• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Reseptor Virus Infectious Bursal Disease (Ibd) Pada Organ Limfoid Ayam Pasca Vaksinasi Dengan Metode Imunohistokimia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Reseptor Virus Infectious Bursal Disease (Ibd) Pada Organ Limfoid Ayam Pasca Vaksinasi Dengan Metode Imunohistokimia"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

i

STUDI RESEPTOR VIRUS

INFECTIOUS BURSAL DISEASE

(IBD) PADA ORGAN LIMFOID AYAM PASCA VAKSINASI

DENGAN METODE IMUNOHISTOKIMIA

RESTU LIBRIANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Studi Reseptor Virus Infectious Bursal Disease (IBD) pada Organ Limfoid Ayam pasca Vaksinasi dengan Metode Imunohistokimia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ii

RINGKASAN

RESTU LIBRIANI. Studi Reseptor Virus Infectious Bursal Disease (IBD) pada Organ Limfoid Ayam pasca Vaksinasi dengan Metode Imunohistokimia. Dibimbing oleh AGUS SETIYONO dan WIWIN WINARSIH.

Kejadian infektious bursal disease (IBD) berdampak ekonomis bagi peternak karena dapat merusak organ limfoid terutama bursa Fabricius dan menyebabkan kegagalan program vaksinasi. Reseptor VIRUS IBD pada organ limfoid diduga berkontribusi terhadap kejadian subklinis dan klinis IBD pada ayam. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sebaran reseptor virus IBD pada organ limfoid ayam yang mendapat vaksin IBD yang berbeda.

Sebaran reseptor pada bursa Fabricius, limpa, dan timus diamati secara mikroskopis menggunakan metode imunohistokimia dan dievaluasi menggunakan perangkat lunak Image J®. Penelitian ini menggunakan antibodi monoklonal anti sel LSCC-BK3 (Gifu University, Japan) sebagai antibodi primer. Hasil penelitian menunjukan bahwa reseptor virus IBD banyak ditemukan pada bursa Fabricius kemudian limpa dan timus. Sebaran reseptor virus IBD pada organ limpa dan timus ayam yang mendapat program vaksinasi 1 kali tidak berbeda nyata dengan ayam yang mendapat program vaksinasi IBD 2 kali. Sebaran reseptor virus IBD pada organ bursa Fabricius ayam yang mendapat program vaksinasi 2 kali lebih banyak dibanding ayam yang mendapat program vaksinasi IBD 1 kali.

(5)

iii

SUMMARY

RESTU LIBRIANI. Study on Infectious Bursal Disease Virus Receptors (IBD) in Lymphoid Organs of Chicken Post Vaccination using Immunohistochemistry Method. Supervised by AGUS SETIYONO and WIWIN WINARSIH.

Infectious bursal disease (IBD) affects economical impact for breeders due to it can cause damage lymphoid organ, especially bursa of Fabricius and causing failure the vaccination program. Infectious bursal disease virus receptors on lymphoid organs suspected contribute to subclinical and clinical IBD incidence in the chickens. The aim of this study was to determine and compare the distribution of IBD virus receptors on lymphoid organ of the chicken which obtained different IBD vaccination program.

The presence of virus receptors in bursa of Fabricius, spleen, and thymus were observed microscopically using immunohistochemical method and evaluated with Image J® software. Monoclonal anti LSCC-BK3 (Gifu University, Japan) antibodies as primary antibody was used in this study. The result showed that IBD virus receptors found abudantly in the bursa of Fabricius, afterwards in the spleen and thymus. No significant differences of IBD virus receptor distribution within spleen and thymus between chicken which obtained once and twice IBD vaccination.

(6)

iv

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

i

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Biomedis Hewan

STUDI RESEPTOR VIRUS

INFECTIOUS BURSAL DISEASE

(IBD) PADA ORGAN LIMFOID AYAM PASCA VAKSINASI

DENGAN METODE IMUNOHISTOKIMIA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(8)

ii

(9)

iii

Judul Tesis : Studi Reseptor Virus Infectious Bursal Disease (IBD) pada Organ Limfoid Ayam pasca Vaksinasi dengan Metode Imunohistokimia Nama : Restu Libriani

NIM : B351130021

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Drh Agus Setiyono, MS PhD APVet Ketua

Dr Drh Wiwin Winarsih, MSi APVet Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Biomedis Hewan

Drh Agus Setiyono, MS PhD APVet

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 09 Oktober 2015

(10)

iv

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2015 ini ialah reseptor IBD, dengan judul Studi Reseptor Virus Infectious Bursal Disease (IBD) pada Organ Limfoid Ayam pasca Vaksinasi dengan Metode Imunohistokimia.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Drh Agus Setiyono, MS PhD APVet dan Ibu Dr drh Wiwin Winarsih, MSi APVet selaku pembimbing, serta Bapak Drh Vetnizah Juniantito, PhD APVet yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Saudara Drh Yamin Yaddi yang telah membantu selama pengambilan sampel di Sukabumi, Jawa Barat. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, (almh.) Mama, Kakak-kakak serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(11)

v

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Patogenesa 5

Reseptor Seluler 6

Antibodi Monoklonal 7

Imunohistokimia 8

3 METODE 9

Waktu dan Tempat Penelitian 9

Bahan 9

Alat 9

Prosedur Penelitian 9

Parameter Penelitian 10

Analisis Data 10

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 11

5 SIMPULAN 18

DAFTAR PUSTAKA 18

LAMPIRAN 21

(12)

vi

DAFTAR TABEL

1 Jumlah sebaran reseptor virus IBD pada organ bursa Fabricius, limpa,

dan timus (per 1000 µm2) 11

2 Skor lesio histopatologi bursa Fabricius ayam yang mendapat 1 atau

2 kali vaksinasi IBD 17

DAFTAR GAMBAR

1 Konsentrasi antibodi setelah pemberian vaksin 4

2 Antibodi monoklonal dari sel hibridoma (Kohler & Milstein’s

technique) 8

3 Representasi foto mikrografi sebaran reseptor virus IBD pada organ

limfoid ayam 12

4 Foto mikrografi organ bursa Fabricius ayam dengan program

vaksinasi IBD 14

5 Foto mikrografi organ limpa ayam dengan program vaksinasi IBD 15 6 Foto mikrografi organ timus ayam dengan program vaksinasi IBD 16

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organ bursa Fabricius dengan program vaksinasi 1 dan 2 kali (kelompok umur 8

hari) 21

2 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organ bursa Fabricius dengan program vaksinasi 1 dan 2 kali (kelompok umur 15

hari) 22

3 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organ bursa Fabricius dengan program vaksinasi 1 dan 2 kali (kelompok umur 23

hari) 23

4 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organ limpa dengan program vaksinasi 1 dan 2 kali (kelompok umur 8 hari) 24 5 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organ limpa dengan

program vaksinasi 1 dan 2 kali (kelompok umur 15 hari) 25 6 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organ limpa dengan

program vaksinasi 1 dan 2 kali (kelompok umur 23 hari) 26 7 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organ timus dengan

program vaksinasi 1 dan 2 kali (kelompok umur 8 hari) 27 8 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organtimus dengan

program vaksinasi 1 dan 2 kali (kelompok umur 15 hari) 28 9 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organ timus dengan

