• Tidak ada hasil yang ditemukan

Meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa melalui pembelajaran dengan strategi metakognitif Self-explanation

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa melalui pembelajaran dengan strategi metakognitif Self-explanation"

Copied!
157
0
0

Teks penuh

(1)

MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN DENGAN STRATEGI METAKOGNITIF

SELF-EXPLANATION

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh RODIAL NIM 1110017000039

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

i ABSTRAK

RODIAL (1110017000039), “Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis

Matematis Siswa Melalui Pembelajaran Dengan Strategi Metakognitif Self-Explanation”. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas Ilmu Tarbiyah

dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, April 2015.

Penelitian ini dilaksanakan di salah satu SMA Negeri di Tangerang Selatan tahun ajaran 2014/2015 yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa dalam pembelajaran matematika pada materi persamaan dan fungsi kuadrat. Pembelajaran dengan strategi metakognitif self-explanation ini terinspirasi dari strategi metakognitif self-explanation yang dilakukan oleh McNamara dan Magliano pada program bahasa yang memungkinkan siswa untuk menyadari apa yang mereka lakukan dan kerjakan melalui instruksi yang diberikan pada saat pembelajaran. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas X sebanyak 73 siswa. Dari 73 orang siswa dibagi dalam dua kelompok, yaitu 37 orang pada kelas eksperimen dan 36 orang siswa pada kelas kontrol dengan teknik cluster random sampling. Metode yang digunakan adalah Quasi Eksperimen dengan desain penelitian Two Group Randomized Subject Posttest Only. Hasil dari penelitian diperoleh bahwa kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diajarkan melalui pembelajaran dengan strategi metakognitif self-explanation lebih tinggi dari pada siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional. Dengan nilai signifikasi (sig.) sebesar 0,0005

. Nilai rata-rata hasil posttest dari kelas eksperimen sebesar 70,81 dan

kelas kontrol sebesar 60,97. Dari ketiga indikator, kemampuan menentukan strategi, memberikan alasan, dan menyimpulkan diperoleh siswa kelas eksperimen memiliki persentase yang lebih baik daripada siswa dari kelas eksperimen dengan pencapaian indikator tertinggi pada kemampuan menyimpulkan dari ketiga indikator tersebut.

(6)

ii ABSTRACT

RODIAL (1110017000039), “Improve Student’s Critical Thinking Skills Mathematical Through Learning Mathematics with Self-Explanation Metacognitive Strategy”. The Thesis of Department of Mathematics Education Faculty of Tarbiyah and Teaching Science UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, April 2015.

This research was conducted in one of the high school in South Tangerang academic year 2014/2015, which aims to improve student’s critical thinking skill mathematical in learning mathematics on the topic of quadratic equations and functions. This Learning with self-explanation metacognitive strategy was inspired from the self-explanation metacognitive strategies undertaken by McNamara and Magliano in the language program that allows students to realize what they are doing and working through the instructions given at the time of learning. The sample in this study were students of class X as many as 73 students. Of the 73 students were divided into two groups, namely 37 students in the experimental class and 36 students in the control class with cluster random sampling technique. The method used is Quasi Experiment with Two Group randomized Subject Posttest Only. The results of the study showed that the critical thinking skills that are taught through the students' mathematical learning with self-explanation metacognitive strategies is higher than students taught by conventional learning. With a significance value (sig.) of .0005 (p < .05). The average value of the posttest results of an experimental class is 70.81 and 60.97 for the control class. Of the three indicators, the ability to define a strategy, giving reasons, and concluded obtained experimental class students have percentage better than students in the experimental class with the achievement of the highest indicator on the ability to conclude from these three indicators.

(7)

iii KATA PENGANTAR

ميحرلا نمحرلا ها مسب

Segala puji bagi Allah SWT sebagai wujud syukur yang senantiasa

memberikan nikmat-Nya yang tak terbatas bagi kita semua dan khusus bagi

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat dan salam bagi

kekasihnya, Muhammad SAW dan keluarga, beserta para sahabat dan

pengikutnya hingga akhir zaman.

Perjalanan selama penulisan skripsi ini sepenuhnya tidak selalu dilalui

dengan jalan kemudahan, akan tetapi hambatan-hambatan yang datang dari

pribadi penulis dan lingkungan sekitar yang ikut andil dalam memotivasi penulis

untuk menyelesaikan skripsi ini dan sekaligus membuat penulis mendapatkan

pelajaran untuk lebih baik kedepannya. Oleh sebab itu, rasa terima kasih

sebesar-besarnya penulis persembahkan kepada:

1. Bapak Abdul Muin, S.Si, M.Pd., sebagai Dosen Pembimbing I dan Ibu Moria

Fatma, M.Si., sebagai Dosen Pembimbing II yang telah memberikan waktu,

arahan-arahan, motivasi untuk penulis. Semoga bimbingan Bapak/Ibu menjadi

sebuah pahala kebaikan dalam ilmu, amin.

2. Bapak Dr. Kadir, M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Abdul Muin, S.Si, M.Pd., Sekretaris Jurusan Pendidikan Matematika

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Khairunnisa, M.Si., sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang

memberikan bimbingan, saran, dan waktu dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Matematika UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang telah memberikan pengalaman pengetahuan kepada penulis,

sehingga dengan ilmu yang telah Bapak/Ibu Dosen yang sangat banyak

(8)

iv 6. Bapak Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Staf Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan Staf Jurusan Pendidikan

Matematika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Bapak Drs. H.P.A Sopandy, M.Pd., sebagai Kepala Sekolah SMA Negeri 3

Tangerang Selatan, dan Ibu Wiwin Purwi Indayati, M.Pd., sebagai Wakil

Bidang Kurikulum yang telah memberikan izin kepada penulis untuk

melakukan penelitian.

9. Bapak Mashudi Jaed, M.Pd., sebagai guru pengampu mata pelajaran

Matematika di SMA Negeri 3 Tangerang Selatan yang selalu memberikan

motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dan Siswa-Siswi

SMA Negeri 3 Tangerang Selatan, khususnya siswa kelas X.MIA 3 dan

X.MIA 4.

10.Teristimewa untuk kedua orang tua, Amai dan Ayah penulis yang selalu

mendoakan dan memberikan kasih sayangnya dari jauh beserta kakak (Mida,

Nelma, Yasinta, Usman, Adri, Wati, Iwan, dan Irwandi) dan adik (Diana, Elvi,

dan Elmi) penulis yang menjadi penyemangat penulis.

11.Teman-teman Jurusan Pendidikan Matematika angkatan 2010, Devi Intan

Febriyanti, S.Pd., Febri Indrawan, S.Pd., Hafizh Nizham, S.Pd., Venny, Nofal,

Zulfah, Sidik, Sigit, Asep, Sofyan, Muchtar, Tessa, dan juga pada adik-adik

angkatan 2009 yang selalu mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan

skripsi.

Keterbatasan-keterbatasan yang penulis miliki membuat penulisan skripsi

masih jauh dari tingkat kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan

saran dan kritik yang dapat menyempurnakan penulisan ini dimasa yang akan

datang. Sebagai penutup ucapan dari penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat

bagi penulis dan bagi pembaca pada umumnya.

Jakarta, April 2015

Penulis

(9)

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR BAGAN ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Pembatasan Masalah ... 7

D. Perumusan Masalah ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II : LANDASAN TEORETIK, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN A. Deskripsi Teoretik 1. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis ... 10

2. Pembelajaran Matematika ... 15

3. Strategi Metakognitif ... ... 16

4. Metakognisi Sebagai Strategi Berpikir... .. 18

5. Proses Metakognisi dalam Matematika ... 19

6. Self-Explanation ... 19

B. Penelitian yang Relevan ... 23

C. Kerangka Berpikir ... 24

D. Hipotesis Penelitian ... 26

(10)

vi

B. Desain Penelitian ... 27

C. Populasi dan Sampel Penelitian ... 28

D. Instrumen Penelitian ... 28

E. Teknik Pengumpulan Data ... 31

F. Uji Coba Instrumen Penelitian ... 32

1. Validitas Instrumen ... 32

2. Taraf Kesukaran ... 33

3. Daya Pembeda ... 34

4. Realibilitas Instrumen ... 35

G. Teknik Analisis Data ... 37

1. Uji Normalitas ... 37

2. Uji Homogenitas ... ... 38

3. Uji Hipotesis ... 39

H. Hipotesis Statistik ... 40

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deksripsi Data ... 41

1. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 41

2. Hasil Uji Normalitas ... 45

3. Hasil Uji Homogenitas ... 46

4. Pengujian Hipotesis ... 46

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 48

C. Keterbatasan Penelitian ... 60

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 61

B. Saran ... 61

(11)

vii DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Desain Penelitian ... 27

