• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Habitat Bokkoi di Areal IUPHHK-HA PT Salaki Summa Sejahtera Kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatera Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Habitat Bokkoi di Areal IUPHHK-HA PT Salaki Summa Sejahtera Kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatera Barat"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK HABITAT BOKKOI DI AREAL

IUPHHK-HA PT SALAKI SUMMA SEJAHTERA KABUPATEN

KEPULAUAN MENTAWAI SUMATERA BARAT

ROMI PRASETYO

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik Habitat Bokkoi di Areal IUPHHK-HA PT Salaki Summa Sejahtera Kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatera Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor

(4)

ABSTRAK

ROMI PRASETYO. Karakteristik Habitat Bokkoi di Areal IUPHHK-HA PT Salaki Summa Sejahtera Kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatera Barat. Dibimbing oleh AGUS PRIYONO KARTONO dan LILIK BUDI PRSETYO.

Bokkoi (Macaca pagensis) merupakan salah satu jenis primata dari genus Macaca yang tergolong endemik di Kepulauan Mentawai. Salah satu habitat jenis ini adalah areal konsesi IUPHHK-HA PT Salaki Summa Sejahtera. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik habitat bokkoi. Peubah yang diamati terdiri atas komponen fisik yang meliputi ketinggian tempat diatas permukaan laut, kelerengan, jarak perjumpaan bokkoi dari jalan utama dan jalan sarad, dan jarak dari sungai, serta komponen biotik meliputi LAI dan FCD. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa komponen penyusun habitat bokkoi yang mempengaruhi keberadaan dan jumlah individu bokkoi adalah kelerengan (fisik) dan kerapatan vegetasi pada tingkat tiang dan pohon (biotik). Aktivitas lokomosi dilakukan di tanah dengan kelerengan datar, sedangkan lokomosi yang dilakukan di pohon, bokkoi membutuhkan tajuk yang bersambungan. Lokasi yang memiliki tingkat kerapatan tiang dan pohon yang cukup tinggi, gangguan yang rendah serta kelerengan yang agak curam, dimanfaatkan bokkoi untuk aktivitas istirahat. Aktivitas makan sangat bergantung pada keberadaan vegetasi sumber pakan baik pada tingkat tiang ataupun pohon. Aktivitas sosial yang dilakukan bokkoi membutuhkan kerapatan tiang yang tinggi, kerapatan pohon yang rendah serta kelerengan yang tergolong landai hingga curam.

Kata kunci: bokkoi, habitat, karakteristik, Mentawai

ABSTRACT

ROMI PRASETYO. Characteristics of Habitat Bokkoi at IUPHHK-HA PT Salaki Summa Sejahtera, Kabupaten Kepulauan Mentawai of West Sumatra. Supervised by AGUS PRIYONO KARTONO and LILIK BUDI PRSETYO.

Bokkoi, (Macaca pagensis) is one of primate of the genus Macaca which belongs to the endemic to the Mentawai Islands. One of its habitat is the concession area of IUPHHK-HA PT Salaki Sejahtera Summa. This research aims to identify characteristic of habitats bokkoi. The observed variables were composed of physical components that includes height above sea level, slope, distance position finds bokkoi from main streets and skid roads, distance from river. Meanwhile the components biotic variables were LmAI and FCD. The result showed that the components of habitat bokkoi that influenced the existence and the number of individual bokkoi were slope (physical) and density of the vegetation at the level of the pole and trees (biotic). Locomotion activity conducted on the land was occurred on flat slope, while the locomotion on trees required continuous canopy. In case of rest activity, bokkoi prefer to use a location that has a pole and tree with high density, low disturbance as well as steep slope. Feeding activities will depend heavily on the existence of a good feed of vegetation on the level of a pole or a tree. Social activities conducted bokkoi requires a high pole density, density, low trees and slope which belongs to the steep ramps.

(5)

KARAKTERISTIK HABITAT BOKKOI DI AREAL

IUPHHK-HA PT SALAKI SUMMA SEJAHTERA KABUPATEN

KEPULAUAN MENTAWAI SUMATERA BARAT

ROMI PRASETYO

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2014

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

(6)
(7)

Judul Skripsi : Karakteristik Habitat Bokkoi di Areal IUPHHK-HA PT Salaki Summa Sejahtera Kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatera Barat Nama : Romi Prasetyo

NIM : E34090015

Disetujui oleh

Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi Pembimbing I

Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc Pembimbing II

Diketahui oleh,

Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas segala Rahmat dan Berkah-Nya penyusunan Skripsi ini dapat diselesaikan. Penelitian ini berjudul “Karakteristik Habitat Bokkoi di Areal IUPHHK-HA PT Salaki Summa Sejahtera Kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatera Barat”. Pengumpulan data lapangan dilakukan pada Juli hingga September 2013.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi dan Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc selaku Pembimbing atas arahan, bimbingan, dan saran kepada penulis selama menyelesaikan Skripsi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada pihak Management PT Salaki Summa Sejahtera, Pak Agus FN, Pak Bestalman, Pak Marsikin, Bang Adi serta teman – teman divisi lingkungan yang telah membantu selama pengambilan data di lapangan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak dan Ibu, Asti Dwi Rahmawati, Afroh Manshur S.Hut, Utomo Pranoto, Gde Krishna W, Fami Ridho Perdana, Wisma Ruwet serta keluarga besar Anggrek Hitam 46 atas doa, bantuan serta dukungannya selama ini.

Semoga Skripsi ini bermanfaat.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 1

Manfaat 1

METODE 2

Waktu dan Lokasi Penelitian 2

Metode Pengumpulan Data 2

Pengolahan dan Analisis Data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Kondisi Umum Lokasi Penelitian 9

Perilaku Bokkoi 9

Karakteristik Habitat 11

Implikasi Pengelolaan 21

SIMPULAN DAN SARAN 22

Simpulan 22

Saran 22

DAFTAR PUSTAKA 22

(10)

DAFTAR TABEL

1. Jenis data yang dikumpulkan 3

2. Perjumpaan bokkoi pada masing - masing lokasi 9

3. Nilai kerapatan vegetasi pada masing - masing lokasi 11

4. Daftar jenis pakan bokkoi 12

5. Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas ketinggian 14 6. Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas kelerengan 14 7. Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas jarak dari sungai 16 8. Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas jarak dari jalan 17

9. Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas LAI 19

10. Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas FCD 20

DAFTAR GAMBAR

1. Peta lokasi penelitian 2

2. Disain petak analisis vegetasi 4

3. Diagram alir pembuatan peta ketinggian tempat diatas permukaan laut

dan kelerengan 5

4. Diagram alir pembuatan peta jarak dari sungai 6

5. Diagram alir pembuatan peta jarak dari jalan 6

6. Diagram alir pembuatan peta LAI 7

7. Diagram alir pembuatan peta FCD 8

8. Peta perjumpaan bokkoi di setiap lokasi penelitian 10 9. Peta ketinggian tempat di atas permukaan laut di kawasan PT SSS 13

10. Peta kelerengan di kawasan PT SSS 15

11. Peta jarak perjumpaan bokkoi dari sungai 16

12. Peta jarak perjumpaan bokkoi dari jalan 17

13. Aktivitas sosial bokkoi 18

14. Peta LAI (Leaf Area Index) PT SSS 19

15. Peta FCD (Forest Canopy Density) PT SSS 20

16. Peta lokasi pengelolaan bokkoi di PT SSS 21

DAFTAR LAMPIRAN

1. Hasil analisis regresi jumlah individu dengan faktor fisik dan biotik

penyusun habitat bokkoi 25

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bokkoi (Macaca pagensis Miller, 1903) merupakan salah satu jenis primata dari genus Macaca yang tergolong endemik di Kepulauan Mentawai dan keberadaannya terancam punah. Jenis ini hanya dapat ditemukan di Pulau Siberut, Pulau Pagai Selatan dan Pulau Sipora (Kepulauan Mentawai). Keberadaan bokkoi di alam terancam punah akibat perburuan yang dilakukan oleh masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan protein dan bahan untuk upacara adat. Selain itu, jenis ini telah kehilangan sekitar 31% habitatnya yang menjadikan populasinya menurun dan diperkirakan populasinya kurang dari 30.000 ekor (Whittaker 2006). Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah Indonesia telah memasukan jenis ini dalam daftar jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi PP No. 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa. Menurut IUCN, jenis ini digolongkan kedalam rentan atau vulnerable (IUCN 2014).

