• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PEMBATALAN PERKAWINAN ATAS PERMOHONAN KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 34/PDT.G/2011/PA.PANDAN KABUPATEN TAPANULI TENGAH)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PEMBATALAN PERKAWINAN ATAS PERMOHONAN KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 34/PDT.G/2011/PA.PANDAN KABUPATEN TAPANULI TENGAH)"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

Muthia Firda Sari

Pembatalan perkawinan adalah menganggap perkawinan yang telah dilakukan sebagai peristiwa yang tidak sah, atau dianggap tidak pernah ada. Pembatalan perkawinan dapat diajukan di Pengadilan Agama dengan mengajukan permohonan pembatalan perkawinan. Salah satu objek penelitian yang akan diteliti adalah mengenai kasus perkara Putusan Nomor 34/Pdt.G/2011/PA.Pdn tentang pembatalan perkawinan antara Termohon I, umur 36 tahun dengan Termohon II, umur 22 tahun yang menikah pada tanggal 10 Desember 2009 dihadapan Pemohon, 48 tahun yang bertindak sebagai wali nikah sekaligus Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Sibabangun.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana mekanisme pembatalan perkawinan oleh pihak ketiga dalam Perkara Putusan No. 34/Pdt.G/2011/PA.Pdn, dasar pertimbangan hakim dalam memutus Perkara Putusan No. 34/Pdt.G/2011/PA.Pdn, serta akibat hukum dari pembatalan perkawinan dalam Perkara Putusan Nomor 34/Pdt.G/2011/PA.Pdn.

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan tipe penelitian deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan normatif terapan. Data yang digunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Pengumpulan data melalui studi pustaka. Pengolahan data dilakukan dengan cara pemeriksaan data, klasifikasi data, dan sistematisasi data. Selanjutnya, dianalisis secara kualitatif.

(2)

Muthia Firda Sari

antara Termohon I dan Termohon II, memerintahkan Turut Termohon (Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Sibabangun untuk menarik Buku Kutipan Akta Nikah kedua belah pihak dan membebankan kepada Pemohon dengan membayar biaya perkara sebesar Rp 391.000 (tiga ratus sembilan puluh satu ribu rupiah). Akibat hukum pembatalan perkawinan dalam Perkara Putusan Nomor 34/Pdt.G/2011/PA.Pdn adalah perkawinan tersebut batal demi hukum.

(3)

ANALISIS PEMBATALAN PERKAWINAN ATAS PERMOHONAN KANTOR URUSAN AGAMA (KUA)

STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 34/PDT.G/2011/PA.PANDAN KABUPATEN TAPANULI TENGAH

Oleh

MUTHIA FIRDA SARI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)
(5)
(6)

RIWAYAT HIDUP

Nama penulis adalah Muthia Firda Sari, dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 11 November 1992, merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan bapak Drs. Hi. Firdaus Fauman, M.M dan ibu Hi. Rita Sari, S.Sos

Penulis mengawali pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK) Al-Kautsar Bandar Lampung pada tahun 1997, penulis melanjutkan ke Sekolah Dasar di SD Al-Kautsar Bandar Lampung pada tahun 1998 hingga tahun 2004, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 29 Bandar Lampung pada tahun 2004 hingga tahun 2007 dan Sekolah Menengah Atas di SMAN 9 Bandar Lampung pada Tahun 2007 hingga tahun 2010.

(7)

MOTO

“Sesungguhnya dunia seluruhnya adalah benda (perhiasan) dan sebaik-baik benda (perhiasan)

adalah wanita (isteri) yang sholehah”

(8)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucap puji syukur kepada Allah SWT ,atas rahmat dan hidayahnya,maka dengan ketulusan dan kerendahan hati serta setiap perjuangan dan jerihpayah, aku

persembahkan sebuah karya nan kecil ini kepada :

Ayahku Drs. Hi. Firdaus Fauman, M.M. Bundaku Hj. Rita Sari, S.Sos. Terima kasih telah memberikan dukungan,

Cinta dan kasih sayang serta mengiringi

Dengan do’a demi keberhasilanku.

Kakakku Fery Aprian Saputra Adikku Muhammad Rio Qisthi Serta seluruh keluarga besarku yang selalu

Mendo’akanku serta memberi bantuan dalam segala hal dalam menggapai cita-cita

Sahabat-sahabatku, terimakasih atas kebersamaan Dan kesetiaannya selama ini

Almamaterku Universitas Lampung

(9)

SANWACANA

Alhamdulillahirabbil’alamin, Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan

rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Pembatalan Perkawinan Atas Permohonan Kantor Urusan Agama (KUA) Studi Kasus

Putusan Nomor 34/Pdt.G/2011/Pa.Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah”

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung dibawah bimbingan dari dosen pembimbing serta atas bantuan dari berbagai pihak lain. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW beserta seluruh keluarga dan sahabatnya.

Penyelesaian penelitian ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan saran dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Bapak Dr. Wahyu Sasongko, S.H., M.Hum., sebagai Ketua Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

(10)

pemikirannya, memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;

4. Bapak Dita Febrianto, S.H., M.H., sebagai Pembimbing II yang telah bersedia untuk meluangkan waktunya, mencurahkan segenap pemikirannya, memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;

5. Ibu Aprilianti, S.H., M.H., sebagai Pembahas I yang telah memberikan kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini;

6. Ibu Kasmawati, S.H., M.Hum., sebagai Pembahas II yang telah memberikan kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini;

7. Bapak Prof. Dr. I Gede Arya Bagus Wiranata, S.H.,M.H., sebagai Pembimbing Akademik, yang telah membantu penulis menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Lampung;

8. Seluruh dosen dan karyawan/i Fakultas Hukum Universitas Lampung yang penuh dedikasi dalam memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis, serta segala bantuan yang diberikan kepada penulis selama menyelesaikan studi; 9. Secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Ayah yang

(11)

10.Kakakku Fery Aprian Saputra dan Adikku Muhammad Rio Qisthi atas semua dukungan moril, motivasi, kegembiraan, dan semangatnya. Semoga tetap dapat melanjutkan mengharumkan nama baik keluarga serta dapat membanggakan Ayah dan Bunda;

