• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Atas Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Yuridis Atas Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS ATAS KESETARAAN DALAM

PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN

TESIS

Oleh

HETTY HERAWATY

077011091/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

TINJAUAN YURIDIS ATAS KESETARAAN DALAM

PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

HETTY HERAWATY

077011091/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS ATAS KESETARAAN DALAM PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN

Nama Mahasiswa : Hetty Herawaty

Nomor Pokok : 077011091

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) Ketua

(Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN,MHum)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B,MSc)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 23 September 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

Anggota : 1. Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn

2. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH,CN, MHum

3. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum

(5)

ABSTRAK

Perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan Hukum Kekayaan/harta benda antara dua atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk memberi prestasi. Perjanjian atau perikatan diatur dalam buku ke III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Menurut Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, Kredit adalah: “Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. Dalam praktek perbankan bentuk dan format dari perjanjian kredit diserahkan sepenuhnya kepada Bank yang bersangkutan. Dalam prakteknya perjanjian kredit perbankan sering memakai perjanjian baku (standard contract) atau klausula baku menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Kosumen. Notaris selaku pejabat umum pembuat akta perjanjian kredit baik perjanjian/pengikatan kredit di bawah tangan atau akta di bawah tangan maupun perjanjian/pengikatan kredit yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris (Notariil) atau akta otentik seharusnya dapat berperan agar dapat mewujudkan kesetaraan antara kepentingan kreditur dan debitur dalam perjanjian kredit perbankan. Melihat lemahnya posisi nasabah bank dalam pemberian fasilitas kredit, perlindungan hukum bagi nasabah terutama nasabah bank yang posisinya lemah menjadi sangat penting. Namun kenyataan kita sulit untuk menemukan aturan yang tegas tentang perlindungan hukum bagi nasabah bank, terutama tentang penggunaan perjanjian baku dalam bisnis bank. Untuk mengkaji permasalahan tersebut maka dilakukan penelitian yang bersifat Yuridis Normatif. Sumber data diperoleh melalui bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Metode penelitian yang digunakan adalah melalui studi kepustakaan serta wawancara, sedangkan analisis data dilakukan dengan pendekatan kualitatif.

(6)

untuk segala sesuatu yang menurut sifat dari persetujuan itu diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang” . Notaris mempunyai kedudukan mandiri dan tidak memihak di dalam menjalankan jabatannya. Sebagai pejabat pembuat akta perjanjian kredit bank, maka notaris hanya mengambil alih saja klausul-klausul yang telah dibakukan oleh satu pihak, karena notaris dianggap mitra atau rekanan dalam pelaksanaan suatu perjanjian kredit/pengakuan hutang, bank akan meminta notaris untuk berpedoman kepada model perjanjian kredit yang telah ditetapkan bank. Peranan notaris untuk mewujudkan kesetaraan terkait pada cara bagaimana perjanjian terbentuk, dan tidak pada hasil akhir dari prestasi yang ditawarkan secara timbal balik. Kedudukan Kreditur dan debitur dapat setara dalam perjanjian kredit perbankan, apabila ada debitur kuat, yaitu debitur yang mempunyai pinjaman yang besar pada bank, posisi debitur akan berubah menjadi pihak yang mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendaknya dalam membuat perjanjian dan menentukan isi perjanjian bahkan untuk mengakhiri suatu perjanjian kredit tersebut. Melihat begitu besarnya risiko yang dapat terjadi apabila kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan merosot, tidak berlebihan apabila usaha perlindungan konsumen jasa perbankan mendapat perhatian yang khusus. Dalam rangka usaha melindungi konsumen secara umum, dan dengan adanya Undang-Undang nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; Undang-undang tersebut dimaksudkan untuk menjadi landasan hukum yang kuat, baik untuk pemerintah maupun masyarakat itu sendiri secara swadaya untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen. Dalam rangka pemberdayaan konsumen jasa perbankan, maka Bank Indonesia sebagai bank sentral yang bertanggung jawab sebagai pelaksana otoritas moneter sangat diharapkan mempunyai kepedulian. Dalam konteks inilah perlu pengamatan yang baik untuk menjaga suatu bentuk perlindungan konsumen, tetapi tidak melemahkan kedudukan bank.

Disarankan agar ketentuan khusus tentang perundang-undangan yang mengatur tentang perjanjian kredit dapat diundang-undangkan sebagai pedoman perjanjian kredit bank bagi masyarakat Indonesia. Agar pihak Bank dapat mengikut sertakan notaris sebagai pembuat akta perjanjian kredit bank dalam perundingan atau perubahan klausul-klausul perjanjian kredit bank sehingga dapat terwujud keseimbangan antara kepentingan debitur dan kreditur. Agar hak-hak konsumen khususnya dalam perjanjian kredit bank dapat terpenuhi, maka perlu dibentuk lembaga Mediasi yang khusus menangani sengketa perbankan.

(7)

ABSTRACT

Agreement or Verbintenis contains an understanding of a relation of property law between two or more, giving power of right on one party to reach an achievement and determing an obligation on another party to give an achievement. Agreement is governed in the book III of civil Law a contract or agreement has to meet the legality requirements such as consensus or agreed, capability, things and legal cause ang effect as stipulated in the article 1320 of Civil Law. In pursuance of the Laws No 10 of 1998 regarding a banking, credit is asupply of money or aloading and borrowing contract between a bank and another party obligating the debtor to repay his/her debt for a certain period with the interest rate. In the practice of banking, form and sign of contract of credit is fully replied on the bank. In the practice, the contract of banking credit often use a standard contract or standard clause according to the Laws No.8 of 1999 regarding protection of customers. A notary as an public authority of contract of credit either contarcts of credit under hand or those contarcts made in the presence of a Notary or the authentic decree has to play an important role that an realize a harmony between the interest of creditor and debtor in a contarct of banking credit. Considering the relatively weaker position of banking customers in suplly of credit, therefore, legal protection for customers especially those banking customers becomes significantly important. In fact, however, it is difficult to find the confirmative rules regarding a legal protection on the banking customers especially in use of the standard contarct in banking businees. To review the problem, a juridical normative study was conducted. The source of data included primary, secondary and tertier books of laws. The method used in the study included library and interview, whereas the data were analyzed qualitatively.

(8)

namely a debtor who has larger number of credit from a bank, the position of debtor will change in making the contract and even has a enforceable power to express his/her opinion in making the contract and determine the substance and even terminate a contract of credit. Considering the larger risk of reducing in confidence by the society on banking institutions, it is not unwise to more concern to the protection of banking service. For protection of customers as a whole, and given the Laws No 8 of 1999 regarding the protection of customers, the Laws is intended to become a stronger laws either for the government or society who self-sustainable make an effort of enforcing customers. For enforcement or advocacy of customers of banking service, Central Bank of Indonesia that is responsible as a monetary authority is very expected to have concern, it is in this context, a well observation is required to keep a protection of customers but it should not make the position of bank weaker.

It is suggested that the typical statutory regulation governing a contarct of credit may be enacted as guidelines of contract of credit for the Indonesian people. In addition, it is expected that the bank can send notaries as authority of such a contract to participate in any meeting of clauses of the banking credit conract to realize an equalization of interest between debtor and creditor. In order that the rights of customers may be accommodated, it is required to establish a typical Mediation institution particularly designed to deal with banking conflicts.

