• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PRAPERADILAN DALAM MEMUTUS SAH TIDAKNYA PENETAPAN TERSANGKA TINDAK PIDANA KORUPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PRAPERADILAN DALAM MEMUTUS SAH TIDAKNYA PENETAPAN TERSANGKA TINDAK PIDANA KORUPSI"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PRAPERADILAN DALAM MEMUTUS SAH TIDAKNYA PENETAPAN TERSANGKA TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh

OKTAVIA FERONIKA SINURAT

Praperadilan merupakan lembaga yang lahir untuk mengadakan tindakan pengawasan terhadap aparat penegak hukum agar dalam melaksanakan kewenangannya tidak menyalahgunakan wewenang. Berdasarkan pelaksanaannya diatur di dalam Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebagai contoh kasus, penulis mengangkat mengenai praperadilan yang diajukan oleh seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi. Penetapan tersangka sendiri tidak diatur di dalam KUHAP sebagai objek praperadilan. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam skripsi ini adalah apakah lembaga praperadilan berwenang memutus sah tidaknya penetapan tersangka tindak pidana korupsi dan apakah faktor penghambat yang ditemui lembaga praperadilan dalam memutus sah tidaknya penetapan tersangka tindak pidana korupsi.

Metode penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian yuridis normatif dan penelitian yuridis empiris. Sumber data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Penelitian dilakukan dengan studi lapangan melalui wawancara dengan narasumber dari Hakim Pengadilan Negeri Klas 1A Tanjungkarang dan Akademisi Hukum Pidana dan Perdata Fakultas Hukum Universitas Lampung.

(2)

penghambat dalam pelaksanaan penegakan hukumnya yaitu: aspek substansi peraturan hukum, aspek substansi aparat penegak hukum, aspek sarana dan fasilitas, masyarakat, dan budaya hukum. Selain itu hambatan yang ditemukan lembaga praperadilan dalam sidang praperadilan contohnya tidak hadirnya salah satu pihak. Hal ini menjadi penghambat mengingat acara pemeriksaan praperadilan sendiri dilakukan dengan acara cepat.

Berdasarkan hal tersebut, maka diharapkan para penegak hukum dalam melaksanakan tugas dalam menegakkan hukum lebih teliti dan hati-hati baik hakim, penyelidik, maupun penyidik dalam menetapkan status tersangka kepada seseorang, jangan sampai terjadinya pelanggaran hak asasi di dalamnya dan lembaga yang membuat peraturan diharapkan lebih teliti dalam membuat peraturan karena ketidakjelasan peraturan akan menimbulkan kelemahan terhadap kepastian hukum.

(3)

ANALISIS PRAPERADILAN DALAM MEMUTUS SAH TIDAKNYA PENETAPAN TERSANGKA TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh

OKTAVIA FERONIKA SINURAT

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

UNIVERSITAS LAMPUNG FAKULTAS HUKUM

(4)
(5)
(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 29.Oktober 1994, sebagai anak ketiga dari lima bersaudara, dari Bapak Longse Sinurat dan Ibu Mutianna Sidabutar.

Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) Xaverius 1 diselesaikan tahun 2000, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD Xaverius 1 Bandar Lampung pada tahun 2006, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Xaverius 1 Bandar Lampung pada tahun 2009, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Bodhisattva Bandar Lampung pada tahun 2012.

(7)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan hasil karyaku yang sederhana ini kepada kedua orang tuaku tercinta yang telah mencurahkan segenap kasih sayang, tenaga, waktu, pikiran, dan motivasi demi keberhasilanku. Keluargaku tempat aku bernaung, berbagi

(8)

Fiat justitia, et pereat mundus.

Keadilan akan tetap ada meskipun dunia akan musnah. (Philipp Melanchthon)

Apabila engkau sukses, engkau mungkin akan mempunyai musuh dan teman-temanmu iri hati atau cemburu. Tetapi teruskanlah kesuksesanmu itu.

(Mother Teresa)

Never give up on what you really want to do. The person with big dream is more powerful then the one with all facts.

Jangan pernah menyerah pada apa yang sebenarnya kamu ingin lakukan. Seseorang dengan mimpi besar lebih bertenaga daripada orang dengan semua

(9)

SANWACANA

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena dengan pertolongan-Nya skripsi ini dapat diselesaikan.

Skripsi dengan judul “Analisis Praperadilan Dalam Memutus Sah Tidaknya

Penetapan Tersangka Tindak Pidana Korupsi” adalah salah satu syarat untuk

memperoleh gelar sarjana hukum di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati M., S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H., selaku Pembimbing Pertama atas kesediaanya untuk memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini.

4. Ibu Firganefi, S.H., M.H., selaku Pembimbing Kedua atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini.

(10)

atas saran dan masukannya.

7. Ibu Diane Eka Rusmawati, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing Akademik. Terimakasih atas bimbingannya selama Penulis menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung. Terimakasih telah memberikan pengetahuan ilmu hukum yang sangat berguna selama penulis menjalani studi.

9. Seluruh pegawai/staff Fakultas Hukum Universitas Lampung atas bantuan dan kerja samanya selama ini.

10. Terima kasih kepada orang tuaku yang telah memberi dukungan dan doa selama ini.

11. Terima kasih kepada kakakku Juliana Angelia Sinurat., S.H, abangku Lastua Ryanto Sinurat, S.H, dan adik-adikku Andreas Jefri Gomos Sinurat, Jordan Ricardo Sinurat atas dukungan dan doa selama ini.

12. Sahabat-sahabatku Sima Fellica Sinaga, Monica Sylvia, Ajeng Mareta, Meri terimakasih untuk dukungan, doa, serta kebersamaan selama ini, semoga kita dapat meraih kesuksesan kelak.

13. Sahabat- sahabat terdekatku saat kuliah Ni Made Ayu Sumerti, Rahmi Yuniarti, Ratu Permata D, Ria Lestari aku akan merindukan saat-saat bersama kalian.

(11)

FORMAHKRIS, HIMA PIDANA, dan Angkatan 2012 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu terimakasih untuk kebersamaannya selama ini; 16. Teman-teman satu kelompok KKN (Agnes Maludfi Putri, Berri Adiwasa,

Rensius Febriandi, Yeen Gustiance) dan seluruh warga Bakung Rahayu (Pak Oktori dan keluarga, para perangkat desa, dan lain-lain). Terimakasih untuk 40 hari kerja sama dan kebersamaan yang tidak akan terlupakan.

17. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam proses penyelesaian studi ini.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, Februari 2016 Penulis

(12)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Tinjauan Terhadap Praperadilan

1. Pengertian dan Sejarah Praperadilan

Praperadilan merupakan hal yang baru dalam dunia peradilan Indonesia. Praperadilan merupakan salah satu lembaga baru yang diperkenalkan KUHAP di tengah-tengah penegak hukum. Menurut Pasal 1 butir (10) KUHAP menyatakan: Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;

b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Praperadilan tidak diatur di dalam ketentuan Herziene Inlands Reglement (HIR).21

Hal ini dapat dimengerti, bahwa perbedaan tersebut dapat terjadi oleh karena HIR diciptakan dalam suasana zaman kolonial Belanda, yang pada dasarnya produk hukum serta perangkat-perangkat sarananya dibentuk sedemikian rupa sehingga menguntungkan pihak yang berkuasa, dalam hal ini pihak penjajah.22

21

R. Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Ganti Kerugian dalam KUHAP, Bandung: Mandar Maju , 2003, hlm. 6.

22

(13)

Gagasan lembaga praperadilan lahir dari inspirasi yang bersumber dari adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya hak kemerdekaan. Habeas Corpus Act memberikan hak pada seseorang untuk melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut (menantang) pejabat yang melakukan penahanan atas dirinya (polisi ataupun jaksa) membuktikan bahwa penahanan tersebut adalah tidak melanggar hukum (ilegal) atau tegasnya benar-benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini untuk menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak-hak asasi manusia. Surat perintah habeas corpus ini dikeluarkan oleh pengadilan pada pihak yang sedang menahan (polisi atau jaksa) melalui prosedur yang sederhana langsung dan terbuka sehingga dapat dipergunakan oleh siapapun. Bunyi surat perintah habeas corpus (the writ of habeas corpus) adalah sebagai

berikut: “Si tahanan berada dalam penguasaan Saudara. Saudara wajib membawa

orang itu di depan pengadilan serta wajib menunjukan alasan yang menyebabkan penahanannya”.

(14)

dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi saat itu dimana sering terjadi perkosaan hak asasi tersangka atau terdakwa oleh penyidik dan jaksa penuntut umum, karena tidak adanya suatu lembaga atau mekanisme yang dapat menilai dan menguji apakah tindakan upaya paksa yang dilakukan telah sesuai dengan ketentuan hukum atau tidak. Seorang tersangka atau terdakwa yang ditangkap atau ditahan, seolah-olah berada dalam suatu “ruangan gelap” dan tidak berdaya sama sekali (helpless).

Sidang praperadilan yang diadakan atas permintaan tersangka atau terdakwa ataupun keluarganya ataupula atas kuasanya merupakan suatu forum yang terbuka, yang dipimpin seorang hakim atau lebih untuk memanggil pihak penyidik atau jaksa penuntut umum yang telah melakukan upaya paksa agar mempertanggungjawabkan tindakannya dimuka forum yang bersangkutan, apakah benar-benar beralasan dan berlandaskan hukum. Dengan sistem pengujian melalui sidang terbuka ini, maka tersangka atau terdakwa seperti halnya dalam Habeas Corpus Act, dijamin hak asasinya berupa hak dan upaya hukum untuk melawan perampasan atau pembatasan kemerdekaan yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh penyidik ataupun penuntut umum.

(15)

adanya alasan yang nyata dan konkrit bahwa si pelaku akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau mengulangi kejahatannya.23

Menurut KUHAP, tidak ada ketentuan dimana hakim praperadilan melakukan pemeriksaan pendahuluan, penggeledahan, penyitaan, dan seterusnya yang bersifat pemeriksaan pendahuluan. Ia tidak pula menentukan apakah suatu perkara cukup alasan ataukah tidak untuk diteruskan ke pemeriksaan sidang pengadilan.24

Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981, Hukum Acara Pidana didasarkan atas HIR yang dipakai sebagai pedoman saja. Menurut R. Subekti, hukum pidana harus mengatur:

a. Cara-cara mendapatkan keterangan-keterangan tentang suatu tindak pidana untuk mengetahui siapa pembuatnya dan keadaannya dalam mana perbuatannya dilakukan.

b. Cara-caranya membuat dan menyelesaikan surat-surat pemeriksaan permulaan.

c. Cara-caranya menuntut si tersangka di muka hakim.

d. Bagaimana dilakukannya pemeriksaan di muka sidang pengadilan hingga hakim itu mencapai putusannya.

e. Bagaimana menjalankan putusannya itu.25

Sesuai dengan tujuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang lebih baik yang memberi perlindungan kepada hak-hak asasi dalam keseimbangan dengan kepentingan umum, maka dalam KUHAP ini terdapat perbedaan yang fundamental dengan HIR, terutama mengenai perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Salah satu asas terpenting dalam hukum acara pidana ialah asas

23

http://jodisantoso.blogspot.com, diakses pada tanggal 27 Agustus 2015, pukul 11.10.

24

Andi Hamzah, Op.Cit, hlm.189.

25

(16)

praduga tak bersalah yang terdapat dalam Pasal 8 Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehakiman.26

2. Acara Praperadilan

Acara praperadilan untuk ketiga hal, yaitu pemeriksaan sah tidaknya suatu penangkapan atau penahanan (Pasal 79 KUHAP), pemeriksaan sah tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan (Pasal 80 KUHAP), pemeriksaan tentang ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan (Pasal 81 KUHAP) ditentukan beberapa hal berikut.

1. Tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang.

2. Memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang.

3. Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya.

26

(17)

4. Perkara yang sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai maka permintaan tersebut gugur.

5. Putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru (semua yang tersebut pada butir 1 sampai dengan 5 ini diatur dalam Pasal 82 ayat (1) KUHAP).

6. Putusan hakim dalam acara pemeriksaan peradilan dalam ketiga hal tersebut di muka harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya (Pasal 82 ayat (2) KUHAP).

7. Selain daripada yang tersebut pada butir 6, putusan hakim ini memuat pula: a. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau

penahanan tidak sah maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka;

b. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;

c. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya;

(18)

tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita.

3. Tujuan Penciptaan Lembaga Praperadilan dalam KUHAP

Setiap hal yang baru, tentu mempunyai suatu maksud dan tujuan atau motivasi tertentu. Pasti ada yang hendak dituju dan dicapai. Tidak ada sesuatu yang ingin diciptakan tanpa didorong oleh maksud dan tujuan. Demikian pula halnya dengan pelembagaan praperadilan. Ada maksud dan tujuan yang hendak ditegakkan dan dilindungi.27

a. Perlindungan hak-hak asasi manusia, terutama mereka yang terlibat di dalam perkara pidana, khususnya pada tahap penyidikan dan penuntutan.

b. Alat kontrol terhadap penyidik atau penuntut umum terhadap penyalahgunaan wewenang olehnya.

Tindakan upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum merupakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi tersangka, tindakan itu harus dilakukan secara bertanggung jawab menurut ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku (due process of law). Prinsip yang terkandung pada praperadilan bermaksud dan tujuan guna melakukan tindakan pengawasan horizontal untuk mencegah tindakan hukum upaya paksa yang berlawanan dengan undang-undang.28 Oleh karena itu dasar dari adanya lembaga praperadilan ini adalah merupakan suatu cerminan pelaksanaan dari asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent) sehingga tiap orang yang diajukan sebagai terdakwa

27

M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, 2012, Jakarta: Sinar Grafika, hlm.3.

