Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam
(S. Kom. I)
Oleh:
Nurul Ain Kabakoran NIM: 1110051000056
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar kesarjanaan di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang penulis gunakan dalam penulisan ini telah
dicantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli
penulis atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka penulis
bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Ciputat, April 2014
i
Penelitian ini berupaya untuk mengetahui informasi mengenai pribadi seorang muslim Kei dalam berkomunikasi intra dan antarbudaya antarsesama masyarakat di Kota Tual manakah nilai yang paling menonjol antara nilai budaya dan nilai agama. Suku Kei adalah suku asli yang berasal dari Kota Tual-Maluku dan dikenal dengan adat istiadatnya yang kental serta menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma yang ada pada budaya dan adat istiadat tersebut. Namun di Kota Tual tidak semua penduduknya berasal dari suku Kei, ada juga pendatang yang berasal dari berbagai suku seperti bugis, jawa, padang, dan lain-lain.
Dari penjabaran di atas, maka penulis memunculkan pertanyaan, sebagai objek pembahasan skripsi ini, bagaimana komunikasi intra dan antarbudaya masyarakat muslim Kei di Kota Tual, bagaimana komunikasi intrabudaya masyarakat muslim Kei dan masyarakat non-muslim Kei, serta bagaimana komunikasi antarbudaya masyarakat muslim Kei dan masyarakat non-Kei muslim di Kota Tual tersebut.
Teori yang penulis gunakan adalah teori interaksi-simbolik yang dipelopori oleh George Herbert Blumer yang melanjutkan pemikiran dari George Herbert Mead. Menurut Blumer, teori ini berpijak pada premis bahwa manusia bertindak
terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada “sesuatu” itu bagi mereka,
makna tersebut berasal atau muncul dari “interaksi sosial seseorang dengan orang
lain”, dan makna tersebut disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat “proses interaksi sosial” berlangsung.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang berlandaskan pada perspektif subjektif. Subjektif di sini bertujuan untuk mengetahui bagaimana individu menciptakan sesuatu, menginterpretasi, dan menegosiasikan makna serta melihat bagaimana mereka memandang realitas sosial sebagai interaksi sosial.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat muslim Kei dapat berinteraksi dan menjalin komunikasi intra dan antarbudaya dengan baik, aman, dan damai. Pluralitas yang ada di tengah mereka tidak menjadi alasan penyebab timbulnya konflik, adapun konflik yang terjadi tersebut hanya dilakukan oleh pihak tertentu yang sengaja menggunakan isu ras atau kelompok sebagai pemicu konflik. Yang menjadi pegangan masyarakat Kei adalah hukum adat Larvul Ngabal, hukum adat yang mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat Kei dan di dalamnya tidak ada tradisi atau ritual yang bertentangan dengan syariat Islam. Kekeluargaan dan kekerabatan menjadi hukum adat mendasar yang dipegang oleh masyarakat Kei dengan falsafahnya “Ain Ni Ain” sehingga sesama masyarakat Kei dapat melakukan aktivitas komunikasi intrabudaya dengan harmonis walaupun berbeda dalam menganut agama dan sistem kepercayaan. Sedangkan yang membuat langgengnya aktivitas komunikasi antarbudaya adalah konsep ukhuwah islamiyah yang dipegang oleh masing-masing individu. Jadi keduanya saling mendukung dan memengaruhi antara nilai budaya dan nilai agama.
ii
SWT yang senantiasa memberikan limpahan rahmat dan karunia kepada
hambaNya sehingga skripsi yang berjudul “Komunikasi Intra dan Antarbudaya Masyarakat Muslim Kei di Kota Tual” dapat terselesaikan sesuai dengan waktu yang telah direncanakan. Tak lupa, shalawat dan salam selalu tercurah kepada
Baginda Nabi besar Muhammad SAW serta keluarga, sahabat, dan para pengikut
hingga akhir zaman.
Penyusunan skripsi ini merupakan tugas akhir penulis sebagai persyaratan
dalam menyelesaikan program studi di jenjang Strata Satu (S1) di Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan
Komunikasi dan Penyiaran Islam.
Terselesaikannya skripsi ini juga tidak luput dari bantuan pihak luar.
Izinkanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A., selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Arief Subhan, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Suparto, M.Ed., Ph.D., selaku Wakil Dekan Bidang Akademik,
Drs. Jumroni, M.Si., selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan
Kerjasama, Drs. Wahidin Saputra, M.A., selaku Wakil Dekan Bidang
iii
mendukung dan memberi banyak kemudahan kepada penulis dalam
penyusunan skripsi ini. Jazakumullah Ahsanal Jaza.
4. Umi Musyarofah, M.A., selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam, yang selalu membantu dan menyemangati penulis.
5. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang atas ilmu dan pengetahuan yang telah diberikan
dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Barakallah Lakum Fii Kulli Haal.
6. Seluruh Staf Tata Usaha Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Seluruh Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
8. Pemerintah Kota Tual, Pemerintah Adat Kota Tual, Kementrian Agama
Kota Tual, Dinas Pendidikan dan Olahraga Kota Tual, Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Kota Tual, yang turut berperan dalam selesainya penelitian ini,
khususnya kepada Walikota Tual Drs. Hi. M. M. Tamher, Kepala Kantor
Kementrian Agama Drs. H. Arifin Difinubun, M.Sos.I., Tokoh Adat Kei
Ahmad Tamherwarin, S.H dan Muhammad Zein Renhoat, S.Pd.I. Terima
iv
mendoakan penulis, memberikan dukungan, dan berkorban harta, jiwa dan
raga demi penulis. Semoga Allah selalu mengampuni, menjaga, dan
menyayangi kalian.
10. Kakak dan Adik penulis, Kak Titi, Abang Wan, Ta El, Abang Be dan Dek
Cici yang selalu menyemangati dan menginspirasi penulis.
11. Kakek dan Nenek, Om dan Bibi, Tata dan Abang serta Ponakan-ponakan
yang selalu mencintai dan mendoakan penulis sehingga membuat penulis
tak pernah merasa sendiri.
12. Guru-guru dan kawan seperjuangan penulis selama duduk di bangku MI,
MTs, hingga MA yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat dan berbagi
pengalaman dengan penulis.
13. Keluarga Ciputat Evav. Aunteput, M’piet, Deaudy, Kajee, Bundaeka, SJQung, LinglingNha, Ichaaku, Kak Anna, Dejiyah, Deistia, dan Adelia
yang selalu bersama menikmati suka duka setiap hari di bumi Ciputat.
14. Sahabat terindah Ghafna, Vhy Vhe Vha Yha Khy Nha Nhy Shy dan Lha
terima kasih atas semangat dan dukungannya. Semoga abadi.
15. Tim Hore. Abangfah, Banggun, Tecken, Ilham, Kaablo, Radit, Zhaky,
Bangojan, Bangamin, Banghadi, Bangalvin, Bangfik, Bangamzhy, dan
v
menuntut pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah.
17. Keluarga KKN Aksara, Paradise Dadut Bulbul Ale Caidi Puji Srohbenk
Kaneng Balika Baina Tami Uyung, seluruh warga Cisarua, Pak Ujang, Ibu
Maryati dan semuanya terima kasih atas kerja sama dan pengalamannya,
terima kasih juga telah mengajarkan penulis arti dari sebuah pengabdian.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, penulis akan menerima segala kritik dan saran dari pembaca sehingga
dapat menjadi acuan pembelajaran bagi penulis. Akhirnya, penulis berharap agar
skripsi ini dapat memberikan manfaat dan sebagai bahan pembanding untuk
penelitian selanjutnya dan pembaca pada umumnya.
