• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Ganda Istri Yang Bekerja Sebagai Buruh/Karyawan Perkebunan Dalam Menunjang Perekonomian Keluarga (Studi Deskriptif Pada PT. Socfindo Indonesia, Kebun Mata Pao, Kabupaten Serdang Bedagai)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peran Ganda Istri Yang Bekerja Sebagai Buruh/Karyawan Perkebunan Dalam Menunjang Perekonomian Keluarga (Studi Deskriptif Pada PT. Socfindo Indonesia, Kebun Mata Pao, Kabupaten Serdang Bedagai)"

Copied!
141
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PERAN GANDA ISTRI YANG BEKERJA SEBAGAI

BURUH/KARYAWAN PERKEBUNAN DALAM MENUNJANG

PEREKONOMIAN KELUARGA

(Studi Deskriptif Pada PT. Socfindo Indonesia, Kebun Mata Pao, Kabupaten Serdang Bedagai)

SKRIPSI Diajukan Oleh : ROCHIE LINDA M. H.

030901036

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

(2)

ABSTRAK

Ada berbagai alasan para istri (ibu) memutuskan untuk ikut terjun ke dalam sektor publik. Bagi keluarga golongan menengah ke bawah, alasan istri/ibu untuk ikut terjun bekerja ke dalam sektor publik dikarenakan penghasilan suaminya sebagai pencari nafkah utama di dalam keluarganya sangat tidak memadai dalam memenuhi tuntutan kebutuhan hidup keluarganya sehari – hari, misalnya: masalah pangan, perumahan, kesehatan keluarga, biaya sekolah untuk anak – anaknya, dan lain sebagainya. Namun tidak hanya itu saja, sang istri/ibu juga harus tetap menjalankan peran domestiknya sebagai istri dan ibu rumah tangga di dalam rumah tangganya (keluarganya) setiap harinya.

Dimana pada penelitian ini mengangkat topik tentang peran ganda istri tersebut dengan judul: “Peran Ganda Istri Yang Bekerja Sebagai Buruh/Karyawan Perkebunan

Dalam Menunjang Perekonomian Keluarga”. Studi deskriptif penelitian ini mengambil

lokasi pada PT.Socfindo Indonesia, Kebun Mata Pao, Kabupaten Sergei.

Pada penelitian ini diaplikasikan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Dalam hal ini, pendekatan kualitatif tersebut dimaksudkan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan hal – hal yang berkenaan dengan masalah yang diteliti, yaitu: untuk melihat sejauh mana peran ganda istri yang melakukan dua (2) tanggung jawab sekaligus, yakni sebagai istri/ibu yang setiap harinya melaksanakan segala pekerjaan rumah tangganya (sektor domestik) setiap harinya di dalam keluarganya, dan disamping itu ikut turut bekerja dalam sektor publik, yakni dengan bekerja sebagai buruh/karyawan perkebunan sawit milik PT. Socfindo Indonesia, Kebun Mata Pao, Kabupaten Sergei yang melaksanakan ’kerja bawah’ selama enam hari berturut – turut setiap minggunya. Sementara itu dalam hal pengumpulan data di lapangan peneliti menggunakan teknik pengumpulan data melalui observasi langsung, wawancara mendalam (depth interview), studi kepustakaan (library research) dan dokumentasi. Wawancara mendalam ini dilakukan peneliti kepada informan kunci yang terdiri dari 5 (lima) orang yang merupakan istri/ibu yang bekerja menjadi buruh/karyawan yang melaksanakan ’kerja bawah’ di perkebunan sawit Socfindo Mata Pao, Kabupaten Sergei dan juga informan biasa yang terdiri dari lima (5) orang yang merupakan suami dari informan kunci, lima (5) orang yang merupakan anak – anak dari informan kunci, dan satu (1) orang yang merupakan Mandor Perkebunan Sawit di perusahaan perkebunan sawit Socfindo Mata Pao, Kabupaten Sergei tempat informan kunci bekerja. Data – data yang diperoleh melalui hasil wawancara selanjutnya akan diurutkan dan diklasifikasikan menurut jenisnya. Hasil wawancara tersebut akan dianalisis dengan tambahan data lainnya, yakni diperoleh melalui observasi, studi kepustakaan (library research), dan dokumentasi.

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis persembahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas kasih dan anugerah – NYA yang telah dilimpahkan – NYA sehingga penulis diberikan kesempatan untuk dapat menyelesaikan pendidikan di Departemen Sosiologi FISIP USU dan juga dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul “Peran Ganda Istri Yang Bekerja Sebagai Buruh/Karyawan Perkebunan Dalam Menunjang Perekonomian Keluarga (Studi Deskriptif Pada PT. Socfindo Indonesia, Kebun Mata Pao, Kabupaten Serdang Bedagai)”.

Dalam penyelesaian skripsi ini penulis dibantu oleh banyak pihak sehingga tiada kata terucap selain terima kasih yang sebesar – besarnya atas segala bantuan, bimbingan dan dukungannya kepada:

N Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

N Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Ketua Departemen Sosiologi FISIP USU.

N Ibu Hj. Dra. Rosmiani, MA selaku Sekretaris Departemen Sosiologi FISIP USU sekaligus dosen pembimbing dalam penulisan skripsi ini, yang telah memberikan masukan, ide – ide dan pemikirannya sehingga skripsi ini dapat selesai.

N Bapak Drs. Sismudjito, M.Si selaku Ketua Penguji dalam sidang akhir skripsi. N Ibu Dra. Hadriana Marhaeni Munthe, M.Si selaku Penguji II atau Dosen Ahli

(5)

N Segenap dosen (staf pengajar) FISIP USU, khususnya dosen Departemen Sosiologi.

N Staff dan Pegawai FISIP USU yang telah membantu proses administrasi selama ini.

N Bapak H. Hutagalung dan Ibu A. Situmeang yang merupakan kedua orang tua dari penulis, terima kasih yang sangat mendalam atas segala doa, bimbingan dan dukungannya baik moril maupun materill hingga sampai dengan saat ini sehingga skripsi ini dapat selesai.

N Kedua Kakakku dan Abangku Friska L. Hutagalung, S.S, MM, Agustina A. Hutagalung, S.T, Dedy Gunawan M. Hutagalung, S.E yang telah memberikan doa, dukungan dan atas motivasinya selama ini kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dan dapat memperoleh gelar sarjana seperti mereka juga. N Bapak H. Sitepu di Bagian Teknik Pada PT. Socfindo Kota Medan yang turut

membantu mempercepat proses pengurusan surat pengantar izin penelitian dari PT. Socfindo Kota Medan agar dapat melakukan penelitian di perkebunan sawit PT. Socfindo Indonesia, Kebun Mata Pao, Kabupaten Sergei.

N Bapak Jordan Gultom yang merupakan Kepala Tata Usaha (KTU) di PT. Socfindo Kebun Mata Pao, Kabupaten Sergei yang dengan senang hati mau membantu penulis memberikan data – data yang berkaitan dengan penelitian ini. N Ibu Dewi yang merupakan Mandor Divisi II Perkebunan Sawit PT. Socfindo

(6)

N Para informan baik itu buruh/karyawan wanita yang melaksanakan ‘kerja bawah’ di perkebunan sawit Socfindo Mata Pao, Kabupaten Sergei beserta suami dan anak – anaknya yang telah mau memberikan data dan informasi yang berkaitan dalam penelitian ini.

N Teman – Teman Stambuk 2003 (Asri, Sebastian, Krisma, Rimayana, Ferdinand, Eva Siboro, Nellina, Dicky, Helen, Grace, Nidya, Ilham, Ramadhan, Siddik, Kiky, Tri Endah, Ayu, Wildan, Zayuna, Rizky Zulaikha, Irmala Sari, Eva Ramadhani, Dewi, Ruhmini, Syafrina, Vortha, Hasrat, Lena, Bastian, Bagus, Herman, Ferry, Alex, Tjep – Tjep), Stambuk 2002 (Kak Natalia, Kak Silvia, Kak Masli, Kak Mona), Stambuk 2004 (Benny, Devi, Anita, Herna, Ika, Ira, Kiki, Rini, Diana), Stambuk 2005 ( Veronica, Lena, Muhadi, Bancin),

N Dan lain – lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan. Namun, besar harapan penulis agar hasil penelitian dalam skripsi ini dapat bisa menjadi bahan komparatif untuk penelitian sejenis di kemudian hari. Terima Kasih. Tuhan Memberkati.

