• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

B. Jumlah Tenaga Kerja PT Socfindo Kebun Mata Pao, Kabupaten

1. Suami Informan Kunci

Pak Joko (samaran)) adalah nama suami dari Ibu Mila. Ia bekerja sebagai karyawan satpam perusahaan di PT. Socfindo Mata Pao, Kabupaten Sergei. Pekerjaan yang biasa dilakukannya di perusahaan tersebut adalah mengawasi perusahaan, perkebunan, dan lingkungan pabrik untuk mengantisipasi dari segala kemungkinan yang dapat terjadi, seperti: pencurian alat – alat/inventaris kantor, pencurian mesin – mesin

pabrik, pencurian buah sawit, dan lain - lainnya. Waktu kerjanya pada perusahaan ini dari hari Senin sampai dengan hari Minggu tiap minggunya dan memakai sistem shift yang berganti – gantian dengan temannnya yang juga sesama satpam perusahaan, dikarenakan pengawasan yang dilakukan di sekitar areal kantor, lingkungan pabrik, dan kebun sawit Socfindo Kebun Mata Pao selama 24 jam tiap harinya, dimana waktu shiftnya itu telah diatur oleh perusahaan tempatnya bekerja, yakni dimulai sekitar pukul 07.00Wib pagi s/d 15.00Wib siang, kemudian dari pukul 15.00Wib siangs/d 19.00Wib malam, lalu dari jam 19.00Wib malam s/d 07.00Wib pagi, demikian seterusnya. Karena itulah, Pak Joko menerima premi dan lembur selain gaji/upah pokok yang diterimanya tiap bulannya.

Dari hasil bekerjanya sebagai satpam perusahaan di PT. Socfindo Mata Pao, Pak Joko menerima gaji/upah setiap bulannya sekitar Rp±1.250.000,- sudah termasuk premi dan lembur. Dan sama seperti istrinya juga (Ibu Mila) ia menerima upah berupa natura (pemberian catu beras) dua (2) kali dalam satu (1) bulan dan ia juga menerima bonus dan THR (Tunjangan Hari Raya) setiap tahun, namun perbedaannya Pak Joko juga menerima catu beras untuk kedua anaknya yang hingga sampai dengan sekarang masih menjadi tanggungan perusahaan perkebunan tersebut.

Pak Joko tidak merasa keberatan ketika istrinya memutuskan untuk ikut bekerja mencari nafkah bagi keluarganya dengan bekerja menjadi buruh/karyawan perkebunan (sektor publik) di PT. Socfindo Mata Pao, Kabupaten Sergei. Pak Joko justru merasa senang dan bahagia karena sang istri mau turut membantunya mencari nafkah untuk dapat memenuhi biaya – biaya kebutuhan hidup didalam keluarganya (rumah tangganya). Menurutnya, meskipun sang istri melaksanakan peran publiknya dengan menjadi buruh/karyawan perkebunan di PT. Socfindo Mata Pao, Kabupaten Sergei, tetapi istrinya

tidak pernah melupakan peran domestiknya sebagai istri dan ibu rumah tangga setiap harinya hingga sampai dengan saat ini.

“... Saya tidak pernah merasa keberatan jika istri saya ikut bekerja mencari nafkah dengan menjadi buruh/karyawan di perkebunan sawit itu. Justru saya merasa sangat senang karena istri saya bisa membantu saya cari uang untuk keluarga kami dan tidak pernah melupakan tanggungjawabanya sebagai istri dan ibu rumah tangga di dalam keluarga ini hingga sampai dengan sekarang ini”. (Wawancara di Rumah Dinas Pak Joko dan Ibu Mila yang Terletak di Sekitar Daerah Perkebunan Socfindo Mata Pao, 29 Juni 2008)

Pak Joko mengakui bahwa dengan istrinya ikut bekerja di sektor publik, maka perekonomian keluarganya (rumah tangganya) menjadi lebih baik dari sebelumnya. Bahkan sekarang, dia dan istrinya sudah bisa mempunyai ladang sendiri dan memperoleh penghasilan tambahan dari hasil ladangnya itu meskipun tidak setiap bulannya diterima oleh mereka.

