• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi Intra dan Antarbudaya Masyarakat Muslim Kei di Kota Tual

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komunikasi Intra dan Antarbudaya Masyarakat Muslim Kei di Kota Tual"

Copied!
149
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam

(S. Kom. I)

Oleh:

Nurul Ain Kabakoran NIM: 1110051000056

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis yang diajukan untuk

memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar kesarjanaan di UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang penulis gunakan dalam penulisan ini telah

dicantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli

penulis atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka penulis

bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Ciputat, April 2014

(5)

i

Penelitian ini berupaya untuk mengetahui informasi mengenai pribadi seorang muslim Kei dalam berkomunikasi intra dan antarbudaya antarsesama masyarakat di Kota Tual manakah nilai yang paling menonjol antara nilai budaya dan nilai agama. Suku Kei adalah suku asli yang berasal dari Kota Tual-Maluku dan dikenal dengan adat istiadatnya yang kental serta menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma yang ada pada budaya dan adat istiadat tersebut. Namun di Kota Tual tidak semua penduduknya berasal dari suku Kei, ada juga pendatang yang berasal dari berbagai suku seperti bugis, jawa, padang, dan lain-lain.

Dari penjabaran di atas, maka penulis memunculkan pertanyaan, sebagai objek pembahasan skripsi ini, bagaimana komunikasi intra dan antarbudaya masyarakat muslim Kei di Kota Tual, bagaimana komunikasi intrabudaya masyarakat muslim Kei dan masyarakat non-muslim Kei, serta bagaimana komunikasi antarbudaya masyarakat muslim Kei dan masyarakat non-Kei muslim di Kota Tual tersebut.

Teori yang penulis gunakan adalah teori interaksi-simbolik yang dipelopori oleh George Herbert Blumer yang melanjutkan pemikiran dari George Herbert Mead. Menurut Blumer, teori ini berpijak pada premis bahwa manusia bertindak

terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada “sesuatu” itu bagi mereka,

makna tersebut berasal atau muncul dari “interaksi sosial seseorang dengan orang

lain”, dan makna tersebut disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat “proses interaksi sosial” berlangsung.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang berlandaskan pada perspektif subjektif. Subjektif di sini bertujuan untuk mengetahui bagaimana individu menciptakan sesuatu, menginterpretasi, dan menegosiasikan makna serta melihat bagaimana mereka memandang realitas sosial sebagai interaksi sosial.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat muslim Kei dapat berinteraksi dan menjalin komunikasi intra dan antarbudaya dengan baik, aman, dan damai. Pluralitas yang ada di tengah mereka tidak menjadi alasan penyebab timbulnya konflik, adapun konflik yang terjadi tersebut hanya dilakukan oleh pihak tertentu yang sengaja menggunakan isu ras atau kelompok sebagai pemicu konflik. Yang menjadi pegangan masyarakat Kei adalah hukum adat Larvul Ngabal, hukum adat yang mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat Kei dan di dalamnya tidak ada tradisi atau ritual yang bertentangan dengan syariat Islam. Kekeluargaan dan kekerabatan menjadi hukum adat mendasar yang dipegang oleh masyarakat Kei dengan falsafahnya “Ain Ni Ain” sehingga sesama masyarakat Kei dapat melakukan aktivitas komunikasi intrabudaya dengan harmonis walaupun berbeda dalam menganut agama dan sistem kepercayaan. Sedangkan yang membuat langgengnya aktivitas komunikasi antarbudaya adalah konsep ukhuwah islamiyah yang dipegang oleh masing-masing individu. Jadi keduanya saling mendukung dan memengaruhi antara nilai budaya dan nilai agama.

(6)

ii

SWT yang senantiasa memberikan limpahan rahmat dan karunia kepada

hambaNya sehingga skripsi yang berjudul “Komunikasi Intra dan Antarbudaya Masyarakat Muslim Kei di Kota Tual” dapat terselesaikan sesuai dengan waktu yang telah direncanakan. Tak lupa, shalawat dan salam selalu tercurah kepada

Baginda Nabi besar Muhammad SAW serta keluarga, sahabat, dan para pengikut

hingga akhir zaman.

Penyusunan skripsi ini merupakan tugas akhir penulis sebagai persyaratan

dalam menyelesaikan program studi di jenjang Strata Satu (S1) di Fakultas Ilmu

Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan

Komunikasi dan Penyiaran Islam.

Terselesaikannya skripsi ini juga tidak luput dari bantuan pihak luar.

Izinkanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A., selaku Rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Arief Subhan, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi, Suparto, M.Ed., Ph.D., selaku Wakil Dekan Bidang Akademik,

Drs. Jumroni, M.Si., selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan

Kerjasama, Drs. Wahidin Saputra, M.A., selaku Wakil Dekan Bidang

(7)

iii

mendukung dan memberi banyak kemudahan kepada penulis dalam

penyusunan skripsi ini. Jazakumullah Ahsanal Jaza.

4. Umi Musyarofah, M.A., selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan

Penyiaran Islam, yang selalu membantu dan menyemangati penulis.

5. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang atas ilmu dan pengetahuan yang telah diberikan

dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Barakallah Lakum Fii Kulli Haal.

6. Seluruh Staf Tata Usaha Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Seluruh Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan

Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

8. Pemerintah Kota Tual, Pemerintah Adat Kota Tual, Kementrian Agama

Kota Tual, Dinas Pendidikan dan Olahraga Kota Tual, Dinas Pariwisata dan

Kebudayaan Kota Tual, yang turut berperan dalam selesainya penelitian ini,

khususnya kepada Walikota Tual Drs. Hi. M. M. Tamher, Kepala Kantor

Kementrian Agama Drs. H. Arifin Difinubun, M.Sos.I., Tokoh Adat Kei

Ahmad Tamherwarin, S.H dan Muhammad Zein Renhoat, S.Pd.I. Terima

(8)

iv

mendoakan penulis, memberikan dukungan, dan berkorban harta, jiwa dan

raga demi penulis. Semoga Allah selalu mengampuni, menjaga, dan

menyayangi kalian.

10. Kakak dan Adik penulis, Kak Titi, Abang Wan, Ta El, Abang Be dan Dek

Cici yang selalu menyemangati dan menginspirasi penulis.

11. Kakek dan Nenek, Om dan Bibi, Tata dan Abang serta Ponakan-ponakan

yang selalu mencintai dan mendoakan penulis sehingga membuat penulis

tak pernah merasa sendiri.

12. Guru-guru dan kawan seperjuangan penulis selama duduk di bangku MI,

MTs, hingga MA yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat dan berbagi

pengalaman dengan penulis.

13. Keluarga Ciputat Evav. Aunteput, M’piet, Deaudy, Kajee, Bundaeka, SJQung, LinglingNha, Ichaaku, Kak Anna, Dejiyah, Deistia, dan Adelia

yang selalu bersama menikmati suka duka setiap hari di bumi Ciputat.

14. Sahabat terindah Ghafna, Vhy Vhe Vha Yha Khy Nha Nhy Shy dan Lha

terima kasih atas semangat dan dukungannya. Semoga abadi.

15. Tim Hore. Abangfah, Banggun, Tecken, Ilham, Kaablo, Radit, Zhaky,

Bangojan, Bangamin, Banghadi, Bangalvin, Bangfik, Bangamzhy, dan

(9)

v

menuntut pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah.

17. Keluarga KKN Aksara, Paradise Dadut Bulbul Ale Caidi Puji Srohbenk

Kaneng Balika Baina Tami Uyung, seluruh warga Cisarua, Pak Ujang, Ibu

Maryati dan semuanya terima kasih atas kerja sama dan pengalamannya,

terima kasih juga telah mengajarkan penulis arti dari sebuah pengabdian.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh

karena itu, penulis akan menerima segala kritik dan saran dari pembaca sehingga

dapat menjadi acuan pembelajaran bagi penulis. Akhirnya, penulis berharap agar

skripsi ini dapat memberikan manfaat dan sebagai bahan pembanding untuk

penelitian selanjutnya dan pembaca pada umumnya.

