• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Prasangka antara kelompok pada mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN) di Mataram Nusa Tenggara Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbedaan Prasangka antara kelompok pada mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN) di Mataram Nusa Tenggara Barat"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

セ⦅L@ Diteri1na ⦅LセLャGZMLNNLN⦅MMBMBM」Z[イBBGGセMN@ dari

T,L •

"''.;2_':

[ゥᄋセ@

""'"

Oleh:

SY AMS UL HADI

NIM:

102070026024

:

'.'·",'''' •

セHXN@

QセqᆪZY@

FAKUL TAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGER1I

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Pembimbing I,

·

..

·\\/

i\ \c '

)//

Prof.

h。セ」エゥョ@

Yasun, M. Si

/'1

NIP.

130

351 146

Oleh:

SYAMSUL HAD!

NIM: 102070026024

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing II,

セQコゥ@

Saloom, M. Si NIP. 150 389 379

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS !SLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)

SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU NEGERI (ST AHN) DI MATARAN NUSA TENGGARA BARAT telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 29 Mei 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi.

Jakarta, 29 Mei 2008

I

Sidang Munaqasyah

Ketua erkingkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

M.Si

NIP. 150 238 773 Anggota:

NIP::>"f30

351 146

Perlibimbing I,

I F'embimbing II,

(4)

Praktis Dalam Berpikir,

Ideal Dalam Bekerja,

SELALU BERSYUKUR

!

(5)

(D) Perbedaan prasangka antar kelompok pada mahasiswa lnstitut Agama Islam Negeri (JAIN) dan mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN) di Mataram Nusa Tenggara Barat

(E) Ha/aman +85

(F) Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan orang lain sehingga terjadi interaksi sosial. Namun dalam kehidupan masyarakat yang majemuk terdiri dari beraneka ragam kelompok masyarakat dengan latar belakang kebudayaan dan agama yang berbeda, terkadar.g terjadi persaingan dan pertentangan yang dapat menimbulkan ketidakharmonisan sosial. Persaingan dan pertentangan ini muncul karena setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan yang berbeda.

Ketika kepentingan-kepentingan tersebut tidak kompatibel, maka respon psikologis sosialnya cenderung negatif seperti sikap berprasangka, penilaian terbias, dan perilaku bermusuhan. Akan tetapi ketika kepentingan-kepentingan tersebut kompatibel atau lebih baik, maka reaksinya akan lebih positif,

misalnya toleransi, adil dan ramah. Semakin jauh jarak perbedaan ini, maka semakin kuat prasangka yang akan muncul karena manusia memiliki

kecenderungan untuk mementingkan diri dan kelompoknya sendiri (egoistis). Hal ini melahirkan rasa in groups atau we groups yang berlawanan dengan rasa out groups atau they groups yang bermuara pada sikap etnosentrisme karena kesamaan ras, agama atau asal usul. Kesamaan ras, agama, atau asal usul ini secara tidak langsung telah menjadi identitas suatu kelompok.

Selanjutnya identitas sosial tersebut akan membentuk citra diri para anggotanya sehingga menyiratkan bahwa ingroup dianggap sebagai yang terbaik dibanding kelompok diluarnya (outgroup).

Dengan penjelasan di atas dapat diperkirakan bahwa adanya hubungan antara terjadinya konflik dengan lahirnya sikap berprasangka dan sebaliknya

prasangka dapat menciptakan konflik antarkelompok. Sedangkan identitas sosial yang didapat dalam sebuah kelompok dapat memperkuat prasangka yang telah ada. Kemudian, bagaimana dengan mahasiswa sebagai generasi muda yang merupakan e;alon intelektual dan memiliki intelegensi tinggi? Apakan dengan adanya perbedaan identitas tetap memiliki prasangka terhadap kelompok mahasiswa lain yang bisa memicu timbulnya konflik?

(6)

2007.

Cara pengambilan sampel adalah dengan teknik kuota.. Teknik sampling ini tidak didasarkan pada strata atau daerah, tetapi berdasarkan pada jumlah yang telah ditentukan. Adapun besarnya jumlah sampel yang akan diteliti adalah 10% dari masing-masing jumlah populasi. Sehingga jumlah responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah 285 orang di IAIN Mataram dan 35 orang di STAHN Mataram.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan metode komparatif (perbandingan), yaitu dengan membandingkan prasangka dua kelompok mahasiswa dengan background keagamaan berbeda di Mataram Nusa Tenggara Barat. Untuk mengumpulka.n data, peneliti

menggunakan skala Likert. Karena data yang diaapat tidak berdistribusi normal, maka digunakan uji mann-whitney sebagai uji beda hasiJ penelitian.

Dari penelitian yang dilakukan terhadap sejumlah mahasiswa, peneliti menemukan bahwa; (1) Ada perbedaan prasangka antarkelompok pada mahasiswa lnstitut Agama Islam Negeri (IAIN) dan Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN) di Mataram NTB, (2) Prasangka mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN) Mataram /ebih besar dibandingkan dengan mahasiswa lnstitut Agama Islam Negeri (IAJN) Mataram, (3) Aspek afektif prasangka lebih besar memberikan pengaruh terhadap timbulnya prasangka daripada aspek kognitif dan aspek konatif.

Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti berharap dapat memberikan saran teoritis maupun praktis sehingga perlu dilakukan langkah-iangkah yang sistematis dan terprogram untuk meminimalisir ーイ。ウ。ョァセ[。Mーイ。ウ。ョァォ。@ negatif yang ada di kalangan mahasiswa di Mataram. Selain itu, pembauran antar kelompok di Mataram dapat terwujud untuk menciptakan masyarakat yang integratif.

(7)

berbagai nikmat-Nya dalam berbagai macam situasi dan kondisi sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Salawat dan salam atas Rasulullah SAW, seorang utusan Allah yang telah menjadi suri tauladan dan pedoman hidup bagi umat manusia dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah di mul<a bumi ini.

Penulisan skripsi yang berjudul "perbedaan prasangka antarkelompok pada mahasiswa lnstitut Agama Islam Negeri (IAIN) dan rnahasiswa Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN) di Mataram Nusa Tenggara Barat" ini bertujuan

untuk memperoleh gelar sarjana psikologi. Sedangl<an terns prasangka dalam skripsi ini bukanlah tema bariJ dalam kajian tentang hubungan antar kelompok sehingga banyak peneliti yang telah mengkajinya secara l<ompherensif. Hal ini karena prasangka rnerupakan potensi terpendam yang sewaktu-waktu dapat muncul ke permukaan dalam bentuk konflik sosial yang dapat mengganggu integrasi masyarakat. Kajian psikologi sosial tentang prasan!Jka sangat penting dalam menciptakan kondisi masyarakat yang harmonis dalarn kehidupan

masyarakat yang majemuk dengan berbagai latar belakang kebudayaan, ideologi, dan suku yang berbeda.

Selanjutnya, dalam proses penelitian sarnpai penulisan skripsi ini penulis sangat merasakan banyaknya hambatan yang ditemukan, terutama ketika berada di lapangan. Sehingga banyak pihak yang sangat berperan dalarn penyelesaiannya. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada mereka yang

telah

medukung dan mernberikan bantuan bail< secara moril maupun mnteril, diantaranya:

1. lbu Ora. Netty Hartati, M. Si, selaku Oekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. /bu Ora. Zahratun Nihayah, M. Si, selaku Pudek I Fakultas Psikologi dan Dosen Pembimbing Akadernik penulis.

3. Bapak Prof. Hamdan Yasun dan Gazi Saloom, M. Si, selaku pernbimbing I dan II yang telah banyak mernberikan surnbangan saran sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan.

4. Para dosen dan seluruh staf karyawan fakultas psikologi UIN Jakarta yang telah rnembekali penulis dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang tak ternilai harganya.

5. Rektor, dosen, dan mahasiswa IAIN rnataram yang telah bekerja sam.3 sehingga penulis mendapatkan sernua informasi dan data yang dibutuhkan. 6. Ketua, dosen, dan mahasiswa STAHN Mataram yang telah rnembantu penulis

(8)

9. Teman-teman lkatan Mahasiswa Sasak (IMSAK) Jakarta, khususnya Aciem yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk menggunakan

komputernya selama berbulan-bulan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 10. Teman-teman kelas C angkatan 2002 dan teman-teman HMI Komisariat

Psikologi, terima kasih telah memberikan pengalaman hidup yang tak ternilai harganya selama ini.

Akhirnya, Semoga tugas akhir ini bermanfaat bagi kita semua, khususnya Pemda Kodya Mataram dan segenap civitas akademika serta mahasiswa JAIN Mataram dan STAHN Mataram.

