• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Mutu Ubi Jalar (Ipomea Batatas L.) Segar Pada Sistem Penyimpanan Skala Pedesaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perubahan Mutu Ubi Jalar (Ipomea Batatas L.) Segar Pada Sistem Penyimpanan Skala Pedesaan"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

PERUBAHAN MUTU UBI JALAR (Ipomea batatas L.) SEGAR

PADA SISTEM PENYIMPANAN SKALA PEDESAAN

MAFTUH KAFIYA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perubahan Mutu Ubi Jalar (Ipomea batatas L.) Segar pada Sistem Penyimpanan Skala Pedesaan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016

Maftuh Kafiya

(4)
(5)

RINGKASAN

MAFTUH KAFIYA. Perubahan Mutu Ubi Jalar (Ipomea batatas L.) Segar pada Sistem Penyimpanan Skala Pedesaan. Dibimbing oleh SUTRISNO dan RIZAL SJARIEF SJAIFUL NAZLI.

Ubi jalar segar merupakan salah satu bahan pangan pengganti makanan pokok yang berfungsi sebagai produk pangan alternatif dan fungsional yang banyak ditanam di pedesaan. Sebagian besar kebutuhan pangan di perkotaan dipenuhi oleh bahan pangan yang ada di pedesaan. Oleh karena itu perlu penanganan pascapanen yang tepat di pedesaan khususnya pada penyimpanan sehingga kualitas ubi jalar masih dalam keadaan baik mengingat produk pangan selalu mengalami perubahan mutu setelah panen.

Tujuan umum penelitian ini adalah mengkaji beberapa metode penyimpanan pada sistem skala pedesaan, sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini, yaitu 1) melakukan identifikasi dan analisis perubahan mutu ubi jalar segar berdasarkan fisiologis, kimiawi dan mikrobiologis pada beberapa sistem penyimpanan skala pedesaan, 2) menentukan umur simpan ubi jalar pada sistem penyimpanan skala pedesaan yang terbaik.

Ubi jalar varietas Manohara dengan umur panen 5 bulan setelah tanam dibersihkan dan dilakukan curing selama 4 hari pada suhu ruang, kemudian disimpan pada beberapa sistem penyimpanan skala pedesaan yaitu di dalam tanah dengan alas tumpukan pasir-jerami (P1), di dalam tanah dengan alas tumpukan plastik-jerami (P2), di dalam kotak kayu dengan taburan serbuk gergaji (P3) dan di ruang gudang dengan alas terpal (P4). Penyimpanan dilakukan selama 28 hari pada musim kemarau dan diamati suhu dan RH ruang penyimpanan serta beberapa parameter mutu baik secara kuantitatif yaitu susut bobot maupun kualitatif berdasarkan fisiologis, kimiawi, dan mikrobiologis setiap 7 hari sekali. Selanjutnya dilakukan pendugaan umur simpan terhadap salah satu parameter penentu terjadinya kerusakan pada ubi jalar yaitu kadar air dengan melakukan pendekatan semi empiris yaitu kinetika orde satu.

(6)

dengan udara sehingga kandungan β-karoten menurun menjadi 0.145 mg/100g. Sedangkan pada P1, P2 dan P3 mengalami kenaikan karena ubi jalar tertutup oleh bahan tumpukan seperti jerami dan serbuk gergaji dengan kadar masing-masing perlakuan sebesar 0.234, 0.221 dan 0.221 mg/100g. Penyakit yang ditemukan pada penelitian ini adalah busuk Fusarium pada P4 dan penyakit java black rot pada P2.

Berdasarkan parameter mutu di atas maka perlakuan terbaik adalah P1 yaitu penyimpanan di dalam tanah dengan alas tumpukan pasir-jerami yang memiliki suhu dan RH penyimpanan sebesar 28.72 oC dan 78.55%. dengan pendugaan umur simpan pada sistem penyimpanan ini mencapai 14 hari. Metode penyimpanan ini mampu menekan suhu lebih rendah dari lingkungan luar dan memberikan RH yang kondusif untuk penyimpanan ubi jalar. Hal ini disebabkan oleh keberadaan jerami sebagai bahan organik yang mampu mengurangi jumlah radiasi matahari yang diserap oleh tanah dan adanya pasir yang mampu menjaga kelembaban udara.

(7)

SUMMARY

MAFTUH KAFIYA. Quality Changes of Fresh Sweet Potato (Ipomea batatas L.)

in rural storage. Supervised by SUTRISNO and RIZAL SJARIEF SJAIFUL NAZLI.

Fresh sweet potato is one of the staples that can be used as main carbohydrate sources, as well as a functional product that many cultivated in rural area. The majority of food that consumed in urban area is cultivated in rural area, including sweet potato. Consequently, the applicable handling in rural area for sweet potato is important to counter some quality changes that naturally happen to any food produce during storage.

The general purpose of this research was to study several storage methods suitable for rural area, while the specific purposes were 1) to identify and analyze quality changes of sweet potato in relation to physiological, chemical, and microbiological aspects in rural storage, 2) to conclude the shelf life of fresh sweet potato of the best rural storage.

Manohara sweet potato, which needs five months of growth before ready to be harvested, was rinsed and cured for four days at room temperature, and then stored in several storage settings, i.e. underground storage with sand-straw (P1), underground storage with plastic-straw (P2), inside a wooden box with sprinkling of sawdust (P3), and inside a warehouse with a tarpoulin mat (P4). The storage procedures stayed for 28 days in dry season, in the meantime some data, such as temperature, relative humidity, quantitiy parameter (weight loss) as well as some quality parameters (based on physiological, chemical, and microbiological aspects), were collected every seven days. After that, the shelf life was estimated using one distinct parameter that indicated the decreasing quality of sweet potatoes (i.e. moisture content) by conducting semi-empirical approach, namely first order kinetics.

According to the result, there were increases in sweet potatoes' shrinkage during storage for each P1, P2, P3, and P4: 13.41, 6.96, 18.94 and 24.74% respectively. There were also physiological quality changes in the form of sprouting and declining of sweet potato hardness during storage life. The sprout first emerged on the seventh day of treatment P4, and also on the 28th day of both P1 and P3, meanwhile there was no sprouting in treatment P2 until the end of observation. The hardness of sweet potatoes in the begining of the research was 81.05 N, had been declining throughout the storage period with the least number was found in P4 which also statistically significant compared with the rest of treatments. Chemical quality changes were resulting in changes of nutritional content, i.e. moisture content, starch content, and β-carotene content, that were measured in the begining of the research respectively 65.71%, 58.96%, and 0.167 mg/100 g. Moisture content and starch content were both decreasing in all treatments until the end of observation, with the lowest percentage were found in P4, i.e. 58.96% and 11.35%.

(8)

potatoes were covered in materials such as straw and sawdust. Beta-carotene content of each treatments were 0.234 mg/100 g (P1), 0.221 mg/100 g (P2) dan 0.221 mg/100 g (P3). Postharvest diseases that had been identified during this research were Fusarium rot in P4 and java black rot in P2.

Based on mentioned parameters, the best method for storing sweet potato is treatment P1, i.e. underground storage with sand-straw, having the best temperature (28.72 oC) and relative humidity (78.55%). By using P1, shelf life estimation of sweet potato could reach up to 14 days. This method could supress temperature to be lower than its surrounding and as a result, providing conducive relative humidity for sweet potato storage. This could happen because straw as an organic substance could reduce sun radiation level that absorbed by the soil, while at the same time the sand could hold its humidity.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)

PERUBAHAN MUTU UBI JALAR (Ipomea batatas L.) SEGAR

PADA SISTEM PENYIMPANAN SKALA PEDESAAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

MAFTUH KAFIYA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

(11)
(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2015 ini adalah Perubahan Mutu Ubi Jalar (Ipomea batatas L.) Segar pada Sistem Penyimpanan Skala Pedesaan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr dan Bapak Prof Dr Ir Rizal Sjarief Sjaiful Nazli, DESS selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran, arahan dan motivasi kepada penulis dari awal hingga selesainya penulisan karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Dr Ir Emy Darmawati selaku dosen penguji yang telah ikut serta memberikan banyak masukan sehingga karya ilmiah ini dapat disempurnakan dengan baik. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, kakak, adik serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih pula penulis haturkan untuk teman-teman TPP 2013 yang telah banyak membantu selama proses perkuliahan, penelitian hingga penulisan karya ilmiah ini sehingga dapat selesai pada waktunya. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa memberikan hikmah dan rahmatNya kepada kita semua.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan membawa keselamatan di dunia dan akhirat.

Bogor, Agustus 2016

(14)
(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 2

3 METODE 8

Waktu dan Tempat Penelitian 8

Bahan 8

Alat 9

Prosedur Penelitian 9

Prosedur Analisis Data 12

Rancangan Percobaan 14

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 15

Kondisi Lingkungan Ruang Penyimpanan 15

Susut Bobot 18

Perubahan Mutu Fisiologis 20

Perubahan Mutu Kimiawi 22

Perubahan Mutu Mikrobiologi 25

Penentuan Umur Simpan 28

5 SIMPULAN DAN SARAN 29

Simpulan 29

Saran 30

DAFTAR PUSTAKA 31

LAMPIRAN 35

(16)

DAFTAR TABEL

1 Komposisi utama pada ubi jalar 4

2 Spesifikasi persyaratan khusus ubi jalar 7

3 Kadar β-karoten selama penyimpanan 25

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir penelitian 10

2 Penyimpanan di dalam tanah dengan alas tumpukan pasir-jerami (P1) 11 3 Penyimpanan di dalam tanah dengan alas tumpukan plastik-jerami (P2) 11 4 Penyimpanan di dalam kotak kayu dengan taburan serbuk gergaji (P3) 11 5 Penyimpanan di dalam gudang dengan alas terpal (P4) 11

6 Grafik suhu selama penyimpanan 16

7 Grafik suhu pada hari ke-15 penyimpanan 16

8 Grafik kelembaban relatif selama penyimpanan 17 9 Grafik kelembaban relatif pada hari ke-15 penyimpanan 18

10 Persentase susut bobot selama penyimpanan 19

11 Persentase pertunasan selama penyimpanan 21

12 Grafik kekerasan ubi jalar selama penyimpanan 21 13 Grafik kadar air ubi jalar selama penyimpanan 23 14 Grafik kadar pati ubi jalar selama penyimpanan 24 15 (a) Tanda penyakit busuk Fusarium pada P4; (b) Fusarium solani pada

ubi jalar (sumber: Saremi dan Okhovvat 2013)

26 16 (a) Tanda penyakit java black rot pada P2; (b) Penyakit Java black rot

pada ubi jalar (Nelson 2008)

26 17 Toksik pada ubi jalar : (1) Ipomeamarone ; (2) dehydroipomamarone; (3)

4-ipomeanol; (4) 1,4-ipomeadiol (sumber: Wamalwa 2015)

27 18 Grafik prediksi penurunan kadar air selama penyimpanan 28 19 Kadar air ubi jalar hasil prediksi dan observasi 29

DAFTAR LAMPIRAN

1 Uji sidik ragam suhu udara selama penyimpanan 32 2 Uji sidik ragam kelembaban udara selama penyimpanan 32 3 Uji Duncan suhu dan kelembaban udara pada pagi, siang dan malam 32 4 Uji Duncan suhu dan kelembaban udara selama penyimpanan 32 5 Uji sidik ragam mutu ubi jalar selama penyimpanan 32

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Umbi-umbian merupakan salah satu komoditi lokal yang mempunyai peranan penting karena kandungan karbohidratnya yang cukup tinggi mampu menggantikan perananan beras yang selama ini menjadi sumber karbohidrat utama bagi masyarakat Indonesia. Ubi jalar memiliki kandungan kalori sekitar 123 kal/100 gram yang dapat memberikan rasa kenyang dalam jumlah relatif sedikit. Disamping itu ubi jalar mengandung β-karoten dan antosianin yang dapat berfungsi sebagai antioksidan bagi tubuh, sehingga dapat digolongkan sebagai bahan pangan alternatif dan fungsional.

Kejadian kelaparan pada tahun 2013 di daerah Papua Barat menunjukkan rentannya ketersediaan bahan pangan pokok di daerah tersebut. Kejadian ini terulang kembali pada tahun 2015, di kabupaten Nduga, Papua yang disebabkan oleh adanya hujan es yang menyelimuti sebagian lahan pertanian masyarakat di sana, sehingga tanaman ubi jalar yang menjadi makanan pokok mereka, tidak bisa dipanen karena telah membusuk dan mati. Pemanenan ubi jalar di daerah tersebut biasanya dilakukan sedikit demi sedikit sesuai dengan kebutuhan petani. Namun ketika terjadi cuaca ekstrim, maka seharusnya petani memanennya secara serentak untuk menghindari kerusakan. Ketika dipanen serentak inilah perlu adanya penyimpanan yang baik sehingga cadangan makanan tetap tersedia walau terjadi cuaca ekstrim seperti kemarau panjang atau banjir terus menerus. Hal inilah yang menjadi peran utama penyimpanan yaitu menjamin pasokan bahan pangan untuk masa depan dan mengatur persediaan bahan pangan dalam menghadapi paceklik.

Kebutuhan pangan di perkotaaan sebagian besar dipenuhi oleh bahan pangan yang ada di pedesaan, termasuk salah satunya adalah ubi jalar yang banyak ditanam di pedesaan. Pasokan kebutuhan bahan pangan di perkotaan ditentukan oleh ketersediaan bahan pangan di pedesaan sehingga kerusakan dan kehilangan pascapanen yang menjadi salah satu isu utama ketersediaan bahan pangan perlu ditangani. Kehilangan merupakan segala bentuk perubahan dalam ketersediaan dan mutu bahan pangan, yang mengakibatkan bahan pangan tersebut tidak layak dikonsumsi. Menurut Malekuu (2014), kerusakan pada ubi jalar dapat mencapai 4-40% setelah tiga bulan pertama penyimpanan. Persentase yang cukup besar mengingat ubi jalar merupakan salah satu bahan pangan pokok di beberapa daerah di Indonesia. Limbongan dan Soplanit (2007) menjelaskan bahwa pemenuhan ubi jalar yang berkualitas, tepat jumlah, tepat waktu dan berkesinambungan perlu dilakukan dalam rangka penyediaan bahan pangan dan pakan ternak. Upaya tersebut memerlukan sentuhan inovasi teknologi yang sesuai dengan kondisi setempat, yaitu secara teknis dapat diterapkan, secara sosial budaya dapat diterima, dan secara ekonomis menguntungkan. Oleh karena itu dibutuhkan teknologi pascapanen terutama penyimpanan dengan sistem skala pedesaan yang baik dan tepat.

(18)

2

gergaji, pasir, jerami dan lain-lain untuk menciptakan kondisi lingkungan penyimpanan yang optimal (Muntandwa dan Gadzirayi 2007; Zuari 2013). Penyimpanan ubi jalar di dalam tanah dengan jerami dan pasir serta di dalam kotak kayu dengan taburan serbuk gergaji, ketiganya mampu menahan kerusakan ubi jalar minimal 1 bulan penyimpanan (Muntandwa dan Gadzirayi 2007; Dandago dan Gungula 2011). Namun penelitian tersebut dilakukan di negara Nigeria yang memiliki standar mutu yang berbeda dengan Indonesia. Zuari (2013) melakukanan penelitian di Indonesia dengan perlakuan penyimpanan penimbunan di dalam tanah yang juga dapat memperpanjang umur simpan minimal 1 bulan dengan waktu penyimpanan pada musim hujan.

Suhu, kelembaban udara, pergerakan udara, dan tekanan udara adalah komponen lingkungan yang berpengaruh terhadap kondisi lingkungan penyimpanan ubi jalar (Narullita et al. 2013). Pada akhirnya kondisi lingkungan ruang penyimpanan mempengaruhi mutu baik secara fisiologis, kimiawi maupun mikrobiologis bahan pangan sehingga akan berdampak pada daya simpan ubi jalar. Oleh karena itu, metode penyimpanan dengan media penyimpanan yang telah dilakukan pada skala pedesaan perlu dilakukan identifikasi dan analisis perubahan mutu pada ubi jalar selama penyimpanan pada beberapa media penyimpanan yang sesuai dengan mutu yang diterima oleh masyarakat Indonesia.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah mengkaji beberapa metode penyimpanan pada sistem skala pedesaan, sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini, yaitu: (1) melakukan identifikasi dan analisis perubahan mutu ubi jalar segar berdasarkan fisiologis, kimiawi dan mikrobiologis pada beberapa sistem penyimpanan skala pedesaan; (2) menentukan umur simpan ubi jalar segar pada sistem penyimpanan skala pedesaan yang terbaik.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah memberikan alternatif metode penyimpanan yang baik bagi ubi jalar pada skala pedesaan. Diharapkan umur simpan dari ubi jalar dapat lebih lama dengan kualitas fisik dan kandungan nutrisi yang masih baik dan masih dapat diterima oleh masyarakat Indonesia.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Ubi Jalar

Ubi jalar (Ipomea batatas L.) adalah tanaman tropis dan sub tropis yang tumbuh subur pada kondisi optimal antara 20-25 oC, tanaman ini dapat tumbuh pada

(19)

3 relatif mudah tumbuh, tahan hama dan penyakit serta memiliki produktivitas yang cukup tinggi (ILO 2013).

Menurut BSN (1998), ubi jalar merupakan umbi dari tanaman ubi jalar (Ipomea batatas L.) yang dalam keadaan utuh, segar, bersih dan aman untuk dikonsumsi serta bebas dari organisme pengganggu tanaman. Umbi tanaman ubi jalar merupakan bagian yang dimanfaatkan untuk bahan makanan yang mempunyai mata tunas yang dapat tumbuh menjadi tanaman baru. Ukuran, bentuk, warna kulit dan warna daging bermacam-macam tergantung varietasnya. Ukurannya ada yang besar dan ada yang kecil sementara bentuknya ada yang bulat, bulat lonjong dan bulat panjang. Kulitnya ada yang berwarna putih, kuning, ungu dan jingga. Sedangkan daging umbi juga memiliki berbagai warna yaitu warna putih, kuning, jingga dan ungu muda (Juanda dan Cahyono 2004). Berikut klasifikasi ubi jalar dalam taksonomi (Juanda dan Cahyono 2004)

Divisi : Spermatophyta

Akar dan umbi-umbian merupakan makanan yang pada dasarnya memberikan energi pada tubuh manusia dalam bentuk karbohidrat (Dandago dan Gungula 2011). Menurut Kueper (2010) ubi jalar sering disebut sebagai “super food

yang merupakan makanan sempurna yang mengandung serat, vitamin A, vitamin C, vitamin B6, potasium dan mangan serta rendah kalori. Rasa manis alami yang terdapat pada ubi jalar, tidak menyebabkan naiknya kadar glukosa atau kadar gula darah namun mampu menstabilkan gula darah sehingga tidak menyebabkan diabetes (ILO 2013).

Minat ubi jalar di Amerika semakin meningkat karena banyak inovasi makanan yang tercipta seperti keripik dan french fries. Selain itu ubi jalar banyak diminati oleh petani karena ubi jalar merupakan tanaman tangguh yang dapat hidup pada iklim yang tidak menentu dan toleran terhadap panas dan kekeringan (Kueper 2010). Di Indonesia sendiri, ubi jalar masih terbatas sebagai bahan pangan tambahan untuk industri. Kecuali di kawasan Indonesia Timur khususnya Papua dan Papua Barat yaitu di wilayah pegunungan tengah atau dataran tinggi Papua, ubi jalar dijadikan bahan pangan alternatif untuk mengganti beras dan jagung. Bagi petani di dataran tinggi Papua, komoditas ubi jalar bukan saja sebagai makanan pokok penduduk setempat, namun sebagai sumber karbohidrat bagi ternak peliharaan mereka yaitu babi (Soplanit 2013).

Kandungan nutrisi ubi jalar adalah karbohidrat (pati dan serat pangan) vitamin dan mineral (kalium dan fosfor). Disamping itu mengandung senyawa β -karoten dan antosianin yang dapat berfungsi sebagai antioksidan. Sehinga ubi jalar memiliki potensi yang baik sebagai tanaman yang dapat menunjang diversifikasi pangan (Anggraeni dan Yuwono 2014). Komposisi lengkap dari ubi jalar yang ditampilkan pada Tabel 1.

(20)

4

pada ubi jalar adalah 2.500 g/100 g umbi. Promosi ubi jalar sebagai makanan sehat perlu diintensifkan dalam rangka meningkatkan konsumsi ubi jalar, seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan (Jusuf et al. 2007).

Penanganan Pascapanen Ubi Jalar

Pemanenan ubi jalar dilakukan bila umbinya sudah tua atau matang fisiologis. Ubi jalar yang berumur pendek dapat dipanen pada umur 3-3.5 bulan, sedangkan varietas umur panjang dapat dipanen pada usia 4.5-5 bulan (ILO 2013). Terdapat dua sistem pemanenan yang biasa dilakukan oleh petani yaitu sistem pemanenan bertahap dan pemanenan serentak. Sistem pemanenan bertahap yaitu memanen umbi berukuran besar dan meninggalkan umbi berukuran kecil untuk tumbuh selama beberapa bulan sampai akar rambat tumbuh. Sistem penyimpanan ini mengakibatkan umbi yang tersisa di lahan rentan terhadap serangan infestasi serangga, khususnya selama musim kemarau. Sedangkan sistem pemanenan serentak memungkinkan ubi jalar terhindar dari serangan serangga karena pemanenannya dilakukan dalam satu waktu untuk semua ukuran umbi (Data et al.

1989).

Ubi jalar adalah produk yang mudah rusak, sehingga menjaga kualitas yang baik dan dapat diterima oleh konsumen adalah masalah utama di daerah tropis (Data

et al 1989). Berbagai kajian menyebutkan bahwa kehilangan pada saat pascapanen yang disebabkan selama penyimpanan sebesar 4-40% dari hasil pertanian dengan rincian penyebab adalah 31% cacat, 23% hama, 4% susut bobot, 21% pertumbuhan tunas dan 40% busuk. Produsen juga menyebutkan bahwa tindakan pecegahan untuk meminimalisisr kehilangan adalah dengan penanganan yang baik saat

Tabel 1 Komposisi utama pada ubi jalar

No Unsur Gizi Kadar/100 g bahan

(21)

5 pemanenan hingga distribusi (Malekuu et al. 2014). Anggapan tingginya biaya yang dibutuhkan untuk penanganan pascapanen menyebabkan para petani tidak menanganinya dengan baik. Sehingga perlu diidentifikasi penanganan yang menggunakan biaya terendah supaya permasalahan kehilangan pascapanen dapat teratasi (Muntandwa dan Gadzirayi 2007).

Kegiatan pascapanen yang perlu dilakukan sebelum penyimpanan meliputi pembersihan, sortasi dan grading. Pembersihan adalah membersihkan umbi dari kotoran yang dapat menjadi sumber kontaminasi dari bermacam patogen yang dapat merusak umbi selama penyimpanan. Pada saat pembersihan, pencucian tidak disarankan untuk dilakukan karena pencucian secara signifikan memberikan dampak susut bobot cukup tinggi dan terjadi pengerutan pada kulit ubi jalar. Hal ini disebabkan lapisan eksodermis pada kulit umbi menipis sehingga proses transpirasi lebih mudah terjadi (Data et al. 1989).

Sortasi adalah pemisahan umbi yang baik dengan umbi yang cacat. Pada kegiatan sortasi ini juga dilakukan kegiatan grading yaitu pengelompokan yang dilakukan berdasarkan ukuran dan tingkat kerusakannya. Fungsi sortasi dan

grading adalah mendapatkan umbi yang seragam sesuai dengan kualitasnya sehingga akan mempermudah penentuan harga di pasaran (Juanda dan Cahyono 2004).

Keseragaman sangat penting pada saat melakukan grading pada ubi jalar. Menurut BSN (1998), terdapat tiga parameter keseragaman yaitu warna, bentuk umbi dan berat umbi. Keseragaman warna yang dilihat adalah pada kulit dan warna daging umbi sesuai dengan varietasnya. Keseragaman bentuk umbi adalah keseragaman rasio panjang (P)/ lebar (L) dari ubi jalar, seperti bulat (P/L berkisar 1-1.5), elip (P/L berkisar 1.6-2.0) dan panjang (P/L > 2.0) sesuai dengan varietasnya. Sedangkan keseragaman berat umbi sesuai dengan tiga macam penggolongan berat yaitu golongan A ( berat > 200 g), golongan B (berat 100-200 g) dan golongan C (berat < 100 g).

Komoditas umbi yang mengalami kerusakan kulit akibat perlakuan mekanis harus segera ditangani karena kerusakan ini dapat memacu kehilangan air dan meningkatkan pembusukan oleh mikroorganisme (Utama 2006). Pada kentang, kehilangan berat saat dikupas adalah 3-4 kali lebih banyak bila dibanding kentang yang tidak dikupas (Winarno 2002). Pencegahannya adalah dengan melakukan kegiatan curing. Perlakuan curing dilakukan sebelum komoditas dipasarkan atau disimpan dengan tujuan agar permukaan kulit yang terluka atau tergores dapat tertutup kembali. Biasanya dilakukan dengan cara membiarkan bahan untuk beberapa hari pada suhu ruang. Pada ubi jalar dilakukan curing pada suhu 32.8 oC dengan humiditas relatif berkisar 95-97% (Samad 2006).

Penyimpanan

(22)

6

karena rusak dan berakar (ILO 2013). Selama ini belum ada metode penyimpanan yang bersifat universal untuk menangani kehilangan pascapanen (Muntandwa dan Gadzirayi 2007).

Ubi jalar sangat peka terhadap suhu rendah dengan gejala kerusakan yaitu daging umbi yang berwarna sangat pucat, berongga dan busuk yang sering disebut dengan chilling injury. Gejala kerusakan ini muncul jika disimpan pada suhu di bawah 13 oC, sehingga penyimpanan pada suhu rendah tidak sesuai untuk ubi jalar (Samad 2006).

Penyimpanan yang dilakukan pada suhu ruang yaitu 30 oC dengan RH 50-70% tidak lebih baik dari penyimpanan pada suhu 25 oC dengan RH 85-90%. Hal ini dibuktikan oleh Narullita et al. (2013) yang menyimpan ubi jalar di dalam plastik yang berongga selama 2 bulan pada kedua suhu penyimpanan tersebut. Beberapa parameter yang diukur yaitu susut bobot, kadar air, persentase pertumbuhan tunas dan panjang tunas pada ubi jalar menunjukkan hasil yang baik pada penyimpanan suhu 25 oC dengan RH 85-90%.

Metode penyimpanan yang murah dan tradisional yang paling umum adalah meninggalkan umbi di dalam tanah di bawah naungan pohon kemudian diambil jika umbi diperlukan. Terdapat beberapa kekurangan pada metode penyimpanan ini di antaranya adalah berkurangnya penggunaan lahan lebih lanjut, rentan terhadap serangan seranga dan tikus, serta sulit dilakukan pengontrolan secara rutin terhadap umbi yang berada di dalam tanah (Umogboi 2013; ILO 2013). Metode penyimpanan ini dilakukan untuk menghemat tenaga kerja dan transportasi selama pemanenan. Metode ini efektif selama musim kemarau, setelah musim hujan dimulai, lingkungan terus menerus lembab sehingga meningkatkan pembusukan pada ubi (Ofor et al. 2010)

Penyimpanan dalam tanah merupakan metode lokal yang banyak dilakukan oleh petani di Afrika. Penyimpanan dalam tanah dengan membuat lubang di dalam tanah yang sering disebut dengan underground pit, mampu menahan infestasi serangan kumbang selama 2-3 bulan. Lubang yang dibuat dilapisi dengan lapisan daun kering di bawah dan ditutup pula dengan rumput kering di atasnya setebal 5 cm. Pada sela-sela ubi jalar yang diletakkan di dalam lubang terdapat serbuk gergaji. Praktek ini umumnya dilakukan di Afrika bagian utara (Tewe et al. 2003).

Menurut Muntandwa dan Gadzirayi (2007), penyimpanan di dalam tanah memberikan dampak yang baik terhadap ubi jalar yaitu tidak ada perubahan warna dan persentase susut bobot paling rendah di antara penyimpanan dengan abu dan rumput kering selama 5 bulan penyimpanan. Teknik penyimpanan di dalam tanah yang dilakukan adalah dengan menggali lubang pada kemiringan tertentu, hal ini dilakukan untuk menghindari akumulasi kelembaban yang dapat menyebakan busuk dan pertumbuhan akar dan tunas pada umbi.

(23)

7 Perubahan Mutu selama Penyimpanan

Penyimpangan mutu bahan pangan secara konvensional dapat dikelompokkan ke dalam penyusutan kualitatif dan penyusutan kuantitatif. Keduanya sama penting dalam penanganan pascapanen, terutama jika dinilai secara ekonomi. Penyusutan kualitatif adalah kerusakan yang terjadi akibat perubahan biologi (mikroba, tungau, serangga, respirasi), perubahan fisik (tekanan, getaran, suhu, kelembaban), serta perubahan kimia dan biokimia (reaksi pencokelatan, ketengikan dan aspek keamanan terhadap kesehatan manusia). Sedangkan penyusutan kuantitatif adalah kehilangan jumlah atau bobot hasil pertanian yang dikarenakan oleh penanganan pascapanen yang tidak memadai dan adanya gangguan biologi seperti proses respirasi, serangan serangga dan tikus (Syarief dan Halid 1993).

Mutu yang dapat diterima oleh BSN (1998) secara umum adalah tidak berbau asing, bebas hama dan penyakit, bebas bahan kimia, memiliki keseragaman warna, bentuk dan ukuran umbi, mencapai masak fisiologis optimal dan ubi jalar dalam kondisi bersih. Sedangkan persyaratan khusus ubi jalar ditampilkan pada Tabel 2.

Tanaman setelah dipanen masih mengalami kegiatan respirasi dan transpirasi. Kecepatan respirasi berbanding lurus dengan kenaikan susut bobot. (Onggo 2006). Aktivitas respirasi adalah memecah karbohidrat yang diproduksi selama proses fotosintesis dengan ketersediaan oksigen menjadi karbondioksida, air dan energi. Proses ini tidak memerlukan air dan terjadi siang dan malam (Utama 2006). Menurut Winarno (2002), laju respirasi dikendalikan oleh suhu lingkungan suatu produk. Pada setiap kenaikan suhu 10 oC, laju respirasi meningkat dua atau

tiga kali lipat, hal ini mengikuti hukum Van’t Hoff. Hukum tersebut menyatakan bahwa laju dari seluruh reaksi kimia dan biokimia meningkat dua atau tiga kali dengan setiap peningkatan suhu 10oC. Respirasi menghasilkan CO2 yang

menyebabkan terjadinya peningkatan suhu dan uap air. Sehingga proses kemunduran mutu seperti kehilangan air, pelayuan, dan pertumbuhan mikroorganisme akan semakin meningkat (Narullita et al. 2013).

Kehilangan air atau transpirasi selama penyimpanan berpengaruh terhadap penampakan yang diakibatkan oleh pelayuan atau pengeriputan sehingga produk menjadi kurang menarik, dengan tekstur yang jelek dan mutu menurun (Narullita

et al. 2013). Kecepatan transpirasi selain dipengaruhi oleh faktor lingkungan juga dipengaruhi oleh struktur dan komposisi bahan yang disimpan (Onggo 2006).

Selama penyimpanan, karbohidrat di dalam ubi berpotensi mengalami perubahan. Karbohidrat akan dirombak menjadi molekul yang lebih kecil (gula)

Tabel 2 Spesifikasi persyaratan khusus ubi jalar

(24)

8

untuk mendapatkan energi yang diperlukan dalam proses respirasi. Makin lama waktu penyimpanan maka rasa ubi makin manis, namun penyimpanan yang lama akan menyebabkan ubi keriput karena proses transpirasi (Onggo 2006).

Pendugaan Umur Simpan

Penentuan umur simpan produk dapat dilakukan dengan pendekatan semi empiris dengan bantuan persamaan matematika yaitu teori kinetika yang pada umumnya menggunakan orde nol atau orde satu untuk produk pangan. Hasil percobaan penentuan umur simpan diharapkan dapat memberikan informasi tentang umur simpan pada kondisi ideal. Suhu normal untuk penyimpanan yaitu suhu yang tidak menyebabkan kerusakan atau penurunan mutu produk. Suhu ekstrim atau tidak normal akan mempercepat terjadinya penurunan mutu produk dan sering diidentifikasi sebagai suhu pengujian umur simpan produk (Hariyadi 2004).

Perubahan mutu ubi jalar merupakan akibat dari adanya perubahan reaksi yang terjadi di dalam ubi jalar selama penyimpanan. Sebagian besar perubahan reaksi yang terjadi di dalam bahan makanan dapat dikaji menggunakan pendekatan kinetika. Pendekatan kinetika mempelajari gerakan atau perubahan suatu sistem kimia sebagai fungsi waktu. Menurut Karel dan Lund (2003), bahan pangan tergolong bahan yang tidak homogen artinya bahwa terdapat gradien konsentrasi di dalam seluruh jaringan bahan. Karena tidak homogen atau heterogen maka perlu dilakukan studi laju reaksi di dalam bahan pangan. Laju reaksi pada sebagian bahan makanan tergolong dalam reaksi orde satu persamaan Arrhenius seperti ditunjukkan pada Persamaan (1), dimana dC merupakan perubahan konsentrasi dan dt adalah waktu, sedangkan k adalah konstanta laju reaksi. Simbol operasi negatif (-) di depan gradien merupakan tanda bahwa konsentrasi [C] menurun selama proses berlangsung.

[ ]= −k × [C]

(1)

3

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada musim kemarau yaitu bulan Agustus-Desember 2015 dengan ruang penyimpanan di Laboratorium Lapangan Siswadi Soepardjo, dan pengujian mutu di tiga laboratorium yaitu Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem IPB, Laboratorium Biokimia Departemen Ilmu Teknologi Pangan IPB dan Laboratorium Analisis dan Kalibrasi Balai Besar Industri Agro (BBIA) Bogor.

Bahan

(25)

9 Kriteria ubi yang digunakan adalah 200-300 gram/buah, sehat tanpa cacat atau berpenyakit. Sedangkan bahan sebagai alas tumpukan adalah pasir, jerami, serbuk gergaji dan plastik. Pasir yang digunakan adalah pasir cimangkok dengan ukuran partikel 2 mm sedangkan jerami yang digunakan adalah jerami utuh yang diperoleh dari sawah. Bahan kimia yang digunakan adalah fenol 5%, H2SO4 pekat, etanol p.a

(pro analitik), glukosa standar untuk pembuatan larutan standar glukosa, KOH 50%, asam asetat glasial, dan THF serta β-karoten standar.

Alat

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini antara lain: Rheometer model CR-3000 yang digunakan pada pengukuran kekerasan; timbangan analitik, oven dan cawan digunakan pada pengujian kadar air; Spektrofotometer UV-Vis Genesys 20, autoclaf, magnetic stirer, pompa vakum, vortex dan mikropipet yang digunakan pada pengujian kadar pati. Pengukuran susut bobot menggunakan timbangan digital; penangas air, millipore filter, dan HPLC digunakan pada pengujian kadar β-karoten. Sedangkan pengukuran suhu dan RH lingkungan selama penyimpanan menggunakan environmentalmeter KW06-281.

Prosedur Penelitian

Penelitian dilakukan dalam 3 tahapan yaitu persiapan bahan, persiapan ruang penyimpanan dan pengamatan selama 28 hari penyimpanan. Tahapan penelitian ditampilkan pada diagram alir proses penelitian yaitu Gambar 1.

Persiapan bahan

Persiapan bahan pada ubi jalar dilakukan dengan proses pembersihan, sortasi dan curing. Ubi jalar yang telah dipanan kemudian dibersihkan dari kotoran dan dilakukan sortasi atau penyeleksian ubi yang baik dan sehat serta yang sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan untuk penelitian yaitu 200-300 g. Syarat umum ubi yang akan digunakan adalah tidak boleh mempunyai bau asing, bebas dari hama dan penyakit, tidak cacat dan busuk. Selanjutnya dilakukan curing yaitu dibiarkan selama 4 hari pada suhu ruang dengan tujuan agar permukaan kulit yang terluka atau tergores dapat tertutup kembali (Samad 2006).

Persiapan media alas tumpukan juga dilakukan yaitu pada pasir dan jerami yang dijemur terlebih dahulu selama 3 hari dengan masing-masing kadar air sebesar 4.7% dan 7%, sedangkan serbuk gergaji yang digunakan berkadar air 13.14%. Pengukuran Mutu Awal

Pengukuran mutu awal berupa bobot, kadar air, kadar pati, kekerasan, kadar β-karoten dilakukan sebelum bahan disimpan. Selain itu dilakukan pula pengecekan terhadap bahan dan dipastikan bahan tidak bertunas dan berpenyakit.

Persiapan ruang penyimpanan

(26)

10

(Gambar 4) dan gudang dengan alas terpal (Gambar 5). Ukuran lubang di dalam tanah adalah 50x70x70 cm, sedangkan kotak kayu dengan dimensi dalam yaitu 50x50x50 cm. Pasir yang digunakan sebagai media alas pada P1 sebanyak 10 kg, sedangkan tanah yang digunakan untuk menutupi lubang pada penyimpanan di dalam tanah setebal 5 cm untuk masing-masing lubang penyimpanan. Pada P1 dan P2 diberi pipa sebagai tempat masuk alat pengukur suhu dan kelembaban udara selama penyimpanan.

Gambar 1 Diagram alir penelitian Sortasi

Curing

Penyimpanan Ubi jalar

Di dalam tanah dengan alas pasir-jerami (P1)

Di dalam tanah dengan alas plastik-jerami (P2)

Di dalam kotak kayu dengan taburan serbuk gergaji (P3)

Di dalam ruangan dengan alas terpal

(P4)

Pengukuran mutu:

1. Susut bobot

2. Persentase pertunasan 3. Kekerasan

4. Kadar Air 5. Kadar Pati 6. Kadar β-karoten 7. Identifikasi Penyakit Pengukuran mutu

awal

(27)

11

Gambar 2 Penyimpanan di dalam tanah dengan alas tumpukan pasir-jerami (P1)

Gambar 3 Penyimpanan di dalam tanah dengan alas tumpukan plastik-jerami (P2)

Gambar 4 Penyimpanan di dalam kotak kayu dengan taburan serbuk gergaji (P3)

Gambar 5 Penyimpanan di dalam gudang dengan alas terpal (P4)

Pengamatan

(28)

12

yaitu pengamatan penyakit yang menyerang ubi jalar diamati pada akhir penyimpanan. Sebelum ubi jalar disimpan, dilakukan pengukuran mutu awal dari ubi jalar pada beberapa parameter yaitu bobot, kekerasan, kadar air, kadar pati dan β-karoten. Selanjutnya ubi jalar yang sudah selesai pada proses curing kemudian ditempatkan di dalam ruang penyimpanan yang telah siap. Tiap ruang penyimpanan diisi dengan ubi jalar sejumlah 20 buah.

Prosedur Analisis Data

Susut Bobot (AOAC 1995)

Perhitungan susut bobot ditentukan dengan menggunakan persamaan gravimetri yang berdasarkan persentase penurunan bobot sejak awal sampai akhir penyimpanan dan menggunakan Persamaan (2)

% susut bobot =W−WW × % (2)

Dimana:

W : bobot bahan awal penyimpanan (g)

Wa : bobot bahan akhir penyimpanan (g) hari ke-n

Persentase Pertunasan

Pengukuran pertunasan adalah dengan mengamati tiap pekan jumlah akar dan tunas yang tumbuh. Menurut Data et al. (1989), sprout adalah ketika lebih dari 10% ubi jalar memiliki bakal tunas dengan panjang 2 cm. Persentase pertumbuhan akar dan tunas dihitung dengan Persamaan (4).

% pertunasan = y y × % (3)

Kekerasan

Kekerasan umbi ubi jalar diukur dengan alat Rheometer yang diatur pada mode 20 dengan beban maksimum 10 kg. Kedalaman penusukan pada ubi jalar adalh 10 mm dengan kecepatan penurunan jarum 60 mm/menit, dan menggunakan jarum dengan diameter 5 mm. Ubi jalar diletakkan tegak lurus dengan jarum penusuk dan ditusukkan pada permukaan ubi jalar yang rata (Pertiwi 2009). Kadar Air

Pengujian kadar air dilakukan degan metode gravimetri (AOAC 2005) yaitu 5 gram sampel dikeringkan di dalam oven pada suhu 105oC sampai beratnya

konstan. Perhitungan kadar air basah (KA wb) menggunakan Persamaan (3).

%Ka wb = − × % (4)

Kadar Pati (Dubois et al. 1956) Pembuatan Larutan Standar Glukosa

Larutan glukosa murni (0.5 ml) yang masing-masing mengandung 0.0, 10.0, 20.0, 30.0, 40.0, 50.0, 60.0, 70.0 dan 80.0 µg larutan glukosa, ditempatkan ke dalam tabung reaksi. Masing-masing tabung reaksi tersebut kemudian ditambahkan 0.5 ml fenol 5% dan kemudian diaduk dengan vortex. Sebanyak 2.5 ml larutan H2SO4

(29)

13 didiamkan selama 10 menit, kemudian diaduk lagi dengan vortex. Sampel disimpan pada suhu ruang selama 20 menit sebelum diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 490 nm. Persamaan dari kurva standar larutan glukosa dibuat sebagai hubungan antara konsentrasi larutan glukosa (pada sumbu x) dan absorbansinya (pada sumbu y).

Persiapan Sampel

Kadar total pati sampel ubi jalar dianalisis dengan metode fenol sulfat dimana perhitungan kadar pati didapatkan dari analisis total glukosa terlebih dahulu. Sebanyak 1 gram ubi jalar kering yang telah ditumbuk halus dilarutkan ke dalam 100 ml etanol 95% dan dihomogenkan dengan magnetic stirer, yang kemudian suspensi pati disaring terlebih dahulu. Residu pati yang telah didapatkan, didiamkan semalam di dalam desikator dan kemudian ditimbang sehingga diketahui beratnya untuk menghitung pati pada sampel sebelum mengalami pencucian dengan etanol. Sebanyak 40 mg pati kering yang telah dihaluskan, ditambahkan dengan 20 ml aquades dan dimasukkan ke dalam autoklaf pada suhu 105 oC selama 1 jam. Larutan yang telah diautoklaf kemudian diencerkan 40 kali. Analisis sampel sebanyak 0.5 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 0.5 ml fenol 5% dan 2.5 ml larutan H2SO4 pekat. Larutan sampel didiamkan 10 menit di dalam suhu ruang,

diaduk dengan vortex dan didiamkan kembali selama 20 menit. Nilai absorbansi yang diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 490 nm dimasukkan ke dalam persamaan linear pada kurva standar yang telah diperoleh. Perhitungan kadar pati basis basah dapat menggunakan Persamaan (5).

%pati = T G % × .9 × −K (5) Kadar β-karoten

Persiapan Larutan Standar β-karoten

Ditimbang standar induk β-karoten 0.001 g dan kemudian dilanjutkan cara kerja sama seperti persiapan sampel. Kemudian dibuat deret standar dengan memipet larutan sebanyak 0.01, 0.02, 005, 0.1, 0.5 ml dan dilarutkan ke dalam labu takar 10 ml. Ditera dengan 1:1 THF: etanol. Larutan diinjek ke dalam HPLC dengan kondisi yang sama. Diplotkan hubungan antara luas area peak (sumbu y) yang terbaca dengan konsentrasi larutan (sumbu x) yang diinjeksikan (ppm). Kemudian didapatkan persamaan linear dari kurva tersebut, kurva yang baik memiliki linieritas (R2) di atas 0.990.

Persiapan Sampel

(30)

14

resistensinya sama dengan standar β-karoten. Kemudian area peak dimasukkan ke dalam persamaan dari kurva standar yang telah didapatkan sebelumnya dan didapatkan konsentrasi (ppm). Perhitungan kadar β-karoten dalam basis basah dapat menggunakan Persamaan (6).

Kadar βkaroten = × × Faktor pengenceran (6)

Identifikasi Penyakit

Identifikasi penyakit pada bahan pangan dapat dilakukan dengan metode diagnosis penyakit. Sinaga (2013) menyatakan bahwa, diagnosis penyakit merupakan proses mengidentifikasi penyakit melalui gejala dan tanda-tanda penyakit yang khas, termasuk faktor-faktor lain yang berhubungan dengan proses pembentukan penyakit tersebut. Pengamatan dilakukan pada akhir penyimpanan yaitu hari ke-28 dengan melihat secara visual perubahan fisik yang terjadi pada ubi jalar yang kemudian diidentifikasi dengan literatur yang telah ada.

Pendugaan Umur Simpan

Semakin lama proses penyimpanan maka konsentrasi kandungan di dalam bahan mengalami perubahan. Gradien garis (-k) pada Persamaan 1 yang merupakan nilai konstanta laju perubahan konsentrasi di dapat dengan membuat grafik hubungan ln Ct/Co terhadap waktu penyimpanan pada Persamaan 8, sedangkan untuk memprediksi nilai konsentrasi kandungan sesaat [Ct] dalam bahan selama penyimpanan digunakan Persamaan 9.

∫�[�][�] = ∫ −� � (7)

ln[��]

[��]= −� � (8)

[��] = − ∙�× [��] (9)

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 kali ulangan. Faktor yang digunakan yaitu ruangan penyimpanan dengan 4 taraf perlakuan yaitu penyimpanan di dalam tanah dengan alas tumpukan pasir-jerami (P1), di dalam tanah dengan alas tumpukan plastik-jerami (P2), di dalam kotak kayu dengan taburan serbuk gergaji (P3) dan di ruang dengan alas plastik terpal. Model linear dari rancangan acak lengkap dapat dilihat pada Persamaan (10).

Yij= µ + αi+ εij (10)

i = 1,2,3,4 ; j = 1,2,3 Dimana

Yij : parameter pengamatan pada perlakuan taraf ke-i dari ruangan

(31)

15 µ : rataan umum

αi : pengaruh taraf ke-i dari ruangan penyimpanan

εij : pengaruh acak (galat) pada perlakuan taraf ke-i dari suhu

penyimpanan dan ulangan ke-j

Data yang diperoleh kemudian dilakukan analisis sidik ragam pada tingkat kepercayaan 95%. Jika terdapat pengaruh perlakuan, maka akan dilakukan uji lanjut

Duncan Multiple Range Test (DMRT).

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Lingkungan Ruang Penyimpanan

Kondisi lingkungan ruang penyimpanan merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan karena menempatkan bahan pangan pada ruang penyimpanan yang tidak tepat dapat memberikan peluang terjadinya kerusakan. Berbagai kondisi lingkungan selama penyimpanan produk pertanian sangat berpengaruh terhadap mutu produk atau fisiologi pascapanennya (Winarno 2002). Narullita (2013) menyatakan bahwa suhu dan kelembaban udara adalah faktor lingkungan yang paling penting pada ruang penyimpanan karena dapat berpengaruh terhadap laju kehilangan air pada produk pangan. Perbedaan musim pada suatu daerah mempengaruhi hasil panen dari suatu produk. Penelitian ini dilakukan pada musim kemarau dengan waktu penyinaran matahari lebih lama daripada musim hujan sehingga suhu udara cenderung relatif tinggi dan kelembaban udaranya relatif lebih rendah daripada musim hujan.

Suhu Ruang Penyimpanan

Suhu selama penyimpanan yang ditampilkan pada Gambar 6 cenderung tidak berbeda pada tiap hari pengamatan. Rata-rata suhu pada ruang penyimpanan adalah 28.72 oC (P1), 28.85 oC (P2), 29.54 oC (P3) dan 29.61 oC (P4), dimana suhu di

dalam tanah terbukti lebih rendah dari pada suhu di dalam gudang. Pengaruh keberadaan jerami sebagai bahan organik mampu mengurangi jumlah radiasi matahari yang diserap oleh tanah. Menurut Budhyastoro et al. (2006), bahan organik mampu mengurangi fluktuasi suhu tanah. Penggunaan mulsa dan berbagai macam naungan dapat mengurangi hilangnya energi dari tanah akibat radiasi dan hilangnya air melalui evaporasi.

(32)

16

Suhu di luar gudang relatif lebih fluktuaktif daripada di dalam gudang dan di dalam tanah karena dipengaruhi oleh perubahan suhu atmosfer di atas permukaan tanah. Pada pagi hari suhu di luar gudang lebih rendah daripada di dalam gudang dan pada siang hari suhu di luar gudang lebih tinggi daripada di dalam gudang. Dinding ruangan yang membatasi antara lingkungan luar dengan dalam gudang berfungsi sebagai penghambat perpindahan panas dari luar ke dalam, sehingga suhu di luar gudang lebih mengikuti keadaan lingkungan alam yang tidak menentu. Hal ini juga dapat dilihat pada Gambar 7 yaitu grafik salah satu hasil pengukuran suhu ruang penyimpanan pada hari ke-15 penyimpanan.

Puncak kenaikan suhu terjadi pada siang hari yaitu 35 oC (Gambar 7) pada lingkungan luar gudang. Hal ini diperkuat dengan uji sidik ragam (Lampiran 1) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh waktu pada pagi, siang dan malam terhadap suhu udara ruang penyimpanan dan terdapat pula perbedaan yang nyata antara waktu pagi, siang dan malam hari (Lampiran 2). Ketika siang hari atau musim panas berlangsung, perolehan panas di dalam tanah melebihi hilangnya panas yang dapat mengakibatkan suhu tanah meningkat (Budhyastoro et al. 2006).

Gambar 6 Grafik suhu selama penyimpanan

20

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112131415161718192021222324252627282930

S

(33)

17 Namun pada P1 dan P2 suhu di dalam lebih rendah dari pada suhu di lingkungan luar, hal ini disebabkan oleh keberadaan jerami yang mampu menyerap panas dari radiasi matahari. Menurut Mawardi dan Sudaryono (2008), pada siang hari suhu permukaan tanah akan lebih tinggi jika dibandingkan suhu pada lapisan tanah yang lebih dalam karena permukaan tanah menyerap radiasi matahari secara langsung baru kemudian dirambatkan ke lapisan tanah yang lebih dalam secara konduksi.

Sedangkan untuk suhu pada P3 lebih rendah daripada P4 dan suhu udara di dalam gudang. Hal ini membuktikan bahwa serbuk gergaji pada P3 mampu menahan perpindahan panas dari lingkungan ke dalam bahan karena serbuk gergaji merupakan salah satu bahan isolator yang mempunyai nilai konduktivitas panas yang kecil. Hal ini juga dibuktikan dengan analisis sidik ragam (Lampiran 1) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh metode penyimpanan terhadap suhu udara ruang penyimpanan. Kemudian dilakukan uji lanjut (Lampiran 3) yang menyatakan bahwa suhu udara pada P1 berbeda nyata terhadap P2, P3 dan P4. Namun suhu udara antara P3 dan P4 tidak berbeda nyata terhadap suhu udara di dalam gudang. Hal ini menunjukkan bahwa ruang penyimpanan di dalam tanah mampu mengkondisikan suhu ruang penyimpanan lebih rendah daripada lingkungan luar. Khususnya pada P1 terbukti pula mampu menekan suhu menjadi lebih rendah daripada lingkungan luar.

Kelembaban Realtif Ruang Penyimpanan

Kelembaban relatif atau relative humidity (RH) pada ruang penyimpanan secara langsung berpengaruh terhadap masa simpan produk yang disimpan. Jika RH terlalu rendah maka akan terjadi pengeriputan pada kulit sedangkan jika terlalu tinggi memungkinkan mikroba dapat tumbuh dengan baik. RH selama penyimpanan ditampilkan pada Gambar 8 dengan rata-rata di luar gudang lebih besar daripada di dalam gudang dan RH pada P1 (78.55%) dan P2 (78.51%) juga lebih besar daripada di dalam gudang yaitu P3 (73.15%) dan P4 (68.07%). Hal ini disebabkan oleh suhu udara di dalam tanah lebih rendah daripada suhu di dalam gudang. Sedangkan nilai rata-rata P3 lebih tinggi daripada P4, hal ini menunjukkan bahwa serbuk gergaji mampu menjaga kelembaban udara lingkungan ruang penyimpanan. Seperti yang diungkapkan oleh Sumampow (2010), serbuk gergaji

Gambar 8 Grafik kelembaban relatif selama penyimpanan 0

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112131415161718192021222324252627282930

(34)

18

mempunyai sifat lambat lapuk sehingga media ini sangat baik untuk menyimpan air dan dapat mempertahankan kelembaban di sekitar bahan.

Pada hasil pengukuran selama penyimpanan, RH pada waktu pagi, siang dan malam hari berbeda. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 9, yaitu salah satu RH selama 1 hari penyimpanan pada hari ke 15 penyimpanan. Puncak RH terendah dialami pada siang hari yaitu 52.5% pada lingkungan luar sedangkan di dalam gudang cenderung lebih tinggi yaitu 75.9%. Hal ini juga disebabkan oleh intensitas radiasi matahari yang cukup tinggi pada siang hari. Menurut Mawardi dan Sudaryono (2008), pelepasan partikel uap air yang ada di udara dan di permukaan tanah pada pagi hari cukup sulit karena energi radiasi matahari yang diterima relatif kecil. Sedangkan pada siang hari terjadi penurunan kelembaban udara akibat energi radiasi yang cukup besar yang mengakibatkan proses evaporasi lebih cepat sehingga uap air yang terkandung di dalam udara lebih sedikit. Kemudian pada malam hari kembali meningkat kelembaban udaranya karena matahari terbenam dan tidak menyinari bumi lagi. Hal ini juga diperkuat dengan hasil analisis uji sidik ragam yang menunjukkan bahwa waktu pagi, siang dan malam hari berpengaruh terhadap RH ruang penyimpanan (Lampiran 4) dan terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga waktu tersebut (Lampiran 5).

Hasil uji sidik ragam juga menyatakan bahwa metode penyimpanan memberikan pengaruh terhadap RH ruangan penyimpanan (Lampiran 4). Kemudian dilakukan uji lanjut (Lampiran 6), hasilnya menyatakan bahwa RH pada P1 dan P2 tidak berbeda nyata, akan tetapi keduanya berbeda nyata terhadap RH pada P3 dan P4. Artinya bahwa RH pada P1 dan P2 memiliki kemampuan untuk menjaga kelembaban udara di dalam ruang penyimpanan yang hampir sama.

Susut Bobot

Selama penyimpanan, bahan pangan mengalami perubahan mutu baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Perubahan mutu yang terjadi secara kuantitatif ditandai dengan adanya kehilangan jumlah atau bobot hasil pertanian. Sedangkan perubahan mutu secara kualitatif ditandai dengan adanya kerusakan yang terjadi akibat perubahan fisiologis, kimiawi dan mikrobiologis. Perubahan mutu ini

(35)

19 diakibatkan oleh penanganan pascapanen yang tidak memadai salah satunya adalah kondisi ruang penyimpanan yang tidak sesuai dengan karakteristik bahan pangan yang disimpan.

Susut bobot merupakan salah satu penyusutan kuantitatif akibat adanya aktivitas biologis seperti proses respirasi, transpirasi dan pertunasan (Malekuu et al. 2014; Narullita et al. 2013). Selama penyimpanan, persentase susut bobot ubi jalar mengalami kenaikan untuk semua perlakuan penyimpanan, hal ini ditampilkan pada Gambar 10. Persentase susut bobot tertinggi pada akhir penyimpanan adalah pada P4 kemudian diikuti dengan P3, P1, dan P2 dengan nilai masing-masing secara berurutan adalah 24.74%, 18.94%, 13.41% dan 6.96%. Hal ini selaras dengan pengamatan Umogbai (2013) yang melakukan penyimpanan ubi selama 8 minggu dengan kondisi ruang penyimpanan di dalam tanah dan di gudang. Persentase susut bobot ubi yang disimpan di bawah tanah pada minggu keempat sebesar 3.5% lebih kecil daripada ubi yang di simpan di dalam gudang yaitu sebesar 7%. Hal ini disebabkan oleh suhu ruang penyimpanan di dalam tanah lebih rendah daripada di dalam gudang. Rendahnya suhu ruang penyimpanan menyebabkan aktivitas respirasi rendah akibatnya proses metabolisme yang menggunakan air dan energi hasil respirasi menjadi terganggu.

Persentase susut bobot pada P1 lebih kecil daripada P4 karena menurut Ravi

et al.(1996), pasir mampu membatasi pasokan oksigen dan menjaga suhu lingkungan lebih rendah. Selain itu keberadaan jerami juga mampu menciptakan kondisi udara di sekitar menjadi kering dan dingin (Muntandwa dan Gadzirayi 2007). Pasokan oksigen yang rendah mengakibatkan aktivitas respirasi menjadi rendah dan metabolisme pun menjadi terganggu.

Susut bobot berkorelasi dengan hilangnya air dan kelembaban di dalam produk sebagai hasil transpirasi (Malekuu et al. 2014; Pertiwi 2009). Menurut Knoth (1993), penyebab yang paling kuat terjadinya susut bobot adalah adanya transpirasi pada bahan pangan. Transpirasi merupakan kejadian perpindahan air dari dalam bahan ke luar akibat adanya perbedaan uap air di dalam produk yang jenuh dan uap air yang ada di luar produk kurang jenuh (Winarno 2002). Semakin rendah RH lingkungan ruang penyimpanan maka semakin cepat proses transpirasi terjadi. Hal inilah yang menyebabkan persentase susut bobot P4 lebih besar dari

(36)

20

metode penyimpanan lainnya karena nilai RH pada P4 cenderung paling rendah daripada metode penyimpanan lainnya.

Menurut Narullita et al. (2013), susut bobot normal tidak boleh lebih dari 8% dari bobot setelah dipanen. Sehingga dapat dilihat dari Gambar 10 bahwa persentase susut bobot pada P4 dari hari ke-7 penyimpanan hingga akhir penyimpanan di atas nilai normal. Sedangkan persentase susut bobot terbaik hingga akhir penyimpanan masih di bawah batas nilai normal P2 yaitu 6.96%. Plastik sebagai barier yang mampu menahan perpindahan uap air dari bahan ke lingkungan sekitar bahan. Persentase susut bobot pada P1 dan P3 yang masih di bawah nilai normal masing-masing adalah penyimpanan hari ke-21 sebesar 6.41% dan penyimpanan hari ke-7 sebesar 5.36%. Hal ini diperkuat dengan hasil analisis sidik ragam yang menyatakan bahwa keempat perlakuan metode penyimpanan memiliki pengaruh terhadap susut bobot ubi jalar selama penyimpanan (Lampiran 5). Setelah dilakukan uji lanjut, susut bobot pada metode penyimpanan P2 terbukti memberikan hasil beda nyata terhadap P1, P3 dan P4(Lampiran 6).

Perubahan Mutu Fisiologis

Pertunasan

Pertunasan merupakan salah satu tanda terjadi kerusakan fisiologis pada ubi jalar selama penyimpanan (Ofor et al. 2010). Keberadaannya menunjukkan adanya proses kehidupan pada ubi jalar yang dapat mempengaruhi nilai nutrisi yang terkandung di dalamnya. Menurut Knoth (1993), selama proses pertunasan umbi mengalami kehilangan nutrisi, mengering dan membusuk serta memungkinkan patogen dapat masuk ke dalam umbi sehingga penyimpanan lebih lanjut tidak dapat dilakukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa umbi yang mengalami pertunasan adalah umbi yang cacat. Hal ini sesuai dengan BSN (1998) yang menyatakan bahwa pertunasan merupakan salah satu kriteria umbi cacat sehingga ubi jalar yang bertunas tidak akan dipilih oleh konsumen. Selain itu pertunasan meningkatkan kandungan bahan kering yang artinya mengurangi kandungan air di dalam bahan yang berdampak pada pengkerutan (Umogbai 2013). Persentase pertunasan selama penyimpanan ditampilkan pada Gambar 11.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ubi jalar yang disimpan dengan metode penyimpanan P4 mengalami pertunasan pada hari ke-7. Tunas ubi jalar akan tumbuh setelah penyimpanan selama 1 minggu tanpa perlakuan khusus. Ubi jalar yang disimpan pada P1 dan P3, tunas muncul pada akhir penyimpanan yaitu hari ke-28 yang berkisar 3%, sedangkan P2 tidak mengalami pertunasan hingga akhir penyimpanan. Hal ini membuktikan bahwa kondisi lingkungan pada P4 memadai untuk pertumbuhan tunas. Penyimpanan dengan suhu tinggi dapat mengakibatkan dehidrasi yang berlebihan dan pertunasan (Ravi et al. 1996; Pertiwi 2009). Suhu ruang penyimpanan kontrol yang tinggi membuat respirasi ubi jalar meningkat dan mengakibatkan aktivitas metabolisme pun meningkat.

(37)

21 menunjukkan perbedaan nyata, namun memberikan perbedaan nyata terhadap P4 (Lampiran 6).

Kekerasan

Kekerasan terkait dengan kualitas tekstural suatu produk. Tekstur bergantung pada ketegangan, ukuran, bentuk, keterikatan sel-sel, adanya jaringan penunjang dan susunan tanaman (Pertiwi 2009). Gambar 12 merupakan grafik kekerasan ubi jalar selama penyimpanan yang dinyatakan dengan besarnya gaya yang diberikan hingga ubi jalar rusak. Pada Gambar 12 terlihat bahwa tingkat kekerasan mengalami penurunan selama penyimpanan untuk semua perlakuan metode penyimpanan. Menurut Zhang et al. (2002), umumnya periode penyimpanan yang lama dapat menurunkan tingkat kekerasan ubi jalar. Pada perlakuan P1 dan P3 tingkat kekerasannya hampir sama yaitu masing-masing 37.18

N dan 37.03 N. Sedangkan P4 tingkat kekerasannya sebesar 38.31 N dan P2 tingkat kekerasannya paling besar yaitu 40.12 N.

Gambar 12 Grafik kekerasan ubi jalar selama penyimpanan

0

(38)

22

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, perlakuan metode penyimpanan memberikan pengaruh terhadap tingkat kekerasan ubi jalar selama penyimpanan (Lampiran 7). Penurunan ini sangat dipengaruhi oleh kehilangan air dari dalam bahan (susut bobot). Hal ini selaras dengan kadar air dan susut bobot bahan yang juga mendapatkan pengaruh dari perlakuan metode penyimpanan. Menurut Winarno (2002), “firmness” buah yang berubah menjadi lebih lunak disebabkan

oleh adanya perubahan komposisi dinding sel yang mengakibatkan terjadinya perubahan turgor. Selain itu, pelunakan disebabkan oleh degradasi pati dalam bahan terutama untuk bahan dengan kandungan pati yang tinggi seperti ubi jalar

Berdasarkan analisis uji lanjut, P4 berbeda nyata terhadap P1 yang berbeda nyata terhadap P2 dan P3 (Lampiran 8). Hal ini selaras dengan uji beda nyata yang dilakukan pada kadar pati yang menghasilkan kesimpulan yang sama. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat kekerasan dipengaruhi juga oleh jumlah pati yang terkandung di dalam ubi jalar.

Kekerasan juga berkaitan dengan kemudahan mikroba masuk ke dalam bahan pangan. Semakin rendah nilai kekerasannya (lunak) maka menandakan bahwa struktur dinding sel di dalam bahan pangan tersebut menurun kekompakannya. Sehingga mikroba mudah menembus dinding sel dan merusak jaringan sel yang lain yang pada akhirnya mengalami pembusukan. Bahan pangan seperti ubi jalar merupakan bahan pangan yang banyak mengandung karbohidrat. Jenis mikroba yang sangat menyukai bahan pangan yang mengandung karbohidrat adalah kapang. Sehingga munculnya kapang selama penyimpanan dapat terjadi selama kondisi lingkungan penyimpanan mendukung pertumbuhan kapang.

Perubahan Mutu Kimiawi

Kadar Air

Air dalam bahan pangan mempunyai peranan yang besar sekali yaitu sebagai pelarut selama proses metabolisme. Kandungan air mencerminkan kesegaran dari bahan pangan karena umumnya selama proses penyimpanan kadar air dalam bahan pangan mengalami penurunan sehingga secara bertahap mengalami pelayuan dan pengkerutan. Hal ini dialami pula pada penyimpanan ubi jalar yang ditunjukkan pada Gambar 13.

(39)

23

Kemudian uji lanjut juga menyatakan bahwa kadar air P4 menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap P1, P2 dan P3 (Lampiran 6). Kadar air memiliki korelasi terhadap susut bobot karena keduanya dipengaruhi oleh kehilangan air dari dalam bahan. Akhir penyimpanan, dibandingkan metode penyimpanan lain, kadar air pada P4 memiliki kandungan paling rendah. Hal ini selaras dengan nilai susut bobotnya yaitu paling tinggi di antara metode penyimpanan lain. Kondisi penyimpanan pada P4 sangat mendukung terjadinya perpindahan uap air dari bahan ke lingkungan karena suhu penyimpanan pada kontrol lebih tinggi dari ruang penyimpanan lainnya. Menurut Winarno (2002), semakin tinggi suhu maka semakin besar kemampuan ruang penerima uap air dari produk.

