• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analysis of Economic Equity in Regional Development Perspective on Virginia Tobacco Agribusiness in Lombok Island

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analysis of Economic Equity in Regional Development Perspective on Virginia Tobacco Agribusiness in Lombok Island"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KEADILAN EKONOMI DALAM PERSPEKTIF

PEMBANGUNAN WILAYAH PADA AGRIBISNIS

TEMBAKAU VIRGINIA DI PULAU LOMBOK

MUHAMMAD NURJIHADI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Keadilan Ekonomi dalam Perspektif Pembangunan Wilayah pada Agribisnis Tembakau Virginia di Pulau Lombok adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

MUHAMMAD NURJIHADI. Analisis Keadilan Ekonomi dalam Perspektif Pembangunan Wilayah pada Agribisnis Tembakau Virginia di Pulau Lombok. Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN dan DEDDY S. BRATAKUSUMAH.

Sistem ekonomi pasar merupakan sistem ekonomi yang dominan digunakan sebagai strategi pembangunan ekonomi negara maupun wilayah. Rasionalitas pasar dengan pilar kebebasan, individualisme dan persaingan sempurna menjadi acuan utama para perencana kebijakan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Salah satu strategi yang dikembangkan adalah penetapan sektor atau komoditas unggulan yang disesuaikan dengan daya dukung dan kondisi wilayah setempat. Komoditas tembakau virginia merupakan salah satu komoditas unggulan yang dianggap penting untuk membangun perekonomian di wilayah Pulau Lombok.

Tembakau adalah komoditas yang kontroversial. Sebagai bahan baku pembuatan rokok yang berbahaya bagi kesehatan manusia, produksi dan konsumsi tembakau seharusnya dibatasi. Namun besarnya manfaat ekonomi yang diberikan oleh industri pertembakauan membuat komoditas ini tetap dikembangkan sebagai salah satu komoditas unggulan dalam pembangunan ekonomi wilayah, khususnya di Pulau Lombok. Teori Cumulative Causation (CC Theory) menjelaskan bahwa mekanisme pasar yang digerakkan oleh motif laba dapat mendorong berkembangnya pembangunan terpusat di wilayah-wilayah yang memiliki harapan laba tinggi, sementara wilayah-wilayah lain hanya dijadikan sebagai pemasok sumberdaya untuk meraih laba yang tinggi di wilayah pusat itu. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya ketidakadilan ekonomi di mana wilayah maju menjadi semakin maju, sedangkan wilayah terbelakang tetap terbelakang. Pasar juga merupakan pelayan yang rajin bagi orang kaya namun tidak ramah kepada orang miskin. Hal ini dapat menimbulkan ketidakadilan dalam distribusi kesejahteraan. Penelitian ini bermaksud untuk membuktikan apakah proses sebab-akibat kumulatif (cumulative causation) itu terjadi pada sektor ekonomi pertembakauan. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat keadilan ekonomi secara mikro dengan menghitung margin nilai tambah (value added) antara petani dan perusahaan industri tembakau dalam setiap satu hektar pertanaman tembakau. Selain itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis tingkat keadilan ekonomi secara makro (dalam perspektif pembangunan wilayah) dengan menghitung besaran efek sebar (spread effect) dan potensi efek pencucian balik atau penyedotan sumberdaya (backwash effect) pada agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok.

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif dengan teknik survey dan disajikan secara deskriptif. Wilayah penelitian ditetapkan secara purposive yang terdiri dari 10 desa yang tersebar di 8 kecamatan dan 2 kabupaten. Responden berjumlah 100 orang yang ditetapkan dengan teknik simple random sampling di mana setiap desa sampel diwakili oleh 10 orang responden.

(5)

tambah wilayah dari agribisnis tembakau virginia Lombok untuk kemudian dibandingkan dengan total nilai ekonomi tembakau tersebut setelah diproduksi menjadi rokok.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi ketidakadilan ekonomi secara mikro dalam agribisnis tembakau virginia Lombok dalam kaitannya dengan distribusi nilai tambah (value added). Petani dalam penelitian ini dibagi ke dalam lima kategori di mana kategori yang mendapat nilai tambah terbesar dari usahataninya adalah kategori petani pengomprong bermitra. Petani yang memperoleh nilai tambah terbesar itu hanya mampu mendapatkan nilai tambah sebesar Rp 3.975.379,- per hektar per musim tanam dengan nilai R/C ratio sebesar 1,08. Pelaku ekonomi lainnya dalam agribisnis tembakau virginia ini, yakni perusahaan industri rokok bisa mendapatkan keuntungan atau nilai tambah sebesar Rp 212.520.000,- per satu hektar pertanaman tembakau setiap musim tanam. Margin nilai tambah antara petani dan perusahaan itu mencapai Rp 208.544.621,-. Hal ini berarti, petani dengan kategori yang berhasil mendapat keuntungan terbesar itu hanya mampu mendapatkan 1,87% dari total pendapatan perusahaan untuk setiap satu hektar pertanaman tembakau virginia Lombok per musim tanam. Secara makro hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi ketidakadilan ekonomi dalam konteks interaksi ekonomi antar wilayah. Ketidakadilan itu terjadi karena tidak adanya pabrik rokok di wilayah Pulau Lombok meskipun wilayah ini menjadi penghasil tembakau virginia terbesar di Indonesia. Akibatnya aglomerasi ekonomi dan akumulasi nilai tambah terjadi di wilayah lain tempat dilakukannya pengolahan tembakau, yakni wilayah Pulau Jawa. Nilai ekonomi tembakau virginia Lombok setelah diolah menjadi produk rokok adalah , dari jumlah itu, yang mengendap dan menjadi pendapatan wilayah Pulau Lombok, baik pendapatan masyarakat ataupun pemerintah daerah adalah . Hal ini berarti bahwa total potensi nilai tambah wilayah yang hilang atau dinikmati oleh wilayah lain mencapai Rp 5.211.010.159.829,-. Artinya total nilai tambah wilayah yang bisa diciptakan oleh adanya agribisnis tembakau virginia Lombok itu hanya sebesar 14,5% dari total nilai ekonominya. Kondisi ini merupakan indikasi bahwa telah terjadi efek pencucian balik atau efek penyedotan (backwash effect) yang kuat dalam agribisnis tembakau virginia Lombok, sementara efek sebar (spread effect) yang ditimbulkannya lemah, yakni hanya mencapai Rp 511.745.080.000,-.

Hasil penelitian ini memperkuat kembali hipotesis Gunnar Myrdal tentang faktor sebab-akibat kumulatif (circular cumulative causation) yang menyebabkan semakin kuatnya ketimpangan antar wilayah. Pasar jika dibiarkan bekerja secara bebas dapat menyebabkan terjadinya pemusatan aktifitas ekonomi pada wilayah tertentu yang memiliki potensi menghasilkan laba tinggi. Akibatnya daerah lain sebagai penghasil bahan baku industri di daerah pusat itu dapat mengalami efek pencucian balik (backwash effect) yang dapat menyebabkan wilayah itu tetap tertinggal atau mengalami kemajuan pembangunan yang lamban.

(6)

SUMMARY

MUHAMMAD NURJIHADI. Analysis of Economic Equity in Regional Development Perspective on Virginia Tobacco Agribusiness in Lombok Island. Supervised by ARYA HADI DHARMAWAN and DEDDY S. BRATAKUSUMAH.

Market economic system is a dominant economic system which was chosen as national or regional economic development strategy. Market rationality with freedom, individualism and perfect competition as its pillar had been a main reference for development policy makers who make economic growth as the main orientation. One of the strategies is establishment special commodities as leading sector. Tobacco is one of a commodity which was chosen as important commodity to develop regional economic in Lombok Island.

Tobacco is a controversial commodity. As raw material for cigarette industries which have negative effect for human health, its production and consumption should be restricted. Because of its favorability in economic development, tobacco was become one of the important commodities, especially for Lombok island. Circular cumulative causation theory explained that market mechanism which was driven by profit motive could encourage economic development centralized in certain regions which have high profit expectation, meanwhile other regions are only as supplier of resources to achieve high profits in the central region. This causes economic inequity in which developed regions become more advanced regions, whereas the backward region remains underdeveloped. Moreover, market is also a good waiter for the rich people but unfriendly for the poor. This causes economic inequity in income distribution. This study intends to prove whether the process of cumulative causation occurred in the tobacco economic sector. In particular, this study aims to analyze the level of economic equity (micro) by calculating margin of value added between the farmers and the tobacco industry companies in every hectare of tobacco field. Moreover, the purpose of this study is to analyze the level of economic equity (in the perspective of regional development/macro level) by calculating the amount of spread effect and backwash effect on virginia tobacco agribusiness in Lombok Island.

This research is using quantitative and qualitative method in survey technique. Report of the study is present in the form of descriptive. Research areas were determined purposively. The selected research areas consist of 10 villages which are spread in 8 districts. There were 100 respondents which were chosen by simple random sampling technique. Each village is represented by 10 respondents. Data was analyzed by profit function formula (π = TR – TC) with some modification based on real condition in the field. While regional economic analysis (spread effect and backwash effect) analyzed by calculating regional income (value added) from virginia tobacco agribusiness and compare it with total economic value of virginia tobacco.