Ciputat, 2008

(9)

Halaman Persetujuan ii

Halaman Pengesahan iii

Motto iv

Abstract v

Kata Pengantar vii

Daftar lsi ix

Daftar Tabel xii

BAB 1 PENDAHULUAN

1 - 14

1.1. Latar Belakang Masalah... .. . . .. . .. . . .. . . .. . .. . . .. . . ... . .. 1

1.2. ldentifikasi Masalah ... 9

1.3. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 10

1.3.1. Pembatasan Masai ah ... 10

1.3.2. Perumusan Masalah ... 11

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12

1.4.1. Tujuan Penelitian ... 12

1.4.2. Manfaat Penelitian .. ... ... ... . . .. .. . ... .. ... . . . .. . ... .... ... . .... ... 12

1.5. Sistematika Penulisan ... 13

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 16 -

44

2.1. Dekskripsi Teoritik ... 16

2.1.1. Prasangka ... 16

2.1.1.1. Pengertian Prasangka dan Komponen Kognitif, Afektif dan Kognitif ... 16

2.1.1.2. Kategorisasi dan Stereotip ... 23

2.1.1.3. Sumber Penyebab Prasangka ... 28

(10)

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 46-59

3.1. Jenis Penelitian ... 46

3.1.1. Pendekatan dan Metode Penelitian ... 46

3.1.2. Definisi Variabel dan Operasional Variabel ... 47

3.1.2.1. Definisi Variabel ... 47

3.1.2.2. Operasionalisasi Variabel ... 48

3.2. Pengambilan Sampel ... 49

3.2.1. Populasi dan Sampel ... 49

3.2.2. Teknik Pengambilan Sampel.. ... 50

3.3. Pengumpulan Data ... 51

3.3.1. Metode dan lnstrumen Penelitian ... 52

3.3.2. Teknik Uji lnstrumen ... 54

3.4.Teknik Analisa Data ... 56

3.5. Lokasi Penelitian ... 57

3.6. Prosedur Penelitian ... 57

BAB 4 PRESENT ASI DAN ANALISA DAT A 60- 78 4.1. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 60

4.1.1. Kategorisasi Subjek di IAIN Mataram ... 62

41.2. Kategorisasi Subjek di ST AHN Mataram ... 64

4.2. Presentasi Data ... 65

4.2.1. Uji lnstrumen Penelitian ... 65

4.2.2. Uji Persyaratan ... 67

4.2.2.1. Uji Normalitas ... 67

4.2.2.2. Uji Homogenitas ... 70

(11)

5.3. Saran ... 84

(12)

1. Proses tiga ta hap dalam teori identitas sosial. ... 35

2. Bagan kerangka berpikir ... 44

3. lndikator prasangka ... 48

4. Skar setiap kategori jawaban ... 53

5. Blue print prasangka ... 53

6. Jumlah mahasiswa IAIN Mataram tahun akademik 2006/207 ... 60

7. Jumlah mahasiswa STAHN Mataram tahun akademik 2006/2007 ... 61

8. Kategori subjek di IAIN berdasarkan jenis kelamin ... 62

9. Kategori subjek di IAIN berdasarkan usia ... 53

10. Kategori subjek di IAIN berdasarkan fakultas ... 63

11. Kategori subjek di STAHN berdasarkan jenis kelamin ... 34

12. Kategori subjek di STAHN berdasarkan usia ... 64

13. Kategori subjek di STAHN berdasarkan fakultas/PS ... 65

14. Item-item valid hasil uji coba ... 66

15. Nilai uji normalitas ... 68

16. Nilai uji homogenitas ... 70

17. Nilai uji mann whitney ... 72

18. Nilai perbedaan prasangka pada mahasiswa IAIN dan STAHN Mataram ... 73

19. Nilai Rata-rata perbedaan prasangka pada mahasiswa IAIN dan STAHN Mataram ... 73

20. Nilai besarnya pengaruh aspek-aspek prasangka secara gabungan ... 75

21. Nilai hubungan setiap aspek prasangka ... 76

[image:12.595.37.432.147.699.2]
(13)

Dalam bab ini akan dijelaskan tentang latar belakang masalah, identifikasi

masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, serta sistematika penulisan skripsi.

1.1.

Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan sehari-hari senantiasa ada interaksi sosiaJ antarindividu,

antarkelompok, atau antarbangsa. Hubungan ini merupakan suatu dinamika

tersendiri dan diwarnai oleh bennacam-macam sikap, pandangan maupun

tingkah laku. Adanya interaksi sosial merupakan wujud eksistensi manusia

sebagai makhluk sosial yang memiliki ketergantungan terhadap orang lain

dalam memenuhi segala kebutuhannya. lnteraksi sosial dapat terjadi antara

individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, dan antara

kelompok dengan kelompok.

Adapun materi dalam interaksi ini tergantung pada motivasi dan tujuan

terjadinya interaksi tersebut. Dengan sendirinya dalam interaksi ini ada

hubungan timbal balik, di mana terlihat bentuk-bentuk dari komunikasi antar

(14)

kehangatan, kebencian, atau agresifitas yang semuanya ini merupakan

dimensi dari interaksi sosial dan komunikasi sosial.

Djamaludin Ancok (2004) menjelaskan bahwa dalam suatu rnasyarakat yang

terdiri dari berbagai kelompok akan menimbulkan berbagai jenis bentuk

interaksi. Secara teoritik ada em pat jenis interaksi antarkelompok, yakni

pertentangan (conflict), kerjasama (cooperation), persaingan (competition),

dan saling mengisi (accommodation). Menurut para ahli, misalnya Smelser

(dalam Ancok, 2004), adanya kelompok dan pengelompokan dalam

kehidupan masyarakat merupakan faktor pendukung terjadinya

ketidakharmonisan sosial yang bersumber dari persain9an dan pertentangan.

Akan tetapi, dengan melihat bentuk-bentuk interaksi di atas dapat dikatakan

bahwa hadirnya berbagai macam kelompok dalam suatu masyarakat dapat

menjadi tantangan sekaligus berkah dalam proses pembangunan bangsa.

Dikatakan sebagai tantangan apabila bentuk interaksi yang terjadi adalah

pertentangan dan persaingan, sedangkan interaksi sosial dalam bentuk

kerjasama dan saling mengisi akan dapat mewujudkan integrasi masyarakat.

Artinya, kekompakan semua kelompok masyarakat sangat penting dalam

(15)

Dengan demikian, integrasi masyarakat dapat diartikan sebagai adanya

kerjasama dari seluruh anggota masyarakat, mulai dani individu, keluarga,

dan masyarakat secara keseluruhan sehingga menghasilkan

persenyawaan-persenyawaan berupa adanya konsensus nilai-nilai yang sama-sama

dijunjung tinggi. Oalam proses ini, menurut Soelaeman (2005) akan terjadi

akomodasi, asimiliasi, dan berkurangnya prasangka-prasangka di antara

anggota masyarakat secara keseluruhan. Namun hal tetrsebut tidak semudah

membalik kedua belah tangan karena seringkali terbentur atau terhambat

oleh perbedaan kepentingan kelompok yang seringkali menimbulkan

ketidakharmonisan sosial yang bersumber dari pertentangan dan persaingan

terse but.

Pertentangan dan persaingan antarkelompok atau anggota masyarakat ini

mungkin terjadi antara generasi tua dengan generasi muda atau antar

generasi muda. Menurut Abu Ahmadi (2000), pertentannan-pertentangan itu

kerapkali terjadi, apalagi pada masyarakat yang sedang berkembang dari

tahap tradisional ke tahap modern. Generasi muda yang1 belum terbentuk

kepribadiannya lebih suka mengadopsi hal-hal baru yan!J memberikan

tantangan dan menyenangkan tanpa melihat standar no1"matif masyarakat

sehingga mereka tidak ragu untuk memperjuangkan segala hal yang menurut

(16)

ldealisme generasi muda ini biasanya akan lebih kuat apabila didukung oleh

kepentingan kelompok. Sebaliknya perbedaan kepentingan kelompok bisa

menyebabkan persaingan antar idealisme yang dapat berujung pada konflik

terbuka atau konflik tertutup dalam bentuk prasangka 11egatif terhadap

kelompok lain. Seperti yang diungkapkan Campbell dengan teorinya Realistic

Group Conflict (dalam Rupert Brown, 2005), bahwa sikap dan perilaku

antarkelompok cenderung merefleksikan kepentingan kelompok. Ketika

kepentingan-kepentingan tersebut tidak kompatibel atau ketika salah satu

kelompok memperoleh sesuatu dengan mengorbankan kelompok lainnya,

maka respon psikologis sosialnya cenderung negatif seperti sikap

berprasangka, penilaian terbias, dan perilaku bermusulhan. Akan tetapi ketika

kepentingan-kepentingan tersebut kompatibel atau lebih baik sehingga salah

satu kelompok hanya dapat memperoleh sesuatu dengan bantuan :{efompok

lainnya, maka reaksinya akan lebih positif, misalnya toleransi, adil clan ramah.

Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa perilaku berprasangka (konflik

tertutup) dilahirkan dari persingan kepentingan antarkelompok. Suatu

kepentingan dapat berbentuk kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok

(sosial). Namun sesuai yang diungkapkan Campbell di atas, kepentingan

pribadi akan merefleksikan kepentingan kelompok jika berada dalam satu

kelompok yang telah menjadi identitas sosial mereka. Sehingga identitas

(17)

harapan kelompoknya. Hal ini karena individu tersebut akan mengidentifikasi

dirinya sebagai bagian dari sebuah kelompok dan menilai orang lain sebagai

bagian dari kelompok "itu" atau bukan.

Selanjutnya identitas sosial tersebut akan membflntuk Gitra diri para

anggotanya sehingga menyiratkan bahwa ingroup dianggap sebagai yang

terbaik dibanding kelompok diluarnya (outgroup). Kesuksesan atau

kegagalan kelompok akan menaikkan atau mengurangi self esteem para

anggotanya. Jadi, motif penting yang ada dibalik sikap dan perilaku

antarkelompok adalah motif untuk membentuk dan mempertahankan sebuah

identitas positif yang memuaskan.

