• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tipologi Komunitas Lamun kaitannya dengan Populasi Bulu Babi di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tipologi Komunitas Lamun kaitannya dengan Populasi Bulu Babi di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku"

Copied!
194
0
0

Teks penuh

(1)

TIPOLOGI KOMUNITAS LAMUN KAITANNYA DENGAN

POPULASI BULU BABI DI PULAU HATTA,

KEPULAUAN BANDA, MALUKU

JOHNY DOBO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Tipologi Komunitas Lamun kaitannya dengan Populasi Bulu Babi di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2009

Johny Dobo

(3)

ABSTRACT

JOHNY DOBO. Tipology of the Seagrass Community and Its Relation with Sea Urchin in Hatta Island, Banda Archipelago, Moluccas. Under direction of NEVIATY P. ZAMANY and I WAYAN NURJAYA

Sea urchin (Echinoidea) is a group of animal inhabiting seagrass bed. As a grazer, sea urchin could create the bare area of seagrass bed and it will be disturbing the important role of this ecosystem in buffering the linked ecosystems. The aims of this study were to analyse seagrass condition, sea urchin population and relation of both at Hatta Island of Banda Archipelagos, Moluccas. Sampling were carried out from July to October 2008 using quadrat transect method. There are 6 species of seagrasses dominated by Thalassia hemprichii, and 5 species of sea urchins dominated by Tripneustes gratilla. The area where the high density of seagrass and sea urchin were found in sandy substrates. Tripneustes gratilla usually present following the presence of Thalassia hemprichii. Grazing rates of Tripneustes gratilla for Thalassia hemprichii in

seagrass bed at Hatta Island is 0.15% sheet/m2/day. The lower density of

seagrasses were found at the area which highest density of sea urchin. This research concludes that seagrass condition at Hatta Island is still carrying the life of sea urchin population.

Keywords: seagrass, sea urchin, grazing, Thalassia, Tripneustes, Hatta Island

(4)

RINGKASAN

JOHNY DOBO. Tipologi Komunitas Lamun kaitannya dengan Populasi Bulu Babi di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku. Dibimbing oleh NEVIATY P. ZAMANI and I WAYAN NURJAYA

Penelitian ini dilakukan sejak Bulan Juli hingga Oktober 2008 di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku. Tujuan dari penelitian ini untuk mendapatkan informasi mengenai tipologi komunitas lamun, mengkaji karakteristik habitat, sebaran dan komposisi jenis bulu babi di padang lamun, mendeterminasi kemampuan merumput bulu babi serta menguraikan keterkaitan antara bulu babi dan komunitas lamun. Pengambilan contoh lamun dan bulu babi dilakukan pada empat stasiun penelitian yaitu stasiun tenggara Hatta, timur Hatta, utara Hatta, dan barat Hatta dengan menggunakan metode transek kuadrat yang berorientasi sejajar garis pantai. Analisis terhadap data karakteristik habitat, komunitas lamun dan komunitas bulu babi menggunakan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis) dan Analisis Kelompok (Cluster Analysis). Untuk mengkaji keterkaitan antara lamun dan bulu babi digunakan Analisis Faktorial Koresponden

(Correspondence Analysis). Keseluruhan analisis ini dintegrasikan dalam

perangkat lunak Statistica 6.0 release for windows.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik habitat lamun dan bulu babi di Pulau Hatta dicirikan oleh tipe substrat yang didominasi sedimen berpasir, dengan parameter fisik kimia perairan berada dalam kisaran baku mutu yang dapat ditoleransi oleh biota laut. Tipe vegetasi lamun di Pulau Hatta adalah vegetasi campuran (mixed seagrass beds) yang umumnya didominasi oleh Thalassia

hemprichii baik dalam kerapatan, penutupan, frekuensi jenis maupun nilai

pentingnya. Bulu babi yang dijumpai di padang lamun Pulau Hatta terdiri dari

Tripneustes gratilla, Toxopneustes pileolus, Diadema setosum, Echinotrix diadema, dan Echinometra mathaei dengan kepadatan tertinggi diwakili oleh

Tripneustes gratilla. Tripneustes gratilla yang merupakan salah satu grazer

penting di padang lamun Pulau Hatta terlihat mampu menghabiskan Thalassia hemprichii sebanyak 0.15% teg/m2/hari.

Keterkaitan antara bulu babi dengan komunitas lamun ditunjukkan dengan adanya kecenderungan bulu babi Tripneustes gratilla, Diadema setosum dan

Echinotrix diadema berasosiasi dengan kerapatan jenis lamun T. hemprichii,

Halodule uninervis, Halophila ovalis yang lebih rendah dan Enhalus acoroides

serta Cymodocea rotundata yang lebih padat, sementara Toxopneustes pileolus

dan Echinometra mathaei cenderung berasosiasi dengan daerah dimana kerapatan

Thalassia hemprichii lebih padat.

Kata kunci: lamun, bulu babi, Thalassia, Tripneustes, Pulau Hatta

(5)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(6)

TIPOLOGI KOMUNITAS LAMUN KAITANNYA DENGAN

POPULASI BULU BABI DI PULAU HATTA,

KEPULAUAN BANDA, MALUKU

JOHNY DOBO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009

(7)

Judul : Tipologi Komunitas Lamun kaitannya dengan Populasi Bulu Babi di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku

Nama : Johny Dobo

NRP : C551060051

Program Studi : Ilmu Kelautan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Kelautan

Tanggal Ujian: 29 Mei 2009 Tanggal Lulus: Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunianya sehingga tesis ”Tipologi Komunitas Lamun kaitannya dengan Populasi Bulu Babi di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku” ini berhasil diselesaikan.

Telah diketahui bahwa padang lamun memiliki peran penting baik dalam meningkatkan produksi perikanan maupun perlindungan bagi ekosistem di sekitarnya. Dalam perannya sebagai pelindung bagi ekosistem lain (pencegah erosi), padang lamun tidak senantiasa dalam keadaan siap, tetapi tergantung faktor fisik-kimia perairan maupun faktor biologi yang bekerja di dalamnya. Bulu babi sebagai salah satu grazer penting di padang lamun, dalam jumlah besar, mampu mengurangi peran padang lamun ini. Olehnya itu, tesis ini berusaha untuk memberikan gambaran mengenai keterkaitan antara komunitas lamun dan bulu babi, khususnya di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku.

Penulis sadari, tesis ini tidak diselesaikan sendiri, namun berkat kemudahan dan bantuan yang tidak terkuantifikasi dari Ibu Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing serta Bapak Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA selaku Penguji Luar Komisi yang banyak memberikan masukan sehingga penulis mampu menyelesaikan tesis ini.

Tulisan ini juga bukan merupakan hasil kerja penulis semata, olehnya itu penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung terutama kepada :

1. Bapak H. Des Alwi, Ketua Yayasan Warisan dan Budaya Banda Naira.

2. Bapak Prof. Dr. Hamadi B. Husain, Ketua Sekolah Tinggi Perikanan Hatta-Sjahrir Banda Naira.

3. Dirjen DIKTI, Departemen Pendidikan Nasional RI, atas Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) yang diberikan.

4. Pimpinan dan staf SPs IPB, terutama Program Studi Ilmu Kelautan, atas layanan dan kerjasamanya selama ini.

5. Program Mitra Bahari-COREMAP II, terutama Ibu Tri Iswari Subekti, atas bantuan penulisan tesis tahun 2008.

6. Bapak Dr. Ir. Safar Dody, M.Si dan keluarga, atas kepedulian dan petunjuk-petunjuk praktisnya.

7. Bapak Drs. Usman Thalib, M.Hum dan Bapak Drs. Hadji Sama, MS atas bantuan dan motivasinya.

8. Seluruh Civitas Akademika Sekolah Tinggi Perikanan Hatta-Sjahrir Banda Naira, atas kebersamaannya selama ini.

9. Teman-teman IKL ’06 (Faizal Kasim, Chaterina A. Paulus, Mukti Trenggono, Iis Triyulianti, Rikoh Manogar Siringoringo, Dondy Arafat, Degen E. Kalay, Nurmila Anwar, Ira Puspita Dewi, Ria Faizah, Ernawati Widyastuti, Syahrul Purnawan, Ratih Deswati, dan Pak Muhamad Ramli) serta teman-teman IKL ’05 (Heron Surbakti dan Wa Nurgayah).

(9)

10.Budiono Senen, S.Pi., Jenny Abidin, S.Pi., Iksan Rumakat, S.Pi., Johan Ahmad, Jafar Rumakat, Idul La Muhammad, S.Pi, Dewi Ode Saleh, S.Pi, Nurhayati Bugis, S.Pi., Iksan La Hoari, Nardi Rumbawas, Jusuf Difinubun, Salem Ahmad, Oga Ahmad, Buhari, Sani Abdullah, Sariwati Kamidin, Bang Dede, Bang Fauzan, Oom Djumsari Dobo serta keluarga besar ”Pulau Hatta” atas bantuannya selama pengambilan data.

11.Bapak Chalid Ohorella dan Ibu Saadiah Polanunu, atas perhatian dan doanya. 12.Istriku tercinta Munira Ohorella, atas perhatian, pengertian dan doa serta

secara khusus kepada Ayahandaku Muhammad Bin Dobo (alm.) atas harapannya, Ibundaku Hadidjah Dobo dan Adikku Fitria Jofari Dobo atas ketabahan, kesabaran, perhatian, pengertian, restu dan doa sehingga penulis mampu menyelesaikan karya ilmiah ini.

