• Tidak ada hasil yang ditemukan

UJI TOKSISITAS EKSTRAK ETANOLDAUN SAMBUNG NYAWA {Gynuraprocumbens (Lour.) Merr}TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGIS LAMBUNG PADA TIKUS GALUR Spraguedawley

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "UJI TOKSISITAS EKSTRAK ETANOLDAUN SAMBUNG NYAWA {Gynuraprocumbens (Lour.) Merr}TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGIS LAMBUNG PADA TIKUS GALUR Spraguedawley"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

HISTOPATOLOGIS LAMBUNG PADA TIKUS GALUR Sprague dawley

Skripsi

Oleh

MUHAMMAD YOGIE FADLI 1118011082

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)
(3)

ANALYSIST OF RAT Sprague dawley

By

Muhammad Yogie Fadli

ABSTRACT

Cancer is a disorder characterized by abnormality of cell growth. Some studies said that sambung nyawa leaves (Gynura procumbens) is one of the plant that have the anticarsiogenic effect becomes alternative cancer treatment. Sambung nyawa contains chemical compounds such as flavonoids, sterol, triterpenoid, polifenol, saponin, steroid, chlorogenic acid, caffeic acid, vanilat acid, para coumaric acid, para hydroxybenzoic acid, and atsiri oil which serves to inhibit cancer cell growth. In the implementation of complementary medicine must be proven effectiveness and toxicity.

14 days study of the toxicity of sambung nyawa etanol extract was investigated in a Post Test-only Control Group. Samples using 25 white male rats Sprague dawley strain divided into 5 unpired groups (5 rats each). Positive control group (K1) was given aquadest 1ml. K2, K3, K4, and K5 group was given sambung nyawa extract 500 mg/kgbb, 1000 mg/kgbb, 1500 mg/kgbb and 2000 mg/kgbb. One-way Anova’s test were used with p<0,05

The result of toxicity of sambung nyawa leaves (Gynura procumbens) ethanol extract did not change gatric histopathologic of white male rat Sprague dawley strain One Way Annova’s test showed p>0,05 (p=0,944).

sambung nyawa’s leaf ethanol extract with effective dose and also the increasing dose did not show statistically significant results againts gastric damage

(4)
(5)
(6)
(7)
(8)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat, rahmat, dan

karunia yang telah diberikan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Tak lupa

shalawat teriring salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah

Muhammad SAW yang syafaatnya semoga kita dapatkan kelak di Yaumil Akhir.

skripsi dengan judul “UJI TOKSISITAS EKSTRAK ETANOL DAUN

SAMBUNG NYAWA {Gynura procumbens (Lour.) Merr} TERHADAP

GAMBARAN HISTOPATOLOGIS LAMBUNG PADA TIKUS GALUR

Sprague dawley” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Kedokteran di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Sutyarso, M.Biomed selaku Dekan Fakultas Kedokteran.

2. dr. Novita Carolia, M. Sc selaku Pembimbing Utama terima kasih atas

segala bimbingan, telah menjadi sosok yang sabar dan selalu memberikan

solusi atas segala permasalahan yang penulis alami saat penelitian

3. dr. Dina Tri Amalia selaku Pembimbing Kedua atas waktu, pikiran, saran,

bimbingan, serta kesabarannya dalam membimbing saya

4. Dr. dr. Asep Sukohar, M. Kes selaku Penguji Utama pada ujian skripsi.

Terima kasih telah menjadi sosok yang saya idolakan. Pemikiran beliau

tentang pengobatan masa depan membuat saya terpacu untuk terus

menimba ilmu. Terimakasih atas segala motivasi, dukungan, saran dan

(9)

5. Staf–staf dosen yang telah menjadi guru saya, sangat banyak ilmu yang

telah diberikan, dan hanya Tuhan yang bisa membalas semua hal yang

telah beliau–beliau berikan kepada saya.

6. Seluruh civitas akademi lainnya yang telah memberikan saran dan

kemudahan dalam urusan administrasi sehingga skripsi ini selesai.

7. Prof. Dr. Ir. H. Hasriadi Matakin, M.S dan Urip Mulyati selaku orang

tuaku yang tak pernah lupa mendoakan disetiap shalatmu. Terimakasih

atas segala kasih sayang yang kalian berikan merupakan pembangkit

semangatku untuk terus berusaha agar bisa menjadi anak yang kalian

banggakan.

8. Kakak-kakak tercinta Yulia Rahma Fitriana S.Hut, M.sc dan Chandra

Prasetyo Hadi S.T. Terimakasih kalian sudah menjadi orang yang selalu

menjagaku ketika kecil dan menjadi orang yang selalu ingin aku lampaui

ketika aku sudah besar.

9. Adiku tersayang Hasril Mulya Budiman yang selalu memberikan

dukungan.

10.Teman seperjuangan skripsi Dea Lita Barozha dan Alvionita Nur F kalian

membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga perjuangan kita dapat

berguna bagi ilmu pengetahuan dikemudian hari.

11.Asdos Farmakologi FK Unila yang selalu mengisi hari-hari praktikum

farmakologi dengan tulus tanpa pamrih. Rifka Humaida, Nycho, Vivi,

Karimah, Desi, semoga lelah yang kita dapat digantikan dengan prestasi.

12.Sahabatku, teman seperjuanganku Tanty Yosela, Dina Rianti Fitri, Resty

(10)

Gita, Tanika, Ririn Rahayu dan Danar Fahmi. Terimakasih atas segala

suka dan duka yang telah kita lewati bersama dan juga segala waktu

bahagia, tenaga tanpa pamrih. Semoga semua angan dan harapan yang kita

inginkan akan tercapai kelak dan persahabatan ini tetap terjaga selamanya.

13.Teman sejawat satu angkatan 2011, terimakasih telah memberikan saya

kesempatan untuk mengenal kalian. Semoga kita dapat membanggakan

almamater tercinta dan menjadi dokter yang berguna untuk nusa dan

bangsa. Semoga cita-cita dan usaha kita meraihnya melangit dengan

pribadi yang tetap solid.

14.Teman-teman Nadia Anissa M, Masruhan, Febri, Fathan, Vivi, Made,

Nastria, Nafillia, Feby, Astari, dan Meylinda yang selalu memberikan

motivasi.

15.Semua yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Terima kasih telah

membantu dalam kelancaran skripsi ini.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,

akan tetapi penulis berharap semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan

bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 23 Januari 2015

Penulis

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN... ... vi

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Kerangka Penelitian ... 6

1. Kerangka teori ... 7

2. Kerangka konsep ... 8

F. Hipotesis ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

A. Lambung ... 7

1. Anatomi Lambung Manusia ... 7

2. Histologi Lambung Manusia ... 9

3. Fisiologis Lambung Manusia ... 12

B. Sambung Nyawa (Gynura Procumbens) ... 16

1. Klasifikasi ... 16

2. Deskripsi ... 16

3. Kandungan Kimia ... 18

4. Manfaat Daun Sambung Nyawa ... 20

C. Uji Toksisitas ... 22

1 Toksisitas Akut ... 23

2.Toksisitas Subkronis ... 27

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 33

A. Rancangan Penelitian ... 33

(12)

B. Sumber Data ... 34

1. Besar Sampel ... 34

2. Kriteria Sampel ... 35

C. Identifikasi Variabel ... 35

1. Variabel Bebas ... 35

2. Variabel Tergantung ... 36

3. Variabel Terkendali ... 36

D. Definisi Operasional ... 37

E. Bahan dan Alat Penelitian ... 38

1. Bahan Penelitian ... 38

2. Alat Penelitian ... 38

F. Jalannya Penelitian ... 38

1. Metode Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Sambung nyawa ...38

2. Prosedur Pemberian Ekstrak Etanol Daun Sambung...39

3. Pengamatan ... 41

G. Analisis Data ... 42

H. Etika Penelitian...45

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 46

A. Hasil Analisis Data ... .46

1. Uji Normalitas ... 46

2. Uji Homogenitas ... 46

3. Uji Efek Perlakuan ... 47

B. Pembahasan ... 49

1. Subjek Penelitian...49

2. Distribusi Hasil dan Hasil Penelitian ... 49

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 54

A. Simpulan...54

B. Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 5 Diagram Kerangka Teori Penelitian...7

Gambar 6 Diagram Kerangka Konsep Penelitian...8

Gambar 1 Anatomi Lambung Manusia...10

Gambar 2 Histologi Lambung Manusia... ...12

Gambar 3A Erosi Mukosa Lambung...13

Gambar 3B Tukak Pada Lambung...13

Gambar 4 Gynura procumbens......17

Gambar 7 Rancangan Penelitian...44

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Definisi Operasional...37

Tabel 2 Hasil Uji Normalitas...46

Tabel 3 Hasil Uji Homogenitas...46

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Hasil Analisis Data...60

Etika Penelitian...61

Dokumentasi Perlakuan...62

(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kanker merupakan salah satu penyebab kematian dengan kontribusi sebesar

13 % kematian dari 22 % kematian akibat penyakit tidak menular utama di

dunia. Insidensi penyakit kanker di dunia telah mencapai 12 juta penduduk

dengan Per Mortality Rate (PMR) 13 %. Di negara-negara maju seperti

Amerika Serikat dan Inggris kematian akibat kanker menduduki peringkat

kedua setelah penyakit kardiovaskuler. Salah satu penyakit kanker yang

menyebabkan kematian tertinggi di dunia adalah kanker paru. Sedangkan di

Indonesia menunjukan angka kematian akibat kanker sebesar 4,3 per 1000

penduduk, menempati peringkat ke tujuh setelah kematian akibat stroke,

tuberkolosis, hipertensi, cidera, dan diabetes melitus (Depkes RI, 2008).