Dari sini, ancaman terhadap identitas sosial akan direspon dengan

peningkatan usaha untuk membuat kelompok ingroup s1!makin berbeda

secara positif dari kelompok lain (outgroup). Bila ancaman tersebut cukup

kuat, maka differensiasi itu mungkin akan muncul dalam bentuk

pengekspresian bias ringan, di mana kelompok ingroup dan outgroup

dievaluasi secara positif, sampai dalam bentuk sikap dari perilaku

antarkelompok yang memandang rendah secara terbuka yang disebut

prasangka. Selain itu, efek identitas yang terancam ini juga akan mengancam

self esteem para anggotanya sehingga tidal< jarang terjadi disintegrasi atau

(18)

Untuk lebih menggambarkan efek identitas terancam ini berikut dikemukakan

kejadian atau konflik yang pernah terjadi di Mataram:

Konflik antara masyarakat Bali di Karang Lelede dan masyamkat Sasak di Karang Tapen pada tahun 2003 bermula dari konflik individu antara seorang warga Bali dari luar wilayah Cakranegara dengan seorang warga Sasak dari Sekarbela. Pemicu konflik ini adal<1h peristiwa saling senggol antara kendaraan warga Bali dan warga Sasak itu. Kejadian ini berlangsung di luar wilayah Karang Lelede dan Karang Tapen, yakni di wilayah Sekarbela. Peristiwa tersebut berlanjut dengan cekcok mulut dan diikuti dengan perkela1'1ian yang tid:;ik

seimbang antara kedua pelaku konflik. Warga SEikarbela yang terdesak dalam perkelahian tersebut kemudian bertandang ke kampung Karang Tapen untuk meminta bantuan. lsu yang

berkembang pada waktu itu adalah adanya oran!J Islam yang diserang oleh orang Hindu. Maksud disebarluaskannya isu tersebut adalah untuk memancing emosi dan solidaritas agama masyarakat Karang Tapen (M. Natsir, dkk., 2005: 18)

Selain peristiwa tersebut, peneliti juga mendapat informasi bahwa pada awal

tahun 2006 pernah terjadi bentrokan antara umat Islam dan umat Hindu di

Kelurahan Karang Jangkong dan Karang Pule Mataram. Bentrokan dipicu

oleh permasalahan sepe/e oleh pemuda masing-masing kelompok, yakni

ketersinggungan seorang warga hindu dengan perilaku pemuda muslim yang

mengendarai sepeda motor dengan kencang (ngebut). Selanjutnya

berkembang menjadi masalah kolektif, menyebar ke seluruh penduduk

dengan isu antara lain yaitu kampung mereka akan diserbu. lsu itulah

kemudian membangkitkan solidaritas masyarakat untuk bersama-sama

(19)

Menurut asumsi peneliti, konflik tersebut bisa meluas karena masing-masing

kelompok merasa memi1iki identitas yang sama, yakni identitas agama Islam

dan Hindu. Karena merasa identitas kelompoknya terancam oleh kelompok

lain, maka para anggota kelompok masing-masing memiliki tanggung jawab

untuk mempertahankan harga diri kelompok dan anggotanya. Hal ini sesuai

dengan penjelasan Brown (2005) bahwa ada hubungan antara identitas dan

self esteem anggota suatu kelompok. lni juga menunjukkan interes, seberapa

tinggi rasa simpati anggota pada kelompoknya.

Di samping itu, konflik dapat muncul ke permukaan antara lain dimungkinkan

karena adanya perbedaan persepsi dan perilaku yaitu dalam bentuk

prasangka. Adanya prasangka masing-masing lcelompok merupakan bentuk

pertahanan harga diri ketika identitasnya terancarn oleh kelompok lain.

Sebagaiman menurut Sherif (dalam Brown, 2005) bahwa ーイ。セ。ョァォ。@ berakar

pada konflik kepentingan riil atau konflik yang diterima tentang keberadaan

konflik kepentingan antara sebuah kelompok dengan kelompok lain. Selain

itu, Kimbal Young (dalam Abu Ahmadi, 2000) menyatakan bahwa prasangka

mempunyai ciri khas pertentangan antarkelompok yang clitandai oleh kuatnya

ingroup dan outgroup.

Dengan penjelasan di atas dapat diperkirakan bahwa adanya hubungan

(20)

prasangka dapat menciptakan konflik antarkelompok. Sedangkan identitas

sosial yang didapat dalam sebuah kelompok dapat memperkuat prasangka

yang telah ada. Kemudien, bagaimana dengan mahasiswa sebagai generasi

muda yang merupakan calon intelektual dan memiliki intelegensi tinggi?

Apakan dengan adanya perbedaan identitas tetap merniliki prasangka

terhadap kelompok mahasiswa lain yang bisa memicu timbulnya konflik?

Ataukah dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki dapat mengikis prasangka

yang ada karena konflik masa lalu?

Yang jelas menurut Alex Sobur (2003) bahwa prasangka terhadap manusia

lain bukanlah suatu tanggapan yang dibawa sejak lahir, tetapi yang dipe/ajari.

Singkatnya, kita belajar dari orang lain rnenggunakan jalan pintas mental

untuk berprasangka. Se'anjutnya Alex Sobur (2003) menjelaskan bahwa

sebagai anak-anak, kita melalui tahap-tahap yang disebut para psikolog

sebagai proses modeling, identifikasi, dan sosialisasi. Selama proses inilah

prasangka bisa diperoleh.

Sementara itu ada pendapat yang menyebutkan bahwa orang yang memiliki

intelegensi tinggi lebih sulit berprasangka karena orang-orang seperti ini

bersifat dan bersikap kritis (Abu Ahmadi, 2003). Selain itu, menurut Wibowo

(1988) bahwa semakin tinggi tingkat intelegensi seseorang semakin besar

(21)

atau membangun kesannya mengenai obyek stimulus, hal ini dikarenakan

orang yang cerdas cenderung lebih hati-hati serta berupaya untuk

menghimpun informasi yang lebih lengkap sebelum menarik suatu

kesimpulan.

Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti

bermaksud melakukan penelitian tentang "Perbedaan Prasangka

Antarkelompok Pada Mahasiswa lnstitut Agama Islam Negeri (IAIN) dan

Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Hindu n」セァ・イゥ@ (STAHN) di Mataram

Nusa Tenggara Barat''.

1.2. ldentifikasi Masalah

Berdasarkan Jatar belakang masalah, maka masalah penelitian ini dapat

diidentifikasi sebagai berikut:

1. Apakah ada perbedaan prasangka pada mahasiswa lnstitut Agama Islam

Negeri (IAIN) dan mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri

(STAHN) di Mataram?

2. Kelompok mahasiswa manakah yang memiliki pra$angka lebih besar?

3. Seberapa besar komponen prasangka (kognitif, afektif dan konatif)

berpengaruh terhadap prasangka antarkelompok pada mahasiswa IAIN

(22)

4. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pembatasan masalah yaitu menetapkan suatu masalah yang telah

diidentifikasi dan ruang lingkupnya untuk dijadikan inti dalam penelitian.

Sedangkan perumusan masalah akan menguraikan secara jelas masalah

yang akan diteliti.

1.2.1.

Pembatasan masalah

1.2.1.1.

Prasangka

Secara umum prasangka dapat berkonotasi positif maupun negatif. Dalam

penelitian ini akan difokuskan pada kedua jenis ーイ。ウ。ョセQォ。@ tersebut walaupun

prasangka negatiflah yang memungkinkan terjadinya konflik antarkelompok.

Sedangkan prasangka yang dimaksud dalam penelitian ini adalah prasangka

berdasarkan identitas keagamaan masing-masing kelompok mahasiswa. Hal

ini karena orang sasak secara umum menyebut orang h1indu dengan sebutan

orang Bali, terlepas orang Bali tersebut beragama hindu atau bukan. Oleh

karena itu, prasangka diartikan sebagai suatu sikap, perasaan dan evaluasi

seseorang atau sekelompok orang baik positif maupun negatif terhadap

seseorang atau kelompok lain semata-mata karena orang tersebut

merupakan anggota kelompok lain yang berbeda dengan kelompokr1ya

(23)

Selanjutnya dalam penelitian ini yang menjadi objek pnasangka adalah

mahasiswa JAIN Mataram dan STAHN Mataram. Artinya, ketika mahasiswa

JAIN Mataram berprasangka maka mahasiswa STAHN Mataram merupakan

objek prasangka. Sedangkan ketika mahasiswa STAHi\! Mataram

berprasangka maka objeknya adalah mahasiswa IAIN 11/lataram.

1.2.1.2. Mahasiswa

Yang dimaksud mahasiswa adalah individu yang terdaftar dan belajar di

universitas atau perguruan tinggi tertentu. Akan tetapi, dalam penelitian ini

dibatasi pada mahasiswa yang terdaftar.dan aktif sebagai peserta didik ai

JAIN Mataram dan STAHN Mataram dengan tingkat 02, 03, dan strata satu

(81) pada tahun ajaran 2006/2007. Penelitian ini <:1kan dilakukan pada

kelompok mahasiswa lnstitut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram dan

Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN) Mataram.

1.2.2. Perumusan masalah

Berdasarkan batasan permasalahan di atas, maka penelitian ini akan

berusaha menjawab pertanyaan "Apakah Ada Perbedaa"l Prasangka

Antarkelompok Pada Mahasiswa lnstitut Agama Islam NHgeri (IAIN) dan

Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHl\I) di Mataram Nusa

(24)

1.3.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian akan menjelaskan secara spesifik apa yang ingin dicapai

dalam penelitian ini. Bagian ini juga memuat manfaat teoritis maupun praktis

dari hasil penelitian.