28

(19)

telah melalui proses awal yang wajar dan mendapat perlindungan harkat manusianya dan merupakan suatu lembaga yang melakukan pengawasan horizontal atas tindakan upaya paksa yang dilakukan terhadap tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan undang-undang.29

Tujuan utama adanya hak-hak tersangka/ terdakwa adalah untuk mengakui dan menjamin terhadap harkat dan martabat manusia (human dignity), baik selaku individu maupun sebagai anggota masyarakat. Pengakuan dan jaminan terhadap harkat dan martabat tersebut, merupakan HAM baik bersifat nasional maupun bersifat universal atau internasional. Pengakuan terhadap harkat dan martabat yang selanjutnya disebut HAM tersebut, tidak terbatas dalam arti politik, ekonomi tetapi juga dalam arti hukum umumnya, dan kehidupan hukum pidana khususnya (dalam proses peradilan pidana),30di samping itu hak-hak tersangka/terdakwa dapat juga dikatakan memiliki tujuan untuk membatasi kekuasaan atau sebagai rintangan (obstacle) bagi penegak hukum (law enforcement officials) yang berbentuk represif dalam proses penegakan hukum dimana dilakukan secara sewenang-wenang atau melawan hukum.31

4. Wewenang Praperadilan

Berdasarkan dari segi struktur dan susunan peradilan, praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri. Bukan pula sebagai instansi tingkat peradilan

29

S. Tanusubroto, Op.cit, hlm.3.

30

Kadri Husin dan Rizki Husin, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, 2012, Bandar Lampung: Lembaga Penelitian Universitas Lampung, hlm. 174.

31Ibid

(20)

yang mempunyai wewenang memberi putusan akhir atas suatu kasus peristiwa pidana. Praperadilan hanya suatu lembaga baru yang ciri dan eksistensinya:

a) Berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri, dan sebagai lembaga pengadilan, hanya dijumpai pada tingkat Pengadilan Negeri sebagai satuan tugas yang tidak terpisah dari Pengadilan Negeri.

b) Praperadilan bukan berada di luar atau di samping maupun sejajar dengan Pengadilan Negeri, tapi hanya merupakan divisi dari Pengadilan Negeri, administratif yustisial, personil, peralatan, dan finansial bersatu dengan Pengadilan Negeri, dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan dan pembinaan Ketua Pengadilan Negeri.

c) Tata laksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi yustisial Pengadilan Negeri itu sendiri.32

KUHAP tidak bertitik tolak pada orientasi kekuasaan. Fungsi wewenang, dan kekuasaan yang diberikan KUHAP kepada masing-masing jajaran aparat penegak hukum, diseimbangkan dengan pemberian hak yang sah dan legal kepada setiap tersangka atau terdakwa. Ini harus benar-benar diresapi oleh semua jajaran aparat penegak hukum. Bahwa dominannya asas keseimbangan sebagai titik sentral dalam KUHAP , merupakan keinginan dan tujuan pembuat undang-undang untuk membatasi penumpukan kekuasaan.33

Pengadilan melalui lembaga praperadilan ikut memainkan peranan dalam membatasi kecenderungan penyalahgunaan dan kecongkakan kekuasaan yang dilakukan aparat penyidik atau penuntut umum. Wewenang pertama yang telah diberikan oleh KUHAP yang memeriksa dan memutus sah tidaknya suatu penangkapan atau penahanan yang dilakukan oleh penyidik. Dalam hal penangkapan, seseorang dapat mengajukan pemeriksaan kepada praperadilan tentang ketidakabsahan penangkapan yang dilakukan terhadap dirinya.

32

M.Yahya Harahap,Op.Cit, hlm. 1.

33

(21)

M. Yahya Harahap menjelaskan kriteria suatu penangkapan dianggap tidak sah: a) Apabila dalam melakukan penangkapan, seorang penyidik tidak menyertakan

surat tugas dan surat perintah penangkapan untuk diperlihatkan kepada tersangka, selain itu jika tembusan surat penangkapan tidak diberikan kepada pihak keluarganya.

b) Apabila batas waktu penangkapan lewat satu hari maka dapat dimintakan pemeriksaan kepada praperadilan.34

Pasal 79 dan Pasal 80 KUHAP mengatur hal mengenai yang berwenang mengajukan praperadilan.

Pasal 79

Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarganya atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.

Pasal 80

Pemeriksaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.

Berdasarkan pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan yang berhak mengajukan praperadilan:

a. Tersangka, keluarga atau kuasa hukumnya b. Penyidik atau penuntut umum

c. Pihak ketiga yang berkepentingan.35

Demi tegaknya the rule of law, maka siapapun yang bersalah harus dihukum, demikian juga apabila penyidik ataupun penuntut umum salah dalam menjalankan

34Ibid.

, hlm 160.

35

(22)

tugas penyidikan ataupun penuntutan akan dapat dituntut oleh mereka yang dirugikan (baik tersangka maupun pihak ketiga) selama penyidikan ataupun penuntutan itu berlangsung.36

5. Praperadilan Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan terpidana korupsi kasus proyek biomediasi PT Chevron Bachtiar Abdul Fatah yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan yang menjadi polemik terutama pasca putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang membatalkan status tersangka Budi Gunawan. Mahkamah Konstitusi di dalam isi putusannya menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti

permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal

17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.

36

(23)

Saat KUHAP diberlakukan pada tahun 1981, penetapan tersangka belum menjadi isu krusial dan problematik dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Upaya paksa pada masa itu secara konvensional dimaknai sebatas pada penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutan, namun pada masa sekarang bentuk upaya paksa telah mengalami berbagai perkembangan atau modifikasi yang salah satu bentuknya adalah penetapan tersangka oleh penyidik yang dilakukan oleh negara dalam bentuk pemberian label atau status tersangka tanpa tersedianya kesempatan baginya untuk melakukan upaya hukum untuk menguji legalitas dan kemurnian tujuan dari penetapan tersangka tersebut. Padahal hukum harus mengadopsi tujuan keadilan dan kemanfaatan secara bersamaan sehingga jika kehidupan sosial kompleks maka hukum perlu lebih dikonkretkan secara ilmiah dengan menggunakan bahasa yang lebih baik dan sempurna. Dengan kata lain, prinsip kehati-hatian haruslah dipegang teguh oleh penegak hukum dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.37

B. Tinjauan Terhadap Korupsi

1. Pengertian Korupsi dan Sifat Korupsi

Ensiklopedia Indonesia disebut “Korupsi” ( dari bahasa Latin : corruptio =

penyuapan; corruptore = merusak) gejala di mana para pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harafiah dari korupsi dapat berupa:

37

(24)

a) Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran.

b) Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan sogok, dan sebagainya.