Tabel 3.2 Kisi-Kisi Instrumen Kemampuan Berpikir Kritis ... 30

Tabel 3.3 Pedoman Penilaian Tes Kemampuan Berpikir Kritis ... 31

Tabel 3.4 Kriteria Tingkat Kesukaran ... 33

Tabel 3.5 Kriteria Daya Pembeda ... 34

Tabel 3.6 Hasil Rekapan Uji Analisis Instrumen Tes ... 35

Tabel 3.7 Kriteria Realibilitas ... 36

Tabel 4.1 Statistik Deskriptif Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 41

Tabel 4.2 Ketercapaian Indikator Kemampuan Berpikir Kritis Matematis 43

Tabel 4.3 Hasil Uji Normalitas Kelas Eksperimen ... 45

Tabel 4.4 Hasil Uji Normalitas Kelas Kontrol ... 45

Tabel 4.5 Hasil Uji Homogenitas Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 46

(12)

viii DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Perbandingan Penyebaran Data Distribusi Frekuensi

Siswa Kelompok Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 42

Ganbar 4.2 Perbandingan Ketercapaian Indikator Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 44

Gambar 4.3 Jawaban Siswa Kelas Eksperimen Soal Nomor 3 ... 49

Gambar 4.4 Jawaban Siswa Kelas Kontrol Soal Nomor 3 ... 50

Gambar 4.5 Jawaban Siswa Kelas Eksperimen Soal Nomor 5 ... 51

Gambar 4.6 Jawaban Siswa Kelas Kontrol Soal Nomor 5 ... 52

Gambar 4.7 Jawaban Siswa Kelas Eksperimen Soal Nomor 1 ... 53

Gambar 4.8 Jawaban Siswa Kelas Kontrol Soal Nomor 1 ... 54

Gambar 4.9 Jawaban Siswa Kelas Eksperimen Soal Nomor 2 ... 55

Gambar 4.10 Jawaban Siswa Kelas Kontrol Soal Nomor 2 ... 56

Gambar 4.11 Jawaban Siswa Kelas Eksperimen Soal Nomor 4 ... 57

(13)

ix DAFTAR BAGAN

(14)

x DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 RPP Kelas Eksperimen ... 66

Lampiran 2 RPP Kelas Kontrol ... 87

Lampiran 3 Bahan Ajar Kelas Eksperimen ... 96

Lampiran 4 Kisi-Kisi Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis ... 120

Lampiran 5 Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis ... 122

Lampiran 6 Pembahasan Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis ... 124

Lampiran 7 Pedoman Penilaian Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis 128 Lampiran 8 Hasil Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis ... 129

Lampiran 9 Hasil Uji Validitas ... 130

Lampiran 10 Hasil Uji Taraf Kesukaran ... 131

Lampiran 11 Hasil Uji Daya Pembeda Soal ... 132

Lampiran 12 Hasil Uji Realibilitas ... 133

Lampiran 13 Hasil Posttest Kelas Eksperimen ... 134

Lampiran 14 Hasil Posttest Kelas Kontrol ... 135 Lembar Uji Referensi

Surat Izin Penelitian

(15)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan suatu tahapan yang mengarahkan terbentuknya

manusia yang ideal. Tahapan-tahapan yang dilalui itupun tidak harus didapatkan

dalam koridor yang umum (pendidikan formal), tetapi dapat juga diperoleh dalam

pendidikan nonformal. Hal ini sesuai dengan penjelasan dalam UU No.20 Tahun

2003 tentang Sisdiknas bahwa penyelenggaraan pendidikan dapat diselenggarakan

melalui jalur pendidikan formal dan nonformal. Jalur pendidikan formal

diselenggarakan di sekolah, sedangkan jalur pendidikan nonformal

diselenggarakan di lingkungan masyarakat, yang terdiri atas berbagai satuan dan

jenis program.1

Jalur-jalur pendidikan yang ditempuh tersebut tidak lain bertujuan untuk

menciptakan manusia yang berguna untuk lingkungan keluarga, masyarakat, dan

bangsa. Seperti yang dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional yang

tercantum dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Pasal 3 yang berbunyi:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.2

Salah satu mata pelajaran yang dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah

di semua tingkatan adalah matematika. Matematika adalah suatu bidang ilmu

yang memiliki penerapan yang sangat banyak pada bidang ilmu lain, seperti

fisika, kimia, perteknikan, ekonomi, dan lain-lain. Mata pelajaran matematika

1

Ihat Hatimah, dkk., Pembelajaran Berwawasan Kemasyarakatan, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2010), h. 4.3.

2

(16)

2 perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk

membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis,

kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerja sama.

Pentingnya mengembangkan dan melatih siswa untuk menggunakan

kemampuan berpikir kritis merupakan tugas yang tidak mudah bagi seorang guru,

karena untuk mengajarkan kemampuan tersebut gurunya pun harus dapat

menggunakan kemampuan bepikir kritis dalam proses mengajar. Hasil penelitian

Mayadiana tentang rendahnya kemampuan berpikir kritis calon guru SD, yakni

36,26% untuk mahasiswa berlatar belakang IPA, 26,62% untuk mahasiswa

berlatar belakang Non-IPA, serta 34,06% untuk keseluruhan mahasiswa. 3

Penelitan Priatna juga menunjukkan kemampuan penalaran siswa SMP di

kota Bandung masih belum memuaskan, yaitu hanya mencapai sekitar 49% dan

50% dari skor ideal.4 Kemampuan penalaran yang merupakan kemampuan

menganalisis menempati posisi teratas dalam tingakatan berpikir kritis.

Berdasarkan taksonomi Bloom, tiga tingkatan teratas, yaitu analisis, sintesis, dan

evaluasi. Berdasarkan hasil survey TIMSS 2007 rata-rata skor penalaran

(reasoning) yang diperoleh siswa Indonesia dalam menyelesaikan soal-soal yang menuntut kemampuan penalaran:

a) Contoh soal matematika yang diujikan pada kelas 8 (8th grade).

Sumber : TIMSS 2011 International Results in Mathematics, hal. 135

3

Fachrurazi, Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berfikir Kritis dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Dasar,Portal Jurnal UPI, Edisi Khusus (1), 2011, h. 77.

(17)

3 Dengan skor rata-rata internasional adalah 23 dengan skor tertinggi 53

(Chinese Taipei) dan Indonesia termasuk ke dalam kelompok percent significantly lower than international average dengan perolehan skor 10.

b) Contoh soal matematika untuk kelas 8 (8th grade)

Sumber : TIMSS 2011 International Results in Mathematics, hal. 136

Dengan skor rata-rata internasional 25, Indonesia mendapatkan skor 11 dan

skor tertinggi 66 (Chinese Taipei). Dari hasil TIMSS 2011 Mathematics Framework (kerangka matematika) diilustrasikan bahwa perolehan persentase pada domain kognitif penalaran (reasoning) siswa pada kelas 8 yang berada pada urutan terakhir dari persentase pencapaian tertinggi untuk domain kognitif yang

diujikan diantaranya knowing, applying, dan reasoning terlihat pada gambaran berikut yang di fokuskan hanya pada salah satu komponen dari kemampuan

(18)

4 TIMSS 2011 International Results in Mathematics, hal. 86

Berdasarkan patokan pencapaian prestasi matematika siswa secara

internasional dapat diperlihatkan bahwa posisi dan prestasi siswa di Indonesia dari

tahun 1995 sampai tahun 2011 yang dikategorikan pada level advanced, high, intermediate, dan low dari hasil survei TIMSS seperti gambar berikut:

TIMSS 2011 International Results in Mathematics, hal. 118

TIMSS 2011 International Results in Mathematics, hal. 119

Tim survey IMSTEP-JICA di kota Bandung berikutnya, antara lain

menemukan sejumlah kegiatan yang dianggap sulit oleh siswa untuk

mempelajarinya dan oleh guru untuk mengajarkannya antara lain, pembuktian

pemecahan masalah yang memerlukan penalaran matematis, menemukan,

generalisasi atau konjektur, dan menemukan hubungan antara data-data atau fakta

yang diberikan. Kegiatan-kegiatan yang dianggap sulit tersebut, kalau kita

perhatikan merupakan kegiatan yang menuntut kemampuan berpikir kritis.5

Wono Setyabudhi, dosen matematika Institut Teknologi Bandung (ITB),

mengatakan pembelajaran matematika di Indonesia memang masih menekankan

(19)

5 menghafal rumus-rumus dan menghitung. Padahal, belajar matematika itu harus

mengembangkan logika, reasoning, dan berargumentasi, serta dapat meyakinkan orang lain.6

Dalam menerima suatu kebenaran dari masalah yang disampaikan,

kemampuan menganalisis argumen dan penalaran sangat dibutuhkan untuk

menyatakan pendapat setelah diolah oleh pemikirannya sendiri. Untuk

memperoleh kemampuan berargumen, memberikan alasan sehingga kebenaran

suatu hal diperoleh diperlukan kemampuan berpikir kritis dalam memandang

suatu hal. Jika siswa memiliki kemampuan ini, maka siswa tersebut cenderung

untuk menggunakan analisis terlebih dahulu dengan memberikan alasan-alasan

yang logis untuk meyakinkan orang lain dengan informasi yang benar. Fachrurazi

dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa kemampuan berpikir kritis adalah

sebuah proses sistematis yang memungkinkan siswa untuk merumuskan dan

mengevaluasi keyakinan dan pendapat mereka sendiri. 7 Selain itu, faktor

pengajaran dari guru merupakan komponen utama tersampaikannya ilmu dan

pemahaman siswa tentang suatu materi. Metode dan strategi yang digunakan akan

sangat berpengaruh sekali terhadap penerimaan dan penyerapan informasi oleh

siswa.