(9)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah yang Maha Pengasih dan lagi Maha Penyayang, yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya serta kasihNya yang sangat luar biasa, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini, dalam Penulisan tesis ini penulis memilih judul “TINJAUAN YURIDIS ATAS

KESETARAAN DALAM PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister Kenotariatan. Dalam penyusunan tesis ini telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Terima kasih yang mendalam dan tulus saya ucapkan secara khusus kepada Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ibu Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH. MKn serta Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum, masing-masing selaku anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan pengarahan, nasehat serta bimbingan kepada penulis, dalam penulisan tesis ini.

(10)

Selanjutnya ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister Kenotariatan.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan, dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar dan juga para karyawan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister Kenotariatan yang telah banyak membantu dalam penulisan ini dari awal hingga selesai.

(11)

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister Kenotariatan.

Secara khusus penulis menghaturkan sembah dan sujud dan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada Ibunda tercinta Ibu Tjitjih Umar Daud yang telah bersusah payah melahirkan, membesarkan dengan penuh pengorbanan, kesabaran, ketulusan dan kasih sayang serta memberikan doa restu, sehingga penulis dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister Kenotariatan.

Secara khusus juga penulis menghaturkan sembah dan sujud dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Ibu Mertua penulis Ibu Rukiyah Beru Ginting, yang telah memberikan doa restu, sehingga penulis dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister Kenotariatan.

(12)

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, mendapat balasan yang setimpal dari Allah S.W.T. dan selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rejeki yang melimpah, Amin,

Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama kepada penulis dan kalangan yang mengembangkan ilmu hukum, khususnya dalam bidang ilmu Kenotariatan.

Medan, September 2008 Penulis

(13)

RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

N a m a : Hetty Herawaty

Tempat / Tgl. Lahir : Medan / 21 Januari 1981

Status : Menikah

Alamat : Jl. D.I. Panjaitan No. 158 Medan

II. Orang Tua

Nama Ayah : H. Achmad Basri

Nama Ibu : Hj. Suryawati Taher

III. Pendidikan

1. SD. Negeri 61 Banda Aceh : Tamat Tahun 1993

2. SMP Negeri 6 Banda Aceh : Tamat Tahun 1996

3. SMU Negeri 3 Banda Aceh : Tamat Tahun 1999

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... v

RIWAYAT HIDUP ... ix

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

E. Keaslian Penelitian ... 5

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 5

1. Kerangka teori ... 5

2. Konsepsi ... 7

G. Metode Penelitian ... 8

1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 8

2. Teknik Pengumpulan Data ... 9

3. Alat Pengumpulan Data ... 9

(15)

BAB II KESETARAAN ANTARA KREDITOR DAN DEBITOR

DALAM PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN ... 10 A. Kedudukan Perjanjian Kredit Bank Dalam Hukum Perikatan 10 B. Perjanjian Kredit Sebagai Perjanjian Baku ... 11 C. Hubungan Hukum Antara Bank Dan Nasabah ... 13 D. Beberapa Permasalahan Hukum dari Perjanjian Kredit

yang Merugikan Kedudukan Bank. ... 13

E. Bank Dan Nasabah Bargaining Power Tidak Seimbang... 17

BAB III PERAN NOTARIS DALAM PERJANJIAN KREDIT

PERBANKAN ... 18 A. Perjanjian Kredit ... 18 B. Notaris Sebagai Pejabat Pembuat Akta Perjanjian Kredit. ... 21 C. Sikap Notaris Dalam Mewujudkan Kesetaraan Antara

Kreditor Dan Debitor ... 22

BAB IV PERLINDUNGAN ATAS HUKUM DI DALAM PERJANJIAN

KREDIT PERBANKAN... 23

A. Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Bank Selaku Konsumen Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen... 24 B. Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Bank Selaku Konsumen

Ditinjau dari Perundang-Undangan di Bidang Perbankan... 26 C. Perlindungan Atas Hukum Antara Kepentingan Kreditor

(16)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 30

A. Kesimpulan ... 30

B. Saran ... 32

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan Hukum Kekayaan/harta benda antara dua atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk memberi prestasi. 1

Dari pengertian singkat tersebut kita jumpai beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain: hubungan hukum (rechsbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon) atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.

Suatu perjanjian adalah semata-mata untuk suatu persetujuan yang diakui oleh hukum. Persetujuan ini merupakan kepentingan yang pokok didalam dunia usaha dan menjadi dasar bagi kebanyakan transaksi dagang, seperti jual beli barang, tanah, pemberian kredit, asuransi, pengangkutan barang, pembentukan organisasi usaha dan sebegitu jauhnya menyangkut tenaga kerja.2

Perjanjian/Verbintenis adalah hubungan hukum/rechsbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian mengandung hubungan hukum antara perorangan/person adalah hal-hal

1

M.Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung, 1996 Hal 6

2

(18)

yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum. Perjanjian atau perikatan diatur dalam buku ke III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu parjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.3

Sedangkan kebebasan berkontrak adalah kebebasan para pihak yang terlibat dalam suatu kontrak untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian, kebebasan untuk menentukan dengan siapa mengadakan perjanjian, kebebasan untuk menentukan isi perjanjian, dan kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian.4

Sesuai dengan asas yang utama dari suatu perikatan atau perjanjian yaitu asas kebebasan berkontrak seperti tersirat dalam Pasal 1338 KUHPerdata, maka pihak - pihak yang akan mengikat diri dalam perjanjian kredit tersebut dapat mendasarkan pada ketentuan-ketentuan yang akan ada pada KUHPerdata, tetapi dapat pula mendasarkan pada kesepakatan bersama. Artinya dalam hal-hal ketentuan yang memaksa, harus sesuai dengan ketentuan KUHPerdata; sedangkan dalam hal ketentuan tidak memaksa, diserahkan kepada para pihak.

3

Suharnoko, Hukum Perjanjian,Teori dan Analisa Kasus, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, Hal. 1

4

(19)

Dengan demikian perjanjian kredit selain dikuasai oleh asas-asas umum hukum perjanjian, juga dikuasai oleh apa yang secara khusus disepakati oleh kedua belah pihak.5

Kasmir menyatakan bahwa Kredit disebut “credere” yang artinya percaya. Maksudnya sipemberi kredit percaya kepada penerima kredit, bahwa kredit yang disalurkan pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Sedangkan bagi sipenerima kredit berarti menerima kepercayaan, sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar kembali pinjaman tersebut sesuai dengan jangka waktunya. Oleh karena itu, untuk meyakinkan Bank bahwa si nasabah benar-benar dapat dipercaya, maka sebelum kredit diberikan terlebih dulu Bank mengadakan analisis kredit. Analisis kredit mencakup latar belakang nasabah atau perusahaan, prospek uasahanya, jaminan yang diberikan serta faktor-faktor lainnya. Tujuan analisis adalah agar Bank yakin bahwa kredit yang diberikan benar-benar aman.6

Menurut Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, Kredit adalah: “Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.

5

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, Hal. 502-503

6

(20)

Penelitian ini dibatasi hanya mengadakan penelitian terhadap Perjanjian kredit Bank khusus untuk Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara Konvensional dalam kredit perorangan saja, tidak berdasarkan prinsip Syariah.

Dalam kata kredit mengandung berbagai maksud. Atau dengan kata lain dalam kata kredit terkandung unsur-unsur yang direkatkan menjadi satu. Sehingga jika kita bicara kredit maka termaksud membicarakan unsur-unsur yang terkandung didalamnya.