Peningkatan angka kematian akibat kanker disebabkan oleh pola diet dan

gaya hidup yang tidak baik seperti pola konsumsi lemak jenuh dan juga

alkohol akan meningkatkan kejadian penyakit kanker. Faktor lain yang

berpengaruh adalah kesehatan mental. Orang dengan mental disorder

(khususnya yang berkaitan dengan depresi klinis dan bipolar) akan

meningkatkan risiko kejadian kanker pada usia muda (Oemiati et al., 2011)..

(17)

sosial ekonomi, dan psikososial yang akan meningkatan morbiditas dan

mortalitas kanker. Insidensi kanker meningkat di negara berkembang dan

lebih meningkat di daerah perkotaan dibandingkan daerah pedesaan (Risser,

1996).

Radikal bebas yang merupakan salah satu penyebab kanker merupakan atom

atau molekul yang tidak stabil dan sangat reaktif karena memiliki elektron

tidak berpasangan pada lapisan (orbital) terluarnya. Untuk mencapai

kestabilan atom atau molekul, radikal bebas akan bereaksi dengan molekul

di sekitarnya untuk memperoleh pasangan elektron. Reaksi ini akan

berlangsung terus-menerus dalam tubuh dan bila tidak dihentikan akan

menimbulkan berbagai penyakit seperti kanker, jantung, katarak, penuaan

dini, serta penyakit degeneratif lainnya (Arivazhagan et al, 2000).

Radikal bebas dapat menginduksi kerusakan DNA yang berakibat timbulnya

penyakit kanker. Sebagai pertahanan terhadap kerusakan akibat radikal

bebas, tubuh telah mempunyai sistem antioksidan sebagai mekanisme

perlindungan terhadap serangan radikal bebas secara alami yang terdiri dari

banyak komponen diantaranya superoksida dismutase (SOD), glutation

perokside (GPx), katalase (CAT), glutation-S-transferase (GST) dan

antioksidan ekstraseluler yang berasal dari makanan seperti α-tokoferol, β

-karoten, vitamin C, ubiquinol dan flavonoid. Jadi antioksidan mampu

menghilangkan, membersihkan, menahan pembentukan ataupun

meniadakan efek radikal bebas. Kekurangan salah satu komponen tersebut

(18)

menyeluruh dan berakibat perlindungan tubuh terhadap serangan radikal

bebas melemah yang berarti rentan terhadap berbagai penyakit diantaranya

kanker (Arivazhagan et al, 2000).

Insidensi kanker yang tinggi di Indonesia menyebabkan berkembangnya

pengobatan antikanker baik dengan cara kemoterapi, hormonal, penyinaran

maupun pembedahan, akan tetapi cara tersebut banyak menyebabkan efek

samping yang serius pada penderita. Selain itu, pemerintah juga telah

mengupayakan penyelenggaraan pengobatan komplementer yang bertujuan

mencegah pertumbuhan sel kanker yang telah teruji dan dikaji manfaatnya

(Depkes, 2008).

Sambung nyawa merupakan salah satu tanaman obat yang dapat digunakan

sebagai pengobatan komplementer untuk menghambat pertumbuhan sel

kanker, dikenal sebagai tanaman sambung nyowo atau ngokilo. Sambung

nyawa ini merupakan tanaman merambat yang banyak tumbuh di

pekarangan rumah dan terkadang dipergunakan sebagai pagar tanaman oleh

masyarakat. Memiliki daun tunggal, berbentuk oval, dan memiliki rambut

halus pada permukaan atas bawah daunnya. Batang berbentuk bulat, lunak

dan berwarna hijau tua. Bagian tanaman yang digunakan sebagai obat

adalah daunnya (Yelia, 2003).

Pembuktian secara ilmiah mengenai khasiat tanaman ini melalui penelitian

telah banyak dilakukan antara lain oleh Sugiyanto et al. (1993) yang

melaporkan adanya efek penghambatan karsinogenitas benzo(a)piren (BAP)

(19)

penggunaan tradisional sambung nyawa juga didukung oleh isolasi dan

identifikasi beberapa kandungan kimia yang mungkin aktif dari tanaman ini,

seperti flavonoid, saponin, tanin, dan terpenoid, namun masih sedikit

informasi yang didapat akan penggunaan paparan sambung nyawa dalam

jangka waktu yang lama (Rosidah et al., 2009).

Selain penelitian tentang manfaat daun sambung nyawa, dewasa ini mulai

dilakukan penelitian untuk mengamati toksisitas dari ekstrak etanol daun

sambung nyawa salah satunya ialah penelitian yang dilakukan oleh Astri et

al. (2012). Hal tersebut dikarenakan penggunaan ekstrak etanol daun

sambung nyawa yang semakin meluas. Namun, penelitian ini baru terbatas

pada pemeriksaan makroskopik. Penelitian tersebut dilakukan selama 14

hari dengan menggunakan tikus galur Wistar yang berumur 8 minggu.

Setelah dilakukan pembedahan didapatkan adanya ulkus pada lambung dan

rusaknya pembuluh darah (Astri et al., 2012). Karena hal-hal yang

disebutkan diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang

efek toksisitas daun sambung nyawa terhadap gambaran histopatologis

organ lambung.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan deskripsi tersebut, maka dapat dirumuskan masalah penelitian

adalah: Apakah ekstrak etanol daun sambung nyawa dapat menimbulkan

perubahan gambaran histopatologis lambung tikus putih galur Sprague

(20)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian

ekstrak etanol daun sambung nyawa terhadap perubahan gambaran

histopatologi lambung tikus putih galur Sprague dawley.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti, sebagai wujud pengaplikasian disiplin ilmu yang telah

dipelajari sehingga dapat mengembangkan wawasan keilmuan

peneliti.

2. Bagi masyarakat/institusi, dapat memberikan informasi tentang dosis

toksik yang mungkin muncul akibat penggunaan ekstrak daun

sambung nyawa. Penelitian ini juga dapat mendukung upaya

pemeliharaan tanaman sambung nyawa sebagai salah satu tanaman

berkhasiat obat (apotek hidup) yang memiliki zat aktif anti

karsiogenik natural.

3. Bagi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung (FK Unila)

meningkatkan iklim penelitian dibidang agromedicine sehingga dapat

menunjang pencapaian visi FK Unila 2025 sebagai sepuluh terbaik

fakultas kedokteran di Indonesia pada tahun 2025 dengan kekhususan

agromedicine

4. Bagi ilmu pengetahuan, dapat membuka penelitian lanjutan untuk

(21)

lebih dikenal sebagai tanaman jamu, sehingga daun sambung nyawa

dapat berkembang menjadi fitofarmaka.

D. Kerangka Penelitian

1. Kerangka Teori

Iritasi pada mukosa lambung yang berlangsung lama menyebabkan

kerusakan mukosa yang berulang-ulang sehingga dapat terjadi radang

lambung kronis dan tukak lambung. Hal ini terjadi misalnya ditemukan

pada pecandu alkohol, perokok, pengguna analgetik non steroid jangka

panjang dan refluks empedu. Keadaan serupa terjadi juga pada fungsi

pengosongan lambung yang lambat, sehingga mukosa lambung kontak

lama dengan isi lambung (Sibuea, 2005).

Sambung nyawa merupakan salah satu tanaman obat yang saat ini sangat

populer di masyarakat. Bagian tanaman yang biasa digunakan sebagai

obat adalah daunnya. Daun sambung nyawa dapat menghambat

terbentuknya batu kandung kemih pada tikus dan tidak bersifat toksik

daun sambung nyawa juga memiliki potensi sebagai antikarsinogenik

(Sugiyanto et al., 2003). Khasiat daun sambung nyawa adalah sebagai

obat ginjal, antikanker, dan penurun tekanan darah. Namun, hingga

sekarang belum diketahui lebih lanjut mengenai batas maksimal

(22)

Gambar 1. Diagram Kerangka Teori Penelitian Penggunaan ektrak etanol 96% daun

sambung nyawa yang mengandung flavonoid

Minyak astiri

Saponin Tannin Triterpen

steroida

Peningkatan dosis lebih

dari 200mg/kgBB

Kerusakan pada organ dalam tubuh

(23)

2. Kerangka Konsep

Gambar 2. Diagram Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan:

 : Variabel independen

 : Variabel dependen Ekstrak etanol daun

sambung nyawa

Aquades 1ml Kelompok I

Kontrol positif 6 ekor tikus

Putih Dosis 500

mg/kgBB ekstrak etanol 96% 3 x7 selama 14 hari

Kelompok II 6 ekor Tikus Putih

Dosis 2000 mg/kgBB ekstrak etanol 96%

3x7 selama 14 Dosis 1500 mg/kgBB ekstrak etanol 96% 3x7 selama 14 hari Dosis 1000

mg/kgBB ekstrak etanol 96% 3x7 selama 14 hari

Kelompok III 6 ekor tikus putih

Kelompok IV 6 ekor tikus putih

(24)

E. Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, hipotesis

dalam penelitian ini adalah ekstrak etanol daun sambung nyawa dapat

menimbulkan kerusakan akibat toksisitas pada gambaran histopatologi

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Lambung

1. Anatomi Lambung Manusia

Lambung adalah perluasan organ berongga besar menyerupai kantung

dalam rongga peritoneum yang terletak diantara esophagus dan usus halus.

