• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan cerita rakyat Riau dengan pendidikan multikultural : penelitian eksperimen implementasi pendidikan multikultural di Kelas XI ilmu-ilmu sosial SMA Negeri 7 Kota Tangerang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan cerita rakyat Riau dengan pendidikan multikultural : penelitian eksperimen implementasi pendidikan multikultural di Kelas XI ilmu-ilmu sosial SMA Negeri 7 Kota Tangerang"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

di Kelas XI Ilmu-Ilmu Sosial SMA Negeri 7 Kota Tangerang)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd.)

oleh

Rifka Fitrotuzzakia

1110013000038

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

i ABSTRAK

Rifka Fitrotuzzakia, NIM. 1110013000038, skripsi “Hubungan Cerita Rakyat Riau dengan Pendidikan Multikultural Penelitian Eksperimen Implementasi Pendidikan Multikultural di Kelas XI IIS (Ilmu-Ilmu Sosial) SMA Negeri 7 Kota Tangerang”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing : Jamal D. Rahman, M.Hum. September 2014.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar hubungan yang signifikan antara cerita rakyat yang didengarkan atau didongengkan di dalam kelas dengan pemahaman siswa terhadap pendidikan multikultural di SMA Negeri 7 Kota Tangerang kelas XI IIS (Ilmu-Ilmu Sosial). Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif. Dengan menggunakan desain eksperimen, dan product moment. Sumber data dalam penelitian ini adalah data kuesioner siswa sebelum mendapatkan perlakuan media cerita rakyat, dan kuesioner siswa sesudah mendapatkan perlakuan media cerita rakyat.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dengan korelasi sebesar 0,8 antara media cerita rakyat Burung Puyuh dan Burung Tempua dengan pendidikan multikultural. Artinya terdapat hubungan yang positif dan kuat antara media cerita rakyat dengan pendidikan multikultural. Ini berarti semakin sering cerita rakyat digunakan sebagai media pembelajaran, maka semakin baik pemahaman siswa terhadap pendidikan multikultural.

(6)

ii ABSTRACT

Rifka Fitrotuzzakia, 1110013000038, “The Relationship between Folklore with the Multicultural Education. Experimental Study of Implementation of Multicultural Education at XI Grade of Social Science Class or IIS (Ilmu-ilmu Sosial) of SMAN 7 Kota Tangerang. Indonesian Language and Literature Department. Faculty of Tarbiya and Teachers’ Training. Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Advisor: Jamal D. Rahman,. M.Hum. September 2014.

The objective of this study is to find out the significant correlation between folklore which is listened or told in the class and students’ comprehension towards multicultural education at the eleventh grade of Social Science Class or IIS (Ilmu-ilmu Sosial) of SMAN 7 Kota Tangerang. Research methodology which is used is statistical quantitative method by using experimentaldesign and product moment statistical method. Data collecting of this research is questionnaire, before and after the treatment of folklore.

The result of this study shows that there is significant relationship (0,8) between media of folklore entitled Burung Puyuh dan Burung Tempua with multicultural education. It means that there is positive and strong relationship between the medium of multicultural education. The writer concluded that if the folklore is taught as the medium in the teaching and learning process oftenly, student’ comprehension toward multicultural education will be better.

(7)

iii

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya bagi Allah SWT, yang telah memberikan nikmat bagi seluruh makhluk di dunia. Alhamdulilah, skripsi yang berjudul “Hubungan Cerita Rakyat Riau dengan Pendidikan Multikultural, Penelitian Eksperimen Implementasi Pendidikan Multikultural di Kelas XI IIS (Ilmu-Ilmu Sosial) SMA Negeri 7 Kota Tangerang” telah selesai. Skripsi ini dibuat penulis sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.

Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kepentingan mahasiswa, maupun pembacanya. Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai hambatan dan rintangan. Tanpa bantuan dan peran serta berbagai pihak, skripsi ini tidak mungkin terwujud. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah, Dra Nurlena Rifa’i, M.A. Ph.D.

2. PLT Ketua Jurusan Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Didin Syafruddin,. MA., Ph.D.

3. Sekretaris Jurusan Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Hindun, M.Pd.

4. Dosen Pembina Akademik, dari semester satu hingga kini, Dra Mahmudah Fitriyah ZA. M. Pd.

5. Dosen pembimbing skripsi, Bapak Jamal D. Rahman, M.Hum. 6. Seluruh dosen PBSI yang saya sayangi.

7. Kedua orang tua ( Ibu Ati Kurniati dan Bapak Solihin), serta adik saya. 8. Guru-guru SMA Negeri 7 Kota Tangerang.

(8)

iv 10.Kepada teman kosan Sedap Malam.

11.Keluarga Besar PBSI angkatan 2010 dan Keluarga Besar PBSI A angkatan 2010.

12.Keluarga Besar Tarbiyah dan UIN Syarif Hidayatullah.

Semoga semua yang membantu, memberi dukungan, dan partisipasi kepada penulis, mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT. Aamiin.

Ciputat, Kota Tangerang Selatan, 1 September 2014

(9)

v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQOSAH

ABSTRAK………..i

ABSTRACT………...ii

KATA PENGANTAR………...iii

DAFTAR ISI……….v

DAFTAR LAMPIRAN………..…viii

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……….1

B. Identifikasi Masalah………...……5

C. Pembatasan Masalah………..5

D. Perumusan Masalah………...………6

E. Tujuan Penelitian………...………6

F. Kegunaan Penelitian 1. Manfaat Teoritis……...………...….…………..6

2. Manfaat Praktis………...………...……7

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS A. Deskripsi Teoritik 1. Hakikat Pendidikan……….………….8

2. Pendidikan di Indonesia……….…………..9

3. Hakikat Media Pendidikan……….…..……..11

4. Tradisi Lisan dan Cerita Rakyat………..………...12

(10)

vi

6. Kurikulum 2013 di Indonesia……….……24

7. Pendidikan Multikultural dalam Kurikulum 2013…………..…25

8. Media Cerita Rakyat sebagai Perwujudan dari Pendidikan Multikultural……….…..26

9. Cerita Rakyat yang Dipilih dan Sinopsis Cerita……….………26

B. Hasil Penelitian yang Relevan……….…….…..28

C. Kerangka Berfikir……….….….29

D. Hipotesis Penelitian………....30

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat………..…..……31

2. Waktu Penelitian……….……..…..31

B. Metode dan Desain Penelitian 1. Metode Kuantitatif……….…..…..32

2. Desain Eksperimen……….…....32

3. Desain Kelompok Tunggal dengan Pretes dan Postes…...….34

C. Populasi dan Sampel……….…...…..….35

D. Teknik Pengumpulan Data………...…..…35

E. Kontrol Terhadap Validitas Internal………...….36

F. Teknik Analisis Data………...…38

1. Variabel Penelitian………...…39

G. Hipotesis Statistik………...…..….40

1. Instrumen Penelitian………..…………41

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data 1. Profil Sekolah………...47

2. Sampel dan Populasi………48

3. Deskripsi Penelitian di Lapangan………49

(11)

vii

B. Pengujian Persyaratan Analisis dan Pengujian Hipotesis……….55

1. Uji Normalitas Data……….…….56

2. Uji Linearitas Data……….…...58

3. Tabel dan Grafik Distribusi Pancaran……….…..60

4. Nilai Variabel………61

5. Perhitungan Korelasi……….61

C. Temuan Penelitian………..……..66

D. Pembahasan terhadap Temuan Penelitian………...…..68

1. Pembahasan terhadap Hasil Temuan Pertama…………....…..68

2. Pembahasan terhadap Hasil Temuan Kedua………68

3. Pembahasan terhadap Hasil Temuan Ketiga………....…69

E. Implikasi………..………69

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan……….……....71

B. Implikasi……….……72

C. Saran………...72

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(12)
(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peradaban bangsa diciptakan melalui polapikir-polapikir individu yang menghasilkan prilaku nyata di lingkungan sosial. Peradaban bangsa tidak hadir bedasarkan proses yang singkat dan sederhana, melainkan melalui pemikiran falsafah-falsafah yang dinilai paling cocok untuk diterapkan pada bangsa Indonesia kemudian diterapkan langsung dalam kehidupan nyata. Banyak para ahli mengatakan bahwa peradaban bangsa Indonesia merupakan peradaban yang menjungjung tinggi nilai moral dan nilai kehidupan bangsanya. Pancasila digunakan sebagai dasar dari pemikiran dan cita-cita bangsa, kemudian tertuang langsung di dalam pendidikan yang di dalamnya terdapat tradisi-tradisi, nilai-nilai, dan budaya bangsa Indonesia. Salah satu pelajaran dan pengajaran tertua yang terjadi di Indonesia adalah tradisi lisan, atau bercerita.

Indonesia terdiri dari berbagai suku dan budaya. Begitu pula dengan cerita di dalamnya. Indonesia merupakan negara yang kaya akan kebudayaan daerah, sangat lekat dengan kekayaan peradaban atau kekayaan cerita. Cerita rakyat memiliki ciri khas. Beberapa di antaranya adalah sebuah cerita yang hadir dan berkembang di tengah masyarakat pada zaman tradisional. Penyebaran cerita didapat dari mulut ke mulut, penuh dengan nilai adat sekaligus tradisi yang berisi peraturan dan sistem kepercayaan masyarakat pada saat itu, memiliki alur yang mudah ditebak, cerita selalu dimenangkan oleh tokoh yang berwatak baik, berisi kepahlawanan, dan tokoh berwatak baik menjadi pahlawan atas tokoh yang berwatak jahat.

