MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN DENGAN STRATEGI METAKOGNITIF
SELF-EXPLANATION
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh RODIAL NIM 1110017000039
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
i ABSTRAK
RODIAL (1110017000039), “Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis
Matematis Siswa Melalui Pembelajaran Dengan Strategi Metakognitif Self-Explanation”. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, April 2015.
Penelitian ini dilaksanakan di salah satu SMA Negeri di Tangerang Selatan tahun ajaran 2014/2015 yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa dalam pembelajaran matematika pada materi persamaan dan fungsi kuadrat. Pembelajaran dengan strategi metakognitif self-explanation ini terinspirasi dari strategi metakognitif self-explanation yang dilakukan oleh McNamara dan Magliano pada program bahasa yang memungkinkan siswa untuk menyadari apa yang mereka lakukan dan kerjakan melalui instruksi yang diberikan pada saat pembelajaran. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas X sebanyak 73 siswa. Dari 73 orang siswa dibagi dalam dua kelompok, yaitu 37 orang pada kelas eksperimen dan 36 orang siswa pada kelas kontrol dengan teknik cluster random sampling. Metode yang digunakan adalah Quasi Eksperimen dengan desain penelitian Two Group Randomized Subject Posttest Only. Hasil dari penelitian diperoleh bahwa kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diajarkan melalui pembelajaran dengan strategi metakognitif self-explanation lebih tinggi dari pada siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional. Dengan nilai signifikasi (sig.) sebesar 0,0005
. Nilai rata-rata hasil posttest dari kelas eksperimen sebesar 70,81 dan
kelas kontrol sebesar 60,97. Dari ketiga indikator, kemampuan menentukan strategi, memberikan alasan, dan menyimpulkan diperoleh siswa kelas eksperimen memiliki persentase yang lebih baik daripada siswa dari kelas eksperimen dengan pencapaian indikator tertinggi pada kemampuan menyimpulkan dari ketiga indikator tersebut.
ii ABSTRACT
RODIAL (1110017000039), “Improve Student’s Critical Thinking Skills Mathematical Through Learning Mathematics with Self-Explanation Metacognitive Strategy”. The Thesis of Department of Mathematics Education Faculty of Tarbiyah and Teaching Science UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, April 2015.
This research was conducted in one of the high school in South Tangerang academic year 2014/2015, which aims to improve student’s critical thinking skill mathematical in learning mathematics on the topic of quadratic equations and functions. This Learning with self-explanation metacognitive strategy was inspired from the self-explanation metacognitive strategies undertaken by McNamara and Magliano in the language program that allows students to realize what they are doing and working through the instructions given at the time of learning. The sample in this study were students of class X as many as 73 students. Of the 73 students were divided into two groups, namely 37 students in the experimental class and 36 students in the control class with cluster random sampling technique. The method used is Quasi Experiment with Two Group randomized Subject Posttest Only. The results of the study showed that the critical thinking skills that are taught through the students' mathematical learning with self-explanation metacognitive strategies is higher than students taught by conventional learning. With a significance value (sig.) of .0005 (p < .05). The average value of the posttest results of an experimental class is 70.81 and 60.97 for the control class. Of the three indicators, the ability to define a strategy, giving reasons, and concluded obtained experimental class students have percentage better than students in the experimental class with the achievement of the highest indicator on the ability to conclude from these three indicators.
iii KATA PENGANTAR
ميحرلا نمحرلا ها مسب
Segala puji bagi Allah SWT sebagai wujud syukur yang senantiasa
memberikan nikmat-Nya yang tak terbatas bagi kita semua dan khusus bagi
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat dan salam bagi
kekasihnya, Muhammad SAW dan keluarga, beserta para sahabat dan
pengikutnya hingga akhir zaman.
Perjalanan selama penulisan skripsi ini sepenuhnya tidak selalu dilalui
dengan jalan kemudahan, akan tetapi hambatan-hambatan yang datang dari
pribadi penulis dan lingkungan sekitar yang ikut andil dalam memotivasi penulis
untuk menyelesaikan skripsi ini dan sekaligus membuat penulis mendapatkan
pelajaran untuk lebih baik kedepannya. Oleh sebab itu, rasa terima kasih
sebesar-besarnya penulis persembahkan kepada:
1. Bapak Abdul Muin, S.Si, M.Pd., sebagai Dosen Pembimbing I dan Ibu Moria
Fatma, M.Si., sebagai Dosen Pembimbing II yang telah memberikan waktu,
arahan-arahan, motivasi untuk penulis. Semoga bimbingan Bapak/Ibu menjadi
sebuah pahala kebaikan dalam ilmu, amin.
2. Bapak Dr. Kadir, M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Abdul Muin, S.Si, M.Pd., Sekretaris Jurusan Pendidikan Matematika
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Khairunnisa, M.Si., sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang
memberikan bimbingan, saran, dan waktu dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Matematika UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan pengalaman pengetahuan kepada penulis,
sehingga dengan ilmu yang telah Bapak/Ibu Dosen yang sangat banyak
iv 6. Bapak Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Staf Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan Staf Jurusan Pendidikan
Matematika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Bapak Drs. H.P.A Sopandy, M.Pd., sebagai Kepala Sekolah SMA Negeri 3
Tangerang Selatan, dan Ibu Wiwin Purwi Indayati, M.Pd., sebagai Wakil
Bidang Kurikulum yang telah memberikan izin kepada penulis untuk
melakukan penelitian.
9. Bapak Mashudi Jaed, M.Pd., sebagai guru pengampu mata pelajaran
Matematika di SMA Negeri 3 Tangerang Selatan yang selalu memberikan
motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dan Siswa-Siswi
SMA Negeri 3 Tangerang Selatan, khususnya siswa kelas X.MIA 3 dan
X.MIA 4.
10.Teristimewa untuk kedua orang tua, Amai dan Ayah penulis yang selalu
mendoakan dan memberikan kasih sayangnya dari jauh beserta kakak (Mida,
Nelma, Yasinta, Usman, Adri, Wati, Iwan, dan Irwandi) dan adik (Diana, Elvi,
dan Elmi) penulis yang menjadi penyemangat penulis.
11.Teman-teman Jurusan Pendidikan Matematika angkatan 2010, Devi Intan
Febriyanti, S.Pd., Febri Indrawan, S.Pd., Hafizh Nizham, S.Pd., Venny, Nofal,
Zulfah, Sidik, Sigit, Asep, Sofyan, Muchtar, Tessa, dan juga pada adik-adik
angkatan 2009 yang selalu mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan
skripsi.
Keterbatasan-keterbatasan yang penulis miliki membuat penulisan skripsi
masih jauh dari tingkat kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan
saran dan kritik yang dapat menyempurnakan penulisan ini dimasa yang akan
datang. Sebagai penutup ucapan dari penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi penulis dan bagi pembaca pada umumnya.