Medan, Januari 2009

(7)
(8)

DAFTAR ISI

Lembar Persetujuan……….. ii

Lembar Pengesahan………... iii

Abstrak ……… iv

Kata Pengantar ……… v

Daftar Isi ………... viii

Daftar Tabel………... xi

Daftar Bagan……… xii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah………. 1

1.2. Perumusan Masalah……… 7

1.3. Tujuan Penelitian……….. ……. 7

1.4. Manfaat Penelitian………. 8

1.5. Defenisi Konsep………. 9

BAB II. KAJIAN PUSTAKA……….. 13

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian………... 34

3.2. Lokasi Penelitian……….... 35

3.3. Unit Analisis dan Informan ……….. 35

3.4. Teknik Pengumpulan Data………... 41

3.5. Interpretasi dan Analisis Data……… 43

3.6. Jadwal Kegiatan……….... 44

3.7. Keterbatasan Penelitian……….... 45

BAB IV. DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian... 47

(9)

4.1.2. Letak dan Keadaan Wilayah………. 49

A. Iklim, Topografi dan Jenis Tanah PT. Socfindo Kebun Mata Pao, Kabupaten Sergei………. 49

B. Letak Geografis PT. Socfindo Kebun Mata Pao, Kabupaten Sergei………... 50

C. Luas Areal Perkebunan PT. Socfindo Kebun Mata Pao, Kabupaten Sergei………... 50

4.1.3. Administrasi Dan Manajemen Perusahaan………. 50

A. Struktur Organisasi PT. Socfindo Kebun Mata Pao, Kabupaten Sergei……… 50

B. Jumlah Tenaga Kerja PT. Socfindo Kebun Mata Pao, Kabupaten Sergei……….... 52

4.1.4. Sarana dan Prasarana……… 54

4.2. Profil Informan Dan Temuan Data……….. 55

4.2.1. Informan Kunci Istri/Ibu Yang Bekerja Sebagai Buruh/Karyawan Pada PT. Socfindo Kebun Mata Pao, Kabupaten Sergei………... 55

4.2.2. Informan Biasa………. 70

1. Suami Informan Kunci………. 70

2. Anak Dari Informan Kunci………... 82

3. Mandor Perkebunan Divisi II PT. Socfindo Kebun Mata Pao, Kabupaten Sergei……… 87

4.3. Interpretasi Data Penelitian……….... 84

4.3.1. Peran Ganda Wanita Yang Telah Berumahtangga (Berkeluarga)… 84 4.3.2. Tanggapan Anggota Keluarga Mengenai Peran Ganda Istri/Ibu…. 91

a. Tanggapan Suami Mengenai Peran Ganda Istri Yang Bekerja di Sektor Domestik (Sebagai Istri & Ibu Rumah Tangga) dan di Sektor Publik (Bekerja Sebagai Buruh/Karyawan Perkebunan)………... 91

(10)

4.3.3. Cara Pengalokasian Penghasilan Istri/Ibu Yang Bekerja di Sektor Publik………. 99 BAB V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan……….. 103 5.2. Saran………. 105

(11)
(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Jadwal Kegiatan……… 44 Tabel 4.1. Cabang – Cabang PT.Socfindo di Sumatera Utara………... 48 Tabel 4.2. Jumlah Tenaga Kerja PT.Socfindo Kebun Mata Pao………... 53 Tabel 4.3. Alasan Informan Kunci Bekerja Menjadi Buruh / Karyawan Perkebunan

Sawit di PT.Socfindo Mata Pao, Kabupaten Sergei……….. 86

Tabel 4.4. Aktivitas – Aktivitas Yang Dilakukan Informan Kunci Sabagai Istri

Dan Ibu Rumah Tangga (Peran Domestik) Didalam Keluarganya ………. ……… 87

Tabel 4.5. Tanggapan Suami Mengenai Peran Ganda Istri (Informan Kunci) Yang Bekerja di Sektor Domestik (Sebagai Istri & Ibu Rumah Tangga) dan di Sektor Publik (Bekerja Sebagai Buruh / Karyawan Perkebunan Sawit di PT. Socfindo Mata Pao, Kabupaten Sergei)………. 92 Tabel 4.6. Tanggapan Anak Mengenai Peran Ganda Ibu (Informan Kunci) Yang

(13)

DAFTAR BAGAN

(14)

ABSTRAK

Ada berbagai alasan para istri (ibu) memutuskan untuk ikut terjun ke dalam sektor publik. Bagi keluarga golongan menengah ke bawah, alasan istri/ibu untuk ikut terjun bekerja ke dalam sektor publik dikarenakan penghasilan suaminya sebagai pencari nafkah utama di dalam keluarganya sangat tidak memadai dalam memenuhi tuntutan kebutuhan hidup keluarganya sehari – hari, misalnya: masalah pangan, perumahan, kesehatan keluarga, biaya sekolah untuk anak – anaknya, dan lain sebagainya. Namun tidak hanya itu saja, sang istri/ibu juga harus tetap menjalankan peran domestiknya sebagai istri dan ibu rumah tangga di dalam rumah tangganya (keluarganya) setiap harinya.

Dimana pada penelitian ini mengangkat topik tentang peran ganda istri tersebut dengan judul: “Peran Ganda Istri Yang Bekerja Sebagai Buruh/Karyawan Perkebunan Dalam Menunjang Perekonomian Keluarga”. Studi deskriptif penelitian ini mengambil lokasi pada PT.Socfindo Indonesia, Kebun Mata Pao, Kabupaten Sergei.

Pada penelitian ini diaplikasikan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Dalam hal ini, pendekatan kualitatif tersebut dimaksudkan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan hal – hal yang berkenaan dengan masalah yang diteliti, yaitu: untuk melihat sejauh mana peran ganda istri yang melakukan dua (2) tanggung jawab sekaligus, yakni sebagai istri/ibu yang setiap harinya melaksanakan segala pekerjaan rumah tangganya (sektor domestik) setiap harinya di dalam keluarganya, dan disamping itu ikut turut bekerja dalam sektor publik, yakni dengan bekerja sebagai buruh/karyawan perkebunan sawit milik PT. Socfindo Indonesia, Kebun Mata Pao, Kabupaten Sergei yang melaksanakan ’kerja bawah’ selama enam hari berturut – turut setiap minggunya. Sementara itu dalam hal pengumpulan data di lapangan peneliti menggunakan teknik pengumpulan data melalui observasi langsung, wawancara mendalam (depth interview), studi kepustakaan (library research) dan dokumentasi. Wawancara mendalam ini dilakukan peneliti kepada informan kunci yang terdiri dari 5 (lima) orang yang merupakan istri/ibu yang bekerja menjadi buruh/karyawan yang melaksanakan ’kerja bawah’ di perkebunan sawit Socfindo Mata Pao, Kabupaten Sergei dan juga informan biasa yang terdiri dari lima (5) orang yang merupakan suami dari informan kunci, lima (5) orang yang merupakan anak – anak dari informan kunci, dan satu (1) orang yang merupakan Mandor Perkebunan Sawit di perusahaan perkebunan sawit Socfindo Mata Pao, Kabupaten Sergei tempat informan kunci bekerja. Data – data yang diperoleh melalui hasil wawancara selanjutnya akan diurutkan dan diklasifikasikan menurut jenisnya. Hasil wawancara tersebut akan dianalisis dengan tambahan data lainnya, yakni diperoleh melalui observasi, studi kepustakaan (library research), dan dokumentasi.

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.2. Latar Belakang Masalah

Keluarga adalah kelompok berdasarkan pertalian sanak – saudara yang memiliki tanggung jawab utama atas sosialisasi anak – anaknya dan pemenuhan kebutuhan pokok tertentu lainnya (Cohen,1983: 172). Dimana, secara ideal keluarga terdiri dari suami, istri, dan beberapa orang anak. Keluarga merupakan kelompok orang – orang yang dipersatukan oleh ikatan perkawinan, hubungan darah, yang berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain melalui perannya masing – masing sebagai anggota keluarga (Gunarsa, 1993: 210). Dimana, di dalam suatu rumah tangga (keluarga), tugas ayah (suami) sebagai pencari nafkah utama dalam memenuhi perekonomian keluarganya. Sedangkan, tugas ibu (istri) dalam rumah tangga (keluarga) melaksanakan pekerjaaannya di sektor domestik, baik itu dalam mengurus suami, melahirkan dan merawat anak – anak serta dalam pengelolaan rumah tangga baik itu dalam merawat kebersihan dan keindahan rumah tangga. Hampir sebagian besar masyarakat kita menganggap bahwa pekerjaan dalam sektor domestik merupakan ‘kodrat wanita’ ( Fakih, 1996: 11).

Namun, dewasa ini cukup banyak istri (ibu) ikut terjun ke dalam sektor publik (dunia kerja). Ada berbagai alasan istri ikut terjun di dalam sektor publik, diantaranya sebagai berikut:

a. Suami memang berhalangan seacara total karena sakit yang berkepanjangan atau meninggal dunia;

(16)

c. Memang telah ditempa sejak masih remaja sebagai wanita yang bekerja di luar rumah (sektor publik), baik sebagai pekerja dalam perusahaan sendiri atau milik orang lain (Yacub, 1996: 26-27).

Berkaitan dengan ketiga hal tersebut di atas, secara tidak langsung wanita mempunyai peran ganda sekaligus beban ganda (double bourden) di dalam keluarganya (rumah tangganya), yaitu di dalam sektor domestik (ibu rumah tangga) dan sektor publik (dunia kerja). Namun hal ini, bagi keluarga golongan menengah keatas (golongan kaya), beban kerja itu kemudian dilimpahkan kepada pembantu rumah tangga (domestik workers) (Fakih, 1996: 21-22).

Pada keluarga golongan menengah ke bawah, akibat situasi kemiskinan

(deprivation trap) yang melanda keluarganya/rumah tangganya menuntut istri terjun ke dalam sektor publik (diluar rumah) untuk membantu keuangan suami yang tidak memadai dalam memenuhi tuntutan kebutuhan hidup keluarganya sehari – hari

sehingga dapat menunjang perekonomian keluarganya ke arah yang lebih baik dari sebelumnya. Menurut Bambang Sudibyo dalam (Rais, 1995: 9), situasi kemiskinan

(deprivation trap) merupakan suatu kondisi deprivesi terhadap sumber – sumber

pemenuhan kebutuhan dasar, seperti pangan, perumahan, kesehatan, dan pendidikan dasar. Dengan kata lain, situasi kemiskinan (deprivation trap) adalah sudah tidak adanya sumber-sumber ekonomi yang cukup untuk menjamin/memenuhi

kebutuhan hidup sehari – hari di dalam keluarga tersebut, baik itu pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan dasar.

(17)

rumah (sektor publik), yakni sebagai buruh perkebunan di PT.Socfindo, Kebun Mata Pao, Kabupaten Sergei dalam rangka untuk membantu perekonomian suami/keluarga yang dirasakan sangat tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari dalam keluarganya, baik itu pangan, pendidikan anak – anak mereka, pemeliharan kesehatan keluarganya, dan sebagainya.

