• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biological Activities of Extract Mixtures of Tephrosia vogelii (Leguminosae) and Annona squamosa (Annonaceae) against Crocidolomia pavonana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Biological Activities of Extract Mixtures of Tephrosia vogelii (Leguminosae) and Annona squamosa (Annonaceae) against Crocidolomia pavonana"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

AKTIVITAS BIOLOGI CAMPURAN EKSTRAK

Tephrosia vogelii

DAN

Annona squamosa

TERHADAP

Crocidolomia pavonana

RISNAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK

CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Aktivitas Biologi Campuran Ekstrak Tephrosia vogelii dan Annona squamosa terhadap

Crocidolomia pavonana adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2013

Risnawati

(4)
(5)

RINGKASAN

RISNAWATI. Aktivitas Biologi Campuran Ekstrak Tephrosia vogelii

(Leguminosae) dan Annona squamosa (Annonaceae) terhadap

Crocidolomia pavonana. Dibimbing oleh DADANG dan DJOKO PRIJONO.

Penggunaan insektisida nabati merupakan salah satu cara pengendalian yang memiliki beberapa keunggulan, seperti mudah terurai di alam, resistensi serangga tidak cepat berkembang, kebanyakan komponen ekstrak bersifat sinergis sehingga penggunaannya dapat lebih efektif, dan umumnya aman terhadap organisme bukan sasaran. Sifat insektisida sediaan daun Tephrosia vogelii dan biji Annona squamosa telah banyak diketahui, namun evaluasi toksisitas, pengaruh terhadap keperidian, dan efek antioviposisi campuran ekstrak T. vogelii dan A. squamosa terhadap

Crocidolomia pavonana belum pernah dilakukan.

Penelitian ini bertujuan mengevaluasi toksisitas, pengaruh terhadap keperidian, dan efek antioviposisi ekstrak tunggal dan campuran ekstrak T. vogelii dan A. squamosa terhadap C. pavonana. Pada uji toksisitas, ekstrak etil asetat daun T. vogelii dan ekstrak metanol biji A. squamosa serta campuran kedua ekstrak tersebut diuji menggunakan metode celup daun. Ekstrak T. vogelii dan A. squamosa diuji pada enam taraf konsentrasi masing-masing pada rentang 0.025%-0.190% dan 0.004%-0.020%. Ekstrak campuran diuji pada tiga nisbah konsentrasi yaitu 1:1, 9:1, dan 1:9 dengan rentang konsentrasi masing-masing 0.0050%-0.0400%, 0.025%-0.200%, dan 0.004%-0.020%. Setiap pengujian disertai kontrol dan setiap perlakuan diulang lima kali. Pengamatan dilakukan setiap hari mulai 24 sampai 96 jam setelah perlakuan (JSP). Jumlah larva yang mati dicatat. Data mortalitas larva diolah dengan analisis probit menggunakan program POLO-PC.

Pengujian keperidian dilakukan terhadap ekstrak T. vogelii dan A. squamosa serta campuran ekstrak T. vogelii dan A. squamosa yang memiliki toksisitas paling tinggi pada LC25 dan LC50. Daun perlakuan diberikan pada

larva instar 2, 3, dan 4 C. pavonana dengan metode residu pada daun selama 48 jam. Imago yang muncul dipasangkan hingga diperoleh 15 pasang untuk setiap taraf konsentrasi uji dan kontrol. Jumlah telur yang diletakkan dikumpulkan tiap hari dan dihitung. Imago dipelihara hingga mati. Data produksi telur total dan data rata-rata keperidian per hari yang dikoreksi dengan lama hidup diolah dengan sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan (α = 0.05).

Pengujian antioviposisi dilakukan terhadap ekstrak T. vogelii dan A. squamosa serta campuran ekstrak T. vogelii dan A. squamosa yang paling aktif pada nisbah konsentrasi 1:9 diuji pada taraf LC99 dan 2 x LC99.

(6)

berselang-seling di dalam kurungan plastik. Dua pasang imago C. pavonana yang berumur 3 hari dimasukkan ke dalam kurungan tersebut dan dibiarkan bertelur selama 2 hari. Jumlah telur yang diletakkan pada daun perlakuan dan daun kontrol dibandingkan dengan uji-t berpasangan.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa perkembangan mortalitas larva

C. pavonana akibat perlakuan ekstrak T. vogelii dan ekstrak A. squamosa

dan campuran kedua ekstrak tersebut meningkat seiring dengan bertambahnya waktu dan semakin besarnya konsentrasi ekstrak. Ekstrak T. vogelii memiliki aktivitas insektisida yang kuat (LC95 0.161%) sedangkan

ekstrak A. squamosa memiliki aktivivitas insektisida yang sangat kuat (LC95

0.014%). Ekstrak T. vogelii memiliki toksisitas lebih rendah dibandingkan dengan ekstrak A. squamosa dengan LC50 masing-masing 0.068% dan

0.007%. Campuran ekstrak T. vogelii dan A. squamosa pada nisbah konsentrasi 1:9 memiliki tingkat toksisitas tertinggi dengan nilai LC50

sebesar 0.008% dibandingkan dengan nisbah konsentrasi 1:1 dan 9:1 (LC50

masing-masing 0.015% dan 0.091%). Perlakuan campuran ekstrak T. vogelii dan A. squamosa pada nisbah konsentrasi 1:1 pada taraf LC50 pada

72 dan 96 JSP dan nisbah konsentrasi 1:9 pada taraf LC50 dan LC95 bersifat

aditif, sedangkan pada nisbah konsentrasi 1:1 pada taraf LC50 pada 48 JSP

dan LC95 pada 48, 72, dan 96 JSP, serta pada nisbah konsentrasi 9:1 pada

taraf LC50 dan LC95 bersifat antagonistik.

Perlakuan ekstrak A. squamosa serta campuran ekstrak T. vogelii dan

A. squamosa pada LC50 menurunkan secara nyata keperidian imago C.

pavonana yang berkembang dari larva yang diberi perlakuan pada instar 4, sedangkan perlakuan tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap larva yang diberi perlakuan pada instar 2 dan 3. Penurunan jumlah telur pada perlakuan ekstrak A. squamosa serta campuran ekstrak T. vogelii dan A. squamosa pada LC50 masing-masing 70.4% dan 71.4% dibandingkan

dengan jumlah telur kontrol.

Perlakuan ekstrak T. vogelii pada LC99 dan 2 x LC99 menghambat

secara nyata peletakan telur oleh imago betina C. pavonana pada tanaman brokoli berumur 1 dan 2 bulan setelah tanam dengan indeks penghambatan oviposisi masing-masing 91% dan 94% pada tanaman 1 bulan dan 88% dan 78% pada tanaman 2 bulan, sementara campuran T. vogelii dan A. squamosa

pada 2 x LC99 menghambat secara nyata peletakan telur oleh imago C.

pavonana hanya pada tanaman brokoli berumur 1 bulan dengan indeks penghambatan oviposisi 58%.

Berdasarkan hasil penelitian yang dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa ekstrak T. vogeliii dan ekstrak A. squamosa serta campuran kedua ekstrak tersebut berpotensi untuk digunakan dalam pengendalian hama C. pavonana.

(7)

SUMMARY

RISNAWATI. Biological Activities of Extract Mixtures of Tephrosia vogelii (Leguminosae) and Annona squamosa (Annonaceae) against

Crocidolomia pavonana. Supervised by DADANG and DJOKO PRIJONO.

The use of botanical insecticides is one of pest control tactics that has several advantages, such us easily biodegradable in the environment, slow development of insect resistance, synergism of extract components so that they are more effective, short persistence, and generally safe to non-target organisms. Insecticidal properties of Tephrosia vogelii leaf and Annona squamosa seed extracts have been well established, but the evaluation of toxicity, effect on fecundity, and effect on oviposition of T. vogelii and A. squamosa extract mixture against Crocidolomia pavonana has not been done.

The objectives of this study were to evaluate the toxicity, effect on fecundity, and effect on oviposition of T. vogelii leaf extract and A. squamosa seed extract and their mixtures against C. pavonana. In the toxicity test, ethyl acetate extract of T. vogelii leaves and methanol extract of A. squamosa seeds and their mixtures were tested by a leaf-dipping method against second-instar larvae of C. pavonana. Each test extract was tested at six concentration levels in the range of 0.025%-0.190% and 0.004%-0.020% for T. vogelii and A. squamosa extracts, respectively. The extract mixture was tested at three concentration ratios, i.e. 1:1, 9:1, and 1:9, with concentrations ranges of 0.0050%-0.0400%, 0.025%-0.200%, and 0.004%-0.020%, respectively. Each treatment and control were replicated five times. Observation was conducted from 24 to 96 hours after treatment (HAT). The number of dead larvae was recorded. Larval mortality data was analyzed by probit method using POLO-PC.

The fecundity test was conducted using T. vogelii and A. squamosa

extract and their mixture which has the highest toxicity at LC25 and LC50

levels. Treated leaves were fed to second, third, and fourth instar C. pavonana larvae by a leaf-dipping method for 48 hours. The emerging adults were paired to obtain 15 pairs for each test concentration and control. The number of eggs laid each day was collected and counted. The adults were maintained until death. The total egg production and the fecundity per day were analyzed using analysis of variance followed by Duncan's multiple range test (α = 0.05).

