• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Sistem Multi-Partai Terhadap Sistem Pemerintahan Presidensial Di Indonesia (Studi Deskriptif Tentang Sistem Multi Partai Pada Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono Pada 2004-2009)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Sistem Multi-Partai Terhadap Sistem Pemerintahan Presidensial Di Indonesia (Studi Deskriptif Tentang Sistem Multi Partai Pada Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono Pada 2004-2009)"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH SISTEM MULTI-PARTAI TERHADAP

SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL DI INDONESIA

(Studi Deskriptif tentang Sistem Multi Partai pada Masa

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004-2009)

Siska Yuspitasari

( 080906069 )

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

SISKA YUSPITASARI (080906069)

PENGARUH SISTEM MULTIPARTAI TERHADAP SISTEM PRESIDENSIAL DI INDONESIA

( Studi deskriptif tentang sistem multipartai pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004-2009 )

Rincian isi skripsi, 92 Halaman, 38 Buku,1 Jurnal, 1 Majalah, 1 Artikel, 3 Situs Internet, 4 Wawancara (Kisaran buku dari tahun 1983-2011)

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba menguraikan dan menganalisis fakta-fakta tentang pengaruh sistem multipartai terhadap sistem presidensial di Indonesia. Fenomena sistem multipartai dalam sistem presidensial yang merupakan tuntutan reformasi dimulai sejak pemilu 1999 dan berlanjut pada pemilu 2004 yang mana presiden dipilih langsung oleh rakyat. Penelitian ini menggunakan 3 teori yaitu teori partai politik, teori sistem multipartai dan teori sistem presidensial. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data, data primer dan sekunder, data primer adalah data yang diperoleh pada sumbernya dan data sekunder yang diperoleh melalui buku, majalah dengan teknik analisis deskriptif kualitatif. Penelitian ini juga memaparkan bagaimana sejarah sistem multipartai yang ada di Indonesia dan sejarah sistem Presidensial di Indonesia. Kombinasi antara sistem multipartai dan sistem presidensial di Indonesia memiliki pengaruh destruktif. Khususnya pengaruh yang ada di Pemerintah (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif) dimana ada 4 pengaruh yang saya temukan dalam penelitian saya ini yaitu Pertama, sistem multi-partai mempengaruhi rapuhnya ikatan koalisi di DPR. Kedua, Kontrol berlebihan DPR mengganggu efektivitas Pemerintahan. Ketiga, sistem multi-partai mempengaruhi Kekuasaan Wakil Presiden yang lebih dominan di Pemerintahan dan Keempat, Hak preogratif Presiden tereduksi. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sistem multipartai kurang efektif didalam sebuah sistem pemerintahan presidensial.

(3)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMENT OF POLITICAL SCIENCE

SISKA YUSPITASARI (080906069)

EFFECT OF MULTIPARTY PRESIDENTIAL SYSTEM INDONESIA

(A descriptive study of multi-party system in the reign of Susilo Bambang Yudhoyono in 2004-2009)

Details of the contents of thesis, 92 Pages, 38 Books, 1, Journal, a magazine, an article, three Internet sites, 4 interviews (the book range from 1983 to 2011)

ABSTRACT

This study tried to describe and analyze the facts about the influence of party system to a presidential system in Indonesia. The phenomenon of multi-party system in a presidential system that is demand electoral reforms began in 1999 and continued in the 2004 election in which the president is directly elected by the people. This study uses three theories are theories of political parties, the theory of multi-party system and presidential system theory. This type of research is a qualitative research techniques of data collection, primary data and secondary data, primary data is data obtained at the source and the secondary data obtained through books, magazines, newspapers, and journals with a qualitative descriptive analysis techniques. The study also describes how the history of multiparty systems in Indonesia and the history of the presidential system in Indonesia. The combination of multi-party system and presidential system in Indonesia has a destructive influence. Particular influence on the government (executive) and House of Representatives (legislative) where there are four influences that I found in my research. First, multi-party system affect the fragility of the coalition in the House bonding. Second, control over the House interfere with the effectiveness of government. Third, multi-party system affects the power of the Vice President who is more dominant in the Government and the Fourth, the President of Rights preogratif reduced. From the research results can be summarized in a multiparty system is less effective in a presidential system of government.

(4)

Karya ini dipersembahkan untuk

(5)

KATA PENGANTAR

Skripsi ini berjudul “Pengaruh Sistem Multipartai Terhadap Sistem Presidensial di Indonesia” Studi Deskriptif tentang Sistem Multipartai Pada Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004-2009. Skripsi ini menjelaskan tentang bagaimana pengaruh sistem multipartai terhadap sistem presidensial di Indonesia pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada periode 2004-2009. Sistem multipartai merupakan salah satu bentuk yang membuktikan bahwa suatu negara adalah negara yang plural dan majemuk, yang terdiri atas bermacam-macam kepentingan. Dan sistem pemerintahan di Indonesia adalah sistem presidensial dimana sistem pemerintahan ini kekuasan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasan legislatif, dalam sistem presidensial, presiden memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan karena rendah subjektif seperti rendahnya dukungan politik.

(6)

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, penulis diberi rahmat berupa kesempatan dan kesehatan untuk menyelesaikan studi ini berupa penulisan Skripsi dari hasil penelitian yang dikerjakan, dari proses awal mulai dari pengajuan Judul, seminar proposal hingga Sidang Skripsi, lebih kurang delapan bulan. Rasa syukur yang sedalam-dalamnya penulis persembahkan kepada Sang Maha Agung Allah SWT dan kepada Nabi besar kita Muhammad SAW yang selalu akan menjadi sosok yang patut untuk diteladani.

Dalam Kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya Kepada Dekan Fisip USU Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M. Si beserta jajarannya, Kepada Ibu Ketua Jurusan Ilmu Politik yang merupakan dosen pembimbing dari penulis juga Ibu Dra.T. Irmayani. M.Si yang telah memberi nasehat dan motivasi kepada penulis serta bantuan dan bimbingan berupa masukan dan kritik yang membangun. Terima kasih juga Penulis sampaikan kepada Bapak Drs. Zakaria Taher M.S.P. selaku dosen pembaca yang telah memberikan masukan-masukan yang konstruktif kepada penulis. Secara Khusus penulis menggucapkan terima kasih kepada Seluruh Dosen Ilmu Politik USU yang telah mengajar dan membimbing penulis.

(7)

Kepada Perpustakaan USU, Perpustakaan Fisip USU, dan Perpustakaan Daerah Medan yang menjadi tempat penulis memperoleh data dan informasi yang di perlukan, untuk semua itu penulis mengucapkan terima kasih. Semoga Tuhan membalas kebaikan yang telah diberikan dengan pahala yang berlipat ganda.

Medan, 14 Juli 2012

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul... ... i

Abstrak... ... ii

Abstract... ... iii

Lembar Persembahan... ... iv

Kata Pengantar... ... v

BAB I PENDAHULUAN... ... 1

I.1. Latar Belakang... ... 1

I.2. Perumusan Masalah... ... 7

I.3. Pembatasan Masalah... ... 7

I.4. Tujuan Penelitian... ... 8

I.5. Signifikansi Penelitian... ... 8

I.6. Kerangka Teori... ... 9

6.1.Partai Politik... ... 9

6.2. Sistem Multipartai... 14

6.3. Sistem Pemerintahan Presidensial... 18

(9)

7.1. Jenis Penelitian... ... 23

7.2. Data dan Teknik Pengumpulan Data... ... 24

7.3. Teknik Analisis Data... 24

I.8. Sistematika Penulisan... ... 24

BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN II.1. Sistem Multipartai di Indonesia... 26

II.2. Sistem Presidensial di Indonesia... 35

BAB III ANALISIS DATA III.1. Rapuhnya Ikatan Koalisi di DPR... ... 49

III.2. Kontrol Berlebihan DPR Mengganggu Efektivitas Pemerintahan... ... 59

III.3. Hak Prerogatif Presiden Tereduksi... ... 70

III.4. Kekuasaan Wakil Presiden yang Lebih Dominan di Pemerintahan... ... 77

BAB IV KESIMPULAN IV.1. Kesimpulan... ... 84

IV.2. Saran... ... 88

(10)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

SISKA YUSPITASARI (080906069)

PENGARUH SISTEM MULTIPARTAI TERHADAP SISTEM PRESIDENSIAL DI INDONESIA

( Studi deskriptif tentang sistem multipartai pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004-2009 )

Rincian isi skripsi, 92 Halaman, 38 Buku,1 Jurnal, 1 Majalah, 1 Artikel, 3 Situs Internet, 4 Wawancara (Kisaran buku dari tahun 1983-2011)

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba menguraikan dan menganalisis fakta-fakta tentang pengaruh sistem multipartai terhadap sistem presidensial di Indonesia. Fenomena sistem multipartai dalam sistem presidensial yang merupakan tuntutan reformasi dimulai sejak pemilu 1999 dan berlanjut pada pemilu 2004 yang mana presiden dipilih langsung oleh rakyat. Penelitian ini menggunakan 3 teori yaitu teori partai politik, teori sistem multipartai dan teori sistem presidensial. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data, data primer dan sekunder, data primer adalah data yang diperoleh pada sumbernya dan data sekunder yang diperoleh melalui buku, majalah dengan teknik analisis deskriptif kualitatif. Penelitian ini juga memaparkan bagaimana sejarah sistem multipartai yang ada di Indonesia dan sejarah sistem Presidensial di Indonesia. Kombinasi antara sistem multipartai dan sistem presidensial di Indonesia memiliki pengaruh destruktif. Khususnya pengaruh yang ada di Pemerintah (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif) dimana ada 4 pengaruh yang saya temukan dalam penelitian saya ini yaitu Pertama, sistem multi-partai mempengaruhi rapuhnya ikatan koalisi di DPR. Kedua, Kontrol berlebihan DPR mengganggu efektivitas Pemerintahan. Ketiga, sistem multi-partai mempengaruhi Kekuasaan Wakil Presiden yang lebih dominan di Pemerintahan dan Keempat, Hak preogratif Presiden tereduksi. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sistem multipartai kurang efektif didalam sebuah sistem pemerintahan presidensial.

