• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metabolomic Study of Temu Lawak Rhizome Using Liquid Chromatography-Mass Spectrometry

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Metabolomic Study of Temu Lawak Rhizome Using Liquid Chromatography-Mass Spectrometry"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN METABOLOMIK RIMPANG TEMU LAWAK

MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI CAIR-

SPEKTROSKOPI MASSA

SEPTHIA RACHMAWATI

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

SEPTHIA RACHMAWATI. Kajian Metabolomik Rimpang Temu Lawak

Menggunakan Kromatografi Cair-Spektroskopi Massa. Dibimbing oleh RUDI

HERYANTO dan EDY DJAUHARI.

Kualitas rimpang temu lawak sebagai tanaman obat ditentukan oleh

kandungan metabolit, yang dipengaruhi oleh kondisi geografis dan lingkungan

tumbuh tanaman. Pengamatan keragaman metabolit ekstrak etanol rimpang temu

lawak yang berasal dari 5 daerah berbeda (Sragen, Bogor, Karanganyar,

Sukabumi, dan Wonogiri) pada penelitian ini dilakukan dengan pendekatan

metabolomik menggunakan kromatografi cair-spektroskopi massa (LC-MS).

Analisis komponen utama menghasilkan 3 kelompok sampel berdasarkan daerah

asalnya: kelompok 1 (Sragen dan Bogor), kelompok 2 (Sukabumi dan Wonogiri),

dan kelompok 3 (Karanganyar). Bioaktivitas rimpang diuji dengan metode uji

letalitas larva udang untuk mengevaluasi potensinya sebagai antikanker. Rimpang

kelompok 1 memiliki potensi antikanker terendah dan terbedakan dari kelompok

sampel lainnya akibat pengaruh variabel nilai

m/z 249.964, yang belum dapat

diidentifikasi karena keterbatasan

database. Rimpang kelompok 2 dan 3

mengandung senyawa penciri dengan sinyal

m/z

368.115, yang diduga sebagai

kurkumin dan siklokurkumin. Sampel rimpang kelompok 3 memiliki potensi

antikanker terbaik dengan LC

50

25.04 µg/mL.

Kata kunci: LC-MS, metabolomik, temu lawak.

ABSTRACT

SEPTHIA RACHMAWATI. Metabolomic Study of Temu Lawak Rhizome Using

Liquid Chromatography-Mass Spectrometry. Supervised by RUDI HERYANTO

and EDY DJAUHARI.

Quality of temu lawak rhizome as a medicinal plant, was determined by the

content of metabolites, which are influenced by geography and environment

where the plant grow. Observation on metabolite diversity of ethanol extract of

temu lawak rhizome from five differrent regions (Sragen, Bogor, Karanganyar,

Sukabumi, and Wonogiri) in this research was conducted by metabolomic

approaches

using

liquid

chromatography-mass

spectrometry

(LC-MS).

Multivariate analysis PCA produced 3 groups of samples based on the region of

origin: group 1 (Sragen and Bogor), group 2 (Sukabumi and Wonogiri), and group

3 (Karanganyar). Bioactivity of the rhizome was evaluated by brine shrimp

lethality test method to determine their potential as anticancer. Rhizome group 1

had the lowest potential anticancer and could be distinguished from the other

samples due to their influence variables value of m/z 249.964, which could not be

identified due to the limited database. Group 2 and 3 contained metabolite

biomarker at m/z 368.115, which is predicted as curcumin and cyclocurcumin.

Sample group 3 had the best potential as anticancer, with an LC

50

at 25.04 µg/mL.

(3)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Kimia

SEPTHIA RACHMAWATI

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

KAJIAN METABOLOMIK RIMPANG TEMU LAWAK

MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI CAIR-

(4)

Judul : Kajian

Metabolomik

Rimpang

Temu

Lawak

Menggunakan

Kromatografi Cair-Spektroskopi Massa

Nama : Septhia Rachmawati

NIM : G44080069

Disetujui,

Pembimbing I,

Rudi Heryanto SSi MSi

NIP 19760428 200501 1 002

Pembimbing II,

Drs Edy Djauhari PK MSi

NIP 19631219 199003 1 002

Diketahui

Ketua Departemen Kimia

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Pertanian Bogor,

Prof Dr Ir Tun Tedja Irawadi MS

NIP 19501227 197603 2 002

(5)