Keberadaan atau kelimpahan organisme di suatu wilayah sangat berhubungan dengan faktor-faktor lingkungan yang menyusun habitatnya. Hal ini karena faktor lingkungan dapat mempengaruhi derajat kualitas habitat. Habitat dengan kualitas yang tinggi dapat memenuhi seluruh kebutuhan hidup organisme, termasuk primata. Salah satu contohnya adalah pemanfaatan pohon oleh bokkoi dalam berbagai aktivitas hidupnya. Berdasarkan penelitian Gras (2010), bokkoi secara dominan memanfaatkan bagian percabangan bawah untuk melakukan lokomosi. Bagian kanopi lebih banyak dimanfaatkan untuk aktivitas makan dan istirahat. Sebanyak 73.9% pakan yang dikonsumsi oleh bokkoi adalah buah matang yang berasal dari 36 jenis pohon buah. Hal tersebut menunjukan bahwa keberadaan pohon menjadi amat penting dalam menunjang aktivitas dan kehidupan bokkoi.

Salah satu areal yang menjadi habitat bokkoi adalah kawasan hutan di areal IUPHHK-HA PT Salaki Summa Sejahtera (PT SSS). Kawasan tersebut merupakan konsesi pemanfaatan hasil hutan kayu jenis Dipterocarpaceae dan kelompok jenis rimba campuran. Masih sedikitnya informasi mengenai karakteristik habitat bokkoi di kawasan konsesi pemanfaatan hasil hutan kayu, menjadikan perlunya dilakukan penelitian tentang karakteristik habitat bokkoi sebagai langkah awal dalam upaya pelestarian bokkoi. Informasi tersebut dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan guna menetapkan kebijakan dalam pengelolaan kawasan dan biodiversitas yang terkandung di dalamnya.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik faktor fisik dan biotik penyusun habitat bokkoi.

Manfaat

(12)

2

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di areal Logged Over Area (LOA) 1 tahun, 6 tahun dan kebun benih IUPHHK-HA PT SSS. Pengumpulan data lapang dilaksanakan selama 2 bulan, dari bulan Juli – September 2013. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Peta lokasi penelitian

Metode Pengumpulan Data

Jenis Data

Data yang dikumpulkan digolongkan menjadi dua aspek, yaitu perilaku bokkoi dan karakteristik habitat. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1.

Perilaku Bokkoi

(13)

3

18.30 WIB). Setiap individu atau kelompok yang terdeteksi kemudian diikuti dan diamati perilakunya hingga satwa tidak terdeteksi oleh pengamat. Perilaku yang dicatat dalam penelitian ini mengacu pada perilaku bokkoi yang meliputi perilaku makan, sosial, lokomosi dan istirahat (Gras 2010). Batasan masing-masing perilaku adalah sebagai berikut: (1) perilaku makan adalah perilaku meraih makanan pada pohon dan memasukkannya kedalam mulut, (2) perilaku sosial adalah adanya interaksi antara individu satu dengan individu lain dalam kelompoknya seperti grooming, bermain dan kawin, (3) perilaku lokomosi yaitu semua pergerakan yang dilakukan dari suatu tempat ke tempat yang lain, (4) perilaku istirahat meliputi aktivitas diam pada siang hari ataupun tidur dimalam hari.

Karakteristik Habitat

Para ahli biologi sering mengukur karakteristik habitat terkait dengan ada atau tidak adanya atau kelimpahan suatu jenis tertentu, dan menyimpulkan bahwa kehadiran jenis-jenis tersebut terkait dengan kebutuhan hidupnya (Tapia et al. 2010). Anderson & Gutzwiller (1994) menyatakan bahwa sebelum melakukan studi habitat perlu dilakukan penentuan terhadap faktor-faktor penyusun habitat. Berdasarkan hal tersebut maka peubah-peubah yang diamati antara lain: komponen fisik yang meliputi ketinggian tempat diatas permukaan laut, kelerengan, jarak perjumpaan bokkoi dari sungai, dan jarak perjumpaan bokkoi dari jalan utama dan jalan sarad, serta peubah komponen biotik meliputi Leaf Area Index (LAI) dan Forest Cover Density (FCD).

1. Identifikasi komponen fisik habitat

Komponen fisik yang dikaji dalam penelitian ini antara lain ketinggian tempat di atas permukaan laut, kelerengan, jarak perjumpaan bokkoi dari sungai serta jarak

Tabel 1 Jenis data yang dikumpulkan

No Aspek Jenis data Metode Sumber

Eksplorasi lapang Data lapang

(14)

4

perjumpaan bokkoi dari jalan utama dan jalan sarad. Nilai jarak posisi ditemukannya bokkoi dari sungai dan jalan merupakan jarak terdekat dari masing-masing kelas jarak sungai dan jalan terhadap lokasi penemuan bokkoi.

2. Identifikasi komponen biotik habitat

Komponen biotik yang dikaji dalam penelitian ini adalah kerapatan tajuk yang dihitung melalui pendekatan LAI dan FCD. Herrmann et al. (2010) mendefinisikan LAI sebagai perbandingan luas total tutupan tajuk pohon dengan luas permukaan tanah di mana pohon itu tumbuh. Penghitungan nilai LAI dilakukan dengan menggunakan teknik hemispherical photography. Welles (1990) menyatakan bahwa teknik ini sangat cocok untuk mengukur nilai LAI pada suatu kawasan. Penentuan lokasi pengambilan foto mengacu pada nilai NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) hasil analisis citra. Nilai NDVI yang didapat kemudian dikelompokkan menjadi 10 selang kelas. Penentuan lokasi pengambilan foto mempertimbangkan keterwakilan dari masing-masing selang kelas NDVI. Jumlah titik pengambilan foto hemiview sebanyak 50 titik dengan rincian 14 titik berada di LOA 1, 1 titik di LOA 6, 8 titik di Kebun benih dan 27 titik di luar lokasi penelitian. Nilai kerapatan tajuk melalui pendekatan FCD diperoleh dari hasil analisis citra Landsat 8 dengan menggunakan software FCD Mapper.

Selain dua variabel diatas, juga dilakukan analisis vegetasi dengan menggunakan metode petak ganda. Unit contoh pengamatan vegetasi ditempatkan pada lokasi yang digunakan bokkoi untuk beraktivitas. Ukuran petak contoh pengamatan untuk tingkat semai adalah 2m x 2m, tingkat pancang 5m x 5m, tingkat tiang 10m x 10m dan tingkat pohon 20m x 20m. Pada setiap lokasi aktivitas dibuat tiga buah petak tunggal dengan jarak 20 m antara satu petak dengan petak yang lain (Gambar 2). Data yang dikumpulkan untuk tingkat pohon dan tiang meliputi jenis pohon, jumlah individu setiap jenis dan diameter batang setinggi dada (dbh). Data yang dikumpulkan untuk tingkat pertumbuhan semai dan pancang, hanya jenis dan jumlah individu setiap jenis yang ditemukan. Selain data diatas, juga dicatat jenis-jenis pohon pakan, pohon tidur, pengambilan foto LAI di masing-masing plot serta titik koordinatnya. Daftar jenis pakan merupakan hasil pencocokan daftar jenis vegetasi yang ditemukan di lokasi penelitian dengan daftar jenis pakan bokkoi hasil penelitian Gras (2010). Hal yang sama juga dilakukan untuk mengetahui bagian yang dimakan dari masing-masing jenis.

Gambar 2 Disain petak analisis vegetasi

Notasi-notasi yang digunakan adalah A = unit contoh pengamatan untuk tingkat pohon, B = unit contoh pengamatan untuk tingkat tiang, C = unit contoh pengamatan untuk tingkat pancang, D = unit contoh pengamatan untuk tingkat semai.

(15)

5

Pengolahan dan Analisis Data

Perilaku Bokkoi

Data perilaku dan penggunaan habitat bokkoi yang diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif. Hal ini bertujuan untuk memberi gambaran penggunaan sumberdaya oleh bokkoi dalam aktivitasnya.

Karakteristik Habitat

Pengolahan dan analisis data karakteristik habitat dilakukan secara deskriptif melalui analisis spasial. Data yang dianalisis dengan SIG berupa peta batas kawasan (polygon), peta jaringan jalan, peta jaringan sungai, citra landsat 8 IUPHHK-HA PT Salaki Summa Sejahtera, titik keberadaan bokkoi dan foto tutupan tajuk. Data tersebut diolah menjadi 6 layer yang terdiri atas layer ketinggian, kemiringan lereng, jarak dari sungai, jarak dari jalan, LAI, dan FCD.