(7)

per hectare per cropping season with the R / C ratio of 1.08. While the tobacco industry companies could benefit (value added) of Rp 212,520,000, - for each hectare of tobacco field in one cropping season. Thus the margin of value added between the farmers and the companies is Rp 208,544,621, -. It means that farmers in the biggest benefit category were only able to get 1.87% of the company total income for every one hectare of virginia tobacco field in Lombok Island.

At the macro level, research result showed that there is economic inequity in Lombok virginia tobacco agribusiness in the context of economic interaction between two regions. In this case, Lombok Island as producer of virginia tobacco and Java Island as industrial center to produce a cigarette. The economic value of Lombok virginia tobacco after being processed into tobacco products (cigarette) is Rp 6,098,400,000,000, -. Of that amount, which settles and becomes regional income for Lombok Island region, either the community value added or the local government income is Rp 887,389,840,171, -. Thus, the total of potential regional lost value or enjoying by other regions is Rp 5,211,010,159,829, -. It means that the total of regional value added which can be created by the presence of virginia tobacco agribusiness is only 14.5% from the total economic value of Lombok virginia tobacco. This means that there has been strong backwash effect, while the spread effect resulting is weak, which only reached Rp 511,745,080,000, -.

Results of this study reinforce the hypothesis of Gunnar Myrdal on circular cumulative causation theory that free market causes the growing inequality across the regions. If the market is allowed to work freely, it can lead the concentration of economic activity in certain regions that have a high potential for generating profits. While other regions as a producer of industries raw material in the central region can experience backwash effect. This causes the region stagnant to growth or slow progress in development.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

ANALISIS KEADILAN EKONOMI DALAM PERSPEKTIF

PEMBANGUNAN WILAYAH PADA AGRIBISNIS

TEMBAKAU VIRGINIA DI PULAU LOMBOK

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(10)
(11)

NTM : H1521 10021

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

M.Sc. PhD

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

I

セN@

Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS

(12)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang dengan karunia dan rahmatNya karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Februari hingga Maret 2013 ini adalah keadilan ekonomi dengan judul Analisis Keadilan Ekonomi dalam Perspektif Pembangunan Wilayah pada Agribisnis Tembakau Virginia di Pulau Lombok.

Pengembangan agribisnis tembakau di Indonesia selalu dihadapkan pada dilema tentang dampak negatif rokok sebagai produk olahan tembakau terhadap kesehatan pada satu sisi dan manfaat ekonomi yang diciptakannya pada sisi lain. Kemampuan menyerap tenaga kerja, kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) serta sumbangannya terhadap pendapatan nasional melalui cukai selalu menjadi alasan dipertahankannya sektor ekonomi tembakau di tengah kuatnya kampanye anti tembakau global. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui seberapa besar manfaat ekonomi yang diterima masyarakat pelaku ekonomi tembakau serta untuk mengetahui seberapa besar nilai tambah wilayah yang dapat diciptakan di wilayah penghasilnya, yakni Pulau Lombok. Penelitian ini khusus mengkaji fenomena keadilan ekonomi pada agribisnis tembakau itu untuk tembakau jenis virginia yang dominan diusahakan di Pulau Lombok.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr dan Bapak Ir. Deddy S. Bratakusumah, BE., MURP., M.Sc., PhD selaku pembimbing. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada bapak Prof. Dr. Didin S Damanhuri, MS, DEA selaku penguji yang telah banyak memberikan masukan dalam penyempurnaan karya ilmiah ini. Penghargaan yang tinggi juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah turut berkontribusi dalam penelitian dan penulisan karya ilmiah ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) yang telah mensponsori penulis dalam menjalankan studi S2 melalui program Beasiswa Unggulan (BU).

Karya ini saya persembahkan untuk orang-orang tercinta. Untuk ayah dan

ibu, meski tidak akan bisa membacanya, do‟a dan harap yang mereka pelihara

hingga akhir hayat telah mengantar saya sampai titik ini. Buat kak Agus, kak Heri, kak Dina dan semua adik-adikku, terimakasih untuk segenap korbanan dan cinta kalian. Persembahan ini juga saya tujukan untuk sahabat saya di Squad; Lisma, Edwin, Nadhirah, Efa, Evan, Saiful dan Retno. Juga untuk orang yang bayangnya menemani imajinasiku menyelesaikan karya ini.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi diri saya sendiri, keluarga, masyarakat, agama, bangsa dan negara. Penulis terbuka untuk kritik dan saran yang membangun.

(13)
(14)

DAFTAR ISI

halaman

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR

xi xii xiii PENDAHULUAN

Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian

1 6 10 10

TINJAUAN PUSTAKA

Mazhab-Mazhab Pembangunan Ekonomi Sistem Ekonomi Pasar (Market Economic)

Sistem Ekonomi Terpusat (State Based Economy) Sistem Ekonomi Heterodoks

Ekonomi Wilayah

Keterkaitan Ekonomi dan Wilayah Kebocoran Ekonomi Wilayah Keterkaitan Desa – Kota

Pusat Pertumbuhan (Growth Pole) dan Faktor SebabAkibat -Kumulatif (Circular Cumulative Causation) Gunnar Myrdal Konsep Agribisnis

11 11 16 20 25 25 26 30 31 35 METODE PENELITIAN

Kerangka Pemikiran Operasional Hipotesis Penelitian

Lokasi dan Waktu Penelitian Rancangan Penelitian

Unit Analisis

(15)

Data

Kualifikasi Data

Teknik Pengumpulan Data

Metode Penentuan Wilayah Sampel dan Responden Variabel yang Diamati

Metode Analisis Data

Analisis Keadilan Ekonomi Berdasarkan Jumlah Nilai -Tambah dan Margin Nilai -Tambah Petani-Perusahaan

Analisis Keadilan Ekonomi Berdasarkan Efek Sebar (Spread -Effect) dan Efek Pencucian Balik (Backwash Effect)

Definisi Operasional

44 44 44 45 47 48

48

49 57 GAMBARAN UMUM PULAU LOMBOK

Wilayah Administrasi dan Kondisi Alam Pulau Lombok Penduduk dan Ketenagakerjaan

Struktur Perekonomian Wilayah

Agribisnis Tembakau di Pulau Lombok

Potensi Pengembangan Wilayah Pulau Lombok

58 59 61 62 67 KEADILAN EKONOMI DALAM AGRIBISNIS TEMBAKAU

VIRGINIA LOMBOK: MARGIN NILAI TAMBAH PETANI - PERUSAHAAN

Tingkat Keuntungan Usahatani Tingkat Keuntungan Perusahaan

Margin Nilai Tambah Petani-Perusahaan

Ekonomi Politik Tembakau Dalam Agribisnis Tembakau Virginia di Pulau Lombok

Bisnis Gelap Oknum Perusahaan Ketergantungan Ekonomi Petani Fenomena Self Exploitation

(16)

KEADILAN EKONOMI DALAM AGRIBISNIS TEMBAKAU VIRGINIA LOMBOK: EFEK SEBAR (Spread Effect) DAN EFEK PENCUCIAN BALIK (Backwash Effect)

Nilai Ekonomi Tembakau Virginia Lombok Efek Sebar (Spread Effect)

Efek Pencucian Balik (Backwash Effect)

100 102 106 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan Saran

114 115 DAFTAR PUSTAKA

(17)

DAFTAR TABEL

halaman

Tabel 3.1. Wilayah sampel yang dipilih beserta alasannya

Tabel 4.1. Komposisi penduduk Nusa Tenggara Barat berdasarkan kelompok umur

Tabel 4.2. Jumlah pekerja menurut sektor di Pulau Lombok tahun 2011

Tabel 4.3. Distribusi nilai tambah dan laju pertumbuhan PDRB pada tiga kabupaten Pulau Lombok menurut sektor atas dasar harga konstan tahun 2000

Tabel 4.4. Perkembangan luas areal dan produksi tembakau di Pulau Lombok

Tabel 4.5. Distribusi dana bagi hasil cukai tembakau di Provinsi NTB

Tabel 4.6. Jumlah dan prosentase penduduk miskin di Provinsi NTB tahun 2002-2011

Tabel 5.1. Rekapitulasi analisis usahatani tembakau virginia Lombok selama empat tahun terakhir di PT.Djarum station Lombok

Tabel 5.2. Analisis usahatani tembakau virginia Lombok untuk petani pengomprong bermitra

Tabel 5.3. Analisis usahatani tembakau virginia Lombok untuk petani pengomprong swadaya

Tabel 5.4. Analisis usahatani tembakau virginia Lombok untuk petani swadaya tidak mengomprong

Tabel 5.5. Analisis usahatani tembakau virginia Lombok untuk pengomprong bermitra

Tabel 5.6. Analisis usahatani tembakau virginia Lombok untuk pengomprong swadaya

Tabel 5.7. Rekapitulasi analisis usahatani dalam agribisnis tembakau virginia Lombok

Tabel 5.8. Bobot, harga dan biaya cukai rokok yang diamati

Tabel 5.9. Distribusi dana bagi hasil cukai tembakau di Provinsi NTB

Tabel 6.1. Analisis usahatani petani pengomprong bermitra

Tabel 6.2. DBHCT yang diterima pemerintah daerah se Provinsi NTB

46 59 60

61 63 64 67

70

72 75

77 80 82

(18)

DAFTAR GAMBAR

halaman

Gambar 1.1. Umur mulai merokok Indonesia tahun 1995, 2001, 2004, 2007, 2010

Gambar 2.1. Konsep Agribisnis Suharjo Gambar 3.1. Kerangka pemikiran penelitian

Gambar 4.1. Luas areal dan produksi tembakau virginia Lombok tahun 1995-2012

Gambar 4.2. Sebaran kesesuaian lahan untuk pertanaman tembakau di Pulau Lombok

Gambar 4.3. Peta kesesuaian ekonomi tembakau di Pulau Lombok

(19)
(20)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh negara produsen daun tembakau terbesar di dunia. Food and Agriculture Organization (FAO) mencatat bahwa pada tahun 2007 total produksi tembakau dunia mencapai 6.311.103 ton. Indonesia menyumbang 164.851 ton (2,6%) dari total produksi tembakau dunia tersebut. Jika diranking, Indonesia berada pada urutan ke 5 sebagai produsen daun tembakau terbesar dunia. Adapun produsen terbesar adalah China dengan 2.397.200 ton (38%), disusul Brasil dengan 919.393 ton (14,6%), India dengan produksi 555.000 ton (8,8%), dan Amerika Serikat yang memproduksi 353.177 ton (5,6%). Sisanya tersebar di beberapa negara seperti Pakistan, Italia, Turki, Zimbabwe, Yunani, dan negara-negara lainnya (FAO, 2007).