Ciputat, April 2014
vi
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
E. Metodologi Penelitian ... 9
F. Tinjauan Pustaka ... 14
G. Sistematika Penulisan ... 17
BAB II LANDASAN TEORITIS A. Komunikasi dan Budaya ... 21
Komunikasi ... 21
Budaya ... 28
Komunikasi Sebagai Proses Budaya ... 32
B. Komunikasi Intrabudaya ... 35
C. Komunikasi Antarbudaya ... 40
D. Teori Interaksi-Simbolik ... 48
BAB III GAMBARAN UMUM A. Profil Kota Tual ... 57
B. Infrastruktur Wilayah Kota Tual ... 60
C. Kecamatan Dullah Selatan ... 65
D. Asal Muasal Suku Kei ... 67
vii
Komunikasi Intrabudaya Masyarakat Muslim Kei dan
Masyarakat Non-muslim Kei di Kota Tual ... 80 Komunikasi Antarbudaya Masyarakat Muslim Kei dan
Masyarakat Non-Kei Muslim di Kota Tual ... 93
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan... 99 B. Saran ... 100
1
A. Latar Belakang
Kota Tual adalah sebuah kota di Provinsi Maluku yang merupakan
bagian dari negara Kepulauan Indonesia. Kota Tual pernah menjadi bagian
dari Kabupaten Maluku Tenggara sebelum Undang-Undang Republik
Indonesia Tahun 2007, Nomor 31 disahkan. Pembentukan Kota Tual
sebagai daerah otonom pun pernah dipertentangkan secara hukum oleh
beberapa pihak yang merasa tidak puas, kemudian berakhir di putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang menyatakan bahwa Kota
Tual tetap sah dan memenuhi syarat sebagai kota otonom. Kini Kota Tual
telah berdiri sendiri dan pemerintahan kota di sana telah berjalan efektif.1
Penduduk asli Kota Tual adalah suku Kei sama halnya dengan
Kabupaten Maluku Tenggara. Namun tidak semua penduduk di sana berasal
dari suku asli Kei, melainkan juga berasal dari suku lain yang kemudian
menetap di Kota Tual. Misalnya orang asal suku Jawa, Padang, Bugis dan
Makassar, Buton serta Ambon, yang menetap sebagai pedagang.
Secara khusus, keberadaan hidup masyarakat Kei di Kota Tual
mungkin belum banyak dikenal. Namun dalam catatan sejarah lokal
Kepulauan Kei memiliki keunikan yang terpancar dari kebudayaan
lokalnya. Hal ini terlihat dari kekompakkan masyarakat Kei yang secara
1
BKPMD-Maluku, Gambaran Umum Kota Tual, Artikel ini diakses dari
“http://www.bkpmd-maluku.com/index.php/kabupatenKota/Kota-tual/gambaran-umum”, Pada:
[image:12.595.101.514.230.595.2]struktural tetap mempertahankan hukum adat tertingginya Larvul Ngabal. Suatu hukum adat yang di dalamnya mengatur semua aspek kehidupan
manusia baik individu maupun komunitas adat Kei.
Dalam interaksi kehidupan sehari-hari pada masyarakat Kei, terdapat
tiga nilai perekat, yakni: (1) Falsafah “Ain Ni Ain Hira Ni Fo Hira Ni It Did Fo It Did”, yang dimaknai sebagai bentuk persaudaraan; (2) Falsafah
“Foing Fo Kut Fauw Fo Banglu”. Nilai foing fo kut ini bermakna
menghimpun beberapa mayang kelapa lalu diikat jadi satu, dengan tujuan
mendapatkan hasil pembakaran yang menghasilkan cahaya untuk menerangi
kehidupan. Sedangkan nilai fauw fo banglu bermakna kemampuan untuk
menciptakan “peluru” untuk dapat membentengi diri dalam menghadapi
serangan; Dalam pengertian ini, peluru tidak bermakna modern, namun
lebih pada pengertian tradisional yang mungkin dimaknai dalam bentuk
mistis. Karena itu foing fo kut fauw fo banglu dapat juga dimaknai bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, dan (3) Falsafah “Vuut Ain Mehe Ni Ngivun, Manut Ain Mehe Ni Tilur”, yang bermakna bahwa semua orang Kei berasal
dari satu keturunan.2
Suku Kei merupakan salah satu suku yang dikenal dengan budaya dan
adat istiadatnya yang kental, mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
dan norma yang ada pada budaya dan adat istiadat tersebut serta menjadikan
budaya dan adat istiadat sebagai tonggak yang menopang seluruh dimensi
kehidupan. Budaya dan adat istiadat mendapat tempat pertama bagi
2
Elly Kudubun, Agama dan Budaya Lokal Masyarakat Kei, Artikel ini diakses dari
“http://ellykudubun.wordpress.com/2011/03/18/agama-dan-budaya-lokal-masyarakat-kei/”, Pada:
masyarakat Kei sebab sebelum adanya pemerintah dan datangnya agama di
Bumi Larvul Ngabal lembaga adat dan budaya adat Kei sudah terlebih dahulu berperan.3
Islam merupakan agama pertama yang menyentuh Kota Tual.
Kemudian diikuti agama Kristen dan agama lainnya. Setelah agama datang,
masyarakat Kei pun mulai memeluk agama sesuai keyakinannya tentang
agama paling benar yang harus dianutnya.
Sebagaimana yang telah dijelaskan, salah satu nilai perekat yang ada
pada masyarakat Kei adalah nilai kekeluargaan dan persaudaraan. Oleh
karena itu, memudahkan masyarakat Kei dalam berinteraksi dan menjalin
komunikasi dengan sesama sukunya. Baik sesama agama maupun berbeda
agama. Misalnya sesama muslim Kei maupun antara muslim Kei dengan
non-muslim Kei. Pola komunikasi seperti ini dikenal dengan komunikasi
intrabudaya.
Tidak hanya itu, masyarakat Kei juga bisa berinteraksi dan menjalin
komunikasi secara baik dan sehat dengan masyarakat luar adat Kei seperti
masyarakat Jawa, Padang, Bugis dan Makassar, serta Buton dan Ambon.
Padahal berbeda suku seperti ini tentu berbeda pula bahasa, budaya, dan
adat istiadatnya.
Meskipun terdapat banyak perbedaan, masyarakat muslim Kei dengan
masyarakat non-Kei (Jawa, Padang, Bugis dan Makassar, serta Buton dan
Ambon) muslim tersebut dapat saling berinteraksi tinggal menetap di Kota
3
Elly Kudubun, Agama dan Budaya Lokal Masyarakat Kei, Artikel ini diakses dari
“http://ellykudubun.wordpress.com/2011/03/18/agama-dan-budaya-lokal-masyarakat-kei/”, Pada:
Tual dan menjalankan aktivitas komunikasi antarbudaya setiap harinya.
Keadaan ini dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya keyakinan,
perkawinan dan perdagangan.
Adanya komunikasi yang terjalin antara masyarakat muslim Kei
dengan masyarakat non-muslim Kei dan masyarakat non-Kei muslim
mendorong penulis untuk lebih jauh mengetahui gambaran secara jelas
mengenai pola komunikasi, penggunaan bahasa, prasangka dan stereotip
yang tumbuh dalam hubungan yang terjadi serta melihat berbagai bentuk
kegiatan yang menunjang terbentuknya hubungan tersebut.
Dalam berkomunikasi, ada dua nilai yang disatupadukan sebagai
seorang muslim Kei, yaitu nilai agama (Islam) dan nilai budaya (adat Kei).
Kedua nilai kemudian memengaruhinya ketika berinteraksi dengan
masyarakat non-muslim Kei dan masyarakat non-Kei (Jawa, Padang, Bugis
dan Makassar, serta Buton dan Ambon) yang beragama Islam. Nilai
manakah yang lebih menonjol antara nilai Islam dan nilai adat Kei.