Setiap kredit yang disetujui dan disepakati antara pihak kreditor dan debitor maka wajib dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis.7

Perjanjian kredit ini perlu memperoleh perhatian yang khusus baik oleh Bank sebagai kreditor maupun oleh nasabah sebagai debitor, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian, pengelolaan, dan penatalaksanaan kredit tersebut. Menurut CH. Gatot Wardoyo, dalam tulisannya mengenai sekitar Klausul-Klausul Perjanjian Kredit Bank, perjanjian kredit mempunyai fungsi-fungsi diantaranya: Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok. Artinya, perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidaknya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan

7

(21)

kewajiban di antara kreditor dan debitor. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.8

Selanjutnya, dalam mengisi materi perjanjian kredit tersebut para pihak akan mengadakan suatu perundingan yang menyangkut klausul-klausul yang perlu dicantumkan dalam perjanjian tersebut.

Dalam praktek perbankan bentuk dan format dari perjanjian kredit diserahkan sepenuhnya kepada Bank yang bersangkutan. Namun ada hal-hal yang tetap harus dipedomani, yaitu bahwa perjanjian tersebut rumusannya tidak boleh kabur atau tidak jelas, selain itu juga perjanjian tersebut sekurang-kurangnya harus memerhatikan keabsahan dan persyaratan secara hukum, sekaligus juga harus memuat secara jelas mengenai jumlah besarnya kredit, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit, serta persyaratan lainnya yang lazim dalam perjanjian kredit. Hal-hal yang menjadi perhatian tersebut perlu guna mencegah adanya kebatalan dari perjanjian yang dibuat (invalidity) sehingga pada saat dilakukannya perbuatan hukum (perjanjian) tersebut

jangan sampai melanggar suatu ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian pejabat bank harus dapat memastikan bahwa seluruh aspek yuridis yang berkaitan dengan perjanjian kredit telah selesai dan telah memberikan perlindungan yang memadai bagi bank.

Dalam perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik yang telah dimulai sewaktu para pihak akan memasuki perjanjian tersebut, dengan demikian maka

8

CH. Gatot Wardoyo, Sekitar Klausul-Klausul Perjanjian Kredit Bank, Bank dan

(22)

pembuatan perjanjian harus dilandasi asas kemitraan. Asas kemitraan mengharuskan adanya sikap dari para pihak, bahwa yang berhadapan dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian tersebut merupakan dua mitra yang berjanji. Terlebih lagi dalam pembuatan perjanjian kredit bank, asas kemitraan itu sangat diperlukan. 9

Dalam prakteknya perjanjian kredit perbankan sering memakai perjanjian baku (standard contract) atau klasula baku menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Kosumen.

Latar belakang tumbuhnya perjanjian baku karena keadaan sosial ekonomi. Perusahaan besar, dan perusahaan pemerintah mengadakan kerjasama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingan mereka, ditentukan syarat-syarat secara sepihak. Pihak lawannya (wederpartij) pada umumnya mempunyai kedudukan (ekonomi) lemah baik karena posisinya, maupun karena ketidaktahuannya, hanya menerima apa yang disodorkan. Dengan penggunaan perjanjian baku ini, maka pengusaha akan memperoleh efisiensi dalam pengeluaran biaya, tenaga dan waktu.10

Menurut Mariam Darus Badrulzaman klausula baku terjadi atas kehendak satu pihak yang dituangkan dalam perjanjian secara individual atau secara massal. Yang dimaksud massal di sini adalah bahwa telah dipersiapkan terlebih dahulu dan diperbanyak dalam bentuk formulir, yang dinamakan perjanjian baku.11

9

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT. SUN, Jakarta, 2001, Hal. 275.

10

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Penerbit Alumni, Bandung, 1994, Hal 46.

11

Mariam Darus Badrulzaman, “Asas Kebebasan Berkontrak dan Kaitannya dengan

(23)

Bentuk perjanjian yang baku tersebut tidaklah menjadi suatu pengingkaran atas asas kebebasan berkontrak sepanjang tetap ditegakkannya asas-asas umum perjanjian, seperti syarat-syarat yang wajar dengan menunjang keadilan dan adanya keseimbangan para pihak dengan menghilangkan suatu penekanan kepada pihak lainnya karena kekuatan yang dimiliki oleh salah satu pihak. Dengan demikian, rumusan perjanjian baku tersebut harus terhindar dari kandungan unsur-unsur yang akan mengakibatkan kecurangan yang sangat berlebihan dan terjadinya suatu pemaksaan karena adanya ketidakseimbangan kekuatan para pihak, juga harus dihindarkan pula syarat perjanjian yang hanya menguntungkan sepihak, atau risiko yang hanya dibebankan kepada sepihak pula, serta pembatasan dalam menggunakan upaya hukum.12

Perjanjian baku ini dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri meniadakan dan membatasi kewajiban salah satu pihak (kreditor) untuk membayar ganti rugi kepada debitor sebagai berikut:

1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditor yang posisinya relatif kuat dari debitur;

2. Debitor sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu;

3. Terdorong oleh kebutuhannya debitor terpaksa menerima perjanjian itu; 4. Bentuknya tertulis;

5. Dipersiapkan dulu secara massal atau individual.13

12

Muhammad Djumhana, Op.Cit. Hal 503-504

13

Mariam Darus Badrulzaman, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar perjanjian baku(standard

(24)

Melihat lemahnya posisi nasabah bank dalam pemberian fasilitas kredit, perlindungan hukum bagi nasabah menjadi sangat penting. Namun kenyataan sulit untuk menemukan aturan yang tegas tentang perlindungan hukum bagi nasabah bank, terutama tentang penggunaan kontrak baku dalam bisnis bank.

Akibatnya pihak bank memanfaatkan situasi itu dengan menuangkan klasula eksonerasi yang berupa pembatasan tanggung jawab kreditor yang sebenarnya menurut hukum menjadi tanggungngannya yaitu pembatasan dari tanggung jawab memikul resiko yang mungkin timbul dari perjanjian tersebut.

Dari uraian mengenai perjanjian baku tersebut dapat terlihat bahwa perjanjian baku itu tidak memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian, yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan asas kebebasan berkontrak yang tersirat dalam Pasal 1338 KUHPerdata.

(25)

asas hukum kontrak pada khususnya ataupun instrumen hukum yang ada di dalam KUHPerdata dengan mendasarkan nilai dan norma hukum kita sendiri.14

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan nuansa baru karena undang-undang ini mengatur agar pelaku usaha tidak semena-mena mencantumkan klausula baku dalam menawarkan barang dan/atau jasa. Di dalam undang-undang tersebut tidak secara tegas dan jelas bidang usaha dari pelaku usaha, tetapi dapatlah dikatakan secara umum bahwa setiap penjual barang/jasa termasuk tidak terbatas pihak perbankan yang merupakan lembaga penjual jasa pula.

Di dunia perbankan, konsumen yang mengkonsumsi jasa dalam transaksi dengan bank dinamakan nasabah. Berdasarkan definisi konsumen menurut doktrin tersebut di atas dan mengingat bahwa “kredit” adalah benda bergerak tak bertubuh, dihubungkan dengan pengertian “tidak diperdagangkan” menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa nasabah yang tergolong konsumen adalah mereka yang memperoleh kredit/utang konsumtif, seperti kredit pemilikan rumah atau tanah atau mobil dan bukan nasabah yang memperoleh fasilitas kredit lainnya dari bank.

Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memuat tentang larangan membuat dan atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan atau perjanjian bagi Pelaku usaha dalam

14

(26)

menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan. Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.