Tembakau merupakan komoditas yang kontroversial. Bagi sebagian masyarakat, terutama di tiga provinsi penghasil utama tembakau, yaitu Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Tengah tembakau merupakan primadona, jalan hidup (way of life), sumber pendapatan utama, dan bahkan sudah menjelma menjadi tradisi ekonomi yang sulit dihentikan. Fakta sosio-ekonomi seperti ini dihadapkan pada fakta lain di mana tembakau merupakan bahan baku utama produk rokok yang berbahaya bagi kesehatan. Perdebatan tentang bahaya kesehatan rokok dan manfaat ekonomi yang ditimbulkan industri itu sudah berlangsung sejak dekade 1990-an dan tidak pernah menemukan titik temu. Hal itu menyebabkan pemerintah kesulitan untuk mengambil sikap yang tegas dan jelas terhadap industri pertembakauan ini. Akibatnya pertumbuhan dan perkembangan industri ini digerakkan oleh mekanisme pasar yang bertumpu pada tiga pilar, yaitu kebebasan, menjunjung tinggi hak-hak individu, dan persaingan.

Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan penyumbang produksi daun tembakau terbesar ketiga di Indonesia setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Menurut Kementerian Pertanian Republik Indonesia (Kementan RI), pada tahun 2009, produksi tembakau nasional mencapai 235.987 ton yang terdiri dari 172.450 ton tembakau rakyat dan 63.537 ton tembakau virginia. Provinsi NTB menyumbang 57.707,2 ton atau 24,5% dari total produksi nasional tersebut yang terdiri dari 51.353 ton tembakau virginia (80,8% total produksi tembakau virginia nasional) dan 6.354,2 ton tembakau rakyat (3,7% total produksi tembakau rakyat nasional). Berdasarkan data diatas didapat pula informasi bahwa 89% dari total produksi tembakau di NTB merupakan jenis tembakau virginia dan sisanya merupakan jenis tembakau rakyat (Kementan RI, 2011). Daerah sebaran utama penanaman tembakau di Provinsi NTB adalah Kabupaten Lombok Timur. Basuki, et al. (2003) menjelaskan bahwa pada tahun 2003 kabupaten Lombok Timur memproduksi 21.972 ton tembakau atau 76,81% dari total produksi tembakau di NTB saat itu.

(21)

1971 serta PTP.XXVII dan NV GIEB pada tahun 1974. Memperhatikan keberhasilan rintisan usahatani tembakau virginia di Pulau Lombok, maka secara bertahap hadir perusahaan-perusahaan lain untuk turut mengembangkan tembakau virginia. Perusahaan – perusahaan yang dimaksud adalah PT. Djarum pada tahun 1980, PT. Anugrah Alam Abadi, PT. Mangli Jaya Raya, PT. Cakrawala pada tahun 1987 serta PT. Tresno Bentoel pada tahun 1989. Langkah ini disusul oleh PT. Trisno Adi, PT. HM. Sampoerna, PT. Sadhana Arifnusa dan PT. Gelora Djaja dan UD. Nyoto Permadi tahun 1999. (Disbun NTB, 2002).

Susrusa dan Zulkifli (2009) menjelaskan bahwa agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok dikembangkan dengan sistem kemitraan melalui pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) di mana perusahaan-perusahaan industri rokok menjadi inti dan petani sebagai plasma. Perusahaan berkewajiban memberikan bantuan kepada petani baik bantuan teknis maupun non teknis dalam proses usahatani. Praktek di lapangan yang dilakukan perusahaan umumnya adalah memberikan bantuan kredit kepada petani dalam bentuk penyediaan sarana produksi seperti pupuk, pestisida, benih, dan lain-lain. Selain itu, perusahaan juga memberikan bantuan penyuluhan dan pembimbingan teknis kepada petani dalam menjalankan usahatani tembakau, baik pada saat ditanam (on farm) maupun pada proses pengolahan atau pengomprongan tembakau (off farm). Sebagai imbalan atas bantuan itu, perusahaan mewajibkan petani menjual hasil panennya hanya kepada perusahaan yang memberikan bantuan itu. Selanjutnya kredit yang diberikan perusahaan itu dihitung sebagai hutang yang harus dilunasi ke perusahaan. Hutang sarana produksi yang sudah diberikan kepada petani itu secara otomatis akan dibayar saat petani menjual produk tembakaunya ke perusahaan dengan cara memotong atau mengurangi nilai pembayaran tembakau petani oleh perusahaan. Pada satu sisi, pola kemitraan ini memberikan keuntungan kepada kedua belah pihak, di mana petani mendapatkan keuntungan karena mendapat bantuan, bimbingan dan sekaligus memiliki tujuan pasar yang jelas sehingga petani tidak perlu khawatir soal pemasaran, perusahaan juga diuntungkan karena dengan pola ini perusahaan dapat menghimpun hasil produksi tembakau petani yang sesuai dengan kebutuhannya. Tapi pada sisi lain, pola ini justeru merugikan petani karena dalam prakteknya, harga ditentukan secara sepihak oleh perusahaan, sementara petani kian tergantung pada perusahaan.

Berkembangnya agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok secara signifikan telah meningkatkan pendapatan petani. Studi yang dilakukan Nurjihadi (2011) membuktikan bahwa agribisnis tembakau telah berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat. Peningkatan taraf hidup itu terlihat pada peningkatan daya beli, perbaikan kondisi perumahan, peningkatan tingkat pendidikan dan perubahan gaya hidup. Beberapa tahun terakhir ini petani tidak lagi merasakan peningkatan pendapatan yang signifikan dalam agribisnis tembakau virginia yang dilakukan. Hal ini disebabkan karena harga ditentukan secara sepihak oleh perusahaan sebagai konsekuensi dari pola kemitraan yang diterapkan.

(22)

kekayaan. Badan Pusat Statistik Provinsi NTB (BPS NTB) dalam tabel Input-Output tahun 2004 mencatat bahwa share tembakau terhadap PDRB NTB adalah Rp 466,020 miliar atau setara dengan 1, 57%. Ironisnya, dari total share terhadap PDRB itu, Rp 348, 604 miliar diantaranya (74,80%) masuk ke kantong para pemilik modal dalam bentuk surplus usaha sedangkan sisanya yang hanya 115,621 miliar (24, 81%) terdistribusi kepada 57. 287 orang petani dan para pekerja perusahaan serta buruh tani (BPS NTB, 2004).

Ketimpangan ekonomi dalam agribisnis tembakau itu juga terlihat jelas dari data yang disampaikan Tobacco Control Support Center-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) yang mengambil data dari statistik upah BPS tahun 2005. Data itu menunjukkan bahwa upah rata-rata petani tembakau adalah Rp 15.900 per hari atau Rp 413.374 per bulan dengan rata-rata lama bekerja 7 jam per hari. Jumlah itu jauh lebih kecil dari pada rata-rata upah nasional yang mencapai Rp 883.693 (hanya 47%). Jika dibanding dengan Upah Minimum Kabupaten (UMK) di Kabupaten Lombok Timur maka rata-rata upah petani tembakau itu hanya 50% dari UMK Lombok Timur. Sementara pada saat yang bersamaan, perusahaan rokok mencatat nilai keuntungan yang fantastis. Pada triwulan ke tiga tahun 2008, HMS mencatat keuntungan bersih sebesar Rp 3,1 Triliun, sementara GG sampai pertengahan tahun 2008 mendapat keuntungan sebesar Rp 891,3 Miliar. Belum lagi keuntungan yang didapat oleh perusahaan rokok lainnya seperti Bentoel, BAT, PMI, dan perusahaan lainnya (TCSC IAKMI, 2008).

Ketika upah rata-rata petani tembakau jauh dibawah rata-rata upah nasional dan perusahaan rokok meraup keuntungan dengan nilai yang fantastis, pertanyaannya kenapa petani tembakau (khususnya di Pulau Lombok) masih bertahan dan tetap bergantung pada agribisnis tembakau virginia. Nurjihadi (2011) dalam laporan penelitiannya menyampaikan sebuah fakta yang tegas tentang hal itu. Menurutnya ketergantungan petani terhadap agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok terjadi karena adanya anggapan petani bahwa tembakau merupakan usaha yang dapat menghasilkan keuntungan besar. Anggapan itu membuat petani enggan meninggalkan usahatani ini meskipun pada faktanya terjadi penurunan hasil atau keuntungan petani dalam beberapa musim tanam terakhir. Sebab lain dari ketergantungan ini adalah terwariskannya usahatani ini secara turun temurun sehingga membuat petani merasa tidak memiliki keahlian lain selain mengusahakan agribisnis tembakau. Disamping itu, kondisi iklim yang sangat sesuai dengan tembakau juga menjadi sebab lain ketergantungan petani terhadap agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok.