1.3.1. Tujuan penelitian

Sesuai dengan tema penelitian ini, maka tujuan penelitian dapat dirumuskan

sebagai berikut:

1. Mengetahui apakah ada perbedaan prasangka pada kedua kelompok

mahasiswa tersebut.

2. Mengetahui kelompok mahasiswa manakah yang memiliki prasangka

lebih besar.

3. Mengetahui komponen prasangka (kognitif, afektif dan konatif) 111ana yang

lebih berpengaruh terhadap prasangka antarkelompok pada mahasiswa

JAIN Mataram dan STAHN Mataram.

1.3.2. Manfaat penelitian

1. Manfat Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap

(25)

dimensi-dimensi teori yang mengkaji masalah interaksi sosial antar kelompok yang

berbeda.

2. Manfaat Praktis

Selain memberikan manfaat akademis, penelitian ini di11arapkan juga

memberikan sumbangan praktis terutama memperkaya hasil-hasil penelitian

dalam rangka mengidentifikasi hambatan-hambatan bagi berlangsungnya

proses pembauran dan menghindari terjadinya konflik antarkelompok. Selain

itu, mencoba memberikan gambaran prasangka yang tmjadi dalam interaksi

antarkelompok mahasiswa yang memiliki ideologi berbeda di Mataram Nusa

Tenggara Barat. Melalui pengidentifikasian tersebut, maka dipikirkan

pemecahan baik secara konseptual maupun operasional masalah-masalah

yang berkaitan dengan keanekaragaman kelompok mahasiswa dan

masyarakat.

1.4. Sistematika Penulisan

Skripsi

Dalam sistematika penuJisan ini paneliti menggunakan sistematika yang

sudah baku dalam penulisan skripsi, yakni menggunakan petunjuk penulisan

(26)

Bab 1 merupakan pendahuluan. Bab ini berisikan latar belakang masalah,

perumusan masalah penelitian yang berupa batasan serta perumus.:in

masalah, tujuan penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab 2 merupakan kajian pustaka yang berisikan segala teori yang menunjang

penelitian kali ini. Bab ini berisikan mengenai prasangka, kategorisasi dan

stereotip, sumber penyebab prasangka, teori tentang prasangka yang

digunakan dalam penelitian dan tentang mahasiswa. Bab ini dilengkapi

dengan kerangka berpikir dan hipotesis dari penelitian ini.

Bab 3 merupakan metocJologi penelitian. Bab ini meliputi metode yang tepat

untuk pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian. Termasuk

didalamnya adalah pendekatan penelitian, metode yanu dipakai, populasi,

serta samplingnya, dan terdapat pula metode analisa

data.

BAB 4 merupakan presentasi dan analisa data. Pada bab ini dijelaskan dan

dijabarkan data hasil penelitian yang telah didapatkan 「Qセイゥォオエ@ analisa data

berdasarkan statistika.

BAB 5 berisikan kesimµulan, diskusi dan saran. Pada bab akhir ini peneliti

(27)

menganalisanya dengan teori-teori yang terkait dengan penelitian ini serta

menyampaikan saran berdasarkan atas proses dan hasil penelitian yang

(28)

Dalam bab kedua ini, peneliti akan menguraikan tentang deskripsi teoritik,

kerangka berpikir, dan hipotesis yang diajukan dalam penelitian.

2.1. Deskripsi Teoritik

Dalam deskripsi teoritik ini akan dijelaskan tentang landasan teori tentang

prasangka yang digunakan dalam penelitian ini.

2 .1.1 . Prasangka

2.1.1.1. Pengertian prasangka dan komponen kognitif, afektif dan konatif

Prasangka atau prejudice berasal dari l<ata Latin prejudicium, yang

pengertiannya sekarang mengalami perkembangan sebagai berikut

(Soelaeman, 2005):

a. Semula diartikan sebagai suatu preseden, artinya keputusan di :imbil atas

dasar pengalaman masa lalu.

b. Dalam bahasa inggris mengandung arti pengambilan keputusan tanpa

penelitian dan pertimbangan yang cermat, tergesa-(Jesa atau tidak

(29)

c. Untuk mengatakan prasangka, dipersyaratkan pelibatan unsur emosional

(suka-tidak suka) dalam keputusan yang telah diambil tersebut.

Selanjutnya secara harfiah, prasangka dapat diberi arti atau diberi pandangan

dengan prapendapat, anggapan dasar, purbasangka, pendapat pendahuluan

dan sebagainya. Oleh karena sifat prasangka yang belum menetap, maka

prasangka dapat menjurus pada pengertian yang baik dan yang jelek, positif

dan negatif, sehingga merupakan pendapat yang bisa berubah-ubah atau

diubah, dipengaruhi, dan juga dapat digunakan untuk rnenafsirkan segala

fakta tanpa berdasarkan fakta yang meyakinkan (Alex Sobur, 2003). Artinya,

prasangka dapat diubah dan rnengubah fakta yang diterima dan

dikumpulkan, yang rnungkin positif rneyakinkan atau negatif mengaburkan

atau juga menguntungkan dan merugikan serta melemahkan.

Allport (dalam Mar'at, 1982) rnengatakan bahwa sikap prasangka bersifat

"thinking ill of the others". Perkataan tersebut mengimplikasikan bahwa

dengan prasangka , seseorang atau sekelompok orang menganggap buruk

atau memandang negatif orang lain secara tidak rasional. Selain itu definisi

prasangka yang berkonotasi negatif juga ditemukan pada definisi-definisi

(30)

Seperti yang diungkapkan oleh Baron & Byrne (dalam Sarwono, 20(12) bahwa

prasangka adalah sikap yang negatif terhadap kelompok tertentu at<iu

seseorang, semata-mata karena keanggotaannya dalam kelompok tertentu.

Sedangkan menurut Sherif & Sherif, seperti yang dikutip Alex Sobur (2003),

prasangka adalah suatu istilah yang menunjuk pada sikap yang tidak

menyenangkan (unfavourable attitude) yang dimiliki oleh anggota suatu

kelompok terhadap kelompok lain berikut anggota-angf1otanya yang

didasarkan atas norma-norma yang mengatur perlakuan terhadap

orang-orang di luar kelompoknya. Taylor, dkk (dalam Simo Walgito, 2002)

mendefinisikan prasanglca sebagai evaluasi kelompok atau seseorang yang

mendasarkan diri pada keanggotaan di mana ウ・ウ・ッイ。ョAセ@ tersebut menjacli

anggotanya, prasangka ini mengarah pada evaluasi nef1atif.

Sementara itu Brehm & Kassin (dalam Tri Dayakisni dan Hudaniah, 2003)

berpendapat bahwa prasangka adalah perasaan negatif yang ditujukan

terhadap seseorang berdasar semata-mata pada keang1Jotaan mereka dalam

kelompok tertentu. Kimbal Young (dalam Abu Ahmadi, 2000) menyatakan

bahwa prasangka mempunyai ciri khas pertentangan antara kelompok yang

ditandai oleh kuatnya ingroup dan outgroup. Di samping itu, Harding dkk,

seperti yang dikutip Alex Sobur (2003), mendefinisikan prnsangka sebagai

sikap yang tidak toleran, tidak fair, atau tidak favourable terhadap

(31)

Berdasarkan pengertian-pengertian prasangka yang clikemukakan oleh para

ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa prasangka merupakan "suatu

sikap, perasaan, atau evaluasi negatif individu atau kelompok terhadap

seseorang atau kelompok tertentu di luar kelompoknya."

Seperti halnya semua sikap, prasangka terdiri dari tiga unsur, yaitu kognitif,

emosi dan perilaku (Matt Jarvis, 2006). Berikut dijelasl<an ketiga unsur

tersebut:

1. Komponen kognitif

Komponen kognitif berisi persepsi, belief, dan harapan individu terhadap

berbagai kelompok sosial. Belief dan harapan yang ditujukan pad a anggota

dari kelompok tertentu dapat beragam sejalan dengan dimensi yang

dimilikinya. Dimensi tersebut di antaranya adalah simple, tidak akurat, dan

dipegang banyak orang. Suatu belief yang simple, tidak akurat, dan

dipegang banyak orang disebut sebagai suatu stereotip (Endang Sulaiman,

1998). Stereotip sebagai komponen kognitif merupakan keyakinan tentang

sifat-sifat pribadi yang dimiliki orang dalam kelompok atau kategori sosial

tertentu (Sears dalam Eko Sumarno, 2003).

Disamping itu, Abu Ahmadi (2002) menjelaskan bahwa l<omponen kognitif

(32)

pengetahuan, pengalaman, pandangan, dan keyakinan serta

harapan-harapan individu tentang obyek atau kelompok obyek tertentu. Penge!ahuan

yang dimiliki tentang objek sikap tersebut terlepas benar atau salah

(Soelaeman, 2005). Dengan kata lain, berhubungan dengan bagaimana

orang mempersepsi terhadap objek sikap sehingga disebut juga komponen

perseptual (Walgito, 2002).

