2009 dapat diturunkan menjadi 18,8 juta
atau 8,2% dari total penduduk. Dari data tersebut. Indonesia telah menelurkan
berbagai program untuk memberantas kemiskinan yang telah berurat-berakar di
Indonesia. Di anatarnya, Program Keluarga Harapan (PKH), Program
Pengentasan Kemiskinan (Bantuan Langsung Tunai (BLT), Kredit Usaha Rakyat
(KUR), dll) telah menjadi momok yang seakan tidak tepat sasaran bagi rakyat.
Sementara menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jakarta, jumlah
penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di DKI
Jakarta pada bulan Maret 2009 sebesar 323,17 ribu (3,62 persen). Dibandingkan
4
5
dengan penduduk miskin pada bulan Maret 2008 yang berjumlah 379.6 ribu (4,29
persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 56,45 ribu. Hal ini
disebabkan antara lain oleh; (a) Pada bulan Januari – Maret 2009 terjadi deflasi
sebesar 0,13 persen; (b) UMP di DKI Jakarta terjadi peningkatan dari 972.645
rupiah pada tahun 2008 menjadi 1.069.865 rupiah pada 2009; dan (c) Tingkat
ketepatan pembagian raskin kepada rumah tangga sasaran meningkat.5
Garis Kemisknan (GK) tahun 2009 sebesar Rp. 316.936,- per kapita per
bulan lebih tinggi dibanding GK tahun 2008 yang sebesar Rp. 290.268,- per
kapita per bulan. Komposisi Garis Kemiskinan menunjukkan bahwa Garis
Kemiskinan Makanan sebesar Rp 204.248 (64,44 persen) dan Garis Kemiskinan
Non Makanan sebesar Rp. 112.688 (35,56 persen).6
Dalam rangka percepatan penanggulangan kemiskinan seperti yang
digambarkan di atas, sekaligus pengembangan kebijakan di bidang perlindungan
sosial, Pemerintah Indonesia mulai tahun 2007 akan melaksanakan Program
Keluarga Harapan (PKH). PKH dikenal di negara lain dengan istilah Conditional
Cash Transfers7 (CCT) atau bantuan tunai bersyarat. PKH bukan merupakan
kelanjutan program Subsidi Langsung Tunai yang diberikan dalam rangka
5
Komodisi makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis Kemiskinan adalah beras, telur dan mie instan. Komoditi non makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis Kemiskinan adalah biaya perumahan dan angkutan. (Berita Resmi Statistik Provinsi DKI Jakarta No. 26/07/31/TH XI , 1 Juli 2009, http://jakarta.bps.go.id/BRS/Sosial/Miskin09.pdf. diakses pada tanggal 6 agustus 2010).
6
Keadaan tahun 2009 dibanding dengan keadaan tahun 2008; a) Angka kemiskinan (P0) turun 0,67 poin dari 4,29 persen menjadi 3,62 persen; b) Rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan (P1) menurun dari 0,72 menjadi 0,57; c) Ketimpangan pengeluaran penduduk miskin (P2) semakin menyempit yaitu dari 0,19 menjadi 0,14. (Berita Resmi Statistik Provinsi DKI Jakarta No. 26/07/31/TH XI , 1 Juli 2009, http://jakarta.bps.go.id/BRS/Sosial/Miskin09.pdf. diakses pada tanggal 6 agustus 2010).
7
membantu rumah tangga miskin mempertahankan daya belinya pada saat
pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM.8
PKH lebih dimaksudkan pada upaya membangun sistem perlindungan
(keberdayaan9) sosial kepada masyarakat miskin. Pelaksanaan di Indonesia
diharapakan akan membantu penduduk termiskin, bagian masyarakat yang paling
membutuhkan uluran tangan dari siapapun juga. Pelaksanaan PKH secara
berkesinambungan setidaknya hingga tahun 2015 akan mempercepat pencapaian
Tujuan Pembangunan Millenium10. Program PKH sebagai program uji coba di
tahun 2007 mempunyai sasaran mencakup 500.000 rumah tangga sangat miskin
(RTSM) yang tersebar di 7 provinsi (DKI Jakarta (Jakarta Utara): Jawa Timur,
Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, Sulawesi Utara dan Sumatera
Barat).
Di dalam program PKH, ada kewajiban (conditionalities) yang harus
dilaksanakan oleh rumah tangga sangat miskin peserta PKH terkait dengan upaya
peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Kewajiban berkaitan dengan upaya
peningkatan status kesehatan Ibu hamil dan anak, serta tingkat pendidikan anak
dari keluarga rumah tangga sangat miskin. Kewajiban yang harus dilaksanakan
adalah:
1. Bagi ibu rumah tangga sangat miskin yang dalam keadaan hamil pada waktu
pendaftaran, diwajibkan untuk datang ke puskesmas dan mengikuti pelayanan
8
Tim Penyusun, Pedoman Umum PKH Lintas Kementrian dan Lembaga, Pedoman
Umum PKH 2008, (Jakarta, Direktorat Jaminan Kesejahteraan Sosial dan Direktorat Jenderal
Bantan dan Jaminan Sosial Departemen Sosial RI, 2008), h. 17.
9
Keberdayaan yang dimaksud di sini adalah, kekuatan masyarakat yang ditumbuhkan melalui kesadaran bahwa mereka memiliki pondasi dasar yang juga dapat mengubah hidup mereka agar menjadi layak. Kesadaran masyarakat yang mampu membangun hidup mereka secara mandiri tanpa meminta dan mengharapkan bantuan dari luar (orang lain).
10
7
pemeriksaan kesehatan ibu hamil sesuai dengan protokol Departemen
Kesehatan;
2. Bagi rumah tangga sangat miskin yang mempunyai anak usia 0-6 tahun, wajib
membawa anaknya ke puskesmas untuk mengikuti pelayanan kesehatan anak
sesuai protokol Departemen Kesehatan;
3. Bagi mereka yang mempunyai anak usia sekolah 7-15 tahun, wajib mengikuti
pendidikan dengan jumlah kehadiran minimal 85% serta memperoleh
pelayanan pendidikan sesuai dengan protokol Departemen Pendidikan
Nasional.