1. Korup ( busuk; suka menerima uang suap/ uang sogok; memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya);

2. Korupsi ( perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya);

3. Koruptor ( orang yang korupsi).38

Secara harafiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya, dengan demikian, secara harafiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas.

1. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain.

2. Korupsi: busuk; rusak; suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepastian pribadi). Adapun menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam Kamus Hukum, yang

38

(25)

dimaksud curruptie adalah korupsi; perbuatan curang; tindak pidana yang merugikan keuangan negara.

Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. Kesimpulan ini diambil dari definisi yang dikemukakan antara lain berbunyi, financial manipulations and deliction injurious to the economy are often labeled corrupt (manipulasi dan keputusan mengenai keuangan yang membahayakan perekonomian sering dikategorikan perbuatan korupsi).39

Sifat Korupsi

Baharuddin Lopa dalam bukunya Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum membagi korupsi menurut sifatnya dalam 2 (dua) bentuk, yaitu sebagai berikut: a) Korupsi yang Bermotif Terselubung

Yakni korupsi secara sepintas kelihatannya bermotif politik, tetapi secara tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan uang semata.

b) Korupsi yang Bermotif Ganda

Yaitu seseorang melakukan korupsi secara lahiriah keliatannya hanya bermotifkan mendapatkan uang, tetapi sesungguhnya bermotif lain, yakni kepentingan politik.

2. Ciri-Ciri Korupsi dan Faktor-Faktor Penyebab Korupsi

Ciri-ciri korupsi dijelaskan oleh Shed Husein Alatas dalam bukunya Sosiologi Korupsi sebagai berikut :

a) Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama dengan kasus pencurian. Seorang operator yang korup sesungguhnya tidak ada dan kasus itu biasanya termasuk dalam pengertian penggelapan (fraud). b) Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah

merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada di dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya. Namun, walaupun demikian motif korupsi tetap dijaga kerahasiannya.

39Ibid

(26)

c) Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang.

d) Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum. e) Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tega dan mampu

untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.

f) Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum (masyarakat).

g) Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.

Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut: a) Lemahnya pendidikan agama dan etika.

b) Kolonialisme. Suatu pemerintahan asing tidak menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.

c) Kurangnya pendidikan. Namun kenyataannya sekarang kasus-kasus korupsi di Indonesia dilakukan oleh para koruptor yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, terpelajar, dan terpandang sehingga alasan ini dapat dikatakan kurang tepat.

d) Kemiskinan. Pada kasus korupsi yang merebak di Indonesia, para pelakunya bukan disadari oleh kemiskinan melainkan keserakahan, sebab mereka bukanlah dari kalangan yang tidak mampu melainkan para konglomerat.

e) Tidak adanya sanksi yang keras.

f) Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku antikorupsi. g) Struktur pemerintahan.

h) Perubahan radikal. Pada saat sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit transisional.

i) Keadaan masyarakat. Korupsi dalam suatu birokasi bisa mencerminkan keadaan masyarakat secara keseluruhan.40

3. Penetapan Tersangka Tindak Pidana Korupsi

Menurut Pasal 1 butir (14) KUHAP, “Tersangka adalah seorang yang karena

perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”.

Pasal 17 KUHAP menyatakan bahwa :

“Bukti permulaan yang cukup ialah bukti permulaan untuk menduga

adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir (14).”

40Ibid

(27)

Pasal ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.

Alat bukti yang sah diatur dalam Pasal 184 KUHAP sebagai berikut: (1) Alat bukti yang sah adalah:

a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan Terdakwa

(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Menurut Chairul, penetapan tersangka termasuk dari bentuk tindakan lain yang diatur dalam KUHAP. Sebenarnya, menurut Chairul, KUHAP membuka peluang untuk mengisi (tindakan lain), walaupun memang di penjelasan disebutkan diantarnya penggeledahan, penyitaan, memasuki rumah atau penahanan. Namun, itu bukan norma yang membatasi tindakan lain yang disebut dalam KUHAP.41

Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan ini berbunyi, dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang:

a) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;

b) mendapatkan perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau

c) menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

41

(28)

Pasal 44 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menjelaskan bahwa :

“Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila ditemukan

sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik.”

Pasal 63 ayat (1) dan (2) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal ini menyebutkan seseorang yang dirugikan akibat penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan yang dilakukan KPK secara bertentangan dengan hukum dan UU KPK, yang bersangkutan berhak mengajukan gugatan rehabilitasi atau kompensasi. Gugatan ini tak mengurangi hak orang yang dirugikan untuk mengajukan gugatan praperadilan jika terdapat alasan-alasan yang ditentukan KUHAP.

C. Faktor Penghambat Penegakan Hukum

(29)

hukum adalah undang-undang, sumber hukum adalah undang-undang sehingga yang dapat menghapuskan sifat melawan hukum adalah undang-undang.42

Penegakan hukum pidana menurut Barda Nawawi Arief identik dengan fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana dapat dartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana dapat terwujud secara konkret. Istilah fungsionalisasi hukum pidana dapat diidentikkan dengan istilah operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana yang pada hakekatnya sama dengan penegakan hukum pidana.

Apabila dikaitkan dengan pendapat Lawrence Friedman tentang sistem hukum yang terdiri dari subsansi, struktur dan kultur hukum maka penegakan hukum pidana adalah merupakan upaya untuk membuat substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum pidana dapat terwujud secara konkret. Penegakan hukum tindak pidana korupsi dapat diartikan pula sebagai konkritisasi terhadap sistem hukum yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yaitu usaha untuk mewujudkan substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi secara konkret.43

Terhadap sistem peradilan pidana yang terdiri dari sub sistem kepolisian, kejaksaan dan pengadilan maka kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi muncul sebagai sistem tersendiri yang terpisah dari sistem peradilan pidana dan mempunyai fungsi yang sama dengan sistem peradilan pidana yang konvensional dalam hal penyelesaian tindak pidana korupsi.44

42

Kadri Husin dan Rizki Husin, Op.Cit, hlm. 152.

43

Maroni dan Eddy Rifai, Studi Penegakan dan Pengembangan Hukum, Bandar Lampung: Universitas lampung, 2013, hlm. 9-10.

44 Ibid.,

(30)

Penelitian Hukum adalah suatu penelitian yang mempunyai obyek hukum, baik hukum sebagai suatu ilmu atau aturan-aturan yang sifatnya dogmatis maupun hukum yang berkaitan dengan perilaku dan kehidupan masyarakat. Menurut pendapat Soerjono Soekanto, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya.45

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan secara teoritis dengan cara studi kepustakaan yang berpedoman pada buku-buku atau literatur hukum, peraturan-peraturan yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Sedangkan pendekatan yuridis empiris adalah metode penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan data primer.