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

karunia-

Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ―

Kajian

Metabolomik Rimpang Temu Lawak Menggunakan Kromatografi

Cair-Spektroskopi Massa

‖. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan aret

Juli 2012 di

Laboratorium Kimia Analitik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

(FMIPA), Institut Pertanian Bogor (IPB) serta Laboratorium Pusat Studi

Biofarmaka Institut Pertanian Bogor (PSB IPB). Skripsi ini disusun sebagai salah

satu syarat kelulusan Program Sarjana di Departemen Kimia FMIPA IPB.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rudi Heryanto SSi MSi

selaku pembimbing satu dan Bapak Drs Edy Djauhari PK MSi sebagai

pembimbing kedua atas semua bimbingan, masukan, arahan, serta ilmu yang telah

diberikan selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Terima kasih kepada

seluruh staf Laboratorium Kimia Analitik Departemen Kimia IPB dan

Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka Institut Pertanian Bogor (PSB IPB) yang

telah memberikan fasilitas, dukungan, dan bantuan selama penelitian berlangsung.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada orang tua dan keluarga besar atas

doa yang diberikan dan menjadi motivasi penulis. Ucapan terima kasih kepada

teman bimbingan (Lupi, Kiki, Anissa, dan Fakih) atas dukungan dan semangat

yang telah diberikan. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat dalam

perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, November 2012

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 20 September 1990 dari Bapak

Hari Sumardio dan Ibu Eka Mahfarini. Penulis merupakan anak pertama dari tiga

bersaudara dengan dua adik bernama Karina Ramadhani dan Larasati. Tahun 2008

penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bekasi dan pada tahun yang sama penulis lulus

seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB pada Departemen

Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ... 1

TINJAUAN PUSTAKA

Temu Lawak sebagai Tanaman Obat ... 2

Ekstraksi Temu Lawak ... 3

Metabolomik ... 3

Kromatografi Cair Spektroskopi Massa dan Deteksi Senyawa Penciri ... 4

Analisis Multivariat PCA ... 5

Uji Toksisitas Ekstrak Temu Lawak ... 6

METODE

Bahan dan Alat ... 7

Lingkup Penelitian ... 7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Toksisitas Ekstrak Etanol Rimpang Temu Lawak ... 9

Identifikasi Profil Metabolit Rimpang Temu Lawak ... 10

Pengenalan Pola Pengelompokan Metabolit dengan PCA ... 13

SIMPULAN DAN SARAN ... 15

DAFTAR PUSTAKA ... 15

(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Informasi rimpang temu lawak ... 7

2 Kondisi daerah asal sampel ... 9

3 Kadar air, kadar abu, rendemen, dan toksisitas rimpang temu lawak ... 10

4 Komposisi metabolit dominan rimpang temu lawak ...

12

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Rimpang temu lawak... 2

2 Struktur kurkuminoid ... 2

3 Struktur xantorizol ...

3

4 Prinsip PCA ... 6

5 Bagan alir pemrosesan data ... 9

6 Kromatogran LC-MS ekstrak etanol rimpang temu lawak Sragen ... 11

7 Grafik metabolit dominan ... 12

8 Plot skor analisis multivariat PCA sebelum reduksi outlier ... 13

9 Plot skor analisis multivariat PCA setelah reduksi outlier... 14

10 Plot loading analisis multivariat PCA ... 14

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Bagan alir penelitian ... 19

2 Tahap pemrosesan kromatogram LC-MS dengan MZmine ... 20

3 Tahap pemrosesan PCA data mass array dengan The Unscrambler ... 24

4 Kadar air serbuk rimpang temu lawak ... 27

5 Kadar abu serbuk rimpang temu lawak ... 28

6 Rendemen ekstrak etanol rimpang temu lawak ... 29

7 Hasil uji toksisitas ekstrak etanol rimpang temu lawak ... 30

8 Analisis probit nilai LC

50

ekstrak etanol rimpang temu lawak ... 34

9 Uji statistika ANOVA dan Duncan terhadap toksisitas temu lawak ... 35

10 Komposisi dugaan senyawa kimia rimpang temulawak ... 36

(9)

