• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efek Imunostimulator Ekstrak Daun Sambung Nyawa (Gynura Procumbens (Lour.) Merr) Terhadap Respon Hipersensitivitas Tipe Lambat Dan Titerantibodi Sel Imun Pada Mencit Jantan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Efek Imunostimulator Ekstrak Daun Sambung Nyawa (Gynura Procumbens (Lour.) Merr) Terhadap Respon Hipersensitivitas Tipe Lambat Dan Titerantibodi Sel Imun Pada Mencit Jantan"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

EFEK IMUNOSTIMULATOR EKSTRAK

DAUN SAMBUNG NYAWA (Gynura procumbens (Lour.) Merr)

TERHADAP RESPON HIPERSENSITIVITAS TIPE LAMBAT

DAN TITERANTIBODI SEL IMUN PADA MENCIT JANTAN

SKRIPSI

OLEH:

AMBAR WIRATMI

NIM 111524041

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

EFEK IMUNOSTIMULATOR EKSTRAK

DAUN SAMBUNG NYAWA (Gynura procumbens (Lour.)

Merr) TERHADAP RESPON HIPERSENSITIVITAS TIPE

LAMBAT DAN TITER ANTIBODI SEL IMUN PADA

MENCIT JANTAN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada

Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

OLEH:

AMBAR WIRATMI

NIM 111524041

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

EFEK IMUNOSTIMULATOR EKSTRAK DAUN SAMBUNG

NYAWA (Gynura procumbens (Lour.) Merr) TERHADAP

RESPON HIPERSENSITIVITAS TIPE LAMBAT DAN

TITER ANTIBODI SEL IMUN PADA MENCIT JANTAN

OLEH:

AMBAR WIRATMI NIM 111524041

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada tanggal: 7 Februari 2014

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt. Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt.

NIP 195208241983031001 NIP 195103261978022001

Pembimbing II, Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt.

NIP 195208241983031001

Drs. Suryadi Achmad M.Sc., Apt. Aminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt.

NIP 195109081985031002 NIP 197806032005012004

Dra. Herawaty Ginting, M.Si., Apt.

NIP 195112231980032002

Medan, 17 April 2014 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Dekan,

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang Maha

Kuasa yang telah melimpahkan nikmat, rahmat, karunia, dan kasih

sayang-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang berjudul “Efek

Imunostimulator Ekstrak Daun Sambung Nyawa (Gynura procumbens (Lour.)

Merr) terhadap Respon Hipersensitivitas Tipe Lambat dan Titer Antibodi Sel

Imun pada Mencit Jantan”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas

Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak

Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan dan fasilitas

selama masa pendidikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada Bapak Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt., dan Bapak Drs.

Suryadi Achmad M.Sc., Apt., selaku pembimbing yang telah memberikan

banyak waktu, bimbingan, dan nasehat selama penelitian hingga selesainya

penyusunan skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih

kepada Ibu Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt., Ibu Aminah Dalimunthe, S.Si.,

M.Si., Apt., dan Ibu Dra. Herawaty Ginting, M.Si., Apt., selaku penguji yang

telah memberikan evaluasi dan masukan kepada penulis dalam penyusunan

skripsi ini. Juga kepada Bapak Drs. Awaluddin Saragih, M.Si., Apt., selaku

dosen pembimbing akademik penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas

(5)

Penulis mengucapkan terima kasih dan rasa sayang yang tak terhingga

kepada Ayahanda Suroso dan Ibunda Suharni tercinta atas segala-galanya, juga

kepada ketiga adik penulis Renaldy Zulfikhri, Wahyu Ramadhan dan Rezkia

Amelia Putri atas doa dan dukungannya dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada para

sahabat dan rekan-rekan seperjuangan angkatan 2011: Ayu, Dewi, Iza, Leni,

Suci, Difa, Martko, Uya, dan juga kepada semua Kepala Laboratorium di

Laboratorium Farmakologi Farmasi, Laboratorium Fitokimia Farmasi,

Laboratorium Botani Farmasi, dan asisten atas semua dukungan dan doa

dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,

sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.

Akhir kata, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menjadi

sumbangan yang berarti bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu

farmasi.

Medan, 17 April 2014

Penulis,

(6)

EFEK IMUNOSTIMULATOR EKSTRAK DAUN SAMBUNG NYAWA (Gynura procumbens (Lour.) Merr) TERHADAP RESPON

HIPERSENSITIVITAS TIPE LAMBAT DAN TITER ANTIBODI SEL IMUN MENCIT JANTAN

ABSTRAK

Sistem imun pada manusia berperan penting untuk mempertahankan kondisi tubuh dari serangan agen-agen penyebab infeksi, seperti mikroorganisme patogen. Dalam keadaan sistem imun tidak mampu bekerja dengan baik, peningkatan sistem imun menjadi sangat penting agar sistem imun tetap bekerja dengan maksimal. Peningkatan sistem imun dapat dilakukan dengan menggunakan imunomodulator, khususnya yang bersifat imunostimulan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek imunostimulator ekstrak daun sambung nyawa. Pada penelitian ini dilakukan uji efek imunostimulator ekstrak daun sambung nyawa terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi sel imun mencit jantan. Ekstrak etanol daun sambung nyawa diberikan secara oral dengan dosis 125 mg/kg bb, 250 mg/kg bb, 500 mg/kg bb. Levamisole dosis 25 mg/kg bb sebagai kontrol positif, suspensi CMC Na 1% sebagai kontrol negatif dan sel darah merah sapi digunakan sebagai antigen.

Hasil uji efek imunostimulator ekstrak daun sambung nyawa terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi sel imun mencit jantan menunjukkan bahwa ekstrak daun sambung nyawa dosis 125, 250, 500 mg/kg bb memberikan peningkatan respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi sel imun dibandingkan kontrol negatif. Hanya dosis 250 mg/kg bb yang memberikan hasil yang tidak berbeda nyata dengan kontrol positif (p < 0,05). Pemberian ekstrak daun sambung nyawa dosis 500 mg/kg bb memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pada pemberian dosis 125 dan 250 mg/kg bb. Dengan demikian disimpulkan bahwa ekstrak daun sambung nyawa mempunyai efek imunostimulator terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi sel imun mencit jantan.

(7)

THE IMMUNOSTIMULATORY EFFECT OF SAMBUNG NYAWA LEAVES EXTRACT TO DELAYED TYPE HYPERSENSITIVITY

RESPONE AND IMMUNITY CELLS ANTIBODY TITER OF MALE MICE

ABSTRACT

The immune system plays an important role in the human body to maintain the condition of attack infectious agents, such as pathogenic microorganisms. In the state of the immune system can not work properly, increase immune system becomes very important in order to keep the immune system working optimally. Improved immune system can be done by using immunomodulators particularly one which is immunostimulatory.

The objective of this study was to determine the immunostimulatory effect of extracts of leaves of the sambung nyawa. This study tested the immunostimulatory effect of extracts of leaves of the sambung nyawa of the delayed type hypersensitivity response and antibody titer immune cells of male mice. Ethanol extract of leaves of sambung nyawa given orally at a dose of 125 mg/kg bw, 250 mg/kg bw, 500 mg/kg bw. Levamisole dose of 25 mg/kg bw as a positive control, 1% CMC Na suspension as a negative control and bovine red blood cells are used as antigen.

Based on the result of immunostimulatory effect of extracts of leaves of the sambung nyawa of the delayed type hypersensitivity response and antibody titer immune cells of male mice showed that the leaf extract dose god 125, 250, 500 mg/kg bw provides enhanced delayed-type hypersensitivity response and immune cell antibody titer compared negative control. Only the dose of 250 mg/kg bw which gives results that are not significantly different from the positive control (p < 0,05). Sambung nyawa leaf extract dose of 500 mg/kg bw gives better results as compared to the administration dose 125 and 250 mg/kg bw. Thus, it is concluded that sambung nyawa leaf extract has immunostimulatory effects on delayed-type hypersensitivity response and antibody titer immune cells of male mice .