11.Teman, sahabat dan juga keluarga Eka Chandre Pratiwi, S.H., Zakia Tiara Faragista, Sekar Pramudhita, Venti Azharia, Ramita Rizka Aldina, Nuraini, Dima Ramadhan Santoni, yang telah memberikan suport kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, semoga kita semua sukses; 12.Sahabat terbaikku Rossy Tri Andini, Lera Nadia Arfileani, yang telah

memberikan kegembiraan, dukungan dan motivasi selama ini. Semoga apa yang telah dilakukan menghasilkan sebuah kesuksesan;

13.Teman-teman SMA, Gabriella Sabatini, Eka Sari Pratiwi, Maulini Rizki dan seluruh keluarga besar Segitiga Kompeni terima kasih atas dukungan dan semangatnya, sukses untuk kita semua;

14.Seluruh teman-teman Hukum Keperdataan 2010 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungan dan kerjasamanya;

15.Teman seperjuangan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Desa Bangun Rejo Kecamatan Punduh Pedada Kabupaten Pesawaran, terima kasih atas doanya, pengalaman tak terlupakan selama 40 hari bersama kalian akan selalu ada, sukses untuk kita semua;

(12)

Semoga Allah SWT memberikan balasan atas jasa dan budi baik yang telah diberikan kepada penulis. Akhir kata, penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini dan masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya bagi penulis dalam mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan.

Bandar Lampung, Penulis,

(13)

DAFTAR ISI

ABSTRAK...i

HALAMAN JUDUL ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN...v

RIWAYAT HIDUP...vi

MOTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

SANWACANA ... ix

DAFTAR ISI ... xii

I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang ...1

B.Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian...5

C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...6

II. TINJAUAN PUSTAKA A.Tinjauan Umum tentang Perkawinan...8

1. Unifikasi Pengaturan Hukum Perkawinan di Indonesia ...8

2. Pengertian Perkawinan ...10

3. Tujuan dan Syarat Perkawinan ...10

B.Tinjauan Umum Pembatalan Perkawinan ...15

1. Alasan Pembatalan Perkawinan ...15

2. Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan ...16

C.Pengaturan dan Tata Cara Permohonan Perceraian ...17

1. Tata Cara Permohonan Perceraian di Indonesia ...17

(14)

3. Batas Waktu Pengajuan ...25

4. Pemberlakuan Pembatalan Perkawinan ...25

D.Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan ...25

1. Terhadap Anak...26

2. Terhadap Harta yang Diperoleh Selama Perkawinan ...27

3. Terhadap Pihak Ketiga ...27

E. Kerangka Pikir ...29

III. METODE PENELITIAN A.Jenis dan Tipe Penelitian ...30

B.Pendekatan Masalah...31

C.Sumber dan Pengumpulan Data ...32

D.Pengolahan dan Analisis Data ...33

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Mekanisme Pembatalan Perkawinan oleh Pihak Ketiga dalam Perkara Putusan Nomor 34/Pdt.G/2011/PA.Pdn 34 B.Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Putusan Nomor 34/Pdt.G/2011/PA.Pdn 44 C.Akibat HukumPembatalan Perkawinan dalam Perkara Putusan Nomor 34/Pdt.G/2011/PA.Pdn ...48

V. KESIMPULAN ...52

(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia sejak zaman dahulu hingga kini, karena perkawinan merupakan masalah yang aktual untuk dibicarakan di dalam maupun di luar peraturan hukum.1 Dengan adanya perkawinan, suami isteri dapat membina rumah tangganya sesuai dengan norma agama dan kebiasaan bermasyarakat. Perkawinan dianggap sakral karena perkawinan merupakan masalah keagamaan, sehingga perkawinan harus dilaksanakan dengan rangkaian upacara yang bersifat religius dan dilakukan menurut hukum masing masing agama dan kepercayaan dari para pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut. Hal ini seperti yang dinyatakan dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mendefinisikan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, maka perkawinan bagi orang Islam di Indonesia sah apabila telah dilakukan sesuai dengan Hukum Islam dan telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Undang-Undang Perkawinan. Perkawinan tidak sah dan dikatakan batal apabila dilangsungkan tanpa memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

1

(16)

2

Perkawinan yang sah dapat dilakukan harus memenuhi rukun perkawinan diantaranya adalah adanya calon suami dan calon isteri, adanya wali nikah dari calon isteri, adanya dua orang saksi laki-laki, adanya mahar, ijab dan kabul. Syarat sahnya perkawinan menurut Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak sehingga perkawinan tidak boleh didasarkan atas dasar paksaan. Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ditentukan bahwa calon mempelai laki-laki harus sudah berumur 19 tahun dan untuk mempelai perempuan adalah 16 tahun. Pasal 6 Ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 disebutkan apabila calon suami atau calon isteri belum berumur seperti disebutkan pasal 7 Ayat (1) maka calon pengantin tersebut harus mendapat izin terlebih dulu dari orangtuanya atau walinya karena mereka dianggap belum dewasa secara hukum. Apabila izin dari orangtuanya tidak didapat maka calon pengantin tersebut dapat meminta izin dari pengadilan.2

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 peraturannya bersifat umum, sedangkan Kompilasi Hukum Islam merupakan peraturan yang bersifat khusus, karena hanya diperuntukkan bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam. Disamping itu Kompilasi Hukum Islam juga dijadikan pegangan bagi para hakim Pengadilan Agama seluruh Indonesia dalam melaksanakan tugasnya dalam menyelesaikan perkara yang berhubungan dengan perkawinan, kewarisan dan perwakafan.

Suatu perkawinan dapat dilakukan pembatalan. Pembatalan perkawinan adalah menganggap perkawinan yang telah dilakukan sebagai peristiwa yang tidak sah,

2

(17)

3

atau dianggap tidak pernah ada. Suatu kenyataan yang mungkin sulit diterima oleh suami isteri, perkawinan yang telah dilaksanakan ternyata oleh hakim Pengadilan Agama dinyatakan tidak sah dan ikatan perkawinan itu dinyatakan batal.

Perkawinan telah berlangsung sesuai dengan kehendak para pihak, tetapi bertentangan dengan kehendak pihak lain, misalnya pada saat telah melangsungkan perkawinan baru diketahui bahwa keduanya ternyata memiliki hubungan keluarga atau ternyata baru diketahui bahwa mempelai pria atau wanita masih memiliki pasangan (suami/istri).

