MODEL ALOMETRIK BIOMASSA DAN PENDUGAAN
SIMPANAN KARBON RAWA NIPAH (
Nypa fruticans
)
SKRIPSI
OLEH: CICI IRMAYENI
061202012 / BUDIDAYA HUTAN
DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Model Alometrik Biomassa dan Pendugaan Simpanan
Karbon Rawa Nipah.
Nama Mahasiswa : Cici Irmayeni
Nim : 061202012
Program Studi : Budidaya Hutan
Disetujui oleh:
Komisi Pembimbing
Ketua Anggota
Onrizal, S.Hut. M.Si
NIP.19740225 200003 1 001 NIP. 19710416 200112 2 001 Siti Latifah, S.Hut, M.Si, Ph.D
Mengetahui
Ketua Departemen
Cici Irmayeni. Model Alometrik Biomassa dan Pendugaan Simpanan Karbon
Rawa Nipah (Nypa fruticans). Dibimbing oleh Onrizal, S.Hut, M.Si dan
Siti latifah,S.Hut, M.Si, P.hD.
ABSTRAK
Produktivitas hutan merupakan gambaran kemampuan hutan dalam mengurangi emisi CO2 di atmosfer melalui fungsi fisiologisnya. Hutan
mengabsorpsi CO2 selama proses fotosintesis dan menyimpannya sebagai materi
organik dalam biomassa tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk membangun model alometrik komunitas nipah dan untuk menduga simpanan karbon komunitas nipah. Model alometrik terpilih yaitu Y = 0,54 Dpel0,63 Ppel0,31 dengan
nilai R2 sebesar 20,90%. Penelitian menghasilkan rata-rata biomassa, simpanan karbon dan serapan CO2 nipah secara berurutan adalah 9,64 ton/ha, 4,82 ton/ha
and 17,69 ton CO2 e/ha.
Cici Irmayeni. Model allometric of Biomass and to estimate the carbon stock of
nypah community (Nypa fruticans). Dibimbing oleh Onrizal, S.Hut, M.Si dan
Siti latifah,S.Hut, M.Si, P.hD.
ABSTRACT
Forest productivity is the description of forest capabilities orests in reducing emissions of CO2 in the atmosphere through a physiological function.
Forests absorb CO2 during photosynthesis process and store it as organic
materials in plant biomass. The reseach were to create the biomass allometric ot nypah community and to estimate the carbon stock of nypah comunity. Allometric chosen is allometric Y = 0,54 Dpel0,63 Ppel0,31 with valueR2 20,90%. The research
result shown the average of above ground biomass, carbon stock and CO2
equivalent were 9,64 ton/ha, 4,82 ton/ha and 17,69 ton CO2 e/ha.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota Medan, Sumatera Utara pada tanggal 14 Januari
1988 sebagai anak ke sembilan dari sembilan bersaudara dari ayah Syamsuddin
Koto dan Ibu Dartina Tanjung. Pada tahun 2006 penulis lulus dari SMA Negeri 6
Medan dan tahun 2006 penulis lulus seleksi masuk USU melalui jalur SPMB.
Penulis memilih program studi Budidaya Hutan, Departemen Kehutanan, Fakultas
Pertanian.
Selama mengikuti perkuliahan penulis penah menjadi asisten praktikum
Silvikultur pada tahun 2008, asisten Praktik dan Pengenalan Pengelolaan Hutan
(P3H) pada tahun 2009 serta menjadi asisten Dendrologi pada tahun 2010. Penulis
mengikuti kegiatan organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Sylva USU
dan organisasi Sahabat Orang Utan – Orangutan Informasi Centre (SOU-OIC),
Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Perhutani Unit III. Jawa
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat melaksanakan dan menyelesaikan
skripsi ini dengan baik. Judul penelitian ini adalah “Model Alometrik Biomassa
dan Pendugaan Simpanan Karbon Rawa Nipah (Nypa fruticans)”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing, bapak Onrizal,
S.Hut. M.Si. selaku ketua dan ibu Siti Latifah S.Hut, M.Si, Ph.D selaku anggota.
penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua yang telah
banyak memberi dukungan terhadap penulis baik dalam doa dan materil serta
teman-teman yang telah membantu penulis dapat menyelesaikan.
Penulis menyadari dengan segala kerendahan hati atas segala kekurangan
dalam penyusunan penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi
materi maupun teknik penulisan, maupun kalimat yang disampaikan. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari
penyusunan ini, dan penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca, khususnya bagi mahasiswa kehutanan.
Medan, November 2010
DAFTAR ISI
Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove ... 7
Tumbuhan Nipah ... 11
Klasifikasi Ilmiah Nipah ... 11
Tempat Tumbuh dan Penyebaran Nipah ... 13
Manfaat Nipah ... 14
Pemanasan Global... 15
Karbon Hutan ... 17
Peran Hutan Sebagai Penyerap Karbon ... 19
Model Alometrik Penduga Karbon Hutan ... 21
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak geografis ... 25
Topografi dan ketinggian tempat ... 25
Penentuan Petak Ukur ... 28
Tahapan Pengambilan Data ... 29
Pengukuran Komunitas Nipah ... 29
Pengambilan Contoh Nipah ... 30
Pengukuran Tumbuhan Bawah ... 31
Pengambilan Contoh Tumbuhan Bawah ... 31
Pengambilan Contoh Serasah ... 32
Pengolahan Data ... 32
Model Penduga Biomassa Nipah ... 32
Pemilihan Model Nipah ... 34
Analisis Model Alometrik Nipah ... 35
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Tegakan Nypa fruticans ... 41
Karakteristik Fisik Nipah Contoh ... 43
Kadar Air Nipah Contoh ... 43
Penyusunan Persamaan Alometrik Biomassa Nipah ... 44
Persamaan Alometrik Biomassa tangkai Total ... 45
Persamaan Alometrik Biomassa tangkai Tua ... 48
Persamaan Alometrik Biomassa tangkai Muda ... 50
Persamaan Alometrik Biomassa tangkai Kuncup ... 52
Persamaan Alometrik Biomassa Daun Total Nipah ... 55
Persamaan Alometrik Biomassa Daun Tua ... 56
Persamaan Alometrik Biomassa Daun Muda ... 59
Persamaan Alometrik Biomassa Daun Kuncup ... 61
Persamaan Alometrik Biomassa pelepah Total ... 64
Persamaan Alometrik Biomassa Pelepah Tua ... 67
Persamaan Alometrik Biomassa Pelepah Muda ... 69
Persamaan Alometrik Biomassa Pelepah Kuncup ... 72
Persamaan Alometrik Biomassa Total Nipah ... 75
Biomassa Nipah Contoh ... 77
Biomassa Tegakan Nipah ... 78
Biomassa Tumbuhan Bawah dan Serasah ... 80
Biomassa Tumbuhan Bawah ... 80
Biomassa Serasah ... 81
Biomassa Bagian Atas Permukaan Tanah Total Komunitas Nipah .... 81
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Titik petak ukur pengamatan ... 29
2. Karakteristik Nypa fruticans ... 41
3. Persamaan Alometrik Biomassa tangkai Total Nipah ... 45
4. Persamaan Alometrik Biomassa tangkai Tua Nipah ... 48
5. Persamaan Alometrik Biomassa tangkai Muda Nipah ... 50
6. Persamaan Alometrik Biomassa tangka i Kuncup Nipah ... 52
7. Persamaan Alometrik Biomassa Daun Total Nipah ... 55
8. Persamaan Alometrik Biomassa Daun Tua Nipah ... 57
9. Persamaan Alometrik Biomassa Daun Muda Nipah ... 59
10.Persamaan Alometrik Biomassa Daun Kuncup Nipah ... 62
11.Persamaan Alometrik Biomassa pelepah Total ... 65
12.Persamaan Alometrik Biomassa Pelepah Tua Nipah ... 67
13.Persamaan Alometrik Biomassa Pelepah Muda Nipah ... 69
14.Persamaan Alometrik Biomassa Pelepah Kuncup Nipah ... 73
15.Persamaan Alometrik Biomassa Total Nipah ... 75
16.Biomassa Bagian Atas Permukaan Tanah Total Komunitas Nipah ... 81
17.Potensi Serapan Karbondioksida Tegakan Nipah ... 82
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Plot Pengamatan ... 28
2. Pengukuran Diameter Rumpun Menggunakan Kalifer ... 29
3. Pengukuran Panjang dan Tinggi Pelepah ... 30
4. Diagram Alir Pembuatan Model Biomassa Nipah ... 33
5. Kondisi Tegakan Nipah ... 37
6. Kadar Air Rata-Rata Pada Setiap Bagian Nipah Contoh ... 44
7. Tampilan Plot Uji Kenormalan Sisaan Persamaan Alometrik Terpilih Biomassa Pelepah Nipah Total ... 47
8. Tampilan Plot Uji Kenormalan Sisaan Persamaan Alometrik Terpilih Biomassa Pelepah Tua ... 49
9. Tampilan Plot Uji Kenormalan Sisaan Persamaan Alometrik Terpilih Biomassa Pelepah Muda ... 51
10. Tampilan Plot Uji Kenormalan Sisaan Persamaan Alometrik Terpilih Biomassa Pelepah Kuncup ... 54
11. Tampilan Plot Uji Keaditifan Persamaan Alometrik Terpilih Biomassa Pelepah Kuncup Nipah ... 54
12. Tampilan Plot Uji Kenormalan Sisaan Persamaan Alometrik Terpilih Biomassa Daun Total Nipah ... 56
13. Tampilan Plot Uji Kenormalan Sisaan Persamaan Alometrik Terpilih Biomassa Daun Tua Nipah ... 59
14. Tampilan Plot Uji Kenormalan Sisaan Persamaan Alometrik Terpilih Biomassa Daun Muda Nipah ... 61
15. Tampilan Plot Uji Kenormalan Sisaan Persamaan Alometrik Terpilih Biomassa Daun Pelepah Kuncup Nipah ... 64
16. Tampilan Plot Uji keaditifan Persamaan Alometrik Terpilih Biomassa Daun Pelepah Kuncup Nipah ... 64
18. Tampilan Plot Uji Kenormalan Sisaan Persamaan Alometrik Terpilih
Biomassa Pelepah Tua ... 69
19. Tampilan Plot Uji Kenormalan Sisaan Persamaan Alometrik Terpilih Biomassa Pelepah Muda ... 71
20. Tampilan Plot Uji Keaditifan Persamaan Alometrik Terpilih Biomassa Pelepah Muda ... 71
21. Tampilan Plot Uji Kenormalan Sisaan Persamaan Alometrik Terpilih Biomassa Pelepah Kuncup ... 75
22. Tampilan Plot Uji Keaditifan Persamaan Alometrik Terpilih Biomassa Pelepah Kuncup ... 76
23. Tampilan Plot Uji Kenormalan Sisaan Persamaan Alometrik Terpilih Biomassa Total Nipah ... 77
24. Nilai Rata-Rata Biomassa Nipah Contoh Pada Setiap Plot ... 78
25. Rata-Rata Biomassa Total Di Atas Permukaan Tanah Nipah Contoh ... 78
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Hasil Perhitungan Kadar Air Contoh Nipah ... 86
2. Hasil Perhitungan Biomassa Total Nipah Contoh ... 87
3. Hasil Perhitungan Biomassa Tumbuhan Bawah ... 89
Cici Irmayeni. Model Alometrik Biomassa dan Pendugaan Simpanan Karbon
Rawa Nipah (Nypa fruticans). Dibimbing oleh Onrizal, S.Hut, M.Si dan
Siti latifah,S.Hut, M.Si, P.hD.