Jakarta, April 2015
Penulis
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR BAGAN ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 7
C. Pembatasan Masalah ... 7
D. Perumusan Masalah ... 8
E. Tujuan Penelitian ... 8
F. Manfaat Penelitian ... 9
BAB II : LANDASAN TEORETIK, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN A. Deskripsi Teoretik 1. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis ... 10
2. Pembelajaran Matematika ... 15
3. Strategi Metakognitif ... ... 16
4. Metakognisi Sebagai Strategi Berpikir... .. 18
5. Proses Metakognisi dalam Matematika ... 19
6. Self-Explanation ... 19
B. Penelitian yang Relevan ... 23
C. Kerangka Berpikir ... 24
D. Hipotesis Penelitian ... 26
vi
B. Desain Penelitian ... 27
C. Populasi dan Sampel Penelitian ... 28
D. Instrumen Penelitian ... 28
E. Teknik Pengumpulan Data ... 31
F. Uji Coba Instrumen Penelitian ... 32
1. Validitas Instrumen ... 32
2. Taraf Kesukaran ... 33
3. Daya Pembeda ... 34
4. Realibilitas Instrumen ... 35
G. Teknik Analisis Data ... 37
1. Uji Normalitas ... 37
2. Uji Homogenitas ... ... 38
3. Uji Hipotesis ... 39
H. Hipotesis Statistik ... 40
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deksripsi Data ... 41
1. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 41
2. Hasil Uji Normalitas ... 45
3. Hasil Uji Homogenitas ... 46
4. Pengujian Hipotesis ... 46
B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 48
C. Keterbatasan Penelitian ... 60
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 61
B. Saran ... 61
vii DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Desain Penelitian ... 27
Tabel 3.2 Kisi-Kisi Instrumen Kemampuan Berpikir Kritis ... 30
Tabel 3.3 Pedoman Penilaian Tes Kemampuan Berpikir Kritis ... 31
Tabel 3.4 Kriteria Tingkat Kesukaran ... 33
Tabel 3.5 Kriteria Daya Pembeda ... 34
Tabel 3.6 Hasil Rekapan Uji Analisis Instrumen Tes ... 35
Tabel 3.7 Kriteria Realibilitas ... 36
Tabel 4.1 Statistik Deskriptif Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 41
Tabel 4.2 Ketercapaian Indikator Kemampuan Berpikir Kritis Matematis 43
Tabel 4.3 Hasil Uji Normalitas Kelas Eksperimen ... 45
Tabel 4.4 Hasil Uji Normalitas Kelas Kontrol ... 45
Tabel 4.5 Hasil Uji Homogenitas Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 46
viii DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Perbandingan Penyebaran Data Distribusi Frekuensi
Siswa Kelompok Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 42
Ganbar 4.2 Perbandingan Ketercapaian Indikator Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 44
Gambar 4.3 Jawaban Siswa Kelas Eksperimen Soal Nomor 3 ... 49
Gambar 4.4 Jawaban Siswa Kelas Kontrol Soal Nomor 3 ... 50
Gambar 4.5 Jawaban Siswa Kelas Eksperimen Soal Nomor 5 ... 51
Gambar 4.6 Jawaban Siswa Kelas Kontrol Soal Nomor 5 ... 52
Gambar 4.7 Jawaban Siswa Kelas Eksperimen Soal Nomor 1 ... 53
Gambar 4.8 Jawaban Siswa Kelas Kontrol Soal Nomor 1 ... 54
Gambar 4.9 Jawaban Siswa Kelas Eksperimen Soal Nomor 2 ... 55
Gambar 4.10 Jawaban Siswa Kelas Kontrol Soal Nomor 2 ... 56
Gambar 4.11 Jawaban Siswa Kelas Eksperimen Soal Nomor 4 ... 57
ix DAFTAR BAGAN
x DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 RPP Kelas Eksperimen ... 66
Lampiran 2 RPP Kelas Kontrol ... 87
Lampiran 3 Bahan Ajar Kelas Eksperimen ... 96
Lampiran 4 Kisi-Kisi Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis ... 120
Lampiran 5 Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis ... 122
Lampiran 6 Pembahasan Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis ... 124
Lampiran 7 Pedoman Penilaian Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis 128 Lampiran 8 Hasil Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis ... 129
Lampiran 9 Hasil Uji Validitas ... 130
Lampiran 10 Hasil Uji Taraf Kesukaran ... 131
Lampiran 11 Hasil Uji Daya Pembeda Soal ... 132
Lampiran 12 Hasil Uji Realibilitas ... 133
Lampiran 13 Hasil Posttest Kelas Eksperimen ... 134
Lampiran 14 Hasil Posttest Kelas Kontrol ... 135 Lembar Uji Referensi
Surat Izin Penelitian
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan suatu tahapan yang mengarahkan terbentuknya
manusia yang ideal. Tahapan-tahapan yang dilalui itupun tidak harus didapatkan
dalam koridor yang umum (pendidikan formal), tetapi dapat juga diperoleh dalam
pendidikan nonformal. Hal ini sesuai dengan penjelasan dalam UU No.20 Tahun
2003 tentang Sisdiknas bahwa penyelenggaraan pendidikan dapat diselenggarakan
melalui jalur pendidikan formal dan nonformal. Jalur pendidikan formal
diselenggarakan di sekolah, sedangkan jalur pendidikan nonformal
diselenggarakan di lingkungan masyarakat, yang terdiri atas berbagai satuan dan
jenis program.1
Jalur-jalur pendidikan yang ditempuh tersebut tidak lain bertujuan untuk
menciptakan manusia yang berguna untuk lingkungan keluarga, masyarakat, dan
bangsa. Seperti yang dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional yang
tercantum dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Pasal 3 yang berbunyi:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.2
Salah satu mata pelajaran yang dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah
di semua tingkatan adalah matematika. Matematika adalah suatu bidang ilmu
yang memiliki penerapan yang sangat banyak pada bidang ilmu lain, seperti
fisika, kimia, perteknikan, ekonomi, dan lain-lain. Mata pelajaran matematika
1
Ihat Hatimah, dkk., Pembelajaran Berwawasan Kemasyarakatan, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2010), h. 4.3.
2
2 perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk
membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis,
kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerja sama.
Pentingnya mengembangkan dan melatih siswa untuk menggunakan
kemampuan berpikir kritis merupakan tugas yang tidak mudah bagi seorang guru,
karena untuk mengajarkan kemampuan tersebut gurunya pun harus dapat
menggunakan kemampuan bepikir kritis dalam proses mengajar. Hasil penelitian
Mayadiana tentang rendahnya kemampuan berpikir kritis calon guru SD, yakni
36,26% untuk mahasiswa berlatar belakang IPA, 26,62% untuk mahasiswa
berlatar belakang Non-IPA, serta 34,06% untuk keseluruhan mahasiswa. 3
Penelitan Priatna juga menunjukkan kemampuan penalaran siswa SMP di
kota Bandung masih belum memuaskan, yaitu hanya mencapai sekitar 49% dan
50% dari skor ideal.4 Kemampuan penalaran yang merupakan kemampuan
menganalisis menempati posisi teratas dalam tingakatan berpikir kritis.
Berdasarkan taksonomi Bloom, tiga tingkatan teratas, yaitu analisis, sintesis, dan
evaluasi. Berdasarkan hasil survey TIMSS 2007 rata-rata skor penalaran
(reasoning) yang diperoleh siswa Indonesia dalam menyelesaikan soal-soal yang menuntut kemampuan penalaran:
a) Contoh soal matematika yang diujikan pada kelas 8 (8th grade).
Sumber : TIMSS 2011 International Results in Mathematics, hal. 135
3
Fachrurazi, Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berfikir Kritis dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Dasar,Portal Jurnal UPI, Edisi Khusus (1), 2011, h. 77.
3 Dengan skor rata-rata internasional adalah 23 dengan skor tertinggi 53
(Chinese Taipei) dan Indonesia termasuk ke dalam kelompok percent significantly lower than international average dengan perolehan skor 10.
b) Contoh soal matematika untuk kelas 8 (8th grade)
Sumber : TIMSS 2011 International Results in Mathematics, hal. 136
Dengan skor rata-rata internasional 25, Indonesia mendapatkan skor 11 dan
skor tertinggi 66 (Chinese Taipei). Dari hasil TIMSS 2011 Mathematics Framework (kerangka matematika) diilustrasikan bahwa perolehan persentase pada domain kognitif penalaran (reasoning) siswa pada kelas 8 yang berada pada urutan terakhir dari persentase pencapaian tertinggi untuk domain kognitif yang
diujikan diantaranya knowing, applying, dan reasoning terlihat pada gambaran berikut yang di fokuskan hanya pada salah satu komponen dari kemampuan
4 TIMSS 2011 International Results in Mathematics, hal. 86
Berdasarkan patokan pencapaian prestasi matematika siswa secara
internasional dapat diperlihatkan bahwa posisi dan prestasi siswa di Indonesia dari
tahun 1995 sampai tahun 2011 yang dikategorikan pada level advanced, high, intermediate, dan low dari hasil survei TIMSS seperti gambar berikut:
TIMSS 2011 International Results in Mathematics, hal. 118
TIMSS 2011 International Results in Mathematics, hal. 119
Tim survey IMSTEP-JICA di kota Bandung berikutnya, antara lain
menemukan sejumlah kegiatan yang dianggap sulit oleh siswa untuk
mempelajarinya dan oleh guru untuk mengajarkannya antara lain, pembuktian
pemecahan masalah yang memerlukan penalaran matematis, menemukan,
generalisasi atau konjektur, dan menemukan hubungan antara data-data atau fakta
yang diberikan. Kegiatan-kegiatan yang dianggap sulit tersebut, kalau kita
perhatikan merupakan kegiatan yang menuntut kemampuan berpikir kritis.5
Wono Setyabudhi, dosen matematika Institut Teknologi Bandung (ITB),
mengatakan pembelajaran matematika di Indonesia memang masih menekankan
5 menghafal rumus-rumus dan menghitung. Padahal, belajar matematika itu harus
mengembangkan logika, reasoning, dan berargumentasi, serta dapat meyakinkan orang lain.6
Dalam menerima suatu kebenaran dari masalah yang disampaikan,
kemampuan menganalisis argumen dan penalaran sangat dibutuhkan untuk
menyatakan pendapat setelah diolah oleh pemikirannya sendiri. Untuk
memperoleh kemampuan berargumen, memberikan alasan sehingga kebenaran
suatu hal diperoleh diperlukan kemampuan berpikir kritis dalam memandang
suatu hal. Jika siswa memiliki kemampuan ini, maka siswa tersebut cenderung
untuk menggunakan analisis terlebih dahulu dengan memberikan alasan-alasan
yang logis untuk meyakinkan orang lain dengan informasi yang benar. Fachrurazi
dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa kemampuan berpikir kritis adalah
sebuah proses sistematis yang memungkinkan siswa untuk merumuskan dan
mengevaluasi keyakinan dan pendapat mereka sendiri. 7 Selain itu, faktor
pengajaran dari guru merupakan komponen utama tersampaikannya ilmu dan
pemahaman siswa tentang suatu materi. Metode dan strategi yang digunakan akan
sangat berpengaruh sekali terhadap penerimaan dan penyerapan informasi oleh
siswa.