45

(31)

B. Sumber dan Jenis data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung di lapangan oleh peneliti sebagai obyek penulisan. Data ini diperoleh melalui wawancara sebagai pendukung penelitian ini. Data sekunder adalah data yang tidak langsung memberikan data kepada peneliti, misalnya penelitian harus melalui orang lain atau mencari melalui dokumen. Data ini diperoleh dengan menggunakan studi literatur yang dilakukan terhadap banyak buku dan diperoleh berdasarkan catatan-catatan yang berhubungan dengan penelitian, mempergunakan data yang diperoleh dari internet.46

Bahan hukum tersebut terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum tetap mengikat, yaitu meliputi:

1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.

46

(32)

5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

6) Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang mempelajari penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu meliputi:

1) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang berguna untuk memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berupa pendapat para sarjana dalam berbagai literatur, dokumen, dan sumber internet.

C. Penentuan Narasumber

Narasumber adalah orang yang memberi (mengetahui secara jelas atau menjadi sumber). Adapun narasumber dari penelitian ini terdiri dari :

1. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang Klas IA : 1 orang 2. Akademisi Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila : 2 orang 3. Akademisi Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Unila : 1 orang

(33)

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Berdasarkan pendekatan masalah dan sumber data yang dibutuhkan, maka pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi pustaka, studi dokumen, serta wawancara.

1. Studi pustaka (Library Research)

Data sekunder didapatkan dan dikumpulkan melalui studi pustaka dengan melakukan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari literature peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan.

2. Wawancara

Dilakukan dengan pihak-pihak yang memahami dengan permasalahan yang sedang diteliti. Hal ini dilakukan sebagai data pendukung dengan mengajukan pertanyaan secara lisan, maupun dengan menggunakan pedoman pertanyaan secara tertulis.

2. Pengolahan Data

Setelah melakukan pengumpulan data, selanjutnya pengolahan sehingga data yang didapat dipergunakan untuk menganalisis permasalahan yang diteliti yang pada umumnya dilakukan dengan cara47 :

47

(34)

1. Pemeriksaan data (editing), yaitu melakukan pemeriksaan data yang terkumpul apakah sudah cukup lengkap, sudah cukup benar, dan sudah sesuai dengan permasalahan.

2. Rekonstruksi data (reconstructing), yaitu menyusun ulang data secara teratur, berurutan, logis, sehingga mudah dipahami dan diinterpretasikan.

3. Sistematisasi data (sistematizing), yaitu menempatkan data menurut kerangka sistematika bahasan berdasarkan uraian masalah.

E. Analisis Data

(35)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Praperadilan merupakan lembaga yang lahir untuk mengadakan tindakan pengawasan terhadap aparat penegak hukum agar dalam melaksanakan kewenangannya tidak menyalahgunakan wewenang, oleh sebab itu dalam pelaksanaannya diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kegiatan Penyidik yang implementasinya dapat berupa, misalnya penangkapan bahkan penahanan, maka hukum acara pidana melalui ketentuan-ketentuan yang sifatnya memaksa menyingkirkan asas yang diakui secara universal yaitu hak kebebasan seseorang. Hukum acara pidana memberikan hak kepada pejabat tertentu untuk menahan tersangka atau terdakwa dalam rangka melaksanakan hukum pidana materiil guna mencapai ketertiban dalam masyarakat.1

Pentingnya diadakan suatu pengawasan atau kontrol terhadap aparat penegak hukum dalam melakukan tugasnya. Sebenarnya secara otomatis pengawasan atau kontrol terhadap tiap aparat penegak hukum telah melekat pada lembaga dimana aparat penegak hukum itu bernaung. Namun, pengawasan ini dirasa tidak cukup

1

(36)

kuat karena sangat tergantung dari kesungguhan dan kemauan internal lembaga itu sendiri tanpa dimungkinkanya campur tangan dari pihak luar.

Dapat diartikan bahwa dalam setiap konstitusi selalu ditemukan adanya jaminan terhadap hak asasi manusia. Hal ini jelas tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, pada Pasal 28 D ayat (1). Hal itu mencerminkan harus adanya kepastian hukum. Pengakuan akan prinsip dasar tersebut, setiap manusia memiliki hak dasar yang disebut hak asasi manusia. Kesadaran akan adanya hak asasi manusia tumbuh dari pengakuan manusia sendiri bahwa mereka adalah sama dan sederajat.

Pengakuan terhadap hak asasi manusia memiliki dua landasan, sebagai berikut: 1) Landasan yang langsung dan pertama, yakni kodrat manusia. Kodrat manusia

adalah sama derajat dan martabatnya. Semua manusia adalah sederajat tanpa membedakan ras, agama, suku, bahasa, dan sebagainya.

2) Landasan yang kedua dan yang lebih dalam: Tuhan menciptakan manusia. Semua manusia adalah makhluk dari pencipta yang sama yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu di hadapan Tuhan manusia adalah sama kecuali nanti pada amalnya.2

Negara memberikan kewenangan kepada para aparat penegak hukum untuk menegakkan keadilan. Para penegak hukum sering juga melakukan kesalahan dan pelanggaran terhadap hak-hak asasi dari pelaku tindak pidana dalam melakukan upaya paksa. Oleh sebab itu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjamin terlindungnya hak-hak pelaku tindak pidana.

Menurut Lilik Mulyadi, pada asasnya pengertian hukum acara pidana itu merupakan:

1. Peraturan hukum yang mengatur, menyelenggarakan, dan mempertahankan eksistensi ketentuan hukum pidana materiil (materieel strafrecht) guna

2

(37)

mencari, menemukan, dan mendapatkan kebenaran materiil atau yang sesungguhnya;

2. Peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara dan proses pengambilan putusan oleh hakim.

3. Peraturan hukum yang mengatur tahap pelaksanaan daripada putusan yang diambil.3

Adapun dibentuknya berbagai tindak pidana dalam undang-undang mengandung tujuan untuk melindungi kepentingan hukum tertentu dalam rangka tercapai dan terpeliharanya ketertiban umum. Hukum acara pidana mengatur sedemikian rupa agar penerapannya sampai pada tujuan yang dimaksudkan.4

Berdasarkan KUHAP, menurut Pasal 1 angka (10) KUHAP yang dimaksud praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini, tentang:

a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;

b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Menurut Pasal 77 KUHAP, Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau

penghentian penuntutan;

b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

3

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana ( Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan), Bandung: PT Citra Aditya Bakti, hlm.4.

4

(38)

Terbentuknya lembaga praperadilan menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP disebutkan: mengingat demi kepentingan pemeriksaan perkara diperlukan adanya pengurangan-pengurangan dari hak-hak asasi tersangka, namun bagaimanapun hendaknya selalu berdasar ketentuan yang diatur dalam undang-undang, maka untuk kepentingan pengawasan terhadap perlindungan hak-hak asasi, tersangka/terdakwa diadakan suatu lembaga praperadilan.5 Praperadilan secara tidak langsung melakukan pengawasan atas kegiatan yang dilakukan penyidik dalam rangka penyidikan maupun penuntutan, mengingat tindakan penyidik pada dasarnya melekat pada instansi yang bersangkutan. Sudah saatnya dibangun budaya saling kontrol di dalam era supremasi hukum, antara semua komponen penegak hukum agar kepastian hukum benar-benar dapat diberikan bagi mereka para pencari keadilan.