Program PKH, merupakan program yang berkesinambungan dengan
pendapat Adi Isbandi dan Syaiful Arif, dalam tingkat makro/struktural pemerintah
membangun masyarakat melalui program lintas sektor, yang dalam
pelaksanaannya melibatkan berbagai unsur Departemen Pemerintah (Menko
Kesra, Bappenas, Departemen Sosial, Departemen Kesehatan, Departemen
Pendidikan Nasional, Departemen Agama, dan Departemen Komunikasi dan
Informatika) serta partisipasi masyarakat. Pelaksanaan PKH juga didukung oleh
BPS dalam penyediaan data penerima dan PT Pos Indonesia untuk sistem
manajemen informasi pembayaran.11
Namun demikian, menjadi sangat ironis bagi pemerintah apabila berbagai
program yang diimplementasikan ke dalam masyarakat berubah fungsi menjadi
sarana yang menjadikan masyarakat tambah terjebak ke jurang kemiskinan dan
penyakit sosial. Padahal, Peran dan fungsi Program Keluarga Harapan menjadi
sebuah jembatan bagi masyarakat yang mendapatkan dana anggaran (yang dikenai
11
Pedoman Umum PKH, program keluarga harapan, (Direktorat Jaminan Kesejahteraan
program) sebagai sebuah gerbang besar yang terbuka bagi mereka untuk
peningkatan taraf hidup yang layak. PKH merupakan Dana Anggaran
Pemerintah12 yang menjadi penopang, sarana, dan harapan bagi mereka untuk
bertahan serta mengendalikan hidup. Namun, di sisinya yang lain, program
pemerintah menjadi bumerang bagi masyarakat itu sendiri dan lebih-lebih
pemerintah, karena berpeluang melemahkan semangat hidup masyarakat
(bergantung) serta dapat diselewengkan ke hal-hal yang negatif. Misalnya,
perjudian, gadai kartu, utang-piutang, dan lain sebagainya.
Dana Anggaran PKH disalah gunakan bukan menjadi harapan (tujuan)
Program Keluarga Harapan. Dana bantuan PKH menjadi hak sepenuhnya bagi
sasaran untuk merubah berbagai permasalahan hidup yang dialaminya, setelah
beralih ke tangan, jika (modal) untuk bermain judi atau digadaikan untuk membeli
kebutuhan-kebutuhan rumah tangga yang tidak berfungsi, iuran sekolah anak
terbengkalai, biaya makan sehari-hari dari hasil utang-piutang, menjadi sangat
tidak potensial dan efektif. Jika demikian, Program Keluarga Harapan tidak cukup
efektif apabila dijadikan sebagai sebuah solusi bagi masyarakat miskin perkotaan
karena soal pemerataan Dana Anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah
(semisal PKH, Kartu GAKIN, RASKIN), tidak merata di semua lini dan lingkup
masyarakat miskin.
Dari berbagai hal tersebut, menarik untuk diselami, dan akan muncul
berbagai pertanyaan, ada apa? Mengapa? Dan seterusnya. Berbagai problematika
sosial ini akan berujung pada pertanyaan yang mendasar, bagaimana peran
12
Anggaran PKH yang dikeluarkan oleh pemerintah berasal dari APBN yakni Rp1 triliun untuk setiap tahun, yang diperuntukkan bagi 500ribu ibu dari keluarga miskin, sedangkan sekitar 11,6 juta ibu keluarga miksin yang belum mendapat PKH, akan diupayakan pada tahun berikutnya. Pemberian bantuan PKH akan berlangsung selama enam tahun (2007-2012) agar si ibu dari RTSM
9
pendamping dalam proses pemberdayaan masyarakat miskin?. Jika dikerucutkan
menjadi sebuah permasalahan sosial, maka kemiskinan13 Indonesia akan
bergantung pada peran dan fungsi pendamping dari berbagai program pemerintah
yang diberikan pada masyarakat. Jika hal demikian tidak berfungsi, dan peran
serta masyarakat tidak diindahkan, maka Indonesia akan sulit mendefinisikan
standar kehidupan yang normal (layak) bagi keseharian masyarakat. Banyak hal
yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk menyelamatkan nyawa dan harta
masyarakat melalui program-programn kesejahteraannnya, namun banyak hal
pula yang diabaikan oleh pemerintah jika masyarakat tak sepenuhnya
mendapatkan apa yang menjadi hak mereka.
Secara pelan atau pun tergesa-gesa program pemerintah membantu
masyarakat tidak mampu (miskin) untuk dapat bertahan hidup, tetapi cepat atau
lambat pula, masyarakat akan menemui kebuntuan hidup, yang berujung pada
kematian apabila tidak dicarikan solusi kesejahteraan yang tepat dan berkelanjutan
bagi mereka, sehingga masyarakat mampu memberdayakan diri mereka sendiri.
Untuk itu, menjadi kewajiban bersama bagi setiap komponen pemerintah dan
masyarakat dalam bernegara untuk bersama-sama menyelami kemiskinan,
sehingga peran dan fungsi masing-masing (hak dan kewenangan) sebagai satu
gerbang untuk keluar dari kebodohan dan kemiskinan.
Dari berbagai permasalahan di atas, penulis ingin menuangkan
problematika kehidupan sosial dalam bernegara dan berbangsa ke dalam satu
13
Selain masalah kemiskinan adalah juga terkait dengan permasalahan sumber daya alam dan manusia, kemiskinan struktural, budaya, kreatifitas, disfungsi dan lain sebagainnya. Peran pendamping menjadi penting adalah dikarenakan pendamping dapat menjadi penengah bagi pemerintah dan masyarakat untuk menyampaikan komunikasi (keinginan keduanya) yang
karya tulis yang berjudul: “Analisis Peran Pendamping dalam Program
Keluarga Harapan (PKH) pada Suku Dinas Sosial Jakarta Utara”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan masalah
Dalam pembahasan karya tulis ini, penulis ingin membatasi pembahasan
agar lebih terarah dan tidak meluas pada interpretasi yang tumpang tindih, maka
penulis hanya membatasinya pembahasan pada; “Analisis Peran Pendamping
dalam Program Keluarga Harapan (PKH) pada Suku Dinas Sosial Jakarta Utara”.
2. Perumusan masalah
Agar penulisan karya tulis ini menjadi terarah dan tidak meluas kepada
pembahasan lainnya, maka penulis merumuskan masalah ini sebagai berikut :
a. Bagaimana peran pendamping masyarakat melalui Program Keluarga
Harapan (PKH)?
b. Apakah harapan pendamping dan harapan peserta (RTSM) terhadap
Program Keluarga Harapan (PKH)?
c. Apakah kesesuaian antara harapan pendamping dengan harapan
peserta melalui program keluarga harapan (PKH)?
d. Apa kendala Pendamping yang muncul dalam Program PKH?
11
C. Tujuan dan Manfaat/Kegunaan Penelitian
1. Tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui peran pendamping dalam program pengentasan
kemiskinan melalui Program Keluarga Harapan (PKH).
b. Untuk mengetahui bentuk-bentuk (kesesuaian) program pemberdayaan
masyarakat yang dilakukan oleh pendamping PKH.
c. Untuk mengetahui harapan-harapan para pendamping PKH dan harapan
peserta PKH dalam program perlindungan sosial dengan adanya
pendampingan masyarakat.
d. Untuk mengetahui tindakan atau sikap masyarakat dalam menerima
pendamping program keluarga harapan (PKH).
e. Sebagai acuan pemerintah dalam membuat program-program pelayanan
masyarakat miskin.
2. Manfaat Penelitian
Hasil studi ini diharapkan dapat berguna baik secara teoritis maupun
praktis. Secara teoritis studi ini dapat menambah cakrawala pengetahuan
bahwasanya permasalahan masyarakat miskin tidak akan pernah berbeda dari
zaman ke zaman, karena kehidupan sersifat dinamis.
