PROSES EKSTRUSI DAN PENGGORENGAN
PATRICIA RUTHYANTI THOMAS
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Pengembangan Produk
Makanan Ringan dengan Proses Ekstrusi dan Penggorengan adalah karya saya
sendiri di bawah bimbingan Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.S., dan Dr. Ir. Slamet
Budijanto M Agr, dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.
Bogor, Juni 2007
ABSTRACT
PATRICIA R THOMAS. Development of Snack with Extrusion and Frying
Process Under supervising of NURI ANDARWULAN and SLAMET BUDIJANTO
A typical Indonesian meal is based on rice cooked alone or prepared with
sambal
, a hot chili condiment ; it is served with
krupuk
(crackers made of flour ,
vegetables and meat , shrimp or spices) .Some local dishes such as
Soto
and
Oxtail Soup
are topped with fried shallot and crackers (something crispy and
crunchy). The purpose of this experiment is to develop crackers which can be
function as snacks alone or as seasoned fried toppings for eating with rice or
other basic meal. In soupy dish, this toppings can turned to a synthetic meat
which has a plastic or elastic and full body mouth feel.
Available equipment in the company which has high technical possibility
to produce this snacks are several extruders in the rice noodle (
bihun
) line and
snack extruder (third generation snacks or pellets). The best process design is
needed to produce a crispy snacks by using one prototype formula consists of
ground catfish (
Clarias batrachus
L
) meat and tofu (function as protein source),
cassava flour (
gaplek
).
The best prototype from laboratory scale formulation process has protein
content 14 %, tasty and enough saltiness level and crispy texture. Raw material
cost estimation per kg product dough cost from Rp.5.895,- to Rp.6.765,-. The
combined process of rice noodle extruder with meat processor or meat chopper
extruder, produced the best crispiness product after frying process with
production capacity 500 kg/hour.
The study of comparing the effect of dough temperature prior to extrusion
process and the impact of meat processors or meat chopper extruder (MCE) in
producing a crispy product was made by using the same frying condition 150° C
~ 3 minutes in a continuous noodle fryer. Proof on the crispiest texture is based
on texture analysis on crispiness level. The higher the value of kgf for a product,
the crispier the texture is. Duncan statistical calculation differentiates the process
flow into 7 crispiness groups. The highest value of kgf is 93.2 and the lowest
value is 24.49. Minimum value which considered as crispy is 50-55 kgf. Extrusion
process begins with maximum 30 °C dough through strap extruder (
bihun
Line)
then followed by MCE produced the crispiest texture. Cool dough (maximum 30
°C) significantly produced crispier texture than hot dough (60-90 °C). Based on
Contrast Orthogonal Test, process followed with MCE and without MCE is
significantly different at significance level <0.0001<0.05. Product texture made of
extrusion process followed with MCE is perceived as significantly crispier if
compared to that of extrusion process without MCE.
PENGEMBANGAN PRODUK MAKANAN RINGAN DENGAN
PROSES EKSTRUSI DAN PENGGORENGAN
PATRICIA RUTHYANTI THOMAS
Tugas Akhir
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesi Teknologi Pangan pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul Tugas Akhir
: Pengembangan Produk Makanan Ringan dengan
Proses Ekstrusi dan Penggorengan
Nama Mahasiswa
: Patricia Ruthyanti Thomas
NIM
: F 242040085
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.S Dr. Ir. Slamet Budijanto, M Agr
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Magister Dekan Sekolah Pascasarjana
Profesi Teknologi Pangan
Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 11 Mei 2007
PRAKATA
Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya (Pengkhotbah 3:11).
Segala Puji dan syukur bagi Tuhan atas segala karunia-Nya sehingga karya
ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian tentang pembuatan makanan ringan ini
dilakukan selama bulan Oktober 2005 sampai dengan April 2006 dengan judul
Pengembangan Produk Makanan Ringan dengan Proses Ekstrusi dan
Penggorengan.
Tanpa dukungan dan bantuan dari Ibu Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MS dan
Bapak Dr. Ir. Slamet Budijanto, MAgr selaku dosen pembimbing dan Ibu Ning
Rahayu selaku Pimpinan Perusahaan tempat Penulis bekerja, maka penelitian ini
tidak akan dapat terselesaikan. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak,
Ibu Dosen Pembimbing dan Ibu Pimpinan Perusahaan, yang telah banyak
memberi saran dan keleluasaan dalam melaksanakan penelitian ini, demikian
pula bagi rekan-rekan kerja, yang telah memberikan dukungan dan bantuan
selama masa studi program magister profesi ini. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada keluargaku tercinta Priautama L Tobing, Priyanka, Patrick,
Peniel, Ayahanda Pieter Thomas dan F.L. Tobing serta seluruh keluarga tercinta
atas segala doa, pengertian, dorongan dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2007
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 31 Januari 1962 sebagai anak
ketiga dari pasangan Pieter Thomas dan Ruth Maria Gosal (Alm).
Tahun 1981 penulis lulus dari SMA Negeri IV Jakarta dan lulus seleksi
masuk Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1982 Penulis memilih Fakultas
Teknologi Pertanian, Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, lulus dari Fakultas ini
pada tahun 1984.
Setelah lulus, Penulis bekerja pada perusahaan industri pangan produk
biskuit selama 1 tahun, pada perusahaan produsen makanan ringan selama 11
tahun, pada perusahaan produsen bumbu dan salad
dressing
selama 5 tahun
dan pada perusahaan produsen
flavor
multinasional selama 5 tahun. Saat ini
Penulis bekerja sebagai staf konsultan bagi Industri Produk Pangan di PT.
Cahaya Citra Cemerlang, Jakarta serta aktif dalam organisasi Pusat Informasi
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL...
ix
DAFTAR GAMBAR...
x
DAFTAR LAMPIRAN...
xi
PENDAHULUAN ...
1
Latar Belakang...
1
Tujuan...
3
Manfaat ...
3
TINJAUAN PUSTAKA...
4
Makanan Ringan...
4
Teknologi Ekstrusi...
5
Makanan Ringan Generasi Kedua dan Ketiga...
7
Teknologi Ekstrusi pada Proses Produksi Bihun...
9
Gelatinisasi dan Retrogradasi Pati...
10
Tekstur Pangan dan Kerenyahan...
12
Proses Penggorengan...
12
BAHAN DAN METODE...
16
Bahan dan Alat...
16
Metode Penelitian...
17
Pengamatan...
21
Analisis Data...
26
HASIL DAN PEMBAHASAN...
27
Formulasi Produk Makanan Ringan...
27
Aplikasi Formulasi Terpilih Pada Ekstruder Skala
Komersial...
28
Optimasi Rangkaian Proses Produksi Makanan Ringan
Dengan Produksi Bihun...
30
Analisis Proksimat dan Tekstur...
34
SIMPULAN DAN SARAN...
36
Simpulan...
36
Saran...
36
DAFTAR PUSTAKA...
38
DAFTAR TABEL
Halaman
1.
Data operasi bermacam-macam ekstruder ...
6
2. Kandungan rata-rata amilosa dan amilopektin dari beberapa
jenis pati...
8
3. Spesifikasi ekstruder strap dan ekstruder
vermicelli
pada
rangkaian proses produksi bihun...
9
4. Parameter proses produksi bihun yang dirangkai dengan
Meat
Chopper Extruder
dan penggorengan kontinu ...
20
5. Parameter penentu 3 jenis formula yang diproses dengan alat
Meat Chopper Extruder
skala laboratorium...
27
6. Parameter penentu hasil aplikasi formulasi pada 3 jenis
ekstruder...
30
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
Interaksi elemen kunci pada proses pengembangan produk
baru...
1
2. Bagan bagian dalam tabung ekstruder ulir tunggal untuk
produksi makanan ringan generasi ketiga...
8
3. Perubahan pada butir pati selama pemanasan dan
pendinginan dalam air...
11
4. Tahapan penelitian pengembangan makanan ringan dengan
proses ekstrusi dan proses penggorengan...
17
5. Sepuluh jenis jalur proses produksi pada tahap optimasi
rangkaian proses produksi makanan ringan dengan proses
pengolahan bihun...
19
6. Grafik hasil pengukuran kekerasan tekstur dengan
Instron
Texture Analyzer.
...
22
7. Histogram nilai kerenyahan makanan ringan dengan
Instron
Texture Analyzer
...
32
8. Grafik hubungan antara analisa kerenyahan subjektif dengan
kerenyahan objektif ………
33
9. Urutan proses II AC yang memberikan kerenyahan tekstur
paling baik ...
33
10. Uji ketahanan kerenyahan tekstur makanan ringan yang
ditabur pada mi instan berkuah...
35
11. Foto makanan ringan taburan dengan bentuk yang tidak
beraturan dan taburan pada an kerenyahan tekstur makanan
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
Kuesioner uji ranking kerenyahan tekstur...
40
2. Hasil pengukuran tekstur dengan
Instron
Texture Analyzer
...
41
3. Analisa deskriptif suhu adonan dan urutan proses...
46
4. Asumsi data untuk analisis varian (ANOVA) ...
47
5. Hasil analisis ragam dengan menggunakan uji lanjut Duncan
(uji perbandingan berpasangan) dan contrast orthogonal...
48
6. Hasil uji lanjut Duncan untuk pengaruh faktor suhu adonan...
50
7. Uji kontras ortogonal untuk perlakuan suhu adonan dan
pengaruh pemakaian MCE pada kerenyahan tekstur...
52
8. Uji lanjut Duncan untuk pengaruh Interaksi suhu adonan dan
urutan proses ...