“... Ya jelaslah kondisi perekonomian keluarga kami menjadi lebih baik dari sebelumnya ketika istri saya ikut juga bekerja cari uang bersama – sama dengan saya. Syukur Alhamdulliah, sekarang kami sudah punya ladang sendiri yang kami beli dari hasil tabungan kami berdua. Dari hasil ladang kami itu, kami bisa mendapatkan uang juga, meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak dan tidak setiap bulannya, namun itu cukup sangat membantu untuk mencukupi kebutuhan sehari – hari kami sekeluarga”. (Wawancara di Rumah Dinas Pak Joko dan Ibu Mila yang Terletak di Sekitar Daerah Perkebunan Socfindo Mata Pao, 29 Juni 2008)

Suami Ibu Rika

Pak Hadi (samaran) adalah nama suami dari Ibu Rika. Ia bekerja sebagai karyawan bersama – sama dengan istrinya pada Perkebunan Socfindo Mata Pao, Kabupaten Sergei untuk mencari nafkah tiap bulannya bagi mereka sekeluarga. Pak Hadi sekarang menjabat sebagai Mandor Potong Buah di perkebunan sawit tersebut. Dimana, waktu kerjanya sama dengan istrinya (Ibu Rika) yang juga sesama karyawan di perkebunan sawit Socfindo Mata Pao, yakni enam (6) hari dalam seminggu dengan waktu

kerja tujuh (7) jam, terkecuali untuk hari Jum’at hanya (5) jam. Setiap bulannya, Pak Hadi menerima gaji (upah) sekitar ±Rp 1.500.000,- sudah termasuk premi, namun jumlah tersebut bisa lebih atau bahkan bisa kurang dari jumlah itu tergantung dari sedikit atau banyaknya jumlah buah sawit yang dihasilkan dari setiap pohon sawit setiap bulannya ditambah catu beras yang diterimanya 2 (dua) kali dalam sebulan dan tiap tahunnya menerima bonus sebesar 4 (empat) bulan gaji ditambah THR (Tunjangan Hari Raya) sebesar 1 (satu) bulan gaji yang diberikan secara bertahap kepada dirinya sebagai karyawan lapangan yang menjabat sebagai Mandor Potong Buah di perusahaan perkebunan tersebut. Sekarang, Pak Hadi tidak mempunyai tanggungan beras dan uang untuk biaya pendidikan untuk kedua anaknya dikarenakan kedua anaknya sudah tamat dari sekolah mereka masing – masing dan sudah memasuki batas umur yang dikatakan sudah bisa bekerja untuk cari uang sesuai dengan peraturan dari perusahaaan perkebunan tersebut. Dari dulu hingga sampai dengan sekarang, dirinya tidak mempunyai pekerjaan sampingan selain hanya bekerja sebagai Mandor Potong Buah pada perkebunan sawit tersebut sebagai pekerjaan utamanya untuk menafkahi keluarganya setiap harinya.

Pak Hadi tidak pernah merasa keberatan ketika istrinya memutuskan untuk tetap bekerja menjadi buruh/karyawan perkebunan (sektor publik) di PT. Socfindo Mata Pao, Kabupaten Sergei, meskipun mereka telah berumahtangga selama istrinya tidak melupakan tanggungjawabnya sebagai istri dan ibu rumah tangga didalam keluarganya (rumah tangganya). Dan dirinya sempat merasa tidak yakin jika istrinya sanggup melakukan kedua pekerjaan itu sekaligus, yaitu sebagai istri dan ibu rumah tangga (peran domestik) dan bekerja sebagai buruh/karyawan perkebunan (peran publik) di PT. Socfindo Mata pao, Kabupaten Sergei, namun ternyata dugaannya itu salah. Bahkan,

dirinya mengakui bahwa istrinya menjalankan tugasnya dengan baik sebagai istri dan ibu rumah tangga (sektor domestik) di dalam keluarganya hingga sampai dengan saat ini, meskipun dia tetap melakukan pekerjaannya di sektor publik, yakni dengan menjadi buruh/karyawan perkebunan di PT. Socfindo Mata Pao, Kabupaten Sergei.