(14)

berkelompok, memiliki sistim kepercayaan yang terikat dengan roh nenek moyang serta percaya dngan benda-benda gaib (animisme dan dinamisme). Setelah itu masuklah budaya ekstern yang mulai berkembang, seperti budaya Hinduisme, Budhaisme, dan Islam. Sebelum kolonialisasi atau pihak barat datang dan berinteraksi di Indonesia, nusantara sudah lebih dahulu berinteraksi dengan multikulturalisme, yakni melalui kehidupan rakyat yang agrarisme, dan berlayar. Masyarakat Indonesia menerima baik tamu dari bangsa-bangsa asing yang datang oleh karena itu, penduduk Indonesia pada masa silam sudah beraneka ragam, yakni terdiri dari beberapa macam ras, diantaranya ras china, dan ras india, serta ras arab.

Kehidupan masyarakat Indonesia saat ini dinilai sangat dinamis dan mengalami perubahan yang sangat cepat. Selain itu diiringi dengan tersebarnya media massa, media elektronik hingga media komunikasi canggih. Media massa, media elektronik, dan perubahan sosial yang menuju ke arah modernitas memiliki dua sisi yang bertelingkahan. Di sisi positif kemajuan teknologi dan pembaharuan dinilai akan menciptakan kemajuan diberbagai bidang, dimulai dari kemajuan ekonomi, kemajuan teknologi, kemajuan pendidikan, pertanian, pertahanan hingga kemajuan pola pikir bangsa. Namun di sisi lain kemajuan pola pikir ini lah yang menjadi lokasi rawan atau kelemahan dari proses modernisasi. Kemajuan pola pikir bangsa bisa berdampak tergantinya atau hilangnya kebiasaan-kebiasaan lama yang positif dan pernah diwariskan oleh nenek moyang atau orang tua di masa silam. Kekhawatiran akan hilangnya kebiasaan dan budaya tradisional sebagai budaya peninggalan bangsa menjadi langkah urgensi semua pendidik yang ingin menancapkan berbagai nilai kebudayaan dari proses pendidikan multikultural yang plural.

(15)

memahami bahwa di kehidupan nyata, budaya Indonesia merupakan budaya yang terdiri dari berbagai macam suku dan etnik yang berbeda, yang lahir secara alamiah dari proses geografis, psikologis, sosiologis.

Siswa diajarkan untuk tidak rasis, tidak fanatik terhadap etnis tertentu hingga memakai kekerasan untuk mengatasi perbedaan pendapat. Siswa sadar bahwa perbedaan di Indonesia alamiah terjadi, tercermin dengan tersebarnya cerita-cerita rakyat yang berbeda. Tercermin dengan prilaku-prilaku, logat-logat daerah yang berbeda, cara berpakaian yang berbeda, cara makan yang berbeda, cara menyayangi yang berbeda bahkan cara memahami dengan cara yang bebeda.

Model dan media pembelajaran mengenal pendidikan berbasis mulikultural sangat beraneka ragam mulai dari metode sosiodrama, metode inkuiry, contekstual learning, metode ceramah dan masih banyak lagi. Sedangkan media pembelajaran untuk pendidikan multikultural bisa berupa materi atau sumber belajar yang beraneka ragam, dimulai dari dari internet, buku teks hingga cerita dongeng atau cerita rakyat. Media pembelajaran merupakan sarana siswa belajar, alat pembantu untuk memahami mengenai nilai-nilai budaya ataupun nilai multikultural.Media juga digunakan guru sebagai sarana atau alat pembantu bagi guru dalam mentransfer ilmu atau memberikan pemahaman mengenai materi, nilai moral, nilai agama dan nilai sosial.

Media pembelajaran cerita rakyat merupakan suatu langkah atau cara pembelajaran yang berfungsi untuk mentransfer pemahaman mengenai nilai moral, nilai sosial, nilai pendidikan kepada siswa, sehingga nilai-nilai falsafah luhur budaya Indonesia dapat terfahami, selain itu cerita rakyat juga berfungsi untuk menanamkan nilai multikultural dan pengetahuan budaya-budaya bangsa, sehingga arus perkembangan global tidak mengikis pemahaman siswa mengenai kebudayaan Indonesia yang sangat kaya dan beraneka ragam. Jika kita temui cerita rakyat yang berkembang saat ini masih sebatas cerita rakyat popular, seperti Cerita Malin Kundang, Cerita Asal-usul Danau Toba, Cerita Sangkuriang, Cerita

(16)

nilai-nilai luhur budaya, moral pengorbanan, menghormati orang tua dan menyayangi sesama saudara. Masih banyak cerita rakyat nusantara yang kurang popular dan kurang berkembang di kehidupan remaja, maupun di dalam lingkungan dunia pendidikan di Indonesia. Belum ditemukan secara spesifik cerita rakyat nusantara yang menggambarkan prilaku masyarakat yang menganut sistem multikultural, yakni toleran, saling menghormati dan menghargai sesama manusia yang berbeda budaya maupun adat di Indonesia.

(17)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan judul yang diambil yaitu mengenai Hubungan Cerita Rakyat dengan Pendidikan Multikultural penulis mengemukakan beberapa identifikasi masalah, yaitu meliputi:

1. kurangnya pemahaman terhadap pendidikan multikultural,

2. kurangnya aplikasi nyata terhadap pendidikan multikultural di sekolah, 3. kurangnya pengetahuan tentang media cerita rakyat yang mengandung

nilai multikultural,

4. kurangnya pengetahuan apakah ada hubungan antara cerita rakyat sebagai media pembalajaran dengan pendidikan multikultural.

C. Pembatasan Masalah

(18)

yang dipilih adalah kelas XI IIS (sebelas Ilmu-Ilmu Sosial) karena kelas tersebut mempelajari bidang ilmu sosial, termasuk keterampilan siswa untuk lebih bersosialisasi dan lebih mengerti budaya multikultural terhadap sesama siswa di kelas maupun di luar kelas. Selain itu kelas XI (sebelas) merupakan kelas yang dipilih peneliti, karena pada usia 17 tahun atau usia di kelas tersebut merupakan usia adaptasi siswa dengan idealisme siswa yang dibentuk. Pada usia tersebut juga siswa sedang rentan berinteraksi dengan kekerasan, ancaman, perbedaan, bentrokan, konflik dan tawuran antar siswa.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan batasan tersebut, penulis merumuskan permasalahan yaitu:

Bagaimanakah hubungan antara cerita rakyat dengan pendidikan multikultural di SMA kelas XI IIS (Ilmu-Ilmu Sosial) SMA Negeri 7 Kota Tangerang?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan yang signifikan antara cerita rakyat dengan pendidikan multikultural dan mengetahui seberapa besar hubungan yang signifikanantara cerita rakyat yang didengarkan atau didongengkan di dalam kelas dengan pemahaman siswa terhadap pendidikan multikulturaldi SMA Negeri 7 Kota Tangerang, kelas XI IIS.

F. Kegunaan Penelitian

I. F. 1. Manfaat Teoritis

(19)

I. F.2. Manfaat Praktis

(20)

BAB II

KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

A. Deskripsi Teoritik 1. Hakikat Pendidikan

Pendidikan tidak terlepas dari berbagai proses mendidik dan mengajar. Untuk itu berikut ini adalah konsep pendidikan jika ditnjau dari beberapa ahli pendidikan. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia pendidikan berasal dari “pen.di.dik.an yaitu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang. Arti lain adalah usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara perbuatan mendidik”.1 Sedangkan pendidikan yang dikatakan oleh Lengeveld dalam Halifud Sabri, ialah “pemberian bimbingan atau bantuan rohani bagi yang seseorang masih memerlukan”. Pendidikan itu terjadi melalui pengaruh dari seseorang yang telah dewasa kepada orang yang belum dewasa, namun tidak semua pengaruh yang datangnya dari orang dewasa kepada orang yang belum dewasa itu dapat disebut mendidik, sebab mungkin saja pengaruhnya itu tidak mengandung unsur mendidik sama sekali. Sifat dari pendidikan adalah semua usaha, pengaruh, perlindungan serta bantuan yang diberikan harus tertuju pada kedewasaan anak didiknya atau dengan kata lain membantu anak didiknya agar cukup cakap dalam melaksanakan tugas hidupnya sendiri.2 Kemudian, H. A. R. Tilaar menyatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses menumbuhkembangkan eksistensi peserta didik yang memasyarakat, membudaya, dalam tata kehidupan yang berdimensi lokal, nasional dan global.3 Hal ini senada dengan pendapat Nurani Soyomukti yang mengatakan bahwa pendidikan adalah segala sesuatu dalam kehidupan yang mempengaruhi pembentukan berpikir dan bertindak individu, dalam kurun waktu kehidupan yang

1

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,2007), h. 263.

2

Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (UIN Jakarta Press:Ciputat, 2005), h.8.

