• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi efikasi ekstrak daun kisampang< Mekicope denhamii terhadap ektoparasit pada ayam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi efikasi ekstrak daun kisampang< Mekicope denhamii terhadap ektoparasit pada ayam"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI EFIKASI EKSTRAK DAUN KISAMPANG (

Melicope

denhamii

) TERHADAP EKTOPARASIT PADA AYAM

KAMPUNG YANG ADA DI BAGIAN SAYAP

NINA TRI YULIANTI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

NINA TRI YULIANTI. Studi Efikasi Ekstrak Daun Kisampang (Melicope denhamii) Terhadap Ektoparasit Pada Ayam Kampung Yang Ada Di Bagian Sayap. Dibimbing oleh AHMAD ARIEF AMIN dan SRI RAHAYU.

Penyakit unggas yang disebabkan oleh parasit merupakan ancaman yang serius, karena adanya parasit yang berfungsi sebagai vektor. Hal ini jika tidak diantisipasi dan ditangani dengan tepat akan menyebabkan penyakit yang dapat menyebar dengan cepat hingga terjadi kematian pada sebagian besar atau seluruh ayam (Darmana 2003). Menurut Wiharto (1985) penyakit yang disebabkan oleh parasit dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yakni gangguan oleh ektoparasit seperti lalat (flies), kutu (lice), caplak (tick), tungau (mite), sieur/gurem (dull) dan pinjal (flea) serta gangguan oleh endoparasit seperti cacing. Gangguan ektoparasit pada ayam menimbulkan rasa tidak tenang, gatal, kerusakan bulu, gangguan pertumbuhan, gangguan terhadap produksi dan sebagai inang perantara bagi penyakit lainnya, seperti penyakit yang disebabkan oleh bakteri, cacing dan virus.

Menurut Rasyaf (2004) penyakit kutu cukup banyak menyerang peternakan ayam kampung, walaupun tidak mematikan tetapi cukup mengganggu. Penyakit kutu dapat terjadi karena kandang yang kotor dan kurang sinar matahari. Hal ini terjadi akibat salah dalam merancang kandang dan kebersihan kandang yang kurang dijaga. Tempat-tempat yang biasa digunakan untuk bertelur juga dapat menjadi sarang kutu.

Pengendalian terhadap ektoparasit biasanya dilakukan dengan menggunakan insektisida sintetis yang dapat mengakibatkan keracunan pada manusia, keracunan pada hewan ternak, polusi lingkungan serta hama (serangga) menjadi resisten. Untuk mengurangi dampak penggunaan insektisida sintetis, penggunaan insektisida nabati merupakan alternatif pilihan karena tidak menimbulkan dampak kerusakan lingkungan dan kesehatan (Abdillah 2004).

Dalam penelitian ini digunakan ekstrak methanol daun kisampang (Melicope denhamii) sebagai alternatif insektisida nabati. Tanaman Kisampang banyak ditemukan di kepulauan Jawa, walau begitu pemanfaatan dari tanaman ini sudah meluas di seluruh Indonesia (Anonim 1995). Ekstrak dari daun Kisampang berpotensi untuk insektisida. Famili tumbuhan yang dianggap merupakan sumber potensial insektisida botani adalah Meliaceae, Annonaceae, Asterodeae, dan

Rutaceae (Syahputra 2000).

(3)

STUDI EFIKASI EKSTRAK DAUN KISAMPANG (

Melicope

denhamii

) TERHADAP EKTOPARASIT PADA AYAM

KAMPUNG YANG ADA DI BAGIAN SAYAP

NINA TRI YULIANTI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

Judul Skripsi : Studi Efikasi Ekstrak Daun Kisampang (Melicope denhamii) Terhadap Ektoparasit Pada Ayam Kampung Yang Ada Di Bagian Sayap

Nama mahasiswa : Nina Tri Yulianti Nomor Pokok : B04101163

Disetujui

Dr. drh. H. Ahmad Arief Amin Ir. Sri Rahayu, Msi Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui

Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(5)

PRAKATA

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini yang dilaksanakan sejak bulan Februari hingga Agustus 2005 adalah Studi Efikasi Ekstrak Daun Kisampang (Melicope denhamii) Terhadap Ektoparasit Pada Ayam Kampung Yang Ada Di Bagian Sayap.

Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Drh. H. Ahmad Arief Amin dan ibu Ir. Sri Rahayu, Msi selaku pembimbing, serta Dra. Iis Arifiantini, Msi selaku pembimbing akademik. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Seluruh staf dan pegawai Laboratorium Entomologi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga besar, kakak-kakakku, keponakanku athar, terutama ayah dan ibu tercinta yang selalu mendukung dan memberikan dorongannya. Mas wahyu atas dukungan, motifasi, saran dan kritik serta kesabarannya selama ini. Teman-teman angkatan’38, Dewi dan Endah sebagai rekan satu penelitian serta segenap pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari tulisan ini tidaklah sempurna, maka dari itu penulis berterimakasih atas saran dan kritik demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2006

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Pontianak, Kalimantan Barat pada tanggal 22 Juli 1983 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara dari ayah bernama Kolonel Drs. Supardi MM. dan ibu bernama Siti Harsumi.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SDN Sukamaju Baru II Cimanggis Depok pada tahun 1995, Sekolah Menengah Pertama di SLTP Negeri 1 Cimanggis (saat ini menjadi SMP Negeri 7 Depok) pada tahun 1998, dan Sekolah Menengah Umum di SMU Negeri 2 Depok pada tahun 2001. Pada tahun 2001, penulis diterima menjadi mahasiswa di Fakultas kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN).

(7)

DAFTAR ISI

Ektoparasit Pada ayam kampung ……… 6

Kutu ………. 6

Pembuatan Ekstrak Daun Kisampang ………. 25

Koleksi Ektoparasit ………. 26

Pembuatan Slide Preparat ……… 26

Pengamatan ………. 27

(8)

HASIL DAN PEMBAHASAN ……… .……. 28

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ………. 31

Saran ……… 31

DAFTAR PUSTAKA………. 32

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Perbandingan antara Kutu dengan Tungau ………. 6

2 Rataan Jumlah Ektoparasit Di Bagian Sayap Pada Masing-

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kutu genus Goniodes ……….. 9

2 Kutu genus Lipeurus ……….... 9

3 Kutu genus Menachantus ………... 10

4 Kutu genus Menopon ………... 10

5 Siklus Hidup Kutu ………... 11

6 Telur Kutu Pada Dasar Bulu ………... 12

7 Red Mite ( Dermanyssus gallinae ) ………. 14

8 Northern Fowl Mite ( Ornithonyssus sylviarum ) ………... 14

9 Siklus Hidup Tungau ………... 16

10 Tungau dan telurnya yang merusak bulu ………. 17

11 Tanaman Kisampang (Melicope denhamii) ………. 21

12 Daun Kisampang ……… ………. 22

13 Rataan Jumlah Ektoparasit Tungau Di Bagian Sayap Ayam ……… 29

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Perhitungan rataan populasi ektoparasit tungau yang

ditemukan pada bagian sayap ayam kampung ………. 36

2. Perhitungan rataan populasi ektoparasit kutu (Menopon) yang

ditemukan pada bagian sayap ayam kampung ………. 36

3. Perhitungan rataan populasi ektoparasit kutu (Menachantus)

yang ditemukan pada bagian sayap ayam kampung ………… 37

4. Perhitungan rataan populasi ektoparasit kutu (Lipeurus) yang

ditemukan pada bagian sayap ayam kampung ………. 38

5. Perhitungan rataan populasi ektoparasit kutu (Goniodes) yang

ditemukan pada bagian sayap ayam kampung ………. 38

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Konsumsi daging ayam nasional pada tahun 1969 sebesar 39,2 ribu ton,

sedangkan pada tahun 2002 menjadi 964,1 ribu ton atau meningkat dengan

pertumbuhan rata-rata 30% per tahun dalam kurun waktu 1969-2002. Konsumsi

daging ayam sebanyak 60% dari konsumsi daging nasional. Pada tahun 1969

konsumsi perkapita sebesar 0,4 kg/tahun meningkat pada tahun 2002 menjadi 4,55

kg pertahun atau tumbuh dengan rata-rata 30% pertahun. Dirjen Bina produksi

peternakan mencanangkan secara nasional pada tahun 2005 konsumsi daging

unggas meningkat menjadi 8 kg perkapita pertahun (Darmana 2003).

Menurut Cahyono (2002) potensi pasar daging ayam meningkat seiring

pertumbuhan jumlah penduduk. Selain itu, daya serap pasar daging ayam juga

dapat dilihat dari referensi masyarakat seperti hari besar keagamaan dan berbagai

macam pesta rakyat. Meningkatnya pendidikan dan pendapatan masyarakat juga

mempengaruhi peningkatan konsumsi daging. Bahkan daging ayam buras dapat

mensubstitusi daging sapi, domba atau kambing yang harganya kurang terjangkau

oleh lapisan masyarakat bawah. Penyediaan pangan bagi masyarakat dalam

jumlah yang mencukupi dengan mutu yang baik merupakan salah satu tujuan

pembangunan bidang peternakan dalam tata ekonomi nasional. Daging ayam

buras yang merupakan sumber protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral

dapat diandalkan untuk mencapai tujuan tersebut.