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

1.6 Diagram Kerangka Pikir Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Uraian Tumbuhan ... 6

2.1.1 Habitat ... 6

2.1.2 Morfologi ... 6

(9)

2.1.4 Sinonim ... 7

2.1.5 Nama Asing ... 7

2.1.6 Nama Daerah ... 7

2.1.7 Kandungan Kimia ... 7

2.1.8 Khasiat Tumbuhan ... 8

2.2 Ekstraksi ... 8

2.3 Cara-cara Ekstraksi ... 9

2.4 Sistem Imun ... 10

2.4.1 Respon Imun Nonspesifik ... 11

2.4.2 Respon Imun Spesifik ... 11

2.4.3 Imunomodulator ... 17

2.5 Metode Pengujian Efek Imunomodulator ... 19

BAB III METODE PENELITIAN ... 21

3.1 Alat dan Bahan ... 21

3.1.1 Alat-alat ... 21

3.1.2 Bahan-bahan ... 22

3.2 Hewan Percobaan ... 22

3.3 Pembuatan Larutan Pereaksi ... 22

3.4 Prosedur Pembuatan Simplisia ... 24

3.5 Karakterisasi Simplisia ... 25

3.5.1 Pemeriksaan Makroskopik ... 25

3.5.2 Pemeriksaan Mikroskopik ... 25

(10)

3.5.4 Penetapan Kadar Sari yang Larut dalam Air ... 26

3.5.5 Penetapan Kadar Sari yang Larut dalam Etanol ... 26

3.5.6 Penetapan Kadar Abu Total ... 27

3.5.7 Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam ... 27

3.6 Skrining Fitokimia ... 28

3.7 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Sambung Nyawa ... 31

3.8 Uji Efek Imunomodulator ... 31

3.8.1 Penyiapan Hewan Percobaan ... 31

3.8.2 Penyiapan Kontrol, Bahan Uji, dan Antigen ... 32

3.8.2.1 Penyiapan CMC Na 1% ... 32

3.8.2.2 Penyiapan Suspensi Levamisole ... 32

3.8.2.3 Penyiapan Suspensi Ekstrak Daun Sambung Nyawa ... 33

3.8.2.4 Penyiapan Sel Darah Merah Sapi ... 33

3.8.3 Uji Respon Hipersensitivitas Tipe Lambat ... 34

3.8.4 Uji Titer Antibodi ... 35

3.9 Analisis Statistik ... 36

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

4.1 Simplisia dan Ekstrak ... 37

4.2 Pengujian Efek Imunomodulator ... 40

4.2.1 Respon Hipersensitivitas Tipe Lambat ... 42

4.2.2 Titer Antibodi ... 45

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

5.1 Kesimpulan ... 50

(11)

DAFTAR PUSTAKA ... 52

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

4.1 Hasil Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia ... 38

4.2 Hasil Pemeriksaan Skrining Simplisia ... 39

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Diagram Kerangka Pikir Penelitian ... 5

4.1 Volume Pembengkakan Kaki Mencit Pada Berbagai Perlakuan

(Rerata ± SEM) ... 43

4.2 Titer Antibodi Sel Imun Mencit ... 46

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Hasil identifikasi Daun Sambung Nyawa ... 55

2. Gambar Karakteristik Sampel ... 56

3. Gambar Mikroskopik Serbuk Simplisia Daun Sambung Nyawa, Perbesaran 10 x 40 ... 58

4. Perhitungan Hasil Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia ... 60

5. Bagan Alur Penelitian ... 65

6. Gambar Alat-alat ... 66

7. Gambar Hewan Percobaan ... 68

8. Pembengkakan Kaki Mencit dan Hemaglutinasi ... 69

9. Tabel Hasil Perhitungan Statistik ... 71

(15)

EFEK IMUNOSTIMULATOR EKSTRAK DAUN SAMBUNG NYAWA (Gynura procumbens (Lour.) Merr) TERHADAP RESPON

HIPERSENSITIVITAS TIPE LAMBAT DAN TITER ANTIBODI SEL IMUN MENCIT JANTAN

ABSTRAK

Sistem imun pada manusia berperan penting untuk mempertahankan kondisi tubuh dari serangan agen-agen penyebab infeksi, seperti mikroorganisme patogen. Dalam keadaan sistem imun tidak mampu bekerja dengan baik, peningkatan sistem imun menjadi sangat penting agar sistem imun tetap bekerja dengan maksimal. Peningkatan sistem imun dapat dilakukan dengan menggunakan imunomodulator, khususnya yang bersifat imunostimulan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek imunostimulator ekstrak daun sambung nyawa. Pada penelitian ini dilakukan uji efek imunostimulator ekstrak daun sambung nyawa terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi sel imun mencit jantan. Ekstrak etanol daun sambung nyawa diberikan secara oral dengan dosis 125 mg/kg bb, 250 mg/kg bb, 500 mg/kg bb. Levamisole dosis 25 mg/kg bb sebagai kontrol positif, suspensi CMC Na 1% sebagai kontrol negatif dan sel darah merah sapi digunakan sebagai antigen.

Hasil uji efek imunostimulator ekstrak daun sambung nyawa terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi sel imun mencit jantan menunjukkan bahwa ekstrak daun sambung nyawa dosis 125, 250, 500 mg/kg bb memberikan peningkatan respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi sel imun dibandingkan kontrol negatif. Hanya dosis 250 mg/kg bb yang memberikan hasil yang tidak berbeda nyata dengan kontrol positif (p < 0,05). Pemberian ekstrak daun sambung nyawa dosis 500 mg/kg bb memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pada pemberian dosis 125 dan 250 mg/kg bb. Dengan demikian disimpulkan bahwa ekstrak daun sambung nyawa mempunyai efek imunostimulator terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi sel imun mencit jantan.

Kata kunci: imunostimulator, respon hipersensitivitas tipe lambat, titer antibodi, daun sambung nyawa.

(16)

THE IMMUNOSTIMULATORY EFFECT OF SAMBUNG NYAWA LEAVES EXTRACT TO DELAYED TYPE HYPERSENSITIVITY

RESPONE AND IMMUNITY CELLS ANTIBODY TITER OF MALE MICE

ABSTRACT

The immune system plays an important role in the human body to maintain the condition of attack infectious agents, such as pathogenic microorganisms. In the state of the immune system can not work properly, increase immune system becomes very important in order to keep the immune system working optimally. Improved immune system can be done by using immunomodulators particularly one which is immunostimulatory.

The objective of this study was to determine the immunostimulatory effect of extracts of leaves of the sambung nyawa. This study tested the immunostimulatory effect of extracts of leaves of the sambung nyawa of the delayed type hypersensitivity response and antibody titer immune cells of male mice. Ethanol extract of leaves of sambung nyawa given orally at a dose of 125 mg/kg bw, 250 mg/kg bw, 500 mg/kg bw. Levamisole dose of 25 mg/kg bw as a positive control, 1% CMC Na suspension as a negative control and bovine red blood cells are used as antigen.

Based on the result of immunostimulatory effect of extracts of leaves of the sambung nyawa of the delayed type hypersensitivity response and antibody titer immune cells of male mice showed that the leaf extract dose god 125, 250, 500 mg/kg bw provides enhanced delayed-type hypersensitivity response and immune cell antibody titer compared negative control. Only the dose of 250 mg/kg bw which gives results that are not significantly different from the positive control (p < 0,05). Sambung nyawa leaf extract dose of 500 mg/kg bw gives better results as compared to the administration dose 125 and 250 mg/kg bw. Thus, it is concluded that sambung nyawa leaf extract has immunostimulatory effects on delayed-type hypersensitivity response and antibody titer immune cells of male mice .

Keywords: immunostimulatory, delayed-type hypersensitivity response, antibody titer, sambung nyawa leaves.

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tumbuhan merupakan keragaman hayati yang selalu ada di sekitar kita,

baik itu yang tumbuh secara liar maupun yang sengaja dibudidayakan. Sejak

zaman dahulu, tumbuhan sudah digunakan sebagai tanaman obat, walaupun

penggunaannya disebarkan secara turun-temurun (Yuniarti, 2008).

Sistem imun terdiri atas imunitas nonspesifik dan spesifik. Kedua

sistem imun bekerja sama dalam mempertahankan keseimbangan badan.

Penyembuhan infeksi akan lebih cepat bila fungsi sistem imun tubuh

ditingkatkan. Berbagai bahan tanaman dapat memacu fungsi berbagai

komponen sistem imun nonspesifik (fagosit, sel NK) dan sistem imun spesifik

(proliferasi sel T, sel B yang memproduksi antibodi) serta produksi sitokin

sehingga dapat digunakan dalam klinik sebagai ajuvan untuk meningkatkan

penyembuhan berbagai penyakit infeksi (Baratawidjaya, 2006; Anderson,

1999). Salah satu dari bahan tanaman yang dapat memacu fungsi berbagai

komponen sistem imun ialah tumbuhan sambung nyawa.

Tumbuhan sambung nyawa (Gynura procumbens) termasuk dalam

familia Asteraceae, kandungan kimianya antara lain steroid/triterpenoid,

glikosida, flavonoid, saponin, tanin, dan minyak atsiri. Kandungan flavonoid,

terpenoid dan polifenol merupakan senyawa yang membantu peran daun

(18)

tersebut berperan sebagai komponen yang dapat mencegah peradangan sel

(Utami, 2013). Studi preklinis menunjukan bahwa ekstrak Gynura procumbens

(Lour) Merr dapat meningkatkan pengeluaran sel imunitas tubuh yang

terinfeksi oleh Salmonella typhimurium (Lia, 2006; Utami, 2013).

Tanaman ini tumbuh dan berkembang dengan baik pada daerah

ketinggian 100-1000 m diatas permukaan laut, suhu udara berkisar 20-30ºC,

intensitas cahaya sekitar 40-50%, dan curah hujan 1.500-2.500 mm/tahun.