PENDAHULUAN

Indonesia kaya akan biodiversitas sumber daya alam. Salah satu komoditas bahan alam yang telah lama dimanfaatkan di bidang kesehatan sebagai tanaman obat ialah temu lawak (Curcuma xanthorrhiza). Temu lawak merupakan tanaman yang terdistribusi di wilayah Asia, seperti Indonesia dan Malaysia, serta banyak dimanfaatkan sebagai obat tradisional, zat pewarna alami, industri jamu dan kosmetik, maupun sebagai bahan pangan (Ravindran et al. 2007). Senyawa metabolit sekunder utama yang terdapat dalam rimpang temu lawak adalah xantorizol dan kurkuminoid. Kurkumin diketahui memiliki aktivitas antiradang, antioksidan, antitumor, hipokolesterolemik, dan antihepatotoksik (Paryanto dan Srijanto 2006). Sementara xantorizol diketahui memiliki potensi sebagai antibakteri, antifungi, antikanker, dan antiradang (Nurcholis 2008).

Penggunaan bahan alam sebagai bahan baku obat memerlukan adanya jaminan terhadap mutu dan keamanannya. Mutu rimpang temu lawak sebagai bahan baku obat diprioritaskan pada kandungan senyawa aktif, yang ditentukan oleh faktor lingkungan tumbuh tanaman maupun faktor genetik. Faktor lingkungan meliputi kandungan tanah, iklim, spesies, serta daerah tumbuh tanaman (Choi et al. 2010). Keragaman simplisia dari segi tempat asal dan proses produksi akan memengaruhi mutu suatu sediaan obat bahan alam. Pengamatan keragaman senyawa metabolit yang terdapat dalam rimpang temu lawak dari berbagai daerah dapat dilakukan dengan pendekatan metabolomik. Kajian metabolomik melalui identifikasi profil metabolit dapat digunakan untuk evaluasi dan kendali mutu produk obat tradisional. Selain itu, juga untuk mengidentifikasi kandungan dalam bahan pangan, yang berguna pada penentuan kualitas dan deteksi terhadap pemalsuan suatu produk (Krastanov 2010).

Teknik analisis yang dapat digunakan dalam pemrofilan metabolit ialah spektroskopi inframerah, resonans magnet inti (NMR), dan spektroskopi massa (Theodoridis et al. 2012). Identifikasi profil metabolit secara menyeluruh dari suatu sampel yang kompleks membutuhkan metode analisis dengan resolusi tinggi, seperti kromatografi cair-spektroskopi massa (LC-MS), kromatografi gas-spektroskopi massa (GC-MS), kromatografi cair-spektroskopi massa-spektroskopi massa (LC-MS/MS), dan elektroforesis kapiler-spektroskopi massa (CE-MS). Pada penelitian

ini, ekstrak etanol rimpang temu lawak dianalisis dengan LC-MS karena memiliki kemampuan memisahkan dan mendeteksi molekul dengan kisaran yang luas, serta dapat digunakan untuk analisis kuantitatif maupun analisis struktural dengan sensitivitas yang sangat baik, mencapai pg/mL. Spektroskopi massa memiliki sensitivitas yang lebih baik dibandingkan dengan spektroskopi NMR 1H dan mampu mendeteksi metabolit di bawah ambang deteksi NMR (Theodoridis et al. 2012). Selain itu, spektroskopi massa menghasilkan fragmentasi bobot molekul yang spesifik untuk mengidentifikasi ataupun mengonfirmasi senyawa yang diduga (Patnaik 2004).

Kajian metabolomik dengan instrumen LC-MS sebelumnya telah dilakukan untuk mempelajari keterkaitan jalur biosintesis terhadap keragaman metabolit kunyit dari 16 daerah berbeda (Xie et al. 2009), mengklasifikasikan dan menentukan kualitas biji kopi yang diambil dari berbagai daerah (Choi et al. 2010), menentukan keragaman metabolit Angelica gigas yang diambil dari 3 daerah berbeda di wilayah Korea (Kim et al. 2011), klasifikasi metabolit taksoid dari tanaman Taxus chinensis var. berdasarkan variasi perbedaan umur tanaman (Tanaka et al. 2011), serta kendali mutu Fuzi (akar Aconitum carmichaelii Debx) yang umum digunakan sebagai bahan baku obat tradisional Cina, yang diamati berdasarkan tahap preparasinya (Sun et al. 2012). Penelitian-penelitian tersebut menyatakan bahwa pemrofilan metabolit dengan instrumen LC-MS yang disertai analisis kemometrik dapat digunakan untuk mendiskriminasi komposisi fitokimia berdasarkan perbedaan daerah asal, umur tanam, tahap preparasi, maupun varietasnya.

