• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Tegakan Pinus di Taman Nasional Gunung Merapi : Studi Kasus Penyadapan Getah Pinus oleh Masyarakat Desa Ngargomulyo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengelolaan Tegakan Pinus di Taman Nasional Gunung Merapi : Studi Kasus Penyadapan Getah Pinus oleh Masyarakat Desa Ngargomulyo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah."

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN TEGAKAN PINUS DI TAMAN NASIONAL

GUNUNG MERAPI

(Studi Kasus Penyadapan Getah Pinus oleh Masyarakat Desa

Ngargomulyo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah)

ASIH KARTIKA LISTYANDARI

E 34104052

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

RINGKASAN

ASIH KARTIKA LISTYANDARI E34104052. Pengelolaan Tegakan Pinus di Taman Nasional Gunung Merapi : Studi Kasus Penyadapan Getah Pinus oleh Masyarakat Desa Ngargomulyo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Di bawah bimbingan Nandi Kosmaryandi dan Handian Purwawangsa.

PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.134 Tahun 2004, telah terjadi perubahan fungsi kawasan hutan lindung yang semula dikelola oleh Perum Perhutani menjadi Hutan Konservasi Taman Nasional Gunung Merapi dibawah pengelolaan Departemen Kehutanan. Kawasan hutan lindung ini berupa hutan tanaman yaitu hutan tanaman pinus (Pinus merkusii) dan hutan tanaman akasia (Acacia mangium) yang merupakan jenis eksotik di TNGM. Sejak pengelolaan Perum Perhutani, sudah ada kelompok masyarakat yang bermatapencaharian menyadap getah pinus, salah satunya adalah masyarakat Desa Ngargomulyo. Masyarakat desa ini telah menekuni kegiatan menyadap getah pinus selama hampir 10 tahun. Setelah menjadi taman nasional, masyarakat masih ingin tetap melakukan penyadapan getah pinus karena kegiatan ini merupakan pekerjaan utama bagi masyarakat penyadap getah dan akibat perubahan fungsi kawasan ini masyarakat belum dapat melakukan alih profesi dalam waktu dekat ini. Pemanfaatan hutan tersebut dilakukan karena besarnya interaksi masyarakat dan untuk mengurangi tekanan terhadap hutan, sehingga TNGM mengijinkan masyarakat menyadap getah. Penelitian ini bertujuan membuat arahan sistem pengelolaan tegakan pinus di TNGM agar dapat dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar dengan tetap menjamin kelestarian ekosistemnya.

METODE. Penelitian di lapangan dilakukan pada bulan Maret sampai April 2009 yang bertempat di Desa Ngargomulyo. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam menggunakan panduan wawancara (kuisioner) secara semi terstruktur dan observasi langsung, sedangkan data sekunder diperoleh melalui penelusuran dokumen baik dari kantor desa maupun kantor taman nasional. Responden yang diambil sebanyak 30 responden dari masyarakat bukan penyadap getah pinus dan 8 responden masyarakat penyadap getah pinus yang dipilih dengan menggunakan metode snowball sampling. Dari seluruh data yang diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk tabulasi dan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kawasan hutan yang dijadikan lahan sadapan oleh masyarakat Desa Ngargomulyo terletak di petak 34a Resort Dukun seluas 46,5 Ha. Setelah dilakukannya evaluasi zonasi pada tahun 2009, kawasan hutan pinus ini direncanakan masuk ke dalam zona tradisional TNGM, sehingga masyarakat masih bisa melakukan kegiatan pemungutan HHBK yang berupa getah pinus selama daur produktif pinus yaitu 30 tahun dan masih terjadi interaksi masyarakat dengan hutan pinus tersebut dengan mengacu pada Pedoman Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat di Dalam dan di Sekitar Kawasan Konservasi” yang dikeluarkan oleh Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam (DPJLWA) Tahun 2007.

KESIMPULAN. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu di hutan pinus Desa Ngargomulyo dapat dilakukan oleh masyarakat sekitarnya selama tegakan tersebut masih termasuk dalam zona tradisional dan akan dihentikan pada saat tegakan pinus ini mulai direhabilitasi dengan spesies asli Gunung Merapi.

(3)

SUMMARY

ASIH KARTIKA LISTYANDARI E34104052. Management Pine Taping at Merapi's Mountain National Park (Tap case study Taps Pine by Ngargomulyo's Village Society, Magelang District, Central java). Under supervised by NANDI KOSMARYANDI and HANDIAN PURWAWANGSA.

INTRODUCTION. With besued Decree Of forestry Minister No.134 Year 2004, was become area function change lindung's forest that originally been brought off by becomes National Park Conservation Forest Lock-up Merapi under conservation forest of Department of Forestry. Forest area this as forest of plant which is pine plant forest (

merkusii's pine ) and acacia plant forest ( Acacia mangium ) one that constitute exotic type at TNGM. Since Perum Perhutani's management, have available society group that taps to tap pine, one of it is Ngargomulyo's Silvan society. This silvan society have activity taps to tap pine up to well-nigh 10 years. After becomes national park, society is still want to persist pine rubber tap because this activity constitute main work for bug society taps and effect area function change this society can't yet do profession averting in the period of near it. That forest exploit is done since outgrows it society interaction and to reduce pressure to forest, so TNGM allows society tap rubber. This research intent make management system instruction pine tap at TNGM to be able to being utilized by ala optimaling to increase society welfare around regularly secure its ecosystem continuity.

METHOD. Research at the site is done on month of March until April 2009 one get places at Silvan Ngargomulyo. Gathered consisting of primary data and secondary data. Through acquired primary data interview visceraling to utilize interview guidance (kuisioner) half almost structure and direct observation, meanwhile secondary data is gotten through penelusuran good document of village office and also national park office. Respondent that is taken as much 30 respondents of society are not bug tap pines and 8 bug society respondents tap pine those are chosen by use of method snowball sampling . All of acquired then presented data deep shaped tabulation and to be analyze by use of descriptive method.

RESULT AND STUDY. Forest area that made farm by Ngargomulyo's Village society lies at slot 34a Soothsayer Resort as extensive as 46,5 Ha. After been done its zone evaluation on year 2009, pine forest area this was plotted turns in at TNGM'S traditional zone, so society is still can do picking activity that as rubber of pine up to cycles productive pine which is 30 years and still society interaction happenings with that pine forest by points on Yielding Harnessed Guidance Forest Is Not Timbered in order to

Society Empowerment in and Area around Conservation ” one issued by Environmental

Service Exploit directorate and Wisata Is Nature (DPJLWA) Year 2007.

CONCLUSION. Forests yielding exploit be not timbered at Silvan pine forest Ngargomulyo can be done by its vicinity society up that stills to include in traditional zone and will be discontinued at the moment this tap pine rehabilitated beginning with Mountain original species Merapi.

(4)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pengelolaan Tegakan Pinus Di Taman Nasional Gunung Merapi : Studi Kasus Penyadapan Getah Pinus oleh Masyarakat Desa Ngargomulyo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal

atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir

skripsi ini.

Bogor, Oktober 2009

(5)

PENGELOLAAN TEGAKAN PINUS DI TAMAN NASIONAL

GUNUNG MERAPI

(Studi Kasus Penyadapan Getah Pinus oleh Masyarakat Desa

Ngargomulyo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah)

ASIH KARTIKA LISTYANDARI

E 34104052

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(6)

Judul Skripsi : Pengelolaan Tegakan Pinus di Taman Nasional Gunung Merapi : Studi Kasus Penyadapan Getah Pinus oleh Masyarakat Desa Ngargomulyo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah

Nama Mahasiswa : Asih Kartika Listyandari

NRP : E34104052

Program Studi : Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Mengetahui :

Dekan Fakultas Kehutanan IPB,

Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr NIP. 19611126 198601 1 001

Tanggal Lulus :

Ketua,

Ir. Nandi Kosmaryandi, M.Sc F

NIP. 19660628 199802 1 001

Anggota,

Handian Purwawangsa, S.Hut. M.Si

(7)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim,

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wata‟ala atas segala nikmat, karunia dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Seluruh hasil penelitian yang tertuang dalam skripsi ini diharapkan dapat memberikan sedikit informasi kepada pembacanya mengenai pengelolaan tegakan pinus di Taman Nasional Gunung Merapi khususnya pemanfaatan hasil hutan bukan kayu berupa getah pinus oleh masyarakat di dalam dan di sekitar taman nasional dalam hal ini adalah masyarakat daerah penyangga, salah satunya adalah masyarakat Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang.

Terselesainya penulisan tugas akhir ini tidak terlepas dari bimbingan Ir. Nandi Kosmaryandi, M.Sc F dan Handian Purwawangsa, S.Hut. M.Si selaku

dosen pembimbing. Dalam kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Balai Taman Nasional Gunung Merapi, khususnya Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I serta semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan laporan ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam skripsi ini, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk skripsi ini. Akhir kata mudah-mudahan skripsi ini dapat berguna bagi pembaca sebagai acuan untuk penelitian-penelitian selanjutnya, terutama di bidang pengelolaan kolaboratif taman nasional.