“... Saya tidak merasa keberatan kalau istri saya bekerja menjadi buruh/karyawan perkebunan sawit itu, asalkan dia tidak melupakan tanggungjawabnya juga sebagai istri dan ibu rumah tangga di dalam keluarga ini. Sempat saya merasa tidak yakin apa dia sanggup melakukan pekerjaan yang cukup berat itu disamping itu dia juga harus melakukan tugasnya sebagai istri dan ibu rumah tangga di dalam keluarga ini, tapi dugaan saya ternyata salah. Justru hingga sampai dengan sekarang ini, istri saya dengan baik menjalankan tugasnya sebagai istri dan ibu rumah tangga di dalam keluarga ini”. (Wawancara di Rumah Dinas Pak Hadi dan Ibu Rika yang Terletak di Sekitar Daerah Perkebunan Socfindo Mata Pao, 27 Juni 2008)

Dan dirinya mengakui bahwa dengan istrinya ikut turut bekerja di sektor publik, kondisi perekonomian rumah tangganya menjadi lebih baik. Bahkan, kedua anaknya bisa menyelesaikan sekolahnya sampai mereka bisa tamat sekolahnya.

“... Kalau ditanyakan soal itu, pasti jelas kondisi perekonomian semakin menjadi lebih baik apabila dua – duanya bekerja cari uang tiap bulannya. Kalau hanya mengharapkan gajiku saja tiap bulannya sampai dengan sekarang, bisa – bisa kedua anak kami tidak tamat sekolahnya. Syukur Alhamdulliah, sekarang anak saya perempuan saya yang paling besar sudah bekerja jadi seorang perawat di salah satu rumah sakit yang ada di Aceh dan anak saya laki – laki (nomor dua) juga sudah tamat dari STM (Sekolah Teknik Menengah), tetapi sayang dia masih ‘nganggur di rumah’ karena belum mendapatkan pekerjaan yang cocok untuknya”. (Wawancara di Rumah Dinas Pak Hadi dan Ibu Rika yang Terletak di Sekitar Daerah Perkebunan Socfindo Mata Pao, 27 Juni 2008)

Suami Ibu Sumi

Pak Sunarno (samaran) adalah nama suami dari Ibu Sumi. Ia bekerja sebagai buruh/karyawan perkebunan sawit Socfindo Mata Pao, Kabupaten Sergei bersama – sama dengan istrinya (Ibu Sumi) untuk mencari nafkah bagi mereka sekeluarga. Pekerjaan

dengan yang biasa dikerjakan istrinya di perkebunan itu. Begitu juga dengan gaji/upah yang diterimanya setiap bulannya dan catu beras yang diterimanya setiap dua (2) kali dalam sebulan dan uang THR (Tunjangan Hari Raya) dan bonus yang diterimanya tiap tahun dari perusahaan perkebunan itu sebesar satu bulan gaji jumlahnya sama dengan yang diterima istrinya yang juga bekerja menjadi buruh/karyawan pada perusahaan perkebunan itu. Tetapi, yang membedakannya Pak Sunarno mendapat tambahan dengan menerima tanggungan catu beras dan biaya pendidikan untuk ketiga anaknya yang masih masuk menjadi tanggungan perusahaan perkebunan itu setiap bulannya. Pak Sunarno hanya memperoleh penghasilan setiap bulannya dari pekerjaan utamanya sebagai buruh/karyawan perkebunan sawit tersebut dan tidak mempunyai pekerjaan sampingan.

Pak Sunarno tidak merasa keberatan jika istrinya ikut bekerja mencari nafkah untuk keluarganya dengan bekerja menjadi buruh/karyawan perkebuanan sawit (sektor publik) di PT. Socfindo Mata Pao, Kabupaten Sergei. Meskipun, awalnya Pak Sunarno sempat merasa tidak yakin jika istrinya sanggup melakukan pekerjaan di perkebunan sawit itu, ditambah lagi dirinya juga harus melaksanakan pekerjaannya sebagai istri dan ibu rumah tangga (sektor domestik) di dalam keluarganya setiap harinya.

