Ruri Wijayanti
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesisKajian Rekayasa Proses Penggorengan Hampa dan Kelayakan Usaha Produksi Keripik Pisang adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Maret 2011
Ruri Wijayanti
RURI WIJAYANTI. Study of Engineering Process on Vacuum Frying and Business Feasibility of Banana Chips Production. Under direction of I WAYAN BUDIASTRA and ROKHANI HASBULLAH
Vacuum frying is a new technology that can be used to improve quality attributes of fried food because of low temperatures process. The objectives of this study is to assess the effects of oil temperatures and exposure time of frying on physic-chemical and organoleptic properties of banana chips to get a better quality products, to determine packaging material that can extend shelf life of banana chips, to predict shelf life of banana chips using the method of acceleration and to calculate production costs and the business feasibility of vacuum fried banana chips. The quality parameters tested include water content, fat content, colour, thickness and organoleptic test. Banana chips were fried in oils with temperature of 60, 70, 80, and 90 °C and time of frying 30, 45, 60 and 75 minutes. The result showed that the temperature and frying time is significantly influence the quality and characteristics of the products. The best quality of banana chips obtained at frying temperature of 80 ˚ C for 60 minutes. Aluminum foil can maintain the shelf life of banana chips for 115 days of storage, while the PP is only for 70.6 days of storage based on water content parameter. Banana chips business eligible to run if production capacity is 4 kg or more.
RURI WIJAYANTI. Kajian Rekayasa Proses Penggorengan Hampa dan Kelayakan Usaha Produksi Keripik Pisang. Dibimbing oleh I WAYAN BUDIASTRA dan ROKHANI HASBULLAH
Pisang merupakan salah satu jenis bebuahan yang paling banyak dihasilkan di Indonesia, salah satu daerah yang ikut menyumbang hasil produksi pisang ini adalah Kabupaten Kepulauan Mentawai, di Propinsi Sumatera Barat. Mengingat penduduk Mentawai masih mengkonsumsi buah-buahan ini dalam bentuk segar, distribusi dan pemasaran buah-buahan ini bergantung kepada masuk atau tidaknya kapal, maka pada saat musim panen raya ketika jumlah produksinya meningkat buah-buahan ini tidak terjual dan termanfaatkan secara optimal dan harga jualnya menurun secara tajam.
Salah satu cara yang dilakukan untuk meningkatkan nilai jual pisang dan meningkatkan umur simpannya adalah dengan mengolahnya menjadi produk baru seperti keripik. Metode yang bisa digunakan adalah dengan menggunakan teknologi penggorengan vakum dengan memanfaatkan penggorengan pada suhu yang rendah. Salah satu keunggulan teknologi penggorengan secara vakum ini adalah dihasilkannya tekstur, warna dan aroma yang khas seperti produk aslinya. Penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh suhu dan waktu penggorengan terhadap mutu akhir produk baik dari sifat fisiko-kimia dan organoleptiknya, menentukan jenis kemasan yang dapat memperpanjang umur simpan keripik buah pisang, menduga umur simpan keripik pisang dengan menggunakan metoda akselerasi, dan menghitung biaya produksi keripik pisang vacuum frying dan kelayakan usaha keripik pisang.
Penelitian dilaksanaan pada bulan November 2010 sampai dengan Januari 2011 bertempat di Kabupaten Kepulauan Mentawai Provinsi Sumatera Barat. Analisis produk keripik dilakukan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Buah pisang yang digunakan adalah buah pisang jenis kepok yang memiliki tingkat kematangan yang sama yaitu ¾ penuh. Penelitian dilakukan dalam 3 (tiga) tahap. Tahap pertama adalah pembuatan keripik pisang dengan menggunakan vacuum frying, tahap kedua adalah aplikasi kemasan sekaligus menduga umur simpan keripik pisang dan tahap yang ketiga adalah analisis kelayakan usaha keripik pisang.
Penellitian tahap pertama yaitu penggorengan pisang secara vakum dilakukan dengan menggunakan penggoreng vakum disain Lastriyanto (1997) pada tekanan vakum 740 mmHg. Penelitian tahap kedua, pendugaan umur simpan dengan metoda akselerasi menggunakan model arhenius pada suhu penyimpanan 40, 50 dan 60o
data diolah dengan Kruskal Wallis dan jika berpengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut Dunn.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa suhu dan waktu penggorengan sangat berpengaruh nyata terhadap penurunan maupun peningkatan mutu dan karakteristik produk yang dihasilkan dimana terjadi penurunan parameter kadar air, peningkatan nilai kadar lemak dan kekerasan. Berdasarkan hasil uji organoleptik mutu keripik pisang yang terbaik diperoleh pada suhu penggorengan 80˚C selama 60 menit dengan nilai kadar air 10.75%, kadar lemak 26.45% dan kekerasan 3.90 kg/mm.
Parameter mutu kritis dari pendugaan umur simpan keripik pisang adalah kadar air, dimana kemasan aluminium Foil lebih mampu mempertahankan umur simpan keripik pisang hingga 115 hari pada suhu 25o
Biaya total produksi keripik pisang dengan kapasitas produksi 10 kg, 8 kg, 6 kg, 4 kg dan 3 kg secara berturut-turut adalah 333870129/tahun, Rp 332070129/tahun, Rp 313155129/tahun, Rp 276450129/tahun dan Rp 243630129/tahun dengan total produksi yaitu sebanyak 12.000 kg/tahun untuk kapasitas 10 dan 8 kg, 10.800 kg/tahun untuk kapasitas 6, 8400 kg/tahun untuk kapasitas 4 kg dan 6300 kg/tahun untuk kapasitas 3 kg. Usaha keripik pisang baru layak untuk dijalankan jika minimal kapasitas produksi per prosesnya adalah 4 kg yang ditunjukkan dengan nilai NPV yang bernilai positif, nilai IRR yang lebih besar dari discount factor pada saat sekarang dan nilai net B/C, gross B/C yang lebih besar dari satu. Sedangkan untuk kapasitas produksi per prosesnya 3 kg usaha keripik pisang ini tidak layak untuk dijalankan ditunjukkan dengan nilai NPV yang bernilai negatif, nilai net B/C, gross B/C yang lebih kecil dari 1, dan dengan nilai IRR yang tidak terdeteksi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa usaha keripik pisang baru layak untuk dijalankan jika minimal kapasitas produksi per prosesnya adalah 4 kg
, sedangkan kemasan PP hanya mampu mempertahankan umur simpan keripik pisang selama 70,6 hari.
Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atas seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya
KERIPIK PISANG
RURI WIJAYANTI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Pascapanen
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
NRP : F153080101
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. I. Wayan Budiastra, M. Agr
Ketua Anggota
Dr.Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Teknologi Pascapanen
Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr
rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Tema yang dipilih dalam penelitian adalah pengolahan buah matang (segar) menjadi produk akhir keripik sebagai salah satu komoditi eksotik Indonesia, yakni pisang batu (kapok), dengan judul Kajian Rekayasa Proses Penggorengan Hampa dan Kelayakan Usaha Produksi Keripik Pisang
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan penghargaan dan terimakasih kepada:
1. Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr dan Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si selaku pembimbing yang telah memberikan saran, arahan dan bimbingan kepada penulis mulai penyusunan proposal sampai pada penulisan karya ilmiah ini. 2. Dr. Ir. Usman Ahmad, M.Agr selaku penguji luar komisi atas saran dan
masukannya,
3. Ketua Mayor Teknologi Pascapanen, Fakultas Teknologi Pertanian-IPB dan staf,
4. Lembaga Direktorat Penelitian dan Pengabdian Pada masyarakat (DP2M) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah mendanai penelitian ini,
5. Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian Departemen Teknik Mesin dan Biosistem dan,
6. Bu Rus, Pak Mul, dan Pak Sulyaden yang sudah membantu dan memberikan kemudahan dalam urusan administrasi Mayor TMB,
7. Orang tua penulis (Supradah, SE dan Tri Silati), suami (Rahmat Kurniawan, SE. MA) dan anak (Khairul Naufal Akmal), serta mertua atas segala kasih, kesabaran, doa dan dukungan selama penulis melaksanakan studi,
8. UKM Mekar Sari khususnya Keluarga Bapak Muh Khusni Nasirun atas bantuannya selama ini,
9. Rekan-rekan seperjuangan dalam TPP’08; Mba Yosi, Ka Fifi, Ibu Siti Jamila, Ka Meivi, Mba Erbi, Mba Novi, Mas Bambang, Pak Amin, Mba Dian dan Pak Khamsi, serta tak terlupakan temen-temen TPP’09; Mas Riwan, Mamat, Jati dan Ka Ir, terimakasih atas kebersamaan dan dukungan selama studi, 10. Serta masih banyak lagi ucapan terimakasih dan penghargaan penulis
sampaikan kepada pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan pengolahan pisang, serta buah tropika Indonesia pada umumnya.
Bogor, Maret 2011
Supradah, SE dan Ibu Tri Silati. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara.