ABSTRAK
Produktivitas hutan merupakan gambaran kemampuan hutan dalam mengurangi emisi CO2 di atmosfer melalui fungsi fisiologisnya. Hutan
mengabsorpsi CO2 selama proses fotosintesis dan menyimpannya sebagai materi
organik dalam biomassa tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk membangun model alometrik komunitas nipah dan untuk menduga simpanan karbon komunitas nipah. Model alometrik terpilih yaitu Y = 0,54 Dpel0,63 Ppel0,31 dengan
nilai R2 sebesar 20,90%. Penelitian menghasilkan rata-rata biomassa, simpanan karbon dan serapan CO2 nipah secara berurutan adalah 9,64 ton/ha, 4,82 ton/ha
and 17,69 ton CO2 e/ha.
Cici Irmayeni. Model allometric of Biomass and to estimate the carbon stock of
nypah community (Nypa fruticans). Dibimbing oleh Onrizal, S.Hut, M.Si dan
Siti latifah,S.Hut, M.Si, P.hD.
ABSTRACT
Forest productivity is the description of forest capabilities orests in reducing emissions of CO2 in the atmosphere through a physiological function.
Forests absorb CO2 during photosynthesis process and store it as organic
materials in plant biomass. The reseach were to create the biomass allometric ot nypah community and to estimate the carbon stock of nypah comunity. Allometric chosen is allometric Y = 0,54 Dpel0,63 Ppel0,31 with valueR2 20,90%. The research
result shown the average of above ground biomass, carbon stock and CO2
equivalent were 9,64 ton/ha, 4,82 ton/ha and 17,69 ton CO2 e/ha.
PENDAHULUAN Latar Belakang
Perubahan iklim yang dipicu oleh meningkatnya gas-gas rumah kaca
(GRK) telah menjadi perhatian masyarakat dunia dalam beberapa dekade terakhir.
Karbon yang merupakan salah satu GRK konsentrasinya meningkat di atmosfer
antara lain disebabkan oleh meningkatnya penggunaan bahan bakar fosil untuk
alat transportasi atau sebagai bahan bakar industri dan pemakaian bahan-bahan
kimia yang menimbulkan efek negatif terhadap atmosfer seperti meningkatnya
GRK. Suhu rata-rata permukaan bumi meningkat dan penipisan lapisan ozon.
Pantulan sinar matahari dari permukaan bumi tidak menembus awan dan kembali
dipantulkan ke atmosfer sehingga suhu permukaan bumi menjadi naik (Hairiah &
Rahayu, 2007).
Menurut Wulansari (2009) peningkatan GRK terutama karbondioksida
(CO2), di atmosfer dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perubahan iklim
global. Pada sisi lain ekosistem hutan itu sendiri berperan dalam mitigasi
perubahan iklim karena mampu mereduksi CO2 melalui mekanisme “sekuestrasi”,
penyerapan karbon dari atmosfer dan penyimpanannya dalam beberapa
kompartemen seperti tumbuhan, serasah dan materi organik tanah.
Hutan mangrove merupakan formasi hutan yang tumbuh dan berkembang
pada daerah landai di muara sungai, dan pesisir pantai yang dipengaruhi oleh
pasang surut air laut. Oleh karena kawasan hutan mangrove secara rutin digenangi
oleh pasang surut air laut, sehingga lingkungan (tanah dan air) hutan mangrove
dilingkungan tersebut kering maupun basah, disebut dengan halopita (halophytic)
(Onrizal, 2005).
Kawasan hutan pesisir, khususnya hutan mangrove menurut Yudosudarto
& Rachman (2007) mempunyai potensi ganda ditinjau dari aspek potensi ekologi
dan ekonomi, dimana potensi ekologi ditekankan kepada kemampuannya dalam
mendukung eksistensi lingkungan yaitu sebagai tempat asuhan (nursery ground)
bermacam-macam binatang air, penahan air, pelindung pantai dari hamparan
gelombang. Potensi ekonomis mangrove ditunjukkan dengan kemampuannya
dalam menghasilkan produk yang dapat diukur dengan materi. Salah satunya dari
hutan mangrove yang mempunyai aspek ekonomi adalah nipah.
Ekosistem hutan mangrove memiliki fungsi ekologis, ekonomis dan sosial
yang penting dalam pembangunan, khususnya di wilayah pesisir. Meskipun
demikian, kondisi hutan mangrove di Indonesia terus mengalami kerusakan dan
pengurangan luas dengan kecepatan kerusakan mencapai 530.000 ha/tahun.
Sementara laju penambahan luas areal rehabilitasi mangrove yang dapat
terealisasi masih jauh lebih lambat dibandingkan dengan laju kerusakannya, yaitu
hanya sekitar 1.973 ha/tahun (Anwar & Hendra, 2006).
Komunitas nipah merupakan flora mangrove sejati (flora mangrove
mayor) yang telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat seperti untuk atap rumah
(tepas), lidi, gula nipah dan tikar (Tomlinson, 1986 dalam LPPM, 2009). Selain
itu, komunitas nipah juga berperan penting dalam menyerap dan menyimpan
karbon (FPPB, 2009, LPPM, 2009). Namun demikian penelitian pendugaan
biomassa dan simpanan karbon pada komunitas nipah belum pernah dilakukan.
nipah khususnya bagian badan nipah, tumbuhan bawah dan serasah penting untuk
dilakukan.
Tujuan Penelitian
1. Membangun model alometrik biomassa untuk pendugaan karbon
tersimpan dalam komunitas nipah
2. Menduga simpanan karbon komunitas nipah yang mencakup tegakan
nipah, tumbuhan bawah dan serasah.
Kegunaan penelitian
1. Memperoleh model alometrik dalam menduga simpanan karbon
komunitas nipah
2. Sebagai acuan dalam pengelolaan sumber daya hutan mangrove secara
TINJAUAN PUSTAKA
Hutan Mangrove
Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di
sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di
suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai
dengan reaksi tanah anaerob. Secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan
sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai
yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pasang dan bebas dari
genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap
garam (Santono, et al., 2005).
Ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme
(tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungannya di dalam
suatu habitat mangrove. Mangrove merupakan ekosistem hutan yang unik karena
merupakan perpaduan antara ekosistem darat dan ekosistem perairan. Hutan
mangrove mempunyai peranan yang sangat penting terutama bagi kehidupan
masyarakat sekitarnya dengan memanfaatkan produksi yang ada di dalamnya,
baik sumberdaya kayunya maupun sumberdaya biota air (udang, kepiting, ikan)
yang biasanya hidup dan berkembang biak di hutan mangrove (Santono, et al.,
2005).
Hutan mangrove di Indonesia, yang terbagi kedalam 2 (dua) zone wilayah
geografi mangrove yakni Asia dan Oseania, kedua zona tersebut memiliki
keanekaragaman tumbuhan, satwa dan jasad renik yang lebih besar dibanding
negara-negara lainnya. Hal ini terjadi karena keadaan alamnya yang berbeda dari
pulau yang sama. Sistem perpaduan antara sumberdaya hutan mangrove dan
tempat hidupnya yang khas itu, menumbuhkan berbagai ekosistem yang
masing-masing menampilkan kekhususan dalam kehidupan jenis-jenis yang terdapat di
dalamnya (Santono, et al., 2005).