Pada proses meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dalam

pembelajaran, siswa akan dituntut melakukan kontrol aktif terhadap proses

kognitifnya karena mereka akan memikirkan apa yang sedang mereka pikirkan.

Fisher menyebutkan cara realistik untuk mengembangkan kemampuan berpikir

kritis adalah memikirkan apa yang dipikirkan, yang juga merupakan makna dari metakognisi, “ ..., that the only realistic way to develop one’s critical thinking ability is through ‘ thinking about one’s thinking’(often called ‘metacognition’) ...’’.8

Pada proses kognitif inilah kemampuan (skill) untuk mengontrol kegiatan

6

Ester Lince Napitupulu, Kompas: Prestasi Sains dan Matematika Indonesia Menurun. Dapat diakses pada URL:

http://edukasi.kompas.com/read/2012/12/14/09005434/Prestasi.Sains.dan.Matematika.Indones ia.Menurun, (2012).

7

Fachrurazi, op. cit., h. 81. 8

(20)

6 kognitif melalui instruksi untuk membangun pengetahuan dengan interaktif

dengan diri sendiri.

Metakognisi mengacu pada pemahaman seseorang tentang

pengetahuannya, sehingga pemahaman yang mendalam tentang pengetahuannya

akan mencerminkan penggunaan yang efektif atau uraian yang jelas tentang

pengetahuan yang dipermasalahkan. Metakognisi siswa melibatkan pengetahuan

dan kesadaran siswa tentang aktivitas kognitifnya sendiri atau segala sesuatu yang

berhubungan dengan aktivitas kognitifnya. Pengetahuan berkaitan dengan

pengetahuan deklaratif, prosedural, dan kondisional, sedangkan aktivitas kognitif

siswa berkaitan dengan perencanaan, prediksi, monitoring, dan mengevaluasi

penyelesaian tugas tertentu.9

Strategi metakognitif berkaitan dengan cara untuk meningkatkan

kesadaran tentang proses berpikir dan proses pembelajaran pun tetap berlangsung.

Upaya untuk mengembangkan metakognisi siswa dapat diupayakan melalui cara

dimana siswa dituntut untuk mengamati apa yang mereka ketahui dan kerjakan

dan merefleksikan tentang apa yang ia amati.10

Salah satu strategi metakognitif dalam melakukan instruksi dalam

mengontrol kegiatan kognitif adalah dengan teknik self-explanation. Self-explanation merupakan teknik bertanya dan menjelaskan pada diri sendiri apa yang dipikirkan dan apa yang dilakukan melalui ungkapan (lisan) ataupun secara

tertulis.11 Strategi metakognitif ini berfungsi sebagai pengatur jalannya kognitif

melalui instruksi-instruksi untuk meningkatkan kemampuan berpikir secara cepat,

beralasan, dan logis.

Dalam kegiatannya di dalam kelas, self-explanation mengisntruksikan kepada diri siswa agar dalam proses pembelajarannya mereka selalu memonitor

diri mereka sendiri. Proses-proses seperti mengatur pikiran, menyadari kelebihan

9

Anthony S. Niedwiecki, Lawyers and Learning: A Metacognitive Approach to Legal Education, The John Marshall Institutional Repository,13:13, 2006, h. 43-44.

10

Kadir, “Pengaruh Pendekatan Problem Posing Terhadap Prestasi Belajar Matematika Jenjang Pengetahuan, Pemahaman, Aplikasi, dan Evaluasi ditinjau dari Metakognisi Siswa SMU di Jakarta”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan,053, 2005, h. 237.

11

McNamara, dan Magliano, “Self-Explanation and Metacognition: The Dynamics of reading”,

(21)

7 dan kekurangan, membawakan masalah ke dalam cara sendiri, dan memperluas

pengetahuan cara yang dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah/tugas.

Didasari dari pengalaman-pengalaman, hasil penelitian, dan masalah

yang sehari-hari yang ditemui telah peneliti gambarkan secara umum masalah

yang akan diteliti dan intervensi yang akan digunakan. Oleh karena itu, penulis akan memberi judul penelitian ini dengan “Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Melalui Pembelajaran dengan Strategi Metakognitif Self-Explanation”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat diidentifikasi beberapa

masalah antara lain :

1. Kemampuan berpikir kritis matematis siswa di Indonesia pada pembelajaran

matematika masih kurang.

2. Kegiatan pembelajaran sering bersifat transfer ilmu dari guru ke siswa bukan

untuk menyusun kembali pengetahuan oleh siswa.

3. Pengetahuan siswa yang sering kali dangkal karena pembelajarannya bersifat

hafalan bukan pemaknaan.

4. Kemampuan guru untuk mengajarkan siswa menggunakan kemampuan

berpikir kritis mereka dalam pembelajaran.

5. Kemampuan penalaran siswa yang masih kurang yang merupakan komponen

dalam kemampuan berpikir kritis.

C. Pembatasan Masalah

Untuk memfokuskan masalah yang akan diteliti, dari

identifikasi-identifikasi masalah yang dikemukakan di atas maka masalah dalam penelitian ini

akan dibatasi sebagai berikut:

1. Penelitian ini menggunakan Strategi Metakognitif Self-explanation yang merupakan kegiatan kontrol aktif dari siswa terhadap pengetahuannya

sehingga mereka dapat mengendalikan pemikiran mereka sendiri dan

(22)

8 2. Untuk mengukur kemampuan berpikir kritis matematis, maka

indikator-indikator yang digunakan adalah:

a) Kemampuan untuk memberikan alasan.

b) Kemampuan untuk menyimpulkan.

c) Kemampuan untuk membuat keputusan dan tindakan.

3. Materi yang dibahas adalah materi yang mempunyai materi prasyarat.

4. Materi yang akan dimasukkan dalam penelitian ini adalah persamaan dan

fungsi kuadrat.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka rumusan masalah yang

diberikan adalah:

1. Bagaimana kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diajarkan

dengan strategi metakognitif self-explanation dan yang diajarkan dengan cara konvensional?

2. Apakah kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diajarkan melalui

pembelajaran dengan strategi metakognitif self-explanation lebih tinggi daripada siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian tentang berpikir kritis ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa melalui

strategi metakognitif self-explanation dalam pembelajaran matematika. 2. Untuk melihat bagaimana penerapan strategi metakognitif self-explanation

terhadap kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran matematika.

3. Untuk merangsang siswa mengendalikan pikirannya dalam belajar

matematika dengan strategi metakognitif self-explanation.

4. Untuk mendapatkan pengetahuan yang bermakna oleh siswa sehingga siswa

(23)

9 F. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Siswa dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dalam belajar

matematika.

2. Membantu siswa dalam mengendalikan pikiran mereka sehingga mereka

mendapatkan pengetahuan yang mendalam terhadap suatu pengetahuan.

3. Mengaktifkan kemampuan siswa agar mereka sadar terhadap apa yang

mereka pelajari.

4. Bagi guru, sebagai bahan untuk menerapkan masalah-masalah yang dapat

merangsang penggunaan kemampuan berpikir kritis oleh siswa.

5. Untuk bahan pertimbangan dalam menggunakan strategi dalam pembelajaran

matematika oleh guru.