Akhirnya penulis menyadari, hasil yang disampaikan dalam tulisan ini belum merupakan hasil mutlak, penjelasan-penjelasan ilmiah yang ada di dalamnya bersifat sementara, dan senantiasa dalam keadaan siap untuk diperluas, diperhalus, diperbaiki atau bahkan diganti. Penulis berusaha untuk membuat tulisan ini sebaik mungkin dan semoga tulisan ini dapat memenuhi fungsinya.

Bogor, Mei 2009

Johny Dobo

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Banda Naira, Maluku Tengah pada tanggal 13 Mei 1977, anak pertama dari dua bersaudara, Ayah Muhammad Bin Dobo dan Ibu Hadidjah Dobo.

Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Banda dan diterima pada program studi Ilmu Kelautan, Universitas Pattimura, Ambon pada tahun yang sama. Tahun 1999 penulis pindah ke Universitas Haluoleo, Kendari dan menyelesaikan pendidikan sarjana pada program studi Manajemen Sumberdaya Perairan tahun 2001. Sejak tahun 2002 hingga kini penulis bekerja sebagai pengajar pada Sekolah Tinggi Perikanan Hatta-Sjahrir Banda Naira, Maluku. Tahun 2006 penulis menerima beasiswa (BPPS DIKTI) untuk mengikuti pendidikan Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (SPs IPB) pada program studi Ilmu Kelautan, program minat Biologi Laut. Selama mengikuti pendidikan pascasarjana, penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan Wahana Interaksi Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kelautan (WATERMASS-IKL). Tahun 2008 penulis mendapat beasiswa penulisan tesis dari Program Mitra Bahari- COREMAP II.

Untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana IPB penulis melakukan penelitian mengenai ”Tipologi Komunitas Lamun kaitannya dengan Populasi Bulu Babi di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku”.

(11)

TIPOLOGI KOMUNITAS LAMUN KAITANNYA DENGAN

POPULASI BULU BABI DI PULAU HATTA,

KEPULAUAN BANDA, MALUKU

JOHNY DOBO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Tipologi Komunitas Lamun kaitannya dengan Populasi Bulu Babi di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2009

Johny Dobo

(13)

ABSTRACT

JOHNY DOBO. Tipology of the Seagrass Community and Its Relation with Sea Urchin in Hatta Island, Banda Archipelago, Moluccas. Under direction of NEVIATY P. ZAMANY and I WAYAN NURJAYA

Sea urchin (Echinoidea) is a group of animal inhabiting seagrass bed. As a grazer, sea urchin could create the bare area of seagrass bed and it will be disturbing the important role of this ecosystem in buffering the linked ecosystems. The aims of this study were to analyse seagrass condition, sea urchin population and relation of both at Hatta Island of Banda Archipelagos, Moluccas. Sampling were carried out from July to October 2008 using quadrat transect method. There are 6 species of seagrasses dominated by Thalassia hemprichii, and 5 species of sea urchins dominated by Tripneustes gratilla. The area where the high density of seagrass and sea urchin were found in sandy substrates. Tripneustes gratilla usually present following the presence of Thalassia hemprichii. Grazing rates of Tripneustes gratilla for Thalassia hemprichii in

seagrass bed at Hatta Island is 0.15% sheet/m2/day. The lower density of

seagrasses were found at the area which highest density of sea urchin. This research concludes that seagrass condition at Hatta Island is still carrying the life of sea urchin population.

Keywords: seagrass, sea urchin, grazing, Thalassia, Tripneustes, Hatta Island

(14)

RINGKASAN

JOHNY DOBO. Tipologi Komunitas Lamun kaitannya dengan Populasi Bulu Babi di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku. Dibimbing oleh NEVIATY P. ZAMANI and I WAYAN NURJAYA

Penelitian ini dilakukan sejak Bulan Juli hingga Oktober 2008 di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku. Tujuan dari penelitian ini untuk mendapatkan informasi mengenai tipologi komunitas lamun, mengkaji karakteristik habitat, sebaran dan komposisi jenis bulu babi di padang lamun, mendeterminasi kemampuan merumput bulu babi serta menguraikan keterkaitan antara bulu babi dan komunitas lamun. Pengambilan contoh lamun dan bulu babi dilakukan pada empat stasiun penelitian yaitu stasiun tenggara Hatta, timur Hatta, utara Hatta, dan barat Hatta dengan menggunakan metode transek kuadrat yang berorientasi sejajar garis pantai. Analisis terhadap data karakteristik habitat, komunitas lamun dan komunitas bulu babi menggunakan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis) dan Analisis Kelompok (Cluster Analysis). Untuk mengkaji keterkaitan antara lamun dan bulu babi digunakan Analisis Faktorial Koresponden

(Correspondence Analysis). Keseluruhan analisis ini dintegrasikan dalam

perangkat lunak Statistica 6.0 release for windows.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik habitat lamun dan bulu babi di Pulau Hatta dicirikan oleh tipe substrat yang didominasi sedimen berpasir, dengan parameter fisik kimia perairan berada dalam kisaran baku mutu yang dapat ditoleransi oleh biota laut. Tipe vegetasi lamun di Pulau Hatta adalah vegetasi campuran (mixed seagrass beds) yang umumnya didominasi oleh Thalassia

hemprichii baik dalam kerapatan, penutupan, frekuensi jenis maupun nilai

pentingnya. Bulu babi yang dijumpai di padang lamun Pulau Hatta terdiri dari

Tripneustes gratilla, Toxopneustes pileolus, Diadema setosum, Echinotrix diadema, dan Echinometra mathaei dengan kepadatan tertinggi diwakili oleh

Tripneustes gratilla. Tripneustes gratilla yang merupakan salah satu grazer

penting di padang lamun Pulau Hatta terlihat mampu menghabiskan Thalassia hemprichii sebanyak 0.15% teg/m2/hari.

Keterkaitan antara bulu babi dengan komunitas lamun ditunjukkan dengan adanya kecenderungan bulu babi Tripneustes gratilla, Diadema setosum dan

Echinotrix diadema berasosiasi dengan kerapatan jenis lamun T. hemprichii,

Halodule uninervis, Halophila ovalis yang lebih rendah dan Enhalus acoroides

serta Cymodocea rotundata yang lebih padat, sementara Toxopneustes pileolus

dan Echinometra mathaei cenderung berasosiasi dengan daerah dimana kerapatan

Thalassia hemprichii lebih padat.

Kata kunci: lamun, bulu babi, Thalassia, Tripneustes, Pulau Hatta

(15)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(16)

TIPOLOGI KOMUNITAS LAMUN KAITANNYA DENGAN

POPULASI BULU BABI DI PULAU HATTA,

KEPULAUAN BANDA, MALUKU

JOHNY DOBO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009

(17)

Judul : Tipologi Komunitas Lamun kaitannya dengan Populasi Bulu Babi di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku

Nama : Johny Dobo

NRP : C551060051

Program Studi : Ilmu Kelautan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Kelautan

Tanggal Ujian: 29 Mei 2009 Tanggal Lulus: Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(18)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunianya sehingga tesis ”Tipologi Komunitas Lamun kaitannya dengan Populasi Bulu Babi di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku” ini berhasil diselesaikan.

Telah diketahui bahwa padang lamun memiliki peran penting baik dalam meningkatkan produksi perikanan maupun perlindungan bagi ekosistem di sekitarnya. Dalam perannya sebagai pelindung bagi ekosistem lain (pencegah erosi), padang lamun tidak senantiasa dalam keadaan siap, tetapi tergantung faktor fisik-kimia perairan maupun faktor biologi yang bekerja di dalamnya. Bulu babi sebagai salah satu grazer penting di padang lamun, dalam jumlah besar, mampu mengurangi peran padang lamun ini. Olehnya itu, tesis ini berusaha untuk memberikan gambaran mengenai keterkaitan antara komunitas lamun dan bulu babi, khususnya di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku.

Penulis sadari, tesis ini tidak diselesaikan sendiri, namun berkat kemudahan dan bantuan yang tidak terkuantifikasi dari Ibu Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing serta Bapak Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA selaku Penguji Luar Komisi yang banyak memberikan masukan sehingga penulis mampu menyelesaikan tesis ini.

Tulisan ini juga bukan merupakan hasil kerja penulis semata, olehnya itu penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung terutama kepada :

1. Bapak H. Des Alwi, Ketua Yayasan Warisan dan Budaya Banda Naira.

2. Bapak Prof. Dr. Hamadi B. Husain, Ketua Sekolah Tinggi Perikanan Hatta-Sjahrir Banda Naira.

3. Dirjen DIKTI, Departemen Pendidikan Nasional RI, atas Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) yang diberikan.

4. Pimpinan dan staf SPs IPB, terutama Program Studi Ilmu Kelautan, atas layanan dan kerjasamanya selama ini.

5. Program Mitra Bahari-COREMAP II, terutama Ibu Tri Iswari Subekti, atas bantuan penulisan tesis tahun 2008.

6. Bapak Dr. Ir. Safar Dody, M.Si dan keluarga, atas kepedulian dan petunjuk-petunjuk praktisnya.

7. Bapak Drs. Usman Thalib, M.Hum dan Bapak Drs. Hadji Sama, MS atas bantuan dan motivasinya.

8. Seluruh Civitas Akademika Sekolah Tinggi Perikanan Hatta-Sjahrir Banda Naira, atas kebersamaannya selama ini.

9. Teman-teman IKL ’06 (Faizal Kasim, Chaterina A. Paulus, Mukti Trenggono, Iis Triyulianti, Rikoh Manogar Siringoringo, Dondy Arafat, Degen E. Kalay, Nurmila Anwar, Ira Puspita Dewi, Ria Faizah, Ernawati Widyastuti, Syahrul Purnawan, Ratih Deswati, dan Pak Muhamad Ramli) serta teman-teman IKL ’05 (Heron Surbakti dan Wa Nurgayah).