Pada proses meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dalam
pembelajaran, siswa akan dituntut melakukan kontrol aktif terhadap proses
kognitifnya karena mereka akan memikirkan apa yang sedang mereka pikirkan.
Fisher menyebutkan cara realistik untuk mengembangkan kemampuan berpikir
kritis adalah memikirkan apa yang dipikirkan, yang juga merupakan makna dari metakognisi, “ ..., that the only realistic way to develop one’s critical thinking ability is through ‘ thinking about one’s thinking’(often called ‘metacognition’) ...’’.8
Pada proses kognitif inilah kemampuan (skill) untuk mengontrol kegiatan
6
Ester Lince Napitupulu, Kompas: Prestasi Sains dan Matematika Indonesia Menurun. Dapat diakses pada URL:
http://edukasi.kompas.com/read/2012/12/14/09005434/Prestasi.Sains.dan.Matematika.Indones ia.Menurun, (2012).
7
Fachrurazi, op. cit., h. 81. 8
6 kognitif melalui instruksi untuk membangun pengetahuan dengan interaktif
dengan diri sendiri.
Metakognisi mengacu pada pemahaman seseorang tentang
pengetahuannya, sehingga pemahaman yang mendalam tentang pengetahuannya
akan mencerminkan penggunaan yang efektif atau uraian yang jelas tentang
pengetahuan yang dipermasalahkan. Metakognisi siswa melibatkan pengetahuan
dan kesadaran siswa tentang aktivitas kognitifnya sendiri atau segala sesuatu yang
berhubungan dengan aktivitas kognitifnya. Pengetahuan berkaitan dengan
pengetahuan deklaratif, prosedural, dan kondisional, sedangkan aktivitas kognitif
siswa berkaitan dengan perencanaan, prediksi, monitoring, dan mengevaluasi
penyelesaian tugas tertentu.9
Strategi metakognitif berkaitan dengan cara untuk meningkatkan
kesadaran tentang proses berpikir dan proses pembelajaran pun tetap berlangsung.
Upaya untuk mengembangkan metakognisi siswa dapat diupayakan melalui cara
dimana siswa dituntut untuk mengamati apa yang mereka ketahui dan kerjakan
dan merefleksikan tentang apa yang ia amati.10
Salah satu strategi metakognitif dalam melakukan instruksi dalam
mengontrol kegiatan kognitif adalah dengan teknik self-explanation. Self-explanation merupakan teknik bertanya dan menjelaskan pada diri sendiri apa yang dipikirkan dan apa yang dilakukan melalui ungkapan (lisan) ataupun secara
tertulis.11 Strategi metakognitif ini berfungsi sebagai pengatur jalannya kognitif
melalui instruksi-instruksi untuk meningkatkan kemampuan berpikir secara cepat,
beralasan, dan logis.
Dalam kegiatannya di dalam kelas, self-explanation mengisntruksikan kepada diri siswa agar dalam proses pembelajarannya mereka selalu memonitor
diri mereka sendiri. Proses-proses seperti mengatur pikiran, menyadari kelebihan
9
Anthony S. Niedwiecki, Lawyers and Learning: A Metacognitive Approach to Legal Education, The John Marshall Institutional Repository,13:13, 2006, h. 43-44.
10
Kadir, “Pengaruh Pendekatan Problem Posing Terhadap Prestasi Belajar Matematika Jenjang Pengetahuan, Pemahaman, Aplikasi, dan Evaluasi ditinjau dari Metakognisi Siswa SMU di Jakarta”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan,053, 2005, h. 237.
11
McNamara, dan Magliano, “Self-Explanation and Metacognition: The Dynamics of reading”,
7 dan kekurangan, membawakan masalah ke dalam cara sendiri, dan memperluas
pengetahuan cara yang dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah/tugas.
Didasari dari pengalaman-pengalaman, hasil penelitian, dan masalah
yang sehari-hari yang ditemui telah peneliti gambarkan secara umum masalah
yang akan diteliti dan intervensi yang akan digunakan. Oleh karena itu, penulis akan memberi judul penelitian ini dengan “Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Melalui Pembelajaran dengan Strategi Metakognitif Self-Explanation”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat diidentifikasi beberapa
masalah antara lain :
1. Kemampuan berpikir kritis matematis siswa di Indonesia pada pembelajaran
matematika masih kurang.
2. Kegiatan pembelajaran sering bersifat transfer ilmu dari guru ke siswa bukan
untuk menyusun kembali pengetahuan oleh siswa.
3. Pengetahuan siswa yang sering kali dangkal karena pembelajarannya bersifat
hafalan bukan pemaknaan.
4. Kemampuan guru untuk mengajarkan siswa menggunakan kemampuan
berpikir kritis mereka dalam pembelajaran.
5. Kemampuan penalaran siswa yang masih kurang yang merupakan komponen
dalam kemampuan berpikir kritis.
C. Pembatasan Masalah
Untuk memfokuskan masalah yang akan diteliti, dari
identifikasi-identifikasi masalah yang dikemukakan di atas maka masalah dalam penelitian ini
akan dibatasi sebagai berikut:
1. Penelitian ini menggunakan Strategi Metakognitif Self-explanation yang merupakan kegiatan kontrol aktif dari siswa terhadap pengetahuannya
sehingga mereka dapat mengendalikan pemikiran mereka sendiri dan
8 2. Untuk mengukur kemampuan berpikir kritis matematis, maka
indikator-indikator yang digunakan adalah:
a) Kemampuan untuk memberikan alasan.
b) Kemampuan untuk menyimpulkan.
c) Kemampuan untuk membuat keputusan dan tindakan.
3. Materi yang dibahas adalah materi yang mempunyai materi prasyarat.
4. Materi yang akan dimasukkan dalam penelitian ini adalah persamaan dan
fungsi kuadrat.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka rumusan masalah yang
diberikan adalah:
1. Bagaimana kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diajarkan
dengan strategi metakognitif self-explanation dan yang diajarkan dengan cara konvensional?
2. Apakah kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diajarkan melalui
pembelajaran dengan strategi metakognitif self-explanation lebih tinggi daripada siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian tentang berpikir kritis ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa melalui
strategi metakognitif self-explanation dalam pembelajaran matematika. 2. Untuk melihat bagaimana penerapan strategi metakognitif self-explanation
terhadap kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran matematika.
3. Untuk merangsang siswa mengendalikan pikirannya dalam belajar
matematika dengan strategi metakognitif self-explanation.
4. Untuk mendapatkan pengetahuan yang bermakna oleh siswa sehingga siswa
9 F. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Siswa dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dalam belajar
matematika.
2. Membantu siswa dalam mengendalikan pikiran mereka sehingga mereka
mendapatkan pengetahuan yang mendalam terhadap suatu pengetahuan.
3. Mengaktifkan kemampuan siswa agar mereka sadar terhadap apa yang
mereka pelajari.
4. Bagi guru, sebagai bahan untuk menerapkan masalah-masalah yang dapat
merangsang penggunaan kemampuan berpikir kritis oleh siswa.
5. Untuk bahan pertimbangan dalam menggunakan strategi dalam pembelajaran
matematika oleh guru.