Ciputat, April 2014

(10)

vi

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Metodologi Penelitian ... 9

F. Tinjauan Pustaka ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II LANDASAN TEORITIS A. Komunikasi dan Budaya ... 21

 Komunikasi ... 21

 Budaya ... 28

 Komunikasi Sebagai Proses Budaya ... 32

B. Komunikasi Intrabudaya ... 35

C. Komunikasi Antarbudaya ... 40

D. Teori Interaksi-Simbolik ... 48

BAB III GAMBARAN UMUM A. Profil Kota Tual ... 57

B. Infrastruktur Wilayah Kota Tual ... 60

C. Kecamatan Dullah Selatan ... 65

D. Asal Muasal Suku Kei ... 67

(11)

vii

 Komunikasi Intrabudaya Masyarakat Muslim Kei dan

Masyarakat Non-muslim Kei di Kota Tual ... 80  Komunikasi Antarbudaya Masyarakat Muslim Kei dan

Masyarakat Non-Kei Muslim di Kota Tual ... 93

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan... 99 B. Saran ... 100

(12)

1

A. Latar Belakang

Kota Tual adalah sebuah kota di Provinsi Maluku yang merupakan

bagian dari negara Kepulauan Indonesia. Kota Tual pernah menjadi bagian

dari Kabupaten Maluku Tenggara sebelum Undang-Undang Republik

Indonesia Tahun 2007, Nomor 31 disahkan. Pembentukan Kota Tual

sebagai daerah otonom pun pernah dipertentangkan secara hukum oleh

beberapa pihak yang merasa tidak puas, kemudian berakhir di putusan

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang menyatakan bahwa Kota

Tual tetap sah dan memenuhi syarat sebagai kota otonom. Kini Kota Tual

telah berdiri sendiri dan pemerintahan kota di sana telah berjalan efektif.1

Penduduk asli Kota Tual adalah suku Kei sama halnya dengan

Kabupaten Maluku Tenggara. Namun tidak semua penduduk di sana berasal

dari suku asli Kei, melainkan juga berasal dari suku lain yang kemudian

menetap di Kota Tual. Misalnya orang asal suku Jawa, Padang, Bugis dan

Makassar, Buton serta Ambon, yang menetap sebagai pedagang.

Secara khusus, keberadaan hidup masyarakat Kei di Kota Tual

mungkin belum banyak dikenal. Namun dalam catatan sejarah lokal

Kepulauan Kei memiliki keunikan yang terpancar dari kebudayaan

lokalnya. Hal ini terlihat dari kekompakkan masyarakat Kei yang secara

1

BKPMD-Maluku, Gambaran Umum Kota Tual, Artikel ini diakses dari

http://www.bkpmd-maluku.com/index.php/kabupatenKota/Kota-tual/gambaran-umum”, Pada:

[image:12.595.101.514.230.595.2]
(13)

struktural tetap mempertahankan hukum adat tertingginya Larvul Ngabal. Suatu hukum adat yang di dalamnya mengatur semua aspek kehidupan

manusia baik individu maupun komunitas adat Kei.

Dalam interaksi kehidupan sehari-hari pada masyarakat Kei, terdapat

tiga nilai perekat, yakni: (1) Falsafah “Ain Ni Ain Hira Ni Fo Hira Ni It Did Fo It Did”, yang dimaknai sebagai bentuk persaudaraan; (2) Falsafah

“Foing Fo Kut Fauw Fo Banglu”. Nilai foing fo kut ini bermakna

menghimpun beberapa mayang kelapa lalu diikat jadi satu, dengan tujuan

mendapatkan hasil pembakaran yang menghasilkan cahaya untuk menerangi

kehidupan. Sedangkan nilai fauw fo banglu bermakna kemampuan untuk

menciptakan “peluru” untuk dapat membentengi diri dalam menghadapi

serangan; Dalam pengertian ini, peluru tidak bermakna modern, namun

lebih pada pengertian tradisional yang mungkin dimaknai dalam bentuk

mistis. Karena itu foing fo kut fauw fo banglu dapat juga dimaknai bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, dan (3) Falsafah “Vuut Ain Mehe Ni Ngivun, Manut Ain Mehe Ni Tilur”, yang bermakna bahwa semua orang Kei berasal

dari satu keturunan.2

Suku Kei merupakan salah satu suku yang dikenal dengan budaya dan

adat istiadatnya yang kental, mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai

dan norma yang ada pada budaya dan adat istiadat tersebut serta menjadikan

budaya dan adat istiadat sebagai tonggak yang menopang seluruh dimensi

kehidupan. Budaya dan adat istiadat mendapat tempat pertama bagi

2

Elly Kudubun, Agama dan Budaya Lokal Masyarakat Kei, Artikel ini diakses dari

“http://ellykudubun.wordpress.com/2011/03/18/agama-dan-budaya-lokal-masyarakat-kei/”, Pada:

(14)

masyarakat Kei sebab sebelum adanya pemerintah dan datangnya agama di

Bumi Larvul Ngabal lembaga adat dan budaya adat Kei sudah terlebih dahulu berperan.3

Islam merupakan agama pertama yang menyentuh Kota Tual.

Kemudian diikuti agama Kristen dan agama lainnya. Setelah agama datang,

masyarakat Kei pun mulai memeluk agama sesuai keyakinannya tentang

agama paling benar yang harus dianutnya.

Sebagaimana yang telah dijelaskan, salah satu nilai perekat yang ada

pada masyarakat Kei adalah nilai kekeluargaan dan persaudaraan. Oleh

karena itu, memudahkan masyarakat Kei dalam berinteraksi dan menjalin

komunikasi dengan sesama sukunya. Baik sesama agama maupun berbeda

agama. Misalnya sesama muslim Kei maupun antara muslim Kei dengan

non-muslim Kei. Pola komunikasi seperti ini dikenal dengan komunikasi

intrabudaya.

Tidak hanya itu, masyarakat Kei juga bisa berinteraksi dan menjalin

komunikasi secara baik dan sehat dengan masyarakat luar adat Kei seperti

masyarakat Jawa, Padang, Bugis dan Makassar, serta Buton dan Ambon.

Padahal berbeda suku seperti ini tentu berbeda pula bahasa, budaya, dan

adat istiadatnya.

Meskipun terdapat banyak perbedaan, masyarakat muslim Kei dengan

masyarakat non-Kei (Jawa, Padang, Bugis dan Makassar, serta Buton dan

Ambon) muslim tersebut dapat saling berinteraksi tinggal menetap di Kota

3

Elly Kudubun, Agama dan Budaya Lokal Masyarakat Kei, Artikel ini diakses dari

“http://ellykudubun.wordpress.com/2011/03/18/agama-dan-budaya-lokal-masyarakat-kei/”, Pada:

(15)

Tual dan menjalankan aktivitas komunikasi antarbudaya setiap harinya.

Keadaan ini dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya keyakinan,

perkawinan dan perdagangan.

Adanya komunikasi yang terjalin antara masyarakat muslim Kei

dengan masyarakat non-muslim Kei dan masyarakat non-Kei muslim

mendorong penulis untuk lebih jauh mengetahui gambaran secara jelas

mengenai pola komunikasi, penggunaan bahasa, prasangka dan stereotip

yang tumbuh dalam hubungan yang terjadi serta melihat berbagai bentuk

kegiatan yang menunjang terbentuknya hubungan tersebut.

Dalam berkomunikasi, ada dua nilai yang disatupadukan sebagai

seorang muslim Kei, yaitu nilai agama (Islam) dan nilai budaya (adat Kei).

Kedua nilai kemudian memengaruhinya ketika berinteraksi dengan

masyarakat non-muslim Kei dan masyarakat non-Kei (Jawa, Padang, Bugis

dan Makassar, serta Buton dan Ambon) yang beragama Islam. Nilai

manakah yang lebih menonjol antara nilai Islam dan nilai adat Kei.

Untuk memahami interaksi antarbudaya, terlebih dulu kita harus

memahami komunikasi manusia. Memahami komunikasi manusia berarti

memahami apa yang terjadi selama komunikasi itu berlangsung, mengapa

itu terjadi, apa yang dapat terjadi, akibat-akibat dari apa yang terjadi, dan

akhirnya apa yang dapat kita perbuat untuk memengaruhi dan

memaksimal-kan hasil-hasil dari kejadian tersebut.4

4

(16)

Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia. Dengan

ber-komunikasi, manusia dapat saling berhubungan satu sama lain baik dalam

kehidupan sehari-hari di rumah tangga, di tempat kerja, di pasar, dalam

masyarakat atau di mana saja manusia berada. Tidak ada manusia yang

tidak akan terlibat dalam komunikasi.5

Sedangkan budaya berkenaan dengan cara hidup. Selo Soemardjan

dan Soelaeman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil

karya, rasa, dan cipta masyarakat.6 Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya.

Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi,

tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi,

semua itu berdasarkan pola-pola budaya. Budaya adalah suatu konsep yang

membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan

pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama,

waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi

dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi

melalui usaha individu dan kelompok. Budaya menampakkan diri dalam

pola-pola bahasa dan dalam bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku yang

berfungsi sebagai model-model bagi tindakan-tindakan penyesuaian diri dan

gaya komunikasi yang memungkinkan orang-orang tinggal dalam suatu

5

Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 1.

6

(17)

masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu pada satu tingkat

perkembangan teknis tertentu dan pada suatu saat tertentu. 7

Budaya dan komunikasi tak dapat dipisahkan oleh karena budaya

tidak hanya menentukan siapa berbicara dengan siapa, tentang apa, dan

bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan, dan

kondisi-kondisinya untuk mengirim, memerhatikan, dan menafsirkan pesan.

Sebenarnya seluruh pembendaharaan perilaku kita sangat bergantung pada

budaya tempat kita dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan

landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam

pula praktik-praktik komunikasi.8

Komunikasi intrabudaya adalah komunikasi yang terjadi antara

anggota yang berasal dari suatu kebudayaan yang sama. Sedangkan

komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu

budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya.

Menurut Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa, mengatakan bahwa

komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang

berbeda kebudayaan, misalnya antar suku bangsa, antar etnik dan ras, antar

kelas sosial.9

7

Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 18.

8

Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, h. 19.

9

(18)

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini penulis beri

judul: “Komunikasi Intra dan Antarbudaya Masyarakat Muslim Kei di Kota

Tual”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah dalam penelitian ini dibatasi hanya pada

masyarakat muslim Kei dengan masyarakat non-muslim Kei dan

masyarakat non-Kei muslim yang berada di Kota Tual, khususnya di Desa

Tual Kecamatan Dullah Selatan. Dibatasi sebagai berikut:

 Masyarakat asli Kei, terdiri dari beberapa pengurus atau tokoh adat

yang menjadi juru bicara keagamaan, pemerintahan, dan lembaga adat

kebudayaan Kei. Guna memperkuat argumen dari adat.

 Masyarakat muslim Kei dan non-muslim Kei yang berada di Desa

Tual Kecamatan Dullah Selatan.

 Masyarakat non-Kei muslim (masyarakat Jawa, Padang, Bugis dan

Makassar, Buton dan Ambon), yang berada di Desa Tual Kecamatan

Dullah Selatan.

 Dan juga pembatasan terhadap ruang dan waktu kegiatan, seperti

pergaulan sehari-hari dan acara ritual adat tertentu.

2. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah tersebut disusun dalam kerangka

(19)

 Bagaimana komunikasi intra dan antarbudaya masyarakat muslim Kei

di Kota Tual?

C. Tujuan Penelitian

Bertitik tolak pada rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian

ini adalah untuk mengetahui komunikasi intra dan antarbudaya masyarakat

muslim Kei di Kota Tual.

D. Manfaat Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan

acuan atau masukan guna membantu para penulis dalam

penelitian-penelitian selanjutnya yang mengkaji studi komunikasi intra dan

antarbudaya serta memberikan kontribusi pada aspek kebudayaan itu

sendiri.

2. Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu

informasi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan khusunya pada bidang

komunikasi intra dan antarbudaya yang ada hubungannya dengan Program

(20)

E. Metodologi Penelitian

1. Perspektif

Perspektif sering juga disebut paradigma, kadang disebut pula mazhab

pemikiran (school of thought) adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Perspektif adalah definisi situasi atau seperangkat

gagasan yang melukiskan karakteristik situasi dan memungkinkan

meng-ambil tindakan. Suatu spesifikasi jenis tindakan yang layak dan masuk akal

dilakukan orang. Perspektif dijadikan sebagai standar nilai yang

me-mungkinkan orang dapat dinilai (kriteria untuk penilaian).10

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan perspektif subjektif.

Istilah lain dalam perspektif ini adalah humanistik, interpretif,

fenomenologis, konstruktivis, konstruksionis, naturalistik, interaksionis,

interaksional, kualitatif, induktif, holistik, kontemporer, dinamis, dan

lain-lain.

Perspektif subjektif menganggap bahwa pengetahuan tidak

mem-punyai sifat objektif dan sifat yang tetap. Perspektif subjektif bersifat

interpretif dan makna dinegosiasikan. Menurut perspektif ini, realitas sosial

dianggap sebagai interaksi sosial yang bersifat komunikatif. Pendekatannya

kreatif, individu menciptakan apa yang ada “di luar sana”. Perspektif ini

berpendapat bahwa setiap manusia bersifat unik dan fenomena sosial

bersifat sementara serta polisemik (multimakna).

10

(21)

Adapun aliran teori komunikasi yang digunakan dalam penelitian ini

adalah aliran interaksionis. Aliran ini memandang kehidupan manusia

sebagai proses interaksi; seluruh struktur sosial akan eksis dan dibentuk

secara terus-menerus melalui interaksi; aliran ini memfokuskan pada

bagaimana bahasa digunakan dalam menciptakan struktur sosial dan

bagaimana bahasa serta sistem simbol lainnya diproduksi; Menurut aliran

ini makna tidaklah objektif, melainkan diciptakan oleh masyarakat dalam

tindakan komunikasi; dan pengetahuan bersifat situasional tidak universal.11 Salah satu contoh teori dalam aliran interaksionis adalah teori

interaksi simbolik. Teori inilah yang kemudian digunakan oleh penulis

dalam penelitian ini.

2. Metode dan Pendekatan Penelitian

Metode penelitian adalah cara atau strategi menyeluruh untuk

menemukan atau memperoleh data yang diperlukan.12 Penelitian ini

menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif bertujuan untuk

menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan

data sedalam-dalamnya.13

Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode deskriptif analitik. Di mana data-data yang telah diperoleh

di-deskripsikan terlebih dahulu dan kemudian dianalisis. Hanyalah

11

Handout Perkuliahan Gun Gun Heryanto, Ilmu, Konsep, Teori dan Pespektif: Sebuah Landasan Memahami Kerangka Berpikir, KPI UIN Jakarta: Sosiologi Komunikasi Massa, 2010.

12

Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h. 9.

13

(22)

kan situasi atau peristiwa. Penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan

hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi. Metode deskriptif

ialah menitikberatkan pada observasi dan suasana alamiah (naturalistis setting). Dengan suasana alamiah dimaksudkan bahwa penulis terjun ke lapangan. Ia tidak berusaha memanipulasi variabel.14

3. Subjek dan Objek Penelitian

Dalam riset ilmu sosial, hal yang penting adalah menentukan sesuatu

yang berkaitan dengan apa dan siapa yang ditelaah.15 Yang menjadi subjek penelitian dalam penelitian ini adalah warga masyarakat muslim Kei dengan

masyarakat non-muslim Kei dan masyarakat non-Kei muslim yang tinggal

di Desa Tual Kecamatan Dullah Selatan, Kota Tual.

Adapun yang menjadi objek penelitiannya adalah pola komunikasi

yang terjadi pada masyarakat muslim Kei dengan masyarakat non-muslim

Kei dan masyarakat non-Kei muslim dalam kajian komunikasi intra dan

antarbudaya.

4. Waktu dan Tempat Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, penulis terlebih dahulu mengadakan

preliminary research atau pratinjau penelitian. Peninjauan sebelum penelitian dilakukan pada November 2013-Januari 2014, sepanjang itu

penulis mencari tahu dan menelaah tentang gejala-gejala serta fenomena

yang terjadi pada masyarakat setempat dan membaca serta memperdalam

14

Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi dilengkapi Contoh Analisis Statistik, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), h. 24-25.

15

(23)

kajian ilmu yang berhubungan dengan komunikasi antarbudaya untuk

memperkuat teori yang digunakan dalam penelitian. Sedangkan proses

penelitian dan penggarapannya dilakukan pada Februari 2014-April 2014.

Adapun tempat yang dijadikan sebagai objek dalam penelitian ini

adalah Desa Tual, Kecamatan Dullah Selatan, Kota Tual.