1. Komponen Fisik Habitat

a) Ketinggian tempat diatas permukaan laut dan kelerengan

Peta ketinggian tempat diatas permukaan laut dan kelerengan diperoleh dari pengolahan citra Aster GDEM menggunakan perangkat lunak ArcGIS 10.1. Proses pembuatan peta ketinggian dan kelerengan disajikan pada Gambar 3. Ketinggian lokasi penelitian diklasifikasikan ke dalam lima kelas, yaitu kelas 0 – 50 mdpl, 50 – 100 mdpl, 100 – 150 mdpl, 150 – 200 mdpl dan > 200 mdpl; sedangkan pembagian kelas lereng pada penelitian ini didasarkan pada SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/II/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung. Klasifkasi yang dimaksud ialah datar (0 – 8%), landai (8 – 15%), agak curam (15 – 25%), curam (25 – 45%) dan sangat curam (> 45%).

b) Jarak perjumpaan bokkoi dari sungai

Peta jarak posisi ditemukannya bokkoi dari sungai diperoleh dari analisis peta digital jaringan sungai PT SSS menggunakan software ArcGIS 10.1. Hasil pengolahan ini merupakan data raster. Jarak perjumpaan bokkoi dari sungai

Gambar 3 Diagram alir pembuatan peta ketinggian tempat diatas permukaan laut dan kelerengan

DEM

Peta Ketinggian

surface

(16)

6

diklasifikasikan menjadi lima kelas, yaitu 0 – 100 m, 100 – 200 m, 200 – 300 m, 300 – 400 m, dan > 400 m. Sungai yang menjadi acuan dalam penghitungan jarak posisi ditemukannya bokkoi dengan sungai ialah sungai dan anak Sungai Tiniti yang merupakan bagian dari DAS Pakaleuruan. Proses pembuatannya disajikan pada Gambar 4.

c) Jarak perjumpaan bokkoi dari jalan

Peta jarak posisi ditemukannya bokkoi dari jalan diperoleh dari analisis peta digital jaringan jalan utama dan jalan sarad PT SSS menggunakan software ArcGIS 10.1. Hasil pengolahan ini merupakan data raster. Jarak perjumpaan bokkoi dari jalan diklasifikasikan menjadi lima kelas, yaitu 0 – 100 m, 100 – 200 m, 200 – 300 m, 300 – 400 m, dan > 400 m. Proses pembuatan jarak posisi ditemukannya bokkoi dari jalan disajikan pada Gambar 5. Jalan yang menjadi acuan dalam penghitungan jarak ini ialah jalan utama dan jalan cabang (jalan sarad).

2. Komponen biotik habitat a) LAI (Leaf Area Index)

Peta LAI disusun berdasarkan nilai LAI dari hasil foto dan nilai NDVI kawasan PT SSS. Kedua nilai tersebut kemudian diregresikan. Persamaan regresi

Gambar 4 Diagram alir pembuatan peta jarak dari sungai Peta Sungai

Spatial analyst

Peta Jarak Sungai Distance

Euclidean distance

(17)

7

yang terbentuk digunakan sebagai model dalam pembuatan peta LAI. Proses pembuatan peta LAI disajikan pada Gambar 6. Persamaan pendugaan NDVI adalah sebagai berikut:

���� = �� − �� �� + ��

Penentuan kriteria klasifikasi kerapatan hutan berdasarkan nilai LAI mengacu pada klasifikasi Nugroho (2012) yaitu yaitu 0 – 0.6 merupakan kawasan non hutan, 0.7 – 1.3 merupakan hutan kerapatan rendah, 1.4 – 2.3 merupakan hutan kerapatan sedang, 2.3 – 3.6 merupakan hutan kerapatan tinggi dan > 3.6 merupakan hutan kerapatan sangat tinggi.

b) FCD (Forest Canopy Density)

Rikimaru et al. (2002) menyatakan bahwa FCD (Forest Canopy Density) merupakan salah satu metode yang berguna untuk mendeteksi dan memperkirakan kerapatan kanopi di suatu area yang luas dengan waktu dan biaya yang efektif. Nilai kerapatan kanopi ditunjukkan dalam bentuk persentase mulai dari 0% - 100%. Pengolahan model FCD dilakukan dengan menggabungkan data dari empat macam indeks yaitu Advanced Vegetation Index (AVI), Bare Soil Index (BI), Shadow Index atau Scaled Shadow Index (SI, SSI) dan Thermal Index (TI). Vegetation index merupakan respon dari semua jenis vegetasi seperti hutan dan padang rumput. Advanced Vegetation Index (AVI) lebih sensitif dalam menduga kuantitas vegetasi bila dibandingkan dengan NDVI. Nilai SI akan meningkat seiring dengan peningkatan kepadatan hutan. Hubungan TI dengan kuantitas vegetasi akan

Nilai LAI calculate Hemiview

Photo Hemispherical

Photography

Koordinat Citra Landsat

NDVI (ERDAS 9.1)

Peta NDVI

Nilai

Linier Regression

Peta LAI

(18)

8

berbanding terbalik, yakni pada lokasi yang memiliki nilai VI tinggi cenderung akan memiliki nilai TI yang rendah. BI menunjukan tingkat keterbukaan suatu lahan. Proses pembuatan peta FCD disajikan pada Gambar 7. Penentuan kriteria klasifikasi kerapatan hutan berdasarkan nilai FCD mengacu pada klasifikasi Nugroho (2012) yaitu hutan dengan kerapatan sangat tinggi (>71%), kerapatan tinggi (51 – 70%), kerapatan sedang (31 – 50%) dan kerapatan rendah (11 – 30%).

Gambar 7 Diagram alir pembuatan peta FCD

c) Analisis komposisi vegetasi

Analisis komposisi vegetasi yang dilakukan yaitu analisis kerapatan jenis vegetasi yang ditemukan pada masing-masing petak analisis vegetasi. Persamaan yang digunakan untuk menghitung nilai tersebut antara lain:

Kerapatan suatu jenis (K) = ∑ Individu suatu jenis/Luas plot pengamatan (Ind/ha)

Analisis regresi linier

Analisis ini dilakukan guna melihat hubungan dan signifikansinya antara variabel dependen (jumlah perjumpaan individu bokkoi) dengan variabel independen (fisik dan biotik habitat) (Nurjannah 2008). Persamaan yang terbentuk akan berupa:

= � + � + � + � + � + � + � + �

+ � + � + � + �

Adapun keterangan dari notasi di atas adalah Y = jumlah individu ditemukannya bokkoi, β0 = konstanta, β1-11 = koerfisien regresi, X1 = kerapatan semai, X2 =

kerapatan pancang, X3 = kerapatan tiang, X4 = kerapatan pohon, X5 = kerapatan

pohon pakan, X6 = ketinggian tempat di atas permukaan laut, X7 = kelerengan, X8

(19)

9

Pengujian terhadap variabel penyusun habitat diperlukan untuk mengetahui apakah model sampel yang terbentuk representative terhadap model populasi (Nurjannah 2008). Pengujian dilakukan dengan uji parsial dengan uji t.

Hipotesis:

H0 = 0; atau variabel bebas tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat

H1≠ 0; atau variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel terikat

Jika p-value ≥ 0.05 maka terima H0, namun bila p-value < 0.05 maka terima H1.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Kawasan IUPHHK – HA PT SSS terletak di Kepulauan Mentawai Provinsi Sumatera Barat. Luas wilayah kerja PT SSS adalah 47605 ha meliputi tiga jenis tutupan lahan yaitu hutan primer dengan luas 455 ha atau 0.96%, hutan bekas tebangan 42457 ha (89.19%) dan area tidak berhutan sebesar 4693 ha (9.86%). Jenis kelas lereng yang mendominasi dalam areal kerja adalah kelas lereng agak curam (15 - 25%) dengan ketinggian tempat pada seluruh areal kerja berkisar dari 50 - 340 mdpl. Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt & Ferguson atau Af-Am Koppen, areal PT SSS beriklim basah (tipe A) dengan intensitas hujan 18.24 mm/hh dan curah hujan rata-rata adalah sebesar 386.21 mm/bulan. Berdasarkan peta jenis tanah di PT SSS terdiri dari jenis aluvial, latosol dan podsolik.

Perilaku Bokkoi

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, didapatkan total 19 titik perjumpaan. Hasil tersebut terbagi atas 13 titik ditemukan di lokasi penelitian dan sisanya berada di luar. Aktivitas bokkoi yang berhasil teramati berbeda-beda antara lokasi satu dengan lainnya. Hasil pengamatan jumlah individu dan perilaku bokkoi disajikan pada Tabel 2 dan lokasi perjumpaan bokkoi disajikan pada Gambar 8.