(13)

vii

18 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organ bursa dengan program vaksinasi 1 kali (kelompok umur 8, 15, dan 23 hari) 38 19 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organ bursa dengan

program vaksinasi 2 kali (kelompok umur 8, 15, dan 23 hari) 39 20 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organ limpa dengan

program vaksinasi 1 kali (kelompok umur 8, 15, dan 23 hari) 40 21 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organ limpa dengan

program vaksinasi 2 kali (kelompok umur 8, 15, dan 23 hari) 41 22 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organtimus dengan

program vaksinasi 1 kali (kelompok umur 8, 15, dan 23 hari) 42 23 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organ timus dengan

program vaksinasi 2 kali (kelompok umur 8, 15, dan 23 hari) 43 24 Hasil uji statistik pengaruh pemberian vaksin IBD 1 kali dan 2 kali

pada kelompok umur ayam yang berbeda terhadap sebaran reseptor

IBD 44

25 Hasil uji statistik terhadap skor lesio histopatologi organ bursa

Fabricius pada program vaksinasi IBD 1 kali 45

26 Hasil uji statistik terhadap skor lesio histopatologi organ bursa

Fabricius pada program vaksinasi IBD 2 kali 46

27 Hasil uji statistik terhadap skor lesio histopatologi organ limpa pada

program vaksinasi IBD 1 kali 47

28 Hasil uji statistik terhadap skor lesio histopatologi organ limpa pada

(14)

viii

29 Hasil uji statistik terhadap skor lesio histopatologi organ timus pada

program vaksinasi IBD 1 kali 49

30 Hasil uji statistik terhadap skor lesio histopatologi organ timus pada

(15)

1

PENDAHULUAN

Infectious bursal disease (IBD) atau gumboro merupakan penyakit infeksius pada unggas yang bersifat akut. Agen penyebab penyakit ini adalah virus genus Avibirnavirus famili Birnaviridae yang mempunyai asam inti RNA rantai ganda(Kencana et al. 2011). Virus IBD tidak infeksius pada suhu diatas 42

oC, tidak stabil pada suhu diatas 72 oC, dan perubahan pH tidak berkontribusi

nyata terhadap kestabilan virus IBD (Rani & Kumar 2015). Guan et al. (2014) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa inaktivasi virus IBD pada suhu dibawah 0 oC menggunakan desinfektan kimia membutuhkan waktu lebih dari 2 jam.

Virus IBD yang dikenal saat ini terdiri dari dua serotipe, yaitu serotipe 1 bersifat patogen pada ayam dan serotipe 2 tidak patogen pada ayam. Serotipe 1 pertama kali ditemukan sebagai strain klasik kemudian mengalami mutasi sebagai strain varian yang sangat ganas yaitu virus very virulent IBD (vvIBD) (Van den Berg et al. 2000). Penyebaran IBD di Indonesia pada tahun 1991 memperlihatkan bahwa hampir semua isolat yang diperoleh dari hasil isolasi dan identifikasi di berbagai wilayah di Indonesia memiliki kerabat dekat dengan virus vvIBD (Parede et al. 2010).

Infectious bursal disease berdampak ekonomi bagi peternak karena dapat merusak organ limfoid terutama bursa Fabricius (imunosupresif), sehingga ayam yang terinfeksi virus IBD menjadi rentan terhadap infeksi sekunder serta dapat mengakibatkan kegagalan vaksinasi (Van den Berg et al. 2000). Selain itu, virus IBD dapat menyebabkan morbiditas yang tinggi mencapai 100% dan mortalitas antara 20 sampai 30%, sedangkan untuk virus vvIBD tingkat morbiditas dan mortalitasnya dapat mencapai 100% (Enterradossi & Saif 2008; Wahyuwardani et al. 2011).

Pengendalian penyakit IBD dapat dilakukan dengan pemberian vaksinasi. Vaksinasi yang diberikan dapat berupa vaksin aktif dari virus IBD hidup yang telah diatenuasi maupun inaktif yang dibuat dari virus IBD yang telah dimatikan tetapi tetap bersifat imunogenik. Vaksin aktif masih memiliki kemampuan untuk bereplikasi sedangkan vaksin inaktif tidak memiliki kemampuan untuk bereplikasi (Davison et al. 2008). Vaksinasi aktif yang beredar dan dipergunakan di Indonesia kebanyakan menggunakan seed virus dari strain intermediate karena penggunaan vaksin aktif strain mild dinilai kurang memberi hasil yang memuaskan (Syahroni et al. 2005). Kencana et al. (2011) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa vaksin IBD aktif dapat menyebabkan imunosupresif terhadap respon primer (humoral) vaksin Newcastle disease (ND). Namun demikian, Niepper dan Muller (1996) menyatakan bahwa replikasi virus IBD tidak hanya terjadi karena adanya reseptor spesifik pada sel limfosit B , terdapat reseptor lain yang dimiliki Chicken embryo fibroblast (CEF) yang mampu berikatan pada kedua serotipe virus IBD.

(16)

2

plasma sel terdapat reseptor terhadap virus tersebut. Interaksi pertama virus dengan membran plasma sel kurang spesifik dan sering bersifat elektrostatik. Interaksi ini kemudian dikenali oleh membran plasma dan mendatangkan reseptor spesifik (Grove & Marsh 2011).

Banyaknya kejadian IBD dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi hingga saat ini menyebabkan penyakit ini menarik untuk dikaji lebih mendalam. Setiyono et al. (2000) dalam penelitiannya mengisolasi antibodi monoklonal (AbMo) yang dapat menghambat infeksi virus IBD pada sel LSCC-BK3. Sel LSCC-BK3 adalah sel lestari limfoblastoid B pada ayam yang dapat diinfeksi virus IBD (Setiyono et al. 2001). Reseptor pada LSCC-BK3 dikenali sebagai protein N-Glycosylated (Ogawa et al. 1998). Antibodi monoklonal anti sel LSCC-BK3 tersebut dapat digunakan untuk mempelajari reseptor virus IBD pada organ limfoid ayam dengan metode imunohistokimia (IHK).

Metode IHK merupakan metode deteksi protein antigen dalam jaringan dengan prinsip reaksi imunologi melalui deteksi ikatan antigen dan antibodi. Imunohistokimia mempunyai nilai lebih dibandingkan metode lainnya, seperti Western Blot, ELISA dan PCR karena dapat menentukan lokasi protein yang diidentifikasi (Santos et al. 2009). Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian yang berjudul Studi Reseptor Virus Infectious Bursal Disease (IBD) pada Organ Limfoid Ayam dengan Metode Imunohistokimia ini dilakukan.

Perumusan Masalah

Permasalahan yang akan dijawab pada penelitian ini antara lain :

1. Bagaimana sebaran reseptor virus IBD pada organ bursa Fabricius, limpa, dan timus ayam yang mendapatkan vaksinasi satu kali dan dua kali?

2. Bagaimana gambaran lesio histopatologi organ bursa Fabricius, limpa, dan timus ayam yang mendapatkan vaksinasi satu kali dan dua kali?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran reseptor virus IBD pada organ limfoid ayam yang mendapat vaksinasi IBD 1 kali dan 2 kali menggunakan metode IHK.

Manfaat Penelitian

(17)

3

2

TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit IBD atau gumboro merupakan penyakit infeksius pada unggas yang disebabkan oleh virus dan bersifat akut. Agen penyakit ini adalah virus dari genus Avibirnavirus dari famili Birnaviridae. Virus IBD tidak memiliki amplop, dikelilingi oleh protein kapsid yang berbentuk icosahedral, dan memiliki dua segmen untaian ganda RNA (Enterradossi & Saif 2008). Segmen A1 merupakan penyandi protein dari viral protein 2 (VP2, 40 kD), VP3 (32 kD), VP4 (28 kD). Protein VP2 membentuk bagian luar capsid, VP3 membentuk bagian dalam capsid sedangkan protein VP4 merupakan protease virus. Protein VP2 mempunyai epitop yang spesifik, yang mengandung sedikitnya tiga epitop yang bebas dan bertanggung jawab menginduksi antibodi penetralisasi (Becht et al. 1998). Glikoperotein VP2 bertanggungjawab pada pengenalan reseptor pada sel vero pada level molekular (Yip et al. 2007). Varian alam virus IBD mengikat reseptor sel B bursa Fabriciusmelalui protein VP2 (Boot et al. 2000). Segmen A2 merupakan penyandi protein nonstructural VP5 (17 kD) yang kemungkinan terlibat dalam pelepasan virus dari sel serta berperan dalam menghambat proses apoptosis pada tahap awal infeksi virus IBD (Meihong & Vakharia 2006). Segmen B merupakan penyandi bagi protein VP1 (Van Den Berg 2000).