6. Bagi peneliti, penelitian untuk mencari solusi terhadap permasalahan dalam
belajar matematika melalui penerapan strategi yang dapat merangsang
10 BAB II
LANDASAN TEORETIK, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN
A. Deskripsi Teoretik
Dalam penelitian ini terdapat beberapa istilah-istilah dalam teori
pendukung yang digunakan seperti kemampuan berfikir kritis, pembelajaran
matematika, strategi metakognitif, metakognisi sebagai strategi berfikir, proses metakognisi dalam matematika, dan self-explanation. Lebih lanjut akan diuraikan sebagai berikut:
1. Kemampuan Berfikir kritis
Salah satu komponen dari berfikir tingkat tinggi adalah berfikir kritis
(critical thinking) yang bukan hal yang baru lagi dalam kajian masalah pembelajaran matematika. Robert H. Ennis mendefinisikan berfikir kritis adalah
berfikir secara beralasan dan reflektif yang difokuskan pada pengambilan
keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan.1 Dalam pengambilan
keputusan informasi yang dikumpulkan haruslah jelas kekredibilitasannya
sehingga orang lain mampu menerimanya secara rasional. Sejalan dengan Lau,
berfikir kritis adalah berfikir secara jelas dan rasional.2 Sedangkan , Schafersman
mendefinisikan berfikir kritis berarti berfikir dengan benar dalam mencari
pengetahuan yang relevan dan dapat dipercaya disekitar kita.3 Kedua definisi
mengarah kepada ketepatan berfikir dan bekerja, dan membantu dalam
menekankan keterkaitan sesuatu dengan yang lainnya dengan lebih akurat.
Dalam pembelajaran matematika kemampuan berfikir ini sangat penting
dimiliki oleh setiap siswa untuk memperoleh pemahaman akan pelajaran yang
1
Robert H. Ennis, “The Nature of Critical Thinking: An Outline of Critical Thinking Dispositions and Disabilities”, Makalah diperesentasikan pada Sixth International Conference on Thinking
at MIT, Cambridge, Mei 2011,
(http://faculty.education.illinois.edu/rhennis/documents/TheNatureofCriticalThinking_51711_ 000.pdf).
2
Joe Y.F. Lau, An Introduction to Critical Thinking and Creativiy : Think More, Think Better, (New Jersey : John Wiley & Sons, Inc., 2011), h. 1.
3
Steven D. Schafersman, An Introduction to Critical Thinking, 1991, h. 3, 4
11 diterimanya. Pada dasarnya, kemampuan berfikir kritis ini membuat siswa lebih
kritis dalam memandang suatu hal, mampu untuk mencerna informasi yang
disampaikan dengan baik, serta mampu menganalisis informasi tersebut.
Dalam aktivitas belajar, karakteristik individu yang dapat menggunakan
kemampuan berfikir kritis ini oleh Lau:4
1. Memahami hubungan logis antara ide-ide.
2. Merumuskan ide secara singkat dan tepat.
3. Mengidentifikasi, membangun, dan mengevaluasi argument.
4. Mengevaluasi pro dan kontra dari keputusan.
5. Mengevaluasi bukti terhadap hipotesis.
6. Mendeteksi inkonsistensi dan kesalahan umum dalam penalaran.
7. Analisis masalah secara sistematis.
8. Mengidentifikasi relevansi dan pentingnya ide-ide.
9. Menyamakan persepsi dan nilai-nilai seseorang.
10. Merefleksikan dan mengevaluasi kemampuan berpikir seseorang.
Sedangkan, menurut Raymond S. Nickerson beberapa karakteristik
seseorang yang memiliki kemampuan berfikir kritis adalah:5
1. Menggunakan bukti dengan terampil dan seimbang.
2. Mengorganisir pemikiran dan mengartikulasikannya dengan singkat dan
dengan jelas.
3. Memahami perbedaan antara memberi alasan/menalar dan merasionalkan.
4. Memahami gagasan pada derajat/tingkat kepercayaan tertentu.
5. Berusaha untuk mengantisipasi konsekuensi tindakan alternatif yang
mungkin.
6. Dapat belajar independen dan memiliki kepercayaan dalam
melaksanakannya.
7. Menerapkan teknik dan strategi pemecahan masalah dalam menyelesaikan
materi apapun.
4
Lau, op. cit., h. 2. 5
12 8. Dapat membangun sebuah permasalahan yang disajikan secara informal ke
dalam bentuk yang formal, seperti matematika, dan sekaligus dapat
menggunakannya untuk memecahkan masalah.
9. Terbiasa mempertanyakan pendapatnya sendiri dan berusaha untuk
memahami pandangan/asumsinya secara kritis juga implikasi dari
pandangannya itu.
10. Mengenali kemungkinan yang keliru dari pendapatnya sendiri, mengenali
kemungkinan penyimpangan yang mungkin dari pendapatnya sendiri, dan
menyadari bahaya pada bukti menurut pilihan pribadi.
11. Menyadari fakta bahwa pemahaman seseorang selalu terbatas.
Lebih lanjut Schafersman menyatakan seseorang yang memiliki
kemampuan berfikir kritis dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sesuai,
mengumpulkan informasi yang relevan, secara efisien dan kreatif mereka
menyusun dan berbuat melalui informasi yang dikumpulkannya itu, bernalar
secara logika berdasarkan informasi, dan datang dengan kesimpulan yang reliabel
dan dapat dipercaya tentang lingkungan yang memungkinkannya tinggal dan
berhasil di dalamnya.6
Dalam mengajarkan kemampuan berfikir kritis ini dapat diajarkan dengan
mengoptimalkan penggunaan kemampuan kognitif atau strategi yang dapat
meningkatkan peluang dari hasil yang diinginkan dalam tahap yang panjang. Poin
yang terpenting adalah berfikir kritis bukan digunakan pada konteks yang negatif,
sebagai mencari kesalahan (finding fault) lawan bicara, tetapi kemampuan ini digunakan sebaliknya untuk kritis dalam melakukan pengevaluasian dan
pemutusan dari argumen yang diberikan.
Untuk menilai kemampuan berfikir kritis yang dilakukan siswa selama
proses belajar adalah dengan indikator berfikir kritis. Dalam kurikulum berfikir
kritis, menurut Ennis terdapat dua belas indikator berfikir kritis yang
dikelompokkan ke dalam lima keterampilan berfikir, yaitu:7
6
Ibid., h. 3. 7
13 1. Memberikan penjelasan sederhana.
2. Membangun keterampilan dasar.
3. Menyimpulkan.
4. Memberikan penjelasan lebih lanjut.
5. Mengatur strategi dan taktik
Selanjutnya, dari keterampilan (1) dijabarkan ke dalam 3 indikator yaitu
memfokuskan pertanyaan, menganalisis argumen, dan bertanya dan menjawab
pertanyaan menantang. Dari keterampilan (2) dijabarkan ke dalam 2 indikator,
yaitu mempertimbangkan kredibilitas suatu sumber, dan mengobservasi dan
mempertimbangkan hasil observasi. Dari keterampilan (3) dijabarkan ke dalam 3
indikator, yaitu membuat deduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi,
membuat induksi dan mempertimbangkan induksi, dan membuat dan
mempertimbangkan nilai keputusan. Dari keterampilan (4) dijabarkan ke dalam 2
indikator, yaitu mendefinisikan istilah, memempertimbangkan definisi, dan
mengidentifikasi asumsi. Dari keterampilan (5) dijabarkan menjadi 1 indikator,
yaitu memutuskan suatu tindakan.8
Glazer merumuskan berfikir kritis dalam matematika sebagai kemampuan
dan disposisi untuk menyertakan pengetahuan sebelumnya, penalaran matematika,
dan strategi kognitif untuk menggeneralisasi, membuktikan, atau mengevaluasi
situasi-situasi matematika yang tidak familiar secara reflektif. Berdasarkan
rumusan definisi tersebut, maka kondisi untuk berfikir dalam matematika harus
memuat:9
1. Situasi yang tidak familiar dimana individu tidak dapat dengan cepat
memahami konsep matematika atau mengetahui bagaimana menentukan
solusi dari persoalan.
2. Menggunakan pengetahuan awal, penalaran matematika, dan strategi
kognitif.
3. Generalisasi, pembuktian, dan atau evaluasi.
8
Ibid., h. 13-16. 9
14 4. Berfikir reflektif yang melibatkan pengomunikasian solusi dengan penuh
pertimbangan, membuat makna tentang jawaban atau argumen yang masuk
akal, menentukan alternatif untuk menjelaskan konsep atau memecahkan
persoalan, dan atau membangkitkan perluasan untuk studi selanjutnya.
Pada dasarnya tujuan berpikir kritis untuk mengevaluasi tindakan yang telah
dilakukan dan membuat keputusan.
Dalam berpikir kritis seseorang akan berusaha memahami dan
menemukan (mendeteksi) hal-hal yang istimewa dari informasi yang diperoleh
kemudian membuat kesimpulan dengan menganalisis dan merefleksi hasil
pikirannya tersebut. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kemampuan berfikir kritis
matematis merupakan kemampuan seseorang dalam memamandang dan
memahami suatu informasi yang diterima secara mendalam dengan melibatkan
proses berfikir untuk memberikan alasan yang dapat diterima, memberikan
generalisasi dan membuat putusan yang dapat diterima dalam pembelajaran
matematika.
Kemampuan berpikir kritis perlu dikembangkan dalam diri siswa agar
siswa lebih mudah memahami konsep, dan peka akan masalah yang terjadi
sehingga dapat menyelesaikan masalah dengan benar serta siswa yakin bahwa
keputusan yang dipilihnya sudah benar. Berdasarkan indikator yang dikemukakan
oleh para ahli, peneliti akan membatasi indikator berpikir kritis yang akan diteliti,
yaitu:
Indikator yang digunakan dalam instrumen pada penelitian ini adalah
indikator berpikir kritis matematis siswa yaitu kemampuan siswa untuk:
1. Memberikan alasan
Kemampuan siswa dalam menyatakan argumennya dalam menanggapi suatu
permasalahan berdasarkan apa yang dipahaminya. Kegiatan yang
berlangsung seperti mencatat poin-poin penting, membuat
hubungan-hubungan pengertian dari apa yang telah diketahui sebelumnya.
2. Menyimpulkan
Kemampuan siswa untuk membuat generalisasi terhadap masalah yang
15 3. Menentukan strategi
Kemampuan siswa untuk memutuskan tindakan/strategi yang tepat akan
diambil untuk menyelesaikan masalah dan mendapatkan pedoman dalam
masalah yang serupa dengan solusi dari masalah yang telah diputuskan.
2. Pembelajaran Matematika
Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui
pengalaman.10 Pengalaman-pengalaman yang dihasilkan dari kegiatan berfikir
yang bermakna oleh siswa sehingga pengalaman tersebut mengubah tingkah laku
dan interaksinya terhadap suatu kondisi yang ditemui. Lanjutnya, pembelajaran
merupakan suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi,
material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi
mencapai tujuan pembelajaran.
Matematika merupakan penjelasan tentang pola - baik pola di alam dan
maupun pola yang ditemukan melalui pikiran. Tuntutan perubahan proses
pembelajaran matematika di kelas merupakan penyesuaian atau mengantisipasi
perubahan kebutuhan siswa akan matematis. Dimasa kini dan masa yang akan
datang kemampuan berfikir dan bernalar jauh lebih dibutuhkan.11 Siswa yang
menggunakan cara yang efektif dalam pengetahuan matematikanya membutuhkan
sejumlah kompetensi matematis. Beberapa kompetensi atau kemampuan yang
dibutuhkan dari OECD-PISA dalam memecahkan suatu masalah dan apa yang
harus dikuasai siswa selama pembelajaran matematika adalah berfikir dan
bernalar secara matematis (mathematical thinking and reasoning), dan berargumentasi secara matematis (mathematical argumentation), berkomunikasi secara matematis (mathematical communication).12
Dalam pembelajaran matematika, sampainya informasi dari guru kepada
siswa tidak terlepas dari cara/bagaimana informasi tersebut disampaikan.
10
Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Bandung: Bumi Aksara, 2013), Cet.13, h. 36. 11
Fajar Shadiq, “Apa dan Mengapa Matematika Begitu Penting?”, PPPPTK Matematika,
Yogyakarta, 23 Agustus 2009, h. 5. 12
16 Pendekatan, strategi, metode, ataupun metode yang digunakanpun harus dapat
memenuhi kebutuhan siswa dan dapat diaplikasikan pada informasi (materi) yang
akan disampaikan. Tyler mengemukakan tiga pertanyaan kunci yang dapat
dijadikan pedoman dalam pembelajaran, yaitu:13
1. Bagaimana cara membantu siswa belajar
2. Pengalaman apa yang harus disediakan
3. Bagaimana mengorganisasikan pengalamaan belajar agar diperoleh
pengetahuan kumulatif yang bemakna.
3. Strategi Metakognitif
Istilah metakognisi berasal dari dua kata meta dan kognisi. Meta berasal
dari bahasa Yunani yang dalam bahasa inggris diterjemahkan sebagi after, beyond, with, adjacent yang merupakan suatu prefik yang digunakan untuk menunjukkan suatu abstraksi dari suatu konsep dan kognisi berasal dari bahasa
latin yaitu cognoscere, yang berarti mengetahui (to know) dan mengenal (to recognize).14 Strategi metakognitif berkaitan dengan cara untuk meningkatkan
kesadaran tentang proses berfikir dan proses pembelajaran pun tetap berlangsung.
Jika kesadaran itu dimiliki siswa, maka mereka dalam mengontrol pikiran mereka.
Kesadaran tersebut merupakan komponen dari metakognisi yang dilakukan siswa.
Livingston menyebutkan bahwa metakognisi juga disebut dengan kegiatan
berfikir tentang berfikir (thinking about thinking) 15 , maka pembelajaran hendaknya membantu siswa menyadari akan kekuatan, kelemahan, dan
keterampilannya dalam melakukan strategi belajar kegiatannya, seperti menyadari
apa dan mengapa ia melakukan sesuatu kegiatan, serta terbiasa berfikir mengenai
cara berfikir.
Terdapat dua aspek dalam metakognisi, yaitu (1) refleksi (reflection) yang merupakan berfikir tentang apa (what) yang kita ketahui, dan (2) pengaturan
13
Utari Sumarmo, Rujukan Filsafat, Teori dan Praksis Ilmu Pendidikan, (Bandung : UPI Press,
2008), h. 680. 14
Dwi Purnomo, “Proses Metakognisi dan Pembentukan Konsep dalam Matematika, 2014, hal. 7,
(http://dwipurnomoikipbu.files.wordpress.com/2014/02/makalah-tentang-proses-metakognisi.pdf). 15
17 diri (self-regulation) yang merupakan proses mengatur bagaimana (how) pembelajaran siswa. 16 Dengan mengembangkan keterampilan metakognitif
(metacognitive skills) siswa mengetahui bagaimana mengenali kelemahan dan kekurangan dalam proses berfikirnya, mengungkapkan apa yang dipikirkan
dengan jelas, dan memperbaiki/ meninjau kembali usaha yang telah dilakukan.17
Keterampilan metakognitif ini digunakan untuk membantu siswa dalam
memutuskan unsur mana yang dimengerti dan tidak dimengerti, singkatnya
keterampilan ini membantu siswa belajar tentang cara belajarnya.
Dengan menggunakan strategi metakognitif, siswa akan mampu
mengontrol kelemahan diri dalam belajar dan kemudian memperbaiki kelemahan
tersebut, siswa dapat menentukan cara belajar yang sesuai dengan kemampuannya
sendiri, siswa dapat menyelesaikan masalah-masalah dalam belajar baik yang
berkaitan dengan soal-soal yang diberikan oleh guru ataupun dalam bentuk
masalah-masalah yang timbul berkaitan dengan proses pembelajaran, dan siswa
dapat memahami sejauh mana keberhasilan yang telah ia capai dalam belajar.
Strategi metakognitif membantu menjadikan siswa belajar secara efisien
dan penuh kekuatan karena mereka sekaligus membantu kita dalam menemukan,
mengevaluasi ketika kita membutuhkan sumber tambahan, dan memahami ketika
kita memiliki pendekatan yang berbeda.18 Brown dan DeLoache mengatakan
kemampuan dalam metakognitif terus berkembang dari waktu ke waktu dan
bergantung pada pengetahuan dasar.19 Tanpa pengetahuan awal dari matematika,
siswa akan kesulitan dalam mengarahkan pikiran mereka tentang bagaimana
menyelesaikan masalah dalam matematika.
Dalam pembelajaran matematika, strategi metakognitif dapat diajarkan
untuk memecahkan permasalahan dalam bentuk soal-soal matematika, tetapi
sebelum mereka belajar strategi metakognitif ini siswa tidak menggunakan taktik
16
Linda Darling-Hammond. et al., “Thinking About Thinking: Metacognition”, dalam
Annenberg/CPB Course Guide (ed.), The Learning Claasroom: Theory Into Practice,(South Burlington: Stanford University, 2003), h. 158.
17 Ibid 18
Ibid., h. 159 19
18 seperti merencanakan, memonitor pekerjaan mereka dalam memecahkan masalah,
dan mereka juga tidak menyadari bahwa mereka dapat menggunakan strategi dan
jalan pintas (short-cuts) untuk membantu mereka dalam memecahkan masalah tersebut. Untuk itu, ada beberapa persyaratan umum untuk mengajarkan strategi
metakognitif ini dalam pembelajaran, diantaranya adalah:20
1. Selain mengajarkan strategi, ajarkan kapan dan dimana digunakannya.
2. Memastikan bahwa penilaian kinerja membutuhkan aktivitas metakognitif
yang ada dalam pengajaran.
3. Memberi contoh penggunaan strategi dalam berbagai macam konteks dengan
penguatan.
4. Memberikan latihan ekstensif dalam beragam konteks dan penguatan.
4. Metakognisi Sebagai Strategi Berfikir
Dalam proses belajar, kemampuan metakognisi yang dapat digunakan
siswa merupakan kemampuan di dalam mengontrol proses belajarnya, mulai dari
tahap perencanaan, memilih strategi yang tepat sesuai dengan masalah yang
dihadapi, kemudian melakukan monitor terhadap kemajuan dalam belajar dan
sekaligus mengoreksi jika ada kesalahan yang terjadi selama proses memahami
konsep, menganalisis keefektivan dari strategi yang dipilih. Ketika siswa
memperoleh informasi tentang pikirannya, maka kemampuan dia untuk mengatur
proses berfikir (metacognitive regulation) akan terlihat pada kemampuan dia berfikir secara strategis dan penyelesaian masalah, perencanaan, menetapkan
tujuan, mengatur ide, mengevaluasi apa yang diketahui dan yang tidak
diketahui.21
Dengan mengembangkan metakognisi ini pada dasarnya adalah
meningkatkan proses berfikir siswa untuk mengontrol apa yanng dipikirkannya,
apa yang dikerjakannya, berkenaan dengan tugas yang diberikan, apakah telah
20
Tri Wibowo, Learning and Instruction: Teori dan Aplikasi, Terj. dari Learning and Instruction: Theory into Practice oleh Margaret E. Gradler, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 302.
21
19 memenuhi tuntutan yang diminta dari tugas tersebut atau belum. Kaitan antara
kemampuan metakognisi dengan strategi berfikir adalah bahwa kemampuan
metakognisi menyediakan cara mengendalikan berfikir pada akhirnya akan
menghasilkan kemampuan dalam berfikir kritis (critical thinking).22
5. Proses Metakognisi dalam Matematika
Dari pengertian metakognisi yang telah dijabarkan sebelumnya bahwa
metakognisi merupakan berfikir tentang apa yang dipikirkan. Proses ini pun akan
membutuhkan perenungan terhadap belajarnya sendiri dan mengingat lebih dari
yang lainnya. Dari komponen metakognitif yaitu pengetahuan metakognitif dan
pengaturan metakognitif, pengaturan metakognisi yang merupakan aktivitas untuk
melakukan perencanaan, pemonitoran, dan pengevaluasian.23
Aktivitas- aktivitas ini disebut juga sebagai strategi metakognisi atau
keterampilan metakognisi yang dapat membantu dalam menyelesaikan masalah
yang dihadapi. Misalnya dalam menyelesaikan masalah matematika ketika
pengetahuan metakognisi yang mengarah pada suatu tujuan yang menantang
pemikiran siswa, maka pada saat itulah pengalaman metakognisi akan lahir untuk
merespon pencapaiaan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Ketika
menyadari tantangan tersebut dan pentingnya masalah tersebut diselesaikan, maka
akan timbul kesadaran untuk menyelesaiakan dengan mencari berbagai strategi,
maka hal ini menunjukkan adanya pemanfaatan aktivitas metakognisi.24
6. Self-Explanation
Dalam mengajarkan metakognitif dalam pembelajaran, terdapat dua
strategi yang dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan menyatakan
hasil pikiran dalam bentuk verbal (verbal protocols) yaitu strategi metakognitif
22
Dwi Purnomo, “Proses Metakognisi dan Pembentukan Konsep dalam Matematika, 2014, hal.
11, (http://dwipurnomoikipbu.files.wordpress.com/2014/02/makalah-tentang-proses-metakognisi.pdf).
23
Anthony Niedwiecki, Lawyers and Learning: A Metacognitive Approach to Legal Education, 13 Widener L. Rev. 33 (2006), h.44.
24
20 think aloud dan self-explanation.25 Salah satu strategi dalam mengajarkan metakognitif adalah melalui pengajaran (instruction) untuk membangkitkan hubungan dari apa yang sedang dipelajari serta dapat menjelaskan pada diri
sendiri untuk mendapatkan suatu kesimpulan, atau sering juga disebut dengan
self-explanation. McNamara dan Magliano dalam penelitiannya terhadap kemampuan membaca dalam bidang bahasa (the dynamics reading) menyebutkan bahwa self-explanation merupakan proses-proses menjelaskan teks kepada diri sendiri baik dalam bentuk ucapan atau tulisan.26
Dalam pembelajaran matematika, self-explanation dapat memfasilitasi siswa untuk berkomunikasi dengan dirinya sendiri sendiri dalam bentuk
pengakuan, pertanyaan, dan jawaban (solusi) yang dihasilkan dari proses/tahapan
berfikir yang dilakukan selama pembelajaran itu berlangsung. Dalam proses
pembelajarannya, terdapat 4 fase dari self-explanation yang diadopsi dari pembelajaran bahasa, yaitu:27
1. Monitoring comprehension
Merupakan kegiatan mengetahui kelemahan (comprehension failure) dalam bidang kognitifnya. Kemudian dilanjutkan dengan menentukan langkah apa
yang akan diambil untuk memperbaiki kelemahan tersebut. Di awal kegiatan
pembelajaran, guru mencoba untuk membuat siswa untuk menyadari
kemampuan mereka, bagaimanakah responnya terhadap pelajaran yang akan
disampaikan, bertanya kepada diri mereka sendiri saya mengerti ... atau saya tidak mengerti ... . Selanjutnya menentukan cara yang akan ditempuh untuk mengetahui apa yang perlukan untuk memahami ini ... .
2. Paraphrasing
Dalam menemukan masalah yang tidak dipahami, paraphrasing merupakan kegiatan menyatakan dan membawa permasalahan tersebut ke dalam bahasa
sendiri untuk mempermudah menentukan solusi yang akan diambil.
3. Bridging inferences
25
McNamara, dan Magliano, Self-Explanation and Metacognition: The Dynamics of reading, h. 60.
26
Ibid., h. 60. 27
21 Merupakan kegiatan membuat kesimpulan dari hubungan yang dihasilkan
dari proses selama berfikir dan pertanyaan yang timbul pada tahap
pemahaman dan pembawaan masalah ke dalam diri siswa.
4. Elaborating
Merupakan tahap mengembangkan kesimpulan tersebut sehingga terdapat
beberapa pilihan untuk menentukan solusi yang sama. Pada tahap ini siswa
akan mempresentasikan hasil pemahaman mereka di depan kelas sehingga
siswa akan mendapatkan beragam langkah yang dapat dilakukan untuk
menyelesaikan masalah tersebut.
Dari keempat fase berfikir tersebut menunjukkan proses-proses apa saja
yang terjadi dalam pengolahan informasi di dalam pikiran siswa yang ditunjukkan
melalui bentuk lisan atupun tulisan. Selama proses penjelasan berfikir tersebut
dapat dikatakan siswa telah mampu mengendalikan pemikirannya pada saat
pikiran itu digunakan. Dapat dikatakan bahwa komponen berfikir tingkat tinggi
telah dilakukan selama proses itu, karena menggunakan pengelolaan informasi
tersebut dilakukan secara beralasan sebelum informasi tersebut diterima atau
ditolak oleh siswa itu sendiri.