Lambung terdiri dari antrum kardia (yang menerima esophagus), fundus

besar seperti kubah, badan utama atau korpus dan pilorus yang menyerupai

corong (Eroschenko, 2010).

Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat

di daerah epigastrik, di bawah diafragma dan di depan pankreas. Dalam

keadaan kosong, lambung menyerupai tabung bentuk J, dan bila penuh,

berbentuk seperti buah pir raksasa. Kapasitas normal lambung adalah 1

sampai 2 L (Price, 2006). Secara anatomis lambung terdiri atas empat

bagian, yaitu: kardia, fundus, badan atau korpus, dan pilorus. Adapun secara

histologis, lambung terdiri atas beberapa lapisan, yaitu: mukosa,

submukosa, muskularis mukosa, dan serosa. Lambung berhubungan dengan

esofagus melalui orifisium atau kardia dan dengan duodenum melalui

(26)

Perdarahan lambung berasal dari arteri gaster sinistra yang berasal dari

truncus coeliacus, a. gastric dekstra yang dilepaskan dari a. hepatica, a.

gastroepiploica cabang dari a. gastricaduodenalis, a. gastro-omentalis yang

berasal dari a. splenica, dan a. gastric breves berasal dari a. splenica

(Moore, 2002).

Gambar 3. Anatomi lambung manusia (Sumber: Sobotta, 2010)

Secara anatomis bagian lambung yang paling sering mengalami gangguan

adalah bagian antrum, ini ditandai dengan peningkatan angka kejadian

gastritis. Dengan data tersebut maka secara histologis lapisan lambung yang

paling sering mengalami kerusakan adalah bagian superfisial atau dapat

menembus lebih dalam ke mukosa lambung yang bisa terjadi diseluruh

permukaan bagian lambung. Beberapa bahan yang dimakan seperti alkohol

(27)

tersebut dapat merusak mukosa kelenjar dan sambungan epitel yang rapat

(tight epithelial junctions) diantara sel pelapis lambung hingga sering

menyebabkan gastritis akut atau kronis berat (Guyton, 2008).

2. Histologis Lambung Manusia

Mukosa lambung mengandung banyak kelenjar. Di daerah pilorus dan

kardia, kelenjar dapat menyekresikan mukus. Di korpus lambung, termasuk

fundus, kelenjar mengandung sel parietal (oksintik), yang menyekresikan

asam hidroklorida dan faktor intrinsik, dan chief cell (sel zimogen, sel

peptik), yang menyekresikan pepsinogen. Sekresi-sekresi ini bercampur

dengan mukus yang disekresikan oleh sel-sel di leher kelenjar. Beberapa

kelenjar bermuara ke ruang bersamaan (gastric pit) yang kemudian terbuka

kepermukaan mukosa. Mukus juga disekresikan bersama HCO3- oleh

sel-sel mukus di permukaan epitel antara kelenjar-kelenjar (Ganong, 2002).

Dinding lambung tersusun dari empat lapisan dasar utama, sama halnya

dengan lapisan saluran cerna secara umum dengan modifikasi tertentu yaitu

lapisan mukosa, submukosa, muskularis eksterna, dan serosa (Schmitz &

Kevin, 2008).

1. Lapisan mukosa terdiri atas epitel permukaan, lamina propia, dan

muskularis mukosa. Epitel permukaan yang berlekuk ke dalam lamina

propia dengan kedalaman yang bervariasi, dan membentuk

sumur-sumur lambung disebut foveola gastrika. Epitel yang menutupi

(28)

silindris dan semua selnya menyekresi mukus alkalis. Lamina propia

lambung terdiri atas jaringan ikat longgar yang disusupi sel otot polos

dan sel limfoid. Muskularis mukosa yang memisahkan mukosa dari

submukosa dan mengandung otot polos (Tortora & Derrickson, 2012).

2. Lapisan sub mukosa mengandung jaringan ikat, pembuluh darah, sistem

limfatik, limfosit, dan sel plasma. Sebagai tambahan yaitu terdapat

pleksus submukosa (Schmitz & Kevin, 2008).

3. Lapisan muskularis propia terdiri dari tiga lapisan otot, yaitu inner

oblique, middle circular dan outer longitudinal. Pada muskularis propia

terdapat pleksus myenterik (auerbach) (Schmitz & Martin, 2008).

Lapisan oblik terbatas pada bagian korpus dari lambung (Tortora &

Derrickson, 2012).

4. Lapisan serosa adalah lapisan yang tersusun atas epitel selapis skuamos

(mesotelium) dan jaringan ikat areolar (Tortora & Derrickson, 2009).

Lapisan serosa adalah lapisan paling luar dan merupakan bagian dari

viseral peritoneum (Schmitz & Kevin, 2008).

(29)

Sedangkan untuk gambaran histopatologis dari lambung (gambar 3) akan

terlihat serbukan sel radang pada bagian mukosa lambung. Peradangan yang

nampak pada pemeriksaan gambaran histopatologis menggambarkan

kerusakan yang terjadi pada daerah mukosa gaster biasa ditandai dengan

erosi disertai bendungan perdarahan seperti yang terlihat pada gambar 3A

ataupun tukak pada gaster yang terlihat pada gambar 3B (Astri et al., 2012)

Gambar 5A. Erosi mukosa disertai bendungan perdarahan (Sumber: Astri et al., 2012).

(30)

2. Fisiologis Lambung

Fungsi motorik dari lambung ada tiga: (1) penyimpanan sejumlah besar

makanan sampai makanan dapat diproses di dalam duodenum, (2)

pencampuran makanan ini dengan sekresi dari lambung sampai membentuk

suatu campuran setengah cair yang disebut kimus, dan (3) pengosongan

makanan dengan lambat dari lambung ke dalam usus halus pada kecepatan

yang sesuai untuk pencernaan dan absorpsi yang tepat oleh usus halus

(Guyton, 2008).

Setiap hari lambung mengeluarkan sekitar 2 liter getah lambung. Sel-sel

yang bertanggung jawab untuk fungsi sekresi, terletak di lapisan mukosa

lambung. Secara umum, mukosa lambung dapat dibagi menjadi dua bagian

terpisah: (1) mukosa oksintik yaitu yang melapisi fundus dan badan, (2)

daerah kelenjar pilorik yang melapisi bagian antrum. Sel-sel kelenjar

mukosa terdapat di kantong lambung (gastric pits), yaitu suatu invaginasi

atau kantung pada permukaan luminal lambung. Variasi sel sekretori yang

melapisi invaginasi ini beberapa diantaranya adalah eksokrin, endokrin, dan

parakrin (Sherwood, 2010).

Kapasitas lambung cukup besar, bila kosong volume lumennya hanya 50-75

ml. Namun, 1,2 L dapat masuk sebelum tekanan intralumina mulai naik.

Volume sekret yang dihasilkan seharinya antara 500-1000 ml hanya

beberapa milimeter disekresikan per jam, diantara waktu makan, namun saat

(31)

mempertahankan lingkungan intern yang optimal untuk proteolisis oleh

pepsin yang aktif pada pH 2 (Guyton, 2008).

Sekresi asam basal dipengaruhi oleh faktor kolinergik melalui nervus vagus

dan alkohol histaminergik melalui sumber lokal di lambung. Sekresi asam

akibat perangsangan dihasilkan dalam tiga fase yang berbeda tergantung

sumber rangsang. Fase sefalik melalui perangsangan nervus vagus. Fase

gastric terjadi pada saat makanan masuk ke dalam lambung, komponen

sekresi adalah kandungan makanan, yang merangsang sel G untuk

melepaskan gastrin yang selanjutnya mengaktifasi sel parietal. Fase terakhir,

intestinal sekresi asam lambung dimulai pada saat makanan masuk ke dalam

usus dan diperantarai oleh adanya peregangan usus dan pencampuran

kandungan makanan yang ada (Tarigan, 2007).

Ada tiga jenis sel eksokrin yang ditemukan di dinding kantung dan kelenjar

oksintik mukosa lambung, yaitu:

1. Sel mukus yang melapisi kantung lambung, yang menyekresikan mukus

yang encer.

2. Bagian yang paling dalam dilapisi oleh sel utama (chief cell) dan sel

parietal. Sel utama menyekresikan prekursor enzim pepsinogen.