Untuk memahami interaksi antarbudaya, terlebih dulu kita harus
memahami komunikasi manusia. Memahami komunikasi manusia berarti
memahami apa yang terjadi selama komunikasi itu berlangsung, mengapa
itu terjadi, apa yang dapat terjadi, akibat-akibat dari apa yang terjadi, dan
akhirnya apa yang dapat kita perbuat untuk memengaruhi dan
memaksimal-kan hasil-hasil dari kejadian tersebut.4
4
Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia. Dengan
ber-komunikasi, manusia dapat saling berhubungan satu sama lain baik dalam
kehidupan sehari-hari di rumah tangga, di tempat kerja, di pasar, dalam
masyarakat atau di mana saja manusia berada. Tidak ada manusia yang
tidak akan terlibat dalam komunikasi.5
Sedangkan budaya berkenaan dengan cara hidup. Selo Soemardjan
dan Soelaeman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil
karya, rasa, dan cipta masyarakat.6 Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya.
Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi,
tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi,
semua itu berdasarkan pola-pola budaya. Budaya adalah suatu konsep yang
membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan
pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama,
waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi
dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi
melalui usaha individu dan kelompok. Budaya menampakkan diri dalam
pola-pola bahasa dan dalam bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku yang
berfungsi sebagai model-model bagi tindakan-tindakan penyesuaian diri dan
gaya komunikasi yang memungkinkan orang-orang tinggal dalam suatu
5
Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 1.
6
masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu pada satu tingkat
perkembangan teknis tertentu dan pada suatu saat tertentu. 7
Budaya dan komunikasi tak dapat dipisahkan oleh karena budaya
tidak hanya menentukan siapa berbicara dengan siapa, tentang apa, dan
bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan, dan
kondisi-kondisinya untuk mengirim, memerhatikan, dan menafsirkan pesan.
Sebenarnya seluruh pembendaharaan perilaku kita sangat bergantung pada
budaya tempat kita dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan
landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam
pula praktik-praktik komunikasi.8
Komunikasi intrabudaya adalah komunikasi yang terjadi antara
anggota yang berasal dari suatu kebudayaan yang sama. Sedangkan
komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu
budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya.
Menurut Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa, mengatakan bahwa
komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang
berbeda kebudayaan, misalnya antar suku bangsa, antar etnik dan ras, antar
kelas sosial.9
7
Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 18.
8
Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, h. 19.
9
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini penulis beri
judul: “Komunikasi Intra dan Antarbudaya Masyarakat Muslim Kei di Kota
Tual”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam penelitian ini dibatasi hanya pada
masyarakat muslim Kei dengan masyarakat non-muslim Kei dan
masyarakat non-Kei muslim yang berada di Kota Tual, khususnya di Desa
Tual Kecamatan Dullah Selatan. Dibatasi sebagai berikut:
Masyarakat asli Kei, terdiri dari beberapa pengurus atau tokoh adat
yang menjadi juru bicara keagamaan, pemerintahan, dan lembaga adat
kebudayaan Kei. Guna memperkuat argumen dari adat.
Masyarakat muslim Kei dan non-muslim Kei yang berada di Desa
Tual Kecamatan Dullah Selatan.
Masyarakat non-Kei muslim (masyarakat Jawa, Padang, Bugis dan
Makassar, Buton dan Ambon), yang berada di Desa Tual Kecamatan
Dullah Selatan.
Dan juga pembatasan terhadap ruang dan waktu kegiatan, seperti
pergaulan sehari-hari dan acara ritual adat tertentu.
2. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah tersebut disusun dalam kerangka
Bagaimana komunikasi intra dan antarbudaya masyarakat muslim Kei
di Kota Tual?
C. Tujuan Penelitian
Bertitik tolak pada rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui komunikasi intra dan antarbudaya masyarakat
muslim Kei di Kota Tual.
D. Manfaat Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan
acuan atau masukan guna membantu para penulis dalam
penelitian-penelitian selanjutnya yang mengkaji studi komunikasi intra dan
antarbudaya serta memberikan kontribusi pada aspek kebudayaan itu
sendiri.
2. Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu
informasi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan khusunya pada bidang
komunikasi intra dan antarbudaya yang ada hubungannya dengan Program
E. Metodologi Penelitian
1. Perspektif
Perspektif sering juga disebut paradigma, kadang disebut pula mazhab
pemikiran (school of thought) adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Perspektif adalah definisi situasi atau seperangkat
gagasan yang melukiskan karakteristik situasi dan memungkinkan
meng-ambil tindakan. Suatu spesifikasi jenis tindakan yang layak dan masuk akal
dilakukan orang. Perspektif dijadikan sebagai standar nilai yang
me-mungkinkan orang dapat dinilai (kriteria untuk penilaian).10
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan perspektif subjektif.
Istilah lain dalam perspektif ini adalah humanistik, interpretif,
fenomenologis, konstruktivis, konstruksionis, naturalistik, interaksionis,
interaksional, kualitatif, induktif, holistik, kontemporer, dinamis, dan
lain-lain.
Perspektif subjektif menganggap bahwa pengetahuan tidak
mem-punyai sifat objektif dan sifat yang tetap. Perspektif subjektif bersifat
interpretif dan makna dinegosiasikan. Menurut perspektif ini, realitas sosial
dianggap sebagai interaksi sosial yang bersifat komunikatif. Pendekatannya
kreatif, individu menciptakan apa yang ada “di luar sana”. Perspektif ini
berpendapat bahwa setiap manusia bersifat unik dan fenomena sosial
bersifat sementara serta polisemik (multimakna).
10
Adapun aliran teori komunikasi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah aliran interaksionis. Aliran ini memandang kehidupan manusia
sebagai proses interaksi; seluruh struktur sosial akan eksis dan dibentuk
secara terus-menerus melalui interaksi; aliran ini memfokuskan pada
bagaimana bahasa digunakan dalam menciptakan struktur sosial dan
bagaimana bahasa serta sistem simbol lainnya diproduksi; Menurut aliran
ini makna tidaklah objektif, melainkan diciptakan oleh masyarakat dalam
tindakan komunikasi; dan pengetahuan bersifat situasional tidak universal.11 Salah satu contoh teori dalam aliran interaksionis adalah teori
interaksi simbolik. Teori inilah yang kemudian digunakan oleh penulis
dalam penelitian ini.
2. Metode dan Pendekatan Penelitian
Metode penelitian adalah cara atau strategi menyeluruh untuk
menemukan atau memperoleh data yang diperlukan.12 Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif bertujuan untuk
menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan
data sedalam-dalamnya.13
Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif analitik. Di mana data-data yang telah diperoleh
di-deskripsikan terlebih dahulu dan kemudian dianalisis. Hanyalah
11
Handout Perkuliahan Gun Gun Heryanto, Ilmu, Konsep, Teori dan Pespektif: Sebuah Landasan Memahami Kerangka Berpikir, KPI UIN Jakarta: Sosiologi Komunikasi Massa, 2010.
12
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h. 9.
13
kan situasi atau peristiwa. Penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan
hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi. Metode deskriptif
ialah menitikberatkan pada observasi dan suasana alamiah (naturalistis setting). Dengan suasana alamiah dimaksudkan bahwa penulis terjun ke lapangan. Ia tidak berusaha memanipulasi variabel.14
3. Subjek dan Objek Penelitian
Dalam riset ilmu sosial, hal yang penting adalah menentukan sesuatu
yang berkaitan dengan apa dan siapa yang ditelaah.15 Yang menjadi subjek penelitian dalam penelitian ini adalah warga masyarakat muslim Kei dengan
masyarakat non-muslim Kei dan masyarakat non-Kei muslim yang tinggal
di Desa Tual Kecamatan Dullah Selatan, Kota Tual.
Adapun yang menjadi objek penelitiannya adalah pola komunikasi
yang terjadi pada masyarakat muslim Kei dengan masyarakat non-muslim
Kei dan masyarakat non-Kei muslim dalam kajian komunikasi intra dan
antarbudaya.
4. Waktu dan Tempat Penelitian
Sebelum melakukan penelitian, penulis terlebih dahulu mengadakan
preliminary research atau pratinjau penelitian. Peninjauan sebelum penelitian dilakukan pada November 2013-Januari 2014, sepanjang itu
penulis mencari tahu dan menelaah tentang gejala-gejala serta fenomena
yang terjadi pada masyarakat setempat dan membaca serta memperdalam
14
Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi dilengkapi Contoh Analisis Statistik, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), h. 24-25.
