UNDANG-UNDANG SYARI’AH DAN UNDANG-UNDANG SIPIL
DI MALAYSIA SUATU PERBANDINGAN
(Studi Wewenang dan Implementasinya di Mahkamah Syari’ah dan Mahkamah Sipil Malaysia)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
AMINUDDIN BIN RAMLI NIM :104045203217
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
UNDANG-UNDANG SYARI’AH DAN UNDANG-UNDANG SIPIL
DI MALAYSIA SUATU PERBANDINGAN
(Studi Wewenang dan Implementasinya di Mahkamah Syari’ah dan Mahkamah Sipil Malaysia)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh :
AMINUDIN BIN RAMLI
NIM :104045203217
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Abu Tamrin, SH,M.Hum Masyrofah, S.Ag, M.Si NIP. 150 274 761 NIP. 150 318 265
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “UNDANG SYARI’AH DAN UNDANG-UNDANG SIPIL DI MALAYSIA SUATU PERBANDINGAN; Studi Wewenang dan Implementasi di Mahkamah Syari’ah dan Mahkamah Sipil Malaysia”, telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 Juni 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Ketatanegaraan Islam (Siyasah Syar’iyyah).
Jakarta, 23 Juni 2008 Mengesahkan
Dekan
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH, MA, MM NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN
Ketua : Drs. Asmawi, M.Ag (………...)
NIP. 150 282 394
Sekretaris : Dra Sri Hidayati, M.Ag (………...)
NIP. 150 282 403
Pembimbing I : Drs. Abu Tamrin. SH, M. Hum. (……...………….………...) NIP. 150 274 761
Pembimbing II : Masyrofah, S. Ag, M. Si. (……….…………..…)
NIP. 150 318 265
Penguji I : Drs. Asmawi, M.Ag (………...)
NIP. 150 282 394
Bismillahirrahmanirrahim
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis mampu
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Tidak lupa penulis menyampaikan sholawat dan
salam kepada Nabi Muhammad sang pembawa risalah kebenaran dan suri tauladan
bagi manusia.
Penulisan skripsi ini tidaklah dapat diselesaikan oleh penulis sendiri, tanpa
adanya perhatian, bantuan dan pengorbanan baik doa maupun wujud kongkrit yang
penulis terima dari orang-orang yang selalu ada di dalam hati dan fikiran penulis.
Didasari hal tersebut, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak
terhingga kepada yang terhormat :
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syari’ah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Asmawi, M.Ag. dan Sri Hidayati,M.Ag. Ketua dan Sekretaris Program Studi
Jinayah Siyasah yang tanpa henti memberikan dorongan dan semangat kepada
penulis.
3. Drs Abu Tamrin, SH, M.Hum dan Ibu Masyrofah, SAg, M.Si selaku Dosen
masukan dan saran, sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. Semoga apa
yang telah bapak ajarkan mendapat balasan dari Allah SWT.
4. Teristimewa buat Ayahanda Haji Ramli bin Din dan Ibunda Siti Aisyah binti Haji
Ahmad, serta seluruh keluarga tercinta. Terima kasih atas segala doa dan
kesabarannya atas jerih payah dan pengorbanan yang tak terhingga serta
senantiasa memberikan semangat tanpa jemu hingga anaknda dapat
menyelesaikan pengkajian. Jasa kalian tetap dalam ingatan tidak ada yang dapat
dipersembahkan sebagai balasan melainkan hanya sebuah kejayaan.
5. Kepada istri tercinta Suriani binti Abdul Mutalib, terima kasih atas
kesanggupannya untuk berjauhan, tidak ternilai pengorbanan yang adinda
hadiahkan. Ketabahan adinda inspirasi buat penulis untuk menyelesaikan skripsi
ini.
6. Kepada teman-teman seperjuangan dari Kesatuan Mahasiswa Malaysia UIN,
tidak terlupa teman-teman dari KUDQI dan juga Thailand terutama Saifuddin
Badaud An-narowi, terima kasih atas ide dan dukungan kalian, tak lupa buat
teman-teman angkatan 2004/2005 konsentrasi Siyasah Syar’iyyah terima kasih
atas kehangatan dan kebersamaannya selama penulis belajar di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
7. Terakhir kepada semua teman-teman yang telah memberikan bantuan moril
penulis mengucapkan banyak terima kasih semoga teman-teman mendapat
balasan yang setimpal dari Allah SWT.
Jakarta, 25 Juni 2008 M 21 Jumadil Akhir1429 H
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……….. iii
DAFTAR ISI………... v
BAB I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah……….. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……….. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………. 7
D.Review Studi Terdahulu……… 8
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan………... 9
F. Sistematika Penulisan……… 11
BAB II. KEDUDUKAN DAN WEWENANG UNDANG-UNDANG SYARI’AH A.Sejarah Undang-Undang Syari’ah di Malaysia………... 14
B. Kedudukan dan Penggunaan Undang-Undang Syari’ah Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan...……… 19
C. Kedudukan dan Wewenang Undang-Undang Syari’ah di Malaysia.. 23
BAB III. KEDUDUKAN, WEWENANG DAN PELAKSANAN UNDANG-UNDANG SIPIL A.Sejarah Undang-Undang Sipil di Malaysia ……….. 29
C. Kedudukan, wewenang serta Pelaksanaan UU Sipil di Malaysia…. 37
BAB IV. PERBANDINGAN ANTARA UNDANG-UNDANG SYARI’AH DAN
UNDANG-UNDANG SIPIL DI MALAYSIA
A. Perbandingan Undang-Undang Syari’ah dan Undang-Undang Sipil di
Malaysia
1. Dari Aspek Administarsi Hukum………... 43
2. Dari Objek Masyarakat Di Malaysia………... 46
B Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Undang-Undang Syari’ah dan Undang-Undang Sipil di Malaysia…………..…... 50
C. Analisa Perbandingan; Persamaan dan Perbedaan……… 53
Analisis penulis………. 55
1. Kolonialisme……… 56
2. Problem Konstitusional……… 60
BAB V. PENUTUP A.Kesimpulan……… 62
B. Saran-saran……… 70
DAFTAR PUSTAKA………...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bagi umat Islam, syari’ah adalah “tugas umat manusia yang menyeluruh”
meliputi moral, teologi dan etika pembinaan umat, aspirasi spiritual, ibadah
formal dan ritual yang rinci. Syari’ah mencakup semua aspek hukum publik dan
perorangan, kesehatan dan bahkan kesopanan dan akhlak. Syari’ah adalah sistem
hukum yang bersifat alamiyah (mendunia) tidak dibatasi oleh sekat teritorial tertentu dan siap diterapkan disetiap kurun waktu dan tempat. Hal ini dikarenakan
watak sumber (masdhar) hukumnya yang bersifat murunah (elastis) sehingga memungkinkan kita untuk mencari penyelesaian atas setiap masalah yang
dihadapi, kapan dan dimana saja.1
Sebenarnya melaksanakan hukum Islam berarti melakukan reformasi
pemikiran dan inovasi pembahasan secara kontinyu untuk menemukan yang baru
dan yang relevan dengan hukum-hukum syara’. Lebih dari itu, hukum Islam
adalah ciptaan Allah, Yang Maha Tahu tentang kondisi manusia, bersifat
universal, kekal sampai yaumul hisab, serta terlepas dari segala pengaruh hawa nafsu dan kepentingan sepihak.
1
Topo Susanto, Membumikan Hukum Pidana Islam, Penegakan Syari’at Dalam Wacana
Syari’ah menurut para fuqoha didefinisikan sebagai segala hukum-hukum
yang ditetapkan oleh Allah SWT kepada mahluk-Nya agar beriman kepada-Nya,
sehingga membawa kebahagiaan dunia dan akhirat.2 Oleh karena itu
Undang-undang yang telah diturunkan oleh Allah SWT harus dilaksanakan untuk
mewujudkan masyarakat dan negara yang tertib, sehingga dapat hidup dalam
suasana aman serta terhindar dari segala perilaku kriminal dan tidak bermoral.
Bagi setiap muslim, syari’ah lebih dari sekedar hukum agama, ia adalah
hukum Tuhan dan dengan demikian secara esensial tidak dapat dirubah. Di
samping itu ia menjangkau setiap segi kehidupan dan setiap bidang hukum.
Karena itu dalam teori, ia tidak dapat ditandingi oleh hukum manapun, bahkan
ketetapan-ketetapannya sama sekali tidak dapat diganggu gugat, namun bila kita
menengok ke pusat dunia Islam -negara Timur Tengah- kita dapatkan
perubahan-perubahan besar selama kira-kira satu abad terakhir ini, baik dalam sistem
peradilan maupun dalam sistem hukum yang mereka terapkan.3
2
Hasan Haji Saleh, Sejarah Perundang-undangan Islam, (Selangor: Pustaka Aman
Pres, 1979), h. 9.