Sejak merebaknya kasus flu burung (Avian influensa), permintaan atas

daging ayam semakin menurun. Permintaan turun sekitar 40 persen, di beberapa

daerah bahkan turun hingga 50 persen. Hal ini mengakibatkan kerugian pada

peternak, tidak hanya karena turunnya permintaan tetapi juga karena harga jual

yang berada di bawah harga produksi. Persoalan lain yang timbul dengan

menurunnya konsumsi telur, ayam dan produk ayam adalah memburuknya gizi

(13)

75 % kebutuhan protein hewani masyarakat dipenuhi dari unggas (Anonim

2005a).

Penyakit unggas yang disebabkan oleh parasit merupakan ancaman yang

serius, karena adanya parasit yang berfungsi sebagai vektor. Hal ini jika tidak

diantisipasi dan ditangani dengan tepat akan menyebabkan penyakit yang dapat

menyebar dengan cepat hingga terjadi kematian pada sebagian besar atau seluruh

ayam (Darmana 2003). Menurut Wiharto (1985) penyakit yang disebabkan oleh

parasit dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yakni gangguan oleh ektoparasit

seperti lalat (flies), kutu (lice), caplak (tick), tungau (mite), sieur/gurem (dull) dan

pinjal (flea) serta gangguan oleh endoparasit seperti cacing. Gangguan ektoparasit

pada ayam menimbulkan rasa tidak tenang, gatal, kerusakan bulu, gangguan

pertumbuhan, gangguan terhadap produksi dan sebagai inang penyakit lainnya,

seperti penyakit yang disebabkan oleh bakteri, cacing dan virus.

Penyakit kutu cukup banyak menyerang peternakan ayam kampung. Kutu

tidak mematikan ayam, tetapi cukup mengganggu. Penyakit kutu dapat terjadi

akibat kandang yang kotor dan kurang sinar matahari. Tempat-tempat yang biasa

digunakan untuk bertelur juga dapat menjadi sarang kutu (Rasyaf 2004).

Selain memiliki derajat kespesifikan terhadap inang yang sangat tinggi,

kutu juga mempunyai tempat habitat tertentu pada inang. Inang dapat terinfestasi

lebih dari satu jenis kutu. Kutu menggunakan antena sebagai organ sensori yang

penting untuk menuntunnya berjalan diantara bulu-bulu atau rambut inangnya.

Kutu sangat sensitif terhadap suhu dan bau inangnya. Suhu optimal untuk aktifitas

hidupnya hanya sedikit dibawah suhu permukaan kulit dan bulu atau rambut inang

yang memberikan suasana suhu dan kelembaban yang sesuai bagi kutu. Oleh

karena itu kutu biasanya tidak dapat bertahan lama berada diluar tubuh inangnya,

demikian pula bila inangnya mati. Perpindahan kutu antar inang satu dengan yang

lain dapat terjadi antara kontak tubuh. Kutu dapat dikatakan tidak memiliki

musuh alam. Keberadaan kutu pada inang disebut pedikulosis atau ptiriasis.

Dalam bidang kesehatan hewan, infestasi kutu yang berat dapat menurunkan

produksi daging, susu, woll dan industri unggas (Hadi & Susi 2000).

(14)

Pengendalian terhadap ektoparasit biasanya dilakukan dengan

menggunakan insektisida sintetis dimana dapat berdampak buruk, diantaranya

mengakibatkan keracunan pada manusia, keracunan pada hewan ternak, polusi

lingkungan serta hama (serangga) menjadi resisten. Untuk mengurangi dampak

penggunaan insektisida sintetis, penggunaan insektisida nabati merupakan

alternatif pilihan karena tidak menimbulkan dampak kerusakan lingkungan dan

kesehatan (Abdillah 2004).

Famili tumbuhan yang diduga memiliki efek insektisida nabati adalah

Meliaceae, Annonaceae, Asterodeae, dan Rutaceae. Oleh karena itu, dalam

penelitian ini ingin diketahui pengaruh ekstrak daun Kisampang (Rutaceae)

terhadap ektoparasit pada ayam kampung di bagian sayap.

TUJUAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun

Kisampang (Melicope denhamii) dalam pelarut methanol terhadap ektoparasit

pada ayam kampung di bagian sayap.

RUANG LINGKUP

Penelitian ini mencakup pengaruh dari ekstrak daun Kisampang (Melicope

denhamii) dalam pelarut methanol dengan konsentrasi yang berbeda-beda

terhadap populasi dan jenis dari ektoparasit yang ditemukan di bagian sayap pada

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Konsumsi daging ayam nasional pada tahun 1969 sebesar 39,2 ribu ton,

sedangkan pada tahun 2002 menjadi 964,1 ribu ton atau meningkat dengan

pertumbuhan rata-rata 30% per tahun dalam kurun waktu 1969-2002. Konsumsi

daging ayam sebanyak 60% dari konsumsi daging nasional. Pada tahun 1969

konsumsi perkapita sebesar 0,4 kg/tahun meningkat pada tahun 2002 menjadi 4,55

kg pertahun atau tumbuh dengan rata-rata 30% pertahun. Dirjen Bina produksi

peternakan mencanangkan secara nasional pada tahun 2005 konsumsi daging

unggas meningkat menjadi 8 kg perkapita pertahun (Darmana 2003).

Menurut Cahyono (2002) potensi pasar daging ayam meningkat seiring

pertumbuhan jumlah penduduk. Selain itu, daya serap pasar daging ayam juga

dapat dilihat dari referensi masyarakat seperti hari besar keagamaan dan berbagai

macam pesta rakyat. Meningkatnya pendidikan dan pendapatan masyarakat juga

mempengaruhi peningkatan konsumsi daging. Bahkan daging ayam buras dapat

mensubstitusi daging sapi, domba atau kambing yang harganya kurang terjangkau

oleh lapisan masyarakat bawah. Penyediaan pangan bagi masyarakat dalam

jumlah yang mencukupi dengan mutu yang baik merupakan salah satu tujuan

pembangunan bidang peternakan dalam tata ekonomi nasional. Daging ayam

buras yang merupakan sumber protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral

dapat diandalkan untuk mencapai tujuan tersebut.

Sejak merebaknya kasus flu burung (Avian influensa), permintaan atas

daging ayam semakin menurun. Permintaan turun sekitar 40 persen, di beberapa

daerah bahkan turun hingga 50 persen. Hal ini mengakibatkan kerugian pada

peternak, tidak hanya karena turunnya permintaan tetapi juga karena harga jual

yang berada di bawah harga produksi. Persoalan lain yang timbul dengan

menurunnya konsumsi telur, ayam dan produk ayam adalah memburuknya gizi

(16)

75 % kebutuhan protein hewani masyarakat dipenuhi dari unggas (Anonim

2005a).

Penyakit unggas yang disebabkan oleh parasit merupakan ancaman yang

serius, karena adanya parasit yang berfungsi sebagai vektor. Hal ini jika tidak

diantisipasi dan ditangani dengan tepat akan menyebabkan penyakit yang dapat

menyebar dengan cepat hingga terjadi kematian pada sebagian besar atau seluruh

ayam (Darmana 2003). Menurut Wiharto (1985) penyakit yang disebabkan oleh

parasit dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yakni gangguan oleh ektoparasit

seperti lalat (flies), kutu (lice), caplak (tick), tungau (mite), sieur/gurem (dull) dan

pinjal (flea) serta gangguan oleh endoparasit seperti cacing. Gangguan ektoparasit

pada ayam menimbulkan rasa tidak tenang, gatal, kerusakan bulu, gangguan

pertumbuhan, gangguan terhadap produksi dan sebagai inang penyakit lainnya,

seperti penyakit yang disebabkan oleh bakteri, cacing dan virus.

Penyakit kutu cukup banyak menyerang peternakan ayam kampung. Kutu

tidak mematikan ayam, tetapi cukup mengganggu. Penyakit kutu dapat terjadi

akibat kandang yang kotor dan kurang sinar matahari. Tempat-tempat yang biasa

digunakan untuk bertelur juga dapat menjadi sarang kutu (Rasyaf 2004).

Selain memiliki derajat kespesifikan terhadap inang yang sangat tinggi,

kutu juga mempunyai tempat habitat tertentu pada inang. Inang dapat terinfestasi

lebih dari satu jenis kutu. Kutu menggunakan antena sebagai organ sensori yang

penting untuk menuntunnya berjalan diantara bulu-bulu atau rambut inangnya.

Kutu sangat sensitif terhadap suhu dan bau inangnya. Suhu optimal untuk aktifitas

hidupnya hanya sedikit dibawah suhu permukaan kulit dan bulu atau rambut inang

yang memberikan suasana suhu dan kelembaban yang sesuai bagi kutu. Oleh

karena itu kutu biasanya tidak dapat bertahan lama berada diluar tubuh inangnya,

demikian pula bila inangnya mati. Perpindahan kutu antar inang satu dengan yang

lain dapat terjadi antara kontak tubuh. Kutu dapat dikatakan tidak memiliki

musuh alam. Keberadaan kutu pada inang disebut pedikulosis atau ptiriasis.

Dalam bidang kesehatan hewan, infestasi kutu yang berat dapat menurunkan

(17)

Pengendalian terhadap ektoparasit biasanya dilakukan dengan

menggunakan insektisida sintetis dimana dapat berdampak buruk, diantaranya

mengakibatkan keracunan pada manusia, keracunan pada hewan ternak, polusi

lingkungan serta hama (serangga) menjadi resisten. Untuk mengurangi dampak

penggunaan insektisida sintetis, penggunaan insektisida nabati merupakan

alternatif pilihan karena tidak menimbulkan dampak kerusakan lingkungan dan

kesehatan (Abdillah 2004).