Virus IBD merusak organ limfoid terutama bursa Fabricius yang merupakan tempat limfosit B dewasa dan berdiferensiasi. Infectious bursal disease berdampak ekonomis bagi peternak karena bersifat imunosupresif sehingga ayam yang terinfeksi IBD menjadi rentan terhadap infeksi sekunder seperti coccidiosis, newcastle disease, dan colibacillosis (Davison et al. 2008). Virus IBD juga dapat menyebabkan morbiditas yang tinggi bahkan mencapai 100% serta mortalitas antara 20 sampai 30% sedangkan untuk virus IBD yang sangat ganas (virus vvIBD), morbiditas dan mortalitas dapat mencapai 100% (Eterradossi & Saif 2008; Wahyuwardani et al. 2011).

Virus IBD tidak infeksius pada suhu diatas 42 oC, tidak stabil pada suhu diatas 72 oC, dan perubahan pH tidak berkontribusi nyata terhadap kestabilan virus IBD (Rani & Kumar 2015). Guan et al. (2014) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa inaktivasi virus IBD pada suhu dibawah 0 oC menggunakan desinfektan kimia membutuhkan waktu lebih dari 2 jam. Kandang yang pernah terinfeksi dapat menginfeksi unggas lainnya pada 54 sampai 122 hari. Penularan dari unggas terinfeksi melalui air minum, pakan, atau kotoran (Eterradossi & Saif 2008).

Infeksi virus pada ayam umur kurang dari 3 minggu biasanya subklinis dan imunosupresif sehingga menyebabkan kegagalan vaksinasi (Davison et al. 2008). Mekanisme kejadian subklinis pada ayam umur kurang dari 3 minggu diduga karena adanya peran maternal antibodi dan kejadian imunosupresif terkait dengan adanya kematian sel-sel penghasil limfosit B, terutama yang terdapat pada bursa Fabricius. Infeksi subklinis dapat diamati secara histopatologi (Eterradossi & Saif 2008).

(18)

4

ayam, rute inokulasi dan keberadaan antibodi penetralisasi (Murphy et al. 1999). Pada ayam muda tanpa antibodi maternal, gejala klinis terlihat pada 48 jam pasca infeksi (pi) sedangkan pada ayam yang telah divaksinasi, gejala klinis terlihat 3 hari pi, dan ayam akan mati setelah memperlihatkan gejala klinis (William & Davison 2005). Gejala klinis yang terlihat akibat dari infeksi virus IBD adalah ayam lesu, nafsu makan menurun, diare, dan sayap menggantung (Eterradossi & Saif 2008).

Diagnosis dapat dilakukan berdasarkan perubahan patologi yang diperkuat dengan deteksi antigen virus dengan teknik IHK. Virus IBD dari strain virus vvIBD menyebabkan lesi yang parah, yang dapat teramati pada timus, limpa, bursa Fabricius, hati, ginjal, jantung, proventrikulus, gizarddan seka tonsil. Pada fase akut ditemukan adanya hipertropi, hiperemi dan udema pada bursa (Van den Berg et al. 2000). Pada 7 dan 14 hari pi bursa Fabriciusayam yang diinfeksi virus vvIBD terlihat mengecil dibandingkan dengan bursa Fabriciusayam normal. Jika terjadi penyembuhan, ukuran bursa kembali normal pada 21 hari pi (Wahyuwardani et al. 2011).

Pengendalian IBD yang efektif adalah dengan melakukan program vaksinasi yang teratur, memperketat biosekuriti, dan melakukan deteksi titer antibodi untuk mengetahui keberhasilan vaksinasi (OIE 2008). Program vaksinasi diperlukan agar tubuh mampu membentuk kekebalan atau daya tahan secara spesifik melalui reaksi antigen-antibodi dan pematangan sel T dan sel B memori terhadap antigen pemaparnya. Antibodi dapat berfungsi sebagai kompetitor bagi antigen virus IBD dengan reaksi inibisi, aglutinasi, presipitasi atau opsonin. Besseboua et al. (2015) yang menyebutkan bahwa vaksinasi 2 kali perlu dilakukan agar mendapatkan perlindungan yang lebih baik terhadap IBD (Gambar 1).

(19)

5

Tipe vaksin IBD yang umum digunakan di lapangan adalah vaksin intermediate karena dapat menstimulasi ayam dalam memproduksi antibodi lebih awal dari tipe vaksin mild, tanpa menyebabkan kerusakan bursa Fabricius seperti pada tipe vaksin virulen (OIE 2008). Waktu vaksinasi tergantung pada titer antibodi maternal pada anak ayam. Titer antibodi maternal yang tinggi akan menetralisasi virus yang berasal dari vaksin sehingga respon kekebalan aktif yang dihasilkan sedikit.

Patogenesa

Virus IBD dapat merusak organ limfoid terutama bursa Fabricius yang merupakan tempat limfosit B tumbuh kembang dan berdiferensiasi (Davison et al. 2008). Infeksi virus IBD pada umumnya melalui oral bersama pakan yang tercerna virus masuk ke dalam usus. Virus kemudian ditangkap oleh sel makrofag atau limfosit di usus sebagai Antigen Presenting Cell (APC) (Eterradossi & Saif 2008). Selanjutnya masuk ke hati lalu ke sistem sirkulasi dan terjadi viremia primer. Antigen virus ditemukan pada sel limfoid bursa ± 11 jam pi tetapi belum ditemukan pada jaringan limfoid lain. Di bursa virus bereplikasi paling banyak. Target dari virus IBD adalah sel IgM+ dan sel IgM ini terdapat pada darah, limfonodus, dan pada permukaan sel-sel B (Murphy et al. 1999). Setelah 16 jam pi terjadi viremia kedua dan replikasi sekunder pada organ lainnya yang dapat menimbulkan kematian (Van den Berg 2000). Penyebab kematian belum diketahui secara pasti. Namun demikian pada fase akut teramati sindroma septic shock, dimana terjadi respon imun yang berlebihan, yang ditandai dengan peningkatan konsentrasi TNF-α yang berlebihan di dalam serum darah ayam, yang kemudian diikuti terjadinya kematian (Sharma et al. 2000)

Infeksi klinis dan subklinis dengan virus IBD dapat menyebabkan imunosupresi. Rusaknya sel-sel imunoglobulin oleh virus dapat menghambat kekebalan humoral. Infeksi virus vvIBD menyebabkan kerusakan yang parah hingga terjadi deplesi sel limfoid pada folikel bursa Fabricius, sehingga ukuran bursa terlihat mengecil, hingga mencapai 1/4 – 1/5 dari ukuran bursa Fabricius pada ayam kontrol (Lam 1998). Bila tidak terjadi penyembuhan pada bursa Fabricius ayam, akan menyebabkan hambatan produksi antibodi yang dibentuk oleh sel B. Mekanisme lain seperti mengubah fungsi sel antigen-presenting dan melibatkan T helper mungkin terjadi. Infeksi virus IBD menyebabkan penghambatan sementara terhadap respon proliferatif sel T untuk mitogen secara in vitro. Penghambatan ini dimediasi oleh makrofag yang telah diaktifkan pada ayam yang terinfeksi virus dan memperlihatkan peningkatan ekspresi dari sejumlah gen sitokin (Sharma et al. 2000).

(20)

6

menimbulkan apoptosis pada sel target yang mengekspresikan Fas (Plumeriastuti 2006).