Khusus menyangkut larangan dalam pasal 18 ayat (1) huruf g yang berbunyi: “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat dan/atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan /atau perjanjian apabila menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya”

Larangan ini dapat dimengerti karena ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen, akan tetapi dengan ketentuan tersebut banyak pelaku usaha merasa dirugikan, terutama pihak perbankan. Sesuai asas keseimbangan perlindungan konsumen yang dimaksud dalam undang-undang ini tidak harus berpihak hanya pada kepentingan konsumen tetapi merugikan kepentingan pelaku usaha. Seharusnya kepentingan semua pihak harus dilindungi, termasuk kepentingan pemerintah dalam pembangunan nasional dan harus mendapat porsi seimbang.15

Notaris selaku pejabat umum pembuat akta perjanjian kredit baik perjanjian/pengikatan kredit di bawah tangan atau akta di bawah tangan maupun perjanjian/pengikatan kredit yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris (Notariil) atau

15

(27)

akta otentik seharusnya dapat berperan agar dapat mewujudkan kesetaraan antara kepentingan kreditor dan debitor dalam perjanjian kredit perbankan.

Ada satu hal yang harus menjadi catatan bahwa Notaris sebagai pejabat umum tetap juga seorang manusia biasa sehingga di dalam mengadakan perjanjian kredit/pengakuan hutang oleh atau dihadapan Notaris, tetap dituntut berperan aktif guna memeriksa segala aspek hukum dan kelengkapan yang diperlukan. Kemungkinan terjadi kesalahan atas suatu perjanjian kredit/pengakuan hutang yang dibuat secara notariil tetaplah ada. Dengan demikian Account Officer tidak boleh secara mutlak bergantung kepada Notaris, melainkan Notaris harus dianggap sebagai mitra atau rekanan dalam pelaksanaan suatu perjanjian kredit/pengakuan hutang. Dalam hubungan itu bank akan meminta Notaris yang bersangkutan untuk berpedoman kepada model perjanjian kredit yang telah ditetapkan oleh bank. Disamping itu Account Officer tetap mengharapkan legal opinion dari Notaris setiap akan mengadakan pelepasan kredit, sehingga Notaris dalam hal ini dapat berperan sebagai salah satu unsur filterisasi daripada legal asset suatu pelepasan kredit.

(28)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka terdapat beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Apakah dalam perjanjian kredit bank telah terdapat kesetaraan antara kreditor dan debitor?

2. Apakah Notaris sebagai pembuat akta perjanjian kredit bank dapat berperan untuk mewujudkan kesetaraan antara kreditor dan debitor?

3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap kepentingan kreditor dan debitor dalam perjanjian kredit bank?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu kepada judul dan permasalahan dalam penelitian ini, maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dalam Perjanjian Kredit bank itu telah terdapat kesetaraan antara kreditor dan debitor.

2. Untuk mengetahui Notaris sebagai pembuat akta Perjanjian Kredit bank dapat berperan untuk mewujudkan kesetaraan antara kreditor dan debitor.

(29)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat mempunyai manfaat baik secara praktis maupun teoritis yaitu:

1. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi Notaris dan pejabat Bank khususnya di bahagian Kredit agar dalam pembuatan akta Perjanjian Kredit dapat dilakukan secara bersama-sama sehingga dapat terpenuhi syarat-syarat yang telah diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata tentang sahnya suatu perjanjian dan adanya kebebasan berkontrak seperti yang tersirat dalam Pasal 1338 KUHPerdata sehingga perjanjian itu mengikat, dan masing-masing pihak harus bertanggung jawab terhadap apa yang telah diperjanjikan dalam perjanjian kredit itu, dengan demikian kepentingan perlindungan hukum terhadap kreditor dan debitor dalam perjanjian kredit terpenuhi sehingga dapat tercapai kesetaraan dalam perjanjian kredit Bank.

2. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan untuk penelitian lebih lanjut agar supaya dalam pembuatan akta perjanjian kredit perbankkan tidak harus menggunakan lagi perjanjian yang baku (standard contract) yaitu bentuk pejanjian yang telah disediakan oleh pihak Bank sebagai kreditor sedangkan debitor tidak mempunyai hak untuk mengubah atau memodifikasi perjanjian baku (standard contract) itu. Dengan perjanjian baku (standard contract) ini ada sebahagian dari kebebasan berkontrak yang tersirat dalam Pasal

(30)

E. Keaslian Penelitian

Dari hasil penelitian dan penelusuran kepustakaan yang telah dilakukan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan, khususnya di lingkungan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, menunjukkan belum ada yang membahas penelitian yang menyangkut masalah, dengan judul

“TINJAUAN YURIDIS ATAS KESETARAAN DALAM PERJANJIAN

KREDIT PERBANKAN”.

Namun demikian ada ditemukan beberapa tesis karya mahasiswa, yang menyangkut dalam perjanjian kredit bank, tetapi permasalahannya berbeda yaitu : 1. Tesis atas nama TIMBANG LAUT, NIM : 002111042, dengan judul Suatu

Kajian Tentang Klausula Eksonerasidalam Perjanjian Kredit Bank Dikota Kisaran (Kajian Dari Profesi Notaris)

2. Tesis atas nama HARTONO TEGUH WIJAYA, NIM : 047011027, dengan Judul Perjanjian Kredit Dan Pengikatan Jaminan Bank Sesuai Dengan Ketentuan Hukum Untuk Melindungi Bank Dari Debitur Wanprestasi

(31)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu terjadi16, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukan ketidak benarannya.17

Fungsi teori dalam dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan ramalan serta menjelaskan gejala yang diamati. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, oleh karena itu kerangka teori ini diarahkan secara khas ilmu hukum.

Dalam hukum kontrak dikenal tiga asas yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan, yakni asas konsensualisme (the principle of consensualism), asas kekuatan mengikat kontrak (the principle of the binding force of contract), dan asas kebebasan berkontrak (principle of freedom of contract).18

Dengan asas kebebasan berkontrak setiap orang diakui memiliki kebebasan untuk membuat kontrak dengan siapapun juga, menentukan isi kontrak, menentukan bentuk kontrak, memilih hukum yang berlaku bagi kontrak yang bersangkutan. Jika asas konsensualisme berkaitan dengan lahirnya kontrak, asas kekuatan mengikatnya kontrak berkaitan dengan akibat hukum, maka asas kebebasan berkontrak berkaitan dengan isi kontrak.

16

JJJ M. Wuismen, dengan penyunting M. Hisman, Penelitian Ilmu Sosial, Jilid 1, Fakultas Ekonomi Universitas indonesia, Jakarta, 1996, Hal 203

17

Ibid, Hal 210

18

(32)

Kebebasan berkontrak hanya dapat mencapai keadilan jika para pihak memiliki bargaining power yang seimbang. Jika bargaining power tidak seimbang maka suatu kontrak dapat menjurus atau menjadi unconscionable.19

Selanjutnya Sutan Remy Syahdeini menjelaskan:

Bargaining Power yang tidak seimbang terjadi bila pihak yang kuat dapat memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah, hingga pihak yang lemah mengikuti saja syarat-syarat kontrak yang diajukan kepadanya. Syarat lain adalah kekuasaan tersebut digunakan untuk memaksakan kehendak sehingga membawa keuntungan kepadanya. Akibatnya, kontrak tersebut menjadi tidak masuk akal dan bertentangan dengan aturan-aturan yang adil.20

Makna asas kebebasan berkontrak harus dicari dan ditentukan dalam kaitannya dengan pandangan hidup bangsa. Disepakati sejumlah asas Hukum kontrak menurut Mariam Darus Badrulzaman sebagai berikut:

a. Asas Konsensualisme

b. Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.

c. Asas Kepercayaan

Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus dapat menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya dikemudian hari.