Dasar yuridis yang digunakan hakim Pengadilan Agama dalam menjatuhkan putusan pembatalan perkawinan adalah Pasal 22 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang menentukan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Berdasarkan Pasal 37 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 perkawinan yang tidak memenuhi syarat tidak dengan sendirinya menjadi batal, melainkan harus diputuskan oleh pengadilan. Pembatalan perkawinan dapat diajukan di Pengadilan Agama dengan mengajukan permohonan pembatalan perkawinan. Dalam mengajukan permohonan pembatalan perkawinan harus dilihat terlebih dahulu pihak mana yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan tersebut dan alasan-alasan sehingga permohonan pembatalan perkawinan dapat diterima.

(18)

4

sebagai wali nikah sekaligus Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Sibabangun. Pada tanggal 15 Desember 2010 pemohon sudah pindah tugas di kecamatan Pandan dan baru diketahui ternyata perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat sahnya akad nikah. Karena Termohon I telah menikah dengan Termohon III, umur 38 tahun dan belum bercerai. Termohon III adalah kakak kandung dari termohon II.Termohon I dan Termohon II bekerjasama dengan Kepala Desa untuk dapat melaksanakan perkawinan dengan memalsukan identitas dengan alasan Termohon III tidak dapat memberikan keturunan. Dalam kasus ini pemohon merasa tertipu oleh karenanya mempunyai kepentingan hukum untuk mengajukan perkara permohonan pembatalan perkawinan kepada Pengadilan agama Pandan.

Mekanisme pembatalan perkawinan berdasarkan putusan tersebut menjelaskan bahwa hakim menetapkan perkawinan antara Termohon I dan Termohon II batal. Dasar pertimbangan hakim berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang menentukan bahwa perkawinan tersebut dibatalkan karena tidak sah secara Islam. Dengan adanya pembatalan perkawinan tersebut, maka perkawinan antara Termohon I dan Termohon II menimbulkan akibat hukum yang dapat membatalkan perkawinan tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian dan sekaligus menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis

Pembatalan Perkawinan Atas Permohonan Kantor Urusan Agama (KUA)

Studi Kasus Putusan Nomor 34/Pdt.G/2011/Pa.Pandan Kabupaten Tapanuli

(19)

5

B. Permasalahan dan Pokok Bahasan

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka dalam penelitian ini ada beberapa masalah yang dirumuskan dan dicari penyelesainnya secara ilmiah. Beberapa masalah tersebut sebagai berikut :

1. Bagaimana mekanisme pembatalan perkawinan oleh pihak ketiga dalam Perkara Putusan No. 34/Pdt.G/2011/PA.Pdn ?

2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus Perkara Putusan No. 34/Pdt.G/2011/PA.Pdn?

3. Bagaimana akibat hukum dari pembatalan Perkawinan dalam Perkara Putusan No. 34/Pdt.G/2011/PA.Pdn ?

C. Pokok Bahasan

Berdasarkan permasalahan, maka yang menjadi pokok bahasan dalam penulisan ini adalah:

1. Mekanisme pembatalan perkawinan oleh pihak ketiga dalam Perkara Putusan No. 34/Pdt.G/2011/PA.Pdn

2. Pertimbangan hakim dalam memutus Perkara Putusan No. 34/Pdt.G/2011/PA.Pdn

(20)

6

D. Ruang Lingkup

Ruang lingkup kajian penelitian ini adalah mengkaji tentang bagaimana mekanisme perkara pembatalan perkawinan, pertimbangan hakim, serta akibat hukum dari pembatalan perkawinan dalam Perkara Putusan No. 34/Pdt.G/2011/PA.Pdn. Bidang ilmu ini adalah hukum perdata, khususnya hukum perkawinan.

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui mekanisme pembatalan perkawinan dalam perkara Putusan No. 34/Pdt.G/2011/PA.Pdn.

2. Mengetahui pertimbangan hakim dalam perkara Putusan No. 34/Pdt.G/2011/PA.Pdn.

3. Mengetahui akibat hukum yang timbul akibat pelaksanaan pembatalan perkawinan oleh pihak ketiga dalam perkara Putusan No. 34/Pdt.G/2011/PA.Pdn.

F. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kegunaan Teoritis

(21)

7

2. Kegunaan Praktis

a. Upaya pengembangan kemampuan dan pengetahuan hukum bagi peneliti dalam lingkup hukum perdata khususnya hukum perkawinan.

b. Memberikan gambaran kepada pembaca bagaimana mekanisme pembatalan perkawinan.

c. Sumbangan pemikiran, bahan bacaan, dan sumber informasi serta bahan kajian bagi yang memerlukan;

(22)

8

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan

1. Unifikasi Pengaturan Hukum Perkawinan di Indonesia

Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, di Indonesia pelaksanaan Hukum Perkawinan masih prularistis. Artinya di Indonesia berlaku tiga macam sistem hukum perkawinan, yaitu:

a. Hukum Perkawinan menurut Hukum Perdata Barat (BW), diperuntukkan bagi Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan asing atau yang beragama Kristen.

b. Hukum perkawinan menurut Hukum Islam, diperuntukkan bagi Warga Negara Indonesia (WNI) atau pribumi yang beragama Islam.

c. Perkawinan menurut Hukum Adat, diperuntukkan bagi masyarakat pribumi yang masih memegang teguh hukum adat.

Namun demikian, pada dasarnya Hukum Perkawinan bagi masyarakat yang beragama Islam kebanyakan merupakan perpaduan antara Hukum Islam dan Hukum Adat. Sedangkan Hukum Perkawinan BW diperuntukkan bagi Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan asing atau yang beragama Kristen, khususnya kalangan Teonghoa keturunan.3

Pada prinsipnya, perkawinan dianggap sebagai suatu persetujuan antara dua belah pihak yang melangsungkan perkawinan. Namun, di sisi lain, perkawinan itu bukan sekedar kehendak bebas menurut Undang-Undang. Di sinilah terlihat adanya suatu pertentangan

3

(23)

9

prinsip dalam perkawinan. Idealisnya, perkawinan harus berdasarkan persetujuan. Akan tetapi, prakteknya persetujuan itu dibatasi ketat dan dapat dikatakan sebagai persetujuan yang terpaksa.