Fase akut berlangsung selama 7 sampai 10 hari. Pada fase ini, sel B pada folikel bursa mengalami deplesi dan bursa mengalami atropi (Sharma et al. 2000).. Selain itu, nekrosis sel juga berperan pada cepatnya kejadian deplesi sel pada bursa Fabricius yang diinfeksi virus IBD (Muller et al. 2003). Pada ayam yang bertahan dan melewati fase akut, efek patologi dapat sembuh dan virus dapat dihilangkan. Folikel bursa akan kembali dipenuhi dengan IgM (+) sel B (Sharma et al. 2000).

Pada sel timus nekrosis terjadi secara ekstensif. Agregat sel dengan inti yang piknotik ditemukan pada area nekrosis, sel debris dan reaksi fagositosis pada sel epitel retikuler. Kapsula timus menebal dan daerah antar lobus melebar karena terjadi udema. Pada limpa, sel limfosit banyak yang menghilang diganti dengan sel makrofag dan sel heterofil, ini menunjukkan ada reaksi inflamasi (Van den Berg et al. 2000).

Reseptor Seluler

Reseptor merupakan molekul pada permukaan sel yang memperantarai pengikatan antara virus dan sel melalui proses perlekatan, mengikat, memicu peleburan membran, atau proses lainnya (Zhu et al. 2008). Molekul tersebut dapat berupa glikoprotein atau glikolipid misalnya heparan sulfate proteoglikan yang ada pada permukaan sel (Grove & Marsh 2011). Infeksi virus pada sel akan terjadi jika pada membran plasma sel terdapat reseptor terhadap virus tersebut. Interaksi pertama virus dengan membran plasma sel kurang spesifik dan sering bersifat elektrostatik. Interaksi ini kemudian dikenali oleh membran plasma dan mendatangkan reseptor spesifik (Grove & Marsh 2011).

Reseptor merupakan molekul penting dan dapat bertahan lama pada fungsi normal sel. Virus dapat berkembang dan memiliki ligan dengan afinitas tinggi agar dapat berikatan dengan reseptor spesifik pada sel. Secara teori beberapa membran sel memiliki reseptor untuk satu atau lebih virus, sedangkan kenyataannya molekul yang berbeda digunakan sebagai reseptor untuk virus yang berbeda (Murphy et al. 1999).

(21)

7

Antibodi Monoklonal

Antibodi monoklonal (AbMo) dengan spesifisitas yang ditetapkan berasal dari sel kloning atau organisme. Antibodi ini dapat diperoleh dari sel plasma yang diklon dari sel-sel limfosit B sejenis atau dari rDNA-rekayasa baris sel mamalia atau bakteri (rekayasa AbMo).

Antibodi monoklonal dibuat dari sel hibrid yang mempunyai sifat lebih baik dari antibodi poliklonal karena hanya mengikat 1 epitop serta dapat dibuat dalam jumlah tak terbatas. Penemuan AbMo ini memudahkan dalam mengidentifikasi dan memurnikan suatu molekul pada berbagai disiplin ilmu termasuk prosedur diagnostik, pengobatan dan pencegahan alternatif pada keganasan berbagai penyakit (Sevier et al. 1981).

Apabila sel hibridoma dibiakkan dalam kultur sel, sel yang secara genetik mempunyai sifat yang identik akan memproduksi antibodi sesuai dengan antibodi yang diproduksi oleh sel aslinya, yaitu sel limfosit B. Proses pemilihan sel klon yang identik dapat mensekresi antibodi yang spesifik. Pada prinsipnya antibodi yang homogen dapat didapatkan pada beberapa tahap, yaitu imunisasi mencit, fusi sel limfosit B dan sel mieloma, eliminasi sel induk yang tidak berfusi, isolasi dan pemilihan klon hibridoma (Sevier et al. 1981).

Setiyono et al. (2000) dalam penelitiannya mengisolasi antibodi monoklonal (AbMo) yang dapat menghambat infeksi virus IBD pada sel LSCC-BK3. Sel LSCC-BK3 adalah sel lestari limfoblastoid B pada ayam yang dapat diinfeksi virus IBD (Setiyono et al. 2001). Reseptor pada LSCC-BK3 dikenali sebagai protein N-Glycosylated (Ogawa et al. 1998). Antibodi monoklonal anti sel LSCC-BK3 tersebut dapat digunakan untuk mempelajari reseptor virus IBD pada organ limfoid ayam dengan metode imunohistokimia (IHK).

Antibodi monoklonal terhadap sel LSCC-BK3 dibuat oleh sel-sel hibridoma (hasil fusi dua sel berbeda, penghasil sel B limpa dan sel mieloma) yang dikultur (Gambar 2). Pembuatan antibodi ini menggunakan 3 sel line limphoblstoid ayam, yaitu LSCC-BK3, LSCC-1104-B1 yang berasal dari bursa ayam yang terinfeksi avian leukosis virus, dan MDCC-MSB dari limpa ayam yang terinfeksi penyakit Marek’s. Imunisasi pada tikus BALB/c umur 3 minggu secara intraperitonial dengan emulsi sel LSCC-BK3 1x107 dan Freund’scomplete adjuvant (Difco, Laboratories, Detroit, MI, U.S.A). Booster dilakukan secara intraperitoneal dengan emulsi sel LSCC-BK3 1x107 Freund’s incomplete adjuvant.

(22)

8

Gambar 2 Antibodi monoklonal dari sel hibridoma (Kohler & Milstein’s technique)

[http://www.bio.davidson.edu//Courses/Molbio/MolStudents/01kewe stbrook/mono.html].

Imunohistokimia

Metode IHK merupakan metode deteksi protein antigen dalam jaringan dengan prinsip reaksi imunologi melalui deteksi ikatan antigen dan antibodi (Santos et al. 2009). Imunohistokimia mempunyai nilai lebih dibandingkan metode lainnya, seperti Western Blot, ELISA dan PCR karena dapat menentukan lokasi protein yang diidentifikasi (Santos et al. 2009).

Tempat pengikatan antara antibodi dengan protein spesifik diidentifikasi dengan marker yang biasanya dilekatkan pada antibodi dan bisa divisualisasi secara langsung atau dengan reaksi untuk mengidentifikasi marker. Marker dapat berupa senyawa berwarna, zat berfluoresensi, logam berat, label radioaktif, atau enzim. Molekul spesifik akan mewarnai sel-sel tertentu seperti sel yang membelah atau sel yang mati sehingga dapat dibedakan dengan sel normal. Pemeriksaan ini dilakukan pada jaringan yang memiliki ketebalan yang bervariasi tergantung dari tujuan pemeriksaan. Umumnya jaringan berasal dari tubuh akan dipotong menjadi sangat tipis menggunakan mikrotom.

(23)

9

3

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juni 2015. Pengambilan sampel dilakukan di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat dan pengolahan sampel dilakukan di laboratorium Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan

Penelitian ini menggunakan sampel organ limfoid (bursa Fabricius, limpa, dan timus) ayam broiler, AbMo anti sel LSCC-BK3 sebagai antibodi primer (Gifu University, Japan), dan Kit EnvisionTM Detection Systems Peroxidase/DAB, Rabbit/Mouse - DACO. Pewarnaan Hematoksilin Eosin. Vaksin inaktif (kill) dengan isolat lokal, Tasik strain (951) dan vaksin aktif (live) intermediate plus.

Alat

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini antara lain automatic tissue processor, parafin block, dan mikrotom.