(23)

Pulau Lombok yang dikembangkan dengan model kemitraan menempatkan perusahaan mitra sebagai pihak yang memiliki pengaruh dan posisi tawar lebih besar dalam menentukan harga daripada petani. Kondisi ini membuat terciptanya hubungan yang cenderung bersifat eksploitatif dan parasitik yang dilakukan oleh perusahaan terhadap petani dalam proses kemitraan yang terjalin diantara keduanya. Penetapan harga sepenuhnya berada di tangan perusahaan yang menggunakan sistem grading. Grader yang ditunjuk perusahaan memiliki kewenangan subjektif untuk menentukan grade tembakau petani yang kemudian mempengaruhi harga jual tembakau petani tersebut. Ironisnya, petani tidak pernah diinformasikan secara jelas tentang standar grade. Akibatnya petani sering kali merasa bahwa tembakau yang seharusnya masuk dalam grade yang tinggi, dibeli perusahaan dengan harga tembakau untuk grade yang lebih rendah.

Secara umum perekonomian wilayah di NTB digerakkan oleh sektor pertanian. Sebanyak 74% masyarakat NTB menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian (BPS, 2004). Basuki, et al. (2003) dalam penelitiannya

menyimpulkan bahwa kinerja pertanian di NTB masuk dalam kategori „baik‟

berdasarkan indikator-indikator pembangunan pertanian. NTB dalam laporan itu dinilai berhasil dalam memenuhi kriteria indikator pembangunan pertanian seperti (1) nilai investasi PMA sektor pertanian; (2) peningkatan produksi pangan dan hortikultura; (3) peningkatan produksi tanaman perkebunan; (4) peningkatan produksi peternakan dan perikanan; (5) nilai PDRB sektor pertanian, 6) serapan tenaga kerja sektor pertanian; (7) ketahanan pangan; (8) tingkat keuntungan usahatani; (9) pendapatan rumah tangga petani dan tingkat kemiskinan. Semenatra itu indikator yang kinerjanya buruk adalah: (1) ekspor hasil pertanian; (2) nilai tukar petani; (3) produksi beberapa komoditas perkebunan, pertanian dan perikanan yang turun.

Sektor pertanian dalam arti luas (pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan) merupakan salah satu sektor unggulan dalam rencana pembangunan wilayah Provinsi NTB, khususnya Pulau Lombok. Pada triwulan III tahun 2012 total PDRB provinsi NTB adalah Rp.13,086 Trilliun dengan memasukkan sektor pertambangan non migas dan Rp.11,043 Trilliun tanpa sektor pertambangan non migas. Kontribusi (share) sektor pertanian terhadap PDRB Provinsi NTB pada triwulan III tahun 2012 mencapai Rp.3,7 Trilliun atau 28% dari total PDRB dengan memasukkan sektor pertambangan non migas dan 34% tanpa pertambangan non migas. Secara umum struktur pembentuk PDRB NTB ini lebih didominasi oleh sektor primer (sektor pertanian) yang dicirikan dengan rendahnya share sektor industri pengolahan terhadap PDRB. Adapun nilai kontribusi sektor industri pengolahan dalam PDRB NTB pada triwulan III tahun 2012 adalah Rp.507 Milliar atau 3,87% dari total PDRB dengan sektor pertambangan non migas dan 5% dari total PDRB tanpa sektor pertambangan non migas (BPS NTB, 2012).

(24)

akhir akan menyebabkan peningkatan output perekonomian sebesar Rp 1,75. Hal ini terjadi karena bergeraknya sektor lain untuk mendukung pelaksanaan agribisnis tembakau itu. Sedangkan forward linkage yang hanya sebesar 1,18 menunjukkan bahwa agribisnis tembakau hanya mampu menggerakkan sedikit sektor di hilir, dalam kasus ini agribisnis tembakau hanya menggerakkan tumbuh dan berkembangnya industri rokok.

Pusat pengolahan daun tembakau menjadi produk rokok tersebar di Pulau Jawa dan umumnya membuka kantor pusat di Jakarta. Daerah-daerah yang menjadi tempat produksi rokok adalah Kediri, Surabaya, Semarang, Kudus, dan sebagainya. Sebagian perusahaan rokok yang skalanya cukup kecil memang ada yang menjalankan usahanya di luar Pulau Jawa, namun jumlahnya sangat sedikit. Sementara itu Pulau Lombok sebagai salah satu penghasil daun tembakau terbesar di Indonesia serta penghasil tembakau jenis virginia terbesar pertama di Indonesia tidak memiliki pabrik rokok sama sekali. Hal ini dapat dipahami, sebagaimana dijelaskan Myrdal dalam Jhingan (1999:211-212) bahwa pemberlakuan pasar bebas membuat hampir semua aktifitas ekonomi menumpuk di suatu wilayah yang sudah lebih dulu maju, dalam hal ini wilayah Pulau Jawa adalah wilayah yang lebih dulu maju dan wilayah Pulau Lombok adalah wilayah yang tertinggal. Pulau Lombok sebagai wilayah tertinggal berperan sebagai pemasok bahan mentah (raw material) berupa tembakau untuk kemudian diolah di Pulau Jawa.

Tidak adanya industri pengolahan daun tembakau di Pulau Lombok membuat Pulau Lombok menjadi daerah Pheripery atau hinterland dalam mendukung pembangunan ekonomi (tembakau) di Pulau Jawa sebagai pusat pertumbuhan secara nasional. Sebagaimana hipotesis Myrdal yang dikutip Jhingan (1999:212) bahwa wilayah maju sebagai pusat pertumbuhan cenderung menyebabkan efek pencucian balik (backwash effect) yang lebih besar daripada efek sebar (spread effect). Kondisi seperti itu membuat wilayah maju menjadi semakin maju sementara wilayah tertinggal mengalami stagnasi pembangunan dan bahkan menjadi semakin tertinggal karena semakin berkurangnya kapasitas daya dukung lingkungan akibat penyedotan (backwash) oleh wilayah maju itu.

(25)

perusahaan dan petani dan secara makro dalam konteks hubungan antar wilayah (regional relation). Sampai saat ini belum ada penelitian yang mencoba menganalisis keadilan ekonomi dalam agribisnis tembakau virginia Lombok, terutama yang menggunakan perspektif kewilayahan. Hal itulah yang membuat perlunya melakukan penelitian ini.

Perumusan Masalah

Sistem ekonomi pasar merupakan sistem ekonomi yang dominan digunakan sebagai strategi pembangunan ekonomi negara maupun wilayah. Rasionalitas pasar dengan pilar kebebasan, individualisme dan persaingan sempurna menjadi acuan utama para perencana kebijakan pembangunan ekonomi dengan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Salah satu strategi yang dikembangkan adalah penetapan sektor atau komoditas unggulan yang disesuaikan dengan daya dukung dan kondisi wilayah setempat. Komoditas tembakau merupakan salah satu komoditas unggulan yang dianggap penting untuk membangun perekonomian di wilayah Pulau Lombok, utamanya tembakau jenis virginia.

Tembakau merupakan komoditas yang kontroversial. Bagi sebagian masyarakat, terutama di tiga provinsi penghasil utama tembakau, yaitu Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Tengah tembakau merupakan primadona, jalan hidup (way of life), sumber pendapatan utama, dan bahkan sudah menjelma menjadi tradisi ekonomi yang sulit dihentikan. Fakta sosio-ekonomi seperti ini dihadapkan pada fakta lain di mana tembakau merupakan bahan baku utama produk rokok yang berbahaya bagi kesehatan. Perdebatan tentang bahaya kesehatan rokok dan manfaat ekonomi yang ditimbulkan industri itu sudah berlangsung sejak dekade 1990an. Menguatnya kampanye anti rokok global dilawan dengan argumen kemiskinan dan tidak adanya alternatif pekerjaan untuk masyarakat pedesaan. Kondisi itu membuat Indonesia tidak mampu mengambil sikap tegas untuk melarang atau membatasi produksi dan konsumsi produk tembakau.

Besarnya kontribusi industri pertembakauan terhadap perekonomian nasional juga turut mempersulit pemerintah dalam mengambil keputusan yang tegas untuk melarang atau membatasi produksi dan konsumsi tembakau. Setiap regulasi perlindungan kesehatan dari bahaya merokok selalu dihadapkan dengan argumen akan hilangnya sumber pendapatan masyarakat pertembakauan di pedesaan. Selain itu pengetatan regulasi anti rokok juga dikhawatirkan akan mengganggu kinerja ekonomi pada sektor yang lain seperti periklanan, transportasi, perdagangan, dan sebagainya. Pihak mana yang sebenarnya paling dirugikan jika regulasi anti rokok itu diberlakukan dengan ketat? Para pengusaha besar atau para petani tembakau yang ada didesa?. Pertanyaan ini bisa dijawab dengan mengetahui pihak mana yang menerima manfaat paling besar dari industri pertembakauan itu.