Daun yang digunakan adalah daun tua yang belum menguning. Daun sambung

nyawa memiliki fungsi pengobatan antara lain sebagai antipiretik, hipotensif,

hipoglikemik, mencegah dan meluruhkan batu ginjal dan batu kandung kemih,

antihiperlipidemia, antibakteri, sitostatik, serta mencegah dan memperbaiki

kerusakan sel-sel jaringan ginjal (Winarto, 2003).

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan uji efek

ekstrak daun sambung nyawa terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat dan

titer antibodi sel imun mencit jantan sehingga dapat digunakan sebagai

(19)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka perumusan masalah pada penelitian ini

adalah:

a.apakah karakteristik simplisia daun sambung nyawa yang diteliti

memenuhi persyaratan mutu simplisia?

b.apa sajakah golongan senyawa kimia yang terdapat pada serbuk

simplisia daun sambung nyawa?

c.apakah ekstrak daun sambung nyawa dapat meningkatkan respon

hipersensitivitas tipe lambat pada mencit jantan?

d.apakah ekstrak daun sambung nyawa dapat meningkatkan titer antibodi

sel imun mencit jantan?

1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka dibuat hipotesis sebagai

berikut:

a. karakteristik serbuk simplisia daun sambung nyawa yang diteliti

memenuhi persyaratan simplisia.

b. golongan senyawa kimia yang terdapat pada serbuk simplisia daun

sambung nyawa yaitu golongan steroid/triterpenoid, alkaloid,

glikosida, flavonoid, saponin, dan tanin.

c. ekstrak daun sambung nyawa dapat meningkatkan respon

hipersensitivitas tipe lambat mencit jantan.

d. ekstrak daun sambung nyawa dapat meningkatkan titer antibodi sel

(20)

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sebagai

berikut:

a. karakteristik dari serbuk simplisia daun sambung nyawa.

b. golongan senyawa kimia yang terdapat dalam simplisia daun sambung

nyawa.

c. efek imunostimulator ekstrak daun sambung nyawa dengan

meningkatkan respon hipersensitivitas tipe lambat mencit jantan.

d. efek imunostimulator ekstrak daun sambung nyawa dengan

meningkatkan titer antibodi sel imun mencit jantan.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. membuat daun sambung nyawa menjadi suatu sediaan herbal terstandar

dengan efek imunostimulator.

b. menambah inventaris tanaman obat yang berkhasiat sebagai

(21)

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Adapun kerangka pikir penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 1.1.

Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter

Gambar 1.1 Diagram Kerangka Pikir Penelitian

Simplisia

6. kadar sari larut air

7. kadar sari larut

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan Sambung Nyawa

Uraian tumbuhan meliputi habitat, morfologi, sistematika tumbuhan,

sinonim, nama asing, nama daerah, kandungan kimia dan khasiatnya.

2.1.1 Habitat

Habitat tumbuhan ini berada di hutan belantara, termasuk semak

belukar. Hidupnya pada ketinggian 1-1200 meter diatas permukaan laut.

Namun akan tumbuh baik pada ketinggian 300-500 m diatas permukaan laut.

Dengan naungan, tanaman ini dapat tumbuh baik pada ketinggian 1-300 m

diatas permukaan laut (Winarto, 2003).

2.1.2 Morfologi

Tumbuhan ini merupakan tumbuhan semak semusim dengan tinggi

sekitar 20-60 cm. Berbatang lunak dengan penampang bulat dan berwarna

ungu kehijauan. Berdaun tunggal, berbentuk bulat telur, berwarna hijau, tepi

daun rata atau agak bergelombang, serta panjangnya bias mencapai 15 cm dan

lebar 7 cm. Daun bertangkai, letak berseling, berdaging, ujung dan pangkal

meruncing, serta pertulangan menyirip. Tumbuhan sambung nyawa berakar

(23)

2.1.3 Sistematika Tumbuhan

Sistematika dari tumbuhan daun sambung nyawa menurut Winarto

(2003) adalah sebagai berikut:

Divisio : Spermatophyta

Subdivision : Angiospermae

Classsis : Dicotyledonae

Ordo : Asterales

Familia : Asteraceae

Genus : Gynura

Spesies : Gynura procumbens (Lour.) Merr.

2.1.4 Sinonim

Sinonim : Gynura sarmentosa DC (Dalimartha, 2006),

Calacia procumbens Lour (Dalimartha, 2006),

Gynura divaricata DC(Yuniarti, 2008).

2.1.5 Nama Asing

Nama asing dari tumbuhan ini adalah: san qi cao (Cina), akar sabiak

(Malaysia) ) (Yuniarti, 2008).

2.1.6 Nama Daerah

Tanaman ini memiliki nama daerah: sambung nyawa, beluntas cina

(Melayu), daun sambung nyawa (Sumatera), ngokilo (Jawa) (Redaksi Trubus,

2011).

2.1.7 Kandungan Kimia

Tanaman daun sambung nyawa mengandung: senyawa golongan

glikosida, flavonoid, minyak atsiri, saponin, tannin, dan triterpen steroida

(24)

2.1.8 Khasiat Tumbuhan

Tanaman ini berkhasiat antara lain sebagai antipiretik, hipotensif,

hipoglikemik, mencegah dan meluruhkan batu ginjal dan batu kandung kemih,

antihiperlipidemia, antibakteri, sitostatik, serta mencegah dan memperbaiki

kerusakan sel-sel jaringan ginjal (Winarto, 2003). Kandungan flavonoid,

terpenoid dan polifenol merupakan senyawa yang membantu peran daun

sambung nyawa dalam menumpas kanker. Kandungan steroid dalam daun

tersebut berperan sebagai komponen yang dapat mencegah peradangan sel

(Utami, 2013).

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Ditjen

POM, 2000). Hasil dari ekstraksi disebut dengan ekstrak yaitu sediaan kental

yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau

simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau

hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa

diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan

(Ditjen POM, 1995).

Farmakope Indonesia menetapkan bahwa cairan penyari untuk

ekstraksi adalah air, etanol, dan etanol-air atau eter. Penyarian pada perusahaan

obat tradisional masih terbatas pada penggunaan penyari air, etanol, atau

etanol-air (Ditjen POM, 1989).

(25)

2.3 Cara-cara Ekstraksi

Ekstraksi dengan menggunakan pelarut terdiri dari 2 cara, yaitu:

1. Cara dingin

Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara dingin terdiri dari:

a. Maserasi

Maserasi adalah proses perendaman simplisia dengan menggunakan

pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur

ruangan.

b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai

sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri

dari tahapan penyerbukan simplisia, pengembangan bahan, tahap maserasi

antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak),

terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat).

2. Cara panas

Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara panas terdiri dari:

a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik

didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif

konstan dengan adanya pendingin balik.

b. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru

(26)

kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin

balik.

c. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada

temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar (40-50ºC).

d. Infus

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas

air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur

90ºC) selama waktu tertentu (15-20 menit).

e. Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (30 menit) dan

temperatur sampai 90ºC (Ditjen POM, 2000).

2.4 Sistem Imun

Sistem imun adalah sistem pertahanan tubuh yang terdiri dari sel atau

gabungan sel, molekul-molekul, dan atau jaringan yang berperan dalam

penolakan mikroorganisme penyebab infeksi. Sistem imun berguna sebagai

perlindungan terhadap infeksi molekul lain seperti virus, bakteri, protozoa dan

parasit (Salmon, 1989).

Bila sistem imun bekerja pada zat yang dianggap asing, maka ada dua

jenis respon imun yang mungkin terjadi, yaitu respon imun nonspesifik dan

(27)

2.4.1 Respon Imun Nonspesifik

Respon imun nonspesifik fisiologik berupa komponen normal tubuh,

selalu ditemukan pada individu sehat dan siap mencegah mikroba masuk tubuh

dan dengan cepat menyingkirkannya. Disebut nonspesifik karena tidak

ditujukan terhadap mikroba tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak lahir.

Mekanismenya tidak menunjukan spesifisitas terhadap bahan asing dan mampu

melindungi tubuh terhadap banyak patogen potensial. System tersebut

merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroba

dan dapat memberikan respon langsung (Baratawidjaja,2012).

2.4.2 Respon Imun Spesifik

Respon imun spesifik merupakan imunitas yang didapat (adaptive

immunity) dimulai dari pengenalan zat asing hingga penghancuran zat asing

tersebut dengan berbagai mekanisme (Subowo, 1993). Dalam respon imun

spesifik, limfosit merupakan sel yang memainkan peranan penting karena sel

ini mampu mengenali setiap antigen yang masuk ke dalam tubuh, baik yang

terdapat intraseluler maupun ekstraseluler. Secara umum, limfosit dibedakan

menjadi dua jenis yaitu limfosit T dan limfosit B. Respon imun spesifik dapat

dibagi dalam 3 golongan, yaitu respon imun seluler, respon imun humoral dan

interaksi antara respon imun selular dengan respon imun humoral (Kresno,

2010).