Prosedur Penelitian

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah bursa Fabricius, limpa, dan timus dari ayam broiler di peternakan ayam di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Pembagian kelompok didasarkan pada perbedaan umur saat dilakukan diterminasi dan program vaksinasi yang diterapkan di peternakan. Program vaksinasi yang diterapkan yaitu program vaksinasi 1 kali yang diberikan pada ayam umur 11 hari (vaksin aktif, air minum) dan program vaksinasi 2 kali yang diberikan pada ayam umur 4 hari (vaksin inaktif, subkutan) dan umur 11 hari (vaksin aktif, air minum). Waktu yang tepat untuk pemberian vaksin IBD live (intermediate) adalah 18 sampai 21 hari dengan memperhatikan kondisi lingkungan peternakan. Pemberian vaksin pada ayam yang berasal dari induk yang telah diberi vaksin IBD tergantung pada pada kadar titer maternal antibodi dan umur ayam (Fantay et al. 2015). Waktu pemberian vaksin diharapkan dapat mencapai standar protektif sebelum penyakit menyerang. Virus IBD banyak menyerang ayam umur 3 sampai 6 minggu (Van den Berg et al. 2000).

(24)

10

Sebelum dinekropsi ayam diditerminasi dengan disembelih. Selanjutnya diambil organ timus, limpa, dan bursa Fabricius. Organ-organ tersebut dimasukkan ke dalam wadah plastik yang berisi larutan bufferd neutral formalin (BNF) 10% dan diberi label. Setelah organ terfiksasi dengan baik di dalam larutan BNF 10%, organ siap diproses secara histopatologi dan diwarnai dengan pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) dan imunuhistokimia (IHK). Pewarnaan HE untuk mendeskripsikan lesio yang ditemukan pada organ dan IHK untuk mendeteksi antigen reseptor virus IBD pada organ limfoid.

Tahapan IHK dimulai dengan melakukan deparafinasi lalu dicuci dengan PBS sebanyak 3 kali, selanjutnya dilakukan unmasking antigen dengan sitrat buffer menggunakan microwave selama 5 menit lalu didinginkan dan dicuci dengan PBS (3 kali), setelah itu dilakukan blocking normal serum menggunakan Fetal Bovine Serum (FBS) 1% selama 1 jam lalu dicuci dengan PBS (3 kali), selanjutnya diberi antibodi primer anti reseptor IBD (anti sel LSCC-BK3) dengan pengenceran 250 kali lalu disimpan pada suhu 4 oC (semalam) dan dicuci dengan

PBS (3 kali), selanjutnya dilakukan blocking endogenous enzyme (KIT IHK) selama 1 jam lalu dicuci dengan PBS (3 kali), kemudian diberi antibodi sekunder yang telah dilabel polimer HRP selama 1 jam lalu dicuci dengan PBS (3 kali), selanjutnya diberi substrat (chromogen) selama ± 5 detik (1 tetes DAB dalam 1 ml pengencer) lalu dicuci dengan air mengalir, setelah itu dilakukan counter staining menggunakan hematoksilin (± 3 celup) lalu dicuci dengan air mengalir, terakhir dilakukan dehidrasi dan mounting.

Parameter Penelitian

Pengamatan mikroskopis berupa sebaran reseptor virus IBD pada organ limfoid ayam yang terlihat positif berwarna coklat dengan pewarnaan IHK dan lesio pada organ yang diamati menggunakan pewarnaan HE berbasis skoring.

Analisis Data

(25)

11

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rataan sebaran reseptor virus IBD ayam pada kelompok yang mendapat vaksinasi IBD 1 kali dan 2 kali pada umur 8, 15, dan 23 hari disajikan pada Tabel 1.

Kelompok Perlakuan

Vaksinasi IBD 1 kali Vaksinasi IBD 2 kali Organ/

A B Huruf berbedapada baris yang sama untuk kelompok umur yang sama berbeda nyata (P<0.05). a b Huruf berbeda pada baris yang sama berbeda nyata (P<0.05) (vaksinasi IBD 1 kali).

d e*Huruf berbeda pada baris yang sama berbeda nyata (P<0.05) (vaksinasi IBD 2 kali). 12 Angka berbedapada kolom yang sama berbeda nyata (P<0.05).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebaran reseptor virus IBD pada program vaksinasi IBD 1 kali ayam umur 8 hari banyak ditemukan pada organ bursa Fabricius dan limpa sedangkan pada ayam umur 23 hari banyak ditemukan pada bursa Fabricius (P<0.05). Program vaksinasi IBD 2 kali reseptor banyak ditemukan pada organ bursa Fabricius untuk ketiga kelompok umur (Tabel 1). Hal ini sejalan dengan penelitian Ogawa et al. (1998) yang menyebutkan bahwa strain vvIBDV (strain OKYM) berikatan dengan sel limfosit hingga 94% pada bursa Fabricius, 37% pada limpa, dan 3% pada timus. Selain itu, Tippenhauer et al. (2013) menyebutkan bahwa target utama virus IBD adalah organ bursa Fabricius yang menjadi tempat sel limfosit B matang dan berdiferensiasi. Namun demikian, Niepper dan Muller (1996) menjelaskan bahwa replikasi virus IBD tidak hanya terjadi karena adanya reseptor spesifik pada sel limfosit B tetapi terdapat reseptor lain yang dimiliki CEF untuk kedua serotipe virus IBD. Kedua serotipe virus IBD berikatan secara spesifik pada protein yang memiliki berat molekul 40 kDa dan 46 kDa yang ada pada permukaan CEF dan sel limfoid. Sehingga jumlah reseptor tidak berkorelasi langsung dengan tingginya kejadian infeksi virus IBD, namun adanya reseptor spesifik memungkinkan terjadinya infeksi virus IBD pada unggas. Sebaran reseptor IBD pada organ bursa Fabricius, limpa, dan timus secara IHK pada kedua program vaksinasi dapat dilihat pada Gambar 3.

(26)

12

Sebaran reseptor IBD pada organ limpa dan timus pada masing-masing

Sebaran reseptor IBD pada organ limpa dan timus pada masing-masing kelompok umur antara kedua program vaksinasi IBD tidak memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata. Namun, sebaran reseptor IBD pada organ bursa fabricius antar kedua program vaksinasi terlihat berbeda pada ayam umur 23 hari Gambar 3 Representasi foto mikrografi sebaran reseptor virus IBD pada organ

(27)

13 (Tabel 1). Hal ini dimungkinkan karena perkembangan sel B limfosit pada ayam umur 8 dan 15 hari belum optimum. Bursa Fabricius bekerja optimal pada umur 3 sampai 4 minggu (Glick 2000). Reseptor IBD yang telah aktif dapat berikatan dengan antigen virus IBD dari vaksin sehingga jumlah reseptor IBD yang dikenali IHK semakin sedikit.

Pada program vaksinasi IBD 1 dan 2 kali umur 23 hari terlihat adanya peningkatan ekspresi jumlah reseptor IBD. Hal ini dianggap dapat menjelaskan kejadian klinis IBD di lapangan. Semakin banyak virus IBD mampu menempel dan masuk ke sel limfosit maka semakin besar peluang ayam terinfeksi dan mengekspresikan secara klinis IBD. Begitu pula sebaliknya semakin sedikit reseptor dikenali (positif IHK) maka semakin rendah peluang virus dapat menginfeksi ayam (ekspresi subklinis). Khan et al. (2009) menyatakan bahwa kejadian subklinis banyak terjadi pada umur kurang dari 21 hari.

Ayam umur 23 hari dengan program vaksinasi 2 kali jumlah reseptor IBD pada organ bursa Fabricius terlihat lebih banyak dari ayam umur 23 hari dengan progam vaksinasi 1 kali. Namun, diduga sel B memori berperan pada meningkatnya jumlah reseptor IBD yang dikenali IHK pada ayam yang mendapat vaksin IBD 2 kali umur 23 hari sehingga memungkinkan kecilnya peluang ayam terinfeksi virus IBD. Ketika sel naive atau sel B memori terpapar antigen (dan sel T-helper tidak terlihat), kedua sel tersebut akan berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel efektor. Sel efektor ini akan memproduksi dan mensekresikan antibodi dengan ikatan yang unik dengan antigen, seperti ikatan antara membran yang memiliki reseptor dengan antibodi (Aberts et al. 2002).