3

(21)

panjang dan saling berkaitan dengan perubahan-perubahan cara berpikir masyarakat juga turut menjadi pembentuk seorang individu.4

Selain usaha untuk menumbuh kembangkan kedewasaan, pendidikan juga merupakan suatu usaha dari berbagai dimensi, baik dimensi tataran kecil, hingga ke dimensi global. Pengertian pendidikan di Indonesia pun telah tertuang di dalam Undang-Undang RI, berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 pasal 1 butir 1, pendidikan adalah:

“usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.”5

Dari uraian pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu usaha atau proses mendewasakan individu atau sekelompok orang melalui sebuah pengajaran atau pelatihan seumur hidup.

2. Pendidikan di Indonesia

H. Soedijarto mengatakan bahwa proses pendidikan di Indonesia seperti yang sepintas disinggung dan berlangsung dari pukul 07.00 sampai pukul 12.00 tidak akan dapat mengubah karakteristik manusia Indonesia yang beretos kerja tinggi, yang berdisplin, bermoral, yang bertanggung jawab, yang menghormati tegaknya hukum, dan yang mampu menguasai dan menerapkan iptek serta bersikap demokratis. Tidak lain karena masyarakat di luar sekolah belum dapat menjadi tempat yang mendorong tumbuh dan berkembangnya karakteristik manusia Indonesia yang ideal. Maka perlu dirancang suatu sistem pendidikan nasional yang memungkinkan proses pembelajaran yang bermakna yaitu proses pembudayaan yang menyangkut berbagai kemampuan, nilai, dan sikap seorang Indonesia yang modern. Untuk itu Komisi Internasional UNESCO

4

Nurani Soyomukti, Teori-Teori Pendidikan: Tradisional, (Neo) Liberal, Marxis-Sosialis, Postmodern, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), h.29.

5

(22)

merekomendasikan 4 pilar belajar, yaitu Learning to know, Learning to do, Learning to Live Together, dan Learning to be.6

Pendidikan di Indonesia yang ideal harus mencangkup 4 macam pilar belajar, belajar tidak hanya mempelajari sesuatu, tetapi dapat memperagakan, mempraktikkan, dan mengaplikasikan, sehingga tujuan belajar bukan hanya untuk pengetahuan saja, malainkan untuk hidup bersama, dan untuk dapat melakukan sesuatu.

Theodore Brameld dalam H.A.R. Tilaar menyatakan bahwa terdapat keterkaitan yang sangat erat antara pendidikan, masyarakat dan kebudayaan. Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang sangat erat dalam arti keduanya, yakni berkenaan dengan nilai-nilai. Di dalam rumusan-rumusan kebudayaan, mengandung tiga dimensi, ketiga dimensi tersebut adalah manusia, masyarakat dan budaya. Oleh sebab itu pendidikan tidak dapat terlepas dari kebudayaan dan hanya dapat terlaksana dalam suatu masyarakat. Apabila kebudayaan mempunyai tiga unsur penting yaitu kebudayaan sebagai suatu tata kehidupan (order), kebudayaan sebagai suatu proses, dan kebudayaan mempunyai suatu visi tertentu (goals), maka pendidikan dalam rumusan tersebut adalah sebenarnya proses pembudayaan. dengan demikian tidak ada suatu proses pendidikan tanpa kebudayaan dan tanpa masyarakat, dan sebaliknya tidak ada suatu kebudayaan dalam pengertian suatu proses tanpa pendidikan, dan proses kebudayaan dan pendidikan hanya dapat terjadi di dalam hubungan antar manusia di dalam suatu masyaraka tertentu.7 Jadi terdapat keterkaitan yang erat antara pendidikan, masyarakat dan budaya, untuk itu ketiganya tidak dapat terlepaskan dari proses pendidikan.

H.A.R. Tilaar menegaskan bahwa metode pendidikan Indonesia terbagi menjadi dua, pendidikan agama dan pendidikan nasional.Namun pendidikan yang dilaksanakan lebih ke arah dikotomis.8 Oleh karena itu sangat sulit menemukan

6

H. Soedijarto, Pendidikan yang Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia dalam Kurikulum yang Mencerdaskan, (PT Kompas Media Nusantara: Jakarta, 2007), h.21.

7

H.A.R. Tilaar, Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, (PT Remaja Rosdakarya: Bandung, 1999), h.7.

8

(23)

konsep pendidikan yang komprehensif dan integral. dalam pendidikan multikultural, terdapat pengungkapan hakikat manusia yaitu diantaranya, pertama pendidikan multikultural memandang bahwa manusia memiliki beberapa dimensi yang harus diakomodir dan dikembangan secara keseluruhan, orientasi pendidikan multikultural adalah “memanusiakan manusia.” Kemanusiaan manusia pada dasarnya adalah pengakuan akan pluralutas, heterogenitas dan keragaman manusia itu sendiri. keragaman itu bisa berupa ideolog, agama, paradigm, pola pikir, kebutuhan keinginan, tingkat ekonomi, strata sosial, suku, etnis, ras, budaya, dan nilai-nilai tradisi.

3. Hakikat Media Pendidikan

Media itu berarti sebuah wadah, sebuah sarana, dan perantara seorang guru atau pengajar mentransferkan ilmunya kepada anak didik atau siswa. hal ini dikatakan pula oleh Yudhi Munadhi dalam buku yang berjudul Media Pembelajaran yaitu,

“kata media berasal dari bahasa Latin, yakni Medius yang secara harfiahnya berarti „tengah‟, „pengantar‟, atau „perantara‟. Dalam bahasa Arab media disebut „wasail‟ berbentuk jama‟ dari „wasilah‟ yakni sinonim al wast yang artinya juga „tengah‟. Kata tengah itu sendiri berarti berada di antara dua sisi, maka disebut juga sebagai „perantara‟ (wasilah) atau yang mengentarai kedua sisi tersebut.Karena posisinya berada di tengah ia bisa juga disebut sebagai penghantar atau penghubung, yakni yang mengantarkan atau menghubungkan atau menyalurkan sesuatu hal dari satu sisi ke sisi lainnya.”9

Sedangkan berdasarkan KBBI Media adalah 1. Alat; 2. Alat (sarana) komunikasi seperti koran, majalah, radio, telefisi film, poster dan spanduk; 3. Terletak di antara dua pihak (orang, golongan, dsb); wayang bisa dipakai sebagai – pendidikan; 4. Perantara, penghubung.10 Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa media menunjuk kedalam suatu saluran, atau perantara dari satu sisi ke dalam sisi si penerima pesan.Pengertian media pendidikan menunjukkan pada

9

Yudhi Munadhi, Media Pembelajaran: Sebuah Pendekatan Baru, (Ciputat: Gaung Perseda Press, 2012), h. 6.

10

(24)

gabungan dari pengertian atau makna kata „media, dan makna kata „pendidikan‟. Jika makna kata media adalah „sarana‟, maka, makna kata pandidikan adalah suaru proses pendewasaan atau perubahan mental manusia ke arah konstruktif. Maka media pendidikan adalah sarana atau saluran yang dipakai dalam menunjang suatu pesan berupa proses pendewasaan, perubahan mental, psikis, jiwa, rohaniah, kognitif, intelektual manusia secara positif yang berlandaskan prinsip kemanusiaan dan hubungan manusia dengan alam, Tuhan, dan masyarakat.

4. Tradisi Lisan dan Cerita Rakyat

Tradisi Lisan dalam KBBI adalah Folklor lisan.11 Namun tradisi lisan lebih luas cakupannya dari folklor lisan, folklor, erat kaitannya dengan sebuah cerita lisan yang menyangkut legenda, mite atau dongeng. Pada mulanya informasi atau pesan ada dan berkembang melalui sebuah tradisi lisan, yakni yang dikatakan oleh James Danadjaja hal itu disebut dengan ilmu menggosip, seni bercerita dan mendongeng.12 Pada cara ini, maka mungkinlah suatu masyarakat dapat menyampaikan sejarah lisan, sastra lisan, hukum lisan dan pengetahuan lainnya ke generasi seterusnya tanpa melibatkan bahasa tulisan. Biasanya isi informasinya agak bias dan terdapat lebih dari ribuan versi, tergantung dari redaksi orang yang berceritanya. karena dongeng diceritakan dari mulut ke mulut, selain itu seseorang yang memiliki kepentingan yang berlainan, bisa saja merubah ceritanya, menjadi cerita yang lain, namun bertema atau bertokoh yang mungkin sama. adapun James Danadjaya mengatakan bahwa Folklor tisan terbagi menjadi legenda, mite dan dongeng. kemudian James Danadjaya dalam bukunya yang berjudul Folklor Indonesia, mengatakan bahwa suatu foklor tidak berhenti menjadi foklor jika ia berubah menjadi cetakan. Suatu folklor memiliki identitas, selama ia berasal dari peredaran lisan.13 Transkripsi cerita rakyat yang diambil dari tradisi lisan misalnya. Jadi cerita rakyat pada mulanya diawali dari tradisi

11

Ibid., h. 1208.

12

James Danadjaya, Folklor Indonesia: Ilmu Gosip Dongeng dan Lain-Lain, (Jakarta: Grafitypers, 1986), h.5.