The tests on antioviposition effect was conducted using T. vogelii and

A. squamosa extract and their mixture with a concentration ratio of 1:9 at LC99 and 2 x LC99 levels. The test extracts were prepared in the same way

(8)

The results show that the mortality of C. pavonana larvae as a result of the treatment with T. vogelii extracts and A. squamosa extracts and their mixtures increased with the increase in extract concentration and observation time. T. vogelii extract is highly toxic and A. squamosa extract is very highly toxic to C. pavonana larvae. T. vogelii extract had a lower toxicity than A. squamosa extract with LC50 of 0.068% and 0.007%,

respectively. The treatment with T. vogelii and A. squamosa extract mixture at the concentration ratio of 1: 9 had the highest toxicity (LC50 0.008%)

compared with the other two concentration ratios (1: 1 and 9: 1; LC50

0.015% and 0.091%, respectively). The extract mixtures at the concentration ratio of 1:1 at the LC50 level at 72 and 96 JSP and that of 1:9

at the LC50 and LC95 levels had additive joint action, whereas that at the

concentration ratio of 9:1 had antagonistic joint action against C. pavonana

larvae both at LC50 and LC95 levels.

The treatment with A. squamosa extract and its mixture with T. vogelii

extract at LC50 significantly reduced the fecundity of C. pavonana adult

females that developed from larvae treated as fourth-instar, but did not significantly affect the fecundity of the females developing from larvae treated as second and third instars. The decrease in the number of eggs in the LC50 treatment of A. squamosa extract and its mixture with T. vogelii

extract was 70.4% and 71.4% respectively, compared with egg production in the control females.

The treatment with T. vogelii extract at LC99 and 2 x LC99

significantly inhibited oviposition by the C. pavonana females on broccoli plants one and two months after planting with oviposition inhibition indices of 91% and 94% on one month old and 88% and 78% on two month old broccoli plants, respectively, whereas the treatment with its mixture with A. squamosa at 2 x LC99 significantly inhibited the oviposition only on one

month old broccoli plants with oviposition inhibition index of 58%.

Based on the results presented above, it can be concluded that T.

vogelii extract and A. squamosa extract as well as their mixtures are potential to be used for the control of C. pavonana pest.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Entomologi Pertanian

AKTIVITAS BIOLOGI CAMPURAN EKSTRAK

Tephrosia vogelii

DAN

Annona squamosa

TERHADAP

Crocidolomia pavonana

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

Annona squamosa terhadap Crocidolomia pavonana

Nama Mahasiswa: Risnawati

NIM A351110021

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof. D MSc.

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Entomologj

Pascasmj ana

Dr. Ir. Pudjianto, MS.

(14)

Judul Tesis : Aktivitas Biologi Campuran Ekstrak Tephrosia vogelii dan Annona squamosa terhadap Crocidolomia pavonana

Nama Mahasiswa : Risnawati NIM : A351110021

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dadang, MSc. Ketua

Ir. Djoko Prijono, M.AgrSc. Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Entomologi

Dr. Ir. Pudjianto, MS.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.AgrSc.

(15)
(16)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2012 ini ialah insektisida nabati, dengan judul Aktivitas Biologi Campuran Ekstrak Tephrosia vogelii dan Annona squamosa terhadap Crocidolomia pavonana. Penelitian dan penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Entomologi di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman dari bulan Juli 2012 sampai Mei 2013.

Kepada Direktorat Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Ditjen Dikti Kemdikbud Penyelengara Beasiswa Unggulan Dittendik diucapkan terima kasih atas bantuan materi hingga penulis dapat menyelesaikan studi ini.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Dadang, MSc. Sebagai ketua dan Ir. Djoko Prijono, M.AgrSc. sebagai anggota, atas teladan, bimbingan, arahan, perhatian, dan ide yang diberikan kepada penulis sejak dimulainya penelitian hingga akhir penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Edy Syahputra, Msi. yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Saodik, yang telah membantu dalam menyediakan tanaman. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah (alm), ibu dan seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Teman-teman seperjuangan yang bekerja di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Eka Chandra Lina M.Si, Herma Amalia M.Si., Midle Februalita, SP. Gracia mediana, Annisa Nurfajrina, Efy Sarce Tiven, SP., Rizki Irawan, SP., Muhammad Sigit Susanto, Yuke Nur Aprilianti, SP., Anita Widyawati, SP., Yanuar Syahroni, SP., dan rekan-rekan di luar lab Fistok Yani Maharani M.Si, Riana SP, Sulaeha Thamrin M.Si, Arinana M.Si. Rasa terima kasih penulis sampaikan juga kepada seluruh mahasiswa Entomologi dan Fitopatologi, khususnya angkatan 2011.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2013

(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 4 Manfaat Penelitian 4 Ruang Lingkup Peneitian 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 Biologi Crocidolomia pavonana 5 Pengendalian C. pavonana pada Tanaman Brassicacea 5 Potensi Insektisida Uji 6 Sifat Insektisida Tephrosia vogelii 6 Sifat Insektisida Annona squamosa 7 Potensi Campuran Insektisida Nabati 8

Efek Insektisida Nabati terhadap Reproduksi dan Oviposisi 8

3 METODE Tempat dan Waktu 10 Bahan Tumbuhan Sumber Ekstrak 10 Penyiapan Tanaman Pakan 10 Pemeliharaan Serangga Uji 10 Ekstraksi T. vogelii dan A. squamosa 11

Uji Toksisitas Ekstrak Tunggal 11

Uji Toksisitas Ekstrak Campuran 12

Uji Keperidian 13

Uji Antioviposisi 13

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 15 Toksisitas Ekstrak T. vogelii dan A. squamosa 15

Ekstrak Tunggal 15 Ekstrak Campuran 18

Sifat Aktivitas Campuran Ekstrak T. vogelii dan A. squamosa 21

Pengaruh Konsentrasi Subletal Ekstrak Uji terhadap Lama Hidup dan Produksi Telur C. pavonana 22

Efek Antioviposisi Subletal Ekstrak Uji terhadap C. pavonana 29

Pembahasan Umum 32

5 SIMPULAN DAN SARAN 35

Simpulan 35

Saran 35

DAFTAR PUSTAKA 36

LAMPIRAN 42

(18)

DAFTAR TABEL

1

Penduga parameter hubungan konsentrasi-mortalitas ekstrak daun

T. vogelii dan ekstrak biji A. squamosa terhadap larva instar 2

C. pavonana 17

2

Penduga parameter hubungan konsentrasi-mortalitas campuran

ekstrak daun T. vogelii dan A. squamosa terhadap larva instar 2

C. pavonana 20

3

Sifat aktvitas campuran ekstrak daun T. vogelii dan bji A. squamosa pada

tiga nisbah konsentrasi terhadap larva instar 2 C. pavonana 22

4

Pengaruh ekstrak daun T. vogelii dan ekstrak biji A. squamosa serta

campuran kedua ekstrak pada nisbah konsentrasi 1:9 terhadap lama hidup imago C. pavonana yang berkembang dari larva yang diberi perlakuan

pada saat instar 2, 3, dan 4 24

5

Pengaruh ekstrak daun T. vogelii dan biji A. squamosa serta campuran kedua ekstrak pada nisbah konsentrasi 1:9 terhadap keperidian dan jumlah telur yang masih terdapat pada tubuh imago C. pavonana yang berkembang dari larva yang diberi perlakuan pada saat instar 2, 3, dan 4 29

6

Pengaruh ekstrak T. vogelii dan A. squamosa serta campuran kedua

ekstrak pada nisbah konsentrasi 1:9 terhadap oviposisi C. pavonana

(metode pilihan) pada tanaman brokoli umur 1 bulan 30

7

Pengaruh ekstrak T. vogelii dan A. squamosa serta campuran kedua ekstrak pada nisbah konsentrasi 1:9 terhadap oviposisi C. pavonana

(metode pilihan) pada tanaman brokoli umur 2 bulan 30

DAFTAR GAMBAR

1

Perkembangan tingkat mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan ekstrak daun T. vogelii (A) dan biji A. squamosa (B). Pada semua

perlakuan tidak ada kematian larva kontrol hingga 96 JSP 16

2

Perkembangan tingkat mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan campuran ekstrak daun T. vogelii dan ekstrak biji A. squamosa dengan

nisbah konsentrasi 1:1 (A), 9:1 (B), dan 1:9 (C). 19

3

Pengaruh ekstrak daun T. vogelii (A) dan biji A. squamosa (B) serta campuran kedua ekstrak pada nisbah konsentrasi 1:9 (C) yang diberikan pada larva C. pavonana instar 2 terhadap jumlah telur imago yang

terbentuk 25

4

Pengaruh ekstrak daun T. vogelii (D) dan biji A. squamosa (E) serta campuran keduanya pada nisbah konsentrasi 1:9 (F) yang diberikan pada larva C. pavonana instar 3 terhadap jumlah telur imago yang terbentuk 26

5

Pengaruh ekstrak daun T. vogelii (G) dan biji A. squamosa (H) serta
(19)

pada larva C. pavonana instar 4 terhadap jumlah telur imago yang

terbentuk 27

DAFTAR LAMPIRAN

1

Mortalitas larva Crocidolomia pavonana pada perlakuan ekstrak daun

Tephrosia vogelii 42

2

Mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan ekstrak biji Annona

squamosa 42

3

Mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan campuran ekstrak T. vogelii

dan A. squamosa pada nisbah konsentrasi 1:1 42

4

Mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan campuran ekstrak T. vogelii

dan A. squamosa pada nisbah konsentrasi 9:1 42

5

Mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan campuran ekstrak T. vogelii
(20)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Serangan serangga hama sampai saat ini masih menjadi masalah penting dalam setiap budi daya pertanian. Berbagai macam pengendalian telah dilakukan petani untuk mengendalikan serangga hama, salah satu di antaranya yang paling sering diterapkan ialah pengendalian kimia dengan insektisida sintetik. Aplikasi insektisida sintetik dapat dilakukan dengan mudah, efektif dalam jumlah sedikit, hasilnya dapat dilihat dengan cepat, serta memberikan keuntungan yang nyata (Metcalf 1982; Norris et al. 2003). Namun demikian, penggunaan insektisida dengan frekuensi yang tinggi dan terus-menerus dapat menimbulkan berbagai masalah, di antaranya resistensi serangga hama, ledakan serangga hama sekunder, resurjensi serangga hama, keracunan pada makhluk hidup bukan sasaran, terdapatnya residu pestisida pada hasil panen, dan pencemaran lingkungan (Soemawinata et al. 1994; Syahbirin et al. 2001; Norris et al. 2003). Untuk mengurangi berbagai masalah akibat penggunaan insektisida sintetik, perlu dikembangkan sarana pengendalian alternatif yang efektif terhadap serangga hama sasaran serta relatif aman terhadap lingkungan.