Luas dan Penyebaran
Menurut Santono et al., (2005) terdapat variasi yang nyata dari luas total
ekosistem mangrove Indonesia, yakni berkisar antara 2,5 juta – 4,25 juta ha.
Perbedaan jumlah luasan ini lebih banyak disebabkan oleh perbedaan metodologi
pengukuran luas hutan mangrove yang dilakukan oleh berbagai pihak. Walaupun
demikian diakui oleh dunia bahwa Indonesia mempunyai luas ekosistem
mangrove terluas di dunia (21% luas mangrove dunia). Hutan-hutan mangrove
menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di sekeliling
Luas hutan mangrove
merupakan mangrove yang terluas di dunia melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria
(1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha). Di Indonesia, hutan-hutan mangrove yang
luas terdapat di seputar
tempat bermuara sungai-sungai besar, yakni di pantai timur
barat serta selatan
terkikis oleh kebutuhan penduduknya terhadap lahan. Di bagian timur Indonesia,
ditep
luas 1,3 juta ha, sekitar sepertiga dari luas hutan mangrove Indonesia
(Santono, et al., 2005).
Beberapa faktor yang menjadi penyebab berkurangnya ekosistem
mangrove antara lain:
1. Konversi hutan mangrove menjadi bentuk lahan penggunaan lain, seperti
permukiman, pertanian, tambak, industri, pertambangan, dll.
2. Kegiatan eksploitasi hutan yang tidak terkendali oleh perusahaan HPH
serta penebangan liar dan bentuk perambahan hutan lainnya.
3. Polusi di perairan estuaria, pantai, dan lokasi-lokasi perairan lainnya
dimana tumbuh mangrove.
4. Terjadinya pembelokan aliran sungai maupun proses sedimentasi dan
abrasi yang tidak terkendali.
Penambahan hutan mangrove di beberapa propinsi belum diketahui dan
dilaporkan secara pasti, namun ada beberapa faktor yang memungkinkan
bertambahnya areal hutan mangrove dibeberapa propinsi tersebut, yaitu:
1. Adanya reboisasi atau penghijauan.
2. Adanya perluasan lahan hutan mangrove secara alami yang berkaitan
dengan adanya proses sedimentasi dan atau penaikan permukaan air laut.
3. Presisi metoda penafsiran luas hutan yang lebih baik dari metoda yang
digunakan sebelumnya.
Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove
Menurut Davis, Claridge & Natarina (1995) dalam FPPB (2009), hutan
mangrove memiliki fungsi dan manfaat sebagai berikut :
1. Habitat satwa langka
Hutan mangrove sering menjadi habitat jenis-jenis satwa. Lebih dari 100
jenis burung hidup disini, dan daratan lumpur yang luas berbatasan dengan
hutan mangrove merupakan tempat mendaratnya ribuan burug pantai
ringan migran, termasuk jenis burung langka Blekok Asia (Limnodrumus
semipalmatus)
2. Pelindung terhadap bencana alam
Vegetasi hutan mangrove dapat melindungi bangunan, tanaman pertanian
atau vegetasi alami dari kerusakan akibat badai atau angin yang bermuatan
garam melalui proses filtrasi.
3. Pengendapan lumpur
Sifat fisik tanaman pada hutan mangrove membantu proses pengendapan
lumpur. Pengendapan lumpur berhubungan erat dengan penghilangan
racun dan unsur hara air, karena bahan-bahan tersebut seringkali terikat
pada partikel lumpur. Dengan hutan mangrove, kualitas air laut terjaga
dari endapan lumpur erosi.
4. Penambah unsur hara
Sifat fisik hutan mangrove cenderung memperlambat aliran air dan terjadi
pengendapan. Seiring dengan proses pengendapan ini terjadi unsur hara
yang berasal dari berbagai sumber, termasuk pencucian dari areal
5. Penambat racun
Banyak racun yang memasuki ekosistem perairan dalam keadaan terikat
pada permukaan lumpur atau terdapat di antara kisi-kisi molekul partikel
tanah air. Beberapa spesies tertentu dalam hutan mangrove bahkan
membantu proses penambatan racun secara aktif
6. Sumber alam dalam kawasan (In-Situ) dan luar Kawasan (Ex-Situ)
Hasil alam in-situ mencakup semua fauna dan hasil pertambangan atau
mineral yang dapat dimanfaatkan secara langsung di dalam kawasan.
Sedangkan sumber alam ex-situ meliputi produk-produk alamiah di hutan
mangrove dan terangkut/berpindah ke tempat lain yang kemudian
digunakan oleh masyarakat di daerah tersebut, menjadi sumber makanan
bagi organisme lain atau menyediakan fungsi lain seperti menambah luas
pantai karena pemindahan pasir dan lumpur.
7. Transportasi
Pada beberapa hutan mangrove, transportasi melalui air merupakan cara
yang paling efisien dan paling sesuai dengan lingkungan.
8. Sumber plasma nutfah
Plasma nutfah dari kehidupan liar sangat besar manfaatnya baik bagi
perbaikan jenis-jenis satwa komersial maupun untuk memelihara populasi
kehidupan liar itu sendiri.
9. Rekreasi dan pariwisata
Hutan mangrove memiliki nilai estetika, baik dari faktor alamnya maupun
dari kehidupan yang ada didalamnya. Hutan mangrove yang telah
Selatan), Muara Angke (DKI), Suwung, Denpasar (Bali), Blanakan dan
Cikeong (Jawa Barat), dan Cilacap (Jawa Tengah). Hutan mangrove
memberikan obyek wisata yang berbeda dengan obyek wisata alam
lainnya. Karakteristik hutannya yang berada di peralihan antara darat dan
laut memiliki keunikan dalam beberapa hal. Para wisatawan juga
memperoleh pelajaran tentang lingkungan langsung dari alam. Pantai
Padang, Sumatera Barat yang memiliki areal mangrove seluas 43,80 ha
dalam kawasan hutan, memiliki peluang untuk dijadikan areal wisata
mangrove.
Kegiatan wisata ini di samping memberikan pendapatan langsung bagi
pengelola melalui penjualan tiket masuk dan parkir, juga mampu
menumbuhkan perekonomian masyarakat di sekitarnya dengan
menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, seperti membuka
warung makan, menyewakan perahu, dan menjadi pemandu wisata.
10.Sarana pendidikan dan penelitian
Upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan
laboratorium lapang yang baik untuk kegiatan penelitian dan pendidikan.
11.Memelihara proses-proses dan sistem alami
Hutan mangrove sangat tinggi peranannya dalam mendukung
berlangsungnya proses-proses ekologi, geomorfologi, atau geologi di
dalamnya.
12.Penyerapan karbon
Proses fotosintesis mengubah karbon anorganik (C02) menjadi karbon
bahan ini membusuk dan melepaskan karbon kembali ke atmosfer sebagai
C02. Akan tetapi hutan mangrove justru mengandung sejumlah besar
bahan organik yang tidak membusuk. Karena itu, hutan mangrove lebih
berfungsi sebagai penyerap karbon dibandingkan dengan sumber karbon.
13.Memelihara iklim mikro
Evapotranspirasi hutan mangrove mampu menjaga kelembaban dan curah
hujan kawasan tersebut, sehingga keseimbangan iklim mikro terjaga.
14.Mencegah berkembangnya tanah sulfat masam
Keberadaan hutan mangrove dapat mencegah teroksidasinya lapisan pirit
dan menghalangi berkembangnya kondisi alam.
Secara garis besar manfaat hutan mangrove dapat dibagi dalam dua bagian
1. Fungsi ekonomis, yang terdiri atas :
a. Hasil berupa kayu (kayu konstruksi, kayu bakar, arang, serpihan kayu
untuk bubur kayu, tiang/pancang)
b. Hasil bukan kayu
Hasil hutan ikutan (non kayu)
Lahan (Ecotourisme dan lahan budidaya)
2. Fungsi ekologi, yang terdiri atas berbagai fungsi perlindungan lingkungan
ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagai jenis fauna,
diantaranya:
a. Sebagai proteksi dan abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang.
b. Pengendalian instrusi air laut
d. Sebagai tempat mencari, memijah dan berkembang biak berbagai jenis
ikan dan udang
e. Pembangunan lahan melalui proses sedimentasi
f. Pengontrol penyakit malaria
g. Memelihara kualitas air (mereduksi polutan, pencemar air)
Hasil hutan mangrove non kayu ini sampai dengan sekarang belum banyak
dikembangkan di Indonesia. Padahal apabila dikaji dengan baik, potensi
sumberdaya hutan mangrove non kayu di Indonesia sangat besar dan dapat
mendukung pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan (Junaidi, 2009).
Tumbuhan Nipah
Nipah adalah sejenis palem (palma) yang tumbuh dilingkungan hutan
mangrove atau daerah pasang surut dekat tepi laut. Di beberapa negara lain,
tumbuhan ini dikenal dengan nama (dalam bahasa Inggris) Attap palm
(Singapura), Nipa palm (Filipina), atau umumnya disebut Nypa palm.