13

(25)

lisan, diceritakan dari generasi ke generasi, hingga ditulis atau dicetak oleh penulis. Agar cerita bisa dibaca oleh generasi berikutnya. Dongeng bersifat bias. Bisa jadi pendongeng yang bercerita hari ini jika disuruh untuk mengulangi lagi dongengnya pada saat ini juga. Maka ceritanya ada yang sedikit berbeda. Karena batasan dari sebuah dongeng ataupun tradisi lisan adalah lisan.

Liaw Yock Fang dalam Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik mengatakan bahwa kesusastraan rakyat adalah sastra yang hidup di tengah-tengah rakyat. Dituturkan oleh ibu kepada anaknya yang dalam buaian.14 Tukang cerita juga menuturkannya kepada penduduk kampung yang tidak bisa membaca (tukang cerita sendiri belum tentu bisa membaca). Cerita yang semacam ini diturunkan secara lisan dari satu generasi kepada generasi yang lebih muda. Cerita yang tersebar di kalangan rakyat awalnya dilisankan, namun kemudian cerita tersebut dikumpulkan oleh bangsawan atau raja yang memerintah, ditulis disesuaikan dengan kehendak istana.15 Cerita rakyat merupakan cerita yang berkembang pada masyarakat di daerah tertentu. Cerita rakyat kental dengan mitos, kepercayaan masyarakat, kebiasaan-kebiasaan dan tokoh nama yang ditulis nyata dan banyak. Cerita rakyat terlahir tanpa sebuah pengarang, atau anonim, karna itu cerita rakyat merupakan cerita berkaitan dengan sejarah.16

Kuntowijoyo mengatakan bahwa sastra rakyat dikenal dengan nama tradisi lisan mencakup suatu bidang yang cukup luas. Sastra rakyat terdiri dari cerita-cerita, ungkapan, pribahasa, nyanyian, tarian, adat resmi, undang-undang, teka-teki, permainan, kepercayaan dan perayaan, semuanya termasuk kedalam sastra rakyat. Dalam masyarakat yang menekankan pentingnya pikiran kolektif seperti masyarakat Indonesia adanya etika otoritarian.Pikiran-pikiran kolektif lebih penting daripada pikiran individual dan kesadaran kolektif lebih diutamakan

14

Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), h.1.

15

Ibid,. h.5.

16

(26)

ketimbang kesadaran perorangan.17 Liaw Yock Fang mengatakan bahwa cerita rakyat dapat dibagi atas empat jenis yaitu seperti berikut ini.

1. Cerita Asal-usul

Cerita asal-usul atau dongeng aetiologis adalah cerita rakyat yang tertua.Cerita-cerita ini sebenarnya sudah bisa dimasukkan ke dalam bidang mitos, cerita yang dianggap benar oleh penceritanya.18 Cerita asal usul dapat pula berupa cerita babad asal usul sebuah masyarakat yang penuh dengan keajaiban dan tokoh mitos yang digambarkan memiliki kekuatan suppranatural.

2. Cerita Binatang

Cerita binatang adalah salah satu bentuk sastra rakyat yang sangat popular.Tiap-tiap bangsa di dunia ini mempuyai cerita binatang. C. Hooykaas dalam Liaw Yock Fang, mengatakan bahwa sebagian dari cerita-cerita binatang ini berasal dari India, kemudian tersebar ke benua asia dan eropa. Ada pula yang berpendapat bahwa cerita binatang itu timbul dalam masyarakat yang primitif, di mana saja. Jadi tidak mesti di India. Dalam masyarakat primitif, manusia masih tinggal dalam gua, dan tiap hari bergaul dengan binatang. Mereka juga bergantung kepada binatang untuk hidup. Oleh karena itu mereka tahu betul sifat-sifat binatang.Binatang juga diberi sifat-sifat manusia. Mereka dapat merasa dan berpikir seperti manusia.Perbedaan bentuk fisik tidak penting. Dalam masyarakat primitif, tidak terdapat perbedaan antara dewa, binatang dan manusia. Dalam cerita binatang, biasanya ada seekor binatang yang memegang peranan penting. Binatang itu biasanya binatang kecil dan lemah. Tetepi dengan kecerdasannya ia dapat memperdaya binatang-binatang lain, sehingga seluruh hukum rimba takluk kepadanya.19 Dalam masyarakat suku Jawa, cerita Si Kancil contohnya, sedangkan cerita

17

Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1987), h.138.

18

Liaw Yock Fang, op. cit., h.2.

19

(27)

Sunda, Cerita Si Kera, contohnya. Cerita hewan ini disebut juga dengan fabel.

3. Cerita Jenaka

Cerita jenaka adalah cerita yang jenaka. Jenaka diterangkan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional, 2008:577) sebagai “mambangkitkan tawa, kocak, lucu: menggelikan.” Tetapi R. J. Wilkinson yang dikutip dalam Liaw Yock Fang menerangkan bahwa jenaka juga berarti “willy, full of stratagem” (cerdik, berakal, dan tahu ilmu siasat). Ringkasnya cerita jenaka adalah cerita tentang tokoh yang lucu, menggelikan, atau licik dan licin.20 Contoh cerita jenaka yang terkenal adalah, cerita Abu Nawas, dalam kesusastraan Timur Tengah, Cerita Kabayan, dalam kesusastraan Sunda, cerita Semar, dalam kesusastraan Jawa, dan cerita jenaka lainnya.

4. Cerita Pelipur Lara

Cerita pelipur lara adalah cerita yang dipakai untuk melipur hati yang lara, yang duka nestapa. Pada zaman dahulu kala, sebelum adanya radio, televisi, dan wayang gambar (film), mendengar cerita pelipur lara merupakan satu-satunya hiburan bagi orang kampung. Bila matahari sudah tenggelam, dan orang kampung sudah makan malam dan mulai beristirahat, mulailah si tukang cerita bercerita. Ia bercerita dengan nada yang merata, seolah-olah membaca dari sebuah kitab. Cerita itu berlanjut sampai jauh malam, dan bila tidak selesai, akan dilanjutkan pada esok malamnya. Biarpun tukang cerita itu tidak bisa membaca dan menulis, ia tidak pernah membuat kesalahan dalam certanya. Sebab, ia sudah biasa mendengar cerita-cerita itu sejak kecill dari ayahnya, dan datuknya yang juga adalah tukang cerita. Mereka inilah yang dinamai sahibul hikayat. Dan dengan berceritalah mereka mencari nafkah dari satu kampung ke kampung lain. Kedatangan mereka selalu disambut oleh orang kampung. Mereka juga selalu diberi upah.

20

(28)

Ceritanya selalu tentang istana yang indah-indah buatannya, raja yang memerintah juga sangat besar kerajaannya, tetapi sayang sekali permaisuri mandul. Karena itu baginda hidup dalam kesedihan.21 Cerita pelipur lara ini biasanya berisi tentang kesedihan.

Cerita rakyat, sangat erat kaitannya dengan budaya sosial yang berkambang pada saat karya itu lahir.karenasastra mempunyai fungsi sosial atau manfaat yang tidak sepenuhnya bersifat pribadi. Hal ini senada dikatakan oleh Rane wellek dan Austin Werren yang menyatakan bahwa “menyamakan sastra dengan sejarah kebudayaan berarti menolak sastra sebagai bidang ilmu dengan metodenya sendiri.”22 menurut pendapat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa wilayah sastra itu menyangkut legenda atau cerita sejarah yang telah dicampur dengan rekaan atau fiksi.

Cerita rakyat disebut juga cerita mitos, dan mitos merupakan suatu usaha yang timbul untuk mengakrabi alam. Hal ini senada yang diungkapkan oleh Prih Suharto, dkk., “dalam batas-batas tertentu dapat kita katakan bahwa unsur mitos yang bersifat fantastis itu merupakan cerminan usaha nenek moyang kita untuk mengakrabi alam, yang dengan demikian juga berarti mengakrabi diri sendiri, sekaligus sebagai menifestasi pengakuan mereka terhadap kebesaran Sang Maha Pencipta.”23 Hal-hal semacam itu misalnya kita jumpai pada cerita-cerita rakyat. Berdasarkan pendapat di atas dapat dikatakan bahwa cerita rakyat merupakan cerita rekaan atau dongeng-dongeng berisi nilai-nilai moral, yang berfungsi sebagai usaha nenek moyang untuk menasehati keluarga maupun kerabatnya.

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa cerita rakyat sama halnya seperti dongeng yang mengandung nilai dan pesan moral yang tersirat, dan kaya akan nasihat. Tradisi lisan merupakan tradisi menyampaikan informasi, pesan dan nasihat, dari mulut ke mulut. Cerita rakyat, merupakan tradisi lisan atau

21

Ibid., h.33.

22

Rane Wallek dan Austin Warren, op. cit., h. 12.

23

(29)

dongeng yang tertulis. Cerita tersebut, mengandung ajaran tradisional yang memiliki nilai budaya yang luhur.