Limfosit T dan B (sel T dan B) berasal dari sel induk yang sama yaitu

(28)

bermigrasi ke timus dan mengalami pengolahan lebih lanjut menjadi limfosit

T. Limfosit yang matang di tempat lain selain timus akan menjadi limfosit B.

Sel B berasal dari limfosit yang matang dan berdiferensiasi di sumsum

tulang, sedangkan sel T berasal dari limfosit yang berasal dari sumsum tulang

tetapi matang di timus. Sel T dan B yang matang mengalir melalui darah dan

berdiam di jaringan limfoid perifer dan membentuk koloni. Kedua sel ini akan

berproliferasi setelah mendapat stimulasi dengan adanya invasi asing.

Sel T

Sel T adalah sel yang bertanggung jawab dalam respon imun selular.

Sel T dapat dibedakan sebagai berikut:

a. Sel Thelper (Sel Th)

Sel Th adalah sel yang membantu meningkatkan perkembangan sel B

aktif menjadi sel plasma, memperkuat aktivitas sel T sitotoksik dan sel T

supresor yang sesuai, dan mengaktifkan makrofag. Sel Th dapat dibedakan

menjadi sel Th1 dan Th2. Sel Th1 berperan sebagai limfosit yang akan

melepaskan sitokin yang bersifat proinflamasi, sedangkan sel Th2 berperan

dalam memproduksi antibodi dengan menstimulasi sel B menjadi sel plasma

(Sherwood, 2001).

b. Sel Tsuppresor (Sel Ts)

Sel Ts adalah sel yang berperan dalam membatasi reaksi imun melalui

mekanisme “check and balance”dengan limfosit yang lain. Sel Ts menekan

aktivitas sel T lainnya dan sel B. Sel Th dan sel Ts akan berinteraksi dengan

(29)

menekan sel T lainnya. Dengan demikian sel Ts dapat menghambat respon

imun yang berlebihan dan bersifat antiinflamasi (Sherwood, 2001).

c. Sel Tcytotoxic (Sel Tc)

Sel Tc adalah sel yang mampu menghancurkan sel cangkokan dan sel

yang terinfeksi virus dengan mengeluarkan zat-zat kimiawi sebelum replikasi

virus terjadi (Sherwood, 2001).

Sel B

Sel B terdapat kurang lebih 25% dari jumlah limfosit total. Pada

membran sel B terdapat reseptor khas untuk mengikat antigen. Cytokin

berperan penting pada aktivasi dan pemasakan (maturasi) dari sel B menjadi

sel plasma dan sel memori (Tan dan Rahardja, 2007).

Antibodi

Antibodi adalah immunoglobulin (Ig) yang merupakan golongan yang

dibentuk oleh sel plasma yang berasal dari proliferasi sel B akibat adanya

kontak dengan antigen. Menurut perbedaan struktur dan aktivitas biologis,

antibodi dibedakan menjadi 5 subkelas:

a. Imunoglobulin G

Paling banyak ditemukan dalam cairan tubuh terutama ektravaskular

untuk memerangi mikroorganisme dan toksiknya. Ig G merupakan komponen

utama imunoglobulin serum, dengan berat molekul 160.000 dalton. Kadarnya

dalam serum sekitar 13 mg/ml, merupakan 75% dari semua imunoglobulin. Ig

(30)

sampai umur 6-9 bulan. Ig G dan komplemen bekerja saling membantu sebagai

opsoninbpada pemusnahan antigen.

b. Imunoglobulin A

Ig A dengan berat molekul 165.000 dalton ditemukan dalam serum

dengan jumlah sedikit. Kadarnya terbanyak ditemukan dalam cairan sekresi

saluran nafas, cerna dan kemih, air mata, keringat, ludah dan dalam air susu ibu

yang lebih berupa Ig A sekretori (sIgA) yang merupakan bagian terbanyak. Ig

A dapat bekerja sebagai opsonin, yaitu dapat meningkatkan efek bakteriolitik

komplemen dan menetralisasi toksin serta dapat mengaglutinasikan kuman,

mengganggu motilitasnya sehingga memudahkan fagositosis.

c. Imunoglobulin M

Berat molekul Ig M adalah 900.000 dalton. Ig M merupakan Ig paling

efisien dalam aktivasi komplemen. Ig M dibentuk paling dahulu pada respon

imun primer terhadap kebanyakan antigen disbanding dengan Ig G. Ig M dapat

mencegah gerakan mikroorganisme patogen, memudahkan fagositosis dan

merupakan aglutinator poten antigen.

d. Imunoglobulin D

Ig D ditemukan dalam serum dengan kadar yang sangat rendah. Ig D

merupakan komponen permukaan utama sel B dan pertanda dari diferensiasi

sel B yang lebih matang. Ig D merupakan 1% dari total imunoglobulin dan

banyak ditemukan pada membrane sel B bersama Ig M yang dapat berfungsi

(31)

e. Immunoglobulin E

Ig E mudah diikat sel mast, basofil dan eosinofil yang memiliki reseptor

untuk fraksi Fc dari Ig E. Ig E dibentuk setempat oleh sel plasma dalam

selaput lender saluran nafas dan cerna (Baratawidjaja, 2012).

Akibat sifat bivalen dari antibody dan banyaknya tempat antigen pada

sebagian besar agen penyebab penyakit, maka antibodi dapat mematikan

aktivitas agen penyebab penyakit tersebut dengan salah satu cara berikut ini:

a. Aglutinasi, dimana berbagai partikel besar dengan antigen pada

permukaannya, seperti bakteri atau sel darah merah terikat bersama-sama

menjadi satu kelompok. Apabila kompleks antigen-antibodi semacam itu

melibatkan antigen yang larut, kisi-kisi yang terbentuk dapat berukuran

sedemikian besar, sehingga menyebabkan pengendapan.

b. Presipitasi, dimana kompleks molekular dari antigen yang larut dan

antibodi menjadi begitu besar sehingga berubah menjadi tak larut dan

membentuk presipitat.

c. Netralisasi, dimana antibodi menutupi tempat-tempat yang toksik dari agen

yang bersifat antigenik.

d. Lisis, dimana beberapa antibodi yang sangat kuat kadang-kadang mampu

langsung menyerang membran sel agen penyebab penyakit sehingga

(32)

2.4.2.1 Respon imun selular

Respon imun selular merupakan fungsi dari limfosit T. Antigen akan

menyebabkan proliferasi dan diferensiasi sel T menjadi beberapa subpopulasi.

Subpopulasi sel T yang disebut sel T-helper (Th) akan mengenali antigen pada

permukaan sel makrofag atau sel yang terinfeksi melalui T-cell receptors

(TCR) dan molekul major histocompatibility complex (MHC) kelas-II. Sinyal

yang diberikan oleh sel terinfeksi akan menginduksi limfosit untuk

memproduksi berbagai jenis limfokin yang dapat membantu menghancurkan

antigen tersebut. Subpopulasi sel T lain yang disebut sel T-cytotoxic (Tc) akan

menghancurkan antigen melalui MHC kelas-I dengan cara kontak langsung

dengan sel (cell to cell contact). Selain itu, sel Tc memproduksi γ-interferon

yang mencegah penyebaran antigen lebih jauh (Kresno, 2001).

2.4.2.2 Respon imun humoral

Respon imun humoral dilakukan oleh sel B dan produknya, yaitu

antibodi. Respon ini diawali dengan diferensiasi limfosit B menjadi suatu

populasi sel plasma yang meproduksi dan melepaskan antibodi spesifik ke

dalam darah. Diferensiasi sel B dibantu oleh sel Th2. Adanya sinyal yang

diberikan oleh makrofag, sel Th2 akan merangsang sel B untuk memproduksi

antibodi. Sel T-supresor juga ikut berperan dalam pengaturan produksi antibodi

agar seimbang dan sesuai dengan kebutuhan. Antibodi yang terbentuk akan

berikatan dengan antigen membentuk kompleks antigen-antibodi yang akan

(33)

respon imun humoral juga terjadi respon primer yang membentuk populasi sel

B memory (Kresno, 2001).

2.4.2.3 Interaksi antara respon imun selular dengan respon imun humoral

Salah satu interaksi antara respon imun selular dengan respon imun

humoral adalah antibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC). Pada

interaksi ini sitolisis terjadi dengan bantuan antibodi yang berfungsi melapisi

antigen sasaran (opsonisasi), sehingga sel natural killer (NK) yang mempunyai

reseptor pada fragmen Fc antibodi tersebut dapat melekat pada antigen sasaran

dan menghancurkan antigen tersebut (Kresno, 2001).

2.4.3 Imunomodulator

Imunomodulator adalah obat yang dapat mengembalikan dan

memperbaiki sistem imun yang fungsinya terganggu atau untuk menekan yang

fungsinya berlebihan. Obat golongan imunomodulator bekerja menurut 3 cara,

yaitu melalui:

- Imunosupresi

- Imunorestorasi

- Imunostimulasi

Imunorestorasi dan imunostimulasi disebut imunopotensiasi atau up

regulation, sedangkan imunosupresi disebut down regulation (Baratawidjaja,

2012).