Wawancara awal yang dilakukan peneliti kepada para wanita yang telah berumah tangga yang bekerja sebagai buruh perkebunan di PT. Socfindo Mata Pao, Kabupaten Sergei. Dimana mereka rata – rata memutuskan untuk ikut terjun bekerja di sektor publik, yakni dengan menjadi buruh/karyawan perkebunan yang selama enam hari berturut – turut tiap minggunya melaksanakan ’kerja bawah’, seperti: BTP (Batang Penggangu) yang tugasnya membongkar tumbuhan batang penggangu yang ada di pohon sawit, penyemprotan pestisida untuk mematikan hama rumput di pohon sawit, dan juga pemupukan dikarenakan penghasilan suami sebagai pencari nafkah utama dalam rumah tangganya (keluarganya) yang pada umumnya bekerja sebagai karyawan pabrik, karyawan lapangan, satpam perusahaan, buruh perkebunan, centeng malam, dan lain sebagainya dirasakan sangat tidak mencukupi untuk dapat memenuhi perekonomian keluarganya yang dari hari ke hari semakin meningkat tajam, baik itu untuk biaya makan untuk istri dan anak – anaknya setiap bulannya, biaya sekolah anak – anaknya, dan lain sebagainya. Namun tidak hanya itu saja, ia juga menjalankan tugasnya setiap harinya di dalam rumahnya sebagai ’ratu rumah tangga’ yang berperan sebagai istri dan ibu rumah tangga (keluarganya) yang harus mengurus segala urusan pekerjaan rumah tangganya, baik itu melayani suami, mengasuh anak – anaknya, memasak makanan yang sehat dan

(18)
(19)

yang lebih banyak membutuhkan fisik, tenaga, dan otot yang kuat dibandingkan menggunakan pikiran untuk melaksanakan pekerjaannya di perkebunan sawit tersebut. Dari hasilnya bekerja sebagai buruh/ karyawan di perkebunan sawit tersebut, dirinya menerima upah/gaji setiap bulannya dari perusahaan perkebunan tempatnya bekerja.

Dimana, upah/ gaji yang diterimanya dialokasikan untuk mencukupi kebutuhan sehari – hari di dalam rumah tangganya (keluarganya) agar dapat menunjang perekonomian rumah tangganya (keluarganya).

Maka, mengacu pada gambaran realita di atas, peneliti melihat adanya peran ganda yang dilakukan sang istri, di satu sisi ia harus menjalankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga (sektor domestik), namun di sisi lain ia juga harus menjalankan tugasnya di sektor publik, yakni sebagai buruh/karyawan perkebunan guna menunjang perekonomian rumah tangganya tersebut.

Selanjutnya kondisi tersebut juga diperkuat oleh hasil pengamatan secara langsung oleh Kennorton Hutasoit yang dituturkannya melalui tulisan yang mana dipublikasikannya melalui Harian Media Indonesia yang terdapat juga pada sebuah situs internet yang berkenaan dengan buruh dimana sebagai gambaran realita yang ditemuinya adalah adanya seorang buruh perempuan bernama Karti (25 tahun) yang setiap harinya bekerja di kebun pembibitan sawit pada PT.Socfindo tersebut untuk mencari nafkah guna menunjang perekonomian rumah tangganya.

(20)

pekerjaannya. Dalam hal ini, pendapatan suaminya, Rosidi (28 tahun) setiap bulan hanya mampu untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga mereka selama seminggu dimana hanya berpendapatan maksimal Rp 250.000 tiap bulan sehingga dapat dikatakan keluarga pasangan Rosidi dan Karti yang dikaruniai dua anak ini tergolong rumah tangga miskin.

Pendapatan Karti yang hanya tak lebih dari Rp 4.500 tiap hari dan paling banyak Rp 90.000 tiap bulannya ternyata tak sebanding dengan pengorbanannya yang harus meninggalkan anaknya di babuan (tempat penitipan anak di kebun). Dimana pada kenyataannya, pengeluarannya bisa lebih besar ketika anaknya sakit demam karena kurang dirawat oleh baby sitter kebun tersebut.

Dalam hal ini, pendapatan rumah tangga mereka tiap bulan ternyata masih lebih kecil daripada Rp 500.000. Dimana mereka terpaksa harus menggunakan satu-satunya kayu bakar untuk memasak dan rumah kebun yang ditempati mereka hanya berdinding papan serta atapnya sudah banyak bocor. Penerangannya dengan lampu teplok. Sumber air minumnya dari sungai. Buang hajat (buang air besar) mereka-pun terpaksa sembarangan di areal kebun, karena tak ada fasilitas jamban. Sementara, kalau beli susu atau daging, pendapatan mereka sebulan hanya cukup untuk seminggu. Dimana agar tak mati kelaparan, mereka-pun makan nasi campur kerupuk sambal dengan hidup yang sangat sederhana seperti yang dipaparkan Karti kepada Harian Media Indonesia di areal Kebun Socfindo tersebut tahun lalu.

(21)

Oleh karena itu, si peneliti bermaksud untuk meneliti bagaimana peran ganda istri yang bekerja sebagai buruh perkebunan di PT.Socfindo, Kebun Mata Pao, Kabupaten Serdang Bedagai tersebut dalam menunjang perekonomian di dalam rumah tangganya (keluarganya).

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka adapun yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini antara lain:

1. Bagaimana dilemma peran ganda istri yakni sebagai ibu rumah tangga (peran domestik) dan sebagai buruh/perkebunan (peran publik)?

2. Bagaimana cara pengalokasian penghasilan/pendapatan istri yang bekerja sebagai buruh/karyawan perkebunan setiap bulannya agar dapat menunjang perekonomian rumah tangganya (keluarganya)?

1.3. Tujuan Penelitian

Mengacu pada Latar Belakang Masalah dan Perumusan Masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka adapun yang menjadi tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:

(22)

2. Untuk mengetahui tentang sejauh mana peran ganda istri yang melaksanakan dua pekerjaan sekaligus, yakni sebagai ibu rumah tangga (sektor domestik) dan buruh perkebunan (sektor publik) di lingkungan keluarganya.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan referensi bagi perkembangan ilmu sosiologi, khususnya sosiologi gender dan keluarga dan dapat diharapkan menjadi sebuah kajian ilmiah yang penting bagi masyarakat, akademisi, dan instansi terkait (baik pemerintah maupun swasta). 1.4.2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran dan masukan serta pertimbangan bagi pihak – pihak maupun institusi – institusi yang terkait untuk melihat realita kehidupan suatu keluarga (rumah tangga), dimana dari pihak istri melaksanakan dua (2) peran sekaligus (peran ganda), yakni sebagai istri dan ibu rumah tangga dalam rumah tangganya/keluarganya (peran domestik) dan bekerja di luar rumah sebagai buruh/karyawan perkebunan (peran publik) agar dapat menunjang perekonomian rumah tangganya/keluarganya dan sebagai bahan komparatif dalam penelitian yang sejenis di kemudian hari.

1.4.3. Manfaat Bagi Penulis

(23)

(sebagai istri dan ibu rumah tangga) dan peran publik (bekerja sebagai buruh/karyawan perkebunan) guna membantu keuangan suaminya yang tidak memadai untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup keluarganya sehari – hari yang semakin lama semakin meningkat pula sehingga dapat menunjang perekonomian rumah tangganya (keluarganya). Dan penelitian ini diharapkan dapat mempertajam kemampuan si peneliti dalam mengungkap gejala – sosial dan dalam menghadapi berbagai persoalan yang ada dan timbul di tengah – tengah masyarakat.

1.5. Defenisi Konsep

Agar dapat lebih memahami kajian dalam penelitian ini secara lebih terarah, maka perlu diadakan pembatasan konsep dengan cara mendefenisikan konsep-konsep inti berkenaan dengan variabel-variabel yang ada dalam penelitian ini secara operasional, sebagaimana yang dijabarkan secara singkat, terarah dan jelas berikut ini:

1.5.1. Peran Ganda

(24)

melaksanakan ’kerja bawah’ , seperti: melakukan pemupukan, penyemprotan pestisida (pembasmi hama), mencari anak anak kayu, mencari BTP (Batang Tumbuhan Penggangu) pada pohon – pohon sawit yang terdapat di dalam perkebunan itu yang benar – benar sangat memerlukan fisik, otot dan tenaga yang kuat untuk dapat melakukan pekerjaannya di perkebunan sawit itu. Konsekuensi dari peran ganda yang dilakukannya itu menghasilkan beban kerja yang yang berlebih yang (double bourden) bagi dirinya sendiri dan merupakan tanggung jawab sang istri yang melakukan peran ganda tersebut yang tidak bisa dihindari atau dielakkan. Menurut Chrysanti Hasibuan – Sedyono (1991) dalam (Gardiner, dkk., 1996 :220), peran ganda perempuan merupakan masalah yang sering dihadapi perempuan yang bekerja di sektor publik (domain public), khususnya bagi perempuan yang telah berumah tangga (berkeluarga) dan bahkan setelah dirinya mempunyai anak – anak yang juga melaksanakan peranan domestiknya sebagai istri dan ibu bagi anak – anaknya di dalam rumah tangganya (keluarganya).

1.5.2. Istri Yang Bekerja

(25)

untuk menghasilkan atau mendapatkan dalam bentuk uang, benda, jasa maupun ide. Berkenaan dengan penelitian ini, yang dimaksud istri yang bekerja dalam penelitian ini adalah wanita yang telah berumahtangga dan mempunyai anak yang tidak hanya menjalankan peran gendernya sebagai ibu rumah tangga(sektor domestik), tetapi juga bekerja di luar rumah (sektor publik), yakni sebagai buruh perkebunan di PT. Socfindo Indonesia, Kebun Mata Pao, Kabupaten Sergei, dari hasil ia bekerja ia memperoleh penghasilan/pendapatan berupa uang yang diterimanya setiap bulannya dari perusahaan tempat ia bekerja yang digunakannya guna membantu keuangan suami yang tidak memadai untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup keluarganya sehari – hari sehingga dapat menunjang perekonomian keluarganya.