5. Hakikat Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural

Andre Ata Ujan, dkk., mengatakan bahwa “multikulturalisme memiliki dua arti di satu pihak merupakan suatu paham dan di lain pihak merupakan suatu pendekatan yang menawarkan paradigma kebudayaan untuk mengerti perbedaan-perbedaan yang selama ini ada di tengah-tengah masyarakat kita dan dunia.”24Jadi multikulturalisme terdapat dua arti, arti pertama merupakan suatu faham, sedangkan arti kedua adalah suatu pendekatan seorang manusia untuk memahami bagaimana adanya keberagaman dan perbedaan-perbedaan yang selama ini hidup ditengah-tengah masyarakat yang modern dan ditengah kondisi masyarakat yang mengglobal.

Alfons Taryadi yang dikutip oleh Andre, mengatakan bahwa multikulturalisme itu terdiri dari lima jenis25yaitu,

1. multikulturalisme isolasionis, mengacu pada visi masyarakat sebagai tempat kelompok-kelompok budaya yang berbeda, menjalani hidup mandiri dan terlibat dalam saling interaksi, minimal sebagai syarat yang niscaya untuk hidup saling bersama;

2. multikulturalisme akomodatif, mengacu pada visi masyarakat yang bertumpu pada satu budaya dominan, dengan penyesuaian-penyesuaian dan pengaturan yang pas untuk kebutuhan budaya minoritas;

3. multikulturalisme mandiri, mengacu pada visi masyarakat yang mencari kesetaraan antara kelompok-kelompok besar dengan budaya yang dominan, dan bertujuan untuk menempuh hidup mandiri dalam politik kolektif yang dapat diterima;

4. multikulturalisme kritis atau interaktif, merujuk pada visi masyarakat sebagai tempat kelompok-kelompok kultural yang kurang peduli terhadap

24

Andre Ata Ujan, dkk., Multikulturalisme: Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan, (Jakarta: PT Indeks, 2009),h.15.

25

(30)

hidup mandiri dan lebih peduli dalam menciptakan suatu budaya kolektif yang mencerminkan dan mengakui perspektif mereka yang berbeda-beda; 5. multikulturalisme kosmopolitan, mengacu pada visi masyarakat yang

berusaha menerobos ikatan-ikatan kultural yang membuka peluang bagi individu yang tidak terikat pada budaya khusus, secara bebas bergiat dalam eksperimen-eksperimen antarkultur dan mengembangkan satu budaya milik mereka sendiri.

Andre mengatakan bahwa Masyarakat multikultural sebaiknya memiliki sikap rendah hati, (mau menerima kenyataan), dan mengembangkan sikap hormat akan keunikan masing-masing pribadi/kelompok dengan cara-cara berada mereka masing-masing.26 Jadi apabila masyarakat tidak mau bersikap rendah hati dan tidak menjung-jung tinggi rasa hormat terhadap keunikan dari perbedaan masing-masing individu. Maka yang terjadi setelah itu adalah pertentangan dan konflik berkepanjangan terhadap suatu masyarakat dan bangsa.

Indonesia merupakan masyarakat majemuk karena bukan hanya memiliki beraneka ragam corak kesukubangsaan dan kebudayaan secara horizontal, tetapi juga secara vertikal, baik dari sisi kemajuan ekonomi, teknologi, dan organisasi sosial politiknya. Rusmin mengatakan bahwa,

“para ahli menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia mewujudkan diri sebagai suatu masyarakat yang majemuk, dan sudah menjadi pokok perhatian dari para ahli untuk waktu yang lama. Dengan kalimat mewujudkan diri sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI pada hakikatnya setiap kelompok, golongan, suku, agama dan yang berbeda satu dengan yang lainnya melebur dan bersepakat membentuk kesukubangsaan yang satu, yaitu bangsa Indonesia”.27

Untuk itu pendidikan multikultural untuk mewujudkan dan mempraktikkan NKRI terhadap Negara Indonesia sangat urgen dilakukan oleh para pendidik di Indonesia saat ini.

26

Ibid.,h.15.

27

(31)

Hal tersebut dikatakan pula oleh Robert W Hefner, dalam penelitiannya yang mengungkap deskripsi sejarah masyarakat multikultural di wilayah Asia Tenggara. Robert W. Hefner, mengatakan bahwa,

“Di Asia Tenggara memiliki sejarah mereka sendiri yang kaya dengan kebhinnekaan dan partisipasi. Sama halnya dengan Barat, di zaman pramodern tak satu pun dari masyarakat Asia Tenggara itu menetapkan rumusan rumusan, yang oleh orang-orang yang berpikiran demokratis sekarang ini akan diterima untuk mengoordinasikan kewarganegaraannya dan menjembatani jurang yang dalam dari kotak-kotak kebudayaan. Namun, elemen-elemen dari warisan yang lebih tua itu masih juga melekat, dan setidak tidaknya, elemen-elemen terbaiknya harus dilibatkan jika usaha-usaha untuk mempromosikan suatu pluralisme yang lebih partisipatoris diharapkan akan disambut baik oleh aktor-aktor dan organisasi-organisasi lokal”.28

Berdasarkan kutipan di atas dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia telah lebih dahulu berinteraksi dengan multikulturalisme, melalui kebiasaan ataupun profesi sabagian penduduknya yang bermatapencaharian sebagai pedagang atau pelayar. Selain itu jauh sebelum masa kolonialisme datang membawa faham demokrasi, dalam masyarakat Indonesia sudah terdapat berbagai ras yang ada, ras tersebut adalah ras Indonesia (pribumi), ras cina, ras india dan ras arab, yang kemudian membawa budaya Islam. Hal ini senada dikatakan oleh Robert yang berpandangan tentang wilayah Asia Tenggara dengan kalimatnya yaitu “di kawasan Asia Tenggara terdapat budaya yang lebih diterima dan menghargai budaya lainnya yang masuk.”29

Pendapat senada diujarkan oleh George F. Mc Lean, yang dalam teorinya mengatakan bahwa nilai agama yang berpayung (penyebaran agama secara damai), akan memudahkan interaksi masyarakat terhadap lingkungan baru, budaya dan etnik yang baru. Seperti kutipan George F. Mc Lean”in contrast, an attitude of authentic religious openness appreciates the nature of one’s own finiteness. On this basis it both respects the past and is open to discerning the future. In other words, it is an acknowledgement that our religious and cultural

28

Robert W. Hefner (ed.), Politik Multikulturalisme, (Jogjakarta: Penerbit Kanisius, 2007), h.77.

(32)

heritage has something new to say us”.30 Isi kutipan tersebut mengandung arti sebaliknya, sikap keterbukaan agama otentik menghargai sifat keterbatasan sendiri seseorang. Atas dasar ini keduanya menghormati masa lalu dan terbuka untuk membedakan masa depan. Dengan kata lain, itu adalah pengakuan bahwa warisan agama dan budaya kita memiliki sesuatu yang baru untuk dikatakan.

Terdapat penelitian yang menarik dari Ronald Inglehart yang mengatakan bahwa masyarakat yang berpenduduk berfaham multikultural lebih sejahtera dan berpendapatan besar/ kaya dibandingkan masyarakat yang memiliki tingkat anti toleran yang rendah, seperti kutipan di bawah ini

“Wilayah-wilayah budaya yang berbeda memang ada dan mereka mempunyai konsekuensi sosial dan politik yang besar, serta membantu membentuk fenomena penting mulai tingkat kesuburan hingga perilaku ekonomi dan institusi-institusi demokrasi. Satu dimensi utama dari variasi lintas budaya secara khusus penting bagi demokrasi. Masyarakat sangat bervariasi dalam tingkatan penekanan masyarakat itu pada “nilai-nilai peninggalan” atau “nilai-nilai ekspresi diri”. Masyarakat yang menekankan pada nilai yang terakhir sepertinya akan lebih demokratis dari pada masyarakat yang menekankan pada nilai-nilai peninggalan. Pembangunan ekonomi tampaknya membawa perubahan berangsur-angsur dari nilai-nilai peninggalan menuju nilai-nilai ekspresi diri, yang membantu menjelaskan mengapa masyarakat yang lebih kaya lebih mungkin untuk demokratis. Korelasi antara nilai peninggalan/ ekspresi diri dan demokrasi sangat kuat . apakah keduanya berjalan seiring karena nilai-nilai ekspresi diri (yang menyertakan kepercayaan antarpribadi, toleransi dan partisipasi dalam pembuatan keputusan). Fakta menunjukkan bahwa hal ini lebih merupakan masalah budaya yang membentuk demokrasi daripada sebaliknya.”31

Pernyataan tersebut beranggapan bahwa di dalam suatu masyarakat terdapat nilai ekspresi, nilai ekspresi merupakan suatu nilai yang menyertakan suatu kepercayaan anatar pribadi, toleransi dan partisipasi dalam pembuatan keputusan. nilai ekspresi meliputi nilai saling menghargai, nilai toleransi dan saling berpartisipasi akan membentuk demokrasi dan prilaku ekonomi yang

30

John P. Hogan (ed.), Cultural Identity, Pluralism and Globalization Volume 1: Culturall Pluralism and Demoratic Freedom, (Washington, DC: The Council for Research in Values and Philosophy, 2005),h.58.

31

(33)

meningkat. Masyarakat multikultural akan lebih memiliki nilai ekspresi, dibandingkan masyarakat yang manganut faham anti toleransi dan menggunakan kediktatoran untuk mensejahterakan penduduknya.