53
9. Hasil uji lanjut Duncan untuk pengaruh faktor interaksi, yaitu
kombinasi antara suhu adonan dan urutan proses (interaksi
keduanya)...
54
10. Uji ketahanan kerenyahan tekstur makanan ringan yang
ditabur pada mi instan berkuah ...
55
11. Peralatan ekstruder bihun dan ekstruder makanan
ringan...
Latar Belakang
Secara garis besar, tahap proses pengembangan produk baru dimulai dengan penentuan konsep produk yang selanjutnya menjadi dasar untuk pengembangan produk dan proses untuk menghasilkan produk pangan tersebut. Mutu atribut prototip produk pangan ditetapkan berdasarkan hasil pengujian kimia, fisik, sensori maupun mikrobiologi. Uji lainnya untuk mengetahui tingkat penerimaan konsumen terhadap prototip produk sebelum tahap peluncuran produk adalah uji konsumen. Hasil uji konsumen akan digunakan sebagai dasar untuk mengoptimalkan mutu prototip produk agar lebih sesuai dengan harapan target konsumen. Pyne (2000) di dalam Brody dan Lord (2000) membagi elemen kunci pengembangan produk baru menjadi 1) Pengembangan produk baru, 2) Evaluasi subjektif/objektif, 3) Pengembangan proses, dan 4) Evaluasi Konsumen (Gambar 1).
Pengembangan Produk Baru
Pengembangan Proses
Evaluasi subjektif / objektif
Evaluasi Konsumen Kreatifitas
Input pemasaran
Pemunculan ide
Teknologi Sains
Input Pemasaran
Teknologi
Sains
Enginering
Uji Produk
Informasi balik
Informasi balik Prototip
Skala Lab.
Produk
Divisi pemasaran adalah bagian yang memberikan masukkan mengenai hal-hal yang mendukung perlunya suatu produk baru untuk dikembangkan,
misalnya kebiasaan makan konsumen Indonesia, jenis-jenis produk makanan utama yang disukai serta pangsa pasar yang masih tersedia dan lain-lain.
Kerupuk (crackers) merupakan jenis makanan pendamping makanan utama bagi masyarakat di Indonesia. Selain itu kerupuk juga dikonsumsi sebagai makanan ringan atau camilan. Teksturnya yang renyah dan garing memberikan sensasi suara sehingga jika dikombinasikan dengan rasa gurih dapat memberikan kenikmatan tersendiri. Pada beberapa jenis masakan khas yang kering (seperti mi goreng dan nasi goreng ) dan makanan berkuah (seperti soto dan sup), biasanya ditaburi dengan topping berupa bawang goreng dan kerupuk yang renyah. Jika kerupuk sudah terendam air, tekstur kerupuk menyerap air sampai menjadi terlalu lembek dan tidak terasa pada saat dimakan. Input riset pemasaran mengusulkan agar taburan pada makanan berkuah memiliki karakteristik renyah dan tetap mempunyai tekstur berbobot walaupun taburan tersebut telah terendam dalam kuah makanan setelah beberapa waktu tertentu.
Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional 2003 (Susenas) yang disitir oleh Bank Indonesia (2007) penduduk wilayah perkotaan (urban) lebih banyak mengkonsumsi kerupuk dibanding penduduk wilayah pedesaan (rural). Konsumsi dan pengeluaran rata-rata per kapita untuk kerupuk pada perkotaan adalah 0.193 ons dengan nilai Rp.154, sedangkan pada wilayah pedesaan adalah 0.147 ons dengan nilai Rp.99. Semakin tinggi pendapatan yang dimiliki seseorang, semakin besar jumlah konsumsi krupuk per bulannya. Dari beberapa jenis kerupuk yang ada di Indonesia, kerupuk ikan dan kerupuk udang mengandung protein yang berkisar antara 2-5%.
Screw Extruder. Bila proses ekstrusi diikuti dengan proses penggorengan dapat memberikan nilai tambah dari segi kerenyahan tekstur dan kegurihan rasa.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengembangkan makanan ringan yang dapat dimakan sendiri sebagai camilan maupun digunakan sebagai teman makan nasi atau taburan pada lauk-pauk berkuah. 2) mengembangkan makanan ringan dengan bahan baku yang mudah didapatkan di Indonesia dengan syarat makanan ringan mengandungprotein lebih dari 10% dan 3) mengembangkan formulasi makanan ringan dengan memanfaatkan peralatan atau proses teknologi yang terdapat pada perusahaan.
Manfaat
Melalui penelitian ini perusahaan dapat mengidentifikasi dan menentukan rangkaian proses yang paling optimal untuk memproduksi makanan ringan dengan formula dan mutu yang diinginkan. Dari peralatan yang telah tersedia pada perusahaan yang terdiri dari ekstruder makanan ringan generasi ketiga, ekstruder vermicelli dan ekstruder strap pada peralatan produksi bihun dan alat
Makanan ringan
Makanan ringan merupakan terjemahan langsung dari snack foods, yang berarti pangan yang dikonsumsi di antara waktu makan biasa yang terdiri dari makan pagi atau sarapan, makan siang dan makan malam. Makanan yang dikonsumsi di antara waktu makan biasa tersebut bersifat ringan dan tidak mengenyangkan (Lusas, 2001). Secara tradisional, Indonesia sudah memiliki jenis makanan ringan yang terdiri atas kue basah dan kue kering; keduanya terbagi atas rasa manis dan asin. Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (2006) membagi kategori pangan dan memasukkan istilah ini ke dalam Kategori Pangan 15.0-Makanan ringan siap santap. Makanan ringan siap santap ini termasuk semua jenis makanan ringan asin, gurih atau savory dan rasa lainnya, sering juga disebut sebagai camilan.
Jenis makanan ringan simulasi adalah makanan ringan yang terbuat dari tepung pati-patian (serealia, umbi-umbian) dengan pencampuran bahan lain, dibentuk atau dipotong, dijemur atau dikeringkan atau langsung digoreng atau dipanggang. Produk ini tidak termasuk keripik kentang, keripik singkong atau keripik umbi-umbian lainnya. Camilan lainnya terbuat dari umbi-umbian yang digoreng langsung ataupun dipanggang. Selain rasa yang gurih, Lusas (2001) memaparkan sifat makanan ringan yang modern sebagai berikut: 1) aman, bebas dari bahan-bahan kimia berbahaya, bahan beracun dan mikroorganisme patogen sesuai dengan peraturan dan hukum pangan yang berlaku, 2) diproduksi secara komersial dalam jumlah besar dengan proses kontinu, 3) diberi bumbu atau seasoning berupa garam dan tambahan bahan penambah rasa, 4) stabil dalam penyimpanan dan tidak memerlukan pendinginan untuk mengawetkan, 5) dikemas untuk langsung dimakan dengan ukuran mudah dimakan, mudah dipegang, memiliki permukaan yang berminyak ataupun kering sesuai dengan proses produksi makanan ringan tersebut, 6) dijual kepada konsumen dalam keadaan segar.
menghilangkan katalis oksidasi. Nitrogen atau sistem antioksidan lainnya dapat ditambahkan di dalam kemasan makanan ringan untuk menambah proteksi terhadap minyak goreng. Produsen wajib mencantumkan kode tanggal kadaluarsa pada kemasan, sehingga produk bisa ditarik dari pasar jika tidak terjual setelah masa kadaluarsa berlalu.
Makanan ringan pada penelitian ini tergolong makanan ringan modern atau
snack food seperti disebutkan oleh Lusas (2001) dan bukan tergolong makanan ringan basah seperti kue-kue atau camilan tradisional seperti kue apem, risoles, kroket dan gorengan lainnya.
Berbagai teknologi digunakan agar makanan ringan bisa tergolong sebagai makanan ringan siap untuk dimakan dalam keadaan kering dan mengandung air maksimum 5%. Fellows (2000) membagi prinsip-prinsip dasar teknologi pengolahan pangan menjadi proses suhu ruang, proses dengan aplikasi panas dan operasi paska proses pengolahan. Ketiga proses dirangkai untuk menghasilkan makanan ringan. Proses dimulai dengan pencampuran atau pengadukan bahan baku (jika bahan baku terdiri lebih dari 1 jenis bahan baku), ekstrusi tanpa panas yang lebih berfungsi sebagai pengaduk dan pembentuk adonan, ekstrusi dengan pemasakan, pengeringan, penggorengan yang dilanjutkan dengan proses pelapisan dengan bumbu dan terakhir adalah pengemasan.
Teknologi Ekstrusi
Ekstrusi merupakan proses yang menggabungkan beberapa unit operasi pengolahan seperti pengadukan, pemasakan, pengulenan, penggesekan, pembentukan dan pencetakan. Ekstruder diklasifikasikan berdasarkan 1) metode operasi dan 2) metode konstruksi. Metode operasi dibagi menjadi ekstruder tanpa panas dan ekstruder untuk memasak, sedangkan metode konstruksi terdiri dari ulir tunggal atau single screw dan ulir ganda atau double screw. Jika produk pangan yang melalui ekstruder dipanaskan menjadi 100°C maka proses ekstrusi tergolong kepada ekstrusi panas untuk memasak atau cooking extruder (Fellows, 2000).
ekstruder ini bersuhu tabung maksimal 110°C, suhu produk maksimum 79°C dan tekanan tabung ulir (screw barrel) +/- 2000-4000 kPa (Tabel 1). Kadar air adonan yang ideal untuk ekstruder ini adalah maksimal 30% agar adonan masih berbentuk tepung lembab dan tidak menggumpal.