(11)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMENT OF POLITICAL SCIENCE

SISKA YUSPITASARI (080906069)

EFFECT OF MULTIPARTY PRESIDENTIAL SYSTEM INDONESIA

(A descriptive study of multi-party system in the reign of Susilo Bambang Yudhoyono in 2004-2009)

Details of the contents of thesis, 92 Pages, 38 Books, 1, Journal, a magazine, an article, three Internet sites, 4 interviews (the book range from 1983 to 2011)

ABSTRACT

This study tried to describe and analyze the facts about the influence of party system to a presidential system in Indonesia. The phenomenon of multi-party system in a presidential system that is demand electoral reforms began in 1999 and continued in the 2004 election in which the president is directly elected by the people. This study uses three theories are theories of political parties, the theory of multi-party system and presidential system theory. This type of research is a qualitative research techniques of data collection, primary data and secondary data, primary data is data obtained at the source and the secondary data obtained through books, magazines, newspapers, and journals with a qualitative descriptive analysis techniques. The study also describes how the history of multiparty systems in Indonesia and the history of the presidential system in Indonesia. The combination of multi-party system and presidential system in Indonesia has a destructive influence. Particular influence on the government (executive) and House of Representatives (legislative) where there are four influences that I found in my research. First, multi-party system affect the fragility of the coalition in the House bonding. Second, control over the House interfere with the effectiveness of government. Third, multi-party system affects the power of the Vice President who is more dominant in the Government and the Fourth, the President of Rights preogratif reduced. From the research results can be summarized in a multiparty system is less effective in a presidential system of government.

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Sistem multi-partai merupakan suatu sistem yang terdiri atas lebih dari dua partai yang dominan sistem ini merupakan produk dari struktur masyarakat yang majemuk, baik secara cultural maupun secara sosial ekonomi. Setiap golongan dalam masyarakat cenderung memelihara keterikatan dengan asal usul budayanya dan memperjuangkan kepentingan melalui wadah politik tersendiri karena banyak partai yang bersaing untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan melaui pemilihan umum, yang terjadi adalah pemerintahan koalisi dengan dua atau lebih partai yang secara bersama-sama dapat mencapai mayoritas di parlemen.1

Sistem multi-partai di Indonesia diterapkan mengiringi Pemilu 1999 sebagai bagian dari tuntutan reformasi tidak diperhitungkan secara cermat sebagai sarana memodernisasikan masyarakat, dan melupakan bahwa sistem multi partai relatif lebih mudah menumbuhkan instabilitas dari pada di negara yang menganut sistem satu-partai, atau pun sistem dua-partai. Pada hakikatnya sistem multi partai itu tidak banyak berbeda dengan tiadanya partai dalam masyarakat.

Dengan demikian, bila timbul kekecewaan terhadap badan legislative dan pemerintah hasil Pemilu sebenarnya sudah dapar diperkirakan sebelumnya jika yang tumbuh pada saat itu adalah rasionalitas dalam kehidupan politik Indonesia, jika melihat hasil pemilu pasca reformasi dan amandemen UU 1945, maka bangsa ini boleh dikatakan tergesa-gesa mengambil keputusan menerapkan sistem multi-partai yang susungguhnya berlawanan dengan kondisi Indonesia membutuhkan stabilitas. Bahkan pada keadaan pemerintahan stabil pun, sistem multi partai yang kita kembangkan tidak cocok bila bercermin dinegara maju dan stabil

1

(13)

pemerintahannya seperti Amerika Serikat yang tidak menganut sistem multi partai.

Pasca berakhirnya rezim orde baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto dalam konteks kepartaian ada tuntutan agar masyarakat mendapatkan kesempatan untuk mendirikan partai, atas dasar itu pemerintah mengeluarkan UU No.2/1999 tentang partai politik. Perubahan yang didambakan adalah mendirikan suatu sistem dimana partai-partai politik tidak mendominasi kehidupan politik secara berlebihan, akan tetapi juga tidak memberikan peluang kepada eksekutif untuk terlalu kuat. Sebaliknya, kekuatan eksekutif dan legislatif diharapkan menjadi setara atau nevengeschikt sebagaimana diamanatkan didalam UUD 1945.

Pada pemilihan umum 1999 jumlah partai politik yang memenuhi syarat menjadi peserta pemilu 48 partai politi, dimana perolehan suara enam besar dalam pemilu 1999 yaitu: PDIP dengan 33,11 % suara dan 153 kursi, Partai Golkar dengan 25,97% suara dan 120 kursi, PPP 12,55 % suara dan 58 kursi, PKB dengan 11,03 % dan 51 kursi, PAN 7,35 % suara dan 34 kursi, PBB dengan 2,81 % suara dan 13 kursi. PDIP yang memperoleh suara paling banyak, ternyata tidak dapat menjadikan Megawati Soekarno Putri (ketua umum) menjadi presiden RI yang keempat. Dengan adanya koalisi partai islam dan beberapa partai baru menjadi kubu tersendiri di DPR, yang dikenal dengan poros tengah, posisi PDIP menjadi lemah. Pada saat itu koalisi partai-partai islam berhasil memenangkan Kyai H. Abdurrahman Wahid dari PKB yang hanya memperoleh 51 kursi di DPR.2

Pada pemilihan umum 2004 yang lolos seleksi ada 24 partai. Dimana hasil pemilu 2004 enam besar yaitu Partai Golkar dengan 21,58 % suara dan 128 kursi, PDIP dengan 18,53 suara dan 109 kursi, PKB 10,57 suara dan 52 kursi, PPP dengan 8,15 % dan 58 kursi, Partai Demokrat 7,45 % dan 57 kursi.3

2

Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hal. 450

Pemilu 2004

3

(14)

adalah pemilu pertama di Indonesia yang presiden dan wakil presidennya dipilih langsung oleh rakyat. Dimana menurut Pasal 5 UU No.23 tahun 2003 tentang syarat partai politik mencalonkan presiden dan wakil presiden adalah 15 % dari jumlah kursi di DPR atau 20% dari perolehan suara sah secara nasional dalam pemilu legislatif. Hal ini jelas bahwa hanya Partai Golkar dan PDIP yang dapat mencalonkan presiden dan wakil presiden sendiri. Namun faktanya justru Partai Demokrat yang hanya memperoleh 7,45 % suara berhasil mengantarkan Ketua Dewan Pembinanya yaitu Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Presiden kelima Republik Indonesia dengan dibantu koalisi PKS , PBB, dan PKPI.4

Sistem presidensial merupakan sistem pemerintahan negara republik di mana kekuasan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasan legislatif, dalam sistem presidensial, presiden memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan karena rendah subjektif seperti rendahnya dukungan politik. Namun masih ada mekanisme untuk mengontrol presiden. Jika presiden melakukan pelanggaran konstitusi, pengkhianatan terhadap negara, dan terlibat masalah kriminal, posisi presiden bisa dijatuhkan. Bila ia diberhentikan karena pelanggaran-pelanggaran tertentu, biasanya seorang wakil presiden akan menggantikan posisinya. Dalam sistem presidensial, pemilu diadakan dua kali pertama untuk memilih anggota parlemen dan kedua untuk memilih presiden.5

Sejarah pemerintahan presidensial Indonesia dimulai sejak diberlakukannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai konstitusi negara. Pelembagaan sistem presidensial itu dimulai bersamaan dengan kelahiran Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Tepatnya sehari setelah proklamasi kemerdekaan RI, UUD sebagai konstitusi tertinggi yang kemudian dikenal dengan UUD 1945 disahkan dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia

4

Hanta Yuda. 2010. Presidensialisme Setengah Hati. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. hal 66 5

(15)

(PPKI). Sejak 18 Agustus 1945, sistem presidensial secara resmi dilembagakan melalui konstitusi.6

Sistem presidensial yang digunakan oleh UUD 1945 memberikan kekuasaan yang besar bagi presiden, disamping sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, presiden juga memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR. Hal ini tercantum pada pasal 5 ayat 1 UUD 1945 sebelum amandemen. Pada masa itu terjadi pencarian jati diri demokrasi demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat, salah satu contohnya adalah ketika perubahan sistem pemerintahan presidensial menjadi sistem parlementer yang dimulai pada tanggal 14 November 1945. Sistem ini selanjutnya dikukuhkan dalam UUD RIS 1949.