(19)

10.Budiono Senen, S.Pi., Jenny Abidin, S.Pi., Iksan Rumakat, S.Pi., Johan Ahmad, Jafar Rumakat, Idul La Muhammad, S.Pi, Dewi Ode Saleh, S.Pi, Nurhayati Bugis, S.Pi., Iksan La Hoari, Nardi Rumbawas, Jusuf Difinubun, Salem Ahmad, Oga Ahmad, Buhari, Sani Abdullah, Sariwati Kamidin, Bang Dede, Bang Fauzan, Oom Djumsari Dobo serta keluarga besar ”Pulau Hatta” atas bantuannya selama pengambilan data.

11.Bapak Chalid Ohorella dan Ibu Saadiah Polanunu, atas perhatian dan doanya. 12.Istriku tercinta Munira Ohorella, atas perhatian, pengertian dan doa serta

secara khusus kepada Ayahandaku Muhammad Bin Dobo (alm.) atas harapannya, Ibundaku Hadidjah Dobo dan Adikku Fitria Jofari Dobo atas ketabahan, kesabaran, perhatian, pengertian, restu dan doa sehingga penulis mampu menyelesaikan karya ilmiah ini.

Akhirnya penulis menyadari, hasil yang disampaikan dalam tulisan ini belum merupakan hasil mutlak, penjelasan-penjelasan ilmiah yang ada di dalamnya bersifat sementara, dan senantiasa dalam keadaan siap untuk diperluas, diperhalus, diperbaiki atau bahkan diganti. Penulis berusaha untuk membuat tulisan ini sebaik mungkin dan semoga tulisan ini dapat memenuhi fungsinya.

Bogor, Mei 2009

Johny Dobo

(20)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Banda Naira, Maluku Tengah pada tanggal 13 Mei 1977, anak pertama dari dua bersaudara, Ayah Muhammad Bin Dobo dan Ibu Hadidjah Dobo.

Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Banda dan diterima pada program studi Ilmu Kelautan, Universitas Pattimura, Ambon pada tahun yang sama. Tahun 1999 penulis pindah ke Universitas Haluoleo, Kendari dan menyelesaikan pendidikan sarjana pada program studi Manajemen Sumberdaya Perairan tahun 2001. Sejak tahun 2002 hingga kini penulis bekerja sebagai pengajar pada Sekolah Tinggi Perikanan Hatta-Sjahrir Banda Naira, Maluku. Tahun 2006 penulis menerima beasiswa (BPPS DIKTI) untuk mengikuti pendidikan Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (SPs IPB) pada program studi Ilmu Kelautan, program minat Biologi Laut. Selama mengikuti pendidikan pascasarjana, penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan Wahana Interaksi Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kelautan (WATERMASS-IKL). Tahun 2008 penulis mendapat beasiswa penulisan tesis dari Program Mitra Bahari- COREMAP II.

Untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana IPB penulis melakukan penelitian mengenai ”Tipologi Komunitas Lamun kaitannya dengan Populasi Bulu Babi di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku”.

(21)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 3

Tujuan dan Manfaat ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Komunitas Lamun... 6

Morfologi dan Klasifikasi Lamun... 6

Habitat, Distribusi dan Peran Ekologis Lamun... 7

Bulu Babi (Echinoidea)... 11

Morfologi dan Klasifikasi ... 11

Habitat, Distribusi dan Tingkah Laku Bulu Babi ... 13

METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian ... 15

Alat dan Bahan Penelitian... 15

Prosedur Penelitian ... 15

Analisis Data ... 18

Komunitas Lamun... 18

Komunitas Bulu Babi... 21

Sebaran Karakteristik Biofisik-Kimia Perairan ... 22

Keterkaitan antara Komunitas Lamun dan Populasi Bulu Babi... 22

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lokasi Penelitian ... 24

Vegetasi Lamun di Pulau Hatta ... 26

Struktur Komunitas dan Pola Penyebaran Lamun di Pulau Hatta ... 30

Sebaran Karakteristik Fisik-kimia Padang Lamun di Pulau Hatta... 32

Struktur Komunitas dan Pola Penyebaran Bulu Babi di Pulau Hatta ... 35

Kemampuan Merumput Tripneustes gratilla terhadap Thalassia hemprichii 38 Sebaran Spasial Lamun dan Bulu Babi di Pulau Hatta ... 39

Keterkaitan antara Komunitas Lamun dan Bulu Babi di Pulau Hatta ... 44

SIMPULAN DAN SARAN ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 47

LAMPIRAN... 55

(22)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Distribusi Jenis Lamun di Kepulauan Maluku... 9

2 Kepadatan beberapa Jenis Bulu Babi di Kepulauan Indonesia... 14

3 Parameter Fisik-kimia Perairan dan Metode Pengukurannya... 16

4 Nilai rata-rata Parameter Fisik-kimia di Padang Lamun Pulau Hatta... 26

5 Nilai Struktur Komunitas dan Pola Penyebaran Lamun di Pulau Hatta ... 30

6 Nilai Struktur Komunitas dan Pola Penyebaran Bulu Babi di Pulau Hatta .... 36

7 Kemampuan merumput Tripneustes gratilla terhadap Thalassia hemprichii. 38

(23)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka Pendekatan Masalah ... 5

2 Morfologi Tumbuhan Lamun... 6

3 Bentuk Umum Bulu Babi Regularia ... 11

4 Peta Lokasi Penelitian ... 15

5 Ilustrasi pengambilan contoh lamun dan bulu babi dengan transek kuadrat 16

6 Ilustrasi kurungan pengamatan kemampuan grazing bulu babi... 17

7 Perbandingan Persentase Sedimen di Lokasi Penelitian... 24

8 Perbandingan Topografi Dasar Perairan di Pulau Hatta ... 25

9 Perbandingan Kerapatan Rata-rata Jenis Lamun di Pulau Hatta ... 27

10 Perbandingan Penutupan Rata-rata Jenis Lamun di Pulau Hatta ... 28

11 Perbandingan Indeks Nilai Penting Lamun di Pulau Hatta... 30

12 Ilustrasi Sebaran Spasial Lamun di Pulau Hatta ... 31

13 Grafik Analisis Komponen Utama: Karakteristik Fisik-Kimia di

Padang Lamun Pulau Hatta... 33

14 Dendogram Klasifikasi Hierarki Stasiun Penelitian berdasarkan

Karakteristik Fisik-Kimia Padang Lamun Pulau Hatta... 34

15 Kepadatan Rata-rata Jenis Bulu Babi di Pulau Hatta... 35

16 Ilustrasi Sebaran Spasial Bulu Babi di Pulau Hatta ... 37

17 Grafik Analisis Faktorial Koresponden antara Stasiun Penelitian dan

Lamun pada Sumbu Faktorial 1 dan 2. ... 40

18 Dendogram Klasifikasi Hierarki Stasiun Pengamatan berdasarkan

Kerapatan Jenis Lamun di Pulau Hatta ... 40

19 Grafik Analisis Faktorial Koresponden antara Stasiun Penelitian

dan Bulu Babi pada Sumbu Faktorial 1 dan 2. ... 41

20 Dendogram Klasifikasi Hierarki Stasiun Pengamatan berdasarkan

Kepadatan Jenis Bulu Babi di Pulau Hatta ... 42

21 Ilustrasi Sebaran Spasial Lamun dan Bulu Babi di Pulau Hatta ... 43

22 Grafik Analisis Faktorial Koresponden antara Bulu Babi dan Kerapatan Jenis Lamun pada Sumbu Faktorial 1 dan 2 ... 44

(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Persentase Sedimen di Lokasi Penelitian... 55

2 Topografi Pantai Pulau Hatta ... 56

3 Profil Pasang Surut di Kepulauan Banda Naira tanggal 3-17 Juli 2008. ... 57

4 Nilai Parameter Fisik-Kimia Padang Lamun Pulau Hatta ... 58

5 Hasil Perhitungan Kerapatan, Penutupan dan Frekuensi Jenis Lamun

di Pulau Hatta... 59

6 Nilai Kerapatan Relatif (RDi), Frekuensi Relatif (RFi), Penutupan Relatif (RCi), dan Indeks Nilai Penting (INP)... 60

7 Pola Penyebaran Lamun di Pulau Hatta... 62

8 Hasil Analisis Komponen Utama Parameter Fisik Kimia Perairan ... 64

9 Hasil Perhitungan Kepadatan Jenis Bulu Babi di Padang Lamun

Pulau Hatta ... 67

10 Pola Penyebaran Bulu Babi di Lokasi Penelitian... 68

11 Hasil Pengamatan Kemampuan Merumput (Daya Grazing) Tripneustes Gratilla terhadap Thalassia Hemprichii di Padang Lamun Pulau Hatta ... 70

12 Hasil Analisis Faktorial Koresponden (CA) Lamun dengan

Stasiun Pengamatan ... 71

13 Hasil Analisis Faktorial Koresponden (CA) Bulu Babi dengan

Stasiun Pengamatan ... 72

14 Hasil Analisis Faktorial Koresponden (CA) Bulu Babi dengan

KomunitasLamun... 73

15 Dokumentasi Kegiatan Penelitian ... 75

(25)

Latar Belakang

Bulu babi termasuk anggota dari Filum Echinodermata yang tersebar mulai

dari daerah intertidal yang dangkal hingga ke laut dalam (Jeng 1998). Fauna ini

umumnya menghuni ekosistem terumbu karang dan padang lamun dan menyukai

substrat yang agak keras terutama substrat di padang lamun campuran yang terdiri

dari pasir dan pecahan karang (Aziz 1994a). Di dunia terdapat kurang lebih 6000

jenis fauna Echinodermata (Guille et al. 1986, diacu dalam Jeng 1998) dan

diperkirakan 950 jenis diantaranya adalah bulu babi (Suwignyo et al. 2005) yang

terbagi dalam 15 ordo, 46 famili (Aziz 1987; Suwignyo et al. 2005) dan 121

genus (Heinke & Schultz 2006). Di Indonesia, terdapat kurang lebih 84 jenis bulu

babi yang berasal dari 31 famili dan 48 genus (Clark & Rowe 1971).