Tabel 1. Data operasi bermacam -macam ekstruderª
Parameter Unit Gesekan
Tinggi*)
Gesekan
Medium**)
Gesekan
Rendah***)
Energi input pada produk k Wh Kg¯ ¹
0.10 -0.16 0.02-0.08 0.01 -0.04
Panjang Tabung/diameter L/D 2 – 15 10 – 25 5 - 22
Kecepatan Ulir rpm > 300 > 200 > 100
Suhu Tabung Maksimum ºC 110 – 180 55 – 145 20 - 6 5
Suhu Produk maksimum ºC 149 7 9 52
Tekanan Tabung Maksimum
kPa 4000-17000 2000-4000 550-6000
Kadar Air Produk % 5 -8 1 5-30 25-75
Densitas produk kg/m³ 32-160 160-500 320 -800
ªHauck (1993) dan Harper (1979) di dalam Fellows (2000) *)Gesekan Tinggi
Kecepatan tinggi dan sayap screw dangkal menyebabkan tekan tinggi dan suhu yang diperlukan untuk membuat makanan ringan yang memuai/mengembang.
**)Gesekan Medium
Untuk Teksturasi Protein Nabati (TVP) dan makanan hewan setengah basah ***)Gesekan Rendah
Sayap screw yang dalam d an kecepatan rendah menghasilkan tekanan rendah untuk memproduksi pasta, produk daging dan gum.
Karena ekstrusi merupakan kombinasi dari beberapa proses seperti pengadukan, pemasakan, dan pengulenan secara bersamaan, maka terjadi beberapa perubahan fisik dan kimia pada bahan pangan seperti hidrasi pati dan protein, homogenisasi, gelasi, gesekan, pelelehan lemak, denaturasi, atau re-orientasi protein, plastifikasi, dan pengembangan dari struktur pangan. Beberapa jenis makanan ringan bisa dihasilkan melalui beberapa teknologi ekstrusi seperti makanan ringan direct expanded atau makanan ringan generasi kedua seperti makanan ekstrudat, makanan ringan generasi ketiga berbentuk pellet kerupuk mentah, produk ko-ekstrusi, makanan ringan berbasis masa dan crispbread.
Tingkat pengembangan diukur melalui densitas kamba, bentuk dan ukuran, sedangkan tekstur diukur secara organoleptik berupa mouth feel dan struktur sel yang menentukan kerenyahan.
Makanan ringan generasi kedua dan ketiga
Produk makanan ringan generasi kedua disebut juga direct expanded. Jenis ini biasanya memiliki karakteristik produk dengan densitas kamba yang rendah dan dilapisi dengan pemberi rasa dalam bentuk campuran dengan minyak dan garam. Ekstrudat bisa diproses lebih lanjut dengan proses penggorengan atau proses pemanggangan sebelum dilakukan pelapisan dengan larutan minyak dan bumbu.
Produk makanan ringan generasi ketiga biasanya menunjuk pada produk setengah jadi atau pellet kerupuk mentah; diproduksi dengan ekstruder dengan pemasakan dan hasilnya dikeringkan sampai kadar air yang stabil (9-10%) untuk menjaga stabilitas selama penyimpanan. Selanjutnya pellet mentah ini akan dikembangkan melalui media minyak goreng panas maupun media udara panas. Bahan baku yang dipakai kebanyakan dari pati dan tepung-tepungan. Klasifikasi proses terbagi menjadi ekstrusi pembentukan dingin atau ekstrusi pemasakan. Jika menggunakan ekstrusi pembentukan dingin, digunakan tepung kentang atau pati lain yang sudah tergelatinisasi atau pregelatinisasi agar didapatkan pengembangan yang optimal setelah pellet digoreng.
Pada ekstrusi pemasakan, bahan baku harus masak sempurna kecuali dipakai pati yang sudah mengalami pregelatinisasi. Agar adonan masak sempurna, maka kombinasi suhu, waktu tinggal adonan dalam daerah ekstruder dan kadar air selama ekstrusi untuk membuat gelatinisasi sempurna harus optimal. Suhu pada ekstruder tergantung dari bahan baku yang dipakai, konfigurasi ekstruder dan kondisi proses. Suhu pemasakan harus dibuat di atas suhu gelatinisasi dari pati yang digunakan (Tabel 2).
lubang cetakan atau outlet die yang memiliki daerah yang cukup terbuka agar ekspansi tidak terjadi (Gambar 2).
Tabel 2. Kandungan Rata-rata amilosa dan amilopektin dari beberapa Pati
Tipe Pati Amilosa (%) Amilopektin (%) GTR (°C)ª
Tapioka / Singkong
17 83 52-61
Gandum 25 75 58-63
Beras 19 81 68-78
Beras Ketan <10 >99 68-77
ªGTR = Gelatinization Temperature Rate
Huang dan Rooney di dalam Lusas dan Rooney (2001)
Adonan yang akan dicetak ini memiliki kadar air 20-25%. Adonan yang sudah tercetak akan dikeringkan pada oven 70-80°C selama 3 jam sampai menjadi pellet berkadar air 9-10% (Huber 2001 di dalam Lusas dan Rooney, 2001).
Gambar 2. Bagian bagian dalam tabung ekstruder ulir tunggal untuk produksi makanan ringan generasi ketiga.
disebabkan oleh motor listrik dengan kecepatan putar yang berbeda-beda dan cukup kuat untuk mendorong bahan pangan terhadap hambatan tekanan yang terbentuk di dalam tabung. Kecepatan ulir merupakan faktor utama yang mempengaruhi kinerja ekstruder dalam hal waktu tumpuk bahan pangan di dalam tabung, jumlah panas yang ditimbulkan oleh gesekan, laju transfer panas, dan kekuatan gesekan dari produk. Kisaran kecepatan ulir adalah 150-600 rpm tergantung pada aplikasinya.
Teknologi ekstrusi pada proses produksi bihun
Proses pembuatan bihun berbeda dengan pembuatan mi atau pasta karena beras yang digunakan harus dijadikan bubur beras lebih dahulu dengan cara penggilingan basah. Bubur beras disaring dan dibuat adonan kukus sebelum diekstrusi menjadi untaian halus diameter 1 sampai 1,2 mm. Pengukusan diperlukan untuk proses gelatinisasi sempurna dari beras. Ada 2 proses ekstrusi yang terdapat pada rangkaian proses produksi bihun, yaitu 1) ekstruder strap
yang berfungsi untuk mengaduk adonan hasil kukusan dan membentuk menjadi untaian tambang dengan diameter 100 mm, 2) ekstruder vermicelli yang akan mengaduk untaian tambang dan membentuk menjadi untaian halus diameter 1 sampai 1,2 mm. Kedua ekstruder merupakan ekstruder tanpa panas dan tidak berfungsi sebagai ekstruder pemasakan. Spesifikasi kedua jenis ekstruder dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Spesifikasi ekstruder strap dan ekstruder vermicelli pada rangkaian proses produksi bihun
Ekstruder Strap Ekstruder Vermicelli
Power motor 7.5 kw 50 Hz 18.5 kw 50 Hz Jumlah ulir 2 buah 2 buah Ulir 1 Panjang 56 cm Panjang 90 cm
Jumlah putaran 10 Jumlah putaran 13 Diameter 12.5 cm Diameter 14.5 cm Ulir 2 Panjang 26 cm Panjang 90 cm
Gelatinisasi dan Retrogradasi Pati
Gelatinisasi adalah kerusakan urutan molekul dalam butiran pati yang 1) tergantung pada suhu dan kandungan air, 2) bersifat tidak dapat berubah ,3) berawal dari pembesaran ukuran granulasi pati, 4) menyebabkan kenaikan kekentalan larutan atau suspensi 5) bervariasi tergantung pada kondisi pemasakan, 6) bervariasi tergantung kepada tipe butiran dari sumber tanaman. Kisaran suhu gelatinisasi pati dari umbi-umbian atau akar biasanya lebih rendah daripada pati serealia (Tabel 2).
Butir pati terdiri dari bagian yang tidak berbentuk atau amorphous dan bagian yang terlihat seperti kristal. Pati dalam air yang dipanaskan menyebabkan gangguan ikatan Hidrogen di antara rantai polimer sehingga melemahkan butiran. Pembesaran awal terjadi pada daerah amorphous di mana ikatan hidrogen kurang banyak dan polimer bersifat rentan terhadap pemutusan ikatan. Pada saat struktur menjadi melemah, butiran mengikat air dan membesar. Karena tidak semua butiran serentak gelatinisasi, maka terjadi perbedaan tingkat kekacauan dan pembesaran butiran.