Perubahan ini dianggap perlu untuk mendorong proses demokratisasi dan mengatasi kecaman-kecaman dari pihak sekutu yang menanggap kemerdekaan Indonesia adalah rekayasa Jepang. Namun sistem parlementer ini tidak bertahan lama. Pada awal revolusi fisik, partai-partai politik memainkan peran penting dalam proses membuat keputusan-keputusan. Wakil-wakil partai duduk dalam kabinet, tetapi stabilitas politik tidak juga tercapai,tidak adanya partai dengan mayoritas yang jelas menyebabkan pemerintah harus selalu berdasarkan koalisi antara partai besar dengan partai-partai kecil. Dan biasanya koalisi ini hanya bertahan kira-kira satu tahun.7

Oleh sebab itu, Presiden Soekarno memaklumatkan Dekrit 5 Juli 1959 untuk: (1) kembali ke Undang-Undang Dasar RI 1945; (2) membubarkan DPR dan konstituante; (3) membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS). Anggota DPRS ini ditunjuk langsung oleh presiden dengan mencoba menerapkan apa yang disebut dengan Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy).8

Pada masa pemerintahan Soekarno, pasca dekrit presiden 5 Juli 1959, pemerintahan orde lama terpusat pada keputusan presiden, karena pada waktu itu

6

Hanta Yuda AR Op.Cit., Hal.78 7

Prof.Miriam Budiardjo. Op.Cit., Hal 426-428 8

(16)

keputusan MPRS menetapkan Presiden Soekarno menjadi presiden seumur hidup di Indonesia dan pemerintahan Soekarno disebut dengan demokrasi terpimpin. Selain itu, berdasarkan penetapan presiden no.14/1960, presiden diberi wewenang untuk mengambil keputusan untuk mencapai mufakat dalam suatu hal atau suatu rancangan undang-undang.

Hal ini juga berlanjut pada masa orde baru dimasa pemerintahan Soeharto. Pada saat itu dominasi dan peran Soeharto sangat dominan bersama ABRI, Golongan Karya, dan Birokrasi. Soeharto menjalankan pemerintahan yang sentralistik dan terpusat sehingga kedudukan Soeharto sebagai presiden sangat dominan yang menyebabkan tidak satupun elit politik nasional yang dapat dianggap sebagai calon pengganti Soeharto, mereka hanya dianggap sebagai orang-orang yang mengikuti Soeharto. Mereka bersaing dengan mereka sendiri untuk mendapatkan posisi terdekat dengan Soeharto, tidak satupun tokoh-tokoh pada masa orde baru yang mau bersaing langsung dengan Soeharto.9

Pada masa Orde Baru, pemerintah menyederhanakan partai politik sehingga hanya tinggal 2 partai dan 1 golongan karya yang dapat berlaga dalam pemilu, dan selain itu tidak boleh ada partai lain. Dengan sistem yang otoriter tersebut, maka terciptalah sistem pemerintahan presidensial yang otoriter, atau Mahfud MD menyebutnya sebagai Rezim Otoriter Birokratis. Dengan melakukan politik hukum seperti ini, maka pada masa pemerintahan Presiden Soeharto memang gejolak politik bisa ditekan dengan membatasi jumlah partai yang ada di DPR, bahkan pelarangan untuk mendirikan partai baru.10

Langkah terobosan yang dilakukan pada masa reformasi adalah amandemen UUD 1945 yang mengubah UUD 1945 secara drastis sehingga lebih demokratis. UUD 1945 hasil amandemen memperkuat sistem presidensial di Indonesia. Salah satu contohnya dengan mengadakan pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Disamping itu, UUD 1945 hasil

9

Miriam Budiardjo. Op.Cit. hal.312 10

(17)

amandemen mempersulit pemecatan (impeachment) presiden oleh MPR. Disamping itu, dalam sistem presidensial, presiden memiliki hak preogratif untuk mengangkat dan memberhentikan menteri sebagai pembantunya.

Faktanya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004-2009 tidak sepenuhnya dapat menjalankan sistem presidensial tersebut. Hal ini disebabkan oleh suara partai demokrat pada pemilu legislatif 2004 sangat rendah (7,45 %) yang membutuhkan koalisi partai lain untuk mengikuti pemilihan presiden yang berdasarkan Pasal 5 UU No.23 tahun 2003 harus memiliki 15 % suara partai atau 20 % kursi di DPR, sehingga ada kontrak politik tentang penyusunan kabinet ketika Susilo Bambang Yudhoyono terpilih menjadi presiden. Tidak hanya itu setelah terpilih, SBY harus membagi kekuasaan dengan wakil presiden Jusuf Kalla yang memang adalah ketua umum Partai Golkar yang memiliki 21,58 % suara atau 128 kursi sehingga Partai Golkar lebih mendominasi parlemen daripada Partai Demokrat. Hal ini membuat kebijakan-kebijakan yang diambil harus atas persetujuan Partai Golkar sehingga wakil presiden Jusuf Kalla memiliki kekuasaan yang lebih besar dalam menentukan kebijakan daripada Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan presiden.

Ketidakstabilan dalam sistem presidensial di Indonesia yang mana ketidakstabilan pemerintahan dalam sistem presidensial diyakini semakin terlihat bila dipadukan dengan sistem multipartai. Perpaduan ini diyakini akan cenderung melahirkan presiden minoritas dan pemerintahan terbelah. Kondisi ini terjadi ketika presiden sangat sulit mendapat dukungan politik di parlemen. Pengalaman di negara-negara Amerika Latin misalnya, perpaduan sistem presidensial dan multipartai dianggap telah mengalami kegagalan dan menghadirkan demokrasi yang destruktif.

(18)

lembaga kepresidenan dan yang menguasai parlemen dari partai yang berbeda. Salah satu kelemahan sistem presidensial dalam hal ini adalah ketegangan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Jika presiden mewakili salah satu partai dan parlemen mewakili partai lain, maka kesempatan presiden untuk bisa menyelesaikan kegiatan sesuai dengan UU akan terlambat sekalipun dalam keadaan yang terbaik ia tetap membutuhkan para politisi di parlemen.

Kondisi pemerintahan presidensial di Indonesia pada periode 2004-2009 yang tidak stabil dan tidak konsisten dalam mengimplementasikan UUD 1945 tentang sistem presidensial di Indonesia. Koalisi kabinet yang terbangun di Indonesia pada periode ini merupakan koalisi yang sifatnya sementara dan pragmatis karena hanya didasarkan pada kepentingan elit partai politik dan kepentingan kekuasaan. Koalisi yang terbangun tidak lagi didasari oleh faktor ideology atau persamaan tujuan dan cita-cita partai politik tersebut. Disisi lain kewenangan dan hak preogratif presiden dalam menentukan kabinet tidak didasari oleh konsep zaken kabinet tetapi atas pertimbangan dan perimbangan partai politik di parlemen. Ada sesuatu yang tidak lazim dalam pemerintahan presidensial di Indonesia, yaitu kekuasaan parlemen lebih kuat dari kekuasaan presiden dalam memerintah yang membuat sistem pemerintahan di Indonesia seakan menganut sistem parlementer, hal tersebutlah yang membuat saya tertarik untuk meneliti tentang pengaruh sistem multipartai terhadap sistem presidensial di Indonesia.

I.2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian saya ini adalah “Bagaimana pengaruh sistem multi-partai terhadap sistem pemerintahan presidensial di Indonesia pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla periode 2004-2009 ”.

I.3. Pembatasan Masalah

(19)

faktor mana saja yang termasuk kedalam masalah penelitian dan faktor mana saja yang tidak termasuk kedalam ruang penelitian tersebut. Maka untuk memperjelas dan membatasi ruang lingkup penelitian dengan tujuan menghasilkan uraisan yang sitematis diperlukan adanya batasan masalah. Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti oleh penulis yaitu :

1. Faktor penentu terbentuknya partai-partai koalisi yang mengusung Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Presiden.

2. Pengaruh dari Jusuf Kalla sebagai ketua umum Golkar terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah

I.4. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui bagaimana sistem multi-partai di Indonesia

2. Memahami bagaimana sistem presidensial di Indonesia

3. Mengetahui pengaruh sistem multi-partai terhadap sistem pemerintahan presidensial di Indonesia, dimasa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla periode 2004-2009.

I.5. Signifikansi Penelitian

1. Secara pribadi penelitian mampu mengasah kemampuan peneliti dalam melakukan sebuah proses penelitian yang bersifat ilmiah dan memberikan pengetahuan yang baru bagi peneliti sendiri.

2. Secara teoritis, penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang diharapkan mampu memberikan kontribusi pemikiran mengenai Partai Politik, sistem Pemerintahan dan memberi solusi atas permasalahan bangsa.

(20)

pengetahuan dalam Ilmu Politik, dan menjadi referensi/kepustakaan bagi Departemen Ilmu Politik Fisip USU

I.6. Kerangka Teori

6.1. Partai Politik

Partai politik adalah organisasi yang beroperasi dalam sistem politik. Dan partai politik juga dianggap sebagai perwujudan atau lambang dari negara modern. Maka tak heran bila hampir semua negara demokrasi maupun negara komunis, negara maju maupun negara berkembang memiliki partai politik.