(10)

Gambar 2 Struktur kurkuminoid (Ravindran et al. 2007). mass array dievaluasi dengan analisis

komponen utama (PCA) menggunakan perangkat lunak The Unscrambler untuk mendiskriminasi sampel rimpang temu lawak berdasarkan kemiripan kandungan metabolit. Selain itu, juga untuk menentukan senyawa penciri yang berkaitan dengan bioaktivitasnya, yang ditentukan melalui metode uji letalitas larva udang (BSLT), sehingga sampel rimpang temu lawak dapat diklasifikasikan berdasarkan daerah asalnya. Nurcholis (2008) meneliti profil senyawa penciri dan bioaktivitas rimpang temu lawak. Berdasarkan penelitian tersebut, rimpang yang diambil dari tiga daerah berbeda (Cileungsi, Sumedang, dan Boyolali) menghasilkan nilai konsentrasi letal 50% (LC50) berbeda, yang berkisar antara

60 dan 180 µg/mL karena komponen metabolit penyusun temu lawak dipengaruhi oleh kondisi geografis tempat tumbuh tanaman.

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi profil metabolit rimpang temu lawak dengan usia tanam 9 12 bulan yang berasal dari 5 daerah sentra penanaman di Pulau Jawa (Indonesia), yaitu Sragen, Bogor, Sukabumi, Karanganyar, dan Wonogiri menggunakan analisis metabolomik dengan instrumen kromatografi cair-spektroskopi massa-ionisasi semprotan elektron-waktu terbang (LC-ESI-TOF MS). Selain itu, penelitian bertujuan mengevaluasi data metabolit menggunakan analisis kemometrik PCA. Hasil analisis kemometrik dievaluasi untuk mendiskriminasi, menentukan senyawa penciri (biomarker), dan menjelaskan kualitas rimpang temu lawak yang ditinjau dari keterkaitan diferensiasi kandungan metabolit rimpang temu lawak terhadap bioaktivitas dan daerah asalnya.

TINJAUAN PUSTAKA

Temu Lawak sebagai Tanaman Obat

Temu lawak (Curcuma xanthorrhiza) adalah tanaman genus Curcuma dan banyak dimanfaatkan sebagai obat tradisional, zat pewarna alami, industri jamu dan kosmetik, maupun sebagai bahan pangan (Ravindran et al. 2007). Secara lengkap, klasifikasi temu lawak adalah sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Zingiberales Famili : Zingiberaceae Genus : Curcuma

Spesies : Curcuma xanthorrhiza.

Rimpang temu lawak (Gambar 1) memiliki ukuran paling besar dibandingkan rimpang tanaman marga Curcuma lainnya. Rimpang dapat dipanen setelah memasuki usia 8 12 bulan. Tanaman yang siap dipanen memiliki daun dan bagian tanaman yang telah menguning dan mengering, serta memiliki rimpang besar berwarna kuning kecoklatan (Kurniawan 2011).

Kandungan senyawa metabolit rimpang temu lawak menentukan efek farmakologis yang ditimbulkan terhadap konsumen, sehingga penentuan profil metabolit menjadi hal penting untuk evaluasi kualitas suatu produk herbal yang berpengaruh terhadap harga pasar. Investigasi senyawa fitokimia dari temu lawak dikaitkan dengan jenis metabolit sekunder yang terkandung di dalamnya. Khasiat temu lawak disebabkan oleh kandungan kimianya, yaitu kurkuminoid dan minyak atsiri. Fraksi kurkuminoid pada temu lawak terdiri atas kurkumin dan desmetoksikurkumin (Gambar 2). Kurkumin yang terkandung pada rimpang temu lawak sekitar 1.6-2.22% (Paryanto dan Srijanto 2006).