Bagian yang tidak berbentuk pada butir pati lebih mudah terdegradasi oleh asam dan enzim jika dibandingkan daerah kristal. Butiran pati dianggap sebagai polimer seperti kaca. Bentuk seperti kaca akan bertahan sampai tercapai suhu transisi gelas (Tg= glass transition temperature) di mana molekul mulai terlepas dan polimer bersifat kenyal seperti karet. Akhirnya suhu titik leleh Tm akan dicapai di mana butir pati akan meleleh dan kehilangan ikatan secara menyeluruh. Air menjadi penyebab keliatan atau kekenyalan yang secara nyata mempengaruhi suhu Tm dan Tg dari butir pati. Pada saat pembesaran butir pati dan pelelehan terjadi, butir pati mengalami gelatinisasi, pembentukan pasta atau
Retrogradasi merupakan proses lanjut setelah gelatinisasi. Polimer pati yang terlarut dan sis a bagian butir yang tidak larut kembali bersatu setelah pemanasan. Retrogradasi menghasilkan formasi agregat kristal yang mempengaruhi tekstur. Molekul amilosa linier lebih cenderung bersatu dan membentuk ikatan hidrogen daripada molekul amilopektin yang lebih besar dan bercabang. Pada saat retrogradasi, pasta pati menjadi berwarna opak dan membentuk gel. Gel berangsur-angsur menjadi seperti elastis atau kenyal dan cenderung melepas air. Perubahan ini terjadi selama dan setelah ekstrusi, pemanggangan, penggorengan, dan proses lainnya (Huang dan Rooney dalam Lusas dan Rooney, 2001). Dehidrasi melepas air dan meningkatkan retrogradasi. Lapisan film yang terbentuk tergantung dari jumlah relatif air, jenis pati dan interaksinya dengan bahan lainnya dalam formula. Retrogradasi luas dari amilosa menghasilkan fraksi pati yang tahan terhadap kerja enzim pencernaan. Retrogradasi amilopektin pada produk hasil pemanggangan berhubungan dengan peristiwa ‘melempem’. Pada makanan ringan, hal ini menghasilkan tekstur yang ringan, garing dan renyah.
Tekstur pangan dan Kerenyahan
Menurut definisi British Standard Institutiondalam Carpenter et al. (2000) indera yang berperan dalam menentukan tekstur adalah sentuhan, penglihatan dan pendengaran, sehingga tekstur didefinisikan sebagai : atribut dari sebuah benda yang dihasilkan oleh kombinasi dari sifat fisik dan diartikan atau diterima oleh sensasi atau rangsangan dari sentuhan (termasuk kinestesia atau daya menyadari gerakan otot dan rasa dalam mulut), penglihatan dan pendengaran.
Tekstur berperan dalam penerimaan keseluruhan dari sebuah produk pangan dan merupakan kriteria penting bagi konsumen untuk menyatakan mutu dan kesegaran dari produk pangan. Makanan ringan yang disukai adalah makanan ringan yang bertekstur renyah, garing tidak keras, dan tidak melempem.
Persepsi terhadap tekstur pangan adalah merupakan proses yang dinamik karena sifat-sifat fisik pangan berubah-ubah secara terus menerus dengan adanya proses pengunyahan, pembalutan dengan air liur dan perubahan suhu tubuh. Szczesniak (1963) dalam Carpenter et al. (2000) membuat klasifikasi tekstur menjadi 3 kelompok utama yaitu 1) Karakteristik mekanik yang berhubungan dengan reaksi pangan ke tekanan, 2) Sifat geometrik yang berhubungan dengan ukuran, bentuk dan orientasi partikel dalam pangan dan 3) Karakteristik lain-lain yang berhubungan dengan persepsi kadar air dan kadar lemak.
Proses Penggorengan
Penggorengan merupakan suatu unit operasi yang dipakai terutama untuk mengubah mutu pangan dari segi organoleptik teks tur ~ kerenyahan dan rasa gurih. Tujuan kedua proses penggorengan adalah untuk mendapatkan efek pengawetan yang merupakan hasil perusakan enzim dan mikroba oleh panas yang dihasilkan oleh proses penggorengan.
mentah akan dibenamkan ke dalam minyak panas dan naik kembali pada saat uap air di bagian dalam berubah menjadi uap. Menurut Fellows (2000), penggorengan tipe ini tergolong kepada deep-fat frying di mana transfer panas merupakan kombinasi dari konveksi yang terjadi pada minyak panas dan konduksi pada bagian dalam produk pangan. Semua permukaan pangan menerima perlakuan panas yang sama untuk menghasilkan penampilan dan warna hasil goreng yang seragam. Mesin penggorengan mi instan mempunyai dimensi panjang 10 m dan lebar 1 m; kondisi penggorengan untuk mi instan adalah 145-150°C selama 60-70 detik (Sung-Kon Kim ,1996 di dalam Kruger et al. 1996).
Menurut teori, jika bahan pangan dimasukkan ke dalam minyak panas, suhu permukaan bahan pangan akan meningkat dengan cepat dan air terevaporasi sebagai uap air dan permukaan mulai mengering. Jalur evaporasi air yang bergerak di dalam pangan akan membentuk lapisan kerak. Suhu permukaan pangan akan naik sama seperti suhu minyak panas dan suhu bagian dalam akan naik dengan laju yang lebih lambat ke suhu 100°C. Laju transfer panas ditentukan oleh perbedaan suhu antara minyak panas dengan pangan oleh koefisien transfer panas pada permukaan pangan (Fellows, 2000). Tekstur pangan hasil penggorengan dihasilkan oleh perubahan pada protein, lemak dan karbohidrat polimer. Perubahan pada protein terjadi sebagai hasil reaksi Mailard dengan asam amino pada kerak. Kandungan lemak produk pangan akan meningkat karena penyerapan minyak goreng.
Banks dan Lusas (2000) di dalam Lusas dan Rooney (2001) membagi perubahan bahan pangan yang digoreng menjadi 6 tahap, yaitu : 1) Masuk Penggorengan, 2) Pengerasan permukaan produk (case hardening), 3) Pengerasan permukaan, 4) Pengurangan uap air atau pemasakan, 5) Selesai Penggorengan dan 6) Penyerapan minyak.
Perubahan atau evolusi uap air yang sangat cepat membatasi suhu produk mencapai titik didih air dan menghambat penetrasi minyak ke dalam produk.
Pada pengerasan permukaan produk (case hardening), lapisan sel terluar pada permukaan produk mengering dan kempes menjadi seperti tekstur lapisan kayu halus. Sedikit perubahan pada evolusi uap air memperlihatkan bahwa proses ini sedang berlanjut di mana sebagian permukaan masih bergelembung lebih cepat dari bagian lainnya. Pada saat uap air pada permukaan menghilang, uap air di bagian dalam mulai berubah menjadi uap dan merusak saluran melalui struktur produk. Pada titik ini, dehidrasi tidak akan akan menghasilkan tekstur permukaan yang renyah, akan tetapi akan terjadi keutuhan struktur, sebagai contoh keripik kentang yang digoreng pada tahap ini masih bisa dibengkokkan dan kembali ke bentuk semula.
Tahap pengerasan permukaan menyebabkan beberapa lapisan sel permukaan mulai mengering dan menambah pembentukan struktur remah. Produk yang digoreng pada suhu tinggi akan membentuk lapisan remah yang tipis dan tekstur ringan, sedangkan produk yang digoreng secara lambat dengan suhu rendah akan mendukung pembentukan remah yang lebih tebal dan tekstur lebih garing. Struktur sel di bawah lapisan remah akan terganggu dan membentuk tiang-tiang dalam dan besar dan substruktur bagian dalam terus menerus dipengaruhi oleh suhu penggorengan. Pada tahap ini, formasi remah-remah dan struktur bagian dalam masih belum lengkap tetapi elemen yang paling kuat mempengaruhi tekstur produk jadi sudah terbentuk.
Penekanan utama pada tahap pemasakan adalah pada penetrasi panas dan pengurangan kadar air. Keseragaman dalam ukuran produk yang digoreng merupakan kunci untuk menentukan beban penggorengan yang tepat, profil suhu dan waktu produk dan pemasakan.
permukaan produk. Tahap akhir ini harus dikontrol dengan waktu yang tepat pada saat produk diangkat dari minyak untuk menghasilkan mutu optimal dari poduk hasil penggorengan.
Waktu dan tempat
Penelitian dilaksanakan mulai dari bulan Desember 2005 sampai dengan bulan April 2006 pada beberapa lokasi sesuai dengan letak peralatan produksi dan peralatan laboratorium kimia dan organoleptik. Pengembangan prototip produk dilakukan pada laboratorium aplikasi PT. Cahaya Citra Cemerlang, Jakarta.
Untuk peralatan ekstrusi bihun digunakan peralatan produksi bihun di PT. Indofood Sukses Makmur – Cibitung, demikian pula dengan alat penggorengan mi kontinu. Sedangkan untuk peralatan ekstruder makanan ringan digunakan peralatan produksi PT. Indofood FritoLay – Tangerang. Analisa kimia, organoleptik dan analisa kerenyahan secara obyektif dengan Instron Texture Analyzer dilakukan di Pusat Riset dan Pengembangan PT. Indofood Sukses Makmur, Ancol-Jakarta.
Bahan dan Alat
Bahan baku yang digunakan adalah ikan lele lokal (Clarias batrachus L) dan tahu sebagai sumber protein, pati jagung, tepung gaplek dan tepung terigu. Bahan penambah rasa yang digunakan adalah garam, gula, monosodium glutamat dan perisa ayam. Sodium bikarbonat sebagai bahan pengembang juga ditambahkan pada formula.
Peralatan produksi yang digunakan adalah : 1) Ekstruder makanan ringan – tipe 3rd generation snack, 2) Ekstruder bihun yang terdiri dari 2 peralatan ekstruder yaitu : ekstruder strap dan ekstruder vermicelli, 3) Kombinasi ekstruder bihun dengan meat processor/Meat Chopping Extruder (MCE), 4) Alat penggorengan yang dipakai adalah alat penggorengan kontinu untuk mi instan dengan suhu goreng 150°C selama 3 menit.
Metode Penelitian
Penelitian terbagi atas tiga tahap. Pada penelitian tahap pertama dilakukan formulasi makanan ringan skala laboratorium untuk memilih prototip formula yang akan diterapkan pada tahap II. Penelitian tahap II adalah menerapkan formula terpilih pada beberapa peralatan ekstruder skala komersial yang tersedia pada perusahaan sedangkan penelitian tahap III adalah melakukan optimasi proses produksi yang dapat menghasilkan produk dengan kerenyahan tekstur yang paling optimal. Alur tahapan penelitian seperti pada Gambar 4.