Bogor, Oktober 2009

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji bagi Allah SWT atas segala nikmat, karunia dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengelolaan Tegakan Pinus di Taman Nasional Gunung Merapi : Studi Kasus Penyadapan Getah Pinus oleh Masyarakat Desa Ngargomulyo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah”.

Segala sesuatu yang penulis sajikan dalam skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan yang berbahagia ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ir. Nandi Kosmaryandi, M.Sc F dan Handian Purwawangsa, S.Hut. M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, masukan dan perhatian kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Tak lupa ucapan terima kasih penulis haturkan untuk :

1. Yang terkasih Ayahanda Suyamto, STP. dan Ibunda tercinta Suparsih serta Adekku Tommy AW atas curahan cinta dan kasih sayang serta doa dan

ketulusan yang tiada henti.

2. Yang tercinta, Randy Safputra yang selalu mendukung dengan doa dan

semangat dan untuk separuh nafasku MB Evan Pratama yang telah mengalirkan kebahagiaan dan keceriaan dalam hidup, motivasi terbesar dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Bapak Ir. Sudaryanto selaku dosen penguji dari Departemen Manajemen

Hutan dan Ibu Dr. Lina Karlinasari, S. Hut, M. ScF selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menguji dan memberikan arahan kepada penulis.

4. Ir. Tri Prasetio selaku Kepala Balai TNGM, Ir. Junita Parjanti, MM selaku

Kepala Bagian TU, Nuryadi, S.Hut. MP selaku Kepala SPTN Wilayah I atas ijin dan bantuannya selama penelitian. Bu Silvana, Pak Asep Nia dan untuk semua staf kantor BTNGM atas bantuan, data dan informasi yang telah diberikan.

5. Personil TNGM SPTN Wilayah I Pak Munir, Pak Dedi, Mas Ipul, Pak

(9)

6. Bp. Yatin selaku Kepala Desa Ngargomulyo beserta perangkat desa atas

bantuan dan informasi yang telah diberikan.

7. Semua teman-teman KSH „41 atas kekompakan, kebersamaan dan

keceriaannya yang takkan pernah penulis lupakan. Kamu sangat berarti, istimewa di hati. S’lamanya rasa ini. Jika tua nanti kita t’lah hidup masing-masing, ingatlah hari ini. Bangga pernah jadi bagian dari KSH ‟41.

8. Merapi‟ers 2008 : Hendri, Lanjar, Ichan, Kuntoro, Bob, Ade. Terima kasih

telah memberikan sesuatu yang indah, kenangan yang takkan terlupakan. Jangan lupakan TPSnya ya..

9. Teman-teman RIMPALA khususnya angkatan R-IX dan semua anggota

RIMPALA yang telah menorehkan pengalaman dan persaudaraan yang takkan pernah putus.

10. Teman-teman P3H, iing, salwa, ipul, jempa, adi harimau, didie, dan

semuanya yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

11. Teman-teman di Biotek, Rova, Cita, Dhenny, Oki, terimakasih atas

persahabatannya. Maaf karena sudah mundur di tengah jalan. Untuk semua personil di Biotek terima kasih sudah memberikan ilmu yang baru bagi penulis.

12. Teman-teman seperjuangan generasi akhir mbak devina, alex, andi NC,

rama, heri, ichan, bob, melincah, kuntoro, aaf, dwi, okta, ari, dll. huff.. Perjuangan belum berakhir sampai disini, perjuangan yang sebenarnya baru akan dimulai..

13. Teman-teman yang membantu dalam menyiapkan seminar dan sidang,

(10)

DAFTAR ISI

Ha l.

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 3

1.3 Manfaat Penelitian ... 3

1.4 Kerangka Pemikiran... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taman Nasional sebagai Kawasan Konservasi ... 5

2.2 Masyarakat Sekitar Hutan ... 7

2.2.1 Ketergantungan dan interaksi Masyarakat Setempat terhadap Hutan... 8

2.2.2 Tenaga Penyadap ... 9

2.3 Pengelolaan Hutan Indonesia ... 10

2.3.1 Arah Pengelolaan Hutan Konservasi ... 10

2.3.2 Kelola Sosial dan Pengelolaan Hutan Lestari ... 11

2.3.3 Konsepsi Partisipasi Masyarakat dan Kolaborasi dalam Pengelolaan Hutan ... 12

2.4 Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat di Dalam dan di Sekitar kawasan Konservasi... 13

2.4.1 Kebijakan dan Strategi dalam Pemanfaatan HHBK ... 15

2.4.2 Tata Cara Permohonan Ijin Pemanfaatan HHBK ... 16

2.5 Gambaran Umum Pinus ... 18

2.5.1 Penyebaran dan Tempat Tumbuh Pinus di Indonesia ... 18

(11)

2.5.3 Getah Pinus ... 19

2.5.4 Penyadapan Getah Pinus di Perum Perhutani ... 23

2.5.5 Dampak Positif dan Dampak Negatif Pengelolaan Tegakan Pinus ... 25

2.6 Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) ... 28

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Kondisi Taman Nasional Gunung Merapi ... 30

3.1.1 Letak dan Luas ... 30

3.1.2 Sejarah dan Status kawasan ... 30

3.1.3 Kondisi Fisik dan Biologi Kawasan ... 31

3.1.4 Rancangan Zonasi Taman Nasional Gunung Merapi ... 33

3.1.5 Hubungan Sosial Ekonomi Penduduk dengan Gunung Merapi... 36

3.1.6 Kondisi Wisata Budaya Masyarakat Gunung Merapi ... 36

3.2 Kondisi Desa Ngargomulyo ... 39

3.2.1 Letak ... 39

3.2.2 Sosial Ekonomi Masyarakat ... 39

3.2.3 Potensi Wisata di Desa Ngargomulyo ... 41

IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 43

4.2 Objek Penelitian ... 44

4.3 Alat dan Bahan Penelitian ... 44

4.4 Jenis Data yang Dikumpulkan ... 44

4.5 Metode Pengumpulan Data ... 47

4.6 Metode Pengambilan Contoh ... 48

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tegakan Pinus di Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) ... 49

5.1.1 Alih Fungsi Kawasan Hutan Lindung ... 49

5.1.2 Kondisi Tegakan Pinus di TNGM ... 50

(12)

Kabupaten Magelang ... 51 5.2.1 Masyarakat Bukan Penyadap Getah Pinus ... 51 5.2.2 Masyarakat Penyadap Getah Pinus ... 57 5.3 Bentuk-bentuk Interaksi Masyarakat di Kawasan Hutan Pinus

Sebelum dan Setelah Menjadi Taman Nasional ... 58 5.3.1 Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Sebelum menjadi Taman

Nasional ... 58 5.3.2 Pemanfaatan Sumbardaya Hutan Setelah menjadi Taman

Nasional ... 63 5.4 Penyadapan Getah Pinus oleh Masyarakat ... 64 5.4.1 Kharakteristik Kelompok Tani Sadap ... 64 5.4.2 Penyadapan Getah Pinus Sebelum dan Setelah menjadi

Taman Nasional ... 65 5.4.3 Dampak Kegiatan Penyadapan Getah Pinus di Desa

Ngargomulyo ... 70 5.5 Kebijakan dan Arah Pengelolaan Tegakan Pinus di TNGM ... 71

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan ... 78 6.2 Saran-saran ... 79

(13)

DAFTAR TABEL

No. Hal.

1. Produksi getah pada beberapa jenis pinus ... 20

2. Hubungan antara produksi getah dengan umur tegakan pinus... 21

3. Luas masing-masing rancangan zonasi Taman Nasional Gunung Merapi ... 35

4. Pembagian dusun dan jumlah kepala keluarga (KK) Desa Ngargomulyo ... 39

5. Matapencaharian penduduk Desa Ngargomulyo ... 39

6. Tingkat pendidikan masyarakat Desa Ngargomulyo ... 40

7. Jenis penggunaan lahan masuarakat Desa Ngargomulyo ... 41

8. Jenis hewan ternak yang dipelihara oleh masyarakat Desa Ngargomulyo ... 41

9. Jenis data primer yang dikumpulkan melalui wawancara terhadap masyarakat... 44

10. Jenis data primer yang diperoleh dari pihak pengelola Taman Nasional ... 46

11. Jenis data sekunder yang dikumpulkan ... 46

12. Kharakteristik masyarakat penyadap Desa Ngargomulyo ... 57

(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal.

1. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian pengelolaan hutan pinus

di TNGM ... 4

2. Zonasi TNGM sebelum dilakukkannya review zonasi ... 35

3. Peta lokasi penelitian pengelolaan hutan pinus di TNGM ... 43

4. Peta perubahan alih fungsi hutan dari hutan lindung menjadi hutan Konservasi TNGM ... 49

5. Anyaman kepang hasil kerajinan masyarakat yang digunakan sebagai tempat menjemur hasil-hasil panen ... 51

6. Persentase jenis kelamin responden ... 51

7. Selang umur responden ... 52

8. Persentase tingkat pendidikan responden... 53

9. Jenis matapencaharian utana responden... 54

10. Jenis mata pencaharian sampingan responden ... 54

11. Kisaran pendapatan utama responden ... 55

12. Persentase kepemilikan ternak responden ... 56

13. Persentase penggunaan lahan garapan oleh masyarakat ... 57

14. Frekuensi pengambilan rumput oleh masyarakat di dalam kawasan Taman Nasional ... 60

15. Pengambilan rencek (kayu bakar) umumnya berbarengan dengan pengambilan rumput... 62

16.