Tahun 2001 penulis lulus dari SMUN 4 Padang dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi ujian masuk Universitas Andalas melalui jalur UMPTN. Penulis memilih program studi Teknik Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... vi
DAFTAR LAMPIRAN ... x
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 3
Manfaat Penelitian ... 3
TINJAUAN PUSTAKA ... 4
Pisang ... 4
Penggorengan ... 5
Penggorengan Hampa... 13
Aplikasi Proses Penggorengan Hampa ... 15
Pengemasan ... 16
Pendugaan Umur Simpan (Shelf Life Prediction) ... 19
Biaya Dan Analisis Biaya ... 24
METODOLOGI PENELITIAN ... 29
Tempat Dan Waktu Penelitian ... 29
Bahan Dan Alat ... 29
Metode Penelitian ... 30
Prosedur Analisis ... 34
Rancangan Percobaan... 38
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39
Penelitian Tahap 1 ... 39
Analisis Fisik Dan Proksimat ...40
Uji Organoleptik ...47
Uji Pembobotan ...51
Penelitian Tahap 2 ... 52
Pemilihan Jenis Kemasan ...53
Parameter Penurunan Mutu Keripik Pisang ... 54
Pendugaan Umur Simpan ... 62
Penelitian Tahap 3 ... 88
Analisis Biaya Produksi ... 88
Analisis Biaya Pokok ... 90
Analisis Kelayakan ... 91
KESIMPULAN DAN SARAN ... 93
Simpulan ... 93
Saran ... 93
DAFTAR PUSTAKA ... 94
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Produksi Buah-buahan Indonesia 1
2 Produksi Bebuahan di Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2008 1
3 Komposisi Kimia Pisang Kepok per 100 gram Bahan 4
4 Umur Panen Beberapa Varietas Tanaman Pisang 5
5 Karakteristik Kemasan Aluminum Foil dan PP 19
6 Pengaruh beberapa faktor terhadap reaksi deterorasi pada produk pangan 21
7 Spesifikasi Alat Mesin Penggoreng Hampa desain Lastriyanto (1997) 31
8 Hasil uji lanjut fisikokimia keripik pisang berdasarkan parameter nilai L,
kadar air, kadar lemak dan kekerasan 41
9 Hasil uji lanjut organoleptik keripik pisang berdasarkan parameter rasa,
aroma, kekerasan dan warna 48
10 Hasil uji pembobotan terhadap kekerasan, rasa, warna dan aroma 52
11 Nilai mutu awal dan batas mutu kritis keripik pisang berdasarkan
analisis fisikokimia dan analisis organoleptik 63
12 Persamaan garis Penurunan mutu keripik pisang dan R2 kemasan PP dan
Aluminium Foil berdasarkan analisis kadar air 64
13 Persamaan Arrhenius penurunan mutu keripik pisang dan R2
berdasarkan analisis kadar air 65
14 Nilai K dan umur simpan keripik pisang pada beberapa tingkat suhu
untuk parameter kadar air 66
15 Persamaan garis Penurunan mutu keripik pisang dan R2 kemasan PP dan
Aluminium Foil berdasarkan analisis kadar asam lemak bebas 68
16 Persamaan Arrhenius penurunan mutu keripik pisang dan R2
berdasarkan analisis kadar asam lemak bebas 69
17 Nilai K dan umur simpan keripik pisang pada beberapa tingkat suhu
untuk parameter kadar asam lemak bebas 70
18 Persamaan garis Penurunan mutu keripik pisang dan R2 kemasan PP dan
Aluminium Foil berdasarkan analisis kekerasan 71
19 Persamaan Arrhenius penurunan mutu keripik pisang dan R2
20 Nilai K dan umur simpan keripik pisang pada beberapa tingkat suhu
untuk parameter kekerasan 73
21 Persamaan garis Penurunan mutu keripik pisang dan R2 kemasan PP dan
Aluminium Foil berdasarkan analisis organoleptik terhadap sensori
aroma 75
22 Persamaan Arrhenius penurunan mutu keripik pisang dan R2
berdasarkan analisis organoleptik terhadap sensori aroma 76
23 Nilai K dan umur simpan keripik pisang pada beberapa tingkat suhu
untuk parameter sensori aroma 77
24 Persamaan garis Penurunan mutu keripik pisang dan R2 kemasan PP dan
Aluminium Foil berdasarkan analisis organoleptik terhadap sensori
kekerasan 78
25 Persamaan Arrhenius penurunan mutu keripik pisang dan R2
berdasarkan analisis organoleptik terhadap sensori kekerasan 79
26 Nilai K dan umur simpan keripik pisang pada beberapa tingkat suhu
untuk parameter sensori kekerasan 80
27 Persamaan garis Penurunan mutu keripik pisang dan R2 kemasan PP dan
Aluminium Foil berdasarkan analisis organoleptik terhadap sensori
warna 82
28 Persamaan Arrhenius penurunan mutu keripik pisang dan R2
berdasarkan analisis organoleptik terhadap sensori warna 83
29 Nilai K dan umur simpan keripik pisang pada beberapa tingkat suhu
untuk parameter sensori warna pada ordo 0 dan ordo 1 84
30 Persamaan garis Penurunan mutu keripik pisang dan R2 kemasan PP dan
Aluminium Foil berdasarkan analisis organoleptik terhadap sensori rasa 85
31 Persamaan Arrhenius penurunan mutu keripik pisang dan R2
berdasarkan analisis organoleptik terhadap sensori rasa 86
32 Nilai K dan umur simpan keripik pisang pada beberapa tingkat suhu
untuk parameter sensori rasa 87
33 Umur simpan keripik pisang berdasarkan beberapa parameter penurunan
mutu pada suhu ruang (25oC) 87
35 Daftar Mesin dalam Proses Pengolahan 89
36 Hasil Perhitungan Total Biaya Tetap (BT) dan Total Biaya Variabel
(BV) serta Total Biaya Produksi pada berbagai kapasitas 90
37 Hasil perhitungan biaya total produksi, biaya pokok dan keuntungan
keripik pada berbagai kapasitas 91
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kesetimbangan masa dan panas pada proses penggorengan secara deep
fat frying (modifikasi Robertson, 1967). ... 7
2 Struktur Bahan Pangan yang di Goreng ... 8
3 Bagan Skema Mesin Penggoreng vakum Sistem Jet Air ... 15
4 Grafik antara nilai ln k dan 1/T dalam persamaan Arrhenius ... 23
5 Mesin Vacuum Frying Kapasitas 10 kg ... 29
6 Bagan alir proses penelitian ... 30
7 Diagram alir penelitian pendugaan umur simpan keripik pisang ... 33
8 Hasil Produk Keripik Pisang dalam Berbagai Tingkat Suhu dan Waktu Penggorengan ... 39
9 Rendemen Keripik Pisang ... 40
10 Kekerasan Keripik Pisang ... 42
11 Hubungan pengaruh perlakuan penggorengan terhadap nilai L keripik pisang ... 43
12 Hubungan pengaruh perlakuan penggorengan terhadap nilai a keripik pisang ... 44
13 Hubungan pengaruh perlakuan penggorengan terhadap nilai b keripik pisang ... 45
14 Kadar Air Keripik Pisang ... 45
15 Kadar Lemak Keripik Pisang ... 47
16 Hubungan pengaruh perlakuan penggorengan terhadap penerimaan rasa keripik pisang ... 48
17 Hubungan pengaruh perlakuan penggorengan terhadap penerimaan aroma keripik pisang ... 49
18 Hubungan pengaruh perlakuan penggorengan terhadap penerimaan kekerasan keripik pisang ... 50
20 Hubungan antara lama penyimpanan (hari) dengan kadar air (%) pada
suhu 40oC, 50oC dan 60oC untuk kemasan PP dan Kemasan Aluminium
Foil ... 55
21 Hubungan antara lama penyimpanan (hari) dengan kekerasan (kg/mm)
pada suhu 40oC, 50oC dan 60oC untuk kemasan PP dan kemesan
Aluminium Foil ... 56
22 Hubungan antara lama penyimpanan (hari) dengan kadar FFA(%) pada
suhu 40oC, 50oC dan 60oC untuk kemasan Aluminium Foil dan kemasan
PP ... 57
23 Diagram penerimaan sensori terhadap aroma selama penyimpanan untuk
kemasan Aluminium Foil dan PP ... 59
24 Diagram penerimaan sensori terhadap rasa selama penyimpanan untuk
kemasan Aluminium Foil dan PP ... 60
25 Diagram penerimaan sensori terhadap kekerasan selama penyimpanan
untuk kemasan Aluminium Foil dan PP ... 61
26 Diagram penerimaan sensori terhadap warna selama penyimpanan untuk
kemasan Aluminium Foil dan PP ... 62
27 Regresi Linier kadar air keripik pisang selama penyimpanan Ordo 0 dan
Ordo 1 pada kemasan PP untuk menentukan umur simpan keripik pisang . 63
28 Regresi Linier kadar air keripik pisang selama penyimpanan Ordo 0 dan
Ordo 1 pada kemasan Aluminium Foil untuk menentukan umur simpan
keripik pisang ... 64
29 Grafik hubungan antara 1/T dengan nilai ln k kadar air keripik pisang
untuk kemasan PP dengan ketebalan 80µm ... 65
30 Grafik hubungan antara 1/T dengan nilai ln k kadar air keripik pisang
untuk kemasan Aluminium Foil dengan ketebalan 70µm ... 65
31 Regresi Linier kadar asam lemak bebas keripik pisang selama