Tahap I - Formulasi Makanan Ringan Skala Laboratorium
Penelitian tahap awal dilakukan untuk mendapatkan komposisi bahan baku yang dapat menghasilkan tekstur yang renyah, rasa gurih dan asin yang pas, rasa bumbu yang sesuai dan kadar protein produk yang memadai, dengan menggunakan alat Panasonic Meat Processor (MK-628 NR Super Turbo 1000). Alat penggorengan yang digunakan adalah wajan dan kompor yang diatur suhunya hingga 150°C. Seleksi prototip formula dilakukan berdasarkan uji kimia (kadar air adonan dan kadar protein produk jadi), uji organoleptik yaitu uji tekstur subyektif terhadap kerenyahan produk hasil goreng dan evaluasi subyektif terhadap rasa gurih produk jadi hasil penggorengan, sedangkan analisa ekonomi
Tahap I.
Formulasi Skala Laboratorium
Tahap II.
Aplikasi Formulasi Terpilih pada Skala Produksi Komersial
Tahap III.
Optimasi Rangkaian Proses Produksi Makanan Ringan dengan Proses Produksi Bihun
terhadap biaya bahan baku juga dipertimbangkan untuk setiap 5 gram produk hasil penggorengan agar sesuai dengan sasaran harga jual produk.
Tahap II - Aplikasi Formulasi Makanan Ringan Terpilih pada Skala Produksi
Komersial
Penelitian tahap kedua yang dilakukan adalah aplikasi formula terpilih pada percobaan skala produksi komersial yaitu pada :
1) Ekstruder makanan ringan – 3rd generation snack
2) Ekstruder bihun yang terdiri dari 2 peralatan ekstruder yaitu :
§ Ekstruder strap
§ Ekstruder vermicelli
3) Kombinasi ekstruder bihun dengan Meat Crushing Machine atau Meat Chopper Extruder CZ 112.
Alat penggorengan yang dipakai adalah alat penggorengan kontinu untuk mi instan dengan suhu goreng 150°C selama 3 menit. Pada tahap kedua ini, diamati penilaian subyektif terhadap kerenyahan tekstur dan kapasitas produksi yang memungkinkan dari ketiga proses di atas.
Tahap III-Optimasi Rangkaian Proses Produksi Makanan Ringan dengan
Proses Produksi Bihun
Pada penelitian tahap ketiga dilakukan optimasi rangkaian proses produksi makanan ringan dengan menggunakan proses pengolahan bihun. Faktor yang diamati pada proses optimasi ini adalah 1) pengaruh suhu adonan sebelum adonan tersebut melalui proses ekstrusi dan 2) pengaruh alat MCE yang dirangkai setelah proses ekstrusi bihun.
Urutan proses pada penelitian ketiga dibagi menjadi 10 jenis urutan proses (Gambar 5), sedangkan semua proses pengadukan bahan baku sampai dengan proses penguapan (steaming) adalah parameter yang sama bagi semua urutan proses, demikian pula dengan parameter penggorengan kontinu. Parameter proses produksi mulai dari proses pengadukan bahan baku sampai dengan proses penggorengan dipaparkan pada Tabel 4. Angka I adalah untuk parameter suhu adonan panas dan angka II untuk adonan yang sudah didinginkan sehingga mencapai suhu 30°C. Huruf A adalah ekstruder strap, huruf B untuk ekstruder
vermicelli dan huruf C untuk MCE.
Parameter mutu produk jadi yang diamati meliputi kerenyahan tekstur hasil goreng secara evaluasi sensori subyektif dan secara obyektif dengan alat Instron Texture Analyzer. Untuk setiap sampel dilakukan 16-18 kali pengukuran. Urutan proses yang mempunyai nilai max load kgf paling tinggi merupakan urutan proses yang menghasilkan tingkat kerenyahan paling baik (Lampiran 2).
Pengadukan bahan kering Pengadukan bahan basah Pengadukan& Steam bertekanan A.Extruder ‘Strap’ B.Extruder Vermicelli C.Meat Chopper Extruder A.Extruder ‘Strap’
B.Extruder Vermicelli C.Meat Chopper Extruder II C I C
II AC
II BC Suhu Panas
Suhu =30 °C
[image:30.595.93.413.198.388.2]I BC I AC I A I B II A II B P E N G G O R E N G A N P R O D U K J A D I
Tabel 4. Parameter proses produksi Bihun yang dirangkai dengan Meat ChopperExtruder dan Penggorengan Kontinu
PROSES PARAMETER PROSES
1.Pengadukan bahan baku kering Lama pengadukan 2 menit 2.Pengadukan bahan baku basah Lama pengadukan 2 menit 3.Pengadukan bahan baku kering
dan basah
Lama pengadukan 2 menit
4. Penguapan (Steaming) Untuk 100 kg adonan ~ lama penguapan 11 menit
Tekanan penguapan 2 KgF 5. Ekstruder Strap Diameter lubang (nozzle) 3 mm
Jumlah lubang 90 Kapasitas 450 kg/jam
6. Ekstruder Vermicelli Diameter lubang (nozzle) 3 mm Jumlah lubang 60
Kapasitas 450 kg/jam
7. Meat ChopperExtruder Diameter lubang (nozzle) 3 mm Jumlah lubang 60
Kapasitas 500 kg/jam 8. Penggorengan Kontinu Lama penggorengan 3 menit
Suhu minyak pada proses penggorengan 150 °C
9. Separasi Minyak (Penirisan) Lama penirisan 1 menit
Pengamatan
Pada tahap penelitian pertama dilakukan percobaan dengan beberapa formula yang bisa memenuhi persyaratan hasil akhir dengan rasa gurih dan asin, harga bahan baku memenuhi biaya bahan baku, kadar protein akhir lebih besar dari 10% dan kadar air adonan sesuai dengan kadar air yang diperlukan untuk proses produksi pada ketiga jenis ekstruder yang akan dipakai. Analisa kadar protein produk hasil goreng memakai metode analisa dengan referensi SNI 01-2891-1992 dan Pearson’s Chemical Analysis of Food 8th Churchill Livingstone.
Formula dengan biaya bahan baku yang memenuhi persyaratan dan kadar protein minimum 10% dipilih untuk dicoba pada peralatan ekstruder makanan ringan generasi ketiga, ekstruder bihun dan ekstruder MCE. Pada hasil goreng dilakukan analisa sensori terhadap kerenyahan tekstur dengan panelis terlatih memakai metode ranking test dengan jumlah panelis terlatih minimum 5 orang (Carpenter, Lyon dan Hasdell, 2000). Kuesioner uji ranking ada pada Lampiran 1.
Formula terbaik digunakan untuk mendapat rangkaian peralatan terbaik dalam hal memproduksi makanan ringan yang paling renyah. Rangkaian yang digunakan adalah ekstruder strap dan vermicelli pada bihun dan MCE. Suhu adonan saat masuk ke dalam ekstruder diamati dengan 2 jenis suhu, yaitu suhu setelah adonan ke luar dari proses pemasakan dengan uap, 85-90°C dan suhu adonan setelah ke luar dari pemasakan yang sudah diistirahatkan dan sudah mencapai suhu maksimum 30°C. Demikian pula dibedakan antara adonan yang melalui MCE dan tidak melalui ekstruder MCE. Hasil penggorengan 150°C selama 3 menit dikumpulkan dan terhadap masing-masing produk dari jenis urutan proses dan suhu adonan dilakukan analisa kerenyahan tekstur pada
Instron Texture Analyzer. Hasil dari Instron dengan nilai maximum load KgF terbesar merupakan produk yang paling renyah.
terpisah setelah itu dilakukan evaluasi tekstur subjektif setiap 30 detik Atribut yang dinilai adalah kerenyahan serta kekenyalan tektur setelah paparan waktu tertentu dan suhu tertentu.
Kerenyahan
Alat uji kerenyahan tekstur Instron mengukur dengan cara kompresi pada produk pangan dengan probe. Yang diukur adalah kekerasan produk atau
hardness yang merupakan kebalikan dari kerenyahan. Nilai Kekerasan merupakan kekuatan puncak dari kompresi pertama dari produk. Kekerasan tidak perlu terjadi pada titik kompresi yang paling dalam; walaupun biasanya terjadi pada hampir semua produk (Gambar 6). Tidak semua produk bisa retak, akan tetapi jika harus retak, titik keretakan terjadi pada plot yang pertama terjadi puncak yang nyata selama kompresi pertama pada produk.
[image:33.595.75.430.384.603.2]berarti keras, angka 1 berarti agak keras, angka 2 berarti agak renyah, angka 3 berarti renyah, angka 4 berarti renyah sekali dan angka 5 merupakan nilai untuk tekstur sangat renyah sekali. Untuk melihat relasi antara kerenyahan objektif (kgf) dengan kerenyahan subjektif (skala hedonik 0-5), dibuat sebuah grafik hubungan linier (Gambar 8).
Uji ketahanan kerenyahan tekstur setelah produk makanan ringan ditaburkan pada mi instan berkuah dilakukan secara subjektif dengan mengevaluasi kerenyahan tekstur secara berkala mulai dari waktu setelah tabur 1 menit, 2 menit, 3 menit dan setiap 30 detik berikutnya sampai tekstur produk terasa lembut atau mudah larut dalam mulut (Lampiran 10).