Secara praktis kita dapat mengetahui dan merasakan akan segala
permasalahan masyarakat miskin selama ini, dengan adanya penelitian ini
semata-mata menjadikan tugas bagi para pengembang masyarakat untuk menyampaikan
aspirasi masyarakat miskin, sebagai fasilitator dan mediator bagi harapan akan
keberdayaan masyarakat miskin, dan diharapkan mampu memberikan masukan
ada dalam pemberdayaan masyarkat miskin. Khususnya lembaga-lembaga
(seperti; DEPSOS, UPPKH pusat dan UPPKH kabupaten kota) yang bersentuhan
langsung dengan kehidupan masyarakat miskin.
D. Tinjauan Pustaka
Untuk mendukung penelaahan yang lebih mendetail, penulis berusaha
melakukan kajian terhadap beberapa pustaka ataupun karya yang relevan dengan
topik penulisan karya ilmiah ini. Buku-buku dan karya ilmiah yang sebelumnya
pernah ditulis dan ditelusuri sebagai bahan perbandingan maupun rujukan dalam
penulisan karya ilmiah ini, yakni:
Sebuah penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh Panji jurusan
Kesejahteraan Sosial (UI), dengan judul, Program Keluarga Harapan sebagai
Pilihan Kebijakan dalam Mengatasi Hambatan Akses Terhadap Pendidikan
Dasar. Study Kasus Penyelenggaraan Program Keluarga Harapan di Kecamatan
Cilincing Pada Tahun Pelaksanaan 2007-2009.
Panji mengatakan, PKH dapat berjalan sebagaimana mestinya, harus lebih
banyak pendamping yang diterjunkan, agar program berjalan seimbang dengan
keinginan pendamping dan masyarakat. Pada 2007-2008 terdapat 41 pendamping
dan pada 2009 dibutuhkan 47 pendamping pada masing-masing kelurahan. Posisi
pendamping ini di mata Panji, sangat vital untuk keberhasilan pelaksanaan PKH.
Panji menambahkan, bahwa fakta membuktikan program intervensi yang
menggelontorkan uang tunai kepada masyarakat berpotensi tidak efektif jika tidak
13
Menurutnya, karena bertugas mengawal program di lapangan, pendamping
harus benar-benar kapabel dan berintegritas moral tinggi. Terlebih dalam
menjalankan tugasnya mereka digaji oleh negara dengan besaran yang relatif
memadai. Pendamping yang direkrut dari masyarakat harus menjadi pengaman
aliran dana insentif sekaligus seorang kreator dan inovator untuk kemajuan RTSM
peserta PKH.
Dalam PKH ini, menurut Panji, bersifat multi sektoral. Bappeda, Dinas
STKT, Dinas Kesehatan, Disdik, Infokom, hingga Polres terlibat di dalamnya.
Bahkan untuk menyukseskan PKH dibangun pola kontrol berupa Sistem
Pengaduan Masyarakat (SPM) yang di Cilincing disebut UPPKH. UPPKH ini
berfungsi mengakomodir segala jenis pengaduan maupun penyelesaiannya yang
terkait dengan pelaksanaan KPH.
Kemudian artikel yang ditulis oleh Edi Suharto dengan judul;
Pendampingan Sosial Dalam Pemberdayaan Masyarakat Miskin: Konsepsi Dan
Strategi.14 Edi Suharto menjelaskan bahwa Pemberdayaan Masyarakat dapat
didefinisikan sebagai tindakan sosial dimana penduduk sebuah komunitas
mengorganisasikan diri dalam membuat perencanaan dan tindakan kolektif untuk
memecahkan masalah sosial atau memenuhi kebutuhan sosial sesuai dengan
kemampuan dan sumberdaya yang dimilikinya.
Masyarakat miskin seringkali merupakan kelompok yang tidak berdaya
baik karena hambatan internal dari dalam dirinya maupun tekanan eksternal dari
lingkungannya. Pendamping sosial kemudian hadir sebagai agen perubah yang
turut terlibat membantu memecahkan persoalan yang dihadapi mereka.
14
Pendampingan sosial diartikan sebagai interaksi dinamis antara kelompok miskin
dan pekerja sosial untuk secara bersama-sama menghadapi beragam tantangan
seperti; (a) merancang program perbaikan kehidupan sosial ekonomi, (b)
memobilisasi sumber daya setempat (c) memecahkan masalah sosial, (d)
menciptakan atau membuka akses bagi pemenuhan kebutuhan, dan (e) menjalin
kerjasama dengan berbagai pihak yang relevan dengan konteks pemberdayaan
masyarakat.
Di dalam artikel yang berjudul; Pendampingan Sosial Dalam
Pemberdayaan Masyarakat Miskin: Konsepsi Dan Strategi15, Edi Suharto
mengacu pada Ife (1995), mengatakan bahwa peran pendamping umumnya
mencakup tiga peran utama, yaitu: fasilitator, pendidik, perwakilan masyarakat,
dan peran-peran teknis bagi masyarakat miskin yang didampinginya.
Tulisan yang kedua adalah Mengugat Peran Pendamping PNPM Mandiri,
sebuah artikel yang ditulis oleh Marjono (staf Bapermades Provinsi Jawa
Tengah)16. Ia mengatakan bahwa pemberdayaan berarti memampukan dan
memandirikan masyarakat dan desa. Upaya pemberdayaan masyarakat wajib
dipahami sebagai transformasi dari ketergantungan menuju kemandirian.
Kemandirian masyarakat bukan diindikasikan meningkatnya pendapatan
saja, tetapi seberapa jauh mereka mampu menguasai sumber-sumber ekonomi
baru. Sehingga tidak kesementaraan pendapatan meningkat, tetapi kepercayaan
hidup selanjutnya didapatkan kemandirian sosial ekonomi tersebut wajib
dipahami. Di sinilah, peran pendamping/fasilitator menyelenggarakan dialog
dengan masyarakat untuk menggali kebutuhan-kebutuhan nyata, menggali
15
Ibid.
16
15
sumber-sumber potensi yang tersedia, mendorong masyarakat untuk menemukan
spesifikasi masalah yang harus dipecahkan dan mengorganisir mereka untuk
mengambil tindakan yang tepat (Belle, 1976).
Marjono mengatakan lebih lanjut bahwa dengan metode pendampingan
masyarakat melalui program sarjana masuk desa (seperti PNPM-MP dan atau
P2KP), patut digerakkan kembali. Walaupun bukan program baru, karena
sebelumnya kita pernah mengenal BUTSI, SP3 (Depdikbud), SP2W (Bappenas),
TKPMP (Depnaker), FK (Depdagri), yang bertugas sebagai enabler
pembangunan, khususnya pengentasan kemiskinan yang selalu mengedepankan
pada kematangan sosial kultural Upaya-upaya pengentasan kemiskinan
semestinya dipahami sebagai transformasi dari ketergantungan menuju
kemandirian. Wujud kemandirian tercermin dari tingkat kepedulian dan partisipasi
atau memudarnya ketergantungan kepada pemerintah.