(26)

menjadi US$ 464,4 pada tahun 2012. Jika diibaratkan sebagai sebuah negara dengan berdasar pada data bank dunia tahun 2011, maka negera tembakau itu akan menjadi negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar ke-23 di dunia, jauh melampuai Norwegia dan Arab Saudi (Kinasih et al. 2012:1-2). Hal ini menyebabkan persoalan tembakau tidak sesederhana persoalan menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat desa, tapi juga persoalan akumulasi kekayaan oleh para pemilik modal.

Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tanggal 25 Mei 2009 didapatkan informasi bahwa pangsa pasar rokok Indonesia dikuasai oleh tiga perusahaan besar, yaitu HMS yang menguasai 24,3% pangsa pasar rokok nasional, GG menguasai 21,1% dan Dj menguasai 19,4%. Sisanya dikuasai oleh Njr (6,7%), Btl (6%), PMI (4,7%), BAT (2%), dan lain-lain (15,8%) [Kinasih et al. 2012:76]. Adapun sasaran utama pasar industri rokok itu adalah kaum muda. Hal ini disebabkan karena kebanyakan perokok aktif merupakan kelompok muda dan memulai merokok di usia muda. Berikut adalah data prosentase umur mulai merokok di Indonesia:

Gambar 1.1 Umur mulai merokok Indonesia tahun 1995, 2001, 2004, 2007, 2010 (Chamim et al. 2011)

(27)

Melihat data tersebut, seharusnya dapat disimpulkan dengan mudah bahwa semua pihak yang terlibat dalam bisnis ini mendapatkan keuntungan yang besar, tidak terkecuali petani. Faktanya petani tembakau justeru mendapatkan upah rata-rata yang jauh dibawah upah rata-rata nasional sebagaimana yang dilaporkan oleh TCSC-IAKMI (2008).

Ironis diatas menunjukkan bahwa ada hubungan yang bersifat eksploitatif dan parasitik dalam industri tembakau di mana petani tembakau terposisikan sebagai korban. Argumen ini diperkuat oleh Susrusa dan Zulkifli (2009) yang menyebut bahwa petani dan pengomprong tembakau di Kabupaten Lombok Timur memiliki posisi tawar yang lemah dalam proses interaksi ekonomi dengan perusahaan mitra. Akibatnya petani hanya mampu memperoleh nilai tambah (value added) yang relatif rendah dari aktifitas usahanya. Padahal jika dibandingkan dengan besarnya risiko yang harus ditanggung petani dalam usahataninya, nilai tambah yang diperoleh itu bisa jadi negatif (petani mengalami kerugian). Sementara itu, perusahaan yang operasinya mendapatkan jaminan kemanan dari pemerintah melalui serangkaian regulasi dan kebijakan, juga mendapatkan jaminan melalui asuransi dari pihak swasta lainnya dengan tingkat risiko yang relatif tidak begitu besar sebagaimana petani justeru memperoleh manfaat ekonomi (value added) yang lebih besar. Karena itulah Swasono (2011) menyebut pasar sebagai pelayan yang rajin untuk orang kaya tapi tidak ramah kepada orang miskin. Orang kaya dibuat menjadi semakin kaya, sementara orang miskin dibuat terjebak pada lingkaran setan kemiskinannya. Tingkat keadilan ekonomi dalam agribisnis tembakau virginia lombok dapat dianalisis dengan melihat distribusi nilai tambah atau margin nilai tambah yang diterima petani dengan perusahaan mitra. Hal ini berarti bahwa perlu untuk mencari tau seberapa besar nilai tambah (value added) yang diterima oleh petani dan perusahaan mitra per satuan unit produk tembakau lalu menghitung margin diantara keduanya.

Petani tembakau merupakan aktor utama dalam industri tembakau. Tanpa petani tembakau tidak akan ada industri olahan berupa rokok, oleh karenanya para pelaku industri tembakau seharusnya memberikan perhatian khusus kepada petani dan menjamin agar para petani tembakau itu hidup dengan layak. Faktanya, sebagaimana yang dilaporkan Guazon (2008) dalam cycle of poverty in tobacco farming bahwa pekerja tembakau (petani) mendapatkan nilai tambah (value added) yang rendah dari usahataninya meskipun pasar dan output sektor ini terus mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku industri rokok sebagai pihak yang paling bergantung pada agribisnis tembakau tidak memiliki kepekaan dan kepedulian kepada petani tembakau. Atau mungkin kondisi ini memang disengaja sebagai bagian dari upaya untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya meski harus mengorbankan pihak lain yang seharusnya menjadi partener bisnis. Akumulasi modal merupakan doktrin utama dalam sistem ekonomi pasar. Semakin banyak modal yang terakumulasi, semakin besar peluang untuk melakukan investasi dan menumpuk kekayaan.

(28)

(Nurjihadi, 2011; Ahsan 2008). Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa kontribusi (share) industri tembakau terhadap PDRB NTB adalah 1,57% dan mampu menyebabkan efek pengganda (multiplier effect) berupa keterkaitan ke belakang (backward linkage) sebesar 1,75 dan keterkaitan ke depan (forward linkage) sebesar 1,18 (BPS NTB, 2004). Mengingat sifat komoditasnya yang merupakan komoditas komersil bernilai tinggi (hight value commodity), industri tembakau seharusnya mampu memberikan kontribusi lebih terhadap perekonomian wilayah.

(29)

menganalisis tingkat keadilan ekonomi dalam perspektif pembangunan wilayah pada agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok.

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka secara spesifik dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana distribusi nilai tambah (value added) dan seberapa besar margin nilai tambah yang diterima petani dengan perusahaan dalam agribisnis tembakau virginia Lombok ?, jawaban atas pertanyaan ini dijawab pada Bab V (lima).

2. Bagaimana dampak agribisnis tembakau virginia Lombok itu terhadap perekonomian wilayah kaitannya dengan efek sebar (spread effect), dan efek sedot atau efek pencucian balik (backwash effect) dalam konteks keterkaitan ekonomi antar wilayah ? Jawaban atas pertanyaan ini akan dijawab pada Bab VI (enam).

Tujuan Penelitian

Berdasarkan penjelasan dan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis tingkat keadilan ekonomi secara mikro dengan mengetahui bagaimana distribusi nilai tambah (value added) dan seberapa besar margin nilai tambah yang diterima petani dengan perusahaan dalam agribisnis tembakau virginia Lombok. Tujuan penelitian ini dijawab dalam Bab V (lima) laporan penelitian ini.

2. Menganalisis keadilan ekonomi dalam perspektif pembangunan wilayah dengan mengetahui bagaimana dampak agribisnis tembakau virginia itu terhadap perekonomian wilayah kaitannya dengan efek sebar (spread effect), dan efek sedot (backwash effect) dengan mengacu pada teori keterbelakangan dan pembangunan ekonomi Gunnar Myrdal tentang faktor sebab-akibat kumulatif (circular cumulative causation) pada sistem ekonomi pasar yang menyebabkan terjadinya ketimpangan wilayah (regional inequality) yang dalam laporan penelitian ini dijelaskan pada Bab VI (enam).

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diniatkan untuk mengungkap, mengeksplorasi dan menganalisis tingkat keadilan ekonomi dalam agribisnis tembakau, khususnya dalam kasus tembakau virginia di Pulau Lombok, baik secara mikro dengan melihat margin nilai tambah (value added) antara petani dan perusahaan maupun secara makro dalam konteks keterkaitan ekonomi antar wilayah. Secara spesifik, penelitian ini dirancang untuk dapat bermanfaat:

(30)

tepat dan terarah dalam mengelola agribisnis tembakau, terutama tembakau virginia di Pulau Lombok.

2. Sebagai masukan kepada pihak-pihak yang bergelut dalam agribisnis tembakau, terutama kepada para petani dan perusahaan industri rokok agar lebih bijak dalam menjalankan agribisnis tembakaunya.

3. Sebagai upaya untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya referensi ilmiah tentang realitas sosial ekonomi dalam agribisnis tembakau virginia Lombok dan dampaknya terhadap perekonomian wilayah.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Mazhab – Mazhab Pembangunan Ekonomi

Sistem Ekonomi Pasar (Market Economy)

Adam Smith adalah peletak dasar sistem ekonomi pasar yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan, individualisme dan persaingan. Sebagai seorang

ekonom, pilsuf dan sosiolog ia memiliki keyakinan bahwa “hukum alam‟ juga

terjadi dalam persoalan ekonomi. Ia menganggap setiap orang adalah hakim yang paling tahu akan kepentingannya sendiri, oleh karenanya setiap orang harus diberikan kebebasan untuk mengejar kepentingannya itu demi keuntungannya sendiri. Proses mengejar kepentingan pribadi itu akan membuat setiap orang membutuhkan serangkaian barang dan jasa yang kompleks yang akan membuat setiap orang berinteraksi satu sama lain untuk saling melengkapi kebutuhannya di mana setiap orang akan dibimbing oleh suatu “kekuatan tidak terlihat” yang ia

sebut sebagai „tangan tuhan‟. Setiap orang jika dibiarkan bebas akan berusaha

memaksimalkan kesejahteraannya sendiri, sehingga ketika semua orang dibiarkan bebas, maka akan tercipta kesejahteraan agregat (Jhingan, 1999:81-82).