Sebuah definisi klasik mengenai partai politik diajukan Edmund Burke pada tahun 1839 dalam tulisannya:

Thuoughts on the Cause of the Present Disconents. Burke menyatakan bahwa, party is a body of men united, for promoting by their joint endeavors the national interest, upon some particular principle upon which they are all agreed. (partai politik adalah lembaga yang terdiri atas orang-orang yang bersatu, untuk mempromosikan kepentingan nasional bersama-sama, berdasar pada prinsip-prinsip dan hal-hal yang mereka setujui)11

Selain Burke, Carl Friedrich mengajukan pengertiannya tentang partai politik, yakni partai politik sebagai kelompok manusia yang terorganisasi secara stabil dengan tujuan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan bagi pemimpin materil dan ide kepada anggotanya. Sementara itu Soltau menjelaskan partai politik sebagai yang sedikit banyak terorganisasikan, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik, dan memanfaatkan kekuasaannya untuk kebijakan umum yang mereka buat. 12

11

Seta Basri. Op.Cit., Hal.117 12

(21)

Fungsi utama partai politik ialah mencari dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudan program-program yang disusun berdasarkan ideologi tertentu. Berikut ini dikemukakan sejumlah fungsi partai politik:

a. Sosialisasi Politik

Sosialisasi politik adalah proses pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat. Melalui proses sosialiasasi politik inilah para anggota masyarakat memperoleh sikap dan orientasi terhadap kehidupan politik yang berlangsung dalam masyarakat. Proses ini berlangsung seumur hidup yang diperoleh baik secara sengaja melalui pendidikan formal, nonformal, dan informal maupun secara tidak sengaja melalui kontak dan pengalaman sehari-hari, baik dalam kehidupan keluarga dan tetangga maupun dalam kehidupan masyarakat.

b. Rekrutmen Politik

Rekrutmen politik ialah seleksi dan pemilihan atau seleksi dan pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintahan pada khususnya. Fungsi ini semakin besar porsinya manakala partai politik itu merupakan partai tunggal seperti dalam sistem politik totaliter, atau manakala partai ini merupakan partai mayoritas dalam badan perwakilan rakyat sehingga berwenang membentuk pemerintahan dalam sistem politik demokrasi. Fungsi rekrutmen merupakan kelanjutan dari fungsi mencari dan mempertahankan kekuasaan. Selain itu, fungsi rekrutmen politik sangat penting bagi kelangsungan sistem politik sebab tanpa elit yang mampu melaksanakan peranannya, kelangsungan hidup sistem politik akan terancam.

c. Partisipasi Politik

(22)

mengajukan tuntutan, membayar pajak, melaksanakan keputusan, mengajukan kritik dan koreksi atas pelaksanaan suatu kebijakan umum, dan mendukung atau menentang calon pemimpin tertentu, mengajukan alternatif pemimpin, dan memilih wakil rakyat dalam pemilihan umum. Dalam hal ini, partai politik mempunyai fungsi untuk membuka kesempatan, mendorong, dan mengajak para anggota dan anggota masyarakat yang lain untuk menggunakan partai politik sebagai saluran kegiatan mempengaruhi proses politik. Jadi, partai politik merupakan wadah partisipasi politik.

d. Agregasi Kepentingan

Dalam masyarakat, terdapat sejumlah kepentingan yang berbeda bahkan acapkali bertentangan, seperti antara kehendak mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dan kehendak untuk mendapatkan barang dan jasa dengan harga murah tetapi mutu; antara kehendak untuk mencapai efisiensi dan penerapan teknologi yang canggih, tetapi memerlukan tenaga kerja yang sedikit, dengan kehendak untuk mendapatkan dan mempertahankan pekerjaan.Untuk menampung dan memadukan berbagai kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan, maka partai politik dibentuk.

e. Komunikasi Politik

(23)

Dalam melaksanakan fungsi ini partai politik tidak langsung menyampaikan informasi dari pemerintah kepada masyarakat atau dari masyarakat keperintah, tetapi merumuskan sedemikian rupa sehingga penerima informasi dapat dengan mudah memahami dan kemudian memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.

f. Pengendalian Konflik

Konflik yang dimaksud disini adalah dalam arti luas, mulai dari perbedaan pendapat sampai pada pertikaian fisik antar individu atau kelompok dalam masyarakat. Dalam negara demokrasi, setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak menyampaikan dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya sehingga konflik merupakan gejala yang sukar dielakkan.

Partai politik sebagai salah satu lembaga demokrasi berfungsi untuk mengendalikan konflik melalui cara berdialog dengan pihak-pihak yang berkonflik, menampung dan memadukan berbagai aspirasi dan kepentingan dari pihak-pihak yang berkonflik dan membawa permasalahan kedalam musyawarah badan perwakilan rakyat untuk mendapatkan penyelesaian berupa keputusan politik.

g. Kontrol Politik

Kontrol politik ialah kegiatan untuk menunjukkan kesalahan, kelemahan, dan penyimpangan dalam isi suatu kebijakan atau dalam pelaksanaan kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam melakukan suatu kontrol politik atau pengawasan, harus ada tolok ukur yang jelas sehingga kegiatan itu bersifat objektif.

(24)

merupakan salah satu mekanisme politik dalam sistem politik demokrasi untuk memperbaiki dan memperbaharui dirinya secara terus menerus.13

Setiap partai politik memiliki karakteristik yang berbeda. Menurut Richard S.Katz ada beberapa tipologi partai politik:

1.Partai Elit

Partai jenis ini berbasis lokal, dengan sejumlah elit inti yang menjadi basis kekuatan partai. Dukungan bagi partai elit ini bersumber pada hubungan client (anak buah) dari elit-elit yang duduk di partai ini. Biasanya, elit yang duduk di kepemimpinan partai memiliki status ekonomi dan jabatan yang terpandang. Partai ini juga didasarkan pada pemimpin-pemimpin faksi dan elit politik, yang biasanya terbentuk didalam parlemen.

2.Partai Massa

Partai jenis ini berbasiskan individu-individu yang jumlahnya besar, tetapi kerap tersingkirkan dari kebijakan negara. Partai ini kerap memobilisasi massa pendukungnya untuk kepentingan partai. Biasanya partai massa berbasiskan kelas sosial tertentu, seperti “orang kecil”, tetapi juga bisa berbasis agama. Loyalitas kepada partai lebih didasarkan pada identitas sosial partai daripada ideologi atau kebijakan.

3.Partai Catch-All

Partai jenis ini dipermukaan hampir sama dengan partai massa. Namun perbedaannya dengan partai massa yang mendasar adalah kalau partai massa mendasarkan diri pada kelas sosial tertentu, partai Catch-All mulai berpikir bahwa dirinya mewakili kepentingan bangsa secara keseluruhan. Partai jenis ini berorientasi pada pemenangan pemilu sehingga fleksibel untuk berganti-ganti isu

13

(25)

setiap kali kampanye. Partai Catch-All juga sering disebut sebagai Partai Electoral-Professional atau Partai Rational-Efficient.

4.Partai Kartel

Partai jenis ini muncul akibat berkurangnya jumlah pemilih atau anggota partai. Kekurangan ini berakibat pada suara mereka ditingkat parlemen. Untuk mengatasinya, para pemimpin partai saling berkoalisi untuk memperoleh kekuatan yang cukup untuk bertahan. Dari sisi Partai Kartel, ideologi, janji pemilu, basis pemilih hampir sudah tidak memiliki arti lagi.

5.Partai Integratif

Partai jenis ini berasal dari kelompok sosial tertentu yang mencoba melakukan mobilisasi politik dan kegiatan partai. Mereka membawakan kepentingan spesifik suatu kelompok. Mereka juga berusaha membangun simpati dari setiap pemilih dan membuat mereka menjadi anggota partai. Mereka melakukan propaganda yang dilakukan anggota secara sukarela, berpartisipasi dalam bantuan-bantuan sosial.14

6.2. Sistem Multi Partai

Klasifikasi partai politik menurut jumlah sistem partai yang ada dalam suatu negara, klasifikasi ini dikemukakan oleh Maurice Duverger dalam bukunya Political Parties, yaitu Sistem partai tunggal (one-party system), Sistem dwi partai (two-party system), Sistem multi partai (multi-party system) 15

Sejarah mencatat untuk pertama kali partai politik tumbuh dan berkembang di negara-negara Eropa Barat merupakan satu tahap agar pemerintahan yang dijalankan harus berdasarkan konstitusi dan perwakilan. Hasil pembangunan politiknya telah mampu membatasi kekuasaan monarki absolut dan perluasan hak-hak warga negara, keberhasilan inilah yang mendorong meletusnya gagasan

14

Seta Basri. Op.Cit. Hal.122 15

(26)

bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik berfungsi menjadi penghubung antara rakyat dan pemerintah dimana rakyat menentukan pilihannya dengan leluasa, memperjuangkan kepentingannya, mengkritik rezim yang memerintah, dan melakukan tata hubungan politik.16

Sistem multi partai merupakan suatu sitem yang terdiri atas lebih dari dua partai yang dominan sistem ini merupakan produk dari struktur masyarakat yang majemuk, baik secara cultural maupun secara sosial ekonomi. Setiap golongan dalam masyarakat cenderung memelihara keterikatan dengan asal usul budayanya dan memperjuangkan kepentingan melalui wadah politik tersendiri karena banyak partai yang bersaing untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan melaui pemilihan umum, yang terjadi adalah pemerintahan koalisi dengan dua atau lebih partai yang secara bersama-sama dapat mencapai mayoritas di parlemen.17

Penyebab adanya sistem multi partai ini adalah karena adanya aneka ragam suku, agama, ras, dan golongan yang ada dalam suatu negara. Negara-negara yang menganut sistem ini adalah Indonesia, Malaysia, Belanda, Perancis, Swedia, dan sebagainya.