Pendidikan multikultural merupakan sebuah istilah yang sudah lama muncul di dunia pendidikan. Dalam pendidikan multikultural selalu muncul dua kata kunci yaiu pluralitas dan kultural. Sebab, pemahaman terhadap pemahaman terhadap pluralitas mencakup segala perbedaan dan keragaman. Sedangkan kultur itu sendiri tidak bisa terlepas dari empat tema penting, yaitu aliran (agama), ras (etnis), suku, dan budaya.

Istilah pendidikan multikultural secara etimologis terdiri atas dua terma, yaitu pendidikan dan multikultural. Pendidikan dapat diartikan sebagai proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan proses, perbuatan dan cara-cara yang mendidik. Sedangkan istilah multikultural sebenarnya merupakan kata dasar yang mendapat awalan. Kata dasar itu adalah “kultur” yang berarti kebudayaan, kesopanan, atau pemeliharaan sedang awalan dari kata ter sebut, yakni kata “multi” yang berarti banyak, ragam, atau aneka. Dengan demikian multikultural berarti keragama kebudayaan, aneka kesopanan, atau banyak pemeliharaan. Namun dalam tulisan ini lebih diartikan sebagai keragaman budaya sebagai ejawantah dari keragaman budaya sebagai keragaman latar belakang seseorang.32

Secara termologis Ainurrofiq Dawam mengatakan bahwa, “pendidikan multikultural berarti proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensinya keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran (agama).”33 Pengertian pendidikan multikultural yang demikian tentu mempunyai implikasi yang sangat luas dalam pendidikan. Karena pendidikan itu sendiri secara umum difahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat. Dengan demikian, pedidikan multikultural

32

Ainurrofiq Dawam, Pendidikan Multikultural, (Penerbit Inspeal : Jogjakarta, 2006), h.39. 33

(34)

menghendaki penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia darimanapun dia dan dari budaya apapun dia.

Nurani Soyomukti mengutip pada buku yang berjudul Preparing Teacher to Teach Global Perspectives, Merryfield (1997) mengatakan bahwa “ada tiga syarat yang harus dimiliki guru dalam mengembangkan pendidikan yang bersifat global, yakni kemampuan konseptual, pengalaman lintas budaya, dan keterampilan pedagogis.”34

Kemampuan konseptual berkenaan dengan peningkatan pengetahuan guru dalam konteks isu-isu global. Guru harus memiliki pengetahuan tentang isu, dinamika, sejarah, dan nilai-nilai global agar mereka memiliki keterampilan mengapresiasi persamaan dan perbedaan budaya dalam masyarakat dunia, di dalam kelas.

Syarat berikutnya adalah pengalaman lintas budaya (inter-culturalism). Guru harus memiliki pengetahuan langsung tentang kesadaran multi budaya. Ketidaktahuan seorang guru akan menimbulkan prasangka. Dalam proses globalisasi terjadi trans nasionalisasi atau globalisasi ini tidak terkait dengan “tempat”. Trans nasionalisasi atau globalisasi memungkinkan manusia membuat tindakan simultan dalam berbagai tempat yang berbeda sekaligus. “global” di sini berarti “trans-lokal”. Globalisasi bukanlah sesuatu yang mengembangkan apa saja dengan dalih keuniversalan, melainkan diberi makna yang baru. Inilah yang kemudian muncul istilah dari Roland Roberston: globalisasi. Apa yang lokal bukannya tidak penting, justru mendapat arti yang baru dalam hubungan masyarakat.

Sementara Merry M Merry Field dalam Nurani Soyomukti mengatakan bahwa keterampilan pedagogis dalam perspektif global adalah “the practice of teaching and learning globally oriented contens in ways that support diversity and social juctice in interconnected world”. Keterampilan pedagogis tentunya menyangkut metode mengajar yang tepat oleh guru agar peserta didik dapat

34

(35)

memahami suatu masalah dalam konteks yang luas dan komprehensif (global). Selain menguasai materi dan konsepsi permasalahan, guru harus memiliki kemampuan agar apa yang disampaikan mudah diterima. Serta muncul motivasi bagi peserta didik untuk mempelajari dan mendalami tema-tema yang ada di luar kelas.35 Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat dikatakan setiap pendidik perlu untuk menanamkan pendidikan multikulturalisme kepada siswanya. Hal ini didasari oleh kepentingan sosial kultur masyarakat Indonesia yang beragam selain itu. Budaya kekerasan dalam pelajar dewasa ini perlu ditekan bahkan dihilangkan.

Berdasarkan artikel bcerita satu.com. Mukhlis Paeni, menegaskan tentang pendidikan Multikultural, beliau mengatakan bahwa pendidikan multikultural tidak hanya mengangkat budaya toleransi dan saling menghargai saja, tetapi pendidikan multikultural perlu menjungjung tinggi juga keadilan sesama manusia, seperti kutipan berikut. “Engkau dan aku berbeda itu sudah selesai dan tak perlu dipersoalkan, yang belum selesai itu bagaimana yang tak serupa itu mempunyai hak dan ruang yang sama dan harkat yang sama, itu multikultural”36

Namun setiap periode atau abad. Pendidikan multikultural selalu mengalami pasang surut. Kadang tidak ditanamkan, atau bahkan tidak di-didik-kan kepada siswa sehingga masalah konflik, tauran ancaman sosial, kekerasan. Mungkin merupakan masalah yang tidak pernah selesai yang terjadi pada masyarakat heterogen yang majemuk. Hal ini senada dengan yang diutarakan oleh Will Kymlica “tantangan multikulturalisme akan tetap ada, saat kepentingan minoritas belum bisa terjawab dan secara alamiah akan terus tetap ada. Minoritas, perlu diperhatikan dan dipikirkan pendekatan yang matang untuk membuat kebijakan apa demi saling “penerimaan” dan saling menghargai sesuatu yang berbeda.”37

35

Ibid.

36

Bcerita Satu, Tradisi Lisan di Indonesia Menuju Kepunahan, 2013,

(http://m.bceritasatu.com./nasional/9506-tradisi-lisan-di-Indonesia-menuju-kepunahan.html).

37

(36)

Dari berbagai teori dan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa multikultural memiliki dua pengertian yakni suatu faham, dan suatu pendekatan, terdapat 5 jenis multikultural yaitu isalasionis, akomodatif, mandiri, kritis atau interaktif, dan kosmopolitan. Indonesia sebagai masyarakat yang berlatar majemuk merupakan penduduk yang sudah mengenal multikultural secara implisit sejak zaman dahulu, sekitar abad ke 17. Ketika masyarakat Indonesia sudah mengenal budaya agrarian dan budaya berlayar. Pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang perlu diajarkan kepada siswa siswi di Indonesia. untuk menanamkan budaya toleran dan meredam kekerasan serta konflik yang rentan terjadi.

6. Kurikulum 2013 di Indonesia

Orientasi pengembangan kurikulum 2013, yaitu tercapainya kompetensi yang berimbang antara sikap, keterampilan, dan pengetahuan, dan menggunakan pembelajaran yang holistik dan menyenangkan38. Kurikulum 2013 disiapkan untuk mencetak generasi yang siap di dalam mengahadapi masa depan. Karena itu kurikulum disusun untuk mengantisipasi perkembangan masa depan. Kurikulum ini bertujuan untuk mendorong peserta didik atau siswa mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar dan mengkomunikasikan (mempresentasikan), apa yang mereka peroleh atau mereka ketahui setelah menerima materi pembelajaran. Adapun objek yang menjadi pembelajaran dalam kurikulum 2013 menekankan pada fenomena alam, sosial, seni, dan budaya. Melalui pendekatan itu diharapkan siswa memiliki kompetensi sikap keterampilan dan pengetahuan yang jauh lebih baik. Pelaksanaan penyusunan kurikulum 2013 yaitu melanjutkan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi dengan mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu,

38

(37)

sebagaimana amanat UU 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada penjelasan pasal 35.39

7. Pendidikan Multikultural dalam Kurikulum 2013

Menteri Pendidikan M. Nuh, mengatakan bahwa “kurikulum 2013 diupayakan untuk menonjolkan pendidikan kurikulum melalui sumber buku-buku ajar/ buku teks”.40 Penanaman pendidikan multikultural melalui kurikulum 2013 merupakan langkah yang diambil pemerintah untuk mentransformasi pendidikan nasional. Langkah tersebut diambil dengan harapan dapat membentuk generasi Indonesia yang kreatif, inovatif dan berkarakter. Penanaman pendidikan multikultural akan tercermin dalam berbagai buku teks yang digunakan untuk mendukung proses pembelajaran. Buku teks tersebut mengunakan nama-nama tokoh dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda.

Hadirnya berbagai tokoh dengan latar belakang yang bervariasi diharapkan dapat mencerminkan keragaman agama dan etnis yang ada di Indonesia. Selain itu, diharapkan pula nantinya generasi muda Indonesia akan terbiasa hidup dalam keragaman, yang dibangun sejak dini di bangku sekolah. Selain memperkuat aspek kesadaran terkait pengetahuan multikultural melalui sisipan tokoh-tokoh tersebut, budi pekerti juga akan di sisipkan pada pelajaran pendidikan agama. Hal ini ditujukan untuk membentuk siswa yang tidak hanya terbiasa hidup dengan keragaman tetapi juga memegang prinsip toleransi dalam kehidupan

39

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, Kurikulum 2013, 2013 (http//kurikulum2013.kemendikbud.go.id.).

