• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Lingkungan Hutan Mangrove Di Desa Mojo, Ulujami, Pemalang Sebagai Acuan Kegiatan Aquasilviculture Kepiting Bakau Scylla Serrata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Lingkungan Hutan Mangrove Di Desa Mojo, Ulujami, Pemalang Sebagai Acuan Kegiatan Aquasilviculture Kepiting Bakau Scylla Serrata"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK LINGKUNGAN HUTAN MANGROVE DI DESA

MOJO, ULUJAMI, PEMALANG SEBAGAI ACUAN KEGIATAN

AQUASILVICULTURE

KEPITING BAKAU

Scylla serrata

IYEN SURYANI

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Karakteristik Lingkungan Hutan Mangrove Di Desa Mojo, Ulujami, Pemalang sebagai Acuan Kegiatan Aquasilviculture Kepiting Bakau Scylla serrata” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dan tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

(4)

ABSTRAK

IYEN SURYANI. Karakteristik Lingkungan Hutan Mangrove di Desa Mojo, Ulujami, Pemalang sebagai Acuan Kegiatan Aquasilviculture Kepiting Bakau

Scylla serrata. Dibimbing oleh KUKUH NIRMALA dan YUNI PUJI HASTUTI.

Salah satu komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi adalah kepiting bakau. Produksi kepiting bakau hingga saat ini masih mengandalkan hasil penangkapan di alam, sedangkan produksi budidaya belum optimal. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan budidaya kepiting bakau ramah lingkungan, yaitu melalui kegiatan aquasilviculture. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis karakteristik lingkungan hutan mangrove di Desa Mojo, Ulujami, Pemalang, sebagai acuan untuk kegiatan aquasilviculture kepiting bakau. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik lingkungan terbaik terdapat pada stasiun 3, dengan produksi kepiting bakau sebesar 4 kg/hari ketika musim tangkapan tinggi, dan sebesar 1,9 kg/hari ketika musim tangkapan rendah. Dengan demikian karakteristik lingkungan hutan mangrove di Desa Mojo, Ulujami, Pemalang, yang paling baik untuk kegiatan aquasilviculture kepiting bakau adalah karakteristik lingkungan yang terdapat pada stasiun 3.

Kata kunci: aquasilviculture, hutan bakau, kepiting bakau Scylla serrata,

ABSTRACT

IYEN SURYANI. Environment Characteristics of Mangrove Forest in Mojo Village, Ulujami, Pemalang as a Reference of Mud Crab Scylla serrata Aquasilviculture. Supervised by KUKUH NIRMALA and YUNI PUJI HASTUTI.

Mud carb is one of the fisheries commodity that has a high economical value. Production of mud carb still depends on the wild stock for the seed, while the production from aquaculture sector is not well estabilished yet. Aquasilviculture is one of the option to develop aquaculture sector for this commodity. This research aimed to analyze environment characteristics of mangrove forest ecosystem in Mojo Village, Ulujami, Pemalang for aquasilviculture. This research was conducted based on the survey method. The results showed that the best environment characteristics was contained in station 3, with the mud crab production reached 4 kg/day when high catch, and 1.9 kg/day when low catch. From this result, the best environment characteristics of mangrove forests in Mojo village, Ulujami, Pemalang, for mud crab aquasilviculture is environment characteristics in station 3.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan

pada

Departemen Budidaya Perairan

KARAKTERISTIK LINGKUNGAN HUTAN MANGROVE DI DESA

MOJO, ULUJAMI, PEMALANG SEBAGAI ACUAN KEGIATAN

AQUASILVICULTURE

KEPITING BAKAU

Scylla serrata

IYEN SURYANI

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Karakteristik Lingkungan Hutan Mangrove di Desa Mojo, Ulujami, Pemalang sebagai Acuan Kegiatan Aquasilviculture Kepiting Bakau Scylla serrata

Nama : Iyen Suryani

NIM : C14110021

Program Studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya

Disetujui oleh

Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc Pembimbing I

Yuni Puji Hastuti, SPi MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Sukenda, MSc Ketua Departemen

(8)
(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Karakteristik Lingkungan Hutan Mangrove di Desa Mojo, Ulujami, Pemalang sebagai Acuan Kegiatan Aquasilviculture Kepiting Bakau Scylla serrata”.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan memberikan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc dan Ibu Yuni Puji Hastuti, SPi MSi selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran, dan nasihat;

2. Ibu Dr Ir Dinar Tri Soelistyowati, DEA dan Bapak Dr Alimuddin, SPi MSc selaku dosen penguji tamu dan komisi pendidikan departemen atas saran bagi perbaikan skripsi;

3. Bapak Dr Ir Sukenda, MSc selaku ketua Departemen Budidaya Perairan; 4. Seluruh dosen Departemen Budidaya Perairan yang telah memberikan

ilmu dan bantuan yang bermanfaat selama masa perkuliahan;

5. Bapak Ratmin, Ibu Sumiati, Adik Nina Neliawati dan Riska Rosdiyani, serta seluruh keluarga atas segala limpahan doa, semangat, dukungan, dan kasih sayang yang telah diberikan;

6. Bapak Jajang Ruhyana, ST, Kang Akbar Firdaus, Bapak Wasjan, Mba Retno Meilasari, Bang Aris, Bapak Marjanta, Mba Yuli, Mba Suriani serta semua staf Departemen Budidaya Perairan;

7. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Pemalang, Kelompok Nelayan Pelita Bahari Desa Mojo, Ulujami, Pemalang, dan semua pihak yang telah membantu jalannya penelitian di lapang;

8. Rekan penelitian Veronika Eri Febriani dan Heri Kiswanto yang telah berbagi semangat, suka, dan duka selama penelitian ini berlangsung; 9. Teman-teman tercinta mahasiswa Laboratorium Lingkungan Akuakultur

Angkatan 48 yang telah memberikan doa, dukungan, bantuan dan semangat yang luar biasa;

10. Keluarga besar BDP 48 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terimakasih atas doa, dukungan, dan kebersamaannya selama ini;

11. Kakak-kakak BDP 45, 46, 47 dan adik-adik BDP 49 dan 50 yang telah memberikan banyak pengalaman tak terlupakan serta dukungannya;

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi masyarakat dan seluruh pihak yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2015

(10)

DAFTAR ISI

Analisis Bahan Organik Substrat ... 4

Analisis Kondisi Mikroklimat ... 4

Analisis Produksi Kepiting Bakau ... 5

Analisis Data ... 5

Analisis Kandungan Bahan Organik Substrat ... 7

Analisis Kondisi Mikroklimat ... 8

Analisis Produksi Kepiting Bakau ... 8

Pembahasan ... 9 1 Parameter yang diukur, satuan, metode, dan tempat pengukuran ... 3