Studi mengenai berbagai aspek ekologi bulu babi telah dilakukan di

berbagai tempat di dunia, antara lain studi ekologi komunitas: Echinoidea

(McClanahan et al. 1994; Jeng 1998; McClanahan 1998; Larrain et al. 1999; Chao

2000; Paulay 2003; Putchakam & Soncaeng 2004; Lessios 2005), Echinometra

mathaei (McClanahan 1995), dan Echinometra viridis (McClanahan 1999);

struktur komunitas: Echinoidea (McClanahan & Shafir 1990; Andrew &

McDiarmid 1991; Levitan 1992; McClanahan et al. 1996;), Diadema antillarum

(Carpenter 1990a, 1990b), dan Echinometra mathaei (Kessing 1992; Prince

1995); ekologi tingkah laku: Echinoidea (Shulman 1990; Ikuo et al. 1999),

Strongylocentrotus droebachiensis (Bernstein et al. 1981; Mann et al. 1984;

Scheibling & Hamm 1991; Russell 1998), Strongylocentrotus purpuratus

(Edwards & Ebert 1991), Paracentrotus lividus (Barnes & Cook 2001),

Echinometra mathaei (Black et al. 1982; Black et al. 1984; Neill 1988), Diadema

antillarum (Levitan 1991), dan Heliocidaris erythrogramma (Constable 1993); dan

studi aktivitas makan: Echinoidea (Valentine & Kenneth 1991; Macia 2000;

Alcovero & Mariani 2002), Echinometra mathaei (Hart & Chia 1990), Lytechinus

variegatus (Greenway 1995), dan Evechinus chloroticus (Barker et al. 1998).

Berbagai aspek ekologi bulu babi yang telah diteliti di Indonesia, antara lain

aspek ekologi Echinoidea (Tuwo et al. 1997; Rondo 1992, Radjab 2004),

(26)

2

studi aktivitas makan: Echinoidea (Aziz 1994b, 1999a) dan Tripneustes gratilla

(Darsono & Aziz 2000). Selain aspek ekologi, telah dilaporkan juga berbagai

studi mengenai aspek biologi: Echinoidea (Sumitro et al. 1992, Aziz 1999a);

Tripneustes gratilla (Darsono & Sukarno 1993; Tuwo 1995); pertumbuhan:

Diadema setosum (Yusron & Manik 1989), Tripneustes gratilla (Yusron 1991;

Radjab 1997); aspek reproduksi: Diadema setosum (Aziz & Darsono 1979,

Darsono 1993), Tripneustes gratilla (Andamari et al. 1994; Tuwo & Pelu 1997;

Radjab 1998; Baszary et al. 2001), Echinometra mathaei (Lintong, 1998; Lasut et

al. 2002), Toxopneustes pileolus (Hayati 1998 & Zulaika 1998), Temnopleurus

alexandri (Sugiharto, 1995), dan komposisi kimia gonad Tripneustes gratilla

(Chasanah & Andamari 1997).

Di Indonesia, beberapa marga bulu babi yang dijumpai di padang lamun

antara lain Diadema, Tripneustes, Toxopneustes, Echinotrix, Echinometra,

Temnopleurus, Mespilia dan Salmacis (Sumitro, et al. 1992 dan Aziz 1994a).

Gonad bulu babi dari marga-marga tersebut telah lama dimanfaatkan oleh

masyarakat pesisir sebagai bahan makanan (Darsono 1982; Aziz 1993; Chasanah

& Andamari 1997 dan Radjab 1998) dan dapat dijadikan sebagai bahan uji

toksikologi lingkungan (Sumitro et al. 1992; Lasut et al. 2002). Selain itu,

jenis-jenis seperti Toxopneustes pileolus, Tripneustes gratilla, Diadema setosum,

dan Asthenosoma menghasilkan peditoxin, bahan bioaktif yang berguna dalam

bidang farmasi (Takei et al. 1991; Nakagawa et al. 2003).

Padang lamun sebagai salah satu habitat bagi bulu babi memiliki peran

ekologis yang penting tidak hanya bagi bulu babi semata tetapi juga bagi berbagai

organisme lain yang ada di dalamnya serta bagi lingkungan di sekitarnya.

Kikuchi dan Peres (1977) menyebutkan bahwa secara ekologi padang lamun

berfungsi sebagai habitat dari berbagai organisme, sementara secara fisik padang

lamun merupakan suatu bentuk tahanan yang mempengaruhi pola aliran arus

dengan mereduksi kecepatan arus sehingga perairan di sekitarnya menjadi tenang

(Randall 1965, diacu dalam Azkab 2006), sehingga berfungsi sebagai stabilisator

dasar, penangkap sedimen dan penahan erosi (Kikuchi & Peres 1977).

Secara ekonomi padang lamun memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi.

(27)

Kusumastanto et al. (1999) melaporkan bahwa dari produksi perikanan nilai

ekonomi padang lamun mencapai 3,858.91 US$/ha/tahun, pencegahan erosi

34,871.75 US$/ha/tahun, dari biodiversity mencapai 15.00 US$/ha/tahun, dan

total nilai ekonominya mencapai 38,745.66 US$/ha/tahun.

Kepulauan Banda terdiri atas 6 (enam) pulau besar dan 7 (tujuh) pulau kecil

yang berada di sekitar pulau besar tersebut. Di kepulauan ini, padang lamun

dijumpai hampir di semua pulau, kecuali Pulau Gunung Api karena daerah

intertidalnya yang sangat sempit. Secara ekonomi, padang lamun di kepulauan ini

dimanfaatkan nelayan sebagai daerah penangkapan ikan dengan berbagai alat

tangkap seperti jaring insang (gill net), jaring pantai (beach seine) maupun

pancing. Pada musim-musim tertentu juga masyarakat memanen berbagai jenis

moluska, krustasea dan echinodermata. Selain padang lamun, terumbu karang

yang ada di wilayah ini menyimpan berbagai jenis organisme ekonomis penting

seperti ikan dan moluska yang dimanfaatkan nelayan sebagai sumber penghasilan.

Karenanya, keberadaan padang lamun yang dapat berfungsi sebagai pelindung

bagi ekosistem terumbu menjadi penting artinya baik secara ekonomi maupun

ekologi bagi masyarakat di kepulauan ini.

Keberadaan populasi bulu babi di padang lamun tidak hanya

menggambarkan kekayaan ataupun keanekaragaman jenis organisme yang

menempati habitat tersebut, akan tetapi, kehadiran bulu babi mampu

mempengaruhi fungsi ekologis ekosistem ini. Walaupun studi ekologi bulu babi

di Indonesia telah lama dilakukan, namun, hingga kini studi yang secara khusus

menggambarkan keterkaitan antara bulu babi dengan padang lamun masih relatif

sedikit. Oleh karena itu penelitian ini dimaksudkan sebagai salah satu upaya yang

dapat memperkaya khazanah informasi mengenai keterkaitan antara populasi bulu

babi dengan padang lamun yang berperan sebagai habitatnya.

Perumusan Masalah

Adanya proses hidrologis dan aktivitas manusia yang berlangsung di

ekosistem lamun akan menghasilkan tipologi tertentu bagi komunitas lamun serta

mempengaruhi organisme lain yang memanfaatkan ekosistem ini sebagai

habitatnya. Padang lamun sebagai salah satu habitat bagi beberapa jenis bulu

(28)

4

segatan sinar matahari, menyediakan daun lamun sebagai makanan serta

menciptakan kondisi fisik kimia yang baik bagi kelangsungan hidupnya.

Kelompok bulu babi tertentu akan cenderung memilih tipe habitat tertentu

yang disediakan padang lamun, dimana kecenderungan ini baik disebabkan oleh

faktor tingkah laku maupun akibat dari hasil interaksinya dengan padang lamun.