Pengendalian serangga hama menggunakan bahan insektisida yang berasal dari tumbuhan (insektisida nabati) merupakan sarana pengendalian alternatif yang umumnya lebih aman dibandingkan dengan penggunaan insektisida sintetik (Dadang dan Prijono 2008). Beberapa kelebihan penggunaan insektisida nabati di antaranya mudah terurai di alam, resistensi serangga tidak cepat berkembang, kebanyakan komponen ekstrak bersifat sinergis sehingga penggunaannya dapat lebih efektif, dan umumnya aman terhadap organisme bukan sasaran (Prakash dan Rao 1997; Dadang dan Prijono 2008).

Penggunaan insektisida nabati dapat dipadukan dengan taktik pengendalian lain seperti pengendalian hayati, cara bercocok tanam, dan penggunaan varietas tahan. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman pasal 20 yang menyatakan bahwa perlindungan tanaman dilaksanakan dengan sistem pengendalian hama terpadu (PHT). Selanjutnya pada pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 dinyatakan bahwa penggunaan pestisida dalam rangka pengendalian organisme pengganggu tumbuhan merupakan alternatif terakhir, dan dampak negatif yang timbul harus ditekan seminimal mungkin.

Tumbuhan yang diketahui aktif terhadap serangga hama di antaranya yang termasuk famili Annonaceae, Clusiaceae, Leguminosae, Meliaceae, Piperaceae, dan Simaroubaceae (Prijono et al. 1997; Lina 1999; Syahputra et al. 2004; Dadang et al. 2007; Syahputra 2008; Abizar dan Prijono 2010). Salah satu jenis tumbuhan dari famili Leguminosae yang sifat insektisidanya akhir-akhir ini sering diteliti kembali ialah kacang babi Tephrosia vogelii J. D. Hooker., yang diketahui aktif terhadap beberapa serangga hama di antaranya Caryedon serratus,

Callosobruchus maculatus, Acanthoscelides obtectus, C. chinensis, Anopheles stepheni, Paracoccus marginatus, Tetranychus sp., Nilaparvata lugens, dan

(21)

(2010) melaporkan bahwa ekstrak etil asetat daun dan biji T. vogelii memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva Crocidolomia pavonana (F.) (Crambidae); ekstrak daun bunga ungu memiliki toksisitas tertinggi dibandingkan dengan ekstrak bijinya serta ekstrak daun dan biji T. vogelii bunga putih.

Rotenon merupakan senyawa aktif dari T. vogelii (Delfel et al. 1970),yang pada tingkat sel bekerja menghambat transfer elektron antara NADH dehidrogenase dan koenzim Q pada kompleks I dari rantai transpor elektron di dalam mitokondria (Hollingworth 2001). Proses respirasi sel yang terhambat tersebut menyebabkan produksi ATP menurun yang selanjutnya sel kekurangan energi yang pada gilirannya dapat menyebabkan kelumpuhan berbagai sistem otot dan jaringan lainnya (Matsumura 1985).

Famili lain yang juga banyak diteliti saat ini adalah Annonaceae. Salah satu jenis famili Annonaceae yaitu srikaya Annona squamosa L., yangdiketahui aktif terhadap beberapa serangga hama, di antaranya yang termasuk ordo Hemiptera, Coleoptera, Isoptera, dan Lepidoptera (Prijono et al. 1994; Basana dan Prijono 1994; Septripa 2009; Dewi 2010). Santoso (2011) melaporkan bahwa ekstrak metanol biji A. squamosa asal Sumber Lawang-Blora, Jawa Tengah memiliki toksisitas yang paling tinggi, kemudian berturut-turut diikuti ekstrak yang bijinya berasal dari Gundih-Purwodadi, Cepu-Blora, Wirosari-Purwodadi, Kalioso-Sragen, dan Gemolong-Kalioso-Sragen, sedangkan ekstrak biji asal Arso-Keerom, Sentani-Jaya Pura, Papua memiliki toksisitas yang lebih rendah terhadap larva C. pavonana. Adanya perbedaan toksisitas tersebut kemungkinan disebabkan oleh perbedaan kandungan senyawa aktif di dalam ekstrak biji tersebut. Karena itu, aktivitas biji A. squamosa dari suatu daerah perlu diuji terlebih dahulu sebelum digunakan di lapangan.

Senyawa aktif dalam biji A. squamosa termasuk golongan asetogenin, seperti skuamosin dan asimisin. Kedua senyawa tersebut memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap serangga (Loundershausen et al. 1991; Ohsawa et al. 1994). Skuamosin pada tingkat seluler bekerja sebagai racun respirasi sel dengan menghambat transfer elektron pada kompleks I dari rantai transpor elektron di dalam mitokondria (Zafra-Polo et al. 1996). Hal tersebut mengakibatkan penurunan produksi ATP sehingga serangga kekurangan energi seluler dan akhirnya mengakibatkan kematian.

Insektisida nabati dapat digunakan secara tunggal atau dalam bentuk campuran. Penggunaan insektisida nabati berbahan baku dua jenis atau lebih ekstrak tumbuhan dapat mengurangi ketergantungan pada satu jenis tumbuhan sebagai bahan baku sehingga dapat mengatasi keterbatasan bahan baku insektisida nabati di tingkat petani. Penggunaan campuran insektisida yang sinergis akan lebih efisien dibandingkan dengan penggunaan ekstrak tunggal karena dalam campuran kedua komponen tersebut digunakan pada konsentrasi yang lebih rendah (Dadang & Prijono 2008). Dadang et al. (2007) melaporkan bahwa campuran ekstrak A. squamosa dan Swietenia mahogani, A. squamosa dan Aglaia odorata, serta A. squamosa dan Piper retrofractrum dengan proporsi ekstrak A. squamosa lebih tinggi memiliki efektivitas yang cukup baik terhadap larva C. pavonana. Abizar dan Prijono (2010) melaporkan bahwa campuran ekstrak daun

T. vogelii bunga ungu dan ekstrak buah Piper cubeba pada nisbah konsentrasi 5:9 bersifat sinergistik kuat pada taraf LC50. Hal ini kemungkinan karena dalam buah

(22)

seperti kubebin, klusin, dihidroksiklusin, yatein, hinokinin, dan dihidrokubebin (Usia et al. 2005; Elfahmi et al. 2007), senyawa tersebut dapat menghambat aktivitas enzim sitokrom P450 yang bekerja menurunkan daya toksisitas senyawa asing termasuk insektisida, sehingga senyawa aktif ekstrak T. vogelii dalam campuran dengan P. cubeba tidak mengalami penguraian dan dapat tetap bekerja. Lebih lanjut Dadang et al. (2009) melaporkan bahwa campuran ekstrak metanol

P. retrofractum and A. squamosa serta campuran ekstrak metanol A. odorata dan

A. squamosa tidak mengganggu kinerja parasitoid Diadegma semiclausum yang memarasit larva Plutella xylostella.

T. vogelii memiliki senyawa aktif golongan rotenoid, sedangkan senyawa aktif A. squamosa termasuk golongan asetogenin. Kedua senyawa tersebut memiliki cara kerja yang sama yaitu menghambat respirasi sel pada kompleks I di dalam mitokondria, tetapi kemungkinan terdapat kandungan senyawa aktif lain yang memiliki cara kerja yang berbeda sehingga ketika dicampurkan akan memiliki sifat sinergistik (Dadang dan Prijono 2008).

Insektisida nabati selain memiliki aktivitas insektisida juga dapat berpengaruh terhadap reproduksi serangga. Wiyantono et al. (2001) melaporkan bahwa ekstrak biji A. harmsiana pada LC5, LC20 dan, LC50 dapat menurunkan

jumlah telur yang diletakkan oleh imago C. pavonana masing-masing sebesar 38.4%, 22.3%, dan 69.3% dibandingkan dengan kontrol. Lebih lanjut Syahputra

et al. (2002) melaporkan bahwa fraksi aktif kulit batang D. acutangulum pada konsentrasi 2.54, 3.29, dan 3.93 ppm dapat menurunkan keperidian per hari imago betina C. pavonana sebesar 44%, 65%, dan 58% dibandingkan dengan kontrol.