1.5.3. Buruh

Menurut Ma’roof Pane dalam (Batam Post, 5 Oktober 2004), bahwasanya defenisi buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan cara menerima upah, dimana upah yang diterimanya dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepadanya yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang – undangan atas suatu pekerjaan yang telah atau akan dilakukannnya.

(26)

1.5.4. Perekonomian Keluarga

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 287), defenisi perekonomian adalah berkenaan dengan ”tindakan atau cara berekonomi”. Sementara defenisi ekonomi adalah segala aturan ataupun urusan keuangan rumah tangga (keluarga, organisasi, negara dan sebagainya). Sedangkan, keluarga dapat didefenisikan sebagai suatu kelompok yang terdiri dari orang – orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah, atau adopsi. Keluarga merupakan susunan rumah tangga sendiri, berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami – istri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan perempuan, dan merupakan pemelihara kebudayaan bersama (Khairuddin, 1997: 7).

(27)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Burgess dan Locke dalam (Khairuddin, 1997: 7) bahwasanya salah satu karakteristik yang terdapat pada semua keluarga dan juga yang dapat membedakan keluarga dari kelompok-kelompok sosial lainnya, yaitu keluarga merupakan kesatuan dari orang-orang yang berinteraksi dan berkomunikasi yang menciptakan peranan – peranan sosial bagi suami dan isteri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan saudara perempuan. Dimana peranan-peranan tersebut dibatasi oleh masyarakat, tetapi masing-masing keluarga diperkuat oleh kekuatan melalui sentimen-sentimen, yang sebahagian merupakan tradisi dan sebahagian lagi emosional, yang menghasilkan pengalaman.

Di sisi lain, seperti yang dikemukakan oleh Mac Iver dan Page dalam (Khairuddin, 1997: 9) bahwasanya keluarga memiliki ciri-ciri khusus, dimana

salah satu diantaranya adalah: adanya tanggung jawab dari para anggota keluarga. Dalam hal ini keluarga memiliki tuntutan – tuntutan yang lebih besar dan kontinyu daripada yang biasa dilakukan oleh asosiasi – asosiasi lainnya. Seperti halnya, pada masa krisis manusia mungkin bekerja, berperang dan mati demi negara mereka, demikian juga halnya dengan para anggota keluarga dimana mereka harus membanting tulang sepanjang hidupnya demi keluarga mereka. Sebagaimana pada umumnya bahwasanya keluarga mengarahkan laki – laki dan juga wanita untuk memperlihatkan kepada yang lain bahwa diri mereka sendiri mempunyai suatu tugas – tugas yang paling sukar sekali dan suatu

(28)

atau dengan kata lain bahwasanya kerja keras ini dilaksanakan sesuai dengan kondisi – kondisi pemenuhan kebutuhan – kebutuhan yang mampu dilakukan oleh

keluarga tersebut. Kehidupan keluarga juga mengakar secara mendalam pada dorongan – dorongan pokok seperti yang diartikan dalam hal ini. Dimana dorongan –

dorongan ini mengarahkan laki – laki kedalam tanggung jawab yang semakin besar terhadap keluarga dan menopang mereka dalam memenuhi tugas – tugas yang tidak dapat mereka perhitungkan.

Namun, dewasa ini banyak istri yang ikut terjun ke dalam sektor publik (bekerja di luar rumah) untuk membantu keuangan suami yang tidak memadai untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup sehari – hari di dalam keluarganya/rumah tangganya, baik itu kebutuhan pangan, papan, pendidikan formal bagi anak – anaknya, pemeliharan kesehatan keluarganya, dan lain sebagainya.

(29)

Dalam penelitiannya, batas garis kemiskinan itu ditentukan antara lain dari kebutuhan kalori atau nilai kebutuhan pokok minimum untuk hidup.

Menurut Sudibyo dalam (Rais, 1995: 11) substansi kemiskinan adalah kondisi deprivasi terhadap sumber – sumber pemenuhan kebutuhan dasar yang berupa sandang, pangan, papan dan pendidikan dasar. Dengan kata lain, masalah kemiskinan adalah masalah pemenuhan kebutuhan dasar.

Berkenaan dengan masalah kemiskinan, Djamaludin Ancok dalam (Rais, 1995: 164 – 167) mengemukakan ada tiga (3) pendekatan ilmiah yang cukup populer dalam memahami masalah kemiskinan, antara lain sebagai berikut:

1. Pendekatan Kultural

Oscar Lewis (1966) dalam (Rais, 1995: 164) dengan konsepnya ’cultural poverty’ berpendapat bahwa kemiskinan adalah suatu adalah suatu budaya yang terjadi karena penderitaan ekonomi (economic deprivation) yang berlangsung lama. Berdasarkan penelitian pada beberapa kebudayaan kelompok etnik, Lewis menemukan bahwa kemiskinan adalah salah satu sub – kultur masyarakat yang mempunyai kesamaan ciri antar etnik satu dengan etnik yang lain.

Menurut Lewis (1966) dalam (Rais, 1995: 165), budaya kemiskinan adalah suatu cara yang dipakai oleh orang miskin untuk beradaptasi dan bereaksi terhadap posisi mereka yang marginal dalam masyarakat yang memiliki kelas – kelas dan bersifat individualistik dan kapitalistik. Budaya kemiskinan adalah ’desain kehidupan’ bagi orang miskin yang berisikan pemecahan bagi problema – problema hidup mereka, yang

(30)

efektif dan integratif dalam institusi – institusi penting yang ada dalam masyarakat, karena sebagian besar yang buta huruf dan berpendidikan rendah serta kekurangan uang. Kehidupan mereka yang serba kekurangan, kondisi tempat tinggal yang sangat menyedihkan, kekurangan makanan dan pakaian telah mempengaruhi aspek psikologis mereka. Orang – orang yang dibesarkan dalam budaya kemiskinan mempunyai ciri – ciri kepribadian, antara lain : merasa diri mereka tidak berguna, penuh dengan keputusasaan, merasa inferior, dan sangat dependen pada orang lain. Mereka juga tidak memiliki kepribadian yang kuat (ego – strength), kurang bisa mengontrol diri, mudah impulsif, dan sangat berorientasi pada masa kini tanpa memikirkan masa depan.

Untuk menghilangkan budaya kemiskinan tersebut, Lewis (1966) dalam (Rais, 1995: 165 – 166) menyarankan agar orang – orang miskin bersatu dalam suatu organisasi untuk dapat menghilangkan budaya kemiskinan tersebut. Lewis dalam bukunya ’The Study of Slum Culture – Backgrounds for La Vida’ menulis seperti berikut ini:

”....Setiap gerakan -- baik itu gerakan bersifat religius, pasifis, ataupun revolusioner yang mengorganisasikan dan memberikan harapan bagi si miskin dan secara efektif mempromosikan solidaritas dan perasaan identitas yang sama

dengan kelompok masyarakat yang lebih luas, akan dapat menghancurkan sifat – sifat utama yang merupakan ciri orang – orang dari budaya kemiskinan.”

2. Pendekatan Situasional

Menurut Charles A. Valentine (1968) dalam (Rais, 1995: 166) dalam bukunya yang berjudul ’Culture and Poverty: Critique and Counter Proposals’ menulis seperti berikut ini:

(31)

determined not so much by behaviors and values of the poor as by the structure of the total social system”.

Dalam tulisannya tersebut, Valentine (1968) dalam (Rais, 1995: 166) berpendapat bahwa untuk merubah keadaan orang – orang miskin ke arah yang lebih baik harus diadakan perubahan yang simultan dalam tiga (3) hal, yaitu: Pertama, penambahan ’resources’ (kesempatan kerja, pendidikan, dll) bagi orang miskin. Kedua, perubahan struktur sosial masyarakat, dan ketiga, perubahan – perubahan di dalam sub – kultur masyarakat orang miskin tersebut.

3. Pendekatan Interaksional

Menurut Herbert J. Gans (1968) dalam (Rais, 1995: 167) bahwasanya perilaku dan ciri – ciri yang ditampilkan para kaum miskin adalah merupakan hasil interaksi antara faktor kebudayaan yang sudah tertanam di dalam diri orang miskin dan faktor situasi yang menekan. Ia berpendapat bahwa orang – orang miskin bersifat ’heterogen’. Sebagian orang miskin menjadi miskin karena warisan generasi sebelumnya, sedangkan sebagian orang miskin lainnya hanya miskin secara periodik. Sebagian orang miskin bertambah miskin (downwardly mobile), sedangkan sebagiannya lagi bertambah baik kehidupannya (upwardly mobile). Sebagian dari mereka berorientasi ke atas dan melihat adanya kesempatan untuk maju, sedangkan sebagian lainnya tidak berorientasi demikian dan tidak menggunakan kesempatan yang tersedia untuk meningkatkan kualitas hidup.

(32)

kesempatan yang tersedia walaupun kesempatan yang tersedia tersebut mungkin bertentangan dengan nilai – nilai kebudayaan yang dianut saat itu. Untuk menyediakan kesempatan tersebut diperlukan suatu pemahaman tentang perubahan yang diperlukan dalam sistem ekonomi, struktur kekuasaan, dan norma – norma serta aspirasi kelompok orang kaya yang ikut memungkinkan timbulnya kelompok orang miskin.