3
Di Mesir, sejak awal perempat terakhir abad ke-19 terlihat jelas bahwa Mahkamah-mahkamah Syari’ah -sebagaimana wilayah-wilayah lain dalam khalifah Turki Usmani- terbatas wewenangnya hanya dalam hal-hal yang berkaiatan dengan status anak dan hukum keluarga. Di
Jordania, kodifikasi Majallah masih diterapkan terhadap urusan perdata. Tetapi pada tahun 1951
hukum Usmani tentang hak-hak keluarga diganti dengan hukum Jordania tentang hak-hak
keluarga. Hukum baru ini mencakupsemua hukum yang bertalian dengan ikatan keluarga, selain
masalah wasiat dan hibah; ia mengambil alih sebagian besar pembaharuan yang terjadi di Mesir sejalan dengan hukum Usmani; dan memasukkan sedikit pengembangan dari sumber sendiri. Di
Syiria, kodifikasi Majallah dihapuskan pada tahun 1949 dan digantikan dengan hukum perdata
Kita melihat terjadinya perubahan di negara-negara muslim pada
pertengahan abad ke- XIX, mayoritas pemerintahan negara-negara muslim telah
melakukan perubahan hukum dengan dua cara, yaitu: Pertama, mengganti syari’ah dengan hukum sekuler dalam masalah-masalah perdagangan, perdata,
tata negara dan pidana; dalam hal ini di sebagian besar negara muslim hanya
hukum keluarga yang diwariskan dan diwujudkan dalam bentuk hukum syari’at.
Kedua, pembaruan dilakukan dengan tetap mengakui prinsip-prinsip dan aturan syari’at seperti penerapannya dalam hukum keluarga dan waris bagi umat
Islam.4
Kondisi yang sama juga menimpa negara-negara muslim di kawasan
lainnya seperti di Asia Tenggara. Malaysia sebagai salah satu negara muslim
terbesar kedua setelah Indonesia di wilayah tersebut, juga mengalami kondisi
yang tidak jauh berbeda dengan saudara-saudara mereka yang berada di Timur
Tengah. Adalah sebuah fakta yang tak dapat dipungkiri jika hukum Barat
(Sekuler) justru mendapat tempat utama dalam sistem hukum dan konstitusi di
Malaysia. Kondisi ini jelas tidak menguntungkan bagi hukum syari’ah -yang
sebelumnya merupakan pegangan utama masyarakat Malaysia- kini harus
menerima kenyataan pahit sebagai hukum nomor dua setelah hukum sipil.
Proses peminggiran hukum syari’ah di Malaysia berjalan dalam kurun
waktu yang cukup panjang, mendompleng dalam proses kolonialisasi tanah
4
Abdulahi Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syari’ah; Wacana Kebebasan Sipil, Hak
Melayu oleh pemerintahan Portugis, Belanda dan Inggris.5 Secara umum sejarah
perkembangan Undang-Undang di Malaysia terbagi kepada dua periode yaitu:
sebelum kedatangan penjajah dan pasca kedatangan penjajah. Setelah kedatangan
penjajah, perkembangan Undang-undang di tanah Melayu dapat diklasifikasikan
kepada tiga masa:
1). Masa pendudukan Portugis
2). Masa pendudukan Belanda, dan
3). Masa pendudukan Inggris
Kedatangan Inggris membawa perubahan sangat besar dalam sistem
hukum negara, dimana sebelumnya masyarakat Melayu tidak pernah menerima
hukum lain selain menerima hukum Islam dan hukum adat. Hasil dari dialektika
tersebut, maka timbullah dua corak perundangan negara, yakni Undang-undang
yang bercorak agama dan sekuler.
Pada tahun 1957, ketika Undang-Undang Persekutuan Malaysia
dibicarakan menjelang kemerdekaan Malaysia, di dalam draf rancangan
Undang-Undang tersebut tidak dicantumkan bahwa agama Islam adalah agama
persekutuan. Hakim Abdul Hamid dari Pakistan salah seorang anggota sidang
mengajukan usulan agar agama Islam menjadi agama negara, akan tetapi hasil
akhir dari pembahasan Undang-Undang tersebut tidak menyetujui usulan tersebut,
juga tidak disebutkan bahwa persekutuan Malaysia sebagai sebuah negara
5
Hamid Jusoh, Pemakaian Undang-Undang Islam Kini dan Masa Depannya di
sekuler.6 Namun melalui pertarungan yang cukup lama, akhirnya pengakuan atas
Islam sebagai agama resmi persekutuan dan hak menjalankan hukum Islam diakui
dalam konstitusi Malaysia merdeka.
Malaysia merupakan negara yang mempunyai dua jenis Undang-Undang
yakni: Undang-Undang Sipil (positif) dan Undang-Undang Syari’ah. Menurut
Ahmad Ibrahim, perubahan Undang-undang pada awal kemerdekaan lebih
banyak menyangkut pengadministrasian, yurisdiksi dan kekuasaan pengadilan
syari’ah.7 Hal ini dilakukan, karena sejak awal memang belum ada penyusunan
secara sistematis terhadap hukum syari’ah di Malaysia baik yang menyangkut
Undang-undang maupun yang berkaitan dengan lembaga peradilannya.
Sebagai negara jajahan Inggris, maka menjadi hal yang tak terelakan jika
sistem peradilan di Malaysia juga mengadopsi sistem yang ada di Inggris,
termasuk dalam hal ini adalah sistem peradilan Syari’ahnya. Oleh karena
pengaruh kuat Inggris pula yang menjadikan kajian tentang Undang-Undang Sipil
dan Syari’ah menjadi lebih menarik menjadi kajian kami dalam perkara syari’ah
berdasarkan, ditengah pertarungan perebutan pengaruh kedua Undang-Undang
tersebut atas masyarakat Malaysia, masing-masing negara bagian telah diberi
wewenang untuk melaksanakan Undang-Undang Islamnya, seperti mengadakan
Majlis-majlis Agama Islam, dan Mahkamah-Mahkamah Syari’ah sebagainya.
6
Tun Saleh Abbas, Traditional Element of Malaysian Constitution, dalam Mohamed
Suffian, HP Lee dan Trindade (ed.), The Constitution of Malaysian, Its Development 1957-1977,
(Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1978), h. 22.
7
Ahmad Ibrahim, Perkembangan Kodifikasi Hukum Islam di Malaysia, dalam Sudirman
Teba (ed), Perkembangan Terakhir Hukum Islam di Asia Tenggara: Studi Kasus Hukum Keluarga
Undang-undang hanya berlaku terhadap orang Islam sahaja termasuklah hukum
yang berhubungan dengan Faraid, Wasiat, Perkawinan perceraian, Wakaf Islam,
khairat dan perkara-perkara yang menyentuh diri umat Islam.
Manakala Mahkamah Sipil mempunyai wewenang melebihi Mahkamah
Syari’ah dan terkandung dalam Mahkamah Sipil itu, adalah Mahkamah Agung,
Mahkamah Rayuan, Mahkamah Tinggi dan Mahkamah Rendah yaitu selain
Mahkamah Syari’ah dinamakan Mahkamah Sipil yang membicarakan semua
hukum termasuk hukum pidana dan perdata.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis bermaksud mengangkat topik
tersebut dalam sebuah karya tulis skripsi dengan judul: “UNDANG-UNDANG
SYARI’AH DAN UNDANG-UNDANG SIPIL DI MALAYSIA SUATU
PERBANDINGAN; Studi Wewenang dan Implementasinya di Mahkamah
Syari’ah dan Mahkamah Sipil”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdirinya sebuah negara, mensyaratkan pentingnya sebuah
perundang-undangan, karena dengan peraturan perundang-undanganlah sebuah negara dapat
berjalan dan dijalankan dengan baik. Di Malaysia, wewenang membuat
perundang-undangan diberikan kepada Parlemen berdasarkan pasal 44
Undang-undang Dasar Persekutuan, kemudian di tingkat negeri diserahkan kepada Dewan
penting yaitu Yang di-Pertuan Agung, Dewan Negara dan Dewan Rakyat.8
Karena luasnya cakupan sebuah perundang-undangan, maka perundangan yang
dimaksud dalam tulisan ini hanya dibatasi pada Undang-Undang Syari’ah dan
Undang-Undang Sipil di Malaysia. Adapun kajiannya, difokuskan pada
perbandingan kewenangan dan implementasi kedua Undang-Undang tersebut di
Mahkamah Syari’ah dan Mahkamah Sipil Malaysia.
Selanjutnya untuk mempermudah pembahasan, maka hal tersebut dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1). Bagaimana pemberlakuan Undang-Undang Syari’ah dan Undang-Undang
Sipil di Malaysia?
2). Apa saja wewenang Undang-Undang Syari’ah dan Undang-Undang Sipil di
Malaysia?
3). Bagaimana perbandingan wewenang Undang Syari’ah dan
Undang-Undang Sipil di Malaysia?
4). Bagaimana perbandingan implementasi wewenang Mahkamah Syari’ah dan
Mahkamah Sipil berdasarkan berlakunya Undang-Undang Syari’ah dan
Undang-Undang sipil?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
8
Mohd. Foad Sakdan, Pengetahuan Asas Politik Malaysia, cet. II, (Kuala Lumpur;
Disesuaikan dengan perumusan masalah, maka tujuan penulisan skripsi
ini adalah:
a). Untuk mengetahui sejarah pembentukan perundang-undangan di Malaysia,
dalam hal ini adakah Undang-Undang Syari’ah dan Undang-Undang
Sipilnya.
b). Untuk mengetahui apa saja wewenang Undang-Undang Syari’ah dan
Undang-Undang Sipil di Malaysia.
c). Untuk mengetahui perbandingan dan pengimplementasian wewenang
Undang-Undang Syari’ah dan Undang-Undang Sipil di Mahkamah
Syari’ah dan Mahkamah Sipil Malaysia.
d). Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pelaksanaan
Undang-Undang Syari’ah dan Undang-Undang Sipil di Malaysia.
2. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat digunakan pada beberapa hal:
a). Sebagai input (masukan) atau referensi bagi para mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum, khususnya bagi mahasiswa konsentrasi Siyasah
Syar’iyyah yang ingin mengetahui tentang Undang-Undang Syari’ah dan
Undang-undang Sipil di Malaysia.
b). Bagi kalangan civitas akedemika, penelitian ini diharapkan akan
Fakultas Syari’ah dan Hukum dan perpustakaan utama Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
c). Bagi masyarakat pada umumnya, penulisan ini dapat menjadi informasi
untuk memperluas dan menambah wawasan mengenai Undang-Undang
Syari’ah dan Undang-Undang Sipil di Malaysia.
D. Review Studi Terdahulu.
Dalam review kajian terdahulu ini, penulis berusaha mendata dan membaca
beberapa skripsi dan buku-buku yang telah membahas tentang Undang-undang
Syari’ah dan Undang-undang Sipil di Malaysia, setidaknya ada beberapa skripsi
dan buku yang penulis temukan, antara lain:
1. Skripsi Rafiah binti Saladri “Kedudukana Undang-undang Islam dalam Perlembagaan Malaysia”, 2006. Intinya skripsi ini menjelaskan tentang wewenang Mahkamah Syariah yang terbatas dan putusan Mahkamah Syari’ah
dapat ditinjau ulang oleh Mahkamah Sipil karena kedudukan Mahkamah Sipil
lebih tinggi dibanding dengan Mahkamah Syari’ah. Hal ini disebabkan
Mahkamah Sipil didirikan atas dasar Undang-undang perlembagaan
(Undang-Undang Dasar Persekutuan), sedangkan Mahkamah Syari’ah didirikan atas
dasar kuasa Undang-undang Negeri (provensi).
Murtad dalam pandangan Undang-Undang Mahkamah Syari’ah di Malaysia,
lebih lanjut skripsi ini juga membahas tentang kedudukan Mahkamah
Syari’ah dalam perundangan-undangan Malaysia.
3. Skripsi Ahmad Akhyari Ismail, “Upaya Dan Tantangan Pelaksanaan Syariat Islam Di Malaysia”, 2006. Skripsi ini menjelaskan tentang pelaksanaan Syariat Islam di Malaysia. Malaysia adalah Negara yang mayoritas
penduduknya Muslim dan Agama Islam adalah Agama rasmi Negara, akan
tetapi dalam perlaksanaan hukum-hukum Islam tidak diterapkan secara
menyeluruh, sehingga hal ini menyebabkan banyak provensi atau Negara
bagian ingin menerapkan Syariat Islam secara menyeluruh. Sedangkan
pemerintahan pusat tidak menyetujui. Dalam pembahasannya, skripsi ini lebih
difokuskan pada upaya Provensi Kelantan yang ingin menerapkan Syari’at
Islam secara keseluruhan, yaitu upaya bagaimana hukum pidana Islam dapat
diterapkan dan dijalankan.
4. Buku karya Ahmad Ibrahim dan Ahilemah Joned yang berjudul “Sistem Undang-Undang di Malaysia”, yang diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka (Kuala Lumpur), 2005. Pada bab 9 buku ini terdapat bahasan
mengenai sistem kehakiman, di point A bagian kedua membahas masalah
perdata dan pidana yang secara jelas di paparkan mengenai Mahkamah Sipil
di mulai dari mahkamah sipil tinggi sampai ke Mahkamah Sipil agung.
point B, bahwa Mahkamah Syari’ah dibentuk oleh Enakmen Pentadbiran
Agama Islam di setiap Negeri bagian. Mahkamah Syari’ah terdiri dari
Mahkamah Qadi, Mahkamah Qadi Besar dan Lembaga Peninjauan Kembali.
5. Buku karya Mahmud Saedon A. Othman, yang berjudul “Institusi Pentadbiran Undang-Undang dan Kehakiman Islam”, di terbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka (Kuala Lumpur), 1996. Buku ini secara khusus
membahas mengenai Undang-undang Mahkamah Syariah yang berkaitan
dengan kewenangan masalah pidana dan undang Sipil.
Undang-undang Mahkamah Syariah tentang pidana memberikan wewenang yang lebih
kepada Mahkamah Syariah untuk menjatuhkan hukuman yang lebih berat
yaitu hukuman penjara sampai tiga tahun, atau dengan denda sebesar 5000
RM dan penjara yang tadinya enam bulan menjadi tiga tahun. Kemudian
Undang-Undang Sipil (civil Law Act) yang pertama kali dibuat pada tahun 1937, yang diperluas ke negeri Melayu yang belum bergabung pada tahun
1956 dan seluruh Malaysia pada tahun 1972. Undang-undang ini telah
memberikan kedudukan isteimewa kepada Undang-undang Common Law
Inggris dan memperkecil serta sedikit menafikan peranan Undang-undang
Syari’ah.
Dari penjelasan review terdahulu di atas, beberapa skripsi yang telah
membahas berkaitan dengan Undang-undang Syari’ah dan Undang-undang Sipil
di Malaysia, fokus bahasannya berbeda dengan bahasan skripsi yang penulis
dan Undang-undang Sipil di Malaysia hanya seputar kedudukan dan
wewenangnya saja, sedangkan fokus bahasan penulis akan menjelaskan mulai
dari sejarah pembentukan, perkembangannya yang dipengaruhi oleh sistem
hukum peninggalan penjajah, kedudukan dan wewenangnya serta implementasi
dari Mahkamah Syari’ah dan Mahkamah Sipil di Malaysia.
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan.
1. Jenis Penelitian
Penelitian dalam tulisan ini merupakan penelitian normatif yuridis yakni
penelitian yang membahas tentang sejarah dan perbandingan hukum.9 Penelitian
ini juga merupakan penelitian Kualitatif dengan pendekatan
Deskriptif-Kualitatif. Deskriptif berupaya membuat penjelasan secara sistematis, faktual
dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi tertentu.10 Adapun
kualitatif merujuk pada penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena
tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi,
motivasi ataupun tindakan, dengan cara deskripsi dalam konteks khusus yang
alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.11
2. Sumber Data.
9
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, cet. VI, (Jakarta: Rajawali Pres,
2003), h. 42.
10
Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian, cet. XIV, (Jakarta: Rajawali Pres, 2003),
h.75.
11
Lexy J. Moeleong, Metodologi Pnelitian Kualitatif, cet. XXI, (Bandung: Rosda Karya,
Penulisan skripsi ini menggunakan dua sumber pokok dalam
mengumpulan data, yakni sumber primer dan kedua sumber sekunder. Adapun
rincian masing-masing sumber adalah:
a). Data Primer disandarkan pada Undang Syari’ah dan
Undang-Undang Sipil Malaysia.
b). Data Sekunder merupakan sumber pendukung dari sumber primer yang
berasal dari kepustakaan, buku-buku maupun data-data tertulis yang ada
relevansinya dengan judul skripsi ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini didasarkan pada riset
pustaka (Library Research) yakni proses pengidentifikasian secara sistematis penemuan-penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi
berkaitan dengan masalah penelitian.12 Pengumpulan data dan informasi
diperoleh berdasarkan bahan-bahan yang ada di perpustakaan, baik berupa
arsip, dokumen, majalah maupun lainnya.
4. Teknik Analisis Data.
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi
(Content Analysis) yakni penguraikan data melalui katagorisasi, perbandingan dan pencarian sebab akibat baik menggunakan analisis induktif (usaha
penemuan jawaban dengan menganalisa berbagai data untuk diambil
12
Consuelo G. Sevilla (dkk), Pengantar Metodelogi Penelitian, (Jakarta: UI Pres, 1993),
kesimpulan) maupun metode deduktif (berangkat dari ungkapan umum
kemudian disempitkan dengan pertanyan-pertanyaan yang lebih sempit)
5. Teknik Penulisan
Teknik penulisan skripsi ini, didasarkan pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2007”.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah mendapat gambaran tentang kerangka dan alur
bahasan, serta apa saja yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini, maka
penulis uraikan sistematika penulisan skripsi ini, sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan dikemukakan latar belakang penulisan skripsi yang
merupakan pijakan awal berfikir, disusul kemudian secara berurutan
penjelasan tentang pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian dan teknik
penulisan serta ditutup dengan pembahasan sistematika penulisan
skripsi ini.
BAB II KEDUDUKAN DAN WEWENANG UNDANG-UNDANG
Bab kedua ini berisi tentang sejarah perkembangan Undang-Undang di
Malaysia, kedudukan dan penggunaan Undang-Undang Syari’ah
sebelum dan sesudah merdeka serta kedudukan dan wewenang
Undang-Undang Syari’ah di Malaysia
BAB III KEDUDUKAN, WEWENANG DAN PELAKSANAAN
UNDANG-UNDANG SIPIL
Dalam bab ini akan dibahas sejarah Undang-Undang Sipil di Malaysia,
juga peran dan kedudukan Undang-Undang Sipil di tanah Melayu pada
masa penjajahan Inggris serta kedudukan dalam pelaksanannya.
BAB IV PERBANDINGAN ANTARA UNDANG-UNDANG SYARI’AH
DAN UNDANG-UNDANG SIPIL
Dalam bab ini akan dibahas perbandingan Undang-Undang Syari’ah
dan Undang-Undang Sipil dari aspek administrasi hukum, perbandingan
dari sudut objek masyarakat di Malaysia dan mengurai faktor-faktor apa
saja yang mempengaruhi pelaksanaan Undang-Undang Syari’ah di
Malaysia, juga memberikan analisa perbandingan atas keduanya.