Vegetasi yang dimanfaatkan oleh bokkoi sangat tergantung dengan aktivitas yang dilakukannya. Euphorbiaceae merupakan famili yang penting bagi kehidupan bokkoi karena salah satu jenis dari famili ini yaitu Endospermum malaccense paling disukai bokkoi sebagai pohon tidur (Richter et al. 2013). Selama penelitian tidak dijumpai pohon tidur bokkoi. Meski demikian, ditemukan bokkoi memanfaatkan

Tabel 2 Perjumpaan bokkoi pada masing - masing lokasi

Lokasi FPt FP JI (Ekor) Aktivitas

KB 2 1 10 Lokomosi

LOA 1 10 6 11 Istirahat, Makan, Sosial

LOA 6 10 6 20 Sosial, Lokomosi

(20)

10

jenis Endospermum diadenum untuk istirahat disiang hari. Jenis lainnya yang digunakan untuk istirahat antara lain Shorea sororia, Baccaurea bracteata, dan Polyalthia sumatrana. Jenis-jenis tersebut memiliki tutupan tajuk yang lebar dan lebat dengan percabangan yang hampir sejajar. Hal ini memberikan kenyamanan dan keamanan bagi bokkoi untuk beristirahat. Pemilihan jenis-jenis tertentu sebagai lokasi istirahat merupakan tingkah laku untuk mencari perlindungan (Tanudimadja & Kusumadiharja 1985).

Richter et al. (2013) menyatakan bahwa 80.2% aktivitas lokomosi bokkoi dilakukan di tanah, namun keberadaan pohon juga berperan dalam menunjang aktivitas lokomosi hariannya. Gras (2010) menyatakan bahwa bokkoi secara dominan memanfaatkan bagian percabangan bawah untuk melakukan lokomosi. Bokkoi memanfaatkan jenis Symplocos fasciculata dan Polyalthia sumatrana untuk melakukan aktivitas lokomosinya. Kedua jenis ini memiliki tajuk yang lebar, dan bersambungan dengan tajuk pohon disekitarnya. Lokomosi yang dilakukan bokkoi diatas pohon membutuhkan kontiniuitas tajuk yang ada dilokasi tersebut. Hal ini akan memudahkan dalam melakukan perpindahan dari satu tajuk ke tajuk lainnya. Tingginya variasi aktivitas lokomosi berkaitan erat dengan ketersediaan pakan di suatu lokasi. Whitten (1980) menyatakan bahwa persentase keberadaan pohon buah di Siberut rendah (hanya 5%) bila dibandingkan dengan di Semenanjung Malaya (mencapai 16%) menjadikan bokkoi lebih banyak melakukan lokomosi.

Jenis Hydnocarpus merrillianus digunakan bokkoi untuk melakukan aktivitas sosial. Aktivitas ini dilakukan bersamaan dengan aktivitas makan yang dilakukan pada pohon tersebut. Bokkoi memilih bagian percabangan bawah dalam melakukan aktivitas sosialnya. Hal ini sesuai dengan van Schaik et al. (1989) yang menyatakan bahwa perilaku sosial Macaca berkaitan dengan distribusi pohon pakannya.

(21)

11

Aktivitas sosial bokkoi hanya 5.99% dari aktivitas hariannya (yang terkecil), namun aktivitas ini tergolong stabil jika dibandingkan dengan aktivitas lainnya. Jenis lain yang memiliki aktivitas harian serupa dengan bokkoi ialah kerabat dekatnya yaitu M. nemestrina yakni lokomosi 61% dan sosial 4% (Richter et al. 2013).

Karakteristik Habitat

ditemukannya bokkoi dari sungai; X8 = kelerengan; X9 = LAI. Variabel jarak posisi

ditemukannya bokkoi dari jalan dan tidak dimasukkan dalam perhitungan ini karena tidak memenuhi syarat bebas multikolinieritas. Variabel lain yang juga tidak dimasukan ialah FCD. Hal ini disebabkan oleh adanya awan yang menutupi beberapa lokasi penelitian sehingga tutupan tajuknya pada lokasi tersebut tidak bisa teridentifikasi nilainya. Secara rinci hasil analisis regresi disajikan pada Lampiran 1.

Kerapatan Vegetasi

Di lokasi penelitian ditemukan sebanyak 106 jenis dari 36 famili dengan rincian 97 jenis teridentifiksi dan sisanya tidak. Famili terbanyak yaitu euphorbiaceae sebanyak 20 jenis, dan terdapat 20 famili yang hanya ditemukan 1 jenis. Berdasarkan analisis vegetasi yang telah dilakukan pada ketiga lokasi pengambilan data dan lokasi ditemukannya bokkoi, didapatkan hasil seperti yang disajikan pada Tabel 3.

Variabel kerapatan vegetasi pada tingkat tiang memiliki p = 0.011 dan pohon memiliki p = 0.02 sehingga kedua variabel ini berpengaruh secara nyata terhadap model. Adanya pengaruh yang signifikan bagi jumlah individu bokkoi berkaitan dengan fungsi vegetasi pada tingkat tiang dan pohon sebagai penyedia pakan dan lokasi tidur bokkoi. Hal tersebut ditunjukan oleh jumlah individu terbanyak ditemukan di lokasi LOA 6 dan yang terendah di lokasi kebun benih. Terkait dengan fungsi tiang dan pohon sebagai lokasi tidur bokkoi, ditemukan sebanyak 16 individu dari 4 jenis vegetasi berpotensial sebagai lokasi istirahat bokkoi. Pada LOA 1 ditemukan 6 individu dari 2 jenis vegetasi dan pada lokasi kebun benih tidak ditemukan jenis-jenis yang biasa digunakan bokkoi tidur dan istirahat.

(22)

12

Hubungan positif antara kerapatan tiang dengan jumlah individu bokkoi menandakan bahwa adanya penambahan tiang diduga akan meningkatkan jumlah individu bokkoi. Hal ini disebabkan oleh proporsi vegetasi pakan bokkoi berada pada selang diameter 10 – 20 cm dbh (24.6%) (Richter et al. 2013). Hubungan antara kerapatan pohon dengan jumlah individu bersifat negatif. Hal ini menunjukan bahwa bokkoi tidak membutuhkan kerapatan pohon yang tinggi. Richter et al. (2013) menyatakan bahwa pohon berdiameter besar dengan kerapatan rendah merupakan syarat penting bagi penyusun habitat bokkoi. Keberadaan pohon berfungsi sebagai penyedia pakan dan pohon tidur. Kelas diameter yang dominan digunakan bokkoi berada pada selang 41-90 cm dbh. Penggunaan pohon dengan diameter pada selang kelas diameter tersebut diduga berkaitan dengan masa produktif pohon terutama dalam menyediakan buah bagi pakan bokkoi. Richter et al. (2013) menyatakan bahwa keberadaaan pohon pakan merupakan komponen kunci yang penting untuk keberlangsungan hidup bokkoi.

Bokkoi merupakan satwaliar yang tergolong frugivora, karena 75.7% dari pakannya adalah buah. Sebanyak 72.8% dari buah yang dikonsumsi ialah buah matang matang, 20.2% buah setengah matang, 4.3% buah mentah, sisanya tidak diketahui tingkat kematangannya. Selain buah, pakan lain yang dikonsumsi ialah 11.9 % arthropoda (terutama semut, rayap dan laba-laba), 4.5% jamur, 4.4% daun, 2.6% empulur, 0.6% getah, 0.2% tunas dan 0.2% bunga. Tidak seperti jenis macaca lainnya, bokkoi tidak pernah terdekteksi memangsa telur, burung, bajing, ataupun mamalia kecil lainnya (Richter et al. 2013). Di lokasi penelitian ditemukan sebanyak sebelas jenis tumbuhan pakan bokkoi. Jenis-jenis pakan bokkoi yang ditemukan disajikan pada Tabel 4. Dari kesebelas jenis tersebut, hanya jenis Hydnocarpus merrillianus yang ditemukan secara langsung dikonsumsi oleh bokkoi. Jenis Artocarpus rigidus dan Harpullia arborea teridentifikasi sebagai pakan bokkoi melalui perjumpaan sisa-sisa jenis tersebut di lantai hutan.