Hukum adalah sistem pengertian, satu sama lain saling terkait sehingga konsisten dan terpadu. Ketika sistem itu tidak konsisten, maka hukum tidak dapat memberikan tujuan yang diharapkan. Sehingga dibentuklah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai unifikasi pengaturan hukum perkawinan di Indonesia .

2. Pengertian Perkawinan

a. Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pengertian tersebut jelaslah terlihat bahwa dalam sebuah perkawinan memiliki dua aspek yaitu :

1. Aspek Formil (Hukum), hal ini dinyatakan dalam kalimat “ikatan lahirbatin”, artinya perkawinan disamping mempunyai nilai ikatan secara lahir tampak, juga mempunyai ikatan batin yang dapat dirasakan terutama oleh yang bersangkutan dan ikatan batin ini merupakan inti dari perkawinan itu.

(24)

10

yang erat sekali dengan kerohanian, sehingga bukan saja unsur jasmani tapi unsur batin berperan penting.4

b. Perkawinan menurut Hukum Islam

Kata perkawinan menurut istilah hukum Islam sama dengan kata nikah dan kata zawaj. Nikah menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya yakni dham yang berarti menghimpit, menindih atau berkumpul. Nikah mempunyai arti kiasan yakni wathaa yang berarti setubuh atau aqad yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan. Hakikat nikah adalah perjanjian antara calon suami isteri untuk membolehkan bergaul sebagai suami-isteri, guna membentuk suatu keluarga. Perkawinan merupakan perbuatan ibadah dalam kategori ibadah umum, dengan demikian dalam melaksanakan perkawinan harus diketahui dan dilaksanakan aturan-aturan perkawinan dalam Hukum Islam.5

4. Tujuan dan Syarat Perkawinan

a. Tujuan Perkawinan

Di dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami isteri adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.6

Pembentukan keluarga yang bahagia itu erat hubungannya dengan keturunan, dimana pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan kewajiban orang tua. Dengan demikian yang menjadi tujuan perkawinan menurut perundangan adalah untuk kebahagiaan suami isteri, untuk mendapatkan keturunan dan menegakkan keagamaan, dalam kesatuan keluarga yang bersifat parental (ke-orangtua-an). Hal mana berarti lebih

4

Ibid, hlm 14.

5

Abd. Shomad, Hukum Islam “Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia”, Jakarta: Kencana, 2010, hlm 275.

6

(25)

11

sempit dari tujuan perkawinan menurut Hukum Adat yang masyarakatnya menganut system kekerabatan yang bersifat patrinial (ke-bapak-an) seperti orang Batak, Lampung, Bali, dan sebagainya.7

Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan untuk kebahagiaan rumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan. 8

Tujuan perkawinan untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan dimaksud masih berlaku hingga sekarang, kecuali pada masyarakat yang bersifat parental, dimana ikatan kekerabatannya sudah lemah seperti berkalu dikalangan orang Jawa dan juga bagi keluarga-keluarga yang melakukan perkawinan campuran antara suku bangsa atau antara agama yang berbeda.

Menurut hukum Islam tujuan perkawinan adalah untuk menegakkan agama, untuk mendapatkan keturunan, untuk mencegah maksiat dan untuk membina keluarga rumah tangga yang damai dan teratur. Sebagian besar para ulama berpendapat bahwa perkawinan itu hukumnya sunnah (dianjurkan), tetapi jika anda takut terjerumus ke lembah perzinaan dan mampu untuk kawin maka hukumnya wajib, dan perkawinan itu haram jika anda dengan sengaja tidak member nafkah kepada isteri, baik nafkah lahir maupun nafkah batin.9

7

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: CV. Mandar Maju, 2007, hlm 21.

8

ibid hlm 22

9

(26)

12

b. Syarat Perkawinan

Menurut Hukum Islam yang pada umumnya berlaku di Indonesia, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilaksanakan di tempat kediaman mempelai, di masjid atau pun di kantor agama, dengan Ijab dan Kabul dalam bentuk akad nikah. Ijab adalah ucapan menikahkan dari wali calon isteri dan kabul adalah kata penerimaan dari calon suami. Ucapan Ijab dan Kabul dari kedua pihak harus terdengar di hadapan majelis dan jelas didengar oleh dua orang yang bertugas sebagai saksi akad nikah.

Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, syarat melangsungkan perkawinan adalah hal-hal yang harus dipenuhi jika akan melangsungkan sebuah perkawinan. Syarat-syarat tersebut yaitu:

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 Tahun harus mendapat ijin kedua orangtuanya/salah satu orang tuanya, apabila salah satunya telah meninggal dunia/walinya apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia.

3. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 Tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 Tahun. Kalau ada penyimpangan harus ada ijin dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.

4. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali memenuhi Pasal 3 Ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. 5. Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan

bercerai lagi untuk kedua kalinya.

(27)

13

Bagi yang beragama Islam, dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI) perkawinan harus ada:

Dilarang melakukan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang merupakan muhrim atau mahramnya yang terdiri dari:11

1. Diharamkan karena keturunan, yaitu: a. Ibu dan seterusnya keatas

b. Anak perempuan dan seterusnya kebawah

c. Saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu

d. Bibi (saudara ibu, baik sekandung atau perantaraan ayah atau ibu) e. Bibi (saudara ayah, baik sekandung atau perantaraan ayah atau ibu) f. Anak perempuan dari saudara laki-laki terus kebawah (kemenakan) g. Anak perempuan dari saudara perempuan terus kebawah.

2. Diharamkan karena sesusuan

Seorang laki-laki dilarang menikahi perempuan sesusunan yaitu: a. Ibu yang menyusui

b. Saudara perempuan yang mempunyai hubungan sesusuan

10

Beni Ahmad Saebeni, Perkawinan dalam Hukum Islam dan Undang-Undang, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hlm 143.

