• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kepadatan Jaringan Bisnis Umkm Dengan Kesejahteraan Pemilik Umkm

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Kepadatan Jaringan Bisnis Umkm Dengan Kesejahteraan Pemilik Umkm"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

IQBALUDIN AKBAR

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Kepadatan Jaringan Bisnis dengan Kesejahteraan Pemilik UMKM, Kasus Unit-unit UMKM di RW 10 Desa Ciherang, Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016

Iqbaludin Akbar NIM I34090089

1 Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus

(3)

Kesejahteraan Pemilik UMKM. Dibimbing oleh SAHARUDDIN.

UMKM sebagai sektor informal di daerah sub-urban mempunyai peran yang sangat penting bagi livelihood (nafkah) masyarakat setempat. Secara alamiah, para pelaku UMKM akan membentuk jaringan bisnis untuk mempertahankan atau mengembangkan usahanya. Jika pelaku UMKM tidak mempunyai kepadatan jaringan bisnis yang baik, maka ketika menghadapi kendala akan mengalami kesulitan atau mungkin bahkan terjadi kerugian dan mempengaruhi kesejahteraan pelaku UMKM. Penelitian ini bertujuan untuk melihat keterhubungan antara kepadatan jaringan dengan kesejahteraan pelaku UMKM. Penelitian ini dilakukan di RW 10 Desa Ciherang Kabupaten Bogor dengan jumlah responden tiga puluh pelaku UMKM. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif menggunakan kuesioner sebagai alat penelitian dan dianalisis dengan metode tabulasi silang. Sedangkan pendekatan kualitatif dilakukan melalui wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada keterhubungan antar semua variabel dalam tabel tabulasi silang, dan jugadari melalui Chi-square Test di SPSS 16 menunjukkan tidak adanya nilai signifikansi dibawah 0.05. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kepadatan jaringan bisnis tidak menentukan kesejahteraan pelaku UMKM di RW 10 Desa Ciherang.

Kata kunci: kesejahteraan, kepadatan jaringan, UMKM

ABSTRACT

IQBALUDIN AKBAR. The Correlation Between Business Network Solidity with SMEs Entrepreneur Welfare. Supervised by SAHARUDDIN.

SMEs as informal sector in sub-urban areas have a very important role for the local livelihood. Naturally, SMEs entrepreneur would form a business network to

maintain or expand it’s venture. If SMEs do not have a good business network density, then when facing obstacles will have trouble or maybe even a loss and effect to SMEs’s welfare. The research has purpose to indentify correlitivity between network solidity with SMEs’s entrepreneur welfare. This research was conducted in RW 10 Ciherang Village, Bogor District with the number of respondents is thirty SMEs entrepreneur. The research approach used quantity and quality approach. Quantity approach using questionnaire as research tool and processed by the method of cross-tabulation. While quality approach did through by in depth-interview. The research results showed there was no connectivity between all variables in cross-tabulation table, and also Chi -square test in SPSS 16 as indicated by the absence of significant value under 0.05. It can be concluded that the density of business network do not define the welfare of SMEs entrepreneur in RW 10 CiherangVillage.

(4)

IQBALUDIN AKBAR

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(5)

UMKM, Kasus Unit-unit UMKM di RW 10 Desa Ciherang, Kabupaten Bogor

Nama : Iqbaludin Akbar

NIM : I34090089

Disetujui oleh

Dr Ir Saharuddin, M,Si Pembimbing

Diketahui oleh,

Dr Ir Siti Amanah, MS Ketua Departemen

(6)

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya serta karunia yang diberikan-hidayah-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Hubungan Kepadatan Jaringan Bisnis dengan Kesejahteraan Pemilik UMKM” dapat diselesaikan.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Ir. Saharuddin M.Si, selaku dosen pembimbing yang telah mengarahkan dan membimbing penulis menyusun skripsi dengan baik hingga selesai. Kemudian terima kasih untuk Dr. Ir. Sarwititi, MS selaku Pembimbing Akademik dan Mbak Dhiny, Mbak Icha, Mbak Anggra, Pak Atus, Pak Priat dan Mbak Maria selaku staf akademik yang tidak pernah bosan memfasilitasi kelanjutan penyelesaian studi. Penulis mengucapkan terima kasih setinggi-tingginya kepada Drs. Bachtiar Tofani dan Dra. Farida Ariani selaku orang tua yang senantiasa mendukung penyelesaian studi melalui bantuan moril maupun materil. Ucapan terima kasih juga penulis haturkan untuk Ir. Dadang Suparman dan Ir. Erna Kurnia selaku mertua dan Fajrina Nissa Utami, S.Kpm selaku istri yang selalu memberikan berbagai dukungan dan doa tanpa henti. Terima kasih penulis ucapkan kepada para warga RW 10 Desa Ciherang, terutama para pelaku usaha UMKM di RW 10 yang sudah bersedia meluangkan waktu untuk diwawancarai. Tak lupa penulis ucapkan kepada Yayan Saryani S.KPm dan teman-teman dari Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat angkatan 46, Tri Nuryanti, Rizka Amalia, Siska Oktavia, Siti Hadijah, Rizka Andini, Yosa, Femy Amalia dan lainnya yang memberikan bantuan teknis untuk penuntasan skripsi. Terakhir, penulis ucapkan terima kasih pula untuk keluarga Himpunan Mahasiswa Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto dan Gresik (Himasurya Plus) yang juga mendukung untuk penyelesaian skripsi ini. Semoga apa yang penulis tuliskan bisa memberikan manfaat bagi pembaca semua.

Bogor, Agustus 2016

(7)

ABSTRAK iii

PRAKATA vi

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN ix

PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Masalah Penelitian 2

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 5

PENDEKATAN TEORITIS

Livelihood Masyarakat Suburban 7

Usaha Mikro, Kecil dan Menengah 8

Jaringan Bisnis UMKM 13

Kesejahteraan Masyarakat 14

Kerangka Pemikiran 17

Hipotesis Penelitian 18

Definisi Operasional 18

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu 21

Teknik Sampling 21

Teknik Pengumpulan Data 21

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 22

GAMBARAN UMUM PENELITIAN

Keadaan Wilayah 23

Kondisi Demografi 23

Kondisi Sosial dan Ekonomi 25

KEPADATAN JARINGAN BISNIS

Jumlah Relasi 31

Intensitas Pertemuan 34

Kualitas Hubungan 34

KESEJAHTERAAN PEMILIK UMKM

Pemenuhan Kebutuhan Sandang 36

Pemenuhan Kebutuhan Pangan 36

(8)

DAFTAR PUSTAKA 47

(9)

Tabel 2. Pengertian UMKM menurut beberapa lembaga dan peneliti Tabel 3. Persentase pemenuhan kebutuhan manusia

Tabel 4. Jumlah dan kategori umur masyarakat Desa Ciherang Tabel 5. Stratifikasi sosial warga RT 2 RW 10 Desa Ciherang Tabel 6. Jumlah dan persentase responden menurut jumlah relasi

Tabel 7. Jumlah dan persentase responden menurut kategori UMKM dan jumlah usaha

Tabel 8. Jumlah dan persentase menurut intensitas pertemuan Tabel 9. Jumlah dan persentase kualitas hubungan

Tabel 10. Jumlah dan persentase menurut pemenuhan kebutuhan sandang Tabel 11. Jumlah dan persentase menurut pemenuhan kebutuhan pangan Tabel 12. Jumlah dan persentase menurut pemenuhan kebutuhan papan Tabel 13. Jumlah dan persentase responden menurut jumlah jaringan dan

pemenuhan kebutuhan sandang

Tabel 14. Jumlah dan persentase responden menurut jumlah jaringan dan pemenuhan kebutuhan pangan

Tabel 15. Jumlah dan persentase responden menurut jumlah jaringan dan pemenuhan kebutuhan papan

Tabel 16. Jumlah dan persentase responden menurut intensitas pertemuan dan pemenuhan kebutuhan sandang

Tabel 17. Jumlah dan persentase responden menurut intensitas pertemuan dan pemenuhan kebutuhan pangan

Tabel 18. Jumlah dan persentase responden menurut intensitas pertemuan dan pemenuhan kebutuhan papan

Tabel 19. Jumlah dan persentase responden menurut kualitas hubungan dan pemenuhan kebutuhan sandang

Tabel 20. Jumlah dan persentase responden menurut kualitas hubungan dan pemenuhan kebutuhan pangan

Tabel 21. Jumlah dan persentase responden menurut kualitas hubungan dan pemenuhan kebutuhan papan

Gambar 1. Piramida kebutuhan manusia 17

Gambar 2. Pemanfaatan lahan Desa Ciherang 24

Gambar 3. Persentase tingkat pendidikan masyarakat Desa Ciherang 24 Gambar 4. Persentase mata pencaharian masyarakat Desa Ciherang 26

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Peta Desa Ciherang 49

(10)

Lampiran 3. Kuesioner penelitian 53

Lampiran 4. Panduan wawancara mendalam 59

Lampiran 5. Hasil pengolahan data 60

Lampiran 6. Dokumentasi penelitian 68

(11)

Latar Belakang

Sektor informal dalam konsep kegiatan ekonomi daerah sub-urban berkaitan erat dengan kegiatan UMKM yang sudah menjadi pondasi kegiatan ekonomi kerakyatan. Mengutip pernyataan Winardi di jurnal karya Saryawan dkk (2014) tentang UKM, beliau mengungkapkan bahwa dalam sejarah perekonomian Indonesia, kegiatan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), yang dikategorikan sebagai usaha sektor informal, sangat potensial dan berperan dalam menyediakan lapangan pekerjaan dengan penyerapan tenaga kerja secara mandiri. Jauh sebelum krisis ekonomi sektor informal sudah ada, resesi ekonomi nasional tahun 1998 hanya menambah jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor informal. Pengusaha sektor informal adalah orang yang bermodal relatif sedikit berusaha di bidang produksi barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan kelompok tertentu di dalam masyarakat. Usaha tersebut dilaksanakan di tempat-tempat yang dianggap strategis dalam suasana lingkungan yang informal. Oleh karena itu, tidak salah apabila menyebut sektor informal sebagai kegiatan UMKM secara umum.