3. Sel parietal (oksintik) mengeluarkan HCl dan faktor intrinsik. Oksintik

artinya tajam, yang mengacu kepada kemampuan sel ini untuk

menghasilkan keadaan yang sangat asam. Semua sekresi eksokrin ini

dikeluarkan ke lumen lambung dan mereka berperan dalam

(32)

Sel mukus cepat membelah dan berfungsi sebagai sel induk bagi semua sel

baru di mukosa lambung. Sel-sel anak yang dihasilkan dari pembelahan sel

akan bermigrasi ke luar kantung untuk menjadi sel epitel permukaan atau

berdiferensiasi ke bawah untuk menjadi sel utama atau sel parietal. Melalui

aktivitas ini, seluruh mukosa lambung diganti setiap tiga hari (Sherwood,

2010).

Lambung dapat diserang oleh beberapa faktor endogen dan faktor eksogen

yang berbahaya. Sebagai contoh faktor endogen adalah asam hidroklorida

(HCl), pepsinogen/pepsin, dan garam empedu, sedangkan contoh substansi

eksogen yang dapat menyebabkan kerusakan mukosa lambung adalah

seperti obat, alkohol, dan bakteri. Sistem biologis yang kompleks dibentuk

untuk menyediakan pertahanan dari kerusakan mukosa dan untuk

memperbaiki setiap kerusakan yang dapat terjadi (Kasper et al., 2008).

Sistem pertahanan dapat dibagi menjadi tiga tingkatan sawar yang terdiri

dari preepitel, epitel, dan subepitel. Pertahanan lini pertama adalah lapisan

mukus bikarbonat, yang berperan sebagai sawar psikokemikal terhadap

beberapa molekul termasuk ion hidrogen. Mukus dikeluarkan oleh sel epitel

permukaan lambung. Mukus tersebut terdiri dari air (95%) dan

pencampuran dari lemak dan glikoprotein. Fungsi gel mukus adalah sebagai

lapisan yang tidak dapat dilewati air dan menghalangi difusi ion dan

molekul seperti pepsin. Bikarbonat, dikeluarkan sebagai regulasi di bagian

(33)

(pH) yang berkisar dari 1 sampai 2 pada lapisan lumen dan mencapai 6

sampai 7 di sepanjang lapisan epitel sel (Kasper et al., 2008).

Lapisan sel epitel berperan sebagai pertahanan lini selanjutnya melalui

beberapa faktor, termasuk produksi mukus, tranpoter sel epitel ionik yang

mengatur pH intraselular dan produksi bikarbonat dan taut erat intraselular.

Jika sawar preepitel dirusak, sel epitel gaster yang melapisi sisi yang rusak

dapat bermigrasi untuk mengembalikan daerah yang telah dirusak

(restitution). Proses ini terjadi dimana pembelahan sel secara independen

dan membutuhkan aliran darah yang tidak terganggu dan suatu pH alkaline

di lingkungan sekitarnya. Beberapa faktor pertumbuhan (growth factor)

termasuk epidermal growth factor (EGF), transforming growth factor

(TGF)α dan basic fibroblast growth factor (FGF), memodulasi proses

pemulihan. Kerusakan sel yang lebih besar yang tidak secara efektif

diperbaiki oleh proses perbaikan (restitution), tetapi membutuhkan

proliferasi sel. Regenerasi sel epitel diregulasi oleh prostaglandin dan faktor

pertumbuhan (growth factor) seperti EGF dan TGF α. Bersamaan dengan

pembaharuan dari sel epitel, pembentukan pembuluh darah baru

(angiogenesis) juga terjadi pada kerusakan mikrovaskular. Kedua faktor

yaitu FGF dan VEGF penting untuk meregulasi angiogenesis di mukosa

(34)

B. Gynura Procumbens

1. Klasifikasi

Klasifikasi tanaman Gynura procumbens (sambung nyawa):

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa : Asterales

Suku : Compositae

Marga : Gynura

Jenis : Gynura procumbens (Lour) Merr (Winarto et al., 2004).

2. Deskripsi

Sambung nyawa (Gynura procumbens) sebenarnya sudah lama dikenal baik

oleh masyarakat sebagai tanaman obat dan banyak diminati oleh para

pengobat herbal maupun sebagian peminat tanaman obat. Namun, nama

tanaman ini masih rancu karena sering dikelirukan dengan tanaman daun

dewa (Gynura pseudochina DC) yang masih dalam satu famili (Winarto,

2004).

Dalam penamaan Indonesia, sambung nyawa sering disebut daun dewa atau

sebaliknya daun dewa sering disebut daun sambung nyawa. Selain itu, juga

ada yang menyebut sambung nyawa sebagai ngokilo dan daun dewa sebagai

umbi dewa. Namun, adanya kontak antara petani tanaman obat dan para

(35)

diterima atau dimengerti bahwa perbedaan yang paling menonjol antara

daun dewa dengan daun sambung nyawa adalah daun sambung nyawa tidak

[image:35.595.201.481.193.361.2]

memiliki umbi sedangkan daun dewa memiliki umbi (Winarto, 2004).

Gambar 6. Gynura procumbens (Sumber: Winarto, 2004)

Habitat asli tumbuhan ini berada di hutan, termasuk pada semak belukar.

Walaupun pada dasarnya tanaman ini hidup pada ketinggian 1-1200 meter

diatas permukaan laut. Namun akan tumbuh baik pada ketinggian 300-500

meter di atas permukaan laut, namun dengan naungan khusus tanaman ini

dapat tumbuh baik pada ketinggian 100-300 meter di atas permukaan laut

(Winarto, 2004).

Tumbuhan ini merupakan tumbuhan semak semusim dengan tinggi sekitar

20-60 cm. Berbatang lunak dengan penampang bulat dan berwarna ungu

kehijauan. Berdaun tunggal, berbentuk bulat telur, berwarna hijau, tepi daun

rata atau agak bergelombang, serta panjangnya dapat mencapai 15 cm dan

(36)

meruncing, serta pertulangan menyirip. Tumbuhan sambung nyawa berakar

serabut dan tidak berbunga (Suharmiati & Maryani, 2006).

Akan sedikit harum apabila daun tanaman ini dimemerkan. Batangnya lunak

dan cenderung roboh. Pada bagian batang yang menempel ke tanah,

biasanya terbentuk akar. Batangnya bersegi agak lunak dan berair, hanya

sedikit berkayu. Pada bagian ujung tidak berbulu atau berbulu jarang,

bercabang, dan berwarna hijau muda. Panjangnya sampai 3 meter atau lebih

(Winarto, 2004).

3. Kandungan Kimia Sambung nyawa

Tanaman sambung nyawa terbukti mengandung flavonoid, sterol tak jenuh,

triterpenoid, polifenol, saponin, steroid, asam klorogenat, asam kafeat, asam

vanilat, asam para kumarat, asam para hidroksi benzoat, dan minyak atsiri.

Lebih spesifik lagi, dari hasil uji isolasi flavonoid dilaporkan keberadaan 2

macam senyawa flavonoid, yaitu kaemferol (suatu flavonol), flavonol, dan

auron diduga juga keberadaan isoflavon dengan gugus hidroksil pada posisi

6 atau 7, 8 (cincin A) tanpa gugus hidroksil pada cincin B pada kandungan

daun sambung nyawa (Sugiyanto et al., 1993).

Secara in vivo, flavonoid yang terabsorbsi akan aktif menghambat radikal

bebas yang diakibatkan oleh sitotoksisitas oleh peroksidasi. Secara in vitro,

flavonoid menghambat peroksidasi lemak, pada tahap inisiasi berperan

sebagai pengikat anion superoksida dan radikal hidroksil. Reaksi radikal

(37)

pada radikal peroksida membentuk radikal flavonoid sekaligus mengakhiri

rantai reaksi. Flavonoid juga dapat menghambat superoksidasi fenton, yaitu

sumber penting radikal O2 aktif. Flavonoid telah dilaporkan dapat

mengkelat ion besi (Fe++) dan membentuk kompleks inert/lambat yang

tidak dapat menginisiasi lipid peroksidasi (Middleton et al., 2000).

Daun mengandung 4 senyawa flavonoid, tanin, saponin, steroid

(triterpenoid). Metabolit yang terdapat dalam ekstrak yang larut dalam

etanol 95% antara lain asam klorogenat, asam kafeat, asam vanilat, asam

kumarat, asam hidroksi benzoat. Hasil analisis kualitatif dengan metode

kromatografi lapisan tipis dapat dideteksi keberadaan sterol, triterpen,

senyawa fenolik (antara lain flavonoid), polifenol, dan minyak atsiri.

Komponen minyak atsiri paling sedikit terdiri dari 6 senyawa monoterpen, 4

senyawa seskuiterpen, 2 macam senyawa dengan ikatan rangkap, 2 senyawa

dengan gugus aldehida dan keton. Hasil penelitian dalam upaya isolasi

flavonoid dilaporkan keberadaan 2 macam senyawa flavonoid yaitu bercak

1 terdiri dari 2 buah senyawa flavonol dan auron; sedangkan pada bercak 11

diduga kaemferol (suatu flavonol). Senyawa yang terkandung dalam etanol

daun antara lain flavonol (3-hidroksi flavon) dengan gugus hidroksil pada

posisi 4,7 dan 6 atau 8 dengan substitusi gugus 5 hidroksi. Bila senyawa

tersebut suatu flavonol, maka gugus hidroksil pada posisi 3 dalam keadaan

tersubstitusi. Di samping itu diduga keberadaan isoflavon dengan gugus

hidroksil pada posisi 6 atau 7,8 (cincin A) tanpa gugus hidroksil pada cincin

(38)

Namun, kandungan flavonoid daun sambung nyawa yang diberikan dengan

dosis toksik akan memiliki efek penghambatan terhadap lipoksigenase dan

siklooksigenase. Sebagai salah satu produk dari jalur siklooksigenase,

prostaglandin memiliki efek protektif terhadap lambung. Berkurangnya

prostaglandin akan menyebabkan penurunan produksi mukus, fosfolipid,

sekresi HCO3-, proliferasi sel mukosa, dan aliran mikrovaskular lambung.