Kadar air
Sebelum penimbangan bahan, cawan timbang dan tutupnya dipanaskan dalam oven 1050C selama 30 menit lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai ketelitian 0,1 mg. Setelah itu, contoh sebanyak 2-5 gram ditimbang pada botol timbang. Botol dan contoh dikeringkan dalam oven 105°C selama 3 jam dan botol timbang dalam keadaan terbuka. Setelah itu, botol timbang tertutup yang berisi sampel didinginkan dalam desikator selama 30-45 menit kemudian dilakukan penimbangan dengan ketelitian 0,1 mg. Penetapan blanko juga dilakukan.
Rumus perhitungan yang digunakan adalah sebagai berikut :
Kadar air = W1 – W2 X 100 %
W1 – W0
Di mana :
W0 : berat botol timbang dan tutup (g)
W1 : berat botol timbang + tutup + contoh sebelum dipanaskan (g)
W2 : berat botol timbang + tutup + contoh yang sudah dipanaskan (g)
Blk : berat blanko (g)
Kadar abu
Sebelum penimbangan bahan, cawan pengabuan dipijarkan dalam furnace
650-6000C selama 1 jam lalu didinginkan 70-90 menit dalam desikator dan ditimbang sampai bobot tetap.
Sampel makanan ringan digerus sampai berbentuk bubuk setelah itu ditimbang pada neraca analitik (ketelitian 0.1 mm) di atas cawan pengabuan sebanyak 3-5 gram.
Cawan pengabuan berisi contoh diletakkan di atas Bunsen listrik/hot plate
kemudian contoh dibakar sampai asap hilang. Setelah itu pengabuan dilanjutkan dalam furnace 650-6000C sampai diperoleh abu bewarna putih keabuan. Cawan didinginkan sampai suhu 100-1100C dalam furnace yang telah dimatikan. Setelah itu diangkat dan didinginkan dalam desikator selama 70-90 menit, kemudian ditimbang sampai ketelitian 0,1 mg. Setelah itu dilakukan penetapan blanko. Diameter desikator yang digunakan adalah 70-90 cm dan jumlah maksimum cawan dalam desikator 10-15.
Kadar abu = Ws – Wc - Blk X 100 % Ws – Wc
Di mana :
Wa : berat cawan dan abu (g) Wc : berat cawan kosong (g) Ws : berat cawan dan contoh (g) Blk : berat cawan blanko (g)
Nilai blanko diperhitungkan untuk mengkoreksi hasil analisis bila bobot blanko berkurang dan diberi harga mutlak. Jika setelah pengeringan, bobot blanko bertambah maka nilai blanko diabaikan.
Kadar Protein
Contoh ditimbang 0.1 – 1 g tergantung pada jenis kadar protein contoh ke dalam labu kjeldalh dalam lemari asam atau ruang yang dilengkapi dengan alat destruksi dengan unit penghisap asap.
Campuran dipanaskan dalam pemanas listrik sampai mendidih dan dilarutkan menjadi jernih kehijau-hijauan, setelah itu dibiarkan dingin, lalu diencerkan dengan aquadest secukupnya.
Larutan NaOH 40% ditambahkan sebanyak 15 ml atau sampai campuran menjadi basa (diperiksa dengan indikator PP). Larutan disuling selama 5 -10 menit atau sampai larutan destilat telah mencapai kira-kira 150 ml, dengan penampang destilat adalah 50 ml larutan H3BO3 2% yang telah diberikan
beberapa tetes campuran indikator BCG + MM.
Ujung pendingin dibilas dengan aquadest kemudian larutan campuran destilat dititar dengan larutan HCl 0.05 N.
Setelah itu dilakukan penetapan blanko dan standardisasi HCl 0.05 N.
Kadar Nitrogen (%) =
(V1 – V2) x N x 14.008
X 100 % W
Di mana :
V1 = Volume HCl 0.05 N untuk tirasi contoh (ml) V2 = Volume HCl 0.05 N untuk tirasi blanko (ml) N = Normalitas larutan HCl
W = berat cuplikan contoh (mg) 14.008 : Bobot atom nitrogen
Analisis data
Analisa data hasil pengukuran kerenyahan tekstur secara statistik dilakukan secara deksriptif dan inference. Secara deskriptif dilakukan analisa umum rataan, ragam, standar deviasi, dengan selang kepercayaan 95% bagi mean. Secara
HASIL DAN PEMBAHASAN
Formulasi Produk Makanan Ringan
[image:38.595.111.411.395.613.2]Dalam merancang formulasi digunakan peralatan laboratorium yang kurang lebih mirip fungsi ekstruder dan dikombinasikan dengan pengadukan bahan baku dan penguapan adonan bahan baku menggunakan panci bertekanan (pressure cooker). Formula makanan ringan terdiri dari daging ikan Lele halus, pati jagung, tepung terigu, tahu, tepung gaplek, minyak kelapa sawit, monosodium glutamat, garam, sodium bikarbonat dan perisa makanan. Dari beberapa formula yang telah dicoba pada skala laboratorium, dipilih 3 formula terbaik yang ditinjau dari segi penggunaan maksimal ikan segar dan hubungannya dengan kandungan protein produk akhir. Pertimbangan lainnya adalah kegurihan rasa dan kerenyahan tekstur produk hasil penggorengan (Tabel 5).
Tabel 5. Parameter penentu 3 jenis formula yang diproses dengan alat Meat Chopper Extruder skala laboratorium
Formula 1 Formula 2 Formula 3
Biaya bahan baku mentah per Kg (Rp)
6,765 5,895 6,619
Kandungan Ikan Segar (%) dalam total formula
37 25 35
Kadar Air adonan (%) sebelum proses steam
40.5 33.2 34.31
Kadar Protein (%) 14 9.5 12.7
Kerenyahan Tekstur (subjektif) setelah Goreng *)
+++ + ++
*)+ = Keras ++= Renyah +++= Sangat renyah
Dari pengamatan selama proses, semakin tinggi kadar daging ikan segar, maka kadar air adonan semakin tinggi dan adonan menjadi lembek dan lengket. Hal ini sangat berpengaruh pada proses ekstrusi karena adanya keterbatasan
sifat yang berubah menjadi lengket atau membal setelah terkena panas ataupun pemampatan (kompresi); ada juga yang melawan gesekan pada ekstruder pemasakan (Huber dalam Lusas dan Rooney, 2001). Selain itu energi yang diperlukan untuk menurunkan kadar air dari 35-42% sehingga menjadi 20% setelah pemasakan pada ekstrusi makanan ringan generasi ketiga diduga memerlukan biaya energi yang relatif tinggi.
Biaya bahan baku untuk ketiga jenis formula masih memenuhi persyaratan (Tabel 5) untuk hasil goreng 5 gram yang ditentukan pada dokumen persyaratan proyek dalam dokumen protokol produk (Segall 2000, didalam Brody dan Lord 2000). Formula terpilih nomor 1 dengan jumlah ikan segar 37% sehingga kadar protein produk akhir menjadi 14%.
Aplikasi Formulasi Terpilih pada Ekstruder Skala Komersial
Ekstruder makanan ringan yang digunakan merupakan golongan ekstruder ulir tunggal yang tergolong pada medium shear atau gesekan medium karena ekstruder ini bersuhu tabung maksimal 110°C, suhu produk maksimum 79°C dan tekanan tabung ulir (screw barrel) +/- 2000-4000 kPa (Hauck, 1993 dan Harper, 1979 di dalam Fellows, 2000). Kadar air adonan yang ideal untuk ekstruder ini adalah maksimal 30% agar adonan masih berbentuk tepung lembab dan tidak menggumpal. Adonan yang masih bersifat tepung free flow dapat disalurkan melalui screw conveyor untuk masuk ke dalam tabung ulir.
Pada formula terpilih, kadar air adonan 40.5% melebihi kadar air optimal sehingga adonan menggumpal dan tidak bisa disalurkan melalui screw conveyor
yang tersedia pada alat ekstruder. Sifat adonan menjadi basah dan lengket sehingga adonan tersebut lengket pada pisau berputar yang terdapat pada permukaan lempengan cetakan dan tidak bisa dipotong secara langsung setelah ekstrusi. Pemotongan adonan hasil ekstrusi dapat dilakukan setelah adonan ditarik dalam bentuk tali setelah itu dipotong dengan pisau vertikal. Hasil potongan digoreng langsung dan ada yang dikeringkan sampai kadar air 9% atau bentuk pellet kering kemudian digoreng. Tekstur hasil penggorengan sangat keras (Tabel 7).
ekstruder yang terbuat dari besi hitam ini adalah 450 kg/jam; sama halnya dengan ekstruder vermicelli. Ekstruder strap mempunyai 10 putaran sedangkan ekstruder vermicelli mempunyai 13 putaran. Kedua jenis ekstruder ini dapat mengakomodasi adonan dalam bentuk gumpalan seperti adonan bihun berupa bubur beras yang sudah diuapkan dengan tekanan. Adonan panas hasil proses penguapan bertekanan ditampung pada wadah untuk langsung diekstrusi, hasil ekstrusi berupa tali dilalukan pada ban berjalan untuk pendinginan. Setelah itu dipotong secara manual dan langsung digoreng dengan suhu minyak 150°C selama 3 menit. Tekstur hasil penggorengan sangat keras.
MCE mempunyai ulir yang terdiri dari 5 putaran dengan kapasitas produksi 500 kg/jam. Pada bagian ujung ulir sebelum lubang outlet terdapat pisau berbentuk baling-baling yang berfungsi memecah atau mencacah adonan yang sudah terkompresi oleh ekstrusi. Oleh karena itu hasil ekstrusi MCE bersifat patah dan tidak perlu mesin pemotong akan tetapi ukuran panjang dan pendek produk menjadi tidak beraturan dan tidak bisa diatur sesuai keinginan. Jika ditunjang oleh suhu adonan dingin yang dilalukan melalui ekstrusi maka tekstur hasil penggorengan akan lebih renyah dibandingkan dengan adonan panas yang langsung diekstrusi pada MCE.