Berikut ini adalah desain pembelajaran dengan strategi metakognitif self-explanation yang diimplementasikan dalam pembelajaran matematika:
1) Tahap awal pembelajaran
o Guru memastikan kesiapan siswa dalam menerima pembelajaran yang
akan diikuti.
o Menjelaskan tujuan materi pembelajaran yang akan disampaikan dan
realisasinya dalam kegiatan keseharian.
o Menjelaskan kegiatan seperti apa saja yang akan dilakukan siswa selama
pembelajaaran.
o Memberikan gambaran umum alur materi yang akan dipelajari dengan
22 2) Tahap inti pembelajaran
Guru membagikan modul pembelajaran kepada tiap siswa yang didalamnya
sudah berisi instruksi-instruksi untuk siswa dalam mencapai tujuan
pembelajaran yang telah disampaikan. Tahapan- tahapan yang akan
dilakukan siswa dalam mempelajari materi yang akan dipelajari adalah:
o Monitoring Comprehensions
Dari modul yang telah dibagikan dengan masalah yang telah diberikan
dalam modul tersebut siswa diminta untuk menyuarakan pikirannya
(talking about thinking) tentang pemahamannya terhadap apa yang dipelajari. Yang akan berkembang pada tahap ini adalah keterampilan
metakognitif (metacognitive skills) karena siswa akan memutuskan bagian yang dimengerti dan tidak dimengerti dari materi yang disajikan dalam
modul.
o Paraphrasing
Berdasarkan masalah yang disajikan dalam modul , siswa menyajikan
masalah tersebut dalam bahasanya sendiri untuk mengidentifikasi
poin-poin informasi yang dapat diambil dari masalah yang diberikan. Dalam
kegiatan ini siswa diminta untuk mengumpulkan setiap informasi dalam
bentuk catatan untuk mereka merefleksikan pemikiran ketika menemukan
kesulitan dan bagaimana kepedulian mereka terhadap kesulitan yang
dihadapi.
o Bridging Inferences
Dengan mengandalkan pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa
membuat hubungan sebab akibat untuk mendapatkan kaitan masalah yang
ditemui dalam masalah yang disajikan dan kaitannya dengan apa yang
telah diketahui sebelumnya. Kegiatan ini akan mengembangkan
pengaturan metakognitif(metacognitive regulation) siswa dalam menentukan tindakan, perencanaan untuk mengatur cara
pembelajaraannya untuk mendapatkan kesimpulan terhadap masalah yang
23 o Elaborating
Mengambil tindakan yang akan diambil sebagai kegiatan rutin yang akan
dilakukan selanjutnya dalam menyelesaikan masalah yang lain. Pada
proses ini siswa dapat melakukan perluasan terhadap apa yang telah
mereka temukan dan apa yang mereka yang mereka pahami dari masalah
yang disajikan dengan cara pernyataan hasil kerja dalam bentuk persentasi
yang dilakukan oleh siswa dengan kategori yang ditentukan sendiri oleh
guru terhadap siapa saja yang akan mempresentasikan hasil kerjanya.
3) Tahap penutup pembelajaran
Guru memberikan apresiasi terhadap hasil kerja siswa dan memberikan
kesimpulan umum yang ditarik dari hasil kerja yang telah didapatkan oleh
siswa dan menjelaskan kapan penggunaan apa yang telah dipelajari tersebut
digunakan. Stelah itu, guru memberikan evaluasi hasil kegiatan yang telah
dilakukan berupa soal-soal untuk melatih pemahaman siswa dalam
menerapkan apa yang telah dipelajari dalam menyelesaikan soal yang
diberikan.
B. Penelitian Yang Relevan
Hasil-hasil penelitian relevan yang diajdikan rujukan untuk melakukan
penelitian ini adalah:
1. Mardiah Harun, dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Strategi
Metakognisi terhadap Penalaran Matematika”. Penelitian tersebut
menemukan simpulan bahwa dengan menggunakan strategi metakognisi
dapat mengkondisikan siswa mencapai tingkat penalaran yang tertinggi atau
tingkat kreativitas dalam belajar matematika.28
2. Ridha Rafiah, dalam penelitian skripsinya yang berjudul “Strategi
Metakognitif dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa”. Menyimpulkan bahwa (1)
Kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diajarkan dengan
28
Harun, Mardiah, “Pengaruh Strategi Metakognisi Terhadap Penalaran Matematika”, Jurnal
24 menggunakan Strategi Metakognitif lebih tinggi dari pada kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diajarkan dengan menggunakan strategi
konvensional dan perbedaan ini terjadi karena adanya kontribusi dari
perlakuan yang diberikan selama proses pembelajaran, (2) Kemampuan
berpikir kritis matematis siswa yang diajar dengan Strategi Metakognitif lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang
diajar menggunakan strategi konvensional.29
3. Fachrurazi, dengan judul penelitiannya “Penerapan Pembelajaran Berbasis
Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berfikir Kritis dan Komunikasi
Matematis Siswa Sekolah Dasar” yang menyimpulkan salah satu diantaranya
terdapat perbedaan peningkatan berfikir kritis antara siswa yang belajar
matematika menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dengan
siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Siswa pada kelas
pembelajaran berbasis masalah mengalami peningkatan kemampuan berfikir
kritis yang lebih tinggi daripada siswa pada kelas kovensional.30
C. Kerangka Berpikir
Penggunaan secara maksimal seluruh aspek pada diri setiap siswa berupa
perkembangan mental, intelektual, emosi, dan spiritual dalam pembelajaran
matematika merupakan faktor kesuksesan dalam belajar dan mengaplikasikannya
dalam kehidupannya. Perkembangan mental, emosi, dan spiritual dari siswa lebih
banyak dilatih dalam keluarganya, sedangkan perkembangan intelektual (kognitif)
lebih didominasi pada tempat dimana siswa tersebut mendapatkan pengetahuan
seperti sekolah, lembaga, dan lain-lain.
Perkembangan kognitif ini merupakan penentu kecerdasan intelektual
siswa, perkembangan kemampuan kognitif ini akan sejalan dengan proses
pendidikan yang ditempuhnya. Kecerdasan intelektual ini dikendalikan oleh
29
Rafiah, Ridha, ”Strategi Metakognitif dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa”, Skripsi FITK UIN Jakarta, Jakarta, 2013, h.
84, tidak dipublikasikan. 30
25 bagaimana seorang siswa mampu untuk mengatur kognitifnya untuk dirinya.
Kemampuan dalam mengatur dan mengelola kognitif tersebut disebut dengan
metakognitif.
Kemampuan metakognitif merupakan bagaimana siswa berfikir tentang
apa yang dipikirkannya yang dilakukannya secara sadar. Jika setiap siswa
menggunakan metakognitifnya dalam belajar, dapat dipastikan bahwa tahap
pemahaman terhadap pemahaman (kognitif) sudah didapatkannya. Untuk melatih
kemampuan ini pada siswa, maka perencanaan yang dibuat untuk melakukan
pemantauan dalam belajar siswa dapat dilakukan dengan memberikan
instruksi-instruksi langsung dalam sumber belajarnya atau dari instruksi-instruksi oleh guru.
Instruksi yang diberikan ditujukan untuk merangsang sekaligus untuk
meningkatkan kemampuan berfikir yang beralasan dan reflektif untuk
menemukan solusi yang akan ditentuan. Keberhasilan berfikir ini dilihat dari
indikator yang disusun diantaranya (1) Kemampuan untuk memberikan alasan, (2)
Kemampuan untuk menyimpulkan, dan (3) Kemampuan untuk menentukan
strategi.
Dalam strategi metakognitif, self-explantion merupakan strategi yang digunakan untuk melatih siswa untuk menjelaskan pengetahuan pada dirinya
melalui instruksi-instruksi yang diberikan sehingga siswa dapat mengatur dan
mengontrol setiap proses berfikir yang dilakukannya. Setelah pemahaman
terhadap diri dilakukan tahap selanjutnya adalah perlunya siswa untuk
menafsirkan dengan bahasa mereka sendiri untuk memudahkan mendapatkan
pemahaman terhadap apa yang dipelajari.
Kemudian setelah penafsiran dilakukan, maka proses untuk menarik
kesimpulan dilakukan dengan mempertimbangkan keputusan yang logis dan
berdasarkan prinsip-prinsip yang telah diterapkan sebelumnya. Pada tahap akhir,
siswa dapat memperluas pengetahuan berdasarkan kesimpulan yang diambil.