Oleh karenanya, akan dijumpai kelompok populasi bulu babi tertentu menempati

tipe komunitas lamun tertentu pula. Sebagai grazer penting di padang lamun,

kehadiran bulu babi dalam jumlah besar mampu meninggalkan area gundul

(bare area) sehingga fungsi ekologis ekosistem ini dapat terganggu. Hingga

kini informasi yang mengungkap berbagai keterkaitan antara komunitas

lamun dengan jenis-jenis bulu babi yang menempati padang lamun belum

banyak dilaporkan. Untuk mendapatkan jawaban terhadap permasalahan di atas,

penelitian ini dilakukan dengan berpatokan pada kerangka pendekatan masalah

sebagaimana yang dijabarkan dalam Gambar 1.

Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan: (i) untuk mendapatkan informasi mengenai

tipologi komunitas lamun, (ii) mengkaji karakteristik habitat dan sebaran spasial

bulu babi di padang lamun, (iii) mendeterminasi kemampuan merumput bulu babi

dan menguraikan keterkaitan antara bulu babi dan padang lamun. Hasil yang

diharapkan dari penelitian ini adalah tersedianya informasi mengenai komunitas

lamun di Kepulauan Banda, diketahuinya sebaran spasial bulu babi di padang

lamun Pulau Hatta, dan diketahuinya keterkaitan antara komunitas lamun dengan

(29)

Gambar 1. Kerangka Pendekatan Masalah

EKOSISTEM LAMUN

Komponen Biotik: H’, E, C

Kerapatan, Frekuensi & Penutupan

Indeks Nilai Penting (INP)

Komponen Abiotik: Suhu, Salinitas, pH, Kec. Arus,

Topografi, Pasut DO, PO4, NO3

Tipe Substrat

TIPOLOGI KOMUNITAS LAMUN

Aktivitas Manusia Proses Hidrologis

Keterkaitan antara Bulu Babi dengan Tipologi Komunitas Lamun

ANALISIS KELOMPOK

Menentukan similaritas habitat dan keterkaitan rata-rata antar kelompok

ANALISIS KOMPONEN UTAMA

Menentukan karakteristik habitat bulu babi

Komponen Biotik: H’, E, C

Kepadatan Jenis Pola Penyebaran

Aktifitas Grazing KOMUNITAS

BULU BABI

ANALISIS FAKTORIAL

KORESPONDEN

Menentukan sebaran spasial lamun dan bulu babi

Habitat

(30)

TINJAUAN PUSTAKA

Komunitas Lamun

Morfologi dan Klasifikasi Lamun

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga (Anthophyta) yang hidup

dan tumbuh terbenam di lingkungan laut, berpembuluh, berimpang (rhizoma),

berakar, dan berkembang biak secara generatif maupun vegetatif. Rimpangnya

merupakan batang yang beruas-ruas yang tumbuh terbenam dan menjalar dalam

substrat pasir, lumpur dan pecahan karang (Azkab 2006).

Jenis-jenis lamun umumnya memiliki morfologi luar yang tampak hampir

serupa yakni memiliki daun panjang, tipis dan mirip pita yang mempunyai saluran

air, serta bentuk pertumbuhannya monopodial. Bagian tubuh lamun dapat

dibedakan ke dalam morfologi yang tampak seperti akar, batang, daun, bunga dan

buah (Philips & Menez 1988; Fortes 1990; Tomascik et al. 1997).

Akar tunggal Rhizome Pelepah daun

Batang daun r ruas daun

entuk oval

Pangkal daun

Sambungan akar

Ruas memanjang

daun

Ujung daun

Lembaran daun

Pelepah daun

Sarung daun

Tunas yang berduri

[image:30.595.141.478.370.707.2]

Batang aka Lembaran daun

Gambar 2. Morfologi tumbuhan lamun (dimodifikasi dari Philips & Menez 1988)

Alu berb

r

Akar cabang

(31)

Tumbuhan lamun yang terdapat di seluruh perairan dunia berjumlah kurang

lebih 58 jenis yang berasal 12 genus dan 2 famili. Famili Potamogetonaceae

terdiri dari 9 genus sedangkan famili Hydrocharitaceae terdiri dari 3 genus (Azkab

2006).

Hingga kini, tercatat kurang lebih 12 jenis lamun dijumpai di perairan

Indonesia yang termasuk dalam 7 genus dan 2 famili. Famili Hydrocharitaceae

terdiri dari Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, dan

H. minor sedangkan famili Potamogetonaceae terdiri dari Syringodium

isoetifolium, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Halodule pinifolia, H. uninervis,

dan Thalassodendron ciliatum (Nontji, 1993; Azkab 2006).

Klasifikasi tumbuhan lamun yang terdapat di Indonesia menurut Philip

dan Menez (1988) adalah sebagai berikut :

Divisi: Anthophyta

Subkelas: Monocotyledoneae

Ordo: Helobiae

Famili: Hydrocharitaceae

Genus: Enhalus

Genus: Thalassia

Genus: Halophila

Famili: Patamogetonaceae

Genus: Cymodoceae

Genus: Halodule

Genus: Syringodium

Genus: Thalassodendron

Habitat, Distribusi dan Peran Ekologis Lamun

Lamun dapat berhasil hidup di laut karena mampu hidup di media air asin,

mampu berfungsi normal dalam keadan terbenam, mempunyai sistem perakaran

yang berkembang baik, mampu berbiak generatif dalam keadaan terbenam, dan

mampu berkompetisi dengan organisme lain dalam keadaan kondisi stabil ataupun

tidak stabil pada lingkungan laut (Philips & Menez 1988).

Syarat dasar habitat lamun adalah perairan dangkal, memiliki substrat yang

(32)

8

membawa pergi sisa-sisa metabolisme. Selanjutnya, di beberapa daerah padang

lamun dapat tumbuh namun tidak dapat berkembang dengan baik karena tidak

terlindung pada saat air surut (Dahuri et al. 1997). Lamun dapat tumbuh pada

empat tipe substrat yaitu rataan terumbu, paparan terumbu, teluk dangkal yang

didominasi oleh pasir hitam terigenous dan pantai intertidal datar yang didominasi

oleh lumpur halus (Erftemeijer 1993). Lamun juga dapat ditemukan pada daerah

subtidal dengan kedalaman 40 m bahkan hingga 90 m selama masih ada sinar

matahari (den Hartog 1977).

Dari 12 genus lamun yang dijumpai di seluruh perairan dunia, 7 genus

diantaranya yakni Enhalus, Halophila, Thalassia, Cymodoceae, Halodule,

Syringodium, dan Thalassodendron tersebar di perairan tropis, sedangkan 5 genus

lainnya yakni Zostera, Heterozostera, Phyllospadix, Posidonia dan Amphibolis

merupakan penghuni perairan subtropis (den Hartog 1970).

Komunitas lamun biasanya terdapat dalam area yang luas dan rapat. Secara

umum, terdapat tiga tipe vegetasi padang lamun, yaitu: 1) padang lamun vegetasi

tunggal (monospecific seagrass beds), dimana hanya terdapat satu jenis lamun,

2) padang lamun yang terdiri dari dua atau tiga jenis, tipe ini lebih sering dijumpai

dibanding tipe vegetasi tunggal, dan 3) padang lamun vegetasi campuran (mixed

seagrass beds), umumnya terdiri dari E. acoroides, T. hemprichii, C. Rotundata,

C. serrulata, S. isoetifolium, Halodule uninervis dan Halophila ovalis (Brouns &

Heijs 1991; Tomascik et al. 1997). Padang lamun di perairan Indonesia umumnya

termasuk padang lamun vegetasi campuran (Nienhuis et al. 1989).

Penyebaran lamun di Indonesia meliputi perairan Sumatera, Jawa, Bali,

Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara serta Irian Jaya (Fortes, 1990;

Tomascik et al. 1997). Dari 12 jenis lamun yang terdapat di perairan Indonesia,

hanya Halophila spinulosa yang belum dijumpai di Kepulauan Maluku

(Kuriandewa 1998a). Hingga kini, terdapat 8 jenis lamun yakni Enhalus

acoroides, Thallasia hemprichii, Halophila ovalis, Cymodocea rotundata,

Cymodocea serrulata, Halodule uninervis, Syringodium isoetifolium, dan

(33)

Tabel 1. Distribusi jenis lamun di Kepulauan Maluku

Jenis Lamun No Lokasi

Ea Th Ho Hm Hd Hs Cr Cs Hp Hu Si Tc

Sumber

1 T. Elpaputih + + + + - - + - + + + - Kuriandewa (1998a) 2 T. Piru + + + + - - + + + + + - Kuriandewa (1998a) 3 T. Kotania + + + + + - + + + + + - Kuriandewa (1998a) 4 T. Ambon + + - + - - - - + - - - Kuriandewa (1998a) 5 T. Buli + + + - - - + + + + + - Kuriandewa (1998a) 6 Waisarissa + + + - - - + - + - - - Kuriandewa (1998a) 7 P. Tayandu

& Tual + + + + + - + + + + + + Kuriandewa (1998a) 8 P. Kei Besar + + + - - - + - + - - - Kuriandewa (1998a) 9 P. Yamdena + + + + - - + + + + + + Kuriandewa (1998a) 10 Kep. Sermata + + + - - - + + + + + + Kuriandewa (1998a) 11 Kep. Sula + + + - - - + + + + - + Kuriandewa (1998a) 12 Kep. Banda + + + - - - + + - + + + David et al. (2002) Ket: Ea=Enhalus acoroides, Th=Thalassia hemprichii, Ho=Halophila ovalis, Hm=H. minor, Hd=H. decipiens,

Hs=H. spinulosa, Cr=Cymodocea rotundata, Cs=C. serrulata, Hp=Halodule pinifolia, Hu=H. uninervis, Si=Syringodium isoetifolium, Tc=Thalassodendron ciliatum.