penyimpanan (Ordo 0) dan Ordo 1 pada kemasan PP untuk menentukan
umur simpan keripik pisang ... 67
32 Regresi Linier kadar asam lemak bebas keripik pisang selama
penyimpanan Ordo 0 dan Ordo 1 pada kemasan Aluminium Foil untuk
33 Grafik hubungan antara 1/T dengan nilai ln k kadar asam lemak bebas
keripik pisang untuk kemasan PP dengan ketebalan 80µm ... 68
34 Grafik hubungan antara 1/T dengan nilai ln k kadar asam lemak bebas
keripik pisang untuk kemasan Aluminiun Foil dengan ketebalan 70µm ... 69
35 Regresi Linier kekerasan keripik pisang selama penyimpanan Ordo 0
dan Ordo 1 pada kemasan PP untuk menentukan umur simpan keripik
pisang 70
36 Regresi Linier kekerasan keripik pisang selama penyimpanan Ordo 0
dan Ordo 1 pada kemasan Aluminium Foil untuk menentukan umur
simpan keripik pisang ... 71
37 Grafik hubungan antara 1/T dengan nilai ln k kekerasan keripik pisang
untuk kemasan PP dengan ketebalan 80µm ... 72
38 Grafik hubungan antara 1/T dengan nilai ln k kekerasan keripik pisang
untuk kemasan Aluminium Foil dengan ketebalan 70µm ... 72
39 Regresi Linier sensorik aroma keripik pisang selama penyimpanan Ordo
0 dan Ordo 1 pada kemasan PP untuk menentukan umur simpan keripik
pisang ... 74
40 Regresi Linier sensorik aroma keripik pisang selama penyimpanan Ordo
0 dan Ordo 1 pada kemasan Aluminium Foil untuk menentukan umur
simpan keripik pisang ... 74
41 Grafik hubungan antara 1/T dengan nilai ln k sensori aroma keripik
pisang untuk kemasan PP dengan ketebalan 80µm ... 75
42 Grafik hubungan antara 1/T dengan nilai ln k sensori aroma keripik
pisang untuk kemasan Aluminium Foil dengan ketebalan 70µm ... 76
43 Regresi Linier sensorik kekerasan keripik pisang selama penyimpanan
Ordo 0 dan Ordo 1 pada kemasan PP untuk menentukan umur simpan
keripik pisang ... 77
44 Regresi Linier sensorik kekerasan keripik pisang selama penyimpanan
Ordo 0 dan Ordo 1 pada kemasan Aluminium Foil untuk menentukan
umur simpan keripik pisang ... 78
45 Grafik hubungan antara 1/T dengan nilai ln k sensori kekerasan keripik
46 Grafik hubungan antara 1/T dengan nilai ln k sensori kekerasan keripik
pisang untuk kemasan Aluminium Foil dengan ketebalan 70µm ... 79
47 Regresi Linier sensorik warna keripik pisang selama penyimpanan Ordo
0 dan Ordo 1 pada kemasan PP untuk menentukan umur simpan keripik
pisang ... 81
48 Regresi Linier sensorik warna keripik pisang selama penyimpanan Ordo
0 dan Ordo 1 pada kemasan Aluminium Foil untuk menentukan umur
simpan keripik pisang ... 81
49 Grafik hubungan antara 1/T dengan nilai ln k sensori warna keripik
pisang untuk kemasan PP dengan ketebalan 80µm ... 82
50 Grafik hubungan antara 1/T dengan nilai ln k sensori warna keripik
pisang untuk kemasan Aluminium Foil dengan ketebalan 70µm ... 83
51 Regresi Linier sensorik rasa keripik pisang selama penyimpanan Ordo 0
dan Ordo 1 pada kemasan PP untuk menentukan umur simpan keripik
pisang ... 84
52 Regresi Linier sensorik rasa keripik pisang selama penyimpanan Ordo 0
dan Ordo 1 pada kemasan Aluminium Foil untuk menentukan umur
simpan keripik pisang ... 85
53 Grafik hubungan antara 1/T dengan nilai ln k sensori rasa keripik pisang
untuk kemasan PP dengan ketebalan 80µm ... 86
54 Grafik hubungan antara 1/T dengan nilai ln k sensori rasa keripik pisang
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Data Rekapitulasi Penelitian Tahap 1 Secara Objektif... 99
2 Dara rekapitulasi Penelitian Tahap 1 Secara Subjektif ... 103
3 Analisis sidik ragam dan Uji lanjut Duncan α = 5% sifat mutu dan
organoleptik serta Uji Lunjut Dunn α = 5% keripik pisang ... 107 4 Rekapitulasi data pengamatan sifat mutu keripik pisang selama
penyimpanan untuk pendugaan umur simpan ... 115
5 Rekapitulasi data pengamatan sifat mutu dan organolpetik keripik pisang
selama penyimpanan untuk pendugaan umur simpan ... 118
6 Data dan Hasil Biaya Produksi dan Kelayakan Usaha Produksi Keripik
Biaya ... 119
7 Hasil Uji Tingkat Kepentingan Keripik ... 130
8 Form untuk Penelitian Tahap 1 ... 131
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pisang merupakan salah satu jenis buah-buahan yang paling banyak
dihasilkan di Indonesia dibandingkan produksi buah-buahan jenis lainnya, hal ini
bisa dilihat dari data Badan Pusat Statistik dari tahun 2003 sampai dengan 2009
yang memperlihatkan terjadinya peningkatan dari tahun ke tahun (Tabel 1).
Tabel 1 Produksi Buah-buahan Indonesia
Tahun Produksi (ton)
Mangga Jeruk Pisang Nanas Durian Nangka/ cempedak
Salak Rambutan
2003 1.526.474 1.529.824 4.177.155 677.089 741.831 694.654 928.613 815.438
2004 1.437.665 2.071.084 4.874.439 709.918 675.902 710.795 800.975 709.857
2005 1.412.884 2.214.019 5.177.607 925.082 566.205 712.693 937.930 657.579
2006 1.621.997 2.565.543 5.037.472 1.427.781 747.848 683.904 861.950 801.077
2007 1.818.619 2.625.884 5.454.226 2.237.858 594.842 601.929 805.879 705.823
2008 2.013.121 2.311.581 5.741.351 1.272.761 602.694 638.382 712.263 851.240
2009 2.188.714 2.120.968 6.273.055 1.558.049 857.851 649.226 830.986 950.012
Sumber: Badan Pusak Statistik Tahun 2010.
Salah satu daerah yang ikut menyumbang hasil produksi pisang ini adalah
Kabupaten Kepulauan Mentawai, di Propinsi Sumatera Barat. Hal ini bisa dilihat
dari jumlah produksi bebuahan di Kabupaten Kepulauan Mentawai tahun 2008
yang disajikan pada Tabel 2 berikut ini:
Tabel 2 Produksi Bebuahan di Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2008
No Jenis Buah Produksi (ton)
1 Durian 1558.6
2 Pisang 1080.1
3 Jeruk 386.2
4 Cempedak 28.4
5 Rambutan 22.2
Sumber: Badan Pusat Statistik Kab. Kep. Mentawai Tahun 2008
Pisang merupakan komoditas yang memiliki nilai ekonomis tinggi, dan
sangat potensial sebagai sumber pendapatan ekonomi rumah tangga masyarakat
tani, industri kecil, industri menengah dan tentu saja mampu menambah devisa
Mengingat penduduk mentawai masih mengkonsumsi buah-buahan ini
dalam bentuk segar, distribusi dan pemasaran buah-buahan ini bergantung kepada
masuk atau tidaknya kapal, sehingga pada saat musim panen raya ketika jumlah
produksinya meningkat buah-buahan ini tidak terjual dan termanfaatkan secara
optimal dan harga jualnya menurun secara tajam. Hal ini mengakibatkan buah
dibiarkan membusuk dan akhirnya hanya digunakan sebagai pakan ternak seperti
babi dan sapi.
Salah satu cara yang dilakukan untuk meningkatkan nilai jual pisang ini
adalah dengan mengolahnya menjadi produk baru seperti keripik. Penggorengan
secara tradisional tentu saja tidak mampu untuk mengolah pisang matang ini
menjadi keripik karena akan dihasilkannya mutu keripik yang jelek seperti
penampakannya yang gosong, teksturnya lembek dan liat, hal ini disebabkan
karena produk yang digoreng memiliki kandungan air yang sangat tinggi.
Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menggunakan
teknologi penggorengan vakum dengan memanfaatkan penggorengan pada suhu
yang rendah. Salah satu keunggulan teknologi penggorengan secara vakum ini
adalah dihasilkannya tekstur, warna dan aroma yang khas seperti produk aslinya.
Menurut Ami (2003) penggorengan vakum dengan suhu rendah akan
menghasilkan produk dengan tekstur dan warna yang lebih bagus, penyerapan
minyak yang rendah, kerusakan vitamin rendah, sehingga produk memiliki mutu
dan tingkat kesehatan yang baik.
Pemanfaatan buah-buahan menjadi keripik, selain merupakan salah satu
usaha untuk memperpanjang umur simpan buah, juga sebagai gaya hidup yang
menuntut tersedianya makanan sehat siap santap (dalam bentuk kripik/snack)
yang banyak mengandung serat. Selain itu juga dapat dijadikan sebagai
pertimbangan dalam menentukan teknologi pengolahan pangan yang tepat untuk
mengurangi kerusakan dan kebusukan.