Dalam sistem ini tidak ada partai yang memiliki suara mayoritas di Parlemen, oleh karenanya harus melakukan koalisi agar pemerintahan dapat berjalan dengan stabil. Dalam implementasinya pemerintahan yang demikian ini harus selalu mengutamakan musyawarah dan kompromi. Namun apabila terdapat satu partai yang mendominasi, stabilitas politik dapat lebih dijamin. India sering dikemukan sebagai negara dimana terdapat dominasi satu partai (one party dominance), tetapi karena suasuanakompetitif maka pola dominasi setiap waktu dapat berubah.18

16

Arifin Rahman. 2002. Sistem Politik Indonesia. Surabaya: SIC. Hal.92 17

Ramlan Surbakti.Op.Cit.,. Hal.161-162. 18

(27)

Sistem multi partai adalah sistem kepartaian di mana di dalam negara atau badan perwakilan terdapat lebih dari dua partai politik dan tidak ada satu pun partai yang memegang mayoritas mutlak. Sistem multi partai dianggap lebih mencerminkan keanekaragaman budaya dan politik dibandingkan dengan sistem dua partai. Hal-hal yang mendorong berkembangnya sistem multi partai adalah keanekaragaman komposisi masyarakat. Mengapa demikian? Karena perbedaan-perbedaan ras, agama, dan suku merupakan faktor yang sangat kuat untuk menyatukan ikatan dalam satu wadah. Sistem multi partai lazimnya diperkuat oleh sistem pemilihan perwakilan berimbang yang memberi kesempatan luas untuk tumbuhnya partai-partai dan golongan-golongan kecil.

Pola multipartai umumnya diperkuat oleh sistem pemilihan perwakilan berimbang (proportional representation) yang memberikan kesempatan luas bagi pertumbuhan partai dan golongan-golongan kecil. Melalui sistem ini partai-partai kecil dapat menarik keuntungan dari ketentuan bahwa kelebihan suara yang diperolehnya disuatu daerah pemilihan dapat ditarik kedaerah pemilihan lain untuk menggenapkan jumlah suara yang diperlukan.19

Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat kemajemukan masyarakat yang sangat tinggi dan memiliki pluralitas sosial yang sangat kompleks. Komposisi masyarakat Indonesia terdiri atas suku, agama, dan identitas agama yang sangat majemuk. Struktur sosial masyarakat hampir memiliki hubungan searah dengan tipologi partai politik diIndonesia hal ini dibuktikan dari partai politik di Indonesia yang kebanyakan masih dilandasi faktor ideologi dan faktor identitas politik tertentu. Idealnya sesuai dengan fungsi dan tujuannya partai politik didirikan sebagai wadah artikulasi dan agregasi kepentingan masyarakat. Indonesia berbeda dengan Amerika Serikat yang memiliki struktur sosial yang terlalu kompleks dan majemuk, sehingga sistem dwi partai di Amerika Serikat sangat mapan dan cocok dengan karakter masyarakatnya, sementara Indonesia

19

(28)

memiliki kompleksitas struktur sosial masyarakat yang majemuk sehingga sistem multi partai menjadi sistem yang sulit dihindari sebagai konsekuensi demokrasi dalam kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berorganisasi.

Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat kemajemukan masyarakat yang sangat tinggi dan memiliki tingkat pluralitas sosial yang sangat kompleks. Komposisi masyrakat Indonesia terdiri dari suku, agama, dan identitas kedaerahan yang sangat majemuk. Idealnya, sesuai dengan fungsi pembentukannya, partai politik didirikan sebagai wadah artikulasi dan agregasi kepentingan masyarakat. Selain itu partai politik juga merupakan representasi kemajemukan masyarakat dan sebagai institusi perwakilan politik bagi berbagai lapisan masyarakat, seperti kalangan profesional, buruh, petani, dan kelompok masyarakat lainnya.

Konsekuensi umum yang telah menjadi karakteristik penerapan sistem multipartai adalah tingkat pelembagaan sistem kepartaian rendah. Pengalaman beberapa negara yang sedang mengalami transisi politik yang menerapkan sistem multipartai cenderung menciptakan sistem partai yang mudah retak (fragile) dan dengan tingkat pelembagaan yang rendah. Akibatnya gejala perpecahan internal partai cukup menjadi kendala yang harus dialami oleh partai. Fenomena ini, diikuti oleh bertambahnya jumlah partai akan menyebabkan munculnya gejala ketidakmampuan partai memelihara disiplin anggotanya yang mengakibatkan terjadinya perpindahan politisi dari satu partai ke partai yang lain.

(29)

multipartai, sementara kemajemukan masyarakat merupakan sesuatu yang bersifat pemberian dalam struktur masyarakat Indonesia. Faktor kedua, sejarah dan sosio-kultural masyarakat, merupakan faktor pendukung bagi terbentuknya sistem multi partai. Multi partai akan semakin bagus ketika ditopang sistem pemilihan proporsional. Penerapan sistem pemilu proporsional menjadi faktor ketiga bagi terbentuknya sistem multi partai. Dan ketiga faktor ini merupakan suatu kesatuan yang saling berhubungan dan mempengaruhi.

6.3. Sistem Pemerintahan Presidensial

Pengertian pemerintahan dapat ditinjau dari tiga aspek, yaitu dari segi kegiatan (dinamika), struktur fungsional, dan dari segi tugas dan wewenang (fungsi). Apabila ditinjau dari segi dinamika, pemerintahan berarti kegiatan atau usaha yang teroganisasikan, bersumber pada kedaulatan dan berlandaskan pada dasar negara, mengenai rakyat dan wilayah negara itu demi tercapainya tujuan negara. Dan jika ditinjau dari struktur fungsional, pemerintahan berarti seperangkat fungsi negara yang satu sama lain saling berhubungan secara fungsional, dan melaksanakan fungsinya atas dasar-dasar tertentu demi terciptanya tujuan negara. Lalu ditinjau dari aspek tugas dan kewenangan negara, pemerintah berarti seluruh tugas dan kewenangan negara. Menurut ketiga bahasan diatas dapatlah disimpulkan bahwa pemerintahan merupakan segala kegiatan yang berkaitan dengan tugas dan wewenang negara.20

Sistem presidensial berawal dari lahirnya negara baru Amerika Serikat buah dari perjuangan rakyat koloni Inggris di Benua Amerika untuk memiliki pemerintahan sendiri lepas dari pusat kekuasaan, Kerajaan Inggris. Keinginan rakyat Amerika sudah tentu berbenturan dengan Inggris yang tidak ingin wilayah koloninya lepas dari induk. Kehendak mereka untuk merdeka akhirnya ditempuh Dan sistem pemerintahan terdiri atas dua sistem pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensial.

20

(30)

melalui peperangan (1775-1783). Rakyat koloni akhirnya menyatakan dirinya merdeka sebagai bangsa Amerika. Namun akibat peperangan tersebut mengakibatkan muramnya kondisi perekonomian. Beberapa wilayah bekas koloni yang baru saja merdeka sepakat membentuk negara baru dengan sistem federasi. Negara Amerika dibentuk berdasarkan prinsip adanya pemerintah federal (pemerintah pusat dan pemerintah negara bagian dibawah setiap anggota federasi sepakat untuk menghargai eksistensi wilayah masing-masing).21

Saat itu, para pendiri bangsa sadar bahwa untuk keluar dari kesulitan dibutuhkan pemerintahan yang kuat. Pemerintahan dengan landasan sistem yang kuat dimana konstitusi negara harus kuat dan kokoh. Bangsa Amerika berhasil mentransformasikan pemimpin yang ideal melalui bentuk negara republik dibawah kepemimpinan figur yang dipilih rakyat.