Skousen (2006:25-26) merekam bagaimana Adam Smith mampu mengidentifikasi tiga unsur pembentuk kemakmuran dan kesejahteraan melalui mekanisme pasar bebas, yakni: (1) kebebasan (freedom), hak untuk memproduksi dan memasarkan produk tanpa campur tangan pemerintah; (2) kepentingan diri (self interest), pengakuan atas hak individualis seseorang untuk melakukan usaha atau apapun, termasuk dalam menguasai sumber daya; (3) persaingan (competition), hak untuk bersaing dalam produksi dan perdagangan barang dan

jasa. Smith meyakini bahwa ketiga unsur diatas akan menghasilkan „harmoni alamiah‟ dari kepentingan kapitalis, tuan tanah dan juga buruh yang akhirnya akan menciptakan kesejahteraan agregat.

Mekanisme pasar yang dicetuskan Adam Smith memberikan dasar yang penting untuk perkembangan kapitalisme di masa setelahnya. Gagasannya tentang

(31)

pemerintah (Laissez faire). Bahkan Ricardo memberikan penekanan khusus pada perdagangan bebas antar negara untuk mencapai efisiensi ekonomi dan kesejahteraan maksimum. Ricardo adalah tokoh penting yang membawa ilmu ekonomi pada titik kemapanannya. Ia adalah ekonom pertama yang memperkenalkan ekonomi dengan analisis matematis yang akurat namun syarat dengan asumsi-asumsi yang tidak realistis. Hal itu membuat banyak ekonom

menyebut Ricardo sebagai „pengkhayal sia-sia yang membawa ilmu ekonomi ke

jalur yang keliru dan membingungkan‟ (Skousen, 2006:114-115).

Meski memberikan dukungan kepada gagasan perdagangan bebas Smith, Ricardo memiliki pandangan yang berbeda secara substansial dengan Smith. Jika Smith berupaya membangun gagasan harmoni alamiah lewat perdagangan bebas, Ricardo justeru berpandangan bahwa konflik kelas adalah cara efektif untuk mencapai kesejahteraan. Konflik kelas yang dimaksud Ricardo adalah persaingan antar kelas yakni kaum kapitalis, tuan tanah dan buruh, di mana kue ekonomi didistribusikan atau dibagi-bagi kedalam kelompok-kelompok atau kelas itu dalam bentuk sewa, keuntungan dan upah. Dengan model ini, akan terjadi persaingan antara kapitalis dan buruh, di mana jika upah buruh naik maka keuntungan kapitalis akan menurun dan demikian pula sebaliknya. Sementara tuan tanah dalam model ini menjadi pihak yang paling diuntungkan sebab nilai sewa tanah tetap tanpa bergantung pada tingkat keuntungan maupun upah (Skousen, 2006:130-132).

Pemikiran-pemikiran ekonomi mengalami polarisasi pada masa-masa berikutnya. John Stuart Mill adalah salah seorang pendukung utama gagasan David Ricardo. Ia mendukung sepenuhnya azas laissez faire yang dipromosikan Smith dan Ricardo, namun pada saat bersamaan ia juga menyebut diri sebagai seorang sosialis. Karl Marx kemudian hadir dengan kritik tajam terhadap kapitalisme. Kritiknya terhadap kapitalisme justeru dibangun dari kekagumannya pada teori distribusi pendapatan Ricardo yang sebenarnya ikut memapankan kapitalisme Smith. Selanjutnya hadir pemikir-pemikir ekonomi seperti Menger, Bohm-Bawek, Jeavon, Marshall dan sebagainya yang menghidupkan kembali teori ekonomi klasik pasar bebas Smith dan menyempurnakannya dengan teori-teori baru. Lalu ketika dunia dilanda great depretion pada tahun 1930, dunia akademis pun mengalami great debate tentang efektifitas teori pasar Smith yang diasosiasikan dengan kapitalisme. Gagasan Marxisme kembali hidup dan mewabah di kampus-kampus. Tepat disaat kapitalisme nyaris runtuh seperti itu, seorang ekonom datang sebagai penyelamat kapitalisme dan memaksa Marxisme untuk kembali dilupakan di mimbar intelektual. Dialah John Maynard Keynes. Dialah orang pertama yang mengingatkan pentingnya integrasi kapitalisme dengan pemerintah. Teori yang dikembangkannya mengharuskan pemerintah untuk ikut campur tangan dalam urusan perekonomian sampai pada batas tertentu guna menjamin berlangsungnya prinsip-prinsip kapitalisme. Keynes adalah penyelamat kapitalisme sekaligus menjadikan dirinya pemimpin aliran ekonomi baru (Jhingan, 1999; Skousen, 2006).

(32)

argumen tersebut untuk mempertahankan status quonya. Pendukung ekonomi pasar itu seolah lupa bahwa didalam pasar sesungguhnya ada kekuasaan, bahkan pasar itu sendiri memiliki kekuasaan, namun kekuasaan itu bersifat samar, tembus pandang dan seolah tidak terlihat (Caporaso dan Levine, 2008). Galbraith (1983) dalam Caporaso dan Levine (2008) bahkan juga menyimpulkan bahwa pasar adalah sarana yang memperlancar fungsi dari kekuasaan kapitalisme industrial dan sekaligus menyembunyikan kekuasaan itu. Tidak terlihatnya kekuasaan dalam struktur pasar sesungguhnya bukanlah suatu yang kebetulan, melainkan merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan kondisi yang menguntungkan dan menjadi landasan idiologis dari kapitalisme.

Proses terbentuknya keseimbangan harga dalam mekanisme pasar dapat dijelaskan sebagai berikut. Setiap manusia diyakini memiliki kecenderungan untuk mementingkan diri pribadi. Sehingga segala aktifitas ekonomi setiap orang adalah untuk mendapatkan manfaat maksimum bagi dirinya. Seorang produsen misalnya memiliki kepentingan untuk mendapatkan laba (profit) maksimum, sementara konsumen memiliki kepentingan untuk mendapatkan kepuasan (utility) maksimum. Interaksi antara dua kepentingan untuk mendapatkan laba maksimum dan kepuasan maksimum inilah yang akan membentuk harga. Setiap orang dalam interaksi ini (baik produsen ataupun konsumen) bebas melakukan apa saja untuk memaksimumkan manfaat yang ia terima (Damanhuri, 2010:16). Karena setiap orang dalam interaksi ekonomi bebas melakukan apa saja untuk mendapatkan manfaat maksimum bagi dirinya, maka itu dapat mendorong setiap orang dalam interaksi ekonomi itu untuk memiliki (mendominasi) pengaruh dalam interaksi itu. Siapa yang berhasil mendominasi pengaruh dalam interaksi ekonomi itu, dialah yang menjadi penguasa dalam pasar itu. Memang kekuasaannya bersifat samar sebagaimana dikatakan Caporaso dan Levine, namun kesamaran kekuasaan itulah yang memungkinkan para penguasa tidak tampak itu untuk mendzalimi pihak lain yang lebih lemah. Jadi teori the invisible hand (tangan tuhan_tangan tak terlihat) juga berarti pembentukan kekuasaan tak terlihat, dalam konteks ini, dominasi atau penguasaan pasar itu bisa dilakukan oleh pedagang (suplyer) ataupun pembeli (demander).

(33)

sumber daya, korupsi serta pengaturan yang berlebihan dalam bidang ekonomi. Jadi menurut pemikiran ini, satu-satunya solusi untuk mendorong kemajuan suatu negara adalah dengan memastikan bahwa pasar bebas bekerja secara sempurna tanpa ada campur tangan pemerintah di negara tersebut, dalam bahasa yang lebih lugas, dapat dikatakan bahwa paham neoclassical counterrevolution ini menginginkan agar kekuasaan para penguasa pasar lebih besar daripada kekuasaan negara itu sendiri.

Sistem ekonomi pasar yang tegak diatas pilar kebebasan, individualisme dan persaingan pada dasarnya dimaksudkan untuk menjamin terpenuhinya hak setiap orang untuk hidup sejahtera. Hanya dengan kebebasan seseorang bisa leluasa dalam memperjuangkan kepentingannya guna meraih sejahtera itu. Sementara itu persaingan merupakan suatu penjamin yang dapat membentuk keseimbangan pasar dalam bentuk harga. Tanpa persaingan, mekanisme pembentukan harga akan menjadi tidak adil karena di monopoli oleh pihak-pihak tertentu. Lebih jauh Stiglitz (2000:77-78) menjelaskan bahwa daya saing (competitiveness) dapat meningkatkan efisiensi produksi dan berperan penting dalam mendorong inovasi. Perlu diingat bahwa persaingan sempurna hanya akan menghadirkan kesejahteraan jika seluruh pelaku ekonomi berada pada level (pendidikan, struktur sosial dan ekonomi) yang sama. Sebab persaingan yang terjadi ketika seluruh pelaku ekonomi berada pada posisi atau level yang sama akan dipandu oleh sebuah kekuatan tak terlihat yang membentuk keseimbangan melalui harga. Faktanya, pelaku ekonomi selalu terbagi kedalam tiga kelompok atau kelas yang berbeda tingkat pengaruhnya yakni para pemilik modal (kapitalis), tuan tanah dan buruh. Jika persaingan terjadi antara kaum kapitalis yang memiliki posisi tawar lebih baik dengan kaum buruh yang lemah, maka tentu saja persaingan itu akan dimenangkan oleh kaum kapitalis. Kondisi semacam ini akan membuat distribusi pendapatan mejadi tidak adil di mana kaum kapitalis yang kaya menjadi semakin kaya dan kaum buruh yang lemah menjadi bertambah lemah.