2 Jenis plankton yang dominan dan kelimpahannya ... 7

3 Vegetasi mangrove di lokasi penelitian ... 7

4 Kelimpahan serasah di lokasi penelitian ... 7

5 Bahan organik substrat; bahan organik total dan C organik ... 7

(11)

DAFTAR GAMBAR

1 Lokasi stasiun penelitian ... 3

2 Grafik parameter fisika perairan di lokasi penelitian; (a) salinitas; (b) suhu; ... 5

3 Grafik parameter kimia perairan; (a) pH; (b) oksigen terlarut; (c) TAN; (d) nitrit; (e) nitrat; (f) bahan organik total; ... 6

4 Produksi kepiting bakau dari kegiatan penangkapan pada masing-masing stasiun penelitian ... 9

5 Produksi kepiting bakau di Desa Mojo, Ulujami, Pemalang pada tahun 2014 ... 9

DAFTAR LAMPIRAN

1 Dokumentasi stasiun 1 penelitian... 17

2 Dokumentasi stasiun 2 penelitian... 17

3 Dokumentasi stasiun 3 penelitian... 17

4 Dokumentasi pengamatan secara insitu ... 18

5 Kuisioner wawancara terhadap nelayan dan pengepul kepiting bakau pada lokasi penelitian ... 19

6 Jenis plankton yang ditemukan pada lokasi penelitian ... 22

7 Ruang lingkup industri perikanan budidaya ... 23

8 Hasil wawancara dengan nelayan dan pengepul kepiting bakau ... 23

9 Nilai pengukuran fisika kimia perairan pada lokasi penelitian ... 24

10 Jenis plankton yang dominan ditemukan pada lokasi penelitian ... 24

11 Jenis mangrove yang ditemukan pada lokasi penelitian ... 24

12 Alat tangkap caduk ... 24

(12)
(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi di Indonesia adalah kepiting bakau Scylla serrata. Harga kepiting bakau di pasaran saat ini mencapai Rp.100.000-150.000/kg (Samudro 2015). Selain itu daging kepiting bakau memiliki kandungan protein yang cukup tinggi sehingga baik untuk kesehatan. Menurut penelitian Rangka (2007), kandungan protein pada daging kepiting bakau sebesar 65,72% dan pada telur sebesar 88,5%. Berdasarkan hal tersebut, kepiting bakau menjadi produk yang diminati oleh semua kalangan baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Permintaan kepiting bakau pun mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Permintaan kepiting dan rajungan dari pengusaha restoran sea food Amerika Serikat mencapai 450 ton setiap bulan. Jumlah permintaan tersebut belum dapat terpenuhi karena keterbatasan hasil tangkapan di alam dan minimnya produksi dari hasil budidaya (Khenti 2013).

Di samping itu, hasil tangkapan kepiting bakau yang diperoleh nelayan pada umumnya berukuran kurang dari 15 cm. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PERMEN-KP) Nomor 1 Tahun 2015 menerapkan adanya larangan terhadap penangkapan kepiting bakau dalam kondisi bertelur dan lebar karapas kurang dari 15 cm. Oleh karena itu diperlukan suatu kegiatan yang dapat memanfaatkan benih hasil tangkapan dari alam yang memiliki lebar karapas kurang dari 15 cm tersebut. Salah satu kegiatan yang dapat dilakukan adalah melalui pengembangan kegiatan budidaya.

Budidaya kepiting bakau yang sudah berkembang di Indonesia yaitu budidaya pembesaran, penggemukan, dan kepiting cangkang lunak. Di sisi lain, budidaya ramah lingkungan pun saat ini mulai berkembang, yaitu kegiatan budidaya yang berbasis karakteristik habitat alami, sehingga akan menghasilkan produk organik. Budidaya ramah lingkungan akan meningkatkan nilai jual produk yang dihasilkan. Menurut Yasin (2013), contoh kasus di Babelan Bekasi Jawa Barat, setiap transaksi udang organik diwajibkan adanya penambahan harga US$ 1 per kilogramnya. Namun produk kepiting organik di Indonesia saat ini belum berkembang. Untuk itu perlu dikembangkan budidaya kepiting bakau ramah lingkungan, yaitu melalui kegiatan aquasilviculture, sehingga dapat menghasilkan kepiting organik.

Aquasilviculture merupakan sistem produksi multitujuan yang memungkinkan budidaya ikan dalam kawasan hutan mangrove. Hal ini bertujuan untuk menciptakan teknik budidaya yang ramah lingkungan (Romeo & Florida 2014). Ekosistem hutan mangrove merupakan komponen dalam ekosistem pesisir yang memiliki peranan penting, salah satunya sebagai habitat alami kepiting bakau. Suryani (2006) menyatakan bahwa manfaat hutan mangrove adalah sebagai daerah pemijahan (spawning ground) dan daerah pengasuhan (nursery ground) kepiting bakau. Oleh karena itu, lingkungan hutan mangrove mengindikasikan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup kepiting bakau.

(14)

2

Tengah. Daerah tersebut merupakan daerah penghasil kepiting bakau. Produksi hasil tangkapan kepiting bakau di daerah Pemalang pada tahun 2006 mencapai 11,89 ton (Agus 2008). Hutan mangrove di Desa Mojo, Ulujami merupakan hutan mangrove terluas di Kabupaten Pemalang. Luas hutan mangrove di Kecamatan Ulujami yaitu sekitar 120,39 Ha, sedangkan luas hutan mangrove yang menjadi lokasi penelitian dalam penelitian ini yaitu sekitar 72 Ha (BI 2011).

Upaya pelestarian hutan mangrove harus terus dilakukan sehingga suplai benih kepiting bakau di alam tetap terjaga. Hal tersebut dikarenakan hatchery kepiting bakau belum berkembang. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan data dasar karakteristik lingkungan hutan mangrove yang berada di Desa Mojo, Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk kegiatan aquasilviculture kepiting bakau.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik lingkungan hutan mangrove di Desa Mojo, Ulujami, Pemalang, sebagai acuan kegiatan aquasilviculture kepiting bakau.

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-April 2015, di ekosistem hutan mangrove Desa Mojo, Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Titik kordinat lokasi penelitian berada pada posisi antara 109˚17'30" BT

-109˚40'30" BT, dan antara 06˚52'30" LS-07˚20'11" LS.

Prosedur Penelitian Penentuan Stasiun Penelitian

Penentuan stasiun penelitian dilakukan dengan metode survei. Lokasi stasiun penelitian ditentukan berdasarkan ekosistem hutan mangrove yang masih alami dan merupakan kawasan penangkapan kepiting bakau. Penentuan stasiun pengamatan dalam penelitian ini didasarkan pada penarikan garis secara diagonal dari muara Sungai Comal. Hal tersebut bertujuan untuk mendapatkan stasiun penelitian dengan karakteristik lingkungan yang berbeda.