Berdasarkan Pasal 80 KUHAP menyebutkan bahwa:

“Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan

atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebut alasannya.”

Berdasarkan Pasal 80 tersebut, terdapat peluang bahwa yang diberikan dengan masuknya “pihak ketiga yang berkepentingan” sebagai salah satu pihak yang

dapat mengajukan praperadilan. Yang dimaksud dengan pihak ketiga adalah: 1. Tersangka/ terdakwa;

2. Keluarga dari tersangka/ terdakwa; 3. Kuasa dari tersangka/ terdakwa;

5

(39)

4. Pelapor yang dirugikan dengan dilakukannya itu atau yang dapat kuasa darinya. Adanya lembaga praperadilan tersebut diharapkan dapat menjamin hak-hak asasi manusia yang merasa dirugikan dengan adanya kesalahan yang dilakukan oleh penegak hukum.

Praperadilan sendiri merupakan lembaga yang sifatnya temporer artinya adanya praperadilan jika adanya gugatan yang diajukan para pihak. Banyaknya permohonan pemeriksaan perkara melalui praperadilan karena untuk mewujudkan keadilan sebelum perkara dilanjutkan ke Pengadilan Negeri. Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP menyatakan dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur. Tidak semuanya putusan praperadilan dapat dimenangkan oleh tersangka atau pihak yang mengajukan dalam proses sidang pemeriksaan praperadilan. Adapun salah satu contoh kasus adalah praperadilan yang diajukan oleh seorang yang disangka melakukan tindak pidana korupsi terhadap status penetapan tersangka yang telah ditetapkan oleh penyidik, dimana dalam permohonannya pemohon mengajukan gugatan praperadilan yang menjadi objek dalam praperadilan ini adalah sah tidaknya penetapan tersangka.

(40)

tersangka bukan merupakan objek praperadilan, jika dilihat dalam Pasal 77 KUHAP, namun dalam sidang praperadilan ini hakim telah memutuskan bahwa gugatan praperadilan diterima.

Hakim telah menetapkan bahwa status penetapan tersangka tidak sah. Hal ini menyebabkan terjadinya perluasan objek praperadilan. Namun dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 menyebabkan objek praperadilan mengalami perluasan yang kemudian menjadi dasar penetapan tersangka merupakan salah satu objek praperadilan. Dengan dikeluarkannya putusan tersebut membuka peluang kepada tersangka untuk mengajukan gugatan praperadilan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka. Keluarnya keputusan MK ini akan menjadi landasan para hakim untuk menerima, memeriksa dan memutuskan bahwa penetapan tersangka masuk dalam objek praperadilan dan perselisihan pendapat yang kadang terjadi dan bahkan sampai kepada disparitas putusan hakim mengenai praperadilan tentang penetapan tersangka bisa dikahiri.

Berdasarkan uraian tersebut maka tidak semua gugatan praperadilan dapat diterima dan penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam wewenang praperadilan sebelum dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi dan sampai dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi dalam memutus sah tidaknya penetapan tersangka yang telah menjadi objek praperadilan. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penulis memutuskan memilih judul: “Analisis

Praperadilan Dalam Memutus Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Tindak Pidana

(41)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup:

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka pokok permasalahan yang diangkat adalah sebagai berikut:

1. Apakah lembaga praperadilan berwenang memutus sah tidaknya penetapan tersangka dalam tindak pidana korupsi ?

2. Apakah faktor penghambat yang ditemui lembaga praperadilan dalam memutus sah tidaknya penetapan tersangka terhadap tindak pidana korupsi ?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah menyangkut analisis praperadilan dalam memutus sah tidaknya penetapan tersangka tindak pidana korupsi. Lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Fakultas Hukum Universitas Lampung. Lingkup bidang ilmu dalam penelitian ini adalah hukum acara pidana dalam KUHAP Pasal 77 yang mengalami perluasan objek praperadilan serta peraturan perundang-undangan yang terkait dan teori-teori yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Tahun penelitian dilakukan pada tahun 2015.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan yang ingin dicapai, yaitu sebagai berikut:

(42)

memutus sah tidaknya penetapan tersangka tindak pidana korupsi.

2. Memahami faktor penghambat yang ditemui lembaga praperadilan dalam memutus sah tidaknya penetapan tersangka terhadap kasus tindak pidana korupsi.

Kegunaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah diuraikan di atas, kegunaan dari penelitian ini adalah mencangkup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu:

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis diharapkan dapat berguna dan memberikan manfaat untuk mengembangkan informasi, pengetahuan dan wawasan ilmu hukum, dan hukum pidana yang menyangkut putusan praperadilan dalam menetapkan sah atau tidaknya penetapan tersangka tindak pidana korupsi dalam objek praperadilan.

b. Kegunaan Praktis

(43)

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.6

a. Istilah Praperadilan dan Penemuan hukum

Istilah yang dipergunakan oleh KUHAP “praperadilan” maka maksud dan artinya yang harafiah berbeda. Pra artinya sebelum atau mendahului, berarti

“praperadilan” sama dengan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan, di Eropa

dikenal lembaga semacam itu, tetapi fungsinya memang benar-benar melakukan pemeriksaan pendahuluan. Fungsi hakim komisaris (Rechter commissaris) di negeri Belanda dan Judge d’Instruction di Perancis benar-benar dapat disebut praperadilan, karena selain menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melakukan pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara.7

Menurut Oemar Seno Adji di dalam buku Andi Hamzah, lembaga rechter commissaris (hakim yang memimpin pemeriksaan pendahuluan) muncul sebagai perwujudan keaktifan hakim, yang di Eropa Tengah mempunyai posisi yang mempunyai kewenangan untuk menangani upaya paksa (dwang middelen), penahanan, penggeledahan badan, rumah, dan pemeriksaan surat-surat.8 Menurut KUHAP Indonesia, praperadilan tidak mempunyai wewenang seluas itu. Hakim komisaris selain misalnya berwenang untuk menilai sah tidaknya suatu

6

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian, Jakarta, UI Press, 2008, hlm.6.

7

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta:Sinar Grafika, 2008, hlm.187.

8Ibid

(44)

penangkapan, penahanan seperti praperadilan, juga sah atau tidaknya suatu penyitaan yang dilakukan oleh jaksa. Selain itu, kalau hakim komisaris di negeri Belanda melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas jaksa, kemudian jaksa melakukan hal yang sama terhadap pelaksanaan tugas polisi maka praperadilan di Indonesia melakukan pengawasan terhadap kedua instansi tersebut.