11

(28)

14

3. Diharamkan karena suatu perkawinan atau dalam istilah hukum larangan perkawinan karena alasan semenda yaitu:

a. Ibu isteri (mertua) dan seterusnya keatas baik ibu dari nasab maupun dari sesusuan b. Anak tiri (anak isteri yang dikawin dengan suami lain) jika sudah campur dengan

ibunya

c. Isteri ayah dan seterusnya keatas

d. Wanita-wanita yang pernah dinikahi ayah, kakek sampai keatas.

4. Diharamkan untuk sementara

Seorang laki-laki diharamkan untuk menikahi perempuan untuk sementara waktu, yaitu: a. Terdapan pertalian nikah yaitu perempuan masih berada dalam ikatan perkawinan

sampai ia dicerai dan habis masa iddahnya.

b. Talak bain kubra yaitu perempuan yang ditalak tiga haram dinikahi mantan suaminya kecuali telah dinikahi oleh laki-laki lain dan digauli. Apabila perempuan tersebut dicerai dan habis masa iddahnya barulah boleh dinikahi oleh mantan suaminya yang pertama. Sengan suatu catatan bahwa perkawinan dan perceraina si mantan isteri tersebut bukanlah rekayasa pihak mantan suami.

c. Menghimpun dua perempuan bersaudara dalam waktu yang bersamaan kecuali salah satunya telah dicerai atau meninggal dunia.

d. Menghimpun perempuan ebih dari empat.

(29)

15

B. Tinjauan Umum Pembatalan Perkawinan

1. Alasan pembatalan perkawinan

Pembatalan berasal dari kata batal, yaitu menganggap tidak sah, menganggap tidak pernah ada. Pembatalan perkawinan berarti menganggap perkawinan yang telah dilakukan sebagai peristiwa yang tidak sah, atau dianggap tidak pernah ada. Pasal 22 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa pembatalan perkawinan dapat dilakukan, bila para pihak tidak memenuhi syarat melangsungkan perkawinan.

Perkawinan dapat dibatalkan, bila:

a. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum yang terdapat pada Pasal 27 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

b. Salah satu pihak memalsukan identitas dirinya yang terdapat pada Pasal 27 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Identitas palsu misalnya tentang status, usia atau agama. c. Dalam Pasal 24 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Suami/isteri yang masih

mempunyai ikatan perkawinan melakukan perkawinan tanpa seizin dan sepengetahuan pihak lainnya.

d. Perkawinan yang tidak sesuai dengan syarat-syarat perkawinan yang terdapat pada Pasal 22 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

Sementara menurut Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam (KHI), perkawinan dapat dibatalkan apabila:

a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin pengadilan agama.

b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud (hilang).

(30)

16

d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang No 1 Tahun 1974.

e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.

f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

g. Perkawinan yang dilakukan dengan saudara kandung dari isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau isteri-isterinya.12

2. Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan

Berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, berikut ini adalah pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan:

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri. b. Suami atau isteri.

c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan. d. Pejabat pengadilan.

c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang.

d. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.13

12

(31)

17

C. Pengaturan dan Tata Cara Permohonan Perceraian di Indonesia

1. Tata Cara Permohonan Perceraian di Indonesia

Putusnya perkawinan karena perceraian, ada dua macam perceraian yaitu perceraian dengan talak dan perceraian dengan gugatan. Perceraian dengan talak biasa disebut cerai talak hanya berlaku bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, sedangkan bagi perceraian dengan gugatan biasa disebut cerai gugat berlaku bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan bukan agama Islam.14 Menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 menyatakan bahwa seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan siding guna menyaksikan ikrar talak. Pasal 39 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan, bahwa :

a. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. b. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri, tidak

akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pengertian perceraian adalah putusnya perkawinan yang sah karena suatu sebab tertentu oleh keputusan Hakim, yang dilakukan didepan sidang Pengadilan berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan oleh undang-undang serta telah didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil.

13

Ibid, hlm 136

14

(32)

18

Alasan-alasan yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan perceraian dapat diketahui dari penjelasan Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagai berikut :15

a. Salah satu pihak berbuat zinah atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya dan sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua Tahun berturut-turut, tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) Tahun atau hukuman

yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain.;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.

f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun kembali dalam rumah tangga.

Adapun prosedur pengajuan perceraian ke Pengadilan Agama16:

a. Membuat surat permohonan cerai talak ( apabila yang mengajukan suami ) atau gugatan cerai (apabila yang mengajukan isteri). Draf suratnya berbeda antara cerai talak dengan gugatan cerai. Buatlah copy rangkap 4 ( asli bermaterai Rp.6000,-). Siapkan Surat Nikah asli dan copynya yang sudah dibubuhi materai dan dicap di kantor pos, akta kelahiran anak asli dan copynya sudah dibubuhi materai dan dicap di kantor pos.

15

Lili Rasjidi, Alasan Perceraian Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Bandung: Alumni, 1983, hlm 5.

16

(33)

19

b. Datang ke Pengadilan Agama setempat ( sesuai KTP terakhir ) menghadap bagian pendaftaran perkara.

c. Membayar panjar perkara .

d. Minta tanda bukti pendaftaran berupa SKUM/kuitansi pembayaran dan copy surat permohonan cerai talak/gugatan cerai yang sudah diberi nomor perkara.

e. Setelah mendapatkan surat panggilan sidang datang bersama suami atau isteri ke Pengadilan Agama,

f. Kemudian hakim akan menunjuk hakim mediasi dan suami-isteri diperintahkan untuk mediasi dengan hakim mediasi.

g. Pada hari mediasi yang ditentukan datanglah berdua, sampaikan permasalahan dan lakukan mediasi. Maksud mediasi adalah untuk merukunkan kembali, apabila tidak rukun maka mediasi gagal.

h. Pada sidang kedua datanglah bersama, kemudian hakim akan menanyakan kembali hasil mediasi. Apabila bisa rukun/rujuk maka proses perkara berhenti. Apabila dilanjutkan , maka tergugat/termohon diminta hakim untuk menjawab permohonan/gugatan, bisa tertulis atau lisan. Untuk mempercepat proses mintalah jawaban lisan saja, kemudian anda diminta memberikan Replik (tanggapan jawaban Termohon/Tergugat). Apabila acara normal maka akan lama, bisa 6 – 8 kali sidang. Setelah selesai, hakim memerintahkan untuk menghadirkan saksi dari kedua belah pihak.

i. Saksi yang mendukung dalam proses perceraian dari pihak keluarga atau kerabat terdekat, jumlahnya 2 (dua) orang. Saksi tersebut adalah orang yang mengetahui pertengkaran/perselisihan atau masalah dalam keluarga anda.