Terdapat 3 stasiun yang menjadi lokasi penelitian (Gambar 1), yaitu: Stasiun 1 : Ekosistem hutan mangrove yang berlokasi dekat dengan muara

sungai (Lampiran 1).

Stasiun 2 : Ekosistem hutan mangrove yang berlokasi dekat dengan tambak (Lampiran 2).

(15)

3

Berikut merupakan lokasi stasiun penelitian di ekosistem hutan mangrove Desa Mojo, Kec. Ulujami, Kab. Pemalang, Jawa Tengah.

Gambar 1 Lokasi stasiun penelitian

Pengumpulan Data Penelitian

Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei. Parameter yang diukur, satuan, metode penelitian, serta tempat pengukuran disajikan pada Tabel 1.

Table 1 Parameter yang diukur, satuan, metode, dan tempat pengukuran

No Parameter Alat/Metode Pengukuran Satuan Tempat 1. Fisika-kimia air

Salinitas Hand refractometera ‰ In-situ

Suhu DO meterb ºC In-situ

pH pH meterb - In-situ

Oksigen terlarut DO meterb mg/l In-situ

TAN Metode Phenatec mg/l Ex-situ

Nitrit Metode Sulfanilamidec mg/l Ex-situ

Nitrat Metode Bruchinec mg/l Ex-situ

Bahan organik total Metode Oksidimetric mg/l Ex-situ

2. Kelimpahan dan

Identifikasi jenis Buku identifikasig individu In-situ

Kelimpahan mangrove Petak pengamatan 10 x 10 mh ind/100 m2 In-situ

4. Kelimpahan serasah Petak pengamatan 1x1 m dan timbangan digitalh

g/m2 Ex-situ

5. Kimia substrat

Bahan organik total Metode gravimetric % Ex-situ

C organic Metode Walkley and Blackc % Ex-situ

6. Kondisi mikroklimat

Intensitas cahaya Luxmeteri Lux In-situ

Suhu udara Luxmeteri ºC In-situ

Kelembaban udara Luxmeteri %RH In-situ

7. Produksi kepiting bakau Wawancara kg & ton In-situ

a

(16)

4

Analisis Fisika-Kimia Perairan

Pengambilan sampel air dilakukan dengan metode grab sampling, yaitu pengambilan sampel secara langsung untuk memperoleh gambaran karakteristik air pada saat pengambilan sampel (Effendie 2003). Pengukuran fisika-kimia perairan dilakukan secara in-situ dan ex-situ. Pengukuran secara in-situ dilakukan pada pagi hari yaitu pukul 08.00 WIB dengan ketinggian air sekitar 20 cm, dan pada sore hari yaitu pukul 16.00 WIB dengan ketinggian air sekitar 50 cm. Parameter yang dianalisis secara insitu meliputi suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut (Lampiran 4), sedangkan parameter yang dianalisis secara ex-situ meliputi TAN (total amonia nitrogen), nitrit, nitrat, serta bahan organik total. Pengukuran secara ex-situ dilakukan di Laboratorium Lingkungan Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Analisis Plankton

Analisis plankton dilakukan menggunakan buku identifikasi menurut Yamaji (1979) dan Mizuko (1979). Identifikasi jenis dan perhitungan kelimpahan plankton dilakukan di Laboratorium Bio Makro, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Analisis Vegetasi Mangrove

Identifikasi jenis mangrove dilakukan berdasarkan buku identifikasi menurut Giesen et al. (2007). Pengukuran kelimpahan mangrove dilakukan dengan cara membuat petak pengamatan berukuran 10×10 m, kemudian pohon mangrove dihitung berdasarkan kategori pohon (diameter lebih dari 10 cm) dan kategori anak pohon (diameter kurang dari 10 cm).

Analisis Serasah

Kelimpahan serasah dihitung berdasarkan petak pengamatan berukuran 1×1 m pada masing-masing stasiun penelitian, dengan menghitung bobot serasah dalam g/m2. Pengukuran kelimpahan serasah dilakukan di Laboratorium Lingkungan Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Analisis Bahan Organik Substrat

Analisis bahan organik substrat dilakukan secara ex-situ. Parameter yang diukur yaitu bahan organik total dan C organik. Pengukuran dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ikan Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Instiut Peranian Bogor.

Analisis Kondisi Mikroklimat

(17)

5

Analisis Produksi Kepiting Bakau

Analisis produksi kepiting bakau dari kegiatan penangkapan di Desa Mojo, Ulujami, Pemalang dilakukan dengan metode wawancara. Metode wawancara yang digunakan adalah metode purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu (Teddlie & Fen Yu 2007). Narasumber yang digunakan adalah narasumber kunci, sebanyak 5 orang yang mengetahui secara mendalam permasalahan yang sedang diteliti (Lampiran 5).

Analisis Data

Data dianalisis secara deskriptif, yaitu dengan cara menyajikan, menyusun, maupun mengukur nilai-nilai data yang tersedia dari suatu penelitian sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas dan mudah dimengerti (Saleh 1986).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Analisis Fisika-Kimia Perairan

Gambar 2 merupakan grafik hasil pengukuran fisika perairan pada lokasi penelitian. Parameter fisika perairan yang diukur meliputi salinitas dan suhu (Gambar 2). Nilai salinitas di lokasi penelitian menunjukan bahwa pada stasiun 1 memiliki kisaran salinitas antara 5-10‰, dan pada stasiun 2 memiliki kisaran salinitas antara 5-20‰. Nilai salinitas pada stasiun 3 yaitu dengan kisaran antara 21-25‰. Nilai suhu yang diperoleh antar stasiun penelitian berfluktuasi. Kisaran suhu tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu antara 30-32°C, sedangkan kisaran suhu terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu antara 28,5-30,1°C.

(a) (b)

Gambar 3 merupakan grafik hasil pengukuran parameter kimia perairan pada lokasi penelitian. Hasil pengukuran parameter kimia perairan pada lokasi penelitian diperoleh kisaran yang berfluktuasi pada semua stasiun (Gambar 3). Nilai pH terendah yaitu pada stasiun 3 kondisi perairan pasang sebesar 7,48 dan Gambar 2 Grafik parameter fisika perairan di lokasi penelitian; (a) salinitas; (b)

(18)

6

tertinggi pada stasiun 3 kondisi perairan surut yaitu sebesar 8,42. Kisaran nilai oksigen terlarut pada semua stasiun berkisar antara 1,7-8,3 mg/l. Kisaran nilai TAN yang diperoleh yaitu sebesar 0,043-0,111 mg/l, dan kisaran nilai nitrit diperoleh sebesar 0,000-0,027 mg/l. Selanjutnya kisaran nilai nitrat diperoleh sebesar 0,243-0,574 mg/l, dan kisaran nilai bahan organik total diperoleh sebesar 13,90-42,98 mg/l.