6. Bagi peneliti, penelitian untuk mencari solusi terhadap permasalahan dalam

belajar matematika melalui penerapan strategi yang dapat merangsang

(24)

10 BAB II

LANDASAN TEORETIK, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Deskripsi Teoretik

Dalam penelitian ini terdapat beberapa istilah-istilah dalam teori

pendukung yang digunakan seperti kemampuan berfikir kritis, pembelajaran

matematika, strategi metakognitif, metakognisi sebagai strategi berfikir, proses metakognisi dalam matematika, dan self-explanation. Lebih lanjut akan diuraikan sebagai berikut:

1. Kemampuan Berfikir kritis

Salah satu komponen dari berfikir tingkat tinggi adalah berfikir kritis

(critical thinking) yang bukan hal yang baru lagi dalam kajian masalah pembelajaran matematika. Robert H. Ennis mendefinisikan berfikir kritis adalah

berfikir secara beralasan dan reflektif yang difokuskan pada pengambilan

keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan.1 Dalam pengambilan

keputusan informasi yang dikumpulkan haruslah jelas kekredibilitasannya

sehingga orang lain mampu menerimanya secara rasional. Sejalan dengan Lau,

berfikir kritis adalah berfikir secara jelas dan rasional.2 Sedangkan , Schafersman

mendefinisikan berfikir kritis berarti berfikir dengan benar dalam mencari

pengetahuan yang relevan dan dapat dipercaya disekitar kita.3 Kedua definisi

mengarah kepada ketepatan berfikir dan bekerja, dan membantu dalam

menekankan keterkaitan sesuatu dengan yang lainnya dengan lebih akurat.

Dalam pembelajaran matematika kemampuan berfikir ini sangat penting

dimiliki oleh setiap siswa untuk memperoleh pemahaman akan pelajaran yang

1

Robert H. Ennis, “The Nature of Critical Thinking: An Outline of Critical Thinking Dispositions and Disabilities”, Makalah diperesentasikan pada Sixth International Conference on Thinking

at MIT, Cambridge, Mei 2011,

(http://faculty.education.illinois.edu/rhennis/documents/TheNatureofCriticalThinking_51711_ 000.pdf).

2

Joe Y.F. Lau, An Introduction to Critical Thinking and Creativiy : Think More, Think Better, (New Jersey : John Wiley & Sons, Inc., 2011), h. 1.

3

Steven D. Schafersman, An Introduction to Critical Thinking, 1991, h. 3, 4

(25)

11 diterimanya. Pada dasarnya, kemampuan berfikir kritis ini membuat siswa lebih

kritis dalam memandang suatu hal, mampu untuk mencerna informasi yang

disampaikan dengan baik, serta mampu menganalisis informasi tersebut.

Dalam aktivitas belajar, karakteristik individu yang dapat menggunakan

kemampuan berfikir kritis ini oleh Lau:4

1. Memahami hubungan logis antara ide-ide.

2. Merumuskan ide secara singkat dan tepat.

3. Mengidentifikasi, membangun, dan mengevaluasi argument.

4. Mengevaluasi pro dan kontra dari keputusan.

5. Mengevaluasi bukti terhadap hipotesis.

6. Mendeteksi inkonsistensi dan kesalahan umum dalam penalaran.

7. Analisis masalah secara sistematis.

8. Mengidentifikasi relevansi dan pentingnya ide-ide.

9. Menyamakan persepsi dan nilai-nilai seseorang.

10. Merefleksikan dan mengevaluasi kemampuan berpikir seseorang.

Sedangkan, menurut Raymond S. Nickerson beberapa karakteristik

seseorang yang memiliki kemampuan berfikir kritis adalah:5

1. Menggunakan bukti dengan terampil dan seimbang.

2. Mengorganisir pemikiran dan mengartikulasikannya dengan singkat dan

dengan jelas.

3. Memahami perbedaan antara memberi alasan/menalar dan merasionalkan.

4. Memahami gagasan pada derajat/tingkat kepercayaan tertentu.

5. Berusaha untuk mengantisipasi konsekuensi tindakan alternatif yang

mungkin.

6. Dapat belajar independen dan memiliki kepercayaan dalam

melaksanakannya.

7. Menerapkan teknik dan strategi pemecahan masalah dalam menyelesaikan

materi apapun.

4

Lau, op. cit., h. 2. 5

(26)

12 8. Dapat membangun sebuah permasalahan yang disajikan secara informal ke

dalam bentuk yang formal, seperti matematika, dan sekaligus dapat

menggunakannya untuk memecahkan masalah.

9. Terbiasa mempertanyakan pendapatnya sendiri dan berusaha untuk

memahami pandangan/asumsinya secara kritis juga implikasi dari

pandangannya itu.

10. Mengenali kemungkinan yang keliru dari pendapatnya sendiri, mengenali

kemungkinan penyimpangan yang mungkin dari pendapatnya sendiri, dan

menyadari bahaya pada bukti menurut pilihan pribadi.

11. Menyadari fakta bahwa pemahaman seseorang selalu terbatas.

Lebih lanjut Schafersman menyatakan seseorang yang memiliki

kemampuan berfikir kritis dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sesuai,

mengumpulkan informasi yang relevan, secara efisien dan kreatif mereka

menyusun dan berbuat melalui informasi yang dikumpulkannya itu, bernalar

secara logika berdasarkan informasi, dan datang dengan kesimpulan yang reliabel

dan dapat dipercaya tentang lingkungan yang memungkinkannya tinggal dan

berhasil di dalamnya.6

Dalam mengajarkan kemampuan berfikir kritis ini dapat diajarkan dengan

mengoptimalkan penggunaan kemampuan kognitif atau strategi yang dapat

meningkatkan peluang dari hasil yang diinginkan dalam tahap yang panjang. Poin

yang terpenting adalah berfikir kritis bukan digunakan pada konteks yang negatif,

sebagai mencari kesalahan (finding fault) lawan bicara, tetapi kemampuan ini digunakan sebaliknya untuk kritis dalam melakukan pengevaluasian dan

pemutusan dari argumen yang diberikan.

Untuk menilai kemampuan berfikir kritis yang dilakukan siswa selama

proses belajar adalah dengan indikator berfikir kritis. Dalam kurikulum berfikir

kritis, menurut Ennis terdapat dua belas indikator berfikir kritis yang

dikelompokkan ke dalam lima keterampilan berfikir, yaitu:7

6

Ibid., h. 3. 7

(27)

13 1. Memberikan penjelasan sederhana.

2. Membangun keterampilan dasar.

3. Menyimpulkan.

4. Memberikan penjelasan lebih lanjut.

5. Mengatur strategi dan taktik

Selanjutnya, dari keterampilan (1) dijabarkan ke dalam 3 indikator yaitu

memfokuskan pertanyaan, menganalisis argumen, dan bertanya dan menjawab

pertanyaan menantang. Dari keterampilan (2) dijabarkan ke dalam 2 indikator,

yaitu mempertimbangkan kredibilitas suatu sumber, dan mengobservasi dan

mempertimbangkan hasil observasi. Dari keterampilan (3) dijabarkan ke dalam 3

indikator, yaitu membuat deduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi,

membuat induksi dan mempertimbangkan induksi, dan membuat dan

mempertimbangkan nilai keputusan. Dari keterampilan (4) dijabarkan ke dalam 2

indikator, yaitu mendefinisikan istilah, memempertimbangkan definisi, dan

mengidentifikasi asumsi. Dari keterampilan (5) dijabarkan menjadi 1 indikator,

yaitu memutuskan suatu tindakan.8

Glazer merumuskan berfikir kritis dalam matematika sebagai kemampuan

dan disposisi untuk menyertakan pengetahuan sebelumnya, penalaran matematika,

dan strategi kognitif untuk menggeneralisasi, membuktikan, atau mengevaluasi

situasi-situasi matematika yang tidak familiar secara reflektif. Berdasarkan

rumusan definisi tersebut, maka kondisi untuk berfikir dalam matematika harus

memuat:9

1. Situasi yang tidak familiar dimana individu tidak dapat dengan cepat

memahami konsep matematika atau mengetahui bagaimana menentukan

solusi dari persoalan.

2. Menggunakan pengetahuan awal, penalaran matematika, dan strategi

kognitif.

3. Generalisasi, pembuktian, dan atau evaluasi.

8

Ibid., h. 13-16. 9

(28)

14 4. Berfikir reflektif yang melibatkan pengomunikasian solusi dengan penuh

pertimbangan, membuat makna tentang jawaban atau argumen yang masuk

akal, menentukan alternatif untuk menjelaskan konsep atau memecahkan

persoalan, dan atau membangkitkan perluasan untuk studi selanjutnya.

Pada dasarnya tujuan berpikir kritis untuk mengevaluasi tindakan yang telah

dilakukan dan membuat keputusan.