Hal ini menyebabkan diskontinuitas di epitel mukosa lambung atau bahkan

lebih dalam, yang dikenal dengan tukak (ulkus) lambung. Mekanisme

tersebut mungkin sebagai penyebab tukak lambung setelah pemberian

ekstrak etanol daun sambung nyawa (Astri et al., 2012).

4. Manfaat Sambung nyawa

Tanaman ini sering digunakan sebagai obat maupun makanan untuk

kesehatan, dapat berupa lalapan maupun berupa kapsul atau teh. Di Jawa

Barat, masyarakat Sunda sering mengkonsumsi sambung nyawa sebagai

lalapan (Suharmiati & Maryani, 2006).

Secara tradisional, sambung nyawa digunakan sebagai obat penyakit ginjal,

infeksi kerongkongan, menghentikan pendarahan, dan penawar racun akibat

gigitan binatang berbisa. Skrining fitokimia daun sambung nyawa diduga

berkhasiat sebagai anti kanker, antara lain kanker kandungan, kanker

payudara, dan kanker darah (Winarto, 2004).

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa

(39)

sambung nyawa oleh sebagian masyarakat Indonesia digunakan sebagai

obat kanker rahim, payudara dan kanker darah dengan memakan 3 lembar

daun segar sehari selama 7 hari. Pengobatan tersebut dapat diperpanjang

selam 1-3 bulan tergantung keadaan penyakit (Meiyanto, 1996). Penelitian

Sugiyanto et al., (1993) melaporkan bahwa ekstrak etanolik daun sambung

nyawa menghambat pertumbuhan tumor paru pada mencit yang diinduksi

benzo[a]piren. Selain itu, ekstrak etanolik daun sambung nyawa terbukti

menghambat pertumbuhan sel Myeloma (CCRC, 1998) dan dapat

menghambat pertumbuhan kanker payudara tikus yang diinduksi DMBA

(Meiyanto et al., 2007).

Menurut penelitian Sugiyanto et al. (2003), fraksi etil asetat ekstrak etanolik

sambung nyawa mengandung senyawa flavonoid yang mengarah pada

golongan favon atau flavonol. Senyawa flavonoid yang ditemukan pada

fraksi heksana-etil asetat XIX dan XX ekstrak etanolik daun sambung

nyawa (Meiyanto & Septisetyani, 2005) mempunyai nilai IC50 sebesar 119

μg/ml terhadap sel kanker leher rahim HeLa. Selain itu, senyawa flavonoid

yang ditemukan dalam fraksi heksan-etil asetat XII dan XIII ekstrak etanolik

daun sambung nyawa mampu menghambat sel kanker payudara T47D

dengan IC50 sebesar 80 μg/ml (Winarto, 2004).

Akiyama et al. (2001) menyatakan bahwa senyawa astringen dari tanin yang

terkandung dalam sambung nyawa dapat merangsang pembentukan

kompleks senyawa ikatan tubuh terhadap enzim atau substrat mikroba

(40)

lain yang dilakukan oleh Lia Angelin Adriana pada tahun 2006

menunjukkan bahwa ekstrak umbi sambung nyawa dapat meningkatkan

peningkatan sel imunitas tubuh (makrofag) yang terinfeksi oleh Salmonella

typhimurium (Akiyama et al., 2001).

C. Uji Toksisitas

Uji toksisitas adalah suatu pengujian pendahuluan untuk mengamati suatu

aktivitas farmakologi suatu senyawa. Prinsip uji toksisitas merupakan

pengujian terhadap komponen bioaktif selalu bersifat toksik jika diberikan

dengan dosis tinggi dan apabila diberikan dengan dosis rendah maka akan

menjadi obat. Zat atau senyawa asing yang ada di lingkungan dapat terserap

ke dalam tubuh secara difusi dan langsung dan akan memengaruhi

kehidupannya. Uji toksisitas digunakan untuk mengetahui pengaruh racun

yang dihasilkan oleh dosis tunggal dari suatu campuran zat kimia pada

hewan coba sebagai uji pra skrining senyawa bioaktif antikanker

(Hamburger & Hostettmann, 1991).

Menurut bentuknya toksisitas dapat dibagi menjadi 2 bentuk, toksisitas

umum (akut, subakut/subkronis, kronis) dan toksisitas khusus (teratogenik,

mutagenic, dan karsinogenik). Dalam uji toksisitas juga perlu dibedakan

obat tradisional yang dipakai secara singkat dan yang dipakai dalam jangka

(41)

Pengujian toksisitas dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:

1. Uji toksisitas akut

Pengujian ini dilakukan dengan memberikan zat kimia yang sedang

diuji sebanyak satu kali atau lebih dalam jangka waktu 24 jam.

2. Uji toksisitas jangka pendek (sub kronik)

Pengujian ini dilakukan dengan memberikan zat kimia yang sedang

diuji tersebut berulang – ulang, biasanya setiap hari, atau lima kali

seminggu, dalam jangka waktu sekitar 10% dari masa hidup hewan,

yaitu 3 bulan untuk tikus atau 1 atau 2 tahun untuk anjing.

3. Uji toksisitas jangka panjang (kronik).

Percobaan jenis ini mencakup pemberian zat kimia secara berulang

selama 3-6 bulan atau seumur hewan, misalnya 18 bulan untuk mencit,

24 bulan untuk tikus atau 7-10 tahun untuk anjing dan monyet (Radji,

2008).

1. Uji Toksisitas Akut

Uji toksisitas akut merupakan pengujian untuk menentukan dan mengamati

dosis lethal (LD50), LD50 merupakan dosis tunggal suatu zat yang secara

statistik diharapkan dapat membunuh 50% hewan percobaan. Uji toksisitas

akut ini dilakukan dengan memberikan zat kimia yang sedang diuji

sebanyak satu kali selama masa pengujian dan diamati dalam jangka waktu

minimal 24 jam atau lebih (7-14 hari). Uji toksisitas akut bertujuan untuk

mengamati efek toksik suatu senyawa yang bisa terjadi dalam jangka waktu

(42)

empat peringkat dosis yang dianjurkan dalam pengujian toksisitas akut,

dosis tersebut berkisar dari dosis terendah yang tidak atau hampir tidak

mematikan seluruh hewan uji sampai dengan dosis tertinggi yang dapat

mematikan seluruh atau hampir seluruh hewan uji. Biasanya pengamatan

dilakukan selama 24 jam, kecuali pada kasus tertentu selama 7-14 hari.

Yang diamati pada pengujian ini seperti, gejala-gejala klinis, nafsu makan,

bobot badan, keadaan mata dan bulu, tingkah laku, jumlah hewan yang mati,

serta histopatologi organ (Loomis, 1978).

Uji toksisitas akut dapat diperoleh gambaran kerugian yang terjadi akibat

peningkatan dosis tunggal dan bagaimana kematian dapat terjadi. Uji

toksisitas akut dapat memberikan gambaran tentang gejala-gejala ketoksikan

terhadap fungsi penting seperti gerak, tingkah laku, dan pernafasan yang

dapat menyebabkan kematian. LD50 dapat dihubungkan dengan Efektif

Dosis 50 (ED50) yaitu dosis yang secara terapeutik efektif terhadap 50 %

dari sekelompok hewan percobaan. Hubungan tersebut dapat berupa

perbandingan antara LD50 dengan ED50 dan disebut Indeks Terapeutik

(IT), yaitu suatu perbandingan antara dosis obat yang memberikan efek

terapi yang samar dengan dosis obat yang menyebabkan efek toksik yang

nyata. Dengan kata lain, semakin besar indeks terapeutik suatu obat makin

aman obat tersebut (Laurence & Bennet, 1995)

Faktor-faktor yang berpengaruh pada LD50 sangat bervariasi antara jenis

yang satu dengan jenis yang lain dan antara individu satu dengan individu

(43)

 Spesies, strain dan keragaman individu

Setiap spesies dan strain yang berbeda memiliki sistem metabolism

dan detoksikasi yang berbeda juga. kemampuan bioaktivasi dan

toksikasi suatu zat setiap spesies akan berbeda. Semakin tinggi tingkat

keragaman suatu spesies dapat menyebabkan perbedaan nilai LD50

(Lu, 1995).

 Perbedaan jenis kelamin

Perbedaan pada kelenjar endokrin merupakan faktor yang

mempengaruhi nilai LD50 pada uji toksisitas pada hewan uji coba

yang berbeda jenis kelamin. Hewan betina mempunyai sistem

hormonal yang berbeda dengan hewan jantan sehingga menyebabkan

perbedaan kepekaan terhadap suatu toksikan. Walaupun hewan jantan

dan betina yang sama dari strain dan spesies yang sama biasanya

bereaksi terhadap toksikan dengan cara yang sama, tetapi ada

perbedaan secara kuantitatif yang menonjol dalam kerentanan

terutama pada tikus (Lu, 1995).