5. Sumber dan Jenis Data

Untuk memperoleh data-data yang lengkap dan akurat, penulis

menggunakan data primer dan data sekunder.

a. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari nara sumber

melalui observasi dan wawancara yang dilakukan oleh penulis di

lapangan.

b. Data sekunder adalah data yang penulis peroleh dari sumber-sumber

tertulis seperti yang terdapat dalam buku, jurnal, dokumentasi atau

arsip-arsip dan literatur lainnya yang berkaitan dengan penelitian

yang dilakukan. Data sekunder tidak hanya berupa tulisan tetapi juga

berupa data yang diperoleh dari informan yang mengetahui informasi

tentang apa yang sedang diteliti serta mendukung penelitian tersebut.

6. Teknik Pengumpulan Data

a. Observasi

Secara luas, observasi atau pengamatan berarti kegiatan untuk

me-lakukan pengukuran.16 Proses pengumpulan data primer dengan cara

16

(24)

pengamatan langsung dan melakukan pencatatan terhadap objek-objek

terkait. Yang termasuk dalam teknik observasi adalah interaksi (perilaku)

yang terjadi di antara subjek yang diriset.17 Dalam hal ini penulis mengobservasi atau melakukan pengamatan terhadap masyarakat muslim

Kei ketika berkomunikasi intra dan antarbudaya dengan sesama masyarakat

selama Februari-Maret 2014.

b. Wawancara

Wawancara (interview) adalah pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewancara (pengumpul data) kepada nara

sumber, dan jawaban-jawaban nara sumber dicatat atau direkam dengan alat

perekam (tape recoprder).18 Wawancara merupakan metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh informasi langsung dari

sumbernya.19 Dalam penelitian ini penulis memperoleh data dari nara sumber dengan cara wawancara atau tanya jawab langsung bersama Bapak

Drs. Hi. M. M. Tamher, M.M selaku Walikota Tual, Bapak Ahmad

Tamherwarin, S.H selaku tokoh adat Kei, Bapak Drs. H. Arifin Difinubun,

M.Sos.I selaku Kepala Kantor Kementrian Agama Kota Tual, dan Bapak

Muhammad Zein Renhoat, S.Pd.I selaku pejabat yang mewakili Dinas

Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Tual.

17

Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 110.

18

Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h. 67.

19

(25)

c. Dokumentasi

Penggunaan data dokumentasi dalam penelitian ini adalah untuk

mendapatkan informasi yang berhubungan dengan data-data tentang

berbagai hal yang berhubungan dengan komunikasi intra dan antarbudaya

masyarakat muslim Kei di Kota Tual. Misalnya peta wilayah dan struktur

pemerintahan yang penulis peroleh dari arsip Pemerintah Daerah Kota Tual.

Teknik dokumentasi ini juga digunakan untuk mendapatkan informasi dan

data-data sekunder yang berhubungan dengan fokus penelitian.

7. Analisis dan Interpretasi Data

Data yang terkumpul dalam wawancara mendalam dan

dokumen-dokumen diklasifikasikan ke dalam kategori-kategori tertentu.

Dalam analisis data, penulis menggunakan analisis deskriptif, yaitu

dengan menganalisis setiap data atau fakta yang diperoleh dari lapangan

secara mendalam dan menyeluruh kemudian data atau fakta tersebut

diinterpretasikan dan dilaporkan, diterangkan serta disimpulkan secara luas.

F. Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini, penulis juga mengadakan tinjauan pustaka.

Dengan mengadakan studi pustaka ke Perpustakaan Utama UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi. Penulis melakukan studi pustaka ini guna memastikan apakah

ada kesamaan judul atau tema penelitian terdahulu dengan penelitian yang

(26)

1) Ahmad Syukri, menulis: “Komunikasi Antarbudaya: Studi pada Pola Komunikasi masyarakat suku Betawi dengan Madura di Kelurahan

Condet Batu Ampar”.

Penelitian ini membahas tentang pola komunikasi yang terjadi

antara suku budaya Betawi dan Madura lebih banyak menggunakan

pola komunikasi antarpribadi dan kelompok, dalam kegiatan

sehari-hari, sedangkan komunikasi kelompok digunakan jika ada acara-acara

tertentu.

Adapun perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan oleh

penulis adalah terletak pada subjek penelitian. Yang menjadi subjek

penelitian dalam penelitian Ahmad adalah warga suku Betawi dan

Madura di Kelurahan Condet Batu Ampar. Sedangkan subjek

penelitian penulis adalah warga masyarakat muslim Kei dengan

masyarakat non-muslim Kei dan masyarakat non-Kei muslim di Kota

Tual. Namun objek penelitian dari keduanya yaitu sama-sama

membahas tentang kajian komunikasi antarbudaya.

2) Raden Dimas Anugrah Dwi Satria, menulis “Komunikasi Antar -budaya Masyarakat Adat Baduy Luar dengan Masyarakat Luar Adat

Baduy di Banten”.

Penelitian ini membahas tentang pola komunikasi yang

berlangsung antara suku adat Baduy dan suku luar adat Baduy seperti

dalam pergaulan sehari-hari, dan acara-acara ritual tertentu baik

(27)

Adapun perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan oleh

penulis adalah terletak pada subjek penelitian. Yang menjadi subjek

penelitian dalam penelitian Dimas adalah masyarakat perkampungan

Kaduketug Baduy Luar dan masyarakat luar Baduy. Sedangkan subjek

penelitian penulis adalah warga masyarakat muslim Kei dengan

masyarakat non-muslim Kei dan masyarakat non-Kei muslim di Kota

Tual. Namun objek penelitian dari keduanya yaitu sama-sama

membahas tentang kajian komunikasi antarbudaya, nilai-nilai

komunikasi dan budaya yang terkandung di dalamnya.

3) Siti Asiyah, menulis: “Pola Komunikasi Antar Umat Beragama: Studi Komunikasi Antarbudaya Tionghoa dengan Muslim Pribumi di Rw 04

Kelurahan Mekarsari Tangerang”.

Penelitian ini membahas tentang pola komunikasi antarbudaya

yang terjadi antara warga etnis Tionghoa dengan Muslim Pribumi di

kelurahan Mekarsari Tangerang dalam kegiatan sehari-hari dan

acara-acara tertentu.

Adapun perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan oleh

penulis adalah terletak pada subjek penelitian. Yang menjadi subjek

penelitian dalam penelitian Siti adalah warga etnis Tionghoa dengan

Muslim Pribumi di kelurahan Mekarsari Tangerang. Sedangkan

subjek penelitian penulis adalah warga masyarakat muslim Kei

(28)

di Kota Tual. Namun objek penelitian dari keduanya yaitu sama-sama

membahas tentang kajian komunikasi antarbudaya.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini, yaitu dengan membagi

menjadi beberapa bab, sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan

penelitian, kegunaan penelitian, metodologi penelitian, tinjauan

pustaka, dan sistematika penulisan.

BAB II LANDASAN TEORITIS

Pengertian komunikasi dan budaya, pengertian komunikasi

intrabudaya, pengertian komunikasi antarbudaya, dan teori interaksi

simbolik.

BAB III GAMBARAN UMUM

Profil Kota Tual, infrastruktur wilayah Kota Tual, profil Kecamatan

Dullah Selatan Kota Tual, asal muasal suku Kei, dan keadaan

masyarakat Kei di Kota Tual.

BAB IV HASIL TEMUAN DAN ANALISIS DATA

Penyajian data-data yang diperoleh dari penelitian, berikut

analisis-nya. Yaitu mengenai komunikasi intra dan antarbudaya masyarakat

muslim Kei di Kota Tual.