Minyak atsiri temu lawak terdiri dari 32 komponen yang secara umum bersifat meningkatkan produksi getah empedu dan mampu menekan pembengkakan jaringan (Paryanto dan Srijanto 2006). Kandungan utama minyak atsiri temu lawak terdiri atas komponen volatil, yang berupa xantorizol (Gambar 3), α-aromadendrena, trisiklina,

(11)

germakrena, dan isofuranogermakrena. Selain itu, terdapat pula germakron, turmerol, turunan bisabolena, bisakuron A, bisakuron B, turmeron, seskuiterpena, felandrena, kamfer, borneol, dan sineal (Pandiangan 2009). Xantorizol diketahui memiliki potensi sebagai antibakteri, antifungi, antikanker, dan antiradang (Nurcholis 2008).

Kandungan metabolit pada rimpang temu lawak ditentukan oleh faktor lingkungan maupun genetik. Faktor lingkungan meliputi kandungan tanah, iklim, spesies, serta daerah tumbuh tanaman tersebut (Choi et al. 2010). Selain itu, terdapat pula faktor waktu pemaparan cahaya matahari, suhu, dan curah hujan (Kim et al. 2011). Keragaman simplisia dari segi daerah asal dan proses produksi akan memengaruhi mutu suatu sediaan obat bahan alam. Pengamatan variasi senyawa metabolit yang terdapat dalam sampel temu lawak dari berbagai daerah dapat dilakukan dengan pendekatan metabolomik melalui identifikasi profil metabolit.

Ekstraksi Temu Lawak

Ekstraksi ialah suatu metode pemisahan komponen aktif dalam sampel menggunakan pelarut dengan polaritas yang sesuai. Pemisahan komponen dari fase padat dilakukan dengan menambahkan pelarut yang sesuai sehingga terjadi kontak antara fase padat dan fase cair, yang menimbulkan terjadinya difusi komponen pada fase padat ke fase cair. Ekstraksi dengan metode maserasi dilakukan dengan cara penghancuran sampel menggunakan pelarut, perendaman beberapa hari, dan dilakukan pengadukan, kemudian dilakukan proses penyaringan hingga didapat ekstrak berupa cairan. Efektivitas metode ekstraksi dipengaruhi oleh ukuran partikel, suhu, pemilihan pelarut yang sesuai, dan waktu perendaman (Pandiangan 2009). Pemilihan pelarut merupakan faktor yang menentukan dalam ekstraksi. Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus memiliki kemampuan menarik komponen aktif dari campuran. Hal penting yang harus

diperhatikan dalam pemilihan pelarut antara lain selektivitas, sifat pelarut, kemampuan mengekstraksi, tidak bersifat racun, mudah diuapkan, dan memiliki harga yang relatif murah. Perendaman suatu bahan dalam pelarut dapat meningkatkan permeabilitas dinding sel dalam 3 tahapan, yaitu masuknya pelarut ke dalam dinding sel tanaman yang diikuti terjadinya pembengkakan sel; kemudian senyawa yang terdapat pada dinding sel akan terlepas dan masuk ke dalam pelarut; selanjutnya terjadi difusi senyawa yang terekstraksi oleh pelarut keluar dari dinding sel (Supriadi 2008).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pandiangan (2009), rendemen ekstrak temu lawak yang diperoleh dengan metode maserasi menggunakan pelarut etil asetat sebesar 6.67%, sementara penggunaan pelarut etanol menghasilkan rendemen yang lebih tinggi, yaitu 8.63%. Kurniawan (2011) melakukan ekstraksi temu lawak dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 96% dengan perbandingan simplisia dan pelarut (b/v) sebesar 1:10 selama 24 jam dan dipekatkan dengan penguap putar pada suhu 50 °C. Proses ekstraksi pada penelitian ini dilakukan dengan teknik maserasi menggunakan pelarut etanol 70% selama satu malam dengan perbandingan simplisia dan pelarut (b/v) sebesar 1:10.