Nama ilmiahnya adalah Nypa fruticans Wurmb, dan diketahui sebagai
satu-satunya anggota genus Nypa. Juga merupakan satu-satunya jenis palma dari
wilayah mangrove. Fosil serbuk sari palma ini diketahui dari sekitar 70 juta tahun
yang silam (Ditjenbun, 2006).
Klasifikasi Ilmiah Nipah
Kerajaan
Divisi
Kelas
Famili
Genus
Spesies : Nypa fruticans Wurmb
(Ditjenbun, 2006).
terendam oleh
nipah nampak seolah-olah tak berbatang. Akar serabutnya dapat mencapai
panjan
maka rumpun-rumpun nipah dapat dihanyutkan oleh air sampai ke laut (Mangrove
Information Centre, 2009).
Dari rimpangnya muncu
atau hampir tegak, menjulang hingga 9 m di atas tanah. Panjang tangkainya 1-1,5
m; dengan kulit yang mengkilap dan keras, berwarna hijau pada yang muda dan
berangsur menjadi cokelat sampai cokelat tua sesuai perkembangan umurnya;
bagian dalamnya lunak seperti
meruncing di bagian ujung, memiliki tulang daun yang di sebut lidi (seperti pada
daun
Daun nipah yang sudah tua berwarna hijau, sedangkan daunnya yang masih muda
berwarna kuning, menyerupai janur kelapa. Banyaknya anak daun dalam tiap
ental mencapai 25-100 helai (Mangrove Information Centre, 2009).
Karanga
bunga betina terkumpul di ujung membent
dalam
Bunga nipah jantan dilindungi ole
serbuk sari tetap tersembul keluar. Bunga nipah betina berbentuk bulat peluru dan
bengkok mengarah ke samping. Panjang tangkai badan bunga mencapai 100-170
cm. Tandan bunga inilah yang dapat disadap untuk diamb
lima bulan sejak keluarnya bunga nipah, tandan bunga tersebut dapat disadap.
Pada saat ini pengisian biji sedang aktif, maka bila dilakukan penyadapan pasti
akan dapat memperoleh jumlah nira yang maksimal (Mangrove Information
Centre, 2009).
gepeng dengan 2-3 rusuk, coklat kemerahan, 11 x 13 cm, terkumpul dalam
kelompok rapat menyerupai bola berdiameter sekitar 30 cm. Struktur buah mirip
buah kelapa, dengan eksokarp halus, mesokarp berupa sabut, dan endokarp keras
yang disebut tempurung. Biji terlindung oleh tempurung dengan panjangnya
antara 8-13 cm dan berbentuk kerucut. Dalam satu tandan, buahnya dapat
mencapai antara 30-50 butir, berdempetan satu dengan yang lainnya membentuk
kumpulan buah bundar. Buah yang masak gugur ke air dan mengapung mengikuti
arus
kali buah telah berkecambah senyampang dihanyutkan arus ke tempat yang baru
(Mangrove Information Centre, 2009).
Tempat Tumbuh dan Penyebaran Nipah
Nipah tumbuh di bagian belakang hutan mangrove, terutama di dekat
aliran
laut yang mengantarkan buah-buahnya yang mengapung. Di tempat-tempat yang
sesuai, tegakan nipah membentuk jalur lebar tak terputus di belakang lapisan
hutan mangrove, kurang lebih sejajar dengan garis pantai. Nipah mampu bertahan
hidup di atas lahan yang agak kering atau yang kering sementara air surut
(Mangrove Information Centre, 2009).
Palma ini umum ditemukan di sepanjang garis pesisir
hingga
Pasifik. Nipah termasuk jenis tumbuhan yang terancam punah di
(Mangrove Information Centre, 2009).
Manfaat Nipah
Daun nipah yang telah tua banyak dimanfaatkan secara tradisional untuk
membuat atap rumah yang daya tahannya mencapai 3-5 tahun. Daun nipah yang
masih muda mirip janur kelapa, dapat dianyam untuk membuat dinding rumah
yang disebut kajang. Daun nipah juga dapat dianyam untuk membuat
topi dan aneka
muda (dinamai pucuk) dijadikan daun
melinting
dikelantang untuk memutihkannya dan kemudian dipotong-potong sesuai ukuran
rokok. Beberapa naskah lama Nusantara juga menggunakan daun nipah sebagai
alas tulis, bukannya daun
Tangkai daun dan pelepah nipah dapat digunakan sebagai bahan kayu
bakar yang baik. Pelepah daun nipah juga mengandun
digunakan untuk sapu, bahan anyam-anyaman dan
niranya, yakni cairan manis yang diperoleh dari tandan bunga yang belum mekar.
Nira yang dikeringkan dengan dimasak dipasarkan sebagai gula nipah (palm
sugar). Dari hasil oksidasi gula nipah dapat dihasilkan
Information Centre, 2009).
Di Filipina dan juga di
semacatuba (dalam bahasa Filipina). Fermentasi lebih
lanjut dari tuba akan menghasilka
bahan ba
jauh lebih unggul dibandingkan
Information Centre, 2009).
muda, yang disebut tembatuk, mirip dengan
diberi nama attap chee ("chee" berarti "biji" menurut dialek China tertentu).
Sedangkan buah yang sudah tua bisa ditumbuk untuk dijadikan tepung. Di
(Mangrove Information Centre, 2009).
Pemanasan global
Pemanasan global terjadi ketika ada konsentrasi gas-gas tertentu yang
dikenal dengan gas rumah kaca, yang terus bertambah di udara. Hal tersebut
disebabkan oleh tindakan manusia, kegiatan industri, khususnya CO2 dan
dihasilkan oleh penggunaan batubara, minyak bumi, gas dan penggundulan hutan
serta pembakaran hutan. Asam nitrat dihasilkan oleh kendaraan dan emisi industri,
sedangkan emisi metan disebabkan oleh aktivitas industri dan pertanian.
Chlorofluorocarbon CFCs merusak lapisan ozon seperti juga GRK menyebabkan
pemanasan global, tetapi sekarang dihapus dalam Protokol Montreal.
Karbondioksida, chlorofluorocarbon, metan, asam nitrat adalah gas-gas polutif
yang terakumulasi di udara dan menyaring banyak panas dari matahari. Sementara
lautan dan vegetasi menangkap banyak CO2, kemampuannya untuk menjadi
“atap” sekarang berlebihan akibat emisi. Ini berarti bahwa setiap tahun, jumlah
akumulatif dari gas rumah kaca yang berada di udara bertambah dan itu berarti
mempercepat pemanasan global (Assisi, 2009).
Sepanjang seratus tahun ini konsumsi energi dunia bertambah secara
spektakuler. Sekitar 70% energi dipakai oleh negara-negara maju dan 78% dari
energi tersebut berasal dari bahan bakar fosil. Hal ini menyebabkan
ketidakseimbangan yang mengakibatkan sejumlah wilayah terkuras habis dan
yang lainnya mereguk keuntungan. Sementara itu, jumlah dana untuk
pemanfaatan energi yang tak dapat habis (matahari, angin, biogas, air, khususnya
hidro mini dan makro), yang dapat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil,
baik di negara maju maupun miskin tetaplah rendah, dalam perbandingan dengan
bantuan keuangan dan investasi yang dialokasikan untuk bahan bakar fosil dan
energi nuklir (Assisi, 2009).
Penggundulan hutan yang mengurangi penyerapan karbon oleh pohon,
menyebabkan emisi karbon bertambah sebesar 20% dan mengubah iklim mikro
Pencegahan perubahan iklim yang merusak membutuhkan tindakan nyata untuk
menstabilkan tingkat GRK sekarang di udara sesegera mungkin dengan
mengurangi emisi GRK sebesar 50% (Assisi, 2009).
Karbon Hutan
Pada ekosistem daratan, karbon tersimpan terdiri dari 3 komponen pokok
menurut Hairiah, et al., 2001 yaitu:
1. Biomassa : massa dari bagian vegetasi yang masih hidup yaitu tajuk
pohon, tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman semusim.
2. Nekromasa: massa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih
tegak di lahan (batang atau tunggul pohon) yang telah tumbang/tergelatak
di permukaan tanah, tonggak atau ranting dan daun-daun gugur (serasah)
yang belum lapuk.
3. Bahan organik tanah: sisa makhluk hidup (tanaman, hewan dan manusia)
yang telah mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya dan
telah menjadi bagian dari tanah. Ukuran partikel biasanya lebih kecil dari 2
mm.
Berdasarkan keberadaannya di alam, ketiga komponen C tersebut dapat di
bedakan menjadi 2 kelompok yaitu:
A. Karbon di atas permukaan tanah meliputi: Biomasa pohon. Proporsi
terbesar penyimpanan C di daratan umumnya terdapat pada komponen
pepohonan. Untuk mengurangi tindakan perusakan selama pengukuran,
biomasa pohon dapat diestimasi dengan mengunakan persamaan alometrik
Biomasa tumbuhan bawah. Tumbuhan bawah meliputi semak belukar
yang berdiameter < 5 cm, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan atau
gulma. Estimasi tumbuhan bawah dilakukan dengan mengambil bagian
tanaman (melibatkan perusakan).
Nekromasa. Batang pohon mati baik yang masih tegak atau telah tumbang
dan tergeletak di permukaan tanah, yang merupakan komponen penting
dari C dan harus di ukur pula agar diperoleh estimasi penyimpanan C yang
akurat.