Tempat penampungan air yang berasal dari Sungai Blongkeng ... 62

17.

Batok kelapa sebagai tempat untuk menampung getah pinus ... 68
(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal.

1. Kuisioner I untuk masyarakat penyadap ... 84

2. Kuisioner II untuk masyarakat bukan penyadap ... 87

3. Kharakteristik responden masyarakat penyadap getah ... 89

4. Kharakteristik responden masyarakat bukan penyadap getah ... 90

5. Kepemilikan ternak dan luas lahan garapan responden masyarakat bukan penyadap getah ... 92

6. Pengambilan sumberdaya hutan oleh masyarakat... 94

7. Pemanfaatan sumberdaya hutan sebelum dan setelah menjadi Taman Nasional ... 96

8. Pembagian petak berdasarkan luasan masing-masing resort di SPTN Wilayah I ... 97

9. Berita acara serah terima pengelolaan kawasan hutan lindung yang telah diubah menjadi kawasan konservasi TNGM dari Perum Perhutani kepada Departemen Kehutanan ... 99

(16)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No.

134/Menhut-II/2004 tanggal 4 Mei 2004, tentang penunjukan kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) dan perubahan fungsi kawasannya, TNGM merupakan gabungan dari Taman Wisata Alam (TWA) Plawangan Turgo, Cagar Alam (CA) Plawangan Turgo, dan Hutan Lindung. Kawasan dengan luasan 6.410 ha (1.283,99 ha di DIY dan 5.126,01 ha di Jateng) ini ditetapkan sebagai taman nasional dengan mempertimbangkan kekhasan Gunung Merapi yang sangat aktif dan merupakan tipe tersendiri serta adanya ekosistem yang unik, menarik dan dinamis dari kombinasi biosystem, geosystem dan sociosystem. Secara ekologis, kawasan Gunung Merapi merupakan daerah tangkapan air, selain itu juga menjaga kestabilan ekosistem pegunungan. Gunung merapi juga menyimpan banyak potensi pariwisata alam yang dapat dikembangkan, baik keunikan dan keanekaragaman hayatinya, puncak Gunung Merapi, air terjun, dan panorama indah lainnya. Tujuan pengelolaan taman nasional ini adalah untuk perlindungan sumber air, sungai dan penyangga sistem kehidupan di Kabupaten/kota Sleman, Klaten, Boyolali, dan Magelang.

Banyaknya warga masyarakat yang tinggal di empat kabupaten yang

berada di sekitar kawasan TNGM mengandalkan hasil pertanian dan hasil hutan yang ada di dalam kawasan taman nasional sebagai mata pencaharian mereka.

(17)

kurun waktu hampir 10 tahun. Setelah menjadi taman nasional, masyarakat masih ingin tetap melakukan penyadapan getah pinus karena kegiatan ini merupakan pekerjaan utama bagi masyaakat penyadap getah dan akibat perubahan fungsi kawasan ini masyarakat belum dapat melakukan alih profesi dalam waktu dekat ini.

Sebagai sebuah taman nasional yang salah satu mandatnya adalah pengelolaan sosiosystem, TNGM memerlukan suatu strategi untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar, seperti menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat dengan tetap mengutamakan kepentingan kelestarian ekosistemnya. TNGM saat ini memperbolehkan masyarakat melakukan kegiatan penyadapan getah pinus sebagaimana ketika masih dikelola oleh Perum Perhutani dulu dengan syarat harus tetap menjaga dan mempertahankan kelestarian hutannya. Sebelum masyarakat melanjutkan kegiatan penyadapan getah di kawasan taman nasional, masyarakat penyadap harus terlebih dahulu mambuat surat ijin untuk melakukan pemungutan hasil hutan. Dengan adanya kerjasama tersebut diharapkan dapat memberikan keuntungan kepada kedua belah pihak

yaitu bagi masyarakat meningkatkan kesejahteraan hidupnya dan bagi taman nasional, secara tidak langsung masyarakat akan mengelola kawasan hutan tersebut kelestarian ekosistem hutannya akan tetap terjaga. Selain itu dengan

adanya kegiatan pemanfaatan sumberdaya hutan tersebut diharapkan akan dapat mengurangi tekanan dan gangguan hutan seperti pencurian kayu dan penyerobotan lahan oleh masyarakat. Adanya kerjasama antara masyarakat dengan Balai TNGM tersebut juga menunjukkan bahwa TNGM melibatkan masyarakat sekitarnya dalam pengelolaan taman nasional untuk perekonomian dan pengembangan wilayah sehingga dapat tercapai kelestarian ekonomi dan juga ekologinya.

(18)

agar dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dilaksanakannya penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi tegakan pinus di TNGM terutama yang dimanfaatkan

oleh masyarakat Desa Ngargomulyo sehubungan dengan pemungutan hasil hutan bukan kayunya yang berupa getah pinus.

2. Mengidentifikasi masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya hutan di

kawasan hutan pinus TNGM yang terletak di Desa Ngargomulyo.

3. Membuat arahan sistem pengelolaan tegakan pinus di TNGM agar dapat

dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar dengan tetap menjamin kelestarian ekosistem TNGM.

1.3 Manfaat Penelitian

Dengan dilaksanakannya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan

pemahaman bagi masyarakat desa sekitar kawasan khususnya Desa Ngargomulyo, Kabupaten Magelang dalam memanfaatkan hutan pinus di dalam kawasan TNGM secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestarian

hutannya. Sedangkan manfaat bagi pengelola taman nasional yaitu sebagai salah satu bahan pertimbangan dan masukan dalam pengelolaan taman nasional khususnya pengelolaan tegakan pinus agar dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat sekitar secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya.

1.4 Kerangka Pemikiran

(19)

Hutan Lindung KPH Kedu Utara Perum Perhutani Unit I Jawa

Taman Nasional Gunung Merapi

(TNGM)

KELESTARIAN FUNGSI EKONOMI DAN EKOLOGI

Pengelolaan tegakan pinus sebagai spesies eksotik di TNGM Masyarakat Desa

Ngargomulyo sebagai penyadap getah pinus

SK MenHut RI

No. 134/MenHut-II/2004

Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran penelitian pengelolaan tegakan pinus di TNGM

Hutan tanaman Pinus merkusii

Petak 34a Resort Dukun Bagian Hutan Magelang seluas 46,5 Ha

Program PHBM

Pemungutan hasil hutan bukan kayu (getah pinus)

Peraturan Perundang-undangan

Fungsi Ekologi TNGM : perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan lestari SDAHE

Fungsi sosiosystem TNGM : membantu meningkatkan kesejahteraan

masyarakat sekitar Besarnya ketergantungan masyarakat

terhadap hutan

Mengurangi tekanan terhadap kawasan hutan dari penyerobotan lahan dan pencurian kayu

(20)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taman Nasional sebagai Kawasan Konservasi

Berdasarkan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999). Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional merupakan suatu kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi (Departemen Kehutanan, 1990). Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam

hayati dan ekosistemnya.

Adapun sasaran yang hendak dicapai dalam pembangunan taman nasional seperti pedoman yang dikeluarkan oleh Direktorat Taman Nasional dan Hutan Wisata (2007) meliputi empat hal pokok, yaitu sebagai berikut :

1. Memperbaiki fungsi kawasan konservasi semaksimal mungkin sesuai

dengan daya dukungnya

2. Menciptakan hubungan antara konservasi dan kepentingan pembangunan

melalui pengembangan budidaya pertanian dan perikanan dari aneka ragam jenis yang ada sebagai sumber plasma nutfah

3. Meningkatkan mutu pelayanan bagi pengunjung dan memenuhi sarana

(21)

4. Membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar taman

nasional antara lain dengan menyadiakan lapangan kerja, memacu terciptanya jasa angkutan dan akomodasi serta mendorong pembangunan di berbagai sektor lainnya.

Berdasarkan PP No. 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam pada pasal 48 yang menyatakan bahwa kawasan taman nasional dapat dimanfaatkan sesuai dengan sistem zonasi pengelolaannya. Hal ini juga sesuai dengan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya pada pasal 32 yang menyatakan bahwa kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan dan zona-zona lain sesuai dengan keperluan. Pada pasal 33 dijelaskan bahwa : pertama, setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional. Kedua, perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana yang dimaksud di atas meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.

Ketiga, setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam. Pada pasal 35, dijelaskan juga bahwa dalam keadaan tertentu dan

sangat diperlukan untuk mempertahankan atau memulihkan kelestarian sumberdaya alam hayati beserta ekosistemnya, pemerintah dapat menghentikan kegiatan pemanfaatan dan menutup taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam sebagian atau seluruhnya untuk jangka waktu tertentu (Departemen Kehutanan, 1990).