Komponen ini juga berhubungan dengan beliefs, ide, dan konsep yang

pertama-tama berhubungan langsung dengan pemikiran dan penalaran

seseorang (Mar'a!, 1984). Beliefs (kepercayaan) yang sanga! pen!ing

bergantung pada sistem sikap yang merupakan evaluative beliefs; mencakup

cirri-ciri menyenangkan atau tidak menyenangkan, menguntungkan atau tidak

menguntungkan, berkualitas baik atau buruk dan belie·fs tentang cara

merespons yang sesuai dan tidak sesuai terhadap objek (Alex Sobur, 2003).

2. Komponen afek!if

Komponen afektif merujuk pada emosionalitas terhadap objek. Objek

dirasakan sebagai sesuatu yang menyenangkan atau tidak menyenangkan,

disukai atau tidak disukai (Alex Sobur, 2003

&

Bimo Walgito, 2002).

Termasuk di dalamnya friendliness dan unfriendiiness terhadap obyek

prasangka dan perasaan-perasaan tertentu yang memberikan corak

(33)

rasa bangga, simpati, kedekatan atau identifikasi. Sed;angkan pada sisi

negatifnya dapat berbentuk perasaan-perasaan jijik, takut, iri, tersaingi,

antipati, dan bahkan benci terhadap individu atau kelompok yang dijadikan

obyek prasangka (Endang Sulaiman, 1998).

Selanjutnya dalam komponen afektif ini akan selalu terlihat ego seseorang di

mana ego tersebut bersifat subyektif dalam posisi tertentu yang akhirnya

menentukan dimensi afektif. Scott (dalam Mar'at, 1984) mengukur dimensi

afektif ini berdasarkan konteks relevansi sebagai berikut:

a. Arah atau valensi dari sistem sikap akan menentukan perasaan positif

dalam rangka pemberian suatu nilai, di samping itu perasaan negatif

akan menilai suatu sikap yang menghindar atau merusak.

b. lntensitas dari pengambilan sikap terhadap obyek ditentukan pula oleh

sistem sikapnya sendiri.

c. Sikap ambivalen akan menentukan perasaan positif dan negatif.

d. Arti daripada prasangka, stereotip dihayati sebagai suatu masalah yang

riil.

e. Derajat tindakan ai<an banyak ditentukan oleh komponen afektif yang

mewarnai keterlibatan diri sendiri.

Oleh karena itu, komponen afektif ini secara operasional akan mewarnai

penghayatan terhadap masalah-masalah berdasarkan perasaan dan

(34)

sumber terbentuknya sistem sikap dalam menentukan i:iistem norma dan

nilai.

3. Komponen perilaku (konatif)

Komponen konatif merupakan komponen yang berhubungan dengan

kecenderungan bertindak terhadap objek sikap, baik positif maupun negatif.

Sikap positif membuat seseorang akan membantu atau menolong maupun

menyokong objek. Sikap negatif berarti berusaha menghindari,

menghancurkan atau merugikan objek (Alex Sobur, 2003). Hal senada juga

diungkapkan oleh Abu Ahmadi (2002), bahwa kecenderungan tersebut bisa

dalam bentuk memberikan pertolongan, menjauhkan diri, dar, sebagainya.

Sedangkan Soelaeman (2005), mengartikan komponen ini sebagai

kecenderungan bertingkah laku bila bertemu dengan objek sikapnya, mulai

dari bentuk yang positif (tindakan sosialisasi) sampai pada yang sangat aktif

(tindakan agresif).

Komponen ini akan menentukan sebenarnya diskrepansi antara kor1ponen

kognitif dan komponen afektif. Terlihat bahwa dalam tindakan sejaul1 mana

peranan dari penalaran seseorang terhadap perasaan-perasaannya untuk

akhirnya menentukan tindakan-tindakan atau tinykah lal<Unya. Dalam hal ini

terlihat korelasi dari tingkat kemajuan kognitif dan afektif seseorang.

(35)

ditentukan oleh pengalaman yang diolah secara rasional dan akhirnya

menentukan tindakan atau keputusan. Dengan sendirinya faktor lingkungan

sangat menentukan dalam pembentukan tindakan ini yang sejauh mana

mendukung pembentukan prasangka atau stereotip.

2.1.1.2. Kategorisasi dan stereotip

Dalam berpikir dan mempersepsikan sesuatu kita sering melakukan

penggolongan atau per,gelompokan. Proses pengambilan keputusan dengan

jalan pengelompokan benda ke dalam kelompok tertentu ini disebut

kategorisasi. Sedangkan proses pengkhususan kategori sampai pengambilan

keputusan disebut bracketing process atau proses penyempitan (Soelaeman,

2005). Kategorisasi ini berfungsi untuk mempermudah proses adaftasi

dengan lingkungan dan agar individu memiliki pedoman yang jelas dalam

bertingkah laku.

Alex Sobur (2003) menjelaskan bahwa kategorisasi pada dasarnya

merupakan suatu proses yang netral. Artinya, suatu benda ditetapkan dalam

kategori tertentu tetapi individu tidak ikut menilai. Jika individu ikut

memberikan penilaian, baik langsung maupun tidak langsung melalui proses

pelaziman (conditioning), kemungkinan besar gagasan atau gambaran

negatif akan melekat atau menetap pada orang tersebut Konsep yang

(36)

dapat didefinisikan sebagai suatu tanggapan atau gambaran mengenai sifat

atau watak pribadi orang lain atau kelompok lain yang bercorak negatif akibat

kurangnya informasi dan sifatnya yang subyektif.

Sedangkan Feldman (dalam Sarwono, 2006) menyatakan bahwa

terbentuknya stereotip disebabkan oleh kategorisasi sosial. Dalam

kategorisasi sosial, individu menyederhanakan dunia sosial dengan

menggolong-golongkan berbagai hal yang dianggap ュQセューオョケ。ゥ@ ka1akteristik

yang sama ke dalam suatu kelompok tertentu. Sesuai clengan prinsip

heuristic, stereotip ini bermanfaat untuk mengefisienkan proses di dalam

kognisi seseorang, sehingga ia tidak perlu lagi berpikir terlalu sulit dan lama

sebelum bereaksi terhadap orang lain atau kelompok lain.

Baik secara teoritis maupun faktual, prasangka suli! dipisallkan dari stereotip.

Meminjam kata Lepore dan Brown seperti yang dikutip Sarwono (2006)

bahwa stereotip memang berhubungan dengan prasangka, yaitu prasangka

mengaktifkan stereotip dan stereotip menguatkan prasangka. Konsep

stereotip ini pertama kali diperkenalkan oleh Walter Lippman, seorang

komentator politik. Lippman dalam bukunya yang berjudul Public Opinion

menjelaskan bahwa stereotip merupakan suatu "gambaran dalam pikiran"

(37)

apa yang dimaksud oleh seseorang atau mempengaruhi cara pandang

seseorang (Alex Sobur, 2003).

Sherif & Sherif (dalam Koeswara, 1988) mendefinisikan stereotip sebagai

kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok terhadap gambaran

tentang kelompok lain berikut anggota-anggotanya. SeGara kogni!if, stereotip

adalah penggeneralisasian yang dilakukan hanya berdasarka11 keanggotaan

seseorang dalam suatu kategori kelompok tertentu (Santrock dalam

Sarwono, 2006). Samovar, seperti yang dikutip oleh Endang Kironosasi

(1996) menjelaskan stereotip sebagai sebuah keyakinan, kesan atau

bayangan mengenai suatu kategori atau kelompok orang-orang tertentu yang

terlalu digeneralisasikan, disederhanakan, atau dibesar-besarkan

berdasarkan pengetahuan yang kurang memadai. Sememtara itu George

Boeree (2006) mendefinisikan stereotip sebagai sekumpulan sifat-sifat

tertentu yang kita atributkan kepada sekelompok orang tanpa pertimbangan

rasional dan logis.

Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, bisa disimpulkan bahwa

stereotip adalah "suatu keyakinan, gambaran, atau tangQapan mengenai sifat

atau watak orang lain atau kelompok lain yang terlalu digeneralisasikan

tanpa pertimbangan yang rasiona/ dan logis yang disebabkan o/eh

(38)

Salah satu cara yang banyal< dipergunakan untuk mer.yebarkan prasangka

ialah dengan perantara stereotip ini. Kebanyakan stemotip yang bersifat

kurang menyenangkan suatu kelompok diteruskan atau disebarkan secara

serampangan dan tanpa banyak dipikirkan dalam kehidupan sehari-hari.

dalam bentuk lelucon serta kebiasaan dalam cara berbicara.

Apa yang menyebabkan timbulnya stereotip? Hal ini dijelaskan oleh Baron

dan Paulus, seperti yang dikutip Alex Sobur (2003), ada beberapa faktor yang

tampaknya berperan. Pertama, sebagai manusia kita cenderung membagi

dunia ini dalam dua kategori; kita dan mereka. Lebih jauh, orang yang kita

persepsi sebagai di luar kelompok kita dipandang sebagai lebih mirip satu

sama lain karena kita kGkurangan informasi tentang mereka, kita cenderung

menyamaratakannya dan menganggapnya homogen. f(edua, stereotip

tampaknya bersumber dari kecenderungan kita untuk melakukan kerja

kognitif sesedikit mungkin dalam berpikir mengenai orang lain. Dengan

memasukkan orang ke dalam kelompok, kita dapat mengasumsikan bahwa

kita tahu banyak tentang mereka dan melupakan tugas kita untuk memahami

mereka sebagai individu.

Sementara itu Samovar (dalam Kironosasi, 1996) menyebutkan ada

(39)

1. Arah (directon) adalah suatu penilaian dianggap sebagai positif atau

negatif, disenangi atau tidak disenangi.