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

(19)

7

Analisis Plankton

Analisis plankton di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis plankton yang diperoleh menunjukan bahwa kelimpahan tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 969.864 sel/m3 dengan jenis Nitzschia sp. dan ditemukan beberapa jenis plankton lain dengan kelimpahan berbeda (Lampiran 6).

Tabel 2 Jenis plankton dan kelimpahannya pada lokasi penelitian

Stasiun Plankton yang dominan Kelimpahan plankton (sel/m3)

1 Nitzschia sp. 969.864

2 Pelagothrix sp. 27.629

3 Pelagothrix sp. 44.030

Analisis Vegetasi Mangrove

Data vegetasi mangrove yang ditemukan pada lokasi penelitian diperoleh dari petak pengamatan berukuran 10×10 m disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, jenis mangrove yang ditemukan pada lokasi penelitian yaitu Avicennia marina dan Rhizophora mucronata. Sebagian besar mangrove yang ditemukan sudah berada pada kategori pohon.

Table 3 Vegetasi mangrove di lokasi penelitian

Stasiun Jenis mangrove Keterangan Jumlah (ind) Kerapatan (ind/100 m2)

1 Avicennia marina pohon 7 35

Avicennia marina pohon 1

Rhizophora mucronata pohon 27

2 Avicennia marina pohon 6 43

Avicennia marina pohon 1

Rhizophora mucronata pohon 26

Rhizophora mucronata anakan 10

3 Avicennia marina pohon 7 64

Rhizophora mucronata pohon 50

Rhizophora mucronata anakan 7

Analisis Serasah

Kelimpahan serasah pada lokasi penelitian disajikan pada Tabel 4. Kelimpahan serasah tertinggi ditemukan pada stasiun 3 yaitu sebesar 26,73 g/m2, sedangkan kelimpahan serasah terendah terdapat pada stasiun 1 yaitu sebesar 19,51 g/m2.

Table 4 Kelimpahan serasah pada lokasi penelitian

Stasiun Kelimpahan serasah (g/m2) Kadar air

1 19,51 82.27

2 22,86 80.59

3 26,73 78.64

Analisis Kandungan Bahan Organik Substrat

Hasil pengukuran bahan organik substrat pada lokasi penelitian disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan hasil pengukuran, bahan organik total pada substrat tertinggi ditemukan pada stasiun 1 yaitu sebesar 72,82%, dan C organik tertinggi ditemukan pada stasiun 3, yaitu sebesar 4,10%.

Table 5 Bahan organik substrat; bahan organik total dan C organik

Stasiun Bahan organik total (%) C organik (%)

1 72,84 2.82

2 70,99 1.65

(20)

8

Analisis Kondisi Mikroklimat

Kondisi mikroklimat pada lokasi penelitian disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan hasil pengukuran, kondisi mikroklimat di ekosistem hutan mangrove Desa Mojo, Kec. Ulujami, Pemalang, pada parameter suhu udara dan kelembaban udara diperoleh hasil yang tidak jauh berbeda antar stasiun penelitian. Suhu udara di ketiga stasiun penelitian berkisar antara 31,3-34,3˚C, kelembaban udara berkisar antara 65,9-77,7%RH. Sedangkan untuk parameter intensitas cahaya terendah berada pada stasiun 2 yaitu 1.128 lux, dan tertinggi pada stasiun 3 yaitu 9.210 lux. Secara keseluruhan, kondisi cuaca pada ketiga stasiun penelitian baik pada saat pasang maupun surut berada pada kondisi cerah.

Table 6 Hasil pengukuran mikroklimat pada lokasi penelitian

Stasiun Suhu udara (

o

C) Kelembaban (%RH) Intensitas cahaya (lux) Kondisi cuaca

P S P S P S P S

1 32,4 31,3 71,6 77,4 5.120 9.210 Cerah Cerah 2 34,3 31,6 65,9 77,7 1.126 3.850 Cerah Cerah 3 33,4 32,9 68,8 75,4 6.480 3.940 Cerah Cerah Keterangan: P = pagi, S = sore

Analisis Produksi Kepiting Bakau

Gambar 4 merupakan grafik data produksi kepiting bakau dari kegiatan penangkapan. Data yang diperoleh berdasarkan hasil tangkapan harian nelayan pada masing-masing stasiun penelitian pada Bulan April 2014. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan, produksi kepiting bakau tertinggi ditemukan pada stasiun 3 (Gambar 4). Produksi kepiting bakau ketika musim tangkapan tinggi yaitu sebesar 4 kg/hari, dan ketika musim tangkapan rendah yaitu sebesar 1,9 kg/hari.

Sumber : Wawancara langsung dengan nelayan Desa Mojo, Ulujami, Pemalang

Gambar 5 merupakan grafik produksi kepiting bakau dari kegiatan penangkapan per tahun (tahun 2014) yang diperoleh nelayan di Desa Mojo, Ulujami, Pemalang. Hasil wawancara dengan pengepul kepiting bakau Desa Mojo, Ulujami, Pemalang menyebutkan bahwa produksi kepiting bakau per tahun

(21)

9

di Desa Mojo yaitu sebesar 9,18 ton pada saat musim tangkapan tinggi dan 2,88 ton pada saat musim tangkapan rendah (Gambar 5).

Sumber : Wawancara langsung dengan pengepul Desa Mojo, Ulujami, Pemalang

Pembahasan

Kegiatan budidaya merupakan sistem produksi yang mencakup input, proses, dan output (Effendi 2003). Salah satu bagian dari input produksi dalam budidaya kepiting bakau adalah sumber daya alam (Lampiran 7). Lingkungan hutan mangrove merupakan sumber daya alam yang mengindikasikan lingkungan yang sesuai untuk kepiting bakau. Analisis karakteristik lingkungan hutan mangrove seperti fisika-kimia perairan, vegetasi mangrove, dan mikroklimat pada lokasi penelitian dilakukan sebagai acuan kegiatan aquasilviculture kepiting bakau. Berdasarkan analisis produksi kepiting bakau dari kegiatan penangkapan, produksi kepiting bakau tertinggi terdapat pada stasiun 3, yaitu sebesar 4 kg pada musim tangkapan tinggi (Bulan Desember-Mei), dan sebesar 1,9 kg pada musim tangkapan rendah (Bulan Juni-November) (Lampiran 8). Karakteristik lingkungan pada stasiun 3 diduga merupakan karakteristik lingkungan yang sesuai untuk kepiting bakau apabila dilihat dari hasil produksi kepiting bakau tersebut.