Penelitian yang mengarah pada penentuan suhu dan waktu penggorengan
hampa terhadap mutu keripik yang dihasilkan sudah banyak dilakukan namun
dengan komoditi yang berbeda diantaranya yang dilakukan oleh, Paramita (1999)
menjadikan sawo menjadi keripik dan mendapatkan suhu 95oC selama 45 menit
biji menjadi keripik dengan suhu dan waktu terbaik 90oC selama 50 menit, dan
Winarti (2000) mengolah keripik mangga dan mendapatkan suhu 85oC selama
waktu 35 menit sebagai suhu dan waktu terbaik.
Mengingat penggorengan pada suhu 95oC masih dapat menyebabkan
reaksi pencoklatan non-enzimatis pada produk pangan dan meningkatkan kadar
lemak dalam bahan pangan, maka diperlukan penanganan atau penggorengan
dengan suhu yang lebih rendah yaitu pada suhu dibawah 90o
Tujuan Penelitian
C dengan harapan
dihasilkannya mutu atau kualitas produk yang lebih baik, yakni dihasilkannya
produk yang memiliki kadar lemak dan kadar air rendah yang tentunya dapat
memperpanjang umur simpan produk dan mampu menekan biaya produksi
khususnya biaya untuk menyalurkan barang.
Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian pengaruh suhu dan waktu
penggorengan hampa terhadap sifat fisiko-kimia dan organoleptik keripik pisang,
kemudian penggunaan kemasan yang dapat mempertahankan atau memperlambat
penurunan mutu keripik buah pisang kepok. Selain itu perlu dilakukan pendugaan
umur simpan untuk mengetahui lama umur simpan dari keripik pisang yang
dihasilkan. Terakhir dilakukan analisis biaya untuk mengetahui layak atau
tidaknya usaha produksi keripik pisang tersebut untuk dijalankan.
Tujuan penelitian ini adalah: (1) Mengkaji pengaruh suhu dan waktu
penggorengan terhadap mutu akhir produk baik dari sifat fisiko-kimia dan
organoleptiknya, (2) Menentukan jenis kemasan yang dapat memperpanjang umur
simpan keripik buah pisang, (3) Menduga umur simpan keripik pisang dengan
menggunakan metoda akselerasi, dan (4) Menghitung biaya produksi keripik
pisang vacuum frying dan kelayakan usaha keripik pisang.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk: (1) Mengetahui suhu dan waktu
penggorengan yang terbaik terhadap mutu akhir produk, (2) Mengetahui jenis
kemasan yang dapat memperpanjang umur simpan keripik pisang, (3) Mengetahui
umur simpan keripik buah, (4) Mengetahui kelayakan usaha keripik pisang
TINJAUAN PUSTAKA
Pisang
Pisang merupakan tanaman buah dengan kuantitas yang besar di dunia,
yang tumbuh dengan baik di negara tropis maupun subtropis termasuk Indonesia.
Pisang dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu pisang yang dapat
langsung dimakan yang dikenal dengan istilah pisang meja (banana) dan yang
umumnya dimakan setelah melalui proses pengolahan (dimasak) dikenal dengan
pisang plantain (Musa paradisiaca). Banana terdiri dari dua varietas yaitu (1)
Musa sapientum var. Paradisiaca Baker dan Musa nana Lour (M. Chinensis
sweet, M.cavendishii Lamb).
Pisang jenis plantain memiliki ciri-ciri khusus yaitu mempunyai genom
triploid (AAB, Acuminata, Acuminata, Balbasiana) sehingga tidak semua jenis
pisang olahan dapat dikategorikan sebagai plantain. Pisang olahan dengan ciri
genom yang berbeda dari plantain dapat dikategorikan sebagai cooking banana
(Valmayor et al, 2005 diacu dalam Yusraini, 2007). Banyak jenis pisang olahan
yang ada di Indonesia, dari beberapa pisang olahan yang ada di Mentawai pisang
kepok merupakan pisang yang produksinya sangat melimpah dan sangat mudah
dijumpai. Komposisi kandungan gizi pisang kepok dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 3 Komposisi Kimia Pisang Kepok per 100 gram Bahan
Komposisi Kimia Jumlah
Air (g) 70
Pisang sudah mulai berproduksi dan dipungut hasilnya pada umur 12
hingga 15 bulan setelah tanam atau 4 – 6 bulan setelah tanaman berbunga,
tergantung dari pada varietasnya. Berikut umur panen beberapa varietas tanaman
pisang.
Tabel 4 Umur Panen Beberapa Varietas Tanaman Pisang
No Varietas Umur berbunga (hari)
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 1995, dalam Satuhu dan Supriyadi (1999)
Buah pisang yang telah mencapai derajat kemasakan optimal umumnya
menampakkan tanda-tanda sebagai berikut: a) Buah pisang sudah berbentuk bulat
dan tampak berisi atau minimal sudah ¾ bulat, b) Buah sudah berwarna hijau
kekuningan atau buah yang terdapat pada sisir bagian atas sudah ada yang
berwarna kekuningan atau sudah ada yang matang, c) Bunga atau tangkai putik
yang terdapat pada ujung buah telah mengering dan gugur, dan d) Daun bendera
sudah mengering.
Penggorengan
Teknik Penggorengan Bahan Pangan
Penggorengan adalah proses perpindahan panas dan uap air secara
simultan yang memerlukan energi panas untuk menguapkan kandungan air bahan
yang dipindahkan dari permukaan bahan yang digoreng dengan minyak sebagai
media panghantar panas. Tujuan penggorengan adalah mengurangi kadar air
bahan akibat dari penguapan karena pemanasan.
Sedangkan menurut Azkenazi et al (1984), menyatakan bahwa
penggorengan adalah suatu teknik pemasakan dan pengeringan melalui kontak
dengan minyak atau lemak panas yang melibatkan pindah panas dan massa secara
dengan penetrasi jauh kedalam, sehingga penurunan nilai gizi dan kualitas
sensorisnya lebih kecil.
Menurut Lawson (1995), proses penggorengan dapat dibedakan menjadi 3
metode yaitu: griddling, pan frying, dan deep fat frying. Metode griddling dan
pan frying banyak digunakan dalam pengolahan pangan skala rumah tangga.
Metoda griddling adalah proses penggorengan dengan menggunakan griddle (alat
penggoreng dengan permukaan datar) dan minyak goreng yang sangat sedikit,
sehingga membentuk lapisan film minyak pada permukaan griddle. Sedangkan
Goreng gangsa (pan frying/contact frying) adalah teknik menggoreng dimana
bahan bersentuhan langsung dengan pemanas dan hanya dibatasi oleh selapis tipis
minyak/lemak. Secara tradisional umumnya proses ini hanya berlangsung pada
satu permukaan dari bahan yang digoreng, sehingga bahan perlu dibolak-balik
agar matang secara merata.
Sedangkan metode deep fat frying yaitu proses menggoreng dengan
menggunakan pindah panas yang langsung dari minyak yang panas kemakanan
yang dingin (Lawson, 1995). Dimana metode ini biasa digunakan dalam
industri-industri makanan.
Pengertian menggoreng cenderung mengarah ke pengertian “deep fat
frying”, dimana seluruh bagian bahan pangan terendam dalam banyak minyak dan
seluruh bagian permukaannya mendapat perlakuan panas yang sama sehingga
berwarna seragam.
Proses penggorengan ini terdiri dari 4 tahap. Tahap pertama disebut tahap
pemanasan awal. Pada tahap ini pindah panas yang terjadi antara minyak dan
bahan adalah konveksi dan belum terjadi penguapan air dari bahan. Sedangkan
pada tahap kedua lapisan luar bahan pangan mulai mendidih, dan penguapan air
bahan mulai terjadi sehingga terbentuk renyahan.
Tahap ketiga (falling rate) ditandai dengan banyaknya keluar air dari
bahan pangan dengan suhu permukaan bahan diatas 100oC, temperatur lapisan
core mulai mencapai titik didih dan lapisan renyahan terus terbentuk. Sedangkan
pada tahap keempat yang disebut dengan bubble end point, proses yang terjadi
yaitu laju penguapan air berkurang dan tidak ada gelembung terlihat dilapisan
Perpindahan massa yang terjadi dalam proses penggorengan ada dua, yaitu
penguapan air dan penyerapan minyak. Bahan makanan mengalami penurunan
kadar air selama proses penggorengan dalam dua cara, pertama transfer massa air
terjadi dari dalam ke permukaan bahan kemudian menguap kelingkungan, dan
kedua perubahan massa air menjadi uap terjadi di dalam bahan.
Deep fat frying
Prinsip penggorengan “deep fat frying”, minyak, bahan pangan dan panas
adalah input proses sedangkan outputnya berupa makanan gorengan, uap air, uap
minyak, minyak jelantah dan remah-remah bahan pangan (Robertson, 1967).
Metode ini sangat penting karena prosesnya cepat, mudah dan produknya
mempunyai tekstur dan aroma yang lebih disukai.
Uap air + Panas by products berminyak
Bahan Mentah Uap minyak panas
Minyak Goreng Produk gorengan
berminyak
Panas remah-remah berminyak
Gambar 1 Kesetimbangan masa dan panas pada proses penggorengan secara
deep fat frying (modifikasi Robertson, 1967).
Akibat proses penggorengan terjadi perubahan-perubahan fisik yang
bersifat spesifik yaitu (1) kenaikan suhu produk ke level yang dikehendaki, (2)
evaporasi air, (3) kenaikan suhu permukaan hingga terjadi pencoklatan dan
terbentuknya kerak, (4) perubahan dimensional bahan pangan, (5) terserapnya
minyak kedalam bahan, dan (6) perubahan densitas produk gorengan yang
menyebabkan produk timbul tenggelam selama proses berjalan (Block, 1955).
Struktur Produk Gorengan
Struktur dasar pangan gorengan terdiri dari “inerzone” atau inti,
(Robertson, 1967). Inti adalah bagian yang masih mengandung air. Pada pangan
tipis seperti keripik, bagian inti ini hampir tidak ada yang tertinggal hanya bagian
kerak saja.
Core (innerzone)
Lapisan renyahan (outerzone)
Permukaan Luar (outerzone surface)
Gambar 2 Struktur Bahan Pangan yang di Goreng
Kerak “outerzone” adalah bagian luar pangan gorengan yang mengalami
dehidrasi, semakin tebal bagian ini maka makin banyak minyak yang terserap.
“Outerzone surface” adalah bagian paling luar dari bahan pangan gorengan yang
berwarna coklat kekuningan. Warna coklat umumnya merupakan hasil reaksi
“Maillard” yang dipengaruhi oleh komposisi makanan, suhu dan lama
penggorengan.
Ada dua cara untuk menggolongkan produk hasil gorengan. Yang pertama
dikemukakan oleh Azkenazi, et al (1984) serta Blumenthal (1991) dimana mereka
membagi produk gorengan menjadi (a) produk gorengan tanpa kerak contohnya
ayam goreng, (b) produk dengan kerak contohnya “French fries” dan (c) produk
yang keseluruhannya berupa kerak seperti keripik kentang.
Transfer Panas
Penggorengan merupakan fenomena transfer yang terjadi secara simultan
yaitu transfer panas, transfer massa air dan transfer minyak. Panas yang ditransfer
dari minyak ke bahan, massa air diuapkan dari bahan dan minyak diserap oleh
bahan (Whitaker 1977a; Sahin et al. 1999). Faktor-faktor yang mempengaruhi
proses transfer panas dan massa tersebut adalah sifat-sifat thermal dan
physicochemical bahan dan minyak, suhu minyak dan perlakuan bahan sebelum
digoreng (Krokida et al. 2001).
Kecepatan transfer panas dari minyak ke bahan sangat dipengaruhi oleh
suhu minyak, koefisien transfer panas, konduksi bahan dan bentuk dimensi serta
ukuran bahan. Kecepatan transfer massa air dari bahan ke lingkungan (minyak)
bentuk dimensi serta ukuran bahan. Kecepatan transfer minyak oleh bahan
dipengaruhi oleh suhu minyak, viskositas minyak, porositas bahan, dan perbedaan
tekanan kapiler. Panas merupakan dasar dari proses pemasakan, yang diakibatkan
dari meningkatnya temperatur berakibat terhadap energi input.
Suhu Penggorengan
Suhu penggorengan harus lebih tinggi dari titik didih air, tetapi tidak boleh
tinggi karena akan mempercepat kerusakan minyak. Biasanya suhu penggorengan
yang dipakai adalah 177-221oC (Winarno, 1997), atau 163-196oC (Block, 1964),
tergantung bahan pangan yang akan digoreng.
Penggorengan pada suhu 165-178oC baik untuk menggoreng kacang dan
berbagai jenis keripik, sedangkan pada suhu 190oC baik untuk menggoreng donat
(Robertson, 1967). Pedoman umum dalam menggoreng telah dirumuskan oleh
Weiss (1985) yakni untuk makanan yang berbentuk irisan kecil penggorengan
dilakukan secara cepat menggunakan suhu tinggi. Sedangkan untuk irisan besar
yang membutuhkan waktu yang lama untuk penetrasi panas, sebaiknya digoreng
pada suhu yang rendah. Tindakan ini untuk mencegah pemasakan yang berlebihan
atau gosongnya permukaan bahan pangan.
Temperatur penggorengan yang tinggi menyebabkan air dalam bahan
makanan menjadi panas dan terpompa keluar kedalam minyak disekitarnya dalam
bentuk uap air. (Varela, dkk, 1988). Sebagian air akan menguap dari ruang kosong
yang semula diisi air kemudian diisi oleh minyak.
Perubahan Kandungan Air Bahan
Pindah massa selama proses penggorengan terutama ditandai dengan
hilangnya sejumlah kandungan air bahan yang terjadi karena menguapnya air dari
bagian kerak dan menurunnya kapasitas pengikatan air (water holding capacity)
bahan pada saat kenaikan suhu (Hallstrom, 1980).
Kadar air merupakan parameter penting untuk diterima oleh konsumen
karena akan menentukan sifat keripik. Menurut Prashad dan Mathur (1956)
kehilangan air paling banyak terjadi pada menit pertama dan jumlahnya semakin
Pada awal terbentuknya kerak, air yang diuapkan pada lapisan tersebut
ditransfer keluar permukaan bahan melalui media pemanas cair yang terlihat
dalam bentuk gelembung kecil. Pada saat itu terjadi penurunan kadar air yang
paling besar. Dengan meningkatnya waktu penggorengan, kerak makin tebal dan
menghalangi jalannya uap air, akibatnya laju penurunan kadar air semakin
berkurang. Pembentukan lapisan kerak yang kering pada bagian luar bahan
menyebabkan adanya gradient difusi uap air pada bagian tersebut dan gradient
tekanan uap air dibawah lapisan kerak (Irawan, 1992).
Pengaruh Penggorengan Terhadap Kerusakan Nutrisi
Oksidasi pada lemak dapat menyebabkan terjadinya ketengikan
(Autooksidasi). Menurut Ketaren (1986) faktor-faktor yang mempercepat oksidasi
adalah (1) radiasi oleh panas dan cahaya; (2) bahan pengoksidasi (oxidizing
agent); (3) katalis metal khususnya garam dari logam berat; (4) system oksidasi
yang diakibatkan adanya katalis organik yang labil terhadap panas. Kerusakan
akibat oksidasi pada bahan pangan yang berlemak terdiri atas dua tahap, tahapan
pertama disebabkan oleh reaksi lemak dengan oksigen, tahapan kedua yang
merupakan kelanjutan dari tahapan pertama, yang prosesnya dapat merupakan
proses oksidasi maupun non oksidasi. Pada oksidasi ini umumnya terjadi pada
setiap jenis lemak seperti minyak goreng.
Oksidasi lemak akan bereaksi dengan komponen bukan berasal dari lemak
yaitu dengan protein. Perubahan oksidatif dari fraksi lemak adalah kecil
tergantung dari kadar asam lemak tidak jenuh pada makanan yang digoreng.
Senyawa peroksida yang mengalami dekomposisi oleh panas dalam waktu yang
lama akan mengakibatkan destruksi beberapa vitamin dalam bahan pangan yang
berlemak. Peroksida ini juga dapat mempercepat proses timbulnya bau tengik dan
flavor yang tidak dikehendaki dalam bahan pangan. Jika jumlahnya lebih besar
daro 100 maka dia bersifat racun dan tidak dapat dimakan (Ketaren, 1986).
Menurut Ketaren (1986), autooksidasi acyl-lipid ini dapat dihambat
dengan tiga cara yaitu (1) dengan meminimalkan kontak dengan oksigen, (2)
penyimpanan pada suhu rendah bebas cahaya, dan (3) dengan penggunaan
Penyerapan Minyak Goreng
Pada dasarnya minyak adalah campuran trigliserida, yang terbentuk dari
satu molekul gliserol dan 3 asam lemak (Ketaren, 1986). Trigliserida dapat
berwujud padat atau cair, hal ini tergantung pada komposisi dari asam lemak yang
menyusunnya. Sebagian besar minyak nabati berbentuk cair karena mengandung
asam lemak tidak jenuh yaitu asam olet, linoleat dan linolenat dengan titik cair
yang rendah. Didalam proses penggorengan, jenis minyak akan berpengaruh
terhadap kualitas produk.
Penyerapan minyak dinyatakan sebagai jumlah minyak yang terserap oleh
produk gorengan per unit berat produk akhir. Robertson (1967) menyatakan
bahwa absorbsi minyak merupakan proses menyerapnya minyak goreng ke dalam
bahan pangan. Absorbsi menyebabkan suatu bahan mengalami perubahan tekstur
dimana minyak yang terabsorbsi tersebut akan melunakkan bagian luar (crust) dan
membasahi produk.
Menurut Block (1964) faktor yang mempengaruhi penyerapan minyak
dikelompokkan menjadi dua group, (a) faktor material, terdiri atas komposisi dan
karakteristik permukaan bahan , dan (b) faktor proses terdiri atas komposisi atau
kondisi minyak. Sedangkan menurut Djatmiko dan Enie (1985) menyatakan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan minyak oleh bahan selama
proses penggorengan adalah kualitas dan komposisi minyak, temperatur dan lama
waktu penggorengan, bentuk dan kandungan air bahan, komposisi bahan,
perlakuan terhadap bahan sebelum digoreng, perlakuan terhadap lapisan
permukaan bahan, porositas bahan, dan ketebalan lapisan renyahan pada bahan.
Sedangkan menurut Velasco (2004), parameter utama yang mempengaruhi
hilangnya air dan penyerapan minyak yaitu suhu dan waktu penggorengan,
dimana pada suhu tinggi penyerapan minyak pada permukaan bahan akan lebih
rendah dibandingkan dengan digoreng pada suhu rendah.
Pada proses penggorengan keripik kentang faktor-faktor tersebut adalah
(1) total padatan ubi, (2) suhu minyak, (3) lama penggorengan, dan (4) ketebalan
irisan. Peningkatan suhu proses penggorengan akan menurunkan tingkat
penyerapan minyak goreng. Rendahnya viskositas minyak pada suhu lebih tinggi
Setelah proses penggorengan hampa dihentikan, tindakan pertama yang
harus dilakukan adalah mengeluarkan bahan dari dalam minyak sebelum tekanan
ruang penggoreng mencapai satu atmosfir. Tindakan ini dapat mencegah
penyerapan minyak lemak yang berlebihan.
Selama uap dibebaskan secara cepat dari irisan yang dimasak, tingkat
penyerapan minyak akan berbeda pada tingkat yang paling rendah. Pada tahap
akhir penggorengan, lapisan uap air pada permukaan bahan dilepaskan, sehingga
perannya sebagai lapisan pelindung akan hilang, akibatnya minyak akan masuk
dan mengisi rongga-rongga dalam jaringan yang telah mongering (Block, 1964).
Selain itu penyerapan minyak goreng selama proses penggorengan
meningkat dengan bertambah lamanya waktu penggorengan dan bertambah
tingginya suhu penggorengan. Hal ini disebabkan karena semakin lama waktu dan
semakin tinggi suhu penggorengan maka akan semakin tebal renyahan yang
terbentuk, sehingga semakin banyak ruang-ruang kosong yang secara otomatis
akan “diisi” dengan penyerapan minyak.
Selama penggorengan produk menyerap minyak dan kadar minyak dalam
produk biasanya dihubungkan dengan kadar air awal bahan (Gamble et al, 1987).
Minyak sebagai medium pemanas dan penghantar panas memiliki sifat yang tidak
dapat menyatu dengan air padahal buah-buahan banyak mengandung air, karena
sifat alami air dan minyak yang tidak dapat menyatu, keduanya memegang
peranan penting dalam proses penggorengan.
Menurut Pinthus dan saguy, (1993) mekanisme absorbsi minyak pada
bahan makanan disebabkan oleh tekanan kapiler, dan sebagian lainnya disebabkan
oleh kondensasi uap pada saat memindahkan produk dari penggorengan.
Penyerapan minyak merupakan fenomena kompleks yang terjadi ketika produk
diangkat atau dipindahkan dari penggorengan selama periode pendinginan.
Jumlah kandungan minyak yang diserap oleh bahan setelah digoreng dapat
menentukan penerimaan dan kenampakan produk (Krokida et al, 2001). Massa
minyak akan masuk ke dalam bahan dengan cara difusi karena adanya perbedaan
konsentrasi minyak pada bagian permukaan dengan bagian dalam bahan.
Pengeringan parsial irisan kentang mentah sebelum digoreng akan
panas (untuk mengeluarkan gula pereduksia) akan meningkatkan penyerapan
minyak.
Penelitian oleh Gamble et al (1987) mengungkapkan bahwa terdapat
korelasi yang baik (r = 0.989) antara jumlah minyak yang diserap dengan jumlah
air yang hilang selama proses penggorengan pada suhu 145oC, 165oC, dan 185o
Penggorengan Hampa
C.
peningkatan waktu pengorengan donat sebesar 5% akan meningkatkan
penyerapan minyak dari 2 oz pada operasi normal menjadi 2.1 – 2.2 oz (Block,
1964).
Selain itu Lawson (1995) menyatakan bahwa, bahan pangan menyerap
minyak dengan persentase penyerapannya tergantung pada jenis bahan yang
digoreng. Sebagai contoh minyak yang diabsorbsi oleh keripik kentang sekitar
40%, potato stick 35%, kue (doughnut) 20-25%, udang goreng dan kerang
12-15%, ikan goreng (fish stick) 10-12%, kentang goreng Prnacis 7-12% (Robertson,
1967 dikutip oleh Ketaren, 1986).
Hingga saat ini alat yang selalu dipakai untuk mengolah buah dan sayur
menjadi keripik adalah mesin vacuum frying. Mesin ini berfungsi untuk mengolah
buah-buahan dan sayuran yang memiliki kadar air tinggi menjadi keripik
buah/sayur yang kering dengan tetap mempertahankan warna, aroma, dan citarasa
alami buah/sayur. Adapun buah yang biasa diolah adalah cempedak, apel, pepaya,
nanas, salak, waluh, pisang, rambutan, mangga, labu kuning atau melon. Jenis
sayuran: jamur tiram, brokoli, buncis, kacang tanah, jagung, wortel, kacang
panjang atau terong.
Sedangkan menurut Shing (2003) penggorengan vakum umumnya
digunakan untuk mengeringkan buah-buahan, sayuran, daging, produk
mengandung air dan lain-lain. Dimana proses ini akan memberikan pengaruh
oksidasi yang minimum, sehingga umur simpan produk lebih panjang.
Menurut Haryadi dkk (2000), prinsip kerja dari penggorengan vakum yaitu
kompor gas digunakan untuk mensuplai panas ke minyak yang berada ditanki
penggorengan. Kerja pompa dan water jet akan menurunkan tekanan pada ketel
dilakukan relatif lebih rendah dibandingkan suhu penggorengan dengan tekanan
atmosfer. Penggorengan keripik pada tekanan vakum dilakukan pada suhu
120-130oC dengan tekanan vakum 50-100 mmHg, dan proses ekspansi akan berjalan
optimal pada tekanan 0-160 mmHg.
Menurut Lastriyanto (1997), penggorengan hampa dilakukan dalam
ruangan tertutup dengan kondisi tekanan vakum, dimana kondisi yang baik untuk
menggoreng buah secara vakum adalah suhu 90o
1. Pompa vakum: merupakan komponen terpenting dari sistem penggoreng
vakum, dipergunakan pompa vakum sistem water-jet, karena mempunyai
kelebihan: tidak mempergunakan oli, seal, bantalan, dan poros sehingga
rendah biaya operasinya dan pemeliharaannya. Pompa vakum ini berfungsi
untuk menghisap udara didalam ruang penggorengan sehingga tekanannya
menjadi rendah dan juga sekaligus berfungsi pula untuk menghisap uap air
hasil penggorengan.
C, tekanan vakum 700 mmHg
dan waktu penggorengan 1 jam.
Mesin penggoreng vakum (Vacuum Fryer), terdiri dari 5 (lima)
komponen, yakni: 1) pompa vakum, 2) tabung penggoreng, 3) pengendali
temperatur, 4) kondensor, dan 5) sumber pemanas. Secara skematis hubungan
antar komponen ditunjukkan pada Gambar 3, adapun fungsi bagian-bagian
tersebut adalah sebagai berikut:
2. Tabung penggoreng yang berfungsi untuk mengkondisikan bahan yang
diproses agar sesuai dengan tekanan yang direkomendasikan. Didalamnya
berisi minyak sebagai media pindah panas yang dilengkapi dengan pengaduk
dan mekanik angkat celup (liting & dipping mechanism).
3. Kondensor: berfungsi untuk mengembunkan uap air yang dikeluarkan selama
penggorengan dan menurunkan suhu uap air dari ruang penggorengan
sebelum masuk ke pompa vakum, kondensor ini mempergunakan air sebagai
media pendingin pada pabrik besar pendinginan mempergunakan menara
pendingin.
4. Unit pemanas: sumber panas dapat mempergunakan boiler, namun
rumah tangga sebaiknya mempergunakan LPG karena sistem kendalinya tidak
terlalu sulit.
5. Unit pengendali operasi: Unit ini keberadaannya sangat penting, karena suhu
proses dilakukan pada suhu dibawah suhu didih media pemanas. Toleransi
suhu sangat rendah sehingga pemilihan sensitivitas pengendali suhu menjadi
sangat penting.
Gambar 3 Bagan Skema Mesin Penggoreng vakum Sistem Jet Air
1. Sumber pemanas 6. Pengukur vakum 11. Pompa sirkulasi 2. Tabung penggoreng 7. Keranjang Penampung bahan 12. Saluran air pendingin 3. Tuas pengaduk 8. Kondensor 13. Bak air sirkulasi 4. Pengendali suhu 9. Saluran hisap uap air 14. Kerangka
5. Penampung kondensat 10. Water Jet
Aplikasi Proses Penggorengan Hampa
Berbagai kondisi proses penggorengan hampa telah digunakan dalam
pembuatan keripik buah-buahan. Paramita (1999) menggunakan suhu 95oC dan
waktu penggorengan 40 menit untuk memproduksi keripik buah sawo, Fitriani
(1999) menggunakan suhu 90oC selama 50 menit untuk memproduksi buah jambu
biji, sedangkan surya (1999) menggunakan suhu 90oC Selama 50 menit untuk
memproduksi keripik buah salak. Kemudian Sudjud (2000) menyatakan bahwa
penggunaan suhu 90oC selama waktu 30 menit akan memperoleh kualitas mutu
yang terbaik untuk memproduksi keripik buah cempedak. Winarti (2000) mutu
keripik buah mangga masih dapat dipertahankan pada suhu 85oC selama waktu 35
Sedangkan Garayo (2001), membandingkan keripik kentang yang
digoreng pada suhu (118, 132, 144oC) dan tekanan vakum (16.661, 9.888, dan
3.115 kPa) dengan keripik kentang goreng dalam kondisi atmosfer (165oC).