40

(38)

bersama.41Berikut adalah gambar silabus kurikulum 2013 yang menggunakan prinsip budaya saling toleransi atau pendidikan mutikultural.

Kelas/Semester :XI SMA/Ganjil

KI 1: Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.

KI 2: Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.42

8. Media Cerita Rakyat sebagai Perwujudan dari Pendidikan Multikultural

Cerita Rakyat yang dipilih dalam penelitian ini adalah cerita rakyat yang mengandung budaya pendidikan multikulturalisme dan toleransi, cerita rakyat yang dipilih adalah cerita rakyat dari daerah Riau yaitu cerita Burung Puyuh dan Burung Tempua. Cerita tersebut berisi persahabatan kedua burung yang berasal dari habitat yang berbeda. Burung puyuh tinggal di tepi sungai, sedangkan burung tempua tinggal di sarangnya yang mengantung.Suatu hari mereka ingin mencoba masing-masing habitat. Namun ternyata sesuatu yang berbeda itu tidak bisa dipaksakan cara hidupnya juga habitatnya. Meskipun meraka berbeda, tapi mereka tetap bersahabat dan terbang secara beriringan di angkasa. Dalam penelitian ini cerita rakyat difokuskan hanya pada persahabatan burung puyuh dan burung tempua yang isinya menekankan nilai nilai luhur saling toleransi dan saling menghargai atau saling bersahabat. Cerita tersebut dalam penelitian berfungsi sebagai media pendidikan, atau sebagai perlakuan dalam penelitian. Media cerita rakyat Burung Puyuh dan Burung Tempua tersebut digunakan sebagai sarana pendidikan multikultural pada siswa. Media cerita rakyat tersebut berfungsi untuk

41

Guraru, Multikultural di Kurikulum 2013 Keragaman dan Toleransi, 2014, (http://guraru.org/info/multikultural-di-kurikulum-2013/.).

42

(39)

menambah pemahaman siswa tentang arti pentingnya sebuah persahabatan, dan saling menghargai sesuatu yang berbeda atau keragaman.

9. Cerita Rakyat yang Dipilih dan Sinopsis Cerita

Cerita rakyat yang dipilih penulis adalah cerita rakyat yang di dalamnya mengandung nilai-nilai multikulturalisme, cerita rakyat tersebut adalah cerita rakyat yang berjudul Burung Puyuh dan Burung Tempua, cerita tersebut diperoleh dari website resmi daerah Riau,43 peneliti menceritakan kembali dongeng tersebut. Adapun sinopsis cerita adalah sebagai berikut:

Pada suatu hari di suatu hutan yang sejuk, hiduplah sepasang burung yang selalu bersahabat. Ada yang menarik dari kedua burung yang bersahabat tersebut.Ternyata kedua burung tersebut, berbedajenis dan rupa. Satu burung berbentuk gemuk dan selalu senang tinggal di pinggir sungai, burung tersebut biasa dipanggil dengan burung puyuh. Kemudian burung yang satu lagi burung yang agak kurus senang tinggal di atas pohon, burung tersebut bernama burung tempua.

Mereka berdua bersahabat dan terbang beriringan pada siang hari. Namun ketika sudah malam, mereka berpisah pada habitat masing-masing. Walaupun mereka berbeda spesies dan berbeda habitat. Mereka selalu terbang beriringan, saling menolong, saling bersahabat dan saling membantu satu sama lain. Mungkin hanya malam yang memisahkan persahabatan kedua burung tersebut.

Namun pada suatu hari mereka ingin mencoba masing masing sarang habitat kawannya. Maka ketika mereka mencoba sarang burung kawannya, tak menyangka bahwa mereka merasa tidak nyaman dan berada di habitat yang sangat berbeda dari habitat kebiasannya.

Awalnya mereka enggan mengakui karena takut melukai perasaan sahabatnya, namun pada akhirnya ketika malam tiba, mereka semua berkata jujur,

43

Driau, Burung Puyuh dan Burung Tempua, 2014,

(40)

bahwa burung puyuh tidak nyaman tinggal di tempat burung tempua dan burung tempua tidak nyaman tinggal di tempat burung puyuh. Akhirnya mereka sadar bahwa jenis dan tempat tinggal mereka berasal dari hal yang berbeda. Namun mereka bingung, apakah mereka masih bisa berteman sama seperti kemarin. Dan akhirnya merekapun memutuskan untuk tetap berteman dan memahami bahwa perbedaan itu adalah hanya sebagai waktu dimalam hari saja.

Mereka akhirnya memahami bahwa setiap makhluk mempunyai kesukaan dan kebiasaan yang tidak bisa dipaksakan. Walaupun berbeda begitu, mereka saling menghargai perbedaan dan pendapat itu sebagai hal yang wajar. Keduanya juga tetap bersahabat.

Cerita rakyat tersebut telah dibukukan dan ditulis kembali oleh Irwan Effendi dalam buku cerita yang berjudul Burung Puyuh dan Burung Tempua, Penerbit AdiCita Karya Nusa, Jogjakarta tahun 2006. Cerita rakyat tersebut juga ada dalam website resmi daerah Riau, dan website resmi cerita rakyat nusantara di Indonesia.

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Skripsi Pendidikan Multikultural pernah ditulis oleh Indriyani Ma‟rifah jurusan Pendidikan Agama Islam, UIN Sunan Kalijaga tahun 2009 dengan judul skripsi Signifikansi Pendidikan Multikultural dalam Novel Dan Damai di Bumi! Karya Karl May Terhadap Pendidikan Agama Islam, penelitian tersebut berisi tentang tanda-tanda pendidikan multikultural yang tercermin di dalam novel Dan Damai di Bumi!. Kemudian penelitian pendidikan multikultural pernah ditulis oleh kelompok peneliti yang diketuai oleh Akhmad Taufik, S.S., M.Pd. PBSI FKIP Universitas Jember tahun 2012 dengan judul penelitian Model Pembelajaran Sastra Multikultural: Studi Terhadap Fenomena Pembelajaran Sastra Multikultural Berbasis Nilai-nilai Kebangsaan di SD RSBI Jember Lor 03.

(41)

Kalijaga Jogjakarta tahun 2009, skripsi tersebut berjudul Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Menerapkan Pendidikan Multikultural. Skripsi tersebut berisi tentang peran serta guru di sekola dalam mendidik siswa untuk menerima pendidikan multikultural. Melalui serangkaian penelitian tersebut. Belum ada yang menulis penelitian mengenai keefektifan media cerita rakyat terhadap pendidikan multikultural: studi eksperimen terhadap siswa kelas XI IPS SMA Negeri 7 Kota Tangerang. Untuk itu penulis melanjutkan proses selanjutnya untuk menulis skripsi ini.

C.Kerangka Berpikir

Secara sederhana peneliti memiliki kerangka berpikir bahwa jika terdapat media cerita rakyat, maka siswa akan mudah memahami pendidikan multikultural, atau jika media cerita rakyat semakin sering digunakan dalam proses pembelajaran, maka siswa akan semakin mendapat pemahaman tentang pendidikan multikultural. Berdasarkan teori bahwa pendidikan multikultural adalah suatu pendidikan yang berorientasikan pada keragaman budaya, sehingga konsep pendidikan multikultural ada dan tersirat di dalam silabus Bahasa Indonesia Kurikulum 2013, dengan kompetensi inti dua yang berisi

“menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai),santun, responsif dan pro-aktifdan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.”44

Dari Kompetensi inti nomer dua tersebut dapat diuraikan hal yang menjadi indikator penelitian adalah menghayati prilaku peduli, mengamalkan prilaku peduli, menghayati prilaku gotong royong, mengamalkan prilaku gotong royong, menghayati prilaku kerja sama, mengamalkan prilaku toleran, menghayati prilaku damai, mengamalkan prilaku damai, responsif, santun, berinteraksi dengan lingkungan sosial, menempatkan diri sebagai cerminan bangsa (bhinneka tunggal ika).

44

(42)

Maka penyusunan instrumen penilaian berpatokan langsung pada poin di atas. Adapun bentuk instrumen dilakukan berupa soal pilihan ganda kuesioner 16 soal yang telah melalui tahap uji validitas. butir jawaban berbobot satu sampai lima. Adapun langkah-langkah penelitian di lapangan adalah sebagai berikut,

1. mengobservasi sekolah, peneliti memohon izin penelitian kapada pihak sekolah, lalu peneliti meminta kelas XI IIS (Ilmu Ilmu Sosial) untuk dijadikan penelitian eksperimen di lapangan;

2. membuat rancangan penelitian, langkah awal yang dilakukan peneliti adalah melakukan uji validasi terhadap soal pretes dan postes, peneliti mengetes instrumen dengan menggunakan kelas XI IIS 2, setelah instrument reliable, maka peneliti melakukan kegiatan penelitian pada kelas XI IIS 3, siswa mengisi soal pretes, peneliti mendongeng di kelas, dan memberi pemahaman pendidikan multikultural, setelah itu peneliti melakukan postes kepasa siswa;

3. adapun untuk melakukan penelitian ini peneliti menggunakan alat-alat untuk penelitian, alat alat penelitian peneliti adalah sebagai berikut, pertama, instrumen pretes berjumlah 16 soal dengan bobot soal 1-5, instrumen postes berjumlah 16 soal dengan bobot soal 1-5, cerita Rakyat Burung Puyuh dan Burung Tempua, materi pemahaman pendidikan multikultural, laptop, dan LCD.

