PENJUALAN AGUNAN SECARA LELANG TANPA PERSETUJUAN PEMBERI HAK TANGGUNGAN DIIKUTI GUGATAN PERBUATAN
MELAWAN HUKUM
(STUDI PUTUSAN NOMOR 348/PDT.G/2009/PN.TNG)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH :
FLAMING VRETIG SAMUEL BLESSRY SIAHAAN NIM : 080200246
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN/ BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PENJUALAN AGUNAN SECARA LELANG TANPA PERSETUJUAN PEMBERI HAK TANGGUNGAN DIIKUTI GUGATAN PERBUATAN
MELAWAN HUKUM
(STUDI PUTUSAN NOMOR 348/PDT.G/2009/PN.TNG)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh :
FLAMING VRETIG SAMUEL BLESSRY SIAHAAN NIM : 080200246
Disetujui Oleh
Ketua Departemen Hukum Perdata
(Dr. Hasim Purba, SH. M.Hum) NIP. 196603031985081001
Pembimbing I Pembimbing II
(M. HAYAT, SH) (MALEM GINTING, SH.M.Hum.) NIP. 195008081980021001 NIP.195707151983031002
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan
rahmatNya yang telah memberikan kekuatan lahir dan bathin kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini guna melengkapi persyaratan yang
diperlukan untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara. Untuk memenuhi kewajiban tersebut maka
disusunlah skripsi ini yang berjudul “PENJUALAN AGUNAN SECARA LELANG TANPA PERSETUJUAN PEMBERI HAK TANGGUNGAN DIIKUTI GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM (STUDI PUTUSAN NOMOR 348/ PDT.G/ 2009/PN.TNG)”.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan,
namun dengan lapang hati penulis selalu menerima kritik, saran maupun
masukan yang bersifat mendidik dan membangun dari berbagai pihak.
Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof.Dr. Syahril Pasaribu,
DTMH,MSc (CTM),Sp.A(K).
2. Bapak Prof. Dr. Runtung,SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas SumateraUtara.
3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum, selaku Pembantu Dekan I
4. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH.MH.DFM, selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Sumatera Utara.
5. Bapak Muhammad Husni.SH.MH, selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Sumatera Utara.
6. Bapak Dr.Hasyim Purba,SH.M.Hum, selaku Ketua Departeman Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Sumatera Utara.
7. Bapak Syamsul Rizal,SH.M.Hum, selaku Ketua Program Kekhususan
Perdata BW Fakultas Hukum Sumatera Utara.
8. Bapak M.HAYAT,SH.MH, selaku Dosen Pembimbing I yang telah
banyak memberikan arahan dan bimbingan bagi penulis.
9. Bapak Malem Ginting SH.MHum, selaku Dosen Pembimbing II yang
telah banyak memberikan arahan dan bimbingan bagi penulis.
10. Ibu Idha Apriliana Sembiring SH, M.Hum., selaku Dosen Wali.
11. Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh Staf di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
12. Teristimewa penulis ucapkan untuk Tercinta Ayahanda Avrits Siahaan
SH.MH, dan Ibunda Dra. Dewi Lasmawati Tinambunan yang merupakan
orangtua dari penulis yang telah memberikan dukungan yang sangat
berarti,dorongan dan dukungan doa baik secara moril maupun materil
kepada penulis dari awal sampai akhir skripsi ini
13. Terima kasih yang tulus kepada adik-adik yang sangat penulis sayang,
Windhika Ester Prildia Siahaan, Euni Retri Mendena Siahaan, Helsa
berarti, dukungan doa, pengertian yang sangat mendalam dan dorongan
kepada penlis untuk menyelesaikan skripsi ini.
14. Terima kasih penulis ucapkan kepada opung tercinta (Alm)
S.Tinambunan (Op.Bayu doli) dan R.Marbun (Op.Bayu boru), Tinur
Siahaan, Keluarga Besar Tinambunan dan Keluarga Besar Siahaan yang
telah memberikan dukungan yang tak terhingga didalam doa dan
dukungan yang sangat berarti kepada penulis.
15. Yang terkasih buat rekan - rekan penulis : Sepstian Tarigan, Paulus
Herdianto Manurung, Robless Arnold, Wanseptember Situmorang,
Hendro Chandra, Immanuel Pardede, Brury Prisma, Juna Kaban, Marhara
Tambunan, dan seluruh mahasiswa stambuk 2008, dan juga kepada Para
rekan – rekan GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), serta
kepada bang Rawan Jati, dan bang Henry Sitorus. yang telah mendukung
dalam doa dan moril meskipun tidak saya sebutkan satu per- satu.
Akhir kata penulis memohon maaf apabila ada kesalahan atau kesilapan
yang pernah penulis perbuat dahulu. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
penulis maupun pihak-pihak yang memerlukannya.
Medan, Juli 2012
Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
ABSTRAKSI ... vi
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 5
C. Tujuan Penulisan ... 6
D. Manfaat Penulisan ... 6
E. Metode Penelitian ... 7
F. Keaslian Penulisan ... 10
G. Sistematika Penulisan ... 10
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN ... 12
A. Pemberian Hak Tanggungan dan Ruang Lingkupnya ... 12
B. Objek Hak Tanggungan ... 35
C. Sertifikat Hak Tanggungan Dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan ... 41
BAB III : PELELANGAN SECARA PROSEDURAL ... 45
A. Pengertian, Fungsi Dan Klasifikasi Lelang ... 45
B. Tata Cara Penawaran Lelang Serta Pembayarannya ... 51
BAB IV : PELAKSANAAN PENJUALAN OBJEK HAK
TANGGUNGAN MELALUI LELANG ... 70
A. Proses Peralihan Hak Atas Suatu Objek Agunan Kepada Pembeli Lelang...70
B. Penjualan Lelang Tanpa Diketahui Pemilik Objek Agunan Dapat Dikategorikan Perbuatan Melawan Hukum...76
C. Proses Penjualan Objek Agunan Melalui Lelang Tanpa Persetujuan Pemberi Hak Tanggungan Dapat Diajukan Sebagai Perbuatan Melawan Hukum ... 100
D. Kasus Posisi Atas Putusan Pengadilan Negeri Nomor : 348/PDT. G/2009/PN. TNG ... 106
E. Tanggapan ... 123
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 126
A. Kesimpulan ... 126
B. Saran ... 127
PENJUALAN AGUNAN SECARA LELANG TANPA PERSETUJUAN
PEMBERI HAK TANGGUNGAN DIIKUTI GUGATAN PERBUATAN
MELAWAN HUKUM (STUDI PUTUSAN NOMOR 348/PDT.G/2009/PN.TNG)
*) M.HAYAT, SH, MH.
Dalam kehidupan masyarakat, masyarakat sering menggunakan agunan sebagai cara untuk memperoleh suatu barang, Agunan dalam kamus bahasa Indonesia ialah “ jaminan atau juga tanggungan’’ jaminan berarti adanya sesuatu yang bisa menjadikan pegangan bagi kreditur ketika debitur ingin memperoleh suatu barang yang diinginkan, sebelum melunasi barang tersebut, maka debitur harus memberikan jaminannya,
Dalam hal lelang telah diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, maka lelang tersebut hanya dapat ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dan tidak dapat ditangguhkan dengan alasan apapun oleh pejabat instansi lain, karena lelang yang diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dan dilaksanakan oleh Kantor Lelang Negara adalah dalam rangka eksekusi, dan bukan merupakan putusan dari kantor lelang Negara. Penjualan (lelang) benda tetap harus diumumkan dua kali dengan berselang lima belas hari diharian yang terbit di kota itu atau kota yang berdekatan dengan objek yang akan dilelang (Pasal 200 (7) HIR, Pasal 217 RBg).
Pelaksanaan lelang terhadap aset – aset berupa tanah dan bangunan sebagaimana dalam sertifikat hak milik yang menjadi jaminan di PT. Bank Negara Indonesia dianggap oleh pemberi hak tanggungan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum, karena disamping telah melanggar hak –hak selaku Debitur juga tanpa alasan yang sah melakukan proses pelelangan secara sepihak yang dianggap oleh pemberi hak tanggungan telah mengakibatkan kerugian bagi Debitur baik secara moril maupun secara materil. .
Undang – Undang agar dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan kerugian bagi para pihak yang mengikat perjanjian.
Dalam hal Debitur mengingkari perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya, maka mempunyai dampak terhadap objek hak tanggungan yang akan dilakukan penjualan dengan cara pelelangan umum, dan dalam hal ini berkaitan dengan siapakah yang berhak melakukan penjualannya serta apakah diperlukan persetujuan dari pemberi hak tanggungan .