Berbeda dengan Edi Suharto dan Marjono, dalam penelitian karya ilmiah
ini, penulis melakukan penelitian dan pendekatan kualitatif yang ingin
mengungkapkan “Peran Pendamping dalam Program Keluarga Harapan (PKH)
Suku Dinas Sosial Jakarta Utara”. Penulis menilai bahwa tidak maksimalnya
proses pemberdayaan masyarakat diakibatkan oleh kurangnya peran dan fungsi
pendamping masyarakat dalam memetakan masyarakat miskin yang memerlukan
pemberdayaan, dan tumpang tindihnya program yang menjadi skala prioritas
maupun alternatif.
Penulis sependapat bila dikatakan Pendamping Sosial sebagai agen
perubah yang turut terlibat membantu memecahkan persoalan yang dihadapi oleh
interaksi dinamis antara kelompok miskin dan pekerja sosial untuk secara
bersama-sama menghadapi beragam tantangan yang ada di dalam masyarakat.
Akan tetapi jika peran dan fungsi pendamping sosial tidak dapat memetakan atau
mempermudah jalinan komunikasi yang dinamis tersebut dengan masyarakat.
Program pengentasan kemiskinan akan tersendat, kalau tidak dikatakan sulit untuk
dijalankan. Dan untuk itu penulis mencoba melihat kenyataan yang tengah dijalani
oleh masyarakat (secara langsung) di lapangan. Penulis ingin mengkombinasikan
antara teori (wacana yang dibicarakan maupun ditulis oleh beberapa pemerhati
dan peneliti sebelumnya dan fakta (yang dirasakan oleh masyarakat) dari keadaan
masyarakat yang sebenarnya.
Di sinilah upaya penulis melihat bagaimana peran pendamping/fasilitator
dalam menyelenggarakan dialog (mendekati) dengan masyarakat, karena untuk
menggali kebutuhan-kebutuhan nyata, menggali sumber-sumber potensi yang
tersedia, mendorong masyarakat untuk menemukan spesifikasi masalah dan
mengorganisir mereka, harus diupayakan sebuah kumunikasi interaktif yang
mudah diterima dan dipahami secara bersama-sama, sehingga program
pemberdayaan dalam tingkat apapun, dapat mudah dijalankan.
E. Metodologi Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif. Dimana
pendekatan kualitatif menurut Taylor yang dikutip oleh Lexsi J. Moleong, adalah
“prosedur sebuah penelitian yang menghasilkan data deskriftip berupa kata-kata,
tertulis atau lisan dari orang dan prilaku yang dapat diamati.”17
17
Lexsi.J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung; PT. Remaja Rosda Karya
17
Dengan demikian, penulis akan menggunakan pendekatan kualitatif yaitu
berupaya menghimpun data, mengolah data dan menganalisa data secara kualitatif
dengan tujuan agar dapat memperoleh informasi yang mendalam tentang program
yang menjadi penelitian.
1. Bentuk dan Jenis Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research), yang
didukung oleh observasi dan wawancara sebagai pelengkap. Oleh karena itu,
dalam hal ini penulis mengadakan penelitian terhadap obyek penelitian yang ada
kaitannya dengan penulisan karya ilmiah ini.
2. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data kualitatif.
pendekatan kualitatif menurut Taylor yang dikutip oleh Lexsi J. Moleong, adalah
“prosedur sebuah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata,
tertulis atau lisan dari orang dan prilaku yang dapat diamati”.18 Sedangkan
sumber data yang digunakan dalam penelitian ini. pertama, data primer yang
didapatkan dari kegiatan pendamping PKH. Wawancara pribadi terhadap pihak
yang berkepentingan sebanyak tiga (3) orang, seperti tokoh masyarakat, ibu
rumah tangga, pemuda, dan mahasiswa yang konsen terhadap persoalan
kemiskinan dan pemberdayaan. Kedua, data sekunder yang bersumber dari buku
pedoman PKH, makalah, artikel, paper, media massa (seperti surat kabar, majalah,
jurnal) dan media elektronik, seperti internet.
18
Lexsi.J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung; PT. Remaja Rosda Karya
3. Teknik Pemilihan Subjek dan Objek Penelitian
Sesuai dengan karakteristik penelitian kualitatif, dalam memilih responden
ini dipilih secara sengaja, setelah membuat tipologi (ideal) individu dalam
masyarakat, yang penting disini bukan jumlah responden kasusunya, melainkan
potensi tiap kasus untuk memberi pemahaman teoritis yang lebih baik mengenai
aspek yang telah dipelajari.
Pilihan informan tergantung pada jenis informasi yang hendak
dikumpulkan, cara termudah mendapatkan informan adalah teknik “bola salju”.
Dalam teknik ini peneliti harus mengenal beberapa informan kunci dan meminta
memperkenalkannya kepada informan lain.19
Berdasarkan konteks tersebut, maka penulis memilih responden sebagai
berikut: Suku Dinas sosial Jakarta Utara, koodinator UUPKH kabupaten kota,
Pendamping kelurahan Koja, Ketua Rt,Rw ataupun Lurah dan peserta program
keluarga harapan yang terdaftar sebagai peserta atau Rumah Tangga sangat
Miskin (RTSM).
Sedangkan yang menjadi obyek penelitian dalam skripsi ini adalah proses
tejadinya kinerja pendamping terhadap indikator kerja ketika melakukan
pendampingan di masyarakat. Dan melihat respon masyarakat dengan adanya
pendampingan masyarakat dalam sebuah program perlindungan sosial yaitu PKH.
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data dari penelitian lapangan ini, penulis menggunakan
metode pengumpulan data berupa:
19
MT. Felix Sitorus, Penelitian Kualitatif Suatu Perkenalan,(Bogor: Kelompok
19
a. Observasi
Observasi yaitu alat pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki.20 Yang
diteliti adalah pekerjaan sehari-hari yang dilakukan oleh peserta PKH, baik dalam
rumah ataupun di luar rumah.21 Serta mengikuti kegiatan pendamping dalam
melakukan pendampingan atau pertemuan kelompok pada jadwal dan waktu yang
telah ditentukan oleh pendamping.
Dalam observasi ini penulis langsung mendatangi Kelurahan Tugu Utara,
guna memperoleh data yang konkrit tentang hal-hal yang menjadi obyek
penelitian ini, bahkan peneliti hingga mengikuti kegiatan responden dalam
melakukan kegiatan pertemuan kelompok dengan pendamping dan mengikuti
kegiatan pembayaran di kantor pos Koja, penulis ditemani pendamping mengikuti
kegiatan-kegiatan tersebut hingga selesai, mulai jam 10 hingga jam 17.00.