A. Imunosupresi

Merupakan suatu tindakan untuk menekan respons imun. Kegunaannya

(34)

pada berbagai penyakit inflamasi yang menimbulkan kerusakan atau gejala

sistemik, seperti autoimun atau auto-inflamasi. Obat-obat imunosupresi

digunakan pada penderita yang akan menjalani transplantasi dan penyakit

autoimun oleh karena kemampuannya yang dapat menekan respon imun

seperti azatioprin, dan siklofosfamid (Baratawidjaja, 2012).

B. Imunorestorasi

Merupakan suatu cara untuk mengembalikan fungsi sistem imun yang

terganggu dengan memberikan berbagai komponen sistem imun, seperti:

immunoglobulin dalam bentuk Immune Serum Globulin (ISG), Hyperimmune

Serum Globulin (HSG), plasma, plasmapheresis, leukopheresis, transplantasi

sumsum tulang, hati dan timus (Baratawidjaja, 2012).

C. Imunostimulasi

Imunostimulasi yang disebut juga imunopotensiasi adalah cara

memperbaiki fungsi sistem imun dengan menggunakan bahan yang

merangsang sistem imun, seperti: levamisole, isoprenosin, hidroksiklorokin,

dan arginin (Baratawidjaja, 2012).

Salah satu obat yang dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh yaitu:

Levamisole

Levamisole HCl

N N

S H

(35)

Levamisole adalah derivate tetramizol, obat cacing yang dapat

meningkatkan proliferasi sitotoksisitas sel T serta mengembalikan anergi pada

beberapa penderita dengan kanker (imunostimulasi nonspesifik). Levamisol

dapat meningkatkan efek antigen, mitogen, limfokin, dan faktor kemotaktik

untuk merangsang limfosit, granulosit dan makrofag (Baratawidjaja, 2012)

Levamisole suatu obat imunomodulasi yang sedang diteliti untuk

menentukan kemanjurannya dalam berbagai kanker, penyakit autoimun,

infeksi bakteri menahun dan keratitis herpetika. Ia mempengaruhi pertahanan

hospes dengan mengatur respon imun seluler, termasuk fungsi leukosit

polimononuklear, makrofag dan sel T. Reaktivitas imun segera meningkat

setelah pemberian hanya satu dosis dan dianggap menetap beberapa hari

sampai beberapa bulan (Katzung, 1989).

2.5 Metode Pengujian Efek Imunomodulator

Ada beberapa metode yang digunakan dalam pengujian efek

imunomodulator. Beberapa di antaranya adalah uji respon hipersensitivitas tipe

lambat, pengukuran antibodi (titer antibodi), uji transformasi limfosit T, uji

komplemen, indeks migrasi makrofag, uji granulosit, bioluminisensi radikal,

respon fagositik, respon proliferasi limfosit.

2.5.1 Uji Respon Hipersensitivitas Tipe Lambat

Uji respon hipersensitivitas merupakan pengujian efek

imunomodulator terkait dengan respon imun spesifik. Respon

hipersensitivitas tipe lambat merupakan respon imun seluler yang

(36)

meningkatkan aktivitas makrofag sehingga dapat meningkatkan reaksi

inflamasi yang ditandai dengan pembengkakan kaki hewan uji

(Roit,1989).

2.5.2 Titer Antibodi

Respon imun spesifik dapat berupa respon imun seluler dan

respon imun humoral. Penilaian titer antibodi merupakan pengujian

terhadap respon imun humoral yang melibat pembentukan antibodi.

Peningkatan nilai titer antibodi terjadi karena peningkatan aktivitas sel

Th yang menstimulasi sel B untuk pembentukan antibodi dan

peningkatan aktivitas sel B dalam pembentukan antibodi (Roit, 1989).

(37)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan tahapan

penelitian yaitu penyiapan sampel, skrining simplisia, karakterisasi simplisia,

pembuatan ekstrak, penyiapan hewan percobaan dan pengujian respon

hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi pada hewan percobaan. Data

hasil penelitian dianalisis secara ANAVA (analisis variansi) dan dilanjutkan

dengan uji Post Hoc Tukey menggunakan program SPSS (Statistical Product

and Service Solution) versi 17.0.

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas

laboratorium, aluminium foil, kertas saring, lampu spritus, lemari pengering,

mikroskop (Boeco), microtitration plate, microtube, mortir dan stamfer, neraca

hewan (Presica), neraca kasar, neraca listrik (Vibra), oral sonde, perkolator,

pipet mikro (Brand), pletismometer air raksa, rotary evaporator (Heidolph

VV-300), seperangkat alat destilasi penetapan kadar air, spuit 1 ml (Terumo), tanur,

dan velocity 18R refrigerated centrifuge (Dynamic). Gambar alat-alat yang

(38)

3.1.2 Bahan-bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun

sambung nyawa, karboksi metil selulosa (CMC), sel darah merah sapi

(SDMS), levamisole, larutan fisiologis, etanol 96%, toluen, kloroform, besi

(III) klorida 1%, Bouchardat, Dragendorff, Mayer, Molish, asam klorida 2 N,

asam sulfat 2 N, kloralhidrat, natrium hidroksida 2 N, Liebermann-Bouchard,

timbal (II) asetat 0,4 M, heparin, dan air suling.

3.2 Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah mencit

jantan dengan berat badan 20-35 gram berumur 2-3 bulan. Sebelum

digunakan, mencit dipelihara selama 2 minggu dalam kandang yang baik untuk

menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dan diberi makan pelet hewan serta

air. Gambar hewan percobaan dapat dilihat pada Lampiran 7, halaman 68.

3.3 Pembuatan Larutan Pereaksi

Pembuatan larutan pereaksi terdiri dari asam klorida 2N, asam sulfat

2N, besi (III) klorida 1%, Bouchardat, Dragendorff, kloralhidrat, Mayer,

Molish, natrium hidroksida 2N dan timbal (II) asetat 0,4M (Depkes RI,1995).

Liebermann-Burchard menurut Harborne (1987).

3.3.1 Besi (III) klorida 1%

Sebanyak 1 g besi (III) klorida dilarutkan dalam air suling hingga 100

(39)

3.3.2 Bouchardat

Sebanyak 4 g kalium iodida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air

suling, ditambahkan iodium sebanyak 2 g dan dicukupkan dengan air suling

hingga 100 ml.

3.3.3 Dragendorff

Sebanyak 0,85 g bismut (III) nitrat ditimbang, kemudian dilarutkan

dalam 100 ml asam asetat glasial ditambahkan 40 ml air suling. Kemudian

pada wadah lain ditimbang 8 g kalium iodida lalu dilarutkan dalam 20 ml air

suling, lalu dicampurkan kedua larutan sama banyak. Kemudian ditambahkan

20 ml asam asetat glasial dan diencerkan dengan air suling hingga 100 ml.

3.3.4 Mayer

Sebanyak 1,35 g raksa (II) klorida dilarutkan dalam 60 ml air suling.

Kemudian pada wadah lain sebanyak 5 g kalium iodida dilarutkan dalam 10

ml air lalu dicampurkan keduanya dan ditambahkan air suling hingga 100 ml.

3.3.5 Molish

Sebanyak 3 g α-naftol ditimbang, kemudian dilarutkan dalam asam

nitrat 0,5 N hingga volume 100 ml.

3.3.6 Asam klorida 2 N

Sebanyak 7,3 ml asam klorida pekat dilarutkan dalam air suling hingga

volume 100 ml.

3.3.7 Asam sulfat 2 N

Sebanyak 9,8 ml asam sulfat pekat kemudian diencerkan dengan air

(40)

3.3.8 Natrium hidroksida 2 N

Sebanyak 8,002 g kristal natrium hidroksida dilarutkan dalam air suling

hingga 100 ml.

3.3.9 Kloralhidrat

Sebanyak 50 g kloralhidrat dilarutkan dalam 20 ml air.

3.3.10 Liebermann-Bouchard

Sebanyak 5 ml asam asetat anhidrida dicampurkan dengan 5 ml asam

sulfat pekat kemudian ditambahkan etanol hingga 50 ml

3.3.11 Timbal (II) asetat 0,4 M

Sebanyak 15,17 g timbal (II) asetat dilarutkan dalam air bebas

karbondioksida hingga 100 ml.

3.4 Prosedur Pembuatan Simplisia

3.4.1 Pengambilan Bahan

Pengumpulan sampel dilakukan secara purposif yaitu tanpa

membandingkan dengan tumbuhan yang sama dari daerah lain. Sampel yang

digunakan adalah daun sambung nyawa. Daun yang digunakan adalah daun tua

yang belum menguning maksimum pada daun ke-8 dari pucuk (Winarto,

2003). Sampel diambil dari Jl. Penghasilan Dalam, Kota Berastagi, Kabupaten

Karo, Sumatera Utara.

3.4.2 Identifikasi Tumbuhan

Identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Bogoriense, Bidang

Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI-Bogor. Hasil identifikasi sampel dapat

(41)

3.5Karakteristik Simplisia

3.5.1 Pemeriksaan makroskopik

Pemeriksaan makroskopik dan organoleptik dilakukan dengan

mengamati bentuk, warna, bau dan rasa dari simplisia daun sambung nyawa

dan daun sambung nyawa segar. Gambar makroskopik dapat dilihat pada

Lampiran 2, halaman 56-57.