Metabolomik

Metabolomik merupakan salah satu cabang penelitian ―omik‖ yang fokus pada karakterisasi molekul metabolit dalam matriks biologis secara keseluruhan, melalui identifikasi profil metabolit total dalam suatu organisme. Pendekatan metabolomik dapat diaplikasikan terhadap sistem biologis, seperti manusia, tanaman, dan mikroorganisme. Selain itu, metabolomik dapat diaplikasikan di bidang kesehatan, diagnostik, industri pangan, maupun mikrobiologi. Berdasarkan kualitas data dan jumlah metabolit yang terdeteksi, kajian metabolomik dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu analisis metabolit target, identifikasi profil metabolit, dan metabolite fingerprinting. Analisis metabolit target dilakukan dengan mendeteksi dan kuantifikasi sekelompok kecil metabolit maupun senyawa target tunggal. Identifikasi profil metabolit dilakukan dengan deteksi, identifikasi, dan perkiraan kuantifikasi sekelompok besar metabolit yang dikaitkan dengan jalur biosintesis yang spesifik. Teknik metabolite fingerprinting dapat dilakukan dengan analisis Gambar 3 Struktur xantorizol

(12)

spektra dari komposisi total tanpa perlu mengidentifikasi kelompok senyawa tersebut (Krastanov 2010).

Studi metabolomik dapat digunakan untuk diferensiasi profil molekul kecil. Metodologi metabolomik yang dilakukan pada penelitian Choi et al. 2010 meliputi empat tahap dasar, yaitu (1) pengayaan informasi metabolit melalui analisis menggunakan instrumen LC-MS, GC-LC-MS, CE-LC-MS, dan lain sebagainya; (2) reduksi dan penyusunan data untuk mengubah spektrum menjadi data yang dapat diolah secara statistika; (3) analisis statistika multivariat, seperti PCA atau analisis kuadrat terkecil parsial (PLS); (4) tinjauan dan interpretasi terhadap hasil pengolahan kemometrik. Kelebihan analisis metabolomik ialah dapat digunakan pada analisis kualitatif maupun kuantitatif yang bermanfaat dalam kendali mutu sampel. Selain itu, pendekatan metabolomik menggunakan pola pengenalan algoritma yang dapat dimanfaatkan untuk memberikan pengetahuan baru yang tidak diduga sebelumnya (Choi et al. 2010).

Instrumen yang sering digunakan pada analisis metabolomik antara lain spektroskopi inframerah transformasi Fourier (FTIR), GC-MS, LC-GC-MS, CE-GC-MS, dan NMR 1H (Theodoridis et al. 2008). Kajian metabolomik temu lawak menggunakan instrumen LC-ESI-TOF MS pada penelitian ini dilakukan melalui pemrofilan metabolit. Penelitian metabolomik sebelumnya dilakukan oleh Choi et al. terhadap biji kopi yang diambil dari berbagai daerah di wilayah Asia, Amerika Utara, dan Afrika. Kim et al. (2011) menggunakan kajian metabolomik terhadap Angelica gigas yang diambil dari 3 daerah berbeda di wilayah Korea. Penelitian tersebut menyatakan bahwa terdapat perbedaan komposisi metabolit dari ketiga sampel. Selain itu, penelitian tersebut menyatakan bahwa pemrofilan metabolit dengan teknik LC-MS yang disertai analisis kemometrik dapat digunakan untuk mendiskriminasi obat herbal berdasarkan daerah asalnya. Tanaka et al. (2011) menggunakan pendekatan metabolomik dengan LC-MS/MS untuk menentukan klasifikasi metabolit taksoid yang berpotensi sebagai antikanker dari tanaman Taxus chinensis var. berdasarkan variasi perbedaan umur tanaman. Pemrofilan metabolit menggunakan LC-MS juga diaplikasikan pada penelitian Sun et al. (2012) terhadap Fuzi (akar Aconitum carmichaelii Debx) yang umum digunakan sebagai bahan baku obat tradisional Cina untuk terapi rematik yang diamati berdasarkan tahap preparasinya.