(22)

Menurut Peraturan Menteri Kehutanan P.56 tahun 2006 tentang pedoman zonasi taman nasional, kawasan taman nasional dibagi dalam zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan zona lain. Yang termasuk ke dalam zona lain yaitu zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi, budaya dan sejarah, dan zona khusus. Zona inti merupakan bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia, kegiatan yang dapat dilakukan pada zona inti adalah kegiatan penelitian dan monitoring sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya serta pembangunan sarana prasarana yang mendukung kegiatan penelitian dan monitoring dengan tidak mengubah bentang alam. Zona rimba merupakan bagian dari kawasan taman nasional di daratan yang berfungsi sebagai penyangga zona. Dalam zona rimba dapat dilakukan kegiatan penelitian, pendidikan, wisata terbatas, kegiatan yang menunjang budidaya, pembangunan sarana prasarana penunjang dengan tidak mengubah bentang alam dan diperkenankan adanya pemanfaatan tradisional. Zona pemanfaatan merupakan bagian kawasan taman nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata.

Zona tradisional adalah bagian taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumberdaya alam. Kriteria dari zona

tradisional ini adalah adanya potensi dan kondisi sumberdaya alam hayati non kayu tertentu yang telah dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat setempat guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegiatan-kegiatan yang boleh dilakukan di zona tradisional taman nasional antara lain yaitu perlindungan dan pengamanan, inventarisasi dan monitoring sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, pembinaan habitat dan populasi, penelitian dan pengembangan, dan pemanfaatan potensi dan kondisi sumberdaya alam sesuai dengan kesepakatan dan ketentuan yang berlaku.

2.2 Masyarakat Sekitar Hutan

(23)

tangga yang membentuk kampung kecil, satu unit desa sebagai satu kesatuan kehidupan. Masyarakat bukan hanya merupakan kumpulan keluarga atau rumah tangga, melainkan adalah sebagai satu kesatuan unit sosio cultural, yakni masyarakat yang membangun sistem sosial budaya, tata nilai, norma, aturan, dan pola-pola hubungan sosialnya untuk mencapai tertib sosial.

Menurut Hadi (1994), kemiskinan (keadaan sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan yang kurang baik) akan menimbulkan berbagai masalah, antara lain : (1) menyempitnya kawasan hutan akibat penyerobotan areal hutan untuk pertanian dan perladangan secara liar, (2) hutan menjadi gundul dan rusak karena terjadinya kebakaran hutan, dan (3) perambahan hutan dan penebangan liar guna keperluan kayu bakar atau dijual untuk menambah pendapatan.

Masuknya masyarakat ke dalam kawasan konservasi dapat mengakibatkan rusaknya kawasan konservasi, hal ini dilatarbelakangi oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat dalam arti tingkat penghasilan rendah, terbatasnya lapangan pekerjaan dan sulitnya mencari tambahan penghasilan, kebutuhan hasil hutan yang tidak terpenuhi karena tidak terbeli atau terbatasnya di pasaran, pekerjaan mencuri

relatif lebih mudah dan memberikan hasil yang lebih besar, adanya tukang tadah hasil curian, dan kurangnya patroli keamanan kawasan (Soeratmo, 1978).

2.2.1 Ketergantungan dan Interaksi Masyarakat Setempat terhadap Hutan

Menurut Tadjudin (2000), jenis mata pencaharian masyarakat hutan sangat beragam. Sebagian dari mereka melakukan kegiatan budidaya pertanian di dalam kawasan hutan, dan sebagian yang lain hanya memetik hasil hutan non kayu seperti damar, getah, rotan, sarang burung, dan tanaman obat-obatan. Ada juga sebagian yang mencari kayu bakar, menyabit rumput atau menggembalakan ternaknya di dalam kawasan hutan.

(24)

Menurut Soekmadi (1987), faktor sosial ekonomi masyarakat berpengaruh langsung terhadap kemampuan daya dukung lingkungan suatu kawasan. Faktor-faktor sosial ekonomi yang menjadi penyebab terjadinya keterkaitan (interaksi) antara manusia dan sumberdaya hutan, meliputi : mata pencaharian, tingkat pendapatan masyarakat di sekitar hutan yang rendah, tingkat pendidikan yang rendah, laju pertumbuhan penduduk yang pesat dengan kepadatan tinggi, serta rata-rata pemilikan lahan yang sempit dan kurang intensif pengelolaannya.

Kegiatan memungut hasil hutan dan hasil laut bagi masyarakat desa sekitar kawasan konservasi merupakan pekerjaan tambahan. Pengambilan setiap komoditi hutan biasanya dilakukan secara bersamaan dalam periode yang sama, misalnya pengambilan kayu bakar dilakukan sekaligus pada waktu pengambilan rumput, atau pengambilan kayu bakar dilakukan pada waktu penangkapan nener. Bagi buruh tani pada musim kemarau banyak yang mencari hasil hutan (ules, ramban, asam, rumput, rotan) dan hasil laut (nener, benur) untuk menambah penghasilan (Alikodra et al., 1986).

Menurut Soerianegara (1977), akibat pendayaguaan sumberdaya alam oleh

manusia akan menimbulkan perubahan ekosistem, sehingga akan mempengaruhi sumberdaya alam lainnya beserta lingkungannya. Pengaruh tersebut bisa bersifat langsung maupun tidak langsung. Pengaruh tidak langsung ini dalam jangka

panjang akan lebih mengkhawatirkan.

Mangandar (2000), mengemukakan bahwa interaksi masyarakat dengan kawasan yang dilindungi dapat diarahkan pada suatu tingkat integrasi dimana keperluan masyarakat akan sumberdaya alam dapat dipenuhi tanpa mengganggu atau merusak potensi. Salah satu cara yaitu membentuk daerah penyangga sosial, yaitu daerah yang berguna untuk mengalihkan perhatian masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya, sehingga mereka tidak akan merugikan hutan tersebut.

2.2.2 Tenaga Penyadap

(25)

padi, pekerjaan menyadap getah sering terbengkalai atau bahkan terhenti. Di beberapa tempat dimana lapangan kerja sulit dicari dan hasil pertanian kurang dapat mendukung kehidupan petani, kegiatan penyadapan getah yang dikembangkan oleh Perum Perhutani semakin menarik para pencari kerja untuk memperoleh penghasilan yang relatif tetap atau terus-menerus (Soedjono, 1992).

Alasan masyarakat bekerja sebagai penyadap getah biasanya karena rendahnya pendapatan mereka yang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Bekerja sebagai penyadap getah mereka pilih sebagai pekerjaan sampingan. Kondisi sosial ekonomi penyadap merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas getah pinus yang diperoleh. Umumnya tenaga penyadap memiliki tingkat pendidikan setingkat atau di bawah SD. Rendahnya kualitas tenaga penyadap akan mempengaruhi rendahnya kualitas getah yang disadap. Selain itu, apabila pendapatan dari sawah atau tegalan kurang karena adanya kegagalan panen maka jumlah getah yang disadap bertambah banyak, demikian pula bila menjelang Lebaran atau musim hajatan (Departemen Kehutanan, 1996).

2.3 Pengelolaan Hutan Indonesia

2.3.1 Arah Pengelolaan Hutan Konservasi

Selama ini pengelolaan hutan konservasi hanya terfokus kepada aspek ekologis saja, dan kurang memperhatikan aspek ekonomi dan aspek sosial. Pengelolaan hutan lestari mengupayakan terjadinya efisiensi ekonomi, ekologi dan sosial dari sumberdaya hutan, hal ini berarti bahwa hutan harus dipandang sebagai modal, faktor produksi, ekosistem, dan ruang sehingga pengelolaan hutan

dapat memberikan manfaat secara optimal kepada seluruh stakeholder.

(26)

sebagai beban juga akan menghadapi ancaman perambahan seperti perburuan dan penebangan liar dari masyarakat sekitar hutan yang tidak merasakan manfaat keberadaan kawasan hutan konservasi tersebut. Secara normatif, bobot intensitas ekologi pada pengelolaan kawasan hutan konservasi harus tetap yang tertinggi sesuai dengan fungsinya yaitu sekitar 70%, bobot intensitas ekonomi sebesar 10% dan bobot intensitas sosial sebesar 20%. Dengan peluang pemanfaatan sebesar 20%, sesunggguhnya cukup leluasa bagi masyarakat maupun pihak swasta untuk mendayagunakan kawasan konservasi sehingga mendatangkan benefit yang signifikan, dengan tetap mengikuti peraturan yang berlaku termasuk wilayah-wilayah yang diperbolehkan dilakukan intervensi sosial dan produksi sehingga integritas kawasan konservasi tidak terganggu. Dengan demikian, fungsi utama kawasan masih dapat dipertahankan, di lain pihak dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial budaya melalui transfer nilai hutan dan pengembangan kawasan buffer zone.

2.3.2 Kelola Sosial dan Pengelolaan Hutan Lestari

Kriteria kelestarian fungsi sosial dalam pengelolaan hutan lestari yang

dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan antara lain yaitu :

1. Adanya luas dan batas yang jelas antara kawasan unit pengelolaan dengan kawasan masyarakat hukum adat dan atau masyarakat setempat dan telah

mendapat persetujuan dari para pihak yang terkait.