Serasah. Serasah meliputi bagian tanaman yang telah gugur berupa daun
dan ranting-ranting yang terletak di permukaan tanah.
B. Karbon di dalam tanah, meliputi: Biomassa akar. Akar mentransfer C
dalam jumlah besar langsung ke dalam tanah, dan keberadaannya dalam
tanah bisa cukup lama. Pada tanah hutan biomassa akar lebih didominasi
oleh akar-akar besar (diameter > 2 mm), sedangkan pada tanah pertanian
lebih didominasi oleh akar-akar halus yang lebih pendek daur hidupnya.
Bahan organik tanah. Sisa tanaman, hewan dan manusia yang ada di
permukaan dan di dalam tanah, sebagian dan seluruhnya di rombak oleh
organisme tanah sehingga melapuk dan menyatu dengan tanah, dinamakan
bahan organik tanah.
Peran Hutan Sebagai Penyerap Karbon
Peranan hutan sebagai penyerap karbon mulai menjadi sorotan pada saat
bumi dihadapkan pada persoalan efek rumah kaca, berupa kecenderungan
peningkatan suhu udara atau biasa disebut sebagai pemanasan global. Penyebab
terjadinya pemanasan global ini adalah adanya peningkatan konsentrasi GRK di
atmosfer dimana peningkatan ini menyebabkan kesetimbangan radiasi berubah
dan suhu bumi menjadi lebih panas (Adinugroho, et al., (2009) dalam
Bako, 2009).
Gas Rumah Kaca adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan
menyerap radiasi gelombang panjang yang dipancarkan kembali ke atmosfer oleh
permukaan bumi. Sifat termal radiasi inilah menyebabkan pemanasan atmosfer
secara global (global warming). Di antara GRK penting diperhitungkan dalam
pemanasan global adalah karbondioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida
(N2O). Dengan kontribusinya lebih dari 55% terhadap pemanasan global, CO2
yang diemisikan dari aktivitas manusia (antropogenic) mendapat perhatian yang
lebih besar. Tanpa adanya GRK, atmosfer bumi akan memiliki suhu 300 C lebih
dingin dari kondisi saat ini. Namun demikian seperti yang diuraikan di atas,
peningkatan konsentrasi GRK saat ini berada pada laju yang sangat
mengkhawatirkan sehingga emisi GRK harus segera dikendalikan. Upaya
mengatasi (mitigasi) pemanasan global dapat dilakukan dengan cara mengurangi
emisi dari sumbernya atau meningkatkan kemampuan penyerapan (Adinugroho, et
al., (2009) dalam Bako, 2009).
Hutan berperan dalam upaya peningkatan penyerapan CO2 dimana dengan
menyerap CO2 dari atmosfer melalui fotosintesis. Hasil fotosintesis ini antara lain
disimpan dalam bentuk biomassa yang menjadikan vegetasi tumbuh menjadi
besar atau makin tinggi. Pertumbuhan ini akan berlangsung terus sampai vegetasi
tersebut secara fisiologis berhenti tumbuh atau dipanen. Secara umum hutan
dengan “net growth” (terutama dari pohon-pohon yang sedang berada pada fase
pertumbuhan) mampu menyerap lebih banyak CO2, sedangkan hutan dewasa
dengan pertumbuhan yang kecil hanya menyimpan stock karbon tetapi tidak dapat
menyerap CO2 berlebih/ekstra. Dengan adanya hutan yang lestari maka jumlah
karbon (C) yang disimpan akan semakin banyak dan semakin lama. Oleh karena
itu, kegiatan penanaman vegetasi pada lahan yang kosong atau merehabilitasi
hutan yang rusak akan membantu menyerap kelebihan CO2 atmosfer
(Adinugroho, et al., (2009) dalam Bako, 2009).
Penurunan emisi karbon dapat dilakukan dengan: (a) mempertahankan
cadangan karbon yang telah ada dengan: mengelola hutan lindung, mengendalikan
defostasi, menerapkan praktek silvikultur yang baik, mencegah degradasi lahan
gambut dan memperbaiki pengelolaan cadangan bahan organik tanah, (b)
meningkatkan cadangan karbon melalui penanaman tanaman berkayu dan (c)
mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang dapat diperbaharui secara
langsung maupun tidak langsung (angin, biomassa, aliran air), radiasi matahari,
atau aktivitas panas bumi (Lasco et al., (2004) dalam Bako, 2009).
Peningkatan penyerapan cadangan karbon dapat dilakukan dengan: (a)
meningkatkan pertumbuhan biomassa hutan secara alami, (b) menambah
pemanenan kayu, dan (c) mengembangkan hutan dengan jenis pohon yang cepat
tumbuh (Sedjo & Salomon (1988) dalam Bako, 2009).
Model Alometrik Penduga Karbon Hutan
Model adalah rangkuman atau penyederhanaan dari suatu sistem (Hall &
Day, 1976 dalam Onrizal, 2004), sehingga hanya faktor dominan atau komponen
yang relevan saja dari masalah yang dianalisis yang diikutsertakan dalam
menunjukkan hubungan langsung dan tidak langsung dalam pengertian sebab
akibat (Jorgensen, 1988, Grant et al., 1997 dalam Onrizal 2004). Permodelan
adalah pengembangan analisis ilmiah dalam beberapa cara, yang berarti bahwa
dalam memodelkan suatu ekosistem akan lebih mudah dibandingkan dengan
ekosistem sebenarnya (Hall & Day, 1976 dalam Onrizal, 2004). Sementara itu
sistem merupakan suatu kumpulan dari bagian-bagian (komponen) yang
berinteraksi menurut proses tertentu (Gasperz, 1992, Odum, 1992 dalam Onrizal,
2004).
Produksi biomassa merupakan model proses yang ditetapkan secara
khusus melalui keseimbangan antara karbon yang diambil melalui proses
fotosintesis dan proses kehilangan karbon melalui respirasi. Karbon merupakan
produk dari produksi biomassa yang dibentuk dikurangi dengan total yang hilang
melalui jaringan akar halus, cabang, dan daun, serta karena penyakit, sisanya
tergabung dalam struktur dan tersimpan di dalam pohon. Penyerapan air akan
berpengaruh terhadap keseimbangan karbon dan pengalokasian karbon (Raymon
et al., 1983, Johnsen et al., 2001 dalam Onrizal, 2004).
disimpan dalam organ tumbuhan. Fungsi dan model biomassa direpresentasikan
melalui persamaan dengan tinggi dan diameter (Boer & Ginting, 1996 ;
Onrizal, 2004).
Dalam pembuatan model, dibutuhkan peubah-peubah yang mendukung
keberadaan model tersebut, yakni adanya korelasi yang tinggi antar
peubah-peubah penciri. Berbagai model biomassa tegakan hutan yang telah dibangun
didasarkan fungsi dimensi pohon (diameter dan tinggi) dengan analisis regresi
alometrik, fungsi taper, atau persamaan polynomial (Pastor et al., 1984 ;
Onrizal, 2004).
Johnsen (2001) dalam Onrizal (2004) menyatakan bahwa model penduga
karbon dapat diduga melalui persamaan regresi alometrik dari biomassa pohon
yang didasarkan pada fungsi dari diameter pohon. Hilmi (2003) dalam Onrizal
(2004) telah membangun model penduga karbon untuk kelompok jenis
Rhizophora spp dan Bruguiera spp., dimana kandungan karbon pohon merupakan
fungsi diameter dan atau tinggi pohon, dan fungsi dari biomassa pohon dengan
menggunakan pesamaan regresi alometrik.
Hubungan alometrik merupakan hubungan antara suatu peubah tak bebas
yang diduga oleh satu atau lebih peubah bebas, yang dalam hal ini diwakili oleh
karakteristik yang berbeda dalam pohon. Contohnya hubungan antara volume
pohon atau biomassa pohon dengan diameter dan tinggi total pohon, yang disebut
sebagai peubah bebas. Hubungan ini biasanya dinyatakan dalam suatu persamaan
alometrik (Hairiah, et al., 2001).
Persamaan alometrik dapat disusun dengan cara pengambilan contoh
mempunyai tipe hutan yang dapat diperbandingkan. Persamaan tersebut biasanya
menggunakan diameter pohon yang diukur setinggi dada (Dbh) yang diukur 1,3 m
dari permukaan tanah sebagai dasar. Persamaan empirik untuk biomassa total W
berdasarkan diameter (D) mempunyai bentuk polynomial : W = a + bD + cD2 +
cD3 atau mengikuti fungsi : W = aDb. Dimana W (biomassa total), C (karbon), D
(diameter), dan terdiri dari koefisien a dan koefisien b. Setelah persamaan
alometrik disusun, hanya diperlukan mengukur Dbh (atau parameter lain yang
digunakan sebagai dasar persamaan) untuk menaksir biomassa satu pohon.
Penaksiran biomassa total untuk seluruh pohon dalam transek ukur dapat
dikonversi menjadi biomassa dalam satuan ton per hektar (Hairiah, et al., 2001).
Peningkatan penyerapan cadangan karbon dapat dilakukan dengan (a)
meningkatkan pertumbuhan biomasa hutan secara alami, (b) menambah cadangan
kayu pada hutan yang ada dengan penanaman pohon atau mengurangi pemanenan
kayu, dan (c) mengembangkan hutan dengan jenis pohon yang cepat tumbuh
(Sedjo & Salomon, (1988) dalam Rahayu, et al., (2003). Karbon yang diserap
oleh tanaman disimpan dalam bentuk biomasa kayu, sehingga cara yang paling
mudah untuk meningkatkan cadangan karbon adalah dengan menanam dan
memelihara pohon (Lasco et al., (2004) dalam Rahayu, et al., (2003).