BAB V PENUTUP
Pada bab ini akan disampaikan beberapa kesimpulan guna menjawab
permasalahan-permasalahan mendasar dari pembatasan masalah dalam
penulisan skripsi ini. Tidak lupa pula penulis akan memberikan
beberapa saran-saran yang diperlukan sebagai catatan atas
BAB II
KEDUDUKAN DAN WEWENANG UNDANG-UNDANG SYARI’AH
A. Sejarah Perundang-undangan Syari’ah di Malaysia
Secara umum sejarah perkembangan Undang-undang di Malaysia dapat
dibagi dalam dua periode yang berbeda. Pertama periode sebelum kedatangan penjajah dan kedua periode setelah kedatangan penjajah. Pada periode pertama Undang-undang dapat diklasifikasikan pada dua jenis perundang-undangan,
yakni:
a). Undang-undang Orang Asli, dan
b). Undang-undang Adat.
Adapun pada periode kedua dapat diklasifikasikan pada tiga kurun waktu
yang berbeda, yakni:
a). Masa Pendudukan Portugis
b). Masa Pendudukan Belanda, dan
c). Masa Pendudukan Inggris.
Menurut kajian sejarah, sebelum kedatangan penjajah, daerah pedalaman
dan pesisir pantai, telah didiami oleh golongan-golongan asli yaitu golongan
Negerito, Senoi dan Melayu Asli. Masing-masing golongan memiliki
Undang-undang tersendiri yang masih kuno. Golongan Negerito merupakan golongan
itu dipilih dari orang yang paling tua di antara mereka. Di tangan ketua suku
tersebutlah keadilan kemudian dijalankan. Suku ini tidak memiliki banyak
perangkat perundang-undangan. Ukuran bagi setiap kesalahan adalah denda.
Kondisi seperti ini juga terjadi pada golongan Senoi. Ketua suku
mempunyai kekuasaan penuh dalam perkara Sipil dan Pidana, namun terdapat
perbedaan dalam persoalan hukum pembunuhan. Penentuan hukum bunuh
dibicarakan oleh “jama’ah pengadil” yakni kumpulan yang terdiri dari ketua suku dibantu oleh sesepuh dari suku tersebut. Pelaksanaan hukuman dilaksanakan
oleh sanak saudara si pembunuh. Hukuman itu jika bisa dijalankan dengan
menggunakan senjata yang digunakan oleh si pembunuh itu untuk melakukan
kesalahan tersebut. Adapun kesalahan mencuri, yang kurang berlaku, dihukum
dengan diusir keluar dari kelompoknya.13
Keadaan ini berbeda dengan suku Melayu asli. Mereka dapat dikatakan
golongan atau suku yang paling maju jika dibandingkan dengan suku-suku asli
lainnya. Suku ini diketuai oleh seorang ketua dengan sebutan “Batin”. Di tangan batin, dengan dibantu oleh sesepuh yang mengerti tentang Undang-undang dan
adat dari suku tersebut, keadilan ditegakkan.
Dalam Undang-undang suku Melayu asli itu juga, dapat dijumpai adanya
pengaruh agama Hindu dan Islam. Pengaruh tersebut dapat terlihat dalam hal
pencurian dan perzinahan. Hukuman yang dikenakan bagi pelaku pencurian dan
perzinahan adalah dengan dijemur di tengah terik mentari atau ditenggelamkan.
13
Ahmad bin Ibrahim dan Ahilemah binti Joned, Sistem Undang-undang di Malaysia,
Adapun dalam hal pembunuhan, maka hukuman yang dikenakan adalah denda
atau qisas. Dalam hal waris, pembagian dinisbahkan atau disandarkan pada
pembagian dua banding satu (2:1), dua untuk laki-laki dan satu untuk
perempuan.14 Semua Undang-undang yang dibuat oleh suku-suku tersebut
memiliki tujuan yang sama dengan pembuatan Undang-undang pada umumnya
yaitu untuk menjaga kepentingan dan keselamatan umat.
Undang-undang kedua yang memegang peran penting sebelum
kedatangan penjajah adalah Undang-Undang Adat. Undang-Undang Adat sendiri
dapat dikelompokan dalam dua bagian besar yaitu: Adat Pepatih dan Adat
Temenggung. Undang-Undang Adat Pepatih dibawa masuk dari Minangkabau
(Sumatera Barat) pada abad ke-16 dan masih dijalankan hingga hari ini, terutama
di Negara Bagian Sembilan. Dengan kata lain Undang-Undang Adat Pepatih juga
mendapat tempat tersendiri dalam pelaksanaan perundangan di Negara Bagian
Sembilan.
Adapun perundang-undangan Adat Temenggung adalah Undang-undang
otokrasi yang dijalankan pada masa kesultanan Melayu Malaka dan di
daerah-daerah lain di Semenanjung Malaka. Undang-undang ini juga dibawa dari
Minagkabau, namun telah mengalami banyak perubahan di bawah pengaruh
agama Hindu. Unsur matriakhal yang terlihat kental dalam adat Minangkabau,
dalam Undang-Undang Adat Temenggung telah hilang digeser oleh unsur
14
patriakhal.15 Undang-Undang ini diterima dan dijalankan oleh hampir semua
masyarakat di daerah-daerah Semenanjung Malaka kecuali Negara Bagian
Sembilan, hingga jatuhnya tanah Melayu ketangan penjajah Inggris.
Keadaan perundangan di tanah Melayu mengalami perubahan sedikit
demi sedikit, bermula sejak kejatuhan Malaka ke tangan Portugis Pada tahun
1511 disusul kemudian oleh penjajahan Belanda. Namun demikian, penjajahan
kedua bangsa Eropa tersebut tidak membawa banyak perubahan terhadap sistem
perundang-undangan di tanah Melayu. Ini disebabkan masih diperbolehkannya
orang-orang Melayu untuk melaksanakan Undang-undang yang ada, guna
menyelesaikan persengketaan yang melibatkan persoalan-persoalan non-melayu
(Portugis dan Belanda), maka Undang-undang yang dipergunakan adalah
Undang-undang mereka sendiri.16
Perubahan besar atas perundang-undangan Adat Melayu -yang saat itu
berlaku secara luas di tanah Melayu- terjadi pada masa pendudukan Inggris pada
Tahun 1825, yakni setelah perjanjian antara Inggris dan Belanda yang dibuat
pada tahun 1824.17 Inggris secara perlahan mulai memasukkan Undang-undang
mereka ke dalam perundang-undangan Melayu. Langkah ini mulai dijalankan di
daerah Selat seperti Pulau Penang, Malaka dan Singapura. Di pulau Penang
Undang-Undang Inggris mulai dijalankan dengan dibuatnya Piagam Keadilan
15
Ibid., h. 30
16
Ibid., h. 14
17
Pertama pada tahun 1807, disusul Piagam Keadilan Kedua yang dikenal sebagai Piagam Keadilan Diraja di Negeri Malaka dan Singapura pada tahun 1826.
Piagam keadilan merupakan upaya merekonstruksi perundang-undangan
Adat Melayu agar senafas dengan perundang-undangan Inggris. Dengan
sendirinya piagam ini telah membuka lebar masuknya Undang-Undang Inggris ke
dalam Undang-Undang Melayu, sehingga terjadi perubahan cukup signifikan atas
Undang-Undang Melayu.
Kokohnya kekuasaan Inggris di tanah Melayu, semakin meluaskan lagi
kekuasaan mahkamah-mahkamah keadilan Prince of Wales Island di daerah-daerah tanah Melayu. Usaha rekonstruksi tersebut tidak berhenti hanya sampai
disana, usaha tersebut terus berlanjut dengan diterbitkannya Piagam Keadilan Ketiga pada tahun 1855. Piagam ini tidak dimaksudkan untuk melakukan perubahan-perubahan atas Undang-undang, melainkan lebih difokuskan pada
penegakan mahkamah dan Undang-undang yang telah ada, agar menjadi lebih
teratur.18
Adapun di daerah-daerah Melayu lainnya, seperti daerah Semenanjung,
Undang-Undang Common Law Inggris mulai dibawa masuk pada tahun 1937 melalui pembuatan Undang-Undang Sipil negeri-negeri Melayu bersatu. Langkah
ini diperluas lagi pada tahun 1956, dimana Undang-Undang Sipil Inggris telah
18
Mardiana Abdul Rahim, dkk, Sejarah Pelaksanaan Undang-undang Islam di Pulau
dimasukkan kedalam Ordinan Undang-Undang Sipil Melayu, yang kemudian
berlaku untuk seluruh daerah Persekutuan Tanah Melayu hingga saat ini.19
B. Kedudukan dan Penggunaan Undang-Undang Syari’ah Sebelum dan
Sesudah Kemerdekaan
Undang-Undang Islam telah mulai dipraktekkan di tanah Melayu sejak
abad ke 14, yaitu sejak zaman kesultanan Melayu Malaka. Hal ini berawal dari
masuknya pengaruh agama Islam di tanah Melayu melalui pedagang-pedagang
Arab dan India. Para pedagang-pedagang tersebut menjalankan ketentuan Islam
yang berdasarkan kepada madzhab Imam Syafi’i, yang ini kemudian memberikan
corak dan warna Islam dan perundang-undangannya di tanah Melayu hingga saat
ini.