2. Adanya perjanjian yang melibatkan masyarakat hukum adat dan atau

masyarakat setempat dalam kesetaraan tanggung jawab pengelolaan bersama.

3. Tersedianya mekanisme dan implementasi pendistribusian insentif yang

efektif serta pembagian biaya dan manfaat yang adil antara para pihak terkait.

4. Adanya perencanaan dan implementasi pengelolaan hutan yang telah

mempertimbangkan hak masyarakat hukum adat dan atau masyarakat setempat.

5. Peningkatan peran serta masyarakat hukum adat dan masyarakat setempat

(27)

Secara umum, pelaksanaan kelola sosial dalam kegiatan pengelolaan hutan ditujukan untuk dapat memberikan peningkatan kesejahteraan hidup kepada masyarakat yang berada di sekitar hutan melalui pemberian kesempatan kerja dan berusaha, tetap memberikan akses kepada masyarakat untuk mencari hasil hutan bukan kayu, serta menghormati dan mengakui keberadaan hutan adat dan hak ulayat masyarakat, termasuk di dalamnya pengetahuan dan kearifan lokal dalam hubungannya dengan pengelolaan sumberdaya hutan. Kelola sosial dapat dilakukan antara lain dalam bentuk pembinaan masyarakat desa hutan (PMDH), pengelolaan hutan kemasyarakatan dan pengembangan kawasan penyangga. Pengembangan kawasan penyangga merupakan bentuk kelola sosial pada kawasan hutan konservasi dan kawasan pelestarian alam, sebagaimana yang telah diatur dalam SK Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No. 49/Kpts/DJ-VI/1997 tentang Petunjuk Teknis Pengembangan Daerah Penyangga.

Berdasarkan jenis kegiatannya, beberapa alternatif pengembangan daerah penyangga diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Pengembangan budidaya plasma nutfah

2. Penurunan penggembalaan liar di kawasan konservasi dan kawasan pelestarian alam

3. Perlindungan dan rehabilitasi biota sungai serta pengembangan budidaya

ikan air tawar

4. Pengembangan wisata alam, pengembangan budidaya rumput laut dan

biota laut lainnya

5. Pengembangan kerajinan dan keterampilan masyarakat.

2.3.3 Konsepsi Partisipasi Masyarakat dan Kolaborasi dalam Pengelolaan Hutan

(28)

1. Dapat menampung reaksi dan mendapatkan umpan balik terhadap

keputusan yang akan diambil sehingga dapat meminimalisis dampak yang akan ditimbulkan, meningkatkan kualitas dari keputusan yang diambil dan menghindari konflik yang berkepanjangan

2. Dapat mengakomodasi aspirasi kebutuhan rakyat yang sesunggguhnya

yang pada akhirnya akan lebih menjamin dukungan masyarakat terhadap konservasi biodiversity

3. Proses penyampaian informasi dan pendidikan kepada masyarakat dapat

berlangsung lebih efektif

4. Dapat dijamin adanya proses pengidentifikasian permasalahan yang

sesungguhnya terjadi dan kebutuhan-kebutuhan bagi alternatif penanggulangan yang pada akhirnya akan menjamin adanya penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pengelolaan biodiversity di dalam hutan 5. Dapat menggali ide dan menumbuhkan kreatifitas masyarakat sehingga

akan meningkatkan kualitas dari pengelolaan biodiversity di dalam hutan 6. Terjaminnya proses demokrasi sehingga ada jaminan untuk pencapaian

tujuan yang nyata dalam peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat sekitar hutan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. 19 tentang kolaborasi

pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam, kolaborasi pengelolaan kawasan konservasi adalah pelaksanaan suatu kegiatan atau penanganan suatu masalah dalam rangka membantu meningkatkan efektivitas pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam secara bersama dan sinergis oleh para pihak atas dasar kesepahaman dan kesepakatan bersama sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Departemen Kehutanan, 2004).

2.4 Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat di Dalam dan di Sekitar Kawasan Konservasi

(29)

hutan kayu dan bukan kayu, secara optimal, berkeadilan untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya.

Sesuai ketentuan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 23, disebutkan bahwa pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya, melalui pemberdayaan masyarakat dengan menerapkan prinsip kelestarian dan tetap memperhatikan fungsi hutan. Selain itu pemanfaatan hutan juga bertujuan untuk menekan laju perambahan hutan dan illegal logging. Secara ekologis, pemanfaatan hutan diharapkan juga dapat membantu rehabilitasi lahan, mencegah erosi, meningkatkan kualitas lingkungan dan pengaturan tata air.

Menurut Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam (2007), kegiatan pemanfaatan hutan dan kawasan hutan di kawasan konservasi meliputi pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) baik nabati maupun hewani dan pemanfaatan jasa lingkungannya. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu adalah pemanfaatan hasil hutan hayati (baik nabati maupun hewani) beserta

produk turunan dan budidayanya kecuali kayu yang berasal dari hutan.Adapun bentuk-bentuk pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang diperbolehkan dilakukan di kawasan hutan konservasi antara lain :

1. Pengkajian, penelitian dan pengembangan. 2. Penangkaran.

3. Perburuan. 4. Perdagangan. 5. Peragaan. 6. Pertukaran

7. Budidaya baik tanaman obat maupun tanaman berkayu yang menghasilkan

minyak, getah, biji-bijian yang bernilai ekonomi. 8. Pemeliharaan untuk kesenangan.

9. Pengambilan bibit/jenis dari zona pemanfaatan, zona pemanfaatan

(30)

10. Pengambilan biji sebagai sumber benih sesuai daya dukung untuk

dikembangkan di daerah penyangga.

2.4.1 Kebijakan dan Strategi dalam Pemanfaatan HHBK

Dalam implementasi pelaksanaan pemanfaatan HHBK di lapangan kebijakan operasional yang perlu diperhatikan antara lain meliputi (Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam, 2007) :

1. Program pemanfaatan HHBK merupakan salah satu bentuk optimalisasi pengelolaan kawasan konservasi dalam pemberdayaan masyarakat melalui pembentukan kelembagaan dan dukungan/komitmen para pihak dalam pengembangan pemanfaatannya.

2. Pemanfaatan HHBK merupakan kegiatan pengambilan flora fauna di zona pemanfaatan, zona pemanfaatan tradisional, dan zona khusus kawasan konservasi sesuai ketentuan yang berlaku kecuali cagar alam, zona inti dan zona rimba Taman Nasional untuk kegiatan pengembangan, penangkaran dan budi daya flora fauna di daerah penyangga dalam pemberdayaan masyarakat di kawasan konservasi.

3. Pemanfaatan HHBK merupakan upaya memberikan akses manfaat potensi kawasan konservasi terhadap masyarakat, dalam meningkatkan kualitas kehidupannya sesuai aspek kelestarian kawasan konservasi, nilai-nilai

kearifan lokal, potensi sosekbud masyarakat.

4. Program pemanfaatan HHBK merupakan upaya peningkatan pendapatan dari sektor kehutanan non kayu.

Kebijakan-kebijakan tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman dalam merumuskan strategi yang dilakukan dalam pemanfaataan hasil hutan bukan kayu di kawasan konservasi. Adapun strategi yang dapat dirumuskan antara lain :

1. Penyusunan Rencana Pengembangan Pemanfaatan HHBK yang

terintegrasi dengan rencana pengelolaan kawasan. 2. Membentuk kelembagaan masyarakat di tingkat desa. 3. Menyiapkan tenaga pendampingan.

4. Mendorong tumbuhnya industri HHBK.

5. Peningkatan kuantitas, kualitas dan jenis produk HHBK.

(31)

7. Menetapkan wilayah pengembangan dalam bentuk sentra industri di

daerah tertentu, sesuai dengan kondisi dan potensinya.

8. Proses industri menerapkan teknologi tepat guna dan efisien untuk

memperoleh daya saing.

9. Menetapkan jenis-jenis komoditas binaan untuk meningkatkan intensitas

dan efektivitas dalam menyusun rencana dan implementasi program serta kegiatan budidaya, pemanfaatan HHBK.

10. Memfasilitasi terciptanya kesepakatan (MoU) antara pihak pengelola atau

masyarakat dengan pengusaha guna terciptanya pemasaran yang efektif dan saling menguntungkan.

11. Sinkronisasi dengan program pembangunan daerah penyangga.

2.4.2 Tata Cara Permohonan Ijin Pemanfaatan HHBK

Ijin diberikan kepada masyarakat lokal/kelompok masyarakat lokal dengan tata cara permohonan ijin sebagai berikut (Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam, 2007) :

1. Membentuk lembaga/kelompok masyarakat telah disyahkan oleh Kepala

Desa (Kades) setempat.

2. Kejelasan status lokasi lahan daerah penyangga (lahan milik, Hutan Produksi atau Hutan Lindung) secara clear and clean.