Sebaran reseptor IBD pada organ bursa Fabricius, limpa, maupun timus pada program vaksinasi IBD 1 kali tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada umur yang berbeda (P<0.05). Namun, terlihat adanya penurunan jumlah ekspresi reseptor IBD pada ayam umur 15 hari (4 hari pasca pemberian vaksin IBD aktif). Pada organ bursa Fabricius, jumlah sebaran reseptor virus IBD pada ayam yang mendapat vaksinasi IBD 2 kali terlihat berbeda nyata antara ayam umur 8 dan 15 hari. Jumlah reseptor IBD pada ayam umur 15 hari terlihat lebih sedikit. Hal ini memungkinkan adanya ikatan antara antigen virus vaksin IBD aktif yang diberikan pada ayam umur 11 hari dengan reseptor pada sel limfosit B. Vaksin aktif dari strain intermediate dilaporkan menyebabkan sifat imunosupresif pada respon primer vaksin ND (Kencana et al. 2011). Hasil pengujian keamanan vaksinasi IBD yang dilakukan BBPMSOH (Hidayanto et al. 2005) menyatakan bahwa terdapat 37 vaksin yang memenuhi syarat dari 53 sampel pada tahun 2000-2005 sehingga perlu penelitian lanjut terutama untuk vaksin IBD strain intermediate. Waktu yang tepat untuk pemberian vaksin IBD live (intermediate) adalah 18 sampai 21 hari dengan memperhatikan kondisi lingkungan peternakan (Fantay et al. 2015). Selain itu, bursa Fabricius bekerja optimal pada umur 3 sampai 4 minggu (Glick 2000).

(28)

14

digunakan untuk mendeskripsikan adanya lesio dari organ limfoid post vaksinasi IBD.

Gambaran histopatologi organ limfoid ayam yang mendapatkan vaksinasi IBD 1 dan 2 kali ditunjukkan pada Gambar 4,5, dan 6. Sedangkan skoring lesio histopatologi dicantumkan pada Tabel 2.

(29)

15

(30)

16

Hasil penilaian secara deskriptif terhadap lesio organ bursa Fabricius dengan pewarnaan HE disajikan pada Tabel 2.

Gambar 6 Foto mikrografi organ timus ayam dengan program vaksinasi IBD 1 kali umur 8 hari (A), umur 15 hari (B), 23 hari (C); dengan program vaksinasi IBD 2 kali umur 8 hari (D), umur 15 hari (E), dan umur 23 hari (F). Hemoraghi ( ), udema ( ), reruntuhan sel ( ). Pewarnaan HE.

(31)

17 Tabel 2 Skor lesio histopatologi bursa Fabricius ayam yang mendapat 1 atau 2

kali vaksinasi IBD

Skor lesio histopatologi pada program vaksinasi IBD 1 kali

*AB Huruf yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata (P<0.05) ab Huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata (P<0.05)

Keterangan:

(32)

18

IBD 2 kali pada ayam memberikan gambaran histopatologi organ limfoid lebih baik dibandingkan dengan program vaksinasi 1 kali (Gambar 2). Hal ini sejalan dengan penelitian Besseboua et al. (2015) yang menyebutkan bahwa vaksinasi 2 kali perlu dilakukan agar mendapatkan perlindungan yang lebih baik terhadap IBD.

5

SIMPULAN

1. Ekspresi positif imunohistokimia reseptor virus IBD pada organ bursa Fabricius ayam yang mendapat vaksinasi IBD 2 kali lebih banyak dan berbeda nyata dengan ayam yang mendapat vaksinasi IBD 1 kali pada umur 23 hari.

2. Sebaran reseptor virus IBD pada organ limfoid ayam yang mendapat vaksin IBD 2 kali lebih banyak ditemukan pada organ bursa Fabricius.

3. Lesio histopatologi organ bursa Fabricius, limpa, dan timus ayam umur 15 hari dengan program vaksinasi IBD 2 kali lebih ringan dibandingkan dengan program vaksinasi IBD 1 kali.

DAFTAR PUSTAKA

Aberts B, Johnson A, Lewis J, Raff M, Roberts K, Walter P. 2002. Molecular Biology of the Cell. Ed.4th. Garland Science : New York.

Becht H, Muller H, Muller HK. 1998. Comparative studies on the structural and antigenic properties of two serotypes of infectious bursal disease virus. J Gen Virol. 69:631-640.

Besseboua O, Ayad A, Benbarek H. 2015. Determination of the optimal time of vaccination againts infectious bursal disease virus (gumboro) in Algeria. J Vet Research. 82(1):1-6.doi:10.4102/ojvr.v82i1.887.

Boot HJ, Ter Huurne AAHM, Hoekman AJW, Peeters BPH dan Gielkens ALJ. 2000. Rescue of very virulent mosaic infectious bursal disease virus from cloned cdna: vp2 is not the sole determinant of the very virulent phenotype. J Virol. Vol. 74(15):6701-6711.

Campbell N, Reece J. 2008. Biology. 8th ed. US: Pearson Education, Inc. Davison F, Kaspers B, Schat KA. 2008. Avian Immunology. Elsavier Ltd. USA. Enterradossi N, Saif YM. 2008. Disease of Poultry : Infectious Bursal Disease.

Ed. 12. US: Backwell.

Fantay H, Balcha E, tesfay A, Afera B. 2015. Determining optimum time for administration of live intermediate vaccine of infectious bursal disease at Mekelle farm. J vet sci & technol.6:223.doi:10.4172/2157-7579.1000223. Guan J, Chan M, Brooks BW, Rohonczy L. 2014. Inactivation of infectious bursal

(33)

19 chemical desinfectans. BioOne. 58(2):249-254.doi:10.1637/10697-101713-Reg.1.

Glick B. 2000. Avian physiology & Immunophysiology. Ed.5. US: Academic Press. Grove J, Marsh M. 2011. The cell biology of receptor-mediated virus entry. J Cell

Biol. 195(7):1071-1082.

Kencana GAY, Adi AAAM, Ardana IBK, Mahardika IGNK. 2011. Vaksin gumboro menyebabkan imunosupresif pada respon primer vaksin penyakit tetelo ayam pedaging. J Vet. 12(4):275-280.

Khan RW, Khan FA, Farid K, Khan I, Tariq M. 2009. Prevalence of infectious bursal disease in broiler in district Peshawar. Asian Research Publishing Network (ARPN). J Agri and bio Sci. 4(1):1-5.

Lam KM. 1998. Alteration of chicken heterophil and macrophage functions by the infectious bursal disease virus. Microbiol. Pathogen. 25:147-155.

Meihong L, Vakharia VN. 2006. Nonstructural protein of infectious bursal disease virus inhibits apoptosis at the early stage of virus infection. J Virol. 80(7):3369-3377.

Muller H, Islam MR, Raue R. 2003. Research on infectious bursal disease-the past, the present, and the future.Vet microbiol 97:153-165.

Murphy FA, Gibbs EPJ, Horzinek MC, Studdert MJ. 1999. Veterinary Virology. Ed.3. US: Academic Press.

Niepper H, Muller H. 1996. Susceptibility of chicken lymphoid cells to infectious bursal disease virus does not correlate with the presence of specific binding sites. J. General virol. 77:1229-1237.

Ogawa M, Yamaguchi T, Setiyono A, Ho T, Matsuda H, Furusawa S, Fukushi H, Hirai K. 1998. Some characteristics of cellular receptor for virulent infectious bursal disease virus by using flow cytometry. Arc Virol. 143:2327-2341.

OIE (Office International des Epizooties). 2008. Infectious bursal disease (Gumboro disease). In: Terrestrial Manual.