Yang diobservasi adalah kondisi sosial ekonomi RTSM, taraf pendidikan
anak-anak RTSM, status kesehatan dan gizi, akses dan kualitas pelayanan
pendidikan dan kesehatan, khususnya bagi RTSM dan lain sebagainya.22
20
Cholid Narbuko, Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999),
h.70
21
Misalnya, pendamping melakukan pemantauan terhadap keseharian (pekerjaan) yang dilakukan oleh peserta/anggota baik yang berkaitan langsung dengan kegiatan Program Keluarga Harapan (PKH) atau pun yang tidak terkait secara langsung langsung. Kebiasaan-kebiasaan peserta/anggota dalam membina rumah tangga (keluarga), bertetangga (bersosialisasi), pola hidup (mencari nafkah untuk kesejahteraan keluarga) dan lain-lain.
22
b. Interview
Interview atau wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu
untuk mendapatkan data yang kongkrit dari hasil beberapa pertanyaan yang
diajukan. Untuk mendapatkan data tersebut, pendamping dapat mewawancarai
seluruh peserta/anggota, dapat juga secara random (acak).
Namun demikian, peneliti mewawancarai tiga (3) orang peserta/anggota
(atau dari masyarakat lain untuk keseimbangan data/informasi) yang telah
ditentukan/dipilih berdasarkan kemampuan peserta/anggota dalam soal tanya
jawab, sehingga data/informasi yang dibutuhkan dapat memenuhi kebutuhan
interview.
Wawancara dilakukan pada peserta/anggota di tempat pelaksanaan
Program Keluarga Harapan (PKH). Wawancara dilakukan melalui dua pola. 1)
dari pejabat Kelurahan, kemudian ke tingkat RT/RW, tokoh masyarakat dan
agama, kemudian peserta/anggota (masyarakat) PKH; 2) dapat dimulai dari
tingkat masyarakat bawah hingga Pemerintah Kelurahan.
Wawancara digunakan untuk mengumpulkan pendapat, persepsi, perasaan,
pengetahuan dan pengalaman serta penginderaan seseorang (pendamping) dengan
tujuan memperoleh informasi sebanyak-banyaknya.
c. Dokumentasi
Studi dokumentasi adalah data-data yang tertulis yang mengandung
keterangan dan penjelasan serta pemikiran tentang fenomena yang masih aktual.23
Dalam dokumentasi, penulis mengumpulkan, membaca dan mempelajari berbagai
23
21
macam bentuk data tertulis yang ada di lapangan, serta data-data lain di
perpustakaan yang dapat dijadikan penguatan referensi data.
5. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Koja, Kelurahan Tugu Utara,
Jakarta Utara. Dengan alasan bahwa di kecamatan Koja adalah tempat penulis
melakukan praktikum, dengan demikian penulis telah mengetahui lokasi dan
kondisi sosial masyarakat Kelurahan Tugu Utara.
Selain itu, yang menjadi alasan lainnya adalah tingkat kehidupan sosial
masyarakat Kecamatan Koja yang semakin cepat mengalami pertumbuhan hingga
kepadatan penduduk menjadi perhatian khusus bagi pemerintah.24 Kepadatan dan
pertumbuhan penduduk tersebut meluas hingga ke Kelurahan Tugu Utara,
akibatnya penyakit dan penyimpangan sosial kerap terjadi di dalam keseharian
masyarakat Kecamatan Koja umumnya dan Kelurahan Tugu Utara pada
khususnya.
6. Teknik Analisa Data
Analisa data menurut Bogdan dan Biklen, yang dikutip oleh Lexy J.
Meleong adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dikelola,
mensistensikannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting
dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan.
24
Dampak dari urbanisasi, akibatnya perpindahan masyarakat Desa ke Kota tidak mampu dihentikan dan percepatan pembangunan dengan alasan kemajuan serta modernisasi, sehingga lahan (tanah, sawah, tempat tinggal, dll.) semakin menyempit. Akibat lain yang lebih besar adalah kemiskinan, kejahatan, kematian, dan segala penyakit sosial lainnya. (Wawancara pribadi dengan
Di pihak lain, Analisis data kualitatif (Seiddel, 1998), Prosesnya berjalan
sebagai berikut:
a. Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal itu diberi
kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri
b. Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, mensistensiskan,
membuat ikhtisar, dan membuat indeksnya
c. Berpikir, dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai
makna, mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan, dan
membuat temuan-temuan umum.25
7. Teknik Keabsahan Data
Untuk memeriksa keabsahan data ada empat kriteria yang digunakan yaitu:
Kriterium Keterlatihan, Kriterium kebergantungan, Kriterium kredibilitas /
kepercayaan, Kriterium kepastian.
Dalam hal ini peneliti menggunakan langkah-langkah kriteria sebagai
berikut, yaitu; Kriterium Kredibilitas/Kepercayaan
Fungsi kriterium kredibilitas adalah untuk melaksanakan inkuiri
sedemikian rupa sehingga tingkat kepercayaan penemuaannya dapat dicapai,
kemudian mempertunjukan derajat kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan
jalan pembuktian oleh peneliti, pada kenyataan ganda yang sedang diteliti.
Kriterium ini menggunakan dua teknik pemeriksaan: Pertama, ketekunan
pengamatan, dimaksudkan untuk menemukan cirri-ciri dan unsur-unsur dalam
situasi yang relevan dengan persoalan atau isu dalam penelitian ini dan kemudian
memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci. Kedua, teknik triangulasi yang
25
23
merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang
lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data
tersebut, teknik triangulasi yang banyak digunakan adalah pemeriksaan terhadap
sumber lainnya.
Hal itu dapat dicapai dengan jalan:
1) Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara,
misalnya untuk mengetahui pelaksanaan pendampingan masyarakat
melalui program keluarga harapan.
2) Membandingkan keadaan dan prespektif seseorang dengan berbagai
pendapat dan pandangan orang lain, misalnya dalam hal ini peneliti
membandingkan jawaban yang diberikan oleh narasumber (Staff
UPPKH) dengan jawaban dari para peserta program keluarga harapan.
Membandingkan hasil wawancara dengan hasil dokumen yang berkaitan
dengan masalah yang diajukan
8. Penulisan Laporan
Untuk penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis mengacu pada buku
Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan disertasi UIN Jakarta yang diterbitkan
oleh CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Cetakan II Tahun 2007.
F. Sistematika Penulisan
Di dalam penulisan karya ilmiah ini akan dibagi menjadi 5 (Lima) bab, dan
BAB I: Pendahuluan, dalam bab ini dibahas latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metodologi penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II: Tinjauan Teoritis, dalam bab ini akan membahas landasan teori yang
berisikan tentang peraran (pengertian dan tinjauan sosiologi tentang
peraran), pengertian pekerja sosial, pekerja sosial dalam
pendampingan, sekilas tentang Program Keluarga Harapan (PKH),
Komponen PKH, peran pendamping dalam Program Keluarga Harapan
(PKH).
BAB III: Gambaran Umum, dalam bab ini akan digambarkan secara lengkap
tentang profil, tujuan, sasaran, struktur kelembagaan Program
Keluarga Harapan (PKH) fungsi serta tugas dan fungsinya.