(34)

20

(apabila kedua belah pihak hadir), sejak pemberitahuan putusan diterima pihak Tergugat/Termohon apabila pada saat putusan dibacakan lawan tidak hadir.

k. Apabila lawan banding dalam masa banding maka proses akan lama lagi yaitu perkara tersebut diperiksa di Pengadilan Tinggi Agama, demikian juga apabila lawan kasasi maka perkara akan diperiksa di Mahkamah Agung.

l. Setelah putusan tidak ada banding atau kasasi, maka putusan disebut inkrach/mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Anda tinggal tunggu akta cerai.

2. Pengajuan pembatalan perkawinan

Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan ke pengadilan (pengadilan agama bagi muslim dan pengadilan negeri bagi non-muslim) di dalam daerah hukum di mana perkawinan telah dilangsungkan atau di tempat tinggal pasangan (suami-isteri). Atau bisa juga di tempat tinggal salah satu dari pasangan baru tersebut.

Berdasarkan Pasal 38 Ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian. Jadi, tata cara yang dipakai untuk permohonan pembatalan perkawinan sama dengan tata cara pengajuan permohonan perceraian.

Kemudian dalam Ayat (3) Pasal tersebut dikatakan bahwa hal-hal yang berhubungan dengan pemanggilan, pemeriksaan pembatalan perkawinan dan putusan pengadilan, dilakukan sesuai dengan tata cara tersebut dalam Pasal 20 sampai Pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 .

(35)

21

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka tata cara pembatalan perkawinan tersebut diuraikan sebagai berikut:

1. Pengajuan gugatan

Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsunganya perkawinan, atau di tempat kedua suami-isteri, suami atau isteri.

2. Pemanggilan

Pemanggilan terhadap para pihak ataupun kuasanya dilakukan setiap kali akan diadakan persidangan. Pemanggilan tersebut dilakukan oleh juru sita bagi Pengadilan Negeri dan petugas yang ditunjuk bagi Pengadilan Agama. Pemanggilan harus disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan, apabila tidak dapat dijumpai, pemanggilan dapat disampaikan melalui surat atau yang dipersamakan dengannya. Pemanggilan tersebut harus dilakukan dengan cara yang patut dan sudah diterima oleh para pihak atau kuasanya, selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka, dan kepada tergugat harus pula dilampiri salinan surat gugatan. Pemanggilan terhadap para pihak dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali pemanggilan.

(36)

22

3. Mediasi

Mediasi adalah upaya penyelesaian konflik dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan yang membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah pihak. Sebelum dan selama perkara gugatan belum diputuskan, pengadilan harus berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara. Apabila tercapai suatu perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan pembatalan perkawinan yang baru berdasarkan alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu tercapainya perdamaian. Ketentuan tentang perdamaian ini memang sangat layak dan penting dimuat dalam gugatan pembatalan perkawinan ini, karena memang apabila mungkin supaya pembatalan perkawinan tersebut tidak terjadi. Di samping itu dalam acara perdata usaha mendamaikan oleh pengadilan terhadap yang berperkara juga diatur dan merupakan hal yang penting. Namun jenis perkara dalam Putusan No. 34/Pdt.G/2011/PA.Pdn adalah perkara kontensius berupa legalitas hukum, maka dalam proses penyelesaian perkara ini tidak wajib dilakukan mediasi.

4. Pembacaan Gugatan

(37)

23

5. Persidangan

Persidangan untuk memeriksa gugatan pembatalan perkawinan harus diakukan oleh pengadilan selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah diterimanya surat gugatan. Dalam menetapkan hari sidang, perlu diperhatikan tenggang waktu antara pemanggilan dan diterimanya panggilan itu oleh yang berkepentingan. Khusus bagi gugatan yang tergugatnya bertempat tinggal di luara negeri, persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya enam bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan pembatalan perkawinan.

Para pihak yang berperkara yakni suami dan isteri dapat mengahadiri sidang atau didampingi kuasanya atau sama sekali menyerahkan kepada kuasanya, dengan membawa akta nikah dan surat keterangan lainnya yang diperlukan. Apabila telah dilakukan pemanggilan yang sepatutnya, tapi tergugat atau kuasanya tidak hadir, maka gugatan itu dapat diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali kalau gugatan tersebut tanpa hak atau tidak beralasan. Pemeriksaan perkara gugatan pembatalan perkawinan dilakukan pada sidang tertutup.

6. Putusan

(38)

24

Putusan yang diberikan oleh Pengadilan Agama, dalam Pasal 36 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 ditentukan bahwa panitera Pengadilan Agama selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah pembatalan perkawinan diputuskan, menyampaikan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap itu kepada Pengadilan Negeri untuk dikukuhkan. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 September 1989, pengukuhan putusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri yang terdapat dalam ketentuan Undang-Undang Perkawinan, tidak diberlakukan lagi. Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama angka 6 yang menyebutkan bahwa Peradilan Agama adalah salah satu dari empat lingkungan peradilan negara yang dijamin kemerdekaannya dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

(39)

25

3. Batas waktu pengajuan

Menurut Pasal 27 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ada batas waktu pengajuan pembatalan perkawinan. Untuk perkawinan yang terjadi karena suami memalsukan identitasnya atau perkawinan terjadi karena adanya ancaman atau paksaan, maka pengajuan itu dibatasi hanya dalam waktu enam bulan setelah perkawinan terjadi. Jika sampai lebih dari enam bulan masih hidup bersama sebagai suami-isteri, maka hak untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dianggap gugur. Sementara itu, tidak ada pembatasan waktu untuk pembatalan perkawinan suami yang telah menikah lagi tanpa sepengetahuan isteri. Kapanpun isteri dapat mengajukan pembatalan perkawinan.