Kadar Pati

Hasil pengamatan nilai rata-rata kadar pati ubi jalar pada awal penyimpanan cukup tinggi yaitu 41.34%. Kemudian terjadi penurunan kadar pati pada semua perlakuan metode penyimpanan. Penurunan kadar pati ubi jalar selama penyimpanan ditampilkan pada Gambar 14. Pada akhir penyimpanan, kadar pati ubi jalar berturut-turut untuk perlakuan P1,P2, P3 dan P4 sebesar 20.95%, 18.15%, 21.37% dan 11.35%. Berdasarkan hasil analisis uji sidik ragam, metode penyimpanan memberikan perngaruh terhadap kadar pati ubi jalar (Lampiran 5). Menurut Susilawati et al.(2008), penurunan kadar pati disebabkan oleh meningkatnya komponen non pati seperti selulosa, hemiselulosa, pektin dan lignin akibat hidrolisis. Menurut Ravi et al. (1996), menurunnya kadar bahan kering maka akan meningkatkan kandungan gula dalam umbi selama penyimpanan. Onggo (2006) meyebutkan bahwa kadar pati ubi jalar mengalami penurunan yang

Gambar 13 Grafik kadar air ubi jalar selama penyimpanan

(40)

24

diakibatkan oleh adanya aktivitas enzim amilase yang mengubah bentuk pati menjadi gula.

Perlakuan metode penyimpanan kontrol menghasilkan kadar pati yang jauh lebih rendah daripada metode penyimpanan lainnya. Hal ini disebabkan oleh suhu di dalam ruang penyimpanan gudang yang tinggi. Menurut Osunde (2008), penyimpanan ubi pada suhu ruang menghasilkan laju penurunan kadar pati lebih tinggi daripada suhu dingin. Kemudian dilanjutkan dengan analisis uji lanjut (Lampiran 6) yang menyatakan bahwa P1 tidak berbeda nyata dengan P2 dan P3 namun berbeda nyata terhadap P4. Sedangkan metode penyimpanan P3 tidak berbeda nyata dengan P4

Menurut Pertiwi (2009), ubi jalar dengan kandungan pati tinggi lebih diminati oleh masyarakat. Syarat kadar pati ubi jalar pada mutu I adalah 30%, sehingga berdasarkan standar ini, ubi jalar pada P4 hanya bisa bertahan hingga minggu pertama, P3 dan P2 minggu kedua serta P1 minggu ketiga penyimpanan.

Kadar β-karoten

Kandungan β-karoten pada setiap varietas ubi jalar berbeda-beda nilainya. Rentang nilai kandungan β-karoten pada ubi jalar adalah 0.1-8.8 mg/100g, dimana ubi jalar putih memiliki kandungan β-karoten paling rendah (K’osambo et al. 1999). Selama penyimpanan, kandungan nutrisi di dalam bahan pangan mengalami perubahan salah satunya adalah β-karoten. Tabel 3 menunjukkan bahwa kadar β -karoten di akhir penyimpanan pada P4 mengalami penurunan sedangkan metode penyimpanan lainnya tidak mengalami penurunan. Hal ini membuktikan bahwa kondisi ruang penyimpanan P4 sesuai untuk degradasi β-karoten. Menurut Erawati (2006), adanya struktur ikatan rangkap pada molekul β-karoten menyebabkan bahan ini mudah teroksidasi ketika terkena udara. Penyimpanan ubi jalar pada metode penyimpanan kontrol yang berada di dalam gudang memungkinkan ubi jalar untuk kontak langsung dengan udara.

Gambar 14 Grafik kadar pati ubi jalar selama penyimpanan

(41)

25

Pada beberapa kasus penyimpanan ubi jalar, kadar β-karoten yang terkandung di dalam ubi jalar mengalami peningkatan. Menurut Priyadarshani et al. (2007), penyimpanan dapat meningkatkan provitamin A dan β-karoten lebih dari 2 kali lipat. Peningkatan dapat terjadi karena ubi yang dipanen belum mencapai konsentrasi karotenoid optimal dan akan mengalami penstabilan ketika telah mencapai konsentrasi maksimal. Keterlambatan pemanenan merupakan kondisi yang dapat membuat kandungan karotenoid tidak mengalami perubahan karena proses fisiologis di dalam bahan pangan terhenti.

Sedangkan pada P3, ubi jalar tidak kontak langsung dengan udara, masih ada serbuk gergaji yang membatasi antara ubi jalar dengan udara. Terlebih lagi pada ruang penyimpanan di dalam tanah yaitu P1 dan P2, ubi jalar tidak kontak langsung dengan udara, masih terdapat tumpukan jerami yang membatasi ubi jalar dengan udara. Komposisi oksigen di dalam tanah juga jauh lebih sedikit dibandingkan dengan udara di luar tanah.

Kandungan β-karoten tertinggi didapatkan pada metode penyimpanan pasir-jerami yaitu 0.234 mg/100g. Hal ini dapat disebabkan oleh keberadaan pasir yang mampu membatasi pasokan oksigen dan menjaga suhu lingkungan menjadi rendah sehingga proses oksidasi terhambat. Sedangkan kandungan β-karoten pada P2 tidak berbeda dengan P3 yaitu sebesar 0.221 mg/100g.

Perubahan Mutu Mikrobiologi

Perubahan mutu pada bahan pangan dapat disebabkan oleh adanya mikrobia yang menyerang bahan pangan selama penyimpanan. Beberapa gangguan seperti keriput, berair, bintik-bintik hitam dan muncul miselium merupakan ciri khas keberadaan mikrobia di dalam bahan pangan terebut. Pada bahan pangan yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi seperti ubi jalar maka mikrobia yang paling banyak menyerang adalah jenis kapang. Menurut Oladoye et al. (2014), suhu penyimpanan yang dapat mengakibatkan tumbuhnya kapang adalah 13-29 oC.

Kapang lebih memungkinkan untuk ditemukan dibandingkan bakteri pada daerah yang beriklim sedang dan tropis seperti wilayah Indonesia. Hal ini dibuktikan oleh Oladoye et al. (2015) yang menyatakan bahwa selama tiga bulan penyimpanan jumlah kapang lebih tinggi daripada jumlah bakteri yang tumbuh pada umbi. Selain itu Oladoye (2013) juga menyatakan bahwa pada minggu ke-4 penyimpanan ubi jalar pada suhu 29oC dapat memunculkan kerusakan akibat serangan mikrobia khususnya kapang.

Tabel 3 Kadar β-karoten selama penyimpanan

(42)

26

Pada akhir penyimpanan, dilakukan pengamatan identifikasi penyakit pada ubi jalar secara makroskopis yaitu secara visual diamati gejala dan tanda-tanda penyakitnya. Ubi jalar pada P4 ditemukan kerusakan akibat mikrobia jenis kapang yang dapat dilihat pada Gambar 15a dengan gejala yaitu layu (kering) pada kedua ujung umbi, keriput pada permukaan umbi, kulit sangat lunak, warna pada permukaan umbi berubah menjadi sefdikit gelap dan terdapat miselium putih di permukaan kulit dan mengeras pada bagian tersebut. Berdasarkan gejala tersebut,

maka dapat didiagnosis sebagai penyakit busuk Fusarium yang disebabkan oleh kapang Fusarium spp. Gejala tersebut juga sama dengan yang ditemukan oleh Saaremi dan Okhovvat (2013) yang disebabkan oleh kapang Fusarium solani yang ditampilkan pada Gambar 15b.

Akhir penyimpanan ubi jalar pada P2 juga ditemukan ubi jalar yang berpenyakit yang ditunjukkan pada Gambar 16a dengan gejala busuk lunak pada

ujung umbi dan perubahan kulit menjadi gelap. Gejala ini sama dengan yang diamati oleh Nelson (2009) yang ditampilkan pada Gambar 16b, yaitu pembusukan diawali pada bagian ujung yang satu dan kemudian menjalar hingga bagian ujung yang lain. Pembusukan diikuti dengan perubahan warna yang berubah menjadi cokelat gelap kemudian beralih ke abu gelap atau hitam solid. Gejala tersebut termasuk dalam gejala penyakit java black rot yang disebabkan oleh kapang

Botryodiplodia theobrome yang menyerang pada waktu 3-5 minggu penyimpanan. Menurut Ray dan Ravi (2005), suhu optimum pertumbuhan kapang Botryodiplodia

Gambar 15 (a) Tanda penyakit busuk Fusarium pada P4; (b) Fusarium solani

pada ubi jalar (sumber: Saremi dan Okhovvat 2013)

Gambar

Grafik suhu selama penyimpanan
Tabel 1 Komposisi utama pada ubi jalar
Gambar 1  Diagram alir penelitian
Gambar 2  Penyimpanan di dalam tanah dengan alas tumpukan pasir-jerami (P1)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Digital Repository Universitas Jember Digital Repository Universitas Jember... Digital Repository Universitas Jember Digital Repository

Data kurva hasil penelitian ekstrak tersebut dapat dikategorikan baik karena nilai r dari ekstrak mendekati 1 sama dengan nilai Vitamin C sebagai kontrol positif yang

Berdasarkan hasil wawancara di Sekolah Dasar Islam Terpadu Lukmanul hakim, siswa radjin membaca diseko- lah, namun gurupun tetap memberikan tugas membaca dirumah melalui

Berdasarkan hasil Evaluasi Penawaran yang telah dilakukan oleh Pokja Pengadaan Barang / Jasa Satker.. BLKI Kendari, terhadap Dokumen Penawaran saudara untuk pekerjaan “Pengadaan

Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Widajanto (2018) yang menyatakan bahwa nilai tukar US dolar terhadap Rupiah berpengaruh positif dan

Sebanyak 55 orang responden (61,1%) memiliki kepuasan terhadap pemanfaatan BPJS kesehatan untuk mendapatkan layanan kesehatan di Puskesmas Singkil Utara dalam kategori yang

Cara pengumpulan data yang dapat berupa bukti tertulis dari objek penelitian untuk memperkuat data yang diperoleh khususnya yang berkaitan dengan analisis peran