Daya guna suatu insektisida akan lebih tinggi bila insektisida tersebut selain memiliki aktivitas mematikan serangga hama juga menghambat peneluran, karena sifat ini merupakan pertahanan garis depan dalam menangkal serangan serangga hama. Pada serangga ordo Lepidoptera, tahapan pemilihan inang dalam proses peletakan telur sangat penting karena inang yang dipilih dapat memengaruhi kelangsungan hidup larva keturunannya. Yuswanti dan Prijono (2004) melaporkan bahwa ekstrak etil asetat Aglaia harmsiana dan D. acutangulum dapat menurunkan jumlah telur yang diletakkan oleh imago P. xylostella dengan indeks penghambatan oviposisi masing-masing 0.30–0.59 dan 0.28–0.45 dibandingkan dengan kontrol. Lebih lanjut Syahputra (2008) melaporkan bahwa ekstrak metanol buah Brucea javanica (Simaroubaceae) dapat menurunkan jumlah telur yang diletakkan oleh imago C. pavonana pada konsentrasi 3% hampir 29 kali dibandingkan dengan kontrol. Sifat insektisida sediaan daun T. vogelii dan biji A. squamosa telah banyak diketahui, namun evaluasi toksisitas, pengaruh keperidian, dan antioviposisi campuran ekstrak daun T. vogelii dan ekstrak biji A. squamosa

belum pernah dilakukan.

(23)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengevaluasi aktivitas ekstrak daun T. vogelii yang berasal dari daerah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat dan ekstrak biji A. squamosa

yang berasal dari daerah Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat pada uji toksisitas secara tunggal dan campuran, pengaruh terhadap reproduksi, dan efek antioviposisi terhadap C. pavonana.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat diterapkan bagi petani tentang potensi ekstrak T. vogelii dan A. squamosa serta campuran ekstrak daun T. vogelii dan biji

A. squamosa sebagai insektisida, khususnya terhadap hama C. pavonana dan memberikan kontribusi dalam penerapan sistem PHT.

Ruang Lingkup Penelitian

1. Pengujian efek racun perut dengan metode celup daun ekstrak secara tunggal dan campuran, ekstrak daun T. vogelii dan ekstrak biji A. squamosa terhadap larva instar II C. pavonana.

2. Pengujian efek reproduksi ekstrak secara tunggal dan campuran ekstrak daun

T. vogelii dan ekstrak biji A. squamosa terhadap C. pavonana.

(24)

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Crocidolomia pavonana

Crocidolomia pavonana (F.) (sin. Crocidolomia binotalis Zeller) merupakan hama oligofag yang menyerang berbagai tanaman sayuran Brassicaceae termasuk sesawi, petsai, lobak, dan radish (Kalshoven 1981). Daerah penyebaran hama tersebut berasal dari benua Afrika, Asia, dan Australia. Di darerah Jawa ditemukan pada dataran rendah. Larva hama tersebut menyerang daun muda dan atau titik tumbuh tanaman yang dapat menyebabkan kematian tanaman (Uhan 1993). Kerusakan yang ditimbulkan hama tersebut cukup tinggi sehingga dapat menurunkan hasil panen sampai 100% (Sastrosiswojo 1995).

Telur C. pavonana diletakkan secara berkelompok pada permukaan bawah daun. Telur yang baru diletakkan berwarna hijau dan setelah 1-2 hari berubah menjadi agak kuning kehijauan dan mulai tampak bakal kepala larva berupa titik-titik merah kecokelatan, lalu menjadi hitam kemudian menetas. Jumlah telur per kelompok pada tanaman kubis 12-44 telur (Dumalang 1996).

Perkembangan larva C. pavonana dengan pakan daun brokoli melewati 4 instar (Prijono dan Hassan 1992). Larva instar 1 keluar dengan cara menembus bagian atas telur dan biasanya dijumpai berkelompok di permukaan bawah daun. Larva muda (instar 1 dan instar 2) memakan daun dan meninggalkan lapisan epidermis yang kemudian daun berlubang setelah lapisan epidermis kering. Setelah mencapai instar 3, larva memencar dan menyerang daun bagian dalam, masuk ke pucuk tanaman serta menghancurkan titik tumbuh. Serangan berat terjadi ketika larva memasuki instar 4 karena seluruh daun dimakan habis dan yang tersisa hanya tulang daun (Sastrosiswojo dan Setiawati 1993). Stadium setiap instar berturut-turut 2-3, 1-3, 1-3, dan 3-6 hari dengan rata-rata 2.0, 2.0, 1.5, dan 3.2 hari (Prijono dan Hassan 1992). Pada akhir instar 4, larva memasuki tahap prapupa, larva berhenti makan dan mulai membuat kokon serta tinggal di dalamnya. Tubuh menjadi lebih pendek dan gemuk. Tubuh yang berwarna hijau muda berubah sebagian di daerah dorsal menjadi cokelat (Dumalang 1996).

Pupa yang baru terbentuk berwarna hijau, beberapa waktu kemudian berubah menjadi cokelat. Pupa yang normal berwarna cokelat dan tubuhnya mengkilap. Stadium pupa 8.9-10.0 hari rata-rata 9.3 hari (Prijono dan Hassan 1992).

Imago betina berwarna cokelat dengan sayap depan berwarna sedikit gelap. Imago jantan berwarna cokelat lebih gelap daripada imago betina (Dumalang 1996).

Pengendalian Hama C. pavonana

Pengendalian C. pavonana dapat dilakukan dengan berbagai cara di antaranya pengendalian secara mekanis seperti pengumpulan telur, larva, pupa, dan pemetikan bagian tanaman yang terserang hama tersebut (Sastrosiswojo 1995). Pengendalian kultur teknis berupa sistem tanam tumpang sari dan pengaturan waktu tanam, pengendalian hayati seperti pengunaan parasitoid (Sastrosiswojo dan Setiawati 1993).

(25)

seperti piretroid sintetik (Uhan 1993). Insektisida sintetik ternyata dapat menyebabkan resistensi terhadap larva C. pavonana (Uhan dan Sulastrini 1993). Adanya resistensi tersebut menyebabkan orang mencari cara lain, salah satunya dengan memanfaatkan tanaman yang memiliki aktivitas terhadap serangga hama yang dikenal dengan insektisida botani (Prijono 1999). Beberapa jenis famili tumbuhan yang diketahui aktif terhadap C. pavonana di antaranya Annonaceae, Clusiaceae, Leguminosae, Meliaceae, Piperaceae, dan Simaroubaceae (Syahputra

et al. 2004; Dadang et al. 2007; Syahputra 2008; Abizar dan Prijono 2010). Ekstrak etanol fase etil asetat ranting dan biji A. harmsiana (Meliaceae) pada konsentrasi masing-masing 0,25% menyebabkan mortalitas larva C. pavonana

instar 2 berturut-turut sebesar 71,2% dan 100%. Ekstrak biji A. odoratissima pada konsentrasi 0,25% menyebabkan mortalitas larva C. pavonana instar 2 sebesar 100% (Lina 1999).

Potensi Insetisida Uji Sifat Insektisida Tephrosia vogelii

Kacang babi Tephrosia vogelii (Leguminosae) merupakan tumbuhan perdu berumur pendek yang berasal dari Afrika, tumbuh tegak, bercabang banyak, memiliki tinggi 2-3 m. Daunnya berwarna hijau dan bermanfaat untuk pupuk hijau. Bunganya berwarna ungu, merah, dan putih. Perbanyakan tanaman kacang babi dapat dilakukan dengan biji. Daun kacang babi telah dimanfaatkan sebagai racun ikan, insektisida, dan naungan persemaian tanaman kopi (Heyne 1987).

Wulan (2008) melaporkan bahwa aktivitas insektisida ekstrak daun T. vogelii bergantung pada jenis pelarut yang digunakan saat ekstraksi dan metode pengujian yang digunakan. Pada pengujian dengan metode residu pada daun, fraksi yang aktif terhadap larva C. pavonana adalah fraksi n-heksana, fraksi etil asetat, dan ekstrak metanol dengan LC50 berturut-turut 0,14%, 0,45%, dan 0,30%,

sedangkan dengan metode kontak fraksi yang aktif hanyafraksi n-heksana dengan LC50 sebesar 1,1%. Selain mengakibatkan kematian, fraksi atau ekstrak yang

aktif juga berpengaruh terhadap perkembangan larva dan fraksi n-heksana juga memiliki efek antifeedant (penghambat makan). Pada penelitian selanjutnya, Muliya (2010) melaporkan bahwa ekstrak metanol T. vogelii memiliki LC50

0.358% terhadap nimfa instar 3 N. lugens. Lebih lanjut Dewi (2010) melaporkan bahwa ekstrak etil asetat T. vogelii dapat bersifat racun perut (LC50 0.392 dan

0.286) dan kontak (LC50 0.242 dan 0.243) terhadap nimfa P. marginatus dan

tugau merah Tetranychus sp. Penelitian selanjutnya, Febrianni (2011) melaporkan bahwa ekstrak aseton daun T. vogelii memiliki LC50 sebesar 0.241%

terhadap larva P. xylostella (L.). Sifa (2011) melaporkan bahwa ekstrak aseton daun T. vogelii pada konsentrasi 1% dengan metode semprot serangga pada daun dapat menyebabkan mortalitas P. marginatus sebesar 96%.

Daun T. vogelii diketahui mengandung senyawa rotenon dan senyawa rotenoid lain yang bersifat insektisida, seperti deguelin dan tefrosin (Delfel et al.