 Umur

Karena enzim untuk biotransformasi masih kurang dan fungsi ginjal

belum sempurna menyebabkam hewan-hewan yang lebih muda

memiliki kepekaan yang lebih tinggi terhadap obat. Sedangkan pada

hewan tua kepekaan individu meningkat karena fungsi

(44)

 Berat badan

Penentuan dosis dalam pengujian toksisitas akut dapat didasarkan

pada berat badan. Pada spesies yang sama, berat badan yang berbeda

dapat memberikan nilai LD50 yang berbeda pula. Semakin besar berat

badan maka jumlah dosis yang diberikan semakin besar (Mutshler,

1991).

 Cara pemberian

Dosis letal dipengaruhi pula oleh cara pemberian pemberian obat

melalui suatu cara yang berbeda pada spesies yang sama akan

memberikan hasil yang berbeda. Menurut Siswandono dan Bambang

pada tahun 1995, pemberian obat peroral tidak langsung

didistribusikan ke seluruh tubuh. Pemberian obat atau toksikan peroral

didistribusikan ke seluruh tubuh setelah terjadi penyerapan di saluran

cerna sehingga mempengaruhi kecepatan metabolisme suatu zat di

dalam tubuh (Mutshler, 1991).

 Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan yang mempengaruhi toksisitas akut antara lain

temperatur, kelembaban, iklim, perbedaan siang dan malam.

Perbedaan temperatur suatu tempat akan mempengaruhi keadaan

fisiologis suatu hewan (Ganong, 2002).

 Kesehatan hewan

Status hewan dapat memberikan respon yang berbeda terhadap suatu

toksik. Kesehatan hewan sangat dipengaruhi oleh kondisi hewan dan

(45)

yang berbeda dibandingkan dengan nilai LD50 yang didapatkan dari

hewan sehat (Lu, 1995).

 Diet

Komposisi makanan akan mempengaruhi status kesehatan hewan

percobaan. Defisiensi zat makanan tertentu dapat mempengaruhi nilai

LD50. Pemberian makan pada tikus harus mencakupi konsumsi pakan

per hari sebesar 5 gr/100grBB, konsumsi air minum per hari sebsar

8-11 ml/100grBB, dan diet protein sebesar 12% (Ganong, 2002)

Tujuan dilakukannya uji toksisitas akut adalah untuk menentukan potensi

ketoksikan akut dari suatu senyawa dan untuk menentukan gejala yang

timbul pada hewan coba (Loomis TA, 1978).

Untuk uji toksisitas akut obat tradisional perlu dilakukan pada

sekurang-kurangnya satu spesies hewan coba biasanya spesies pengerat yaitu mencit

atau tikus (Lu, 1995). Sampel hewan coba untuk masing-masing kelompok

perlakuan perlu mencukupi jumlahnya untuk memungkinkan estimasi

insiden dan frekuensi efek toksik. Biasanya digunakan 4 – 6 kelompok

hewan coba (Depkes, 2000).

2. Uji toksisitas Sub Kronik

Uji toksisitas subkronis adalah pengujian ketoksisan suatu senyawa pada

suatu hewan coba sekurang-kurangnya tiga bulan pemberian. Uji ini

(46)

untuk memperlihatkan apakah spektrum efek toksik itu berkaitan dengan

takaran dosis (Donatus, 2001).

Pengamatan dan pemeriksaan yang dilakukan dari uji ketoksikan subkronis

meliputi:

1. Perubahan berat badan yang diperiksa paling tidak tujuh hari sekali.

2. Masukan makanan untuk masing-masing hewan atau kelompok

hewan yang diukur paling tidak tujuh hari sekali.

3. Gejala kronis umum yang diamati setiap hari.

4. Pemeriksaan hematologi paling tidak diperiksa dua akhir uji coba.

5. Pemeriksaan kimia darah paling tidak dua kali pada awal dan akhir uji

coba.

6. Analisis urin paling tidak sekali.

7. Pemeriksaan histopatologi organ pada akhir uji coba (Loomis, 1978).

Hasil uji ketoksikan subkronis akan memberikan informasi yang bermanfaat

tentang efek utama senyawa uji dan organ sasaran yang dipengaruhinya.

Selain itu juga dapat diperoleh info tentang perkembangan efek toksik yang

lambat berkaitan dengan takaran yang tidak teramati pada uji ketoksikan

akut. Kekerabatan antar kadar senyawa pada darah dan jaringan terhadap

perkembangan luka toksik dan keterbalikan efek toksik. (Donatus, 2001)

Tujuan utama dari uji ini adalah untuk mengungkapkan dosis tertinggi yang

diberikan tanpa memberikan efek merugikan serta untuk mengetahui

pengaruh senyawa kimia terhadap badan dalam pemberian berulang (Eatau

(47)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian dalam penelitian ini menggunakan rancangan

eksperimental dengan Post Test Only Control Group Design. Desain ini

menggunakan 2 kelompok subyek, kelompok satu diberi perlakuan

eksperimental (kelompok eksperimen) dan yang lain tidak diberi perlakuan

(kelompok kontrol). Dari desain ini efek suatu perlakuan terhadap variabel

dependen akan dilakukan pengujian dengan cara membandingkan keadaan

variabel dependen pada kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol.

1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Juni–Desember 2014, bertempat di

Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas

Padjadjaran dalam proses pembuatan ekstrak. Perawatan dan perlakuan

sampel bertempat di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung. Pemeriksaan histopatologis pada sel epitel

lambung tikus putih jantan galur Sprague dawley dilakukan di Balai

(48)

B. Sumber Data

Berdasarkan rancangan penelitian, maka sampel (tikus) dalam penelitian ini

berjumlah 30 ekor dan dibagi dalam lima kelompok yang tidak berpasangan,

yaitu satu kelompok kontrol dan empat kelompok perlakuan. Kelompok

kontrol mendapat pemberian akuades. Kelompok pertama dikenai perlakuan

pemberian ekstrak daun sambung nyawa sebanyak 500 mg/kgBB, kelompok

kedua dikenai perlakuan pemberian ekstrak daun sambung nyawa sebanyak

1000 mg/kgBB, kelompok ke-3 dikenai perlakuan pemberian ekstrak daun

sambung nyawa sebanyak 1500 mg/kgBB dan kelompok ke-4 dikenai

perlakuan pemberian ekstrak daun sambung nyawa sebanyak 2000

mg/kgBB (Gofur et al., 2009).

1. Besar Sampel

Untuk menghitung jumlah sampel yang akan diuji, dapat menggunakan

rumus federer sebagai berikut:

Dari rumus di atas diketahui perhitungan besaran sampel sebagai

berikut: t = 5, maka didapatkan:

(n-1)(t-1) ≥ 15

(n-1)(5-1) ≥ 15

(n-1)4 ≥ 15

(4n-4) ≥ 15

(49)

n ≥ 19/4

n ≥ 4.75

n ≥ 5

Dari hasil perhitungan tersebut diketahui bahwa sampel yang digunakan

pada penelitian ini berjumlah 5 ekor per kelompok. Maka jumlah sampel

yang digunakan unutuk percobaan ini adalah sebanyak 25 ekor tikus. Untuk menghindari drop out pada sampel ditambahkan sehingga jumlah

sampel menjadi 6 ekor per kelompok. Jadi jumlah sampel seluruhnya

adalah 30 ekor.

2. Kriteria sampel

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus putih jantan

(Sprague dawley) yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

Kriteria inklusi:

a. Tikus putih jantan dewasa (Sprague dawley)

b. Umur 8 minggu

c. Berat badan tikus 180 – 200 gram

d. Kesehatan umum baik

Kriteria ekslusi: Tikus sakit

Kriteria drop out: Tikus mati saat penelitian

C. Identifikasi Variabel

1. Variabel Bebas: Ekstrak daun sambung nyawa 500 mg/kgBB, 1000

(50)

2. Variabel Tergantung: Gambaran histopatologis lambung tikus putih.

3. Variabel terkendali:

a. Galur tikus: Tikus putih (Sprague dawley)

b. Umur tikus: 8 minggu

c. Jenis kelamin tikus: Jantan

d. Berat badan tikus: 180 - 200 gram

(51)

D. Definisi Operasional

Tabel 1. Definisi operasional

Variabel Definisi Skala

Dosis ekstrak etanol 96 % daun sambung nyawa

Gambaran histopatologi lambung tikus

Dosis efektif tengah ekstrak etanol daun sambung nyawa adalah 200 mg/KgBB.

 Kelompok I (kontrol negatif)=pemberian aquadest

 Kelompok II (perlakuan coba)=pemberian ekstrak etanol daun sambung nyawa 500 mg/KgBB

 Kelompok III (perlakuan coba)=pemberian ekstrak etanol daun sambung nyawa 1000 mg/KgBB.

 Kelompok IV (perlakuan

coba)=pemberian ekstrak etanol daun sambung nyawa 1500 mg/KgBB

 Kelompok V (perlakuan coba)=pemberian ekstrak etanol daun sambung nyawa 2000 mg/KgBB.