BAB V PENUTUP

(29)

18

Tema tentang komunikasi bukan hal baru, namun ia lebih menarik setelah

dihubungkan dengan konsep “antarbudaya”. Istilah antarbudaya (interculture)

pertama kali diperkenalkan oleh seorang antropolog, Edward T. Hall pada 1959

dalam bukunya The Silent Language. Karena Hall tersebut hanya menerangkan tentang keberadaan konsep-konsep unsur kebudayaan, misalnya sistem ekonomi,

religi, sistem pengetahuan sebagaimana apa adanya.1

Hakikat perbedaan antarbudaya dalam proses komunikasi baru dijelaskan

satu tahun setelah itu, oleh David K. Berlo melalui bukunya The Process of Communication (an introduction to theory and practice) pada 1960. Dalam tulisan itu Berlo menawarkan sebuah model proses komunikasi. Menurut Berlo,

komunikasi akan berhasil jika manusia memerhatikan faktor-faktor SMCR, yaitu:

sources, message, channel, receiver. Faktor-faktor yang menentukan (source) dan penerima (receiver) ialah kemampuan berkomunikasi, sikap, pengetahuan, sistem sosial, dan kebudayaan. Pada pesan (message) perlu diperhatikan isi, perlakuan pesan, dan perlambangan; sedangkan pada saluran (channel) faktor yang perlu diperhatikan sangat tergantung atas pilihan saluran yang sesuai misalnya (mata)

melihat, (telinga) mendengar, (tangan) meraba atau memegang, (hidung)

membaui, dan (lidah) mengecapi.

1

(30)

Semua tindakan komunikasi itu berasal dari konsep kebudayaan. Berlo

berasumsi bahwa kebudayaan mengajarkan kepada anggotanya untuk

melaksanakan tindakan itu. Berarti kontribusi latar belakang kebudayaan sangat

penting terhadap perilaku komunikasi seseorang termasuk memahami

makna-makna yang dipersepsi terhadap tindakan komunikasi yang bersumber dari

kebudayaan yang berbeda. Paling tidak, karya Hall dan Berlo tersebut telah

merangsang para pakar sosiologi, antropologi, psikologi untuk meneliti

komunikasi antarbudaya selama dasawarsa 1950-1960-an.2

Rumusan objek formal komunikasi antarbudaya baru dipikirkan pada

1970-1980-an. Pada saat yang sama, para ahli ilmu sosial sedang sibuk membahas

komunikasi internasional yang disponsori oleh Speech Communication Association, sebuah komisi yang merupakan bagian Asosiasi Komunikasi Internasional dan Antarbudaya yang berpusat di Amerika Serikat.

“Annual” tentang komunikasi antarbudaya yang disponsori oleh badan itu

terbit pertama kali pada 1974 oleh Fred Casmir dalam The International and Intercultural Communication Annual. Kemudian Dan Landis menguatkan konsep komunikasi antarbudaya dalam Interbational Journal of Intercultural Relations

pada tahun 1977.

Pada tahun 1979 Molefi Asante, Cecil Blake dan Eileen Newmark

menerbitkan sebuah buku yang khusus membicarakan komunikasi antarbudaya,

yakni The Handbook of Intercultural Communication. Sejak itu banyak ahli mulai

2

(31)

melakukan studi tentang komunikasi antarbudaya, misalnya penelitian Asante dan

kawan-kawan pada tahun 1980-an.

Pada akhir 1983 lahir International and Intercultural Communication Annual yang dalam setiap volumenya mulai menempatkan rubrik khusus untuk menampung tulisan tentang komunikasi antarbudaya. Tema pertama tentang

“Teori Komunikasi Antarbudaya” diluncurkan tahun 1983 oleh Gundykunst,

disusul tahun 1988 oleh Kim dan Gundykunst, sedangkan tema metode penelitian

ditulis oleh Gundykunst dan Kim tahun 1984.

Edisi lain tentang komunikasi, kebudayaan, proses kerjasama antarbudaya

ditulis pula oleh Gundykunst, Stewart dan Ting Toomey tahun 1985, komunikasi

antaretnik oleh Kim tahun 1986, adaptasi lintas budaya oleh Kim dan Gundykunst

tahun 1988, dan terakhir komunikasi/ bahasa dan kebudayaan oleh Ting Toomey

dan Korzenny, tahun 1988.

Pada tahun 1990-an, studi-studi komunikasi antarbudaya diperluas meliputi

pula studi diplomasi antarbangsa, misalnya Penelitian Komunikasi Kemanusiaan,

Monograf Komunikasi, Jurnal Komunikasi, Jurnal Komunikasi Internasional dan

Relasi Antarbudaya, Jurnal Studi Tentang Orang Kulit Hitam, dan Jurnal Bahasa

dan Psikologi Sosial.3

McLuhan merupakan orang pertama yang memberikan tekanan ulasan pada

hubungan/ komunikasi antarbangsa karena melihat gejala makin meningkatnya

hubungan dan ketergantungan antarbangsa. Dari gagasan McLuhan itulah lahir

konsep “Tatanan Komunikasi dan Informasi Dunia Baru” yang memengaruhi

3

(32)

perkembangan sebuah penelitian tentang perbedaan budaya antaretnik, rasial dan

golongan di semua bangsa. Faktor-faktor tersebut telah menyulut pesatnya

perkembangan teori dan penelitian yang berkaitan dengan komunikasi

antarbudaya.4

A. Komunikasi dan Budaya

Komunikasi

Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris Communication berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna. Harold Lasswell,

mengatakan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi ialah

menjawab pertanyaan: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect? Jadi, berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan

melalui media yang menimbulkan efek tertentu.5

Komunikasi dapat diartikan sebagai proses peralihan dan pertukaran

informasi oleh manusia melalui adaptasi dari dan ke dalam sebuah sistem

kehidupan manusia dan lingkungannya. Proses pearlihan dan pertukaran

informasi itu dilakukan melalui simbol-simbol bahasa verbal maupun

nonverbal yang dipahami bersama.6

4

Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 1-3.

5

Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), h. 9-10.

6

(33)

Ilmu komunikasi, apabila diaplikasikan secara benar akan mampu

mencegah dan menghilangkan konflik antarpribadi, antarkelompok,

antar-suku, antarbangsa, dan antarras, membina kesatuan dan persatuan umat

manusia penghuni bumi.

Pentingnya studi komunikasi karena permasalahan-permasalahan yang

timbul akibat komunikasi. Manusia tidak bisa hidup sendirian. Ia secara

tidak kodrati harus hidup bersama manusia lain, baik demi kelangsungan

hidupnya, keamanan hidupnya, maupun demi keturunannya. Jelasnya

manusia hidup bermasyarakat. Masyarakat bisa berbentuk kecil, sekecil

rumah tangga yang hanya terdiri dari dua orang suami isteri, bisa berbentuk

besar, sebesar kampung, desa, kecamatan, kabupaten atau kota, propinsi,

dan negara.

Semakin besar suatu masyarakat yang berarti semakin banyak

manusia yang dicakup, cenderung akan semakin banyak masalah yang

timbul, akibat perbedaan-perbedaan di antara manusia yang banyak itu

dalam pikirannya, perasaannya, kebutuhannya, keinginannya, sifatnya,

tabiatnya, pandangan hidupnya, kepercayaannya, aspirasinya, dan lain

sebagainya.

Dalam pergaulan hidup manusia di mana masing-masing individu satu

sama lain beraneka ragam itu terjadi interaksi, saling memengaruhi demi

kepentingan dan keuntungan pribadi masing-masing. Terjadilah saling

(34)

Hakikat komunikasi adalah proses pernyataan antarmanusia. Yang

dinyatakan itu adalah pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain

dengan menggunakan bahasa sebagai alat penyalurnya.

Dalam “bahasa” komunikasi pernyataan dinamakan pesan (message),

orang yang menyampaikan pesan disebut komunikator (communicator)

sedangkan orang yang menerima pernyataan diberi nama komunikan

(communicate). Untuk tegasnya, komunikasi berarti proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan. Jika dianalisis pesan

[image:34.595.94.530.239.617.2]

komunikasi terdiri dari dua aspek, pertama isi pesan (the content of the message), kedua lambang (symbol). Kongkretnya isi pesan itu adalah pikiran atau perasaan, lambang adalah bahasa.7

Gambar 1. Unsur-unsur dalam proses komunikasi

7

Onong U. Effendy, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003), h. 27-28.

Media

Message

Encoding Sender

Response Feedback

Noise

(35)

Komponen/ unsur-unsur dalam proses komunikasi adalah sebagai

berikut:8

Sender: Komunikator yang menyampaikan pesan kepada seseorang atau sejumlah orang. Encoding: Penyandian, yakni proses pengalihan pikiran ke dalam bentuk lambang. Message: Pesan yang merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh

komunikator. Media: Saluran komunikasi tempat berlalunya pesan dari komunikator kepada komunikan. Decoding: Pengawasandian, yaitu proses dimana komunikan menetapkan makna pada lambang yang disampaikan

oleh komunikator kepadanya. Receiver: Komunikan yang menerima pesan dari komunikator. Response: Tanggapan, seperangkat reaksi pada komunikan setelah diterpa pesan. Feedback: Umpan balik, yakni tanggapan komunikan apabila tersampaikan atau kepada komunikator. Dan Noise: Gangguan tak terencana yang terjadi dalam proses komunikasi sebagai

akibat diterimanya pesan lain oleh komunikan yang berbeda dengan pesan

yang disampaikan oleh komunikator kepadanya.