Komponen cadangan karbon daratan terdiri dari cadangan karbon di atas
permukaan tanah, cadangan karbon di bawah permukaan tanah dan cadangan
karbon lainnya. Cadangan karbon di atas permukaan tanah terdiri dari tanaman
hidup (batang, cabang, daun, tanaman menjalar, tanaman epifit dan tumbuhan
bawah) dan tanaman mati (pohon mati tumbang, pohon mati berdiri, daun,
karbon di bawah permukaan tanah meliputi akar tanaman hidup maupun mati,
organisme tanah dan bahan organik tanah. Pemanenan hasil kayu (kayu bangunan,
pulp, arang atau kayu bakar), resin, buah-buahan, daun untuk makanan ternak
menyebabkan berkurangnya cadangan karbon dalam skala Petak ukur, tetapi
belum tentu demikian jika kita perhitungkan dalam skala global. Demikian juga
halnya dengan hilangnya bahan organik tanah melalui erosi. Beberapa penilaian
karbon global memperhitungkan aliran karbon (khususnya yang berkaitan dengan
pohon/kayu) dan dekomposisi yang terjadi. Tetapi memperoleh hasil penilaian
yang konsisten cukup sulit apabila metode penilaian tidak memperhitungan
keseluruhan cadangan karbon yang ada, khususnya di daerah perkotaan. Sebagai
contoh, memperhitungkan lama hidup alat-alat rumah tangga yang terbuat dari
kayu yang tetap tersimpan dalam bentuk kayu untuk jangka waktu yang lama dan
tidak menjadi sumber emisi karbon. Canadell (2002) dalam Rahayu, et al., (2003)
mengatakan bahwa untuk memperoleh potensial penyerapan karbon yang
maksimum perlu ditekankan pada kegiatan peningkatan biomasa di atas
permukaan tanah bukan karbon yang ada dalam tanah, karena jumlah bahan
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis
Secanggang merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Langkat,
Propinsi Sumatera Utara. Adapun batas-batas wilayah Kecamatan Secanggang
secara geografis yaitu:
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Pura
- Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Hinai
Secara geografis kawasan ini terbentang antara 98˚30’ B T – 98˚42’ BT dan
3˚42’30’’ LU – 3˚49’45’’ LU.
Topografi dan Ketinggian Tempat
Kecamatan Secanggang adalah merupakan lokasi penelitian yang berada
pada ketinggian ± 1 meter dari permukaan laut dengan topografi landai. Kondisi
geologi Kecamatan ini di Kawasan Suaka Margasatwa Langkat Timur Laut
Sumatera Utara Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat adalah sebagai
berikut:
a. Kondisi tanah berlumpur, sedikit berpasir dan dipengaruhi pasang
surut air laut;
b. Tekstur tanah halus;
c. Memiliki tipe tanah Gley humus rendah;
d. Memiliki tipe lahan rawa pasut dan bentuk lahan dataran lumpur antar
pasang surut di bawah bakau; Memiliki jenis batuan Aluvium,
(Pemda Kabupaten Langkat, 2009).
Iklim
Kecamatan Secanggang merupakan kawasan pesisisr timur Sumatera
Utara. Menurut masyarakat setempat, sampai era 1970-an pesisisr Kecamatan
Secanggang di tumbuhi hutan mangrove yang lebat dengan lebar 400 m dari tepi
pantai namun kini mengalami kerusakan akibat konversi mangrove menjadi
tambak dan pemukiman. Salah satu wilayah Kabupaten Langkat yang mengalami
kerusakan mangrove adalah Kecamatan Secanggang dengan luas 5.065,2 ha.
Tersebar pada desa Sungai Ular dengan luas hutan 607 ha, yang rusak 303,5 ha;
desa Secanggang luas hutan 956 ha, rusak 949,4 ha; desa Karang Gading luas
hutan 775,2 ha, rusak 542,6 ha; desa Kuala Besar 1659 ha, rusak 995,4 ha; dan
desa Jaring Alus luas hutan 1.068 ha, rusak 640,8 ha (Pemda Kabupaten Langkat,
2000). Kondisi ini merupakan bukti nyata pemanfaatan sumberdaya mangrove
secara berlebihan, tanpa memperhatikan aspek pelestariannya.
Kondisi iklim di pengaruhi oleh sistem angin muson yang berubah arah
sesuai dengan kedudukan matahari terhadap bumi. Curah hujan rata-rata yang
jatuh di lokasi ini adalah 3.268 mm/tahun. Suhu rata-rata berada pada kisaran
280C. Musim kemarau yang dibawa oleh Angin Muson Timur jatuh pada bulan
Februari – Agustus sedangkan musim penghujan yang bersamaan dengan
datangnya Angin Muson Barat jatuh pada bulan September – Januari
METODE PENELITIAN
Tempat dan waktu
Penelitian dilaksanakan di kawasan komunitas nipah desa Dusun Tengah
Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat. Survei pendahuluan dilakukan pada
bulan Desember 2009 untuk mengetahui dan memastikan keberadaan komunitas
nipah di kawasan tersebut. Pelaksanaan penelitian lapangan dilakukan pada bulan
Februari sampai April 2010, yang kemudian dilanjutkan pengukuran berat kering
nipah dilakukan di laboratorium biologi tanah.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kantong plastik ukuran
10 kg, tali plastik, blanko, label, tally sheet.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu global position system
(GPS), galah, phiband, parang, spidol warna, kompas, timbangan, oven, alat tulis,
kalkulator, kamera digital.
Metode Penelitian
Pengumpulan Data Jenis data
Data-data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data
primer adalah data-data yang diambil langsung dari lapangan yaitu data diameter
rumpun dan pelepah, tinggi total nipah, tumbuhan bawah, serasah dan tanah. Data
Penentuan Petak Ukur
Penentuan petak ukur (PU) dengan menggunakan GPS yaitu untuk
mengetahui titik lokasi dan ketinggian petak ukur. Pelaksanaan penelitian ini
dilakukan secara sistematik. Berdasarkan peta penetapan kawasan hutan
mangrove Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, dibuat perencanaan
pengambilan contoh vegetasi dari setiap petak ukur pengamatan. Blok
pengamatan ditentukan berdasarkan survei pendahuluan kemudian ditentukan
blok pengamatan yang mewakili kondisi lapangan.
Sesuai dengan prosedur JICA (Heriyanto et al., 2002) petak ukur dibuat
persegi dengan masing-masing lebar 20 m x 30 m, sebanyak 10 petak ukur dengan
jarak antar petak ukur yaitu 10 m, pada pengamatan tanah dibuat dengan lebar 10
m x 10 m sebanyak empat petak ukur dengan sub petak ukur 2m x 2 m sebanyak
40 petak ukur.
Keterangan :
Komunitas nipah (PU 1 – PU 10; 20 m x 30 m)
Sub petak ukur tumbuhan bawah, serasah dan tanah (PU 1 – PU 10; 2 m x 2 m )
Gambar 1. Petak ukur pengamatan (Sumber : Heriyanto, et al., 2002).
Lokasi petak ukur pengamatan dapat dilihat dari Tabel berdasarkan koordinat
Tabel 1. Titik koordinat petak ukur pengamatan
Plot Lintang utara Lintang selatan
1 04048’82”4 04026’75”8 1. Pengukuran komunitas nipah
Pada setiap petak ukur diberi label kemudian label dibuat seperti tiket
(untuk serasah dan tanah), dibagi menjadi 4 sub petak ukur (5 m x 5 m) dan di
buat nama petak ukur A, B, C, dan D. Label terbuat dari bahan aluminium yang
digunakan sebagai tanda.
Pada setiap PU, pengukuran diameter pada komunitas nipah yaitu diameter
rumpun dan pelepah. Diameter pelepah terdiri dari tiga bagian yaitu pelepah tua,
muda dan kuncup kemudian pengukuran dilakukan dengan menggunakan phiband
atau kaliper jika diameter kecil dengan pengukuran diameter sebanyak 2 x dengan
arah yang berbeda.
Penggunaan kaliper dengan rumus : DBH = (D1+D2)/2
D1
Diameter rumpun D2
Pengukuran panjang dan tinggi nipah yang kurang dari 12 m
menggunakan galah agar lebih akurat dan jika tinggi nipah lebih dari 12 maka
menggunakan haga hypsometer. Selanjutnya dilakukan pengambilan data dan
dimasukkan ke dalam tally sheet.
Pada komunitas nipah ditemukan pelepah nipah yang tidak lurus
(bengkok) dan lurus maka dapat dilihat pada Gambar dibawah.
Panjang
Tinggi
Gambar 3. Pengukuran panjang dan tinggi pelepah
2. Pengambilan contoh nipah
Penyeleksian contoh nipah dilakukan setelah semua nipah di inventarisasi
kemudian dimasukkan kedalam data. Luas dan kecil diameter harus mencakup di
dalam contoh. Penyebaran dan lokasi contoh nipah harus menyebar secara merata
jika memungkinkan.