Gambaran kerusakan lambung tikus dilihat dengan melakukan pengamatan sediaan histopatologi menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 40x pada 10 lapang pandang, kerusakan lambung ditandai dengan adanya deskuamasi, erosi epitel mukosa, dan ulserasi epitel lambung. Kerusakan tiap lapangan pandang dinilai berdasarkan skor Barthel Manja

0. Tidak ada perubahan patologis 1. Kongesti pembuluh darah 2. Inflamasi

3. Degenerasi sel epitel (Astri et al., 2012).

Ordinal

(52)

E. Bahan dan alat penelitian

1. Bahan – bahan yang diperlukan untuk penelitian ini adalah:

1. Tikus putih jantan galur Sprague dawley

2. Ekstrak daun sambung nyawa (500 mg/kgBB, 1000 mg/kgBB,

1500 mg/kgBB, 2000 mg/kgBB)

3. Pakan standar mencit

4. Aquadest

5. Bahan untuk pembuatan preparat histopatologi

2. Alat – alat yang digunakan pada percobaan ini adalah:

1. Kandang mencit dan perlengkapannya

2. Sonde lambung

3. Seperangkat alat bedah minor untuk pengambilan organ tikus

4. Alat untuk pembuatan preparat histopatologi

5. Mikroskop

F. Jalannya Penelitian

1. Metode Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Sambung nyawa

Daun sambung nyawa dibersihkan dengan air mengalir dan setelahnya

ditiriskan. Kemudian dijemur dengan ditutupi kain berwarna gelap

untuk menghindari kontak langsung dengan matahari. Setelah

didapatkan daun yang kering, kemudian daun dibuat serbuk dan diayak

(53)

serbuk diekstrak dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol

96% sebanyak 1,5 L. Pengadukan dilakukan sebanyak dua kali yaitu

pada pagi dan sore hari, setelah 3 x 24 jam dilakukan penyaringan.

Ampas proses tersebut kembali dimaserasi dengan pelarut etanol 96%

sebanyak 1,5 L. Proses maserasi dilakukan sebanyak tiga kali. Filtrat

yang diperoleh dikumpulkan kemudian diendapkan, lalu disaring untuk

selanjutnya diuapkan dengan pengurangan tekanan menggunakan

rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak kental (Gofur et al., 2009).

2. Prosedur Pemberian Dosis Ekstrak Daun Sambung nyawa.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Gofur et al. (2009), yang

menyatakan bahwa dosis 350 dan 700 mg/kgBB telah terbukti efektif

dalam menghambat pertumbuhan sel kanker maka dosis yang akan

digunakan pada penelitian diambil dari pertengahan dosis efektif yaitu

500mg/KgBB. Dosis untuk kelompok perlakuan kedua yang akan

digunakan yaitu 500mg/kgBB kemudian dosis kelompok perlakuan

ketiga hasil pengalian 2x dari dosis kedua, yaitu 1000 mg/kgBB,

sedangkan dosis kelompok perlakuan keempat adalah hasil pengalian

1,5x dari dosis kedua yaitu 1500 mg/kgBB, dan dosis kelompok

perlakuan kelima merupakan hasil pengalian 4x dosis kedua yaitu 2000

mg/kgBB (Gofur et al., 2009).

a. Dosis untuk tiap tikus kelompok II

500 mg/KgBB x 0,2 Kg(berat tikus) = 100 mg

(54)

1000 mg/KgBB x 0,2 Kg(berat tikus) = 200 mg

c. Dosis untuk tiap tikus kelompok IV

1500 mg/KgBB x 0,2 Kg(berat tikus) = 300 mg

d. Dosis untuk tiap tikus kelompok V

2000 mg/KgBB x 0,2 Kg(berat tikus) = 400 mg

Volume ekstrak etanol daun sambung nyawa diberikan secara peroral

sebanyak 1 ml yang merupakan volume yang boleh diberikan kepada

tikus mengingat bahwa volume maksimum dari lambung tikus adalah 3

sampai 5 ml. Apabila pemberian ekstrak melebihi volume maksimum

lambung tikus maka akan menyebabkan dilatasi lambung tikus akut

yang kemudian akan menyebabkan robeknya saluran cerna (Ngatidjan,

2006). Ekstrak etanol daum sambung nyawa akan disuspensikan dalam

aquades dengan suspensi agent CMC Na 0,5% kedalam mortir (Gofur

et al., 2009).

Larutan aquades yang perlu ditambahkan adalah sebanyak 200 ml,

maka ekstrak yang perlu ditambahkan adalah sebesar:

a. Untuk dosis 100 mg tiap 1 ml pada kelompok II

=

x = 20.000 mg

x = 20 gr

maka ekstrak yang perlu ditambahkan dalam 200 ml aquades

adalah 20 gr

(55)

=

X= 40.000 mg

X = 40 gr

maka ekstrak yang akan ditambahkan dalam 200 ml aquades

adalah sebanyak 40 gr.

c. Untuk dosis 300 mg tiap 1 ml (kelompok IV)

=

X= 60.000 mg

X = 60 gr

maka ekstrak yang akan ditambahkan dalam 200 ml aquades

adalah 60 gr.

d. Untuk dosis 400 mg tiap 1 ml (kelompok V)

=

X= 80.000 mg

X = 80 gr

maka ekstrak yang akan ditambahkan dalam 200 ml aquades

adalah 80 gr.

3. Pengamatan

Tikus dibagi menjadi 5 kelompok yang terdiri dari 6 ekor setiap

kelompoknya. Kelompok perlakuan pertama hanya diberi aquadest.

Kelompok perlakuan kedua dilakukan pemberian ekstrak daun

(56)

dilakukan pemberian ekstrak daun sambung nyawa sebanyak 1000

mg/kgBB, kelompok perlakuan keempat dilakukan pemberian ekstrak

daun sambung nyawa sebanyak 1500 mg/kgBB, dan kelompok

perlakuan kelima diberi ekstrak sambung nyawa 2000 mg/kgBB.

Pemberian ekstrak pada kelompok perlakuan satu sampai dengan

empat adalah 3 kali dalam seminggu. Perlakuan tersebut dilakukan

selama 2 minggu. Pada hari keempat belas, semua hewan percobaan

dieliminasi dengan anastesi menggunakan chloroform. Selanjutnya

diproses dengan metode baku histologi, setelah itu dilakukan

pemeriksaan mikroskopis sesudah dilakukan pembuatan preparat

sesuai prosedur. Setiap mencit dibuat preparat lambung dan tiap

preparat dibaca dalam 5 lapangan pandang yaitu keempat sudut dan

bagian tengah preparat dengan perbesaran 100x dan 400x dengan

batasan jumlah sel 20 sel tiap lapang pandang. Sasaran yang dibaca

adalah perubahan struktur histologis mukosa yang mengalami erosi

pada lambung mencit karena sel epitel lambung peka terhadap

keadaan lingkungan pada lumen lambung.

G. Analisis data

Data yang diperoleh akan dianalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut

1. Analisis Deskriptif

2. Uji Shapiro-Wilk, uji ini untuk mengetahui apakah data sudah

terdistribusi secara normal atau belum. Uji ini dilakukan apabila jumlah

sampel <50. Apabila data belum terdistribusi secara normal, maka perlu

(57)

3. Uji varians dengan Levene’s test. Uji ini bertujuan untuk menguji

apakah dua atau lebih kelompok data mempunyai varian data yang

sama atau tidak.

4. Uji Efek Perlakuan

Apabila data memenuhi syarat (terdistribusi normal dan varian data

sama) maka, digunakan uji statistik parametrik yaitu One Way Anova.

Jika variabel hasil transformasi tidak berdistribusi normal atau varians

tetap tidak sama, maka alternatifnya dipilih uji Kruskal-Wallis.

Jika pada uji One Way Anova menghasilkan nilai p<0,05, maka dilanjutkan

dengan melakukan analisis Least Significant Difference – test (LSD) Post

Hoc Test untuk mengetahui kelompok mana yang berbeda secara

bermakna. Apabila menggunakan uji Kruskal-Wallis dan menghasilkan

nilai p <0,05, maka lanjutkan dengan menggunakan uji Mann-Whitney

(58)
[image:58.595.114.526.51.703.2]

Gambar 7. Rancangan Penelitian. Populasi Sampel Random Alokasi Kelompok I kontrol 6 ekor tikus putih Perlakuan pada kelompok I kontrol diberikan akuades 1 ml Selama 2 minggu kelompok II perlakuan 6 ekor tikus

putih Perlakuan pada kelompok II (ekstrak daun sambung nyawa 500 mg/kgBB) selama 2 minggu kelompok III perlakuan 6 ekor tikus putih Perlakuan pada kelompok III (ekstrak daun sambung nyawa 1000 mg/kgBB) selama 2 minggu kelompok IV perlakuan 6 ekor tikus putih Perlakuan pada kelompok IV (ekstrak daun sambung nyawa 1500 mg/kgBB) selama 2 minggu kelompok V perlakuan

6 ekor tikus putih Perlakuan pada kelompok V (ekstrak daun sambung nyawa 2000 mg/kgBB) selama 2 minggu Fase Adaptasi 4-7 hari

Pada hari ke-14 mencit di terminasi dan kemudian dibuat preparat histopatologis organ lambung

(59)

H. Etika Penelitian

Penelitian ini telah diajukan ke Komisi Etik Peneletian Kesehatan Fakultas

Kedokteran Universitas Lampung, dengan menerapkan perinsip 3R dalam

protokol, yaitu:

1. Replacement, adalah keperluan memanfaatkan hewan percobaan

sudah diperhitungkan secara seksama, baik dari pengamatan terdahulu

maupun literatur untuk menjawab pertanyaan penelitian dan tidak

dapat digantikan oleh mahluk hidup lain seperti sel atau biakan

jaringan.