Tabel 4 Daftar jenis pakan bokkoi

No Nama lokal Nama ilmiah Famili Bagian yang dimakan 1 Kabid / kabid

raba

Artocarpus rigidus Moraceae Buah 2 Kalabatti Nephelium elasticus Sapindaceae Getah 3 Kalapupuk Dillenia excelsa Dilleniaceae Biji, bunga 4 Malei Ardisia lanceolata Myrsinaceae Buah 5 Peiki /

pepetnoit

Artocarpus integer Moraceae Biji, getah 6 Posa Baccaurea bracteata Euphorbiaceae Buah 7 Renggeu Palaquium obovatum Sapotaceae Getah 8 Sibeu muntei Syzygium grandis Myrtaceae Buah 9 Sinailup Harpullia arborea Sapindaceae Buah 10 Tetepana Hydnocarpus

merrillianus

Flacourtiaceae Daun muda, buah

11 Tumu Campnosperma

macrophylla

(23)

13

Gras (2010) menyatakan bahwa terdapat 36 spesies pakan, dan jenis tersebut dimakan berdasarkan variasi musim. Hal ini dikarenakan waktu berbuah dari masing-masing jenis berbeda. Beberapa jenis yang tergolong sering dikonsumsi dibanyak bulan antara lain siputojet, tumu (Campnosperma macrophylla) dan nampeu. Selain penggantian jenis buah, bokkoi juga akan mengganti pakannya dengan jenis pakan yang lain untuk mempertahankan hidupnya. Richter et al. (2013) menyatakan bahwa ketika terjadi penurunan proporsi konsumsi buah, secara bersamaan terjadi peningkatan yang signifikan proporsi konsumsi antrhopoda, sari dan daun.

Ketinggian

Kondisi kawasan PT SSS bervariasi dari datar, berawa-rawa, berbukit, hingga berlereng curam dengan puncak tertinggi 384 mdpl (ICS 2012). Berdasarkan hasil analisis, lokasi penelitian memiliki ketinggian 0 – 368 mdpl dan dikategorikan sebagai tipe hutan hujan tropis dataran rendah (Hadi et al. 2009). Klasifikasi nilai ketinggian lokasi penelitian disajikan pada Gambar 9. Bokkoi dominan ditemukan pada kelas 3 (100 – 150 mdpl) dan yang terendah pada kelas > 200 mdpl. Pada kelas tersebut pengamat tidak pernah menjumpai keberadaan bokkoi. Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas ketinggian tempat disajikan pada Tabel 5.

Bokkoi dominan ditemukan pada kelas 3 (100 – 150 mdpl) dan yang terendah pada kelas > 200 mdpl. Pada kelas tersebut pengamat tidak pernah menjumpai keberadaan bokkoi. Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas ketinggian tempat disajikan pada Tabel 5.

(24)

14

Variabel ketinggian memiliki pengaruh yang tidak signifikan (p = 0.062) terhadap jumlah individu bokkoi. Kondisi pada ketinggian 100 – 150 mdpl cenderung didominasi dengan kerapatan tiang yang tinggi, kerapatan pohon yang rendah serta kelerengan yang datar ataupun landai. Hal tersebut yang menjadikan bokkoi lebih banyak ditemukan pada kelas ketinggian 100 – 150 mdpl.

Bokkoi menyebar di Pulau Siberut mulai dari hutan rawa gambut hingga hutan hujan tropis dataran rendah (Quinten et al. 2009; Richter et al. 2013; Gras 2010). Beberapa jenis lain dari genus Macaca juga memiliki persebaran yang luas, seperti Macaca fascicularis 0-2000 mdpl (Supartono 2001), Macaca nigra 0-1351 mdpl (Indrawati 2010). Berdasarkan penelitian Quinten et al. (2009) di bagian utara Hutan Paleonan, menyatakan bahwa kepadatan bokkoi di hutan rawa gambut lebih besar dibandingkan di hutan tropis dataran rendah. Lebih lanjut Quinten et al. (2009) menyatakan meskipun keanekaragaman vegetasi di hutan tropis dataran rendah lebih tinggi daripada hutan rawa gambut, namun hutan rawa gambut dapat menjamin keberlangsungan ketersediaan buah sebagai pakan bokkoi.

Kelerengan

Kondisi kawasan PT SSS bervariasi dari datar, berawarawa, berbukit, hingga berlereng curam. Wilayah perbukitan terdapat di bagian barat dengan kelerengan bervariasi antara 40 - 75 % (ICS 2012). Pembagian kelas lereng pada lokasi penelitian disajikan pada Gambar 10. Bokkoi lebih banyak ditemukan pada lokasi yang berkategori agak curam (15 – 25%). Perjumpaan terendah berada lokasi yang tergolong datar (0 - 8%). Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas kelerengan disajikan pada Tabel 6 dan Gambar 10.

Tabel 5 Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas ketinggian Kelas (mdpl) FP JI (ekor) Lokasi perjumpaan

KB LOA 1 LOA 5

Keterangan: FP = Frekuensi Perjumpaan, JI = Jumlah Individu, LOA = Logged Over Area, KB = Kebun benih.

Tabel 6 Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas kelerengan Kelas (%) Kategori FP JI (ekor) Lokasi perjumpaan

(25)

15

Variabel kelerengan memiliki pengaruh yang nyata dengan nilai p = 0.009. Hubungan negatif antara kelerengan dengan jumlah individu bokkoi menunjukan bahwa jumlah individu bokkoi akan cenderung bertambah seiring dengan penuruan kelerengan di suatu lokasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa jumlah individu bokkoi cenderung banyak ditemukan pada kelas kelerengan landai dan datar. Aktivitas yang dilakukan pada kelas tersebut adalah lokomosi, makan dan sosial. Bokkoi memilih kelas tersebut karena dominan melakukan lokomosi di tanah. Hal ini dilakukan untuk mengurangi resiko jatuh dari pohon. Selain itu, energi yang dikeluarkan lebih sedikit bila dibandingkan dengan memanjat pohon dan lokomosi dari pohon satu ke pohon lainnya. Pola yang sama juga ditunjukan pada spesies frugivor lainnya yaitu M. nemestrina (Declue 1992; Simonds 1987). Lokasi dengan kategori datar umumnya memiliki kondisi yang terbuka.

Aktivitas yang dilakukan bokkoi pada kelerengan agak curam yaitu sosial dan istirahat. Pada lokasi tersebut, kondisi dan kerapatan vegetasi tegolong baik. Rasa aman dari predator diduga menjadi alasan bokkoi memilih lokasi tersebut. Matsuda et al. (2011) menyatakan bahwa secara umum satwaliar memilih suatu habitat optimal yang mampu menyediakan pakan dan aman dari predator. Spilornis cheela sipora dan Phython reticulatus merupakan predator bokkoi di Pulau Siberut.

Jarak Perjumpaan Bokkoi dari Sungai

Klasifikasi jarak posisi ditemukannya bokkoi dari sungai disajikan pada Gambar 11. Bokkoi ditemukan di semua kelas klasifikasi dengan jumlah individu yang ditemukan hampir sama. Jumlah individu terbanyak ditemukan pada kelas 100 – 200 m, dan terendah pada kelas > 400. Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas jarak dari sungai disajikan pada Tabel 7.

(26)

16

Variabel jarak perjumpaan bokkoi dari sungai memiliki pengaruh yang tidak signifikan (p = 0.779). Hal ini dibuktikan dari frekuensi perjumpaan yang hampir sama di masing-masing kelas jarak. Aktivitas minum tidak pernah terdeteksi ketika pengamatan berlangsung. Bokkoi yang tergolong frugivora menyebabkan sebagian besar kebutuhan bokkoi akan air dipenuhi dari buah yang mereka konsumsi. Adanya tadahan air hujan pada banir pohon ataupun daun menjadi sumber pemenuhan air lainya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rodman (1978) bahwa penyebaran primata frugivora akan lebih jauh dari tepi sungai. Tidak seperti bekantan yang lebih menyukai habitat tepi sungai (Bismark 2009).

Jarak Perjumpaan Bokkoi dari Jalan

Adanya jalan baik jalan utama maupun jalan cabang pada dasarnya dibuat untuk memudahkan dalam pengangkutan log, namun secara tidak langsung hal

Tabel 7 Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas jarak dari sungai Kelas (m) FP JI (ekor) Lokasi perjumpaan

KB LOA 1 LOA 5

0 – 100 2 4 – √ √

100 – 200 3 15 √ √ √

200 – 300 3 11 – √ √

300 – 400 3 9 – √ √

> 400 2 2 – – √

Keterangan: FP = Frekuensi Perjumpaan, JI = Jumlah Individu, LOA = Logged Over Area, KB = Kebun benih.

(27)

17

tersebut menjadikan kawasan terpisah (terfragmen). Lebar jalan utama ± 5 m dan lebar jalan cabang ± 2 – 3 m. Variabel ini tidak dimasukkan dalam pengolahan model regresi karena asumsi multikolinieritas tidak dipenuhi pada variabel ini. Klasifikasi jarak posisi ditemukannya bokkoi dari jalan disajikan pada Gambar 13. Perjumpaan bokkoi dominan ditemukan pada kelas klasifikasi 0 – 100 m dan terendah pada kelas klasifikasi 300 – 400 m. Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas jarak dari jalan disajikan pada Tabel 8 dan Gambar 12.