Pengukuran tinggi dan diameter nipah dilakukan setelah penebangan
contoh nipah. Diameter tangkai nipah dibagi menjadi 0m, 0.3m, 1.3m, 3.3m,
5,3m, 7,3m dan 9,3m (setiap 2 m), Diukur diameter pada dasar tangkai dan
dimasukkan kedalam tally sheet.
Pengukuran berat basah nipah dilakukan dengan memisahkan daun dari
tangkai dan tangkai dipotong-potong seperti log jika pada pohon. Tiap tangkai
diberi nomor dan diukur beratnya menggunakan timbangan dan dipisahkan
Setelah dipisahkan diletakkan kedalam karung yang besar. Berat dari
setiap contoh diukur menggunakan timbangan kemudian data dimasukkan
kedalam tally sheet. Seleksi dan penimbangan berat kering contoh dan kandungan
karbon dari setiap contoh yaitu;
a. Tangkai nipah: 0-0.3 m, 0.3-1.3m, 1.3-3.3m, 5.3-7.3m, 7.3-9.3m
b. Daun
Setelah ditimbang dan data dimasukkan kedalam tally sheet kemudian
diletakkan ke dalam blanko. Blanko diberi kode dan dibuat tempat pengambilan
contoh.
3. Pengukuran tumbuhan bawah
Setiap PU dibuat dengan ukuran 2 m x 2 m (sub petak ukur) menggunakan
4 buah tiang setiap 2 meter kemudian diukur dan dicatat di dalam data sebagai
berikut:
UC (Undergrowth Coverage) : luasan (%) = luasan area tanaman yang hidup /
total area (2 m x 2 m)
UH (Height Undergrowth) max : tinggi tumbuhan bawah di atas tinggi poin (m)
4. Pengambilan contoh tumbuhan bawah
Setiap PU dipilih 40 sub petak ukur untuk dijadikan contoh tumbuhan
bawah dengan cara destructive (pengrusakan). Jika tempat survei mencukupi,
dipilih 40 sub petak ukur di dalam petak ukur nipah yang telah di inventarisasi.
Pengambilan contoh hanya di dalam lokasi. Diantara 40 sub petak ukur, sub petak
ukur harus mencakup luasan yang besar dan kecil. Luasan dan tinggi dari
Keseluruhan biomassa di atas permukaan tanah dipotong termasuk tangkai
nipah dan daun nipah. Setelah disortir, diukur total berat basah dari tiap
komponen (tangkai nipah dan daun nipah). Setelah diukur total berat basah,
contoh untuk pengukuran berat kering dan kandungan karbon diperoleh dari tiap
komponen tersebut kemudian contoh diletakkan ditas kertas (blanko) dan di atas
blanko diberi kode untuk membedakan contoh.
5. Pengambilan contoh serasah
Setiap PU dipilih 40 sub petak ukur untuk dijadikan contoh serasah
dengan cara destructive (pengrusakan) dan petak ukur tetap berada di dalam petak
ukur nipah yang telah di inventarisasi. Pengambilan contoh hanya di dalam lokasi
dan sub petak ukur serasah sama seperti tumbuhan bawah kemudian dimasukkan
ke dalam data.
Keseluruhan biomassa di atas permukaan tanah diambil termasuk serasah
pelepah nipah, serasah daun nipah dan tumbuhan bawah. Setelah disortir, diukur
total berat basah dari tiap komponen (serasah pelepah nipah, serasah daun nipah
dan serasah tumbuhan bawah). Setelah diukur total berat basah, contoh untuk
pengukuran berat kering dan kandungan karbon diperoleh dari tiap komponen
tersebut. Contoh diletakkan ditas kertas (blanko) dan di atas blanko diberi kode
untuk membedakan contoh.
Pengolahan Data
Model penduga biomassa nipah
Pembuatan model penduga biomassa nipah di hutan mangrove dilakukan
dengan dimensi nipah (diameter, tinggi dan panjang) dibuat dengan metode
hubungan alometrik yang menggambarkan sebagai fungsi dari diameter, tinggi
atau panjang pelepah nipah.
tidak
ya
Gambar 4. Diagram alir pembuatan model biomassa nipah
Beberapa bentuk umum persamaan regresi alometrik dan fungsi taper yang
digunakan untuk menduga biomassa nipah (Y) dengan x1 sebagai diameter dan x2
sebagai tinggi nipah. Persamaan yang diujikan adalah sebagai berikut:
Persamaan dengan satu peubah bebas
1. Y = a / (1 + bx1)
2. Y = 1 / (a + bx1)
3. Y = ax1 + b
mulai
Berat pelepah dan daun nipah
Biomassa berdasarkan bagian nipah
Permodelan biomassa Biomassa = f (dimensi nipah)
Biomassa = f (diameter, tinggi, panjang)
Pilih persamaan terbaik
dengan R2, Ra2, dan S2
Model biomassa terpilih
4. Y = a xb
Persamaan dengan dua peubah
1. Y = a + bx1 + cx2
2. Y = a x1b x2c
3. Y = a + bx1 + c/x2
Keterangan : a, b dan c koefisien persamaan, x1 dan x2 peubah bebas dalam
persamaan.
Pemilihan model
Adapun model yang terpilih didasarkan pada beberapa kriteria, yaitu:
a. Kesesuaian terhadap fenomena
b. Sifat keterhandalan model (data reability), yang didasarkan pada:
• Koefisien determinasi (R2)
Koefisien determinasi adalah perbandingan antara jumlah kuadrat
regresi (JKR) dengan jumlah kuadrat total (JKT), yang dihitung
dengan persamaan berikut:
R2 = (JKR / JKT)*100%
Adapun kriteria keterandalan model berdasarkan nilai R2 adalah jika
nilai R2 mendekati 100%, maka model makin terandalkan, dan jika R2
mendekati 0%, maka model makin tidak terandalkan dalam
menjelaskan hubungan antara biomassa dengan dimensi nipah.
• Ragam contoh (S2)
Ragam contoh diukur berdasarkan tingkat keragaman data dengan
Model yang dipilih adalah model yang memiliki nilai ragam terkecil
dibandingkan model-model yang lain.
• Koefisien determinasi terkoreksi (Ra2)
Koefisien determinasi yang terkoreksi adalah koefisien determinasi
yang sudah dikoreksi dengan derajad bebas dari jumlah kuadrat sisa
(JKS) dan jumlah kuadrat total (JKT), dengan rumus sebagai berikut:
Dimana p adalah banyaknya peubah dalam rekresi (termasuk β0), dan n
adalah banyaknya objek (kasus) yang dianalisis. Kriteria uji Ra2 adalah
sama dengan kriteria untuk R2.
Analisis model alometrik nipah
Setiap contoh daun, tumbuhan bawah, serasah dan tangkai nipah di bawah
10 cm dimasukkan kedalam oven dengan suhu oven 850C selama 48 jam dan
tangkai nipah di atas 10 cm dimasukkan ke dalam oven dengan suhu oven 850C
selama 96 jam selanjutnya ditimbang berat kering dari setiap contoh tersebut.
Total berat kering dihitung sebagai berikut (Heriyanto, et al., 2002);
Dw = Ds x Fw
Fs
Dimana: Dw : Total berat kering (gr)
Ds : Berat kering contoh (gr)
Fw : Total berat basah (gr)
Rumus alometrik menggunakan data berat kering. Rumus alometrik total
berat kering pelepah di tiap petak ukur yaitu menggunakan hitungan dari tinggi
dan DBH pelepah di dalam petak ukur dari semua nipah yang telah didata.
Serasah, daun dan tumbuhan bawah dari setiap sub petak ukur di
jumlahkan untuk total berat kering kecuali tangkai nipah. Setelah diperoleh data
dari tiap petak ukur, total berat kering serasah dan tumbuhan tiap petak ukur dapat
dihitung sebagai berikut (Heriyanto, et al., 2002);
Wu = Wus1 + Wus 2 + ….. Wusn x Apa*
N 4
Dimana; Wu : Total berat kering (gr)
N : Jumlah contoh
Apa* : Total luas area Petak ukur (ha)
4 : Ketetapan sub Petak ukur
Wus : Berat kering (serasah, daun dan tumbuhan bawah per petak ukur)
(gr)
Volume pelepah = (G0 + G0.3) x 0.3/2 + (G0.3 + G1.3) x ½ + (G1.3 +
G3.3) + ・・・・ + (Gn‐2 + Gn‐1) + vn
Vn = (hn x Gn)/3
Gn = π (Dn/2)2
Dimana; vn : Volume contoh di atas titik poin (m)
Gn : Diameter pelepah (cm)
hn : Tinggi contoh (m)
5 (a) 5 (b)
5 (c) 5 (d)
5 (g) 5 (h)
5 (i) 5 (j)
5 (m) 5 (n)
5 (s) 5 (t)
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Tegakan Nypa fruticans
Karakteristik pertumbuhan nipah berdasarkan diameter rumpun dan tinggi
total nipah setiap petak ukur dapat dilihat pada Tabel 2. Rata-rata diameter
rumpun nipah terkecil berada pada petak ukur 10 yaitu 12,71 cm dan yang
terbesar berada pada petak ukur 1 yaitu 52,51 cm. Nipah memiliki tinggi total
dimana rata-rata tinggi total nipah terkecil berada pada petak ukur 10 yaitu 7,29 m
dan yang tertinggi berada pada petak ukur 5 yaitu 8,45 m.