15
kajian ilmu yang berhubungan dengan komunikasi antarbudaya untuk
memperkuat teori yang digunakan dalam penelitian. Sedangkan proses
penelitian dan penggarapannya dilakukan pada Februari 2014-April 2014.
Adapun tempat yang dijadikan sebagai objek dalam penelitian ini
adalah Desa Tual, Kecamatan Dullah Selatan, Kota Tual.
5. Sumber dan Jenis Data
Untuk memperoleh data-data yang lengkap dan akurat, penulis
menggunakan data primer dan data sekunder.
a. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari nara sumber
melalui observasi dan wawancara yang dilakukan oleh penulis di
lapangan.
b. Data sekunder adalah data yang penulis peroleh dari sumber-sumber
tertulis seperti yang terdapat dalam buku, jurnal, dokumentasi atau
arsip-arsip dan literatur lainnya yang berkaitan dengan penelitian
yang dilakukan. Data sekunder tidak hanya berupa tulisan tetapi juga
berupa data yang diperoleh dari informan yang mengetahui informasi
tentang apa yang sedang diteliti serta mendukung penelitian tersebut.
6. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Secara luas, observasi atau pengamatan berarti kegiatan untuk
me-lakukan pengukuran.16 Proses pengumpulan data primer dengan cara
16
pengamatan langsung dan melakukan pencatatan terhadap objek-objek
terkait. Yang termasuk dalam teknik observasi adalah interaksi (perilaku)
yang terjadi di antara subjek yang diriset.17 Dalam hal ini penulis mengobservasi atau melakukan pengamatan terhadap masyarakat muslim
Kei ketika berkomunikasi intra dan antarbudaya dengan sesama masyarakat
selama Februari-Maret 2014.
b. Wawancara
Wawancara (interview) adalah pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewancara (pengumpul data) kepada nara
sumber, dan jawaban-jawaban nara sumber dicatat atau direkam dengan alat
perekam (tape recoprder).18 Wawancara merupakan metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh informasi langsung dari
sumbernya.19 Dalam penelitian ini penulis memperoleh data dari nara sumber dengan cara wawancara atau tanya jawab langsung bersama Bapak
Drs. Hi. M. M. Tamher, M.M selaku Walikota Tual, Bapak Ahmad
Tamherwarin, S.H selaku tokoh adat Kei, Bapak Drs. H. Arifin Difinubun,
M.Sos.I selaku Kepala Kantor Kementrian Agama Kota Tual, dan Bapak
Muhammad Zein Renhoat, S.Pd.I selaku pejabat yang mewakili Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Tual.
17
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 110.
18
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h. 67.
19
c. Dokumentasi
Penggunaan data dokumentasi dalam penelitian ini adalah untuk
mendapatkan informasi yang berhubungan dengan data-data tentang
berbagai hal yang berhubungan dengan komunikasi intra dan antarbudaya
masyarakat muslim Kei di Kota Tual. Misalnya peta wilayah dan struktur
pemerintahan yang penulis peroleh dari arsip Pemerintah Daerah Kota Tual.
Teknik dokumentasi ini juga digunakan untuk mendapatkan informasi dan
data-data sekunder yang berhubungan dengan fokus penelitian.
7. Analisis dan Interpretasi Data
Data yang terkumpul dalam wawancara mendalam dan
dokumen-dokumen diklasifikasikan ke dalam kategori-kategori tertentu.
Dalam analisis data, penulis menggunakan analisis deskriptif, yaitu
dengan menganalisis setiap data atau fakta yang diperoleh dari lapangan
secara mendalam dan menyeluruh kemudian data atau fakta tersebut
diinterpretasikan dan dilaporkan, diterangkan serta disimpulkan secara luas.
F. Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini, penulis juga mengadakan tinjauan pustaka.
Dengan mengadakan studi pustaka ke Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi. Penulis melakukan studi pustaka ini guna memastikan apakah
ada kesamaan judul atau tema penelitian terdahulu dengan penelitian yang
1) Ahmad Syukri, menulis: “Komunikasi Antarbudaya: Studi pada Pola Komunikasi masyarakat suku Betawi dengan Madura di Kelurahan
Condet Batu Ampar”.
Penelitian ini membahas tentang pola komunikasi yang terjadi
antara suku budaya Betawi dan Madura lebih banyak menggunakan
pola komunikasi antarpribadi dan kelompok, dalam kegiatan
sehari-hari, sedangkan komunikasi kelompok digunakan jika ada acara-acara
tertentu.
Adapun perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan oleh
penulis adalah terletak pada subjek penelitian. Yang menjadi subjek
penelitian dalam penelitian Ahmad adalah warga suku Betawi dan
Madura di Kelurahan Condet Batu Ampar. Sedangkan subjek
penelitian penulis adalah warga masyarakat muslim Kei dengan
masyarakat non-muslim Kei dan masyarakat non-Kei muslim di Kota
Tual. Namun objek penelitian dari keduanya yaitu sama-sama
membahas tentang kajian komunikasi antarbudaya.
2) Raden Dimas Anugrah Dwi Satria, menulis “Komunikasi Antar -budaya Masyarakat Adat Baduy Luar dengan Masyarakat Luar Adat
Baduy di Banten”.
Penelitian ini membahas tentang pola komunikasi yang
berlangsung antara suku adat Baduy dan suku luar adat Baduy seperti
dalam pergaulan sehari-hari, dan acara-acara ritual tertentu baik
Adapun perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan oleh
penulis adalah terletak pada subjek penelitian. Yang menjadi subjek
penelitian dalam penelitian Dimas adalah masyarakat perkampungan
Kaduketug Baduy Luar dan masyarakat luar Baduy. Sedangkan subjek
penelitian penulis adalah warga masyarakat muslim Kei dengan
masyarakat non-muslim Kei dan masyarakat non-Kei muslim di Kota
Tual. Namun objek penelitian dari keduanya yaitu sama-sama
membahas tentang kajian komunikasi antarbudaya, nilai-nilai
komunikasi dan budaya yang terkandung di dalamnya.
3) Siti Asiyah, menulis: “Pola Komunikasi Antar Umat Beragama: Studi Komunikasi Antarbudaya Tionghoa dengan Muslim Pribumi di Rw 04
Kelurahan Mekarsari Tangerang”.
Penelitian ini membahas tentang pola komunikasi antarbudaya
yang terjadi antara warga etnis Tionghoa dengan Muslim Pribumi di
kelurahan Mekarsari Tangerang dalam kegiatan sehari-hari dan
acara-acara tertentu.
Adapun perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan oleh
penulis adalah terletak pada subjek penelitian. Yang menjadi subjek
penelitian dalam penelitian Siti adalah warga etnis Tionghoa dengan
Muslim Pribumi di kelurahan Mekarsari Tangerang. Sedangkan
subjek penelitian penulis adalah warga masyarakat muslim Kei
di Kota Tual. Namun objek penelitian dari keduanya yaitu sama-sama
membahas tentang kajian komunikasi antarbudaya.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini, yaitu dengan membagi
menjadi beberapa bab, sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan
penelitian, kegunaan penelitian, metodologi penelitian, tinjauan
pustaka, dan sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORITIS
Pengertian komunikasi dan budaya, pengertian komunikasi
intrabudaya, pengertian komunikasi antarbudaya, dan teori interaksi
simbolik.
BAB III GAMBARAN UMUM
Profil Kota Tual, infrastruktur wilayah Kota Tual, profil Kecamatan
Dullah Selatan Kota Tual, asal muasal suku Kei, dan keadaan
masyarakat Kei di Kota Tual.
BAB IV HASIL TEMUAN DAN ANALISIS DATA
Penyajian data-data yang diperoleh dari penelitian, berikut
analisis-nya. Yaitu mengenai komunikasi intra dan antarbudaya masyarakat
muslim Kei di Kota Tual.