Adanya pisau berbentuk baling-baling sebelum cetakan outlet merupakan perbedaan pada struktur bagian dalam tabung ekstruder bihun strap, vermicelli
dan MCE yang menyebabkan perbedaan tingkat kompresi adonan di dalamnya sehingga berpengaruh langsung kepada mampatnya adonan yang akan mempersulit jalur ke luarnya uap air pada saat sineresis. Hasil goreng tekstur yang keras pada ekstruder bihun merupakan akibat dari adonan yang terlalu mampat/terkompresi sehingga uap air pada proses sineresis dan pada proses penggorengan menjadi sulit ke luar dan tidak terbentuk jalur/matriks kosong yang membuat tekstur menjadi berlubang-lubang sehingga terasa renyah.
Tabel 6. Parameter penentu hasil aplikasi formulasi terpilih pada 3 jenis ekstruder
Kerenyahan tekstur*)
Kapasitas produksi (kg/jam) Ekstruder makanan
ringan
+ 70
Ekstruder Bihun + 450
Ekstruder Bihun & MCE
+++ 500
*) + = Keras ++= Renyah +++= Sangat renyah
Optimasi Rangkaian Proses Produksi Makanan Ringan dengan Proses Produksi Bihun
Tekstur pangan ditentukan oleh kadar air, kadar lemak dan kandungan karbohidrat struktural seperti selulosa, pati dan bahan pektin, serta protein yang terkandung dalam suatu produk. Perubahan tekstur biasanya disebabkan oleh peningkatan kadar air atau kehilangan lemak, pembentukan atau pemecahan emulsi dan gel, hidrolisa karbohidrat polimeris dan koagulasi atau hidrolisis (Fellows, 2000).
ban berjalan dengan kecepatan rendah sehingga adonan menjadi relaks karena protein melunak dan menjadi lebih lentur sehingga lapisan adonan yang licin akan terbentuk.
Pada pembuatan mi kering, terdapat 3 tahap pengeringan, pada tahap pengeringan pertama digunakan suhu rendah 15°C dan aliran udara kering selama 30-90 menit. Hal ini dilakukan untuk menghindari elongasi pada benang-benang mi. Pada tahap kedua, uap air dari bagian dalam akan berdifusi ke permukaan. Garam yang bersifat higroskopis yang terdapat pada permukaan yang kering akan menarik uap air dari bagian dalam mi. Suhu yang digunakan adalah 40°C pada kelembaban udara 70-75%. Tahap terakhir pengeringan adalah pengaliran udara sejuk yang mengurangi kelembaban sekitar produk mi.
Proses ekstrusi MCE yang dirangkai setelah ekstruder strap dan vermicelli
juga berpengaruh sangat nyata terhadap kerenyahan produk hasil penggorengan. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan nyata nilai kerenyahan (kgf) menurut uji lanjut Duncan pada selang kepercayaan 95% dari pasangan urutan proses IIB (24.49 kgf) dengan IIBC (55.96 kgf) , IB (16.48 kgf) dengan IBC (70.26 kgf), dan IIA (36.75 kgf) dengan IIAC (93.2 kgf). Dari hasil analisis pada Gambar 7, proses IIAC yaitu urutan proses adonan dingin dengan peralatan ekstruder
strap yang dirangkai dengan MCE memberikan kerenyahan tekstur yang paling baik (Gambar 9).
(I = suhu adonan panas II = suhu adonan dingin A = Strap Ekstruder - Bihun B= Vermicelli Estruder Bihun C = MCE)
Gambar 7. Histogram nilai kerenyahan makanan ringan dengan Instron texture analyzer
Jika dibandingkan antara pengaruh suhu adonan sebelum ekstrusi dengan pengaruh pemakaian ekstruder MCE terhadap kerenyahan tekstur, secara uji statistik – hasil analisa ragam dengan uji lanjut Duncan dan kontras ortogonal (Lampiran 5) suhu adonan maksimum 30°C lebih berpengaruh nyata. Walaupun keduanya berpengaruh nyata terhadap kerenyahan tekstur, nilai mean square
atau kuadrat tengah suhu adonan lebih besar jika dibandingkan dengan urutan proses.
29.54 26.2 16.48
70.26 43.37
36.75
93.2 24.49
55.96 66.14
IA IAC IB IBC IC II A II AC II B II BC II C
Kerenyahan (kgf)
[image:43.595.110.406.143.355.2]Gambar 8. Grafik hubungan antara analisa kerenyahan subjektif dengan kerenyahan objektif
Pengadukan bahan kering
Pengadukan bahan basah
Pengadukan &
Steam bertekanan A.Extruder ‘Strap’
C.Meat Chopper Extruder (MCE) Pendinginan adonan
Penggorengan 150 C~3 menit
Gambar 9. Urutan proses adonan suhu maksimum 30°C pada ekstruder
strap dan MCE sebagai proses pengolahan makanan ringan terbaik (Proses II AC)
29,54 26,2
16,48
70,26
43,37
36,75
93,2
24,49
66,14
55,96
0 1 2 3 4 5
0 20 40 60 80 100
Kerenyahan (kgf)
Kerenyahan subjektif
Sangat Renyah sekali
Sangat Renyah
Agak Keras Renyah
Keras
Keras sekali
y = 0,059x - 0,626
[image:44.595.79.437.381.492.2]Analisis Proksimat dan Tekstur Makanan Ringan
[image:45.595.112.380.388.530.2]Analisa proksimat yang dilakukan terhadap produk hasil goreng produk dapat dilihat pada Tabel 7. Kandungan protein dan kandungan mineral kalsium prototip hasil penggorengan cukup tinggi, protein 14% dan kalsium 418 mg/100g produk sehingga sudah memenuhi persyaratan yang ditetapkan pada karakteristik produk (kadar protein minimum adalah 10%). Akan tetapi menurut Pedoman Klaim Label Pangan (BPOM 2003) masih belum mencukupi persyaratan untuk dibuat klaim kandungan gizi protein dan mineral kalsium tersebut. Pernyataan tentang tinggi, kaya akan, merupakan sumber yang sangat baik hanya diperbolehkan apabila pangan mengandung vitamin, mineral, serat pangan atau kalium sedikitnya 20% dari Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan per takaran saji baku. AKG terendah kalsium untuk orang dewasa adalah 500 mg per orang per hari.
Tabel 7. Hasil analisa proksimat makanan ringan formula terpilih
Parameter Jumlah
Kadar air (%) 2.70
Kadar Protein (%) 14.28
Kadar Lemak (%) 18.00
Kadar Abu (%) 5.60
Kadar Karbohidrat
(by difference)
(%) 59.42
Kandungan Ca mg/100 g produk 418
(Gambar 10). Gambar 11 menyajikan foto makanan ringan taburan dengan bentuk yang tidak beraturan dan taburan pada makanan berkuah berupa mi instan.
Gambar 10. Uji ketahanan kerenyahan tekstur makanan ringan yang ditabur pada mi instan berkuah Tekstur : 4= Sangat renyah ; 3= Renyah; 2= Kurang renyah; 1= Tidak renyah atau lunak
Gambar 11. Foto makanan ringan taburan dengan bentuk yang tidak beraturan dan taburan pada makanan berkuah berupa mi instan
0 1 2 3 4
1 2 3 3,5 4 4,5 5 5,5 6 6,5 7 7,5 8 8,5 9 9,5 10
Waktu tabur (menit)
Tekstur subjektif
Tekstur I A-29.54 kgf Tekstur IIA-36.75 kgf Tekstur IIAC-93.2 kgf Tekstur IIC-66.14 kgf Tekstur IIBC-55.96 kgf Tekstur IBC-70.26 kgf
IIAC
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari percobaan skala laboratorium didapatkan formulasi terbaik dari segi kerenyahan, rasa bumbu dan perhitungan bahan baku. Selain itu kadar protein produk akhir di atas 10% juga merupakan salah satu persyaratan dengan kandungan ikan segar maksimum 40% agar kadar air adonan optimal untuk diproses pada ekstruder yang akan digunakan.
Tipe ekstruder proses bihun strap dan vermicelli menghasilkan tekstur yang tidak renyah kecuali jika diikuti dengan Meat Chopper Extruder (MCE). Urutan proses terbaik yang akan dirangkai adalah melakukan pendinginan adonan sebelum ekstrusi pada ekstruder strap bihun setelah itu langsung diikuti dengan MCE sebelum produk digoreng pada penggorengan kontinu mi instan 150°C selama 3 menit. Untuk meratakan adonan yang sudah digelatinisasi dengan uap, maka ekstruder strap tetap diperlukan sebelum MCE.
Kedua faktor suhu adonan dan penggunaan Meat Chopper Extruder
berpengaruh nyata terhadap kerenyahan tekstur. Secara uji statistik, pengaruh suhu adonan maksimum 30°C lebih besar terhadap kerenyahan daripada penggunaan MCE. Oleh karena itu, untuk kerenyahan terbaik pada setiap proses, pendinginan adonan atau aging perlu dilakukan sebelum proses Ekstrusi.