Famili tumbuhan yang diduga memiliki efek insektisida nabati adalah

Meliaceae, Annonaceae, Asterodeae, dan Rutaceae. Oleh karena itu, dalam

penelitian ini ingin diketahui pengaruh ekstrak daun Kisampang (Rutaceae)

terhadap ektoparasit pada ayam kampung di bagian sayap.

TUJUAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun

Kisampang (Melicope denhamii) dalam pelarut methanol terhadap ektoparasit

pada ayam kampung di bagian sayap.

RUANG LINGKUP

Penelitian ini mencakup pengaruh dari ekstrak daun Kisampang (Melicope

denhamii) dalam pelarut methanol dengan konsentrasi yang berbeda-beda

terhadap populasi dan jenis dari ektoparasit yang ditemukan di bagian sayap pada

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Ayam kampung

Ayam hutan (Gallus varius-varius Linnaeus) merupakan nenek moyang

ayam kampung yang umum dipelihara. Ayam hutan ini kemungkinan berasal dari

pulau Jawa (Rasyaf 2004). Menurut Cahyono (2002) keluarga ayam dibagi

menjadi dua kelompok besar, yaitu ayam ras dan ayam bukan ras. Untuk

kelompok ayam ras, terbagi lagi menjadi tipe ayam petelur, ayam pedaging dan

ayam dwiguna (pedaging dan petelur). Sedangkan ayam bukan ras terbagi menjadi

ayam hias (tipe penghibur), ayam kampung (tipe dwiguna) dan ayam nunukan

(tipe dwiguna).

Klasifikasi

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Aves

Subkelas : Neonithes

Superordo : Superordo

Ordo : Galiformes

Famili : Phasianidae

Genus : Gallus

Spesies : Gallus domesticus

Ciri dan Morfologi

Ayam kampung berukuran kecil dan bentuknya agak ramping. Berat badan

mencapai 1,4 kg pada umur 4 bulan, produksi telur mencapai 135 butir/tahun.

Jenis ini memiliki bulu warna putih, hitam, coklat, kuning kemerahan, kuning atau

kombinasi dari warna-warna tersebut. Pada jantan memiliki jengger yang

(19)

berjengger kecil dan tebal, tegak, serta berwarna merah. Pada jantan memiliki pial

(gelambir) sangat kecil dan berwarna merah cerah. Warna kulit kuning pucat, kaki

agak panjang dan kuat.. Ayam jenis ini banyak terdapat di seluruh pelosok tanah

air (Cahyono 2002).

Ayam kampung tidak dapat dibedakan atas penghasil daging atau telur,

sebagaimana layaknya ayam ras. Umur empat bulan, badan ayam kampung mirip

dengan badan ayam ras petelur tipe medium umur dua setengah bulan. Badan

ayam kampung yang benar-benar telah dewasa dapat dilihat pada induk yang telah

tiga kali mengeram. Warna bulu tidak dapat diandalkan sebagai patokan yang

baku, karena selalu dapat berubah. Misal induk berwarna coklat berbintik hitam

dan jago berwarna kemerahan campur hitam, tetapi anaknya berbulu putih atau

campuran pada anak yang lain (Rasyaf 2004).

Kandungan dan Manfaat

Jumlah kandungan gizi yang terdapat dalam 100 gram daging ayam buras

meliputi kalori, protein, lemak, kalsium, fosfor, besi, vitamin A, vitamin B1 dan

air. Sumber: Daftar komposisi bahan makanan, Direktorat Gizi, Depkes RI. Ayam

buras dapat digunakan untuk menunjang kehidupan manusia. Dagingnya dapat

dikonsumsi dan diterima oleh semua golongan agama sebagai makanan yang

memiliki nilai gizi tinggi dengan cita rasa yang lezat (Cahyono 2002).

Penyebab Penyakit

Beberapa penyebab penyakit pada ayam kampung menurut Darwana

(2003) antara lain bentuk dan lokasi kandang yang tidak tepat, kebersihan

kandang dan peralatan yang tidak terjaga, sirkulasi udara yang tidak lancar,

kurangnya waktu pemanasan DOC, lantai sekam yang terlalu basah atau lembab

sehingga kandungan amonia meningkat, penyebaran ayam yang tidak rata atau

populasi yang terlalu padat, kurangnya sinar matahari yang masuk ke dalam

kandang, program vaksinasi yang tidak dijalankan secara benar serta pemberian

(20)

Ektoparasitpada ayam Kampung

Parasit dapat dideteksi pada permukaan eksternal dari tubuh melalui suatu

pengujian fisik. Pengujian secara berkala pada sekumpulan suatu parasit dapat

membantu pendeteksian awal dari adanya infestasi parasit tersebut dan dapat

membantu ke arah mencegah suatu perjangkitan infestasi yang lebih besar. Lebih

dari itu, banyak dari parasit mempunyai suatu komponen lingkungan, jadi

pemberian perlakuan terhadap lingkungan juga merupakan hal yang penting

dalam mengontrol infestasi parasit. Pencegahan dan awal pendeteksian menjadi

kunci dari suksesnya pengendalian terhadap ektoparasit pada kelompok unggas.

Parasit eksternal yang paling umum terlihat di unggas adalah tungau dan kutu

(Pickworth & Teresa 2005). Kerusakan yang ditimbulkan oleh adanya infestasi

ektoparasit tergantung dari besar jumlah ektoparasit, keadaan nutrisi dan penyakit

yang diderita oleh inang (Bains 1979).

Berikut perbandingan antara kutu dengan tungau (Pickworth & Teresa 2005):

Tungau Kutu

Ukuran Diameter 1mm Panjang 2-3mm

Kecepatan Bergerak lambat Bergerak cepat

Warna Hitam kemerahan Coklat terang

lokasi telur Sepanjang batang bulu dasar batang bulu

Warna telur Putih Putih/krem

Waktu deteksi siang/malam hari Siang hari

Lokasi Hidup di inang dan lingkungan Hidup hanya pada inang

Tabel 1. Perbandingan antara kutu dengan tungau

Kutu

Ayam kemungkinan terinfeksi oleh beberapa jenis kutu. Mereka tidak

merusak kulit inang untuk mendapatkan darah, tetapi mereka memungkinkan

untuk memakan darah jika darah telah berada di permukaan kulit dari inang.

Banyak dari kutu yang menyerang unggas sangat spesifik terhadap inangnya

(21)

Semua kutu unggas dan sedikit kutu mamalia termasuk dalam Mallophaga.

Kutu berinduk semang sangat spesifik, dan juga seringkali spesifik terhadap

bagian tubuh tempat mereka ditemukan. Lebih dari 3000 jenis kutu telah

dilaporkan, dan dari jumlah tersebut lebih dari 40 jenis terdapat pada unggas.

Penularan kutu melalui kontak tubuh (Levine 1990).

Menurut Calnek et al. (1991) kutu yang terdapat pada ayam adalah

Cuclotogaster heterographus (Chicken head louse), Goniocotes gallinae (fluft

louse), Goniodes dissimilis (Brown chicken louse), Lipeurus caponis (Wing

louse), Menachantus stramineus (Chicken body louse) dan Menopon gallinae

(Shaft louse). (Wiharto 1985) Namun kutu-kutu tersebut dapat dibedakan atas tiga

golongan : jenis yang terdapat pada daerah pelepasan (vent), punggung, dada dan

sayap, jenis yang terdapat di kepala dan leher serta jenis yang terdapat pada

batang bulu.

Klasifikasi

Soulsby (1982) mengelompokkan kutu ke dalam ordo Phthiraptera dan

membaginya dalam tiga subordo yaitu Mallophaga, Siphunculata dan

Rhynchophtirina. Subordo Mallophaga dibagi lagi menjadi dua superfamili yaitu

Ischnocera dan Amblycera. Siphunculata disebut juga sebagai kutu penghisap

darah, sedangkan Rhynchoptirina merupakan kutu gajah.

Berikut pengelompokkan kutu ayam berdasarkan Soulsby (1982):

Filum : Arthropoda

Kelas : Insekta

Ordo : Phthiraptera

Subordo : Mallophaga

Superfamili : Ischnocera

Famili : Philopteridae

Genus : Lipeurus

Goniodes

(22)

Superfamili : Amblycera

Famili : Menoponidae

Genus : Menopon

Menachantus

Ciri dan Morfologi

Lebih dari 2500 spesies Mallophaga telah dikenal, sebagian besar

merupakan ektoparasit unggas. Antena bersegmen 3 sampai 5. Kutu tidak

menghisap darah, melainkan memakan bulu, rambut dan kerak-kerak epidermis.

Dikenal sebagai kutu penggigit. Tarsi bersegmen 1 sampai 2, kuku tunggal atau

ganda (Sigit et al. 1992).