Ilmu komunikasi merupakan ilmu yang mempelajari, menelaah, dan

meneliti kegiatan-kegiatan komunikasi manusia yang luas ruang lingkup

(scope)-nya dan banyak dimensinya. Berikut ini penjenisan komunikasi berdasarkan konteksnya:9

8

Onong U. Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), h. 18-19.

9

(36)

a. Bidang Komunikasi

Yang dimaksudkan dengan bidang komunikasi di sini adalah bidang

kehidupan manusia, di mana di antara jenis kehidupan yang satu dengan

jenis kehidupan yang lain terdapat perbedaan yang khas; dan kekhasan ini

menyangkut pula proses komunikasi. Berdasarkan bidangnya, komunikasi

meliputi jenis-jenis antara lain: komunikasi sosial (social communication), komunikasi organisasional/ manajemen (organization/ management communication), komunikasi bisnis (bussiness communication), komunikasi politik (political comunication), komunikasi internasional

(international communication), komunikasi antarbudaya (intercultural communication), komunikasi pembangunan (development communication)

dan komunikasi tradisional (traditional communication).

Selain jenis-jenis bidang komunikasi di atas, dalam berbagai literatur

tidak jarang kita jumpai lain-lainnya, misalnya family communication,

health communication, dan sebagainya, yang sebenarnya merupakan salah satu aspek dari salah satu bidang komunikasi yang tercantum di atas.

b. Sifat Komunikasi

Ditinjau dari sifatnya, komunikasi diklasifikasikan sebagai berikut:

komunikasi verbal (verbal communication), mencakup komunikasi lisan

(oral communication) dan komunikasi tulisan (written communication).

(37)

communication), dan lain-lain. Komunikasi tatap muka (face-to-face communication) dan komunikasi bermedia (mediated communication). c. Tatanan Komunikasi

Yang dimaksud dengan tatanan komunikasi adalah proses

komunikasi ditinjau dari jumlah komunikan, apakah satu orang,

sekelompok orang, atau sejumlah orang yang bertempat tinggal secara

tersebar. Berdasarkan situasi komunikan seperti itu, maka diklasifikasikan

menjadi bentuk-bentuk sebagai berikut: komunikasi pribadi (personal communication) yaitu komunikasi seputar diri seseorang baik itu sebagai komunikator maupun sebagai komunikan, komunikasi pribadi mencakup

komunikasi intrapribadi (intrapersonal communication) dan komunikasi antarpribadi (interpersonal communication). Komunikasi kelompok (group communication), mencakup komunikasi kelompok kecil (small group communication) yakni ceramah (lecture), forum, simposium (symposium), diskusi panel (panel discusson), seminar, curahsaran (brainstorming); lain-lain dan komunikasi kelompok besar (large group communication/ public speaking). Komunikasi massa (mass communication), mencakup komunikasi media massa cetak/ pers (printed mass media communication)

yakni surat kabar (daily) dan majalah (magazine), dan komunikasi media massa elektronik (electronic mass media communication) yakni radio, televisi, film, dan lain-lain. Komunikasi medio (medio communication), mencakup surat, telepon, pamflet, poster, spanduk; dan lain-lain (media

(38)

d. Tujuan komunikasi

Adapun tujuan dalam komunikasi adalah untuk mengubah sikap (to

change the attitude), mengubah opini/ pendapat/ pandangan (to change the opinion), mengubah perilaku (to change the behaviour) dan mengubah masyarakat (to change the society).

e. Fungsi Komunikasi

Fungsi komunikasi adalah untuk menginformasikan (to inform), mendidik (to educate), menghibur (to entertain) dan memengaruhi (to influence).

f. Teknik Komunikasi

Istilah teknik berasal dari bahasa Yunani “technikos” yang berarti keterampilan atau keperigelan.

Berdasarkan keterampilan berkomunikasi yang dilakukan

komunikator, teknik komunikasi diklasifikasikan menjadi: komunikasi

informatif (informative communication), komunikasi persuasif (persuasive communication), komunikasi pervasif (pervasive communication), komunikasi koersif (coersive communication), komunikasi instruktif

(instructive communication), dan hubungan mausiawi (human relations)

g. Metode Komunikasi

Istilah metode atau dalam bahasa Inggris “method” berasal dari bahasa Yunani “methodos” yang berarti rangkaian yang sistematis dan yang merujuk kepada tata cara yang sudah dibina berdasarkan rencana

(39)

Atas dasar pengertian di atas metode komunikasi meliputi

kegiatan-kegiatan yang terorganisasi, antara lain: jurnalisme/ jurnalistik

(journalism), mencakup jurnalisme cetak (printed journalism) dan jurnalisme elektronik (electronic journalism), hubungan masyarakat

(public relation), periklanan (advertising), propaganda, perang urat syarat

(psychological warfare), perpustakaan (library); dan lain lain.

Demikianlah dimensi-dimensi komunikasi yang menjadi cakupan

ilmu komunikasi manusia yang luas.

Budaya

Dubbs dan Whitney mendefinisikan budaya sebagai “the system of

learned, cultural traits (contexts of meaning and guidelines for behaviour shared by members of a society)”.10 “Sistem belajar, ciri-ciri budaya (konteks makna dan pedoman perilaku bersama dari anggota suatu

masyarakat)”.

Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau

akal”.11

Adapun istilah culture yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan berasal dari kata Latin colere. Artinya mengolah atau mengerjakan, yaitu colere kemudian culture, diartikan

10

Patrick J. Dubbs and Daniel D. Whitney, Cultural Contexts: Making Anthropology Personal, (America: United States of America, 1938), h. 27.

11

(40)

sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah

alam.

Seorang antropolog E. B. Taylor mendefinisikan kebudayaan adalah

kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,

hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta

kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.12

Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan simbol, pemaknaan,

penggambaran (image), struktur, aturan, kebiasaan, nilai, pemrosesan informasi dan pengalihan pola-pola konvensi pikiran, perkataan dan

per-buatan/ tindakan yang dibagikan di antara para anggota suatu sistem sosial

dan kelompok sosial dalam suatu masyarakat.13

Kebudayaan dihasilkan oleh suatu perasaan komitmen yang dibangun

oleh keseluruhan sistem sosial karena keintiman hubungan timbal balik,

kesejawatan dan kesetiakawanan, keramahtamahan, kekeluargaan dari

kelompok kecil, kelompok etnik, organisasi dan bahkan oleh seluruh

masyarakat.14

Tujuh unsur kebudayaan yag dianggap sebagai culture universals, yaitu:15

12

Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 150.

13

Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 4.

14

Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, h. 4.

15

(41)

Pertama, peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transpor, dan

sebagainya); Kedua, mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian perternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya);

Ketiga, sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem politik, sistem hukum, sistem perkawinan); Keempat, bahasa (lisan maupun tulisan); Kelima, kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya); Keenam, sistem pengetahuan; dan Ketujuh, religi (sistem kepercayaan).

Nilai budaya terbagi menjadi enam, sebagai berikut:16

Nilai teori. Ketika manusia menetukan dengan objektif identitas

benda-benda atau kejadian-kejadian, maka dalam prosesnya hingga menjadi

pengetahuan, manusia mengenal adanya teori yang menjadi konsep dalam

proses penilaian atas alam sekitar.

Nilai ekonomi. Ketika manusia bermaksud menggunakan

benda-benda atau kejadian-kejadian, maka ada proses penilaian ekonomi atau

kegunaan, yakni dengan logika efisiensi untuk memperbesar kesenangan

hidup. Kombinasi antara nilai teori dan ekonomi yang senantiasa maju

disebut aspek progresif dari kebudayaan.

Nilai agama. Ketika manusia menilai suatu rahasia yang menakjubkan

dan kebesaran yang menggetarkan di mana di dalamnya ada konsep

16

(42)

kekudusan dan ketakziman kepada yang mahagaib, maka manusia mengenal

nilai agama.