3. Mengajukan proposal kegiatan pemanfaatan HHBK dari kawasan

konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat kepada Kepala UPT yang bersangkutan dengan ditembuskan kepada Pusat (Unit Eselon II terkait) yang berisi :

a) Jenis yang akan dimohonkan. b) Jumlah/kuantitas.

c) Rencana Pemanfaatan.

d) Peta lokasi dan denah lokasi pemanfaatan.

4. Memiliki tenaga teknis sesuai pengalaman/ketrampilan di bidang usaha

yang diajukan dan atau terdapat pendamping.

(32)

tersebut secara periodik kepada Unit Pengelola Teknis Ditjen PHKA terkait. Sedangkan Ditjen PHKA sebagai unit pengelola kawasan konservasi yang menangani langsung pengelolaan kawasan, dalam pemanfaatan HHBK untuk pemberdayaan masyarakat di kawasan konservasi mempunyai peran sebagai berikut :

1. Inventarisasi dan identifikasi potensi HHBK yang ada dan berpeluang

untuk dapat dimanfaatkan oleh masyarakat daerah penyangga dalam rangka pemberdayaan masyarakat.

2. Melakukan penilaian terhadap proposal pemanfaatan HHBK yang

diusulkan oleh lembaga/kelompok masyarakat.

3. Menetapkan daya dukung kawasan dan volume HHBK yang dapat

dipungut pada periode waktu tertentu, terhadap permohonan pemanfaatan HHBK.

4. Melakukan penilaian secara cermat terhadap jenis-jenis yang masuk dalam

Appendiks I, untuk diterbitkan ijin khusus (sesuai ketentuan KepMenhut No.447/Kpts-II/2003 tentang tata usaha pengambilan atau penangkapan

dan peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar).

5. Menetapkan/memberikan ijin pemanfaatan HHBK bagi lembaga /kelompok masyarakat dengan mempertimbangkan berbagai hal seperti

telah dijelaskan di atas.

6. Melaporkan kepada pusat (Eselon I Ditjen PHKA, dan eselon II Dit.KKH,

Dit PJLWA) terkait permohonan ijin pemanfaatan HHBK. 7. Melakukan pendampingan terhadap masyarakat.

8. Meningkatkan kapasitas dan atau ketrampilan masyarakat, termasuk dalam

hal pemanfaatan dan pengembangan budidaya HHBK.

9. Melakukan pemantauan terhadap kegiatan pemanfaatan HHBK dengan

(33)

2.5 Gambaran Umum Pinus

2.5.1 Penyebaran dan Tempat Tumbuh Pinus di Indonesia

Menurut Mirov (1964), pinus tersebar di Pulau Sumatera sampai di bagian selatan khatulistiwa. Pinus tumbuh alami dari bagian barat laut sampai tenggara di selatan Semenanjung Malaya. Di bagian barat laut Sumatera, pinus tumbuh sampai ketinggian 3000 m dpl. Pinus juga tumbuh di Gunung Kerinci di bagian barat laut Bukit Barisan (daerah penyebaran pinus paling selatan).

Pinus merkusii Jungh. et de Vriese adalah jenis pinus yang secra alami tumbuh di daerah aceh dan Sumatera Utara. Jenis ini terus tumbuh meluas sejak mulai dikembangkan di Lembang dan Bali pada tahun 1916 kemudian meluas ke daerah lain pada selang ketinggian 200 – 1500 m dpl (Silitonga, 1983).

Penanaman pinus khususnya di Pulau Jawa dimulai pada tahun 70-an dan pada mulanya ditujukan untuk mereboisasi tanah kosong disamping sebagai persiapan memenuhi bahan baku untuk industri kertas. Dalam perkembangannya kemudian timbul upaya untuk mendapatkan hasil antara lain yaitu getahnya yang diolah menjadi gondorukem dan terpentin sebagai bahan baku industri cat, kimia,

kosmetik, dan lain-lain yang sebagian besar untuk kepenttingan ekspor.

Hutan tanaman pinus di Pulau Jawa tersebar pada ketinggian 200 – 2000 m dpl dan sebagian besar dikelola oleh Perum Perhutani. Sampai saat ini kelas

perusahaan pinus di Perum Perhutani menempati urutan kedua setelah kelas perusahaan jati (Priyono dan Siswamartana, 2002).

2.5.2 Pinus merkusii Jungh. et de Vriese

Menurut Benson (1975) dalam Sugiono et al. (2001), Pinus merkusii

Jungh. et de Vriese diklasifikasikan ke dalam : Divisi : Spermatophyta,

Subdivisi : Gymnospermae Ordo : Coniferales Famili : Pinaceae Genus : Pinus

Spesies : Pinus merkusii Jungh. et de Vriese

Martawijaya et al. (1989) memberikan keterangan tentang Pinus merkusii

(34)

a. Nama daerah : damar batu, damar bunga, huyam, kayu sala, kayu sugi,

tusam, uyam (Sumatera), pinus (Jawa).

b. Nama di Negara lain : Sral (Cambodia), Thong Mu (Vietnam), Tingyu

(Burma), Tapulan Mindoro Pine (Philipina), Indo-Cina Pine, Sumatera Pine, Mindoro Pine, Merkus Pine (UK, USA), Merkustall (Swedia), Sumatrakiefer, Merkusfohre (Germany).

c. Habitus : tinggi pohon 20 – 40 m dengan panjang batang bebas cabang 2 –

23 m, diameter sampai 10 cm, tidak berbanir. Kulit luar kasar berwarna coklat-kelabu sampai coklat tua, tidak mengelupas, beralur lebar dan dalam.

d. Ciri kayu : kayu teras berwarna coklat-kuning muda dengan pita dan

gambar lebih gelap, kayu gubal berwarna putih atau kekuning-kuningan, tebal 6 – 8 cm, tekstur kayu halus, arah serat kayu lurus, permukaan kayu licin, kayu mengandung dammar terasa seperti berlemak, permukaan kayu mengkilap, kayu berbau terpentin.

e. Kegunaan : kayu tusam dapat dipergunakan untuk bangunan perumahan,

lantai, mebel, kotak dan tangkai korek api, pensil (dengan pengolahan khusus), pulp, tiang listrik (diawetkan), papan wol kayu dan kayu lapis. f. Tempat tumbuh : tusam dapat tumbuh pada tanah jelek dan kurang subur,

pada tanah berpasir dan tanah berbatu, tetapi tidak dapat tumbuh dengan baik pada tanah becek. Jenis ini menghendaki iklim basah sampai agak kering dengan tipe curah hujan A sampai C, pada ketinggian 200 – 1700 m dpl, kadang-kadang dapat tumbuh pada ketinggian di bawah 200 m dpl dan mendekati daerah pantai (Aceh Utara).

2.5.3 Getah Pinus

(35)

Luas permukaan luka sadap menentukan banyaknya saluran getah yang terluka sehingga getah yang keluar lebih banyak. Makin luas bagian kayu yang terluka, makin banyak hasil getahnya (Matangaran, 2006).

Pohon tusam dianggap sudah masak sadap bila pohon tersebut sudah berumur 10 tahun. Jika sesuatunya berjalan lancar dan dikerjakan sesuai petunjuk kerja secara seksama, maka dapat berlangsung selama 20 tahun (Hadipoernomo, 1980 dalam Dulsalam et al., 1998). Menurut Sumantri (1991), penyadapan pohon pinus dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu dengan melukai sampai kayu dan hanya sampai kambium kayu. Pada penyadapan sistem Portugis dan India, pembuatan luka sadap tidak melukai batang kayu (hanya sampai kambium kayu) sedangkan pada penyadapan sistem koakan, pembuatan luka sadap sampai pada kayu. Menurut Kramer dan Kozlowsky (1960), getah pinus tersusun atas 66% asam resin, 7% bahan netral yang tidak mudah menguap, 25% terpentin dan 2% air.

Produksi getah pinus dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : 1. Jenis pohon

Sugiono dkk (2001) mengatakan bahwa produksi getah pada setiap jenis pinus berbeda-beda. Pinus yang umum berada di wilayah Pulau Jawa adalah

Pinus merkusii dengan produksi getah tertinggi kedua setelah Pinus kasya,

[image:35.595.216.409.522.649.2]

seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Produksi getah pada beberapa jenis pinus

Spesies pinus Produksi getah (Kg/pohon/thn)

Pinus kasya 7,0

Pinus merkusii 6,0

Pinus palustris 4,2

Pinus maritima 3,2

Pinus longifolia 2,5

Pinus austriaco 2,1

Pinus exelca 1,2

Sumber : Sugiyono, 2001

2. Diameter, tajuk dan tinggi pohon

(36)

tajuk yang berukuran setengah dari tinggi pohonnya. Namun keadaan diameter tersebut sangat dipengaruhi oleh umur pohon, dimana pohon yang masih muda dengan diameter sama dengan pohon yang lebih tua cenderung menghasilkan getah yang lebih banyak.