BAB IV: Analisis Tentang Peran Pendamping dalam Program Keluarga
Harapan Oleh Suku Dinas Sosial Jakarta Utara. Terdiri dari peran
pendamping dan harapan peserta dalam program keluarga harapan, dan
kesesuaian antara harapan pendamping dan peserta dalam Program
Keluarga Harapan (PKH) di Kecamatan Koja, Kelurahan Koja. Jakarta
utara. Kendala atau Hambatan Pendamping dalam Program PKH,
Solusi Dari Kendala Pendamping Program PKH.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Peran
1. Pengertian Peran
Peran (role) merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila
seorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka
dia menjalankan suatu peranan.1
Peranan mencakup 3 (tiga) hal:
a. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau
tempat seseorang dalam masyarakat.
b. Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh
individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
c. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting
bagi struktur sosial masyarakat. 2
Pengertian peranan (dalam KBBI, 1998) adalah bagian dari tugas utama
yang harus dilaksanakan. Peranan menurut kamus besar bahasa Indonesia terbitan
tahun 2002, adalah perangkat tingkah yang diharapkan dimilki oleh orang yang
berkedudukan di masyarakat.3
Peranan menurut Enslikopedia ilmu-ilmu sosial adalah perilaku yang
diharapkan dalam kerangka posisi sosial tertentu.4 Peranan menurut Enslikopedi
1
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2003) Cet. Ke -35, h. 243.
2
Ibid, h 244
3
Departemen pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai pustaka, 1998), h. 667.
4
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 854.
ilmu-ilmu sosial adalah perilaku yang diharapkan dalam kerangka posisi sosial
tertentu.5
Sedangkan Grass Massan dan A.W Eachern sebagaimana dikutip oleh
David Barry mendefinisikan peranan sebagai seperangkat harapan-harapan yang
dikenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu.6
2. Tinjauan Sosiologis tentang Peranan
Setiap orang mempunyai macam-macam peranan yang berasal dari
pola-pola pergaulan hidupnya. Hal itu sekaligus berarti bahwa peranan menentukan apa
yang dibuatnya bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang
dibicarakan oleh masyarakat kepadanya. Pentingnya peranan adalah, karena ia
mengatur perilaku seseorang. Peranan menyebabkan seseorang pada batas-batas
tertentu dapat meramalkan perbuatan-perbutan orang lain.
Orang yang bersangkutan akan dapat menyesuaikan perilaku sendiri
dengan perilaku orang-orang sekelompoknya. Hubungan-hubungan sosial yang
ada dalam masyarakat. Peranan diatur oleh norma-norma yang berlaku. Misalnya
norma kesopanan menghendaki agar seorang laki-laki bila berjalan bersama
wanita, harus berada dari sebelah luar.7
Secara sosiologis peran pendamping adalah sebagai pembangun, yang
dijalankan berdasarkan atas prinsip demokrasi, akan selalu berorientasi kepada
proses (proses oriented) di mana semua lapisan masyarakat akan turut serta dalam
5
Adam Kuper, Jessika Kuper, Enslikopedia Ilmu-ilmu social, (Jakarta: PT Raja Garfindo Persada ), h. 935
6
N.Grass W.S Massan dan A.W MC Eachern, Exploration Role Analiysis dalam David
Berry, Pokok-pokok Pikiran dalam sosiologi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1995), Cet ke-3, h.
99
7
27
pembangunan, baik dalam kepeloporan, maupun pada keprakarsaan, sehingga
kebutuhan terasa (the felt-needs) maupun kebutuhan nyata (the real needs)
masyarakat terakomodasi dalam pembangunan.
Berbicara masalah pembangunan adalah berbicara suatu pandangan yang
lebih minoritas8 yang berangkat dari asumsi bahwa kata ‘pembangunan’ itu
sendiri adalah sebuah discourse, suatu pendirian, atau suatu paham, bahkan
merupakan suatu ideology dan teori tertentu tentang perubahan sosial. Dalam
pandangan ini, konsep pembangunan sendiri bukanlah kata yang bersifat netral,
melainkan suatu “aliran” keyakinan ideologis dan teoretis serta praktik mengenai
perubahan sosial (Fakih, 2001).9 Dengan demikian, pembangunan tidak diartikan
sebagai kata benda belaka, tetapi sebagai aliran dari suatu teori perubahan sosial.
Bersamaan dengan teori pembangunan terdapat juga teori-teori perubahan sosial
lainnya seperti sosalisme, dependendsi, ataupun teori lainnya.
David McClelland sering dianggap sebagai salah satu tokoh penting dalam
teori modernisasi. Jika teori pertumbuhan Rostow lebih merupakan teori ekonomi,
teori modernisasi McClelland berangkat dari perspektif psikologi sosial . Dalam
bukunya, The Achievement Motif in Ekonomic Growth, McClelland (1984)
memberikan dasar-dasar tentang psikologi dan sikap manusia, kaitannya dengan
8
Umumnya orang beranggapan bahwa pembangunan adalah kata benda netral yang maksudnya adalah suatu kata yang digunakan untuk menjelaskan proses dan usaha untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, politik, budaya, infrastruktur masyarakat dan sebagainya. Dengan demikian, pemahaman seperti itu, pembangunan disejajarkan dengan kata ‘perubahan sosial’. Bagi penganut pandangan ini, konsep pembangunan adalah berdiri sendiri sehingga membutuhkan keterangan lain, seperti, pembangunan model kapitalisme, pembangunan model, sosialisme, ataupun pembangunan model Indonesia, dan seterusnya. Dalam pengertian seperti ini teori pembangunan berarti teori social ekonomi yang sangat umum. Pandangan ini menguasai hampir setiap diskursus mengenai perubahan sosial.
9
Sumber
bagaimana perubahan sosial terjadi. Menceritakan sejarah manusia sejak awal
selalui ditandai dengan jatuh bangunnya suatu kebudayaan.
Pendekatan ini mencurahkan perhatiannya pada faktor-faktor nilai dan
norma yang berlaku dan dianut oleh masyarakat tradisional dan modern. Mazhab
ini berpendapat bahwa perubahan sosial pada tingkat Makro (masyarakat
ditentukan oleh adanya perubahan pada tingkat individu (mikro), seperti
perubahan dalam cara berfikir dan bersikap, norma dan sistem nilai (Tikson,
2005).
Dalam teori yang dikembangkan McClelland10 tentang motivasi
berprestasi, pertanyaan yang ingin dijawabnya adalah bagaimana beberapa bangsa
tumbuh sangat pesat di bidang ekonomi sementara bangsa yang lain tidak.
Umumnya pertumbuhan ekonomi selalu dijelaskan karena faktor ‘ekternal’, tetapi
bagi McClelland lebih merupakan faktor ‘internal’ yakni nilai-nilai dan motivasi
yang mendorong untuk mengeksploitasi peluang, untuk meraih kesempatan.