Data Kementerian Koperasi dan UMKM Indonesia tahun 2012 mencatat jumlah UMKM di Indonesia yaitu sekitar 55.206.444 unit, sedangkan UB (Usaha Besar) hanya berjumlah 4.952 unit. Itu artinya pelaku UMKM secara kuantitas menguasai sektor usaha dengan presentase 99,99% dan peningkatan jumlah UMKM pun terjadi dua hingga tiga persen tiap tahunnya. UMKM tidak hanya berada di perkotaan, tetapi juga di pedesaan. Menurut Tambunan (2009) UMKM, terutama usaha mikro dan kecil, tersebar hingga di seluruh pelosok pedesaan. Kelompok usaha ini mempunyai suatu signifikansi “lokal” yang khusus untuk ekonomi pedesaan. Kemajuan pembangunan ekonomi pedesaan sangat ditentukan oleh kemajuan pembangunan UMKM-nya. Dan kegiatan-kegiatan produksi dari kelompok usaha tersebut umumnya berbasis pertanian. Depkop (2011)2 pun menyebutkan PDB UMKM terbesar Indonesia berasal dari sektor pertanian. Fakta tersebut menyatakan bahwa UMKM memiliki pengaruh yang nyata bagi kesejahteraan masyarakat pedesaan, entah yang berada dalam wilayah sub-urban maupun tidak.

Jumlah UMKM sangat tinggi dan tersebar hingga pedesaaan tidak menjamin angka kemiskinan menurun drastis. Data terbaru BPS (2016) pada September 2015 mencatat bahwa kemiskinan masih cukup tinggi di perdesaan dengan jumlah 17371,09 atau 13,76 persen, daripada jumlah perkotaan yang hanya 10356,69 atau 8,16 persen. Artinya, jumlah orang miskin di pedesaan lebih tinggi dari perkotaan. Pemerintah sendiri telah melakukan aktivitas pemberdayaan UMKM dengan melakukan pendampingan, pengguliran modal usaha melalui lembaga keuangan mikro, pemberlakuan kebijakan usaha dll. Tetapi tampaknya usaha yang dilakukan pemerintah kurang memenuhi apa yang diinginkan semua pihak. Tujuan pemberdayaan itu sendiri menurut Prasetyo (2008) adalah agar perkembangan UMKM semakin baik sebagai langkah penanggulangan

2 Narasi Statistik Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Tahun 2010 2011 (Terdapat di:

(12)

kemiskinan dan pengangguran. Peran UMKM terhadap penyerapan tenaga kerja pada tahun 2010 tercatat sebesar 99.401.775 orang atau 97,22 persen dari total penyerapan tenaga kerja yang ada, kontribusi Usaha Mikro (UMi) tercatat sebanyak 93.014.759 orang atau 90,98 persen dan UK tercatat sebanyak 3.627.164 orang atau 3,55 persen. Sedangkan UM sebanyak 2.759.852 orang atau 2,70 persen selebihnya adalah UB. Meskipun memiliki daya serap tenaga kerja yang tinggi, tampaknya UMKM masih belum mampu mewujudkan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat, terutama yang berada di pedesaan.

Fungsi UMKM sebagai pengentas kemiskinan dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat ternyata secara nyata terkendala beberapa masalah dan hambatan yang umumnya dialami oleh semua pelaku usaha. Salah satu penyebabnya adalah karena faktor jaringan bisnis yang dimiliki oleh pelaku usaha. Dalam situs smartbisnis.com, dengan memiliki relasi atau jaringan bisnis yang baik dan terpercaya akan bisa menopang bisnis kita kedepannya. Hubungan bisnis ini yang menjadi pondasi kuat bisnis kita untuk bertahan hidup. Sama seperti kita dalam kehidupan sosial, pasti membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan bersosialisasi. Pada dasarnya manusia tidak bisa hidup sendiri. Inilah yang menjadi dasar dalam berbisnis3. Pada penelitian ini, jaringan bisnis dianalisis melalui kepadatan jaringan bisnis yang dimiliki oleh seorang pelaku usaha UMKM.

Desa Ciherang Kabupaten Bogor merupakan salah satu desa yang memiliki potensi UMKM yang cukup baik karena lokasinya yang dekat dengan perkotaan. Desa Ciherang dapat disebut sebagai daerah suburban karena jarak dengan kota Bogor hanya delapan kilometer dan 27 kilometer dengan Kota Jakarta. Livelihood masyarakat setempat mengalami beralih ke sektor perdagangan barang setengah jadi atau jadi, seperti maraknya toko kelontong atau warung. Sektor pertanian sudah mulai ditinggalkan dan bermunculan usaha berbasis jasa. Desa Ciherang juga sangat dekat dengan jalur antar provinsi. Jalur tersebut menghubungkan provinsi Jawa Barat dengan Banten. Kondisi infrastruktur Desa Ciherang berupa jalan utama yang cukup baik (rata-rata beraspal) membuat kegiatan sehari-hari masyarakat, terutama perekonomian tidak mengalami kendala berarti. Adanya beberapa perumahan di Desa Ciherang semakin menguatkan karakter daerah suburban. Walaupun masyarakatnya sudah berlaih dari sektor pertanian, lahan untuk bertani atau berkebun di Desa Ciherang masih dapat ditemui di beberapa tempat dengan cakupan yang cukup luas. RW 10 Desa Ciherang merupakan wilayah dengan jumlah UMKM dan penduduk yang paling tinggi daripada RW lainnya. Kepadatan tersebut menandakan variasi dan dinamika yang terjadi pada kondisi sosial-ekonomi lebih menarik dari daerah lainnya. Oleh karena itu, penting untuk dilakukan penelitian mengenai hubungan antara kepadatan jaringan bisnis UMKM dengan kesejahteraan pelaku usaha UMKM di RW 10 Desa Ciherang.

Masalah Penelitian

Suyono (2013) memaparkan bahwasanya secara umum usaha kecil memiliki karakteristik sebagai usaha yang tergolong ekonomi lemah, baik dari aspek:

3

(13)

pengetahuan, ketrampilan, teknologi yang digunakan, permodalan, pemasaran, promosi dan juga kerjasama. Kelompok usaha ini sulit bersaing dengan perusahaan raksasa. Namun realitasnya, tidak sedikit usaha kecil atau UKM memiliki produk yang bagus dan bernilai tinggi. Namun mereka sulit untuk memasarkan produknya. Selain itu, dalam hal manajerial biasanya UMKM di pedesaan belum memiliki struktur organisasi maupun aturan yang baik (masih tradisional).

Seorang wirausaha tidak dapat hidup sendiri dalam menjalankan usahanya, namun ada keterkaitan dengan pihak luar baik sebagai pemasok, pelanggan, maupun pedagang perantara. Oleh karena itu, diperlukan suatu jaringan usaha agar usaha yang kita jalankan berkelanjutan. Jaringan usaha dan komunikasi terbukti berperan penting dalam pengembangan usaha4.

Menurut Hafsah (2004), salah satu permasalahan dan penghambat UKM adalah lemahnya jaringan usaha. Usaha kecil yang pada umumnya merupakan unit usaha keluarga, mempunyai jaringan usaha yang sangat terbatas dan kemampuan penetrasi pasar yang rendah, oleh karena penduduk yang dihasilkan jumlahnya sangat terbatas dan mempunyai kualitas yang kurang kompetitif. Berbeda dengan usaha yang telah mempunyai jaringan yang sudah solid serta didukung dengan teknologi yang dapat menjangkau internasional dan promosi yang baik.

Oleh karena itu, untuk memperbaiki kekurangan UMKM dan menonjolkan keunggulannya, peran jaringan bisnis sangat berguna untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha dan orang-orang yang terlibat didalam aktivitas bisnis. Jaringan bisnis yang dimiliki seorang pelaku usaha tidak cukup hanya terbatas pada jumlah, tetapi juga harus diteliti melalui kepadatan jaringan bisnis yang merepresentasikan kekuatan jaringan yang sesungguhnya. RW 10 sebagai wilayah dengan jumlah penduduk dan unit UMKM terbanyak diharapkan dapat mewakili keseluruhan gambaran tentang kepadatan jaringan bisnis di Desa Ciherang. Jumlah penduduk dan unit UMKM yang tinggi tersebut diharapkan mampu memberikan identifikasi mengenai kepadatan jaringan bisnis UMKM di RW 10 Desa Ciherang.

Dalam perspektif yang lebih luas, bisnis memang dibangun oleh seseorang atau sekelompok orang. Namun, ia dibangun oleh motif bagaimana setiap orang sebagai anggota masyarakat memiliki kesempatan untuk menyumbangkan pikiran dan tenaganya bagi kesejahteraan bersama dan kesejahteraan bisnis itu sendiri. Para ekonom klasik berpendapat, tugas ekonomi adalah memberi alasan mendasar mengapa ekonomi perlu memfokuskan perhatiannya pada kesejahteraan bersama dan cara yang wajar untuk meningkatkan kekayaan, kemakmuran dan kesejahteraan bersama tersebut (Dua 2012).