4. Pemberlakuan pembatalan perkawinan

Batalnya perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Artinya, anak-anak dari perkawinan yang dibatalkan, tetap merupakan anak yang sah dari suami. Menurut Pasal Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 berhak atas pemeliharaan dan pembiayaan serta waris.17

D. Akibat hukum pembatalan perkawinan

Terkait dengan akibat hukum pembatalan perkawinan, kiranya perlu di cermati permasalahan yang berkenaan dengan saat mulai berlakunya pembatalan perkawinan dimuat di dalam Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya

17

(40)

26

perkawinan. Selanjutnya permasalahan yang berkenaan dengan akibat hukum terhadap pembatalan perkawinan di muat dalam Pasal 28 Ayat (2) namun keputusan tidak berlaku surut terhadap :

1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

2. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;

3. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

1. Terhadap Anak

Anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang telah dibatalkan tidak berlaku surut, sehingga dengan demikian anak-anak ini dianggap sah, meskipun salah seorang tuanya beritikad atau keduanya beritikad buruk. Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 lebih adil kiranya bahwa semua anak yang dilahirkan, dalam perkawinannya yang dibatalkan, meskipun kedua orang tuanya beritikad buruk anak tersebut masih anak sah.

(41)

27

kewarganegaraannya tetap memiliki warganegara bapaknya, dan bagi warisan dan akibat perdata lainnya ia mengikuti kedudukan hukum orangtuanya.

2. Terhadap Harta Yang Diperoleh Selama Perkawinan

Mengenai harta benda dalam perkawinan terdiri atas tiga macam, yaitu:18

a. Harta bersama, yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan;

b. Harta bawaan, yaitu harta benda yang dibawa oleh masing-masing suami dan isteri ketika terjadi perkawinan;

c. Harta perolehan, yaitu harta benda yang diperoleh masing-masing suami dan isteri sebagai hadiah atau waris.

Pembahasan mengenai harta yang ada pada dan sebelum perkawinan serta setelah pembatalan perkawinan merupakan masalah yang perlu mendapatkan pemahaman mendalam, karena ini salah satu hal yang menyangkut perlindungan hak dan kewajiban para pihak. Dalam bidang harta kekayaan seseorang dan cara penyatuan atau penggabungan harta tersebut dengan harta orang lain dikenal dengan nama syirkah atau syarikah.

3. Terhadap Pihak Ketiga

Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Terhadap pihak ketiga yang beritikad baik pembatalan perkawinan tidak mempunyai akibat hukum yang berlaku surut, jadi segala perbuatan perdata atau perikatan yang

18

(42)

28

diperbuat suami isteri sebelum pembatalan perkawinan tetap berlaku, dan ini harus dilaksanakan oleh suami isteri tersebut, sehingga pihak ketiga yang beritikad baik tidak dirugikan.19

Pada Pasal 76 Kompilasi Hukum Islam (KHI) ditentukan bahwa batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Jelaslah bahwa di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara eksplisit mengandung dua pengertian pembatalan perkawinan, yaitu perkawinan batal demi hukum seperti yang termuat pada Pasal 70 dan perkawinan yang dapat dibatalkan (relatif) seperti yang terdapat pada Pasal 71. Dan pembatalan perkawinan tidak berpengaruh terhadap status anak yang telah mereka lahirkan seperti yang termuat pada Pasal 76 Kompilasi Hukum Islam (KHI).

E. KERANGKA FIKIR

Guna memperjelas dari pembahasan ini, maka penulis membuat kerangka pikir sebagai berikut:

19

http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/6369, diakses pada tanggal 17 Februari 2014 pukul 20:00 PEMBATALAN

PERKAWINAN

PERTIMBANGAN HAKIM AKIBAT HUKUM

(43)

29

Keterangan:

Pembatalan perkawinan berarti menganggap perkawinan yang telah dilakukan sebagai peristiwa yang tidak sah, atau dianggap tidak pernah ada. Pasal 22 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa pembatalan perkawinan dapat dilakukan, bila para pihak tidak memenuhi syarat melangsungkan perkawinan.

Dalam penelitian ini salah satu objek kajian yang akan diteliti mengenai pembatalan perkawinan antara Termohon I, umur 36 Tahun dengan Termohon II, umur 22 Tahun yang menikah pada tanggal 10 Desember 2009 dihadapan Pemohon, 48 Tahun yang bertindak sebagai wali nikah sekaligus Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Sibabangun. Pada tanggal 15 Desember 2010 pemohon sudah pindah tugas di kecamatan Pandan dan baru diketahui ternyata perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat sahnya akad nikah. Karena Termohon I telah menikah dengan Termohon III, umur 38 Tahun dan belum bercerai. Termohon III adalah kakak kandung dari termohon II. Termohon I dan Termohon II bekerjasama dengan Kepala Desa untuk dapat melaksanakan perkawinan dengan memalsukan identitas dengan alasan Termohon III tidak dapat memberikan keturunan. Dalam kasus ini pemohon merasa tertipu oleh karenanya mempunyai kepentingan hukum untuk mengajukan perkara permohonan pembatalan nikah kepada Pengadilan agama Pandan.

(44)

30

III. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan bersifat penelitian hukum normatif karena penelitian ini dilakukan dengan cara mengkaji dan menganalisis dari bahan- bahan pustaka yang berupa literatur dan perundang-undangan dan isi putusan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas, dalam hal ini adalah berkaitan dengan kronologis perkara, pertimbangan hakim, serta akibat hukum dari pembatalan perkawinan. Penelitian ini akan mengkaji permasalahan dengan melihat kepada norma, peraturan perundang-undangan dan literatur yang terkait dengan pembatalan perkawinan.

B. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Menurut Abdulkadir Muhammad, penelitian hukum deskriptif bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu dan pada saat tertentu yang terjadi dalam masyarakat.19 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi secara jelas dan rinci dalam memaparkan apa saja alasan terjadinya pembatalan perkawinan serta bagaimana pertimbangan hakim dan akibat hukum dari pembatalan perkawinan.Untuk itu,

19

(45)

31

pada penelitian ini akan menggambarkan alasan pembatalan perkawinan serta pertimbangan hakim dan akibat hukum dari pembatalan perkawinan.

C. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif-terapan yaitu penerapan ketentuan hukum normatif dari Putusan No. 34/Pdt.G/2011/PA.Pdn.