Pendeknya dorongan internal untuk membentuk dan merubah nasib sendiri.
Pandangan lain didasarkan pada studi McClelland, Inkeles dan Smith (1961)11
terhadap tesis Weber mengenai Etika Protestan dan pertumbuhan kapitalisme12.
10
Murodi dan Wati Nilamsari, Buku ajar, Sosiologi Pembangunan, (Jakarta: Fakultas
Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah, 2007), h. 34.
11
Ibid, h. 35-36.
12
29
Dalam teori yang dikembangkan McClelland tentang motivasi berprestasi,
pertanyaan yang ingin dijawabnya adalah bagaimana beberapa bangsa tumbuh
sangat pesat di bidang ekonomi sementara bangsa yang lain tidak. Umumnya
pertumbuhan ekonomi selalu dijelaskan karena faktor ‘ekternal’, tetapi bagi
McClelland lebih merupakan faktor ‘internal’ yakni nilai-nilai dan motivasi yang
mendorong untuk mengeksploitasi peluang, untuk meraih kesempatan. Pendeknya
dorongan internal untuk membentuk dan merubah nasib sendiri. Pandangan lain
didasarkan pada studi McClelland, Inkeles dan Smith (1961) terhadap tesis Weber
mengenai Etika Protestan dan pertumbuhan kapitalisme. Berdasarkan tafsiran
McClelland atas tesis Max Weber, jika etika protestan menjadi pendorong
pertumbuhan kapitalisme di Barat, analog yang sama juga bisa untuk melihat
pertumbuhan ekonomi. Apa rahasia pikiran Weber atas Etika Protestan
menurutnya adalah the need for achievement (N’ach). Alasan mengapa dunia
ketiga terkebelakang menurutnya karena rendahnya need for achevement tersebut.
Sikap dan budaya manusia yang dianggap sebagai sumber masalah, yang pada
dasarnya adalah ciri-ciri watak dan motivasi masyarakat kapitalis.13
13
McClelland tertarik pada analisis Max Weber tentang hubungan antara Protestanisme dan Kapitalisme. Weber berpendapat bahwa ciri wiraswastawan protestan, Calvinisme tentang takdir mendorong mereka untuk merasionalkan kehidupan yang ditujukan oleh Tuhan. Mereka memiliki N’ach yang tinggi. Yang dimaksud Weber dengan semangat kapitalisme itu adalah
dorongan need for achievement yang tinggi. Jadi, N’ach sesungguhnya penyebab pertumbuhan
ekonomi di Barat, yang umumnya lahir dari keluarga yang dalam pendidikannya menekankan pentingnya kemandirian. McClelland berpendapt bahwa N’ach selalu berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Dari studi itu, dia berpendapat adanya pengaruh dan akaitan antara pertumbuhan ekonomi dan tinggi rendahnya motive yang lain yakni need for power (N’power) dan
need for affiliation (N’affiliation). McClelland menolak pandangan bahwa dorongan utama
Permasalahan yang dihadapi oleh bangsa dan masyarakat Indonesia
(pemerintah masa lalu) dapat dikatakan masih mengacu pada pembangunan yang
menitikberatkan pada Pembangunan ekonomi, termasuk dalam hal ini
pembangunan industri padat modal (capital intensive) yang diharapkan menjadi
jalan pintas untuk mencapai kemakmuran dan mengantarkan masyarakat
memasuki era modernisasi. Demikian pentingnya paradigma tersebut,
menyebabkan pembangunan ekonomi seolah-olah menjadi lembaga otonom yang
memiliki kekuatan untuk menyingkirkan faktor-faktor non ekonomi yang
dianggap menjadi penghambat pembangunan.
Dalam kenyataannya, pembangunan ekonomi yang diharapkan untuk
menciptakan kesejahteraan melalui proses trickle down effect, justru tidak terjadi.
Bahkan kesenjangan sosial ekonomi antara golongan kaya dan golongan miskin
semakin melebar.14 Sebagai akibatnya, masyarakat semakin terpuruk dalam
situasi dan kondisi ketidakadilan. Hal ini kemudian memicu terjadinya konflik
sosial.
Pembangunan seharusnya merupakan suatu mobilitas sumberdaya manusia dan
sosial secara internal memiliki dasar-dasar yang kuat, dijunjung tinggi dan telah
memperoleh legitimasi dari masyarakat. Tanpa mengintegrasikan faktor-faktor
non ekonomi dalam pembangunan, akan menyebabkan timbulnya berbagai
14
31
masalah, karena selayaknya pembangunan harus dilakukan dengan berbasis pada
masyarakat atau suatu pembangunan yang dilakukan oleh rakyat dari rakyat dan
untuk rakyat.
Dari beberapa penjelasan diatas, pembangunan, perubahan sosial serta
teori motivasi yang ditemui oleh McClelland adalah agar masyarakat memiliki
kemandirian diri untuk mampu memutuskan sendiri apa yang terbaik bagi dirinya,
prestasi-diri, menolak ketertundukan atau bertekuk-lututan. Mandiri adalah
tuntutan kesetaraan. Mandiri adalah harga-diri, merubah sikap menghamba
(servile) dan rendah-diri. Ketika mandiri diangkat ke tingkat Bangsa dan Negara,
maka kemandirian adalah doktrin nasional, doktrin untuk merdeka dan berdaulat,
untuk mengutamakan kepentingan Nasional, yaitu kepentingan Rakyat, Bangsa
dan Negara. Kemandirian adalah sikap dan perilaku-bebas aktif dan diharapakan
mampu dilakukan oleh setiap masyarakat.15
B. Pengertian Pekerja Sosial (Pendamping)
Pemberdayaan masyarakat dapat didefinisikan sebagai tindakan sosial
dimana penduduk sebuah komunitas mengorganisasikan diri dalam membuat
perencanaan dan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah sosial atau
memenuhi kebutuhan sosial sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang
dimilikinya. Dalam kenyataannya, seringkali proses ini tidak muncul secara
otomatis, melainkan tumbuh dan berkembang berdasarkan interaksi masyarakat
setempat dengan pihak luar atau para pekerja sosial baik yang bekerja berdasarkan
15
Sumber;
dorongan karitatif maupun perspektif profesional. Para pekerja sosial ini berperan
sebagai pendamping sosial.16
Unsur terpenting dalam meraih keberhasilan pengembangan masyarakat
disamping unsur modal alam, teknologi, kelembagaan, modal manusia adalah
unsur modal sosial seperti saling percaya sesama anggota masyarakat, empati
sosial, kohesi sosial, kepedulian sosial, dan kerjasama kolektif.. Karena itu
diperlukan penguatan modal sosial dan modal manusia atau sumberdaya manusia.
Saat ini di Indonesia telah berkembang satu sistem pemberdayaan masyarakat
sebagai pelaksana (pelaku) dengan nama pendamping sosial untuk melengkapi
pendekatan pemberdayaan masyarakat yang sudah ada.