Begitu pula Judge d’Instruction di Prancis, mempunyai wewenang yang luas dalam pemeriksaan pendahuluan. Ia memeriksa terdakwa, saksi-saksi dan alat bukti yang lain. Ia memeriksa terdakwa, saksi-saksi dan alat-alat bukti yang lain. Ia dapat membuat berita acara, penggeledahan rumah dan tempat-tempat tertentu, melakukan penahanan, penyitaan, dan menutup tempat-tempat tertentu.

Setelah pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan rampung, ia menentukan apakah suatu perkara cukup alasan untuk dilimpahkan ke pengadilan ataukah tidak. Kalau cukup alasan, ia akan membebaskan tersangka dengan ordonance de non lieu. Namun demikian, menurut Siahaan, tidak semua perkara harus melalui Judge d’Instruction. Hanya perkara-perkara besar dan yang sulit pembuktiannya

pemeriksaan pendahuluannya dilakukan sendiri oleh polisi di bawah perintah dan petunjuk-petunjuk jaksa.9

Penemuan hukum adalah kegiatan terutama dari hakim dalam melaksanakan undang-undang bila terjadi peristiwa konkrit. Undang-undang sebagaimana kaedah pada umumnya adalah untuk melindungi kepentingan manusia. Oleh karena itu harus dilaksanakan atau ditegakkan.Untuk dapat melaksanakannya

9

(45)

undang-undang harus diketahui orang. Agar dapat memenuhi asas “setiap orang dianggap tahu akan undang-undang” maka undang-undang harus tersebar luas dan harus pula jelas. Kejelasan undang-undang ini sangat penting. Oleh karena itu setiap undang-undang selalu dilengkapi penjelasan yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara. Sekalipun namanya serta maksudnya sebagai penjelasan namun seringkali terjadi bahwa penjelasan itu tidak juga memberi kejelasan,

karena hanya diterangkan “cukup jelas” pada hal teks undang-undangnya tidak

jelas dan masih memerlukan penjelasan. Setiap peraturan hukum itu bersifat abstrak dan pasif. Abstrak karena umum sifatnya dan pasif karena tidak akan menimbulkan akibat hukum kalau tidak terjadi peristiwa konkrit.10

Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkrit. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna undang-undang. Pembenarannya terletak pada kegunaannya untuk melaksanakan ketentuan yang konkrit dan bukan untuk kepentingan metode itu sendiri. Menjelaskan ketentuan undang-undang akhirnya adalah untuk merealisir fungsi agar hukum positif itu berlaku.11

Alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan yang sering digunakan oleh hakim dalam menemukan hukumnya adanya metode interpretasi.

10

Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993, hlm. 11-12.

11Ibid

(46)

Menurut Sudikno Mertokusumo metode interpretasi tersebut dapat dibedakan menjadi:

(1)Menurut bahasa (gramatikal), merupakan cara penafsiran atau penjelasan secara sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susun kata atau bunyinya.12 (2) Teleologis atau sosiologis, yaitu apabila makna undang-undang itu

ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan.13

(3) Sistematis atau logis , yaitu terjadinya suatu undang-undang selalu berkaitan dan berhubungan dengan peraturan perundang-undangan lain, dan tidak ada undang-undang yang berdiri sendiri lepas sama sekali dari keseluruhan perundang-undangan.14

(4) Historis, yaitu penjelasan menurut terjadinya undang-undang.15

(5) Perbandingan hukum (komparatif) yaitu dengan perbandingan hendak dicari kejelasan mengenai suatu ketentuan undang-undang.

(6) Futuristis yaitu penjelasan ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum.16

(7) Restriktif yaitu penjelasan atau penafsiran yang bersifat membatasi.

(8) Ekstensif yaitu dilampaui batas-batas yang ditetapkan oleh interpretasi gramatikal.Penafsiran ekstensif ini sering dipergunakan untuk memperhalus penafsiran analogi yang dilarang untuk digunakan dalam melakukan penafsiran terhadap rumusan ketentuan dalam undang-undang.17

b. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto, ada lima faktor-faktor dalam penegakan hukum diantaranya:

a. Faktor undang-undang adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah.

b. Faktor penegakan hukum adalah yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

c. Faktor sarana dan fasilitas adalah faktor yang mendukung dari penegakan hukum.

d. Faktor masyarakat yakni faktor yang meliputi lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

12Ibid

., hlm. 14.

13Ibid

., hlm. 15.

14Ibid

., hlm. 16.

15

Ibid., hlm. 17.

16Ibid

., hlm. 19.

17

(47)

e. Faktor budaya adalah sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.18

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah merupakan gambaran bagaimana hubungan antara konsep-konsep yang akan diteliti. Konsep adalah kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasi dari gejala-gejala tertentu.19

Ada beberapa konsep dan istilah yang dijadikan sebagai batasan yang tepat dalam penafsiran, yaitu sebagai berikut:

a. Analisis yaitu penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya). Untuk mengetahui keadaaan yang sebenarnya (sebab musababnya, bagaimana, duduknya perkara, dan sebagainya).20

b. Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan dan permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 11 KUHAP.

18

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 1983, hlm.4-5.

19

Fred N. Kerlinger, Asas-Asas Penelitian Behavioral; Edisi Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada University Press,1996, hlm.4.

20

(48)

c. Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

d. Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 11 KUHAP. e. Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya

berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 14 KUHAP.

f. Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yang dapat dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah sebagaimana diatur dalam UU No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.

E. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi ke dalam empat bab, masing-masing bab terdiri atas beberapa sub bab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Selanjutnya sistematikanya adalah sebagai berikut:

(49)

Bab ini menguraikan latar belakang, rumusan maslah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, dan diakhiri dengan sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tentang telaah kepustakaan yang berupa kerangka teori yang melandasi penelitian yang berisi tentang tinjauan terhadap praperadilan yang terdiri dari pengertian dan sejarah praperadilan, acara praperadilan penetapan tersangka, tujuan penciptaan lembaga praperadilan, wewenang lembaga praperadilan, tinjauan terhadap korupsi yang terdiri dari pengertian korupsi dan sifat korupsi, ciri-ciri korupsi dan faktor penyebab korupsi, penetapan tersangka tindak pidana korupsi, dan faktor penghambat penegakan hukum sehingga menjadi pengantar dalam memahami pokok-pokok yang berkaitan dengan masalah.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat dan membahas tentang tentang langkah-langkah yang digunakan dalam metode penelitian yang dimulai dari pendekatan masalah, sumber dan jenis data dan diakhiri dengan analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

(50)

memutus sah tidaknya penetapan tersangka yang terjadi dalam praperadilan terhadap kasus tindak pidana korupsi.