Bokkoi melakukan aktivitas sosial, istirahat dan lokomosi pada selang kelas 0 – 100 m. Aktivitas sosial dilakukan bokkoi di tanah (Gambar 13) dan pohon, sedangkan aktivitas istirahat dilakukan di atas pohon. Jenis yang digunakan untuk beristirahat ialah Shorea sororia, Polyalthia sumatrana (tiang). Aktivitas sosial yang ditemukan terjadi di dekat jalan utama yang aktif dilalui oleh karyawan dan pengangkutan log. Hal tersebut diduga disebabkan karena sifat bokkoi yang lebih toleran bila dibandingkan dengan tiga primata siberut lainnya. Meskipun aktivitas

Tabel 8 Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas jarak dari jalan Kelas (m) FP JI (ekor) Lokasi perjumpaan

KB LOA 1 LOA 6

0 – 100 7 29 – √ √

100 – 200 2 3 √ √ √

200 – 300 3 8 – √ √

300 – 400 0 0 – √ √

> 400 1 1 – – √

Keterangan: FP = Frekuensi Perjumpaan, JI = Jumlah Individu, LOA = Logged Over Area, KB = Kebun benih.

(28)

18

sosial bokkoi masih ditemukan di dekat jalan utama, namun untuk aktivitas istirahat, bokkoi memilih pohon di LOA 1 (TP 9 dan 10) karena lokasi tersebut memiliki kondisi kelerengan yang agak curam dan jarang dilalui oleh manusia.

LAI (Leaf Area Index)

Pembuatan peta LAI melalui analisis regresi LAI dengan NDVI mendapatkan persamaaan LAI = 1.72 + 2.95 NDVI dengan nilai determinan (R2) sebesar 34%. Nilai ini memiliki arti bahwa model yang terbentuk dari pendugaan LAI ini memiliki peluang data terwakili sebesar 34%. Hasil yang diperoleh ini masih tergolong lebih baik bila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Djumhaer (2003) yang hanya memperoleh nilai 8.22%. Hasil berbeda justru ditunjukan oleh Turner et al. (1999) yang menyatakan bahwa faktor NDVI memiliki pengaruh yang cukup nyata terhadap pendugaan LAI.

Kurangnya pengaruh atau hubungan antara faktor indeks vegetasi dalam hal ini NDVI dengan nilai LAI setidaknya dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, disebabkan oleh adanya variasi bukaan kanopi disuatu lokasi. Azhima (2001) menyatakan bahwa adanya variasi bukaan kanopi yang cukup besar pada jarak 2 – 10 m sebagai akibat dari adanya variasi struktur, orientasi dan bentuk kanopi. Selain itu nilai NDVI yang digunakan untuk membuat model diolah dari citra Landsat 8 yang memiliki resolusi spasial 30 m. Kedua, faktor awan yang menyelimuti area pengambilan data. Zein (2009) menyatakan bahwa salah satu gangguan yang sangat mempengaruhi nilai NDVI ialah adanya awan yang mempengaruhi pantulan radiasi panjang gelombang inframerah dekat yang diterima oleh optik satelit. Radiasi panjang gelombang inframerah dekat yang di pantulkan oleh vegetasi yang berada di bawah naungan awan akan terhalang oleh adanya keberadaan awan tersebut. Selain itu keberadaan awan juga akan lebih banyak memantulkan energi pada panjang gelombang cahaya tampak dibandingkan pada inframerah dekat. Hal ini akan mengakibatkan nilai NDVI pada lokasi yang tertutup awan cenderung bernilai kecil atau tak jarang bernilai negatif.

Nilai LAI pada area penelitian berkisar antara 1.72 – 3.61. Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas LAI disajikan pada Tabel 9 dan Gambar 14. Jumlah perjumpaan terbanyak berada pada selang kelas 2.3 – 3.6. Secara rinci disajikan pada Tabel 9. Lokasi penelitian didominasi oleh hutan kerapatan tinggi seluas 69463 ha, sementara 15502 ha sisanya teridentifikasi sebagai hutan kerapatan

(29)

19

sedang. Variabel LAI memiliki pengaruh yang tidak signifikan karena nilai p-nya = 0.334. Dominannya perjumpaan bokkoi pada lokasi dengan kategori kerapatan tinggi mengindikasikan peran pohon dalam menunjang berbagai aktivitas bokkoi. Aktivitas yang tercatat pada hutan kerapatan tinggi antara lain, lokomosi, sosial, makan dan istirahat. Gras (2010) menyatakan bahwa bagian kanopi lebih banyak dimanfaatkan bokkoi untuk aktifitas makan 34%, istirahat 27%, aktifitas sosial 10%, dan sisanya untuk lokomosi serta aktifitas lainnya.

FCD (Forest Canopy Density)

Lokasi penelitian di dominasi oleh hutan dengan kategori kerapatan tinggi seluas 21210 ha dan kerapatan sangat tinggi sebesar 16710 ha. Hasil yang didapat dari pengolahan FCD ini sedikit berbeda dengan hasil yang didapat dari penghitungan nilai LAI. Namun bila dibandingkan dengan kondisi aktual di lapang, hasil pengolahan FCD inilah yang mendekati kondisi sebenarnya. Rikimaru (1996) menyatakan bahwa metode ini dapat menghasilkan penilaian yang akurat tentang

Tabel 9 Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas LAI

Kelas Kategori FP JI (ekor) Lokasi perjumpaan KB LOA 1 LOA 6

1.7 – 2.3 Kerapatan sedang 1 4 – – √

2.3 – 3.6 Kerapatan tinggi 12 37 √ √ √

> 3.6 Kerapatan sangat

tinggi 0 0 – – –

Keterangan: FP = Frekuensi Perjumpaan, JI = Jumlah Individu, LOA = Logged Over Area, KB = Kebun benih.

(30)

20

kondisi yang sebenarnya. Pengintegrasian nilai VI dan SI akan dapat membedakan dengan jelas antara vegetasi di kanopi dan vegetasi di tanah. Nilai yang dihasilkan dari penggunaan metode menunjukan lokasi penelitian tergolong memiliki kerapatan tinggi. Hal ini merupakan indikator terlaksananya konsep RIL (Reduced Impact Logging) di kawasan PT SSS. Adanya batasan jumlah tebangan pada masing-masing petak menjadikan kondisi kawasan tergolong baik dengan kerapatan vegetasi yang tinggi. Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas FCD disajikan pada Tabel 10 dan Gambar 15.

Bokkoi ditemukan di empat dari sembilan kelas kerapatan tajuk yang telah dibuat (Gambar 15), dengan perjumpaan terbanyak pada kelas 51 – 60%. Kelas no

Tabel 10 Perjumpaan bokkoi berdasarkan kelas FCD Kelas FCD (%) FP JI (ekor) Lokasi perjumpaan

KB LOA 1 LOA 5

No Data 4 17 √ √ √

21 – 30 0 0 – – –

31 – 40 0 0 – – –

41 – 50 2 5 – √ √

51 – 60 5 16 – √ √

61 – 70 1 1 – – √

71 – 80 0 0 – – –

81 – 90 1 2 – √ –

91 – 100 0 0 – – –

Keterangan: FP = Frekuensi Perjumpaan, JI = Jumlah Individu, LOA = Logged Over Area, KB = Kebun benih.

(31)

21

data merupakan lokasi-lokasi yang tertutup oleh awan sehingga nilai kerapatan tajuk di lokasi teridentifikasi sebagai 0, yang bila dibandingkan dengan kondisi aktualnya tidak sesuai. Jumlah perjumpaan terkecil ialah pada selang kelas 61 – 70% dan 81 – 90%. Aktivitas yang dilakukan bokkoi pada selang kelas tersebut secara berturut-turut ialah istirahat dan lokomosi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pemilihan jenis-jenis atau lokasi tertentu (kelas 61 – 70%) sebagai lokasi istirahat merupakan tingkah laku untuk mencari perlindungan. Bokkoi melakukan aktivitas lokomosi pada lokasi dengan kerapatan kanopi 81 – 90%. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan bokkkoi akan kontinuitas tajuk dalam melakukan lokomosinya.