Robert Chambers (1983) dalam (Rais, 1995: 19), seorang ahli pembangunan pedesaan yang berkebangsaan Inggris setelah melakukan penelitian di kalangan orang miskin di beberapa negara Asia Selatan dan Afrika menyimpulkan bahwa inti dari masalah kemiskinan terletak pada apa yang disebut ’deprivation trap’ (jebakan kekurangan). Ia mengatakan bahwa ’deprivation trap’ itu terdiri dari lima (5) ketidakberuntungan yang melilit kehidupan keluarga miskin. Kelima ketidakberuntungan itu adalah:

a. Kemiskinan itu sendiri, b. Kelemahan fisik,

c. Keterasingan, d. Kerentanan, dan e. Ketidakberdayaan

(33)

alam atau penyakit yang tiba – tiba menimpa keluarga itu sehingga sering menimbulkan ’poverty rackets’ (roda penggerak kemiskinan) yang menyebabkan keluarga miskin harus

menjual harta benda yang berharga sehingga keluarga itu menjadi semakin dalam memasuki lembah kemiskinan. ’Ketidakberdayaan’ keluarga miskin menurut Chambers (1983) dalam (Rais, 1995: 20) tercermin dalam kasus dimana elite desa dengan seenaknya memfungsikan diri sebagai jaring yang menjaring bantuan yang sebenarnya diperuntukkan untuk orang miskin Ketidakberdayaan keluarga miskin juga dimanisfestasikan dalam hal seringnya keluarga miskin ditipu oleh orang yang mempunyai kekuasaan baik dalam bidang politik dan ekonomi, dan lemahnya keluarga to bargain. Dan juga dapat menjadikan keluarga miskin secara cepat menjadi lebih

miskin.

Menurut pendapat Dawam Rahardja dalam (Rais, 1995: 146 – 147) mengatakan ada berbagai macam faktor yang menyebabkan kondisi seorang menjadi miskin, antara lain sebagai berikut:

Pertama, kesempatan kerja. Seseorang itu miskin karena menganggur, sehingga tidak

memperoleh penghasilan atau kalau bekerja tidak penuh, baik dalam ukuran hari, miggu, bulan, atau tahun. Hal yang kedua itu sering disebut gejala setengah menganggur (disguised unemployment). Apabila orang yang bersangkutan memperoleh pekerjaan dengan upah atau gaji yang memadai, maka orang tersebut akan terbebas dari kemiskinan.

Kedua, upah gaji di bawah standar minimum. Seseorang bisa memiliki pekerjaan

(34)

bisa diatasi dengan meningkatkan tingkat upah, baik atas keputusan perusahaan atau atas ketetapan pemerintah. Di sektor informal, pemerintah tidak punya jangkauan pengaruh. Bahkan organisasi buruh juga tidak bisa menjangkau ke sektor industri informal tersebut. Ketiga, produktivitas kerja yang rendah. Lebih dari 60% insiden kemiskinan terdapat di

sektor pertanian. Pada umumnya kemiskinan di sektor ini disebabkan karena produktivitas masih rendah. Pengentasan kemiskinan dapat dengan meningkatnya produktivitas.

Keempat, ketiadaan aset. Di bidang pertanian, kemisikinan terjadi karena petani tidak

memiliki lahan atau kesempatan untuk mengolah lahan. Disini ada perbedaan antara pemilikan dan penguasaan lahan. Petani yang tidak memiliki lahan atau hanya memiliki lahan sempit belum tentu miskin, jika ia mempunyai tanah garapan. Hanya saja, dengan menyewa atau menyakap, pendapatan yang diterima tentu lebih kecil dibandingkan dengan pemilik lahan.

Kelima, diskriminasi. Kemiskinan bisa juga terjadi karena diskriminasi seks (laki – laki dan perempuan). Dimana, hal ini biasanya terjadi pada kaum

perempuan. Banyaknya sterotipe (pelabelan negatif) baik itu soal jenis pekerjaan, upah, jam kerja, dan sebagainya menyebabkan kaum perempuan berada pada kondisi kemiskinan. Dampak terburuk dengan adanya diskriminasi seks ataupun ketidaksetaraan gender adalah merosotnya kehidupan dan kualitas kehidupan manusia.

(35)

World Bank, 2001 : 73). Namun, pada kenyataannya dapat kita lihat bahwa peranan perempuan, khususnya perempuan yang telah berumahtangga yang bekerja di luar rumah untuk menambah penghasilan keluarga dapat bisa mengentaskan keluarga (rumah tangga) dari kondisi kemiskinan (Dawam Rahardja) dalam (Rais, 1995: 152). Berdasarkan studi Sayogyo (1985) dalam (Suyanto & Hendrarso, 1996: 79) yang mana menganalisis kedudukan perempuan dalam alokasi kekuasaan dan wewenang dalam rumah tangga (keluarga) dan masyarakat luas menemukan beberapa fakta yang seharusnya mempunyai implikasi terhadap kebijaksanaan, yaitu bahwa perempuan yang secara normatif sering dianggap hanya berperan pada kegiatan yang berkaitan dengan pemeliharaan sumber daya manusia dan pekerjaan urusan rumah tangga, seperti: mengasuh anak, memasak,

mencuci pakaian, dan alat – alat rumah tangga, menyetrika, membersihkan, dan lain – lain (peran domestik/reproduktif) ternyata mempunyai peranan besar sebagai

pencari nafkah bagi keluarga (peran publik/produktif); bahwa perempuan secara normatif sering dianggap mempunyai peranan mutlak dalam rumah tangga tidak sepenuhnya berperan mutlak. Dari data upah diketahui bahwa penghasilan perempuan per bulan itu rata – rata 56,0% saja dari penghasilan laki – laki. Namun, jika itu merupakan tambahan bagi penghasilan keluarga (rumah tangga), maka penghasilan perempuan (istri) ikut mengangkat keluarga dari kemiskinan (Dawam Rahardja) dalam (Rais, 1995: 147).

(36)

terbukti memberikan sumbangan yang besar bagi kelangsungan ekonomi dan kesejateraan rumah tangga serta masyarakat.

Menurut Standing (1978) dalam (Suyanto & Hendrarso, 1996: 48) berpendapat akibat perkembangan di bidang ekonomi dan teknologi pelan – pelan partisipasi tenaga kerja wanita tanpa terkecuali wanita yang telah berumahtangga tampak mulai meningkat, wanita dapat dijadikan sumber daya ekonomi yang tidak kalah penting dibandingkan dengan pria, dan juga dapat memberikan sumbangan yang besar bagi kelangsungan ekonomi rumah tangga (keluarga).

Namun, tidak bisa dipungkiri muncul masalah – masalah yang dihadapi wanita yang bekerja di luar rumah (sektor publik), khususnya bagi wanita yang telah berumahtangga dan mempunyai anak. Masalah – masalah tersebut dapat terjadi diakibatkan oleh adanya perbedaan ’peran gender’ antara pria (laki – laki) dan perempuan (wanita) yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan norma sosial dan nilai sosial – budaya masyarakat yang bersangkutan.

’Peran gender’ adalah peran sosial yang tidak ditentukan oleh peran kodrati dan

(37)

2002 dan Agung Aryani, 2002) dalam (Sudarta, 2007: 5). ’Peran gender’ juga dapat berubah dari masa ke masa dikarenakan pengaruh kemajuan di bidang pendidikan, teknologi, ekonomi, dan lain – lain (dinamis). Hal itu berarti, ’peran gender’ dapat ditukarkan antara pria dan wanita (Agung Aryani, 2002 dan Tim Pusat Studi Wanita Universitas Udayana, 2003) dalam (Sudarta, 2007: 5). Menurut Heyser (1991) dalam (Suyanto & Hendrarso, 1996: 80), ia mendefinisikan ’gender’ is the socially constructed roles ascribed to men and women, yang artinya adalah ’gender’ merupakan konstruksi sosial dalam hubungan pria dan wanita yang dibentuk oleh masyarakat melalui proses internalisasi dan sosialisasi dari suatu generasi ke generasi berikutnya.

Contoh – contoh ’peran gender’ berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain yang disebabkan oleh perbedaan norma sosial dan nilai sosial budaya (Kantor Menteri Negara Peranan Wanita, 1998 dan Tim Pusat Studi Wanita Universitas Udayana, 2003) dalam (Sudarta, 2007: 6), antara lain sebagai berikut:

 Masyarakat Bali menganut sistem kekerabatan patrilineal, yang berarti hubungan

keluarga dengan garis pria (ayah) lebih penting atau diutamakan daripada hubungan keluarga dengan garis wanita (ibu).

 Masyarakat Sumatera Barat menganut sistem kekerabatan matrilineal, yang

berarti hubungan keluarga dengan garis wanita (ibu) lebih penting daripada hubungan keluarga dengan garis pria (ayah).

 Masyarakat Jawa menganut sistem kekerabatan parental/bilateral, yang berarti

(38)

Contoh – contoh ’peran gender’ berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan zaman (Kantor Menteri Negara Peranan Wanita, 1998 dan Tim Pusat Studi Wanita Universitas Udayana, 2003) dalam (Sudarta, 2007: 6), antara lain sebagai berikut:

 Pada masa lalu, menyetir mobil hanya dianggap pantas dilakukan oleh pria, tetapi

sekarang wanita menyetir mobil sudah dianggap hal yang biasa.

Contoh – contoh ’peran gender’ yang dapat ditukarkan antara pria dan wanita, (Kantor Menteri Negara Peranan Wanita, 1998 dan Tim Pusat Studi Wanita Universitas Udayana, 2003) dalam (Sudarta, : 6), antara lain sebagai berikut:

 Mengasuh anak, mencuci pakaian, dan lain – lain yang biasanya dilakukan oleh

wanita (ibu) dapat digantikan oleh pria (ayah).

 Mencangkul, menyembelih ayam, dan lain – lain yang biasa dilakukan oleh pria

(ayah) dapat digantikan oleh wanita (ibu).

Menurut Bemmelen (2002) dalam (Sudarta, 2007: 6) ada beberapa ’ciri gender’ yang dilekatkan masyarakat pada pria dan wanita, antara lain sebagai berikut:

 Perempuan memiliki ciri – ciri, yakni: lemah, halus atau lembut, dan emosional.  Laki – laki (pria) memiliki ciri – ciri, yakni: kuat, kasar, dan rasional.