BAB V PENUTUP
18
Tema tentang komunikasi bukan hal baru, namun ia lebih menarik setelah
dihubungkan dengan konsep “antarbudaya”. Istilah antarbudaya (interculture)
pertama kali diperkenalkan oleh seorang antropolog, Edward T. Hall pada 1959
dalam bukunya The Silent Language. Karena Hall tersebut hanya menerangkan tentang keberadaan konsep-konsep unsur kebudayaan, misalnya sistem ekonomi,
religi, sistem pengetahuan sebagaimana apa adanya.1
Hakikat perbedaan antarbudaya dalam proses komunikasi baru dijelaskan
satu tahun setelah itu, oleh David K. Berlo melalui bukunya The Process of Communication (an introduction to theory and practice) pada 1960. Dalam tulisan itu Berlo menawarkan sebuah model proses komunikasi. Menurut Berlo,
komunikasi akan berhasil jika manusia memerhatikan faktor-faktor SMCR, yaitu:
sources, message, channel, receiver. Faktor-faktor yang menentukan (source) dan penerima (receiver) ialah kemampuan berkomunikasi, sikap, pengetahuan, sistem sosial, dan kebudayaan. Pada pesan (message) perlu diperhatikan isi, perlakuan pesan, dan perlambangan; sedangkan pada saluran (channel) faktor yang perlu diperhatikan sangat tergantung atas pilihan saluran yang sesuai misalnya (mata)
melihat, (telinga) mendengar, (tangan) meraba atau memegang, (hidung)
membaui, dan (lidah) mengecapi.
1
Semua tindakan komunikasi itu berasal dari konsep kebudayaan. Berlo
berasumsi bahwa kebudayaan mengajarkan kepada anggotanya untuk
melaksanakan tindakan itu. Berarti kontribusi latar belakang kebudayaan sangat
penting terhadap perilaku komunikasi seseorang termasuk memahami
makna-makna yang dipersepsi terhadap tindakan komunikasi yang bersumber dari
kebudayaan yang berbeda. Paling tidak, karya Hall dan Berlo tersebut telah
merangsang para pakar sosiologi, antropologi, psikologi untuk meneliti
komunikasi antarbudaya selama dasawarsa 1950-1960-an.2
Rumusan objek formal komunikasi antarbudaya baru dipikirkan pada
1970-1980-an. Pada saat yang sama, para ahli ilmu sosial sedang sibuk membahas
komunikasi internasional yang disponsori oleh Speech Communication Association, sebuah komisi yang merupakan bagian Asosiasi Komunikasi Internasional dan Antarbudaya yang berpusat di Amerika Serikat.
“Annual” tentang komunikasi antarbudaya yang disponsori oleh badan itu
terbit pertama kali pada 1974 oleh Fred Casmir dalam The International and Intercultural Communication Annual. Kemudian Dan Landis menguatkan konsep komunikasi antarbudaya dalam Interbational Journal of Intercultural Relations
pada tahun 1977.
Pada tahun 1979 Molefi Asante, Cecil Blake dan Eileen Newmark
menerbitkan sebuah buku yang khusus membicarakan komunikasi antarbudaya,
yakni The Handbook of Intercultural Communication. Sejak itu banyak ahli mulai
2
melakukan studi tentang komunikasi antarbudaya, misalnya penelitian Asante dan
kawan-kawan pada tahun 1980-an.
Pada akhir 1983 lahir International and Intercultural Communication Annual yang dalam setiap volumenya mulai menempatkan rubrik khusus untuk menampung tulisan tentang komunikasi antarbudaya. Tema pertama tentang
“Teori Komunikasi Antarbudaya” diluncurkan tahun 1983 oleh Gundykunst,
disusul tahun 1988 oleh Kim dan Gundykunst, sedangkan tema metode penelitian
ditulis oleh Gundykunst dan Kim tahun 1984.
Edisi lain tentang komunikasi, kebudayaan, proses kerjasama antarbudaya
ditulis pula oleh Gundykunst, Stewart dan Ting Toomey tahun 1985, komunikasi
antaretnik oleh Kim tahun 1986, adaptasi lintas budaya oleh Kim dan Gundykunst
tahun 1988, dan terakhir komunikasi/ bahasa dan kebudayaan oleh Ting Toomey
dan Korzenny, tahun 1988.
Pada tahun 1990-an, studi-studi komunikasi antarbudaya diperluas meliputi
pula studi diplomasi antarbangsa, misalnya Penelitian Komunikasi Kemanusiaan,
Monograf Komunikasi, Jurnal Komunikasi, Jurnal Komunikasi Internasional dan
Relasi Antarbudaya, Jurnal Studi Tentang Orang Kulit Hitam, dan Jurnal Bahasa
dan Psikologi Sosial.3
McLuhan merupakan orang pertama yang memberikan tekanan ulasan pada
hubungan/ komunikasi antarbangsa karena melihat gejala makin meningkatnya
hubungan dan ketergantungan antarbangsa. Dari gagasan McLuhan itulah lahir
konsep “Tatanan Komunikasi dan Informasi Dunia Baru” yang memengaruhi
3
perkembangan sebuah penelitian tentang perbedaan budaya antaretnik, rasial dan
golongan di semua bangsa. Faktor-faktor tersebut telah menyulut pesatnya
perkembangan teori dan penelitian yang berkaitan dengan komunikasi
antarbudaya.4
A. Komunikasi dan Budaya
Komunikasi
Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris Communication berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna. Harold Lasswell,
mengatakan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi ialah
menjawab pertanyaan: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect? Jadi, berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan
melalui media yang menimbulkan efek tertentu.5
Komunikasi dapat diartikan sebagai proses peralihan dan pertukaran
informasi oleh manusia melalui adaptasi dari dan ke dalam sebuah sistem
kehidupan manusia dan lingkungannya. Proses pearlihan dan pertukaran
informasi itu dilakukan melalui simbol-simbol bahasa verbal maupun
nonverbal yang dipahami bersama.6
4
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 1-3.
5
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), h. 9-10.
6
Ilmu komunikasi, apabila diaplikasikan secara benar akan mampu
mencegah dan menghilangkan konflik antarpribadi, antarkelompok,
antar-suku, antarbangsa, dan antarras, membina kesatuan dan persatuan umat
manusia penghuni bumi.
Pentingnya studi komunikasi karena permasalahan-permasalahan yang
timbul akibat komunikasi. Manusia tidak bisa hidup sendirian. Ia secara
tidak kodrati harus hidup bersama manusia lain, baik demi kelangsungan
hidupnya, keamanan hidupnya, maupun demi keturunannya. Jelasnya
manusia hidup bermasyarakat. Masyarakat bisa berbentuk kecil, sekecil
rumah tangga yang hanya terdiri dari dua orang suami isteri, bisa berbentuk
besar, sebesar kampung, desa, kecamatan, kabupaten atau kota, propinsi,
dan negara.
Semakin besar suatu masyarakat yang berarti semakin banyak
manusia yang dicakup, cenderung akan semakin banyak masalah yang
timbul, akibat perbedaan-perbedaan di antara manusia yang banyak itu
dalam pikirannya, perasaannya, kebutuhannya, keinginannya, sifatnya,
tabiatnya, pandangan hidupnya, kepercayaannya, aspirasinya, dan lain
sebagainya.
Dalam pergaulan hidup manusia di mana masing-masing individu satu
sama lain beraneka ragam itu terjadi interaksi, saling memengaruhi demi
kepentingan dan keuntungan pribadi masing-masing. Terjadilah saling
Hakikat komunikasi adalah proses pernyataan antarmanusia. Yang
dinyatakan itu adalah pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain
dengan menggunakan bahasa sebagai alat penyalurnya.