Parede LH, Sapats S, Gould G, Rudd M, Lowther S, Ignjatovic J. 2010. Characterization of infectious bursal disease virus isolates from Indonesia indicates the existence of very virulent strains with unique genetic changes. Avian Pathol. 32(5):511-518.

Plumeriastuti H. 2006. Ekspresi fas, Granzyme dan Caspase 3 pada Apoptosis Sel Bursa Fabricius Ayam pada Infeksi Virus Gumboro [disertasi]. Surabaya (ID) : Universitas Airlangga.

Rani S, Kumar S. 2015. Evaluation of infectious bursal disease virus stability at different conditions of temperature and pH. J Biologicals. doi:10.1016/j.biologicals.2015.07.005.

Santos VLSL, Williams S, Zavala G, Zhang J, Cheng S, Santos RL, Brown CC. 2009. Detection of reticuloendotheliosis virus by immunohistochemistry and in situ hybridization in experimentally infected chicken embryo fibroblast. Braz J Vet Pathol. 2(1):29-34.

(34)

20

Setiyono A, Hayashi T, Yamaguchi T, Fukushi H, Hirai K. 2000. Detection of cell membrane proteins interact with virulent infectious bursal disease virus. J. Vet. Med. Sci. 63(2):219-221.

Setiyono A, Yamaguchi T, Ogawa M, Fukushi H, Hirai K. 2001. Isolation of monoclonal antibodies that inhibit the binding of infectious bursal disease virus to LSCC-BK3 cells. J Vet Med Sci. 63(2):219-221.

Sevier ED, David GS, Martinis J, Desmond WJ, Bartholomew RM, Wang R. 1981. monoclonal antibodies in clinical immunology. Clin Chem. 27 (II):1797-1806.

Sharma JM, Kim IJ, Rauthensclein S, Yeh HY. 2000. Infectious bursal disease : pathogenesis and immunosupression. Dev Comp Immunol. 24(2-3):223-235. Tippehauer M, Heller DE, Weigend S, Rautenschlein S. 2013. The host genotype

influences infectious bursal disease virus pathogenesis in chickens by modulation of T cell responses and cytokine gene expression. DCI. 40:1-10. Van den Berg TP, Eterradossi N, Toquin D, Meulemans G. 2000. Infectious

bursal disease (Gumboro Disease). Rev Sci Tech Int Epiz. 19(2):527-543. Wahyuwardani S, Agungpryono DR, Parede L, Manalu W. 2011. Penyakit

gumboro : etiologi, epidemiologi, patologi, diagnosis dan pengendaliannya. Wartazoa. 21(3).

William AE, Davison TF. 2005. Enhanced immunopathology induced by very virulent infectious bursal disease virus. Avi Pathol. 34:4-14.

Yip CW, Yeung YS, Ma CM, Lam PY, Hon CC, Zeng F, Leung FC. 2007. Demonstration of receptor binding properties of VP2 of very virulent strain infectious bursal disease virus on vero cells. Virus res. 123(1):50-56.

(35)

21

Lampiran

1 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organ bursa Fabricius dengan program vaksinasi 1 dan 2 kali (kelompok umur 8 hari)

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 48 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 49 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 50 The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for reseptor

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.

Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N vaksin

A 5.7833 3 2 A

(36)

22

2 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organ bursa Fabricius dengan program vaksinasi 1 dan 2 kali (kelompok umur 15 hari)

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 51 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 52 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 53 The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for reseptor

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.

Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N vaksin

A 4.4167 3 1 A

(37)

23

3 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organ bursa Fabricius dengan program vaksinasi 1 dan 2 kali (kelompok umur 23 hari)

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 54 The GLM Procedure

Class Level Information Class Levels Values Vaksin 2 1 2

Number of Observations Read 6 Number of Observations Used 6

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 55 The GLM Procedure

Dependent Variable: reseptor Sum of

Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 1 1.34426667 1.34426667 12.12 0.0253

Error 4 0.44353333 0.11088333 Corrected Total 5 1.78780000

R-Square Coeff Var Root MSE Reseptor Mean 0.751911 5.862526 0.332991 5.680000

Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F Vaksin 1 1.34426667 1.34426667 12.12 0.0253 Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F Vaksin 1 1.34426667 1.34426667 12.12 0.0253

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 56 The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for reseptor

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise errorrate.

Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 4

Error Mean Square 0.110883 Number of Means 2

Critical Range 0.7549

Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Vaksin

(38)

24

4 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organ limpa dengan program vaksinasi 1 dan 2 kali (kelompok umur 8 hari)

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 57 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 58 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 59 The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for reseptor

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise errorrate.

Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Vaksin

A 3.8000 3 1 A

(39)

25

5 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organ limpa dengan program vaksinasi 1 dan 2 kali (kelompok umur 15 hari)

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 60 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 61 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 62 The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for reseptor

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise errorrate.

Means with the same letter are not significantly different Duncan Grouping Mean N Vaksin

A 2.8233 3 1 A

(40)

26

6 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organ limpa dengan program vaksinasi 1 dan 2 kali (kelompok umur 23 hari)

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 63 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 64 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 65 The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for reseptor

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise errorrate.

Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Vaksin

A 4.0433 3 2 A

(41)

27

7 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organ timus dengan program vaksinasi 1 dan 2 kali (kelompok umur 8 hari)

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 66 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 67 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 68 The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for reseptor

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.

Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Vaksin

A 2.6233 3 1 A

(42)

28

8 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organtimus dengan program vaksinasi 1 dan 2 kali (kelompok umur 15 hari)

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 69 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 70 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 71 The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for reseptor

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise errorrate.

Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Vaksin A 2.6033 3 2 A

(43)

29

9 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organ timus dengan program vaksinasi 1 dan 2 kali (kelompok umur 23 hari)

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 72 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 73 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 74 The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for reseptor

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.

Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Vaksin

A 2.9433 3 2 A

(44)

30

10 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organ bursa Fabricius dengan program vaksinasi 1 kali (kelompok umur 8, 15, dan 23 hari)

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 77 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 78 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 79 The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for reseptor

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.

(45)

31

11 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organ bursa Fabricius dengan program vaksinasi 2 kali (kelompok umur 8, 15, dan 23 hari)

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 1

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.

Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Umur

A 6.1533 3 3 A

(46)

32

12 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organ bursa Fabricius, limpa, dan timus dengan program vaksinasi 1 kali (kelompok umur 8 hari)

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 36 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 37 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 38 The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for reseptor

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.

Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Organ

A 5.4533 3 1 B 3.8000 3 2 B

(47)

33

13 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organ bursa Fabricius, limpa, dan timus dengan program vaksinasi 1 kali (kelompok umur 15 hari)

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 7

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.

(48)

34

14 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organ bursa Fabricius, limpa, dan timus dengan program vaksinasi 1 kali (kelompok umur 23 hari)

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 10 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 11 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 12 The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for reseptor

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.

Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Organ

A 5.2067 3 1 B 3.8567 3 2 B

(49)

35

15 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organ bursa Fabricius, limpa, dan timus dengan program vaksinasi 2 kali (kelompok umur 8 hari)

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 39 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 40 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 41 The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for reseptor

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.

Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Organ

A 5.7833 3 1 B 3.2833 3 2 B

(50)

36

16 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organ bursa Fabricius, limpa, dan timus dengan program vaksinasi 2 kali (kelompok umur 15 hari)

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 42 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 43 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 44 The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for reseptor

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.

Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Organ

A 4.2233 3 1 B 2.6033 3 3 B

(51)

37

17 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organ bursa Fabricius, limpa, dan timus dengan program vaksinasi 2 kali (kelompok umur 23 hari)

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 45 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 46 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 47 The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for reseptor

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.

Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Organ

A 6.1533 3 1 B 4.0433 3 2 B

(52)

38

18 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organ bursa dengan program vaksinasi 1 kali (kelompok umur 8, 15, dan 23 hari)

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 25 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 26 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 27 The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for reseptor

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.