Namun dalam kenyataannya, ada wanita yang kuat, kasar, dan rasional. Begitu juga sebaliknya ada juga pria yang lemah, lembut, dan emosional (Bemmelen, 2002) dalam (Sudarta, 2007: 7).

(39)

 Perempuan

1. Ibu rumah tangga 2. Bukan Pewaris

3. Urusan rumah tangga (sektor domestik)  Pria

1. Kepala keluarga/rumah tangga 2. Pewaris

3. Pencari nafkah (sektor publik)

Namun dalam kenyataannya, banyak juga ditemukan perempuan ikut terjun ke dalam sektor publik untuk mencari nafkah bagi keluarganya bersama – sama dengan laki – laki, seperti: buruh pabrik, pegawai dalam suatu kantor, dan lain sebagainya (Kantor Menteri Negara Peranan Wanita, 1998 dan Tim Pusat Studi Wanita Universitas Udayana, 2003) dalam (Sudarta, 2007: 7).

Ada berbagai masalah – masalah yang dihadapi oleh perempuan (wanita), khususnya bagi wanita yang telah berumahtangga dan mempunyai anak ketika ia memutuskan ikut terjun bekerja di luar rumah (sektor publik), antara lain sebagai berikut: 1. Pandangan Masyarakat

(40)

(pelabelan negatif) yang dikenakan/diberikan kepada perempuan yang menganggap bahwa perempuan adalah makhluk yang emosional, pasif, lemah, dependen, dekoratif, tidak asertif, dan tidak kompeten, terkecuali untuk tugas rumah tangga. Sedangkan suami harus menanggung keluarga sehingga status mereka (suami) lebih tinggi dan mempunyai hak untuk mengendalikan perempuan (Chrysanti Hasibuan - Sedyono, 1991) dalam (Gardiner, dkk., 1996:218).

Stereotype yang dianggap kodrat telah melahirkan ketidakadilan gender bagi perempuan. Akibatnya, lahir pembagian kerja secara seksual. Laki-laki mendapat porsi yang lebih menguntungkan daripada perempuan (Arief Budiman,1981) dalam (Irvanus Edwin, 2002). Pelabelan negatif (stereotipe) ini dapat dilihat secara nyata dalam lingkungan masyarakat Indonesia, misalnya: di lingkungan masyarakat Jawa, dimana perempuan disebut sebagai ’konco wingking’ (teman di belakang), bahkan ada pameo ’swargo nunut neroko katut’ (ke surga atau ke neraka, istri hanya mengikuti suami).

Hal – hal tersebut seperti yang telah dijelaskan di atas tentu sangat bertolak – belakang dengan sifat yang dinilai tinggi dalam berkarier (bekerja di luar rumah), seperti: agresif, ambisius, produktif, dan sebagainya. Dari sinilah berawal memunculkan isu bahwa perempuan bekerja di luar rumah hanyalah sekedar menjalankan pekerjaan (do a job) dan bukan berkarier (make a career) tidak seperti laki – laki yang sejak masih anak – anak telah biasa menerima pertanyaan: ”Kalau besar nanti, kau mau jadi apa?” (Chrysanti Hasibuan – Sedyono, 1991) dalam (Gardiner, dkk., 1996:218).

(41)

macak, manak (memasak, bersolek, dan melahirkan anak) sebagai tugas utamanya, dan

melewati proses mawas diri dan konflik batin sebelum memutuskan menjadi wanita karier. Dan juga bila seorang perempuan bekerja di luar rumah (sektor publik), sering ia dianggap harus tunduk pada penilaian suami atau orangtuanya tentang apa yang patut dan apa yang tidak patut dikerjakannya. Proses semacam ini juga dialami oleh perempuan dari kalangan kelas menengah lainnya di Indonesia. Masyarakat Indonesia masih mengaitkan kesejahteraan keluarga (rumah tangga) dengan peranan ibu sebagai ’ratu rumah tangga’ di dalam suatu keluarga (Chrysanti Hasibuan – Sedyono, 1991) dalam

(Gardiner, dkk., 1996: 219). 2. Peran Ganda

Peran ganda perempuan merupakan masalah yang sering dihadapi perempuan yang bekerja di sektor publik (domain public), khususnya bagi perempuan yang telah berumah tangga (berkeluarga) dan bahkan setelah dirinya mempunyai anak – anak (Chrysanti Hasibuan – Sedyono, 1991) dalam (Gardiner, dkk., 1996: 220).

(42)

semakin berkembang ke arah masyarakat industri, namun pandangan umum tentang wanita yang bekerja belum disamakan dengan pria.

3. Beban Kerja Ganda (Double Bourden)

Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Dimana konsekuensinya menjadi banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapihan rumah tangganya, mulai dari membersihkan dan mengepel lantai, memasak, mencuci, mencari air untuk mandi hingga memelihara anak. Bagi kalangan keluarga menengah ke bawah beban yang sangat berat tersebut harus ditanggung oleh perempuan itu sendiri. Terlebih – lebih jika si perempuan tersebut harus bekerja di sektor publik (diluar rumah) untuk membantu keuangan suami yang tidak memadai dalam rangka pemenuhan kebutuhan sehari – hari di dalam keluarga/rumah tangganya , maka mau tidak mau dirinya harus memikul beban kerja ganda (double bourden) itu (Fakih, 1996: 21).

(43)

menekuni berbagai jenis pekerjaan domestik itu. Hal – hal inilah yang mengakibatkan memperkuat pelanggengan secara kultural dan struktural beban kerja kaum perempuan (Fakih, 1996: 21 – 22).

Ketiga permasalahan tersebut di atas dapat terjadi disebabkan oleh karena masih adanya nilai – nilai sosial budaya di dalam masyarakat kita yang umumnya belum siap menerima pergeseran nilai perubahan sosok wanita masa kini (Rahma Sugihartati) dalam (Suyanto & Hendrarso, 1996: 49). Untuk itulah, perlu adanya ’konsep sosialisasi androgini (androgyny)’ yang diterapkan di dalam suatu keluarga untuk dapat mencegah

terjadinya ketidakadilan gender (gender inequalities) baik bagi kaum laki – laki dan terutama bagi kaum perempuan (Megawangi, 1999: 114).

Sosialisasi Androgini (Androgyny)

Proses sosialisasi untuk pembentukan identitas gender dikembangkan oleh beberapa psikolog feminis, yaitu dengan memperkenalkan “konsep pendidikan androgini (androgyny)”. Dimana konsep tersebut cukup marak menjadi bahan diskusi

para feminisme pada 1970 – an. Konsep androgini berasal dari bahasa Latin, yaitu : andro yang berarti pria, dan gyne yang berarti perempuan. Jadi, yang dimaksud dengan pendidikan androgini adalah pendidikan yang memperkenalkan konsep bebas gender kepada anak laki-laki dan perempuan. Konsep pendidikan androgini berbeda dengan konsep pendidikan yang konvensional yang berasumsi bahwa anak laki-laki dan perempuan berbeda. Bagi para kaum feminis, konsep pendidikan konvensional ini akan terus melanggengkan perbedaan peran gender (Megawangi, 1999: 114).

(44)

diperlakukan sama. Apabila anak laki-laki dan perempuan menginternalisasi peran – peran yang sama, maka diharapkan tidak ada lagi yang berstereotip gender

(Megawangi, 1999: 114).

Menurut mereka yang setuju dengan pendidikan androgini, anak-anak yang dibesarkan secara androgenous akan mempuyai kepribadian yang menguntungkan, karena akan lebih banyak kesempatan dan pilihan yang dimiliki, terutama oleh kaum wanita. Dalam masyarakat yang lebih menilai tinggi pekerjaan sektor publik daripada sektor domestik (pengasuhan anak dan pekejaan rumah tangga); pendidikan androgini dianggap sebagai cara yang tepat untuk mempersiapkan para wanita agar mampu/dapat bersaing dengan para pria di sektor publik. Sedangkan para pria yang telah dibesarkan secara androgenous, mereka juga akan diberi pilihan yang lebih beragam dalam

menentukan jenis – jenis pekerjaan yang akan ditekuninya, terutama pada bidang – bidang yang tadinya didominasi oleh kaum perempuan (Megawangi, 1999:

115).

Menurut Letty Cottin P. dalam bukunya ‘Growing Up Free: Raising Your Child in the 80’s’ dalam (Megawangi, 1999: 114 – 115) menjelaskan tentang bagaimana para

orang tua dapat menerapkan pendidikan androgini, antara lain:

 Para orangtua harus menghindari segala komunikasi yang mempunyai sinyal – sinyal

yang berbau gender pada anaknya, seperti : pemberian mainan, baju-baju, dekorasi kamar yang mempunyai stereotip gender.

 Kedua orangtua harus bebas dari segala peran – peran berstereotype gender serta

(45)

 Menjaga segala kemungkinan yang ada tentang stereotype gender agar jangan masuk

ke dalam benak pikiran anak – anaknya , misalnya : pengaruh dari televisi, buku-buku bacaan, lingkungan, dan sebagainya.

Bern (1972) dalam (Megawangi, 1999: 114) berpendapat bahwa setiap anak yang disosialisasikan secara androgenous, akan menghasilkan identitas gender yang berkaitan dengan kualitas feminin. Identitas ini akan menolak segala pendapat yang mengatakan bahwa difrensiasi kerja berdasarkan gender. Perempuan hanya dapat melakukan pekerjaan tertentu, dan pria melakukan pekerjaan tertentu pula.