19

Sutan Remy Syahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi

Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia(buku 1), Institut Bankir Indonesia, Jakarta,

1993, Hal 185

20

(33)

d. Asas Kekuatan mengikat

Di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan yang mengikat. Terikatnya para pihak pada apa yang diperjanjikan, dan juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan, dan kebebasan akan mengikat para pihak.

e. Asas Persamaan Hak

Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan, jabatan.

f. Asas Keseimbangan

Asas ini menghendaki kedua pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjan itu.

g. Asas Moral

Asas ini terlihat di dalam Zaak waarneming, dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya, asas ini terdapat dalam pasal 1339 KUH Perdata.

h. Asas Kepatutan

(34)

i. Asas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.21

Di dalam penelitian ini memakai asas keseimbangan yaitu asas yang menghendaki kedua pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditor mempunyai kekuatan untuk menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitor, namun kreditor memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat bahwa kedudukan kreditor yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditor dan debitor seimbang. Asas itikad baik memegang peranan penting dalam penafsiran kontrak. Jika kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik, maka setiap isi kontrak harus ditafsirkan secara fair atau patut.22

Maksud dari penelitian ini adalah untuk memahami isi dari perjanjian kredit Bank dan peran Notaris untuk mewujudkan kesetaraan antara kreditor dan debitor secara yuridis, sebagai ditentukan dalam perundang-undangan.

Proses pemberian kredit merupakan tahap yang harus dilalui oleh nasabah selaku pemohon, dan petugas bank selaku penilai. Proses ini harus selalu dilakukan sebelum nasabah mendapatkan persetujuan kredit.

21

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Bisnis, Op Cit, Hal 42-44

22

(35)

Tahap yang umumnya dilalui oleh nasabah untuk dinilai oeh petugas bank antara lain 23:

1. Pengajuan Kredit

Permohonan kredit dilakukan oleh nasabah atau calon nasabah dengan tujuan mendapatkan kredit sesuai dengan yang dibutuhkan. Permohonan ini harus dilakukan secara tertulis dan ditujukan kepada pihak bank.

2. Analisis Kredit.

Analisis kredit adalah proses pengolahan informasi dasar yang telah diperoleh menjadi informasi yang lengkap. Informasi yang lengkap terdiri dari beberapa faktor, diantaranya peluang dan ancaman yang akan mempengaruhi usaha serta kelancaran pembayaran kredit. Analisis kredit juga dilengkapi dengan evaluasi atas kebutuhan modal yang dibutuhkan nasabah.

3. Penetapan Struktur kredit dan Jenis Kredit 3.1  Penetapan Struktur Kredit. 

Struktur kredit merupakan bagian dari ketentuan realisasi kredit yang memerhatikan kebutuhan nasabah dan sumber pembayaran.

3.2 Jenis-jenis kredit

Jenis-jenis kredit dapat dikelompokkan berdasarkan: (1) Penggunaannya, yaitu:

a. Kredit konsumtif, yang ditujukan ke nasabah yang memerlukan dana untuk kebutuhan konsumsi.

23

(36)

b. Kredit produktif, yaitu jenis kredit yang digunakan untuk keperluan produksi atau usahanya. 

(2) Keperluan Produksinya

a. Kredit modal kerja (KMK), yang ditujukan ke nasabah yang kekurangan modal kerja untuk mengembangkan usahanya.

b. Kredit investasi, yang ditujukan ke nasabah yang membutuhkan barang modal untuk pertumbuhan usahanya.

(3) Jangka Waktu

a. Kredit jangka pendek, yaitu jenis kredit yang mempunyai jangka waktu hingga satu tahun atau tidak lebih dari satu tahun.

b. Kredit jangka menengah, yaitu jenis kredit yang mempunyai jangka waktu antara satu hingga tiga tahun.

c. Kredit jangka panjang, yaitu jenis kredit yang mempunyai jangka waktu lebih dari tiga tahun.

(4) Cara Penggunaan

a. Kredit rekening koran bebas, yaitu jenis kredit dimana debitor menerima seluruh kreditnya dalam bentuk rekening koran dan pemakaian tidak dibatasi namun disesuaikan dengan maksimum kredit yang diberikan. 

(37)

terdapat pembatasan dalam pemakaiannya. Nasabah tidak diperkenankan melakukan penarikan uang sekaligus.

c. Kredit rekening koran aflopend, yaitu jenis kredit dimana penarikan dilakukan sekaligus pada waktu penarikan pertama, dan pembayarannya dilakukan dengan cara mengangsur.

d. Kredit revolving, yaitu jenis kredit dengan penarikan yang sama dengan rekening koran bebas, namun dibedakan menurut cara pemakaiannya.

4. Pelaksanaan Perjanjian Kredit

Perjanjian kredit merupakan perjanjian pendahuluan (pactum de contrahendo). Dengan demikian perjanjian ini mendahului perjanjian hutang-piutang

(perjanjian pinjam mengganti). Sedang perjanjian hutang-piutang merupakan pelaksanaan dari perjanjian pendahuluan atau perjanjian kredit. Kiranya uraian masalah ini cukup jelas jika arti pendahuluan pada perjanjian kredit dibedakan dengan arti pelaksanaan perjanjian hutang piutang. 24

Meskipun perjanjian kredit tidak diatur secara khusus dalam KUHPerdata tetapi dalam membuat perjanjian kredit tidak boleh bertentangan dengan asas atau ajaran umum yang terdapat dalam hukum perdata, seperti ditegaskan bahwa semua perjanjian baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan nama khusus ataupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada

24

(38)

peraturan-peraturan umum yang termuat dalam Bab I dan Bab II KUHPerdata. Dengan demikian setiap orang dapat membuat perjanjian kredit dengan syarat-syarat yang ditetapkan sendiri, juga tidak menyimpang dari ketentuan yang tercantum dalam KUHPerdata. 25

Dalam praktek perbankan guna mengamankan pemberian kredit atau pembiayaan, umumnya perjanjian kreditnya dituangkan dalam bentuk tertulis dan dalam perjanjian baku (standard contract). Perjanjian kredit bank dapat dibuat secara di bawah tangan atau notariil.

Perjanjian kredit merupakan perjanjian baku (standard contract), dimana isi atau klausula-klausula perjanjian kredit tersebut telah dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir atau blanko, tetapi tidak terikat dalam suatu bentuk tertentu (vorn vrij). Calon nasabah debitor hanya membubuhkan tandatangannya saja apabila

bersedia menerima isi perjanjian tersebut, tidak memberi kesempatan kepada calon debitor untuk membicarakan lebih lanjut tentang isi atau klausula-klausula yang diajukan oleh pihak bank. Pada perjanjian ini kedudukan calon debitor sangat lemah, sehingga menerima saja segala syarat-syarat yang diajukan oleh pihak bank, karena jika tidak demikian calon debitor tidak akan mendapat kredit yang dimaksud.26

Sebenarnya jika dilihat dari situasi di mana perjanjian kredit itu disusun secara sepihak oleh perbankan adalah tidak logis karena kepentingan debitor tidak

25

Retno Wulan Sutantio, Upaya Hukum Dalam Penagihan Kredit Macet dan Eksekusi

Jaminan, Pustaka Peradilan , Jilid 1, Proyek Pembinaan Teknis Yustisial, Mahkamah Agung RI,

Jakarta, Hal 22

26

(39)

dilindungi oleh perjanjian itu. Bahkan yang nyata-nyata tampak ialah sejauh mana kepentingan debitor (peminjam) dilindungi karena debitor tidak mempunyai hak untuk mengubah atau memodifikasi perjanjian baku itu. Perjanjian ini dapat disebut sebagai perjanjian paksaan atau all size contract atau take it or leave it contract.27

Fenomena kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah merupakan salah satu faktor lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Salah satu latar belakang dari lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah agar terdapat suatu perjanjian yang seimbang antar konsumen dan produsen berdasarkan asas kesetaraan berkontrak.