Nilai seni. Jika yang dialami itu keindahan di mana ada konsep

estetika dalam menilai benda atau kejadian-kejadian, maka manusia

mengenal nilai seni. Kombinasi dari nilai agama dan seni yang sama-sama

menekankan intuisi, perasaan, dan fantasi disebut aspek ekspresif dari

kebudayaan.

Nilai kuasa. Ketika manusia merasa puas jika orang lain mengikuti

pikirannya, norma-normanya dan kemauan-kemauannya, maka ketika itu

manusia mengenal nilai kuasa.

Nilai solidaritas. Tetapi ketika hubungan itu menjelma menjadi cinta,

persahabatan dan simpati sesama manusia, menghargai orang lain, dan

merasakan kepuasan ketika membantu mereka maka manusia mengenal

nilai solidaritas.

Kebudayaan sebagai konsep sistem sekaligus menerangkan bahwa

“keseluruhan” seluruh arti dan makna simbol dapat dibedakan namun arti

dan makna simbol-simbol itu tidak dapat dipisahkan. Manusia dapat

membedakan arti dan makna simbol melalui kebudayaan. Simbol-simbol itu

mewakili struktur aturan budaya, konvensi pikiran dan pandangan namun

konsep-konsep itu sendiri tidak bisa dipisahkan berhubung fungsi setiap

konsep itu saling berhubungan. 17

17

(43)

Apa yang disebut dengan “keseluruhan” tersebut menerangkan bahwa kebudayaan merupakan sistem untuk mengorganisasikan simbol hasil

ciptaan bersama. Simbol-simbol itu kelak digunakan bersama-sama untuk

memenuhi kebutuhan anggota kelompok yang diwujudkan dalam proses

komunikasi antaranggota kelompok tersebut. Pada akhirnya “isi kebudaya

-an” itu diadaptasi ke dalam suatu proses yang disebut “adaptasi budaya”

yang terjadi tatkala para individu atau kelompok menggunakan peta persepsi

yang mereka miliki lalu membangun suatu gambaran atau struktur kognisi

tentang dunia lingkungan mereka. Struktur kognisi tersebut dijelaskan

melalui proses komunikasi budaya, misalnya intrabudaya, antarbudaya,

lintas budaya, dan lain-lain.18

Komunikasi Sebagai Proses Budaya

Asumsi dasarnya adalah komunikasi merupakan suatu proses budaya.

Artinya, komunikasi yang ditujukan pada orang atau kelompok lain tak lain

adalah sebuah pertukaran kebudayaan. Misalnya, Anda berkomunikasi

dengan suku Aborigin Australia, secara tidak langsung Anda sedang

berkomunikasi berdasarkan kebudayaan tertentu milik Anda untuk menjalin

kerjasama atau memengaruhi kebudayaan lain. Dalam proses tersebut

terkandung unsur-unsur kebudayaan, salah satunya adalah bahasa.

Sedangkan bahasa adalah alat komunikasi. Dengan demikian, komunikasi

juga disebut sebagai proses budaya.19

18

Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 5.

19

(44)

Jika ditinjau secara lebih konkrit, hubungan antara komunikasi dengan

isi kebudayaan akan semakin jelas: 20

Dalam mempraktikkan komunikasi manusia membutuhkan

peralatan-peralatan tertentu. Secara minimal komunikasi membutuhkan sarana

berbicara, seperti mulut, bibir dan hal-hal yang berkaitan dengan bunyi

ujaran. Ada kalanya dibutuhkan tangan dan anggota tubuh lain (komunikasi

nonverbal) untuk mendukung komunikasi lisan. Ditinjau secara lebih luas

dengan penyebaran komunikasi yang lebih luas pula, maka digunakanlah

peralatan komunikasi massa, seperti televisi, surat kabar, radio, dan

lain-lain.

Komunikasi menghasilkan mata pencaharian hidup manusia.

Komunikasi yang dilakukan lewat televisi misalnya, membutuhkan orang

yang digaji untuk “mengurusi” televisi.

Sistem kemasyarakatan menjadi bagian tak terpisahkan dari

komunikasi, misalnya sistem hukum Indonesia. Sebab, komunikasi akan

efektif manakala diatur dalam sebuah regulasi agar tidak melanggar

norma-norma masyarakat.

Komunikasi akan menemukan bentuknya secara lebih baik manakala

menggunakan bahasa sebagai alat penyampai pesan kepada orang lain.

Wujud banyaknya bahasa digunakan sebagai alat komunikasi menunjukkan

bahwa bahasa sebagai isi atau wujud dari komunikasi. Bagaimana

20

(45)

penggunaan bahasa yang efektif, memakai bahasa apa, siapa yang menjadi

sasaran adalah manifestasi dari komunikasi sebagai proses budaya.

Sistem pengetahuan atau ilmu pengetahuan merupakan substansi yang

tak lepas dari komunikasi. Ilmu pengetahuan ini juga termasuk ilmu tentang

berbicara dan menyampaikan pendapat. Bukti bahwa masing-masing pribadi

berbeda dalam penyampaian, gaya, pengetahuan yang dimiliki,

menunjuk-kan realitas tersebut.

Komunikasi sebagai proses budaya tak bisa dipungkiri menjadi

objektivasi (meminjam istilah Berger) antara budaya dengan komunikasi.

Proses ini meliputi peran dan pengaruh komunikasi dalam proses budaya.

Komunikasi adalah proses budaya karena di dalamnya ada proses seperti

layaknya sebuah proses kebudayaan, punya wujud dan isi serta kompleks

keseluruhan. Sesuatu dikatakan komunikasi jika ada unsur-unsur yang

terlibat di dalamnya. Kebudayaan juga hanya bisa disebut kebudayaan jika

ada unsur-unsur yang terlibat di dalamnya yang membentuk sebuah sistem.21

Hubungan antara komunikasi dan budaya penting dipahami untuk

memahami komunikasi intra dan antarbudaya, karena melalui budayalah

orang-orang belajar berkomunikasi. Masyarakat memandang dunia melalui

kategori-kategori, konsep-konsep, dan label-label yang dihasilkan oleh

budayanya.

21

(46)

B. Komunikasi Intrabudaya

Istilah komunikasi intrabudaya nampaknya kurang populer di dalam

kategorisasi ilmu komunikasi. Sitaram dan Cogdell telah meng-identifikasi

komunikasi intrabudaya sebagai komunikasi yang berlangsung antara para

anggota kebudayaan yang sama namun tetap menekankan pada sejauh mana

perbedaan pemahaman dan penerapan nilai-nilai budaya yang mereka miliki

bersama. 22

Lewis dan Slade mengemukakan komunikasi intrabudaya adalah

“shared interpersonal communication between members of the same cultures”.23

Analisis komunikasi intrabudaya selalu dimulai dengan mengulas

keberadaan kelompok/ subbudaya dalam satu kebudayaan, juga tentang nilai

subbudaya yang dianut. Jadi studi intrabudaya memusatkan perhatian pada

komunikasi antara anggota subbudaya dalam satu kebudayaan. Komunikasi

intrabudaya pun bisa dijadikan sebagai indikator untuk mengukur tingkat

efektivitas pengiriman, penerimaan dan pemahaman bersama atas nilai yang

ditukar di antara partisipan komunikasi yang kebudayaannya homogen. 24

22

Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 9.

23

Glen Lewis and Christina Slade, Critical Communication, (Australia: Prentice Hall Australia, 1994) h. 123.

24

(47)
[image:47.595.100.513.101.601.2]

Kebudayaan

Gambar 2. Komunikasi Intrabudaya

Gambar di atas menunjukkan komunikasi intrabudaya yang dilakukan

di antara individu-individu anggota kelompok subbudaya (1) s/d (4).

Subbudaya atau subkultur adalah suatu komunitas rasial, etnik,

regional, ekonomi atau sosial yang memerlihatkan pola perilaku yang

membedakannya dengan subkultur-subkultur lainnya dalam suatu budaya

atau masyarakat yang melingkupinya.25 Subbudaya adalah kelompok kecil

yang mungkin non-konformis, subkelompok dalam budaya lokal (host culture/ pribumi).

a. Kerangka Rujukan Komunikasi Intrabudaya 26

 Hubungan Antara Masyarakat dan Kebudayaan

Hubungan antara masyarakat dengan kebudayaan yang paling realistis

ditunjukkan melalui keberadaan kebudayaan sebagai wadah untuk

memper-tahankan masyarakat dari pelbagai ancaman yang menghadang mereka.