2. Reduction diartikan sebagai pemanfaatan hewan dalam penelitian

sesedikit mungkin, tetapi tetap mendapatkan hasil yang optimal.

3. Refinement adalah memperlakukan hewan percobaan secara

manusiawi memelihara hewan dengan baik, tidak menyakiti hewan,

serta meminimalisasi perlakuan yang menyakitkan sehingga menjamin

(60)

BAB V

SIMPULAN dan SARAN

A. Simpulan

Pemberian ekstrak etanol 96% daun sambung nyawa tidak menunjukkan

kerusakan gambaran histopatologis organ lambung pada tikus putih galur

Sprague dawley.

B. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan kontrol yang ketat terhadap

jalannya penelitian.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai dosis toksisitas sub akut

dan kronis dari ekstrak etanol daun sambung nyawa.

(61)

DAFTAR PUSTAKA

Akiyama, HF., Iwatsuki, T. 2001. Antibacterial action of several tennis agains Staphylococcus aureus. J of Antimicrobial Chemo. 48:487-91

Arivazhagan, P., Thilakavathy, T., dan Panneerselvam, P. 2000. Antioxidant lipoate and tissue antioxidants in aged rats. Journal of Nutritional Biochemistry. 11: 122-7.

Astri, Y., Truly, S., Joseph, I., Sigit, Muchtan, S. 2012. Toksisitas akut peroral ekstrak etanol daun dewa (Gynura procumbens (Lour.) Mer) terhadap kondisi lambung tikus jantan dan betina galurwistar. MKB. 44(1):38 - 43

Depkes RI. 1995. Materia Medika Indonesia Jilid VI. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tanaman Obat. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Depkes RI. 2008. Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Donatus, I.A. 2001. Toksikologi Dasar. Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi. Yogyakarta: Fakultas Farmasi UGM.

Eatau, D.L., Klaassen C.D. 2001. Principle of Toxicology. Casarett and Doull’s Toxicology : The Basic Science of Poison. Ed 6. New Yorks: Mc. Graw Hill.

Eroschenko, V.P. 2010. Atlas Histologi Difiore. ed 11. Jakarta: EGC.

(62)

Gofur, A., Iwan, S.H., Edy, M. 2009. Ekspresi CYP1A1 dan GST serta mutasi gen p53 dan H-setelah induksi 7,12-dimethyl benz(a)antrasen (DMBA) dan pemberian antikarsiogenesis Gynura procumbens pada tikus galur Sprague dawley. Seminar Nasional Biologi XX dan Kongres PBI XIV UIN Maliki Malang. hlm.20-5

Guyton, A.C., Hall J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, ed 6. Jakarta: EGC.

Hamburger, M.K., Hostettmann. 1991. Bioactivity in plants: the link between Phythochemistry and Medicine. Phytochemistry. 30:364-387.

Hollman, P.C. 2004. Absorbtion, bioavability, and metabolism of flavonoid. Pharmaceutical Biology. 42:74–83.

Kartasasmita, R.E., Rina, H., Nuraini, H., Tutus, G. 2009. Docking turunan kuersetin berdasarkan studi interaksi flavonoid terhadap enzim siklooksigenase-2. Indo. J. Chem. 9(2):297-302.

Kasper, D.L., Braunwald, E., Fauci, A.S. 2008. Endocrinology In Harrison’s Principle of Internal Medicine. ed 17. New Yorks: Mc. Graw Hill.

Laurence, D.R., Bennet P.N. 1995. Clinical Pharmacology. ed 7. London: Churchill Livingstone.

Loomis, T.A. 1978. Toksikologi Dasar, (eds) Imono Argo D. ed 3. Semarang: IKIP Semarang Press.

Lu, C.T. 1995. Toksikologi Dasar, Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Resiko. 3th ed. UI Press. Jakarta. 14-20.

Meiyanto, E. 1996, Efek antimutagenik beberapa fraksi ekstrak alkohol daun G. Procumbens (Lour.) Merr. Laporan penelitian. Fakultas Farmasi UGM. Yogyakarta.

(63)

Meiyanto, E., Susilowati, S., Tasminatun, S., Murwanti, R., Sugiyanto, 2007, Efek ekstrak etanolik gyynura procumbens (lour.) merr. terhadap Penghambatan pertumbuhan tumor payudara tikus yang diinduksi DMBA, Majalah Farmasi Indonesia. 18(4):169-175.

Meiyanto, E., Sri, T., Sugiyanto, S., Handayani. 2012. Ekstrak etanolik daun Gynura procumbens (Luor) Merr. menghambat proliferasi sel kanker payudara tikus pada karsiogenesis yang diinduksi dengan dimetilbenz(a)antrazena (DMBA). Jurnal Farmasi Indonesia Pharmacon. 1(13):12 – 15.

Middleton, E., Kandaswami, C. 2000. The effect of plant flavonoids on mammalian cells: implications for inflammation, heart disease, and cancer. Am Soc PharmacolExp Ther. 52(4): 673.

Moore, K.L., Anne, M.R. 2012. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates.

Muminarsi. 2012. Ilmu obat dan obat tradisional. Karya Tulis Ilmiah. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan. Sorong.

Mutshler, E. 1991. Buku Ajar Farmakologi dan Toksikologi. Ed 5. Bandung: Institut Teknologi Bandung Press. hlm.736 - 40.

Ngatidjan. 2006. Metode Laboratorium Dalam Toksikologi. Penerbit Bagian Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Oemiati, R., Ekowati, R., Antonius, Y.K. 2011. Pravalensi tumor dan faktor yang mempengaruhinya di indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.39(1):190-204.

Price, S.A., Lorraine, M. W., 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.

Radji, M. 2008. Harmita dan M. Radji. 2008. Buku Ajar Analisis Hayati Edisi 3. , Jakarta: EGC.

Ranggiasanka, A. 2010. Waspada Kanker Pada Pria dan Wanita. Yogyakarta: Hanggar Kreator.

(64)

Ridwan, E. 2013. Etika Pemanfaatan Hewan Percobaan dalam Penelitian Kesehatan. J Indon Med Assoc. 63(3):112-6.

Risser. 1996. Cancer incidence and mortality in urban vs rural areas of Texas. Texas Medical. 92(1):58-61.

Rosidah, Mun, F., Amirin, A., Gabriel, A., Zaini, A. 2009. Toxicology evaluation of standardized methanol extract of Gynura procumbens. Journal Of Ethnopharmacology. hlm. 244 – 249.

Schmitz, P., Kevin, J. 2008. Internal Medici

Gambar

Gambar 1. Diagram Kerangka Teori Penelitian
Gambar 2. Diagram Kerangka Konsep Penelitian
Gambar 3. Anatomi lambung manusia (Sumber: Sobotta, 2010)
Gambar 4. Histologi lambung manusia (Sumber: Eroschenko, 2010)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan pengambilan lokasi praktek magang adalah disesuaikan dengan kajian yakni Budidaya Sambung Nyawa Kaliurang,Yogyakarta digunakan sebagai lokasi Budidaya Sambung

Hasil yang diperoleh menunjukkan ekstrak daun sambung nyawa berpengaruh terhadap motilitas dan jumlah spermatozoa, namun tidak berpengaruh nyata terhadap viabilitas dan

Berdasarkan hasil pengujian aktivitas antioksidan ekstrak daun sambung nyawa berdasarkan perbedaan metode ekstraksi dan umur panen dapat disimpulkan hasil penelitian sebagai

Pada penelitian ini telah dilakukan uji antihiperglikemia menggunakan kombinasi rebusan daun sirih merah ( Piper crocatum Ruiz &amp; Pav.) dan daun sambung nyawa ( Gynura procumbens

Daun sambung nyawa banyak digunakan untuk berbagai pengobatan tetapi penelitian mengenai uji efek teratogen ekstrak etanol daun sambung nyawa (Gynuraprocumbens

Gambaran Histopatologi Hepar Dan Ginjal Pasca Pemberian Ekstrak Etanol Daun Kembang Bulan (Thitonia Diversifolia) (Studi Pada Tikus Putih Galur Wistar).. Efek Toksisitas

Diperlukan penelitian-penelitian dengan kajian yang lebih luas mengenai penggunaan bersama tanaman senyawa aktif tunggal maupun fraksi flavonoid daun Sambung Nyawa sebagai

M., 2012, Uji Aktivitas Antihiperlipidemia Fraksi Air Ekstrak Etanol Daun Sambung Nyawa (Gynura procumbens (Lour.) Merr.) pada Tikus Jantan yang Diinduksi Diet Lemak