D. Hipotesis Penelitian

(43)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A.

Tempat dan Waktu Penelitian

Pada pembahasan bab tiga, penulis membahas rancangan metode dan teknik dalam melakukan penelitian. Adapun dalam bab ini berisi subbab waktu dan tempat penelitian, metode penelitian, teknik penelitian, desain penelitian, sampel dan populasi, dan rumusan hipotesis. Tiap subbab merupakan uraian proses berdasarkan pengamatan, pengklasifikasian, dan mengidentifikasi obyek penelitian.

1. Tempat

Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 7 Kota Tangerang yang beralamat di jalan Perintis Kemerdekaan I no. 2, Babakan, Kota Tangerang, Banten. Adapun peneliti memilih kelas sebelas IIS (Ilmu-Ilmu Sosial) secara acak dari 4 kelas, kaelas yang terpilih adalah kelas XI IIS 3.

2. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan dimulai dari hari Senin, 4 Agustus 2014 (observasi), hingga Kamis, 12 Agustus 2014, waktu penelitian kelas adalah pukul 13.00 WIB, hingga pukul 14.30 WIB.

B. Metode dan Desain Penelitian

Metode penelitian ini berisi langkah dan cara penulis melakukan penelitian.Penentuan metodologi penelitian ini sering pula disebut dengan strategi pemecahan masalah karena pada tahap ini mempersoalkan bagaimana masalah-masalah penelitian tersebut hendak dipecahkan atau ditemukan jawabannya.45 Pertama, penulis membutuhkan segala bentuk teori dan informasi berdasarkan media cetak dan media elektronik, selain itu peneliti membutuhkan data-data lain seperti jumlah siswa, data-data lain yang mendukung seperti, latar belakang

45

(44)

budaya siswa, data sekolah, meliputi visi dan misi sekolah, dan profil sekolah. Penelitian ini dilakukan dengan mengisi kuesioner dengan bobot jawaban skor 1 hingga 5. Instrument atau isi kuesioner yang diisi siswa menyangkut silabus semester ganjil dan genap dan memiliki syarat kompetensi dasar siswa yakni sikap multikulturalisme, meliputi, toleransi, peduli terhadap sesama, gotong royong, dan respek. Bentuk soal kuesioner pretes sebagai data kontrol, atau data awal siswa sebelum diberi media cerita rakyat, namun data postes kuesioner siswa sebagai data eksperimen, karena data tersebut sebagai hasil akhir dari proses penghayatan siswa terhadap cerita rakyat. Baik instrument kuesioner pretes maupun instrument postes, tes tersebut berisi tentang silabus yang mengandung pendidikan

multikultural. Penelitian ini menuntut uji statistik dengan observasi dan pengujian rumus. Oleh karena itu, penulis menentukan karya tulis ini menggunakan metode kuantitatif.

1. Metode Kuantitatif

Penelitian kuantitatif adalah penelitian ilmiah yang sistematisterhadap bagian-bagian dan fenomena serta hubungan-hubungannya. Tujuan penelitian kuantitatif adalah mengembangkan dan menggunakan model-model matematis, teori-teori dan hipotesis. Proses pengukuran adalah bagian yang sentraldalam penelitian ini karena hal ini memberikan hubungan yang fundamentalantara pengamatan empiris dan ekspresi matematis dan hubungan hubungan kuantitatif, dan penelitian ini membutuhkan upaya statistik.

2. Desain Eksperimen

Mohammad Ali mengatakan bahwa “desain eksperimen adalah riset yang dilaksanakan melalui eksperimentasi atau percobaan.”46 Yatim dalam Muhadi mengatakan bahwa “penelitian eksperimen merupakan penelitian yang sistematis,

46

(45)

logis dan teliti dalam melakukan control terhadap kondisi.”47 Hal ini senada yang dikatakan oleh Daenil Muijs “The basisof the experimental method is the experiment, which can be defined as: a test under controlled conditions that is made to demonstrate a known truth or examine the validity of a hypothesis.”48 Metode eksperimen adalah eksperimen, yang dapat didefinisikan sebagai: tes dalam kondisi yang terkendali yang dibuat untuk menunjukkan suatu kebenaran diketahui atau menguji validitas hipotesis.

Riset digunakan untuk menguji pengaruh suatu perlakuan terhadap suatu bentuk prilaku tertentu pada subjek riset. Mohammad Ali mengatakan bahwa riset seperti ini merupakan kegiatan percobaan untuk meneliti suatu peristiwa yang muncul diamati serta dikontrol secermat mungkin sehingga dapat diketahui hubungan sebab akibat kemunculannya.49

Peneliti menggunakan analisis regresi atau pola hubungan antara dua peubah, khususnya peubah yang mengandung hubungan sebab akibat. Peneliti menggunakan analisis korelasi yaitu mencoba menyelidiki adanya hubungan dua peubah, mengukur tingginya derajat hubungan tersebut melalui sebuah bilangan yang disebut dengan koefisien korelasi (r).50 Penelitian ini meneliti tentang hubungan atau korelasi, dan jenis data terdiri dari data rasio, untuk itu peneliti menggunakan metode uji korelasi Pearson Product Moment. Agar dapat diketahui keputusannya apakah antara media cerita rakyat dengan pendidikan multikultural berkolerasi linear atau tidak. Jika keputusan atau hasil akhir dari koefisien kolerasi kedua variabel tersebut (r)= 1 atau (r)=-1, maka dapat diketahui hubungan tersebut bersifat linear atau terdapat hubungan yang signifikan antara media cerita rakyat dengan pendidikan multkultural. Jika keputusan dari korelasi mendekati angka satu, misal nilai (r) mencapai nilai 0.9, 0.8,..sampai 0,6, itu berarti terdapat hubungan yang signifikan antara media cerita rakyat dengan pendidikan

47

Muhadi, Penelitian Tindakan Kelas: Panduan Wajib bagi Para Pendidik, (Jogjakarta: Shira Media, 2011) , h. 27.

48

Daniel Muijs, Doing Quantitative Research in Education with SPSS, (Caliifornia:Sage Publications), 2004, h. 13.

49

Mohammad Ali, op. cit., h. 94.

50

(46)

multikultural. Sedangkan jika nilai koefisien antara kedua variabel tersebut di bawah 0,6 hingga 0,0, dapat diketahui hubungan antara cerita rakyat dengan pendidikan multikultural tidak linear atau menyebar. Maka dapat diambil keputusan tidak terdapat hubungan antara cerita rakyat dengan pendidikan multikultural.

Metoda statistika yang akan digunakan untuk menguji hipotesis adalah korelasi product moment yang tergolong dalam statistika parametrik.51 Oleh karena itu peneliti melakukan empat langkah pengujian. Pertama pengujian normalitas kedua sampel. Kedua pengujian linearitas. Ketiga perhitungan koefisien korelasi. Keempat pengujian hipotesis korelasi dan penarikan kesimpulan.

3. Desain Kelompok Tunggal dengan Pretes dan Postes

Desain ini biasanya digunakan dalam penelitian yang pelaksanaannya dilakukan de

Gambar

tabel, r tabel dicari pada signifikansi 0,05 dengan uji 2 sisi dan jumlah data (n) =
tabel, r tabel dicari pada signifikansi 0,05 dengan uji 2 sisi dan jumlah data (n) =
tabel data yang didapat dari hasil pretes dan postes siswa.
Tabel Statistika pretes (X) dan postes (Y) kuesioner siswa kelas XI IIS 3 SMA N
+2

Referensi

Dokumen terkait

Tingkat kerusakan pada tipologi belukar muda ter- golong tinggi diduga karena kerusakan yang diakibat- kan oleh ilegal logging sehingga jumlah individu dari jenis klimaks

Pengertian lain dari globalisasi seperti yang dikatakan oleh Barker (2004) adalah bahwa globalisasi merupakan koneksi global ekonomi, sosial, budaya dan

Tahapan ini bertujuan untuk melakukan implementasi dan evaluasi terhadap game yang akan fokus menganalisis apakah emosi dapat menggantikan user game input yang tradisional seperti

Adab/Etika dan prinsip-prinsip permakultur inilah yang akan menjadi basis dari implementasi aktivitas Anoa Farm dalam mengembangkan Taman Hutan Pangan yang akan menjadi

Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data tentang strategi pemasaran Mobile Banking BTN yang dilakukan oleh pihak Bank BTN KC Bandung dan

Hasil sidik ragam berat kering akar tanaman sorgum menunjukkan bahwa faktor kompos dan interaksi perlakuan kompos dengan pupuk P berpengaruh tidak nyata terhadap

Tahapan pemetaan tutupan lahan Potensi simpanan karbon bawah tegakan dapat diperoleh dari beberapa data penyusun simpanan karbon gambut, diantaranya data luas lahan

Kesengajaan untuk mencapai tujuan, si pelaku bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku