• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kegiatan Wisata Terhadap Karakteristik Biofisik Ekosistem Gua Di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Kegiatan Wisata Terhadap Karakteristik Biofisik Ekosistem Gua Di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KEGIATAN WISATA TERHADAP KARAKTERISTIK

BIOFISIK EKOSISTEM GUA DI TAMAN NASIONAL

BANTIMURUNG BULUSARAUNG

ANUGRO PURWIDIATMOKO

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Kegiatan Wisata Terhadap Karakteristik Biofisik Ekosistem Gua di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Anugro Purwidiatmoko

(4)

ABSTRAK

ANUGRO PURWIDIATMOKO. Pengaruh Kegiatan Wisata Terhadap Karakteristik Biofisik Ekosistem Gua di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Dibimbing oleh ARZYANA SUNKAR dan YANTO SANTOSA

Gua merupakan salah satu ekosistem unik yang berbeda dari ekosistem lain karena memiliki keterbatasan sinar matahari, sumber bahan organik, kadar oksigen, dan iklim mikro. Perubahan kondisi biofisik di dalam gua dapat mempengaruhi kondisi lingkungan gua, seperti adanya kegiatan wisata di dalam gua. Sehingga sangat penting bagi pengelola untuk memperhatikan dampak kegiatan wisata terhadap kondisi biofisik gua dalam perencanaan dan pengembangan gua wisata. Penelitian ini dilakukan di gua wisata dan gua bukan wisata di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung pada bulan Agustus dan September 2014, dengan menggunakan analisis uji t berpasangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara beberapa karakteristik fisik dengan karakteristik biologi gua. Panjang lorong gua memiliki hubungan positif dengan keanekaragaman fauna gua, dan intensitas cahaya dalam gua memiliki hubungan positif dengan jumlah individu spesies. Hasil analisis uji t berpasangan menunjukkan tidak ada perubahan parameter gua biofisik sebelum dan setelah kegiatan wisata, namun terdapat potensi kenaikan di suhu udara. Aktivitas fotografi dan peralatan pencahayaan dapat mempengaruhi peningkatan suhu udara.

Kata kunci: biofisik, ekosistem gua, pengunjung, wisata

ABSTRACT

ANUGRO PURWIDIATMOKO. Impact of Tourism Activities on Biophysical Characteristics of Cave Ecosystem in Bantimurung Bulusaraung National Park. Supervised by ARZYANA SUNKAR and YANTO SANTOSA

Cave is one of the unique ecosystems that are distict due to its limited sunlight, organic matter, oxygen and microclimate conditions. Changes in the biophysical conditions in caves could affect the overall cave environment, such as tourism activities. Therefore, it is very important for the cave manager to consider tourism activites in their show cave planning and development. This reserach was conducted inside show and non-show caves in bantimurung-Bulusaraung national Park from August to September 2014, using paired t-test analysis. Results of the research showed that some physical characteristics were related with some biological characteristics of the caves. Cave passage was positively related to the diversity of cave fauna, and the light intensity inside the caves was related with the number of individual species. The results of paired t test analysis showed that there were no changes in biophysical cave parameters before and after tourism activities. However, there was a potensial rise in air temperature. Photography and the use of lighting equipment,could affect the rise of air temperature inside the caves.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

ANUGRO PURWIDIATMOKO

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2015

PENGARUH KEGIATAN WISATA TERHADAP KARAKTERISTIK

BIOFISIK EKOSISTEM GUA DI TAMAN NASIONAL

(6)
(7)

Judul Skripsi

Nama NIM

: Pengaruh Kegiatan Wisata Terhadap Karakteristik Biofisik Ekosistem Gua di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

: Anugro Purwidiatmoko : E34100137

Disetujui oleh

Dr Ir Arzyana Sunkar, MSc

Pembimbing I

Prof Dr Ir Yanto Santosa,DEA Pembimbing II

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Agustus sampai September 2014 ini adalah mengenai gua wisata, dengan judul Pengaruh Kegiatan Wisata Terhadap Karakteristik Biofisik Ekosistem Gua di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Arzyana Sunkar, MSc selaku pembimbing pertama dan Bapak Prof Dr Ir Yanto Santosa, DEA selaku pembimbing kedua tugas akhir yang telah membimbing dan banyak memberikan saran. Penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dan para staff yang telah memberikan izin dan kemudahan dalam melakukan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda Purbatinhadi, ibunda Wuryaningsih, kedua kakak Heryani Purwanita dan Dian Purbaningrum, serta seluruh keluarga besar Fahutan 47, Nepenthes rafflesiana 47, KPG XVII (Coli, Keong, Bacem, Ngacay, Brew, dan Kumel), Kost Binaiya, dan Paguyuban Putra Atlas (Patra Atlas), atas segala doa dan kasih sayangnya sehingga penulisan karya ilmiah ini dapat terselesaikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL 2

DAFTAR GAMBAR 2

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

METODE 2

Lokasi dan Waktu Penelitian 2

Jenis Data yang Dikumpulkan 3

Alat dan Instrumen 3

Metode Pengumpulan Data 3

Analisis Data 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 5

Perbandingan Karakteristik Biofisik Gua 5

Karakteristik Kunjungan Wisata Gua Taman Nasional Bantimurung

Bulusaraung 10

Pengaruh Kegiatan Wisata terhadap Biofisik Gua 12

SIMPULAN DAN SARAN 14

Simpulan 14

Saran 14

(10)

2

DAFTAR TABEL

1 Jenis data yang dikumpulkan 3

2 Hasil pengukuran panjang lorong, rataan suhu, dan rataan kelembaban 6 3 Keanekaragaman jenis fauna gua di gua lokasi penelitian 9 4 Jumlah individu setiap jenis fauna gua pada lokasi penelitian 9 5 Karakteristik kunjungan gua wisata di Taman Nasional Bantimurung

Bulusaraung 10

6 Nilai rataan variabel biofisik Rhaphidophora sp 12 7 Nilai rataan variabel biofisik Heteropoda beroni 12

8 Nilai rataan variabel biofisik kelelawar 12

9 Suhu rataan di luar lingkungan gua 13

10 Hasil uji t berpasangan dari variabel suhu, kelembaban, lux, dan jarak 13

DAFTAR GAMBAR

1 Peta koordinat lokasi gua penelitian di Taman Nasional Bantimurung

Bulusaraung 2

2 Grafik perbandingan intensitas cahaya antara gua wisata dan gua bukan

wisata. 7

3 Mulut gua a) Gua Batu; b) Gua Mimpi; c) Gua Saripa; d) Gua Batu Depan;

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Karst merupakan bentang alam yang memiliki peran penting sebagai pemasok air, bahan galian tambang, penghasil sarang burung walet, objek pariwisata dan sumber penghidupan bagi masyarakat lokal. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA), ekosistem karst merupakan kawasan ekosistem esensial, yaitu ekosistem penyangga kehidupan yang memiliki keunikan dan atau fungsi penting dari habitat dan atau jenis. Selain itu, ekosistem esensial juga memiliki fungsi sebagai penyedia jasa air. Hal tersebut menunjukkan bahwa karst memiliki nilai ekologi dan ekonomi bagi masyarakat di sekitarnya.

Gua merupakan salah satu ekosistem ciri khas kawasan karst yang terbentuk dari proses karstifikasi pada batuan kapur. Keterbatasan yang dimiliki ekosistem gua terkait sinar matahari, sumber bahan organik, kadar oksigen, dan iklim mikro yang relatif stabil baik temperatur, kelembaban, kandungan karbondioksida dan oksigen, sehingga kehidupan di dalam gua sangat rentan terhadap adanya perubahan (Rahmadi dan Suhardjono 2007). Rentannya lingkungan gua mengharuskan pengelolaan gua sebagai obyek wisata harus, untuk memperhatikan kondisi ekologi gua dalam perencanaan dan pengembangan gua wisata dan wisata gua.

Kondisi lingkungan gua yang berbeda dengan lingkungan di luar gua juga menjadikan pengelolaan wisata gua tidak dapat disamakan dengan pengelolaan wisata pada umumnya. Pengelolaan wisata gua lebih mengutamakan teknik pengelolaan lingkungan yang sesuai dengan mempertimbangkan kondisi gua yang rentan terhadap aktivitas manusia (de Freitas 2010; Sunkar 2014). Pengelolaan yang tidak sesuai akan berdampak langsung pada ekosistem gua, seperti yang terjadi di Gua Maquine, Brazil, yang berakibat pada rusaknya ornamen gua, sedimen dan permukaan batu akibat masalah dari instalasi, pemeliharaan, dan pengoprasian infrastruktur dan manajemen arus pengunjung (Alt dan Moura 2013)

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh aktivitas pengunjung terhadap kondisi di dalam gua (Bosch et al.1997; Hoyos et al. 1998; Barciova et al., 2010). Cahaya lampu penerangan ataupun suhu tubuh penggunjung, dapat meningkatkan energi di dalam gua (Cigna 1993). Intensitas cahaya lampu penerangan dapat mengganggu keberadaan fauna gua seperti kelelawar, terutama untuk kelelawar betina pada masa berkembangbiak, karena kelelawar menghabiskan energi untuk merespon cahaya yang datang dan tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk anak maupun betina tersebut (Mann et al. 2002).

Karst Maros-Pangkep di Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu kawasan karst tropika terluas di Indonesia dan dikenal memiliki keunikan lanskap dan gua yang bervariasi. Gua-gua Maros terkenal dengan ukurannya yang besar dan terpanjang di Asia Tenggara dengan dekorasi terindah (Expedition Thai-Maros

(12)

2

ditimbulkan dari kegiatan wisata. Sampai saat ini, di Indonesia belum ada pustaka yang meninjau secara khusus mengenai pengaruh kegiatan wisata terhadap biofisik gua. Oleh karena itu, penelitian ini penting dilakukan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan untuk pengelolaan gua wisata yang berkelanjutan.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Mengidentifikasi karakteristik biofisik gua wisata 2. Mengidentifikasi aktivitas pengunjung gua wisata.

3. Mengidentifikasi dan menentukan peubah-peubah yang terpengaruh oleh kegiatan wisata.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan bermanfaat untuk memberikan informasi mengenai pengaruh kegiatan wisata terhadap biofisik gua karst dan peubah-peubah yang mempengaruhinya. Informasi tersebut akan menjadi data awal dalam monitoring pengelolaan ekosistem gua terhadap dampak kegiatan wisata. Selain itu, penelitian ini akan bermanfaat sebagain bahan informasi dalam pendugaan adanya perubahan biofisik gua akibat kegiatan wisata gua.

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di TN Bantimurung Bulusaraung, Karst Maros, Sulawesi Selatan. Gua yang dijadikan sebagai objek penelitian adalah 3 gua wisata dan 3 gua bukan wisata. Lokasi gua bukan wisata dipilih untuk membandingkan karakteristik biofik di dalam gua. Lokasi gua bukan wisata yang diambil juga tidak terlalu jauh dari lolasi gua wisata.

(13)

3 Gua wisata yang dijadikan obyek penelitian adalah Gua Batu, Gua Saripa, dan Gua Mimpi/Istani Toakala. Sedangkan gua bukan-wisata yaitu Gua Sulaeman, Gua Batu Depan, dan Gua Hamid. Koordinat lokasi gua penelitian disajikan pada Gambar 1. Penelitian dilakukan pada bulan 19 Agustus 2014 hingga 17 September 2014.

Jenis Data yang Dikumpulkan

Jenis data yang dikumpulkan selama penelitian disajikan dalam Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1 Jenis data yang dikumpulkan

No Jenis Data Data yang diambil Metode Sumber Data 1 Pengelola Sejarah pengelolaan

Jenis wisata

Pembangunan fasilitas Volume pengunjung

Wawancara Pengelola gua wisata

2 Pengunjung Karakteristik pengunjung

Inventarisasi Lokasi gua yang diamati

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: alat penelusuran gua (helm, headlamp, coverall, sarung tangan, sepatu boot), GPS, jam tangan, recorder, kompas, klinometer, meteran gulung, meteran jahit, termometer (Dry wet), luxmeter, alat tulis dan kamera. Sedangkan instrumen ynag digunakan adalah kuesioner.

Metode Pengumpulan Data

Wawancara

(14)

4

digunakan untuk menentukan responden (pengunjung gua wisata), yang menghasilkan sebanyak 63 responden. Penggunaan convenient sampling pada penelitian ini didasari pada kesediaan pengunjung untuk menjawab kuesioner. Pada umumnya, pengunjung datang dengan tujuan rekreasi sehingga tidak semua memiliki banyak waktu untuk di wawancara atau mengisi kuesioner. Teknik

convenient sampling merupakan teknik pengambilan sampling berdasarkan kesediaan dan kenyamanan responden yang diwawancarai.

Observasi

Metode observasi dilakukan dengan cara mengumpulkan data berdasarkan pada pengamatan langsung terhadap aktivitas pemandu wisata dan pengunjung di dalam gua. Data yang dikumpulkan melalui metode observasi ini digunakan untuk memperkuat data aktivitas pengunjung hasil wawancara terhadap pemandu wisata dan pengunjung wisata gua.

Inventarisasi fauna gua

Cara kerja dalam inventarisasi fauna gua yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Penelusuran dilakukan oleh beberapa orang selaku tim surveyor.

2. Pencarian dan pengambilan spesies dilakukan di sepanjang lorong gua serta tempat-tempat di dalam gua seperti ceruk, ornamen-ornamen gua, dan langit-langit gua.

3. Pengukuran dilakukan pada spesies yang ditemukan dan dicatat dalam tallysheet.

4. Spesies yang berukuran besar diambil dengan cara manual (tangan) ataupun dengan pinset. Sedangkan spesies yang berukuran kecil diambil dengan menggunakan kuas, kemudian dimasukkan ke dalam plastik specimen.

5. Pengambilan foto dilakukan untuk dokumentasi atau identifikasi lanjut. 6. Pengidentifikasian spesies dilakukan dengan mencocokkan dengan

fieldguide atau informasi dari LIPI.

Pengukuran langsung

Parameter fisik gua yang diukur adalah jarak fauna gua dari pintu gua, suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya. Pengukuran biofisik sebelum kegiatan wisata dilakukan pada pukul 09.00 WITA dan setelah wisata dilakukan pada pukul 14.00 WITA. Pengukuran jarak dilakukan dengan menggunakan meteran gulung. Jarak yang diukur adalah posisi fauna gua dari mulut gua. Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan dengan menggunakan termometer bola kering dan bola basah (Dry Wet) pada setiap lokasi fauna gua ditemukan. Nilai kelembaban diperoleh dari nilai selisih bola kering dan bola basah. Sedangkan intensitas cahaya pada lokasi fauna gua yang ditemukan diukur dengan menggunakan luxmeter.

Analisis Data

Analisis uji t berpasangan

(15)

5 intensitas cahaya, dan jarak). Variabel yang akan dibandingkan adalah karakteristik biofisik sebelum dan sesudah kegiatan wisata. Tahapan uji hubungan parameter dengan uji t berpasangan (t) adalah sebagai berikut:

1. Hipotesis :

H0 : tidak terdapat perbedaan karakteristik biofisik antara gua sebelum wisata dengan gua setelah wisata.

H1 : Terdapat perbedaan karakteristik biofisik gua antara gua sebelum wisata dengan gua setelah wisata

2. Kriteria Pengujian

Jika t hitung = t tabel (tolak H1, terima H0) berarti tidak terdapat pengaruh pada karakteristik biofisik gua pada gua yang belum dijadikan obyek wisata dan yang sudah dijadikan obyek wisata. Sedangkan jika t hitung > t tabel (tolak H0, terima H1) berarti terdapat perbedaan karakteristik biofisik gua pada gua sebelum wisata dan gua setelah wisata. Dimana, a = 0,05 (5%) dengan tingkat keyakinan 95%.

Analisis deskriptif dilakukan untuk menguraikan data-data yang didapat sehingga diperoleh gambaran perubahan biofisik gua dengan peubah-peubah yang mempengaruhinya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perbandingan Karakteristik Biofisik Gua

(16)

6

Perbandingan karakteristik fisik

Hasil pengukuran fisik berupa panjang lorong, rataan suhu, dan rataan kelembaban disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Panjang lorong, rataan suhu, dan rataan kelembaban Variabel

Gua Wisata Gua Bukan wisata Batu Mimpi Saripa Batu

Depan Sulaeman Hamid Panjang lorong (m) 88.0 686.0 1736.0 194.0 910.0 500.0

Suhu (0) 22.4 22.9 25.1 25.6 26.0 23.1

Kelembaban (%) 88.1 90.8 89.9 79 85.1 85.4

Tabel 2 menunjukkan bahwa gua-gua yang diteliti memiliki panjang lorong yang bervariasi. Kondisi iklim mikro gua pada setiap gua juga berbeda-beda yang ditentukan oleh tipe batuan, curah hujan, dan proses erosi yang terjadi dalam pembentukan gua. Air asam (H2O + CO2 = H2CO3) dari air hujan memanfaatkan setiap celah yang ada pada batuan gamping, secara bertahap melarutkan batuan dasar dan menciptakan bukaan yang lebih besar sebagai tempat air mengalir sehingga terbentuk sistem drainase bawah tanah dan gua (Stokes et al. 2010). Oleh karena itu, panjang atau besar lorong gua akan bergantung pada proses pelarutan batuan tersebut.

Gua Batu merupakan gua wisata dengan pajang lorong terpendek (panjang lorong 88 m), dimana sepanjang 60 m sudah difasilitasi jalan beton. Sedangkan panjang lorong Gua Mimpi merupakan gua fosil yang memiliki panjang lorong sekitar 686 m yang memiliki dua mulut gua. Gua Saripa memiliki panjang lorong total 1736 m dengan variasi lorong horizontal dan vertikal serta cabang lorong yang banyak.

Pengunjung gua wisata dengan tujuan rekreasi lebih memilih kondisi gua pendek dengan aksesibilitas yang mudah. Sebagai contoh Gua Jatijajar yang merupakan gua wisata sepanjang ±250 m dengan fasilitas jembatan untuk mempermudah pengunjung (Asriadi 2010).

Karakteristik fisik lain yang diukur adalah suhu. Gua Mimpi dan Gua Batu memiliki suhu rataan 22.9oC dan 22.4oC. Pengukuran suhu di dalam Gua Batu dan Gua Mimpi yang dilakukan oleh Himakova (2007) mendapatkan besaran suhu di dalam Gua Batu yaitu 24.75 oC dan Gua Mimpi sebesar 25,25 oC. Suhu di dalam gua dipengaruhi oleh suhu di luar gua. Hal tersebut di dukung oleh Poulson and White (1969) dalam Whitten et al.(1987) yang menyatakan fluktuasi suhu masih terjadi pada zona terang dan zona peralihan (lorong yang berada tidak jauh dari pintu masuk gua. Suhu di luar gua yang terukur pada Gua Batu dan Gua Mimpi yakni 23.2 oC dan 23.1 oC. Sedangkan suhu di luar gua yang tercatat (Himakova 2007), Gua Batu sebesar 23.4 oC dan Gua Mimpi 24.5 oC. Suhu di luar gua pada saat dilakukannya penelitian lebih rendah dibandingkan dengan Himakova (2007) suhu di dalam gua yang diukur oleh Himakova (2007) bisa lebih tinggi dari suhu yang terukur saat penelitian dilakukan. Tingginya suhu di dalam gua juga dapat disebabkan oleh aktivitas pengunjung gua.

(17)

7 Gua Sulaeman memiliki suhu yang tertinggi dibandingkan gua bukan wisata lainnya dengan suhu 26oC.

Pengukuran fisik gua lain yang diukur adalah kelembaban. Kelembaban gua adalah salah satu aspek penting dari atmosfer gua. Berbeda dengan kondisi di permukaan, kelembaban di dalam gua biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi di luar gua. Menurut Michie (1997), gua biasanya memiliki kelembaban yang tinggi dan banyak menipis pada siklus harian maupun siklus tahunan.

Gua Mimpi merupakan gua yang memiliki kelembaban tertinggi, yakni 90.8%. Pengukuran kelembaban yang dilakukan sebelumnya oleh Himakova (2007) mencatat kelembaban Gua Mimpi sebesar 90.25% sehingga tidak terdapat perbedaan yang tinggi pada kelembaban relatif. Meskipun setiap gua memiliki kelembaban yang bervariasi, tetapi nilai kelembaban rata-rata gua yang diteliti masih cukup tinggi. Pada gua wisata lain seperti Gua Jatijajar memiliki kelembaban tinggi sebesar 89% (Asriadi 2010). Gua pada umumnya memiliki kelembaban relatif yang tinggi. Pada daerah gua yang dalam, banyak kasus kelembaban relatif dan absolut cenderung tinggi (mendekati titik jenuh), karena kelembaban yang terjadi akibat perkolasi pada batu yang membentuk kondensasi air (embun) di dinding, langit-langit dan ornamen gua (Palmer 2007 diacu dalam Lobo 2012). Kelembaban rataan terendah terdapat pada Gua Batu Depan (79%). Kelembaban di gua wisata lebih tinggi karena kondisi di dalam gua yang lebih basah dan banyaknya genangan air di dalam lorong gua.

Intensitas cahaya juga merupakan salah satu karakteristik fisik yang diukur dalam penelitian. Gambar 2 menunjukkan intensitas cahaya dari 6 lokasi gua yang diteliti. Intensitas cahaya yang tinggi dapat dipengaruhi oleh bentuk dari mulut gua. Bentuk mulut gua dan kontur gua akan mempengaruhi jarak untuk masing-masing zona di setiap gua (Sierra Nevada Recreation Corporation 2007). Gua Mimpi merupakan gua yang memiliki intensitas cahaya yang paling tinggi karena memiliki pintu gua yang cukup luas sehingga memungkinkan cahaya dapat masuk ke dalam gua dengan mudah.

Gambar 2 Grafik perbandingan intensitas cahaya antara gua wisata dan gua bukan wisata

Mulut gua (Gambar 3) merupakan daerah yang menghubungkan lingkungan luar gua dengan lingkungan di dalam gua dan masih mendapatkan cahaya matahari.

(18)

8

Jika dibandingkan dengan gua wisata lain, seperti Gua Jatijajar, intensitas cahaya di Gua Mimpi masih tergolong rendah. Gua Jatijajar memiliki intensitas cahaya 3.63 Klux/m (Asriadi 2010) yang diakubatkan adanya fasilitas berupa lampu penerangan permanen pada lorong gua.

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

Gambar 3 Mulut gua: a) Gua Batu; b) Gua Mimpi; c) Gua Saripa; d) Gua Batu Depan; e) Gua Sulaeman; f) Gua Hamid

Karakteristik biologi

Jumlah jenis

Spesies yang hidup di dalam ekosistem gua mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang berbeda dengan kondisi habitat di luar gua. Gua menyediakan berbagai macam habitat bagi spesies tertentu, yang beberapa diantaranya sepenuhnya tergantung pada gua untuk bertahan hidup. Kondisi lorong yang berbeda-beda sangat menentukan kekayaan fauna di dalam gua karena variasi habitat berkorelasi positif dengan keanekaragaman fauna gua (Poulson dan Culver 1967 diacu dalam Rahmadi dan Suhardjono., 2007).

(19)

9 Tabel 3 Keanekaragaman jenis fauna gua di gua lokasi penelitian

Jenis

Gua Wisata Gua Bukan Wisata Batu Mimpi Saripa

Batu

Depan Sulaeman Hamid

Amblypygy (Charon sp) √ √ √ √ √ memungkinkan terbentuknya variasi habitat yang lebih banyak. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Graening et al. (2006) mengenai fauna gua di Buffalo National Rivel yang menunjukkan kekayaan spesies berbanding lurus dengan panjang lorong gua dan berhubungan dengan faktor-faktor habitat seperti jenis sumberdaya air dan organik.

Jumlah individu

Fauna yang banyak ditemukan dalam jumlah besar adalah Rhaphidophora sp,

Heteropoda beroni, kelelawar, dan udang (Tabel 4). Udang hanya ditemukan di Gua Saripa dan dalam jumlah besar. Fauna aquatik hanya ditemukan di Gua Saripa seperti udang atau ikan buta (Bostrychus sp) dan Gua Batu Depan yakni kepiting.

Tabel 4 Jumlah individu setiap jenis fauna gua pada lokasi penelitian Jenis

Gua Wisata Gua Bukan Wisata

Depan Sulaeman Hamid

(20)

10

Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah individu spesies gua paling banyak ditemukan di Gua Mimpi. Spesies yang paling sering ditemukan adalah

Rhaphidophora sp. Fauna gua, seperti Rhaphidophora sp bergantung pada makanan atau nutrisi yang terbawa dari luar ke dalam gua. Kelelawar merupakan salah satu spesies yang membawa sumber pakan ke dalam gua. Gua-gua yang melimpah guanonya biasanya didominasi oleh jangkrik dan kaki seribu (Diplopoda) dalam jumlah yang sangat melimpah (Rahmadi dan Suhardjono 2007). Arthropoda merupakan spesies penting di dalam ekosistem gua. Arthropoda memiliki populasi yang tinggi dan peran yang besar dalam jaringan rantai makanan. Salah satu kontribusi Arthropoda adalah berupa keanekaragaman dan populasi yang tinggi sehingga membuat keberadaan mereka sangat menentukan (Suhardjono et al.2012). Hasil pengamatan jumlah individu spesies (Tabel 4) memiliki hubungan positif dengan intensitas cahaya (Gambar 2) yang masuk ke dalam gua. Intensitas cahaya yang masuk ke dalam gua ditemukan pada lorong sekitar mulut gua. Intensitas cahaya sendiri mempengaruhi sumber energi yang ada di dalam gua termasuk dalam sumber pakan. Tidak adanya energi surya yang masuk ke dalam gua, akan meningkatkan ketergantungan ekosistem gua pada bahan-bahan organik yang jatuh, tercuci ataupu terbawa ke dalam gua. (Baker et al 2013).

Rhaphidophora sp dan Heteropoda beroni banyak ditemukan di sekitar zona terang dan peralihan pada Gua Mimpi, Gua Hamid, Gua Sulaeman dan Gua Batu Depan. Sumber pakan yang tinggi berpotensi meningkatkan jumlah individu suatu spesies.

Karakteristik Kunjungan Wisata Gua Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Aktivitas pengunjung sangat mempengaruhi kondisi perubahan lingkungan yang terjadi di dalam gua. Kerusakan dapat terjadi akibat pencemaran atau bertambahnya tingkat energi di dalam gua akibat aktivitas dari wisata (Cigna 2011). Oleh karena itu, aktivitas pengunjung juga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perubahan biofisik gua. Tabel 5 menunjukkan karakteristik kunjungan di ketiga gua wisata.

(21)

11

Aktivitas pengunjung

Tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar pengunjung lebih tertarik melihat ornamen gua (83%) seperti stalaktit atau stalakmit, dan melakukan aktivitas fotografi (75%). Hanya beberapa pengunjung yang tertarik terhadap fauna gua karena keunikannya (11%). Kurangnya minat pengunjung untuk melihat fauna gua, sebenarnya dapat menurunkan potensi terganggunya habitat fauna gua, tetapi tingginya aktivitas fotografi di sekitar habitat fauna gua dapat menurunkan kualitas habitatnya. Cahaya langsung dari flash kamera dapat mengganggu biota yang ada di dalam gua, seperti kelelawar (NPRSR 2014). Kelelawar merespon cahaya yang datang dengan terbang, suara, ataupun pada aktivitas koloni (Mann et al. 2002)

Teman seperjalanan

Pengunjung yang datang ke gua, mayoritas merupakan pelajar sehingga mereka lebih memilih berwisata bersama teman (76%). Pelajar maupun pegawai negeri sipil (PNS) melakukan wisata bersama teman atau relasinya di sela-sela liburan. Menurut penelitian yang dilakukan Rachmawati dan Sunkar (2013) pada gua wisata di Jawa Barat, banyak pelajar yang melakukan wisata di gua wisata karena biaya yang murah.

Durasi kunjungan

Lama kunjungan di dalam gua yang paling tinggi adalah 30-60 menit (48%). Lamanya kunjungan di dalam gua menurut Rachmawati dan Sunkar (2013), dipengaruhi oleh aktivitas pengunjung di dalam gua yang akan bergantung pada beberapa faktor seperti panjang lorong gua, objek daya tarik, dan pembangunan yang dilakukan di dalam gua. Semakin panjang lorong gua maka akan semakin banyak potensi dan daya tarik yang dapat dieksplorasi oleh pengunjung. Gua Batu merupakan gua wisata dengan panjang lorong terpendek (88 m) sehingga pengunjung tidak terlalu lama untuk mengeksplorasi gua. Lama kunjungan terpendek (< 15 menit) seluruhnya merupakan pengunjung Gua Batu dan sekitar 92% (22 pengunjung) lama kunjungan 15-30 menit merupakan pengunjung dari Gua Batu. Berbeda dengan Gua Saripa yang memiliki lorong panjang (1736 m) sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama (1-3 jam).

(22)

12

Frekuensi kunjungan

Rata-rata pengunjung baru pertama kali datang ke gua wisata di TN Babul (89%). Sedangkan pengunjung yang datang lebih dari satu kali lebih mengajak teman atau keluarga yang belum pernah datang mengunjungi gua.

Pengaruh Kegiatan Wisata terhadap Biofisik Gua

Penelitian yang dilakukan oleh Baker (2002), Barciova et al., (2010), dan Merritt dan Clarke (2013), menemukan hubungan antara dampak yang ditimbulkan oleh pengunjung dengan keanekaragaman spesies di dalam gua. Oleh karena itu dampak kegiatan wisata terhadap fauna gua dapat menjadi salah satu faktor yang dipertimbangkan untuk mengetahui dampak kegiatan wisata gua.

Dampak aktivitas wisata terhadap habitat fauna gua

Tabel 6-8 menunjukkan data rataan variabel fisik dari Rhaphidophora sp, Heteropoda beroni, dan kelelawar sebelum dan setelah kegiatan wisata.

Tabel 6 Nilai rataan variabel biofisik Rhaphidophora sp

Gua

Tabel 7 Nilai rataan variabel biofisik Heteropoda beroni

Gua

Tabel 8 Nilai rataan variabel biofisik kelelawar

(23)

13

Uji pengaruh kegiatan wisata terhadap biofisik gua

Adanya pengaruh suhu dari luar gua, maka dilakukan uji t (Tabel 9) terhadap suhu di luar gua sebelum dan sesudah kegiatan wisata untuk menentukan perubahan kondisi biofisik akibat kegiatan wisata. Menurut Poulson and White (1969) diacu dalam Whitten et. al., (1987), fluktuasi suhu masih terjadi pada zona terang dan zona peralihan.

Tabel 9 Suhu rataan di luar lingkungan gua

No Gua Suhu

Sebelum wisata Setelah wisata

1 Batu 23.2 22.6

2 Mimpi 23.1 23.7

3 Saripa 25.5 25.8

Hasil uji t menunjukkan bahwa suhu di luar gua sebelum dan sesudah kegiatan wisata tidak berbeda nyata. Hasil uji t yang didapatkan adalah t hitung = 0.28 dengan t tabel = 4.30 pada taraf nyata 0.05, yang berarti suhu di luar lingkungan gua tidak berubah selama kegiatan wisata dilakukan. Hasil ini mengindikasikan bahwa perubahan kondisi biofisik di dalam gua selama aktivitas wisata berlangsung disebabkan oleh aktivitas pengunjung. Hasil pengujian perubahan kondisi biofisik gua menggunakan uji t berpasangan (Tabel 10) pada taraf nyata 0,05 (Ttabel = 4.30), mengindikasikan tidak adanya perubahan kondisi biofisik gua sebelum dan setelah kegiatan wisata.

Tabel 10 Hasil uji t berpasangan dari variabel suhu, kelembaban, intensitas cahaya, dan jarak

Rekomendasi bagi pengelolaan gua wisata

(24)

14

Peningkatan suhu dapat bersumber dari cahaya lampu yang digunakan ataupun suhu tubuh pengunjung (Cigna 1993). Sehingga semakin banyak frekuensi dan durasi aktivitas pengunjung di dalam gua akan meningkatkan suhu di dalam gua. Menurut Cigna (2011), seseorang yang berjalan akan merilis energi hampir sebanyak bohlam 200 watt pada suhu sekitar 37° C. Selain itu, pemandu wisata di Gua Batu menggunakan lampu petromak sebagai alat penerangan. Lampu petromak melepaskan energi panas secara langsung untuk mendapatkan cahaya penerangan. Meminimalisir dampak dari aktivitas wisata dapat dilakukan pengelola dengan menggunakan alat penerangan yang lebih ramah lingkungan dapat meminimalisir terjadinya peningkatan suhu di dalam gua.

Dalam melakukan pengelolaan pemanfaatan gua wisata yang berkelanjutan terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh pengelola, yaitu keanekaragaman hayati, sejarah, dan budaya (DENR-PAWB 2008). Oleh karena itu, sistem monitoring yang dilakukan secara periodik dapat memungkinkan pengelola untuk menilai dampak perubahan dan memodifikasi strategi manajemen yang sesuai (de Freitas 2010). Pengelola juga perlu memperhatikan aktivitas dan kenaikan jumlah pengunjung pada setiap hari kunjungan. Menurut Borges et al.

(2011), kenaikan jumlah pengunjung dapat menjadi masalah jika mekanisme perlindungan kawasan tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan. Menurut keterangan pihak taman nasional, lonjakan pengunjung tertinggi biasanya terjadi pada musim libur panjang atau libur hari besar. Oleh karena itu, pengelola tidak bisa mengabaikan energi yang dilepaskan oleh ratusan pengunjung dalam satu hari kunjungan. Gua Batu, Gua Mimpi, dan Gua Saripa merupakan gua wisata yang belum memiliki batasan dalam pengunjung yang dapat memberikan dampak pada ekosistem di dalam gua saat lonjakan pengunjung tinggi.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Terdapat hubungan antara faktor fisik dengan faktor biologis. Panjang lorong memiliki hubungan positif dengan jumlah jenis yang ditemukan di dalam gua. Sedangkan intensitas cahaya memiliki hubungan positif dengan jumlah individu jenis.

2. Aktivitas yang banyak dilakukan pengunjung adalah melihat ornamen dan fotografi. Waktu kunjungan di dalam gua rata-rata 30-60 menit. Sebagian besar pengunjung baru pertama kali datang ke wisata gua wisata di TN Babul. 3. Kegiatan wisata tidak berpengaruh terhadap kondisi biofisik gua wisata.

Kondisi biofisik gua tidak terjadi perubahan secara signifikan pada saat sebelum adanya kegiatan wisata dan setelah adanya kegiatan wisata. Namun, perlu diwaspadai adanya potensi peningkatan suhu di dalam gua.

Saran

(25)

15 2. Informasi mengenai data jumlah pengunjung gua wisatasecara periodik dapat digunakan untuk mengontrol jumlah pengunjung yang masuk ke dalam gua wisata.

3. Peningkatan suhu dapat dicegah dengan pembatasan pengunjung, tetapi juga dapat diminimalisir dengan penggunaan alat penerangan yang lebih efisien dan ramah lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Alt L, Moura V. 2013 Use of Impact Mapping for Plannning The Infrastructure in Tourist Caves – Case Study: Maquine Cave, Brazil. 20th National Cave and Karst Management Symposium.

Asriadi A. 2010. Kelimpahan, Sebaran , dan Keanekaragaman Jenis Kelelawar (Chiroptera) Pada Beberapa Gua dengan Pola Pengelolaan Berbeda Di Kawasan Karst Gombong Jawa Tengah. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta

Baker C. 2002. A biological basis for management of glow-worm populations of ecotourism significance. Queensland.

Baker GM, Steven JT, Shawn T, Rick O, Kathy L, Marie D, Steven CT, Hazel B, Kurt LH, Rene O et al. 2013. National Park Service Cave Ecology Inventory and Monitoring Framework. 20th National Cave and Karst Management Symposium.

Barciova T, Lubomir K, Dana M. 2010. Impact of Tourism Upon Structure and Diversityof Collembola Assemblages (Hexapoda) – A Case Study of The Gombasecká Cave, Slovak Karst (Slovakia). Acta Carsologica v. 48, n. 2, p. 271-283

Beata M, Mucsi L. 2014. Investigation of the spatial and temporal trends of the air temperature of the Hajnóczy cave in the Bükk mountains. Geographica Pannonica vol. 18, Issue 3, p. 51-61

Borges MA, Giulia C, Robyn B, Tilman J. 2011. Sustainable tourism and natural word heritage: priorities for action. Switzerland (CN): International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN).

Bosch AP, Rosales WM, Chicano ML, Navarro CM, Vallejos A. 1997 Human Impact in A Tourist Karstic Cave (Aracena, Spain). Environmental Geology 31 (3/4). Springer-Vertag.

Cigna AA. 1993. Environmental management of tourist caves. The examples of Grotta di Castellana and Grotta Grande del Vento, Italy. Enviromental Geology, v. 21, n. 3, p. 173-180

Cigna AA. 2011. Show Cave Development with Special References to Active Caves. Tourist and Karst Areas, 4(1).

de Freitas CR. 2010. The Role and Importance of Cave Microclimate In The Sustainable Use and Management of Show Caves. Acta Carsologica v. 39, n. 3, p. 477-489

(26)

16

Graening GO, Michael ES, Bitting C. 2006. Cave Fauna of The Buffalo National River. Journal of Cave and Karst Studies, v. 68, no. 3, p. 153-163

Himakova. 2007. Studi Konservasi Lingkungan.[Laporan Kegiatan]. Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekowisata. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.

Hoyos M, Soler V, Canaveras JC, Moral SS, Rubio ES. 1998. Microclimatic characterization of a karstic cave: human impact on microenvironmental parameters of a prehistoric rock art cave (Candamo Cave, northern Spain).

Environmental Geology 33 (4). Springer-Vertag

Lobo HAS. 2012. Speleoclimate and Its Applications In Tourism Management In Caves. Journal of Geography Department-USP, Issue 23, p. 27-54.

Mann AL, Steidl RJ, Dalton V. 2002. Effects of Cave Tours on Breeding Myotis veliver. J. Wildl. Manage. 66 (3)

Merritt DJ, Clarke AK. 2013. The impact of cave lighting on the bioluminescent display of the Tasmanian glow-worm Arachnocampa tasmaniensis. J. Insect Conserv. 17:147-153

Michie NA. 1997. An Invstigation of The Climate, Carbon Dioxide and Dust in Jenolan Caves NSW. [Thesis]. School of Earth Sciences, Macquarie University.

[NPRSR] National Parks, Recreation, Sport and Racing. 2014. Queensland Adventure Activity Standards:Recreational Caving. Brisbane: Department of National Parks, Recreation, Sport and Racing, Queensland Government. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 tentang

Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam

Rachmawati E, Sunkar A. 2013. Consumer-Based Cave Travel and Tourism Market Characteristics in West Java, Indonesia. Tourist and Karst Areas, 4(1). Sunkar A. 2007. Ekosistem Karst dan Gua: Gudangnya Keanekaragaman Hayati

yang Unik. Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Cibinong

Rahmadi C, Suhardjono Y. 2007. Arthropoda Gua Di Nusakambangan Cilacap, Jawa Tengah. Zoo Indonesia Vol. 16(1):21 - 29

Sierra Nevada Recreation Corporation. 2007. Caverns Make Great Classroom: Cavern Life [Internet]. [diunduh 2015 Mar 17]. Tersedia pada: www.caverntours.com/Downloads/Cave_Life.pdf

Suhardjono YR, Ristiyanti MM, Anang SA, Nur SI, Pungki L, Agustinus S, Cahyo R, Sigit W, Hari N, Daisy W, Kurnianingsih. 2012. Fauna Karst dan Gua Maros, Sulawesi Selatan. Jakarta: LIPI Press

Sunkar A. 2014. Pedoman Sistem Klasifikasi Gua Karst: Kunci Pemanfaatan Gua Karst Berkelanjutan. Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan. Vol. 1 No. 1: 1-6

Stokes T, Griffiths P, Ramsey C. 2010. Karst geomorphology, Hydrology, and Management. Compendium of Forest Hydrology and Geomorphology in British Columbia.

Whitten JA, Mustafa M, Henderson GS. 1987. The Ecology of Sulawesi. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

(27)

17

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ungaran pada tanggal 2 Januari 1992 dari pasangan Purbatinhadi dan Wuryaningsih. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Penulis menempuh jenjang pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Ungaran pada tahun 2007-2010. Pada tahun 2010, penulis diterima di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Selama masa perkuliahan, penulis mengikuti organisasi kemahasiswaan yaitu Kelompok Pemerhati Gua (KPG) sebagai ketua KPG (2012/2013) dan anggota Kelompok Pemerhati Kupu-kupu (KPK) Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (Himakova). Bersama Himakova, penulis mengikuti kegiatan Eksplorasi Fauna, Flora, dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) di Cagar Alam Sukawayana, Sukabumi (2012). Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (2012) dan Taman Nasional Manusela (2013).

Gambar

Grafik perbandingan intensitas cahaya antara gua wisata dan gua bukan
Gambar 1  Peta koordinat lokasi gua penelitian di Taman Nasional Bantimurung
Tabel 1  Jenis data yang dikumpulkan
Gambar 3  Mulut gua: a) Gua Batu; b) Gua Mimpi; c) Gua Saripa; d) Gua Batu
+4

Referensi

Dokumen terkait

Program/ Kegiatan Sasaran Indikator Kinerja Target Kinerja 2010 2011 2012 2013 2014 Penelitian dan Pengembangan Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat Meningkatnya

Tentu saja untuk mendapatkan keuntungan dari investasi Anda, Anda harus membeli barang saat harga lagi diskon lalu menjualnya disaat harga barang tersebut sedang berada

Praktikum Peluruhan Radioaktif meliputi pengukuran berulang aktivitas untuk menentukan umur paro radionuklida dan perhitungan aktivitas anak luruh dalam peluruhan

Seorang remaja memiliki tingkat kematangan sosial yang tinggi apabila memiliki kriteria sebagai berikut: a) mempunyai hubungan keluarga yang baik, b) mempunyai

Hasil penelitian yang dilakukan oleh (11) dengan judul “ Pengaruh frekuensi senam asma Indonesia terhadap keluhan serangan asma pada pasien asma di Puskesmas

Pada saat di SMA Muhammadiyah 3 Surabaya mengamati ada beberapa hal yang penulis perhatikan dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru PPDB yaitu calon peserta yang melakukan

Ideologi merupakan kerangka intelektual yang digunakan oleh para pembuat kebijakan untuk memperhatikan realitas, untuk menetapkan sasaran jangka panjang suatu perilaku ekstern

 Thailade (2015) banyak kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam kegiatan pengukuran biomassa pohon, salah satunya ditimbulkan dari alat yang digunakan mempunyai ketelitian