Dalam sistem ini kelangsungan hidup badan eksekutif tidak tergantung pada badan legislatif, dan badan eksekutif mempunyai masa jabatan tertentu. Kebebasan badan eksekutif terhadap badan legislatif mengakibatkan kedudukan badan eksekutif lebih kuat dalam menghadapi badan legislatif. Lagipula menteri-menteri dalam kabinet presidensial dapat dipilih menurut kebijaksanaan presiden sendiri tanpa menghiraukan tuntutan-tuntutan partai politik. Dengan demikian pilihan presiden dapat didasarkan atas keahlian serta faktor-faktor lain yang dianggap penting. Sistem ini terdapat di Amerika Serikat, Pakistan dalam masa Demokrasi Dasar (1958-1969), dan Indonesia di bawah UUD 1945.22

Prinsip-prinsip dasar atau ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial, yaitu:

1. Majelis tetap menjadi majelis saja, tidak ada peleburan fungsi eksekutif dan legislatif

21

Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik (Mengapa ada Negara Gagal Melaksanakan Demokrasi). 2007. Bandung: Fokus Media. Hal.127

22

(31)

2. Eksekutif tidak dibagi, hanya ada seorang presiden yang dipilih oleh rakyat untuk masa jabatan tertentu. Presiden dipilih untuk masa jabatan yang pasti, dan dibatasi untuk beberapa kali masa jabatan

3. Kepala pemerintahan adalah kepala negara

4. Presiden mengangkat kepala departemen/menteri yang merupakan bawahannya

5. Presiden adalah eksekutif tunggal, pemerintahan presidensial cenderung bersifat individual

6. Anggota majelis tidak boleh menduduki jabatan pemerintahan dan sebaliknya

7. Eksekutif bertanggung jawab kepada Konstitusi. Majelis meminta presiden bertanggung jawab kepada konstitusi melalui proses dakwaan atau mosi tidak percaya

8. Presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa majelis. Majelis tidak dapat mencopot presiden dari jabatannya, begitupun presiden tidak dapat membubarkan majelis. Sistem ini merupakan sistem check and balance. Sistem ini memperlihatkan kesalingtergantungan antara eksekutif dan legislatif

9. Majelis berkedudukan lebih tinggi dari bagian-bagian pemerintahan lain dan tidak ada peleburan bagian eksekutif dan legislatif seperti dalam sebuah parlemen. Badan eksekutif dan legislatif akan saling mengawasi dan mengimbangi dan tak satupun yang lebih dominan

(32)

11.Tidak ada fokus/konsentrasi kekuasaan dalam sistem politik, yang ada adalah pembagian/fragmentasi kekuasaan.23

Matthew Soberg Shugart menyatakan bentuk murni dari presidensial adalah:

1. Eksekutif dikepalai oleh presiden yang dipilih oleh rakyat secara langsung dan ia merupakan “kepala eksekutif”

2. Posisi eksekutif dan legislatif didefinisikan secara jelas dan keduanya tidak saling bergantung

3. Presiden memilih dan mengarahkan kabinet dan memiliki sejumlah kewenangan pembuatan legislasi yang diatur secara konstitusional.24

Bagi Shugart, posisi hubungan eksekutif dan legislatif adalah transaksional.keduanya independen saru sama lain karena dipilih rakyat lewat dua pemilu berbeda. Posisi legislatif tidak lebih tinggi dibanding eksekutif dan demikian pula sebaliknya. Namun, eksekutif dan legislatif terlibat dalam hubungan pertukaran (transaksional) seputar keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan politik bergantung permasalahan yang mengemuka.

Menurut S.L Witman dan J.J. Wuest tentang ciri-ciri sistem presidensial adalah:

1. It is based upon the separation of powers principle; (berdasarkan atas prinsip pemisahan kekuasaan)

2. The executive has no power to dissolve the legislature nor must he resign when he loses the support of the majorityof its membership; (eksekutif tidak mempunyai kewenangan untuk membubarkan legislatif atau eksekutif tidak harus mengundurkan diri ketika kehilangan dukungan dari mayoritas keanggotaan di legislatif)

23

Douglas V.Verney dan Arend Lijphart. Sistem Pemerintahan Perlementer dan Presidensial. 1995. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal. 43.

24

(33)

3. There in no mutual responsibility between the President and his cabinet; the letter is wholly responsible to the chief executive; (tidak ada hubungan pertanggungjawaban antara Presiden dengan kabinetnya, kabinet secara keseluruhan bertanggung jawab kepada kepala pemerintahan

4. The executive is chosen by the electorate;(eksekutif dipilih oleh pemilih atau dipilih langsung) 25

Dalam sistem presidensial peran dan karakter individu presiden lebih menonjol dibanding dengan peran kelompok, organisasi, atau partai politik. Oleh karena itu, jabatan presiden hanya dijabat oleh seorang yang dipilih rakyat dalam pemilu yang berarti bahwa presiden bertanggung jawab langsung pada rakyat. Dalam sistem ini presiden dipilih oleh rakyat maka sebagai kepala eksekutif ia hanya bertanggung jawab kepada rakyat pemilih sehingga kedudukan eksekutif tidak bergantung pada parlemen. Sebagai kepala eksekutif presiden menunjuk pembantu-pembantunya yang akan memimpin departemennya masing-masing dan mereka hanya bertanggung jawab kepada presiden. Karena pembentukan kabinet tidak tergantung dan tidak memerlukan dukungan kepercayaan dari parlemen, maka para menteri tidak bisa dihentikan oleh parlemen. Komposisi kabinet dalam sistem presidensial bukan berasal dari proses tawar menawar dengan partai yang berarti sifat kabinet adalah kabinet profesional atau kabinet keahlian. Jabatan menteri tidak didasarkan pada latar belakang politik tetapi pada penilaian visi, pengetahuan dan kemampuan mengelola departemen.

Dalam sistem presidensial, kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang langsung oleh presiden. Selaku kepala negara presiden adalah simbol representasi negara atau simbol pemersatu bangsa sementara selaku kepala pemerintahan presiden harus bertanggung jawab penuh pada jalannya pemerintahan.

25

(34)

I.7. Metodologi Penelitian

Berangkat dari uraian serta penjelasan tujuan penelitian maupun kerangka dasar teori diatas, penelitian ini memiliki tujuan metodologis yaitu deskriptif (melukisakan). Penelitian deskriptif adalah suatu cara yang digunakan untuk memecahkan masalah yang ada pada masa sekarang berdasarkan fakta dan data-data yang ada. Penelitian ini untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena.26 Tujuan dasar penelitian deskriptif ini adalah membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, seta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Jenis penelitian ini tidak sampai mempersoalkan jalinan hubungan antar variabel yang ada, tidak dimaksudkan untuk menarik generalisasi yang menjelaskan variabel-variabel yang menyebabkan suatu gejala atau kenyataan sosial. Karenanya pada penelitian deskriptif tidak menggunakan atau tidak melakukan pengujian hipotesa seperti yang dilakukan pada penelitian ekspalanatif berarti tidak dimaksudkan untuk membangun dan mengembangkan perbendaharaan teori.27

7.1 Jenis Penelitian .

Studi ini pada dasarnya bertumpu pada penelitian kualitatif. Aplikasi penelitian kualitaif ini adalah konsekuensi metodologis dari penggunaan metode deskriptif. Bogdan dan Taylor mengungkapkan bahwa ”metodelogi kualitaif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.28

26

Bambang Prasetyo dkk. 2005. Metode Penelitian Kuantitaif : Teori dan Aplikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal. 42

Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau proses penjaringan informasi dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu obyek, dihubungkan dengan pemecahan masalah, baik dari sudut pandang teoritis maupun praktis.

27

Sanafiah Faisal. 1995. Format Penelitian Sosial Dasar-Dasar Aplikasi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. hal. 20

28

(35)

7.2. Data dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, data yang dipergunakan adalah data primer dan data sekunder. Dimana data primer adalah data yang diperoleh langsung kepada sumbernya, misalnya dengan mewawancarai tokoh/pelaku sejarah. Dan data sekunder adalah data yang diperoleh melalui sumber seperti buku, majalah, laporan, jurnal, dan lain-lain.

7.3. Teknik Analisis Data

Teknik data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik analisis data deskriptif kualitatif, dimana teknik ini melakukan analisa atas masalah yang ada sehingga diperoleh gambaran jelas tentang objek yang akan diteliti dan kemudian dilakukan penarikan kesimpulan.

8. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan suatu gambaran yang jelas dan lebih terperinci serta untuk mempermudah isi, maka penelitian ini terdiri kedalam 4 (empat) bab, yakni:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini akan menguraikan dan menjelaskan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian.

BAB II : DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN

(36)

BAB III : ANALISIS DATA

Bab ini nantinya akan berisikan tentang penyajian data dan fakta yang diperoleh dari buku-buku, jurnal, majalah, koran, serta internet dan juga akan menyajikan pembahasan dan analisis data dan fakta tersebut.

BAB IV : PENUTUP

(37)

BAB II

DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN

II.1 Sistem Multi-partai di Indonesia

Kata partai politik berasal dari kata pars dalam bahasa latin, yang berarti bagian. Defenisi tertua mengenai partai politik mungkin bisa dirujuk dari pendapat Edmund Burke, tokoh politik Inggris (1729-1797) Burke pada tahun 1771 menulis bahwa partai politik merupakan kumpulan orang-orang yang bertujuan untuk mempromosikan, dengan usaha bersama-sama, kepentingan nasional berdasarkan beberapa prinsip khusus yang telah mereka setujui bersama.29

Partai politik merupakan salah satu institusi inti dari pelaksanaan demokrasi modern. Demokrasi modern mengandaikan sebuah sistem yang disebut keterwakilan (representativeness), baik keterwakilan dalam lembaga formal kenegaraan seperti parlemen (DPR/DPRD) maupun keterwakilan aspirasi masyarakat dalam institusi kepartaian. Berbeda dengan demokrasi langsung sebagaimana dipraktikan dimasa Yunani Kuno, demokrasi modern sebagai demokrasi tidak langsung membutuhkan media penyampai pesan politik kepada negara (pemerintah). Media yang berupa institusi tersebut biasa kita sebut sebagai partai politik dan keberadaannya diatur dalam konstitusi negara modern. Mengingat fungsi partai politik yang begitu penting, sering bahkan keberadaan dan kinerjanya merupakan ukuran mutlak bagaimana demokrasi berkembang disuatu negara.