Dalam berpikir kritis seseorang akan berusaha memahami dan

menemukan (mendeteksi) hal-hal yang istimewa dari informasi yang diperoleh

kemudian membuat kesimpulan dengan menganalisis dan merefleksi hasil

pikirannya tersebut. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kemampuan berfikir kritis

matematis merupakan kemampuan seseorang dalam memamandang dan

memahami suatu informasi yang diterima secara mendalam dengan melibatkan

proses berfikir untuk memberikan alasan yang dapat diterima, memberikan

generalisasi dan membuat putusan yang dapat diterima dalam pembelajaran

matematika.

Kemampuan berpikir kritis perlu dikembangkan dalam diri siswa agar

siswa lebih mudah memahami konsep, dan peka akan masalah yang terjadi

sehingga dapat menyelesaikan masalah dengan benar serta siswa yakin bahwa

keputusan yang dipilihnya sudah benar. Berdasarkan indikator yang dikemukakan

oleh para ahli, peneliti akan membatasi indikator berpikir kritis yang akan diteliti,

yaitu:

Indikator yang digunakan dalam instrumen pada penelitian ini adalah

indikator berpikir kritis matematis siswa yaitu kemampuan siswa untuk:

1. Memberikan alasan

Kemampuan siswa dalam menyatakan argumennya dalam menanggapi suatu

permasalahan berdasarkan apa yang dipahaminya. Kegiatan yang

berlangsung seperti mencatat poin-poin penting, membuat

hubungan-hubungan pengertian dari apa yang telah diketahui sebelumnya.

2. Menyimpulkan

Kemampuan siswa untuk membuat generalisasi terhadap masalah yang

(29)

15 3. Menentukan strategi

Kemampuan siswa untuk memutuskan tindakan/strategi yang tepat akan

diambil untuk menyelesaikan masalah dan mendapatkan pedoman dalam

masalah yang serupa dengan solusi dari masalah yang telah diputuskan.

2. Pembelajaran Matematika

Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui

pengalaman.10 Pengalaman-pengalaman yang dihasilkan dari kegiatan berfikir

yang bermakna oleh siswa sehingga pengalaman tersebut mengubah tingkah laku

dan interaksinya terhadap suatu kondisi yang ditemui. Lanjutnya, pembelajaran

merupakan suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi,

material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi

mencapai tujuan pembelajaran.

Matematika merupakan penjelasan tentang pola - baik pola di alam dan

maupun pola yang ditemukan melalui pikiran. Tuntutan perubahan proses

pembelajaran matematika di kelas merupakan penyesuaian atau mengantisipasi

perubahan kebutuhan siswa akan matematis. Dimasa kini dan masa yang akan

datang kemampuan berfikir dan bernalar jauh lebih dibutuhkan.11 Siswa yang

menggunakan cara yang efektif dalam pengetahuan matematikanya membutuhkan

sejumlah kompetensi matematis. Beberapa kompetensi atau kemampuan yang

dibutuhkan dari OECD-PISA dalam memecahkan suatu masalah dan apa yang

harus dikuasai siswa selama pembelajaran matematika adalah berfikir dan

bernalar secara matematis (mathematical thinking and reasoning), dan berargumentasi secara matematis (mathematical argumentation), berkomunikasi secara matematis (mathematical communication).12

Dalam pembelajaran matematika, sampainya informasi dari guru kepada

siswa tidak terlepas dari cara/bagaimana informasi tersebut disampaikan.

10

Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Bandung: Bumi Aksara, 2013), Cet.13, h. 36. 11

Fajar Shadiq, “Apa dan Mengapa Matematika Begitu Penting?”, PPPPTK Matematika,

Yogyakarta, 23 Agustus 2009, h. 5. 12

(30)

16 Pendekatan, strategi, metode, ataupun metode yang digunakanpun harus dapat

memenuhi kebutuhan siswa dan dapat diaplikasikan pada informasi (materi) yang

akan disampaikan. Tyler mengemukakan tiga pertanyaan kunci yang dapat

dijadikan pedoman dalam pembelajaran, yaitu:13

1. Bagaimana cara membantu siswa belajar

2. Pengalaman apa yang harus disediakan

3. Bagaimana mengorganisasikan pengalamaan belajar agar diperoleh

pengetahuan kumulatif yang bemakna.

3. Strategi Metakognitif

Istilah metakognisi berasal dari dua kata meta dan kognisi. Meta berasal

dari bahasa Yunani yang dalam bahasa inggris diterjemahkan sebagi after, beyond, with, adjacent yang merupakan suatu prefik yang digunakan untuk menunjukkan suatu abstraksi dari suatu konsep dan kognisi berasal dari bahasa

latin yaitu cognoscere, yang berarti mengetahui (to know) dan mengenal (to recognize).14 Strategi metakognitif berkaitan dengan cara untuk meningkatkan

kesadaran tentang proses berfikir dan proses pembelajaran pun tetap berlangsung.

Jika kesadaran itu dimiliki siswa, maka mereka dalam mengontrol pikiran mereka.

Kesadaran tersebut merupakan komponen dari metakognisi yang dilakukan siswa.

Livingston menyebutkan bahwa metakognisi juga disebut dengan kegiatan

berfikir tentang berfikir (thinking about thinking) 15 , maka pembelajaran hendaknya membantu siswa menyadari akan kekuatan, kelemahan, dan

keterampilannya dalam melakukan strategi belajar kegiatannya, seperti menyadari

apa dan mengapa ia melakukan sesuatu kegiatan, serta terbiasa berfikir mengenai

cara berfikir.

Terdapat dua aspek dalam metakognisi, yaitu (1) refleksi (reflection) yang merupakan berfikir tentang apa (what) yang kita ketahui, dan (2) pengaturan

13

Utari Sumarmo, Rujukan Filsafat, Teori dan Praksis Ilmu Pendidikan, (Bandung : UPI Press,

2008), h. 680. 14

Dwi Purnomo, “Proses Metakognisi dan Pembentukan Konsep dalam Matematika, 2014, hal. 7,

(http://dwipurnomoikipbu.files.wordpress.com/2014/02/makalah-tentang-proses-metakognisi.pdf). 15

(31)

17 diri (self-regulation) yang merupakan proses mengatur bagaimana (how) pembelajaran siswa. 16 Dengan mengembangkan keterampilan metakognitif

(metacognitive skills) siswa mengetahui bagaimana mengenali kelemahan dan kekurangan dalam proses berfikirnya, mengungkapkan apa yang dipikirkan

dengan jelas, dan memperbaiki/ meninjau kembali usaha yang telah dilakukan.17

Keterampilan metakognitif ini digunakan untuk membantu siswa dalam

memutuskan unsur mana yang dimengerti dan tidak dimengerti, singkatnya

keterampilan ini membantu siswa belajar tentang cara belajarnya.

Dengan menggunakan strategi metakognitif, siswa akan mampu

mengontrol kelemahan diri dalam belajar dan kemudian memperbaiki kelemahan

tersebut, siswa dapat menentukan cara belajar yang sesuai dengan kemampuannya

sendiri, siswa dapat menyelesaikan masalah-masalah dalam belajar baik yang

berkaitan dengan soal-soal yang diberikan oleh guru ataupun dalam bentuk

masalah-masalah yang timbul berkaitan dengan proses pembelajaran, dan siswa

dapat memahami sejauh mana keberhasilan yang telah ia capai dalam belajar.

Strategi metakognitif membantu menjadikan siswa belajar secara efisien

dan penuh kekuatan karena mereka sekaligus membantu kita dalam menemukan,

mengevaluasi ketika kita membutuhkan sumber tambahan, dan memahami ketika

kita memiliki pendekatan yang berbeda.18 Brown dan DeLoache mengatakan

kemampuan dalam metakognitif terus berkembang dari waktu ke waktu dan

bergantung pada pengetahuan dasar.19 Tanpa pengetahuan awal dari matematika,

siswa akan kesulitan dalam mengarahkan pikiran mereka tentang bagaimana

menyelesaikan masalah dalam matematika.

Dalam pembelajaran matematika, strategi metakognitif dapat diajarkan

untuk memecahkan permasalahan dalam bentuk soal-soal matematika, tetapi

sebelum mereka belajar strategi metakognitif ini siswa tidak menggunakan taktik

16

Linda Darling-Hammond. et al., “Thinking About Thinking: Metacognition”, dalam

Annenberg/CPB Course Guide (ed.), The Learning Claasroom: Theory Into Practice,(South Burlington: Stanford University, 2003), h. 158.

17 Ibid 18

Ibid., h. 159 19

(32)

18 seperti merencanakan, memonitor pekerjaan mereka dalam memecahkan masalah,

dan mereka juga tidak menyadari bahwa mereka dapat menggunakan strategi dan

jalan pintas (short-cuts) untuk membantu mereka dalam memecahkan masalah tersebut. Untuk itu, ada beberapa persyaratan umum untuk mengajarkan strategi

metakognitif ini dalam pembelajaran, diantaranya adalah:20

1. Selain mengajarkan strategi, ajarkan kapan dan dimana digunakannya.

2. Memastikan bahwa penilaian kinerja membutuhkan aktivitas metakognitif

yang ada dalam pengajaran.