2. lntensitas yaitu seberapa kuat akan suatu stereotip.

3. Ketepatan, artinya ada stereotip yang betul-betul tidak menggambarkan

kebenaran, ada yang setengah benar, dan ada yang sebagian saja tidak

tepat. Walaupun stereotip bisa betul-betul tidak menggambarkan

kebenaran, tetapi banyak juga stereotip yang berkembang didasarkan

pada pemantapan dan generalisasi yang berlebihan mengenai suatu

fakta, jadi ada unsur benarnya.

4. lsi (content), artinya sifat-sifat (karakter) te:ientu dihubungkan dengan

suatu kelompok. Tidak semua orang dalam kelompok menyandang

stereotip. Meskipun ada beberapa stereotip yang dibentuk secara luas,

namun ada variasi-variasi di dalam isi dari stereotip untuk

l<elompok-kelompok tertentu dalam suatu masyarakat yang luas. Yang harus diingat

bahwa isi (content) dari setiap stereotip berubah melalui waktu.

Berdasarkan penjelasan tentang penyebab timbulnya stereotip dan

dimensi-dimensinya di atas, maka dapat disimpulkan bahwa stereotip itu merupakan

proses kognitif. Stereotip sendiri juga merupakan salah satu bentuk sumber

kognitif dari prasangka. Dengan demikian, kita kembali pada pendapat

(40)

dengan prasangka, yaitu prasangka mengaktifkan stereotip dan stereotip

menguatkan prasangka".

2.1.1.3. Sumber penyebab prasangka

Orang tidak begitu saja secara otomatis berprasangka terhadap orang lain

atau kelompok lain. Akan tetapi ada faktor-faktor tertentu yang menyebabkan

ia berprasangka, antara lain dijelaskan oleh Hatomo & Arnicun Aziz (2004) sebagai berikut:

1. Orang berprasangka dalam rangka mencari kambing hitam. Dal<im

berusaha, seseorang dapat mengalami kegagalan atau kelemahan tetapi

penyebab kegagalan tersebut sering dicari pada orang lain bukan karena

dirinya sendiri. Orang lain inilah yang dijadikan kambing hitam sebagai

penyebab kegagalannya.

2. Orang berprasangka karena memang sudah dipersiapkan dalam

lingkungannya atau kelompoknya untuk berprasangka.

3. Prasangka timbul karena adanya perbedaan, dimana perbedaan ini

menimbulkan perasaan superior. Perbedaan ini bisa meliputi perbedaan

fisik, perbedaan lingkungan, perbedaan kekayaan, perbedaan status

sosial, perbedaan kepercayaan atau agama, dan pefbedaan norma

sosial.

4. Prasangka timbul karena kesan yang menyakitkan atau pengalaman yang

(41)

5. Prasangka bisa timbul karena adanya anggapan yang sudah menjadi

pendapat umum atau kebiasaan di dalam lingkungan tertentu.

Sedangkan menurut Alex Sobur (2003), prasangka merupakan hasil belajar

yang melalui proses modeling-identifikasi-sosialisasi. Selama proses inilah

prasangka bisa diperoleh. Orang tua dianggap guru utama prasangka,

terutama karena pengaruh mereka paling besar selama tahap modeling, yaitu

masa ketika anak-anak berusia di bawah lima tahun. Modeling adalah proses

saat anak-anak meniru orang lain.

Jika usia anak-anak meningkat dan masuk sekolah, mereka cenderung

terpengaruh oleh teman sebayanya. Selama tahap ini merekci

mengidentifikasi diri dengan meniru model-model mereka. P<ida saat usia

mereka lebih dari 9 tahun, hubungan orang tua mulai menipis dan orang lain

mulai melakukan pengaruh yang kuat pada nilai-nilai dan pola pikir mereka.

Misalnya, dukungan teman sebaya cenderung menjadi serba pentin,;i dan

pada tahap ini sosialisasi telah terjadi. Singkatnya, prasangka terbentuk

selama perkembangannya, baik melalui didikan maupun dengan cara

identifikasi orang lain yang sudah berprasangka.

Sarwono (2006), menjelaskan bahwa prasangka yang berbentuk stereotip

(42)

"sumber sosial" dan "sumber kognitif'. Salah satu surnber sosial adEJlah

perbedaan sosial. Adanya perbedaan status antar kelompok dapat

menimbulkan prasangka yang disandarkan pada proses rasionalisasi dari

perbedaan status tersebut.

Sumber sosial lainnya adalah identitas sosial. Turner dan Tajpel (dalam

Sa1wono, 2006) menyatakan bahwa manusia melakuk:an kategorisasi,

identifikasi, dan perbandingan di mana hal tersebut akan membagi dunia

individu menjadi dua kategori yang berbeda, yaitu orang lain yang satu

kelompok dengannya (ingroup) dan orang lain yang bE!rbeda kelompok

dengannya (outgroup). Anggota outgroup diasumsikan memiliki trait atau sifat

yang kurang menyenangkan, semuanya dipersepsikan memiliki kesamaan

dan sering tidak disukai dibandingkan anggota ingroup.

Selanjutnya, Sarwono (2006) menjelaskan sumber sosial berikutnya adalah

konformitas atau kesesuaian, yaitu perubahan tingkah 1:aku individu karena

adanya keinginan untuk mengikuti keyakinan dan standar orang lain.

Konformitas dapat ditimbulkan karena adanya tekanan. Ada dua macam

tekanan sosial, yaitu ncrmative social influence dan informational social

influence. Normative social influence adalah tekanan sosial untuk bersikap

konform yang merupakan refleksi dari norma sosial yang berlaku. Sementara

(43)

konform yang disebabkan oleh asumsi individu bahwa orang lain memiliki

pengetahuan yang tidak dimilikinya.

Jenis kedua sumber prasangka adalah sumber kognitif. Salah satu bentuk

sumber kognitif adalah kategorisasi sosial. Hal ini ditandai dengan adanya

cara memandang yang lebih buruk terhadap orang lain, komentar ycing

sensitif serta adanya perlakuan yang buruk. Bentuk berikutnya dari :::umber

kognitif prasangka adalah atribusi. lndividu yang berprasangka akan memberi

atribusi atau label yang positif mengenai kelompoknya :sendiri, sebaliknya

membuat atribusi tidak menyenangkan terhadap anggota kelompok lain.

Allport (dalam Soelaeman, 2005) merinci lima perspektif dalam menentukan

sebab-sebab terjadinya prasangka. Keli ma perspektif tersebut merupakan

suatu kontinum, dari penjelasan sifat secara makroskopis histories sampai

pada penyelesaian mikroskopis pribadi. Berikut ini penjEJlasannya:

1. Perspektif historis

Perspektif ini didasarkan atas teori pertentangan kelas, yakni menyalahkan

kelas rendah yang inferior dan sementara merel<a yang tergolong dalam

(44)

2. Perspektif sosiokultural dan situasional

Perspektif ini menekankan pada kondisi saat ini sebagai penyebab timbulnya

prasangka, yang meliputi:

a. Mobilitas sosial. Artinya sekelompok orang yang mengalami penurunan

status (mobilitas sosial ke bawah) akan terus mencari alasan tentang

nasib buruknya dan tidak mencari penyebab sesungguhnya.

b. Konflik antarkelomµok. Prasangka dalam hal ini merupakan realitas dari

dua kelompok yang bersaing meskipun tidak selalu disebabkan oleh

kondisi ekonomi.

c. Stigma perkantoran. Artinya bahwa ketidakamanan dan ketidakpastian di

kota disebabkan "noda" yang dilakukan kelompok tertentu.

d. Sosia/isasi. Prasangka dalam hal ini muncul sebagai hasil dari proses

pendidikan orang tua atau masyarakat di sekitarnya melalui proses

sosialisasi mulai kecil hingga dewasa.

3. Perspektif kepribadian

Teori ini menekankan pada faktor kepribadian sebagi penyebab prasangka

yang disebut dengan teori "frustasi agregasi". Menurut teori ini, keadaan

frustasi merupakan kondisi yang cukup untuk timbulnya tingkah laku agresif.

Frustasi muncul dalam kehidupan sehari-hari yang disebabknn oleh atasan

(status yang lebih tinggi), yang tidal< memungkinkan untuk melakukan

(45)

sering membuat pengalihan (displacement) dari rasa k19salnya kepada

sasaran yang mempunyai nilai sama, namun tidak mernbahayakan dirinya.

Akan tetapi, ada orang yang mengalami frustasi namun tidak memiliki sikap

frustasi. Alas dasar ini para ahli beranggapan bahwa prasangka lebih

disebabkan adanya tipe kepribadian dengan cirri authoritarian personality.

4. Perspektif fenomenologis

Perspektif ini menekankan pada cara individu memandang atau

mempersepsikan lingkungannya sehingga persepsilah yang menyebabkan

prasangka. Sebagai anggota rnasyarakat, individu akan menyadari di mana

atau termasuk etnis mana dia berada.

5. Perspektif na"ive

Perspektif ini menyatakan bahwa prasangka lebih menyoroti objek prasangka

dan tidak menyoroti individu yang berprasangka.

2.1.1.4.