Hasil pengukuran salinitas yang diperoleh selama penelitian yaitu berkisar antara 5-25‰ (Lampiran 9). Stasiun 1 memiliki kisaran salinitas rendah yaitu

5-10‰. Kisaran salinitas pada stasiun 2 berkisar antara 5-20‰. Stasiun 3 memiliki kisaran salinitas cenderung tinggi, yaitu 21-25‰. Hasil tersebut menjelaskan bahwa salinitas di perairan hutan mangrove memiliki kisaran yang luas. Menurut Satyanarayana et. al (2010), salinitas di hutan mangrove daerah Tumpat Malaysia diperoleh kisaran antara 1,0-30,1‰. Kisaran salinitas yang luas dikarenakan hutan mangrove tumbuh di daerah intertidal. McKee (1993) mendefinisikan hutan mangrove merupakan komunitas tumbuhan tropis yang tumbuh di daerah intertidal atau daerah pasang surut. Berdasarkan FAO (2011) kisaran salinitas untuk kepiting bakau adalah 10-25‰. Safrina (2013) menyatakan salinitas

optimum untuk kepiting bakau adalah 25‰. Hasil pengukuran di lokasi penelitian

menunjukan kisaran salinitas yang sesuai untuk kepiting bakau, khususnya pada Gambar 5 Produksi kepiting bakau dari kegiatan penangkapan

(22)

10

stasiun 3. Hal tersebut dikarenakan salinitas pada stasiun 3 cenderung stabil

mendekati 25‰.

Selain salinitas, parameter fisika perairan lain yang diukur dalam penelitian ini adalah suhu. Nilai suhu dari ketiga stasiun penelitian tidak memiliki perbedaan secara signifikan (Lampiran 9). Kisaran suhu di stasiun 1 yaitu sebesar 29,5-32,3°C. Suhu pada stasiun 2 diperoleh kisaran antara 28,5-30,1°C. Kisaran suhu tertinggi ditemukan pada stasiun 3 yaitu 31-32,1°C. Menurut Ghufran (2007), secara umum laju pertumbuhan suatu organisme akan meningkat sejalan dengan kenaikan suhu. Pertumbuhan kepiting bakau ditunjang oleh suhu perairan karena kepiting bakau bersifat poikilothermic. Suhu akan mempengaruhi aktivitas, nafsu makan, konsumsi oksigen, dan laju metabolisme kepiting bakau. Suhu optimum untuk kepiting bakau adalah 29°C (Millaty 2014). Secara keseluruhan, kisaran suhu yang diperoleh dari hasil penelitian berkisar antara 28,5-32,3°C. Menurut FAO (2011) suhu yang baik untuk pertumbuhan kepiting bakau adalah 25-35°C, sehingga kisaran suhu pada lokasi penelitian sesuai untuk kepiting bakau.. Selain itu, Kumar (2013) menyatakan bahwa kisaran suhu perairan hutan mangrove di Pondicherry India, yaitu berkisar antara 19,6-35,9°C. Hal tersebut menandakan kisaran suhu di lokasi penelitian sesuai dengan kisaran suhu di ekosistem hutan mangrove pada umumnya.

Selanjutnya untuk parameter kimia perairan yang diukur dalam penelitian ini adalah pH, oksigen terlarut, TAN (Total Amonia Nitrogen). nitrit, nitrat, dan bahan organik total. Kisaran nilai pH pada semua stasiun penelitian yaitu 7,57-8,42 (Lampiran 9). Kisaran pH tersebut hampir sama dengan kisaran pH pada pemeliharaan kepiting bakau di pen culture mangrove Mtwapa Kenya menurut Mwaluma (2002), yaitu 7,95-8,25. Hasil pengukuran pH yang diperoleh pada stasiun 1 yaitu 7,76-7,98. Stasiun 2 diperoleh kisaran pH 7,57-8,33. Selanjutnya untuk pH pada stasiun 3 diperoleh kisaran 7,58-8,42. Kisaran pH yang diperoleh dari 3 stasiun penelitian sesuai dengan kisaran pH yang baik untuk kepiting bakau yaitu 7,5-8,5 (FAO 2011). Selain itu, menurut Nadeak (2014), pH optimum untuk pertumbuhan kepiting bakau dalam wadah budidaya adalah 7. Hal tersebut menunjukan bahwa kisaran pH di hutan mangrove Desa Mojo, Ulujami, Pemalang cenderung optimum untuk pertumbuhan kepiting bakau.

(23)

11

Kisaran nilai TAN, nitrit, dan nitrat, pada penelitian ini tidak jauh berbeda antar stasiun penelitian. Nilai TAN yang diperoleh yaitu berkisar antara 0,083-0,111 mg/l (Lampiran 9). Nilai TAN pada stasiun 1 berkisar antara 0,098-0,103 mg/l, kemudian pada stasiun 2 berkisar antara 0,024-0,014 mg/l, dan pada stasiun 3 berkisar antara 0,043-0,111 mg/l. KepMen-LH (2004) menyatakan bahwa nilai TAN di perairan untuk biota air laut yaitu 0,3 mg/l. Hasil yang diperoleh di lokasi penelitian masih memenuhi standar TAN untuk kepiting bakau.

Kandungan nitrit yang diperoleh pada lokasi penelitian pun cenderung rendah yaitu 0,000-0,024 mg/l (Lampiran 9). Nitrit pada stasiun 1 diperoleh kisaran 0,027-0,010 mg/l, selanjutnya pada stasiun 2 diperoleh kisaran 0,014-0,024 mg/l, dan pada stasiun 3 diperoleh kisaran 0,000-0,007. Rendahnya kandungan nitrit tersebut dikarenakan perairan alami mengalami pergantian air secara terus menerus akibat pengaruh pasang surut. Menurut Boyd (2000), apabila kandungan nitrit tinggi, maka dapat mengganggu proses respirasi pada organisme budidaya. Nitrit dalam darah ikan dapat bereaksi dengan hemoglobin membentuk methemoglobin. Methemoglobin tersebut tidak dapat berikatan dengan oksigen seperti hemoglobin, sehingga oksigen tidak dapat disalurkan ke seluruh tubuh. Kandungan nitrit yang tinggi dapat menurunkan kemampuan darah dalam mengikat oksigen, karena nitrit dapat mengikat hemocyanin dalam darah (Boyd 2000). Berdasarkan pengukuran nitrit pada masing-masing stasiun penelitian, maka stasiun 3 merupakan stasiun terbaik karena memiliki kandungan nitrit terendah.