Ternyata keripik dengan penyerapan minyak terendah dengan kualitas produk
atribut seperti penyusutan, warna, dan tekstur terbaik didapatkan pada keripik
kentang yang digoreng pada kondidi suhu 144o
Pengemasan
C dengan tekanan vakum 3.115
kPa.
Kemasan pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau
membungkus pangan baik yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun
tidak.
Fungsi pengemasan produk pangan adalah untuk : (a) Menjaga produk
pangan agar tetap bersih, terlindung dari kotoran/kuman dan kontaminasi, (b)
Menjaga produk pangan dari kerusakan fisik, pengaruh sinar, perubahan kadar air,
bau, warna maupun bentuk, (c) Memudahkan dalam penanganan dan distribusi,
(d) Menyeragamkan produk dalam ukuran, bentuk dan bobot yang sesuai standar,
(e) Menampakkan identifikasi, informasi, daya tarik dan tampilan yang jelas
sehingga membantu penjualan, dan (f) Memberikan informasi melalui sistem
labelling, bagaimana cara penggunaan produk, tanggal kadaluarsa dan lain-lain.
Pengemasan dapat memperlambat kerusakan produk, menahan efek yang
bermanfaat dari proses, memperpanjang umur simpan, dan menjaga atau
meningkatkan kualitas dan keamanan pangan. Pengemasan juga dapat melindungi
produk dari pengaruh luar, yaitu kimia, biologis dan fisik. Perlindungan kimia
mengurangi perubahan komposisi yang cepat oleh pengaruh lingkungan, seperti
terpapar gas (oksigen), uap air, dan cahaya (cahaya tampak, infra merah atau
ultraviolet). Perlindungan biologis mampu menahan mikroorganisme (pathogen
dan agen pembusuk), serangga, hewan pengerat, dan hewan lainnya. Perlindungan
fisik menjaga produk dari bahaya mekanik dan menghindari goncangan dan
getaran selama pendistribusian.
Disatu sisi kemasan memberikan keuntungan, disisi lain kemasan juga
perlu diwaspadai. Tidak semua bahan pengemas aman terhadap pangan. Oleh
Kemasan tidak bersifat toksik dan beresidu terhadap pangan, (2) Kemasan harus
mampu menjaga bentuk, rasa, kehigienisan, dan gizi bahan pangan, (3) Senyawa
toksik kemasan tidak boleh bermigrasi ke dalam bahan pangan terkemas, (4)
Bentuk, ukuran dan jenis kemasan memberikan efektifitas, dan (5) Bahan
kemasan tidak mencemari lingkungan hidup.
Beberapa jenis kemasan yang biasa digunakan untuk produk olahan
makanan yang banyak tersedia dipasaran diantaranya, yaitu kemasan seperti
berikut:
Aluminium Foil
Foil adalah bahan kemas dari logam, berupa lembaran aluminium yang
padat dan tipis dengan ketebalan kurang dari 0.15 mm. Aluminium foil
didefinisikan sebagai aluminium murni (derajat kemurniannya tidak kurang dari
99.4%) walaupun demikian dapat diperoleh dalam bentuk campuran yang
berbeda-beda (Syarief et. al. , 1989).
Foil mempunyai sifat hermetis, fleksibel, tidak tembus cahaya. Pada
umumnya digunakan sebagai bahan pelapis (laminan) yang dapat ditempatkan
pada bagian dalam (lapisan dalam) atau lapisan tengah sebagai penguat yang
dapat melindungi bungkusan.
Politen atau Polietilen (PE)
Berdasarkan densitasnya, PE dibagi atas: (1) Low Density Polyethylene
(LDPE) : dihasilkan dengan mengekspos etilen pada suhu antara 150° dan 200°C
pada tekanan 1200 atm dengan melibatkan sedikit oksigen (Sacharow dan Griffin,
1980). Paling banyak digunakan untuk kantung, mudah dikelim dan sangat murah.
(2) Medium Density Polyethylene (MDPE) : Lebih kaku daripada LDPE dan
memiliki suhu leleh lebih tinggi dari LDPE (Syarief et al, 1989). (3) High Density
Polyethylene (HDPE): HDPE dihasilkan pada suhu antara 60o dan 160oC dan pada
tekanan 40 atm dengan katalis alkilmetal (Sacharow dan Griffin,1980). Paling
kaku diantara ketiganya, tahan terhadap suhu tinggi (120o
Sifat umum PE menurut Syarief et al, (1989) antara lain: penampakannya
bervariasi dari transparan, berminyak sampai keruh (translusid) tegantung dari
cara pembuatannya serta jenis resin yang digunakan. Mudah dibentuk, lemas dan C) sehingga dapat
gampang ditarik. Daya rentang tinggi sampai sobek. Mudah dikelim panas
sehingga banyak digunakan untuk laminasi dengan bahan lain. Meleleh pada suhu
120oC. Tidak cocok untuk pengemas produk-produk yang berlemak, gemuk atau
minyak. Tahan terhadap asam, basa, alkohol, deterjen, dan bahan kimia lainnya.
Dapat digunakan untuk penyimpanan beku sampai dengan -50oC. Transmisi gas
cukup tinggi sehingga tidak cocok untuk mengemas makanan yang beraroma.
Mudah lengket satu sama lain, sehingga menyulitkan dalam proses laminasi.
Diperlukan penambahan bahan penambah ke dalam proses pembuatannya untuk
mengurangi hambatan tersebut. Dapat dicetak setelah mengoksidasikan
permukaannya dengan proses elektronik. Memiliki sifat yang kedap air dan uap
air (HDPE, MDPE, LDPE).
Polipropilen (PP)
Sifat-sifat utama dari polipropilen menurut Syarief et al, (1989) yaitu: (a)
Ringan (densitas 0.9 g/cm3), mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih dalam
bentuk film. Tidak transparan dalam bentuk kemasan kaku. (b) Mempunyai
kekuatan tarik lebih besar dari PE. Pada suhu rendah akan rapuh, dalam bentuk
murni pada suhu -30oC mudah pecah sehingga perlu ditambah PE atau bahan lain
untuk memperbaiki ketahanan terhadap benturan. Tidak dapat digunakan untuk
kemasan beku. (c) Lebih kaku dari PE dan tidak gampang sobek sehingga mudah
dalam penanganan dan distribusi. (d) Permeabilitas uap air rendah, permeabilitas
gas sedang, tidak baik untuk makanan yang peka terhadap oksigen. (e) Tahan
terhadap suhu tinggi sampai dengan 150o
Polivinilklorida adalah film yang disiapkan dengan mempolimerkan
vinilklorida dengan melibatkan katalis yang sesuai. Dengan menambahkan
plastisizer, dapat menghasilkan film fleksibel. Film vinil kopolimer digunakan C, sehingga dapat dipakai untuk
makanan yang harus disterilisasi. (f) Titik leburnya tinggi, sehingga sulit dibuat
kantung dengan sifat kelim panas yang baik. Mengeluarkan benang plastik pada
suhu tinggi. (g) Tahan terhadap asam kuat, basa dan minyak. Baik untuk kemasan
sari buah dan minyak. Tidak terpengaruh oleh pelarut pada suhu kamar kecuali
HCl. (h) Pada suhu tinggi PP akan bereaksi dengan benzen, siklen, toluen,
terpentin dan asam nitrat kuat.
sebagai pengganti “oriented films” untuk produk susu, daging, permen dan
kemasan minuman juga untuk komponen pelapisan (Sacharow dan Griffin,1980).
Tabel 5 Karakteristik Kemasan Aluminum Foil dan PP
Jenis Ketebalan Densitas Gramatur WVTR* O2TR**
Sumber: Laporan hasil uji laboratorium dan kalibrasi BBKK, 2009. dalam Putra dan Latifah (2010)
Penentuan umur simpan bahan pangan dalam kemasan memerlukan
pengetahuan mengenai transmisi uap air melalui permeabilitas kemasan. Laju
transmisi uap air dan oksigen dari udara adalah faktor utama dalam melakukan
kontrol umur simpan dari makanan kering dan produk pangan lain yang
mengandung lipid atau komponen yang sensitif terhadap oksigen. Laju transmisi
uap air atau water vapour transmission rate (WVTR) adalah jumlah uap air yang
melewati satu unit permukaan luas dari suatu bahan selama satu satuan waktu
pada kondisi suhu dan RH yang relatif konstan.