Teori tentang prasangka

Kompleksnya masalah prasangka ini menimbulkan bebEirapa teori yang satu

dengan yang lain berpijak pada pendapat yang berbeda satu dengan yang

lainnya. Teori-teori tersebut ada yang berpusat pada 「。Aセ。ゥュ。ョ。@ prasangka

terbentuk di samping adanya teori yang berpijak bagaimana prasangka itu

(46)

Dayakisni & Hudaniah, 2003). Sebagian dari isi teori telah disebutkan di atas,

narnun untuk lebih memperjelas kerangka teoritis dalarn penelitian ini, peneliti

hanya akan mengulas teori yang digunakan untuk menganalisa

permasalahan dalam penelitian ini secara lebih rinci, yakni Teori ldentitas

Sosial.

Teori ini dibangun alas suatu asumsi bahwa orang secara umum lebih suka

memandang dirinya sendiri secara positif dari pada secara negatif. Karena

sebagian citra diri kita didefinisikan berdasarkan keanm1otaan kita dalam

kelompok, maka hal ini juga menyiratkan bahwa ada preferensi untuk melihat

kelompok kita sendiri dengan sorot mata yang lebih positif dalam

hubungannya dengan kelompok-kelompok yang kita tidak menjadi bagiannya.

Hipotesis utama teori ini adalah bahwa agar sebuah identitas yang

memuaskan diperoleh atau dipertahankan, anggota kelompok harus terlebih

dahulu mencari berbagai keunikan positif yang dimiliki keilompoknya sendiri.

Bila hal ini tidak memungkinkan, maka mereka mungkin .akan mencmi

keanggotaan kelompok alternatif yang menawarkan kesempatan lebih luas

untuk melakukan evaluasi diri yang positif (Brown, 2005). Teori ini

(47)

Menurut para ahli yang membuat teori ini tersohor, identitas sosial "terdiri

atas aspek-aspek dalam citra diri individu, yang berasal dari kategori-kategori

sosial di mana ia merasa menjadi bagiannya" (Tajfel & Turner dalam Brown, 2005). Dengan kata lain, kita membentuk sebagian identitas sosial kita tatkala

menganggap diri sendiri sebagai bagian salah satu kelompok dan bukan

dengan bagian kelompo1< yang lain. Dalam hal ini, kita membuat penilaian

tegas tentang orang sebagai bagian dari 'kita' atau bagian dari 'mereka'.

Selanjutnya Tajfel dan turner (dalam Matt Jarvis, 2006), mengemukakan tiga

proses kognitif dalam menilai orang lain sebagai kelompok "kita" atau

"mereka" sehingga terbentuk identitas sosial masing-masing kelompok.

Ketiga proses tersebut berlangsung menurut urutan tertentu seperti terlihat

pada label di bawah ini:

Tabel. 2.1

Proses tiga tahap dalam teori identitas sosial

Pengelompokan sosial

ldentifikasi

sosial

1----Perbandingan sosial

Tahap pertama adalah pengelompokan sosial. Dalam tahap pertama ini kita

mengidentifikasi diri kita dan orang lain sebagai anggota kelompok sosial.

Kita semua cenderung membuat pengelompokan sosial seperti jender

[image:47.595.39.457.148.588.2]
(48)

Tahap kedua adalah ldentifikasi sosial. Pada tahap kedua ini kita mengambil

identitas kelompok yang kita ikuti. Misalnya, jika kita ュQセョァ・ャッューッォォ。ョ@ diri

kita sebagai seorang mahasiswa, kemungkinan kita akan mengambil identitas

sebagai seorang mahasiswa dan mulai bersikap dengan cara yang kita

percaya sebagai cara bersikap seorang mahasiswa. ldentifikasi kita pada

suatu kelompok akan memberikan suatu makna emosional dan har9a diri kita

akan terkait dengan keanggotaan kelompok.

Tahap terakhir adalah perbandingan sosial. Sekali kita sudah

mengelompokkan diri kita sebagai bagian dari sebuah l<elompok dan

berpihak pada kelompok itu, maka kita cenderung mernbandingkan kelompok

kita dengan kelompok lain. Apabila harga diri kita harus dipertahankan,

kelompok kita harus dibandingkan secara menguntungkan dengan kelompok

lain. lnilah yang penting dalam memahami prasa:igka sebab begitu dua

kelompok mengidentifikasi diri sebagai musuh, mereka terpaksa bersaing

agar harga diri anggota-anggotanya dapat ditegakkan. Maka, persaingan dan

permusuhan di antara kelompok bukan hanya masalah memperebutkan

sarana dan fasilitas, tetapi juga perebutan identitas.

Jadi, teori identitas sosial berpendapat bahwa motif penting yang ada dibalik

sikap dan perilaku antarkelompok adalah motif untuk membentuk dan

(49)

ancaman terhadap identitas sosial akan direspon dengan peningkatan usaha

untuk membuat kelompok ingroup semakin berbeda secara positif dari

kelompok outgroup. Bila ancaman tersebut cukup kuat, maka diferensiasi itu

akan muncul dalam bentuk sikap dan perilaku antarkelompok yang

memandang rendah secara terbuka yang disebut prasangka.

2.1.2. Mahasiswa

2.1.2.1. Pengertian mahasiswa dan karakteristiknya

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001) yang dimaksud dengan

mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan エゥイZセゥァゥN@ Definisi ini sesuai

dengan peraturan pemerintah RI no. 30 tahun 1990 tentang pendidikan tinggi

yang menyatakan bahwa mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar dan

belajar pada perguruan tinggi tertentu. Selanjutnya Sarwono dalam thesisnya,

seperti yang dikutip Siti Komariah (2002) menjelaskan mahasiswa adalah

setiap orang yang secara resmi terdaftar untuk mengikuti pelajaran-pelajaran

di perguruan tinggi dengan batas usia antara 18-30 tahun. Sedangkan

menurut Abu Ahmadi (2003), dilihat dari usia, lembaga clan ruang lingkup

tempat mahasiswa berada antara usia 18-25 tahun dan masih ada c.i

universitas atau perguruan tinggi.

Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa mahasiswa

(50)

tertentu. Oalam penelitian ini dibatasi pada mahasisvva yang terdaftar dan

al<tif sebagai peserta didik dengan tingkat, 02, 03 dan strata satu (81 ).

Lebih jauh Sarwono (dalam Siti Komariah, 2002) menjelasakan tentang karakteristik mahasiswa, yaitu intelektua!itas dan kemudaannya. Menurutnya

mahasiswa adalah insan calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan

perguruan tinggi dididik dan diharapkan menjadi calon intelektual, walaupun

tidak semua sarjana atau orang yang pernah duduk di perguruan tinggi dapat

disebut intelektual. Knopelmacher, seperti yang dikutip Sarwono,

mengemukakan persyaratan sehingga seseorang disHbut sebagai seorang

intelektual, yaitu:

a. lntelektual adalah orang-orang yang berpendidil<an tinggi atau yang

mempunyai pengetahuan setingkat dengan pengetahuan yang diberikan

di pendidikan tinggi.

b. Mereka berminat pada masalah yang menyangkut nasib (destiny)

manusia yaitu masalah moral dan politik.

c. Mereka mampu menyatakan pendirian moral dan

pendirian-pendirian politik mereka secara lisan maupun tertulis.

d. Sifat kritis karena mereka hidup dalam dunia idea, padahal dunia idea

tidak pernah identik dengan dunia nyata. Maka kaurn intelektual selalu

(51)

nyata serta selalu menghendaki perubahan-perubahan dalam dunia ョセ Q。エ。@

ke arah yang mendekati idiilnya.

Selain intelektualitas, mahasiswa juga memiliki ciri kemudaannya (youth).

Kepemudaan menurut Keniston, seperti yang dikutip Siti Komariah, dapat

didefinisikan dari dua sudut, yaitu tema sentral dari kesadaran perkembangan

dan tingkah laku pada tingkat perkembangan tertentu. Yang dimaksJd

dengan tema sentral dari kesadaran dan perilaku pemuda adalah "tnnsion

between self and society". Ketegangan ini disebabkan adanya hasrat untuk

memperoleh kebebasan mutlak (absolute freedom). Pada hakikatnya pemuda

menentang tata sosial walaupun tantangan itu tidak selalu dinyatakan dalam

aktivitas oposisionil.

Terna sentral ini selanjutnya menyebabkan perubahan-perubahan khusus

dan pola pikir serta pola tingkah laku dapat diamati dalam periode ini.

Perubahan itu nampak dalam hubungan antara pemuda sendiri dengan

masyarakat sel<itarnya. Dalam hubungan antara pemuda dan masyarakat ini

dapat terjadi dua hal, yaitu alienasi diri di mana pemuda yang bersangkutan

menjadi submissive terhadap masyarakatnya dan alienasi masyarakat di

mana pemuda yang bersangkutan hanya berorientasi pada

(52)

Jika dilihat dari rentang usia perkembangan individu, rnaka mahasiswa

umumnya berada pada usia dewasa awal yang menurut Hurlock (1999)

memiliki karakteristik tersendiri diantaranya:

a. Masa dewasa awal sebagai masa bermasalah. Pada masa ini individu

mulai mandiri dan mencoba untuk mengatasi masalahnya sendiri.

b. Masa dewasa awal sebagai masa ketegangan emosional. Hal ini karena

individu dihadapkan pada dunia nyata dan harus menghadapinya,

padahal sebelumnya selalu ada orang yang mengarahkan atau

melindungi individu.

c. Di antara perkembangan yang harus dipenuhi yaitu kemampuan untuk

beradaftasi dengan lingkungan baru, memiliki motivasi yang kuat untuk

dianggap dewasa dan ingin diteladani.