(34)

segenap perangkatnya, termasuk kapitalisme atau sistem ekonomi pasar akan menjadi titik akhir dari evolusi idiologi berfikir manusia dan akan menjadi bentuk akhir dari pemerintahan. Seperti itulah akhir dari perjalanan sejarah ummat manusia menurut Fukuyama.

Modal yang terus terakumulasi membuat para pemilik modal terus meningkatkan kapasitas dirinya yang memungkinkannya memiliki kemampuan lebih untuk mengakumulasi modal dan mendapatkan keuntungan yang lebih besar lagi. Kaum papa miskin yang lemah disisi lain terus terpinggirkan dan semakin tidak berdaya serta kian terjebak dalam kemiskinannya. Pasar dalam banyak kasus ternyata tidak mampu untuk mengatur dirinya sendiri (failed to self regulating market), pasar selalu diatur dan didominasi oleh kelompok-kelompok yang lebih kuat, baik dari pihak penjual maupun dari pihak pembeli. Disinilah ekonomi politik mengambil perannya, ada pihak-pihak tertentu yang berusaha menguasai pasar untuk memaksimalkan keuntungan pribadi. Thurow (1983) dalam Swasono (2011:4) menyebut mekanisme pasar semacam ini sebagai arus berbahaya (the dangerous current) bagi kesejahteraan masyarakat. Selain itu Heilbroner (1994) dalam Swasono (2011:4) juga menyatakan bahwa pasar mendorong perbuatan yang tidak bermoral, sehingga mekanisme pasar tidak hanya merupakan suatu kegagalan ekonomi, tapi juga merupakan suatu kegagalan moral.

Ekonomi pasar mengalami perkembangan baru setelah munculnya John Maynard Keynes ketika terjadinya great depretion pada tahun 1930an. Keynes menganggap kapitalisme memiliki daya adaptasi yang baik dalam membentuk dirinya sendiri menurut keadaan. Tetapi Keynes menyadari bahwa masa depan kapitalisme mungkin mengalami kehancuran sehingga ia melahirkan teori kebangkrutan kapitalis (stagnasi jangka panjang) berdasarkan kondisi over produksi umum, konsumsi rendah yang kronis, dan merosotnya efisiensi marginal modal di masa depan. Sebagai solusinya, Keynes mengusulkan perlunya tindakan pemerintah yang terencana dalam sistem ekonomi pasar (Jhingan, 1999:134). Keynes merupakan ekonom pertama yang menyadarkan pentingnya integrasi pemerintah dengan sistem pasar, bukan sebagai pelaku ekonomi, tapi justeru sebagai pengarah dan pengatur terlaksananya ekonomi pasar. Pemerintah mempunyai tanggungjawab untuk membuat kebijakan-kebijakan publik di bidang ekonomi yang dapat menjamin ekonomi pasar bekerja dengan baik berdasarkan prinsip utamanya yakni pasar persaingan sempurna.

(35)

membuat Indonesia seolah kehilangan wibawa dan legitimasi untuk mengatur perdagangan tembakau (Kinasih et al. 2011:25-33).

Penguasa dalam interaksi ekonomi pada pelaksanaan agribisnis tembakau virginia Lombok yang dilaksanakan dengan pola kemitraan dapat diidentifikasi dengan melihat posisi tawar masing-masing pelaku usaha. Susrusa dan Zulkifli (2009) menyatakan bahwa kemitraan yang terjalin antara petani tembakau dan perusahaan mitra selama ini terkesan menempatkan petani dalam posisi yang sangat lemah di mana petani diharuskan mengusahakan usahataninya berdasarkan analisa dan kepentingan perusahaan, dalam hal ini petani terlihat bukan sebagai petani mitra, tapi sebagai buruh tani perusahaan. Buruh tani yang bekerja diatas sawah miliknya sendiri dengan upah rendah. Kondisi ini menggambarkan betapa dalam interaksi ekonomi politik itu, kekuasaan utama berada di tangan perusahaan. Pemerintah yang secara syah memegang kekuasaaan politik bahkan tidak pernah mampu melakukan intervensi agar petani menanam tanaman yang diinginkan pemerintah, tetapi kekuasaan yang terbentuk melalui mekanisme pasar sebagaimana yang terjadi dalam pelaksanaan agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok mampu melakukan itu.

Sistem Ekonomi Terpusat (State Based Economic)

Sistem ekonomi terpusat pada dasarnya merupakan kritik terhadap teori ekonomi pasar yang dianggap gagal dalam menciptakan keadilan. Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Karl Marx pada tahun 1867 sebagai alternatif untuk ekonomi klasik Adam Smith. Melalui teori ini, Marx menunjukkan bahwa sistem kapitalisme mengandung cacat fatal, yakni hanya menguntungkan kapitalis dan bisnis besar dengan mengeksploitasi buruh. Marx meyakini bahwa kapitalisme akan mengalami krisis yang pada akhirnya akan menghancurkan dirinya sendiri dan digantikan dengan komunisme (Skousen, 2006:184).

(36)

pada akhirnya akan membawa akumulasi modal bagi kaum kapitalis. Kaum kapitalis akan terus meningkatkan nilai lebih itu untuk memperbesar keuntungannya dengan cara menambah jam kerja dan pengurangan upah buruh. Upaya memperbesar nilai lebih dengan cara inilah yang disebut Marx sebagai eksploitasi atau penghisapan kaum kapitalis terhadap buruh (Jhingan, 1999:115).

Skousen (2006:186-187) menjelaskan bagaimana Marx menggambarkan proses kehancuran kapitalisme karena kerapuhannya sendiri. Akumulasi nilai lebih (penumpukan keuntungan dan modal) oleh kaum kapitalis akan mendorong kapitalis itu untuk menambah investasinya dengan menerapkan teknologi baru yang memungkinkan peningkatan produktifitas. Penggunaan teknologi baru berarti peningkatan biaya produksi (cost) sehingga mengurangi keuntungan (profit). Selain itu penggunaan teknologi juga menyebabkan berkurangnya kebutuhan tenaga kerja sehingga banyak buruh yang menjadi pengangguran dan mengalami kehilangan sumber pendapatan. Minimnya sumber pendapatan masyarakat membuat pasar dari komoditas yang dihasilkan para kapitalis menjadi terbatas. Pasar yang terbatas menyebabkan terjadinya penurunan harga-harga komoditas sehingga para kapitalis mengalami kerugian, dalam keadaan seperti inilah kapitalisme mengalami krisis dan akhirnya hancur dari dalam.

Marx memiliki keyakinan bahwa kapitalisme akan mengalami kehancuran dari dalam (self destruction), namun ia juga menekankan pentingnya perjuangan kelas yang bersifat revolusioner untuk mempercepat kehancuran kapitalisme itu. Untuk menjelaskan tetang pentingnya perjuangan kelas ini, Marx menafsirkan sejarah secara materialistik dengan menganggap bahwa semua perjuangan sejarah adalah hasil perjuangan ekonomi yang terus menerus di antara berbagai kelas dan kelompok dalam masyarakat. Semua perjuangan itu disebabkan oleh adanya

pertentangan antara „cara produksi‟ yang merujuk pada perjanjian produksi dalam

masyarakat yang menentukan keseluruhan cara hidup sosial, politik dan

keagamaan dengan „hubungan produksi‟ yang merujuk pada struktur kelas

masyarakat. Setiap struktur kelas menurut Marx terdiri dari „pemilik tanah‟ dan „bukan pemilik tanah‟ yang kemudian mengarah pada perjuangan kelas antara

orang kaya dan orang miskin sehingga akhirnya menghancurkan seluruh sistem sosial tersebut. Tetapi menurut Marx “tidak pernah ada tatanan masyarakat yang menghilang sebelum keseluruhan kekuatan produksi tuntas berkembang, dan hubungan produksi yang baru dan lebih tinggi tidak pernah akan muncul sebelum kondisi material kehadirannya matang di dalam kandungan masyarakat yang lama” (Jhingan, 1999:114-115).

(37)

Teori Marxisme-Komunisme yang menekankan pentingnya penguasaan alat produksi sebagai milik bersama memiliki beberapa ciri sebagai berikut (Damanhuri, 2010:43):

1. Mengutamakan rasa kebersamaan atau kolektivisme. Harta dan alat-alat produksi adalah milik bersama yang bisa didistribusikan untuk kepentingan bersama, sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Masyarakat dianggap sebagi satu-satunya kenyataan sosial, sehingga hak milik perorangan tidak diakui, yang ada hanya kekayaan sosial atau kekayaan bersama. Hal ini merupakan pembeda utama Marxisme-Komunisme dengan ekonomi pasar yang lebih menonjolkan hak-hak pribadi (individualism).

2. Mengutamakan unsur koopratif daripada motif laba atau kepentingan pribadi, dalam konteks ini, negara membatasi kebebasan individu untuk bekerja sesuai keinginannya. Negara yang menentukan pekerjaan apa yang harus dikerjakan oleh seseorang disesuaikan dengan kapasitas dan kemampuannya.

3. Campur tangan (peran) pemerintah dalam proses perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan aktifitas ekonomi sangat kuat dan dominan. Berbeda dengan sistem ekonomi pasar yang menekankan pada minimisasi peran negara.