Pendugaan Umur Simpan (Shelf Life Prediction)
Umur simpan suatu produk didefinisikan sebagai waktu yang diperlukan
untuk mempertahankan mutu atau sifat karakteristik suatu produk pada kondisi
penyimpanan tertentu hingga produk tersebut tidak dapat diterima oleh konsumen
(Anderson & Scott, 1991). Umur simpan suatu produk ditentukan oleh tiga faktor
yaitu: a). Karakteristik produk; b) lingkungan dimana produk berada selama
distribusi dan c) karakteristik kemasan (Robertson, 1993). Sedangkan Menurut
Speigel (1992) umur simpan produk berkaitan erat dengan nilai kadar air kritis,
suhu dan kelembaban.
Aspek lain dari umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh
sampai batas maksimal kadar yang diperkenankan. Berbeda dengan kemasan
metal dan gelas, pada kemasan plastik dalam suhu kamar, senyawa dengan berat
molekul kecil masuk kedalam makanan secara bebas baik yang berasal dari aditif
maupun plasticizers. Tergantung dari jenis plastik yang digunakan, migrasi zat-zat
plastik, monomer maupun zat-zat pembantu polimerisasi, dalam kadar tertentu
dapat larut kedalam makanan padat atau cair, berminyak (non polar) maupun
cairan tak berminyak (polar) (Winarno, 1997).
Kerusakan yang paling mudah terjadi pada bahan makanan perlu diketahui
lebih dahulu dalam menentukan umur simpan suatu bahan pangan. Jenis
kerusakan ini kemudian diukur laju degradasinya dengan menggunakan model
matematis tertentu (Labuza, 1982).
Dasar Penurunan Mutu
Penyimpanan suatu produk dari mutu awal disebut deteriorasi. Produk
pangan mengalami deteriorasi dimulai dengan persentuhan produk dengan udara,
oksigen, uap air, cahaya, atau akibat perubahan suhu. Reaksi ini juga dapat
diawali oleh hentakan mekanis seperti vibrasi dan kompresi (Arpah, 2001).
Tingkat deteriorasi produk dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan,
sedangkan laju deteriorasi dipengaruhi oleh kondisi lingkungan penyimpanan.
Umur simpan adalah waktu hingga produk mengalami deteriorasi tertentu. Reaksi
deteriorasi pada produk pangan dapat disebabkan oleh faktor intrinsik maupun
ekstrinsik yang selanjutnya akan memicu reaksi didalam produk berupa reaksi
kimia, reaksi enzimatis, atau lainnya seperti proses fisika dalam bentuk
penyerapan uap air atau gas dari sekeliling. Ini akan menyebabkan
perubahan-perubahan terhadap produk yang meliputi: perubahan-perubahan tekstur, flavor, warna,
Tabel 6 Pengaruh beberapa faktor terhadap reaksi deterorasi pada produk pangan
Faktor Utama Efek Deteriorasi
Oksigen • Oksidasi lipid
• Kerusakan vitamin • Kerusakan protein • Oksidasi pigmen
Uap air • Kehilangan/kerusakan vitamin
• Perubahan organoleptik • Oksidasi lipida
Cahaya • Oksidasi
• Pembentukan bau/perubahan flavor • Kerusakan vitamin
Kompresi/Bantingan, Vibrasi, Abrasi, Penanganan secara kasar
• Perubahan organoleptik • Kebocoran bahan pengemas Bahan kimia toksik/bahan kimia off flavor • Of flavor
• Perubahan organoleptik • Perubahan bahan kimia • Pembentukan racun
Kriteria Kerusakan Keripik Pisang
Keripik merupakan bahan pangan yang memiliki karakteristik berpori dan
memiliki kadar air yang rendah. Kerusakan yang sering terjadi adalah terjadinya
reaksi oksidasi lipid yang menyebabkan timbulnya rasa tengik dan penyerapan
uap air oleh keripik cempedak dan pisang sebagai reaksi kondisi lingkungan.
Kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang
disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh otooksidasi radikal asam
lemak tidak jenuh dalam lemak. Otooksidasi dimulai dengan pembentukan
radikal-radikal bebas yang disebabkan oleh faktor-faktor yang dapat mempercepat
reaksi seperti cahaya, panas, peroksida lemak atau hidroperoksida, logam-logam
berat seperti CU, Fe, Co dan Mn dan enzim-enzim lipoksidase (Winarno, 1997).
Perubahan pada tekstur akibat reaksi deteriorasi dapat berupa: a)
pengempukan, b) perubahan kekentalan, c) perubahan kekerasan, d) warna dan
masih banyak lagi penyimpangan. Penyimpangan-penyimpangan ini
menyebabkan produk pangan tidak menyerupai tekstur aslinya, seperti pada awal
produksi. Tergantung pada tingkat deteriorasi yang berlangsung, perubahan
tersebut dapat menyebabkan produk pangan tidak dapat digunakan untuk tujuan
seperti yang seharusnya, atau bahkan tidak dapat dikonsumsi sehingga
Penyerapan uap air ditandai dengan peningkatan kadar uap air. Perubahan
kadar air selama penyimpanan dapat diketahui dengan mengukur kadar air selama
penyimpanan dengan interval tujuh hari. Peningkatan kadar air menyebabkan
hilangnya kekerasan keripik.
Metode Pendugaan Umur Simpan
Penentuan umur simpan produk pangan dapat dilakuakn dengan dua
metode yaitu metode Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Storage
Studies (ASS). ESS atau yang sering disebut metode konvensional adalah
penentuan tanggal kadarluarsa dengan jalan menyimpan suatu seri produk pada
kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan
mutunya hingga mencapai tingkat mutu kadaluarsa. Metode ini akurat dan tepat,
namun memerlukan waktu yang lama dan analisa parameter yang relatif banyak.
Metode ASS menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat
reaksi penurunan mutu produk pangan. Kelebihan metode ini adalah waktu
pengujian yang relatif singkat, namun tetap memiliki ketepatan dan akurasi tinggi.
Metode akselerasi pada dasarnya adalah metode kinetik yang disesuaikan
untuk produk-produk pangan tertentu. Model-model yang diterapkan pada
penelitian akselerasi ini menggunakan dua cara pendekatan yaitu: (1) pendekatan
kadar air kritis dengan bantuan teori difusi, yaitu suatu cara pendekatan yang
diterapkan untuk produk kering dengan menggunakan kadar air atau aktifasi air
sebagai kriteria kadaluarsa, dan (2) pendekatan semi empiris dengan bantuan
persamaan Arrhenius, yaitu suatu cara pendekatan yang menggunakan teori
kinetika yang pada umumnya mempunyai ordo reaksi nol atau satu untuk produk
pangan.
Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan makanan.
Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawa kimia akan
semakin cepat. Untuk menentukan kecepatan reaksi kimia bahan pangan dalam
kaitannya dengan perubahan suhu, Labuza (1982) menggunakan pendekatan
Arrhenius.
Persamaan Arrhenius
Keterangan:
k = konstanta kecepatan reaksi
ko
- (2)
maka akan diperoleh kurva berupa garis linier pada plot nilai ln k terhadap 1/T
dengan slope –Ea/R seperti pada berikut ini = konstanta pre-eksponensial
Ea = energi aktifasi (KJ/mol
R = konstanta gas (1.986 Kal/mol)
T = suhu mutlak (K)
Persamaan di atas dapat diubah menjadi:
ln k
-Ea/R
1/T
Gambar 4 Grafik antara nilai ln k dan 1/T dalam persamaan Arrhenius
Nilai umur simpan dapat diketahui dengan memasukkan nilai perhitungan
ke dalam persamaan reaksi ordo nol atau satu. Menurut Labuza (1982) reaksi
kehilangan mutu pada makanan banyak dijelaskan oleh rekasi ordo nol dan satu,
sedikit yang dijelaskan oleh ordo reaksi lain.
Reaksi Ordo Nol
Tipe kerusakan bahan pangan yang mengikuti kinetika reaksi ordo nol
meliputi reaksi kerusakan enzimatis, pencoklatan enzimatis, dan oksidasi (Labuza,
1982). Penurunan mutu ordo reaksi nol adalah penurunan mutu yang konstan.
Kecepatan penurunan mutu tersebut berlangsung tetap pada suhu konstan dan
digambarkan dengan persamaan berikut:
Untuk menentukan jumlah kehilangan mutu, maka dilakukan integrasi
terhadap persamaan:
(4)
Sehingga menjadi:
- - (5)
Dimana: At = jumlah konsentrasi A (parameter mutu) pada awal waktu t
Ao = jumlah awal
Reaksi Ordo Satu
Tipe kerusakan bahan pangan yang mengikuti kinetika reaksi ordo satu
meliputi: ketengikan, pertumbuhan mikroba, produksi off-flavor (penyimpangan
flavor) oleh mikroba pada daging, ikan dan unggas, kerusakan vitamin, penurunan
mutu protein dan lain sebagainya (Labuza, 1982).
Persamaan reaksinya:
(6)
Untuk menentukan jumlah kehilangan mutu, maka dilakukan integrasi terhadap
persamaan:
(7)
Sehingga menjadi:
- - (8)
Dimana: At = Jumlah konsentrasi A (parameter mutu) pada awal waktu t
Ao = Jumlah awal A
Biaya Dan Analisis Biaya Biaya
Biaya adalah pengorbanan sumber ekonomi yang diukur dengan uang
yang telah terjadi atau kelak terjadi untuk mencapai tujuan tertentu. Biaya dapat
digolongkan dalam beberapa cara, antara lain penggolongan atas objek
pengeluaran, penggolongan atas dasar fungsi pokok pada perusahaan,