D. Data dan Sumber Data

Data yang di perlukan dalam penelitian hukum normatif adalah data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa:

1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hokum mengikat seperti peraturan perundang-undangan, isi dari putusan dan peraturan lain yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini antara lain:

a. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; b. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

c. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan.

d. Putusan No.: 34/Pdt.G/2011/PA.Pdn tentang Pembatalan Perkawinan.

(46)

32

3. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang melengkapi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti hasil penelitian, buletin, majalah, artikel-artikel di internet dan bahan-bahan lainnya yang sifatnya seperti karya ilmiah berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini.

E. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan diperoleh dengan menggunakan metode pengumpulan data:

a. Studi Pustaka, dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, menelaah dan mengutip peraturan perundang-undangan, buku-buku dan literatur yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas.

b. Studi Dokumen, adalah pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang tidak dipublikasikan secara umum, tetapi dapat diketahui oleh pihak tertentu. Pengkajian dan analisis informasi tertulis mengenai hukum yang tidak dipublikasikan secara umum berupa dokumen yang berkaitan dengan pokok bahasan penelitian ini terkait isi Putusan No. 34/Pdt.G/2011/PA.Pdn mengenai pembatalan perkawinan.

F. Metode Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari studi kepustakaan selanjutnya diolah dengan menggunakan metode sebagai berikut:

1. Pemeriksaan data, yaitu data yang diperoleh diperiksa apakah masih terdapat kekurangan serta apakah data tersebut telah sesuai dengan permasalahan; 2. Klasifikasi data, yaitu proses pengelompokkan data sesuai dengan bidang

(47)

33

3. Sistematisasi data, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada pokok bahasan secara sistematis sehingga memudahkan pembahasan.

G. Analisis Data

(48)

52

V. KESIMPULAN

Kesimpulan

Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mekanisme pembatalan perkawinan dalam perkara Putusan No. 34/Pdt.G/2011/PA.Pdn adalah Pemohon mengajukan permohonan pembatalan perkawinan karena Pemohon melihat perkawinan antara Termohon I dan Termohon II tidak sesuai dengan Hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, karena Termohon I telah menikah dengan Termohon III dan belum bercerai. Termohon III adalah kakak kandung dari termohon II. Termohon I dan Termohon II bekerjasama dengan Kepala Desa untuk dapat melaksanakan perkawinan dengan memalsukan identitas dengan alasan Termohon III tidak dapat memberikan keturunan. Dalam kasus ini Pemohon merasa tertipu oleh karenanya mempunyai kepentingan hukum untuk mengajukan perkara permohonan pembatalan nikah kepada Pengadilan Agama Pandan.

(49)

53

bahwa Termohon I masih jejaka sehingga perkawinan tersebut dapat dilangsungkan, namun ternyata Termohon I masih beristeri dan belum bercerai. Selain itu pemohon juga mengajukan alat bukti tertulis berupa Buku Kutipan Akta Nikah Nomor 56/05/III/2005 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pinangsari tanggal 14 Maret 2005 dan sampai saat ini belum pernah bercerai. Berkaitan dengan putusan, pertimbangan hakim yang dijatuhkan adalah menetapkan batalnya perkawinan antara Termohon I dan Termohon II, memerintahkan Turut Termohon (Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Sibabangun) untuk menarik Buku Kutipan Akta Nikah kedua belah pihak dan membebankan kepada Pemohon dengan membayar biaya perkara sebesar Rp 391.000 (tiga ratus sembilan puluh satu ribu rupiah).

(50)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku/Literatur

Hadikusuma, Hilman, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia, CV.Mandar Maju, Bandung.

K.Wantjik Saleh, 1982, Hukum Perkawinan Indonesia.

Muhammad, Abdulkadir, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum Dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Prodjohamidjojo, MR Martiman, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia (Edisi Revisi),

Karya Gemilang, Jakarta.

Raharjo, Sajtipto, 1979, Hukum dan Perubahan Sosial , Alumni, Bandung.

Ria, Wati Rahmi, 2007, Hukum Islam dan Islamologi, CV. Sinar Sakti, Bandar Lampung.

Ria, Wati Rahmi, 2011, Hukum Islam dan Islamologi, CV. Sinar Sakti, Bandar Lampung.

Saebeni, Beni Ahmad, 2008, Perkawinan dalam Hukum Islam dan Undang-Undang

“Perspektif Fiqh Munakahat dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang

Poligami dan Problematikanya”, Pustaka Setia, Bandung.

Shomad, Abd., 2010, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Kencana, Jakarta.

(51)

T.O.Ihromi, 1999, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Tutik, Titik Triwulan, 2008, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana, Jakarta.

B. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kompilasi Hukum Islam

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Putusan No. 34/Pdt.G/2011/PA.Pdn

Web

http://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisa GC-MS menunjukkan bahwa dengan penambahan jumlah katalis maka akan meningkatkan jumlah komponen yang terkandung pada bio-oil hasil pyrolisis tongkol

Seleksi terhadap tanaman untuk produksi tinggi tidak efektif bila pengaruh lingkungan begitu besar sehingga menutupi variasi genetik dimana keragaman sifat kuantitatif yang

5 Tahun 2010 menyebutkan bahwa infrastruktur merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional untuk mendorong pertumbuhan perekonomian dan sosial yang berkeadilan

Keseimbangan lini produksi bertujuan untuk membuat waktu idle pada setiap workstation menjadi sesingkat mungkin, sehingga dapat mencapai efisiensi kerja yang tinggi untuk setiap

b) Sosialisasi tatap muka yang terdiri dari tatap muka bersama pemilih pemula, sosialisasi bersama organisasi perempuan, sosialisasi bersama organisasi masyarakat, organisasi

Integrated adalah Integrated adalah pengambilan secara bersamaan sumb pengambilan secara bersamaan sumber data yang er data yang  berasal dari sistem aplikasi berbagai

Jamban sehat adalah tempat fasilitas pembuangan tinja yang mencegah kontaminasi ke badan air, mencegah kontak antara manusia dan tinja, membuat tinja tersebut tidak dapat dihinggapi

Terampil jika menunjukkan sudah ada usaha untuk menerapkan konsep/prinsip dan strategi pemecahan masalah yang relevan yang berkaitan dengan menentukan diagonal