Kutu mengganggu ayam karena gigitannya. Kutu ayam memakan sisik

atau kerak kulit, bulu dan kotoran kulit. Kutu penggigit ini merupakan parasit

permanen yang terdapat pada kutu ayam, tidak pernah meninggalkan tubuh

inangnya kecuali untuk pindah ke ayam yang lain, terutama dari ayam tua ke

ayam yang lebih muda (Sudaryani 2003). Kutu unggas berukuran kecil, tidak

bersayap, berkaki enam, bertubuh pipih dan berkepala bulat. Mereka meletakkan

telur pada sayap dari inang, terutama pada dasar dari batang bulu. Sekali

bertelur kutu dapat menghasilkan 50 hingga 300 butir. Beberapa spesies kutu

dapat berada pada lokasi yang spesifik pada tubuh inang, atau ada juga spesies

lainnya yang dapat ditemukan pada hampir keseluruhan tubuh inang seperti

chicken body lice. Keseluruhan siklus hidup dari kutu terjadi pada inang,

terutama pada bulu. Unggas adalah inang yang spesifik dan tidak dapat berpindah

pada manusia (Pickworth & Teresa 2005).

Kutu merupakan serangga ektoparasit obligat karena seluruh hidupnya

berada dan tergantung pada tubuh inangnya. Oleh karena itu secara morfologi

kutu ini sudah beradaptasi dengan cara hidupnya, misalnya dengan tidak memiliki

sayap, sebagian besar tidak bermata, bentuk tubuh yang pipih dorsoventral, bagian

(23)

enam kaki yang kokoh dengan kuku yang besar pada ujung tarsus dan tonjolan

tibia untuk merayap dan memegangi bulu atau rambut inangnya.

Telur kutu berukuran 1-2 mm, berbentuk oval, berwarna putih dan pada

beberapa jenis permukaan telur bercorak-corak dan dilengkapi dengan operkulum.

Telur kutu disebut nits, yang direkatkan pada bulu (rambut) inangnya dengan

semacam zat semen pada bagian memanjang telur. Jumlah telur yang dihasilkan

oleh seekor induk kutu mencapai 10-300 butir selama hidupnya. Telur menetas

menjadi nimfa (kutu muda) setelah 5-18 hari tergantung jenis kutu. Warna nimfa

dan kutu dewasa keputih-putihan, semakin tua umurnya semakin berwarna gelap

(Hadi & Susi 2000).

Gambar 1. Kutu genus Goniodes

(24)

Kutu dari genus Lipeurus mempunyai panjang sekitar 3mm, berwarna

abu-abu gelap. Biasa terdapat pada bulu bagian sayap dan ekor (Gordon 1977). Kutu

ini bergerak lambat, ditemukan dekat dengan kulit. Lipeurus caponis, kutu sayap,

lebih memilih tinggal di bagian bawah sayap dan bulu ekor.

Goniodes memiliki beberapa spesies, salah satunya adalah Goniodes gigas. Merupakan kutu yang sangat besar, berhabitasi di permukaan kulit dan

bulu, banyak terdapat di burung dewasa. Goniodes tidak pernah ditemukan dalam

jumlah besar.

Gambar 3. Kutu genus Menachantus

(25)

Genus Menopon yang dikenal adalah spesies Menopon gallinae. Dikenal

sebagai kutu tangkai bulu dan mempunyai kebiasaan hidup pada bagian tengah

bulu inangnya. Kutu ini mempunyai kemampuan berlari dengan cepat dan

menyebar di seluruh bagian tubuh (Carwin & Nahm 1997). Spesies Menopon

meletakkan telur di bagian dasar bulu, diletakkan satu persatu dan akan menetas

dalam 2 sampai 3 minggu. Kutu dewasa dapat hidup selama 9 bulan, jenis ini

tidak menyerang ayam muda karena ayam muda memiliki bulu yang relatif

sedikit.

Genus Menachantus merupakan kutu bertubuh kuning yang umum pada

ayam, berukuran kecil, pipih, tidak bersayap. Kutu tersebut terdapat pada kulit

dada, paha, anus dan sebagainya, di tempat yang relatif sedikit bulu-bulunya. Ia

memakan sisik epidermis, remukan bulu, eksudat dan sebagainya. Kutu jenis ini

kemungkinan merupakan kutu yang paling serius pada ayam karena seringkali

terdapat dalam jumlah besar. Telur menempel pada bulu, nimfa muncul

menyerupai benar kutu dewasa yang kecil. Nimfa menyilih beberapa kali untuk

menjadi dewasa (Levine 1990). Menachantus memiliki panjang tubuh sekitar 3

mm, ditemukan lebih banyak pada kulit dibanding pada bulu. Telur diletakkan

pada dasar bulu (Gordon 1977).

Siklus Hidup

Gambar 5. Siklus Hidup Kutu

(26)

Mallophaga mengalami metamorfosis sederhana dimulai dari telur, nimfa

I, nimfa II, nimfa III dan akhirnya menjadi kutu dewasa. Kutu betina mampu

memproduksi 50 hingga 300 telur. Telur-telur yang diproduksi berwarna

keputihan, berbentuk lonjong dan diletakkan pada kumpulan bulu. Telur akan

menetas dalam kurun waktu 4 sampai 7 hari. Perkembangan kutu dari telur hingga

dewasa memakan waktu 7 sampai 21 hari. Hanya dalam 2 sampai 3 hari kutu

betina dewasa sudah mampu memproduksi telur (Carwin & Nahm 1997).

Temperatur merupakan faktor penting dalam proses pematangan embrio hanya

dalam waktu 3 sampai 5 hari, sedangkan pada suhu lebih rendah 33° memakan

waktu hingga 9 sampai 14 hari. Pada penelitian dengan infestasi berat, telur

biasanya diletakkan di daerah dada karena panas tubuh inang sangat penting untuk

proses penetasan (Lancaster & Meisch 1984 dalam Wana PW 2001). Kutu

melengkapi siklus hidup mereka pada tubuh inang dan dapat hidup di luar tubuh

inang tidak lebih dari lima hari. Keseluruhan waktu yang dibutuhkan pada siklus

hidupnya sekitar 2 atau 3 minggu, satu ekor kutu dapat menghasilkan keturunan

120.000 hanya dalam beberapa bulan (Jull 1951).

Gejala Klinis

Gangguan parasit luar ini pada ayam akan menimbulkan rasa tidak tenang,

kerusakan bulu, gangguan pertumbuhan, gangguan terhadap produksi dan sebagai

inang antara penyakit lainnya, seperti penyakit yang disebabkan oleh bakteri,

cacing dan virus (Wiharto 1985).

(27)

Adanya infestasi kutu yang berat dapat dideteksi dengan melakukan

pemeriksaan pada kulit dan bulu ayam yang terinfeksi, khususnya di sekitar anus

dan di bawah sayap. Kutu dapat diamati bergerak diantara sayap atau berjalan

pada kulit dan telur juga dapat diamati pada bagian dasar dari bulu. Infestasi yang

berat dapat menyebabkan perubahan pada berat badan dan produksi telur yang

bisa menurun (Gordon 1977).

Gejala yang nampak ayam menjadi gelisah dan sering

menyisir/mematuk-matuk bulu karena gatal, selain itu ayam akan sering mengibas-ngibaskan

bulunya, ayam juga tampak kurus dan pucat (Cahyono 2002). Begitu sudah dalam

keadaan berkelompok, kutu dapat menyebar dengan adanya kontak. Daerah yang

paling banyak ditemukan adanya kutu yaitu pada daerah dada, perut dan di bawah

sayap. Kutu mengiritasi ayam, ayam menjadi tidak dapat tidur dan berat badan

menjadi turun, produksi juga mengalami penurunan. Infestasi dari kutu jenis ini

dapat membunuh ayam muda (Levine 1990).

Tungau

Banyak dari jenis tungau yang menyerang unggas. Tetapi ada dua jenis

utama tungau yang ditemukan pada tubuh unggas, yaitu Northern Fowl Mite

(pada lingkungan tropis, Tropical Fowl Mite) yang termasuk dalam genus

Ornithonyssus dan Chicken Mite (Red Roost Mite) yang termasuk dalam genus

Dermanyssus (Pickworth & Teresa 2005).

Klasifikasi

Kelas : Arachnida

Subkelas : Acari

Ordo : Parasitiformes

Subordo : Mesostigmata

Famili : Dermanyssidae

Genus : Dermanyssus

(28)

Ciri dan Morfologi

Koehler & Butler 2006

Gambar 7. Red Mite ( Dermanyssus gallinae )

(29)

Tungau dari genus Dermanyssus tidak hanya terdapat pada ayam tetapi

juga pada unggas lainnya, termasuk kalkun, burung merpati, burung kenari dan

burung gereja Inggris. Tungau jenis ini mencari makan pada inang saat malam

hari, dan berlindung saat siang hari. Tungau tersebut menghisap darah inang, hal

ini mengakibatkan gangguan pada pertumbuhan, produksi telur yang

mengkhawatirkan, terjadi peningkatan kasus anemia. Dilihat dari cara makannya,

pada tungau ini memungkinkan terjadinya penularan yang menyebar terhadap

penyakit asal darah (Bains 1979).