Selanjutnya dalam kaitannya dalam kehidupan masyar;akat, mahasiswa

secara garis besar mempunyai peranan sebagai berikut (Abu Ahmadi, 2003):

a.

Agentofchange

b. Agent of development

c. Agent of modernization

Sebagai agent of change mahasiswa bertugas untuk mengadakan

perubahan-perubahan di masyarakat ke arah perubahan yang lebih baik dan

(53)

digunakan demi pengabdian kepada masyarakat agar dapat hidup lebih

bermartabat. Hal-ha! yang tidak sesuai dan menghambat kemajuan haruslah

diganti dengan hal-hal baru yang sesuai dengan tuntutan zaman dengan

tetap memperlihatkan situasi dan kondisi di mana mereka berada.

Sebagai agent of development, mahasiswa bertugas untuk melancarkan

pembangunan bangsa di segala bidang yang bersifat Jisik maupun non fisik.

Dalam kesuksesan pembangunan, peranan mahasiswa tidak bisa diabaikan.

Mahasiswa diharapkan bertindak sebagai pelopor-pelopor dalam

pembangunan karena proses pembangunan akan lanc:ar apabila dilakukan

oleh manusia-manusia yang giat dalam bekerja. Sedangkan sebagai agent of

modernization, mahasi5wa memiliki peran dalam pembaruan. Pembaruan

yang akan diciptakan tidak lepas dengan kondisi masyarakat sekitar. Artinya

bahwa mahasiswa sebagai manusia yang mendapatkan pendidikan cukup

tinggi harus dapat memilih mana yang perlu diubah dan mana yang masih

tetap dipertahankan.

2.2.

Kerangka Berpikir

lndividu sebagai makhl11k hidup mempunyai kebutuhan yang menurut

Abraham Maslow diken;;il sebagai kebutuhan fisik, rasa aman, kasih sayang,

(54)

untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, namun potensi yang ada

pada individu yang bersangkutan terbatas sehingga individu harus meminta

bantuan kepada individu lain. Dari itu terjadilah interak:si sosial, baik

antarindividu, antaraindividu dengan kelompok, atau antarkelompok.

Namun dalam kehidupan masyarakat Indonesia yar.g majemuk terdiri dari

beraneka ragam kelompok masyarakat dan golongan dengan latar belakang

kebudayaan yang berbeda, terkadang terjadi persaingan dan pertentangan

yang dapat menimbulkan ketidakh.armonisan sosial. Persaingan dan

pertentangan ini muncul karena setiap kelompok mcisyarakat memiliki

kepentingan yang berbeda. Kepentingan kelompok inilah yang merupakan

motif atau landasan dari sikap dan perilaku yang dimunculka.1 ketika

berinteraksi dengan kelompok lain. Artinya, tingkah laku kelompok

merupakan refleksi dari kepentingan kelompok itu sendiri.

Ada beberapa istilah lain tentang kepentingan, yaitu "nilai-nilai" (values) dan

"kebutuhan" (needs). Sedangkan istilah kepentingan diartikan sebai;1ai

perasaan orang mengenai apa yang sesungguhnya ia inginkan. Perasaan itu

cenderung bersifat sentral dalam pikiran dan tindakan orang, yang

(55)

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa adanya perbedaan kepentingan

menunjukkan adanya perbedaan nilai-nilai dan kebutul1an dari setiap

kelompok. Menurut Campbell (dalam Rupert Brown, 2005), ketika

kepentingan-kepentingan tersebut tidak kompatibel, maka respon psikologis

sosialnya cenderung negatif seperti sikap berprasangka, penilaian terbias,

dan perilaku bermusuhan. Akan tetapi ketika kepentin9an-kepentingan

tersebut kompatibel atau lebih baik, maka reaksinya akan lebih positif,

misalnya toleransi, adil dan ramah.

Oleh karena itu, dapat dijelaskan bahwa perilaku berprasangka (konflik

tertutup) dilahirkan dari persaingan dan pertentangan ォセイ・ョ。@ adanya

perbedaan kepentingan antarkelompok. Semakin jauh jarak perbedaan ini,

maka semakin kuat prasangka yang akan muncul karena manusia memiliki

kecenderungan untuk mementingkan diri dan kelompoknya sendiri (egoistis).

Menurut Summer (seperti yang dikutip Kironosasi, 1986) kecenderungan ini

karena menganggap kelompoknya lebih baik daripada kelompok lain. Hal ;ni

melahirkan rasa in groups atau we groups yang berlawanan dengan rasa out

groups atau they groups yang bermuara pada sikap etnosentrisme karena

kesamaan ras, agama atau asal usul.

Kesamaan ras, agama, atau asal usul ini secara tidak langsung telah menjadi

(56)

kelompok sendiri lebih baik (ingroup favoritism) akan berimplikasi pada cara

pandang terhadap kelompok lain, misalnya kelompok lain lebih buruk, tidak

berkualitas dan lain sebagainya. Anggapan atau evaluasi yang berkembang

dalam ingroup akan memperkuat prasangka kepada outgroup.

Oleh karena itu, peneliti berasumsi bahwa perbedaan identitas kelo·npok

(perbedaan agama) menunjukkan adanya perbedaan prasangka

antarkelornpok. Berdasarkan hal ini, peneliti hendak rnelakukan penelitian

terhadap prasangka dua identitas kelornpok yang berbeda yakni rnahasiswa

IAIN dan rnahasiswa STAHN. Dalarn penelitian ini peneliti akan rnenguji

hipotesa, "Apakah ada perbedaan prasangka antarkelornpok pada

rnahasiswa lnstitut Agarna Islam Negeri (IAIN) Matararn dan rnahasiswa

[image:56.595.43.458.158.709.2]

Sekolah Tinggi Agarna Hindu Negeri (STAHN) Matararn?"

Tabel 2.2

Bagan Kerangka Berpikir

J

Mahasiswa

l

. \ J .

ldentitas; [ldentitas;

Mahasiswa IAIN Mahasiswa STAHN

1'

v

Kepentingan/Keb11tuhan/ Kepentinuan/Kebutuhan/

Nilai Nilai

.,

.,

(57)

2.3.

Hipotesa

Ho Tidak Ada Perbedaan Prasangka Antarkelompok Pada

Mahasiswa lnstitut Agama Islam negeri (IAIN) dan Mahasiswa

Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (ST.AHN) di Mataram Nusa

H1 Ada Perbedaan Prasangka Antarkelompok Pada Mahasiswa

lnstitut Agama Islam negeri (IAIN) dan Mahasiswa Sekolah

Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN) di Mataram Nusa

(58)

Pada bagian ini akan dijelaskan tentang jenis penelitian, pengambilan

sampel, pengumpulan d1;1ta, dan teknik analisa data.

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian memuat tentang pendekatan yang dipiJih daJam penelitian ini.

Di sini juga diuraikan metode penelitian yang digunakan serta tentang definisi

variabel dan operasionalisasi variabel.

3.1.1.

Pendekatan dan metode penelitian

Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kuantitatif dengan metode komparatif (perbandingan), yaitu dengan

membandingkan prasar.gka dua kelompok mahasiswa dengan background

keagamaan berbeda di Mataram Nusa Tenggara Barat. Menurut Tatang

(2000) penelitian komparatif merupakan penelitian 、・ョセQ。ョ@

memperbandingkan satu variabel yang sama (variabel besar dengan sub-sub

variabelnya) dari dua populasi yang berbeda (dua atau lebih ォセャッューッォ@ atau

satuan subjek penelitian), misalnya antara dua sekolah atau dua jenis

(59)

Sedangkan menurut Suharsimi (1998), titik berat penelitian komparasi

ditujukan pada kelompok subjek penelitian, kemudian baru dilanjutk;:rn

dengan memperhatikan variabel yang diteliti yang ada pada kelo

Gambar

TABEL 1. Proses tiga
Tabel. 2.1
Tabel 2.2 Bagan Kerangka Berpikir
Tabel 3.1 lndikator prasangka
+7

Referensi

Dokumen terkait

Barrett (1992, p. 106), for example, therefore dismisses equal per capita allocation with histori- cal accountability as being politically non-viable: there will be rather no

Metode purposive sampling adalah penentuan sampel berdasarkan kriteria yang telah dirumuskan terlebih dahulu oleh peneliti (Siagian dan Sugiarto, 2002:120). Kriteria perusahaan

Alasan khusus lain adalah Mataram mempunyai angka prevalensi MCF cukup tinggi (MUTHALIB, 1988); demikian pula Banyuwangi, yang barangkali didukung oleh faktor predisposisi

dengan ini telah mengadakan penjelasan atas Dokumen Lelang yang terdiri dari Instruksi Kepada1. Peserta Pengadaan, Lembar Data Pengadaan, Syarat-syarat Umum

Dengan ini kami beritahukan bahwa penawaran Saudara nomor : 0022/KCM/SP/III/2016 Tanggal 10 Maret 2016 Perihal: Penawaran Pekerjaan Pengadaan Mesin 24 Pk dengan nilai

Dari peta zonasi rawan bencana tsunami di pesisir kota Bandar Lampung terlihat pada tinggi gelombang tsunami mencapai 5m daerah yang terkena dampaknya adalah daerah

Oleh karena itu, riset ini melanjutkan penelitian sebelumnya dan mengetahui seberapa besar pengaruh variabel gaya kepemimpinan transformasional, komitmen

return saham pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Apakah pengumuman right issue berpengaruh signifikan