Implikasi Pengelolaan

Kawasan PT SSS berperan penting dalam konservasi bokkoi diluar kawasan konservasi. Rencana pengelolaan yang baik dan terarah dibutuhkan agar program konservasi bokkoi dapat berjalan. Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya bahwa terdapat tiga variabel yang berpengaruh signifikan terhadap keberadaan dan jumlah individu bokkoi di suatu lokasi yaitu kerapatan vegetasi pada tingkat tiang, pohon dan kelerengan. Berdasarkan ketiga variabel tersebut, maka lokasi yang dapat digunakan sebagai areal pengelolaan bokkoi disajikan pada Gambar 16. Penentuan area pengelolaan tersebut didasarkan atas irisan dari polygon penggunaan dominan pada ketiga variabel. Meskipun berdasarkan hasil analisis regresi kerapatan pohon pakan tidak tergolong berpengaruh signifikan, namun pakan merupakan kebutuhan penting bagi mahluk hidup, termasuk bokkoi. Pengayaan jenis pohon pakan (Tabel 4) serta pengaturan waktu tanam dapat dilakukan guna menjamin ketersediaan pakan bokkoi sepanjang tahun. Selain itu beberapa jenis pohon yang digunakan bokkoi untuk istirahat seperti Endospermum diadenum, Shorea sororia, Baccaurea deflexa, dan Pternandra cordata juga dapat ditanam diareal pengelolaan bokkoi.

(32)

22

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Komponen penyusun habitat bokkoi yang mempengaruhi keberadaan dan jumlah individu bokkoi yaitu kelerengan (fisik) dan kerapatan vegetasi pada tingkat tiang dan pohon (biotik). Aktivitas lokomosi dilakukan ditanah dengan kelerengan yang datar, sedangkan lokomosi yang dilakukan di pohon, bokkoi membutuhkan kontinuitas tajuk. Lokasi yang memiliki tingkat kerapatan tiang dan pohon yang cukup tinggi, gangguan yang rendah serta kelerengan yang agak curam, dimanfaatkan bokkoi untuk aktivitas istirahat. Aktivitas makan akan sangat bergantung pada keberadaan vegetasi pakan baik pada tingkat tiang ataupun pohon. Aktivitas sosial yang dilakukan bokkoi membutuhkan kerapatan tiang yang tinggi, kerapatan pohon yang rendah serta kelerengan yang tergolong landai hingga curam.

Saran

Jenis-jenis yang tergolong vegetasi pakan ataupun yang digunakan untuk istirahat harus dipertahankan. Pengayaan jenis pakan serta pengaturan waktu tanam dapat dilakukan guna menjamin ketersediaan pakan bokkoi sepanjang tahun. Selain itu, perlu ditanami jenis-jenis pohon yang potensial digunakan oleh bokkoi untuk beristirahat yaitu Endospermum diadenum, Shorea sororia, Baccaurea deflexa, dan Pternandra cordata.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson SH, Gutzwiller JA. 1994. Habitat evaluation methods in Research And Management Techniques For Wildlife And Habitats : 254 - 271. Bethesda (US): The Wildlife Society

Declue AP.1992. Macaques: an adaptive array [disertasi]. Michigan (US): UMI Dissertation Services

Azhima F. 2001. Distribusi cahaya di hutan karet Muara Kuamang Jambi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Bismark M. 2009. Biologi Konservasi Bekantan (Nasalis larvatus). Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.

Djumhaer M. 2003. Pendugaan leaf area index dan luas bidang dasar tegakan menggunakan Landsat 7 ETM+ (studi kasus di Kabupaten Propinsi Jambi) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Gras P. 2010. Aspects of feeding competition in wild Siberut Macaques (Macaca siberu) [thesis]. Göttingen (DE): Georg-August University Göttingen.

(33)

23

Hall LS, Krausman PR, Morrison ML. 1997. The habitat concept and a plea for standard terminology. Wildlife Society Bulletin 25:173–182

Herrmann I, Pimstein A, Karnieli A, Cohen Y, Alchanatis V, Bonfil DJ. 2010. Assessment of leaf area indexby the red-edge inflection point derived from

venμs bands. Hyperspectral 2010 Workshop.

[ICS] IDEAS Consultancy Services. 2012. Laporan identifikasi kawasan hutan bernilai konservasi PT. Salaki Summa Sejahtera Kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatera Barat.

Indrawati YM. 2010. Permodelan spasial habitat monyet hitam sulawesi (Macaca nigra Desmarest, 1882) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor [IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2014. IUCN red list of

threatened species, Version 2014.2. www.iucnredlist.org

Johnson MD. 2007. Measuring habitat quality: A review The Cooper Ornithological Society 109:489–504.

Nugroho S. 2012. Metode deteksi degradasi hutan menggunakan citra satelit landsat di hutan lahan kering Taman Nasional Gunung Halimun Salak [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Nurjannah. 2008. Modul pelatihan SPSS. Melbourne (AU): MIIS.

Quinten MC, Waltert M, Syamsuri F, Hodges JK. 2009. Peat swamp forest supports high primate densities on Siberut Island, Sumatra, Indonesia. Fauna & Flora International 44(1): 147-151

Rich PM, Wood J, Vieglais DA, Burek K, Webb N. 1998. Hemiview user manual. Cambridge (UK): Delta-T Devices Ltd

Richter C, Taufiq A, Hodges K, Ostner J, Schulke O. 2013. Ecology of an endemic primate species (Macaca siberu) on Siberut Island, Indonesia. SpringerPlus 2:137

Rikimaru A. 1996. LANDSAT TM Data processing guide for forest canopy density mapping and monitoring model:1-8. Bangkok (TH): ITTO.

Rikimaru A, Roy PS, Miyatake S. 2002. Tropical forest cover density mapping. Tropical Ecology 43(1): 39-47

Rodman PS. 1978. Diets, densities and distribution of bornean primates, halaman: 465-478. In: The Ecology of Arboreal Folivore (G.G. Montgomery, ed.). Washington DC (US): Smithsonian Institution Press.

Simonds P. 1987. An ecological and behavioural study of the pig-tailed macaque. American Journal of Physical Antropology 72:132-133

Supartono T. 2001. Studi habitat dan populasi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis Raffles, 1821) di kawasan lindung PT. Riau Andalan Pulp and Paper [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Tanudimadja K, Kusumadihardja S. 1985. Perilaku hewan ternak. Fakultas Kedokteran Hewan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Tapia L, Kennedy PL, Mannan RW. 2010. Raptor research and management techniques in Habitat Sampling 9:153–169. United States (US): Hancock House Publishers.

(34)

24

van Schaik CP, Netto WJ, Van Amerongen AJJ, Westland H. 1989. Social rank and sex ratio of captive long-tailed macaque females (Macaca fascicularis). American Journal of Primatology 19:147-162.

Welles JM. 1990. Some indirect methods of estimating canopy structure, Remote Sens. Rev. 5:31-43.

Whittaker D. 2006. A conservation action play for the Mentawai primates. Primate Conservation 20:95-105.

Whitten AJ. 1980. The kloss gibbon in Siberut rain forest [Tesis]. Cambridge (UK): University of Cambridge

(35)

25

LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil analisis regresi jumlah individu dengan faktor fisik dan biotik penyusun habitat bokkoi

Variabel B Beta t sig Tolerance VIF

(Constant) -0.899 - -1.304 0.283 - -

X1 -1.408E-05 -0.241 -1.452 0.242 0.433 2.31

X2 0.017 0.013 0.097 0.929 0.611 1.636

X3 0.937 0.989 5.662 0.011 0.39 2.567

X4 -0.007 -1.186 -4.572 0.02 0.177 5.663

X5 0.007 0.273 1.67 0.193 0.443 2.256

X6 0.004 0.396 2.904 0.062 0.638 1.568

X7 -0.003 -0.045 -0.307 0.779 0.55 1.817

X8 -0.044 -0.892 -6.078 0.009 0.552 1.811

X9 0.155 0.169 1.148 0.334 0.55 1.819

R-square 0.964

R-square adj. 0.857

Durbin-Watson 2.966

Asymp. Sig. (2-tailed) Uji F 0.048

(36)

26

Lampiran 2 Daftar jenis vegetasi pada lokasi penelitian

No Family Nama Ilmiah Nama Lokal

1 Actinidiaceae Saurauia bracteosa Dc. Sembuy 2 Alangiaceae Alangium javanicum Wang. Boiko

3 Anacardiaceae Mangifera indica Sibulung Lakau

4 Anacardiaceae Campnosperma macrophylla Hook.f.

Tumu 5 Annonaceae Sageraea lanceolata Merr Kurutna 6 Annonaceae Polyalthia hypoleuca

Hook.f.et.Th.