Di zaman kerajaan Malaka, suatu Undang-undang yang dikenal sebagai
Kanun Malaka telah diterima secara luas sebagai sebuah Undang-Undang Islam, meski Undang-Undang tersebut tidak sepenuhnya merujuk pada sumber-sumber
Islam melainkan juga merujuk pada adat istiadat Melayu. Namun demikian isi
Kanun Malaka sangat besar dipengaruhi oleh kitab Abu Sujak al-Thariq dan Fath al-Qorib karya Ibn Qosim al-Ghazzi. Undang-Undang ini meliputi beberapa
19
Ahmad bin Ibrahim dan Ahilemah binti Joned, Sistem Undang-undang di Malaysia,
kumpulan peraturan perundangan seperti Undang-Undang Malaka asal, laut,
keluarga Islam, jual beli, dan Undang-Undang Hukum Acara Islam.20
Berkaitan dengan persoalan Syari’ah, Undang-Undang Malaka
mengakomodir Undang-Undang Pidana Islam dengan menerapkan sanksi qisas,
hudud, ta’zir dan diat (pasal; 4, 5, 7, 8, 11, 12, 16, 18, 21, 19, 36, 39, 41, 42, dan
43), hal-hal yang terkait dengan ekonomi Islam diatur dalam pasal 29 hingga
pasal 34, adapun yang berkaitan dengan hukum keluarga diatur dalam pasal 25
hingga pasal 28.21
Namun demikian, pengamalan ketentuan-ketentuan Hukum Islam tidaklah
murni dan menyeluruh. Hal ini karena adanya pencampur adukan
Undang-Undang Adat Temenggung dan beberapa kepercayaan agama lain. Sebagai
contoh, hukuman pidana berkenaan dengan pencurian didasarkan pada Hukum
Islam dengan ditambah denda mengikuti hukum adat.22
Secara umum Undang-Undang Islam merupakan rujukan utama yang
dipakai secara luas dalam menyelesaikan berbagai perkara, termasuk dalam
perkara perdata dan Pidana, disamping Undang-Undang Adat Temenggung,
Pepatih dan pengaruh Hindu, pada masa sebelum kedatangan penjajah di tanah
Melayu.
20
Mohamad Azam, Quo Vadis Kekuasaan dan Kedudukan Mahkamah Syari’ah di
Malaysia Abad ke 20, Jurnal Syari’ah edisi Juli 2000 jilid ke 8, h.104.
21
Hamid Jusoh, Pemakaian Undang-undang Islam Kini dan Masa Depannya di
Malaysia, Dalam Ahmad Ibrahim, Al-Ahkam; Undang-undang Malaysia Kini, (Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka, 19900), h. 94.
22
Kemudian pemakaian Undang-Undang Islam semakin tersebar ke
daerah-daerah lain selain Malaka, seperti Pahang pada tahun 1595, Kedah pada tahun
1605, Johor pada tahun 1789 dan Perak pada tahun 1878.23 Penggunaan
Undang-Undang Islam pada saat itu lebih luas penggunaannya dalam perkara-perkara
yang berkaitan dengan keagamaan seperti perkawinan, perceraian dan pewarisan.
Seiring datangnya penjajah Portugis dan Belanda dan semakin goyah
ketika masa penjajahan Inggris. Menurut kebanyakan penulis, pada masa
penjajahan Portugis dan Belanda pemakaian Undang-Undang Islam masih tidak
banyak mengalami perubahan. Ini disebabkan baik Portugis maupun Belanda
tidak mau ikut campur dalam pelaksanaan Undang-Undang Pribumi. Pada saat itu
Undang-Undang Eropa berlaku hanya untuk orang Eropa dan bagi pribumi
berlaku Undang-Undang Pribumi itu sendiri.
Perubahan yang cukup signifikan atas kedudukan, fungsi dan peran
Undang-Undang Islam di tanah Melayu terjadi pada masa penjajahan Inggris di
awal abad ke- 19. Undang-Undang Islam pada masa itu hanya diakui dan
digunakan dalam hal-hal yang berkaitan dengan lingkup agama seperti
perkawinan, perceraian dan waris. Banyak kesalahan terjadi atas Undang-Undang
Islam pada masa itu, dimana separuh Undang-Undang Adat diakui sebagai
Undang-Undang Islam oleh para hakim berdasarkan perintah sultan. Adapun
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan perkara-perkara pidana diambil alih
23
sepenuhnya oleh Undang-Undang Inggris, menggusur Undang-Undang Islam dan
Adat yang ada. 24
Pihak Inggris telah membawa masuk Undang-Undang Common Law
mereka sedikit demi sedikit sehingga sampai di tahun 1956 dimana
Undang-Undang Sipil Inggris dimasukkan kedalam Ordinan Undang-Undang-Undang-Undang Sipil
Melayu yang berlaku secara umum di wilayah-wilayah persekutuan Melayu.25
Dengan demikian jelaslah sudah posisi Undang-Undang Islam pra dan pasca
penjajahan Inggris. Pasca penjajahan Inggris Undang-Undang Islam hanya
dibatasi penggunaannya dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan persoalan
agama (nikah, cerai, talak dan waris) an sich. Sementara perkara-perkara pidana ditundukan secara mutlak kepada Undang-Undang Common Law Inggris.
Pasca kemerdekaan, dengan diadopsinya Undang-Undang Sipil dalam
perundang-undangan Malaysia tidak serta merta mengubur perundang-undang
Islam. Meski harus diakui bahwa hadirnya Undang-Undang Sipil telah
menjadikan Undang-Undang Islam sebagai Undang-Undang nomor dua di
Malaysia. Keberlangsungan Undang-Undang Syari’ah -kendati terbatas pada
hanya persoalan hukum keluarga- namun tetap dipertahankan pemberlakuannya
di setiap daerah negara bagian. Hal ini berdasarkan amanat konstitusi Negara
Malaysia yang menyebutkan bahwa: Pelaksanaan Undang-Undang Syari’ah
berada dibawah kekuasaan Mahkamah Syari’ah di masing-masing negara bagian.
24
Ahmad bin Ibrahim dan Ahilemah binti Joned, Sistem Undang-undang di Malaysia,
h. 15.
25
Al hasil berbagai produk perundangan Syari’ah tetap lahir dan dijalankan di
setiap negara bagian.
Sebagai catatan misalnya di daerah Selangor lahir Undang-Undang Islam
Selangor 1952, pembuatan Undang Syariah Terengganu 1955,
Undang-Undang Agama Islam Pahang 1956, Undang-Undang-Undang-Undang Islam Malaka 1959, Pulau
Pinang 1959, Negara Bagian Sembilan 1960, Kedah 1962, Perlis 1964, Perak
1965, Pembuatan Mahkamah Syari’ah dan perkawinan Kelantan 1966, agama dan
adat Kelantan 1966, Undang-Undang Islam Johor 1978, Sabah 1971 dan Ordinan
Majlis Islam Serawak tahun 1978.26
Di antara Undang-Undang Islam setiap negeri bagian tidak ada perbedaan
satu dengan yang lain, hanya saja waktu pengembangan Undang-Undang Islam
yang membedakannya.
C. Kedudukan dan Wewenang Undang-Undang Syari’ah di Malaysia.
Konstitusi Malaysia secara resmi telah mengakui bahwa Islam merupakan
agama resmi Negara, ini tidak berarti bahwa keberadaan agama lainnya dilarang
keberadaannya. Agama-agama lain tetap diberi tempat dan pelaksanaannya
dijamin oleh Negara.27 Ketentuan tersebut memiliki arti penting bagi umat
muslim di Malaysia, karena klausul pasal tiga tersebut bagaimanapun dapat
26
Hamid Jusoh, Pemakaian Undang-undang, h. 72.
27
Lembaga Penyelidikan Undang-Undang, Perlembagaan Persekutuan, (Kuala Lumpur:
dijadikan entri poin bagi lahirnya perundang-undang Islam di Malaysia. Meski tujuan awal pencantuman Islam sebagai agama resmi bukanlah bermaksud
mendirikan negara Islam maupun mewujudkan Undang-Undang Islam, melainkan
hanya untuk mengakomodir Islam dalam seremonial-seremonial penting acara
pemerintahan.28
Pencantuman Islam sebagai agama resmi negara Malaysia boleh dikatakan
sebagai penjaga tegaknya syari’at Islam di Malaysia di tengah gempuran
sekularisme sisa panjang kolonialisme Barat di bumi Malaysia. Adapun ketentuan
mengenai Undang-Undang Syariah secara khusus diatur dalam konstitusi
Malaysia. Konstitusi (perlembagaan persekutuan Malaysia) memberikan
kewenangan kepada negara-negara bagian yaitu masing-masing negara bagian
diberi kuasa untuk membuat undang-undang Islam sendiri dan dalam
pelaksanaannya membentuk lembaga-lembaga terkait seperti Majlis-majlis agama
Islam, Mahkamah Syari’ah dan sebagainya.29
Meskipun Islam diterima oleh Perlembagaan Persekutuan Malaysia
sebagai agama, namun penerimaan tersebut tidak sampai menjadikan
Undang-Undang Islam sebagai Undang-Undang-Undang-Undang Negara. Selaras kedudukan agama Islam
di bawah kekuasaan raja-raja negeri, Perlembagaan Malaysia telah menetapkan
28
Hasan Bahrom, Perlembagaan;Isu Pelaksanaan Undang-undang Islam, Jurnal
Syari’ah jilid ke 7, edisi Januari 1999, h. 80.