Selanjutnya kandungan nitrat di lokasi penelitian diperoleh kisaran antara 0,243-0,574 mg/l (Lampiran 9). Kandungan nitrat pada stasiun 1 berkisar antara 0,243-0,525 mg/l, pada stasiun 2 berkisar antara 0,314-0,400 mg/l, dan pada stasiun 3 berkisar antara 0,313-0,574 mg/l. Menurut Vollenweider (1968), kisaran nitrat tersebut termasuk kedalam perairan yang memiliki kesuburan sedang. Kandungan nitrat sebesar <0,227 mg/l tergolong perairan kurang subur, kandungan nitrat sebesar 0,227-1,129 mg/l tergolong perairan dengan kesuburan sedang, dan kandungan nitrat sebesar 1,130-11,250 mg/l tergolong perairan dengan kesuburan tinggi (Vollenweider 1968). Hartoko et al. (2013) menyatakan bahwa kandungan nitrat di perairan mangrove berkisar antara 0,71-6,27 mg/l. Kandungan nitrat pada stasiun 3 merupakan kandungan nitrat tertinggi, sehingga diduga stasiun 3 memiliki kesuburan perairan yang tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya.

Hasil pengukuran bahan organik total di perairan berkisar antara 13,90-42,98 mg/l. Bahan organik total tertinggi ditemukan pada stasiun 1 kondisi perairan surut yaitu sebesar 42,98 mg/l. Reid (1961) menyatakan bahwa perairan dengan bahan organik total lebih dari 26 mg/l adalah perairan yang tergolong subur. Bahan organik total di perairan tersebut dapat dimanfaatkan oleh plankton. Kelimpahan plankton tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu sebesar 969.864 sel/m3. Jenis plankton yang dominan ditemukan adalah Nitzschia sp. (Lampiran 10). Sesuai dengan penelitian Suwartimah et al. (2011) genus yang ditemukan dengan kelimpahan tertinggi di muara sungai Comal adalah Nitzschia. Hal tersebut dapat terjadi karena genus ini memiliki distribusi yang luas dan mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan yang tinggi.

(24)

12

ditemukan pada lokasi penelitian adalah Rhizophora mucronata dan Avicenia marina (Lampiran 11). Sebagian besar mangrove yang ditemukan sudah berada pada kategori pohon, yaitu diameter batang pohon lebih dari 10 cm. Kelimpahan pohon mangrove tertinggi ditemukan pada stasiun 3 yaitu 64 ind/100 m2. Sebagian besar jenis pohon mangrove yang ditemukan pada stasiun 3 yaitu Rhizophora mucronata sebanyak 57 ind/100 m2. Hal tersebut dapat dilihat dari jenis akar yang terdapat pada Rhizophora mucronata, yaitu akar tunjang dan akar udara yang tumbuh dari percabangan bagian bawah (Giesen et al. 2007). Jenis akar tersebut diduga mempermudah kepiting bakau dalam mencari makan dan sebagai tempat perlindungan dari predator. Menurut Nybakken (1988), hutan mangrove ditempati oleh sejumlah kepiting bakau berukuran besar yang membuat lubang pada substrat yang lunak. Lubang kepiting bakau tersebut berfungsi sebagai tempat perlindungan dari predator, sebagai tempat berkembang biak, dan sebagai bantuan dalam mencari makan. Oleh karena itu, produksi kepiting bakau tertinggi diperoleh pada stasiun 3, karena diduga jenis pohon mangrove Rhizophora mucronata mendukung kelangsungan hidup kepiting bakau. Hutan mangrove di lokasi penelitian merupakan hasil penanaman kembali oleh OISCA (Organization for Industrial Spiritual and Cultural Advancement) sejak tahun 2000 hingga sekarang. Jenis mangrove yang banyak ditanam adalah Rhizophora mucronata, sedangkan Avicenia marina sebagian besar tumbuh secara alami. Syawala (2013) menyatakan bahwa vegetasi mangrove yang terdapat di hutan mangrove Desa Mojo, Ulujami, Pemalang, adalah Rhizophora mucronata dan Avicenia marina.

Pohon mangrove akan menghasilkan serasah yang menjadi sumber bahan organik. Menurut Kushartono (2004), bahan organik di perairan bersumber dari berbagai organisme yang berasal dari tanaman tingkat tinggi dan semua bahan yang tersuspensi. Kelimpahan serasah tertinggi yang dihasilkan pada stasiun 3, yaitu sebesar 26,73 g/m2. Kandungan bahan organik total di substrat yaitu berkisar antara 66,03-72,84%. Kisaran nilai tersebut cukup tinggi jika dibandingkan dengan nilai bahan organik total pada tanah mangrove di Teluk Hooker, Pulau San Andreas, Colombia, yaitu sebesar 22,89% (Moreno & Jairo 2011). Salah satu komponen kimia bahan organik yang sering digunakan sebagai indikator keberadaan bahan organik di tanah atau sedimen adalah C organik (Schumacher 2002). Hasil pengukuran C organik tertinggi ditemukan pada stasiun 3 yaitu sebesar 4,10%.

(25)

13

(La Sara 2007). Diduga di sekitar tambak terdapat banyak jenis moluska dan krustasea yang menjadi makanan alami kepiting bakau.

Parameter fisika-kimia perairan, vegetasi mangrove, kandungan bahan organik substrat, dan mikroklimat dapat mempengaruhi produksi kepiting bakau yang berasal dari kegiatan penangkapan, namun parameter yang dominan adalah salinitas. Hal tersebut dikarenakan produksi kepiting bakau tertinggi terdapat pada lokasi dengan salinitas yang mendekati kondisi isoosmotik tubuh kepiting bakau. FAO (2011) menyatakan bahwa kepiting bakau merespon beberapa faktor lingkungan penting, seperti suhu dan salinitas. Suhu dan salinitas tersebut secara konstan dapat memodifikasi fungsi metabolisme dalam tubuh kepiting bakau seperti pernapasan dan ekskresi, sehingga dapat mempertahankan kondisi homeostasis di dalam tubuhnya. Salinitas akan mempengaruhi osmolaritas media yang merupakan penentu tingkat kerja osmotik kepiting bakau. Tingkat kerja osmotik yang dialami kepiting bakau sebanding dengan perbedaan osmolaritas antara media dan cairan di dalam tubuh kepiting bakau (hemolimfe). Kepiting bakau akan melakukan kerja osmotik lebih besar pada media yang berada di luar kisaran isoosmotik tubuhnya. Sehingga energi yang diperlukan untuk proses osmoregulasi cenderung tinggi, dan porsi energi untuk pertumbuhan menjadi berkurang. Berdasarkan penelitian Karim (2007), tingkat kerja osmotik tertinggi dihasilkan pada media bersalinitas 15‰ dan terendah pada salinitas 25‰. Hal tersebut menandakan salinitas 25‰ mendekati kondisi isoosmotik tubuh kepiting bakau.