Genus Ornithonyssus merupakan jenis ektoparasit yang paling banyak ditemukan pada unggas, terutama pada iklim yang sejuk. Dibandingkan dengan

genus Dermanyssus, jenis ini lebih suka tinggal pada inang untuk keseluruhan

siklus hidupnya. Tungau berukuran kecil dan berwarna hitam atau coklat,

mempunyai 8 kaki, dan biasanya menyebar melalui kontak langsung. Tungau

jenis ini tinggal pada bulu lebih lama, walaupun dapat juga merayap ke dalam

celah-celah dan tempat-tempat persembunyian di dalam kandang unggas. Tungau

ini menghisap darah dan kadang-kadang menggigit manusia. Gejala klinis dan

efek patogenik dari keberadaan tungau ini serupa dengan yang ditimbulkan oleh

Red mite. Meskipun tungau ini mirip dengan Dermanyssus gallinae, tetapi

ukurannya lebih kecil. Tungau yang terdapat pada bulu ini menghisap darah dan

sering menyebabkan timbul kudis pada kulit. Pada kelompok ayam yang berbulu

putih, akan tampak kotor karena bulu-bulu dipenuhi oleh tungau-tungau tersebut.

Pada umumnya tungau ini mendiami sekitar alat pelepasan (vent) sayap, kepala,

leher dan belakang serta daerah paha (Wiharto 1985).

Siklus Hidup

Tahap awal kehidupan tungau dimulai dari telur. Seekor tungau mampu

menghasilkan beberapa ratus sampai ribuan telur. Telur akan berubah menjadi

larva yang mempunyai tiga pasang kaki. Periode larva sudah dapat bertindak

sebagai ektoparasit. Setelah kenyang menghisap darah, tungau segera berubah

(molting) menjadi nimfa. Tahap nimfanya sangat panjang dan dapat dibagi

menjadi protonimfa, deutonimfa dan tritonimfa. Tungau mempunyai alat perekat

(30)

kandang. Bentuk nimfa sudah mirip dengan yang dewasa, hanya saja alat

kelaminnya belum berkembang (Hadi & Susi 2000).

Gambar 9. Siklus Hidup Tungau Williams 2000

Dermanyssus gallinae seperti tungau-tungau yang lain agak sulit untuk

dilihat dengan mata telanjang. Siklus hidupnya terdiri dari telur, larva, nimfa dan

dewasa. Hal ini penting diketahui untuk melakukan pengendalian. Mengingat

yang dihisap darah, maka ayam yang didiami tungau ini akan tampak pucat, kurus

dan produksinya menurun (Wiharto 1985).

Genus Dermanyssus yang betina bertelur di celah-celah pada tempat

persembunyiannya di dinding kandang unggas. Telur menetas dalam waktu 2

sampai 3 hari, kemudian keluarlah larva yang tidak makan tetapi menyilih

menjadi protonimfa dalam waktu 1 sampai 2 hari. Protonimfa menghisap darah

dan menyilih menjadi stadium deutonimfa dalam 1 sampai 2 hari. Deutonimfa ini

tiba gilirannya menghisap darah dan menyilih menjadi stadium dewasa dalam

waktu 1 sampai 2 hari. Seluruh siklus hidup berlangsung hanya 7 hari; yang

dewasa dapat hidup sampai 34 minggu tanpa makan. Bentuk nimfa dan dewasa

menuju inang untuk menghisap darah, tetapi hampir seluruh waktunya digunakan

(31)

Tungau betina dari genus Ornithonyssus bertelur 1 sampai 2 butir setelah makan darah dan dapat bertelur 98 butir sepanjang hidupnya. Larva menetas dari

telur dalam waktu 1 sampai 2 hari. Larva ini tidak makan, tetapi menyilih menjadi

deutonimfa dalam waktu 1 sampai 2 hari. Mereka menghisap darah untuk

menyilih menjadi deutonimfa yang tidak makan, kemudian menjadi dewasa dalam

waktu 1 sampai 1,5 hari. Bentuk dewasa menggunakan hampir seluruh waktunya

di dalam tempat persembunyiannya, meskipun begitu tetap menghisap darah

berulang-ulang pada inang.

Gejala Klinis

Gambar 10.Tungau dan telurnya yang merusak bulu Pickworth & Teresa 2005

Gejala klinis dapat diketahui dengan mengidentifikasi adanya

tungau-tungau tersebut. Beberapa tungau-tungau tidak dapat dilihat dengan kasat mata dan lebih

memilih untuk tidak tinggal pada inang saat siang hari, melainkan berada di

lingkungan (kandang), maka penting untuk mengetahui keadaan lingkungan

sekitar kandang untuk mencari tungau demi kepentingan identifikasi (Bains

1979). Jumlah tungau yang banyak menghisap darah sedemikian rupa sehingga

dapat membunuh induk semang mereka, sedangkan jika dalam jumlah sedikit

dapat menyebabkan anemia. Menurut Sudaryani (2003) apabila ditemukan dalam

jumlah banyak di suatu peternakan pembibitan dapat merugikan, sebab akan

menimbulkan gangguan pada ayam yang diserangnya. Di samping itu, dapat juga

(32)

Tungau dari genus Dermanyssus (Dermanyssus gallinae) dapat juga

menggigit manusia serta merupakan vektor dari penyakit fowl kolera dan equine

enchephalomyelitis. Sedangkan dari genus Ornithonyssus (Ornithonyssus

sylviarum) dapat menjadi vektor dari newcastle disease (Jull 1951). Investasi

tungau pada unggas biasa ditandai oleh pertumbuhan yang terganggu,

menurunnya produksi telur dan adanya anemia (Bains 1979). Ayam tampak

gelisah, nafsu makan menurun karena gatal dan sibuk mengurusi serangan tungau.

Anemia, pertumbuhan badan terlambat dan akhirnya mati kelaparan. Pada ayam

dewasa, selalu gelisah, mengais-ais bulu, nafsu makan menurun, anemia, kondisi

badan menurun dan produksi telur juga mengalami penurunan (Sudaryani 2003).

Pengendalian

Menurut Parsoedjono (2001) pengendalian dan pengobatan terhadap

parasit dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu tindakan sanitasi harus

dijalankan secara benar dan ketat, buang secara periodik tumpukan feses yang

merupakan sumber perkembang biakkan serangga dan kumbang yang keduanya

diyakini dapat menularkan penyakit ayam, jika mungkin sangkar bambu

digantikan oleh sangkar kawat untuk mencegah infestasi tungau dan caplak,

gangguan burung, tikus dan hewan liar lainnya harus diperkecil, hilangkan areal

yang tergenang air di sekitar kandang, dan yang terakhir adalah metoda

manajemen pemeliharaan ayam yang efisien akan membantu untuk memperkecil

populasi parasit.

Beberapa pengendalian yang biasa dipakai oleh masyarakat yaitu dusting,

biasanya dengan menggunakan Sodium fluoride yang beracun bagi manusia dan

binatang jika tertelan. Selanjutnya yaitu dipping, dilakukan dengan cara

mencelupkan ayam pada larutan, serta fumigasi yang merupakan cara sederhana

untuk memberantas kutu dengan cara mengasap dan biasanya digunakan larutan

nicotine sulfate 40%. Tetapi yang paling efektif yaitu melakukan fumigasi dengan

Hexa chlorocyclohexane (HCCH), dimana dapat membunuh kutu beserta

(33)

Menurut Wiharto (1985) dipping yaitu penggunaan larutan yang

mengandung racun pemberantas serangga dan dilakukan dengan cara

mencelupkan ayam pada larutan tersebut. Misal kelompok ayam yang terganggu

oleh kutu (lice) dapat dilakukan dengan pencelupan (dipping), setiap ekor

dibutuhkan larutan 1 oz dari sodium fluorida atau sodium fluosilicate per gallon

air hangat. Penambahan 1 oz dari sabun netral per gallon air menambah efisiensi

dari pencelupan.

Untuk memberantas kutu dapat digunakan obat pembunuh serangga

seperti larutan lindane (0,5%-1%) dengan disemprotkan pada seluruh permukaan

kandang, sebelumnya kandang telah dikosongkan terlebih dahulu, begitu kandang

telah kering ayam baru dimasukkan kembali. Dapat juga dengan menyemprotkan

secara langsung kutu yang terdapat pada ayam dengan menggunakan malathion

0,5% atau campuran larutan air sabun dengan serbuk belerang (Wiharto 1985).

Pengendalian terhadap tungau yang menyerang ayam lebih diarahkan pada

tempat persembunyiannya di kandang dibanding pada hewannya. Pemberantasan

Dermanyssus gallinae yaitu dengan melakukan desinfektan, khususnya pada

celah-celah tempat bertengger ayam dan pada tempat bertelur. Dalam hal ini baik

sekali dilakukan dengan cara penyemprotan (spray), misalnya dengan

carbolineum, cresol atau malathion (4%) dengan interval 10 hari sekali

(Wiharto1985).

Pencegahan atau pemberantasan jenis tungau Ornithonyssus dapat

dilakukan dengan menabur serbuk malathion atau dengan larutan nicotine sulfate

40% pada sangkar, tempat bertengger ayam dan daerah sekitar kandang.

Sedangkan untuk tungau yang berada pada tubuh ayam atau bulu dapat dilakukan

dengan menyemprot ayam-ayam dengan larutan malathion. Pemberantasan dapat

dilakukan setiap 10 sampai 14 hari. Serbuk atau larutan malathion digunakan

dengan campuran 1 bagian napthalene dengan 2 bagian vaselin kemudian

digosokkan pada daerah yang banyak tungau seperti alat pelepasan (vent), pangkal

ekor dan sebagainya (Wiharto 1985).