+ = ada, - = tidak ada

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan di Indonesia, dilaporkan

bahwa kerapatan dan penutupan jenis lamun di Teluk Kuta, Lombok Selatan

masing-masing berkisar antara 90-2520 teg/m2 dan <5-35% (Kiswara & Winardi 1994), di Teluk Awur, Jepara kerapatan jenis berkisar antara 46.41-545.43 teg/m2 dan penutupan 4.87-31.64% (Merryanto 2000), sementara di Teluk Banten,

kerapatan jenis berkisar antara 16.7-159 teg/m2 dan penutupan mencapai 67% (Erina 2006). Dari penelitian-penelitian ini juga dijumpai adanya kecenderungan

dominasi kerapatan dan penutupan oleh Thalassia hemprichii seperti di Teluk

Awur, Jepara (Merryanto 2000), Teluk Gilimanuk (Rosalinda 2006), Air Cina,

Kupang (Putra 2006), Pulau Lima, Teluk Banten (Erina 2006), tetapi berbeda

dengan Teluk Kuta, Lombok Selatan dimana kerapatan didominasi Halodule

pinifolia dan penutupan oleh Enhalus acoroides (Kiswara & Winardi 1994),

maupun di Temukanak dan Wasmolok, Timur Tengah Utara (Putra 2006) dimana

kerapatan didominasi Thalassia hemprichii sementara dominasi tutupan diwakili

Enhalus acoroides dan Cymodocea serrulata.

Kehadiran padang lamun di perairan dangkal sangat penting karena

(34)

10

mencari makan berbagai biota bentik dan ikan, stabilisator dasar, penangkap

sedimen dan penahan erosi (Kikuchi & Peres 1977). Sebagai produser primer,

lamun memfiksasi sejumlah karbon organik dan sebagian memasuki rantai

makanan di laut. Kandungan bahan organik di lamun yang tinggi berasal dari

serasah daun lamun.

Sebagai habitat biota, lamun memberikan perlindungan

bagi beberapa jenis biota baik yang menempel di daun, berada di atas akar dan

rhizoma, maupun pada sedimen dasar sehingga terlindung dari predator (Fortes

1990). Sebagai sumber makanan, biota yang menghuni padang lamun dapat

memakan tumbuhan lamun secara langsung (direct grazing) maupun melalui jalur

detritus (Wood et al. 1969, diacu dalam Philips & Menez 1988). McRoy dan

Helfferich (1980) melaporkan bahwa salah satu avertebrata yang memakan daun

lamun secara langsung adalah bulu babi, sedangkan dari kelompok vertebrata yaitu

beberapa ikan (Scaridae, Acanthuridae), penyu dan duyung, sedangkan bebek dan

angsa memakan lamun ketika lamun tersebut muncul pada surut terendah.

Dalam kaitannya dengan peran lamun sebagai habitat, Kikuchi (1980)

menyebutkan bahwa terdapat lima hal pokok dari ekosistem lamun dalam

kaitannya sebagai penyusun suatu habitat yaitu: 1) lamun membentuk vegetasi

lebat di bawah permukaan air dan menyediakan lapisan dasar yang ada bagi

organisme penggali dan epifit, 2) vegetasi yang lebat tersebut menenangkan

gerakan air yang ditimbulkan oleh arus dan gelombang, 3) dengan keadaan

hidrodinamik yang tenang, mineral dan partikel organik dalam air dengan mudah

dapat mengendap di dasar perairan, dimana endapan dari serasah lamun yang

membusuk dan partikel organik lainnya membentuk suatu lingkungan yang sesuai

bagi kehidupan mikroorganisme dan hewan bentik lainnya, 4) daun-daun lamun

mereduksi cahaya yang berlebihan sehingga menjadi teduh dan melindungi

organisme yang ada di bawahnya, 5) berdasarkan penyebab di atas, maka padang

lamun merupakan habitat yang baik bagi juvenil dan nekton bahari berukuran

kecil untuk mendapatkan tempat berlindung dan mencari makanan.

Selanjutnya, Howard et al. (1989) membagi empat grup besar fauna yang

menghuni padang lamun, yaitu: 1) infauna, merupakan hewan yang hidup di

dalam sedimen di antara rhizoma, 2) epifauna motil, merupakan hewan yang

(35)

lamun dan di helaian daun, 3) epifauna sessil, merupakan hewan yang hidup

secara permanen melekat di helaian lamun, 4) fauna epibentik, merupakan hewan

yang berukuran lebih besar, mampu bergerak bebas dan lebih berasosiasi dengan

padang lamun daripada lamun secara individual.

Bulu Babi (Echinoidea)

Morfologi dan Klasifikasi

Secara morfologi, bulu babi terbagi dalam dua kelompok yakni bulu babi

regularia atau bulu babi beraturan (regular sea urchin) dan bulu babi iregularia

atau bulu babi tidak beraturan (irregular sea urchin). Bentuk tubuh bulu babi

regularia adalah simetri pentaradial hampir berbentuk bola sedangkan bulu babi

iregularia memperlihatkan bentuk simetri bilateral yang bervariasi (Aziz 1987;

[image:35.595.177.451.358.514.2]

Chao 2000; Pechenik 2005; Radjab 2001).

Gambar 3. Bentuk umum bulu babi regularia

Selain itu, Suwignyo et al. (2005) juga menyebutkan bahwa tubuh bulu babi

berbentuk bulat atau pipih bundar, tidak bertangan, mempunyai duri-duri panjang

yang dapat digerakkan. Semua organ pada bulu babi umumnya terletak di dalam

tempurung (test sceleton) yang terdiri atas 10 keping pelat ganda, biasanya

bersambungan dengan erat, yaitu pelat ambulakra, disamping itu terdapat pelat

ambulakra yang berlubang-lubang tempat keluarnya kaki tabung. Pada

permukaan tempurung terdapat tonjolan-tonjolan pendek yang membulat, tempat

menempelnya duri. Di antara duri-duri tersebar pedicellaria dengan 3 gigi.

Kebanyakan bulu babi mempunyai 2 macam duri, duri panjang atau utama

(36)

12

oral, dilengkapi dengan lima gigi tajam dan kuat untuk mengunyah yang

dikenal sebagai aristotle’s lantern. Anus, lubang genital dan madreporit terletak

di sisi aboral.

Klasifikasi bulu babi menurut Heinke dan Schultz (2006) adalah:

Filum: Echinodermata

Subfilum: Echinozoa

Kelas: Echinoidea

Ordo: Cidaroida

Famili: Cidaridae, Psychocidaridae, Histocidaridae

Ordo: Echinothuroida

Famili: Echinothuridae

Ordo: Diadematoida

Famili: Diadematidae, Micropygidae

Ordo: Phymosomatoida

Famili: Glyptocidariidae, Stomopneustidae

Ordo: Arbacioida

Famili: Arbaciidae

Ordo: Temnopleuroida

Famili: Temnopleuridae

Ordo: Echinoida

Famili: Echinidae, Parechinidae, Echinometridae, Strongylocentrotidae,

Toxopneustidae

Ordo: Clypeasteroida

Famili: Clypeasteridae, Arachnoididae, Laganiidae, Rotulidae, Echinarachniidae, Dendrasteridae, Mellitidae

Ordo: Spatangoida

Famili: Spatangidae, Mycrasteridae, Brissidae, Loveniidae, Schizasteridae, Pericosmidae, Asterostomatidae

Ordo: Holectypoida

Famili: Echinoneidae

Ordo: Cassiduloida

Famili: Cassidulidae, Apatopygidae, Echinolampadidae

Ordo: Holasteroida

(37)

Habitat, Distribusi dan Tingkah Laku Bulu Babi

Bulu babi hidup pada ekosistem terumbu karang dan ekosistem lamun. Di

ekosistem terumbu karang bulu babi tersebar di zona pertumbuhan algae dan zona

lamun. Bulu babi ini dapat ditemui mulai dari daerah intertidal sampai ke

kedalaman 10 m (Aziz 1993), bahkan ditemukan juga bulu babi hingga kedalaman

5000 m (Suwignyo et al. 2005). Bulu babi juga lebih menyukai perairan yang

jernih dan airnya relatif tenang (Radjab 2004).

Bulu babi sebagai salah satu biota penghuni padang lamun, kerap kali

ditemukan di daerah padang lamun campuran. Kondisi ini terutama disebabkan

karena bulu babi tergantung kepada berbagai jenis lamun dari marga Thalassia,

Syringodium, Thalassodendron, dan Cymodocea. Selain itu bulu babi juga lebih

menyukai substrat yang agak keras, dimana substrat padang lamun campuran

terutama terdiri dari campuran pasir dan pecahan karang. Bulu babi yang

menempati padang lamun dapat hidup mengelompok seperti Diadema setosum,

D. Antilarrum, Tripneustes gratilla, T. ventricosus, Lytechinus variegatus,

Temnopleurus toreumaticus dan Strongilocentrotus spp. maupun yang cenderung

hidup menyendiri seperti Mespilia globulus, Toxopneustes pileolus, Pseudoboletia

maculata dan Echinotrix diadema (Aziz 1994a). Ditambahkan, bulu babi marga

Tripneustes, Lytechinus dan Temnopleurus lebih sering dijumpai di padang lamun

dibandingkan dengan di daerah terumbu karang.