3.5.2 Pemeriksaan mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap daun segar dengan cara

memotong tipis secara melintang diatas kaca preparat lalu diteteskan larutan

kloralhidrat dan dipanaskan diatas api bunsen kemudian ditutup dengan kaca

penutup dan diamati di bawah mikroskop. Gambar mikroskopik dapat dilihat

pada Lampiran 3, halaman 58-59.

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia dengan

cara menaburkan serbuk simplisia di atas kaca objek yang telah ditetesi dengan

kloralhidrat kemudian ditutup dengan kaca penutup setelah itu dilihat dibawah

mikroskop.

3.5.3 Penetapan kadar air

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode azeotropi (destilasi

toluen). Cara penetapan: ke dalam labu alas bulat dimasukkan 200 ml toluena

dan 2 ml aquades, didestilasi selama 2 jam. Setelah toluena didinginkan dan

volume air pada tabung penerima dibaca. Kemudian kedalam labu dimasukkan

5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama, dipanaskan hati – hati

(42)

lebih 2 tetes tiap detik, hingga sebagian air tersuling, kemudian naikkan

kecepatan penyulingan hingga 4 tetes tiap detik. Setelah semua tersuling,

bagian dalam pendingin dibilas dengan toluena yang telah jenuh. Penyulingan

dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin

sampai suhu kamar. Setelah air dan toluena memisah sempurna, volume

dibaca. Selisih kedua volume air dibaca sesuai dengan kandungan air yang

terdapat dalam bahan yang diperiksa (WHO, 1992). Perhitungan penetapan

kadar air dapat dilihat pada Lampiran 4, halaman 60.

3.5.4 Penetapan kadar sari larut dalam air

Sebanyak 5 g serbuk dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml

air-kloroform (2,5 ml air-kloroform dalam akuades sampai 1 liter) dengan

menggunakan botol bersumbat warna coklat sambil sekali-kali dikocok selama

6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18-24 jam dan disaring, sejumlah

20 ml filtrat pertama diuapkan hingga kering dalam cawan yang telah

dipanaskan dan ditara. Residu dipanaskan dalam oven pada suhu 105ºC sampai

diperoleh bobot tetap. Kadar sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan

yang telah dikeringkan diudara (Depkes, 1989). Perhitungan penetapan kadar

sari yang larut air dapat dilihat pada Lampiran 4, halaman 61.

3.5.5 Penetapan kadar sari larut dalam etanol

Sebanyak 5 g serbuk dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol

96% dengan menggunakan botol bersumbat berwarna coklat sambil sekali-kali

dikocok selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18-24 jam dan

(43)

yang telah dipanaskan dan ditara. Residu dipanaskan dalam oven pada suhu

105ºC sampai diperoleh bobot tetap. Kadar sari larut dalam etanol dihitung

terhadap bahan yang telah dikeringkan diudara (Depkes, 1989). Perhitungan

penetapan kadar sari yang larut etanol dapat dilihat pada Lampiran 4, halaman

62.

3.5.6 Penetapan kadar abu total

Lebih kurang 2 g zat yang telah digerus dan ditimbang seksama,

dimasukkan kedalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian

diratakan. Krus porselen bersama isinya dipijarkan perlahan–lahan hingga

arang habis, didinginkan, ditimbang sampai diperoleh bobot yang tetap. Kadar

abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan diudara (Depkes, 1989).

Perhitungan penetapan kadar abu total dapat dilihat pada Lampiran 4, halaman

63.

3.5.7 Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam

Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu total dididihkan dengan

25 ml asam klorida encer selama 5 menit, dikumpulkan bagian yang tidak larut

dalam asam, disaring dengan kertas saring, lalu dicuci dengan air panas.

Kemudian residu dan kertas saring dipijarkan sampai diperoleh bobot tetap,

didinginkan dan ditimbang beratnya. Kadar abu yang tidak larut dalam asam

dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan diudara (Depkes, 1989).

Perhitungan penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam dapat dilihat

(44)

3.6 Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia serbuk simplisia meliputi pemeriksaan senyawa

golongan flavonoid, alkaloid, saponin, tanin, glikosida, steroid/triterpenoid,

dan antrakinon.

3.6.1 Pemeriksaan Flavonoid

Serbuk simplisia ditimbang 0,5 g, lalu ditambahkan 10 ml metanol,

direfluks selama 10 menit, disaring panas-panas dengan kertas saring. Filtrat

diencerkan dengan 10 ml air suling, setelah dingin ditambahkan 5 ml

petroleum eter, dikocok hati-hati, lalu didiamkan sebentar. Lapisan metanol

diambil, diuapkan pada temperatur 40ºC, sisanya dilarutkan dalam 5 ml etil

asetat, disaring. Filtratnya digunakan untuk uji flavonoid dengan cara berikut:

sebanyak 1 ml filtrat diuapkan sampai kering, sisa dilarutkan dalam 1-2 ml

etanol 96%, lalu ditambah 0,1 g serbuk Mg dan 10 tetes asam klorida pekat.

Jika terjadi warna merah jingga sampai warna merah unggu menunjukkan

adanya flavonoid. Jika terjadi warna kuning jingga menunjukkan adanya

flavon, kalkon dan auron (Depkes,1995).

3.6.2 Pemeriksaan Alkaloid

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan 1

ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan diatas penangas air selama

2 menit, didinginkan dan disaring. Filtrat yang diperoleh dipakai untuk tes

alkaloid. Diambil 3 tabung reaksi, lalu ke dalamnya dimasukkan 0,5 ml filtrat.

(45)

a. ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer

b. ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat

c. ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff

Alkaloid positif jika terjadi endapan atau kekeruhan pada dua dari tiga

percobaan diatas (Depkes, 1995).

3.6.3 Pemeriksaan saponin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia dimasukkan ke dalam tabung reaksi,

ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat selama

10 detik, jika terbentuk buih yang mantap setinggi 1-10 cm yang stabil tidak

kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida

2 N menunjukkan adanya saponin (Depkes, 1989).

3.6.4 Pemeriksaan tanin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia disari dengan 10 ml air suling lalu

disaring, filtratnya diencerkan dengan air sampai tidak berwarna. Larutan

diambil 2 ml dan ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%. Jika

terjadi warna biru atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Depkes,

1989).

3.6.5 Pemeriksaan glikosida

Sebanyak 3 g serbuk simplisia ditimbang kemudian disari dengan 30 ml

campuran etanol 96% dengan air (7:3) dan 10 ml asam klorida 2 N, direfluks

selama 2 jam, didinginkan dan disaring. Diambil 20 ml filtrat ditambahkan 25

ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan 5 menit

(46)

(2:3), dilakukan berulang sebanyak 3 kali. Pada kumpulan sari lapisan

isopropanolol diuapkan pada suhu tidak lebih dari 50ºC. Sisanya dilarutkan

dalam 2 ml metanol untuk larutan percobaan 0,1 ml larutan percobaan

diuapkan diatas penangas air, pada sisa ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes

pereaksi Molish. Kemudian secara perlahan-lahan ditambahkan 2 ml asam

sulfat pekat melalui dinding tabung terbentuknya cincin berwarna ungu pada

batas kedua cairan menunjukkan adanya ikatan gula (Depkes, 1995).

3.6.6 Pemeriksaan steroida/triterpenoida

Sebanyak 1 g serbuk simplisia dimaserasi dengan 20 ml eter selama 2

jam, disaring, filtrat diuapkan dalam cawan penguap, dan pada sisanya

ditambahkan 20 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat

(pereaksi Liebermann-Burchard). Apabila terbentuk warna ungu atau merah

yang berubah menjadi biru hijau menunjukkan adanya steroida/triterpenoida

(Harborne, 1987).

3.6.7 Pemeriksaan antrakinon

Sebanyak 0,2 g serbuk simplisia ditimbang, dicampur dengan 5 ml

asam sulfat 2 N, dipanaskan sebentar, setelah dingin ditambahkan 10 ml

benzen, dikocok dan didiamkan. Lapisan benzen dipisahkan dan disaring,

kemudian kocok dengan 2 ml NaOH 2 N, didiamkan. Lapisan air berwarna

merah dan lapisan benzen tidak berwarna menunjukkan adanya antrakinon

(47)

3.7 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Sambung Nyawa

Sebanyak 500 gram serbuk simplisia dimasukkan kedalam bejana

tertutup, etanol 96% dituangkan ke dalam bejana sampai seluruh simplisia

terendam, diaduk, dibiarkan sekurang-kurangnya selama 3 jam. Dipindahkan

massa sedikit demi sedikit kedalam perkolator sambil tiap kali ditekan

hati-hati, dituangkan cairan penyari secukupnya sampai cairan mulai menetes dan

di atas simplisia masih terdapat selapis cairan penyari, ditutup perkolator,

dibiarkan selama 24 jam. Dibiarkan cairan menetes dengan kecepatan 1 ml per

menit, ditambahkan berulang-ulang cairan penyari secukupnya hingga selalu

terdapat selapis cairan penyari diatas simplisia. Perkolasi dihentikan setelah

tetesan terakhir perkolat tidak berwarna lagi atau apabila sebanyak 500 mg

cairan perkolat diuapkan di atas penangas air tidak meninggalkan sisa. Perkolat

yang diperoleh dipekatkan dengan alat penguap vakum putar (rotary

evaporator). Kemudian dikeringkan dengan menggunakan freeze dryer (Ditjen

POM, 1995).