29
Mahmood Zuhdi Abd. Majid, Pengantar Undang-undang Islam di Malaysia, cet. II,
bahwa bahwa Undang-Undang Syari’ah adalah urusan negeri-negeri. Dalam
jadual kesembilan pasal ke-2 dijelaskan bahwa:
“kecuali mengenai wilayah-wilayah Persekutuan Kuala Lumpur dan Labuan, Hukum Syarak dan Undang-Undang diri dan keluarga bagi orang yang menganut agama Islam, ternmasuk hukum Syarak berhubungan dengan mewarisi harta wasiat dan tak berwasiat, pertunangan, perkawinan, perceraian, maskawin, nafkah, pengambilan anak angkat, taraf anak, penjagaan anak, pemberian, pembagian harta dan amanah bukan khairat; wakaf Islam dan takrif serta peraturan mngenai amanah khairat dan hkaerat agama, pelantikan pemegang-pemegang amanah dan perbadanan bagi orang-orang mengenai pemberian agama Islam dan khairat, yayasan, amanah. Khairat dan yayasan khaerat yang dijalankan kesemuannya sekali dalam negeri; adat istiadat melayu; zakat fitrah dan baitul mal atau hasil agama Islam yang seumpamanya; masjid atau mana-mana tempat sembahyang awam untuk orang Islam; mengadakan dan menghukum kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang menganut agama Islam terhadap rukun-rukun Islam, kecuali mengenai perkara-perkara yang termasuk dalam senerai persekutuan; keanggotaan, penyusunan dan cara bagi mahkamah-mahkamah syari’ah, yang akan mempunyai bidang kuasa hanya ke atas orang-orang yang menganut agama Islam dan hanya mengenai mana-mana perkara yang termasuk dalam perenggangan ini, tetapi tidak mempunyai bidang kuasa mengenai kesalahan-kesalahan kecuali yang setakat diberi oleh Undang-Undang Persekutuan; mengawal pengembangan itikad dan kepercayaan antara orang-orang yang menganut agama Islam; menentukan perkara-perkara hukum syarak dan itikad dan adat istiadat Melayu”30
Berdasarkan pada ketentuan tersebut, maka Negara-negara bagian melalui
badan perundang-undangan masing-masing berkuasa membuat Undang-Undang
Syari’ah dan membentuk organisasi pembuat dan pelaksana Undang-Undang
seperti majlis-majlis agama Islam dan mahkamah-mahkamah syari’ah. Undang-
undang Syari’ah diberikan kewenangan untuk mengatur masalah hukum keluarga
30
Islam (hukum perdata) dan Pidana. Untuk hukum keluarga (hukum perdata)
kewenangan diberikan secara garis besar dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Pernikahan, mulai dari pertunangan, syarat-syarat perkawinan, maskawin,
pencatatan pernikahan, hak dan kewajiban suami isteri, perceraian, masa
iddah, rujuk, status anak, hak asuh anak, poligami, perwalian, pengangkatan
anak dan adopsi.
2. Kewarisan, berkenaan dengan ahli waris dan masing-masing bagiannya;
3. Wasiat, berkenaan dengan syarat-syarat dan yang tidak boleh menerima
wasiat serta batalnya wasiat dpengangkatan anak (adopsi), status anak, hak
asuh anak, warisan, dan wasiat. Sedangkan dalam bidang pidana membuat
dan menghukum n pencabutannya;
4. Hibah;
5. Zakat; dan Wakaf.
Sedangkan dalam bidang pidana secara garis besar dapat dijabarkan
sebagai berikut:31
1. Kesalahan yang berhubungan dengan ‘aqidah seperti pemujaan salah, doktrin
palsu, mengembangkan doktrin agama, dan dakwaan palsu;
2. Kesalahan yang berhubungan dengan kesucian agama Islam dan institusinya,
sepert menghina ayat Al-Quran atau Hadith dan menghina atau mengingkari
31
Hukuman yang diberikan atas kesalahan-kesalahan tersebut berupa denda tidak diperbolehkan melebihi 5000 Ringgit dan atau penjara kurungan tidak lebih dari tiga tahun. Untuk lebih jelasnya mengenai Undang-undang Syari’ah yang mengatur masalah pidana tersebut dapat
dilihat pada buku Undang-undang Syari’ah Wilayah-wilayah persekutuan, disusun oleh Lembaga
pihak berkuasa agama, tidak menunaikan sembahyang Jumaat, tidak
menghormati Ramadhan, tidak membayar zakat atau fitrah, menghasut supaya
mengabaikan kewajipan agama, berjudi dan minuman yang memabukkan.
3. Kesalahan yang berhubungan dengan kesusilaan, pelacuran, persetubuhan luar
nikah, perbuatan sebagai persediaan untuk melakukan persetubuhan luar
nikah, liwat (sodomi), khalwat, orang lelaki berlagak seperti perempuan,
perbuatan tidak sopan di tempat umum;
4. Kesalahan-kesalahan seperti memberikan keterangan, maklumat atau
pernyataan palsu, memusnahkan atau mencemarkan masjid, atau surau,
pemungutan zakat atau fitrah tanpa kuasa, pembayaran tak sah akan zakat atau
fitrah, menghalang pasangan yang sudah bernikah daripada hidup sebagai
suami isteri, menghasut suami atau isteri supaya bercerai atau mengabaikan
kewajipan, menjual atau membenikan anak kepada orang bukan Islam, qazaf,
dan penyalahgunaan tanda halal.
Walau bagaimanapun negeri-negeri tidaklah berkuasa sepenuhnya
membuat Undang-undang dan lembaga seperti itu. Sebaliknya ia terikat dengan
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Perlembagaan Persekutuan sendiri
secara keseluruhannya. Jelasnya, setiap Undang-Undang Syari’ah yang akan
diubah dan dibentuk oleh masing-masing negeri tidak boleh bertentangan dengan
Perlembagaan Persekutuan, sebagaimana diatur dalam pasal empat yang
“Perlembagaan adalah Undang-Undang utama persekutuan dan apa-apa Undang-Undang yang diluluskan setelah hari merdeka dan yang berkenaan dengan perlembagaan ini hendaklah terbatal sekadar yang berlawanan ini”32
Satu hal lagi berkaitan dengan kebebasan negeri-negeri dalam merubah
dan melaksanakan Undang-Undang Syari’ah ialah bahwa Undang-Undang
tersebut hanya berlaku hanya untuk umat muslim saja. Hal ini jelas dapat terlihat
dalam ketentuan jadwal kesembilan pasal dua, sebagaimana telah disebut di atas.
Ini juga sesuai dengan kehendak kebebasan beragama dan mengamalkan ajaran
agama masing-masing orang di Malaysia. Pasal 11 ayat 1 berbunyi: “Tiap-tiap orang adalah berhak menganuti dan mengamalkan agamanya”.
Konstitusi mengamanatkan bahwa pelaksanaan Undang-Undang Syari’ah
berada di bawah kekuasaan Mahkamah Syariah di masing-masing negara bagian.
Secara umum ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam pembuatan
Undang-Undang Syari’ah di setiap negeri relatif sama. Jika pun terdapat perbedaan hanya
sebatas pada redaksi atau ayat-ayatnya saja, sedang dalam ketentuan isi bisa
dipastikan sama.33
Adapun sistem pelaksanaan Undang-Undang Syari’ah tidak jauh berbeda
dengan Undang-Undang Sipil. Letak berbedaannya hanya pada wilayah
kekuasaannya saja. Undang-Undang Syari’ah hanya berlaku untuk orang Islam
saja, serta kewenangannya yang lebih rendah dari Undang-Undang Sipil. Apabila
pihak Mahkamah Syari’ah menjatuhkan hukuman pidana atas seseorang yang
32
Mahmood Zuhdi Abd. Majid, Pengantar Undang-undang Islam di Malaysia, h. 106
33
Ahmad bin Muhamad Ibrahim dan Ahlilemah binti Joned, Sistem Undang-undang di
dikarenakan kesalahannya, maka pihak Mahkamah Syari’ah harus menanggapi
terhadap permohonan dari terpidana seperti yang tersebut dalam seksyen 80,
mahkamah akan meminta pihak pengacara dan polisi untuk membawa terpidana
(apabila telah dimasukkan) ke penjara (jika dia dihukum penjara). Jika terpidana
dijatuhkan hukuman membayar denda, dan dia mampu membayarnya dalam
waktu yang diberikan untuk menyelesaikannya. Dia hanya akan dibebaskan
dengan bersyarat. Pihak Mahkamah Syari’ah diharuskan mengikuti
kaedah-kaedah Undang-Undang Keterangan Islam berkaitan terhadap status, keperibadian
dan jumlah saksi-saksi. Di samping itu, Mahkamah Syari’ah juga diharuskan
memberi perhatian terhadap Undang-Undang Keterangan yang ada.
Mahkamah Syariah ialah institusi kehakiman yang menangani serta
menjatuhkan hukuman kepada orang Islam yang berperkara (perdata) dan pidana
agama sesuai kewenangan yang telah ditetapkan. Adapun urutan hierarki
Mahkamah Syari’ah di setiap negara bagian adalah sebagai berikut: 34
1). Mahkamah Rendah Syariah
Mahkamah Rendah Syari’ah berkedudukan di setiap Kabupaten yang
menangani perkara-perkara untuk wilayahnya saja sebagai pengadilan tingkat
pertama. Adapun wewenangnya meliputi perkara pidana dan perdata.