Fahrudin (2012) menyebutkan bahwa sesungguhnya kehidupan yang diidamkan anggota masyarakat di pedesaan kita sekarang ini masih sangat sederhana karena kehidupan di pedesaan kita memiliki keindahan dan kebahagiaan tersendiri. Secara garis besar gambaran kehidupan sederhana tersebut dapat dilukiskan kira-kira sebagai berikut:

1. Cukup pangan, sandang, papan dan mampu menyekolahkan anak-anak

(14)

2. Bebas dari rasa takut yang menggambarkan kehidupan yang aman, rukun seiya sekata yang tua dihormati, yang kecil disayangi dan yang sebaya sebagai teman untuk mufakat.

3. Keadaan pasar yang ramai, dengan arti kata bahwa ada hasil produksi yang akan dijual dan barang-barang kebutuhan yang akan dibeli.

4. Tempat-tempat beribadah yang ramai dengan arti kata bahwa anggota masyarakat merasa perlu memanjatkan doa syukur kepada penciptanya. 5. Acara-acara adat dan seni budaya yang merupakan pusaka dari nenek

moyang mereka terlaksaana dengan laancar sekaligus merupakan hiburan dan menggambarkan kehidupan yang bahagia bagi mereka.

Dari pemaparan tersebut, kebutuhan nomer satu merupakan kebutuhan mendasar masyarakat di pedesaan. Kebutuhan mendasar dapat dikatakan sebagai kebutuhan pokok. Kesejahteraan dalam beberapa teori tidak akan tercapai tanpa adanya pemenuhan pokok atau dasar seseorang terlebih dahulu. Kebutuhan pokok atau dasar adalah hal fundamental yang harus dipenuhi setiap individu. Oleh karena itu, sebagai salah satu bentuk kegiatan ekonomi, UMKM tentunya diharapkan membawa kesejahteraan bagi masyarakat, terutama pelaku usaha. Kesejahteraan pelaku UMKM tidak perlu ditelaah secara luas, cukup dengan pemenuhan kebutuhan pokok atau dasar manusia. Urgensi kebutuhan pokok atau dasar itu sendiri berkaitan dengan hidup mati manusia secara fisik. Penetapan lingkup kebutuhan pokok atau dasar dalam penelitian ini dilakukan karena konteks lokasi yang masih tergolong pedesaan (jumlah kemiskinan tinggi), meskipun sudah sub-urban. Untuk memastikan semua hal tersebut, maka perlu dilakukan identifikasi terhadap kesejahteraan pelaku UMKM di RW 10 Desa Ciherang dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok atau dasar.

Kesejahteraan pelaku UMKM baik secara langsung maupun tidak, berkaitan dengan jaringan bisnis yang dimilikinya. Fungsi jaringan bisnis sendiri tidak hanya untuk pemasaran, tetapi yang utama adalah penyelesaian masalah. Jaringan bisnis ditandai dengan kepadatan jaringan bisnis. Hambatan dan masalah dalam kegiatan bisnis dapat berdampak pada stagnansi atau bahkan kerugian dan pentutupan usaha seseorang apabila sudah cukup parah. Kemiskinan secara sosial-psikologis menunjuk pada kekurangan jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas (Priadana dan Guntur, 2010). Produktivitas cukup baik dan keberhasilan usaha yang kontinyu tentunya akan membawa kesejahteraan bagi pelaku UMKM. Kesejahteraan dalam hal ini dimaknai sebagai terpenuhinya kebutuhan pokok atau dasar. Mengingat pentingnya jaringan bisnis terhadap perkembangan usaha dan dampaknya terhadap kesejahteraan pelaku UMKM, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan kepadatan jaringan bisnis dengan kesejahteraan pelaku UMKM.

Tujuan Penelitian

1. Untuk mengidentifikasi tingkat kepadatan jaringan bisnis UMKM di RW 10 Desa Ciherang

(15)

3. Untuk menganalisis hubungan antara kepadatan jaringan UMKM dengan kesejahteraan komunitas UMKM di RW 10 Desa Ciherang

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi berbagai pihak, yaitu:

1. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi dan kajian

2. Bagi pemerintah, penelitian diharapkan dapat menjadi bahan rujukan dan pertimbangan penetapan aturan atau kebijakan yang nantinya akan di implementasikan

(16)
(17)

Konsep ‘livelihood’ (penghidupan) secara luas digunakan dalam tulisan -tulisan kontemporer tentang kemiskinan dan pembangunan pedesaan, tetapi maknanya seringkali sulit dipahami, baik karena ketidakjelasan atau definisi yang berbeda yang ditemui dalam sumber yang berbeda. Definisi kamusnya adalah 'berarti hidup', yang langsung membuatnya lebih dari sekedar identik dengan penghasilan karena mengarahkan perhatian pada cara di mana hidup diperoleh, bukan hanya hasil bersih dalam hal penghasilan yang diterima atau konsumsi yang tercapai (Ellis 2000). ‘Livelihood’ dapat berarti mata pencaharian, penghidupan, nafkah dan rezeki5. Hogger (2004) mengungkapkan di bukunya bahwa ‘Livelihood’ menurut Kamus Bahasa Inggris Oxford tidak hanya merujuk

pada ‘cara hidup’ tetapi juga ‘berbagai cara mempertahankan hidup’. Dari kedua

arti tersebut, salah satunya mendapat kesan yang memperluas ruang lingkup dari

gagasan ‘livelihood’. Hal tersebut disebabkan karena ‘livelihood’ mengacu pada

banyak hal, seperti: cara, metode, gaya, kebiasaan atau adat bahkan melodi atau lagu, termasuk makanan, pendapatan, properti atau warisan. Dengan demikian,

‘mata pencaharian’ tampaknya dapat menjadi ‘melodi’ dan ‘uang’ pada saat yang sama. ‘Livelihood’ memiliki aspek non-fisik dan fisik.

Livelihood dapat diartikan sebagai aset (alam, manusia, finansial, sosial dan fisik), aktifitas dimana akses atas aset dimediasi oleh kelembagaan dan relasi sosial yang secara bersama mendikte hasil yang diperoleh oleh individu maupun keluarga (Ellis 2000). Sementara itu menurut Saragih dkk (2007), akses dapat didefinisikan sebagai suatu aturan dan norma sosial yang mengatur atau mempengaruhi keampuan yang berbeda antar individu dalam memiliki, mengontrol, mengklaim atau menggunakan sumber daya seperti penggunaan lahan di pedesaan.

Kemudian Ellis (2000) menjelaskan bahwa karakteristik fundamental livelihood pedesaan di negara-negara berkembang kontemporer adalah kemampuan untuk beradaptasi dalam rangka bertahan hidup. Kontruksi dari livelihood lebih jauh harus dilihat sebagai proses yang berkelanjutan, di mana ia tidak dapat diasumsikan bahwa unsur-unsurnya tetap sama dari satu musim ke musim lainnya atau dari satu tahun ke tahun berikutnya. Aset dapat dibangun, terkikis, atau seketika hancur (seperti, misalnya, dalam banjir). Aktivitas yang ada di aset berfluktuasi secara musiman dan tahunan, terutama yang berkaitan dengan tren ekonomi yang lebih besar dalam skala nasional dan internasional. Akses ke sumber daya dan peluang dapat berubah untuk rumah tangga karena pergeseran norma-norma dan peristiwa dalam konteks sosial dan institusional di sekitar mata pencaharian mereka.

Pada skripsi saudari Mustiqoh (2009), Kuswiyoto menjelaskan wilayah peralihan (Suburban) sering didefinisikan sebagai wilayah pinggiran kota, akan tetapi lebih tepat jika wilayah peralihan merupakan wilayah dengan karakteristik antara wilayah perkotaan dengan wilayah perdesaan. Apabila dilihat dari dalam suatu lingkungan daerah maka daerah sub urban merupakan daerah yang berada di antara rural dan urban. Juga dilihat sebagai suatu bentuk komunitas, maka

(18)

suburban merupakan komunitas yang memiliki sifat di tengah-tengah rural dan urban (Kuswiyoto dalam Mustiqoh 2009).

Masih di skripsi Mustiqoh (2009), Koestoer mernerangkan lebih lanjut mengenai wilayah suburban dalam perspektif lingkungan dikenal sebagai desa kota. Wilayah desa kota umumnya mengandung suatu karakteristik campuran desa dan kota. Beberapa daerah akan memperlihatkan bentuk kota dan yang lain akan lebih dekat ke arah ciri perdesaan. Pengertian dasar desa kota adalah sebagai tempat bermukim masyarakat pinggir kota dan dengan demikian mencakup semua aspek interaksi, perilaku sosial dan struktur fisik secara spasial. Dimana perkembangannya sangat bergantung pada spasial sistem yang lebih tinggi, yaitu kota. Adapun kondisi di Indonesia, wilayah peralihan banyak dipengaruhi oleh pola kehidupan kota ditandai dengan pembangunan perumahan baru. Kecirian spasial wilayah ini ditandai oleh bentuk-bentuk campuran antara perumahan teratur yang akan dibangun oleh pengembang dan perumahan asli tradisional setempat (Kuswitoyo dalam Mustiqoh 2009).

Kemudian Minarti (2014) menyebutkan karakteristik sub urban sebenarnya adalah pencampuran antara desa dengan kota. Beberapa daerah akan memperlihatkan bentuk kota dan yang lain akan lebih dekat dengan ciri-ciri pedesaan. Masyarakat sub-urban dapat menjadi penyangga (buffer) bagi kehidupan kota jika warganya memiliki kemampuan kontributif dalam kehidupan kota induk, sebaliknya masyarakat sub-urban hanya akan menjadi beban bagi kehidupan bagi kota induk apabila masyarakatnya tidak memiliki ketempilan atau kemampuan untuk berkontribusi bagi kehidupan kota induk.

Livelihood masyarakat sub-urban secara teknis sudah berbeda dengan masyarakat pedesaan (rural). Jika masyarakat pedesaan dicirikan dengan penggunaan aset modal alam yang masih berkaitan erat dengan hal-hal berbau pertanian, maka masyarakat sub-urban mulai meninggalkan sektor-sektor pertanian sebagai modal alam yang digunakan untuk dasar mata pencaharian sehari-hari. Selain itu, modal sosial juga mengalami perubahan, meskipun tidak terlalu signifikan tetapi nilai-nilai sosial pedesaan tergantikan dengan nilai-nilai perkotaan seperti konsumerisme, egoisme, penekanan terhadap prestise dan gaya hidup. Livelihood masyarakat sub-urban berada pada fase peralihan ke sektor-sektor usaha yang bersifat ‘kekotaan’. Sektor tersebut lebih bersifat pada sektor perdagangan, pengolahan (barang setengah jadi atau jadi) dan jasa-jasa. Hal itu tidak lain disebabkan karena kuatnya pengaruh kota hingga merubah struktur livelihood masyarakat setempat.

Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

Setiap negara memiliki definisi UMKM yang berbeda-beda. Terlebih antara negara maju dengan negara sedang berkembang. Di Indonesia, definisi UMKM diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 20086 tentang UMKM. Dalam Bab I (Kententuan Umum), Pasal 1 dari ayat UU tersebut, dinyatakan bahwa Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

(19)

Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Tabel 1. Penggolongan UMKM menurut tenaga kerja dan pendapatan

No Golongan Usaha Jumlah Tenaga Kerja (BPS) Keterangan: UMI = Usaha Mikro, UK = Usaha Kecil dan UM = Usaha Menengah

Selain Undang-undang No. 20 Tahun 2008 dan BPS, ternyata ada undang-undang dan lembaga lain yang turut memberikan definisi mengenai UMKM. Beberapa pendapat tidak hanya diungkapkan oleh orang Indonesia, tetapi juga oleh pakar dari luar negeri seperti Anderson Tommy (University of Gothenberg Sweden), Staley & Morse (Modern Small Industry). Untuk definisi lebih lengkapnya perihal definisi UMKM tersedia pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengertian UMKM menurut beberapa lembaga dan peneliti

Lembaga Istilah Batasan Pengertian Secara Umum

(20)

Omset < Rp 1 milyar/tahun atau independen

Usaha Menengah Aset > Rp 200 juta atau Omset Rp 1–10 milyar per tahun

Bank Indonesia (BI) Usaha Mikro Dijalankan oleh rakyat miskin atau dekat miskin, bersifat usaha keluarga, menggunakan sumber daya lokal, menerapkan teknologi sederhana dan mudah keluar masuk industri

Usaha Kecil Aset < Rp 200 juta atau Omset Rp 1 milyar

Usaha Menengah Untuk kegiatan industri, Aset < Rp 5 milyar, untuk lainnya (termasuk jasa), Aset <Rp 600 juta diluar tanah dan bangunan atau Omset < Rp 3 milyar per tahun.

Bank Dunia Usaha Mikro Pekerja < 10 orang, Aset < $100.000 atau

Omset < $100.000 per tahun Usaha Kecil Pekerja < 50 orang, Aset < $ 3

juta atau

Omset < $ 3 juta per tahun Usaha Menengah Pekerja < 300 orang, Aset < $

15 juta atau

Omset < $ 15 juta per tahun Staley & Morse

(Modern Small Industry)

Usaha Mikro Pekerja 1 – 9 orang Usaha Kecil Pekerja 10 – 49 orang Usaha Menengah Pekerja 50 – 99 orang

Anderson Tommy D. (University of Gothenberg Sweden)

Usaha Mikro Pekerja 1 – 9 orang (Usaha Kecil I)

(21)

Usaha Menengah Pekerja 100 – 199 orang (Besar

Sumber: Jurnal AKMENIKA UPY Vol. 2 2008, Penulis: P. Eko Prasetyo, Judul: Peran Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dalam Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dan Pengangguran

Prasetyo (2008) menyebutkan sejak sebelum krisis ekonomi tahun 1997 hingga saat ini tahun 2008 struktur keberadan UMKM di Indonesia tetap sangat dominan. Berdasarkan data BPS, pada tahun 1996 ada sebanyak 38,9 juta unit usaha pelaku UMKM di Indonesia, yang sebagian besar berasal dari sektor pertanian. Selanjutnya, pada tahun 1998 di Indonesia masih terdapat 36,8 juta unit pelaku usaha di mana 99% lebih adalah pelaku UMKM. Pada saat itu keberdaan UMKM telah menyerap 64,3 juta orang dan kontribusinya terhadap PDB sebesar 58,2%.

Untuk kepentingan penyusunan klasifikasi Usaha Mikro (UMi), Usaha Kecil (UK), Usaha Menengah (UM), dan Usaha Besar (UB) disini digunakan 9 (sembilan) penggolongan utama (pokok) sektor ekonomi yang meliputi (Depkop, 2011):

a) Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan

Mencakup segala macam pengusahaan dan pemanfaatan benda-benda/barang-barang biologis (hidup) yang berasal dari alam untuk memenuhi kebutuhan atau usaha lainnya.

b) Pertambangan dan Penggalian

Sektor pertambangan dan penggalian meliputi subsektor minyak dan gas bumi, subsektor pertambangan non migas, dan subsektor penggalian. c) Industri Pengolahan

Industri pengolahan merupakan kegiatan pengubahan bahan dasar (bahan mentah) menjadi barang jadi/setengah jadi dan/atau dari barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya, baik secara mekanis, kimiawi, dengan mesin ataupun dengan tangan.

(22)

Listrik mencakup kegiatan pembangkitan, transmisi, dan distribusi listrik baik untuk keperluan rumahtangga, usaha, industri, gedung kantor pemerintah, penerangan jalan umum, dan lain sebagainya.

Gas mencakup kegiatan pengolahan gas cair, produksi gas dengan karbonasi arang atau dengan pengolahan yang mencampur gas dengan gas alam atau petroleum atau gas lainnya, serta penyaluran gas cair melalui suatu sistem pipa saluran kepada rumahtangga, perusahaan industri, atau pengguna komersial lainnya.

Air bersih mencakup kegiatan penampungan, penjernihan, dan penyaluran air, baku atau air bersih dari terminal air melalui saluran air, pipa atau mobil tangki (dalam satu pengelolaan administrasi dengan kegiatan ekonominya) kepada rumahtangga, perusahaan industri atau pengguna komersial lainnya.

e) Bangunan

Bangunan atau Konstruksi, menurut SE 2006 adalah kegiatan penyiapan, pembuatan, pemasangan, pemeliharaan maupun perbaikan bangunan/konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, baik digunakan sebagai tempat tinggal maupun sarana lainnya.

f) Perdagangan, Hotel dan Restoran

Perdagangan adalah kegiatan penjualan kembali (tanpa perubahan teknis) barang baru maupun bekas.

Hotel adalah bagian dari lapangan usaha kategori penyediaan akomodasi dan penyediaan makan minum.

Restoran disebut kegiatan penyediaan makan minum adalah usaha jasa pangan yang bertempat di sebagian atau seluruh bangunan permanen yang menjual dan menyajikan makan dan minuman untuk umum ditempat usahanya.

g) Pengangkutan dan Komunikasi

Pengangkutan adalah kegiatan pemindahan orang/ penumpang dan/atau barang/ternak dari satu tempat ke tempat lain melalui darat, air maupun udara dengan menggunakan alat angkutan bermotor maupun tidak bermotor. Komunikasi yaitu usaha pelayanan komunikasi untuk umum baik melalui pos, telepon, telegraf/teleks atau hubungan radio panggil (pager).

h) Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan

Sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan mencakup kegiatan perantara keuangan, asuransi, dana pensiun, penunjang perantara keuangan, real estate, usaha persewaan, dan jasa perusahaan.

i) Jasa-jasa

Jasa-jasa meliputi kegiatan pelayanan kepada masyarakat yang ditujukan untuk melayani kepentingan rumah tangga, badan usaha, pemerintah dan lembaga-lembaga lain.

(23)

memperoleh kredit bank, iklim usaha yang kurang kondusif, kepedulian masyarakat, dan kurang pembinaan (Prasetyo, 2008).

Prasetyo (2008) menerangkan bahwa dari total UMKM yang ada, 80% belum pernah atau tidak mendapatkan fasilitas kredit perbankan. Padahal, keberadaannya 96% lebih tahan terhadap krisis ekonomi, diantaranya sebayak 65% tidak terpengaruh krisis, serta sebesar 31% mengurangi usaha, dan hanya 4% saja yang usahanya berhenti.

Tambunan (2009) juga menguraikan secara umum masalah UMKM. Masalah tersebut adalah keterbatasan modal kerja maupun investasi, kesulitan-kesulitan dalam pemasaran, distribusi dan pengadaan bahan baku dan input lainnya, keterbatasan akses ke informasi mengenai peluang pasar dan lainnya, keterbatasan pekerja dengan keahlian tinggi (kualitas SDM rendah) dan kemampuan teknologi, biaya transportasi dan energi yang tinggi; keterbatasan komunikasi, biaya tinggi akibat prosedur administrasi dan birokrasi yang kompleks, khususnya dalam pengurusan izin usaha dan ketidakpastian akibat peraturan-peraturan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi yang tidak jelas atau tak menentu arahnya.

Jaringan Bisnis UMKM

Jamsa dkk di Jurnal Suyono dan Purnomo (2013) menjelaskan bahwa jaringan adalah hubungan antar individu atau dikaitkan dengan sesuatu sebagai simpul dan ikatan. Simpul dilihat melalui aktor individu di dalam jaringan, sedangkan ikatan merupakan hubungan antar aktor tersebut7. Jaringan (network) berhubungan dengan dimana aktivitas bisnis berlangsung, saling menjalin/terkait dan saling tergantung sebagai konsekuensi adanya hubungan ini, sehingga tersebar dimana-mana secara alami. Masih di Suyono dan Purnomo (2013), Drakopoulou Dodd dkk mengungkapkan bahwa jaringan meliputi hubungan baik hubungan tersembunyi maupun hubungan yang aktif, bagaimana individu mengatur dan menentukan hubungan tersebut, baik secara sadar maupun tidak sadar dalam berbagai cara untuk merefleksikan kebutuhannya. Hal ini mencerminkan bahwa jaringan dalam UKM merupakan upaya yang dilakukan pelaku UKM dalam mencapai tujuan bisnis sebagai refleksi atas kebutuhan keberlanjutan usaha yang dilakukan dengan cara menjalin hubungan dengan konstituen dalam industri terkait baik secara vertikal maupun horizontal.

Carlson di Jurnal karya Suyono dan Purnomo (2013) mengatakan bahwa umumnya UKM mengembangkan jaringan guna mencapai berbagai tujuan, diantaranya untuk memperoleh informasi dan pengetahuan tentang pasar, maupun mendapatkan informasi lainnya untuk pengambilan keputusan, memperoleh bahan baku, melakukan spesialisasi, meningkatkan efisiensi, dan sebagai wahana belajar

dari “pihak” lain. Kemudian Bosworth di jurnal tersebut juga mengatakan bahwa anggota dalam jaringan juga dapat menyediakan keterampilan yang dibutuhkan dan diperlukan bagi pengusaha. Oleh karenanya, menurut Street dan Cemron di dalam Jurnal karya Suyono dan Purnomo (2013) menjelaskan bahwa hubungan antar UKM dalam suatu jaringan bahkan dapat dipandang sebagai suatu sumber daya sendiri. Kemudian Carlson kembali mengungkapan di Jurnal Suyono dan Purnomo (2013) bahwa jaringan dapat pula memiliki dampak pada daya tawar

(24)

perusahaan dan membantu mengidentifikasi peluang pasar baru, dan memengaruhi kegiatan pemasaran UKM menjadi lebih interaktif dan informal, alasannya jaringan dipandang sebagai pendekatan yang lebih berorientasi pada orang dalam pemasaran.

Dalam sebuah artikel8, Wakil Ketua Kadin Provinsi Jawa Barat mengungkapkan, sebagai etintas bisnis, para pelaku UKM umumnya memiliki kelemahan sekaligus penghambat usaha mereka, yaitu keterbatasan hal akses dan kapasitas. Oleh karena itu, dibutuhkan pengembangan jaringan untuk mengatasi berbagai hambatan tersebut. Secara garis besar, ada tiga kategori jaringan yang harus dibangun oleh pelaku UKM. Pertama adalah jaringan vertikal, yaitu jaringan antara UKM dan pemerintah, organisasi bisnis, perguruan tinggi, komunitas pengusaha besar, serta media massa.

Jaringan ini bermanfaat untuk meningkatkan kapasitas kepenguasaan pelaku, misal mendapat informasi dari pemerintah hasil dari market inteligent akan berguna untuk memahami pasar. Begitupun tambahan pengetahuan dari akademisi dan kisah sukses pengusaha, bisa digunakan untuk merumuskan berbagai kiat usaha.

Hal kedua yang harus dibangun adalah jaringan horizontal antar sesama UKM, baik dengan pelaku usaha sejenis maupun tidak. Salah satu manfaatnya adalah untuk menambal kapasitas produksi jika ada order besar. Selain itu menutupi masalah kekurangan kapasitas produksi, jaringan horizontal yang baik juga meningkatkan akses ke bahan baku, tukar-menukar informasi pasar, sampai masalah teknis pembiayaan. Jadi jangan anggap pelaku UKM sejenis sebagai kompetitor yang harus dijauhi berkompetisi untuk memacu kualitas memang diperlukan, tetapi berbagi bersama-sama untuk menutupi berbagai kekurangan bersama juga tidak kalah diperlukan.

Aldrich dan Zimmer (1986) memaparkan bahwa titik awal untuk mempelajari kewirausahaan melalui jaringan sosial adalah suatu hubungan atau transaksi antara dua orang. Hubungan dapat diartikan apabila memiliki: (1) isi komunikasi, atau pemberian informasi dari satu orang ke orang lain; (2) konten pertukaran, barang dan jasa yang antara dua orang dapat pertukarkan; dan (3) konten normatif, atau harapan seseorang satu sama lain karena beberapa karakteristik khusus atau atribut tertentu yang dimilikinya. Kekuatan ikatan tergantung pada tingkat, frekuensi, dan timbal balik hubungan antar personal, dan ikatan tersebut bermacam-macam, dari lemah hingga kuat. Sebagian besar penelitian hanya berfokus satu jenis konten hubungan, sehingga ada kekurangan informasi mengenai efek dari tipe hubungan satu sama lain dan terhadap keawetan hubungan yang berasal terdiri dari kombinasi konten yang berbeda.

Kesejahteraan

Kesejahteraan berasal dari kata “sejahtera”. Sejahtera ini mengandung pengertian dari bahas Sansekerta “Catera” yang berarti Payung. Dalam konteks ini, kesejahteraan yang terkandung dalam arti “catera” (payung) adalah orang yang sejahtera yaitu orang yang dalam hidupnya bebas dari kemiskinan, kebodohan, ketakutan, atau kekhawatiran sehingga hidupnya aman tenteram, baik lahir maupun batin (Iskandar, 2012).

(25)

Masih dalam Iskandar (2012), Lee dan Hana mendefinisikan kesejahteraan sebagai total dari net worth (manfaat yang benar-benar diperoleh) dan human capital wealth (kesejahteraan sumber daya manusia). Manfaat yang diperoleh merupakan nilai atas aset yang dimiliki, dikurangi dengan pengeluaran (liabilitas). Sementara itu, kesejahteraan SDM dapat diduga melalui pendapatan yang dihasilkan oleh SDM (human capital income) yang ada saat ini atau dihitung dari nilai pendapatan nonaset.

Sumarti dalam Iskandar (2012) mendefinisikan kesejahteraan merupakan kondisi relatif yang dibentuk masyarakat melalui interaksi sosial. Pendefinisian kesejahteraan tersebut didasarkan pada stratifikasi sosial dalam masyarakat. Ketika satu golongan menempati posisi dominan dalam masyarakat, definisi kesejahteraan lebih berorientasi pada golongan status tersebut, misalnya golongan priyayi dan wong cilik. Golongan priyayi berorientasi pada keraton dan sebagai pusat tradidi besar Jawa, sedangkan golongan wong cilik berorientasi pada desa sebagai tradisi lokal.

Salah satu Guru Besar IPB, Prof. Sajogyo dalam Iskandar (2012) mendefinisikan kesejahteraan pada konteks keluarga sebagai penjabaran delapan jalur pemerataan dalam Trilogi Pembangunan sejak Repelita III, yaitu: (1) peluang berusaha; (2) peluang bekerja; (3) tingkat pendapatan; (4) tingkat pangan, sandang dan perumahan; (5) tingkat pendidikan dan kesehatan; (6) peran serta; (7) pemerataan antardaerah, desa atau kota; dan (8) kesamaan dalam hukum. Bungaran Saragih dkk di Iskandar (2012) melihat kesejahteraan dengan mengukur indikator kemiskinan berdasarkan keluarga yang tidak memiliki mata pencaharian atau berpenghasilan rendah, kondisi rumah dan lingkungan fisik tidak memenuhi syarat kesehatan, serta pendidikan terbatas.

Kesejahteraan dalam arti yang lebih luas lagi dapat berwujud kesejahteraan sosial. Menurut PBB dalam Fahrudin (2012), kesejahteraan sosial merupakan suatu kegiatan yang terorganisasi dengan tujuan membantu penyesuaian timbal balik antara individu-individu dengan lingkungan sosial mereka. Kemudian dalam UU No 11 Tahun 2009, kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Pada ranah ekonomi, jenis kebutuhan manusia dibedakan menjadi empat yaitu:

a. Kebutuhan berdasar intensitas/tingkat kepentingan, dibedakan atas9

1. Kebutuhan Primer/Mutlak/Inti/Pokok/Dasar, Yaitu kebutuhan yang harus dipenuhi agar manusia mampu mempertahankan hidupnya. Kebutuhan ini secara umum terdiri sandang, pangan, dan papan. (disingkat SPP).

2. Kebutuhan Sekunder, yaitu kebutuhan yang baru dapat dipenuhi setelah kebutuhan primer terpenuhi. Kebutuhan ini digunakan untuk melengkapi kebutuhan primer, sebingga disebut juga kebutuhan pelengkap.

3. Kebutuhan Tersier / Mewah, yaitu kebutuhan yang pemenuhannya bertujuan untuk meningkatkan status sosial seseorang (prestise).

(26)

Sudah barang tentu secara logis kebutuhan ini akan dipenuhi jika kedua kebutuhan sebelumnya sudah terpenuhi.

b. Kebutuhan berdasarkan sifat

1. Kebutuhan jasmani, kebutuhan yang berhubungan dengan jasmani atau fisik. Contoh: olah raga

2. Kebutuhan rohani, kebutuhan yang berhubungan dengan kesehatan jiwa. Contoh: ibadah.

c. Kebutuhan berdasarkan waktu

1. Kebutuhan sekarang, kebutuhan yang harus dipenuhi sekarang juga tidak dapat ditunda-tunda. Contoh: makan bagi orang yang lapar. 2. Kebutuhan akan datang, kebutuhan yang pemenuhan dapat ditunda

karena tidak mendesak. Contoh : menabung d. Kebutuhan berdasarkan pihak yang membutuhkan

1. Kebutuhan perorangan, kebutuhan seseorang dengan orang yang lain tidak sama, hal tersebut disesuaikan dengan tugas atau pekerjaan mereka. Misalnya seorang guru ekonomi membutuhkan buku pelajaran ekonomi.

2. Kebutuhan bersama, berhubungan dengan fasilitas yang dimanfaatkan secara bersama oleh anggota masyarakat. Misalnya jalan, jembatan, tempat ibadah.

(27)

Gambar 1. Piramida Kebutuhan Manusia (Sumber: www.google.co.id)

Lisa (2005) mengungkapkan, pemisahan kebutuhan tidak berarti masing-masing bekerja secara eksklusif, tetapi kebutuhan bekerja tumpang tindih sehingga orang dalam satu ketika dimotivasi oleh dua kebutuhan atau lebih.

Tabel 3. Persentase kepuasan pemenuhan kebutuhan manusia

No Kebutuhan Terpuaskan Persentase terpuaskan

1 Fisiologis 85 %

2 Keamanan 70 %

3 Dicintai dan Mencintai 50 %

4 Self Esteem 40 %

5 Aktualisasi Diri 10 %

Sumber: Teori Abraham Maslow oleh Lisa W

Tidak ada dua orang yang basic need-nya terpuaskan seratus persen. Maslow memperkirakan rata-rata orang terpuaskan (Tabel 3). Kebutuhan yang paling tinggi terpuaskan adalah fisiologis, dengan presentase 85 persen. Hal itu mengisyarakatkan bahwa kebutuhan yang berkaitan dengan aspek-aspek fisik sangat penting untuk dipenuhi, bahkan dalam konteks tertentu, kebutuhan yang bersifat fisiologis mutlak harus dipenuhi. Sehingga kebutuhan sandang, pangan dan papan patut menjadi perhatian dalam perhatian ini.

Kerangka Pemikiran

(28)

UMKM di negara berkembang menjadi fakta tak terbantahkan dalam hal penguasa jumlah unit usaha. Desa dan sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar pada PDB Indonesia. Hubungan antara desa dan kota telah menciptakan suatu zonasi yang dinamakan suburban. Suburban merupakan daerah peralihan yang lambat laun akan menjadi kawasan kota apabila kapasitas pusat kota sudah tidak mampu menampung kegiatan pemerintah dan warganya. Pada konteks kegiatan perekonomian kecil, daerah suburban sudah tidak tergantung dan bahkan mulai meninggalkan sektor yang berkaitan dengan kegiatan pertanian. Di daerah suburban, karakteristik UMKM sudah bergeser ke arah perdagangan dan jasa.

Livelihood (nafkah) masyarakat desa suburban tentunya berbeda dengan desa rural. Struktur dan jenis mata pencaharian wilayah sub urban lebih beragam akibat kedekatannya wilayahnya dengan wilayah perkotaan. Masyarakat di daerah suburban sudah tidak mengandalkan pertanian sebagai basis nafkah. Mereka beralih ke mata pencaharian dari sektor-sektor UMKM yang berbasis non-pertanian. Pedek kata, mata pencaharian masyarakat suburban erat kaitannya dengan sektor-sektor UMKM diluar pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan. Hal itu disebabkan karena pengaruh kota yang sangat kuat terhadap daerah di sekitarnya.

Jaringan bisnis bagi UMKM memiliki berbagai kegunaan seperti informasi, membuat keputusan, pemasaran dan lain sebagainya. Padat atau tidaknya jaringan tersebut tentunya akan mempengaruhi kegiatan bisnis dan akan berdampak pada pemasukan usaha. Apabila pemasukan usaha terganggu atau secara perlahan berkurang, tentunya dalam memenuhi kebutuhan pokok akan terkendala dan dapat menempatkan pemilik usaha dalam situasi yang tidak sejahtera.

Hipotesa

Tingkat kepadatan jaringan UMKM berhubungan dengan kesejahteraan pelaku UMKM

Definisi Operasional

Definisi operasional untuk rancangan penelitian ini adalah sebagai berikut: UMKM adalah singkatan dari usaha mikro, kecil dan menengah. UMKM merupakan kelompok usaha yang memiliki perbedaan dengan usaha besar (UB).

Kepadatan Jaringan  Jumlah relasi

 Intensitas pertemuan  Kualitas hubungan

Kesejahteraan Pelaku UMKM

Pemenuhan Kebutuhan Pokok:

(29)

Perbedaan kategori usaha didalam UMKM terletak pada jumlah pegawai dan omzet dalam setahun.

a. Kategori ukuran UMKM

Jaringan adalah hubungan antar individu atau dikaitkan dengan sesuatu sebagai simpul dan ikatan. Simpul dilihat melalui aktor individu di dalam jaringan, sedangkan ikatan merupakan hubungan antar aktor tersebut. Jaringan bisnis adalah hubungan antara pelaku (pemilik) usaha dengan orang-orang atau pihak-pihak yang menunjang keberlangsungan bisnis, seperti pemasok bahan baku (supplier), distributor, perangkat desa dan lembaga hukum.

a. Jumlah relasi menunjukkan kuantitas orang atau pihak-pihak yang mempunyai hubungan oleh pemilik UMKM. Skoring kategori rendah hingga tinggi didasarkan pada jumlah orang yang dikenal pelaku usaha dari sekitar tempat usaha hingga tingkat kabupaten, dimana umumnya pada tataran tersebut, pemilik UMKM memiliki hubungan yang berhubungan dengan usahanya. Jumlah relasi diukur dan dikategorikan dalam:

Rendah : Skor 8 – 15 Sedang : Skor 16 – 24 Tinggi : Skor 25 – 32

b. Intensitas pertemuan menunjukkan seberapa sering pelaku UMKM melakukan interaksi dengan orang-orang atau pihak-pihak yang dikenal pemilik usaha dari sekitar tempat usaha hingga tingkat kabupaten. Skoring didasarkan pada intensitas pertemuan dengan pihak yang tidak hanya berkaitan dengan pemerintahan, tetapi juga berkaitan dengan orang di bidang hukum, pemasaran dan pemasok bahan baku hingga sesama pelaku usaha. Intensitas pertemuan diukur diukur dan dikategorikan dalam:

c. Kualitas hubungan menunjukkan kedekatan antara pemilik usaha dengan relasinya. Ada kondisi tertentu dimana seorang pelaku usaha tidak sering bertemu tetapi memiliki kepercayaan dan ikatan yang kuat dengan relasinya. Relasi yang dimiliki pelaku usaha tentunya masih berhubungan dengan jumlah relasi yang disebutkan sebelumnya. Cakupannya pun mengikuti seperti jumlah relasi dan intensitas pertemuan, yaitu dari sekitar Mikro : karyawan ≤ 5 orang, omzet ≤ Rp 300 juta/tahun

Kecil : karyawan 6 – 19 orang, omzet > Rp 300 juta - ≤ Rp 2,5 M/tahun

Menengah : karyawan 20 – 99 orang, omzet > Rp 2,5 M - ≤ Rp 50 M/tahum

(30)

tempat usaha hingga ke tingkat kabupaten. Kualitas hubungan diukur diukur dan dikategorikan dalam:

Rendah: Skor 8 – 15 Sedang : Skor 16 – 24 Tinggi : Skor 25 – 32

Kesejahteraan pemilik UMKM diukur secara personal/individu. Kesejahteraan memiliki makna yang luas, tetapi dalam konteks penelitian ini (kategori wilayah dan keadaan sosial ekonomi), kesejahteraan diukur hanya dengan mengukur kebutuhan dasar/pokok bagi manusia yaitu kebutuhan sandang, pangan dan papan. Asumsinya adalah ketika kebutuhan dasar tercukupi maka kebutuhan yang bersifat sekunder maupun tersier dapat terpenuhi setelah kebutuhan dasar/pokok terpenuhi.

a. Sandang merupakan kebutuhan yang berkaitan dengan pakaian. Peneliti ingin melihat seberapa tinggi pemenuhan sandang pelaku UMKM. Kategori dan skoring tingkatan skala sandang rendah hingga tinggi didasarkan pada tingkat kepemilikan sandang layak pakai, sandang mewah, intensitas pembelian sandang dan intensitas diberi kebutuhan sandang oleh orang terdekat hingga orang lain. Pemenuhan kebutuhan sandang diukur diukur dan dikategorikan dalam:

b. Pangan merupakan kebutuhan makan. Peneliti ingin melihat seberapa tinggi pemenuhan pangan sehari-hari pelaku UMKM. Kategori dan skoring tingkatan skala pangan rendah hingga tinggi didasarkan pada jenis lauk yang biasa dikonsumsi sehari-hari, intensitas makan dalam sehari, intensitas konsumsi protein hewani, biaya untuk makan dalam sehari dan pemenuhan konsumsi mengikuti asas empat sehat lima sempurna. Pemenuhan kebutuhan pangan diukur diukur dan dikategorikan dalam:

a. Papan merupakan kebutuhan akan tempat tinggal. Peneliti ingin melihat seberapa tinggi dimensi papan seseorang. Peneliti ingin melihat seberapa tinggi pemenuhan papan sehari-hari pelaku UMKM. Kategori dan skoring tingkatan skala pangan rendah hingga tinggi didasarkan status tempat tingal yang dihuni, jumlah properti yang dimiliki baik untuk kegiatan pribadi atau bisnis dan jumlah ruangan didalam rumah yang dihuni. Pemenuhan kebutuhan pangan diukur diukur dan dikategorikan dalam:

Rendah : Skor 5 – 9 Sedang : Skor 10 – 15 Tinggi : Skor 16 – 20

Rendah : Skor 5 – 9 Sedang : Skor 10 – 15 Tinggi : Skor 16 – 20

(31)

Penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif untuk pengambilan data yang bersifat deskriptif berupa gejala-gejala yang dikategorikan ataupun dalam bentuk lainnya, seperti dokumen dan catatan-catatan lapangan pada saat penelitian. Data kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam, observasi lapang secara partisipatif, dan penelusuran dokumen. Pendekatan kuantitatif diperlukan untuk pengambilan data berupa angka. Pendekatan kuantitatif yang digunakan adalah penelitian survei yaitu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang utama (Singarimbun dan Efendi, 2008). Pengumpulan data kuantitatif dilakukan melalui metode survei kepada pelaku usaha UMKM dengan menggunakan kuesioner. Unit analisis dari penelitian ini adalah individu.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Situ Tengah RW 10, Desa Ciherang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan kebutuhan penelitian yaitu adanya jaringan bisnis UMKM yang dipicu oleh lokasi desa yang berbatasan dengan kota Bogor sebagai kota satelit Jakarta, sehingga menempatkan Desa Ciherang sebagai wilayah sub-urban. Selain itu Desa Ciherang terletak dekat dengan jalan antar provinsi dan daerah wisata di Gunung Salak. Selanjutnya, pemilihan RW 10 sebagai daerah inti penelitian dikarenakan jumlah penduduk dan pelaku UMKM paling banyak daripada RW lain di Desa Ciherang. Diharapkan dengan pemilihan RW 10 Desa Ciherang dapat menjawab masalah dan membantu dalam analisis penelitian. Penelitian ini dilakukan dalam waktu satu bulan yaitu dari bulan 25 Maret sampai dengan 24 April 2015.

Teknik Pengumpulan Data

Metode penelitian yang digunakan untuk menggali fakta, data dan informasi di RW 10 Desa Ciherang menggunakan kuesioner dan wawancara mendalam. Sebelum memberikan kuesioner dan melakukan wawancara mendalam, peneliti melakukan survei dan mengambil sampel dari populasi setempat. Ada dua macam data yang dikumpulkan, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan langsung dari sumbernya di lokasi penelitian. Data sekunder dikumpulkan kajian dokumen terhadap sumber-sumber sekunder melalui data monografi kantor Desa Ciherang, serta berbagai literatur yang relevan dengan penelitian ini, yakni buku, tesis, skripsi, jurnal penelitian, dan website.

(32)

Teknik Sampling

Unit analisis dalam penelitian ini adalah usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang menjalankan kegiatan bisnisnya di RW 10 Desa Ciherang. Total unit usaha di RW 10 terdapat 53 unit dengan berbagai bidang usaha. Pemilihan responden didasarkan pada kebutuhan penelitian dan pemenuhan kaidah statistik. Pemilihan responden dilakukan secara random (acak). Lalu jumlah unit usaha yang dijadikan responden sebanyak 30 unit, alasannya jumlah tersebut sudah mampu mewakili data yang diambil penelitian ini.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

(33)

Keadaan Wilayah

Desa Ciherang adalah salah satu desa yang ada di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Desa Ciherang berbatasan dengan beberapa desa lain yang masih berada dalam Kabupaten Bogor. Di sebelah utara, Desa Ciherang berbatasan dengan Desa Margajaya. Di selatan, Desa Ciherang berbatasan dengan Desa Sukawening dan Desa Ciapus. Di sebelah barat, Desa Ciherang berbatasan dengan Desa Sinar Sari dan Dramaga. Sedangkan di sebelah timur, Desa Ciherang berbatasan dengan Desa Laladon. Luas Desa Ciherang sendiri 251.57 Ha. Pemanfaatan lahan di desa sebanyak enam puluh persen digunakan untuk sawah, kemudian dua puluh delapan persen untuk perumahan atau pemukiman, selanjutnya delapan persen untuk fasilitas umum dan sungai dan terakhir sebanyak empat persen digunakan untuk jalan serta kolam/tambak (Gambar 2). Angka sebesar dua puluh delapan persen untuk perukiman diraih karena adanya dua perumahan besar yang berdiri di Desa Ciherang, yaitu Graha Arradea dan Bumi Kartika Dramaga Raya. Sebagian besar penghuni kedua perumahan tersebut adalah pendatang dan hanya sebagian kecil warga asli.

Desa ini berjarak sekitar delapan kilometer kearah barat dari pusat Kota Bogor. Desa Ciherang dapat ditempuh dengan angkutan bernomor 03 dari pusat Bogor menuju ke terminal bubulak ataupun terminal laladon, kemudian dilanjutkan dengan angkutan umum bernomor 16 khusus untuk jurusan ciherang. Apabila dari Jakarta biasanya menggunakan kereta commuter line yang kemudian dilanjut menggunakan angkutan umum atau bus antar kota yang melintas di pertigaan Caringin. Data Monografi Desa Ciherang menyebutkan bahwa letak geografis desa berada pada daerah dataran tinggi dengan ketinggian 196 mdpl dengan curah hujan 250 – 450 mm/th. Suhu rata-rata antara 25˚C –32˚C. RW 10 adalah RW dengan jumlah unit UMKM dan penduduk terbanyak diantara kesepuluh RW lainnya di Desa Ciherang. Fakta tersebut berasal dari penuturan warga setempat dan data sekunder. RW 10 dikelilingi oleh sungai yang sekaligus menjadi batas dengan RW sebelas dan lima sekaligus menjadi batas langsung dengan Desa Ciapus.

Kondisi Demografi

(34)

.

Gambar 2. Persentase pemanfaatan lahan di Desa Ciherang, 2014

Mayoritas penduduk Desa Ciherang beragama Islam, terbukti dengan jumlahnya yang mencapai 12.771 orang serta berdirinya tiga pondok pesantren, lima belas masjid dan empat belas mushola didalam wilayah desa. Kemudian agama dengan jumlah terbanyak disusul oleh agama Protestan/Kristen yang berjumlah 98 orang, Katolik 89 orang, Hindu 22 orang dan Budha 29 orang. Lalu, pada tingkat pendidikan masyarakat dapat dikatakan cukup baik, karena hampir lima puluh persen tamat SLTA hingga tamat sarjana.

Gambar 3. Persentase tingkat pendidikan masyarakat Desa Ciherang, 2014

Sawah 60% Perumahan/Pe

mukiman 28%

Ladang 8% Jalan,

Kolam/Tambak , Sungai, Pemakaman, Tanah/Bangun an Pendidikan dan Lapangan Olah Raga…

Belum Sekolah 18%

Tidak Tamat SD 1%

Tamat SD 11%

Tamat SLTP 26% Tamat SLTA

32% Tamat Akademisi/Diplo

ma 7%

(35)

Dengan jumlah penduduk 13.009 jiwa, sekitar enam puluh tiga persen atau 8199 jiwa di Desa Ciherang berada pada usia produktif bekerja. Usia produktif kerja didasarkan pada data jumlah usia penduduk. Pembagian jumlah penduduk menurut usia ada pada tabel IV.

Tabel 4. Jumlah jiwa menurut kelompok umur Desa Ciherang, 2014 No. Kelompok Umur Jumlah Jiwa

1 0 – 4 1659

2 5 – 9 1276

3 10 – 14 1153

4 15 – 19 1149

5 20 – 24 1221

6 25 – 29 1133

7 30 – 34 1023

8 35 – 39 933

9 40 – 44 873

10 45 – 49 759

11 50 – 54 627

12 55 – 59 481

13 60 keatas 722

TOTAL 13009

Pendapatan asli Desa Ciherang sejumlah Rp 139.629.135.00. Jumlah wajib pajak ada 4905 orang dengan total ketetapan pajak dari Buku I dan Buku II senilai Rp 296.806.724 dan total realisasi senilai Rp 139.704.004. Retribusi yang diterima Desa Ciherang sejumlah Rp 20.955.600. Semua itu didapat dari berbagai latar belakang mata pencaharianyang dilakukan oleh penduduk di Desa Ciherang. Jumlah penduduk menurut mata pencaharian ada pada gambar IV.

Kondisi Sosial Ekonomi

(36)

Gambar 4. Presentase Mata Pencaharian Desa Ciherang, 2014

Berdasarkan potensi wilayah RT 02/RW 10 yaitu berupa lahan pekarangan. Lahan pekarangan yang ditanami berbagai tanaman, baik tanaman sayur dan buah ataupun tanaman obat. Berdasarkan luas lahan dan jenis tanah pada wilayah tersebut, tanaman yang cocok dan strategis untuk ditanam yaitu tanaman buah-buahan. Berdasarkan hasil pemetaan pekarangan, tanaman buah-buahan tumbuh dengan subur meskipun perawatannya tidak secara intensif.

Masalah-masalah yang ditemukan umumnya terjadi pada warga yang tinggal di lokasi bawah RT 02. Hal ini berdasarkan informasi yang didapat bahwa beberapa dari warga mengeluh mengenai warga sekitarnya (tetangga) ataupun organisasi yang umumnya hanya berfokus pada keadaan di lokasi atas saja. Warga bawah menilai bahwa pihak-pihak desa kurang memperhatikan kondisi serta keadaan warga yang menetap di lokasi bawah. Contoh kasus yang membuktikan kurangnya perhatian dari pihak desa pada warga bawah adalah mengenai kebersihan sampah. Pada umumnya warga atas seringkali membuang sampah sembarangan di lokasi bawah yang mengakibatkan kondisi lokasi bawah menjadi kotor. Selain itu, mengenai masalah keamanan di lokasi bawah. Warga yang melakukan kegiatan ronda hanya berfokus pada keamanan wilayah lokasi atas RT 02 saja yang kemudian menyebabkan kurangnya interaksi yang harmonis antara warga atas dengan warga bawah RT 02 Desa Ciherang.

Dari sekitar 75 KK di RT 2, terdapat sekitar 7 KK yang berstatus janda kurang mampu, 2 mendapat bantuan BLT, terdapat 2 keluarga yang memiliki pekarangan rumah, dan sisanya merupakan keluarga berkecukupan. Keluarga yang memiliki pekarangan adalah keluarga Pak Endang dan keluarga Ibu Rika. Pak Endang memiliki pekarangan seluas 300m2 yang terdiri dari tanaman obat, jamu, bumbu masak dan buah-buahan. Sedangkan luas pekarangan Ibu Rika hanya sekitar 100m2 dan ditanami buah-buahan seperti nangka dan rambutan. Meskipun mereka memiliki pekarangan, tidak ada yang melakukan jadwal tanam

(37)

dan jadwal panen. Mereka mengaku hanya merawat tanaman yang sudah tumbuh dan mereka hanya menambah jenis tanaman tertentu jika ada sumbangan pohon atau memiliki uang.

Stratifikasi sosial meliputi keluarga sangat miskin, miskin, menengah, cukup mampu, dan mampu. Ada beberapa warga yang mengalami penurunan stratifikasi sosial, disebabkan oleh kebakaran, dagangan bangkrut, malas, pengangguran (pendidikan rendah), penggarap lahan (lahan dijual), maupun ditinggal pergi oleh suami.

Tabel 5. Stratifikasi sosial warga RT 2 RW 10 Desa Ciherang, 2015

Kategori Stratifikasi Sosial Ciri-ciri

Sangat Miskin

tidak bekerja sama sekali (hanya menunggu penghasilan dan pemberian anak-anaknya) serta

bekerja serabutan, menerima BPJS dan pedagang buku KW

Cukup Mampu lulusan PTN, buruh, pemilik angkot, dan sudah pernah menunaikan ibadah umroh

Mampu

memiliki rumah dengan bangunan yang luas, pekerjaan tetap (mapan) seperti PNS, wiraswasta (pemilik pabrik UKM RFL), bergelar ‘haji’, memiliki lahan tanah yang luas, rumah bergarasi, dan memiliki kendaraan berupa mobil

Mayoritas masyarakat khususnya RT 02/RW 10 untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yaitu dengan bekerja menjadi buruh pada sebuah pabrik yang lokasinya tidak jauh dengan lokasi masyarakat Desa Ciherang. Selain bekerja sebagai buruh, menurut warga dilokasi atas, ada beberapa warga yang mengikuti kredit berupa simpan pinjam uang. Warga yang ingin mengikuti kredit simpan pinjam uang harus memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan. Persyaratan yang diajukan berupa persyaratan peminjaman pada umumnya, tetapi yang paling penting yaitu mendapat izin dari suami, sehingga salah satu persyaratannya yaitu berupa fotokopi KTP suami. Adapun kegiatan rutin untuk menjaga silahturahmi antar warga yaitu dengan mengadakan kegiatan pengajian secara rutin.

(38)

mereka yang sebagaian besar padat pemukiman tidak terdapat lahan garapan yang dapat membantu warganya dalam memenuhi kebutuhan.

Peruntukan lahan di wilayah ini digunakan untuk pemukiman warga. Terdapat sedikit sawah di RT ini, sawah tersebut pun bukan miliki warga di wilayah tersebut. Sarana dan infrastruktur di wilayah ini terbilang cukup baik. Jalan yang sering dilewati warga dalam keadaan baik,namun ada beberapa jalan yang harus diperhatikan seperti jalan gang. Selain itu, di wilayah ini juga sudah terdapat gedung atau bangunan yaitu Mesjid. Masyarakat RT 03 RW 10 rata-rata memiliki kesamaan dalam hal masalah ekonomi dimana tidak ada satupun diantara masyarakat di wilayah mereka yang berhasil. Secara keseluruhan jumlah KK di RT 03/10 sebanyak 97 KK.

Stratifikasi sosial pada RT 3 memiliki ciri-ciri kurang lebih sama dengan RT 2, stratifikasi pada RT 3 sebagai berikut:

1. Golongan sangat miskin

Warga di RT 03/10 yang termasuk dalam golongan ini terdiri dari ±5 KK (5,1%). Ciri-ciri golongan ini adalah tidak bekerja sama sekali, menunggu penghasilan dari anak-anaknya, atau hidup menumpang pada keluarga lain.

2. Golongan miskin

Warga di RT 03/10 yang termasuk dalam golongan ini terdiri dari ±15 KK (15,4%). Ciri-ciri golongan ini adalah mengandalkan penghasilan anak dan berdagang gorengan, pedagang kacang goreng, atau tukang ojek.

3. Golongan menengah

Warga di RT 03/10 yang termasuk dalam golongan ini terdiri dari ±24 KK (24%). Ciri-ciri golongan ini adalah bekerja serabutan, menerma BPJS (Rp. 20.000) atau pedagan buku KW.

4. Golongan cukup mampu

Warga di RT 03/10 yang termasuk dalam golongan ini terdiri dari ±49 KK (50,5%). Ciri-ciri golongan ini adalah mereka yang merupakan lulusan perguruan tinggi negeri, bekerja pada (buruh), pemilik angkot, atau sudah pernah umrah.

5. Golongan mampu

Warga di RT 03/10 yang termasuk dalam golongan ini terdiri dari ± 4 KK (4,1%). Ciri-ciri golongan ini adalah dilihat dari segi ekonomi, golongan ini biasanya memiliki rumah cukup luas, pekerjaan tetap dan mapan, bekerja diluar desa seperti di Jakarta, PNS, wiraswasta (buruh pabrik sendal Rafilla), bergelar haji, memiliki tanah luas, memiliki garasi, memiliki mobil, atau pendatang.

(39)

Data pada bulan Mei tahun 2014 menunjukkan bahwa total jumlah penduduk di RT 04 terdiri dari 112 kepala keluarga. Sebagian besar mata pencaharian penduduk RT04 bergerak dalam bidang pertanian. Hal ini dapat dilihat dari presentase penduduk yang berprofesi sebagai petani, yaitu sebanyak 35 persen. Dua orang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil. Umumnya berwirausaha, yaitu terdiri dari usaha skala rumah tangga dan menengah seperti konveksi, warung dan kios serta sebagai karyawan swasta berprofesi sebagai pengemudi supir taksi dan karyawan pabrik.

Untuk perekonomian, RT 04 Desa Ciherang memiliki empat unit toko kelontong, lima unit warung nasi. Prasarana pertanian di RT 04 dialiri sungai sebagai batas sebelah barat. Selanjutnya, RT 04 memiliki sarana peribadatan bagi yang beragama islam yakni masjid Nurul Huda dan tidak memiliki untuk prasarana kesehatan yang lokasinya berada di RT 04 namun masyarakat dapat mengakses posyandu yang dikelola oleh PKK desa dan puskesmas di desa. Sarana dan prasarana tersebut sudah cukup memadai untuk menunjang aktivitas sosial, budaya, dan perekonomian penduduk.

Penelurusan terakhir di RT 05 yang memiliki lahan perkebunan dan lahan pribadi yang dimanfaatkan penduduk sekitar untuk berkebun dan kolam ikan. Lahan perkebunan milik warga tersebut di sekitar perumahan yang berbatasan dengan perumahan Aradea dan di area perbatasan sungai. Komoditi pertanian perkebunan RT 05 yang mayoritas adalah kacang, jagung, tales, ubi, dan singkong. Selain itu, ada beberapa tambak ikan dan peternakan unggas skala kecil yang dimiliki oleh warga.

Data pada bulan Mei tahun 2014 menunjukkan bahwa total kepala keluarga penduduk di RT 05 adalah sebanyak 150 kepala keluarga. Sebagian besar mata pencaharian penduduk RT 05 bergerak dalam sektor non-formal (supir, petani dan didominasi oleh buruh). Dua orang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil. Umumnya berwirausaha, yaitu terdiri dari usaha skala rumah tangga dan menengah seperti konveksi, warung dan kios serta sebagai karyawan swasta berprofesi sebagai pengemudi supir taxi dan karyawan pabrik.

(40)

Gambar

Tabel 1. Penggolongan UMKM menurut tenaga kerja dan pendapatan
Gambar 1. Piramida Kebutuhan Manusia
Gambar 2. Persentase pemanfaatan lahan di Desa Ciherang, 2014
Tabel 4. Jumlah jiwa menurut kelompok umur Desa Ciherang, 2014
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan secara parsial menunjukkan bahwa ukuran perusahaan, leverage dan jaminan obligasi yang terbukti mempengaruhi peringkat obligasi , sedangkan profitabilitas

Langkah pertama yang dilakukan antara pelatih dalam hal ini sebagai pelaksana PKM dengan Ketua kelompok kesenian Gejog Lesung yang tergabung dalam Sanggar Sangir adalah

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis dalam pengembangan ilmu hukum pada umumnya. 1) Secara Teoritis,

Data Lagu Pengguna yang direkam di instrumen dapat ditransfer ke komputer dan disimpan sebagai file, sementara data Lagu (file MIDI) yang didapatkan dari internet dapat ditransfer

Hasil pengukuran persen kadar kobalt dalam kompleks kobalt(II)-sulfisoksazol adalah 5,28  0,14 %, sedang kadar kobalt dalam kompleks secara teoritis dengan berbagai kemungkinan

BBWS Pemali-Juana Ditjen SDA Kementerian PUPR a/n Ir. Dwi Cahyo Handono Setyawan Dusun Bogosari, Desa Pringsari, Kecamatan Pringapus, Kabupaten Semarang 61 UKL-UPL RENCANA

Hasil penelitian yang baru-baru ini dilakukan oleh Rian (2017) dengan judul penelitian analisis faktor yang mempengaruhi penempatan sebagai bendahara SKPD di

Oleh karena itu, penggunaan teknik bridging pada tindak tutur penyiar radio yang digunakan untuk membawakan suatu acara tersebut kiranya cukup penting untuk