3.8 Uji Efek Imunomodulator

Uji efek imunomodulator meliputi penyiapan hewan percobaan,

penyiapan kontrol, bahan uji, antigen, uji respon hipersensitivitas tipe lambat,

dan uji titer antibodi.

3.8.1 Penyiapan Hewan Percobaan

Hewan yang digunakan adalah mencit jantan dengan berat 20-35 g

dibagi 5 kelompok, 1 kelompok untuk kontrol negatif, 1 kelompok untuk

(48)

Sebelum digunakan sebagai hewan percobaan, semua mencit dipelihara

terlebih dahulu selama kurang lebih satu minggu dalam kandang yang baik

pada suhu ruangan untuk penyesuaian lingkungan, pengontrolan kesehatan dan

berat badan. Mencit diberi makan pelet hewan dan tetap diberi air minum.

3.8.2 Penyiapan Kontrol, Bahan Uji, dan Antigen

Penyiapan kontrol, bahan uji, dan antigen meliputi penyiapan CMC

1%, penyiapan suspensi levamisole, penyiapan suspensi ekstrak daun sambung

nyawa 2%, dan penyiapan sel darah merah sapi.

3.8.2.1 Penyiapan CMC Na 1%

Pembuatan suspensi CMC Na 1% (b/v) dilakukan dengan cara sebagai

berikut: sebanyak 1 g CMC Na ditaburkan kedalam lumpang yang berisi air

panas sebanyak 20 ml. Didiamkan selama 15 menit hingga diperoleh massa

yang transparan, digerus hingga berbentuk gel dan diencerkan dengan sedikit

air, kemudian dituang ke dalam labu tentukur 100 ml, ditambahkan air suling

sampai batas tanda.

3.8.2.2 Penyiapan Suspensi Levamisole

Pengambilan sampel tablet levamisole yaitu dengan cara ditimbang dan

diserbukhaluskan tidak kurang dari 20 tablet. Ditimbang serbuk yang telah

dihaluskan tersebut kemudian ditimbang seksama sejumlah serbuk setara

dengan lebih kurang 25 mg levamisole (Depkes, 1995).

Pembuatan suspensi levamisole dilakukan dengan cara sebagai berikut:

ditimbang serbuk levamisole 29,46 mg (setara dengan 25 mg levamisole) dan

(49)

CMC Na 1% secukupnya. Digerus hingga homogen dan dituangkan kedalam

labu tentukur 25 ml, dan kemudian ditambahkan suspensi CMC Na 1% sampai

batas tanda.

3.8.2.3 Penyiapan Suspensi Ekstrak Daun Sambung Nyawa (SEDSN) 2%

Pembuatan suspensi ekstrak daun sambung nyawa 2% (b/v) dilakukan

dengan cara sebagai berikut: sebanyak 500 mg ekstrak daun sambung nyawa

dimasukkan kedalam lumpang, ditambahkan suspensi CMC Na 1%

secukupnya kemudian digerus sampai homogen. Dituang ke dalam labu

tentukur 25 ml, ditambahkan suspensi CMC Na 1% sampai batas tanda.

3.8.2.4 Penyiapan Sel Darah Merah Sapi (SDMS)

Penyiapan dan pembuatan SDMS didasarkan pada penelitian yang

dilakukan oleh Yufri (2011). Darah segar dikumpulkan dari sapi yang

disembelih, diperoleh 500 ml. kemudian ditambahkan 1,5 ml heparin dan

dimasukan kedalam termos yang berisi es. Darah dicuci dengan larutan NaCl

fisiologis (1:1) masing-masing sebanyak 5 ml dan diaduk homogen kemudian

disentrifus dengan kecepatan 2000 rpm selama 15 menit, dibuang

supernatannya, diulangi 3 kali dengan menambahkan 5 ml NaCl fisiologis

setiap pengulangan. Setelah didapatkan eritrosit ditambahkan larutan NaCl

fisiologis dengan volume yang sama, hingga diperoleh SDMS 50%. Kemudian

diambil 0,2 ml SDMS 50%, ditambahkan larutan NaCl fisiologis hingga 10 ml,

(50)

3.8.3 Uji Respon Hipersensitivitas Tipe Lambat

Efek imunomodulator ekstrak daun sambung nyawa ditentukan dengan

mengukur volume respon hipersensitivitas tipe lambat menggunakan uji

pembengkakan telapak kaki hewan uji (foot paw swelling test) (Lakshmi, et al.,

2003; Ray, et al., 1996).

Sebanyak 30 ekor mencit dibagi menjadi 5 kelompok dengan

pembagian sebagai berikut:

a. Kelompok I diberi suspensi CMC Na 1% (b/v) sebagai kontrol negatif.

b. Kelompok II diberi Suspensi Ekstrak Daun Sambung Nyawa (SEDSN)

dengan dosis 125 mg/kg BB.

c. Kelompok III diberi SEDSN dengan dosis 250 mg/kg BB.

d. Kelompok IV diberi SEDSN dengan dosis 500 mg/kg BB

e. Kelompok V diberi Suspensi Levamisole dengan dosis 25 mg/kg BB

sebagai kontrol positif.

Tiap kelompok diinjeksikan dengan 0,1 ml sel darah merah sapi

(SDMS) 1% dalam dalam larutan NaCl fisiologis secara intraperitoneal pada

hari ke-0. Perlakuan dimulai dari hari ke-0 dan diberikan setiap hari selama 7

hari. Pada hari ke-7, sendi kaki mencit sebelah kanan diberi tanda batas

pengukuran volume kaki mencit. Volume kaki mencit diukur sebagai volume

awal (V0). Kemudian mencit diinjeksikan dengan 0,1 ml suspensi SDMS 1%

dalam dalam larutan NaCl fisiologis secara intraplantar pada telapak kaki

(51)

Pada hari kedelapan (setelah 24 jam) diukur volume pembengkakan

kaki mencit dengan pletismometer air raksa. Pengukuran dilakukan dengan

mencelupkan kaki mencit ke dalam tabung yang berisi air raksa sampai tanda

batas pengukuran. Perubahan volume air raksa terlihat pada kenaikan skala

pada pletismometer sebagai volume waktu tertentu (Vt) kaki mencit. Volume

pembengkakan kaki mencit ditentukan berdasarkan selisih antara volume

waktu tertentu (Vt) dengan volume awal (V0) (Shivaprasad, 2006).

3.8.4 Uji Titer Antibodi

Tiap kelompok diinjeksikan dengan 0,1 ml sel darah merah sapi

(SDMS) 1% dalam larutan NaCl fisiologis secara intraperitoneal pada hari

ke-0. Perlakuan dimulai dari hari ke-0 dan diberikan satu kali setiap hari selama 7

hari. Pada hari ke-7, sampel darah masing-masing mencit diambil melalui

pembuluh darah vena di bagian ekor. Sampel darah dikumpulkan dalam tabung

mikro (microtube), kemudian dilakukan pemusingan 1900 rpm dengan alat

sentrifugasi pada suhu 4C selama 10 menit dan diambil serumnya.

Nilai titer antibodi ditentukan dengan teknik hemaglutinasi. Duapuluh

lima mikroliter (25 μl) serum diteteskan ke dalam sumur microtitration plate

96 lubang, ditambahkan dalam larutan NaCl fisiologis dan SDMS dengan

volume yang sama, dan diencerkan dua kali lipat (1:2; 1:4; 1:8; 1:16; 1:32;

1:64; 1:128; 1:256; 1:512; 1:1024; 1:2048) kemudian diamati penggumpalan

yang terjadi (Makare, et al., 2001; Puri, et al., 1993). Nilai titer antibodi

ditentukan berdasarkan pengenceran terakhir dimana antibodi masih terdeteksi

(52)

selanjutnya ditransformasikan dengan [2log(titer)+1] (Hargono, 2000; Eldiza,

2011).

3.9 Analisis Data

Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan program SPSS

versi 17.0. Data ditentukan homogenitas dan normalitasnya untuk menentukan

analisis statistik yang digunakan. Data dianalisis dengan menggunakan uji

ANAVA satu arah (One-Way ANOVA) untuk menentukan perbedaan rata-rata

di antara perlakuan. Jika terdapat perbedaan, dilanjutkan dengan menggunakan

uji Post Hoc Tukey untuk mengetahui variabel mana yang memiliki perbedaan.

Berdasarkan nilai signifikansi, P < 0,05 dianggap signifikan. Data hasil

statistik ANAVA satu arah (One-Way ANOVA) dapat dilihat pada Lampiran

(53)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Simplisia dan Ekstrak

Tumbuhan yang digunakan telah diidentifikasi di Herbarium

Bogoriense, Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI-Bogor. Hasil

identifikasi tumbuhan dapat dilihat pada Lampiran 1, halaman 55.