2). Mahkamah Tinggi Syari’ah
Mahkamah Tinggi Syari’ah merupakan lembaga Peradilan Tingkat Tinggi
yang berkedudukan di ibu kota Negara bagian (provinsi). Mahkamah ini
34
diketuai oleh seorang Qadhi Besar tugasnya mengawasi dan mengatur semua
Qadhi yang ada di kabupaten (Mahkamah Rendah Syari’ah). Sedangkan
wewenangnya meliputi bidang jinayah (pidana) dan perdata yang telah
diputus oleh Mahkamah Rendah Syari’ah dengan kata lain Mahkamah Tinggi
Syari’ah adalah peradilan tingkat banding.
3). Mahkamah Rayuan Syari’ah
Mahkamah Rayuan Syari’ah merupakan lembaga peradilan yang berdiri
sendiri terdiri dari tiga anggota yaitu Mufti Kerajaan dan dua orang yang telah
dilantik oleh Duli Yang Maha Mulia Sultan. Hanya berwenang untuk
menerima dan memutuskan perkara-perkara yang telah diputuskan oleh
Mahkamah Tinggi Syari’ah. Mahkamah Rayuan Syari’ah adalah pengadilan
tingkat kasasi dalam ruang lingkup Mahkamah Syari’ah.
Mahkamah Syari’ah mempunyai kekuasaan menjalankan Undang-Undang
Syari’ah di setiap Negara bagian. Namun ia hanya terbatas pada hal-hal atau
permasalahan-permasalahan yang melibatkan orang Islam saja. Ketentuan pasal
121 (1A) Pindaan 1989 menyatakan bahwa mahkamah-mahkamah yang
disebutkan dalam pasal (1) tidak boleh menangani perkara-perkara yang ada
dalam kekuasaan Mahkamah Syari’ah.35 Secara tidak langsung ketentuan ini
menunjukkan supremasi Undang-Undang Syari’ah atas Undang-Undang lainnya.
Dengan ketentuan di atas Mahkamah Sipil tidak boleh menangani dan ikut
campur dalam hal-hal atau permasalahan-permasalahan yang telah dibicarakan
35
dan diputus oleh hakim di Mahkamah Syari’ah. Begitu juga hal-hal yang telah
diputus di Mahkamah Syari’ah (rendah dan tinggi) dan ada upaya-upaya banding
maka perkaranya tidak boleh diteruskan ke Mahkamah Sipil, tetapi harus tetap di
bawah kekuasaan Mahkamah Rayuan Syari’ah.
Namun demikian terdapat beberapa kelemahan mendasar yang sampai
hari ini masih dapat kita jumpai, terutama dalam kekuasaan Mahkamah Syari’ah
itu sendiri. Kelemahan tersebut terlihat jika terjadi pertentangan antara
Undang-Undang Syari’ah yang dirubah di bawah kekuasaan negara bagian dengan
ketentuan-ketentuan yang ada dalam konstitusi Malaysia, maka dengan sendirinya
Undang-Undang Syari’ah di negara bagian itu dibatalkan.
Selain itu ketentuan untuk melaksanakan hal-hal yang berkaitan dengan
orang Islam yang merupakan kekuasaan Mahkamah Syari’ah juga ikut
terbatalkan, alasannya Undang-Undang Islam tidak dapat dilaksanakan kecuali
dengan bersandar pada kuasa pemerintah. Sebagai contoh, Mahkamah Syari’ah
tidak berhak menangani masalah harta warisan, sekalipun berkaitan dengan harta
orang Islam dikarenakan ia berada dibawah kewenangan akta probet dan akta
pusaka kecil. Hakim dalam hal ini hanya berfungsi untuk mengesahkan
pembagian-pembagian waris sesuai dengan ketentuan akta tersebut. Adapun
pembahagian harta warisan tidak sesuai dengan hukum fara’id, hukuman dan
denda yang dapat dijatuhkan oleh hakim dalam Mahkamah Syari’ah adalah tidak
Pelaksanaan Undang-Undang Syari’ah di Malaysia diatur dalam ketentuan pasal
121 (1A) pelembagaan Persekutuan Malaysia dan Pembagian antara negara
bagian dan pusat (federal). Bagi tujuan tersebut Perlembagaan Persekutuan
memperuntukkan jadual 9 pasal 2, menyatakan bahwa kekuasaan Mahkamah
Syari’ah hanya terbatas pada orang-orang Islam dan mengenai perkara-perkara
yang berkaitan dengannya, tetapi tidak dalam hal sanksi pidana yang jumlahnya
melebihi 5000 ringgit, kecuali Undang-Undang persekutuan mengaturnya.36
Kekuasaan Mahkamah Syari’ah di Malaysia dilaksanakan oleh
masing-masing negara bagian yang diketuai oleh raja-raja atau sultan di masing-masing-masing-masing
negara bagian. Bagi negara bagian yang tidak memiliki sultan, maka ketua dijabat
oleh yang di Pertuan Agung. Penggunaan Undang-Undang Syari’ah dalam
perundangan di Malaysia dapat dilihat dalam perkara yang berkiatan dengan
hukum keluarga seperti pertunangan, perkawinan, nafkah, perceraian, penjagaan
anak, pengambilan anak, pembagian waris, pembagian harta bersama serta
perkara-perkara lain yang berkaitan dengan agama Islam.
Sungguhpun terdapat ketentuan di dalam Undang-Undang Persekutuan
(konstitusi Malaysia) bahwa Islam sebagai agama resmi negara dan ketentuan
untuk melaksanakan Undang-Undang Syari’ah, tetapi pelaksanaannya jauh
berbeda dengan apa yang telah diamalkan pada zaman Rasullullah maupun zaman
khulafa’ ar-rasyidin. Dizaman Rasulullah pemakaian Undang-Undang Syari’ah
dilaksanakan secara menyeluruh dan konsekuen. Namun di Malaysia penggunaan
36
Undang-Undang Syari’ah terbatas pada masalah-masalah tertentu saja. Namun
demikian Undang-Undang Common Law Inggris justru mendapat tempat utama walaupun menuai pro kontra, selain itu sumber rujukan utama sistem
perundang-undangannya pun berbeda, karena sistem Undang-Undang Malaysia lebih
disandarkan pada undang-undang yang dibawa oleh Inggris, sedangkan rujukan
pada zaman nabi maupun sahabat adalah Al-Qur’an dan Sunah.
Bagan hierarki Mahkamah Syari’ah
Mahkamah Rendah Syari’ah Mahkamah Rayuan Syari’ah
Mahkamah Tinggi Syari’ah
BAB III
KEDUDUKAN, WEWENANG DAN PELAKSANAAN
UNDANG-UNDANG SIPIL DI MALAYSIA
A. Sejarah Undang-Undang Sipil di Malaysia
Undang-Undang Sipil dikenal secara umum sebagai satu Undang-undang
yang merupakan kumpulan Undang-undang lain, seperti: Undang-Undang
Perdata, Dagang, Kontrak, Undang-Undang Keluarga dan lainnya. Namun
demikian Undang-undang tersebut bukanlah Undang-Undang Islami yang
berdasarkan kepada Qur’an dan sunah.37 Ia berbentuk sekuler dan dibawa masuk
oleh para penjajah Inggris. Cara pelaksanaan dan pengaturannya di Malaysia
disamakan dengan penggunaan Common Law yang ada di Inggris. Pengaturan Undang-Undang Sipil berada di bawah kekuasaan Mahkamah Sipil dan
membicarakan hal-hal yang melibatkan semua pihak baik muslim maupun non
muslim.
Sebagaimana diketahui secara umum baik dari buku-buku sejarah maupun
buku yang membahaskan Undang-undang, bahwa Undang-Undang Sipil adalah
Undang-undang yang telah disusun oleh penjajah Inggris ketika menjajah tanah
Melayu, sebelum Malaysia memperoleh kemerdekaannya. Undang-Undang Sipil
37
ini telah dilaksanakan penjajah Inggris sejak tahun 1957 hingga saat ini.
Undang-Undang Sipil tersebut berdasarkan pada sistem dan prinsip-prinsip perundangan
di Inggris.
Masuknya Undang-Undang Sipil di Malaysia, bersamaan dengan proses
pendudukan tentara Inggris atas tanah Melayu. Mula-mula Inggris menduduki
negeri-negeri Selat yang terdiri dari pulau Penang (Prince of Wales), Malaka dan Singapura. Di daerah-daerah Pinang diberlakukan piagam keadilan pertama pada
tahun 1807 yang merupakan perundang-perundangan Sipil Inggris dengan sedikit
perubahan.38 Sebelum terbentuknya Piagam Keadilan, terjadi kekacauan
perundangan, karena di pulau tersebut memang belum dikenal sistem peraturan
perundangan yang bagus. Hadirnya Piagam Keadilan Pertama pada tahun 1807
mampu mengatasi kekacauan itu, meski sebenarnya proses sekularisasi hukum di
Malaysia baru saja dimulai.39
Undang-Undang Sipil Inggris tersebut kemudian diperluas
pemberlakuaannya ke wilayah Malaka dan Singapura pada tahun 1826 melalui
Piagam Keadilan di Raja (Piagam Kedua), akibat pergolakan Undang-undang di
Malaka dan Singapura.
Pada tahun 1955 Piagam Ketiga dibentuk untuk mengurus dan
mengorganisir Undang-Undang Sipil di ketiga negeri selat tersebut. Kemudian
38
Mardiana Abdul Rohim dkk, Sejarah Pelaksanaan Undang-undang Islam di Pulau
Pinang, Jurnal Syari’ah jilid 7 edisi Januari 1999, h. 33.
39
Ahmad bin Muh Ibrahim dan Ahilemah Binti Joned, Sistem Undang-undang Di
Ordinan (Kumpulan) Undang-Undang Sipil yang telah digantikan dengan Akta
Undang-Undang Sipil 1956 (diperbaharui pada tahun 1972) telah diperluas ke
seluruh negeri-negeri selat. 40
Menurut kajian sejarah, Negeri-negeri Melayu sendiri juga telah dibagi
oleh pemerintahan Inggris menjadi dua bagian, yaitu:
1). Negeri-negeri Melayu bersatu,
2). Negeri-negeri Melayu tak bersatu.41
Di negeri-negeri Melayu Bersatu, Undang-Undang Inggris diadaptasi
melalui penasehat-penasehat Inggris yang berdomisili di negeri-negeri tersebut,
sebagai penasehat Sultan dalam semua hal, kecuali berkaitan dengan Agama
Islam dan adat istiadat orang-orang Melayu. Setelah itu, Undang-Undang Sipil
Inggris sedikit demi sedikit tersebar ke negeri-negeri Melayu lainnya melalui
badan kehakiman.
Pertama kalinya Undang-Undang Sipil Inggris dijadikan rujukan apabila
Undang-Undang setempat tidak mempunyai ketentuan atau didapati ketentuan
yang ada sudah tidak sesuai lagi untuk menyelesaikan masalah-masalah baru yang
timbul seperti dalam soal perdagangan atau perniagaan.42 Jadi bisa dikatakan
40
Mardiana Abdul Rohim, DKK, Sejarah Pelaksanaan Undang-Undang Islam, h. 34.
41
Tun Muhamad Saleh Abbas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia,
cet. II, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2003), h. 13.
42
Ahmad bin Mohamad Ibrahim dan Ahilemah Binti Joned, Sistem Undang-Undang di
bahwa Undang-Undang Sipil Inggris tersebut berjalan secara tidak resmi melalui
penasehat-penasehat atau hakim-hakim Inggris.
Pada tahun 1937, Undang-Undang Sipil (sekuler) Inggris telah
diperkenalkan di negeri-negeri Melayu bersatu melalui pembentukan
Undang-Undang Sipil negeri-negeri Melayu Bersatu. Dengan hal tersebut kemudian
Undang-Undang Sipil Inggris secara resmi berlaku di sebagian negeri-negeri
tanah Melayu. Kemudian pemakaian Undang-Undang Sipil Inggris tersebut
diperluas lagi ke negeri-negeri Melayu tidak bersatu pada tahun 1951. Pada
tanggal 7 April 1956, Undang-Undang Inggris secara keseluruhan telah berlaku di
seluruh negeri-negeri tanah Melayu. Kondisi ini tercipta berkat lahirnya Ordinan
Undang-Undang Sipil pada tahun 1956, khususnya sebagaimana diatur dalam
pasal 3 (1) dan pasal 5 (1) Ordinan tersebut.
Pasal 3 (1) Ordinan tersebut menyatakan :
“sejak tanggal pemberlakuan Ordinan ini, maka pihak mahkamah hendaklah menggunakan Common Law Inggris dan hal-hal yang terkait sebagaimana pelaksanaannya di Inggris. Karena itu segala ketentuan-ketentuan yang telah dibuat atau setiap perundang-undangan tertulis yang tengah berlaku di negeri-negeri Melayu Bersatu atau lainnya akan digantikan dengan Undang-Undang Common Law Inggris. Hal ini dapat terlaksana dengan syarat bahwa Common Law serta ketentuan-ketentuan lain yang mengiringinya digunakan bila diperlukan”.
Pemakaian Undang-Undang tersebut berdasarkan pada asas keperluan
masyarakat.43 Dengan pelaksanaan Undang-Undang Inggris tersebut, menjadi
jelaslah bahwa segala hal yang berkaitan dengan hukum sipil (meliputi Pidana,
43
Hamid Jusroh, Kedudukan Undang-undang Islam Dalam Pelembagaan Malaysia,
Perdata, Kontrak, Dagang dan sebagainya) diatur di bawah prinsip
Undang-Undang Inggris.
Selanjutnya, Undang-Undang Sipil Inggris telah diperluas lagi
penggunaannya sampai ke negeri Sabah dan Serawak. Di daerah Serawak, pada
masa awal penjajahan, raja masih menggunakan adat dan Undang-undang yang
dikeluarkan oleh raja sendiri. Perubahan Undang-undang yang ada dilakukan
secara tidak resmi. Baru pada tahun 1928, Undang-Undang Sipil Inggris
dimasukan secara resmi dengan terbentuknya Ordinan Undang-Undang Serawak
1928 (Law of Sarawak Ordinan 1928). Ordinan ini berisi ketentuan-ketentuan tentang pemakaian Common Law Inggris pada Undang-Undang Serawak.44
Penggunaan Undang-Undang Sipil Inggris semakin meluas pasca
terjadinya perang dunia ke dua. Pada tahun 1949 diterbitkanlah ordinan
pemakaian Undang-undang, dengan membatalkan Ordinan Undang-Undang
Serawak 1928, kemudian pada tahun 1972 dilakukan upaya revisi untuk
mengakomodir Ordinan Undang-Undang Sipil 1956, namun pemakainnnya tetap
disandarkan pada Undang-Undang tahun 1949.
Sejarah masuk dan penggunaan Undang-Undang Inggris di Sabah, hampir
sama dengan proses yang terjadi di Serawak. Pada tahun 1882 Sabah diatur oleh
Syarikat Borneo Utara dan Undang-Undang yang digunakan adalah perpaduan
antara Undang-Undang India, negeri-negeri Selatan, jajahan Inggris serta
Undang-Undang Adat Pribumi. Secara keseluruhan Undang-undang di Sabah
44
Ahmad bin Mohamad Ibrahim dan Ahilemah binti Joned , Sistem Undang-undang,
adalah duplikasi perundangan Inggris dan mahkamah-mahkamah yang
didirikannya pun juga mengikuti sistem yang ada di Inggris.
Kemudian Undang-Undang Inggris terus mendapat tempat di Sabah
dengan diterbitkannya Ordinan Pemakaian Undang-Undang Sabah pada 1
Desember 1951. Pada 1 April 1972 sama seperti Serawak, Sabah juga menerima
Ordinan Undang-Undang Sipil 1956 yang telah diperkenalkan secara luas di
Malaysia Barat.45
B. Kedudukan dan Kekuasaan Undang-Undang Sipil di Tanah Melayu pada
Masa Penjajahan Inggris.
Undang-Undang Sipil yang dimaksudkan disini adalah Undang-Undang
sekuler Inggris meliputi Undang-Undang Pidana, Kontrak, Dagang dan lainnya.
Pada masa-masa awal, perundangan yang berlaku di negeri-negeri Melayu adalah
Undang Syari’ah atau Undang Islam bersama dengan
Undang-Undang Adat. Sebelum kedatangan penjajah, Undang-Undang-Undang-Undang Syari’ah dan Adat
mendapat tempat tertinggi dalam sistem perundangan bagi penyelesaian setiap
masalah yang muncul, namun peran dan kedudukan Undang-Undang Syari’ah
dan Undang-Undang Adat mulai berubah dengan bercokolnya penjajah Inggris
yang kemudian memasukkan perundangannya, dengan menggeser
Undang-Undang Syari’ah dan Adat. Undang-Undang-Undang-Undang Sipil Inggris semakin mendapat
tempat dan kedudukan tinggi dalam sistem perundangan di Tanah Melayu,
45
dengan semakin kokohnya kolonialisme Inggris di Tanah Melayu. Dengan kata
lain, kedudukan Undang-Undang Sipil mendapat tempat teratas sejak ia
diperkenalkan dan menggantikan Undang-Undang Syari’ah dan Adat. Kini
Undang-Undang Syari’ah dan Adat berada pada kedudukan yang lebih rendah
dibanding Undang-Undang Sipil. Hal ini terlihat jelas dalam kasus Indo Remaria
Her Toqh (1951) 17 MLJ 164. Dalam hal ini pihak yang terlibat adalah
orang-orang Islam, namun Undang-Undang Syari’ah tidak dijadikan rujukan oleh
pihak-pihak yang terlibat dan justru menyandarkan masalahnya pada Undang-Undang
Sipil.46
Berdasarkan kedudukan yang tinggi dibanding Undang-Undang Syari’ah,
maka kekuasaan yang dimilikinya pun lebih luas. Termasuk dalam hal tindak
pidana, baik yang melibatkan orang-orang Islam maupun non-muslim. Kekuasaan
Undang-Undang Sipil di Mahkamah Sipil semasa penjajah Inggris meluas dalam
berbagai perkara kecuali dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan agama
Islam dan adat orang Melayu. Namun tidak sedikit pula perkara-perkara yang
berkaitan dengan orang Islam berada di bawah kekuasaan Undang-Undang Sipil
di Mahkamah Sipil, seperti wasiat, perceraian, penjagaan anak dan lainnya.
Secara keseluruhan kekuasaan Undang-Undang Sipil pada masa penjajahan
sangat luas meliputi Undang-Undang Syari’ah yang ada di Malaysia.
Menurut ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang Sipil Inggris,
Mahkamah Tinggi Sipil pada masa penjajahan Inggris boleh membicarakan atau
46