Penyebaran lokal bulu babi sangat tergantung pada faktor habitat dan

makanan yang terdapat di sekeliling biota tersebut (de Beer 1990). Pada

umumnya masing-masing jenis memiliki habitat yang spesifik, seperti

Tripneustes gratilla sering ditemukan di daerah berpasir atau pasir lumpur yang

banyak ditumbuhi lamun dengan kedalaman antara 0.5 m sampai dengan 20 m

(Radjab 2004). Mellita quinquisperforata merupakan salah satu komponen

penting di komunitas pantai berpasir (Tavares & Borzone 2006). Hingga kini,

tercatat kurang lebih 151 jenis fauna Echinoidea yang terdiri dari 93 genus dan

34 famili dijumpai di perairan Laut Banda dan sekitarnya. Fauna Echinoidea

yang dijumpai di wilayah ini tersebar mulai dari perairan dangkal hingga

kedalaman 2250 m (Aziz 1999b). Penyebaran dan kepadatan beberapa jenis bulu

(38)
[image:38.595.115.504.103.224.2]

14

Tabel 2. Kepadatan beberapa jenis bulu babi di Kepulauan Indonesia

Jenis Lokasi Kepadatan Sumber

Tripneustes gratilla Bali 1-60/50m2 Darsono & Sukarno (1993)

Tripneustes gratilla Padaido 0.003-0.021/m2 Radjab (2004)

Diadema setosum Padaido 0.001-0.002/m2 Radjab (2004)

Brissus latecarinatus Padaido 0.010/m2 Radjab (2004)

Heterocentrotus mammilatus Padaido 0.001/m2 Radjab (2004)

Echinometra mathaei Padaido 0.008/m2 Radjab (2004)

Protoreaster gratiosa Padaido 0.001/m2 Radjab (2004)

Echinoidea Spermonde 0.17-0.61/m2 de Beer (1990) Echinoidea Bunaken 0.17-0.61/m2 Rondo (1992)

Menurut Aziz (1987), kelompok bulu babi regularia baik yang menyendiri

ataupun mengelompok, hidup bebas mencari makan secara aktif, berpindah dari

satu rumpun ke rumpun algae lainnya. Aktifitas makan ini terutama dilakukan

pada malam hari. Sementara itu, kelompok bulu babi iregularia baik sand dollar,

heart urchin ataupun sea biscuit hidup dengan makan sisa-sisa organik yang

terkandung dalam lumpur (deposit feeders). Hewan ini hidup membenamkan diri

dalam lumpur atau pasir halus dan secara pasif mengumpulkan jasad-jasad renik

dan sisa organik yang tertangkap oleh duri-durinya terutama pada sisi aboral, atau

memperoleh makanan dengan cara menelan pasir yang ada pada medium di

sekitarnya.

Selanjutnya, kebiasaan bulu babi jenis tertentu untuk hidup mengelompok

seperti pada marga Diadema dan Strongylocentrotus ternyata mempunyai

pengaruh negatif terhadap komunitas algae dan lamun (Aziz 1987). Dari

penelitian yang dilakukan di Teluk Mukkaro Washington, Paina dan Vadas (1969)

dalam Aziz (1987) dilaporkan bahwa apabila semua bulu babi Strongylocentrotus

disingkirkan pada luas areal tertentu pada kedalaman 0-6 m, akan terlihat algae

dari marga Hedophyllum menjadi predominan. Hal yang sama juga terlihat pada

kedalaman sampai 8 m dimana kelp dari marga Laminaria akan menjadi

predominan setelah bulu babi disingkirkan. Selain itu, Scheibling (1984) juga

melaporkan bahwa meningkatnya populasi bulu babi Strongylocentrotus

droebachiensis telah mengakibatkan rusaknya padang kelp (kelp beds) di Nova

(39)

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan selama bulan Juli hingga Oktober 2008

di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku. Lokasi penelitian dibagi dalam 4

(empat) stasiun dimana masing-masing stasiun terletak di Pantai Utra (Tenggara

Hatta), Pantai Polo (Timur Hatta), Pantai Bakereij (Utara Hatta), dan Pantai Ujung

Paser (Barat Hatta). Posisi stasiun penelitian selengkapnya ditampilkan dalam

Gambar 4.

Gambar 4. Peta lokasi penelitian

Alat dan Bahan Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain rol meter, petak

kuadrat, sedimen core, kantong plastik, alat tulis, buku identifikasi lamun (Philips

& Menez 1988) dan buku identifikasi bulu babi (Colin & Arneson 1995) serta

bahan pengawet formalin 4%. Peralatan yang digunakan dalam pengukuran

parameter kualitas air selengkapnya ditampilkan dalam Tabel 3.

Prosedur Penelitian

Evaluasi terhadap tipologi padang lamun dilakukan melalui penggambaran

terhadap distribusi, kerapatan dan penutupan jenis lamun yang diperoleh

(40)

16

English et al. (1994). Lokasi penelitian dibagi dalam 4 (empat) stasiun

pengamatan dimana setiap stasiun terdiri atas 3 (tiga) substasiun yang dipasang

sejajar garis pantai. Substasiun A berada pada daerah lamun bagian belakang,

substasiun B pada daerah lamun bagian tengah dan substasiun C pada daerah

[image:40.595.110.519.189.628.2]

lamun bagian depan (Gambar 5).

Tabel 3. Parameter fisik kimia perairan dan metode pengukurannya

Parameter Unit Alat/Metode Keterangan

Suhu oC Termometer/Pemuaian in situ Salinitas ppt Refraktometer/Refraksi in situ

pH - pH indikator in situ

Kekeruhan NTU Turbidimeter lab Kec. Arus m/det Floating Dradge/Lagrangian in-situ Pasut/Topografi cm Palm tide & water pass in situ

DO mg/l DO meter in situ

Nitrat mg/l Spektrofotometer/Spektrofotometri lab Fosfat mg/l Spektrofotometer/Spektrofotometri lab Tipe substrat % Saringan bertingkat/Wentworth lab

Substasiun A Substasiun B Substasiun C

Gambar 5. Ilustrasi pengambilan contoh lamun dan bulu babi dengan transek kuadrat

Pengamatan terhadap komunitas bulu babi dilakukan dalam 3 (tiga) petak

kuadrat pada setiap substasiun, dengan ukuran kuadrat 2.5 m x 10 m. Pengamatan

terhadap komunitas lamun dilakukan dalam 6 (enam) petak kuadrat pada setiap

(41)

dibagi dalam grid-grid berukuran 0.1 m x 0.1 m. Pengamatan terhadap komunitas

dilakukan dalam kuadrat pengamatan bulu babi. Untuk keperluan analisis

keterkaitan antara bulu babi dan lamun, hasil pengmatan pada setiap kuadrat

dikonversi ke dalam satuan individu per meter kuadrat (ind/m2). Selanjutnya, pada setiap substasiun pengamatan dilakukan pengukuran terhadap kondisi fisik kimia

air yang meliputi suhu, salinitas, pH, kekeruhan, kecepatan arus, DO, nitrat,

fosfat, dan tipe substrat.

Pengamatan tingkah laku bulu babi (aktivitas merumput) terhadap lamun

dilakukan secara langsung (alam) dan tidak langsung (akuarium). Pengamatan

secara langsung dilakukan dengan menempatkan kurungan berukuran 25 cm x

25 cm x 50 cm sebanyak 8 buah di padang lamun yang telah dihitung jumlah

tegakannya. Kemudian, setiap kurungan tersebut dimasukkan 1 individu bulu

babi dan diamati kecepatan makan bulu babi tersebut hingga lamun yang terdapat

dalam kurungan tersebut habis. Pengamatan tak langsung (akuarium) dilakukan

dengan memelihara 4 individu bulu babi dalam akuarium yang berbeda selama 12

hari, dan diberi makan daun lamun yang telah diketahui berat awalnya. Setiap 24

jam, lamun yang tersisa ditimbang beratnya untuk mengetahui bobot lamun yang

dimakan bulu babi per hari.

Gambar 6. Ilustrasi kurungan pengamatan langsung aktivitas merumput bulu babi (A), pengamatan tak langsung aktivitas merumput bulu babi di akuarium (B).

(42)

18

Analisis Data

Komunitas Lamun

Keanekaragaman, keseragaman dan dominansi jenis

Indeks keanekaragaman (H’) merupakan penggambaran terhadap keadaan

suatu populasi organisme secara matematis sehingga mempermudah menganalisis

informasi jenis dan jumlah individu setiap jenis yang menyusun suatu komunitas.