Pemberantasan dengan menggunakan obat-obatan pemberantasan serangga

perlu berhati-hati, karena obat-obat ini dapat meracuni ternak ayam dan dapat

(34)

menyebabkan gangguan pada mereka yang menangani ayam. Tidak semua

metode pengendalian ektoparasit efektif khususnya pada kutu, sehingga sebelum

menggunakan suatu metode atau insektisida tertentu hendaknya diketahui

keunggulan dan kelemahan produk pengendalian yang akan dipakai, dan bahan

yang digunakan harus tidak berbahaya bagi manusia dan tidak menimbulkan

residu pada produk daging dan telur (Wiharto 1985).

Tanaman Kisampang

Menurut Lemmens & Bunyapraphatsara (2003) penyebaran dan geografis

tanaman Melicope ada sekitar 230 spesies dan terdapat di negara Madagaskar,

India, Srilanka, Myanmar daratan Cina, Cina selatan, Thailand, pesisir Malaysia,

daerah timur menuju Hawai dan kepulauan Marquesas, daerah selatan Australia

dan New Zealand. Sekitar 30 spesies ditemukan di Malaysia.

(Anonim 1995) Tanaman Kisampang memiliki sebutan berbeda di

beberapa daerah. Di daerah Sunda dikenal dengan sebutan Kisampang, di daerah

Jawa dengan sebutan Sampang, di daerah Bali dengan sebutan Empag, Rama in

asu (Minahasa), Sauju (Ternate) dan Saihu (Tidore). Evodia merupakan istilah

yang digunakan dalam perdagangan. Di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan

sampang. Di Malaysia: dengan sebutan pauh-pauh, pepauh (Peninsular) serang

(Sabah, sarawak). Burma (Myanmar): thipyu. Kamboja: beysamlek, svaisnor.

Thailand: phia krating. Vietnam: bachlajle, ba glajle (Sosef et al 1998 ).

Klasifikasi

Berikut klasifikasi tanaman Kisampang (Melicope denhamii) :

Kingdom : Plantae

Subdivisi : Angiospermae

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Dicotiledone

Ordo : Diperales

(35)

Genus : Melicope

Spesies : Melicope denhamii

Ciri dan Morfologi

Tanaman Kisampang merupakan pohon dengan tinggi 6 sampai 25 meter,

diameter sekitar 45 cm. Penyebarannya di Indonesia terdapat di pulau Jawa,

dengan ketinggian 1000 sampai 1500m dari permukaan laut (Anonim 1995).

Menurut Chevallier (2001) tanaman Kisampang memiliki daun kombinasi dan

kelompok bunga berwarna putih.

Gambar 11. Tanaman Kisampang (Melicope denhamii)

Rutaceae adalah pohon yang berdaun hijau, terdapat di Asia dan Australia.

Kira-kira ada 50 spesies yang telah diketahui. Daun bersilang. Uniseksual. Bunga

berukuran kecil. Bibit atau benihnya berbentuk oval atau bulat. Evodia mudah

(36)

Gambar 12. Daun Kisampang

Kandungan dan Manfaat

Kandungan daun Kisampang belum diteliti secara detail, namun demikian

daun ini telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia (Anonim 1995).

Damarnya biasa digunakan sebagai pernis. (Syahputra 2003) Ekstrak daun

kisampang berpotensi sebagai insektisida. Famili tumbuhan yang dianggap

mempunyai sumber potensial insektisida botani adalah Meliaceae, Annonaceae,

Asteroceae dan Rutaceae.

Seperti Rutaceae lainnya, daun Kisampang (Melicope denhamii) diduga

mengandung saponin, tanin, flavonoid, minyak atsiri dan alkaloid. Saponin

diduga terkandung dalam tanaman Kisampang karena adanya penggunaan daun

Kisampang sebagai sabun, sifat saponin sama seperti detergen (sabun) yang dapat

menurunkan tegangan permukaan. Tanin pada tanaman Kisampang menyebabkan

adanya rasa kesat atau sepat pada daunnya, penggunaan damarnya sebagai pernis

juga menunjukkan adanya unsur tanin pada tanaman Kisampang.

Menurut Gunawan & Mulyani (2004) minyak atsiri terkandung dalam

berbagai organ, seperti di dalam rambut kelenjar (famili Labiatae), di dalam

sel-sel parenkim (famili Piperaceae), di dalam saluran minyak yang disebut vittae

(famili Umbelliferae), di dalam rongga-rongga skizogen dan siligen (famili

Pinaceae dan Rutaceae), terkandung di dalam semua jaringan (famili Coniferae).

Minyak atsiri adalah zat berbau yang terkandung dalam tanaman. Minyak ini

(37)

suhu biasa (suhu kamar) mudah menguap di udara terbuka. Istilah essensial

dipakai karena minyak atsiri mewakili bau dari tanaman asalnya.

Menurut Sosef et al. (1998) beberapa spesies terdiri dari alkaloid dan

sebagian dipakai sebagai obat-obatan. Kulit kayu Melicope bonwickii dipakai

untuk mencegah gigitan lintah. Di Filipina kulit kayu Melicope confusa

digunakan untuk menghilangkan atau mengobati pembesaran pada limpa. Damar

dari batang pohon pada Melicope latifolia dapat digunakan sebagai pernis dan

alat perekat, dan daunnya dipergunakan sebagai sabun serta untuk mengobati

demam dan kram. Di Taiwan, akar-akar pada Melicope lunu-ankenda digunakan

untuk melawan dingin dan rematik. Dan di Peninsular Malaysia, daun beserta

bunganya digunakan untuk mengobati menstruasi yang tidak teratur dan demam,

daun ini dapat dimakan sebagai bumbu atau digunakan sebagai penyedap

makanan. Beberapa spesies Melicope mengandung alkaloid, coumarin dan minyak

esensial.

Alkaloid ditemukan di beberapa spesies Melicope sebagai antimikrobial,

antifungal. Dalam pengobatan tradisional digunakan sebagai pembersih kulit.

Spesies yang ditemukan di Burma sepanjang Thailand dan Indo-Cina menuju

Taiwan, digunakan sebagai obat kuat, sakit perut dan amandel. Sari dari dedaunan

berguna untuk membersihkan luka-luka, borok, bisul dan kudis ( Lemmens &

Bunyapraphatsara 2003 ).

(Chevvalier 2001) Evodia mengandung evodine, evodiamine dan rutaecarpine.

Tanaman ini juga dapat memulihkan sakit kepala dan masalah pencernaan. Pada

ramuan pengobatan Cina, Evodia sebagian besar digunakan untuk sakit perut,

muntah-muntah, diare, sakit kepala dan denyut nadi yang lemah. Masyarakat

Cina juga mempelajari bahwa indikasi dari Evodia adalah mengurangi rasa sakit

(38)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan dari bulan Februari 2005 sampai dengan bulan

Agustus 2005 di laboratorium Entomologi, bagian Parasitologi, Departemen Ilmu

Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran

Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan selama penelitian adalah lidi, pinset, gunting,

cawan petri, gelas ukur, blender, pisau (alat pemotong), ember, wadah tertutup,

pipet ukur, mikroskop dan kandang ayam. Bahan-bahan yang digunakan antara

lain methanol, alkohol 70%, daun Kisampang dan ayam kampung.

Metode Penelitian

Perlakuan Ayam

Sebanyak lima perlakuan dengan konsentrasi ekstrak daun Kisampang

dalam pelarut methanol yang berbeda, yaitu 0% sebagai kontrol, 0,5%, 1%, 2,5%,

dan 5%. Perlakuan dilakukan dengan tiga kali pengulangan. Perlakuan yaitu

dengan merendam ayam dalam larutan ekstrak daun Kisampang dal pelarut

methanol yang dicampur dengan air hingga mencapai 5 liter selama 3 menit dan

pengamatan dilakukan satu minggu setelahnya.

Pembuatan Ekstrak Methanol Daun Kisampang

Daun Kisampang yang dipetik dibersihkan dengan air sampai bersih,

selanjutnya dilayukan (dijemur dibawah sinar matahari) untuk kemudian dipotong

menjadi bagian yang lebih kecil agar memudahkan dalam proses penghalusan

(dengan cara diblender). Daun kemudian dicampur dengan pelarut dengan

perbandingan 1:1 (satu ml methanol dengan satu gram daun Kisampang). Setelah

(39)

dan dilakukan penyaringan. Hasil perasan selanjutnya digunakan sebagai ekstrak

daun Kisampang 100%. Masing-masing perlakuan larutan ekstrak merupakan

ekstrak 100% dengan air hingga mencapai konsentrasi yang diinginkan, yaitu

konsentrasi 0,5%, 1%, 2,5% dan 5%.

Koleksi Ektoparasit

Satu minggu setelah perlakuan, ayam dimatikan untuk kemudian sesegera

mungkin dicabuti bulunya (bagian sayap). Bulu yang telah diambil tersebut

dimasukkan dalam alkohol 70%, diharapkan ektoparasit yang terdapat pada bulu

menjadi mati dan tidak menyebar kemana-mana. Bulu-bulu tersebut kemudian

diperiksa di bawah mikroskop untuk dilakukan pengoleksian dan

pengidentifikasian. Selain itu, juga dilakukan pemeriksaan pada alkohol 70%

sebagai perendamnya.