Uraian diatas menggambarkan bahwa dalam perjanjian baku (standard Contract) tetap harus ada suatu keseimbangan antara para pihak. Pasal 18

Undang-undang nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memuat tentang larangan membuat dan atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan atau perjanjian bagi pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan. Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.

2. Konsepsi

Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, kalau masalahnya dan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui

27

(40)

pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian, dan suatu konsep sebenarnya adalah definisi secara singkat dari kelompok fakta atau gejala itu. “Maka konsep merupakan definisi dari apa yang perlu diamati, konsep menentukan antara variable-variable yang lain menentukan adanya hubungan empiris”.28

Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini perlu didefinisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi, yaitu sebagai berikut: a. Dari rumusan yang terdapat di dalam Undang-undang Perbankan mengenai

perjanjian kredit dapat disimpulkan bahwa dasar dari perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam meminjam yang terdapat dalam Pasal 1754 KUHPerdata. Dalam Pasal tersebut dinyatakan bahwa: “Perjanjian pinjam-meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabiskan karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang belakang ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.”

b. “Perjanjian Kredit adalah perjanjian pinjam pakai habis yang tunduk pada pasal 1754 KUHPerdata. Juga merupakan perjanjian khusus (bernama), sehingga perjanjian kredit tergolong dakam katagori KUH Perdata merupakan perjanjian “pendahuluan” terhadap perjanjian pinjam pakai habis”.29

c. Untuk sahnya suatu perjanjian, maka dasar keseimbangan dan keserasian dalam perjanjian tersebut harus memenuhi syarat-syarat yang telah diatur dalam pasal

28

Koentjoroningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1997, Hal 21

29

(41)

1320 KUHPerdata. Apabila perjanjian tidak memenuhi syarat-syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan diri atau tidak memenuhi kecakapan untuk membuat suatu perikatan, perjanjian akan menjadi tidak sah. Menurut teori hukum perjanjian maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan (vernietigbar). Sedangkan apabila tidak memenuhi syarat-syarat suatu hal tertentu atau tidak memenuhi suatu sebab yang halal, perjanjian adalah batal demi hukum (van rechtwege nietig).

d. Perjanjian kredit Perbankan pada umumnya mempergunakan bentuk perjanjian baku (standart contract). Masalah perjanjian baku ini sudah lama menjadi masalah, akan tetapi belum mendapat perhatian dari pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kelemahan dari perjanjian baku ini ialah mengenai sifat (karakternya), karena ditentukan secara sepihak dan di dalamnya ditentukan sejumlah klausul yang membebaskan kreditor dari kewajibannya (eksonerasi klausul). 30

e. Keberatan-keberatan dalam perjanjian baku (standard contract) antara lain sebagai berikut:

1) Isi dan syarat-syarat sudah dipersiapkan oleh salah satu pihak;

2) Tidak mengetahui isi dan syarat perjanjian standar, dan kalaupun tahu tidak mengetahui jangkauan akibat hukumnya;

3) Salah satu pihak secara ekonomis lebih kuat;

4) Ada unsur “terpaksa” dalam menandatangani perjanjian.31

30

Mariam Darus Badrul Zaman, Aneka Hukum Bisnis, Penerbit Alumni, Bandung, 1994, Hal 112-113

31

(42)

f. Pada penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yaitu:

1) Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Selain akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi yang ber-kepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan.

(43)

g. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen memberikan nuansa baru karena Undang-Undang ini mengatur agar pelaku usaha tidak semena-mena mencantumkan klausula baku dalam menawarkan barang dan/atau jasa.

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat yuridis-normatif. Disebut demikian karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum lain.32

Studi dokumen bagi penelitian hukum meliputi studi bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum skunder, dan bahan hukum tersier. Setiap bahan hukum ini diperiksa ulang validitas dan realibilitasnya, sebab, hal ini sangat menentukan hasil suatu penelitian.33

Tujuan dari penelitian hukum normatif adalah untuk mengetahui apakah dalam Perjanjian Kredit itu telah terdapat kesetaraan antara kreditor dan debitor dan bagaimana perlindungan atas hukum antara kepentingan kreditor dan debitor serta Apakah Notaris sebagai pembuatan dalam akta Perjanjian Kredit bank dapat berperan untuk mewujudkan kesetaraan antara kepentingan kreditor dan debitor.

32

Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, Hal 13

33

(44)

Dengan demikian dalam pembuatan akta Perjanjian Kredit Perbankan tidak hanya menggunakan perjanjian yang baku (standard contract) yaitu suatu bentuk perjanjian yang telah disediakan oleh pihak Bank sebagai kreditor.

2. Teknik Pengumpulan Data

Jenis data dalam penelitian ini data skunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Teknik pengumpulan data ditempuh dengan cara:

Studi kepustakaan (library reasearch) yaitu dilakukan untuk memperoleh atau mencari konsepsi-konsepsi teori-teori atau doktrin-doktrin yang berkaitan dengan permasalahan penelitian studi kepustakaan meliputi bahan hukum tersier.34

Studi lapangan (field reasearh) yaitu dengan melakukan wawancara yang menggunakan pedoman wawancara (interview guide), nara sumber dan informan secara sistematis dan runtut serta memiliki nilai validitas dan realibilitas.

3. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data dipergunakan di dalam penelitian ini antara lain: a. Studi dokumen atau studi kepustakaan

Penelitian pustaka dimaksud penelitian bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Hukum Perjanjian dan Perjanjian Kredit Bank juga berkaitan dengan Peraturan Jabatan Notaris demikian pula dikaji bahan hukum sekunder berupa karya para ahli termasuk hasil penelitian.

34

(45)

Untuk melengkapi bahan hukum tersebut ditunjang pula dengan bahan tersier seperti kamus, ensiklopedia, media massa dan lain sebagainya.

b. Wawancara

Wawancara (interview) adalah situasi peran antar pribadi bertatap muka (face-to-face), ketika seseorang yakni pewancara-mengajukan pertanyaan-pertanyaan

yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada seorang responden.35

4. Analisis Data

Setelah semua data sekunder dalam penelitian ini diperoleh, maka dilakukan penyusunan analisis data yang dilakukan secara kualitatif, yaitu pemaparan kembali, dengan kalimat sistematis untuk dapat memberikan gambaran secara jelas jawaban atas permasalahan yang telah dipaparkan dan akhirnya dinyatakan dalam bentuk deskriptif.

35

(46)

BAB II

KESETARAAN ANTARA KREDITOR DAN DEBITOR DALAM

PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN

A. Kedudukan Perjanjian Kredit Bank Dalam Hukum Perikatan

Membicarakan mengenai perjanjian kredit harus berpedoman kepada hukum perikatan yang diatur dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata buku ke III (tiga). Hal ini demikian karena hingga saat ini ketentuan khusus tentang perundang-undangan yang mengatur tentang perjanjian kredit belum ada. Jadi dalam pembuatan perjanjian kredit, harus mengacu kepada ketentuan yang diatur dalam buku ke III (tiga) tersebut.