Tabel 2. Karakteristik tegakan Nypa fruticans
Petak ukur Kerapatan
Hasil inventarisasi di lapangan pada petak ukur 1 dan 3 diperoleh
kerapatan sebesar 250,00 dan 285,00 rumpun/ha. Areal ini merupakan areal nipah
dan tidak dilakukan perawatan oleh masyarakat sehingga nipah tumbuh dengan
rapat dan secara alami.
Pada petak ukur 2 dengan hasil inventarisasi diperoleh kerapatan sebesar
218,33 rumpun/ha. Pada petak ukur ini terlihat adanya penurunan individu nipah
hal ini dikarenakan areal nipah mendekati areal persawahan masyarakat dan
memiliki jarak tanam yang kurang baik akibatnya kerapatan nipah cukup
renggang dan dalam penentuan nipah yang masuk dalam petak ukur cukup
mengalami kesulitan.
Pada petak ukur 4 dan 5 hasil inventarisasi yang diperoleh dengan
kerapatan nipah sebesar 223,33 rumpun/ha dan 180,00 rumpun/ha, areal ini
merupakan areal yang digenangi oleh air (rawa-rawa) dan merupakan areal
pemanenan atau areal yang dimanfaatkan dan dikelola oleh masyarakat untuk
pengambilan daun nipah sehingga produksi nipah tumbuh dengan baik. Hal ini
sama pada petak ukur 6 sampai 8 dimana hasil inventarisasi diperoleh kerapatan
sebesar 210,00 rumpun/ha, 201,67 rumpun/ha dan 170,00 rumpun/ha. Nipah
tumbuh di areal tanah liat padat dan merupakan areal pemanenan daun nipah
sehingga areal nipah dilakukan perawatan oleh masyarakat.
Pada petak ukur 9 dan 10 hasil inventarisasi diperoleh kerapatan terendah
sebesar 140,00 rumpun/ha dan 141,67 rumpun/ha. Hal ini terlihat adanya
penurunan individu nipah, dikarenakan areal ini merupakan areal pemanenan
nipah dan bekas konversi lahan perladangan sehingga nipah tidak dapat tumbuh
Karakteristik Fisik Nipah Contoh
Nipah contoh diambil sebanyak 30 individu dari seluruh komunitas nipah.
Nipah contoh tersebut diambil mewakili setiap petak ukur, dimana masing-masing
petak ukur nipah contoh diambil sebanyak 3 individu.
Kadar air nipah contoh
Air merupakan unsur alami dari semua bagian suatu nipah yang hidup.
Sejumlah air akan tetap tinggal di dalam struktur dinding-dinding sel. Jumlah air
akan mempengaruhi sifat fisik dan mekaniknya ketahanan terhadap penghancuran
biologis, dan kestabilan dimensi produk.
Hasil inventarisasi dikumpulkan di lapangan merupakan data berat basah
sehingga diperlukan data berat kering untuk memperoleh besar kadar air. Hasil
analisis menunjukan terdapat variasi kadar air, baik berdasarkan kelas diameter,
maupun berdasarkan bagian anatomi nipah. Hasil analisis ini dapat disajikan pada
Lampiran 1. Dimana secara umum pada semua kelas diameter, tangkai nipah
merupakan bagian nipah yang paling tinggi kadar airnya, yakni dengan nilai
rata-rata 375,90% dan pada daun memiliki kadar air dengan nilai rata-rata-rata-rata 213,50%.
dengan nilai rata-rata total kadar air (%) sebesar 589,40%. Sedangkan bagian
nipah yang mengandung kadar air terendah yaitu berada pada bagian batang,
tetapi pada bagian batang ini tidak dapat diteliti dikarenakan bagian batang nipah
berada di dalam tanah. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian terdahulu
seperti Onrizal (2004).
pada nipah dimana dalam setiap spesies terdapat variasi besar tergantung tempat,
umur dan volume nipah. Di dalam pelepah nipah umumnya kadar air berkurang
pada saat berumur tua. Hasil pola sebaran kadar air pada berbagai bagian anatomi
nipah dan kelas diameter pelepah dan daun nipah dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Kadar air rata-rata pada setiap bagian nipah contoh
Hasil analisis menunjukan bahwa sebagian besar dari biomassa pohon atau
nipah merupakan karbon. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hairiah et al., (2001)
menyatakan bahwa besar karbon yang tersimpan merupakan setengah dari total
biomassa. Berdasarkan analisis bagian anatomi nipah yang diukur yaitu
berdasarkan kelas diameter, tinggi dan panjang nipah di komunitas nipah
Secanggang, Langkat.
Penyusunan persamaan alometrik biomassa nipah
Persamaan alometrik biomassa dibangun untuk melakukan penaksiran
menyatakan hubungan antara biomassa dengan dimensi nipah seperti diameter
rumpun, diameter pelepah, panjang pelepah, tinggi pelepah dan tinggi total.
Biomassa nipah dikelompokkan menjadi biomassa tangkai total, biomassa
tangkai tua, biomassa tangkai muda, biomassa tangkai kuncup, biomassa daun
total, biomassa daun tua, biomassa daun muda, biomassa daun kuncup, biomassa
pelepah total, biomassa pelepah tua, biomassa pelepah muda, biomassa pelepah
kuncup, dan biomassa total. Masing-masing bagian tersebut memiliki persamaan
alometrik tersendiri.
Persamaan alometrik biomassa pelepah
a. Alometrik biomassa tangkai total
Model alometrik penduga biomassa tangkai total nipah digunakan untuk
menduga biomassa tangkai total melalui peubah diameter atau tinggi nipah.
Berdasarkan hasil inventarisasi diperoleh biomassa tangkai total yaitu sebanyak
45 tangkai. Berdasarkan hasil inventarisasi tersebut maka diperoleh hasil uji
alometrik dapat disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Persamaan alometrik biomassa tangkai total nipah
Pemilihan persamaan alometrik terbaik dapat dilakukan dengan menguji
beberapa persamaan. Persamaan tersebut dibagi menjadi persamaan yang
menggunakan satu peubah bebas, yaitu diameter, tinggi dan persamaan yang
menggunakan dua peubah bebas yaitu diameter dan tinggi (tinggi total pelepah
nipah). Persamaan alometrik yang memenuhi syarat statistik adalah persamaan
yang mempunyai nilai ragam contoh (S2) terkecil dan memiliki nilai koefisien
determinasi yang disesuaikan R2 dan Ra2 terbesar.
Pemilihan persamaan alometrik biomassa nipah total yang terbaik
berdasarkan nilai statistik ditunjukkan pada Tabel 3, pengurutan performansi
dilakukan untuk setiap persamaan mulai persamaan yang mempunyai S2 terkecil
dan nilai R2 terbesar. Berdasarkan kriteria statistik dari Tabel tersebut, dapat
diamati bahwa persamaan Y = 1,26 – 0,01 Dr + 0,11H memiliki nilai performansi
yang baik dan ini menandakan persamaan tersebut memiliki kebaikan dalam
menduga biomassa tangkai total nipah.
Pengukuran diameter rumpun (Dr) nipah kurang efektif, dikarenakan antar
tangkai nipah dalam satu rumpun sangat renggang. Sedangkan peubah bebas
diameter dan tinggi pada persamaan Y = 1,26 – 0,01 Dr + 0,11H dalam
pengukuran mengharuskan adanya data tinggi total dan diameter rumpun yang
diukur terlebih dahulu. Hal ini untuk melihat keefektifan dalam pengumpulan data
peubah model pendugaan biomassa nipah.
Berdasarkan pertimbangan di atas maka persamaan alometrik biomassa
tangkai total nipah yang dipilih adalah persamaan Y = 1,26 – 0,01 Dr + 0,11H
yang menggunakan dua peubah bebas. Dari Tabel 3 dapat diamati bahwa
sebesar 0,27. Berdasarkan uji T diperoleh hasil bahwa adanya peubah diameter
rumpun dan tinggi total dalam persamaan memberikan pengaruh nyata terhadap
pendugaan biomassa tangkai total nipah. Hal ini ditunjukkan oleh nilai P<0,01
pada tingkat kepercayaan 99%.
Syarat model yang baik adalah bila memenuhi kenormalan sisaan. Suatu
model dikatakan memenuhi syarat kenormalan sisaan apabila tampilan petak ukur
menunjukkan penyebaran data yang membentuk pola garis lurus. Hal ini dapat
dilihat pada Gambar 7 menunjukkan tampilan petak ukur yang menyebar dan
membentuk pola garis lurus sehingga syarat kenormalan sisaan terpenuhi.
Normal probability petak ukur of the residuals
Gambar 7. Tampilan petak ukur uji kenormalan sisaan persamaan alometrik terpilih biomassa pelepah nipah total.
Berdasarkan kriteria statistik di atas, dalam pemilihan model yang akan
digunakan harus memenuhi syarat apabila nilai ragam contoh (S2) kecil, nilai
koefisien determinasi (R2) dan nilai koefisien determinasi terkoreksi (Ra2) terbesar
harus mendekati 100%. Syarat statistik merupakan syarat utama dalam pemilihan
model. Berdasarkan kriteria pemilihan model tersebut maka nilai persamaan
alometrik yang telah diuji pada biomassa tangkai total tidak memenuhi kriteria
pemilihan model, hal ini berarti persamaan di atas tidak dapat dijadikan sebagai