Proses sejarah lahirnya dan perkembangan dari lembaga swadaya
masyarakat (LSM) di bumi ini sebagaian besar inisiatornya adalah Pendamping
dari luar komunitas dampingan yang bertugas dan berfungsi melakukan aksi
kebudayaan dan upaya menemani rakyat atau komunitas melalui proses
transformasi sosial (pembaharuan) menuju cita-cita yang diharapkan bersama
(Visi).
Dilihat dari susunan katanya bahwa istilah Pendamping terdiri dari 2 (dua)
suku kata, yaitu: Pen (pe) dan damping. Suku kata Pen (Pe) mengartikan Individu,
orang yang sedang melakukan pekerjaan atau aktivitas tertentu. Suku kata
Damping mempunyai arti Sisi atau Samping terdekat, Mitra, Setara, Teman. Maka
dapat diterangkan bahwa makna Pendamping adalah17:
16
Sumber: http://fasilitator-masyarakat.org/index.php?pg=artikel_detail&id=190 (diambil pada hari Rabu Tanggal 17 Juli, jam 01.44. 2010).
17
Sumber;
33
“Individu atau seseorang yang melakukan aktivitas menemani secara
dekat dan mempunyai kedudukan setara dengan yang ditemani.”
Prinsipnya antara yang ditemani dan yang menemani tak ada yang
dirugikan atau pun ketergantungan, merasa paling pintar dan bodoh. Intinya
bahwa harkat dan martabat setiap manusia adalah sama. Setiap manusia pasti
punya kelemahan dan kelebihan, pernah berhasil dan gagal. Di dunia ke-LSM-an
bahwa istilah Pendamping mulai dikenal sejak pertengahan 1980-an dari
‘penyempitan’ makna Community Organizer (CO).18
Pergeseran istilah itu berawal dari istilah CO yang maknanya sulit
dimengerti oleh kalangan masyarakat bawah. Juga situasi politik saat itu, dalam
penggunaan istilah CO dirasa sangat tidak strategis karena dapat membuat ‘risi’
atau dianggap sebagai ‘gangguan’ pemerintah yang berkuasa. Meskipun tanpa
persetujuan ternyata lambat laun istilah CO jarang terdengar lagi dan mulai
dikenal dengan istilah populernya yaitu Pendamping.19
Pendamping dalam bahasa dalam bahasa Inggris berarti Colleague, juga
bisa ditafsirkan rekan, kolega, sahabat, sehingga maknanya sangat longgar.
Realita dalam masyarakat penggunaan istilah Pendamping lebih populer dan
mudah dimengerti tetapi makna yang terkandung tidak – belum tentu dipahami
oleh setiap orang.
Pendampingan sosial merupakan satu strategi yang sangat menentukan
keberhasilan program pemberdayaan masyarakat. Sesuai dengan prinsip pekerjaan
sosial, yakni “membantu orang agar mampu membantu dirinya sendiri”,
pemberdayaan masyarakat sangat memperhatikan pentingnya partisipasi
18 Ibid.
masyarakat yang kuat. Dalam konteks ini, peranan seorang pekerja sosial
seringkali diwujudkan dalam kapasitasnya sebagai pendamping, bukan sebagai
penyembuh atau pemecah masalah (problem solver) secara langsung.20
Metode pendampingan diterapkan dalam mayoritas program LSM sesuai
dengan kondisi dan situasi kelompok sasaran yang dihadapi. Fungsi pendamping
sangat penting, terutama dalam membina dan mengarahkan kegiatan kelompok
sasaran. Penamping bertugas mengarahkan proses pembentukan dan
penyelenggaraan kelompok sebagai fasilitator (pemandu), komunikator
(penghubung), maupun sebagai dinamisator (penggerak).21
Pekerjaan sosial (pendampingan) di dalam pemberdayaan masyarakat
dapat digambarkan sebagai; 1) Seni, pekerjaan sosial sebagai seni memerlukan
keterampilan dalam praktek untuk memahami manusia dan membenatu agar
mempunyai kemampuan untuk menolong diri mereka sendiri. Yang diperlukan
dalam hal ini adalah keterampilan dalam pemahaman dan identifikasi masalah,
mengadakan dignosis, dan melakukan evaluasi, serta memberikan terapi-terapi
tertentu. Untuk melakukan hal ini pendamping memerlukan ilmu pengetahuan
yang memadai tentang pribadi, tingkah laku manusia, kondisi dan lingkungan
sosial di mana manusia hidup.
2). Sebagai ilmu, pekerjaan sosial sebagai ilmu memerlukan seperangkat
ilmu pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan lainnya yang relevan dalam upaya
pemecahan masalah. Dalam hal ini pemahaman masalah dan penggunaan metode
pemecahan masalah dilaksanakan secara objektif berdasarkan prinsip ilmu
20
Edi Suharto, Ph.D., Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat; Kajian Strategis
Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, (Bandung: PT Rafika Aditama, 2009),
h. 93.
21
Dr. Zubaedi, M.Ag., M.Pd., Wacana Pembangunan Alternatif; Ragam Perspektif
35
pengetahuan, sehingga mampu memahami fakta-fakta dari setiap permasalahan,
dan dapat pula digunakan untuk mengembangkan prinsip maupun konsep dalam
praktek pekerjaan sosial. Dengan demikian pekerja sosial (pendamping)
menggunakan ilmu pengetahuan dan seni dalam arti ia menggunakan
metode-metode ilmiah dalam melaksanakan tugasnya secara profesional.
3) Sebagai profesi, pekerjaan sosial sebagai satu profesi harus memiliki
nilai-nilai dan kode etik karena pekerjaan sosial bukan hanya perlu syarat-syarat
profesi, akan tetapi yang lebih adalah pekerja sosial memiliki tanggung jawab
terhadap kepentingan masyarakat, terutama untuk mencapai tujuan sosial.
Sebagai satu profesi, pekerjaan sosial memiliki karakteristik tertentu, yang
membedakan pekerjaan sosial dengan profesi lainnya. Dunham menyatakan
bahwa ada beberapa karakteristik dari profesi pekerja sosial, yaitu22:
1. Pekerjaan sosial merupakan kegiatan pemberian bantuan (helping
profession).
2. Dalam ranah sosial, pekerjaan sosial memiliki makna bahwa kegiatan
pekerjaan sosial adalah kegiatan nirbala (non profit) dalam artian
bahwa profesi ini lebih mementingkan service (dalam arti yang luas)
dibandingkan sekedar mencari keuntungan (profit) saja.
3. Kegiatan perantara (rujukan) agar warga masyarakat dapat
memanfaatkan semua sumber daya yang terdapat dalam masyarakat.
Pekerjaan sosial atau pendampingan merupakan profesi pertolongan yang
bertujuan untuk membantu individu, kelompok, dan masyarakat guna mencapai
tingkat kesejahteraan sosial, mental, dan psikis yang sebaik-baiknya.
22
Adi Isbandi Rukminto, Psikologi; Pekerjaan Sosial dan Ilmu kesejahteraan Sosial;