(26)

14

KESIMPULAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa karakteristik lingkungan hutan mangrove di Desa Mojo, Ulujami, Pemalang, yang paling baik untuk kegiatan aquasilviculture kepiting bakau adalah karakteristik lingkungan yang terdapat pada stasiun 3. Karakteristik lingkungan tersebut meliputi analisis fisika-kimia perairan, vegetasi mangrove, kelimpahan serasah, kondisi mikroklimat, dan kandungan bahan organik substrat.

DAFTAR PUSTAKA

Agus M. 2008. Analisis carryng capacity tambak pada sentra budidaya kepiting bakau Scylla sp. di Kabupaten Pemalang-Jawa Tengah. [tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.

[APHA] American Public Health Association. 1998. Standard methods for examination of water and wastewater. 20th ed. Washington DC.

[APHA] American Public Health Association. 1999. Standard methods for examination of water and wastewater. 20th ed. Washington DC.

Balai Penelitian Tanah. 2009. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Bogor (ID): Balai Penelitian Tanah, Badan Penelitian dan

Effendie H. 2003. Telaah Kualitas Air. Yogyakarta (ID): Kanisius. Effendi I. 2004. Pengantar Akuakultur. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2011. Mud crab aquaculture. Rome (IT): FAO.

Ghufran MH, Kordi K, Andi BT. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan. Jakarta (ID): Rineka Cipta.

Giesen W, Stephan W, Max Z, Liesbeth S. 2007. Mangrove Guidebook for Southeast Asia. Thailand (TH): Dharmasarn Co. Ltd.

Hafsah, Tri Y, Kustono, Djuwantoko. 2009. Karakteristik tanah dan mikroklimat habitat burung maleo Macrocephalon maleo di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. Jurnal Manusia dan Lingkungan 16: 75-80.

Hartoko A, Prijadi S, Ayuningtyas I. 2013. Analisa klorofil-α, nitrat, dan fosfat pada vegetasi mangrove berdasarkan data lapangan dan data satelit Goeye di Pulau Parang, Kepulauan Karimunjawa. Journal of Management of Aquatic Resources 2: 28-37.

Karim MS. 2007. The effect of osmotic at various medium salinity on vitality of female mud crab Scylla olivacea. Jurnal Protein 14: 65-72.

(27)

15

Khenti R. Butik (Budidaya Kepiting Soka) sebagai pemenuhan permintaan pasar dalam negeri dan luar negeri untuk meningkatkan perekonomian masyarakat Kebumen, Jawa Tengah [internet]. [diacu 22 Agustus 2015]. Tersedia dari http://www.kompasiana.com.

Kumar PS, Anisa BK. 2013. The distribution and diversity of benthic macroinvertebrate fauna in Pondicherry mangroves, India. Aquatic Biosystems 9:15.

Kushartono EW. 2004. Beberapa aspek bio-fisik-kimia tanah di Desa Pasar Banggi Kabupaten Rembang. [tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. La Sara, Riza OA, Liberato VL, Rodolfo BB, Jose AI. 2007. The natural diet of

the mud crab Scylla serrata in Lawele Bay, Southeast Sulawesi, Indonesia. The Philippine Agricultural Scientis 90: 6-14.

McKee KL. 1993. Soil physicochemical patterns and mangrove species distribution: reciprocal effects. Ecology 81: 477-487.

Millaty R. 2014. Penentuan suhu optimum untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih kepiting bakau Scylla serrata Forskal pada media dengan sistem resirkulasi. [skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.

Mizuko T. 1979. Illustration of The Freshwater Plankton of Japan. Jepang (JP): Hoikusha Publishing.

Moreno ANM, Jairo HMC. 2011. Quantification of organic matter and physical-chemical characterization of mangrove soil at hooker bay, San Andreas Island-Colombia. Proceeding of the Global Conference on Global Warming 2011, 11-14 July 2011, Lisbon, Portugal.

Mwaluma J. 2002. Pen culture of the mud crab Scylla serrata in Mtwapa Mangrove System, Kenya. Western Indian Ocean 1: 127-133.

Nadeak H. 2014. Penentuan pH optimum untuk pertumbuhan kepiting bakau Scylla serrata dalam wadah terkontrol. [skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.

Nazar F. 2002. Karakteristik habitat dan kaitannya dengan keberadaan tiga jenis kepiting bakau Scylla olivacea, S. tranquebarica, dan S. serrata di perairan Karang Anyar, Segara Anakan, Cilacap Jawa Tengah. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Nybakken JW. 1988. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta (ID): PT Gramedia.

[PERMEN-KP]. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan. 2015. Penangkapan lobster Panulirus spp., kepiting bakau Scylla spp., dan rajungan Portunus pelagicus spp. Jakarta (ID): PERMEN-KP.

Raharjo MB. 2014. Pengelolaan kepiting bakau dengan cara yang berkelanjutan di Desa Mojo, Ulujami, Pemalang. TAKA Organization.

Rangka NA. 2007. Status usaha kepiting bakau ditinjau dari aspek peluang dan prospeknya. Neptunus 14: 90-100.

Reid GK. 1961. Ecology of Inland Waters and Estuaries. New York: Reinhold. Romeo, Florida. 2014. The Philippine national aquasilviculture program. National

(28)

16

Safrina MD. 2013. Penentuan salinitas optimum untuk pertumbuhan benih kepiting bakau Scylla serrata dalam sistem resirkulasi. [skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor

Saleh S. 1986. Statistik Deskriptif Teori dan Aplikasi. Yogyakarta (ID): Andi Offset

Samudro T. 2015. KKP gagalkan pengiriman 800 ekor kepiting hidup [internet]. [diacu 11 Agustus 2015]. Tersedia dari http://www.antaranews.com.

Satyanarayana B, Indra FI, Khairul AM, Mohd LH, Noor AMS, Farid DG. 2010. Mangrove species distribution and abudance in relation to local environmental setting: a case-study at Tumpat, Kelantan Delta, east coast of peninsular Malaysia. Botanica Marina 53: 79 88.

Schumacher BA. 2002. Methods for the determination of total carbon (TOC) in soils and sediments. Las Vegas: United States Environmental Protection Agency.

Siahainenia L. 2008. Bioekologi kepiting bakau Scylla spp. di ekosistem mangrove Kabupaten Subang Jawa Barat. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Suryani M. 2006. Ekologi kepiting bakau Scylla serrata Forskal dan ekosistem mangrove di Pulau Enggano Provinsi Bengkulu. [tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.

Suwartimah K, Widianingsih, Retno H, Sri YW. 2011. Komposisi jenis dan kelimpahan bahan organik total bentik di muara sungai Comal Baru Pemalang. Ilmu Kelautan 16: 16-23.

Syawala N. 2013. Komposisi vegetasi hutan mangrove di Pantai Mojo Kecamatan Ulujami Kabupaten Pemalang Provinsi Jawa Tengah. [skripsi]. Surakarta (ID): Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Teddlie C, Fen Yu. 2007. Mixed method sampling: a typology with examples. Journal of Mixed Method Research 1: 77-100.