(26)

Rotenon bekerja sebagai racun respirasi sel, yaitu menghambat transfer elektron dalam NADH-koenzim ubikuinon reduktase (kompleks I) dari sistem transpor elektron di dalam mitokondria. Rotenon menyekat pemindahan elektron dari Fe-S ke koenzim ubikuinon sehingga menghambat proses respirasi sel dan menurunkan produksi ATP, akibatnya aktivitas sel terhambat dan serangga menjadi lumpuh dan mati (Hollingworth 2001). Abizar dan Prijono (2010) melaporkan bahwa hasil pemeriksaan kualitatif dengan kromatografi lapis tipis menunjukkan intensitas bercak yang terkait rotenon pada ekstrak etil asetat daun lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak etil asetat biji T. vogelii bunga ungu dan bunga putih.

Sifat Insektisida Annona squamosa

Annona squamosa L. merupakan tanaman asal Amerika, yang berbentuk pohon dan batang bercabang. Buah majemuk agregat, berbentuk bulat membengkok di ujung, permukaan berduri, berlilin, bagian ujung melengkung, daging buah putih keabu-abuan. Biji dalam satu buah agregat banyak dengan warna hitam mengkilat. Di Filipina buah yang muda digunakan untuk obat disentri dan obat sakit perut (diare), bubuk bijinya juga dapat digunakan untuk membunuh cacing-cacing pada luka ternak. Di Kamboja kulit batangnya digunakan untuk obat antidiare. Di Afrika akarnya digunakan untuk bahan insektisida, sedangkan di India kulit akarnya digunakan obat kulit terbakar dan disentri (Heyne 1987). Wardhana et al. (2005) melaporkan bahwa ekstrak air, metanol, dan heksana A. squamosa memiliki LC50 berturut-turut 2.02%, 0.32%

dan 0.35% serta memiliki LT50 pada masing-masing jenis pelarut dengan

konsentrasi 5%, 0.75% dan 0.75% sebesar 2.54, 3.30, dan 3.26 jam terhadap larva caplak Boophilus microplus. Sifa (2011) melaporkan bahwa ekstrak heksana biji

A. squamosa dengan metode semprot daun pada konsentrasi 1% dapat menyebabkan mortalitas kutu putih pepaya P. marginatus sebesar 73.3%. Penelitian lanjut, Rahmawati (2011) melaporkan bahwa ekstrak metanol A. squamosa pada dosis 200 µg dengan metode perlakuan setempat (topical

application) dapat menyebabkan mortalitas imago S. zeamais sebesar 98%,

sedangkan dengan metode residu pada konsentrasi 3% dapat menyebabkan mortalitas imago S. zeamais sebesar 78%. Pada metode penyemprotan perlakuan dengan ekstrak tersebut pada dosis 8ml/karung dapat menyebabkan mortalitas imago S. zeamais sebesar 78.67%. Pada pengujian lebih lanjut ekstrak metanol A. squamosa dengan metode perlakuan setempat pada dosis 100 µ g dapat menyebabkan mortalitas Tribolium castaneum sebesar 94%, dengan metode residu pada konsentrasi 2.5% menyebabkan mortalitas sebesar 62%, dengan metode penyemprotan permukaan pada dosis 6 ml/karung dapat menyebabkan mortalitas sebesar 100%.

(27)

sel diketahui lebih toksik beberapa kali dibandingkan dengan rotenon atau piericidin (Degli et al. 1994).

Penyerapan insektisida racun kontak sebagian besar terjadi pada kutikula. Senyawa aktif akan berpenetrasi ke dalam tubuh serangga melalui bagian yang dilapisi oleh kutikula yang tipis, seperti selaput antar ruas, selaput persendian pada pangkal embelan dan kemoreseptor pada tarsus (Prijono 1994). Asimisin dan skuamosin diduga mampu berdifusi dari lapisan kutikula terluar melalui lapisan yang lebih dalam menuju hemolimfa, mengikuti aliran hemolimfa dan disebarkan ke seluruh bagian tubuh larva.

Potensi Campuran Insektisida Nabati

Insektisida nabati dapat digunakan dalam bentuk campuran dua jenis atau lebih ekstrak tumbuhan. Penggunaan insektisida nabati yang berbahan baku campuran ekstrak tumbuhan memiliki keunggulan dibandingkan dengan ekstrak tunggal, antara lain mengurangi ketergantungan pada satu jenis tumbuhan sebagai bahan baku (Dadang & Prijono 2008). Penggunaan insektisida dalam bentuk campuran lebih ekonomis bila campuran bersifat sinergis (Stone et al. 1988), dan dapat meningkatkan spektrum aktivitas insektisida (Dadang & Prijono 2008).

Saryanah (2008) melaporkan bahwa campuran ekstrak metanol buah P. retrofractum dan ekstrak metanol daun T. vogelii pada perbandingan konsentrasi 1:1 bersifat sinergistik lemah baik pada taraf LC50 maupun LC95 (indeks

kombinasi pada 72 JSP masing-masing 0,667 dan 0,507) dan perlakuan dengan campuran ekstrak tersebut pada konsentrasi 0,1% menghambat perkembangan larva C. pavonana sebesar 97%. Lebih lanjut Nugroho (2008) melaporkan bahwa campuran fraksi heksana padatan P. cubeba dan fraksi heksana T. vogelii

memiliki LC50 0.112% pada 72 jam sejak awal perlakuan terhadap larva C.

pavonana. Septripa (2009) melaporkan bahwa bahwa formulasi FTI-2 (campuran biji A. glabra dan A. squamosa) memiliki LD50 terhadap C. chinensis, O,

surinamensis, S. oryzae dan T. castaneum berturut-turut sebesar 0.19 mg, 6.07 mg, 9.58 mg, dan 20.78 mg, serta memiliki LC50 berturut-turut sebesar 0.01%,

0.07%, 0.01% dan 0.65%. Abizar dan Prijono (2010) melaporkan bahwa campuran ekstrak daun T. vogelii tanaman bunga ungu dan ekstrak buah P. cubeba (5:9) bersifat sinergistik terhadap larva C. pavonana. Muliya (2010) melaporkan bahwa campuran ekstrak P. retrofractum dan T. vogelii memiliki LC50 sebesar 0.22% terhadap nimfa instar 3 N. lugens. Asyiyah (2010)

melaporkan bahwa formulasi campuran ekstrak metanol P. retrofractrum dan ekstrak metanol biji A. squamosa efektif mengendalikan C. pavonana dengan tingkat mortalitas sebesar 100% pada konsentrasi 0.2%. Sifa (2011) melaporkan bahwa campuran ekstrak T. vogelii 0.5%, A. squamosa 0.5%, dan Cinnamomum multiforum 1% dapat menyebabkan mortalitas kutu putih pepaya P. marginatus

sebesar 76%. Nailufar (2011) melaporkan bahwa campuran ekstrak T. vogelii dan

P. aduncum bersifat sinergis terhadap C. pavonana. Anwar (2011) melaporkan bahwa campuran ekstrak metanol P. retrofractum dan A. squamosa mampu bekerja efektif dalam upaya menekan persentase kerusakan buah tomat akibat serangan Helicoverpa armigera.

(28)

Efek Insektisida Nabati terhadap Reproduksi dan Oviposisi

Penggunaan insektisida nabati selain memiliki pengaruh kematian juga memiliki pengaruh terhadap penurunan jumlah produksi telur. Prijono dan Hassan (1993) melaporkan bahwa ekstrak etanol biji mimba pada konsentrasi 0.0325% dan 0.04% yang diberikan pada larva instar 4 C. pavonana dapat menurunkan keperidian imago betina C. pavonana sebesar 63.0% dan 73.1%. Surahmat dan Prijono (2001) melaporkan bahwa ekstrak biji metanol Dysoxylum mollisimum pada konsentrasi 0.097%-0.136% yang diberikan pada larva instar 1 dapat menurunkan keperidian imago betina C. pavonana sebesar 27.7%-47.4%. Wiyantono et al. (2001) melaporkan bahwa ekstrak aseton biji Aglaia harmsiana

pada konsentrasi 0.0188%, 0.0298%, dan 0.0484% yang diberikan pada larva instar 3 dapat menurunkan produksi telur berturut-turut 38.4%, 22.3%, dan 69.3%. Penelitian lanjut, Syahputra et al. (2002) melaporkan bahwa fraksi aktif kulit batang D. acutangulum pada konsentrasi 2.54, 3.29, dan 3.93 ppm dapat menurunkan keperidian imago C. pavonana sebesar 44%, 65%, dan 58% dibandingkan kontrol.

Selain pengaruh penurunan keperidian, insektisida nabati juga memiliki efek terhadap hamabatan peletakan telur. Prijono dan Hassan (1993) melaporkan bahwa ekstrak etanol biji mimba pada konsentrasi 0.4% memiliki indeks hambatan oviposisi 52.6% oleh imago C. pavonana terhadap tanaman brokoli. Wiyantono et al. (2001) melaporkan bahwa ekstrak aseton biji Aglaia harmsiana

pada konsentrasi 0.15% memiliki indeks hambatan oviposisi 44% oleh imago C.

(29)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB), dari bulan Juli 2012 sampai bulan April 2013.

Bahan Tumbuhan Sumber Ekstrak

Bahan tumbuhan yang digunakan sebagai sumber ekstrak adalah daun T. vogelii berbunga ungu yang berasal dari Kawasan Agropolitan, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, yang diperoleh dari Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman IPB, dan biji A. squamosa

yang diperoleh dari Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Daun T. vogelii

tersedia dalam bentuk serbuk, sedangkan biji A. squamosa dikupas dan dibuang kulit bijinya untuk diambil daging bijinya, lalu dikeringudarakan selama 1 minggu.

Penyiapan Tanaman Pakan

Daun brokoli (Brassica oleracea L. var. italica Plenck) digunakan sebagai pakan serangga uji dan sebagai media perlakuan pada uji hayati di laboratorium. Benih brokoli cv. Green Magic disemai pada nampan semai yang diisi media semai campuran tanah, kompos Super Metan dan diberi pupuk majemuk (NPK 18-9-10+TE) 0.25 g per lubang tanam. Bibit berumur 2 minggu atau memiliki empat helai daun dipindahkan ke polybag kapasitas 5 L yang diisi campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 3:1 (v/v). Pada setiap polybag ditanam satu bibit tanaman. Setelah berumur 4 minggu tanaman dipupuk NPK dengan dosis ± 1 g per polybag. Pupuk ditabur melingkar mengelilingi tanaman lalu ditutup tanah dan disiram. Pemeliharaan tanaman brokoli yang dilakukan meliputi penyiraman, penyulaman, penyiangan gulma, dan pengendalian hama secara mekanis. Daun tanaman brokoli yang telah berumur sekurang-kurangnya 2 bulan digunakan sebagai pakan larva C. pavonana (Abizar dan Prijono 2010).

Pemeliharaan Serangga Uji

(30)

kokonnya dipindahkan ke dalam kurungan plastik-kasa atas sampai muncul imago untuk pemeliharaan selanjutnya (Prijono dan Hassan 1992).

Ekstraksi T. vogelii dan A. squamosa

Potongan daun T. vogelii bunga ungu dan biji A. squamosa kering udara digiling secara terpisah menggunakan blender hingga menjadi serbuk, kemudian diayak menggunakan pengayak kawat kasa berjalinan 0.5 mm. Pada penelitian ini, metode serta pelarut organik yang digunakan dalam ekstraksi merujuk pada hasil penelitian sebelumnya (Nailufar 2011; Santoso 2011). Serbuk daun T. vogelii sebanyak 400 g direndam dalam etil asetat (perbandingan 1:10, w/v), sedangkan sebuk biji A. squamosa direndam dengan metanol pada perbandingan yang sama seperti pada serbuk T. vogelii, dengan metode perendaman. Perendaman bahan tumbuhan dilakukan selama 24 jam. Cairan hasil rendaman disaring menggunakan corong kaca yang dialasi kertas saring Whatman No. 41 diameter 185 mm. Hasil saringan larutan etil asetat daun T. vogelii diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator pada suhu 50 0C dan tekanan 240 mbar, sedangkan larutan metanol biji A. squamosa diuapkan pada suhu 50 0C dan tekanan 580-750 mmHg sehingga diperoleh ekstrak kasar. Pelarut hasil penguapan digunakan untuk merendam kembali ampas dan langkah ini dilanjutkan berulang-ulang sampai hasil penyaringan mendekati tidak berwarna. Rendaman serbuk T. vogelii dilakukan sebanyak empat kali (Nailufar 2011), karena perendaman ulang selanjutnya hanya menyebabkan kematian yang lebih rendah pada larva instar 2 C. pavonana. Setiap ekstrak yang diperoleh disimpan dalam lemari es (± 4 0C) hingga saat digunakan (Dadang dan Prijono 2008).

Uji Toksisitas Ekstrak Tunggal

Pengujian ekstrak daun T. vogelii dan biji srikaya dilakukan melalui dua tahap, yaitu uji pendahuluan dan uji lanjutan. Uji pendahuluan, ekstrak T. vogelii

diuji pada konsentrasi 0.25%, 0. 125%, 0. 0625% dan 0.03125% (w/v), sedangkan

A. squamosa diuji pada konsentrasi 0.25%, 0.125%, 0.0625%, 0.03125%, 0.01565%%, 0.0078% dan 0.0039% dengan tujuan mendapatkan kisaran konsentrasi yang dapat mematikan serangga uji pada antara 10% dan 95%. Setiap perlakuan terdiri atas 3 ulangan. Konsentrasi uji lanjutan ditentukan berdasarkan hasil uji pendahuluan. Taraf konsentrasi uji ekstrak T. vogelii adalah 0.025%. 0.04%, 0.07%, 0.12%, dan 0.19% (w/v), dan ekstrak A. squamosa 0.004%, 0.006%, 0.009%, 0.014%, dan 0.02% (w/v). Semua pengujian dilakukan dengan metode celup daun (Abizar dan Prijono 2010). Ekstrak T. vogelii dan ekstrak A. squamosa diencerkan dengan metanol dan Tween 80 (5:1 v/v) kemudian ditambahkan akuades sampai volume yang diinginkan (Abizar dan prijono 2010). Konsentrasi akhir metanol dan Tween 80 dalam suspensi ekstrak uji masing-masing 1% dan 0.2% (v/v). Larutan kontrol berupa akuades yang mengandung metanol dan Tween 80 (5:1 v/v) 1.2%. Semua suspensi ekstrak dikocok dengan menggunakan pengocok ultrasonik agar ekstrak dapat tersuspensikan secara merata di dalam pelarut.

(31)

instar II C. pavonana yang baru ganti kulit dimasukkan ke dalam cawan petri berdiameter 9 cm yang telah dialasi tisu, kemudian diberikan daun kontrol atau daun perlakuan sesuai konsentrasinya (satu daun/cawan), dan larva tersebut dibiarkan makan selama 24 jam. Setelah 24 jam ditambahkan daun perlakuan atau daun kontrol secukupnya. Dua puluh empat jam berikutnya, daun perlakuan diganti dengan daun tanpa perlakuan. Setiap perlakuan diulang lima kali. Pengamatan dilakukan setiap 24 jam setelah perlakuan (JSP) sampai 96 JSP dengan menghitung jumlah larva yang mati.

Data mortalitas larva diolah dengan analisis probit menggunakan program POLO-PC (LeOra Software 1987) untuk menentukan hubungan konsentrasi-mortalitas termasuk nilai LC50 dan LC95.

Uji Toksisitas Ekstrak Campuran

Ekstrak T. vogelii dan A. squamosa diuji dalam bentuk campuran pada lima taraf konsentrasi yang diharapkan dapat mengakibatkan kematian serangga uji antara 15% dan 95%. Ekstrak campuran diuji pada tiga macam perbandingan konsentrasi, yaitu 1:1, 9:1, dan 1:9 (w/w). Konsentrasi uji ekstrak T. vogelii dan

A. squamosa dalam campuran 1:1 masing-masing 0.0025%, 0.0042%, 0.007%, 0.012%, dan 0.02%. Untuk campuran 9:1 konsentrasi ekstrak T. vogelii berturut-turut 0.0225%, 0.036%, 0.063%, 0.108%, dan 0.18% dan konsentrasi ekstrak A. squamosa berturut-turut 0.0025%, 0.004%, 0.007%, 0.012%, dan 0.02%. Untuk campuran 1:9 konsentrasi ekstrak T. vogelii berturut-turut 0.0004%, 0.0006%, 0.0009%, 0.0014%, dan 0.002% dan konsentrasi ekstrak A. squamosa berturut-turut 0.0036%, 0.0054%, 0.0081%, 0.0126%, dan 0.018%.

Cara perlakuan dan pengamatan pada uji ekstrak campuran sama seperti pada uji ekstrak tunggal. Ekstrak T. vogelii dan ekstrak A. squamosa masing-masing dicampur dengan pelarut metanol dan Tween 80 (5:1) (konsentrasi akhir 1.2% v/v) kemudian diencerkan dengan akuades sampai volume yang sesuai. Akuades yang hanya mengandung pelarut metanol dan Tween 80 digunakan sebagai larutan kontrol. Semua suspensi ekstrak dikocok dengan menggunakan pengocok ultrasonik agar ekstrak dapat tersuspensikan secara merata di dalam pelarut.

Data mortalitas larva C. pavonana akibat perlakuan dengan ekstrak T. vogelii dan A. Squamosa pada 48, 72, dan 96 JSP diolah dengan analisis probit menggunakan program POLO-PC (LeOra Software 1987) untuk menentukan hubungan konsentrasi-mortalitas termasuk nilai LC25, LC50, LC95 dan LC99.

Sifat aktivitas campuran ekstrak daun T. vogelii dan buah A. squamosa

dianalisis berdasarkan model kerja bersama berbeda dengan menghitung indeks kombinasi pada taraf LC50 dan LC95. Indeks kombinasi (IK) pada taraf LCx

tersebut dihitung dengan rumus berikut (diadaptasi dari Gisi 1996): IK =

+

+ [

]

LCx1 dan LCx2 masing-masing merupakan LCx ekstrak daun T. vogelii dan

ekstrak buah A. squamosa pada pengujian terpisah; LCx1(cm) dan LCx2(cm)

masing-masing LCx ekstrak T. vogelii dan A. squamosa dalam campuran yang

mengakibatkan mortalitas x (misal 50% dan 95%). Nilai LCx tersebut diperoleh

dengan cara mengalikan LCx campuran dengan proporsi konsentrasi ekstrak T.