3. Memberi contoh penggunaan strategi dalam berbagai macam konteks dengan

penguatan.

4. Memberikan latihan ekstensif dalam beragam konteks dan penguatan.

4. Metakognisi Sebagai Strategi Berfikir

Dalam proses belajar, kemampuan metakognisi yang dapat digunakan

siswa merupakan kemampuan di dalam mengontrol proses belajarnya, mulai dari

tahap perencanaan, memilih strategi yang tepat sesuai dengan masalah yang

dihadapi, kemudian melakukan monitor terhadap kemajuan dalam belajar dan

sekaligus mengoreksi jika ada kesalahan yang terjadi selama proses memahami

konsep, menganalisis keefektivan dari strategi yang dipilih. Ketika siswa

memperoleh informasi tentang pikirannya, maka kemampuan dia untuk mengatur

proses berfikir (metacognitive regulation) akan terlihat pada kemampuan dia berfikir secara strategis dan penyelesaian masalah, perencanaan, menetapkan

tujuan, mengatur ide, mengevaluasi apa yang diketahui dan yang tidak

diketahui.21

Dengan mengembangkan metakognisi ini pada dasarnya adalah

meningkatkan proses berfikir siswa untuk mengontrol apa yanng dipikirkannya,

apa yang dikerjakannya, berkenaan dengan tugas yang diberikan, apakah telah

20

Tri Wibowo, Learning and Instruction: Teori dan Aplikasi, Terj. dari Learning and Instruction: Theory into Practice oleh Margaret E. Gradler, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 302.

21

(33)

19 memenuhi tuntutan yang diminta dari tugas tersebut atau belum. Kaitan antara

kemampuan metakognisi dengan strategi berfikir adalah bahwa kemampuan

metakognisi menyediakan cara mengendalikan berfikir pada akhirnya akan

menghasilkan kemampuan dalam berfikir kritis (critical thinking).22

5. Proses Metakognisi dalam Matematika

Dari pengertian metakognisi yang telah dijabarkan sebelumnya bahwa

metakognisi merupakan berfikir tentang apa yang dipikirkan. Proses ini pun akan

membutuhkan perenungan terhadap belajarnya sendiri dan mengingat lebih dari

yang lainnya. Dari komponen metakognitif yaitu pengetahuan metakognitif dan

pengaturan metakognitif, pengaturan metakognisi yang merupakan aktivitas untuk

melakukan perencanaan, pemonitoran, dan pengevaluasian.23

Aktivitas- aktivitas ini disebut juga sebagai strategi metakognisi atau

keterampilan metakognisi yang dapat membantu dalam menyelesaikan masalah

yang dihadapi. Misalnya dalam menyelesaikan masalah matematika ketika

pengetahuan metakognisi yang mengarah pada suatu tujuan yang menantang

pemikiran siswa, maka pada saat itulah pengalaman metakognisi akan lahir untuk

merespon pencapaiaan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Ketika

menyadari tantangan tersebut dan pentingnya masalah tersebut diselesaikan, maka

akan timbul kesadaran untuk menyelesaiakan dengan mencari berbagai strategi,

maka hal ini menunjukkan adanya pemanfaatan aktivitas metakognisi.24

6. Self-Explanation

Dalam mengajarkan metakognitif dalam pembelajaran, terdapat dua

strategi yang dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan menyatakan

hasil pikiran dalam bentuk verbal (verbal protocols) yaitu strategi metakognitif

22

Dwi Purnomo, “Proses Metakognisi dan Pembentukan Konsep dalam Matematika, 2014, hal.

11, (http://dwipurnomoikipbu.files.wordpress.com/2014/02/makalah-tentang-proses-metakognisi.pdf).

23

Anthony Niedwiecki, Lawyers and Learning: A Metacognitive Approach to Legal Education, 13 Widener L. Rev. 33 (2006), h.44.

24

(34)

20 think aloud dan self-explanation.25 Salah satu strategi dalam mengajarkan metakognitif adalah melalui pengajaran (instruction) untuk membangkitkan hubungan dari apa yang sedang dipelajari serta dapat menjelaskan pada diri

sendiri untuk mendapatkan suatu kesimpulan, atau sering juga disebut dengan

self-explanation. McNamara dan Magliano dalam penelitiannya terhadap kemampuan membaca dalam bidang bahasa (the dynamics reading) menyebutkan bahwa self-explanation merupakan proses-proses menjelaskan teks kepada diri sendiri baik dalam bentuk ucapan atau tulisan.26

Dalam pembelajaran matematika, self-explanation dapat memfasilitasi siswa untuk berkomunikasi dengan dirinya sendiri sendiri dalam bentuk

pengakuan, pertanyaan, dan jawaban (solusi) yang dihasilkan dari proses/tahapan

berfikir yang dilakukan selama pembelajaran itu berlangsung. Dalam proses

pembelajarannya, terdapat 4 fase dari self-explanation yang diadopsi dari pembelajaran bahasa, yaitu:27

1. Monitoring comprehension

Merupakan kegiatan mengetahui kelemahan (comprehension failure) dalam bidang kognitifnya. Kemudian dilanjutkan dengan menentukan langkah apa

yang akan diambil untuk memperbaiki kelemahan tersebut. Di awal kegiatan

pembelajaran, guru mencoba untuk membuat siswa untuk menyadari

kemampuan mereka, bagaimanakah responnya terhadap pelajaran yang akan

disampaikan, bertanya kepada diri mereka sendiri saya mengerti ... atau saya tidak mengerti ... . Selanjutnya menentukan cara yang akan ditempuh untuk mengetahui apa yang perlukan untuk memahami ini ... .

2. Paraphrasing

Dalam menemukan masalah yang tidak dipahami, paraphrasing merupakan kegiatan menyatakan dan membawa permasalahan tersebut ke dalam bahasa

sendiri untuk mempermudah menentukan solusi yang akan diambil.

3. Bridging inferences

25

McNamara, dan Magliano, Self-Explanation and Metacognition: The Dynamics of reading, h. 60.

26

Ibid., h. 60. 27

(35)

21 Merupakan kegiatan membuat kesimpulan dari hubungan yang dihasilkan

dari proses selama berfikir dan pertanyaan yang timbul pada tahap

pemahaman dan pembawaan masalah ke dalam diri siswa.

4. Elaborating

Merupakan tahap mengembangkan kesimpulan tersebut sehingga terdapat

beberapa pilihan untuk menentukan solusi yang sama. Pada tahap ini siswa

akan mempresentasikan hasil pemahaman mereka di depan kelas sehingga

siswa akan mendapatkan beragam langkah yang dapat dilakukan untuk

menyelesaikan masalah tersebut.

Dari keempat fase berfikir tersebut menunjukkan proses-proses apa saja

yang terjadi dalam pengolahan informasi di dalam pikiran siswa yang ditunjukkan

melalui bentuk lisan atupun tulisan. Selama proses penjelasan berfikir tersebut

dapat dikatakan siswa telah mampu mengendalikan pemikirannya pada saat

pikiran itu digunakan. Dapat dikatakan bahwa komponen berfikir tingkat tinggi

telah dilakukan selama proses itu, karena menggunakan pengelolaan informasi

tersebut dilakukan secara beralasan sebelum informasi tersebut diterima atau

ditolak oleh siswa itu sendiri.

Berikut ini adalah desain pembelajaran dengan strategi metakognitif self-explanation yang diimplementasikan dalam pembelajaran matematika:

1) Tahap awal pembelajaran

o Guru memastikan kesiapan siswa dalam menerima pembelajaran yang

akan diikuti.

o Menjelaskan tujuan materi pembelajaran yang akan disampaikan dan

realisasinya dalam kegiatan keseharian.

o Menjelaskan kegiatan seperti apa saja yang akan dilakukan siswa selama

pembelajaaran.

o Memberikan gambaran umum alur materi yang akan dipelajari dengan

(36)

22 2) Tahap inti pembelajaran

Guru membagikan modul pembelajaran kepada tiap siswa yang didalamnya

sudah berisi instruksi-instruksi untuk siswa dalam mencapai tujuan

pembelajaran yang telah disampaikan. Tahapan- tahapan yang akan

dilakukan siswa dalam mempelajari materi yang akan dipelajari adalah:

o Monitoring Comprehensions

Dari modul yang telah dibagikan dengan masalah yang telah diberikan

dalam modul tersebut siswa diminta untuk menyuarakan pikirannya

(talking about thinking) tentang pemahamannya terhadap apa yang dipelajari. Yang akan berkembang pada tahap ini adalah keterampilan

metakognitif (metacognitive skills) karena siswa akan memutuskan bagian yang dimengerti dan tidak dimengerti dari materi yang disajikan dalam

modul.

o Paraphrasing

Berdasarkan masalah yang disajikan dalam modul , siswa menyajikan

masalah tersebut dalam bahasanya sendiri untuk mengidentifikasi

poin-poin informasi yang dapat diambil dari masalah yang diberikan. Dalam

kegiatan ini siswa diminta untuk mengumpulkan setiap informasi dalam

bentuk catatan untuk mereka merefleksikan pemikiran ketika menemukan

kesulitan dan bagaimana kepedulian mereka terhadap kesulitan yang

dihadapi.

o Bridging Inferences

Dengan mengandalkan pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa

membuat hubungan sebab akibat untuk mendapatkan kaitan masalah yang

ditemui dalam masalah yang disajikan dan kaitannya dengan apa yang

telah diketahui sebelumnya. Kegiatan ini akan mengembangkan

pengaturan metakognitif(metacognitive regulation) siswa dalam menentukan tindakan, perencanaan untuk mengatur cara

pembelajaraannya untuk mendapatkan kesimpulan terhadap masalah yang

(37)

23 o Elaborating

Mengambil tindakan yang akan diambil sebagai kegiatan rutin yang akan

dilakukan selanjutnya dalam menyelesaikan masalah yang lain. Pada

proses ini siswa dapat melakukan perluasan terhadap apa yang telah

mereka temukan dan apa yang mereka yang mereka pahami dari masalah

yang disajikan dengan cara pernyataan hasil kerja dalam bentuk persentasi

yang dilakukan oleh siswa dengan kategori yang ditentukan sendiri oleh

guru terhadap siapa saja yang akan mempresentasikan hasil kerjanya.

3) Tahap penutup pembelajaran

Guru memberikan apresiasi terhadap hasil kerja siswa dan memberikan

kesimpulan umum yang ditarik dari hasil kerja yang telah didapatkan oleh

siswa dan menjelaskan kapan penggunaan apa yang telah dipelajari tersebut

digunakan. Stelah itu, guru memberikan evaluasi hasil kegiatan yang telah

dilakukan berupa soal-soal untuk melatih pemahaman siswa dalam

menerapkan apa yang telah dipelajari dalam menyelesaikan soal yang

diberikan.

B. Penelitian Yang Relevan

Hasil-hasil penelitian relevan yang diajdikan rujukan untuk melakukan

penelitian ini adalah:

1. Mardiah Harun, dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Strategi

Metakognisi terhadap Penalaran Matematika”. Penelitian tersebut

menemukan simpulan bahwa dengan menggunakan strategi metakognisi

dapat mengkondisikan siswa mencapai tingkat penalaran yang tertinggi atau

tingkat kreativitas dalam belajar matematika.28

2. Ridha Rafiah, dalam penelitian skripsinya yang berjudul “Strategi

Metakognitif dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan

Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa”. Menyimpulkan bahwa (1)

Kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diajarkan dengan

28

Harun, Mardiah, Pengaruh Strategi Metakognisi Terhadap Penalaran Matematika”, Jurnal

(38)

24 menggunakan Strategi Metakognitif lebih tinggi dari pada kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diajarkan dengan menggunakan strategi

konvensional dan perbedaan ini terjadi karena adanya kontribusi dari

perlakuan yang diberikan selama proses pembelajaran, (2) Kemampuan

berpikir kritis matematis siswa yang diajar dengan Strategi Metakognitif lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang

diajar menggunakan strategi konvensional.29

3. Fachrurazi, dengan judul penelitiannya “Penerapan Pembelajaran Berbasis

Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berfikir Kritis dan Komunikasi

Matematis Siswa Sekolah Dasar” yang menyimpulkan salah satu diantaranya

terdapat perbedaan peningkatan berfikir kritis antara siswa yang belajar

matematika menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dengan

siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Siswa pada kelas

pembelajaran berbasis masalah mengalami peningkatan kemampuan berfikir

kritis yang lebih tinggi daripada siswa pada kelas kovensional.30

C. Kerangka Berpikir

Penggunaan secara maksimal seluruh aspek pada diri setiap siswa berupa

perkembangan mental, intelektual, emosi, dan spiritual dalam pembelajaran

matematika merupakan faktor kesuksesan dalam belajar dan mengaplikasikannya

dalam kehidupannya. Perkembangan mental, emosi, dan spiritual dari siswa lebih

banyak dilatih dalam keluarganya, sedangkan perkembangan intelektual (kognitif)

lebih didominasi pada tempat dimana siswa tersebut mendapatkan pengetahuan

seperti sekolah, lembaga, dan lain-lain.

Perkembangan kognitif ini merupakan penentu kecerdasan intelektual

siswa, perkembangan kemampuan kognitif ini akan sejalan dengan proses

pendidikan yang ditempuhnya. Kecerdasan intelektual ini dikendalikan oleh

29

Rafiah, Ridha, ”Strategi Metakognitif dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan

Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa”, Skripsi FITK UIN Jakarta, Jakarta, 2013, h.

84, tidak dipublikasikan. 30

(39)

25 bagaimana seorang siswa mampu untuk mengatur kognitifnya untuk dirinya.

Kemampuan dalam mengatur dan mengelola kognitif tersebut disebut dengan

metakognitif.

Kemampuan metakognitif merupakan bagaimana siswa berfikir tentang

apa yang dipikirkannya yang dilakukannya secara sadar. Jika setiap siswa

menggunakan metakognitifnya dalam belajar, dapat dipastikan bahwa tahap

pemahaman terhadap pemahaman (kognitif) sudah didapatkannya. Untuk melatih

kemampuan ini pada siswa, maka perencanaan yang dibuat untuk melakukan

pemantauan dalam belajar siswa dapat dilakukan dengan memberikan

instruksi-instruksi langsung dalam sumber belajarnya atau dari instruksi-instruksi oleh guru.

Instruksi yang diberikan ditujukan untuk merangsang sekaligus untuk

meningkatkan kemampuan berfikir yang beralasan dan reflektif untuk

menemukan solusi yang akan ditentuan. Keberhasilan berfikir ini dilihat dari

indikator yang disusun diantaranya (1) Kemampuan untuk memberikan alasan, (2)

Kemampuan untuk menyimpulkan, dan (3) Kemampuan untuk menentukan

strategi.

Dalam strategi metakognitif, self-explantion merupakan strategi yang digunakan untuk melatih siswa untuk menjelaskan pengetahuan pada dirinya

melalui instruksi-instruksi yang diberikan sehingga siswa dapat mengatur dan

mengontrol setiap proses berfikir yang dilakukannya. Setelah pemahaman

terhadap diri dilakukan tahap selanjutnya adalah perlunya siswa untuk

menafsirkan dengan bahasa mereka sendiri untuk memudahkan mendapatkan

pemahaman terhadap apa yang dipelajari.

Kemudian setelah penafsiran dilakukan, maka proses untuk menarik

kesimpulan dilakukan dengan mempertimbangkan keputusan yang logis dan

berdasarkan prinsip-prinsip yang telah diterapkan sebelumnya. Pada tahap akhir,

siswa dapat memperluas pengetahuan berdasarkan kesimpulan yang diambil.

Bercermin pada solusi yang sama, tetapi bekerja dengan cara yang berbeda

dengan aturan-aturan yang sama.

Dalam pembelajaran matematika, ketrampilan dalam menyatakan

(40)

26 sesuai apa yang diyakini merupakan karakteristik siswa yang menggunakan

berfikir kritis dalam pembelajarannya. Untuk itu, tahap-tahap dalam Strategi

Metakognitif Self-Explanation ditujukan untuk membawa siswa untuk menggunakan berfikir kritis selama proses berfikir yang dilakukannya dalam

pembelajaran.

Berikuti ini adalah gambaran kerangka berfikir yang akan dilakukan

siswa selama pembelajarannya:

Bagan 2.1 Kerangka Berfikir

D. Hipotesis Penelitian

Dari rumusan masalah dan kajian teori yang telah peneliti jabarkan di

atas, maka hipotesis penelitian yang peneliti ajukan adalah sebagai berikut:

Kemampuan berfikir kritis siswa yang diajarkan dengan Strategi Metakognitif

(41)

27 BAB III

METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk kelas X di SMA Negeri 3 Kota Tangerang

Selatan yang beralamat di Jl. Benda Timur XI Komp. Pamulang Permai 2

Tangerang Selatan yang berlangsung pada bulan Januari tahun ajaran 2014/2015.