Leset

7 Annonaceae Uvaria rufa Blume Pokaligae

8 Annonaceae Polyalthia sumatrana King Pokatulu

9 Asteraceae Vernonia arborea Ham. Pondik

10 Bombacaceae Durio malaccensis Planch. Pokatoktung 11 Burseraceae Santiria oblongifolia Blume Sibadakdak 12 Celastraceae Kokoona littoralis Laws. Katongairi 13 Centroplacaceae Bhesa paniculata Arn. Katatareng 14 Clusiaceae Garcinia mangostana L. Lakkomak 15 Clusiaceae Garcinia lateriflora Blume Sipuai Lopak 16 Dilleniaceae Dillenia excelsa Gilg. Kalapupuk 17 Dipterocarpaceae Baccaurea parviflora Mull.Arg. Alosit

18 Dipterocarpaceae Shorea ovalis Blume Karai/ Meranti Putih

19 Dipterocarpaceae Shorea pauciflora King Katuka 20 Dipterocarpaceae Dipterocarpus elongatus Korth. Keruing 21 Dipterocarpaceae Shorea sororia V.SI. Mancemen 22 Dipterocarpaceae Shorea johorensis Foxw. Meranti

23 Dipterocarpaceae Vatica sp. Ungla

24 Ebenaceae Diospyros densa Bakh Letaik

25 Euphorbiaceae Mallotus subpeltatus Muell Arg. Gut-Gut 26 Euphorbiaceae Endospermum diadenum A. Shaw Kalibangbang 27 Euphorbiaceae Aporusa prainiana King Kumbuk

28 Euphorbiaceae Aporusa sp. Lapoleinung

29 Euphorbiaceae Macaranga sp. Patuanggai

30 Euphorbiaceae Macaranga diepenhorstii Muell. Arg

Patumanggai

31 Euphorbiaceae Cleistanthus sp. Potsaiguan

32 Euphorbiaceae Croton oblongus Blume Putti 33 Euphorbiaceae Cleistanthus sp. Siputititet 34 Euphorbiaceae Aporosa grandistipula Merr. Taibelek Silala 35 Euphorbiaceae Blumeodendron kurzii (Hk.f.)

J.J.Sm

(37)

27

Lampiran 2 Daftar jenis vegetasi pada lokasi penelitian (lanjutan)

No Family Nama Ilmiah Nama Lokal

36 Euphorbiaceae Mallotus peltatus (Geisel) Muell. Arg.

Tenglei 37 Euphorbiaceae Drypetes macrophylla Blume Tepe/Teipe

38 Euphorbiaceae Aporusa sp. Giling

39 Euphorbiaceae Baccaurea bracteata Muell. Arg. Posa 40 Euphorbiaceae Glochidion philippinensis Robins Rimbu 41 Euphorbiaceae Cleistanthus myrianthus Kurz. Sibeulatcik 42 Euphorbiaceae Baccaurea sumatrana Miq. M.A. Sileu 43 Euphorbiaceae Antidesma stipulare Blume Talinga 44 Euphorbiaceae Trigonopleura malayana Hook.f. Teppek 45 Fabaceae Archidendron jiringa Wilson Magri 46 Fabaceae Millettia atropurpurea B.et.H. Pasese 47 Fabaceae Paraserienthes falcataria Sengon 48 Flacourtiaceae Hydnocarpus merrillianus Sleum. Tetepana

49 Flacourtiaceae Ryparosa javanica Kurz. Sibeu Langgurek

50 Lamiaceae Gmelina arborea Gmelina

51 Lauraceae Cryptocarya sp. Katsli

52 Lauraceae Litsea artocarfifolia Gamble Kubeu 53 Lauraceae Beilschmiedia kunstlerii Gamble Polenggu 54 Lauraceae Litsea brachystachya Boerl. Pulaga 55 Lauraceae Cryptocarya ferrea Blume Sibeu Lakau 56 Lauraceae Litsea noronhae Blume Sibuluk Boiko /

Sikepkepi

57 Leaceae Leea indica Merr. Sibububun / Sibocboc 58 Lecythidaceae Barringtonia rubra Blume Sibuluk Loh/ Loh 59 Melastomataceae Memecylon costatum Miq. Lalambin Bebegen 60 Meliaceae Aglaia argentea Blume Bukah

61 Meliaceae Dysoxylum alliaceum Blume Sibulung Bekew 62 Meliaceae Aphanamixis grandifolia Blume Sipotiten

63 Meliaceae Aglaia tomentosa T.et.B. Sibulung Babaen

64 Moraceae Ficus lepicarpa Blume Aanggai

65 Moraceae Ficus variegata Blume Dhedhebu

66 Moraceae Artocarpus rigidus Reinw. Kabid 67 Moraceae Ficus fistulosa Reinw. Kalumangga 68 Moraceae Artocarpus integer (Thumb).

Merr.

(38)

28

Lampiran 2 Daftar jenis vegetasi pada lokasi penelitian (lanjutan)

No Family Nama Ilmiah Nama Lokal

73 Myristicaceae Horsfieldia irya (Gaertn.) Warb. Logauna 74 Myristicaceae Horsfieldia wallichii Warb. Roan 75 Myrsinaceae Ardisia lanceolata Roxburgh Malei

76 Myrsinaceae Ardisia attenuata Miq. Matananggem

77 Myrtaceae Sizygium sp. Ailoppatleleu

78 Myrtaceae Syzygium grandis L.f. Sibeu Muntei 79 Myrtaceae Syzygium glomerata K.et.V Sibeu Sinaka

80 Myrtaceae Syzygium sp. Sipeupeu

81 Rubiaceae Hypobathrum microcarpum Blume

Kalabin Bebegen 82 Rubiaceae Canthium glabrum Blume Karegit

Lembai/Karigi 83 Rubiaceae Gardenia tubifera Wall. Tepu-Tepu 84 Rubiaceae Plectronia didyma Kurz. Kalumantei 85 Rutaceae Melicope latifolia Dc. Palicceu 86 Sapindaceae Harpullia arborea (Blanco)

Radlk.

Sinailup 87 Sapindaceae Nephelium elasticus Kalabatti 88 Sapotaceae Pouteria firma Bachni Menegan 89 Sapotaceae Palaquium obovatum Engl. Renggeu 90 Sapotaceae Pouteria duclitan (Blanco) Baehni Ture

91 Saxifragaceae Polyosma sp. Sipotelengguak

92 Simaroubaceae Eurycoma longifolia Jack. Pasak Bumi 93 Sterculiaceae Sterculia rubiginosa Vent. Lakun

Bileu/Karai Bilew 94 Symplocaceae Symplocos fasciculata Zoll. Leba

95 Tetramelaceae Octomeles sumatrana Miq. Lotlot 96 Theaceae Eurya acuminata DC. Siporingin

(39)

29

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 12 Juli 1991 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Rohadi Santoso, SE dan Ibu Marmiati. Pendidikan formal yang ditempuh penulis yaitu Pendidikan TK An - Nur lulus tahun 1997, SDN 4 Ciputat 2003, SMPN 4 Ciputat lulus tahun 2006, SMAN 2 Ciputat lulus tahun 2009 dan pada tahun 2009 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan, Himpunan Profesi Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) hingga sekarang. Penulis pernah menjadi Ketua Kelompok Pemerhati Mamalia (KPM Tarsius) HIMAKOVA periode 2011-2012. Prestasi yang penulis dapatkan dalam masa studi diantaranya Program Kreativitas Mahasiswa-Artikel Ilmiah (PKM-AI) 2012 (2 judul artikel ilimah) dan 2013 (1 judul artikel ilmiah) yang ketiganya didanai oleh Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti). Selain itu penulis pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Ekologi Satwaliar, Inventarisasi dan Pemantauan Tumbuhan dan Inventarisasi dan Pemantauan Satwaliar.

Gambar

Gambar 1.
Tabel  1 Jenis data yang dikumpulkan
Gambar 2 Disain petak analisis vegetasi
Gambar 6 Diagram alir pembuatan peta LAI
+7

Referensi

Dokumen terkait

NOVIA IKA SETYANI, D1210054, Penggunaan Media Sosial sebagai Sarana Komunikasi bagi Komunitas (Studi Deskriptif Kualitatif Penggunaan Media Sosial Twitter, Facebook, dan Blog

Implementasi kebijakan pelayanan e-Ktp di Kecamatan Singkil Kota Manado pada umumnya sudah efektif dilihat dari empat aspek penting dari proses implementasi kebijakan

Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini: (1) Dalam penyusunan anggaran harus menyiapkan rencana kegiatan, kemudian mengalokasikan anggaran untuk setiap

Walaupun hanya menjadi salah satu bagian proses resolusi kon fl ik, tanpa adanya komunikasi yang efektif, kata damai akan semakin sulit dicapai (Nicholson, 1991). Upaya FKUB

Pada era modern, khususnya Indonesia, Islamic Center berubah menjadi sebuah komplek yang di dalamnya terdapat masjid sebagai bangunan utama dan bangunan-bangunan

langsung memberikan data utama mengenai pendekatan semantik kontekstual berdasarkan para linguis Barat dan Timur, sedangkan sumber data skundernya adalah karya tulis ilmiah

Sapta pesona adalah unsur yang penting dalam mengembangkan suatu