“... Saya tidak merasa keberatan kalau istri saya ikut bekerja sama – sama dengan saya untuk cari uang agar dapat membiayai kebutuhan sehari – hari dalam keluarga kami. Dulu, saya sempat merasa tidak percaya dan yakin kalau istri saya bisa sanggup melakukan pekerjaannnya di perkebunan Socfindo Mata Pao ini, karena pekerjaan ini termasuk pekerjaan yang cukup sangat berat dilakukan oleh perempuan, seperti misalnya: setiap harinya harus mengangakat cairan pestisida yang ada di dalam drum ±10 – 15 liter dalam seharinya. Kenapa saya bilang seperti itu, karena ukuran tubuhnya pendek dan badannya kurus yang saya rasa tidak akan bisa dan sanggup untuk melakukan pekerjaan tersebut, tapi ternyata saya salah sangka! Ditambah lagi, setiap harinya ia juga (Ibu Sumi) harus mengerjakan pekerjaannya sebagai istri dan ibu rumah tangga di dalam rumah ini setiap harinya ”. (Wawancara di Rumah Dinas Pak Sunarno dan Ibu Sumi yang Terletak di Sekitar Daerah Perkebunan Socfindo Mata Pao, 29 Juni 2008)

Pak Sunarno mengakui bahwa dengan istrinya ikut turut bekerja di sekor publik, maka perekonomian keluarganya (rumah tangganya) menjadi lebih baik dari sebelumnya. Apalagi sekarang, dia dan istrinya masih mempunyai anak yang masih bayi yang masih butuh banyak biaya perawatan dan juga biaya sekolah untuk ketiga orang anaknya.

“... Alhamdulliah perekonomian keluarga kami menjadi lebih baik waktu istri saya (Ibu Sumi) memutuskan ikut bekerja cari uang sama – sama dengan saya.

Kalau sampai dengan sekarang hanya saya saja yang kerja cari uang, bisa – bisa ketiga anak kami tidak bisa melanjutkan sekolahnya hingga sampai

dengan saat ini. Ditambah, sekarang kami masih punya anak bayi yang juga masih butuh banyak biaya untuk perawatannya. Ya, Syukur Alhamdulliah sampai sekarang ketiga anak kami bisa melanjutkan sekolahnya dan juga kami bisa beli perlengkapan – perlengkapan bayi dengan secukupnya untuk anak kami yang masih bayi (Balita)”. (Wawancara di Rumah Dinas Pak Sunarno dan Ibu Sumi yang Terletak di Sekitar Daerah Perkebunan Socfindo Mata Pao, 29 Juni 2008)

Suami Ibu Wati

Pak Sukirman (samaran) adalah nama suami dari Ibu Wati. Ia bekerja sebagai karyawan pabrik pengolahan biji sawit (kerja produksi) pada PT. Socfindo Mata Pao, Kabupaten Sergei. Waktu kerja Pak Sukirman sama dengan waktu kerja istrinya (ibu Wati), yakni selama tujuh (7) jam (hari Senin, Selasa. Rabu, Kamis, dan Sabtu), terkecuali hari Jum’at waktu kerjanya selama lima (5) jam. Tetapi, Pak Sukirman dan juga teman – temannya sesama karyawan pabrik yang semuanya laki – laki sering melakukan pekerjaan di pabrik pengolahan biji sawit PT.Socfindo Mata Pao itu melewati waktu kerja yang telah ditentukan, sehingga selain ia menerima gaji pokok sekitar ±Rp 800.000,- ia dan teman – temannya juga mendapatkan tambahan gaji berupa uang lembur dan premi setiap bulannya yang jumlahnya tergantung dari banyaknya lembur dan banyaknya buah sawit yang diolah menjadi minyak sawit tiap bulannya. Dari hasilnya

bekerja sebagai karyawan pabrik, Pak Sukirman menerima upah (gaji) yang dibayarkan perusahaan perkebunan tersebut kepadanya tiap bulannya sekitar ±Rp1.300.000,- sudah termasuk premi dan lembur; dimana jumlahnya itu bisa kurang atau bahkan bisa lebih dari itu tergantung seberapa banyaknya dia lembur dan seberapa banyaknya buah sawit yang diolah tiap bulannya. Dan sama seperti istrinya juga (Ibu Wati) ia menerima upah berupa natura (pemberian catu beras) dua (2) kali dalam satu (1) bulan dan ia juga menerima bonus dan THR (Tunjangan Hari Raya) setiap tahun, namun perbedaannya Pak Sukirman juga menerima catu beras untuk ketiga anaknya (anak ketiga, keempat dan kelima) yang masih masuk menjadi tanggungan perusahaan perkebunan tersebut. Pak Sukirman hanya memperoleh penghasilan setiap bulannya dari pekerjaan utamanya sebagai karyawan pabrik pengolahan biji sawit di PT. Socfindo Kebun Mata Pao, Kabupaten Sergei dan tidak mempunyai pekerjaan sampingan.