Defenisi partai politik berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Pasal 1 Huruf 1 mendefinisikan partai politik sebagai organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga Negara Indonesia secara sukarela

29

(38)

atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa, dan Negara,serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.30

Selain itu Ramlan Surbakti mendefinisikan partai politik adalah sekelompok anggota yang terorganisir secara rapi dan stabil yang dipersatukan dan dimotivasi dengan ideologi tertentu dan yang berusaha mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan melalui pemilihan umum dan cara-cara lain yang sah guna melaksanakan alternative kebijakan umum yang mereka susun, sebagai hasil dari pemaduan berbagai kepentingan yang hidup dalam masyarakat.31

Sistem kepartaian merupakan suatu mekanisme interaksi antar partai politik dalam sebuah sistem politik yang berjalan. Maksudnya, karena tujuan utama dari partai politik adalah mencari dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan program-program disusun berdasarkan ideologi tertentu, maka untuk merelisasikan program-program tersebut partai-partai politik yang ada berinteraksi satu dengan yang lainnya dalam suatu sistem kepartaian.32

Terdapat beberapa sistem kepartaian yang dapat digunakan dalam merelasasikan interaksi antar partai daloam suatu sistem politik yakni one-party system ( Sistem satu partai ), two-party system ( sistem dua partai ) serta multy-party system ( sistem banyak partai ). Indonesia pasca reformasi telah menganut sistem Multi-partai dimana, dalam sistem multipartai umumnya diperkuat oleh sistem pemilihan perwakilan berimbang (proportional representation) yang memberikan kesempatan luas bagi pertumbuhan partai-partai dan golongan-golongan kecil. Melalui sistem ini partai-partai kecil dapat menarik keuntungan dari ketentuan bahwa kelebihan suara yang diperolehnya disuatu daerah pemilihan dapat ditarik kedaerah pemilihan lain untuk menggenapkan jumlah suara yang

30

Undang-undang nomor 2 tahun 2008 pasal 1 31

H. I Rahman A, Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2007, hal. 103 - 104 32

(39)

diperlukan. Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat kemajemukan masyarakat yang sangat tinggi dan memiliki pluralitas sosial yang sangat kompleks. Komposisi masyarakat Indonesia terdiri atas suku, agama, dan identitas agama yang sangat majemuk. Struktur sosial masyarakat hampir memiliki hubungan searah dengan tipologi partai politik diIndonesia hal ini dibuktikan dari partai politik di Indonesia yang kebanyakan masih dilandasi faktor ideologi dan faktor identitas politik tertentu. Idealnya sesuai dengan fungsi dan tujuannya partai politik didirikan sebagai wadah artikulasi dan agregasi kepentingan masyarakat. Dalam sistem multi partai, partai yang dominan lebih banyak, bukan hanya dua partai, dan partai-partai kecil yang memiliki eksistensi berjuang dalam setiap pemilu. Partai-partai politik yang beredar, merupakan representasi dari ideologi rakyat meskipun titik berat sumber ideologinya berbeda-beda, dan bukan sebagai ideologi politik saja, misalnya berbasis agama, nasionalisme, status sosial-ekonomi, dan sebagainya.Sistem kepartaian ini memungkinkan terjadinya koalisi antar partai, untuk membentuk pemerintahan setelah pemilu diadakan. Adapun jabatan-jabatan publik terutama dilembaga eksekutif, merupakan hasil tawar menawar antara partai politik pembentuk koalisi dipemerintahan, sehingga posisi-posisi dipemerintahan diisi oleh kader-kader dari berbagai partai politik.

(40)

piilihan suatu kebijakan diperhitungkan atas dasar banyak criteria dan masing-masing criteria memiliki nilai bobot (weight) yang berbeda menurut kondisi, situasi dan posisi.33

Program-program pemilu formal merupakan pernyataan paling jelas yang bisa diperoleh, yang berisi kehendak-kehendak kebijakan yang dikemukakan oleh pemimpinan partai-partai yang tengah bersaing. Program-program partai dapat mengantisipasi kebijakan melalui dua cara yaitu lewat agenda dan lewat mandat. Agenda kebijakan yang berlaku beserta evolusinya bisa ditelusuri lewat program-program dari serangkaian partai-partai di sebuah negara. Validitas agenda yang dipresentasikan partai-partai diukur dengan sejauh manakah kebijakan mengikuti jalan yang serupa dengan yang ditempuh program-program partai. Dengan begitu, partai merupakan artikulator agenda kebijakan yang efektif sejauh profil pelbagai kebijakan yang diberlakukan pemerintah mencerminkan profil pelbagai partai kepada khalayak pemilih. Secara kolektif dari waktu kewaktu, partai-partai yang bersaing disuatu negara menyajikan suatu satuan perhatian yang programatis yang berubah, yang membuktikan terjadinya pergeseran batas-batas diskursus kebijakan. Jika hal tersebut juga berhubungan dengan batas-batas tindakan pemerintah yang berubah, maka akan dapat dinyatakan bahwa partai-partai telah menciptakan agenda yang efektif, dari proses persaingan dan dengan adanya agenda yang dibentuk secara publik.34

Meskipun ia bukan merupakan pelaksana dari suatu pemerintahan, namun keberadaannya akan mempengaruhi bagaimana dan kearah mana pelaksanaan pemerintahan dijalankan. Terutama bagi partai pemenang pemilihan atau partai berkuasa dan partai oposisi yang berjalan efektif, partai politik merupakan pelaksana pemerintah yang tersembuyi. Keberadaannya mempengaruhi ragam kebijakan yang dikembangkan. Karena itu bisa dikatakan bahwa kegagalan

33

Said Zainal Abidin. Kebijakan Publik. Jakarta : yayasan pancursiwah. 2004. Hal.43. 34

(41)

sekaligus keberhasilan suatu pemerintahan dalam melayani dan memakmurkan masyarakatnya adalah kegagalan dan keberhasilan partai politik menjalankan fungsinya secara efektif. 35

Sejarah sistem multi partai di Indonesia merupakan Implementasi tuntutan reformasi terhadap kebebasan berpartai atau mendirikan partai politik dimulai sejak pemilu 1999, Pemilu 1999 memang bukan satu-satunya penyelesaian segenap permasalahan sosial, politik dan ekonomi yang melanda negara kita saat ini, apalagi akhir dari proses reformasi itu sendiri. Namun, Pemilu 1999 merupakan pemilu pertama pasca reformasi. Kebebasan berpartai politik ini terekspresi dengan banyaknya jumlah partai politik, ada 180 partai baru berdiri, meskipun hanya 142 partai yang dapat didaftarkan, dan hanya 48 yang lolos ikut bertarung dalam pemilu 1999.36

Partai politik di Indonesia pada periode 1999-2004 belum dapat dibedakan secara jelas dari sejumlah indikator tersebut melainkan lebih dapat dibedakan dari sentimen dan konflik kelompok saja. Partai politik di Indonesia lebih terkesan sebagai organisasi pengurus yang sering bertikai daripada organisasi yang hidup karena dinamika partai sebagai gerakan anggota. Walaupun Pasal UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik mewajibkan setiap partai politik untuk mendaftar dan memelihara daftar anggotanya, tidak banyak partai politik yang melaksanakan amanat UU tersebut. Hal ini terjadi tidak saja karena banyak anggota rnasyarakat yang enggan mendaftarkan diri sebagai anggota partai tetapi juga karena partai politik sendiri tidak melakukan berbagai upaya yang membangkitkan minat menjadi anggota partai politik. Insentif menjadi anggota partai polilik, seperti ikut menentukan siapa yang menjadi pengurus partai, ikut menentukan siapa yang menjadi calon partai untuk pemilihan anggota dewan ataupun kepala pemerintahan pada tingkat nasional dan daerah, ikut menentukan kebijakan partai dalam berbagai peraturan perundang-undangan, dan dapat

35

Koiruddin. Partai Politik dan agenda transisi Demokrasi. 2004. Yogyakarta : pustaka pelajar. Hal 1-2 36

(42)

menyalurkan aspirasi melalui partai politik, kurang dijamin secara memadai. Karena partai politik tidak memiliki jumlah anggota yang jelas, maka yang terjadi kebanyakan berupa klaim jumlah anggota atau jumlah pendukung. Tidaklah mengherankan apabila banyak pihak mendirikan partai politik karena yang diperlukan hanyalah klaim jumlah saja. Karena itu dalam UU Partai Politik yang akan datang perlu ditetapkan persyaratan jumlah anggota baik sebagai persyaratan mendirikan partai politik maupun unluk ikut serta dalam pemilihan umum. Perpecahan yang terjadi dalam partai politik, dapat dikatakan tidak ada yang menyangkut perbedaan ideologi ataupun karena perbedaan pola dan arah kebijakan yang hendak ditempuh.

Pada pemilu tahun 2004, UU yang digunakan adalah UU no 31 tahun 2002 dimana menurut UU no 31 tahun 2002 pasal 1, Partai Politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum.

UU no 31 tahun 2002 mengatur perihal pendirian partai politik Pasal 2

1. Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) orang warga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun ke atas dengan akta notaris.

2. Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta kepengurusan tingkat nasional. 3. Partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didaftarkan pada

Departemen Kehakiman dengan syarat:

(43)

yang bersangkutan, dan 25% (dua lima puluh persen) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan;

c. Memiliki nama, lambang, dan tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang dan tanda gambar partai politik lain; dan

d. memiliki kantor tetap.37

UU pasal 31 tahun 2002 mengisyaratkan tentang betapa mudahnya mendirikan partai politik di Indonesia yang membuat menjamurnya partai politik pasca reformasi 1998. Pada Pemilu 2004 ada 24 partai politik yang menjadi peserta pemilu yang melalui 3 tahap penyaringan. Penyaringan tahap pertama dilakukan oleh Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM). Di sini tujuan penyaringan adalah memberikan status atau pengesahan partai politik sebagai sebuah badan hukum. Pada tahap ini ada 50 partai politik yang dinyatakan lulus penyaringan. Penyaringan tahap kedua adalah verifikasi administratif oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Penyaringan tahap ketiga adalah verifikasi faktual. Pada tahap ini yang diteliti adalah memastikan apakah benar dokumen-dokumen mengenai kepengurusan dan keanggotaan sebagaimana di dalam verifikasi administratif tersebut mewujud di lapangan. Setelah keseluruhan proses verifikasi selesai terpilih 24 partai politik.38

Salah satu perbedaan penting pemilu anggota legislatif (DPR/DPRD) tahun 2004 dari pemilu-pemilu sebelumnya adalah dalam penentuan calon terpilih. Undang-undang no.12 tahun 2003 tentang pemilu legislatif menentukan dua cara penetapan calon terpilih. Cara pertama berdasarkan angka bilangan pembagi pemilih (BPP). Calon yang memperoleh suara melebihi atau sama dengan BPP terlebih dahulu ditetapkan sebagai calon terpilih. Sementara mereka yang tidak mencapai angka BPP ditetapkan berdasarkan nomor urut, dan bukan berdasarkan

37

UU no 31 tahun 2002

(44)

banyaknya suara yang diperoleh, dari daftar calon yang diajukan partai politik peserta pemilu di masing-masing daerah pemilihan (constituency).

Penggunaan metode tersebut tak lepas dari dorongan dan tekanan untuk memperbaiki sistem rekrutmen politik. Pada pemilu-pemilu orde baru dan pemilu 1999, calon terpilih berada ditangan elite partai politik sehingga aspirasi dan kepentingan masyarakat tentang siapa yang layak menjadi calon legislatif cenderung difait accompli oleh partai-partai politik.39

Pada pemilu 2004, kombinasi dari UU no 31 tahun 2004 tentang partai politik adalah UU no 23 tahun 2003 tentang Mekanisme pencalonan Presiden dan wakil presiden. Menurut UU no 23 tahun 2003, Bab II pasal 5 ayat 1-4 yaitu

1. Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah Pasangan Calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

2. Pengumuman calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden atau Pasangan Calon oleh partai politik atau gabungan partai politik dapat dilaksanakan bersamaan dengan penyampaian daftar calon anggota DPR kepada KPU. 3. Pendaftaran Pasangan Calon oleh partai politik atau gabungan partai

politik dilaksanakan setelah memenuhi persyaratan perolehan kursi DPR atau perolehan suara sah yang ditentukan oleh undangundang ini kepada KPU.

4. Pasangan Calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilu anggota DPR. 40

39

Joko Prihatmoko moesafa. Menang pemilu ditengah Oligarki partai. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2008. Hal.1-2.

40

(45)

UU no 23 tahun 2004 mengisyaratkan bahwa satu-satunya cara untuk mendaftarkan diri sebagi pasanagan presiden dan wakil presiden adalah melalui mekanisme partai politik atau gabungan partai politik di Indonesia. Koalisi yang terjadi pada pemilihan presiden tahun 2004 tidak dapat di hindari karena pada pemilu tahun 2004 praktis hanya satu partai yang memenuhi syarat tunggal dalam pencalonan Presiden yaitu Partai golongan karya dengan 24.480.757 suara atau 21,58% dengan 128 kursi, di ikuti oleh PDI Perjuangan dengan perolehan 21.026.629 atau 18,53% mendapatkan 109 kursi, Partai Kebangkitan Bangsa 11.989.564 atau 10,57% mendapatkan 52 kursi, Partai Persatuan Pembangunan 9.248.764 atau 8,15% mendapatkan 57 kursi, Partai Demokrat 8.455.225 atau 7.45% mendapatkan 57 kursi, Partai Keadilan Sejahtera 8.325.020 atau 7,34% mendapatkan 45 kursi dan Partai Amanat Nasional mendapatkan 7.303.324 atau 6,44% mendapatkan 52 kursi.41

Kondisi ini berlanjut Pada pemilu 2009 peserta partai politik terdiri dari 34 partai nasional, dan 6 partai lokal. Pemenang dari pemilu 2009 tersebut adalah Partai Demokrat 21.703.137 suara atau 20,85% dengan 150 kursi, Partai Golkar 15.037.757 suara atau 14,45 % dengan 107 kursi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dengan 14.600.091 suara, atau 14,03% dengan 95 kursi, Partai Keadilan Sejahtera dengan 8.206.955 suara, atau 7,88 % dengan 57 kursi, Partai Amanat Nasional dengan 6.254.580 suara atau 6,01 % dengan 43 kursi, Partai Persatuan Pembangunan dengan 5.533.214 suara, atau 5,32% dengan 37 kursi, Partai Kebangkitan Bangsa dengan 5.146.122 suara atau 4,94% dengan 27 kursi, Partai Gerakan Indonesia Raya dengan 4.646.406 suara, atau 4,46% dengan 26 kursi, Partai Hati Nurani Rakyat dengan 3,922.870 suara atau 3,77% dengan 18 kursi.42

41

Miriam Budiardjo., Op.,cit. Hal. 343

(46)

Perkembangan penerapan sistem multipartai pada masa reformasi disertai dengan karakteristik rendahnya tingkat pelembagaan partai, terfragmentasinya kekuatan politik di parlemen, dan munculnya koalisi sebagai akibat dari sulitnya mencapai suara mayoritas di parlemen. Dan lebih jelasnya karakteristiristik yang menyertai perjalanan reformasi di Indonesia, pertama, konvergensi dan konflik internal partai yang ditandai dengan selalu berubahnya jumlah partai politik dan fenomena perpecahan atau konflik intenal partai. Kedua, suburnya oligarki elite dan personalisasi figur (untuk beberapa kasus partai politik) dalam organisasi partai politik serta disloyalitas politisi dan sentralisasi struktur organisasi partai politik. Ketiga, konfigurasi kekuatan politik diparlemen terfragmentasi dengan jumlah kekuatan politik yang terpolarisasi sehingga menyebabkan sulitnya mencapai suara mayoritas. Keempat, munculnya koalisi partai dengan ikatan yang bersifat sementara, yang didasarkan oleh kepentingan segelintir elit partai bukan dikarenakan kesamaan ideologi dan tujuan partai.

II.2. Sistem Presidensial di Indonesia

Sistem pemerintahan berasal dari gabungan dua kata sistem dan pemerintahan. Kata sistem merupakan terjemahan dari kata system yang berarti kesatuan yang utuh dari sesuatu rangkaian, yang kait mengait satu sama lain. Sedangkan Pemerintahan berasal dari kata pemerintah, dan yang berasal dari kata perintah. Dan dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata-kata itu berarti, Perintah adalah perkataan yang bermakna menyuruh melakukan sesuatu, pemerintah adalah kekuasaan yang memerintah suatu wilayah, daerah, atau, Negara, pemerintahan adalah perbuatan, cara, hal, urusan dalam memerintah. Dalam memahami dalam arti yang luas, pemerintahan adalah ada pihak yang terkandung, kedua pihak tersebut saling berhubungan, pihak yang memerintah memiliki wewenang dan pihak yang diperintah memiliki ketaatan.43

43

Gambar

Tabel 1. Peta Koalisi Partai Politik dalam Pemilihan Presiden 2004 Putaran
Tabel 2. Usulan Penggunaan Hak Interplasi DPR Terhadap Pemerintahan Susilo
Tabel 3.  Usulan Penggunaan Hak Angket DPR Terhadap Pemerintahan Susilo

Referensi

Dokumen terkait

Perencanaan pengelolaan terumbu karang seharusnya didasarkan pada 3 (tiga) kriteria (Done 1995), yaitu: 1) penilaian kawasan yang memiliki resiko tinggi, 2)

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sriekaningsih dan Setyadi (2015: 211) Budaya kerja organisasi di Kantah ATR/BPN Sukoharjo dilaksanakan dengan bertanggung jawab

Strategi everyone is a teacher here bukan lagi merupakan hal yang baru maka siswa dengan cepat melakasankan semua kegiatan yang diinstruksikan oleh guru, dan tidak lagi

Outbound merupakan kegiatan yang juga memiliki tujuan terapi psikologi, dengan tujuan meningkatkan kinerja percaya diri, komunikasi, kerjasama, mengatasi stress dalam

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas segala berkat, rahmat, dan anugerah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Realitas Kisruh

Dengan demikian yang dijadikan populasi dalam penelitian ini ialah seluruh pegawai negeri yang bekerja pada Kantor Kecamatan Galela Kabupaten Halmahera Utara, sesuai

Négy erdélyi arisztokrata család/nemzetség (Jósika, Klebelsberg, Majthényi, Mikes) tagjai a kalksburgi jezsuita kollégiumban és a.. bécsi Theresianumban a

Analisis dan Perancangan Sistem Informasi Akuntansi pada Gundoz Craft dengan Metode Rapid Application