(53)

39

19 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organ bursa dengan program vaksinasi 2 kali (kelompok umur 8, 15, dan 23 hari)

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 31 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 32 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 33 The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for reseptor

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.

(54)

40

20 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organ limpa dengan program vaksinasi 1 kali (kelompok umur 8, 15, dan 23 hari)

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 13 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 14 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 15 The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for reseptor

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.

(55)

41

21 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organ limpa dengan program vaksinasi 2 kali (kelompok umur 8, 15, dan 23 hari)

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 16 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 17 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 18 The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for reseptor

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.

(56)

42

22 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organtimus dengan program vaksinasi 1 kali (kelompok umur 8, 15, dan 23 hari)

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 22 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 23 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 24 The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for reseptor

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.

(57)

43

23 Hasil uji statistik terhadap sebaran reseptor pada organ timus dengan program vaksinasi 2 kali (kelompok umur 8, 15, dan 23 hari)

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 19 The GLM Procedure

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 20 The GLM Procedure

Corrected Total 8 4.98328889

R-Square Coeff Var Root MSE Reseptor Mean

The SAS System 18:57 Thursday, September 20, 2015 21 The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for reseptor

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.

(58)

44

24 Hasil uji statistik pengaruh pemberian vaksin IBD 1 kali dan 2 kali pada kelompok umur ayam yang berbeda terhadap sebaran reseptor IBD

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:resptor IBDV

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 16.276a 5 3.255 1.970 .156

Intercept 554.556 1 554.556 335.532 .000

vaksin * umur 16.276 5 3.255 1.970 .156

Error 19.833 12 1.653

Total 590.666 18

Corrected Total 36.110 17

a. R Squared = ,451 (Adjusted R Squared = ,222)

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:resptor IBDV

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 16.276a 5 3.255 1.970 .156

Intercept 554.556 1 554.556 335.532 .000

vaksin .483 1 .483 .293 .599

umur 13.114 2 6.557 3.967 .048

vaksin * umur 2.679 2 1.340 .811 .468

Error 19.833 12 1.653

Total 590.666 18

Corrected Total 36.110 17

(59)

45 25 Hasil uji statistik terhadap skor lesio histopatologi organ bursa Fabricius

pada program vaksinasi IBD 1 kali

NPAR TESTS

/K-W=lesio BY umur(1 3) /STATISTICS DESCRIPTIVES

/MISSING ANALYSIS.

NPar Tests

[DataSet0]

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

lesio 18 2.83 1.383 1 4

umur 18 2.00 .840 1 3

Kruskal-Wallis Test

Ranks

umur N Mean Rank

lesio umur 8 hari 6 3.50

umur 15 hari 6 13.00

umur 23 hari 6 12.00

Total 18

Test Statisticsa,b

lesio

Chi-Square 13.726

df 2

Asymp. Sig. .001

a. Kruskal Wallis Test

(60)

46

26 Hasil uji statistik terhadap skor lesio histopatologi organ bursa Fabricius pada program vaksinasi IBD 2 kali

NPAR TESTS

/K-W=lesio BY umur(1 3) /STATISTICS DESCRIPTIVES

/MISSING ANALYSIS.

NPar Tests

[DataSet0]

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

lesio 18 2.11 1.079 1 4

umur 18 2.00 .840 1 3

Kruskal-Wallis Test

Ranks

umur N Mean Rank

lesio umur 8 hari 6 3.50

umur 15 hari 6 10.00

umur 23 hari 6 15.00

Total 18

Test Statisticsa,b

lesio

Chi-Square 15.540

df 2

Asymp. Sig. .000

a. Kruskal Wallis Test

(61)

47 27 Hasil uji statistik terhadap skor lesio histopatologi organ limpa pada

program vaksinasi IBD 1 kali

NPAR TESTS

/K-W=lesio BY umur(1 3) /STATISTICS DESCRIPTIVES

/MISSING ANALYSIS.

NPar Tests

[DataSet0]

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

lesio 18 2.50 1.200 1 4

umur 18 2.00 .840 1 3

Kruskal-Wallis Test

Ranks

umur N Mean Rank

lesio umur 8 hari 6 3.75

umur 15 hari 6 13.75

umur 23 hari 6 11.00

Total 18

Test Statisticsa,b

lesio

Chi-Square 11.979

df 2

Asymp. Sig. .003

a. Kruskal Wallis Test

(62)

48

28 Hasil uji statistik terhadap skor lesio histopatologi organ limpa pada program vaksinasi IBD 2 kali

NPAR TESTS

/K-W=lesio BY umur(1 3) /STATISTICS DESCRIPTIVES

/MISSING ANALYSIS.

NPar Tests

[DataSet0]

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

lesio 18 1.94 .938 1 4

umur 18 2.00 .840 1 3

Kruskal-Wallis Test

Ranks

umur N Mean Rank

lesio umur 8 hari 6 4.00

umur 15 hari 6 9.42

umur 23 hari 6 15.08

Total 18

Test Statisticsa,b

lesio

Chi-Square 14.438

df 2

Asymp. Sig. .001

a. Kruskal Wallis Test

(63)

49 29 Hasil uji statistik terhadap skor lesio histopatologi organ timus pada

program vaksinasi IBD 1 kali

NPAR TESTS

/K-W=lesio BY umur(1 3) /STATISTICS DESCRIPTIVES

/MISSING ANALYSIS.

NPar Tests

[DataSet0]

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

lesio 18 2.28 .895 1 4

umur 18 2.00 .840 1 3

Kruskal-Wallis Test

Ranks

umur N Mean Rank

lesio umur 8 hari 6 4.17

umur 15 hari 6 13.58

umur 23 hari 6 10.75

Total 18

Test Statisticsa,b

lesio

Chi-Square 10.971

df 2

Asymp. Sig. .004

a. Kruskal Wallis Test

Gambar

Gambar 2  Antibodi monoklonal dari sel hibridoma (Kohler & Milstein’s
Gambar 3  Representasi foto mikrografi sebaran reseptor virus IBD pada organ
Gambaran histopatologi organ limfoid ayam yang mendapatkan vaksinasi
Gambar 6  Foto mikrografi organ timus ayam dengan program vaksinasi IBD 1

Referensi

Dokumen terkait

Aplikasi Pengenalan Alat Musik Tradisional Gamelan untuk Anak-anak di buat menggunakan software Blender 2.68 dengan menggunakan fitur game logic yang ada

Perhatikan transformasi yang ditetapkan dalam gambar di bawah ini,sudah ditentukan bahwa transformasi T ini merupakan suatu isometri.. Penyelesaian: Misalkan ambil tiga titik

Dari ulasan tersebut, kami menyusun penelitian pada berbagai jenis kardus sebagai alat bantu sederhana yang memiliki keunggulan membantu meningkatkan daya serap air lebih baik dari

Intensitas birahi Sapi Induk Simmental Peranakan Ongole (SimPO) dengan Body Condition Score (BCS) berbeda tidak memperlihatkan pengaruh yang signifikan atau tidak

Contoh peta dinamis antara lain peta jaringan jalan ( Marah Uli, 2007:5). Peta, selain disajikan dalam bentuk lembaran terpisah dapat juga dikumpulkan dalam satu buku.

Daya tahan hidup (umur) sperma baik yang disimpan pada suhu kamar maupun suhu dingin sama dengan daya tahan hidup imagoA. Hal ini berarti bahwa sperma masih hidup

Pemanfaatan media teknologi aplikasi Sparkol Videoscribe tidak hanya digunakan dalam proses pembelajaran di sekolah tetapi dalam sosialisasi terhadap karang taruna untuk membuat

Model madrasah dalam lembaga pendidikan Islam, sebagaimana dijelaskan di atas bahwa madrasah adalah bentuk lembaga pendidikan yang muncul sebagai kelanjutan dari