Pak Sukirman justru merasa sangat keberatan ketika sang istri memutuskan untuk bekerja di sektor publik dengan bekerja menjadi buruh/karyawan perkebunan sawit di PT. Socfindo Mata Pao, Kabupaten Sergei, karena Pak Sukirman berkeyakinan bahwa nantinya sang istri tidak akan sanggup melaksanakan pekerjaannya di perkebunan sawit itu dan pekerjaannya sebagai istri dan ibu rumah tangga (sektor domestik) didalam keluarganya akan berantakan dan terbengkalai. Namun, ternyata dugaan Pak Sukirman salah. Bahkan, sampai dengan saat ini istrinya tidak pernah mengeluh atas pekerjaannya di perkebunan sawit itu dan tidak pernah melupakan tugas dan tanggungjawabnya sebagai istri dan ibu rumah tangga didalam keluarganya setiap harinya.

“... Saya justru merasa sangat keberatan ketika istri saya (Ibu Wati) meminta izin sama saya untuk bekerja menjadi buruh/karyawan perkebunan sawit itu,. karena saya yakin nantinya dia pasti tidak tahan melaksanakan pekerjaannya di perkebunan sawit itu, dan pekerjaannya sebagai istri dan ibu didalam rumah

ini akan berantakan. Tetapi, ternyata saya salah, karena hingga sampai dengan saat ini, dia tidak pernah mengeluh sama saya atas pekerjaan yang dilakukannya di perkebunan sawit itu dan tidak pernah melupakan tanggungjawabnya sebagai istri dan ibu rumah tangga di dalam rumah ini, meskipun dia bekerja di perkebunan sawit itu”. (Wawancara di Rumah Dinas Pak Sukirman dan Ibu Wati yang Terletak di Sekitar Daerah Perkebunan Socfindo Mata Pao, 04 Juli 2008)

Pak Sukirman mengakui bahwa kondisi perekonomian keluarganya (rumah tangganya) menjadi lebih baik ketika istrinya ikut turut bekerja mencari nafkah dengan bekerja menjadi buruh/karyawan perkebunan sawit (sektor publik) di PT. Socfindo Mata Pao, Kabupaten Sergei. Sekarang, tinggal empat orang anaknya lagi yang masih menjadi tanggungan oleh Pak Sukirman beserta istrinya. Sedangkan, anaknya perempuan yang paling besar yang sudah tamat dari SMU (Sekolah Menengah Umum) sudah berkeluarga.

“... Kondisi perekonomian keluarga kami menjadi lebih baik waktu istri saya ikut bekerja mencari uang bersama – sama dengan saya. Meskipun saya sempat tidak setuju kalau dia (Ibu Wati) bekerja jadi buruh/karyawan perkebunan sawit itu, tetapi rupaya ada untungnya juga dia (Ibu Wati) ikut sama – sama dengan saya mencari uang sehingga sampai sekarang anak – anak kami bisa bersekolah. Kalau sekarang, empat orang anak kami lagi yang harus kami biayai, karena yang anak perempuan kami yang pertama sudah berkeluarga/menikah”. (Wawancara di Rumah Dinas Pak Sukirman dan Ibu Wati yang Terletak di Sekitar Daerah Perkebunan Socfindo Mata Pao, 04 Juli 2008)