Dalam “bahasa” komunikasi pernyataan dinamakan pesan (message),
orang yang menyampaikan pesan disebut komunikator (communicator)
sedangkan orang yang menerima pernyataan diberi nama komunikan
(communicate). Untuk tegasnya, komunikasi berarti proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan. Jika dianalisis pesan
[image:34.595.94.530.239.617.2]komunikasi terdiri dari dua aspek, pertama isi pesan (the content of the message), kedua lambang (symbol). Kongkretnya isi pesan itu adalah pikiran atau perasaan, lambang adalah bahasa.7
Gambar 1. Unsur-unsur dalam proses komunikasi
7
Onong U. Effendy, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003), h. 27-28.
Media
Message
Encoding Sender
Response Feedback
Noise
Komponen/ unsur-unsur dalam proses komunikasi adalah sebagai
berikut:8
Sender: Komunikator yang menyampaikan pesan kepada seseorang atau sejumlah orang. Encoding: Penyandian, yakni proses pengalihan pikiran ke dalam bentuk lambang. Message: Pesan yang merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh
komunikator. Media: Saluran komunikasi tempat berlalunya pesan dari komunikator kepada komunikan. Decoding: Pengawasandian, yaitu proses dimana komunikan menetapkan makna pada lambang yang disampaikan
oleh komunikator kepadanya. Receiver: Komunikan yang menerima pesan dari komunikator. Response: Tanggapan, seperangkat reaksi pada komunikan setelah diterpa pesan. Feedback: Umpan balik, yakni tanggapan komunikan apabila tersampaikan atau kepada komunikator. Dan Noise: Gangguan tak terencana yang terjadi dalam proses komunikasi sebagai
akibat diterimanya pesan lain oleh komunikan yang berbeda dengan pesan
yang disampaikan oleh komunikator kepadanya.
Ilmu komunikasi merupakan ilmu yang mempelajari, menelaah, dan
meneliti kegiatan-kegiatan komunikasi manusia yang luas ruang lingkup
(scope)-nya dan banyak dimensinya. Berikut ini penjenisan komunikasi berdasarkan konteksnya:9
8
Onong U. Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), h. 18-19.
9
a. Bidang Komunikasi
Yang dimaksudkan dengan bidang komunikasi di sini adalah bidang
kehidupan manusia, di mana di antara jenis kehidupan yang satu dengan
jenis kehidupan yang lain terdapat perbedaan yang khas; dan kekhasan ini
menyangkut pula proses komunikasi. Berdasarkan bidangnya, komunikasi
meliputi jenis-jenis antara lain: komunikasi sosial (social communication), komunikasi organisasional/ manajemen (organization/ management communication), komunikasi bisnis (bussiness communication), komunikasi politik (political comunication), komunikasi internasional
(international communication), komunikasi antarbudaya (intercultural communication), komunikasi pembangunan (development communication)
dan komunikasi tradisional (traditional communication).
Selain jenis-jenis bidang komunikasi di atas, dalam berbagai literatur
tidak jarang kita jumpai lain-lainnya, misalnya family communication,
health communication, dan sebagainya, yang sebenarnya merupakan salah satu aspek dari salah satu bidang komunikasi yang tercantum di atas.
b. Sifat Komunikasi
Ditinjau dari sifatnya, komunikasi diklasifikasikan sebagai berikut:
komunikasi verbal (verbal communication), mencakup komunikasi lisan
(oral communication) dan komunikasi tulisan (written communication).
communication), dan lain-lain. Komunikasi tatap muka (face-to-face communication) dan komunikasi bermedia (mediated communication). c. Tatanan Komunikasi
Yang dimaksud dengan tatanan komunikasi adalah proses
komunikasi ditinjau dari jumlah komunikan, apakah satu orang,
sekelompok orang, atau sejumlah orang yang bertempat tinggal secara
tersebar. Berdasarkan situasi komunikan seperti itu, maka diklasifikasikan
menjadi bentuk-bentuk sebagai berikut: komunikasi pribadi (personal communication) yaitu komunikasi seputar diri seseorang baik itu sebagai komunikator maupun sebagai komunikan, komunikasi pribadi mencakup
komunikasi intrapribadi (intrapersonal communication) dan komunikasi antarpribadi (interpersonal communication). Komunikasi kelompok (group communication), mencakup komunikasi kelompok kecil (small group communication) yakni ceramah (lecture), forum, simposium (symposium), diskusi panel (panel discusson), seminar, curahsaran (brainstorming); lain-lain dan komunikasi kelompok besar (large group communication/ public speaking). Komunikasi massa (mass communication), mencakup komunikasi media massa cetak/ pers (printed mass media communication)
yakni surat kabar (daily) dan majalah (magazine), dan komunikasi media massa elektronik (electronic mass media communication) yakni radio, televisi, film, dan lain-lain. Komunikasi medio (medio communication), mencakup surat, telepon, pamflet, poster, spanduk; dan lain-lain (media
d. Tujuan komunikasi
Adapun tujuan dalam komunikasi adalah untuk mengubah sikap (to
change the attitude), mengubah opini/ pendapat/ pandangan (to change the opinion), mengubah perilaku (to change the behaviour) dan mengubah masyarakat (to change the society).
e. Fungsi Komunikasi
Fungsi komunikasi adalah untuk menginformasikan (to inform), mendidik (to educate), menghibur (to entertain) dan memengaruhi (to influence).
f. Teknik Komunikasi
Istilah teknik berasal dari bahasa Yunani “technikos” yang berarti keterampilan atau keperigelan.
Berdasarkan keterampilan berkomunikasi yang dilakukan
komunikator, teknik komunikasi diklasifikasikan menjadi: komunikasi
informatif (informative communication), komunikasi persuasif (persuasive communication), komunikasi pervasif (pervasive communication), komunikasi koersif (coersive communication), komunikasi instruktif
(instructive communication), dan hubungan mausiawi (human relations)
g. Metode Komunikasi
Istilah metode atau dalam bahasa Inggris “method” berasal dari bahasa Yunani “methodos” yang berarti rangkaian yang sistematis dan yang merujuk kepada tata cara yang sudah dibina berdasarkan rencana
Atas dasar pengertian di atas metode komunikasi meliputi
kegiatan-kegiatan yang terorganisasi, antara lain: jurnalisme/ jurnalistik
(journalism), mencakup jurnalisme cetak (printed journalism) dan jurnalisme elektronik (electronic journalism), hubungan masyarakat
(public relation), periklanan (advertising), propaganda, perang urat syarat
(psychological warfare), perpustakaan (library); dan lain lain.
Demikianlah dimensi-dimensi komunikasi yang menjadi cakupan
ilmu komunikasi manusia yang luas.
Budaya
Dubbs dan Whitney mendefinisikan budaya sebagai “the system of
learned, cultural traits (contexts of meaning and guidelines for behaviour shared by members of a society)”.10 “Sistem belajar, ciri-ciri budaya (konteks makna dan pedoman perilaku bersama dari anggota suatu
masyarakat)”.
Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau
akal”.11
Adapun istilah culture yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan berasal dari kata Latin colere. Artinya mengolah atau mengerjakan, yaitu colere kemudian culture, diartikan
10
Patrick J. Dubbs and Daniel D. Whitney, Cultural Contexts: Making Anthropology Personal, (America: United States of America, 1938), h. 27.
11
sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah
alam.
Seorang antropolog E. B. Taylor mendefinisikan kebudayaan adalah
kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta
kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.12
Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan simbol, pemaknaan,
penggambaran (image), struktur, aturan, kebiasaan, nilai, pemrosesan informasi dan pengalihan pola-pola konvensi pikiran, perkataan dan
per-buatan/ tindakan yang dibagikan di antara para anggota suatu sistem sosial
dan kelompok sosial dalam suatu masyarakat.13
Kebudayaan dihasilkan oleh suatu perasaan komitmen yang dibangun
oleh keseluruhan sistem sosial karena keintiman hubungan timbal balik,
kesejawatan dan kesetiakawanan, keramahtamahan, kekeluargaan dari
kelompok kecil, kelompok etnik, organisasi dan bahkan oleh seluruh
masyarakat.14
Tujuh unsur kebudayaan yag dianggap sebagai culture universals, yaitu:15
12
Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 150.
13
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 4.
14
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, h. 4.