Di bawah ini ada beberapa hasil – hasil penelitian yang berkaitan mengenai istri yang ikut terjun di dalam sektor publik (bekerja di luar rumah) bersama – sama dengan suaminya, antara lain sebagai berikut:

 Suatu artikel tentang perempuan bekerja di berbagai negara Asia mengungkapkan

bahwa seorang direktur kredit dan pemasaran dari sebuah perusahaan bermaksud mengirimkan seorang anak buahnya perempuan untuk mengikuti suatu pelatihan di Singapura, tetapi gagal karena tidak berhasil mendapatkan persetujuan dari suami karyawan tersebut (Asian Business, 1993) dalam (Gardiner, dkk., 1996: 219).

 Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh seorang Sekjen Badan Pengurus

(46)

cenderung berkurang sesudah mereka berkeluarga (berumahtangga) (Infobank, 1999) dalam (Gardiner, dkk., 1996: 219).

 Hasil penelitian Freudiger (1983) dalam (Rini, 28 Mei 2002) yang dimuat dalam

”Journal of Marriage and The Family” tentang ukuran kebahagiaan hidup wanita

yang sudah menikah , ditinjau dari tiga (3) kategori: wanita bekerja, wanita pernah bekerja dan wanita yang belum pernah bekerja, menunjukkan bahwa bagi para istri dan ibu bekerja, ’kebahagiaan perkawinan’ adalah tetap menjadi hal yang utama, dibandingkan dengan kepuasan kerja.

 Studi lain masih menyangkut kebahagiaan kehidupan para ibu yang bekerja yang

di sektor publik, yang dilakukan oleh Walters dan McKenry (1985) dalam (Rini, 28 Mei 2002) menunjukkan bahwa mereka (istri/ibu) cenderung merasa bahagia selama para istri/ibu yang bekerja tersebut dapat mengintegrasikan kehidupan keluarga dan kehidupan kerja secara harmonis. Jadi, adanya konflik peran yang dialami oleh istri/ibu bekerja akan menghambat kepuasan dalam hidupnya. Perasaan bersalah (meninggalkan perannya sementara waktu sebagai ibu rumah tangga) yang tersimpan, membuat sang istri/ibu tersebut tidak dapat menikmati perannya dalam dunia kerja.

 Dalam penelitian yang dilakukan oleh Jones dan Jones (1980) dalam

(47)

memenuhi dan melayani kebutuhan suami. Namun ada pula suami yang justru mendukung karir istrinya, dan ikut bekerja sama dalam mengurusi pekerjaan rumah tangga sehari – hari. Dalam kondisi yang terakhir ini, pada umumnya sang istri akan lebih dapat merasakan kepuasan dan kebahagiaan dalam hidup, keluarga dan karirnya.

 Penelitian yang dilakukan oleh Scanzoni (1980) dalam (Rini, 28 Mei 2002)

diungkapkan bahwa perkawinan dual – career dikatakan berhasil jika diantara kedua belah pihak (suami dan istri) saling memperlakukan pasangannya sebagai partner yang setara. Pada umumnya, mereka tidak hanya akan berbagi dalam hal

income, namun juga berbagi dalam urusan rumah tangga, antara lain dalam hal

(48)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan peneliti dalam melekukan penelitian ini adalah penelitian dekriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian deskiptif adalah jenis penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu masalah secara rinci, tanpa ada perlakuan terhadap obyek yang diteliti (Kountur, 2007: 54).

(49)

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di PT. Socfindo, Kebun Mata Pao, Kabupaten Serdang Bedagai. Lokasi ini dipilih karena peneliti dapat memperoleh data dari apa yang akan ditelitinya yaitu ingin melihat sejauh mana peran istri yang ikut terjun bekerja di sektor publik, yakni sebagai buruh/karyawan perkebunan guna untuk membantu keuangan suami yang tidak memadai untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup keluarga sehari – hari, sehingga dapat menunjang perekonomian keluarganya/rumah tangganya, dan permasalahan yang dihadapi oleh istri/ibu sehubungan dengan peran ganda yang dilakukannya, yaitu peran domestik (sebagai istri/ibu bagi anak – anaknya) dan peran publik (sebagai buruh/karyawan perkebunan).

Unit Analisis dan Informan Unit Analisis

(50)

(keluarganya) sehingga dapat menunjang perekonomian rumah tangganya (keluarganya).

Informan

Informan adalah individu, komunitas (kelompok masyarakat) maupun institusi yang menjadi sumber informasi. Dalam penelitian ini, informan dibedakan atas dua (2) jenis, yakni informan kunci dan informan biasa.

1. Informan Kunci

Adapun yang menjadi informan kunci dalam penelitian ini, adalah:

→ Perempuan yang telah berumah tangga dan sudah mempunyai anak

yang melaksanakan dua (2) pekerjaan sekaligus (peran ganda), yakni

sebagai istri dan ibu rumah tangga yang melaksanakan tugas – tugasnya setiap harinya pada sektor domestik, seperti:

melayani suami, merawat dan mengasuh anak – anaknya, merawat

kebersihan rumah, menyediakan makanan bagi suami dan anak – anaknya, dan lain sebagainya. Selain itu, dirinya juga bekerja di

sektor publik (domain public) sebagai buruh/karyawan perkebunan pada PT. Socfindo Kebun Mata Pao, Kabupaten Sergei dari hari Senin s/d Sabtu tiap minggunya untuk membantu keuangan suaminya sebagai pencari nafkah utama di dalam rumah tangganya (keluarganya) sehingga dapat menunjang perekonomian rumah tangganya (keluarganya), dengan kriteria sebagai berikut:

(51)

 Perempuan yang telah berumah tangga dan sudah mempunyai anak yang

sudah bekerja sebagai buruh/karyawan perkebunan pada PT. Socfindo Kebun Mata Pao, Kabupaten Sergei selama ± 9 s/d 30 tahun sampai dengan saat ini. Dimana, dari hari Senin s/d Sabtu setiap minggunya ia melaksanakan ’kerja bawah’ yang sangat membutuhkan fisik, otot dan tenaga yang kuat agar dapat melaksanakan pekerjaannya itu, misalnya: melakukan pemupukan, penyemprotan pestisida (pembasmi hama), mencari anak kayu, dan lain sebagainya pada perkebunan sawit tersebut.  Masih terikat dalam ikatan perkawinan (tidak bercerai).

 Mempunyai suami yang masih hidup hingga sampai dengan saat ini

(belum meninggal).

 Masih mempunyai anak – anak yang masih tinggal (berdomisili) bersama

kedua orangtuanya di rumah dinas yang diberikan PT. Socfindo Mata Pao, Kabupaten Sergei kepada staff pegawainya yang bekerja di kantor dan karyawannya baik karyawan pabrik yang melaksanakan ’kerja produksi’ maupun karyawan lapangan, seperti: Mandor Potong Buah, karyawan/buruh perkebunan sawit yang melaksanakan ’kerja bawah’, dan lainnya.

 Dari informan kunci itu, si peneliti mengharapkan dapat memperoleh

(52)

PT. Socfindo Kebun Mata Pao, Kabupaten Sergei (sektor publik) dari hari Senin s/d Sabtu tiap minggunya, masalah – masalah yang mereka hadapi ketika mereka menjalankan peran ganda tersebut, yakni peran domestik (sebagai istri/ibu rumah tangga) dan peran publik (sebagi buruh/karyawan perkebunan sawit) serta bagaimana pengalokasian pendapatan (penghasilan) yang mereka peroleh setiap bulannya dari hasilnya bekerja di sektor publik (sebagai buruh/karyawan perkebunan) agar dapat membantu mencukupi perekonomian rumah tangganya (keluarganya) ataupun dapat menunjang perekoniman rumah tangganya (keluarganya). 2. Informan Biasa

→ Suami dari informan kunci, dengan kriteria sebagai berikut:

 Masih terikat dalam ikatan perkawinan dengan informan kunci sampai

dengan saat ini (tidak bercerai).  Belum meninggal (masih hidup).

 Mempunyai pekerjaan di luar rumah (sektor publik) dan memperoleh

penghasilan (pendapatan) berupa uang hingga sampai dengan saat ini.

 Dari mereka, peneliti mengharapkan dapat memperoleh

informasi – informasi yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini, yakni mengenai pendapat dan tanggapan mereka ketika istrinya/ibu dari anak – anaknya menjalankan dua (2) peran sekaligus, yaitu sebagai istri/ibu rumah tangga (peran domestik) dan sebagai buruh/karyawan perkebunan (peran publik), dan bagaimana kondisi

(53)

anak – anaknya memutuskan untuk ikut bekerja bersama – sama dengannya di luar rumah (sektor publik) dengan bekerja sebagai buruh/karyawan perkebunan sawit PT. Socfindo Kebun Mata Pao, Kabupaten Sergei.

→ Anak – anak dari informan kunci, dengan kriteria sebagai berikut:  Laki – laki atau perempuan yang berusia ±13 tahun keatas, karena dalam

penelitian ini batasan usia tersebut dianggap sebagai kategori yang dianggap remaja dan sudah beranjak dewasa.

 Masih tinggal (berdomisili) bersama kedua orangtuanya di rumah dinas

orangtuanya yang diberikan PT. Socfindo Mata Pao, Kabupaten Sergei selama masih menjadi buruh/ karyawan di perkebunan sawit tersebut yang letaknya tidak begitu jauh dari perkebunan sawit PT. Socfindo Mata Pao, Kabupaten Sergei.

 Dari mereka, peneliti mengharapkan dapat memperoleh

informasi – informasi yang berkaitan dengan pemasalahan dalam penelitian ini, yakni mengenai tanggapan dan pendapat mereka ketika ibunya menjalankan dua (2) peran sekaligus (peran ganda), yakni sebagai istri dan ibu rumah tangga (peran domestik) dan sebagai buruh/karyawan perkebunan (peran publik).

→ Mandor Perkebunan PT. Socfindo Kebun Mata Pao, Kabupaten Sergei

(54)

Darinya, peneliti mengharapkan dapat memperoleh informasi – informasi yang berkaitan dengan permasalahan dalam

penelitian ini, yakni mengenai kinerja buruh/karyawan perumpuan (wanita) yang telah berkeluarga dan sudah mempunyai anak – anak yang melaksanakan ’kerja bawah’ di perkebunan sawit tersebut (sektor publik).