Suami Ibu Sukinem

Pak Sukardi (samaran) adalah nama suami dari Ibu Sukinem. Ia bekerja sebagai centeng rumah yang bertugas mengawasi/menjaga perumahan dinas pegawai dan karyawan perusahaan perkebunan Socfindo Mata Pao, Kabupaten Sergei pada waktu malam harinya untuk mencari uang (nafkah) setiap bulannya bagi istri dan keempat anaknya. Waktu kerjanya sebagai centeng rumah dimulai dari sekitar pukul 20.00Wib s/d pukul 06.00Wib pagi harinya, demikian seterusanya setiap harinya. Dari hasilnya bekerja

perkebunan tersebut kepadanya tiap bulannya sekitar ±Rp1.000.000,- sudah termasuk uang premi dan lembur. Dan sama seperti istrinya juga (Ibu Sukinem) ia menerima upah berupa natura (pemberian catu beras) dua (2) kali dalam satu (1) bulan dan ia juga menerima bonus dan THR (Tunjangan Hari Raya) setiap tahun, namun perbedaannya Pak Sukardi juga menerima catu beras untuk kedua anaknya (anak ketiga dan keempat) yang masih masuk menjadi tanggungan perusahaan perkebunan tersebut.

Pak Sukardi merasa sangat keberatan ketika istrinya memutuskan untuk ikut bekerja mencari nafkah dengan menjadi buruh/karyawan (sektor publik) di PT. Socfindo Mata Pao, Kabupaten Sergei, karena dirinya takut pekerjaan Ibu Sukinem sebagai istri dan ibu rumah tangga di dalam keluarganya (rumah tangganya) akan terbengkalai karena sudah lelah bekerja dari perkebunan sawit itu.

“...Saya justru merasa sangat keberatan waktu istri saya memutuskan untuk bekerja menjadi buruh/karyawan perkebunan sawit PT. Socfindo Mata Pao itu, karena saya takut nantinya pekerjaanya sebagai istri dan ibu rumah tangga di dalam rumah ini akan berantakan dan terbengkalai karena sudah capek bekerja dari kebun sawit itu.” (Wawancara di Rumah Dinas Pak Sukardi dan Ibu Sukinem yang Terletak di Sekitar Daerah Perkebunan Socfindo Mata Pao, 11 Juli 2008)

Tetapi, akhirnya Pak Sukardi merasa sangat bersyukur karena istrinya turut bekerja membantunya mencari nafkah untuk keluarganya dengan bekerja menjadi buruh/karyawan perkebunan sawit (sektor publik) di PT. Socfindo Mata Pao, Kabupaten dikarenakan perekonomian rumah tangganya (keluarganya) menjadi lebih baik dan anak – anaknya bisa bersekolah, dan juga tidak melupakan tugas dan tanggungjawabnya sebagai istri dan ibu rumah tangga (sektor domestik) di dalam keluarganya setiap harinya hingga sampai dengan saat ini. Bahkan, dia dan istrinya sudah bisa menyewa ladang. Meskipun, hasil panennya tidak setiap bulannya diterimanya, tetapi hasil panen dari

ladang yang disewa Pak Sukardi bersama dengan istrinya cukup dapat membantu perekonomian rumah tangganya (keluarganya) dan merupakan penghasilan tambahan bagi keluarganya (rumah tangganya).

“... Kondisi perekonomian di dalam keluarga kami menjadi lebih baik setelah istri saya ikut bekerja cari uang tiap bulannya sama – sama dengan saya dan sekarang kami sudah bisa menyewa ladang dan memperoleh penghasilan tambahan untuk keluarga kami dari hasil panen ladang yang kami sewa itu, meskipun tidak setiap bulannya kami terima hasilnya . Kalau dari dulu sampai dengan sekarang hanya mengharapkan gaji saya tiap bulannnya untuk menafkahi mereka sangatlah dirasakan sangat tidak cukup, apalagi ketika anak – anak sudah memasuki usia sekolah, jadi lebih banyak biaya yang harus dikeluarkan. Syukur Alhamdulliah dia mau ikut cari uang bantu suaminya ini, meskipun saya dulu bersikeras untuk tidak menyetujuinya kalau dia (Ibu Sukinem) bekerja jadi buruh/karyawan perkebunan sawit itu karena takut pekerjaannya di dalam rumah menjadi berantakan dan terbengkalai”. (Wawancara di Rumah Dinas Pak Sukardi dan Ibu Sukinem yang Terletak di Sekitar Daerah Perkebunan Socfindo Mata Pao, 11 Juli 2008)

Dokumen terkait