V. PENUTUP

(51)

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 17

A.Tinjauan Terhadap Praperadilan ... 17

1. Pengertian dan Sejarah Praperadilan ... 14

2. Acara Praperadilan ... 21

3. Tujuan Penciptaan Lembaga Praperadilan di dalam KUHAP ... 23

4. Wewenang Praperadilan ... 24

5. Praperadilan Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU- XII/2014 ... 27

B.Tinjauan Terhadap Korupsi ... 28

1. Pengertian Korupsi dan Sifat Korupsi ... 28

2. Ciri-Ciri Korupsi dan Faktor Penyebab Korupsi ... 30

3. Penetapan Tersangka Tindak Pidana Korupsi ... 31

C. Faktor Penghambat Penegakan Hukum... 33

III. Metode Penelitian... .... 35

A. Pendekatan Masalah ... 35

B. Sumber dan Jenis Data ... 36

C. Penentuan Narasumber ... 37

(52)

IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 40 A. Kewenangan Lembaga Praperadilan dalam Memutus Sah Tidaknya

Penetapan Tersangka Tindak Pidana Korupsi ... 40 B. Faktor Penghambat yang ditemui oleh Lembaga Praperadilan dalam

Memutus Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Tindak Pidana Korupsi 58

V. Penutup ... 67 A. Simpulan ... 68 B. Saran ... 69

(53)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan uraian yang telah penulis jabarkan pada bab-bab sebelumnya, penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:

(54)

2. Faktor penghambat yang ditemui lembaga praperadilan dalam memutus sah tidaknya penetapan tersangka tindak pidana korupsi berkaitan dengan faktor penghambat penegakan hukum berasal dari lemahnya faktor hukum itu sendiri, yang terletak dalam lemahnya ketentuan undang-undang sehingga terdapatnya celah-celah di dalamnya , adanya faktor penegakan hukum dalam menangani masalah tindak pidana korupsi dalam pelaksanannya aparat penegak hukum harus bertindak adil dan tegas, faktor sarana dan fasilitas mencangkup tenaga manusia yang bersih, jujur, integral, dan berkualitas, faktor masyarakat sangat memiliki peran penting dalam membantu lembaga praperadilan, yang ditemui lembaga praperadilan sendiri dalam prakteknya yaitu ketidakhadiran pihak yang perlu dihadirkan dalam sidang praperadilan, hal itu sangat mempengaruhi mengingat sidang praperadilan sendiri yang waktunya terbatas, faktor budaya hukum dan politik juga mempengaruhi dimana korupsi semakin meningkat karena adanya barisan politik yang didukung dengan hausnya kekuasaan, uang, dan fasilitas yang cenderung menyebabkan korupsi meningkat. Faktor penghambat yang paling dominan terletak pada faktor penegakan hukum yang berasal dari lemahnya kekosongan hukum yang menyebabkan celah bagi penegak hukum dalam menafsirkan isi undang-undang.

B. Saran

Adapun saran penulis dalam uraian skripsi ini sebagai berikut:

(55)

dalam menetapkan status tersangka kepada seseorang, harus adanya koordinasi jangan sampai terjadinya pelanggaran hak asasi di dalamnya. 2. Lembaga yang membuat peraturan diharapkan teliti dalam membuat dan

(56)

Buku:

Alfiah, Ratna Nurul. 1986. Praperadilan dan Ruang Lingkupnya, Jakarta: Akademika Pressindo C.V.

Andrisman, Tri. 2010.Hukum Acara Pidana. Bandar Lampung: Buku Ajar. ---. 2011. Hukum Pidana. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Chazawi, Adami. 2010.Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik dan Peradilan Sesat. Jakarta: Sinar Graha.

Hamzah, Andi. 2008.Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Harahap, M. Yahya. 2008.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.

---. 2012. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali , Jakarta: Sinar Grafika.

Hartanti, Evi. 2012.Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.

Husin, Kadri dan Rizki Husin. 2012.Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Bandar Lampung: Lembaga Penelitian Universitas Lampung

Kerlinger, Fred N. 1996.Asas-Asas Penelitian Behavioral; Edisi Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada University Pres.

Maroni, dan Eddy Rifai. 2013. Studi Penegakan dan Pengembangan Hukum. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Mertokusumo, Sudikno. 1993. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

(57)

Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan). Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Nawawi, AriefBarda. 2010. Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta: Kencana Media Group.

Priyanto, Anang. 2012. Hukum Acara Pidana Indonesia. Yogyakarta: Ombak. Sasangka, Hari. 2007. Penyidikan, Penahanan, Penuntutan, dan Praperadilan

dalam Teori dan Praktek. Bandung: CV. Mandar Maju.

Siahaan, Lintong Oloan. 1981. Jalannya Peradilan Prancis Lebih Cepat dari Peradilan Kita. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Soeparmono, R. 2003.Praperadilan dan Penggabungan Perkara Ganti Kerugian dalam KUHAP. Bandung: Mandar Maju.

Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Rajawali.

---. 2004, Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Rajawali Press. Sugiyono.2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Tanusubroto. 1993.Peranan Praperadilan Dalam Hukum Acara Pidana. Bandung: Alumni.

Widodo, J. Pajar. 2013. Menjadi Hakim Progresif. Bandar Lampung: Indepth Publishing

Winarno.2009. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Perundang-Undangan:

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

(58)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.

Undang-UndangNomor 48 Tahun 2009 tentangKekuasaanKehakimanRepublik Indonesia.

Putusan Mahkamah Konstitusi 21/PUU-XII/2015.

Website:

http://www.hukumonline.com, diakses pada tanggal 12 Mei 2015, pukul 20.00. http://jodisantoso.blogspot.com,diakses pada tanggal 27 Agustus 2015, pukul 11.10.

http://www.tribunnews.com,diakses pada tanggal 10 September 2015, pukul 13.00.

Referensi

Dokumen terkait

“Untuk mencari dan mendapatkan atau setidak -tidaknya mendekati kebenaran material ialah kebenaran selengkap lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan

praperadilan terkait dengan sah atau tidaknya penetapan tersangka, ternyata ada yang9. mecoba untuk mengajukan praperadilan dengan menggunakan alasan tersebut, dan

21/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa penetapan status tersangka termasuk ke dalam objek praperadilan dan juga dalam amar putusannya bahwa Pasal 77 KUHAP

Pasal 82 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP tersebut dapat diketahui dengan jelas bahwa „sah atau tidaknya penetapan tersangka‟ tidak termasuk objek praperadilan,

Berkaitan dengan pertimbangan hakim yang seharusnya dalam upaya memasukkan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai objek gugatan praperadilan di dalam putusannya, maka

praperadilan, polemik mengenai pemeriksaan sah tidaknya penetapan tersangka kemudian memasuki area hukum materiil dari praperadilan itu sendiri, yaitu apa objek

"Pergeseran Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Dari Pengejaran Tersangka ke Pengejaraan Uang Kerugian Negara", Bacarita Law Journal, 2022 Publication firmanbusroh.blogspot.com

Hal ini tidak terlepas adanya perkembangan hukum yang terjadi konteks Praperadilan dalam beberapa Putusan Praperadilan yaitu masuknya pengujian sah atau tidaknya Petenapan Tersangka