B. Desain Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode Quasi Eksperimen yaitu metode

yang tidak memungkinkan peneliti mengadakan pengontrolan penuh terhadap

variabel kondisi eksperimen. Dalam metode penelitian ini, peneliti ikut serta

dalam penelitian yaitu dengan mengajar matematika di sekolah tersebut dengan

Strategi Metakognitif Self-Explanation dalam pembelajaran matematika.

Sampel penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok kelas yaitu kelas

eksperimen dan kelas kontrol. Kelas eksperimen merupakan siswa yang diajarkan

dengan pengajaran matematika dengan menggunakan strategi metakognitif self-explanation, sedangkan kelas kontrol merupakan siswa yang diajarkan dengan pengajaran matematika dengan menggunakan pembelajaran konvensional dengan

dua kelompok kelas ini yang diambil dari tingkat kelas yang sama.

Untuk itu, desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Two Group Randomized Subject Posttest Only .1 Berikut adalah bentuk desain penelitian yang disajikan dalam bentuk tabel dibawah.

Tabel 3.1 Desain Penelitian

Kelompok Perlakuan Posttest

Eksperimen

R

X

Kontrol -

Keterangan :

1

(42)

28 : Pengambilan sampel secara random/acak.

: Perlakuan

: Hasil postest kelompok eksperimen dan kontrol.

C. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penlitian ini dibedakan menjadi populasi target dan

populasi terjangkau. Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh siswa

SMAN 3 Tangerang Selatan, sedangkan populasi terjangkaunya adalah seluruh

siswa kelas X IPA SMAN 3 Tangerang Selatan pada semester genap tahun ajaran

2014/2015 yang terdiri dari enam kelas yaitu X.MIA 1, X.MIA 2, X.MIA 3,

X.MIA 4, X.MIA 5, dan X.MIA 6.

Dalam penelitian ini, sampel penelitian berasal populasi terjangkau dengan

cara pengambilan sampel dari keenam kelas adalah dengan teknik cluster random sampling, yaitu pengambilan sampel secara berkelompok dengan cara memilih secara acak dari keenam kelas dengan cara menentukan 2 kelompok kelas dari 6

kelas yang akan menjadi satu kelompok eksperimen dan satu kelompok lagi

sebagai kelompok kontrol.2 Setelah dilakukan pemilihan sampel penelitian

diperoleh kelas X.MIA 4 sebagai kelas eksperimen dan kelas X.MIA 3 sebagai

kelas kontrol. Kelas X.MIA 4 sebanyak 37 siswa ini yang akan diberikan

pembelajaran dengan strategi metakognitif, sementara itu kelas X.MIA 3 sebagai

kelas kontrol sebanyak 36 siswa ini yang akan diberikan pembelajaran

konvensional.

D. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan untuk penelitian ini adalah berupa tes untuk

mengukur kemampuan berfikir kritis matematis dalam pembelajaran matematika

pada posttest di akhir semua pertemuan tentang materi persamaan dan fungsi kuadrat. Data yang diperoleh berdasarkan dari nilai posttest yang diberikan kepada siswa setelah proses pembelajaran dengan menggunakan strategi

2

(43)

29 metakognitif self-explanation yang diberikan untuk siswa pada kelas eksperimen dan pembelajaran konvensional untuk siswa pada kelas kontrol. Posttest

kemampuan berpikir kritis matematis siswa berupa soal essay yang terdiri dari 5

soal yang memuat aspek-aspek kemampuan berpikir kritis matematis siswa dalam

pembelajaran materi persamaan dan fungsi kuadrat dengan kompetensi dasar yang

telah disesuaikan dengan kebutuhan siswa dan kebutuhan penelitian dalam

mencapai tujuan pembelajaran dengan strategi metakognitif self-explanation ini. Penyusunan 5 butir soal essay tersebut akan dibagi ke dalam 3 indikator

yang telah peneliti tentukan. Pembagian soal tersebut adalah 2 soal untuk

mengukur kemampuan siswa dalam menentukan strategi, 2 soal unutk mengukur

kemampuan siswa dalam menyimpulkan terhadap suatu masalah, dan 1 soal untuk

mengukur kemampuan siswa dalam memberikan alasannya dalam menganalisis

suatu masalah. Berikut ini adalah indikator kemampuan berpikir kritis matematis

yang diujikan:

1. Menentukan strategi

Kemampuan siswa untuk memutuskan tindakan/strategi yang tepat akan

diambil untuk menyelesaikan masalah dan mendapatkan pedoman dalam

masalah yang serupa dengan solusi dari masalah yang telah diputuskan.

2. Memberikan alasan

Kemampuan siswa dalam menyatakan argumennya (alasan) dalam

menanggapi suatu permasalahan berdasarkan apa yang dipahaminya.

3. Menyimpulkan

Kemampuan siswa untuk membuat generalisasi terhadap masalah yang

ditemui dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki.

Sebelum pembuatan instrumen soal, peneliti membuat kisi-kisi soal yang

disesuaikan dengan indikator kemampuan berpikir kritis matematis yang akan

diuji melalui soal-soal persamaan dan fungsi kuadrat dan juga pedoman penilaian

untuk menetapkan skor yang akan diperoleh oleh setiap individu dari hasil

jawaban soal essay yang diujikan. Berikut ini adalah kisi-kisi instrumen tes dan

[image:43.595.109.517.237.592.2]

pedoman penilaian pada tabel 3.2.

(44)

30 Kisi-Kisi Instrumen Kemampuan Berpikir Kritis Matematis

Untuk memperoleh data yang akan diolah maka disusunlah kriteria penialain dengan skala yang berbeda untuk menilai jawaban dari siswa pada setiap

butir soalnya. Pedoman penilaian yang diadaptasi dari pedoman penilaian

kemampuan berpikir kritis oleh Facione3 yang telah disesuaikan dengan indikator

3

Facione, Holisctic Critical Thinking Scoring Rubric, (California: California Academic Press, 1994).

Kompetensi

Dasar Indikator Kompetensi Aspek Berfikir Kritis

No. Soal

 KD 2  KD 3

Siswa diberikan hasil penyelsaian soal persamaan kuadrat kemudian siswa mengidentifikasi kesalahan pada penyelesaian dengan

memberikan alasan serta

menentukan jawaban yang benar.

Memberikan Alasan 1

 KD 1  KD 2  KD 4

Diberikan dua dua bagian unsur-unsur dari persamaan kuadrat yang berbeda. Siswa menyimpulkan apakah persamaan kuadrat yang dihasilkan sama dari unsur-unsur yang diberikan.

Menyimpulkan 2

 KD 1  KD 2  KD 3

Diberikan hasil jumlah dan salah satu akar-akar kemudian siswa menentukan cara mendapatkan bentuk persamaan kuadrat dari informasi yang diberikan.

Menentukan Strategi 3

 KD 2

Disajikan dua pernyataan mengenai kesamaan solusi dari dua persamaan kuadrat, kemudian

siswa menganalisis dan

menyimpulkan pernyataan mana yang benar.

Menyimpulkan 4

 KD 5  KD 6

Disajikan sebuah gambar pin

Gambar

Tabel 3.2
Tabel 3.4 Kriteria Tingkat Kesukaran
Tabel 3.5 Kriteria Daya Pembeda
Tabel 3.6 Hasil Rekapan Uji Analisis Instrumen Tes
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan situasi di atas, rancang satu eksperimen makmal untuk menyiasat kesan kepekatan larutan natrium klorida terhadap hasil yang terbentuk di anod

Dalam penelitian ini juga membahas faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan lapangan kerja, yaitu jumlah tenaga kerja dan dependensi rasio, serta membahas bagaimana

Masih terdapatnya benturan kepentingan antara pemegang hak pertambangan dan pemilik hak atas tanah, maka Pemerintah harus menetapkan kewenangannya sesuai dengan ketentuan hukum

The low level of knowledge of the mother can affect exclusive breastfeeding, both for working mothers and housewives. Most mothers are busy working reasoned,

Sehubungan dengan hasil evaluasi dokumen kualifikasi saudara, perihal Pekerjaan.. Perencanaan Kantor Camat Sebatik , maka dengan ini kami mengundang

Untuk metode Indeks Sentralitas Marshall, pembentukan orde wilayah 28 administrasi kecamatan berdasarkan karakteristik kekotaan yang ditinjau dari 19 fasilitas

Nyawanya meninggalkan tubuhnya dengan sebuah senyum khas di wajahnya dan video kamera mengambil gambar wajahnya dari berbagai sudut, sebagai bukti akan dua hal: (i) bahwa ini

Laksamana