Selain oleh Marx, kritik terhadap sistem ekonomi pasar juga lahir dari ekonom-ekonom modern pendukung Marx. Secara garis besar ada tiga teori yang lahir sebagai kritik atas sistem ekonomi pasar yang berangkat dari teori “tangan

tuhan” Adam Smith ini, yaitu pertama teori ketergantungan yang lahir di Amerika Latin. Teori ini menganggap bahwa pembangunan model kapitalisme adalah

(38)

Para penganjur teori ketergantungan lebih menekankan pada fakta ketidakseimbangan kekuasaan internasional dan perlunya dilakukan suatu reformasi ekonomi, politik, dan kelembagaan secara mendasar, baik di negara-negara berkembang itu sendiri maupun terhadap sistem internasional secara keseluruhan. Secara ekstrem penganjur teori ini menyerukan pengambilalihan kepemilikan aset-aset oleh negara dengan harapan bahwa kepemilikan dan penguasaan aset oleh publik akan lebih efektif dalam membasmi kemiskinan absolut, memperluas kesempatan kerja, mengurangi kesenjangan distribusi pendapatan, serta meningkatkan taraf hidup seluruh anggota masyarakat di semua negara di dunia ini. Kelompok neo-Marxisme yang lebih radikal menyatakan lebih jauh lagi, yaitu bahwa pertumbuhan ekonomi dan perubahan-perubahan struktural tidak akan menjadi masalah jika hak kepemilikan pribadi dihapuskan (Todaro dan Smith, 2006:146).

Pandangan Marx dan pendukungnya tentang perlunya penguasaan aset dan alat produksi oleh negara dianggap banyak ekonom sebagai kegagalan Marx dalam memahami persoalan ekonomi. Michael Harrington (1976) dalam Skousen (2006:196) bahkan mengatakan bahwa Marx pada dasarnya merupakan seorang anti-ekonom. Skousen menyebutnya sebagai „idealis naif‟ yang gagal memahami peran capital (modal), pasar, harga dan uang dalam meningkatkan kemakmuran material manusia. Marx keliru besar ketika dia berpendapat bahwa sosialisme utopianya dapat mencapai peningkatan pesat dalam standar hidup buruh. Sosialisme yang digagas Marx dengan strategi penguasaan aset produksi oleh negara tidak akan mampu menciptakan kelimpahan dan keragaman barang dan jasa, terobosan teknologi, kesempatan kerja baru dan waktu senggang.

Todaro dan Smith (1999:146-147) menjelaskan bahwa jika teori ketergantungan yang digagas pihak neo-marxisme diterapkan secara mentah-mentah, maka menurut teori tersebut strategi terbaik yang harus diambil oleh negara terbelakang adalah meminimalisasi keterkaitan dengan negara maju, serta menerapkan kebijaka pembangunan yang berorientasi kedalam (autarky), dalam kadar yang paling maksimal adalah hanya berhubungan dengan sesama negara terbelakang dengan negara (pemerintah) sebagai pelaku ekonomi utama. Todaro dan Smith mencontohkan negara besar yang pernah menggunakan strategi pembangunan ekonomi seperti ini, yakni China dan India yang ternyata mengalami pertumbuhan ekonomi stagnan sehingga akhirnya negara-negara tersebut memutuskan untuk membuka perekonomiannya. Contoh kasus diatas merupakan bukti bahwa sistem ekonomi terpusat (state based economic) gagal dalam menciptakan kemakmuran masyarakat.

Jhingan (1999:121) bahkan menyebut Marx sebagai „peramal palsu‟ untuk

(39)

tanda-tanda melemah dan hancur sebagaimana dikatakan Marx. Selain itu Peet dan Hartwick (2009:181) juga mencatat beberapa fakta empiris yang menunjukkan bahwa negara-negara berkembang yang tergantung (dependence) pada negara maju memiliki tingkat pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang lebih tinggi dan lebih baik dibanding negara-negara yang tidak tergantung (non dependence) pada negara maju.

Sebagai komoditas komersil bernilai tinggi, tembakau memiliki peran penting dalam memajukan perekonomian suatu negara. Setiap negara menerapkan pendekatan yang berbeda terhadap pengembangan industri tembakau. Salah satu strateginya adalah dengan menerapkan sistem ekonomi terpusat (state based economic) khusus untuk komoditas tembakau. Cina adalah negara yang menerapkan strategi itu, di mana pengelolaan tembakau di Cina dilakukan oleh negara tanpa keterlibatan sektor swasta. Cina merupakan penghasil tembakau terbesar di dunia, untuk mengembangkan industri tembakaunya Cina menerapkan regulasi mengisolasi diri dari perdagangan internasional. Rokok di Cina diproduksi dengan bahan baku hampir 100% dari dalam negeri dan dipasarkan hampir 100% di dalam negeri juga. Pengusahaan tembakau di Cina di monopoli oleh negara. Karenanya, industri tembakau Cina mampu memberikan keuntungan besar kepada negara. (Kinasih et al. 2011:45-52).

Pengelolaan komoditas pertembakauan dalam sejarah nasional Indonesia pernah dikelola dengan pendekatan sistem ekonomi terpusat ini di mana saat itu pemerintah Hindia Belanda (pada masa pra kemerdekaan Indonesia) menjadikan komoditas tembakau sebagai salah satu komoditas yang wajib ditanam ketika sistem tanam paksa diberlakukan (Suroyo, 2000:188-191). Kebijakan tanam paksa tembakau ini menunjukkan bahwa tembakau di masa Hindia Belanda merupakan salah satu komoditas unggulan pemerintah kolonial untuk keperluan ekspor. Adanya paksaaan dari pemerintah kolonial kepada penduduk pribumi untuk menanam tembakau merupakan salah satu bentuk keterlibatan langsung pemerintah dalam aktifitas ekonomi. Tetapi hal itu dilakukan oleh pemerintah kolonial sebenarnya untuk memenuhi tuntutan pasar global. Kebijakan tanam paksa tembakau itu merupakan cara pemerintah kolonial untuk mengamankan kepentingan kapitalis dalam menumpuk modal dan menambah surplus values-nya. Negara dalam hal ini berperasn sebagai kapitalis juga (state capitalism). Kondisi seperti ini umum terjadi pada masa kolonial karena berkembangnya merkantilisme.

Sistem Ekonomi Heterodoks

(40)

pendekatan pembangunan ekonomi tidak bisa dilakukan dengan meniru begitu saja strategi pembangunan ekonomi di negara lain.

Sebuah teori bisa jadi berhasil menjawab permasalahan ekonomi di suatu negara, namun bisa jadi teori tersebut justeru menambah masalah jika diterapkan di negara lain yang karakter fisik, sosial dan budayanya berbeda. Hal inilah yang selama ini menjadi faktor kunci kegagalan negara berkembang dalam pembangunan ekonominya. Kebanyakan negara berkembang meniru (menduplikat) teori dan strategi pembangunan yang diterapkan di negara maju tanpa ada penyesuaian dengan kondisi nyata di negara berkembang tersebut. Negara-negara berkembang itu tidak memahami sepenuhnya kebutuhan masyarakat di negaranya lalu kemudian memaksa masyarakatnya untuk menerima strategi pembangunan yang ditiru dari negara-negara maju itu. Fakta inilah yang kemudian memunculkan teori yang disebut dengan teori heterodoks (menyempal) karena karakter teorinya yang menyempal dari teori yang dikenal umum, yaitu teori liberal (ekonomi pasar) dan teori radikal (ekonomi terpusat). Teori ini bukanlah teori besar (grand theory) melainkan hanya merupakan teori-teori kecil tapi berhasil menjelaskan dan memb

Gambar

Gambar 4.3. Peta kesesuaian ekonomi tembakau di Pulau Lombok
Gambar 1.1 Umur mulai merokok Indonesia tahun 1995, 2001, 2004, 2007,
Gambar 2.1 Konsep agribisnis Suharjo
Gambar 3.1 Kerangka pemikiran penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, keterampilan menulis teks eksplanasi masih banyak siswa yang mendapatkan nilai di bawah nilai ketuntasan minimal (KKM), KKM yang berlaku di SMA Negeri 2 Sabang

Semua dokumen pemerintah yang penting harus memiliki URL ( Uniform Resource Locator ) yang tetap, sehingga mesin pencari ( search engine ) dapat menghubungkan

Di siklus pertama dapat dilihat kemampuan peneliti menggunakan pendekatan keterampilan proses yang berkaitan dengan aktivitas belajar murid dan guru sebagai peneliti, hal

Organisasi informal adalah kumpulan dari dua orang atau lebih yang telibat pada suatu. aktifitas serta tujuan bersama yang

Adapun sistem penyimpanan di RSU Sinar Husni tidak menggunakan tracer dan masih manual pada saat pengambilan rekam medis, masih ada berkas rekam medis yang

Penelitian ini diawali dengan pembuatan nugget sesuai dengan resep dari produk nugget kelinci K3, kemudian dilanjutkan dengan analisis kandungan kimia sampel

Proyek adalah kegiatan-kegiatan yang dapat direncanakan dan dilaksanakan dalam satu bentuk kesatuan dengan mempergunakan sumber-sumber untuk mendapatkan

Kepentingan strategis yang bersifat tetap adalah penyelenggaraan usaha pertahanan negara untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara dan keutuhan wilayah NKRI, serta