Pembuatan Slide Preparat

Insekta dibunuh dengan alkohol 70% lalu dibilas dengan air, kemudian

dimasukkan ke dalam KOH 10% dalam temperatur kamar selama 2 sampai 3 hari,

tergantung tebal dari lapisan kitin spesimen, tetapi sekurang-kurangnya direndam

selama 12 jam. Untuk mempercepat dapat dipanaskan dengan api bunsen, tetapi

tidak sampai mendidih. Selanjutnya dibilas dengan air sampai bersih, jika ada

bagian dari insekta yang menggembung dapat ditusuk dengan menggunakan

jarum halus agar isi dari abdomen keluar, kemudian ditekan perlahan

menggunakan kuas atau lidi sampai isi abdomen tersebut bersih. Dehidratasi

dengan alkohol 70%, 80%, 90% dan terakhir dengan alkohol absolut, tiap fase

selama 10 menit. Clearing dapat dilakukan dengan merendam insekta selama 15

sampai 30 menit di dalam minyak cengkeh. Insekta kemudian dicuci dengan

larutan Xylol, pencucian pertama kali akan berkabut lalu ganti dengan larutan

Xylol yang baru dan rendam kembali hingga terlihat bersih. Slide preparat dibuat

dengan menggunakan Canada Balsam yang diteteskan pada object glass sebanyak

1 sampai 3 tetes, gelembung udara dihilangkan kemudian insekta dimasukkan ke

(40)

cover glass. Slide preparat dimasukkan dalam inkubator selama 1 sampai 2 hari,

setelah diidentifikasi kemudian diberi label. Disimpan pada tempat penyimpanan.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan terhadap jenis dan populasi dari ektoparasit di

bagian sayap, pengamatan dilakukan dalam kurun waktu satu minggu setelah

ayam direndam pada ekstrak daun Kisampang dalam pelarut methanol.

Analisa Data

Pada penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)

dengan tiga kali pengulangan untuk masing-masing konsentrasi. Hasil yang

didapat kemudian dianalisis dengan Analisis Sidik Ragam (ANOVA) yang

(41)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari keseluruhan ektoparasit yang dikoleksi, didapat dua jenis ektoparasit,

yakni kutu (Menopon, Menachantus, Lipeurus dan Goniodes) dan tungau.

Menurut Wiharto (1985) jenis kutu yang mengganggu ternak ayam yaitu Lipeurus

sp., Menopon sp., Menachantus sp., Cuclotogaster sp., Goniocotes sp. dan

Goniodes sp. Kutu-kutu tersebut dapat dibedakan atas tiga golongan : jenis yang

terdapat pada daerah pelepasan (vent), punggung, dada dan sayap, jenis yang

terdapat di kepala dan leher serta jenis yang terdapat pada batang bulu.

Tabel 1 Rataan Jumlah Ektoparasit Di bagian Sayap Pada Masing-Masing

Kelompok Perlakuan

Konsentrasi Rataan Jumlah Ektoparasit (ekor)

Tungau Menopon Menachantus Lipeurus Goniodes

0% 694.33a 32.333a 52.333a 14.333a 4.333a

0.50% 461.67b 9.667b 17.333b 6.333ab 1.333a

1.00% 270.33bc 2.000b 7.333bc 2.333b 0.667a

2.50% 208.00c 0.333b 3.00bc 0.000b 0.000a

5.00% 138.67c 0.000b 2.000c 0.000b 0.000a

Keterangan : Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan uji yang berbeda

nyata pada taraf 5% (p<0,05)

Pada Tabel 1 terlihat pengaruh dari ekstrak daun Kisampang dalam pelarut

methanol yang dipaparkan pada ayam terhadap tungau ditunjukkan pada

konsentrasi 0% yang berbeda nyata terhadap konsentrasi 0,5%, 1%, 2,5% dan 5%,

sedangkan antar kelompok perlakuan didapatkan hasil yang berbeda nyata pada

konsentrasi 0,5% dengan konsentrasi 2,5% dan konsentrasi 5%. Konsentrasi 2,5%

tidak memperlihatkan hasil yang berbeda nyata baik pada konsentrasi 0,5%, 2,5%

ataupun 5%. Jumlah populasi yang ditemukan pada konsentrasi 0% sebesar

694.33, sedangkan untuk konsentrasi 0,5%, 1%, 2,5% dan 5% berturut-turut

adalah 461.67, 270.33, 208.00 dan 138.67. Pada konsentrasi 1% didapat populasi

(42)

Khasiat ekstrak daun Kisampang dalam pelarut methanol yang dipaparkan

pada ayam terhadap Menopon terjadi penurunan jumlah yang berbeda nyata antara

kelompok kontrol (tanpa ekstrak) dengan kelompok perlakuan (dengan ekstrak).

Namun antara kelompok yang diberi perlakuan dengan ekstrak daun Kisampang

dalam pelarut methanol menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Pada

Menopon konsentrasi 0%, 0,5%, 1%, 2,5% dan 5% menunjukkan jumlah populasi

sebagai berikut: 0% sebesar 32.333, 0,5% sebesar 9.667, 1% sebesar 2.000, 2,5%

sebesar 0.333 dan 5% sebesar 0.000. Untuk konsentrasi 0,5% penurunan jumlah

populasi Menopon sangat besar, yaitu mencapai 22.666, sedangkan dari

konsentrasi 0,5% ke konsentrasi 1% mencapai penurunan 7.667, dan dari

konsentrasi 1% ke konsentrasi mencapai 1.667.

Jumlah populasi Menachantus pada konsentrasi 0% berbeda nyata

terhadap ekstrak daun Kisampang dalam pelarut methanol dengan konsentrasi

yang lebih tinggi, yaitu konsentrasi 0,5%, 1%, 2,5% dan 5%. Begitu juga pada

konsentrasi 5% berbeda nyata terhadap kelompok perlakuan ekstrak daun

Kisampang dalam pelarut methanol dengan konsentrasi yang lebih rendah, tetapi

hasil yang tidak berbeda nyata ditunjukkan pada konsentrasi 0,5%, 1% dan 2,5%.

Populasi pada konsentrasi 0% sebesar 52.333 dan menurun menjadi sepertiganya

pada konsentrasi 0,5% yaitu sebesar 17.333. Konsentrasi 1% jumlah populasinya

sebesar 7.333 dan menurun menjadi 3.000 pada konsentrasi 2,5%, sedangkan

jumlah populasi Menachantus yang dicapai pada konsentrasi 5% sebesar 2.000.

Pemberian ekstrak daun Kisampang dalam pelarut methanol pada ayam

terhadap Lipeurus memperlihatkan hasil yang berbeda nyata antara konsentrasi

0% dan 0,5% dengan konsentrasi 1%, 2,5% dan 5%, dan perbedaan yang tidak

nyata diperoleh pada konsentrasi 1%, 2,5% dan 5%. Penurunan populasi Lipeurus

yang mencapai 100% dapat dilihat pada dua perlakuan dengan ekstrak daun

Kisampang dalam pelarut methanol konsentrasi tertinggi. Perolehan jumlah

populasi pada konsentrasi 0%, 0,5% dan 1% adalah 14.333, 6.333 dan 0.667.

Jumlah populasi Goniodes baik pada kelompok kontrol ataupun pada

kelompok yang diberi perlakuan dengan ekstrak daun Kisampang dalam pelarut

methanol (konsentrasi 0,5%, 1%, 2,5% dan 5%) tidak menunjukkan perbedan

(43)

konsentrasi 0%, 0,5% dan 1% adalah 4.333, 1.333 dan 0.667. Penurunan populasi

yang tidak tinggi pada koleksi juga mengakibatkan hasil yang tidak berbeda nyata

pada penghitungan secara statistik. Goniodes memiliki beberapa spesies, salah

satunya adalah Goniodes gigas. Goniodes merupakan kutu yang sangat besar,

berhabitasi di permukaan kulit dan bulu, banyak terdapat di burung dewasa, dan

jumlahnya tidak pernah ditemukan dalam jumlah besar.

0

Gambar 13 Rataan Jumlah Ektoparasit Tungau Di bagian Sayap Ayam

Gambar 14 Rataan Jumlah Ektoparasit Kutu (Menopon, Menachantus,

Lipeurus dan Goniodes) Di bagian Sayap Ayam

Pengaruh konsentrasi ekstrak daun Kisampang dalam pelarut methanol

yang dipaparkan pada ayam terhadap populasi tungau, Menopon, Menachantus,

Lipeurus dan Goniodes pada Gambar 1 dan Gambar 2 menunjukkan penurunan

(44)

angka-angka yang signifikan. Grafik penurunan yang paling jelas, terlihat pada

populasi tungau. Pada Goniodes, terjadi penurunan, walaupun tidak terlalu tajam.

Semakin tinggi tingkatan konsentrasi ekstrak daun Kisampang dalam pelarut

methanol yang digunakan, semakin berkurang juga populasi dari masing-masing

jenis ektoparasit yang dikoleksi. Pada tungau dan Menachantus untuk konsentrasi

5%, pengaruh ekstrak daun Kisampang dalam pelarut methanol tidak dapat

menghasilkan penurunan jumlah populasi yang mencapai 100%.

Ekstrak daun Kisampang dalam pelarut methanol juga telah diujikan

terhadap larva nyamuk Aedes Aegypti L. Menurut Panus (2003) ekstrak daun

Kisampang dalam pelarut methanol memiliki LC50 terendah, sehingga dengan

hanya menggunakan konsentrasi kecil dari ekstrak daun Kisampang dalam pelarut

methanol mampu mematikan 50% dari larva (Aedes Aegypti L) yang diuji,

dibandingkan dengan menggunakan pelarut aquades dan ethanol. LC50 ekstrak

daun Kisampang dalam pelarut methanol untuk larva (Aedes Aegypti L) adalah

0,0421%.