3. Umur tegakan

[image:36.595.181.444.417.570.2]

Menurut Sofyan (1999), produksi getah pinus selain dipengaruhi oleh ketinggian tempat juga dipengaruhi umur pohon. Semakin tua suatu pohon pinus maka semakin tinggi produksi getah yang dihasilkan. Tegakan Pinus merkusii yang berumur tua cenderung menghasilkan getah yang lebih banyak daripada yang berumur muda. Berpengaruhnya kelas umur terhadap produksi getah juga dikatakan oleh Poedjorahardjo dan Kamarudin (1993) yang telah melakukan penelitian di Jawa Timur pada bulan November 1990. Dari hasil yang diperoleh, dapat dikatakan bahwa terdapat korelasi yang positif antara pertambahan umur pohon dengan produksi getah yang dihasilkan, seperti pada Tabel 2.

Tabel 2 Hubungan antara produksi getah dengan umur tegakan pinus

Umur daur (th)

Rata-rata diameter (cm)

Produksi getah (gr/phn/hr)

15 28 6

20 34 7

25 38 7

30 41 8

35 43 8

40 45 9

45 46 10

50 48 10

55 49 11

60 49 12

Sumber : Poedjorahardjo dan Kamarudin, 1993

4. Kerapatan jumlah pohon per hektar

Menurut Harfeni (1998), produksi getah tiap hektar tegakan pinus merupakan seluruh hasil yang disadap yang terdapat di dalam kawasan tersebut, sehingga apabila kerapatan tegakan adalah N pohon per hektar dan

(37)

5. Ketinggian tempat

Hermawan (1992) yang melakukan penelitian di KPH Kediri dan KPH Lawu DS, mengemukakan bahwa tegakan pinus yang tumbuh pada elevasi rendah (sampai dengan 500 m dpl) memiliki produksi yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan tegakan pinus dengan elevasi yang sedang (500 – 1000 m dpl) dan tinggi (di atas 1000 m dpl). Hal ini dapat terjadi karena semakin tinggi elevasi maka suhu udara semakin rendah sehingga menyebabkan getah lebih cepat membeku dan menutup saluran getah.

6. Metode dan arah penyadapan

Soetomo (1968) mengemukakan potensi getah yang dapat dipungut setiap tahun dengan cara Quare adalah 0,5 ton per hektar tiap tahunnya. Berdasarkan percobaan yang dilakukan oleh Kasmujdo (1992) menunjukkan bahwa pemberian bahan stimulansia (campuran asam sulfat dan nitrat) memberikan produksi getah pinus sebesar 18% - 34% atau rata 22% untuk konsentrasi 7,5% dan yang terbaik pada tegakan berumur 18 tahun dengan konsentrasi 15% memberi kenaikan 36% - 76% atau rata-rata 33%.

Menurut Rochidayat dan Sukawi (1978), penyadapan getah pinus dengan metode Quare dengan arah sadap menghadap ke Timur akan lebih cepat mendapatkan penyinaran matahari, sehingga saluran akan terbuka lebih lama

dan menjadikan getah tidak cepat menggumpal karena suhu yang relatif tinggi.

7. Kekerasan dan intensitas penjarangan

Menurut Panshin et al. (1950), jumlah pohon yang baik untuk kelas perusahaan pinus adalah 200 – 400 batang setiap hektar untuk pohon-pohon yang masak sadap (umur 10 tahun ke atas). Pengaturan tingkat kerapatan tegakan sesuai ketentuan tersebut dengan cara penjarangan merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi getah hingga diperoleh jumlah N x P gram yang optimum (Harfeni, 1998)

(38)

penyadap dalam siklus tiga hari adalah 800 – 1000 pohon dengan satu koakan tiap pohon.

8. Tenaga penyadap

Potensi keluarnya getah secara kualitatif pada dasarnya dipengaruhi oleh dua faktor pokok yaitu faktor aktif dan faktor pasif. Salah satu faktor aktif tersebut menyangkut kualitas dan kuantitas tenaga sadap. Hal tersebut akan berpengaruh besar terhadap tingkat produksi getah pinus yang dihasilkan (Riyanto, 1980).

Menurut Mahar (1990), tegakan Pinus merkusii yang produktif untuk disadap di Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah adalah KU III sampai KU VI atau berumur 11 tahun hingga 30 tahun. Produksi yang dapat dicapai Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah rata-rata sebesar 50 kg/ha/tahun dengan hasil rata-rata sebesar 2,5 kg per hari atau 75 kg per bulan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan antara bulan Oktober 1990 sampai Maret 1991 pada lahan berbonita IV, KU IV dan KU V memberikan hasil sadapan rata-rata per hektar per hari sebagai berikut : 1. Tegakan di lokasi elevasi < 500 m dpl mempunyai produksi per hektar

terendah adalah 2,660 gram dan tertinggi 7,895 gram dengan rata-rata sebesar 5,846 gram.

2. Tegakan di lokasi elevasi 500 – 1000 m dpl mempunyai produksi per

hektar terendah adalah 3,421 gram dan tertinggi 5,829 gram dengan rata-rata sebesar 4,096 gram.

3. Tegakan di lokasi elevasi > 1000 m dpl mempunyai produksi per hektar

terendah adalah 2,224 gram dan tertinggi 3,889 gram dengan rata-rata sebesar 3,090 gram.

2.5.4 Penyadapan Getah Pinus di Perum Perhutani

Menurut Idris dan Soenarno (1983), penyadapan getah pinus merupakan kegiatan di bidang kehutanan yang tidak asing lagi dalam pemungutan hasil dari tegekan pinus. Cara-cara penyadapan getah tersebut berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kehutanan dan pengalaman-pengalaman di lapangan.

(39)

Petunjuk Penyadapan Getah Pinus (Perum Perhutani, 2006) dengan sistem quare adalah:

1. Kegiatan Prasadap

Pada tahap prasadap kegiatan yang dilakukan meliputi sensus dan pemberian nomor pohon, pembagian blok sadap, pembersihan lapangan sadapan pembersihan kulit pohon, pembuatan rencana quare, serta penyediaan alat-alat dan perlengkapan sadap.

2. Pelaksanaan Sadap Buka

Pelaksanaan sadap buka dilakukan setelah tahapan prasadap. Pada tahap ini penyadap melakukan pembuatan quare permulaan setinggi 20 cm dari permukaan tanah dengan ukuran lebar maksimal 6 cm, tinggi 10 cm dari permukaan tanah dengan kedalaman tidak lebih dari 1,5 cm. Sadap buka dilakukan pada tegakan pinus yang telah mencapai umur 11 tahun atau telah mencapai keliling sebesar 63 cm.

Pada bagian bawah quare dipasang talang yang kemudian di bawah talang tersebut diletakkan tempurung kelapa untuk menampung getah yang

telah keluar. Talang dan tempurung harus dinaikkan setiap quare bertambah 30 cm.

3. Pelaksanaan Sadap Lanjut

Sadap lanjut merupakan cara dalam melakukan pembaharuan luka dari quare yang telah ada. Jumlah quare pada satu pohon dalam pelaksanaan pembaharuan luka harus memperhatikan kriteria berikut:

a. Keliling 65-124 sebanyak 1 quare hidup b. Keliling 125-175 sebanyak 2 quare hidup c. Keliling 176-up sebanyak 4 quare hidup

(40)

Getah yang diterima di TPG ditimbang beratnya, ditentukan mutunya, dan dibuang kandungan air serta kotorannya hingga didapat kadar yang diperbolehkan yaitu 5%. Setelah diperiksa, getah tersebut kemudian didiamkan beberapa waktu hingga siap diangkut ke pabrik gondorukem dan terpentin (PGT) dengan jangka waktu tidak boleh lebih dari 7 hari.

2.5.5 Dampak Positif dan Dampak Negatif Pengelolaan Tegakan Pinus

Pengembangan hutan pinus pada suatu wilayah akan menimbulkan dampak pada wilayah di mana hutan pinus itu berada (in situ) maupun pada daerah lain (ex situ). Dampak yang timbul tersebut meliputi dampak sosial, ekonomi, maupun ekologi.

a. Dampak sosial pengelolaan hutan pinus

Dampak sosial yang ditimbulkan oleh adanya pengelolaan hutan pinus, khususnya oleh Perum Perhutani, pada suatu wilayah dapat bersifat positif maupun negatif. Dampak positif yang timbul dari pengelolaan hutan pinus adalah adanya pengurangan pengangguran melalui penyerapan tenaga kerja dalam proses pengelolaan. Selain menimbulkan dampak positif, pengelolaan hutan pinus juga

menimbulkan dampak sosial negatif. Dampak negatif tersebut adalah adanya konflik yang timbul antara masyarakat setempat dengan pihak pengelola. Konflik tersebut pada umumnya terkait dengan permasalahan penggunaan lahan,

(41)

b. Dampak ekonomi pengelolaan hutan pinus

Secara garis besar, dampak ekonomi pengelolaan hutan pinus dapat ditinjau dari empat perspektif, yaitu perusahaan (Perum Perhutani), negara, pemerintah daerah, dan masyarakat setempat. Bagi perusahaan, kayu bundar pinus merupakan produk unggulan kedua Perum Perhutani setelah kayu bundar jati dengan produksi sebanyak 700.000 m3 per tahun. Kayu bundar tersebut kemudian

diolah menjadi produk akhir, yaitu Finger Joint Laminating Floor dan Garden Furniture, untuk dipasarkan domestik maupun ekspor. Hutan pinus bukan hanya memberikan hasil berupa kayu tetapi juga hasil getah yang merupakan bahan baku untuk industri gondorukem dan terpentin serta produk turunannya.