(47)

Menurut doktrin hukum perikatan tercakup kedalam hukum kekayaan, yakni hak kekayaan relatif. Makna kekayaan relatif adalah hak-hak kekayaan yang bisa ditujukan kepada orang-orang tertentu dan ia muncul dari/dalam perikatan.36

Subekti memberikan definisi bahwa suatu perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lainnya berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.37

Kontrak/perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan. Adapun yang merupakan contoh perikatan yang tidak berdasarkan atas kontrak tetapi berdasarkan atas undang-undang adalah sebagai berikut:

1. Perikatan yang menimbulkan kewajiban-kewajiban tertentu diantara penghuni pekarangan yang saling berdampingan.

2. Perikatan yang menimbulkan kewajiban mendidik dan memelihara anak. 3. Perikatan karena adanya Perbuatan melawan hukum (Onrechtmatige daad). 4. Perikatan yang timbul karena perbuatan sukarela (Zaakwaarneming), sehingga

perbuatan sukarela tersebut haruslah dituntaskan. 5. Perikatan yang timbul dari pembayaran tidak terhutang.

6. Perikatan yang timbul dari perikatan wajar (naturlijke verbintenissen).38

Dalam hubungan dengan sumber perikatan tersebut, Mariam Darus Badrulzaman menyatakan:

36

J. Satrio, Hukum Perjanjian, Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1993, Hal. 5

37

Subekti, Hukum Perjajian, (Intermasa : 1994, Jakarta), Hal. 1

38

(48)

Dari sumber-sumber yang disebutkan undang-undang (Pasal 1233 KUH Perdata), yang paling penting adalah Perjanjian. Melalui perjanjian itu pihak-pihak mempunyai kebebasan untuk mengadakan segala jenis perikatan, dengan batasan yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Maka andaikata pun undang-undang tidak menentukan perjanjian itu, sebagai sumber perikatan, kodrat perjanjian dan kebutuhan masyarakat sendiri menghendaki agar setiap orang memenuhi perjanjian. Dalam hal ini kita mengenal ajaran Hugo de Groot, yang menyatakan bahwa asas hukum menentukan janji itu mengikat. (Pacta sunt servanda).39

Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan bahasa Belanda yakni dari kata overeenkomst. Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan “suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri satu orang lain atau

lebih”. Menurut Subekti: “Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji

kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.40

Untuk mencapai tujuan perjanjian yang dibuat, maka untuk sahnya suatu perjanjian undang-undang telah menentukan syarat-syaratnya. Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 4 (empat) unsur:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk mebuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal.

39

Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit, Hal. 9-10

40

(49)

Syarat kesepakatan dan kecakapan merupakan syarat subjektif yang menyangkut mengenai subjek atau pihak-pihak dari perjanjian yang dibuat, sedangkan syarat suatu hal tertentu dan sebab yang halal merupakan syarat objektif yang menyangkut objek dari perjanjian yang dibuat.

Bentuk hubungan hukum antara bank nasabah debitur dalam dunia perbankan dikenal sebagai perjanjian kredit, yaitu setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati antara pihak kreditor dan debitor maka wajib dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis.

Menurut Sutan Remy Sjahdeini:

Perjanjian kredit bank selalu merupakan perjanjian yang bersifat konsensuil, perjanjian yang bersifat mencantumkan syarat-syarat tangguh atau klausul conditions precedent, yang dimaksud dengan syarat-syarat tangguh atau klausul conditions precedent adalah fakta atau peristiwa yang harus dipenuhi atau terjadi terlebih dahulu, setelah perjanjian ditandatangani perjanjian kredit oleh bank dan nasabah debitor, nasabah debitor belum berhak menggunakan atau melakukan penarikan kredit. Atau sebaliknya pula setelah ditandatngani perjanjian kredit oleh kedua belah pihak, belum menimbulkan kewajiban bagi bank untuk menyediakan kredit sebagaimana diperjanjikan. Hak nasabah debitor untuk dapat menarik kredit atau kewajiban bank untuk menyediakan kredit, masih tergantung kepada telah dipenuhinya seluruh syarat-syarat tangguh atau conditions precedent yang ditentukan dalam perjanjian kredit tersebut.41

B. Perjanjian Kredit Sebagai Perjanjian Baku

Latar belakang tumbuhnya perjanjian baku adalah keadaan sosial dan ekonomi. Perusahaan besar, perusahaan semi pemerintah atau perusahaan-perusahaan pemerintah mengadakan kerjasama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingan

41

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang

Bagi para Pihak dalam perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Institut Bankir Indonesia,

(50)

mereka menentukan syarat-syarat tertentu secara sepihak. Pihak lawannya (wederpartij) yang pada umumnya mempunyai kedudukan (ekonomi) lemah, baik karena posisinya maupun karena ketidaktahuan hanya menerima apa yang disodorkan itu.42

Dengan penggunaan perjanjian baku ini, maka pengusaha akan memperoleh efisiensi dalam penggunaan biaya, tenaga dan waktu. Suatu gambaran dari masyarakat yang fragmatis.

Mariam Darus Badrulzaman menterjemahkan dengan istilah “perjanjian baku”. Baku berarti patokan, ukuran, acuan. Jika bahasa hukum dibakukan berarti bahasa hukum itu ditentukan ukurannya, patokannnya, standardnya, sehingga memiliki arti tetap yang dapat menjadi pegangan umum.43

Sebelum lahirnya Undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, berbagai literatur lebih banyak memperkenalkan istilah kontrak baku (Standard contract), Sekarang dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen menggunakan istilah “Klasula baku”. Kedua istilah tersebut semua benar, mengingat penggunaan istilah kontrak baku lebih luas yaitu tidak terbatas pada klasula baku yang telah dipersiapkan dan ditetapkan lebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha di dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen, tetapi juga meliputi pula bentuknya.44

42

Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit, hal. 7

43

Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit, Hal. 3-4

44

(51)

Dari gejala-gejala perjanjian baku yang terdapat di Masyarakat, perjanjian ini ini dibedakan dalam 4 Jenis, yaitu:

1. Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat disini ialah pihak ialah pihak kreditor yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi) kuat dibandingkan pihak debitor.

2. Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua pihak, misalnya perjanjian baku yang pihak-pihaknya terdiri dari pihak majikan (kreditor) dan pihak lainnya buruh (debitor). Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektip.

3. Perjanjian baku yang ditetapkan Pemerintah, ialah perjanjian baku yang isinya ditentukan Pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian-perjanjian yang mempunyai objek hak-hak atas tanah. Dalam bidang agraria, lihatlah misalnya akta-akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

4. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan Notaris atau advokat adalah perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantuan Notaris atau advokat ang bersangkutan. Di Dalam perpustakaan Belanda, jenis keempat ini disebut contract model.45

45

(52)

Ciri-ciri Perjanjian baku adalah sebagai berikut:

a. Isinya ditertapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonomi)nya kuat; b. Masyarakat (debitor) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi

perjanjian;

c. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu; d. Bentuk tertentu (tertulis)

e. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal dan kolektip.

Menjadi pertanyaan disini apakah dengan ciri-ciri demikian, perjanjian baku (standard contract) dapat dianggap perjanjian sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 1320 KUHPerdata.

Sepakat mereka yang mengikat diri adalah asas essensial dari Hukum perjanjian. Asas ini dinamakan juga asas konsensualisme, yang menentukan adanya perjanjian. Asas konsensualisme ini mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Ketentuan ini berbunyi “Semua Persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

(53)

diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata ini mempunyai kekuatan yang mengikat.

Perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku diadakan tidak memberikan kesempatan pada debitor untuk mengadakan real bargaining dengan pengusaha (kreditor). Debitor tidak mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasannya dalam menentukan isi perjanjian. Karena itu perjanjian baku ini tidak memenuhi elemen-elemen yang dikehendaki Psal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata dan akibat hukumnya tidak ada.46

Tetapi keadaannya akan berbeda apabila ada debitor kuat, yaitu debitor yang pinjamannya kreditnya besar pada bank, posisi mereka akan berubah menjadi pihak yang mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendaknya dalam membuat perjanjian dan menentukan isi perjanjian bahkan untuk mengakhiri suatu perjanjian kredit.

Dalam praktek perbankan di Indonesia, bank-bank membuat perjanjian kredit dengan 2 bentuk atau cara yaitu:

1) Perjanjian kredit berupa akta dibawah tangan 2) Perjanjian kredit berupa akta Notaris

Perjanjian kredit yang dibuat baik dengan akta dibawah tangan maupun akta Notaris, pada umumnya dibuat dengan bentuk perjanjian baku yaitu dengan cara kedua belah pihak, yaitu pihak bank dan pihak nasabah, menandatangani suatu

46

(54)

perjanjian yang sebelumnya telah dipersiapkan isi atau klausul-klausulnya oleh bank dalam suatu formulir tercetak.47

Menurut Mariam Darus Badrulzaman:

Perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.48

Menurut Sutan Remy Sjahdeini:

“Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan”.49

Yang belum dibakukan hanyalah beberapa hal saja, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Dengan kata lain yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut tetapi klausul-klausulnya. Oleh karena itu suatu perjanjian yang dibuat dengan akta Notaris, bila dibuat oleh Notaris dengan klausul-klausul yang hanya mengambil alih saja klausul-klausul-klausul-klausul yang telah dibakukan oleh satu pihak, sedangkan pihak yang lain tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan atas klausul-klausul itu, maka perjanjian yang dibuat dengan akta Notaris itu pun adalah juga perjanjian baku.

Beberapa contoh mengenai penggunaan perjanjian baku di dalam berbagai transaksi adalah polis asuransi, konosemen perkapalan (bill of lading), perjanjian jual

47

Sutan Remy Sjahdeini, Ibid, Hal. 182

48

Mariam Darus Badrulzaman, Pidato pengukuhan Jabaan Guru Besar, Op.cit, Hal. 4

49

(55)

beli mobil. Perjanjian credit card, transaksi-transaksi perbankan seperti perjanjian rekening koran dan perjanjian kredit, perjanjian jual beli rumah dari perusahaan real estate, perjanjian sewa, termasuk akta –akta tanah yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta tanah (PPAT).

Oleh karena perjanjian-perjanjian kredit Bank di Indonesia dibuat dalam bentuk perjanjian baku atau dibuat dengan klausul-klausul baku, maka perlu dibahas mengenai masalah-masalah hukum yang ada atau di sekitar atau yang timbul karena perjanjian baku pada umumnya, yang dengan sendirinya juga dihadapi oleh perjanjian bank yang merupakan perjanjian baku.

Masalah-masalah yang dihadapi dalam penggunaan perjanjian baku itu adalah terutama: pertama mengenai Keabsahan dari Perjanjian Baku itu dan kedua sehubungan dengan Pencantuman Klausul yang Memberatkan, Termasuk Klausul Eksemsi, dalam Perjanjian Baku.

1. Keabsahan Perjanjian baku

(56)

undang-undang bukan perjanjian. Pitlo menyatakan bahwa perjanjian baku sebagai perjanjian paksa (dwangcontract).50

Menurut Sutan Remy Sjahdeini mengenai keabsahan perjanjian baku tidak perlu lagi dipersoalkan oleh karena perjanjian baku eksistensinya sudah merupakan kenyataan yaitu dengan telah dipakainya perjanjian baku secara meluas dalam dunia bisnis sejak lebih dari 80 tahun lamanya. Kenyataan itu terbentuk karena perjanjian baku memang lahir dari kebutuhan masyarakat sendiri. Dunia bisnis tidak dapat berlangsung tanpa perjanjian baku. Perjanjian baku dibutuhkan oleh dan karena itu diterima mayarakat51

Jadi dalam perjanjian baku, perlu diatur mengenai aturan-aturan dasarnya sebagai aturan-aturan mainnya agar klausul-klausul atau ketentuan-ketentuan dalam perjanjian baku itu, baik sebagian maupun seluruhnya, mengikat pihak lainnya.

2. Pencantuman Klausul yang Memberatkan. Termasuk Klausul Eksemsi, dalam perjanjian baku.        

Masalah hukum yang terpenting berkenaan dengan banyaknya digunakan perjanjian-perjanjian baku di dunia bisnis ialah masalah yang berkaitan dengan pencantuman klausul atau ketentuan yang secara tidak wajar sangat memberatkan bagi pihak lainnya. Masalah yang menyangkut klausul yang tidak wajar sangat memberatkan ini telah menjadi salah satu pusat perhatian para hakim yang menghadapi sengketa perjanjian yang didasarkan kepada perjanjian baku di dalam

50

Mariam Darus, Op.cit, Hal. 14

51

(57)

berbagai Yurisprudensi. Para ahli hukum dalam berbagai pustaka hukum telah banyak membahas mengenai hal ini dalam kaitan dengan banyaknya dipakai perjanjian-perjanjian baku. Pada saat ini banyak negara yang telah mempunyai ketentuan undang-undang yang secara khusus mengatur klausul yang memberatkan ini. Perhatian besar sehubungan dengan pencantuman klausul-klausul yang memberatkan dalam perjanjian baku, sebagaimana yang telah diberikan oleh para hakim dalam berbagai yurisprudensi, ahli hukum dalam berbagai pustaka hukum dan oleh badan-badan legislatif dalam berbagai undang-undang dari berbagai negara itu, adalah dalam rangka usaha untuk melindungi kepentingan konsumen yang merupakan pihak yang lemah dalam perjanjian baku.

Di antara klausula-klausula yang dinilai sebagai klausul yang memberatkan dan yang banyak muncul dalam perjanjian-perjanjian baku adalah yang disebut Klausul eksemsi.

Menurut Sutan Remy Sjahdeni:

“Klausul eksemsi adalah klausul yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya dalam yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan di dalam perjanjian tersebut”.52

52

Referensi

Dokumen terkait

Metode ini menggunakan media alat perekam dan membutuhkan partisipasi orang tua atau guru. Jika orang tua telah fasih dalam membaca al-Qur’an dan sudah

Hasil penelitian didapatkan bahwa, tingkat kecemasan kecemasan yang paling banyak dialami responden adalah tingkat kecemasan berat (34,78%), sebagian kecil responden mengalami

Masuknya mata pelajaran umum dalam kurikulum madrasah terjadi secara tidak merata, dan dalam lingkup madrasah yang berbasis pada pesantren perkembangannya cukup lambat

[r]

Proses pengeluaran dana pada sekolah ditinjau dari sisi keuangan, maka seluruh jenis pengeluaran untuk kegiatan pendidikan pada sekolah harus diketahui bersama baik oleh Dinas

Found on a new tab between the home page and the explorer, the new module enables users to access data sources, decide what data to load from those sources, select which

Konsepsi Ketahanan Nasional tahun 1972 dirumuskan sebagai kondisi dinamis satu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan untuk

Diduga penerapan metode permainan kipas geometri dalam proses pembelajaran dapat meningkatkan kemampuan kognitif dalam mengenal bentuk-bentuk geometri. Kondisi