25

Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 19.

26

Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 10-11.

(1) (3)

(48)

Kebudayaan bisa menginformasikan tentang nilai suatu dan beberapa

peristiwa yang terjadi di masa lalu, sekarang dan yang akan datang.

Kebudayaan mengajarkan kepada setiap manusia tentang apa yang harus

dibuat oleh generasi manusia.

Wajarlah kalau setiap kelompok budaya selalu menciptakan hubungan

intrabudaya yang “mewajibkan” generasi yang lebih tua mensosialisasi nilai

perilaku-perilaku budaya baik secara bertahap maupun dipercepat melalui

institusi sosial kepada generasi berikut.

Dalam kehidupan dikenal institusi-institusi seperti agama, pendidikan,

rekreasi, kesehatan serta institusi-institusi lain yang merupakan pranata

kebudayaan yang menjamin perilaku manusia. Proses sosialisasi melalui

institusi sosial tersebut telah memungkinkan manusia dimasukkan ke dalam

lingkungan sosial dan kemasyarakatan. Jadi, setiap hubungan antarmanusia

dalam satu kebudayaan selalu diatur dengan sosialisasi indoktrinasi dan

instruksi nilai-nilai.

 Hirarki, Kekuasaan dan Dominasi

Setiap kebudayaan selalu memiliki prinsip kebudayaan yang mengatur

hirarki dan status kekuasaan. Hirarki dalam suatu masyarakat berbudaya

selalu menggambarkan dan menerapkan proses pemeringkatan

peranan-peranan anggota masyarakat mulai dari yang paling tinggi sampai terendah.

Bukankah dalam masyarakat ada istilah: raja hutan, raja gunung, peniti

raksasa, peniti emas, lain daun, bangsawan, rakyat jelata, orang pinggiran,

(49)

menunjukkan bahwa dalam masyarakat ada kelompok elit yang mendapat

pengakuan atau yang berkuasa dan ada kelompok masyarakat yang dikuasai.

Status yang tinggi biasa diidentifikasikan dengan kekuasan puncak

yang memberikan kemungkinan bagi kelompok yang ada di bawah untuk

melihat ke atas. Kelompok masyarakat yang termasuk dalam kategori

puncak selalu mendominasi kelompok bawah. Mereka diberikan kekuasaan

karena dianggap sakti, suci, mempunyai kekuasaan khusus, bijaksana,

menjadi sumber material dan moral. Mereka disebut kelompok elit karena

memiliki pengetahuan, pengalaman, dapat dipercaya, dan lain-lain. Setiap

kebudayaan selalu memberikan tempat khusus kepada mereka untuk

memegang tampuk “puncak” pimpinan organisasi sosial karena hanya

mereka yang diasumsikan bisa memelihara institusi sosial masyarakat.

Setiap anggota suatu masyarakat yang berbudaya mengetahui hubungan

antara yang mempunyai kekuasaan dengan yang dikuasai.

b. Nomenklatur Komunikasi Intrabudaya 27

 Konsep Nondominasi

Perlu diketahui bahwa komunikasi intrabudaya merupakan suatu

gejala yang selalu ada dalam konteks kebudayaan tertentu. Kebudayaan juga

mengajarkan konsep nondominasi yang mengatur nomenklatur siapa-siapa

yang tidak mempunyai kekuasaan dan pengaruh dalam masyarakat tertentu.

Kumpulan orang-orang nondominasi pun berada dalam suatu

konstelasi yang secara historis atau tradisional tidak mempunyai akses atau

27

(50)

pengaruh terhadap dominasi kebudayaan. Jadi, mereka tidak memiliki

dominasi sosial, politik, hukum, ekonomi dan struktur keagamaan serta

organisasi sosial lain.

Beberapa contoh di dalam kebudayaan tertentu, kaum wanita, wadam,

orang tua jompo, kulit hitam, orang pendatang/ orang luar; tidak mempunyai

“nama” dan peranan yang luas dalam masyarakat. Mereka dianggap orang “aneh”, mempunyai perilaku menyimpang, penghambat, abnormal yang

berbeda dengan orang lain dan masyarakat yang memiliki dominasi tertentu.

Mereka merupakan “orang dalam yang tersingkir” dan yang terjajah, atau

mereka merupakan suku bangsa asli yang dijajah oleh suku bangsa sendiri.

Meskipun mereka tidak penting dalam kategori perhatian dan komunikasi

intrabudaya namun perilaku mereka tetap dikontrol sebagai anggota

masyarakat intrabudaya agar mereka tidak mendewakan “ideologi”

subbudaya yang mengancam kebudayaan kelompok yang lebih besar.

 Geopolitik

Masalah kekuasaan, dominasi dan nondominasi dalam masyarakat

dapat dikaitkan dengan geopolitik. Proses untuk menyingkirkan kelompok

nondominasi atau tidak berkuasa dilakukan melalui diskriminasi dan

segregasi atas wilayah pemukiman dan pekerjaan.

Di dalam terminologi geopolitik, kaum nondominasi itu telah

ditetapkan geopolitiknya. Misalnya dengan menetapkan wilayah geografis

tertentu sebagai pusat pemukiman, kekuasaan, dominasi dalam bidang

(51)

selalu berasal dari kebudayaan dominan dalam masyarakat. Jadi, hubungan

intrabudaya selalu didasarkan pada sikap diskriminasi geopolitik dan

lain-lain.

C. Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi antarbudaya lebih menekankan pada komunikasi

antarpribadi di antara komunikator dan komunikan yang kebudayaannya

berbeda. Lewis dan Slade menyebutkan komunikasi antarbudaya adalah

“face-to-face communication between people from differing cultural backgrounds”.28

(Komunikasi tatap muka antara orang-orang dari latar

belakang kebudayaan yang berbeda).

Kebudayaan A Kebudayaan B

[image:51.595.99.509.205.584.2]

Kebudayaan C

Gambar 3. Komunikasi Antarbudaya

Gambar ini menunjukkan bahwa komunikasi antarbudaya adalah

kegiatan komunikasi antarpribadi yang dilangsungkan di antara para

anggota kebudayaan yang berbeda.29

28

Glen Lewis and Christina Slade, Critical Communication, (Australia: Prentice Hall Australia, 1994) h. 122.

29

Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 13.

C

(52)

Dalam mempelajari komunikasi antarbudaya menuru

Gambar

Gambaran Umum
Gambar 1. Unsur-unsur dalam proses komunikasi
Gambar 2. Komunikasi Intrabudaya
Gambar 3. Komunikasi Antarbudaya
+7

Referensi

Dokumen terkait

Objek dari penelitian Relasi Kuasa dalam Komunikasi Keluarga Poligami pada Masyarakat Kota Pekalongan adalah 3 (tiga) keluarga Muslim yang menjalani relasi pernikahan poligami di

Dalam kaitannya dengan pemahaman mengenai komunikasi antarbudaya dan bagaimana komunikasi dapat dilakukan oleh orang yang berasal dari budaya yang berbeda dari tempat yang

Hubungan yang terjalin antara etnik Toraja dengan etnik Bugis di Kampung Rama Kota Makassar terlihat dari fenomena bahwa etnik Toraja dalam berkomunikasi dengan

Penelitian ini berjudul Peran Identitas Etnis dalam Komunikasi Antarbudaya pada Komunitas India Tamil di Kampung Madras Kota Medan.. Penelitian ini bertujuan untuk

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk teknik komunikasi persuasif Komunitas Apheresis dalam meningkatkan pendonor sukarela masyarakat muslim di kota

Keterampilan saat berkomunikasi sangat dibutuhkan, agar anak dapat menerima budaya yang berbeda dari kedua orang tuanya, sehingga anak tersebut mampu beradaptasi

Nilai koefisien regresi variabel penggangguran bertanda positif berarti setiap peningkatan pengangguran akan mengurangi pertumbuhan ekonomi (Y) di Kota Tual, dengan

Hal inilah yang mendasari peneliti untuk meneliti mengenai gambaran kualitas dan kuantitas salat serta profil kesehatan jiwa masyarakat muslim di Palembang,