Vollenweider RA. 1968. Scientific Fundamentals of the Eutrophication of Lakes and Flowing Waters, with Particular Reference to Nitrogen and Phosphorus as Factors in Eutrophication. Paris, Rep. Organization for Economic Cooperation and Development, DAS/CSI/68.27, 192 pp.: Annex, 21 pp.; Bibliography, 61 pp.

Wulandari D. 2009. Keterikatan antara kelimpahan fitoplankton dengan parameter fisika kimia di estuari Sungai Brantas (Porong), Jawa Timur. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Yamaji I. 1979. Illustration of The Marine Plankton of Japan. Jepang (JP): Hoikusha Publishing.

(29)

17

LAMPIRAN

Lampiran 1 Stasiun 1 penelitian

Ekosistem hutan mangrove dekat muara sungai

Lampiran 2 Stasiun 2 penelitian

Ekosistem hutan mangrove dekat tambak bandeng

Lampiran 3 Stasiun 3 penelitian

(30)

18

Lampiran 4 Dokumentasi pengamatan secara insitu

Pengamatan salinitas Pengamatan oksigen terlarut dan suhu

Pengamatan Ph Pengamatan pohon mangrove

(31)

19

(32)
(33)
(34)

22

Lampiran 6 Jenis plankton yang ditemukan pada lokasi penelitian.

(35)

23

Lampiran 7 Ruang lingkup industri perikanan budidaya

Lampiran 8 Hasil wawancara dengan nelayan dan pengepul kepiting bakau

Hasil wawancara dengan nelayan kepiting bakau pada lokasi penelitian

Musim

Hasil wawancara dengan pengepul kepiting bakau pada lokasi penelitian

(36)

24

Lampiran 9 Nilai pengukuran fisika-kimia perairan pada lokasi penelitian

Stasiun Suhu

(˚C) Salinitas (‰) pH (mg/l) DO

TAN (mg/l)

Nitrit (mg/l)

Nitrat (mg/l)

BOT (mg/l) Stasiun 1

Pasang 29,5 5 7,98 1,7 0,103 0,027 0,243 29,07 Surut 32,3 10 7,76 4,4 0,098 0,010 0,525 42,98 Stasiun 2

Pasang 30,1 20 8,33 8,3 0,105 0,024 0,314 40,45 Surut 28,5 5 7,57 6 0,083 0,014 0,400 18,96 Stasiun 3

Pasang 31 25 7,48 6 0,043 0,007 0,313 25,28 Surut 32,1 21 8,42 6,8 0,111 0,000 0,574 13,90

Lampiran 10 Jenis plankton yang dominan ditemukan pada lokasi penelitian

Nitzschia sp. Pelagothrix sp.

Lampiran 11 Jenis mangrove yang ditemukan pada lokasi penelitian

Rhizophora mucronata Avicenia marina

(37)

1

Lampiran 13 Ringkasan data masing-masing parameter

Ket:

 Bagian yang berwarna kuning adalah nilai terbaik di antara tiga stasiun atau merupakan nilai yang optimal bagi kepiting bakau berdasarkan perbandingan dengan literatur.

 Stasiun yang memiliki nilai paling tinggi merupakan stasiun yang memiliki karakteristik lingkungan paling baik untuk kepiting bakau Lokasi

Fisika Kimia Biologi

(38)
(39)

1

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 19 September 1992, dan merupakan anak pertama dari keluarga Bapak Ratmin dan Ibu Sumiati. Pendidikan formal yang dilalui penulis yaitu TK Al-Lukman yang lulus pada tahun 1999, SDN 1 Karangpaningal yang lulus pada tahun 2005, SMPN 1 Lakbok lulus pada tahun 2008, SMA Negeri 2 Ciamis yang lulus pada tahun 2011, dan pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN Undangan pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama menjalani masa perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum Fisiologi Hewan Air pada tahun ajaran 2013/2014, Manajemen Kualitas Air pada tahun ajaran 2014/2015, dan Fisika Kimia Perairan pada tahun ajaran 2014/2015. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan IPB Goes to Field (IGTF) di Kabupaten Brebes pada tahun 2013, magang di perusahaan DeeJe Fish Sukabumi pada tahun 2014, dan Praktik Lapang Akuakultur (PLA) di Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Situbondo, Jawa Timur pada tahun 2014 dengan komoditas kerapu Cantang (Epinephelus sp.). Penulis juga aktif dalam kepengurusan Himpunan Mahasiswa Akuakultur (HIMAKUA) pada tahun 2012/2013 dan 2013/2014 sebagai anggota divisi Kewirausahaan. Tugas akhir dalam pendidikan perguruan tinggi diselesaikan dengan menulis skripsi berjudul

“Karakteristik Lingkungan Hutan Mangrove di Desa Mojo, Ulujami, Pemalang sebagai Acuan Kegiatan Aquasilviculture Kepiting Bakau Scylla serrata”.

Gambar

Gambar 1 Lokasi stasiun penelitian
Gambar 2 Grafik parameter fisika perairan di lokasi penelitian; (a) salinitas; (b)  suhu;
Gambar 3 Grafik parameter kimia perairan; (a) pH; (b) Oksigen terlarut; (c) TAN;
Tabel 2 Jenis plankton dan kelimpahannya pada lokasi penelitian

Referensi

Dokumen terkait

ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi

Berdasarkan hasil penelitian, dalam PDAM Kabupaten Pasuruan Unit prigen masih terdapat rangkap jabatan yaitu pada bagian kasir dan pelayanan konsumen. Kasir selain

perbuatan tawuran yang dilakukan dikalangan anak sekolah. Alumni yang datang kesekolah seringkali menceritakan tawuran yang pernah dialaminya sehingga menambah sulit untuk

memungkinkan termasuk kegunaan dari tugas tersebut. Peserta didik tipe guardian sangat patuh kepada guru. Segala pekerjaan yang diberikan kepada guardian dikerjakan

Oleh karena itu, hasil pengukuran kecepatan arus pada perairan Sei Carang yang memiliki kisaran sebesar 0,1 m/s sampai 0,26 m/s dapat disimpulkan juga terdapat

Dari hasil gaya hierarchy saat ini sebesar mean 30,76 dengan adhocary sebesar mean 18,14, sedangkan yang diinginkan oleh para karyawan PT Simaya Jejaring Mandiri

Komunitas-komunitas seni yang dilihat dalam studi ini adalah Batu Belah (yang kemudian menjadi Batu Belah Art Space ) di daerah Lepang, Klungkung, dengan figurnya I Wayan Sujana

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti bermaksud mengadakan penelitian dengan judul “pengaruh aliran kas bebas dan keputusan pendanaan terhadap nilai pemegang saham dengan