15
Pertama, peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transpor, dan
sebagainya); Kedua, mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian perternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya);
Ketiga, sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem politik, sistem hukum, sistem perkawinan); Keempat, bahasa (lisan maupun tulisan); Kelima, kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya); Keenam, sistem pengetahuan; dan Ketujuh, religi (sistem kepercayaan).
Nilai budaya terbagi menjadi enam, sebagai berikut:16
Nilai teori. Ketika manusia menetukan dengan objektif identitas
benda-benda atau kejadian-kejadian, maka dalam prosesnya hingga menjadi
pengetahuan, manusia mengenal adanya teori yang menjadi konsep dalam
proses penilaian atas alam sekitar.
Nilai ekonomi. Ketika manusia bermaksud menggunakan
benda-benda atau kejadian-kejadian, maka ada proses penilaian ekonomi atau
kegunaan, yakni dengan logika efisiensi untuk memperbesar kesenangan
hidup. Kombinasi antara nilai teori dan ekonomi yang senantiasa maju
disebut aspek progresif dari kebudayaan.
Nilai agama. Ketika manusia menilai suatu rahasia yang menakjubkan
dan kebesaran yang menggetarkan di mana di dalamnya ada konsep
16
kekudusan dan ketakziman kepada yang mahagaib, maka manusia mengenal
nilai agama.
Nilai seni. Jika yang dialami itu keindahan di mana ada konsep
estetika dalam menilai benda atau kejadian-kejadian, maka manusia
mengenal nilai seni. Kombinasi dari nilai agama dan seni yang sama-sama
menekankan intuisi, perasaan, dan fantasi disebut aspek ekspresif dari
kebudayaan.
Nilai kuasa. Ketika manusia merasa puas jika orang lain mengikuti
pikirannya, norma-normanya dan kemauan-kemauannya, maka ketika itu
manusia mengenal nilai kuasa.
Nilai solidaritas. Tetapi ketika hubungan itu menjelma menjadi cinta,
persahabatan dan simpati sesama manusia, menghargai orang lain, dan
merasakan kepuasan ketika membantu mereka maka manusia mengenal
nilai solidaritas.
Kebudayaan sebagai konsep sistem sekaligus menerangkan bahwa
“keseluruhan” seluruh arti dan makna simbol dapat dibedakan namun arti
dan makna simbol-simbol itu tidak dapat dipisahkan. Manusia dapat
membedakan arti dan makna simbol melalui kebudayaan. Simbol-simbol itu
mewakili struktur aturan budaya, konvensi pikiran dan pandangan namun
konsep-konsep itu sendiri tidak bisa dipisahkan berhubung fungsi setiap
konsep itu saling berhubungan. 17
17
Apa yang disebut dengan “keseluruhan” tersebut menerangkan bahwa kebudayaan merupakan sistem untuk mengorganisasikan simbol hasil
ciptaan bersama. Simbol-simbol itu kelak digunakan bersama-sama untuk
memenuhi kebutuhan anggota kelompok yang diwujudkan dalam proses
komunikasi antaranggota kelompok tersebut. Pada akhirnya “isi kebudaya
-an” itu diadaptasi ke dalam suatu proses yang disebut “adaptasi budaya”
yang terjadi tatkala para individu atau kelompok menggunakan peta persepsi
yang mereka miliki lalu membangun suatu gambaran atau struktur kognisi
tentang dunia lingkungan mereka. Struktur kognisi tersebut dijelaskan
melalui proses komunikasi budaya, misalnya intrabudaya, antarbudaya,
lintas budaya, dan lain-lain.18
Komunikasi Sebagai Proses Budaya
Asumsi dasarnya adalah komunikasi merupakan suatu proses budaya.
Artinya, komunikasi yang ditujukan pada orang atau kelompok lain tak lain
adalah sebuah pertukaran kebudayaan. Misalnya, Anda berkomunikasi
dengan suku Aborigin Australia, secara tidak langsung Anda sedang
berkomunikasi berdasarkan kebudayaan tertentu milik Anda untuk menjalin
kerjasama atau memengaruhi kebudayaan lain. Dalam proses tersebut
terkandung unsur-unsur kebudayaan, salah satunya adalah bahasa.
Sedangkan bahasa adalah alat komunikasi. Dengan demikian, komunikasi
juga disebut sebagai proses budaya.19
18
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 5.
19
Jika ditinjau secara lebih konkrit, hubungan antara komunikasi dengan
isi kebudayaan akan semakin jelas: 20
Dalam mempraktikkan komunikasi manusia membutuhkan
peralatan-peralatan tertentu. Secara minimal komunikasi membutuhkan sarana
berbicara, seperti mulut, bibir dan hal-hal yang berkaitan dengan bunyi
ujaran. Ada kalanya dibutuhkan tangan dan anggota tubuh lain (komunikasi
nonverbal) untuk mendukung komunikasi lisan. Ditinjau secara lebih luas
dengan penyebaran komunikasi yang lebih luas pula, maka digunakanlah
peralatan komunikasi massa, seperti televisi, surat kabar, radio, dan
lain-lain.
Komunikasi menghasilkan mata pencaharian hidup manusia.
Komunikasi yang dilakukan lewat televisi misalnya, membutuhkan orang
yang digaji untuk “mengurusi” televisi.
Sistem kemasyarakatan menjadi bagian tak terpisahkan dari
komunikasi, misalnya sistem hukum Indonesia. Sebab, komunikasi akan
efektif manakala diatur dalam sebuah regulasi agar tidak melanggar
norma-norma masyarakat.
Komunikasi akan menemukan bentuknya secara lebih baik manakala
menggunakan bahasa sebagai alat penyampai pesan kepada orang lain.
Wujud banyaknya bahasa digunakan sebagai alat komunikasi menunjukkan
bahwa bahasa sebagai isi atau wujud dari komunikasi. Bagaimana
20
penggunaan bahasa yang efektif, memakai bahasa apa, siapa yang menjadi
sasaran adalah manifestasi dari komunikasi sebagai proses budaya.
Sistem pengetahuan atau ilmu pengetahuan merupakan substansi yang
tak lepas dari komunikasi. Ilmu pengetahuan ini juga termasuk ilmu tentang
berbicara dan menyampaikan pendapat. Bukti bahwa masing-masing pribadi
berbeda dalam penyampaian, gaya, pengetahuan yang dimiliki,
menunjuk-kan realitas tersebut.
Komunikasi sebagai proses budaya tak bisa dipungkiri menjadi
objektivasi (meminjam istilah Berger) antara budaya dengan komunikasi.
Proses ini meliputi peran dan pengaruh komunikasi dalam proses budaya.
Komunikasi adalah proses budaya karena di dalamnya ada proses seperti
layaknya sebuah proses kebudayaan, punya wujud dan isi serta kompleks
keseluruhan. Sesuatu dikatakan komunikasi jika ada unsur-unsur yang
terlibat di dalamnya. Kebudayaan juga hanya bisa disebut kebudayaan jika
ada unsur-unsur yang terlibat di dalamnya yang membentuk sebuah sistem.21
Hubungan antara komunikasi dan budaya penting dipahami untuk
memahami komunikasi intra dan antarbudaya, karena melalui budayalah
orang-orang belajar berkomunikasi. Masyarakat memandang dunia melalui
kategori-kategori, konsep-konsep, dan label-label yang dihasilkan oleh
budayanya.