(32)

Kategori sifat interaksi campuran adalah sebagai berikut (diadaptasi dari Gisi 1996):

(1) bila IK < 0.5, komponen campuran bersifat sinergistik kuat;

(2) bila 0.5 ≤ IK ≤ 0.77, komponen campuran bersifat sinergistik lemah; (3) bila 0.77 < IK ≤ 1.43, komponen campuran bersifat aditif;

(4) bila IK > 1.43, komponen campuran bersifat antagonistik. Uji Keperidian

Pengujian keperidian dilakukan terhadap ekstrak tunggal dan campuran ekstrak. Pengujian pada masing-masing ekstrak yaitu ekstrak daun T. vogelii dan biji A. squamosa serta campuran ekstrak T. vogelii dan A. squamosa pada nisbah konsentrasi 1:9 yang memiliki toksisitas paling tinggi diuji pada LC25 dan LC50

berdasarkan uji toksisitas. Perlakuan sediaan ekstrak terdiri atas 3 macam perlakuan yaitu daun perlakuan diberikan pada larva instar II, III, dan IV larva C. pavonana dengan metode residu pada daun (kontaminasi pakan) selama 48 jam, kemudian imago yang muncul digunakan untuk pengamatan reproduksi dan lama hidup. Sediaan ekstrak uji disiapkan dengan cara seperti pada uji toksisitas untuk memperoleh konsentrasi yang diinginkan. Cara pemberian daun perlakuan sama seperti uji toksisitas. Sebanyak 15 ekor larva instar II, III dan 10 ekor untuk larva instar IV C. pavonana yang baru ganti kulit dimasukkan masing-masing sesuai bentuk instarnya ke dalam cawan petri, kemudian diberikan daun kontrol atau daun perlakuan yang sesuai. Antara selang waktu 24 jam ditambahkan daun perlakuan atau daun kontrol secukupnya. Setelah mencapai 48 jam, daun perlakuan diganti dengan daun tanpa perlakuan. Jumlah larva yang diberi perlakuan untuk setiap taraf konsentrasi uji dan kontrol diperhitungkan sedemikian rupa sehingga dapat diperoleh setidaknya 15 pasang imago. Larva uji dibiarkan memakan daun perlakuan atau daun kontrol selama 48 jam, kemudian larva diberi makan daun tanpa perlakuan hingga larva mencapai instar 4. Setelah menjadi instar 4, larva dipindahkan ke wadah plastik yang lebih besar (13 cm x 11 cm x 5,5 cm), dan menjelang berkepompong ke dalam wadah tersebut diberi tanah steril. Imago yang muncul dipasangkan hingga diperoleh 15 pasang untuk setiap taraf konsentrasi uji dan kontrol. Setiap pasang imago dipelihara dalam kurungan plastik berventilasi (diameter 6,5 cm, tinggi 30 cm) dan diberi makan cairan madu 10% yang diserapkan pada kapas. Jumlah telur yang diletakkan dikumpulkan tiap hari dan dihitung. Imago dipelihara hingga mati dan lama hidupnya dicatat. Data keperidian imago betina per hari, produksi total telur, serta lama hidup imago jantan dan betina diolah dengan sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji Duncan (α=0.05) menggunakan program komputer (SAS Institute 1990).

Uji Antioviposisi

Pengujian sifat antioviposisi dilakukan dengan metode pilihan (bibit brokoli kontrol dan perlakuan diletakkan dalam satu kurungan). Pengujian dilakukan terhadap ekstrak tunggal dan campuran ekstrak. Pengujian pada masing-masing ekstrak tunggal yaitu ekstrak daun T. vogelii dan biji A. squamosa serta campuran ekstrak T. vogelii dan A. squamosa pada nisbah konsentrasi 1:9 yang memiliki toksisitas paling tinggi diuji pada LC99 dan 2 x LC99 berdasarkan uji toksisitas.

(33)
(34)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Toksisitas Ekstrak T. vogelii dan A. squamosa terhadap Larva C. pavonana

Ekstrak Tunggal

Mortalitas larva C. pavonana akibat perlakuan ekstrak etil asetat daun T. vogelii dan ekstrak metanol biji A. squamosa meningkat seiring dengan bertambahnya waktu dan semakin besarnya konsentrasi ekstrak (Gambar 1A dan 1B). Tingkat mortalitas larva C. pavonana pada 24 jam setelah perlakuan (JSP) masih rendah untuk semua perlakuan. Perlakuan ekstrak T. vogelii dan ekstrak A. squamosa pada kisaran konsentrasi masing-masing 0.025%-0.19% dan 0.004%-0.02% menyebabkan mortalitas larva 1.33%-13.33% dan 5.33%-29.33%. Peningkatan mortalitas larva mulai tampak pada 48 JSP, ekstrak T. vogelii dan ekstrak A. squamosa pada konsentrasi tertinggi (masing-masing 0.19% dan 0.02%) mengakibatkan mortalitas larva C. pavonana masing-masing 98.67% dan 88%. Mortalitas larva akibat perlakuan ekstrak T. vogelii pada konsentrasi 0.07% dan 0.12% serta ekstrak A. squamosa pada konsentrasi 0.006%-0.02% meningkat secara bertahap hingga akhir pengamatan.

Secara umum peningkatan mortalitas larva C. pavonana pada 72 JSP masih terjadi pada kedua perlakuan, namun pada konsentrasi tertinggi (0.19%) ekstrak T. vogelii sudah tidak terjadi peningkatan mortalitas larva. Perlakuan dengan ekstrak

A. squamosa pada konsentrasi tertinggi (0.2%) menyebabkan mortalitas larva meningkat menjadi 94.67%.

Pada akhir pengamatan (96 JSP), mortalitas larva C. pavonana akibat perlakuan ekstrak T. vogelii dan ekstrak A. squamosa pada kisaran konsentrasi masing-masing 0.025%-0.19% dan 0.004%-0.02% berkisar sekitar 8%-98.67% dan 8%-97.33%. Pada perlakuan dengan ekstrak T. vogelii pada dua konsentrasi terendah (masing-masing 0.025% dan 0.04%) dan pada konsentrasi tertinggi (0.19%) serta ekstrak A. squamosa pada konsentrasi terendah (0.004%) tidak terjadi peningkatan mortalitas serangga uji. Hal tersebut kemungkinan senyawa aktif dalam tubuh larva sudah mengalami penguraian atau diekresikan bersama feses atau senyawa aktif yang tertinggal tidak cukup untuk mematikan larva uji. Namun pada perlakuan dengan ekstrak T. vogelii dan ekstrak A. squamosa

masing-masing pada konsentrasi 0.07%%-0.12% dan 0.006%-0.02% masih terjadi peningkatan mortalitas larva C. pavonana masing-masing 46.7%-89.3% dan 50.7%-97.3% pada akhir pengamatan. Hal tersebut kemungkinan disebabkan senyawa aktif yang tertinggal dalam tubuh larva uji masih cukup untuk menyebabkan kematian.

(35)

Gambar 1 Perkembangan tingkat mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan ekstrak daun T. vogelii (A) dan biji A. squamosa (B). Pada semua perlakuan, tidak ada kematian larva kontrol hingga 96 JSP.

Mortalitas larva C. pavonana akibat perlakuan dengan ekstrak T. vogelii dan

A. squamosa pada konsentrasi tertinggi telah melebihi 50% mulai 48 JSP, karena itu analisis probit dilakukan terhadap data mortalitas pada 48, 72, dan 96 JSP. LC50 dan LC95 ekstrak T. vogelii pada 72 JSP sedikit menurun bila dibandingkan

dengan LC50 dan LC95 pada 48 JSP, demikian juga LC50 dan LC95 sedikit menurun

bila dibandingkan dengan LC50 dan LC95 pada 72 JSP (Tabel 1). LC50 dan LC95

Ekstrak A. squamosa memiliki pola penurunan yang sama seperti pada ekstrak T. vogelii. Hal ini menunjukkan peningkatan mortalitas larva pada 72 dan 96 JSP sesuai dengan pola perkembangan mortalitas larva uji.

0 20 40 60 80 100

0 24 48 72 96

Morta

li

tas (

%

)

A Kontrol

0.025% 0.040% 0.070% 0.120% 0.190%

0 20 40 60 80 100

0 24 48 72 96

M

ort

ali

tas

(%)

Waktu pengamatan (JSP)

B Kontrol

[image:35.595.82.481.72.526.2]
(36)

Tabel 1 Penduga parameter hubungan konsentrasi-mortalitas ekstrak daun T. vogelii dan ekstrak biji A. squamosa terhadap larva

instar 2 C. pavonana

Jenis ekstrak Waktu pengamatan

(JSP)a a ± GB

b

b ± GBb LC50 (SK 95%) (%)b LC95 (SK 95%) (%)b

T. vogelii 48 5.218 ± 0.439 4.750 ± 0.387 0.079 (0.056-0.116) 0.177 (0.120-0.544)

72 4.925 ± 0.407 4.268 ± 0.342 0.070 (0.050-0.099) 0.170 (0.115-0.485)

96 5.125 ± 0.422 4.386 ± 0.351 0.068 (0.049-0.095) 0.161 (0.110-0.419)

A. Squamosa 48 7.455 ± 0.695 3.766 ± 0.344 0.010 (0.010-0.011) 0.029 (0.024-0.037)

72 8.758 ± 0.761 4.136 ± 0.363 0.008 (0.006-0.009) 0.019 (0.015-0.028)

96 10.421 ± 0.912 4.773 ± 0.425 0.007 (0.005-0.008) 0.014 (0.011-0.030)

a

JSP = jam sejak perlakuan., ba = intersep garis regresi probit, b = kemiringan regresi probit, GB = galat baku, SK = selang kepercayaan.