Penghitungan keanekaragaman jenis ini dilakukan dengan menggunakan Indeks

Keanekaragaman Shannon-Wiener yang didasarkan pada logaritma basis dua

(Krebs 1989) dengan formula:

=

=

s

i i i

p

log

p

'

H

1 2

dimana H’ = indeks keanekaragaman Shannon-Wiener

pi = ni/N

ni = jumlah individu jenis ke-i

N = jumlah total individu seluruh jenis s = jumlah jenis

dengan kriteria (Brower et al. 1990):

H’ < 3.322 = Keanekaragaman rendah 3.322 < H’ < 9.966 = Keanekaragaman sedang H’ > 9.966 = Keanekaragaman tinggi

Nilai indeks keseragaman (E) digunakan untuk menggambarkan komposisi

individu tiap spesies yang terdapat dalam suatu komunitas, yang dihitung dengan

menggunakan petunjuk Krebs (1989), sebagai berikut:

max

H

'

H

E

=

dimana: E = indeks keseragaman

H’ = indeks keanekaragaman Shannon-Wienner Hmax = log2 S

S = jumlah jenis

dengan kriteria:

(43)

Nilai indeks dominasi (C) digunakan untuk menggambarkan ada tidaknya

dominansi suatu jenis dalam suatu komunitas, yang dihitung dengan

menggunakan indeks dominasi Simpson (Magurran 1988), sebagai berikut:

=

=

s

i

pi

C

1 2

dimana: C = indeks dominansi Simpson

pi = ni/N

ni = jumlah individu jenis ke-i

N = jumlah total individu seluruh jenis s = jumlah jenis

dengan kriteria:

0.00 < C < 0.50 = dominansi rendah 0.50 < C < 0.75 = dominansi sedang 0.75 < C < 1.00 = dominansi tinggi

Kerapatan jenis dan kerapatan relatif jenis lamun

Kerapatan jenis lamun adalah jumlah total individu atau tegakan lamun

dalam suatu unit area yang dihitung berdasarkan petunjuk English et al. (1994)

sebagai berikut :

A

ni

Di

=

dimana: Di = kerapatan jenis ke-i (ind/m2)

ni = jumlah total individu jenis ke-i (ind.) A = luas area total pengambilan contoh (m2)

Kerapatan relatif jenis lamun adalah perbandingan kerapatan mutlak jenis

ke-i dan jumlah kerapatan seluruh jenis, dihitung berdasarkan petunjuk

English et al. (1994) sebagai berikut :

100

x

D

Di

RDi

=

dimana: RDi = kerapatan relatif jenis ke-i Di = kerapatan jenis ke-i (ind/m2)

(44)

20

Frekuensi jenis dan frekuensi relatif jenis lamun

Frekuensi jenis lamun adalah peluang ditemukannya jenis ke-i dalam suatu

petak contoh terhadap seluruh petak contoh yang diamati, dihitung berdasarkan

petunjuk English et al. (1994) sebagai berikut:

=

P

Pi

Fi

dimana: Fi = frekuensi jenis ke-i

Pi = jumlah petak contoh ditemukannya jenis ke-i

ΣP = jumlah total petak contoh yang diamati

Frekuensi relatif jenis lamun adalah perbandingan frekuensi jenis ke-i

dengan jumlah total frekuensi jenis, dihitung berdasarkan petujuk English et al.

(1994) sebagai berikut :

100

x

F

Fi

RFi

=

dimana: RFi = frekuensi relatif jenis ke-i Fi = frekuensi jenis ke-i

ΣF = jumlah total frekuensi jenis

Penutupan jenis dan penutupan relatif jenis lamun

Perhitungan penutupan jenis lamun dilakukan berdasarkan petunjuk Saito

dan Atobe (1970), diacu dalam English et al. (1994) sebagai berikut:

(

)

∑ ∑ = fi fi x Mi Ci

dimana: Ci = penutupan jenis ke-i

Mi = persentase nilai tengah kelas ke-i

fi = frekuensi (jumlah tutupan kotak-kotak kecil dari jenis ke-i, yang dominan)

Σf = jumlah total frekuensi jenis ke-i

Penutupan relatif jenis lamun adalah perbandingan antara penutupan jenis

ke-i dengan jumlah total penutupan seluruh jenis.

100

x

C

Ci

RCi

=

dimana; RCi = penutupan relatif jenis ke-i Ci = penutupan jenis ke-i

(45)

Indeks nilai penting jenis lamun

Indeks nilai penting digunakan untuk menghitung dan menduga peranan jenis

ke-i dalam suatu komunitas. Semakin tinggi Indeks Nilai Penting jenis ke-i maka

semakin tinggi jenis ke-i di dalam komunitas dan sebaliknya (Brower et al. 1990) :

RCi

RFi

RDi

IVi

=

+

+

dimana: IVi = indeks nilai penting jenis ke-i RDi = kerapatan relatif jenis ke-i RFi = frekuensi relatif jenis ke-i RCi = penutupan relatif jenis-ke-i

Komunitas Bulu Babi Echinoidea

Keanekaragaman, keseragaman dan dominansi jenis

Formula perhitungan nilai indeks keanekaragam, keseragaman dan

dominansi jenis bulu babi dilakukan dengan menggunakan formula sebagaimana

yang digunakan terhadap komunitas lamun.

Pola Penyebaran

Pola penyebaran bulu babi dalam suatu komunitas dihitung dengan

menggunakan Indeks Penyebaran Morisita (Poole 1974), sebagai berikut:

(

1

)

2

=

N

N

N

x

n

I

d

dimana: Id = indeks penyebaran Morisita n = jumlah plot

N = jumlah total individu dalam total n plot

x2 = kuadrat jumlah individu per plot untuk total n plot dengan kriteria, jika:

Id = 1, maka pola penyebaran acak Id = 0, maka pola penyebaran merata

Id = n, maka pola penyebaran mengelompok

Selanjutnya, untuk mendeterminasi signifikansi pola penyebaran yang

diperoleh, dilakukan uji khi-kuadrat (χ2) pada selang kepercayaan 95% (α=0.05) dengan formula:

N N

X n

=

2 2

(46)

22

Sebaran Karakteristik Biofisik-Kimia

Untuk menentukan sebaran karakteristik biofisik-kima perairan, digunakan

pendekatan sidik peubah ganda melalui Analisis Komponen Utama (Principal

Component Analysis) dengan menggunakan pengukuran jarak Euklidean (jumlah

kuadrat beda antar individu untuk variabel yang berkoresponden) dengan rumus

(Legendre & Legendre 1983; Bengen 2000) :

=

= p

j

j i

ij X

X i

i d

1

2 ' 2(, ') ( )

dimana: i,i’ = dua baris

j = indeks pada kolom (bervariasi dari 1 hingga p)

Analisis Komponen Utama (PCA) ini merupakan metode statistik

interdependen yang bertujuan yang bertujuan mempresentasikan informasi

maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data dalam bentuk grafik. Matriks

data ini terdiri dari stasiun pengamatan sebagai individu statistik pada baris dan

parameter biofisik-kimia air sebagai variabel kuantitatif pada kolom.

Keterkaitan antara Komunitas Lamun dan Populasi Bulu Babi

Evaluasi keterkaitan antara komunitas lamun dan populasi bulu babi

di lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan Analisis Faktorial

Koresponden (Correspondence Analysis) (Bengen 2000), yang didasarkan pada

matriks data i baris (kerapatan lamun, kepadatan bulu babi) dan j kolom (stasiun)

dimana kepadatan bulu babi atau kerapatan lamun kei-i untuk stasiun ke-j terdapat

pada baris ke-i dan kolom ke-j. Matriks datanya merupakan tabel kontigensi

kerapatan jenis bulu babi x stasiun pengamatan dan tabel kontigensi kerapatan

jenis lamun x stasiun pengamatan.

Matriks yang sama dievaluasi pula kerapatan jenis dalam menentukan

sebaran kepadatan bulu babi. Evaluasi terhadap variabel tersebut dilakukan

dengan cara memasukkannya sebagai variabel asosiatif. Matriks datanya

merupakan tabel kontigensi kepadatan bulu babi x kerapatan jenis lamun.

Analisis ini merupakan suatu analisis komponen utama ganda dengan

pengukuran jarak khi-kuadrat. Analisis Faktorial Koresponden ini tidak

menghasilkan dua grafik yang independen tapi hanya satu grafik unik dimana

(47)

Gambar

Gambar 2. Morfologi tumbuhan lamun (dimodifikasi dari Philips & Menez 1988)
Gambar 3. Bentuk umum bulu babi regularia
Tabel 2.  Kepadatan beberapa jenis bulu babi di Kepulauan Indonesia
Tabel 3.  Parameter fisik kimia perairan dan metode pengukurannya
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Kotler (2008) “Atribut produk adalah karakteristik yang melengkapi fungsi dasar produk”. Pengembangan suatu produk atau jasa melibatkan pendefinisian manfaat yang akan

Berhubung dengan itu maka ditetapkanlah Penetapan Presiden Nomor 2 tahun 1959, yang menentukan bahwa sebelum tersusun Majelis Permusyawaratan Rakyat menurut Undang- undang

Kutipan yang berasal dari buku yang berbentuk bunga rampai atau kumpulan tulisan dari beberapa penulis, maka cara penulisannya adalah: nama penulis, tahun terbit, koma, tanda

Dengan menguraikan tanda-tanda itu Nursi menjalin tafsirannya dengan apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah (sunnah) sebagai orang yang paling otoritatif

Pengembangan Bengkel Fabrikasi Jurusan Pendidikan Teknik Mesin FT UNY menggunakan simulasi aplikasi 3DS Max bermanfaat bagi proses belajar mengajar penerpan aspek

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa akibat topografi kota, sistem penyediaan air bersih yang diusahakan sendiri ( self provision ) ikut terkonsentrasi pada

Selain itu KSPPS BMT FAJAR Metro menerapkan system bisnis yang diajarkan oleh Rasullulah SAW yaitu menerapkan prinsip berperilaku baik kepada anggota maupun

Hasil dari korelasi yang digunakan untuk menguji hipotesis antara kecanduan game online 0,97 dengan motivasi belajar adalah 0.491, tetapi tidak signifikan namun berhubungan