Hasil pemeriksaan organoleptik terhadap daun sambung nyawa segar

yaitu daun berwarna hijau, berbau aromatik, rasa kelat dan sedikit manis.

Sedangkan hasil pemeriksaan organoleptik simplisia daun sambung nyawa

adalah berwarna hijau pekat, berbau aromatik, dan rasa kelat. Hasil

pemeriksaan makroskopik terhadap daun sambung nyawa segar adalah daun

berwarna hijau, bertangkai, letaknya saling berhadapan dan bersilang, helaian

daun bulat telur dengan pangkal daun membulat dan ujung daun runcing,

pinggir daun bergerigi dangkal, panjang daun sampai 21 cm, lebar daun sampai

9 cm, kedua permukaan daun berambut halus dengan pertulangan menyirip.

Hasil pemeriksaan makroskopik dapat dilihat pada Lampiran 2, halaman

56-57.

Hasil pemeriksaan mikroskopik penampang melintang pada daun

sambung nyawa segar yaitu adanya: sel kelenjar, trakea, kutikula, epidermis

atas, jaringan palisade, jaringan bunga karang (spons), epidermis bawah dan

rambut penutup. Hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia pada daun

(54)

mesofil, dan stomata. Hasil pemeriksaan mikroskopik dapat dilihat pada

Lampiran 3, halaman 58-59.

Hasil pemeriksaan karakteristik simplisia daun sambung nyawa

diperoleh kadar air 9,2%, kadar sari yang larut dalam air 23,67%, kadar sari

yang larut dalam etanol 13,64%, kadar abu total 6,39% dan kadar abu yang

tidak larut dalam asam 0,62%. Persyaratan umum pada Farmakope Herbal

adalah kadar air tidak lebih dari 10%, kadar sari yang larut dalam air tidak

kurang dari 7,9%, kadar sari yang larut dalam etanol tidak kurang dari 3,9%,

kadar abu tidak lebih dari 7,2%, dan kadar abu yang tidak larut dalam asam

tidak lebih dari 1,2%. Dengan demikian hasil penetapan kadar air, kadar sari

yang larut dalam etanol, kadar abu total, kadar abu yang tidak larut asam dan

kadar air memenuhi persyaratan pada Farmakope Herbal (2010). Data hasil

pemeriksaan karakteristik simplisia ditunjukkan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Karakteristik Simplisia

No. Penetapan / Karakteristik Simplisia

5 Kadar abu tidak larut dalam

asam 0,62 < 1,2

Pemeriksaan skrining fitokimia serbuk simplisia daun sambung nyawa

yang dilakukan untuk mengetahui adanya kandungan alkaloida, glikosida,

(55)

Tabel 4.2 Hasil Pemeriksaan Skrining Simplisia

No Senyawa Serbuk simplisia

1 Alkaloida -

2 Glikosida +

3 Saponin +

4 Flavonoid +

5 Tanin +

6 Steroid/Triterpenoid +

Keterangan :

+ = Mengandung golongan senyawa - = Tidak mengandung golongan senyawa

Berdasarkan hasil pemeriksaan skrining fitokimia terhadap serbuk

simplisia daun sambung nyawa terdapat kandungan senyawa kimia golongan

alkaloida, glikosida, saponin, flavonoid, tanin, dan steroida/triterpenoida.

Standarisasi diperlukan karena kandungan bahan aktif yang terkandung dalam

jenis tanaman yang sama dapat bervariasi, dengan standarisasi diharapkan

bahan aktif yang terkandung di dalam bahan baku tersebut cukup konsisten,

sehingga takaran yang digunakan untuk pengujian memiliki kandungan aktif

yang setara.

Hasil penyarian 500 g serbuk simplisia daun sambung nyawa dengan

pelarut etanol 96% diperoleh ekstrak kental yang kemudian diuapkan dengan

menggunakan rotary evaporator dan dikeringkan, diperoleh 98,32 g ekstrak

(56)

4.2 Pengujian Efek Imunomodulator

Pengujian efek imunomodulator ekstrak daun sambung nyawa

dilakukan dengan metode respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi

yang digunakan untuk melihat pengaruh ekstrak terhadap aktivitas dan

mekanisme sistem imun humoral yang melibatkan sel T dan sel B. Menurut

Makare, et al., (2001), kombinasi kedua metode tersebut mempunyai

keuntungan yaitu memungkinkan dua komponen respon imun diukur pada

spesies yang sama dibawah kondisi ideal, relatif sederhana dan tidak mahal.

Penentuan dosis dilakukan dengan orientasi dari dosis 50 mg/kg bb

hingga 1 g/kg bb. Dari orientasi yang dilakukan diperoleh bahwa dosis 125

mg/kg bb, 250 mg/kg bb, dan 500 mg/kg bb sudah memberikan efek yg lebih

dari normal dan pembanding. Pembanding yang digunakan ialah levamisole

dengan dosis 25 mg/kg bb. Dosis levamisole tertinggi yang dapat digunakan

tinggi pada mencit ialah 25 mg/kg bb (Katzung, 1989). Data hasil penelitian

(57)

Tabel 4.3 Volume Pembengkakan Kaki Mencit dan Nilai Titer Antibodi

N

o.

Perlakuan

Volume kaki mencit

(ml) Nilai Titer Antibodi

V0 Vt ∆V

Titer

Antibodi [2(Log titer)+1]

1 CMC Na 1% 0,3 0,6 0.3 8 2,81

2 Suspensi ekstrak

daun sambung nyawa dosis 125 mg/kg bb

3 Suspensi ekstrak daun sambung nyawa dosis 250 mg/kg bb

4 Suspensi ekstrak daun sambung nyawa dosis 500 mg/kg bb

Vt = Volume pembengkakan kaki mencit

(58)

4.2.1 Respon Hipersensitivitas Tipe Lambat

Respon hipersensitivitas tipe lambat dikenali dengan reaksi

imuno-inflamasi karena makrofag dan sel T helper (Th1) berperan besar dalam proses

tersebut (Mukherjee, 2010). Reaksi ini ditandai dengan adanya pembengkakan

pada tempat terjadinya induksi antigen.

Pembengkakan terkait langsung dengan cell mediated immunity (CMI),

karena antigen mengaktivasi sel T terutama sel Th1. Aktivasi sel T

menyebabkan pelepasan beberapa sitokin yang bersifat proinflamasi. Sitokin

tersebut akan menarik makrofag ke tempat terjadinya induksi dan

mengaktivasinya sehingga menyebabkan peningkatan aktivitas fagositik untuk

melawan antigen yang masuk (Fulzele, et al., 2002). Penarikan makrofag ini

terjadinya pembengkakan. Semakin besar pembengkakan menunjukkan

semakin tinggi respon hipersensitivitas tipe lambat sehingga dapat

menggambarkan peningkatan aktivitas sistem imun.

Pengujian dilakukan dengan cara menginduksi mencit dengan sel darah

merah sapi (SDMS) sebagai antigen secara intraperitoneal pada hari ke-0.

Respon hipersensitivitas tipe lambat diketahui dari volume pembengkakan kaki

mencit yang diukur pada hari ke-8. Setelah sehari sebelumnya mencit diberi

tanda batas pengukuran volume kaki mencit pada sendi kaki mencit sebelah

kanan, volume kaki mencit diukur sebagai volume awal (V0). Kemudian

mencit diinjeksikan dengan 0,1 ml suspensi SDMS 1% dalam dalam larutan

NaCl fisiologis secara intraplantar pada telapak kaki sebelah kanan.

Gambar

Gambar 1.1 Diagram Kerangka Pikir Penelitian
Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Karakteristik Simplisia
Tabel 4.2  Hasil Pemeriksaan Skrining Simplisia
Tabel 4.3 Volume Pembengkakan Kaki Mencit dan Nilai Titer Antibodi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Apa yang diharapkan Indonesia dari penyelesaian konflik Laut Cina Selatan.. Jadi, ASEAN kan ada 3 pilar ya, pilar politik keamanan,

Sebagai satu-satunya organisasi yang bergerak dalam isu HIV&amp;AIDS dengan sasaran utama kelompok MSM dan TG, Seruni mampu bekerja sama dengan sangat baik dengan

Berdasarkan hasil empiris yang diperoleh disimpulkan bahwa ekspektasi kinerja mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap minat pemanfaatan sistem informasi, variabel

In the analysis of Halim Perdanakusuma Airport passenger terminal capacity, the capacity of each mandatory facility in the passenger terminal was elaborated to figure out

3) factor-factor penyebab kerusakan dini pada perkerasan jalan, Waisa Saroso, puslitbang jalan dan jembatan. Tujuan penilitian ini adalah untuk mengkaji

JUDUL : DOKTER MASA DEPAN HARUS LEBIH CERDAS. MEDIA :

laki-laki dan perempuan pada mahasiswa etnis sumba Universitas Kristen Satya

[r]