Dampak ekonomi pengelolaan hutan pinus bagi negara adalah terkait dengan perolehan devisa negara dari ekspor produk hutan pinus dan perolehan dari Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH). Penerimaan negara dari pengelolaan sumberdaya hutan tanaman melalui PSDH didasarkan pada SK Menhut No. 858/Kpts-II/1999 (Siswamartana, 2003).

Dampak ekonomi yang diterima oleh pihak pemerintah daerah, baik

propinsi maupun kabupaten dari adanya pengelolaan hutan pinus adalah diperolehnya pendapatan dari retribusi kayu dan retribusi getah. Sedangkan bagi masyarakat setempat dapat memperoleh manfaat ekonomi dari pengelolaan hutan

pinus melalui kegiatan produksi yang meliputi penanaman, pemeliharaan, penyadapan getah, pengangkutan getah, pengolahan getah, penjarangan, penebangan pohon, pembagian batang, dan pengangkutan, serta program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Berbeda dengan hutan jati, pengelolaan hutan pinus memungkinkan adanya sumber pendapatan bagi masyarakat secara terus menerus. Hal tersebut terkait dengan adanya kegiatan sadapan, angkutan, dan pengolahan getah pinus. Menurut Siswamartana (2003) dengan sistem borongan, pendapatan petani penyadap dengan luas sadapan 3 ha dapat mencapai Rp. 450.000,- per bulan.

c. Dampak ekologi hutan pinus 1. Siklus hidrologi

(42)

tinggi. Tingginya intersepsi pada hutan pinus menyebabkan kehilangan air pada tegakan pinus menjadi lebih besar (Arifjaya, 2002). Laju evapotranspirasi (kehilangan air) pada tegakan pinus adalah berkisar antara 1.002 mm/tahun hingga 1.539 mm/tahun. Mengingat tingginya laju evapotranspirasi pada tegakan pinus, maka dalam pengembangan tanaman pinus perlu memperhatikan kondisi setempat yang ada, khususnya besarnya curah hujan. pengembangan tanaman pinus pada daerah dengan curah hujan rendah akan menyebabkan defisit air tanah.

2. Tanah dan air

Dampak pengelolaan hutan pinus terhadap kondisi tanah dan air meliputi pengaruhnya pada erosi tanah, kapasitas infiltrasi, kelengasan tanah, aliran permukaan, debit sungai, banjir, dan kualitas air. Pada pengelolaan hutan tanaman pinus, tahapan kegiatan yang dapat menimbulkan terjadinya erosi tanah adalah pada saat kegiatan penebangan dan kegiatan penanaman pasca penebangan. Pada saat tersebut kondisi lahan dalam keadaan terbuka, sehingga adanya curah hujan yang jatuh akan dengan mudah menimbulkan erosi tanah. Efek dari kegiatan penebangan terhadap erosi tanah akan berlangsung selama 3 tahun. Setelah itu

ekosistem akan pulih kembali seiring dengan membaiknya penutupan lahan yang berdampak pada menurunnya aliran permukaan, sehingga tingkat erosi pun menurun. Selain itu, membaiknya penutupan lahan juga akan menurunkan tingkat

fluktuasi debit aliran. Pengaruh lain pengelolaan hutan pinus terhadap tanah dan air adalah terkait dengan sifat kapasitas infiltrasi tanah. Seresah pada hutan pinus juga dapat menambah bahan organik tanah sehingga menurunkan bulk density

tanah, sehingga akan memperbesar kapasitas infiltrasi. Selain itu, adanya aktivitas mikroorganisme dalam tanah dapat meningkatkan porositas dan menstabilkan struktur tanah (Nugroho et al, 2004).

(43)

2.6 Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)

Di dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.35/Menhut-II/2007 disebutkan bahwa hasil hutan bukan kayu merupakan (HHBK) adalah hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan budidayanya kecuali kayu yang berasal dari hutan.

Pengelompokan jenis tumbuhan produk HHBK Indonesia antara lain sebagai berikut :

1. Kelompok Resin : gondorukem, kopal, damar, kemenyan, gaharu,

embalau, kapur barus, shellak, resin jernang.

2. Kelompok minyak atsiri : minyak cendana, kayu putih, kenanga, kayu

manis, lawang, gandapura, akar wangi, ekaliptus, minyak gaharu, kamper, minyak terpentin, dll.

3. Kelompok minyak lemak, pati dan buah-buahan

a. Minyak lemak : minyak bintaro, minyak buah merah, minyak kemiri,

minyak kenari, minyak ketapang, minyak nyatoh, minyak tengkawang, dll.

b. Pati : tepung aren, rebung, tepung gadung, tepung iles-iles, jamur, tepung nipah, dll.

c. Buah-buahan : kolang-kaling, asam jawa, burahol, cempedak, duku,

duren, jengkol, kesemek, dll.

4. Kelompok tannin, bahan pewarna dan getah

a. Tannin : akasia, bruguiera, nyiri, kesambi, ketapang, pinang, dll. b. Bahan pewarna : alpukat (pewarna hijau-coklat), jati (merah), kayu

kuning (kuning), kesumba (oranye), mahoni (coklat), nila (biru), secang (merah), dll.

c. Getah : getah jelutung, karet, perca, pulai, dll. 5. Kelompok tumbuhan obat dan tanaman hias

a. Tumbuhan obat : adhas, akar kuning, api-api, mengkudu, brotowali,

dll.

b. Tanaman hias : anggrek hutan, beringin, cemara, kantong semar, pakis,

(44)

6. Kelompok palma dan bambu

a. Rotan : tohiti (Calamus sp.), rotan bakau (C. aquatilis), dll.

b. Bambu : bambu andong, bambu apus, bambu batu, bambu buluh,

bambu duri, dll.

c. Palma lainnya : agel, lontar, nibung. 7. Kelompok alkaloid : kina

8. Kelompok lainnya : genitri, ipoh, nipah, pandan, dll.

(45)

III.

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1 Kondisi Taman Nasional Gunung Merapi 3.1.1 Letak dan luas

Posisi geografis kawasan TNGM adalah di antara koordinat 07°22'33" - 07°52'30" LS dan 110°15'00" - 110°37'30" BT. Sedangkan luas totalnya sekitar 6.410 ha, dengan 5.126,01 ha di wilayah Jawa Tengah dan 1.283,99 ha di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sebelum ditunjuk menjadi taman nasional, kawasan hutan di wilayah yang termasuk propinsi DI Yogyakarta terdiri dari fungsi-fungsi hutan lindung seluas 1.041,38 ha, cagar alam (CA) Plawangan Turgo 146,16 ha; dan taman wisata alam (TWA) Plawangan Turgo 96,45 ha. Kawasan hutan di wilayah Jateng yang masuk dalam wilayah TN ini merupakan hutan lindung seluas 5.126 ha (Departemen Kehutanan 2007).

3.1.2 Sejarah dan Status Kawasan

Kawasan Taman Nasional Merapi merupakan gabungan dari Taman Wisata Alam, Cagar Alam, dan Hutan Lindung. Legalitas kawasan serta perubahan status yang pernah terjadi adalah

Gambar

Tabel 1  Produksi getah pada beberapa jenis pinus
Tabel 2  Hubungan antara produksi getah dengan umur tegakan pinus
Tabel 3.  Luas masing-masing rancangan zonasi Taman Nasional Gunung Merapi
Tabel 5  Matapencaharian penduduk Desa Ngargomulyo
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan telah dilakukannya evaluasi administrasi, teknis dan kewajaran harga serta formulir isian Dokumen Kualifikasi untuk penawaran paket pekerjaan tersebut diatas,

Penelitian yang dilakukan pada pendapatan asli daerah mengalami peningkatan dalam waktu 5 tahun karena semakain meningkatnya penduduk yang ada di Kota Makassar

temperatur 100 0 C – 150 0 C untuk digunakan pada proses pemanasan sistem uap pada industri tahu, 2) merancang kontruksi boiler yang aman dengan standar perancangan ASME

Bapak I Ketut Kodi, SSP., M.Si., dosen jurusan Seni Pedalangan ISI Denpasar, yang banyak meberikan ide menggarap garapan lakon carangan agar lakon carangan tidak

Dari rumus diatas, apabila LQ &gt; 1 berarti porsi lapangan kerja atau nilai tambah sektor i di wilayah analisis terhadap total lapangan kerja atau nilai tambah

Dengan ini diberitahukan bahwa setelah diadakan penelitian oleh Kelompok Kerja Pengadaan Barang / Jasa Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Aceh Singkil ULP Dinas Pertanian

Fotocopy berkas yang tercantum didalam formulir isian kualifikasi penawaran yang saudara sampaikan pada paket pekerjaan tersebut untuk diserahkan pada Pokja sebanyak 1 (satu)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Peran Ganda Perempuan Pedagang di Pasar Jalan Trem Pangkalpinang menunjukkan sudah terjadi begitu saja dan tanpa ada