[image:36.595.97.761.129.247.2]
(37)

Ekstrak Campuran

Pola perkembangan mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan campuran ekstrak T. vogelii dan ekstrak A. squamosa pada nisbah konsentrasi 1:1 dan 9:1 (w/w) (Gambar 2A dan 2B) berada di antara pola perkembangan mortalitas akibat perlakuan ekstrak T. vogelii dan ekstrak A. squamosa secara tunggal, sedangkan pada nisbah konsentrasi 1:9 lebih menyerupai ekstrak A. squamosa secara tunggal (Gambar 2C). Pengamatan terakhir (96 JSP) tingkat mortalitas larva C. pavonana

akibat perlakuan campuran ekstrak T. vogelii dan ekstrak A. squamosa sama seperti pada perlakuan ekstrak tunggal semakin meningkat seiring bertambahnya waktu dan semakin besarnya konsentrasi (Gambar 2A, 2B, dan 2C).

Perlakuan dengan campuran kedua ekstrak pada ketiga macam nisbah konsentrasi mengakibatkan mortalitas serangga uji melebihi 50% pada 48 JSP, karena itu analisis probit dilakukan terhadap mortalitas serangga uji pada 48, 72, dan 96 JSP. Pola penurunan LC50 dan LC95 campuran ekstrak T. vogelii dan

ekstrak A. squamosa pada nisbah konsentrasi 1:1 pada 72 JSP menurun tajam bila dibandingkan dengan LC50 dan LC95 pada 48 JSP, namun LC50 dan LC95 pada 96

JSP menurun yang sangat kecil bila dibandingkan dengan LC50 dan LC95 pada 72

JSP, sedangkan pola penurunan LC50 dan LC95 campuran ekstrak T. vogelii dan

ekstrak A. squamosa pada nisbah konsentrasi 9:1 menurun dengan tajam pada 72 JSP bila dibandingkan pada 48 JSP, namun LC50 dan LC95 pada 96 JSP menurun

yang sangat kecil bila dibandingkan dengan LC50 dan LC95 pada 72 JSP. Berbeda

dengan pola penurunan LC50 dan LC95 campuran ekstrak T. vogelii dan ekstrak A.

squamosa pada nisbah konsentrasi 1:9 sedikit menurun baik pada 72 JSP bila dibandingkan pada 48 JSP maupun pada 96 JSP bila dibandingkan 72 JSP. Makin besar proporsi konsentrasi ekstrak A. squamosa, nilai LC50 dan LC95 makin cepat

mendekati nilai konstan atau penurunan nilai LC50 dan LC95 lebih kecil setelah 48

JSP.

LC50 dan LC95 campuran ekstrak T. vogelii dan ekstrak A. squamosa pada

nisbah konsentrasi 1:9 pada 96 JSP masing-masing berturut-turut 1.9 dan 2.3 kali serta 11.4 dan 13.5 kali lebih rendah dibandingkan dengan ekstrak T. vogelii dan ekstrak A. squamosa pada nisbah konsentrasi 1:1 dan 9:1. Hal tersebut menunjukkan bahwa makin besar proporsi konsentrasi ekstrak A. squamosa,

aktivitas insektisida campuran makin kuat. LC50 campuran ekstrak T. vogelii dan

ekstrak A. squamosa pada nisbah konsentrasi 1:1, 9:1 dan 1:9 berturut-turut 4.53; 0.75; dan 8.50 kali lebih rendah dibandingkan dengan LC50 ekstrak T. vogelii dan

0.47; 0.08 dan 0.87 kali lebih rendah dibanding dengan LC50 ekstrak A. squamosa.

Sementara itu, LC95 campuran ekstrak T. vogelii dan ekstrak A. squamosa pada

nisbah konsentrasi 1:1, 9:1 dan 1:9 berturut-turut 3.50; 0.59 dan 8.05 kali lebih rendah dari LC95 ekstrak T. vogelii dan 0.30; 0.05; dan 0.70 lebih rendah dari LC95

ekstrak A. squamosa. Dengan demikian, campuran ekstrak T. vogelii dan ekstrak

(38)
[image:38.595.111.508.94.709.2]

Gambar 2 Perkembangan mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan campuran ekstrak daun T. vogelii dan ekstrak biji A. squamosa dengan nisbah konsentrasi 1:1 (A), 9:1 (B), dan 1:9 (C).

0 20 40 60 80 100

0 24 48 72 96

Morta li tas ( % ) A Kontrol 0.0050% 0.0084% 0.0140% 0.0240% 0.0400% 0 20 40 60 80 100

0 24 48 72 96

Morta

li

tas (

%

)

B Kontrol

0.025% 0.040% 0.070% 0.120% 0.200% 0 20 40 60 80 100

0 24 48 72 96

Morta

li

tas (

%

)

(39)
[image:39.595.79.730.143.328.2]

Tabel 2 Penduga parameter hubungan konsentrasi-mortalitas campuran ekstrak daun T. vogelii dan ekstrak biji A. suamosa terhadap

larva instar 2 C. pavonana

Nisbah

konsentrasia

Waktu pengamatan

(JSP)b a ± GB

c

b ± GBc LC50 (SK 95%)

(%)c

LC95 (SK 95%)

(%)c

1:1 48 3.925 ± 0.484 2.512 ± 0.277 0.027 0.124

72 5.815 ± 0.519 3.258 ± 0.283 0.016 (0.015-0.018) 0.052 (0.043-0.069)

96 6.298 ± 0.539 3.478 ± 0.292 0.015 (0.013-0.019) 0.046 (0.034-0.076)

9:1 48 2.565 ± 0.294 2.754 ± 0.271 0.117 0.463

72 3.230 ± 0.311 3.167 ± 0.278 0.096 (0.059-0.190) 0.316 (0.169-4.295)

96 3.607 ± 0.330 3.461 ± 0.293 0.091 (0.055-0.183) 0.271 (0.149-3.903)

1:9 48 7.268 ± 0.674 3.612 ± 0.330 0.010 (0.009-0.011) 0.028 (0.023-0.036)

72 7.131 ± 0.668 3.424 ± 0.322 0.008 (0.007-0.009) 0.025 (0.021-0.032)

96 8.179 ± 0.725 3.859 ± 0.346 0.008 (0.007-0.008) 0.020 (0.017-0.025)

a

(40)

Sifat Aktivitas Campuran Ekstrak T. vogelii dan A. squamosa

Berdasarkan nilai indeks kombinasi (IK) pada pengamatan 48, 72, dan 96 JSP, campuran ekstrak T. vogelii dan ekstrak A. squamosa hanya dengan nisbah konsentrasi 1:1 pada taraf LC50 pada 72 dan 96 JSP serta nisbah konsentrasi 1:9

pada taraf LC50 dan LC95 berifat aditif, sedangkan pada nisbah konsentrasi 1:1

pada taraf LC50 pada 48 JSP dan LC95 pada 48, 72, dan 96 JSP, serta nisbah

konsentrasi 9:1 pada taraf LC50 dan LC95 berifat antagonis. Hal tersebut

menunjukkan makin besar proporsi konsentrasi ekstrak A. squamosa, aktivitas insektisidacampuran ekstrak makin kuat terhadap larva C. pavonana. Sedangkan semakin besar proporsi konsentrasi T. vogelii campuran ekstrak lebih tidak toksik (antagonis) terhadap larva C. pavonana. Hal ini dapat dilihat dari nilai LC50 dan

LC95 campuran ekstrak T. vogelii dan ekstrak A. squamosa pada nisbah

konsentrasi 1:9 pada 96 JSP masing-masing berturut-turut 1.9 dan 2.3 kali serta 11.4 dan 13.5 kali lebih rendah dibandingkan dengan campuran T. vogelii dan A. squamo

Gambar

Gambar 1  Perkembangan tingkat mortalitas larva  C. pavonana pada perlakuan
Tabel 1  Penduga parameter hubungan konsentrasi-mortalitas ekstrak daun T. vogelii dan ekstrak biji A
Gambar 2  Perkembangan mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan campuran
Tabel 2  Penduga parameter hubungan konsentrasi-mortalitas campuran ekstrak daun T. vogelii              larva instar 2 dan ekstrak biji A
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil ini menunjukan bahwa hasil Ho ditolak dan Ha diterima sehingga keputusan yang dapat diambil adalah terdapat pengaruh yang signifikan bermain bola pantul

CDS/ISIS Panduan Pengelolaan Sistem Manakemen Basis Data : untuk perpustakaan dan unit Informasi.. Akses Informasi Elekrtonik : Suatu paradigma Baru

maka hasil dari pembelajarannya pun akan memuaskan. 2) Memberikan teladan yang baik bagi para guru. 3) Memberikan motivasi kepada guru untuk membuat inovasi terkait pembelajaran

Dari penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik hasil kesimpulan sebagai berikut, permasalahan yang terjadi dalam proyek sesuai untuk diselesaikan dengan menggunakan

Penderita post operasi fraktur femur sepertiga tengah dekstra akan ditemui berbagai tanda dan gejala yaitu pasien mengalami oedem pada daerah yang mengalami

b) Uncooperative students. In the beginning of lesson, all students were active and curios in accepting material and instructions. But sometimes, there were some

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan dan status gizi ibu hamil dengan kejadian anemia di Puskesmas Gatak Kabupaten

Ir. Putu Suweken, MURP.. Sejak diangkat sebagai Tenaga Honorer mulai tanggal ... sampai dengan saat ini melaksanakan tugas secara nyata dan sah terus-menerus. Dalam melaksanakan