21
B. Komunikasi Intrabudaya
Istilah komunikasi intrabudaya nampaknya kurang populer di dalam
kategorisasi ilmu komunikasi. Sitaram dan Cogdell telah meng-identifikasi
komunikasi intrabudaya sebagai komunikasi yang berlangsung antara para
anggota kebudayaan yang sama namun tetap menekankan pada sejauh mana
perbedaan pemahaman dan penerapan nilai-nilai budaya yang mereka miliki
bersama. 22
Lewis dan Slade mengemukakan komunikasi intrabudaya adalah
“shared interpersonal communication between members of the same cultures”.23
Analisis komunikasi intrabudaya selalu dimulai dengan mengulas
keberadaan kelompok/ subbudaya dalam satu kebudayaan, juga tentang nilai
subbudaya yang dianut. Jadi studi intrabudaya memusatkan perhatian pada
komunikasi antara anggota subbudaya dalam satu kebudayaan. Komunikasi
intrabudaya pun bisa dijadikan sebagai indikator untuk mengukur tingkat
efektivitas pengiriman, penerimaan dan pemahaman bersama atas nilai yang
ditukar di antara partisipan komunikasi yang kebudayaannya homogen. 24
22
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 9.
23
Glen Lewis and Christina Slade, Critical Communication, (Australia: Prentice Hall Australia, 1994) h. 123.
24
Kebudayaan
Gambar 2. Komunikasi Intrabudaya
Gambar di atas menunjukkan komunikasi intrabudaya yang dilakukan
di antara individu-individu anggota kelompok subbudaya (1) s/d (4).
Subbudaya atau subkultur adalah suatu komunitas rasial, etnik,
regional, ekonomi atau sosial yang memerlihatkan pola perilaku yang
membedakannya dengan subkultur-subkultur lainnya dalam suatu budaya
atau masyarakat yang melingkupinya.25 Subbudaya adalah kelompok kecil
yang mungkin non-konformis, subkelompok dalam budaya lokal (host culture/ pribumi).
a. Kerangka Rujukan Komunikasi Intrabudaya 26
Hubungan Antara Masyarakat dan Kebudayaan
Hubungan antara masyarakat dengan kebudayaan yang paling realistis
ditunjukkan melalui keberadaan kebudayaan sebagai wadah untuk
memper-tahankan masyarakat dari pelbagai ancaman yang menghadang mereka.
25
Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 19.
26
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 10-11.
(1) (3)
Kebudayaan bisa menginformasikan tentang nilai suatu dan beberapa
peristiwa yang terjadi di masa lalu, sekarang dan yang akan datang.
Kebudayaan mengajarkan kepada setiap manusia tentang apa yang harus
dibuat oleh generasi manusia.
Wajarlah kalau setiap kelompok budaya selalu menciptakan hubungan
intrabudaya yang “mewajibkan” generasi yang lebih tua mensosialisasi nilai
perilaku-perilaku budaya baik secara bertahap maupun dipercepat melalui
institusi sosial kepada generasi berikut.
Dalam kehidupan dikenal institusi-institusi seperti agama, pendidikan,
rekreasi, kesehatan serta institusi-institusi lain yang merupakan pranata
kebudayaan yang menjamin perilaku manusia. Proses sosialisasi melalui
institusi sosial tersebut telah memungkinkan manusia dimasukkan ke dalam
lingkungan sosial dan kemasyarakatan. Jadi, setiap hubungan antarmanusia
dalam satu kebudayaan selalu diatur dengan sosialisasi indoktrinasi dan
instruksi nilai-nilai.
Hirarki, Kekuasaan dan Dominasi
Setiap kebudayaan selalu memiliki prinsip kebudayaan yang mengatur
hirarki dan status kekuasaan. Hirarki dalam suatu masyarakat berbudaya
selalu menggambarkan dan menerapkan proses pemeringkatan
peranan-peranan anggota masyarakat mulai dari yang paling tinggi sampai terendah.
Bukankah dalam masyarakat ada istilah: raja hutan, raja gunung, peniti
raksasa, peniti emas, lain daun, bangsawan, rakyat jelata, orang pinggiran,
menunjukkan bahwa dalam masyarakat ada kelompok elit yang mendapat
pengakuan atau yang berkuasa dan ada kelompok masyarakat yang dikuasai.
Status yang tinggi biasa diidentifikasikan dengan kekuasan puncak
yang memberikan kemungkinan bagi kelompok yang ada di bawah untuk
melihat ke atas. Kelompok masyarakat yang termasuk dalam kategori
puncak selalu mendominasi kelompok bawah. Mereka diberikan kekuasaan
karena dianggap sakti, suci, mempunyai kekuasaan khusus, bijaksana,
menjadi sumber material dan moral. Mereka disebut kelompok elit karena
memiliki pengetahuan, pengalaman, dapat dipercaya, dan lain-lain. Setiap
kebudayaan selalu memberikan tempat khusus kepada mereka untuk
memegang tampuk “puncak” pimpinan organisasi sosial karena hanya
mereka yang diasumsikan bisa memelihara institusi sosial masyarakat.
Setiap anggota suatu masyarakat yang berbudaya mengetahui hubungan
antara yang mempunyai kekuasaan dengan yang dikuasai.
b. Nomenklatur Komunikasi Intrabudaya 27
Konsep Nondominasi
Perlu diketahui bahwa komunikasi intrabudaya merupakan suatu
gejala yang selalu ada dalam konteks kebudayaan tertentu. Kebudayaan juga
mengajarkan konsep nondominasi yang mengatur nomenklatur siapa-siapa
yang tidak mempunyai kekuasaan dan pengaruh dalam masyarakat tertentu.
Kumpulan orang-orang nondominasi pun berada dalam suatu
konstelasi yang secara historis atau tradisional tidak mempunyai akses atau
27
pengaruh terhadap dominasi kebudayaan. Jadi, mereka tidak memiliki
dominasi sosial, politik, hukum, ekonomi dan struktur keagamaan serta
organisasi sosial lain.
Beberapa contoh di dalam kebudayaan tertentu, kaum wanita, wadam,
orang tua jompo, kulit hitam, orang pendatang/ orang luar; tidak mempunyai
“nama” dan peranan yang luas dalam masyarakat. Mereka dianggap orang “aneh”, mempunyai perilaku menyimpang, penghambat, abnormal yang
berbeda dengan orang lain dan masyarakat yang memiliki dominasi tertentu.
Mereka merupakan “orang dalam yang tersingkir” dan yang terjajah, atau
mereka merupakan suku bangsa asli yang dijajah oleh suku bangsa sendiri.
Meskipun mereka tidak penting dalam kategori perhatian dan komunikasi
intrabudaya namun perilaku mereka tetap dikontrol sebagai anggota
masyarakat intrabudaya agar mereka tidak mendewakan “ideologi”
subbudaya yang mengancam kebudayaan kelompok yang lebih besar.
Geopolitik
Masalah kekuasaan, dominasi dan nondominasi dalam masyarakat
dapat dikaitkan dengan geopolitik. Proses untuk menyingkirkan kelompok
nondominasi atau tidak berkuasa dilakukan melalui diskriminasi dan
segregasi atas wilayah pemukiman dan pekerjaan.
Di dalam terminologi geopolitik, kaum nondominasi itu telah
ditetapkan geopolitiknya. Misalnya dengan menetapkan wilayah geografis
tertentu sebagai pusat pemukiman, kekuasaan, dominasi dalam bidang
selalu berasal dari kebudayaan dominan dalam masyarakat. Jadi, hubungan
intrabudaya selalu didasarkan pada sikap diskriminasi geopolitik dan
lain-lain.
C. Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi antarbudaya lebih menekankan pada komunikasi
antarpribadi di antara komunikator dan komunikan yang kebudayaannya
berbeda. Lewis dan Slade menyebutkan komunikasi antarbudaya adalah
“face-to-face communication between people from differing cultural backgrounds”.28
(Komunikasi tatap muka antara orang-orang dari latar
belakang kebudayaan yang berbeda).
Kebudayaan A Kebudayaan B
[image:51.595.99.509.205.584.2]Kebudayaan C
Gambar 3. Komunikasi Antarbudaya
Gambar ini menunjukkan bahwa komunikasi antarbudaya adalah
kegiatan komunikasi antarpribadi yang dilangsungkan di antara para
anggota kebudayaan yang berbeda.29
28
Glen Lewis and Christina Slade, Critical Communication, (Australia: Prentice Hall Australia, 1994) h. 122.
29
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 13.
C
Dalam mempelajari komunikasi antarbudaya menuru