Saran
Proses pendinginan adonan menjadi 30°C secara nyata dapat meningkatkan kerenyahan tekstur pada setiap urutan proses. Oleh karena itu pada rangkaian peralatan produksi, perlu ditambahkan ban berjalan yang membawa adonan setelah proses steam bertekanan atau pemasakan agar tidak mengalami tekanan mekanis sekaligus menurunkan suhu adonan sampai 30°C
sebagai taburan pada makanan berkuah. Untuk tidak berpengaruh terhadap kerenyahan tekstur, maka penggantian cetakan perlu diperhitungkan untuk tidak merubah tekanan yang terjadi sebelum ke luar dari cetakan.
[BPOMRI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2003. Angka Kecukupan Gizi untuk Acuan Pelabelan Pangan Umum. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.05.5.1142 Tanggal 25 Maret 2003. Jakarta: BPOM; 2003.
Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2006. Kategori Pangan. Badan POM.
Bank Indonesia. 2007. Aspek Pemasaran Pengolahan Kerupuk Ikan. http://www.bi.go.id/sipuk/id/lm/kerupuk_ikan/pemasaran.asp.
Brody, A.L. and Lord, J.B. 2000. Developing New Food Products for a Changing Marketplace. CRC Press. Boca Raton, London, New York, Washington D.C.
Bullens, C. 1996. Building texture with Gums and Starches. http://www.fooddesign. [April 1991-July 1996].
Carpenter, R.P., Lyon, D.H. and Hasdell T.A. 2000. Guidelines for Sensory Analysis in Food Product Development and Quality Control. An Aspen Publication, Gaithersburg, Maryland.
Fellows, P., 2000. Food Processing Technology. Cambridge England. CRC Press.
Huber, G. 2001. Snack Foods from Cooking Extruders Dalam: Lusas, R.W.,dan Rooney L.W. Snack Foods Processing. CRC Press.
Kruger, J.E, Matsuo, R.B, and Dick, J.W. 1996. Pasta and Noodle Technology. American Association of Cereal Chemists, Inc.St.Paul, Minnesota, USA.
Lusas, R.W.,and Rooney L.W. 2001. Snack Foods Processing. CRC Press.
Moss, R., Gore, P.J. and Murray, I.C. 1987. The Influence of Ingredients and Processing Variables on the Quality and Microstructure of Hokkien, Cantonese and instant Noodles. Food Microstructure, 6:63-74.
Poste, L.M. Mackie, D.A., Butler, G. , and Larmond, E. 1991. Laboratory Methods for Sensory Analysis of Food. Research Branch Agriculture Canada Publication 1864/E.
Rahayu W.P. 1994. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.
Sikorski, Z.E. 2001. Chemical and Functional Properties of Food Proteins. Technomic Publishing. Lancaster 2001.
Simanjuntak, R.H. 2001. Pembudidayaan Ikan Lele Lokal dan Dumbo. Pustaka Desa-Penerbit Bhratara, Jakarta.
Format t ed: Font: (Default) Arial, 11 pt
Format t ed: No underline Format t ed: No underline, Swedish (Sweden)
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuesioner Uji Ranking Kerenyahan Tekstur
Produk : Makanan ringan
NAMA : _________________________________ TANGGAL : _________2006
Urutkan tingkat kerenyahan dari ketiga tekstur makanan ringan yang dihidangkan. Yang paling renyah diberi rangking pertama, yang kedua renyah berikan urutan kedua dan yang paling tidak renyah berikan urutan ketiga. Ujilah sampel dengan urutan kode yang tertulis di bawah ini:
Tempatkan kode pada urutan yang saudara/i pilih : Kode 321 Kode 564 Kode 224
Ranking :
Lampiran 2a. Hasil uji Instron Texture Analyzer terhadap Proses 1A suhu adonan panas dan jenis ekstruder Strap
Ulangan ke Load (kgf) Axial Max.load (kgf)*
1 25.74490 5.79170 36.75000
2 23.06030 5.81180 35.42000
3 23.99990 5.81020 34.75000
4 20.52340 5.79340 33.42000
5 22.96640 5.81850 33.15000
6 24.73820 5.79170 31.74000
7 22.04020 5.81850 30.72000
8 19.23490 5.81350 29.22000
9 17.46300 5.79010 28.56000
10 18.22810 5.81020 28.50000
11 17.07380 5.81850 26.4700 0
12 20.56370 5.80170 26.17000
13 14.38920 5.83010 23.68000
14 16.55030 5.79340 22.44000
15 16.85900 5.81180 22.12000
*) Angka yang menunjukkan kerenyahan tesktur. Nilai semakin tinggi, tekstur semakin renyah
Lampiran 2b. Hasil uji Instron Texture Analyzer terhadap Proses 1AC suhu adonan panas dan jenis ekstruder strap kombinasi dengan meat chopper extruder (MCE)
Ulangan ke Load (kgf) Axial Max.load (kgf)*
1 22.16100 5.79340 34.70000
2 20.12080 5.80170 34.48000
3 21.86570 5.79340 30.48000
4 21.71810 5.82680 28.51000
5 18.69790 5.80340 28.39000
6 24.87240 5.80170 28.24000
7 21.11400 5.79010 27.18000
8 16.46980 5.79400 26.09000
9 14.05370 5.80170 25.11000
10 17.97310 5.88010 24.78000
11 12.93960 5.79170 23.65000
12 11.93290 5.82020 21.38000
13 10.37580 5.81180 20.94000
14 15.69120 5.82850 19.73000
15 10.21470 5.79340 19.33000
Lampiran 2c. Hasil uji Instron Texture Analyzer terhadap Proses I B suhu adonan panas dan jenis ekstruder vermicelli
Ulangan ke Load (kgf) Axial Max.load (kgf)*
1 16.45630 29.79000
2 9.70470 5.80170 20.95000
3 11.85230 5.82020 17.87000
4 6.00000 5.80010 17.57000
5 7.78520 5.79510 17.44000
6 8.16110 5.78680 17.06000
7 6.17450 5.81020 16.85000
8 8.71140 5.82680 16.58000
9 11.18120 5.78840 16.48000
10 9.28860 5.81180 16.24000
11 9.35570 5.83180 15.41000
12 10.48320 5.81180 13.07000
13 8.60400 5.82180 12.56000
14 6.29530 5.82020 10.04000
15 5.10070 5.79510 9.24000
16 6.17450 5.81020 16.85000
*) Angka yang menunjukkan kerenyahan tesktur. Nilai semakin tinggi, tekstur semakin renyah
Lampiran 2d. Hasil uji Instron Texture Analyzer terhadap Proses I BC suhu adonan panas dan jenis ekstruder v ermicelli kombinasi dengan
meat chopper extruder (MCE)
Ulangan ke Load (kgf) Axial Max.load (kgf)*
1 74.09380 5.82180 88.03000
2 61.69110 5.82680 78.04000
3 56.83210 5.79510 77.69000
4 59.35560 5.81180 76.38000
5 58.04010 5.80170 75.87000
6 56.83210 5.82680 73.74000
7 53.98640 5.79170 72.94000
8 57.66430 5.82680 72.89000
9 54.71130 5.81020 72.64000
10 49.77170 5.80170 69.99000
11 45.12740 5.79170 65.15000
12 47.85220 5.80340 64.56000
13 42.99320 5.80850 55.76000
14 50.44280 5.79340 55.22000
15 39.87910 5.82020 54.93000
16 45.12740 5.79170 65.15000
Lampiran 2e. Hasil uji Instron Texture Analyzer terhadap Proses 1C suhu adonan panas dan jenis ekstruder meat chopper extruder (MCE)
Ulangan ke Load (kgf) Axial Max.load (kgf)*
1 39.28850 5.82510 54.23000
2 37.47640 5.79510 52.13000
3 34.84560 5.80680 47.11000
4 34.81870 5.81020 46.76000
5 34.08040 5.79170 46.62000
6 31.79860 5.81020 45.25000
7 32.26840 5.81850 44.48000
8 34.51000 5.80680 44.31000
9 29.48990 5.80170 42.42000
10 27.15430 5.81180 41.02000
11 23.89260 5.78680 40.38000
12 26.34890 5.80170 38.30000
13 23.79860 5.79510 36.48000
14 23.16770 5.80010 35.76000
15 24.95300 5.81850 35.29000
*) Angka yang menunjukkan kerenyahan tesktur. Nilai semakin tinggi, tekstur semakin renyah
Lampiran 2f. Hasil uji Instron Texture Analyzer terhadap Proses IIA suhu adonan dingin dan jenis ekstruder Strap
Ulangan ke Load (kgf) Axial Max.load (kgf)*
1 35.69120 5.80010 53.45000
2 38.92610 5.79170 46.15000
3 30.91270 5.80010 45.36000
4 29.85230 5.81680 42.85000
5 23.20800 5.81020 39.77000
6 27.39590 5.82020 35.87000
7 26.68450 5.80340 35.56000
8 26.30870 5.79510 35.49000
9 20.51000 5.80170 34.09000
10 24.21470 5.82020 33.54000
11 22.67110 5.78680 32.60000
12 16.40270 5.79170 31.61000
13 23.36910 5.82020 29.52000
14 17.16770 5.81180 28.72000
15 20.36240 5.78180 26.64000
Lampiran 2g. Hasil uji Instron Texture Analyzer terhadap Proses IIAC suhu adonan dingin dan jenis ekstruder strap kombinasi dengan meat chopper extruder (MCE)
Ulangan ke Load (kgf) Axial Max.load (kgf)*
1 87.3 8230 5.81180 114.40000
2 79.62400 5.81020 102.80000
3 80.18770 5.82510 100.20000
4 72.34880 5.80170 99.36000
5 79.48970 5.81020 99.36000
6 69.04680 5.80170 95.46000
7 72.42930 5.82680 95.27000