Pihak Debitur yang merasa dirugikan akan melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri atas penjualan objek hak tanggungan yang dianggap oleh Debitur sebagai perbuatan melawan hukum, akan tetapi apakah masih diperlukan persetujuan dari pemberi hak tanggungan bilamana akan dilakukan penjualan terhadap objek hak tanggungan, jika ada hak yang diberikan Undang – Undang bagi pemegang hak tanggungan untuk melakukan penjualan objek hak tanggungan, maka tidak ada terjadi perbuatan melawan hukum dan gugatan dimaksud tidak berkekuatan hukum.
Kata Kunci : 1) Lelang
2) Hak Tanggungan
3) Perbuatan Melawan Hukum
PENJUALAN AGUNAN SECARA LELANG TANPA PERSETUJUAN
PEMBERI HAK TANGGUNGAN DIIKUTI GUGATAN PERBUATAN
MELAWAN HUKUM (STUDI PUTUSAN NOMOR 348/PDT.G/2009/PN.TNG)
*) M.HAYAT, SH, MH.
Dalam kehidupan masyarakat, masyarakat sering menggunakan agunan sebagai cara untuk memperoleh suatu barang, Agunan dalam kamus bahasa Indonesia ialah “ jaminan atau juga tanggungan’’ jaminan berarti adanya sesuatu yang bisa menjadikan pegangan bagi kreditur ketika debitur ingin memperoleh suatu barang yang diinginkan, sebelum melunasi barang tersebut, maka debitur harus memberikan jaminannya,
Dalam hal lelang telah diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, maka lelang tersebut hanya dapat ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dan tidak dapat ditangguhkan dengan alasan apapun oleh pejabat instansi lain, karena lelang yang diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dan dilaksanakan oleh Kantor Lelang Negara adalah dalam rangka eksekusi, dan bukan merupakan putusan dari kantor lelang Negara. Penjualan (lelang) benda tetap harus diumumkan dua kali dengan berselang lima belas hari diharian yang terbit di kota itu atau kota yang berdekatan dengan objek yang akan dilelang (Pasal 200 (7) HIR, Pasal 217 RBg).
Pelaksanaan lelang terhadap aset – aset berupa tanah dan bangunan sebagaimana dalam sertifikat hak milik yang menjadi jaminan di PT. Bank Negara Indonesia dianggap oleh pemberi hak tanggungan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum, karena disamping telah melanggar hak –hak selaku Debitur juga tanpa alasan yang sah melakukan proses pelelangan secara sepihak yang dianggap oleh pemberi hak tanggungan telah mengakibatkan kerugian bagi Debitur baik secara moril maupun secara materil. .
Undang – Undang agar dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan kerugian bagi para pihak yang mengikat perjanjian.
Dalam hal Debitur mengingkari perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya, maka mempunyai dampak terhadap objek hak tanggungan yang akan dilakukan penjualan dengan cara pelelangan umum, dan dalam hal ini berkaitan dengan siapakah yang berhak melakukan penjualannya serta apakah diperlukan persetujuan dari pemberi hak tanggungan .
Pihak Debitur yang merasa dirugikan akan melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri atas penjualan objek hak tanggungan yang dianggap oleh Debitur sebagai perbuatan melawan hukum, akan tetapi apakah masih diperlukan persetujuan dari pemberi hak tanggungan bilamana akan dilakukan penjualan terhadap objek hak tanggungan, jika ada hak yang diberikan Undang – Undang bagi pemegang hak tanggungan untuk melakukan penjualan objek hak tanggungan, maka tidak ada terjadi perbuatan melawan hukum dan gugatan dimaksud tidak berkekuatan hukum.
Kata Kunci : 1) Lelang
2) Hak Tanggungan
3) Perbuatan Melawan Hukum
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan di masyarakat, setiap orang membutuhkan uang untuk
berbagai kepentingannya termasuk dengan cara mendapatkan fasilitas kredit dari
bank tertentu. Pemberian fasilitas kredit oleh pihak kreditur kepada debitur tentu
harus melalui berbagai persyaratanya diantaranya ada perjanjian kredit dan ada
jaminan yang diberikan atas utang dari Debitur.
Masalah perkreditan erat kaitannya dengan lembaga jaminan yang akan
menjamin pengembalian kredit kepada pemberi kredit secara cepat dan pasti.
Oleh karena itu sudah seharusnya jika pemberi dan penerima kredit serta pihak
yang lain yang terkait mendapatkan perlindungan hukum melalui suatu lembaga
hak jaminan yang kuat dan memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang
berkepentingan.
Pasal 1131 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa :
” Segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.1
Dengan demikian, pada saat seseorang berhutang atau debitur maka
dengan sendirinya atau bagi hukum telah terjadi pemberian jaminan dari debitur
kepada setiap krediturnya atas segala harta kekayaan debitur itu.
1
Permasalahan akan timbul apabila terdapat lebih dari satu Kreditur dan
ternyata Debitur cidera janji terhadap salah satu atau beberapa Kreditur ini.
Tentu saja masing – masing Kreditur merasa mempunyai hak terhadap harta
kekayaan Debitur itu sebagai jaminan pengembalian masing – masing
piutangnya. Pasal 1132 KUHPerdata menyatakan bahwa harta Kekayaan Debitur
itu menjadi jaminan secara bersama – sama bagi semua Kreditur yang memberi
uang kepada Debitur yang bersangkutan.2
Alasan – alasan yang ditentukan oleh Undang – Undang itu diatur dalam
Pasal 1133 KUHPerdata. Pasal – Pasal 1133 KUHPerdata itu bahwa hak untuk
didahulukan bagi seorang Kreditur tertentu terhadap Kreditur lain timbul dari
hak istimewa, gadai, dan hipotik. Karena itu, para Kreditur lain yang tidak
mempunyai kedudukan untuk didahulukan berdasarkan alasan – alasan yang
ditentukan oleh Undang – Undang, mempunyai kedudukan yang sama dan hak
mereka untuk memperoleh pembagian dari hasil penjualan harta kekayaan Kemudian hasil dari penjualan benda
– benda yang menjadi kekayaan Debitur itu dibagi kepada semua Krediturnya
secara seimbang atau propersonal menurut perbandingan besarnya piutang
masing – masing. Namun Pasal 1132 KUHPerdata itu memberikan indikasi
bahwa diantara para Kreditur itu dapat didahulukan kedudukannya terhadap
Kreditur lain apabila ada alasan – alasan yang sah untuk didahulukan itu. Alasan
– alasan sah yang dimaksud itu ialah alasan – alasan yang ditemukan oleh
Undang – Undang.
Debitur apabila debitur cedera janji adalah berimbang secara proporsional
menurut besarnya masing – masing piutang.
Undang – Undang nomor 5 tahun 1960 Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria atau disingkat UUPA melalui Pasal 51 telah menyediakan lembaga
jaminan dapat dibebankan pada hak atas tanah, yaitu hak tanggungan sebagai
pengganti hipotik dan credietverband. Akan tetapi selama ini hak tanggungan
tersebut belum berfungsi sebagaimana seharusnya karena belum ada Undang –
Undang yang mengaturnya secara lengkap. Berdasarkan aturan peralihan Pasal
57 UUPA, selama Undang – Undang mengenai hak tanggungan belum terbentuk
maka masih diberlakukan ketentuan hukum dalam buku II KUHPerdata.
Setelah melewati rentang waktu lebih dari 35 tahun sejak diamanatkan
pasal 51 UUPA akhirnya terwujudlah Undang – Undang yang diharapkan dapat
mengamankan kegiatan perkreditan dalam upaya memenuhi kebutuhan dana
untuk menunjang kegiatan pembangunan, yaitu Undang – Undang Nomor 4
Tahun 1960 tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta benda – benda yang
berkaitan dengan tanah, yang diundangkan dan diberlakukan pada tanggal 09
April 1996, dan tulisan ini akan disingkat dengan Undang – Undang Hak
Tanggungan. Dengan telah diundangkannya Undang – Undang Hak Tanggungan
tersebut terwujudlah sudah unifikasi hukum nasional, yang ada dibidang hak
jaminan atas tanah. Namun dalam pelaksanaanya tentu permasalahan yang
timbul. Dalam tulisan ini secara khusus akan dibahas masalah pelaksanaan
Pelaksanaan lelang terhadap aset-aset berupa tanah dan bangunan
sebagaimana dalam Sertifikat Hak Milik yang menjadi jaminan di PT. Bank
Negara Indonesia dianggap oleh pemberi hak tanggungan merupakan perbuatan
yang bertentangan dengan hukum, karena disamping telah melanggar hak – hak
selaku Debitur juga tanpa alasan yang sah melakukan proses pelelangan secara
sepihak yang dianggap oleh pemberi hak tanggungan telah mengakibatkan
kerugian bagi Debitur baik secara moril maupun secara materil.