Penurunan populasi ektoparasit yang terjadi setelah diberi perlakuan

disebabkan oleh zat-zat yang terkandung dalam daun Kisampang. Daun

Kisampang diduga mengandung saponin, tanin, flavonoid, minyak atsiri dan

alkaloid. Peranan paling utama dari minyak atsiri terhadap tumbuhan itu sendiri

adalah sebagai pengusir serangga (mencegah daun dan bunga rusak) serta sebagai

pengusir hewan-hewan pemakan daun lainnya (Gunawan & Mulyani 2004).

Pengurangan populasi tungau pada ayam yang diberi ekstrak daun

Kisampang dapat terjadi karena tungau yang terpapar ekstrak daun Kisampang

tersebut menjadi mati atau berpindah ke lingkungan (kandang), karena tungau

selain dapat hidup pada tubuh inang juga dapat hidup di lingkungan. Sedangkan

pengurangan populasi yang terjadi pada kutu dari ayam yang diberi ekstrak daun

Kisampang disebabkan kutu tersebut menjadi mati. Kutu tidak mungkin berpindah

ke lingkungan (kandang) karena kutu hanya dapat hidup pada tubuh inang dan

menghabiskan seluruh siklus hidupnya pada tubuh inang.

(45)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Didapatkan dua jenis ektoparasit pada bagian sayap ayam kampung, yaitu kutu

(Menopon, Menachantus, Lipeurus dan Goniodes) dan tungau

2. Penurunan jumlah ektoparasit semakin meningkat seiring penambahan

konsentrasi ekstrak daun Kisampang dalam pelarut methanol

3. Ekstrak daun Kisampang dalam pelarut methanol efektif terhadap ektoparasit

pada bagian sayap ayam kampung, dengan tingkat konsentrasi terendah

(0,5%) mampu menurunkan jumlah dari populasi ektoparasit

4. Daun Kisampang mempunyai potensi sebagai insektisida nabati terhadap

ektoparasit, khususnya pada ayam

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kandungan zat-zat aktif

yang terdapat dalam daun Kisampang (Melicope denhamii) secara rinci, sehingga

dapat diketahui cara kerja dari zat-zat aktif tersebut serta perubahan aspek biologi

(46)

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah AC. 2004. Membasmi Aedes Aegypti dengan Ekstrak Serai. Pikiran Rakyat.http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0304/07/hikmahlainnya4 .htm [Januari, 2006]

Anonim. 1995. Medicinal Herb Index in Indonesia. Second edition. PT Eisai Indonesia

______. 2003. 4-H Study Materials for Entomology Contests for Juniors (Age 9-11). http://insects.tamu.edu/youth/4H/studymaterials/ junior/orders .html

[Januari, 2006]

______. 2004. Konsumsi daging Ayam Turun 50 persen. Suara Merdeka.

http://www.suaramerdeka.com/harian/0402/07/nas11.htm [Desember, 2005]

______. 2005a. Permintaan Ayam Turun 40 persen. Kompas.

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0508/06/ekonomi/1952806.htm

[Desember, 2005]

______. 2005b. Poultry Pest management. Bulletin 853.

http://ohioline.osu.edu/b853/b853 6.html [November, 2005]

Bailey LH. 1913. The Standard Cyclopedia of Horticulture. Volume 1. New york

Bains BS. 1979. A Manual Poultry Disease. Basle: Roche and Co Limited Company

Biester HE, Schwarte LH. 1952. Disease of Poultry. Ames: The IOWA State College Press

Burkill IH, MA, FLS. 1966. A Dictionary of The Economic Products of The Malay Peninsula. Governments of Malaysia and Singapore by The Ministry of Agriculture and Co-operative. Malaysia

Cahyono B. 2002. Ayam Buras Pedaging. Cetakan ke-6. Jakarta : Penebar Swadaya

Calnek BW, Barnes HJ, Beard CW, Reid WM, Yoder HW. Disease of Poultry. Ninth edition. IOWA : State University Press

(47)

Chevallier A. 2001. Encyclopedia of Medicinal Plants. National Library of australia. Cataloguing in Publication Data

Chittenden J, OBE, FLS, UMH. 1951. Dictionary of Gardening. Volume 2. Co.JA. Oxford at The Clarendon Press

Darmana W. 2003. Ayam Lignan : Ayam Kampung Unggul Cina. Cetakan ke-1. Jakarta : Penebar swadaya

Gordon. 1977. Poultry Diseases. Bailliere Tindall London.

Gunawan D, S Mulyani. 2004. Ilmu Obat Alam (Farmakognosi) Jilid ke-1. Jakarta : Penebar Swadaya

Jull M. 1951. Poultry Husbandry. Third edition. University of Maryland.

Koehler PG, J F Butler. 2006. External Parasites of Poultry.

http://edis.ifas.ufl.edu/IG140 [Januari, 2006]

Lemmens RHMJ, Bunyapraphatsara. 2003. Plant Resources of South-East asia 12 (3) Medicinal and Poisonous Plants 3. Backhuys Publishers, Leiden

Levine ND. 1990. Buku parasitologi Veteriner. Gatut A, penerjemah; Wardiarto, editor. Yogyakarta: UGM Pr. Terjemahan dari: Textbook of Veterinary Parasitologi.

Nawawi, Thamrin N. 2003. Ransum Ayam Kampung. Jakarta : penebar Swadaya

Panus A. 2003. Studi Pengaruh Ekstrak Daun Kisampang (Evodia latifolia L) Dalam Pelarut aquades, Etanol dan Metanol Terhadap Perkembangan Pradewasa Nyamuk (Aedes Aegypti L). [Skripsi]. FKH-IPB

Pickworth, Carriel, Teresa YM. Common External Parasites in Poultry:Lice and Mites. http://ohioline.osu.edu/vme-fact/0018.html

Rasyaf M. 2004. Beternak ayam Kampung. Cetakan ke-28. Jakarta : Penebar Swadaya

Rosell, Robert E, Earl WG. Entomologist and Extention Poultrymen.

http://Tanrpubs.unl.edu/insects/9391.htm [November, 2005]

Sanders DP. 2006. Human Lice. Department of entomology.

http://muextension.missouri.edu/explore/agguides/pests/g07394.htm

[Januari, 2006]

(48)

Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. 6th Ed. Monnig’s Veterinary Helminthologi ang Entomology. Williams and Wilkins. Baltimore.

Sudaryani T. 2003. Teknik Vaksinasi dan Pengendalian Penyakit Ayam. Cetakan ke-5. Jakarta : penebar Swadaya

Tikaso R. 2001. Sebaran Kutu (Philopteridae: Lipeurus dan Goniocotes) Pada Beberapa Bagian Tubuh Ayam Kampung. [Skripsi]. FKH-IPB

Wana PW. 2001. Sebaran Kutu (Menoponidae: Menopon dan Philoteridae :

Goniodes) Pada Beberapa Bagian Tubuh Ayam Kampung. [Skripsi]. FKH-IPB

Wiharto. 1985. Penyakit Ayam dan Cara Mengatasi. Lembaga Penerbitan Universitas Brawijaya Malang

Williams D. 2000. Two-spotted mite on ornamental plants.

(49)
(50)
(51)

Lampiran 2 Perhitungan rataan populasi ektoparasit kutu (Menopon) yang ditemukan padabagian sayap ayam kampung

(52)

Lampiran 3 Perhitungan rataan populasi ektoparasit kutu (Menachantus) yang ditemukan padabagian sayap ayam kampung

(53)

Lampiran 4 Perhitungan rataan populasi ektoparasit kutu (Lipeurus) yang ditemukan padabagian sayap ayam kampung

(54)

Gambar

Tabel 1. Perbandingan antara kutu dengan tungau
Gambar 1. Kutu genus Goniodes
Gambar 3. Kutu genus Menachantus
Gambar 5. Siklus Hidup Kutu
+7

Referensi

Dokumen terkait

“ Identifikasi Ektoparasit pada Ayam Kampung ( Gallus domesticus ) dan Ayam Arab ( Gallus turcicus ) di Desa Mulyoagung Kecamatan DAU Kabupaten Malang Sebagai

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun mimba atau ekstrak daun kluwek sebagai pestisida terhadap kematian Spodoptera sp.1.

Berdasarkan pengujian aktivitas antibakteri terhadap infus, ekstrak metanol dan ekstrak etanol daun bayam duri dan herba cakar ayam, dengan metode broth microdillution ,

ini perlu dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan sarang semut dalam pengencer ringer laktat terhadap abnormalitas spermatozoa ayam

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran histologi dari pengaruh ekstrak daun C.odorata dalam berbagai konsentrasi terhadap proses kesembuhan

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengkaji pengaruh penggunaan tepung daun ubi jalar (Ipomoea batatas) fermentasi dalam ransum terhadap performa ayam

Perlakuan penggunaan ekstrak daun beluntas terhadap persentase bobot potongan karkas bagian dada dan punggung ayam pedaging tidak menunjukkan perbedaan, sedangkan penggunaan

data F hitung &gt; F tabel pada taraf signifikansi 5% artinya ekstrak daun sirsak berpengaruh nyata terhadap mortalitas ektoparasit, kemudian akan dilanjutkan dengan Post Hoc Test