Bercermin pada solusi yang sama, tetapi bekerja dengan cara yang berbeda
dengan aturan-aturan yang sama.
Dalam pembelajaran matematika, ketrampilan dalam menyatakan
26 sesuai apa yang diyakini merupakan karakteristik siswa yang menggunakan
berfikir kritis dalam pembelajarannya. Untuk itu, tahap-tahap dalam Strategi
Metakognitif Self-Explanation ditujukan untuk membawa siswa untuk menggunakan berfikir kritis selama proses berfikir yang dilakukannya dalam
pembelajaran.
Berikuti ini adalah gambaran kerangka berfikir yang akan dilakukan
siswa selama pembelajarannya:
Bagan 2.1 Kerangka Berfikir
D. Hipotesis Penelitian
Dari rumusan masalah dan kajian teori yang telah peneliti jabarkan di
atas, maka hipotesis penelitian yang peneliti ajukan adalah sebagai berikut:
Kemampuan berfikir kritis siswa yang diajarkan dengan Strategi Metakognitif
27 BAB III
METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk kelas X di SMA Negeri 3 Kota Tangerang
Selatan yang beralamat di Jl. Benda Timur XI Komp. Pamulang Permai 2
Tangerang Selatan yang berlangsung pada bulan Januari tahun ajaran 2014/2015.
B. Desain Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode Quasi Eksperimen yaitu metode
yang tidak memungkinkan peneliti mengadakan pengontrolan penuh terhadap
variabel kondisi eksperimen. Dalam metode penelitian ini, peneliti ikut serta
dalam penelitian yaitu dengan mengajar matematika di sekolah tersebut dengan
Strategi Metakognitif Self-Explanation dalam pembelajaran matematika.
Sampel penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok kelas yaitu kelas
eksperimen dan kelas kontrol. Kelas eksperimen merupakan siswa yang diajarkan
dengan pengajaran matematika dengan menggunakan strategi metakognitif self-explanation, sedangkan kelas kontrol merupakan siswa yang diajarkan dengan pengajaran matematika dengan menggunakan pembelajaran konvensional dengan
dua kelompok kelas ini yang diambil dari tingkat kelas yang sama.
Untuk itu, desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Two Group Randomized Subject Posttest Only .1 Berikut adalah bentuk desain penelitian yang disajikan dalam bentuk tabel dibawah.
Tabel 3.1 Desain Penelitian
Kelompok Perlakuan Posttest
Eksperimen
R
X
Kontrol -
Keterangan :
1
28 : Pengambilan sampel secara random/acak.
: Perlakuan
: Hasil postest kelompok eksperimen dan kontrol.
C. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penlitian ini dibedakan menjadi populasi target dan
populasi terjangkau. Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh siswa
SMAN 3 Tangerang Selatan, sedangkan populasi terjangkaunya adalah seluruh
siswa kelas X IPA SMAN 3 Tangerang Selatan pada semester genap tahun ajaran
2014/2015 yang terdiri dari enam kelas yaitu X.MIA 1, X.MIA 2, X.MIA 3,
X.MIA 4, X.MIA 5, dan X.MIA 6.
Dalam penelitian ini, sampel penelitian berasal populasi terjangkau dengan
cara pengambilan sampel dari keenam kelas adalah dengan teknik cluster random sampling, yaitu pengambilan sampel secara berkelompok dengan cara memilih secara acak dari keenam kelas dengan cara menentukan 2 kelompok kelas dari 6
kelas yang akan menjadi satu kelompok eksperimen dan satu kelompok lagi
sebagai kelompok kontrol.2 Setelah dilakukan pemilihan sampel penelitian
diperoleh kelas X.MIA 4 sebagai kelas eksperimen dan kelas X.MIA 3 sebagai
kelas kontrol. Kelas X.MIA 4 sebanyak 37 siswa ini yang akan diberikan
pembelajaran dengan strategi metakognitif, sementara itu kelas X.MIA 3 sebagai
kelas kontrol sebanyak 36 siswa ini yang akan diberikan pembelajaran
konvensional.
D. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan untuk penelitian ini adalah berupa tes untuk
mengukur kemampuan berfikir kritis matematis dalam pembelajaran matematika
pada posttest di akhir semua pertemuan tentang materi persamaan dan fungsi kuadrat. Data yang diperoleh berdasarkan dari nilai posttest yang diberikan kepada siswa setelah proses pembelajaran dengan menggunakan strategi
2
29 metakognitif self-explanation yang diberikan untuk siswa pada kelas eksperimen dan pembelajaran konvensional untuk siswa pada kelas kontrol. Posttest
kemampuan berpikir kritis matematis siswa berupa soal essay yang terdiri dari 5
soal yang memuat aspek-aspek kemampuan berpikir kritis matematis siswa dalam
pembelajaran materi persamaan dan fungsi kuadrat dengan kompetensi dasar yang
telah disesuaikan dengan kebutuhan siswa dan kebutuhan penelitian dalam
mencapai tujuan pembelajaran dengan strategi metakognitif self-explanation ini. Penyusunan 5 butir soal essay tersebut akan dibagi ke dalam 3 indikator
yang telah peneliti tentukan. Pembagian soal tersebut adalah 2 soal untuk
mengukur kemampuan siswa dalam menentukan strategi, 2 soal unutk mengukur
kemampuan siswa dalam menyimpulkan terhadap suatu masalah, dan 1 soal untuk
mengukur kemampuan siswa dalam memberikan alasannya dalam menganalisis
suatu masalah. Berikut ini adalah indikator kemampuan berpikir kritis matematis
yang diujikan:
1. Menentukan strategi
Kemampuan siswa untuk memutuskan tindakan/strategi yang tepat akan
diambil untuk menyelesaikan masalah dan mendapatkan pedoman dalam
masalah yang serupa dengan solusi dari masalah yang telah diputuskan.
2. Memberikan alasan
Kemampuan siswa dalam menyatakan argumennya (alasan) dalam
menanggapi suatu permasalahan berdasarkan apa yang dipahaminya.
3. Menyimpulkan
Kemampuan siswa untuk membuat generalisasi terhadap masalah yang
ditemui dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki.
Sebelum pembuatan instrumen soal, peneliti membuat kisi-kisi soal yang
disesuaikan dengan indikator kemampuan berpikir kritis matematis yang akan
diuji melalui soal-soal persamaan dan fungsi kuadrat dan juga pedoman penilaian
untuk menetapkan skor yang akan diperoleh oleh setiap individu dari hasil
jawaban soal essay yang diujikan. Berikut ini adalah kisi-kisi instrumen tes dan
[image:43.595.109.517.237.592.2]pedoman penilaian pada tabel 3.2.
30 Kisi-Kisi Instrumen Kemampuan Berpikir Kritis Matematis
Untuk memperoleh data yang akan diolah maka disusunlah kriteria penialain dengan skala yang berbeda untuk menilai jawaban dari siswa pada setiap
butir soalnya. Pedoman penilaian yang diadaptasi dari pedoman penilaian
kemampuan berpikir kritis oleh Facione3 yang telah disesuaikan dengan indikator
3
Facione, Holisctic Critical Thinking Scoring Rubric, (California: California Academic Press, 1994).
Kompetensi
Dasar Indikator Kompetensi Aspek Berfikir Kritis
No. Soal
KD 2 KD 3
Siswa diberikan hasil penyelsaian soal persamaan kuadrat kemudian siswa mengidentifikasi kesalahan pada penyelesaian dengan
memberikan alasan serta
menentukan jawaban yang benar.
Memberikan Alasan 1
KD 1 KD 2 KD 4
Diberikan dua dua bagian unsur-unsur dari persamaan kuadrat yang berbeda. Siswa menyimpulkan apakah persamaan kuadrat yang dihasilkan sama dari unsur-unsur yang diberikan.
Menyimpulkan 2
KD 1 KD 2 KD 3
Diberikan hasil jumlah dan salah satu akar-akar kemudian siswa menentukan cara mendapatkan bentuk persamaan kuadrat dari informasi yang diberikan.
Menentukan Strategi 3
KD 2
Disajikan dua pernyataan mengenai kesamaan solusi dari dua persamaan kuadrat, kemudian
siswa menganalisis dan
menyimpulkan pernyataan mana yang benar.
Menyimpulkan 4
KD 5 KD 6
Disajikan sebuah gambar pin