Pelaksanaan lelang terhadap aset – aset yang dijaminkan oleh Pemberi
Hak Tanggungan di PT. Bank Negara Indonesia pada awalnya adalah
berdasarkan perjanjian kredit dalam rangka penjaminan hutang yang pada
gilirannya tidak dapat dipenuhi pembayaran kewajibannya sebagaimana yang
telah diperjanjikan dan terjadi kredit macet sehingga untuk memperoleh
pembayaran atas hutang pemberi hak tanggungan dilakukan pelelangan umum.
Penjualan objek hak tanggungan berupa tanah dan bangunan secara lelang
memerlukan persyaratan – persyaratan sebagaimana yang ditentukan dalam
Undang – Undang agar dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan kerugian bagi
para pihak yang mengikat perjanjian.
Dalam hal Debitur mengingkari perjanjian yang telah diperbuat
sebelumnya, maka mempunyai dampak terhadap objek hak tanggungan yang
akan dilakukan penjualan dengan cara pelelangan umum, dan dalam hal ini
berkaitan dengan siapakah yang berhak melakukan penjualannya serta apakah
Pihak Debitur yang merasa dirugikan akan melakukan gugatan ke
Pengadilan Negeri atas penjualan objek hak tanggungan yang dianggap oleh
Debitur sebagai perbuatan melawan hukum, akan tetapi apakah masih diperlukan
persetujuan dari pemberi hak tanggungan bilamana akan dilakukan penjualan
terhadap objek hak tanggungan, jika ada hak yang diberikan Undang – Undang
bagi pemegang hak tanggungan untuk melakukan penjualan objek hak
tanggungan, maka tidak ada terjadi perbuatan melawan hukum dan gugatan
dimaksud tidak berkekuatan hukum.
B. Permasalahan
Perumusan masalah merupakan awal dari segenap proses ilmiah, tanpa ada
masalah tidak akan ada penelitian ilmiah. Masalah adalah ibarat jantung dari
setiap rencana penelitian ilmiah makin tegas dan terarah perumusan
masalahnya.3
1. Bagaimanakah proses peralihan hak atas suatu objek agunan kepada
pembeli lelang?
Makin jelas pula arah dan pelaksanaan penelitian. Maka sesuai
dengan judul skripsi penulis, maka dalam hal ini penulis merumuskan pokok
permasalahan sebagai berikut :
2. Apakah penjualan lelang tanpa diketahui pemilik objek agunan dapat
dikategorikan perbuatan melawan hukum?
3. Bagaimana proses penjualan objek agunan melalui lelang tanpa
persetujuan pemberi Hak Tanggungan dapat diajukan sebagai perbuatan
melawan hukum?
3
Wasty Soemanto,Pedoman Teknis Penulisan Skripsi,(Jakarta, Bumi Aksara, 1994),
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan selamanya mengacu pada masalah yang telah
dirumuskan. Apabila rumusan masalah menyangkut hubungan antara variabel,
maka rumusan tujuan penelitiannya hendaknya berupaya mencari penemuan
tantang ada dan tidaknya hubungan antara variabel yang dimaksud. Tujuan
penulisan ialah apa yang secara langsung dan spesifik yang akan dicapai dengan
penelitian yang dilakukan bertolak dari masalahnya.4
a. Untuk mengetahui cara terjadinya perpindahan hak kepada pembeli
lelang atas suatu objek agunan
Maka sesuai dengan
permasalahan di atas, maka yang menjadi tujuan yang akan dicapai dari
penulisan skripsi ini adalah:
b. Untuk mengetahui penjualan lelang tanpa diketahui pemilik objek agunan
dapat dikategorikan perbuatan melawan hukum
c. Untuk mengetahui penjualan objek agunan secara lelang tanpa
persetujuan pemberi hak tanggungan dapat diajukan sebagai perbuatan
melawan hukum.
D. Manfaat Penulisan
Dari hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara
lain:
1. Manfaat Teoritis
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu
hukum serta dapat memberikan sumbangan pemikiran guna membangun
argumentasi ilmiah terhadap penerapan penjualan agunan secara lelang tanpa
persetujuan pemberi hak tanggungan dalam gugatan perbuatan melawan
hukum.
2. Manfaat Praktis
Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan tambahan
pengetahuan, sumbangan pemikiran bagi masyarakat luas tentang penjualan
agunan secara lelang tanpa persetujuan pemberi hak tanggungan dapat
diajukan sebagai perbuatan melawan hukum. Penulisan skripsi ini dapat
menjadi salah satu jawaban yang tepat terhadap persoalan peningkatan
latihan berpikir dan bekerja ilmiah di kalangan mahasiswa. Melalui penulisan
skripsi ini, penulis secara terbimbing mampu belajar menyusun konsep
rencana penelitian, melakukan pengumpulan data, mengolah data, menarik
kesimpulan serta menuliskan laporan karya ilmiah dengan sebaik – baiknya.
Oleh karena itu penulisan skripsi ini merupakan tugas yang penting bagi
penulis.5
E. Metode Penulisan
Dalam hal ini, apa yang penulis kemukakan dalam tulisan ini merupakan
pangambilan bahan tidak terlepas dari media cetak dan media elektronik
mengingat tulisan ini kerap diaktualisasikan melalui media cetak dan media
elektronik.
Adapun penelitian yang digunakan oleh penulis dapat diuraikan sebagai
berikut:
5
1. Studi Kepustakaan
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini disesuaikan
dengan permasalahan yang diangkat di dalamnya. Dengan demikian, penelitian
yang dilaksanakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang
menganalisa hukum yang tertulis.
2. Data dan Sumber Data
Dalam menyusun skripsi ini, data dan sumber data yang digunakan adalah
bahan hukum primer, sekunder dan tersier.
Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan
perundang-undangan di bidang hukum yang mengikat, antara lain
Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan dan Peraturan Pemerintah
No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Tanggungan, dan Hak
Pakai Atas Tanah.
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer, yaitu hasil karya para ahli hukum berupa
buku-buku, pendapat-pendapat para sarjana yang berhubungan dengan skripsi ini.
Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, yaitu bahan hukum
yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum
primer dan/ atau bahan hukum sekunder, yaitu kamus hukum dan lain - lain serta
bahan – bahan sekunder dan tersier di luar bidang hukum yang relevan dan dapat
di pergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian.6
3. Teknik Pengumpulan Data
6
Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan
dapat dipertanggungjawabkan, penulis menggunakan metode penelitian hukum
normatif. Dengan pengumpulan data secara studi pustaka (Library Reseach).
Penulis menggunakan suatu penelitian kepustakaan (Library Reseach).
Dalam hal ini penelitian hukum dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan
atau disebut dengan penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka yang lebih dikenal dengan
nama dan bahan acuan dalam bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum.
Metode Library Reseach adalah mempelajari sumber-sumber atau
bahan-bahan tertulis yang dapat dijadikan bahan-bahan dalam penulisan skripsi ini. Berupa
rujukan beberapa buku.
4. Analisis Data
Penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam skripsi ini termasuk ke
dalam tipe penelitian hukum normatif. Pengolahan data pada hakekatnya
merupakan kegiatan untuk melakukan analisa terhadap permasalahan yang akan
dibahas. Analisa data dilakukan dengan:
a. Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan
permasalahan yang diteliti.
b. Memilih kaidah-kaidah hukum atau doktrin yang sesuai dengan
penelitian.
c. Mensistematisasikan kaidah-kaidah hukum, asas atau doktrin.
d. Menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep, pasal atau
F. Keaslian Penulisan
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang diperoleh dari perpustakaan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, judul skripsi ini belum pernah dikemukakan
dan permasalahan yang diajukan juga belum pernah diteliti. Oleh karena itu,
penulisan skripsi dapat dikatakan masih original sehingga keabsahannya dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan demikian penulisan skripsi ini
merupakan penulisan yang pertama dan asli adanya. Penulisan skripsi ini dibuat
berdasarkan hasil pemikiran dan juga referensi buku-buku, peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan hak tanggungan, serta informasi yang diperoleh
dari media cetak dan elektronik.
G. Sistematika Penulisan
Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya harus
diuraikan secara sistematis. Untuk mempermudah penulisan skripsi ini maka
diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur dan terbagi dalam bab
perbab yang saling berangkaian satu sama lain.
Adapun yang merupakan sistematika skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I : Berisikan Pendahuluan yang menggambarkan hal-hal yang
bersifat umum dalam Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan
Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian
Penulisan dan Sistematika Penulisan.
BAB II : Di dalam bab ini dikemukakan tentang Pemberian Hak
Tanggungan Dan Sertifikat Hak Tanggungan Serta Surat
Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.
BAB III : Di dalam bab ini menguraikan tentang Pengertian, Fungsi Dan
Klasifikasi Lelang, Tata Cara Penawaran Dan Pembayaran
Lelang, Dan Aspek – Aspek Hukum Yang Timbul Dalam
Pelelangan.
BAB IV : Di dalam bab ini membahas Proses Peralihan Hak Atas Suatu
Objek Agunan Kepada Pembeli Lelang, Penjualan Lelang
Tanpa Diketahui Pemilik Objek Agunan Dapat Dikategorikan
Perbuatan Melawan Hukum, Proses Penjualan Objek Agunan
Melalui Lelang Tanpa Persetujuan Pemberi Hak Tanggungan
Dapat Diajukan Sebagai Perbuatan Melawan Hukum, Kasus
Posisi Atas Putusan Pengadilan Negeri Nomor :
348/PDT.G/2009/PN.TNG Dan Tanggapan.
BAB V : Bab ini berisikan kesimpulan dan saran seluruh rangkaian
bab-bab sebelumnya. Dalam bab ini berisikan kesimpulan dan
saran yang dibuat berdasarkan uraian skripsi ini, kemudian
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN
A. Pemberian Hak Tanggungan dan Ruang Lingkupnya
Pemberian Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum
yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap
Objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Pemberian Hak Tanggungan
didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan
pelunasan utang tertentu, yang dituangkan didalam dan merupakan bagian tak
terpisahkan dari perjanjian utang – piutang yang bersangkutan atau perjanjian
lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Pemberian Hak Tanggungan
dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian.7 Hak Tanggungan harus dibuat
dalam suatu Akte Notaris, agar mempunyai kekuatan terhadap pihak ketiga, dan
Hak Tanggungan harus didaftarkan pada pengurusan pembalikkan nama sesuai
dengan Peraturan Perundang – Undangan yang berlaku.8
Pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan
pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Undang – Undang Hak Apabila Objek Hak
Tanggungan berupa Hak Atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang
telah memenuhi syarat untuk didaftarkan, akan tetapi pendaftarannya belum
dilakukan.
7
Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996, Pada pasal 1 ayat 1 memberikan defenisi
Hak Tanggungan sebagai berikut :
" Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu terhadap Kreditur-Kreditur lain."9
Ada beberapa unsur pokok dari Hak Tanggungan yang terdapat dalam defenisi Hak Tanggungan tersebut. Unsur – Unsur Pokok itu ialah :
1. Hak tanggungan adalah hak jaminan
2. Untuk pelunasan utang
3. Objek hak tanggungan adalah hak atas tanah sesuai Undang – Undang
Pokok Agraria.
4. Hak Tanggungan dapat di bebankan atas tanahnya (Hak Atas Tanah)
saja, dan dapat pula dibebankan benda – benda lain yang merupakan
satu- kesatuan dengan tanah itu.
5. Utang yang dijamin haruslah suatu utang yang tertentu.
6. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditur terhadap
Kreditur – Kreditur yang lain.
Dalam Unsur pokok hak tanggungan, maka ada juga pembebanan hak
tanggungan pada hak atas tanah harus dilakukan melalui akta yang dibuat oleh
dan dihadapan PPAT. Hak-hak atas tanah yang dapat diletakkan hak
9
Tanggungan di atasnya adalah: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan,
hak pakai, dan hak milik atas satuan rumah susun.
Dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran Hak Tanggungan:
1. Surat pengantar dari Pejabat Pembuat Akte Tanah
2. Surat permohonan pendaftaran
3. Identitas pemberi dan pemegang Hak Tanggungan
4. Sertifikat asli Hak Atas Tanah
5. Lembar ke-2 Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
6. Salinan Akta Pemberian Hak Tanggungan (untuk lampiran Sertifikat Hak
Tanggungan)
7. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) apabila dilakukan
melalui kuasa.
Hak Tanggungan dapat beralih atau dialihkan karena adanya cessie, subrogasi,
pewarisan, atau penggabungan serta peleburan perseroan. Dokumen yang
diperlukan untuk pendaftaran peralihan Hak Tanggungan:
1. Sertifikat asli Hak Tanggungan
2. Akta cessie atau Akta Otentik yang menyatakan adanya cessie
3. Akta subrogasi atau Akta Otentik yang menyatakan adanya subrogasi
4. Bukti pewarisan
5. Bukti penggabungan atau peleburan perseroan
6. Identitas pemohon
Hak Tanggungan sebagai pengganti bentuk Grosse Akta Berdasarkan Pasal 29,
Pasal 224 HIR. Pasal ini dengan tegas mengatakan, dengan diundangkannya
Undang-Undang No. 4 Tahun 1996, tidak berlaku lagi :
1. Credietverband St. 1908 – 542 jo. St. 1909 – 586 sebagaimana diubah dengan
St. 1937 – 190 jo. St. 1937 – 191
2. Ketentuan hipotek yang diatur dalam Buku II, Bab XXI KUHPerdata (Pasal
1162 – 1232), sepanjang jaminannya mengenai hak atas tanah.10
Untuk menjelaskan eksekusi Hak Tanggungan, perlu diketahui lebih
dahulu tata cara atau proses yuridis dan administrasif melekatnya titel
eksekutorial pada Hak Tanggungan.
1. Tahap Pertama; Perjanjian Kredit dengan Klausul Pemberian Hak Tanggungan
Tahap awal, pengikatan perjanjian kredit atau perjanjian utang :
a. Dalam salah satu Pasalnya, disepakati janji Debitur memberikan Hak
Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang. Dengan demikian,
perjanjian kredit yang berisi janji debitur memberikan Hak Tanggungan,
merupakan :
Perjanjian pokok (basic agreement, principal agreement), yang berfungsi
sebagai dokumen pertama untuk membuktikan adanya perjanjian utang :
10
1) Perjanjian pokok (basic agreement,Principal agreement), yang berfungsi
sebagai dokumen pertama untuk membuktikan adanya perjanjian
hutang.
2) Menurut Pasal 10 ayat (1), eksistensi janji memberikan Hak
Tanggungan dalam perjanjian utang (kredit) merupakan bagian tak
terpisahkan dari janji pemberian hak tanggungan.
3) Perjanjian hak tanggungan bersifat accessoir dengan perjanjian pokok.
Hak Tanggungan tidak bisa berdiri sendiri, tetapi merupakan ikutan
dari perjanjian pokok yakni perjanjian yang memberi jaminan atas
pelunasan utang yang disebut dalam perjanjian pokok.
b. Bentuk perjanjian pokok yang berisi Pemberian Hak Tanggungan
Menurut penjelasan Pasal 10 ayat (1) :
1) Dapat berbentuk akta di bawah tangan (onderhandse akte)
2) Dengan kata autentik (authentieke akte).
c. Pembuatannya dapat di dalam maupun di luar negeri
1) Tidak disyaratkan validitas atau keabsahannya harus dibuat di dalam
negeri
2) Tetap sah dibuat diluar negeri
1) Dapat orang perseorangan (natural person) ;
2) Bisa badan hukum (legal entity) ;
3) Dapat orang atau badan hukum asing dengan syarat kredit yang
bersangkutan dipergunakan untuk pembangunan di wilayah NKRI.11
2. Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
Akta pemberian Hak Tanggungan adalah Akta PPAT yang berisi
pemberian hak tanggungan kepada Kreditur tertentu sebagai jaminan untuk
pelunasan piutangnya.
Tata cara Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan :
a. Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta
Pemberian Hak Tanggungan ;
1) Jadi berbentuk akta yang disebut Akta Pemberian Hak Tanggungan ;
2) Dibuat oleh Pejabat Pembuat Akte Tanah ;
3) Akta Pemberian Hak Tanggungan berfungsi sebagai bukti tentang
Pemberian Hak Tanggungan yang berkedudukan sebagai dokumen
perjanjian kedua, melengkapi dokumen perjanjian utang (perjanjian
pokok).
11
b. Isi dan format
Diatur dalam Pasal 11 Undang - Undang Hak Tanggungan yang
menentukan :
1) Yang wajib dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan :
a) Nama dan identitas Pemegang dan Pemberi Hak Tanggungan
b) Domisili pihak – pihak
c) Penunjukan secara jelas utang yang dijamin
d) Nilai tanggungan
e) Uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan
Pencantuman elemen ini dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan :
(1) Bersifat kumulatif, oleh karena itu harus lengkap dicantumkan,
(2) Lalai mencantumkan salah satu di antaranya, mengakibatkan Akta
Pemberian Hak Tanggungan batal demi hukum (Penjelasan Pasal 11
ayat (1) ).
2) Janji yang dapat dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan
Dalam Pasal 11 ayat (2), terdapat sejumlah klausul yang dapat
dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan antara lain :
a) Janji yang membatasi kewenangan Pemberi Hak Tanggungan untuk :
(2) Mengubah bentuk tata susunan Objek Hak Tanggungan
b) Janji yang memberi kewenangan kepada Penerima Hak Tanggungan :
(1) Mengelola objek berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri;
(2) Menyelamatkan objek Hak Tanggungan dalam rangka eksekusi
(mencegah hapus atau dibatalkan hak atas objek Hak Tanggungan) ;
(3) Pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atau
kekuasaan sendiri (eigenmachtige verkoop) ;
(4) Janji Pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan objek Hak
Tanggungan pada saat eksekusi Hak Tanggungan.12
3. Pendaftaran Pemberian Hak Tanggungan
Mengenai pendaftaran Pemberian Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 13:
a. Pendaftaran Merupakan Syarat Imperatif
1) Wajib mendaftarkan pada kantor Pertanahan (KP),
2) Menurut penjelasan Pasal 13 ayat (1) :
a) Pendaftaran merupakan asas publisitas ;
b) Serta sekaligus merupakan syarat mutlak untuk lahirnya dan
mengikatnya Hak Tanggungan kepada pihak ketiga ;
12
b. Kewajiban Pejabat Pembuat Akte Tanah sebagai pembuat Akta
Pemberian Hak Tanggungan
Berdasarkan Pasal 13 ayat (2), Pejabat Pembuat Akte Tanah yang
bertindak membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan :
1) Wajib mengirimkan Akte Pemberian Hak Tanggungan (meliputi surat –
surat bukti yang berkaitan dengan Objek Hak Tanggungan dan identitas
para pihak, sertifikat hak atas tanah) yang diperlukan kepada Kantor
Pertanahan ;
2) Pengiriman selambat – lambatnya 7 hari kerja dari tanggal
penandatanganan Akte Pemberian Hak Tanggungan ;
3) Cara pengiriman menurut Penjelasan Pasal 13 ayat (2) :
a) Melalui petugas Pejabat Pembuat Akte Tanah, atau
b) Melalui pos tercatat.
Pada prinsipnya Pejabat Pembuat Akte Tanah wajib menggunakan cara
yang paling baik dan aman sesuai dengan kondisi dan fasilitas yang ada di
daerah yang bersangkutan.
4) Pejabat Pembuat Akte Tanah yang lalai memenuhi kewajiban tersebut
diancam dengan sanksi administratif :
a) Teguran lisan/tulisan
c) Pemberhentian dari jabatan.
c. Kewajiban Kantor Pendaftaran Tanah (KPT)
Kewajiban Kantor Pertanahan diatur dalam Pasal 13 ayat (3) :
1) Mendaftarkan Hak Tanggungan
2) Untuk itu Kantor Pendaftaran Tanah membuat Buku Tanah Hak
Tanggungan (BTHT)
3) Mencatat dalam Buku Tanah Hak Tanggungan atas tanah yang menjadi
objek hak tanggungan
4) Serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang
bersangkutan
5) Tanggal Buku Tanah Hak Tanggungan menurut pasal 13 ayat (4) dan (5)
adalah
a) Tanggal hari ketujuh (ke- 7) setelah penerimaan secara lengkap
surat – surat yang diperlukan bagi pendaftaran ;
b) Jika hari ke – 7 jatuh pada hari libur, Buku Tanah Hak
Tanggungan diberi tanggal pada hari kerja berikutnya
6) Dengan demikian efektifnya Hak Tanggungan terhitung dari tanggal
Buku Tanah Hak Tanggungan (filling date),
7) Asas openbar dan perlindungan hukum (legal protection), terhitung dari
4. Pembuatan Sertifikat Hak Tanggungan
Penerbitan Sertifikat Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 14 Undang –
Undang Hak Tanggungan :
a. Yang menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan :
1) Kantor Pertanahan
2) Caranya, mencantumkan Irah – Irah dengan kata – kata: ”Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” karena kekuatannya sama
dengan surat putusan Hakim.13 Dan juga dipakai untuk surat – surat yang
mempunyai kekuatan eksekutorial, atau surat yang dimohonkan fiat
eksekusinya atau exequtor kepada Ketua Pengadilan Negeri.14
b. Fungsi Sertifikat Hak Tanggungan :
1) Menjadi bukti Hak Tanggungan
2) Menjadi landasan kekuatan eksekutorial (executoriale kracht)
3) Kekuatan eksekutorialnya sama dengan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap.
c. Tindakan Kantor Pertanahan Selanjutnya :
1) Mengembalikan sertifikat tanah yang berisi catatan Pemberian Hak
Tanggungan kepada Pemegang hak tanah
13
2) Memberikan sertifikat Hak Tanggungan kepada kreditor.15
Dalam Penjelasan Umum Undang-undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun
1996 angka 3, dikemukakan bahwa sebagai lembaga hak jaminan atas tanah
yang kuat, Maka Hak Tanggungan memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Droit de preferent
Artinya memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului
kepada pemegangnya (Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat 1). Apabila Debitur
cidera janji, Kreditur pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual objek
yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum menurut peraturan hukumyang
berlaku dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut,
dengan hak mendahului kreditur daripada Kreditur – Kreditur lain yang bukan
pemegang hak tanggungan atau Kreditur pemegang hak tanggungan dengan
peringkat yang lebih rendah. Dan juga dalam hal ini pemegang hak tanggungan
sebagai Kreditur memperoleh hak didahulukan dari Kreditur lainnya untuk
memperoleh pembayaran piutangnya dari hasil penjualan (pencairan) objek
jaminan kredit yang diikat dengan hak tanggungan tersebut. Kedudukan kreditur
yang mempunyai hak didahulukan dari kreditur lain (Kreditur preferen) akan
sangat menguntungkan kepada pihak yang bersangkutan dalam memperoleh
pembayaran kembali (pelunasan) pinjaman uang yang diberikannya kepada
Debitur yang cidera janji.16
2. Droit de suite
15
Ibid, h.191 - 192.
16
Artinya selalu mengikuti jaminan hutang dalam tangan siapapun objek
tersebut berada (Pasal 7). Dalam Pasal 7 Undang – Undang Hak Tanggungan
disebutkan bahwa hak tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan
siapapun objek itu berada. Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi
kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Meskipun objek dari hak tanggungan
sudah berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain, Kreditur masih tetap dapat
menggunakan haknya melalui eksekusi, jika Debitur cidera janji.
3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan
Berdasarkan hal tersebut maka sahnya pembebanan Hak Tanggungan
disyaratkan wajib disebutkan dengan jelas piutang mana dan berapa jumlahnya
yang dijamin serta benda-benda mana yang dijadikan jaminan (syarat
spesialitas), dan wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan sehingga terbuka untuk
umum (syarat publisitas).
4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya Salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya jika debitur cidera janji
Meskipun secara umum ketentuan mengenai eksekusi telah diatur dalam
hukum acara perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara
khusus mengenai eksekusi hak tanggungan dalam Undang-undang ini, yaitu yang
224 HIR dan Pasal 258 Reglemen Hukum Acara untuk daerah luar Jawa dan
Madura.
Hak Tanggungan juga memiliki sifat tidak dapat dibagi-bagi kecuali jika
diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), seperti
ditetapkan dalam Pasal 2 Undang – Undang Hak Tanggungan. Dengan sifatnya
yang tidak dapat dibagi-bagi, maka Hak Tanggungan akan membebani secara
utuh objek Hak tanggungan. Hal ini mengandung arti bahwa apabila hutang
(kredit) yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan baru dilunasi
sebagian, maka Hak Tanggungan tetap membebani seluruh objek Hak
Tanggungan.
Klausula “kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan” dalam Pasal 2 Undang – Undang Hak Tanggungan, dicantumkan
dengan maksud untuk menampung kebutuhan perkembangan dunia perbankan,
khususnya kegiatan perkreditan. Dengan menggunakan klausula tersebut, sifat
tidak dapat dibagi-bagi dari Hak Tanggungan dapat disimpangi, yaitu dengan
memperjanjikan bahwa apabila Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak
atas tanah, maka pelunasan kredit yang dijamin dapat dilakukan dengan cara
angsuran. Besarnya angsuran sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah
yang merupakan bagian dari Objek Hak Tanggungan, yang akan dibebaskan dari
Hak Tanggungan tersebut. Dengan demikian setelah suatu angsuran dibayarkan,
Hak Tanggungan hanya akan membebani sisa Objek Hak Tanggungan untuk
menjamin sisa kredit yang belum dilunasi (Penjelasan Pasal 2 ayat (1) jo ayat (2)
Sifat lain dari Hak Tanggungan adalah Hak Tanggungan merupakan
accecoir dari perjanjian pokok, artinya bahwa perjanjian Hak Tanggungan bukan
merupakan perjanjian yang berdiri sendiri, tetapi keberadaannya adalah karena
adanya perjanjian lain yang disebut dengan perjanjian pokok. Perjanjian pokok
bagi perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian hutang piutang yang
menimbulkan hutang yang dijamin itu. Hak Tanggungan terbagi atas Asas-asas,
Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah-masalah yang dihadapi Oleh Pihak
Perbankan, suatu Kajian Mengenai Undang – Undang Hak Tanggungan, Hal ini
sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Butir 8 Penjelasan Umum Undang
– Undang Hak Tanggungan yang memberikan penjelasan bahwa karena Hak
Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikatan atau accesoir pada suatu piutang
tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian hutang piutang atau perjanjian
lain, maka kelahiran dan keberadaanya ditentukan oleh adanya piutang yang
dijamin pelunasannya.
Ada beberapa asas dari hak tanggungan yang perlu dipahami dan
membedakan hak tanggungan ini dari jenis dan bentuk jaminan hutang dan
bahkan membedakannya dari hipotik yang digantikannya. Asas – asas tersebut
diatur dalam berbagai Pasal dari Undang – Undang Hak Tanggungan:
5. Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan bagi Kreditur Pemegang Hak Tanggungan
Dari defenisi mengenai Hak Tanggungan sebagaimana dikemukakan
dalam Pasal 1 ayat (1) Undang – Undang Hak Tanggungan, dapat diketahui
Kreditur tertentu terhadap Kreditur – Kreditur lain. Kreditur tertentu yang
dimaksud adalah yang memperoleh atau menjadikan pemegang Hak Tanggungan
tersebut. Mengenai apa yang dimaksud dengan pengertian “ Kedudukan yang
diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap Kreditur - Kreditur lain”. Kreditur
tertentu yang dimaksud ialah yang memperoleh atau menjadi Pemegang Hak
Tanggungan tersebut. Mengenai apa yang dimaksud dengan pengertian
“Kedudukan yang diutamakan kepada Kreditur tertentu terhadap Kreditur –
Kreditur lain” tidak dijumpai dari penjelasan Pasal 1 tersebut tetapi, dijumpai di
bagian lain yaitu di dalam Angka 4 penjelasan umum Undang – Undang Hak
Tanggungan. Dijelaskan dalam penjelasan umum Undang – Undang Hak
Tanggungan itu bahwa yang dimaksudkan dengan “memberikan kedudukan
diutamakan kepada Kreditur tertentu terhadap Kreditur – Kreditur lainnya.
6. Bahwa jika Debitur cedera janji, Kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan Peraturan Perundangan yang bersangkutan, dengan hak mendahului dari pada Kreditur – Kreditur yang lain. Kedudukan yang diutamakan tersebut adalah barang tentu tidak mengurangi preference piutang – piutang Negara menurut ketentuan – ketentuan umum yang berlaku.
Asas ini adalah asas yang berlaku pula bagi hipotik yang telah digantikan
oleh hak tanggungan sepanjang yang berkaitan dengan tanah. Dalam penjelasan
diatas dapatlah diketahui bahwa hak Kreditur, yang menjadi hak pemegang
Kreditur – Kreditur lain, tetapi tetaplah harus mengalah terhadap piutang –
piutang Negara. Dengan kata lain, Hak Negara lebih utama dari hak Kreditur
pemegang tanggungan.
7. Hak Tanggungan Tidak Dapat Dibagi – bagi.
Hak tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi – bagi yang
ditentukan dalam Pasal 2 Undang – Undang Hak Tanggungan. Artinya, bahwa
hak tanggungan memberikan secara utuh objek hak tanggungan dari setiap
bagian dari padanya dan dilunasinya sebagian dari hutang yang dijamin tidak
berarti terbebannya sebagai objek hak tanggungan dari beban hak tanggungan
melainkan tanggungan tetap membebani objek hak tanggungan untuk sisa hutang
yang belum dibayar. Asas ini diambil dari asas yang berlaku bagi Hipotik
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1163 KUHPerdata. Menurut Pasal 2
ayat (1) jo Ayat (2) Undang – Undang Hak Tanggungan tidak dapat dibagi –
baginya Hak Tanggungan dapat disimpan oleh para pihak apabila menginginkan
hal yang demikian itu dengan memperjanjikannya dalam akta pemberian hak
tanggungan. Namun, penyimpangan itu hanya dapat dilakukan sepanjang :
a. Hak Tanggungan itu dibebankan kepada beberapa hak atas tanah.
b. Pelunasan hutang yang dijamin dilakukan dengan cara angsuran yang
besarnya sama dengan nilai masing – masing hak atas tanah yang
merupakan bagian dari objek hak tanggungan yang akan dibebaskan
dari hak tanggungan tersebut. Sehingga kemudian hak tanggungan itu
hanya membebani sisa objek hak tanggungan untuk menjamin sisa
8. Hak Tanggungan dapat dibebankan selain atas tanahnya juga berikut benda – benda yang berkaitan dengan tanah tersebut
Berdasarkan Pasal 4 ayat (4) Undang – Undang Hak Tanggungan, Hak
Tanggungan dapat dibebankan bukan saja pada hak atas tanah yang menjadi
Objek Hak Tanggungan tetapi juga berikut Hak Bangunan, tanaman dari hasil
karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut. Bangunan, Tanaman
dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut adalah yang
dimaksudkan oleh Undang – Undang Hak Tanggungan sebagai “benda – benda
yang berkaitan dengan tanah”.
9. Hak Tanggungan dapat dibebankan juga benda – benda yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada dikemudian hari.
Hak Tanggungan dapat dibebankan pula atas benda – benda yang
berkaitan dengan tanah sekalipun benda – benda tersebut belum ada tetapi baru
akan nada dikemudian hari. Dalam pengertian “yang baru akan ada” ialah benda – benda yang pada saat hak tanggungan di bebankan belum ada sebagai
bagian dari tanah yang dibebani hak tanggungan tersebut. Misalnya karena
benda – benda tersebut baru ditanam atau baru dibangun kemudian setelah hak
tanggungan itu dibebankan atas tanah tersebut. Berbeda dengan hipotik
sebagaimana diatur dalam Pasal 1165 KUHPerdata bahwa setiap hipotik
mengikuti juga segala apa yang menjadi satu dengan benda itu karena
pertumbuhan atau pembangunan. Dengan kata lain tanpa harus diperjanjikan
dikemudian hari demi hukum dan terbebani pula dengan hipotik yang telah
dibebankan sebelumnya diatas hak atas tanah yang menjadi objek hipotik.
10. Perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian Accessoir.
Perjanjian Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri
sendiri. Keberadaannya adalah karena adanya perjanjian lain yang disebut
perjanjian pokok. Perjanjian pokok bagi perjanjian hak tanggungan adalah
perjanjian hutang piutang yang menimbulkan hutang yang dijamin. Dengan kata
lain, Perjanjian Hak Tanggungan adalah suatu Perjanjian Accesoir. Dalam Butir
8 Penjelasan Umum Undang – Undang Hak Tanggungan ada yang dikemukakan
hal yang demikian. Perjanjian Hak Tanggungan dikatakan sebagai Perjanjian
Accesoir di dasarkan pada Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1) Undang –
Undang Hak Tanggungan yaitu karena :
a. Pasal 10 ayat (1) menentukan bahwa perjanjian untuk memberikan Hak
Tanggungan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari bagian utang
– piutang yang bersangkutan.
b. Pasal 18 ayat (1) huruf a menentukan bahwa hak tanggungan hapus
karena hapusnya utang yang dijamin dengan hak tanggungan.
11. Tanggungan dapat dijadikan jaminan untuk hutang yang baru akan ada.
Menurut Pasal 3 Undang – Undang Hak Tanggungan. Hak Tanggungan
dapat dijadikan jaminan untuk :
b. Hutang yang baru akan ada tetapi telah diperjanjikan sebelumnya dengan
jumlah tertentu.
c. Hutang yang baru akan ada tetapi telah diperjanjikan sebelumnya, dengan
jumlah yang pada saat permohonan eksekusi hak Tanggungan diajukan
ditentukan berdasarkan perjanjian utang piutang atau perjanjian lain
yang menimbulkan hubungan hutang piutang yang bersangkutan.
Dengan demikian hutang yang dijamin dengan hak tanggungan dapat
berupa hutang yang sudah ada maupun yang belum ada atau baru yang
akan dikemudian hari, tetapi harus sudah diperjanjikan sebelumnya.
Dapat dijadikannya hak tanggungan untuk menjamin utang yang baru
akan ada dikemudian hari adalah untuk menampung timbulnya hutang
sebagai akibat pembebanan bunga atas pinjaman pokok dan
pembebanan atas ongkos – ongkos lain yang jumlahnya baru dapat
ditentukan kemudian.
12. Hak Tanggungan dapat menjamin lebih dari 1 Hutang.
Pasal 3 ayat (2) Undang – Undang Hak Tanggungan menentukan bahwa
Hak Tanggungan dapat diberikan untuk suatu hutang yang berasal dari suatu
hubungan hukum, atau untuk suatu hutang atau lebih yang berasal dari beberapa
hubungan hukum. Dengan adanya ketentuan tersebut tertampunglah ketentuan
pemberian Hak tanggungan bagi kredit sindikasi perbankan, yang dalam hal itu
seorang Debitur memperoleh kredit lebih dari satu Kreditur atau bank, tetapi
hanya dalam 1 perjanjian kredit atau berdasarkan beberapa perjanjian kredit
tetapi bagi semua Kreditur itu diberikan jaminan atau agunan tanah yang sama.
13. Hak Tanggungan mengikuti objeknya dalam tangan siapa pun objek Hak tanggungan itu berada.
Pasal 7 Undang – Undang Hak Tanggungan menetapkan asas bahwa hak
Tanggungan tetap mengikuti objeknya, dalam tangan siapa pun Objek hak
Tanggungan tersebut berada. Dengan demikian, Hak Tanggungan tidak akan
berakhir sekali pun objek hak tanggungan beralih kepada pihak lain oleh karena
sebab apa pun juga. Berdasarkan asas ini, pemegang hak tanggungan akan selalu
dapat melaksanakan haknya dalam tangan siapa pun benda itu berpindah.
Ketentuan Pasal 7 Undang – Undang Hak Tanggungan itu merupakan
perwujudan dari asas droit de suite.
14. Hak tanggungan hanya dapat diberikan atas tanah tertentu.
Asas ini menghendaki bahwa Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan
atas tanah yang bisa ditentukan secara spesifik. Di anutnya asas spesialitas oleh
Hak Tanggungan ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 8 dan Pasal 11 ayat
(1) huruf e Undang – Undang Hak Tanggungan. Pasal 8 Undang – Undang Hak
Tanggungan menentukan bahwa pemberi hak tanggungan harus mempunyai
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan
yang bersangkutan dan kewenangan tersebut harus ada pada saat pendaftaran hak
tanggungan dilakukan.
Ketentuan tersebut hanya mungkin terpenuhi apabila objek hak
Selanjutnya pula karena Pasal 11 ayat (1) huruf e menentukan bahwa di dalam
akta pemberian hak tanggungan wajib dicantumkan uraian yang jelas mengenai
objek hak tanggungan. Ketentuan ini tidak mungkin dilakukan apabila objek hak
tanggungan belum ada dan belum diketahui ciri – cirinya. Kata – Kata “uraian
yang jelas mengenai objek hak tanggungan” dalam Pasal 11 ayat (1) huruf e
menunjukkan bahwa objek hak tanggungan harus secara spesifik dapat diuraikan
dalam akta pemberian hak tanggungan yang bersangkutan.
15. Hak Tanggungan Wajib di daftarkan
Terhadap hak tanggungan berlaku asas publisitas atau asas keterbukaan.
Hal ini diatur dalam Pasal 13 Undang – Undang Hak Tanggungan yang
menyatakan bahwa pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada kantor
pertanahan. Pendaftaran pemberian Hak tanggungan yang merupakan syarat
mutlak untuk akhirnya Hak Tanggungan tersebut dan mengikat terhadap pihak
ketiga.
16. Hak Tanggungan dapat diberikan dengan disertai dengan janji – janji tertentu.
Menurut Pasal 11 Undang – Undang Hak Tanggungan ayat (2) Hak
tanggungan dapat diberikan dengan disertai janji – janji tertentu. Janji – janji
tersebut dicantumkan dalam akta pemberian Hak Tanggungan yang
bersangkutan. Janji – janji yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) Undang –
Undang Hak Tanggungan itu bersifat fakutatif dan tidak limitatif. Bersifat
fakultatif karena janji – janji itu boleh dicantumkan atau tidak dicantumkan. Baik
diperjanjikan janji – janji selain dari janji – janji yang telah disebutkan dalam
Pasal 11 ayat (2) Undang – Undang Hak Tanggungan.
17. Objek Hak Tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki sendiri oleh Pemegang Hak Tanggungan bila Debitur cedera janji
Menurut Pasal 12 Undang – Undang Hak Tanggungan, janji yang
memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk memiliki
Objek Hak Tanggungan apabila Debitur cedera janji, adalah batal demi hukum.
Dalam kedudukannya yang lemah dan sangat membutuhkan uang atau kredit,
Debitur bisa saja terpaksa menerima janji dengan persyaratan yang berat dan
merugikan baginya. Atas dasar pertimbangan itulah, pencantuman janji yang
demikian itu dilarang.
Dari uraian mengenai ciri – ciri dan asas – asas hak tanggungan tersebut
diatas, jelaslah bahwa Undang – Undang Hak Tanggungan berusaha untuk
berikan perlindungan yang seimbang antara Debitur pemberi hak tanggungan
dan Kreditur pemegang hak tanggungan. Dan diketahui juga bahwa hapusnya
hak tanggungan karena :
a. Hapusnya hutang yang dijamin, sebagai konsekuensi sifat accessoir
Hak Tanggungan.
b. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh Kreditur pemegangnya yang
dibuktikan dengan pernyataan tertulis mengenai di lepaskannya Hak
Tanggungan yang bersangkutan yang bersangkutan kepada pemberi
c. Pembersihan Hak Tanggungan yang bersangkutan berdasarkan
penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan
pembeli tanah yang dijadikan jaminan.
d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
Hapusnya Hak Tanggungan karena hapusnya Hak atas tanah yang
dijadikan jaminan, tidak menyebabkan hapusnya piutang kreditur tetap ada,
tetapi tidak lagi mendapat jaminan secara preferent.17
B.
Objek Hak Tanggungan
Pada tanggal 24 September 1960 disahkan oleh Presiden Republik
Indonesia Soekarno dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 104 Tahun 1960 Undang – Undang No. 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria, yang dikenal dengan nama singkatan
resminyPeraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria, disingkat UUPA.18
1. Hak Milik
Maka
dengan adanya Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria diketahui tentang Objek
Hak Tanggungan menurut Pasal 4, disesuaikan terbatas dengan pasal 16
Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria (Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria
No. 5 Tahun 1960). Sehubungan dengan itu, bertitik tolak dan merujuk kepada
Pasal 16 Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria tersebut, Hak yang dapat
dijadikan Objek Hak Tanggungan terdiri dari :
2. Hak Guna Usaha
17
Kelompok Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum UNPAD,Seminar Hak Tanggungan atas tanah & benda – benda yang berkaitan dengan tanah, (Bandung, Citra Adytya Bakti, 1996). h. 32.
18
3. Hak Guna Bangunan
4. Hak Pakai19
Subjek Objek Hak Tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari satu
Hak Tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu hutang. Objek Hak
Tanggungan telah dikembangkan oleh Undang – Undang No. 4 Tahun 1996 jika
dibandingkan dengan Undang – Undang Pokok Agraria, baik objek hak atas
tanah maupun dimungkinkannya berikut benda – benda lain seperti bangunan,
tanaman, hasil karya dan lain – lain yang ada di atasnya.
20
Dan apabila suatu
Objek Hak Tanggungan dibebani dengan lebih dari satu Hak Tanggungan,
peringkat masing – masing Hak Tanggungan ditentukan menurut tanggal
pendaftarannya Kantor Pertanahan. Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya
dalam tangan siapapun objek tersebut berada.21
Dalam Hak Tanggungan dikenal adanya Syarat Objek Hak Tanggungan antara
lain:
1. Asas publisitas
a. Tanah Objek Hak Tanggungan telah terdaftar pada Kantor pertanahan
b. Tanah besertifikat
2. Asas transferability
a. Dapat dipindahtangankan
b. Oleh karena itu, dapat segera direalisasikan pemenuhan pembayaran
utang dengan jalan menjual objek Hak Tanggungan
19
Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja,Hukum Harta Kekayaan Hak Tanggungan, (Jakarta,Kencana,2006).h.78.
20
3. Asas certainability atau asas spesialitas (khusus).22
Dalam Objek Hak Tanggungan dikenal adanya tanah adat. Hal ini diatur dalam
Pasal 10 ayat 3 dengan syarat :
.
1. Dokumen administrasi konversinya dari tanah adat :
a. Sudah lengkap
b. Proses administrasi konversinya belum selesai dilaksanakan.
2. Semua syarat pendaftaran untuk memperoleh hak telah terpenuhi
3. Pemberian Hak Tanggungan harus dilakukan bersamaan dengan
permohonan pendaftaran.23
Dalam Objek Hak Tanggungan, dikenal pembeli Objek Hak Tangungan
,baik dalam suatu pelelangan umum atas perintah Ketua Pengadilan Negeri
maupun dalam jual beli sukarela, dapat meminta kepada pemegang Hak
Tanggungan agar benda yang dibelinya itu dapat dibersihkan dari segala beban
Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian. Pembersihan Objek Hak
Tanggungan dari beban Hak Tanggungan dilakukan dengan pernyataan tertulis
dari pemegang Hak Tanggungan yang berisi dilepaskannya Hak Tanggungan
yang membebani objek Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian.
Apabila objek Hak Tanggungan dibebani lebih dari satu Hak Tanggungan
dan tidak terdapat kesepakatan diantara para pemegang Hak Tanggungan
tersebut mengenai pembersihan Objek Hak Tanggungan dari beban yang
melebihi pembeliannya. Pembeli benda tersebut dapat mengajukan permohonan
kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak objek
22
Boedi Harsono. Op.Cit. h. 422.
23
Hak Tanggungan yang bersangkutan untuk menetapkan pembersihan itu dan
sekaligus menetapkan ketentuan mengenai pembagian hasil penjualan lelang
diantara para yang berpiutang dan peringkat mereka menurut Peraturan
Perundang – Undangan yang berlaku.
Permohonan pembersihan Objek Hak Tanggungan dari Hak Tanggungan
yang membebaninya tidak dapat dilakukan oleh pembeli benda tersebut, Apabila
pembelian demikian itu dilakukan dengan jual – beli suka rela dan dalam akta
pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan para pihak telah dengan tegas
memperjanjikan bahwa objek hak tanggungan tidak akan dibersihkan dari beban
Hak Tanggungan.
Dalam Objek Hak Tanggungan berkaitan erat juga dengan Penjualan
objek Hak Tanggungan. Objek Hak Tanggungan harus melalui prosedur
penjualan objek Hak Tanggungan melalui lelang dilaksanakan, pendaftaran hak
atas tanah yang berasal dari lelang, dan juga hambatan-hambatan dalam
pelaksanaannya. Penjualan objek hak tanggungan melalui lelang dilakukan oleh
pihak KPKNL secara parate eksekusi menurut ketentuan Peraturan Menteri
Keuangan No. 40/PMK.07/2006 tentang petunjuk pelaksanaan lelang, serta dari
hasil pelaksanaan lelang tersebut dibuat Risalah Lelang sebagai alat bukti otentik
mengenai berita acara pelaksanaan lelang. Dengan adanya lelang tersebut secara
otomatis terjadi perubahan atau peralihan hak objek lelang yaitu berupa hak atas
tanah kepada pemenang lelang.
Menurut Pasal 36 ayat (1) dan (2) PP No. 24 Tahun 1997 pemegang hak
Pemindahan hak melalui lelang menurut Pasal 41 (1) PP No. 24 Tahun 1997
menjelaskan bahwa peralihan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika
dibuktikan dengan adanya Risalah Lelang yang dibuat oleh pejabat lelang.
Dalam Objek Hak Tanggungan juga dikenal Hak Pakai atas tanah
Negara.Hak Pakai Atas Tanah Negara yang dimaksudkan adalah hak pakai yang
diberikan kepada perseorangan dan badan – badan hukum selama jangka waktu
tertentu, untuk keperluan pribadi dan usaha. Yang tidak termasuk hak pakai
yang dapat dijadikan Objek Hak Tanggungan adalah Hak Pakai Instansi –
Instansi Pemerintah, PEMDA, Badan – Badan Keagamaan, dan Sosial, serta
Perwakilan Negara Asing, yang peruntukkannya tertentu dan menurut sifatnya
tidak dapat dipindahtangankan.
Selain objek yang disebut diatas Undang – Undang Hak Tanggungan juga
membuka kemungkinan untuk membebankan tanah berikut atau tidak berikut
bangunan dan tanaman diatasnya. Hukum tanah nasional kita didasarkan pada
hukum adat yang dalam hubungannya bangunan dan tanaman diatas sebidang
tanah, menggunakan asas pemisahan horizontal. Menurut asas tersebut bangunan
dan tanaman yang ada diatas tanah bukan merupakan bagian atas tanah yang
bersangkutan. Oleh karena itu perbuatan hukum mengenai tanah tidak dengan
sendirinya meliputi bangunan dan atau tanaman yang ada di atasnya. Dalam
praktik tampak sering kali perbuatan hukum mengenai tanah dilakukan dengan
mengikut sertakan bangunan diatasnya. Praktek tersebut dibenarkan oleh
hukum, dengan syarat bahwa bangunan dan tanaman yang bersangkutan
tanamannya tanaman keras) dan maksud mengikutsertakan bangunan dan atas
tanaman tersebut diatas dinyatakan secara tegas oleh pihak – pihak yang
bersangkutan.
Dalam praktek dikemukakan oleh Undang – Undang Hak Tanggungan
dalam Pasal 4 ayat (3), tanpa mengganti asas pemisahan horizontal dengan asas
perlekatan atau asas accessie. Diikutsertakannya bangunan dan atau tanaman
tersebut tidak terjadi dengan sendirinya. Melainkan harus secara tegas
dinyatakan oleh para pihak dalam akta pemberian hak tanggungan atas nama
yang bersangkutan. Bangunan dan atau tanaman tersebut tidak terbatas pada
yang sudah ada pada waktu hak tanggungan diperjanjikan, namun juga terhadap
bangunan dan atau tanaman yang masih akan dibangun atau ditanam kemudian.
Perluasan ini penting umtuk menjamin pelunasan kredit pembangunan, yang
justru diperlukan untuk membangun bangunan atau menanam tanam – tanaman
yang akan dijadikan jaminan.
Kemudian berdasarkan Pasal 4 ayat (5) Undang – Undang Hak
Tanggungan dapat diikutsertakan juga bangunan dan atau tanaman milik pihak
yang lain yang berada diatas tanah tersebut. Dalam hal demikian,
pembebanannya dengan hak tanggungan hanya dapat dilakukan dengan
penandatanganan pada akta pemberian hak tanggungan oleh pemiliknya atau
yang diberikan kuasa untuk itu olehnya dengan otentik.24
Dari uraian mengenai Objek Hak Tanggungan sebagaimana hak tersebut
diatas, dapat diketahui bahwa hak tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah
dan benda – benda yang berkaitan dengan tanah.
C.
Sertifikat Hak Tanggungan Dan
Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan
Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama
dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan
berlaku sebagai pengganti grosse acte hypothek sepanjang mengenai hak atas
tanah.25
1. Hak atas tanah tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku wajib di
daftar dalam daftar umum.
Dua unsur mutlak yang harus dimiliki suatu hak atas tanah untuk dapat
dijadikan jaminan hutang ialah :
Unsur ini berkaitan dengan kedudukan diutamakan atau preference yang
diberikan kepada Kreditur pemegang hak tanggungan terhadapa Kreditur
lainnya. Untuk itu harus ada catatan mengenai hak tanggungan tersebut pada
buku tanah dan Sertifikat Hak Tanggungan yang dibebaninya sehingga setiap
orang dapat mengetahuinya atau asas publisitas.
2. Hak tersebut menurut sifatnya harus dipindahtangankan.
Sehingga apabila diperlukan dapat segera dijual untuk membayar hutang
yang dijamin pelunasannya. Kedua syarat tersebut secara tersirat dapat
ditemukan dalam penjelasan umum angka lima Undang – Undang Hak
Tanggungan dan kemudian dipertegas dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1)
25