→ Human Resources Development (HRD) PT. Socfindo kota Medan,

Sumatera Utara di Jalan K.L. Yos Sudarso No. 106. Dari mereka si peneliti mendapatkan/memperoleh Surat Pengantar untuk mengadakan penelitian di PT. Socfindo Kebun Mata Pao, Kabupaten Sergei.

→ Pengurus dan Kepala Tata Usaha (KTU) dari PT. Socfindo Kebun

(55)

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini melalui pengumpulan data primer dan sekunder.

1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh peneliti langsung dari sumber utamanya/obyek yang akan diteliti (Ronny Kountur, 2007: 182). Untuk

mendapatkan data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara, yaitu : • Observasi Langsung, yaitu mengadakan pengamatan secara langsung yang

dilakukan peneliti terhadap obyek yang akan diteliti di lokasi penelitian sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti. Hal ini dilakukan oleh si peneliti, untuk mengamati dan melihat bagaimana kehidupan sehari – hari dari rumah tangga/keluarga informan kunci, yakni istri/ibu yang tidak hanya menjalankan tugasnya di sektor domestik (sebagai istri dan ibu rumah tangga), tapi juga ikut terjun ke dalam sektor publik, yakni sebagai buruh/karyawan di PT.Socfindo Indonesia, Kebun MataPao, Kabupaten Sergei guna membantu keuangan suami sebagai pencari nafkah utama yang tidak memadai untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup keluarganya yang semakin lama semakin meningkat. Disini, peneliti hanya sebagai pengamat.

Wawancara mendalam (depth interview) bertujuan untuk mengumpulkan

(56)

disusun sebelumnya tersebut dinamakan pedoman wawancara atau interview guide. Adapun yang menjadi aspek – aspek yang menjadi bahan wawancara,

meliputi: bagaimana realita kehidupan sehari – hari dalam suatu rumah tangga (keluarga) yang mana pihak istri sebagai informan kunci dalam penelitian ini melaksankan dua (2) peran sekaligus, yakni sebagai istri dan ibu dalam keluarga/rumah tangga (peran domestik) setiap harinya dan bekerja sebagai buruh/karyawan perkebunan (peran publik) dari hari Senin s/d hari Sabtu setiap minggunya dalam rangka untuk menunjang perekonomian keluarganya/rumah tangganya sehari – hari.

2. Data Sekunder, yaitu data yang bersumber dari hasil penelitian orang lain yang dibuat untuk maksud yang berbeda. Data tersebut dapat berupa fakta,

tabel, gambar, dan lain – lain. Walaupun data tersebut diperoleh dari hasil penelitian orang lain yang didibuat untuk maksud yang berbeda, namun data tersebut dapat dimanfaatkan (Kountur, 2007: 178 – 179). Ada beberapa manfaat menggunakan data sekunder, antara lain:

 data sekunder dapat diperoleh dengan cepat,

 dalam banyak situasi tidak membutuhkan dana yang besar, dan

 tidak ada cara lain yang dapat dilakukan kecuali dengan data sekunder

(Kountur, 2007: 179).

Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini dilakukan peneliti melalui:

Penelitian Kepustakaan (library research), yaitu cara memperoleh data yang

(57)

Dalam penelitian ini, si peneliti menggunakan studi kepustakaan dengan menghimpun berbagai informasi dari buku – buku referensi, jurnal yang diperoleh si peneliti dari perpustakaan ataupun dari internet, dan lain – lainnya yang dianggap sangat relevan berkaitan dengan topik permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini. Dan juga si peneliti menggunakan dokumentasi dalam penelitian ini yang digunakan untuk menelusuri data historis, dimana sebagian data yang tersedia berbentuk surat – surat, catatan harian, laporan, memorial, dokumen, dan foto yang berkaitan dengan topik permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini.

Interpretasi dan Analisa Data

Analisis data kualitatif menyangkut identifikasi apa yang menjadi perhatian (concerns) dan apa yang merupakan persoalan (issues) (Kountur, 2007: 192). Dengan

melakukan identifikasi ini ada beberapa proses yang perlu dilakukan, yaitu:

 Proses kategorisasi adalah proses menyusun kembali catatan dari hasil observasi

atau wawancara yang menjadai bentuk yang lebih sistematis. Laporan dibuat dalam beberapa kategori yang sistematis,

 Proses prioritas dilakukan apabila terdapat banyak sekali kategori, untuk itulah

perlu adanya prioritas mana kategori yang dapat ditampilkan dan mana yang tidak perlu ditampilkan karena terlalu banyak kategori akan menyulitkan dalam interpretasi, dan

 Proses penentuan kelengkapan dilakukan apabila jumlah atau jenis kategori

(58)

Dengan kata lain, permasalahan yang muncul dapat dijelaskan dengan kategori yang dihasilkan. Namun, jika kategori yang dihasilkan tidak dapat menjawab permasalahan yang menjadi perhatian, berarti kategori yang dikumpulkan belum cukup (Kountur, 2007: 192 – 194).

Adapun tahapan dalam menganalisa data dalam penelitian ini adalah:

(59)

Membuat kendala – kendala, antara lain:

1. Peneliti agak susah mendapatkan surat pengantar dari PT. Socfindo kota Medan untuk dapat memberikan izin melakukan penelitian di PT. Socfindo Kebun Mata Pao, Kabupaten Sergei dengan alasan dari pihak HRD PT. Socfindo kota Medan bahwa surat tersebut belum ditandatangani oleh Pimpinannya karena yang bersangkutan lagi dinas ke luar kota pada saat itu. Sekitar kurang lebih dua (2) minggu lamanya menunggu, akhirnya si peneliti memperoleh surat pengantar izin penelitian agar dapat melakukan penelitian di PT. Socfindo Kebun Mata Pao, Kabupaten Sergei dari PT. Socfindo Kota Medan.

(60)

buruh/karyawan di perkebunan sawit PT. Socfindo Kebun Mata Pao, Kabupaten Sergei) dan Informan Biasa (suami dan anak dari Informan Kunci) kurang memahami dan takut dalam memberi jawaban atas pertanyaan – pertanyaan yang diajukan oleh si peneliti, Akan tetapi, si peneliti dapat mensiasatinya dengan melakukan pendekatan pribadi kepada mereka dan dibantu sama Ibu Dewi (Mandor Perkebunan Divisi II PT. Socfindo Kebun Mata Pao, Kabupaten Sergei) untuk memberikan penjelasan kepada mereka. Tetapi, dengan beberapa syarat diantaranya peneliti harus membuat nama samaran dari informan kunci dan informan biasa untuk dapat menjaga identitas diri informan.

(61)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI PENELITIAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1. Sejarah Singkat PT. Socfindo Kebun Mata Pao, Kabupaten Serdang Bedagai (Sergei)

PT. Socfin Indonesia (PT. Socfindo) didirikan pada tahun 1924 dengan komoditi utama perkebunan adalah kelapa sawit (Elaeis guineencis jacq). Perkebunan ini pada awalnya dimiliki oleh perusahaan Belgia yaitu Socfin Medan, Sumatera Utara yang hak konsesinya dibawah naungan oleh pemerintah Hindia Belanda. Dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1926 didirikan pabrik pengolahan kelapa sawit yaitu Perkebunan Mata Pao.

Pada tahun 1942, PT. Socfindo diambil alih (dimiliki) secara paksa oleh pemerintah Jepang. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (tahun 1945), perusahaan ini dikuasai oleh Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan kemudian dikembalikan pada PT. Socfin pada tahun 1950.

Dari tahun 1965 sampai dengan tahun 1967 (sekitar ± 2 tahun), perusahaan ini dikuasai dan dipegang sepenuhnya Pemerintah RI yang mengadakan Nasionalisasi perusahaan asing menjadi sebuah perusahaan Milik Negara. Namun, pada tahun 1968 perusahaan ini berubah menjadi sebuah perusahaan Swasta Nasional dalam bentuk Joint Enterprise (patungan) dengan nama PT. Socfin Indonesia; dengan perbandingan saham

Gambar

Tabel 3.1.
Tabel 4.1.
Tabel 4.2.
Tabel 4.3.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penerapannya data mining dengan menggunakan metodologi CRISP-DM telah banyak dilakukan, salah satu contohnya dalam jurnal “Business and Data Understanding

Untuk mendukung penalaran diagnosis gejala-gejala yang ditimbulkan jika seseorang terkena penyakit yang diakibatkan oleh bakteri Salmonella, maka pengetahuan yang

Turbin yang bergerak karena uap dipergunakan baling baling kapal dan sisa amoniak yang dari turbin menggunakan air dingin dari kedalaman laut yang suhunya C,

Pengukuran nilai paralaks pada foto udara dengan alat stereoskop adalah pengamatan yang dilakukan dengan cara melihat objek yang ada pada 2 lembar foto udara yang memiliki nomor

Hasil penelitian menunjukkan bahwa adsorpsi anion oleh bentonit-CTAB mengikuti adsorpsi isoterm Langmuir dengan kapasitas adsorpsi sebesar 167,66 mg/g dan energi adsorpsi

Tidak terpenuhinya harapan yang menurut mereka seharusnya terpenuhi. Perasaan tidak adil ini timbul bila orang membandingkan keadaan diri mereka dengan keadaan orang lain yang

Diharapkan kepada Sekolah Luar Biasa Dharma Asih Pontianak untuk mengadakan pelatihan dan mewajibkan kepada orangtua siswa untuk mengikuti pelatihan terkait

Bagi para investor disarankan untuk mengunakan hasil penelitian ini sebagai pertimbangan dalam menentukan saham pada perusahaan mana yang akan dipilih, dilihat dari faktor-faktor