Kromatografi Cair-Spektroskopi Massa dan Deteksi Senyawa Penciri

Teknik analisis yang umum digunakan dalam identifikasi profil metabolit, yaitu spektroskopi NMR 1H dan spektroskopi massa. Penggunaan spektroskopi massa lebih populer dibanding instrumen NMR karena relatif lebih murah (Theodoridis et al. 2012). Spektroskopi massa merupakan teknik analisis yang berfungsi memberikan informasi karakterisasi struktur molekul yang didasarkan pada penentuan massa atom maupun molekul yang terdapat dalam sampel dengan menggunakan jumlah material analit yang sangat sedikit. Metode ini dapat digunakan untuk kepentingan analisis kualitatif maupun kuantitatif terhadap komposisi atom maupun molekul, serta struktur kimia dari material organik dan anorganik (Rouessac dan Rouessac 2007). Identifikasi profil metabolit secara umum dari suatu sampel yang kompleks, seperti ekstrak temu lawak membutuhkan metode analisis dengan resolusi tinggi, salah satunya menggunakan LC-MS. Kromatografi cair-spektroskopi massa banyak digunakan di sektor bioanalisis, karena memiliki kemampuan memisahkan dan mendeteksi molekul dengan kisaran yang luas, serta dapat digunakan untuk analisis kuantitatif maupun analisis struktural, dengan sensitivitas mencapai ukuran pg mL-1 (Theodoridis et al. 2012). Selain itu, LC-MS cocok untuk analisis senyawa yang tidak stabil pada suhu tinggi, memiliki polaritas atau bobot molekul tinggi (Rouessac dan Rouessac 2007).

(13)

(Theodoridis et al. 2012). Sensitivitas spektoskopi massa yang tinggi dikarenakan adanya unit penganalisis yang dapat menyeleksi muatan terhadap massa (m/z) serta mereduksi pengganggu terhadap background. Selain itu, spektroskopi massa menghasilkan fragmentasi bobot molekul yang spesifik untuk mengidentifikasi atau mengonfirmasi senyawa yang diduga (Patnaik 2004).

Unit penganalisis massa yang sering digunakan ialah TOF-MS. Prinsip TOF-MS didasarkan pada hubungan massa dengan laju alir ion pada energi kinetik tertentu. Mesin TOF-MS sering digunakan dalam pemrofilan metabolit karena perolehan data yang cepat dan akurasi massa yang tinggi. Mekanisme pengionan juga sering digunakan dalam studi pemrofilan metabolit menggunakan kromatografi cair-spektroskopi massa. Pemilihan cara pengionan yang digunakan dalam analisis LC-MS memegang peranan penting dalam memperoleh profil metabolit. Teknik electrospray ionization (ESI) dengan modus positif lebih sering digunakan dalam LC-MS karena teknik ini menghasilkan pengionan yang efektif dari kisaran molekul yang bersifat semipolar hingga polar (Theodoridis et al. 2012). Metode ESI memiliki kemampuan lebih baik dibanding metode lainnya karena mencakup kisaran massa yang lebih luas hingga beberapa ratus kilodalton (Rouessac dan Rouessac 2007).

Deteksi senyawa penciri dalam sampel temu lawak diidentifikasi dari data pemrofilan metabolit yang dihasilkan oleh instrumen LC-MS. Data tersebut dapat diperoleh dalam bentuk 3 dimensi, yang meliputi massa, waktu retensi, dan intensitas puncak; yang kemudian dilakukan pengenalan pola melalui analisis multivariat. Analisis menggunakan LC-MS menghasilkan kumpulan data hasil percobaan dengan ukuran yang sangat besar dan kompleks. Penanganan kompleksitas data yang diperoleh dapat dilakukan dengan beberapa metode dan perangkat lunak yang mendukung untuk menyederhanakan dimensi data. Sejumlah perangkat lunak telah dikembangkan untuk menangani kompleksitas data spektra massa penelitian metabolomik dan proteomik, seperti perangkat lunak MarkerLynx, MarkerView, Profile, dan Genespring. Selain itu, terdapat pula perangkat lunak yang dikembangkan oleh tim peneliti, seperti MZmine dan XCMS. Perangkat lunak dapat mengubah format data kromatogram menjadi data yang lebih mudah diolah, seperti dalam bentuk mzXML atau netCDF (Theodoridis et al. 2008).

Perangkat lunak pengolah data spektra massa memiliki kemampuan algoritma yang mampu menyaring dan menyingkirkan data yang dianggap sebagai derau (noise), sehingga mampu mendeteksi ion analat yang ditandai sebagai hubungan rasio m/z terhadap waktu retensi. Selanjutnya, perangkat lunak akan menyusun (alignment) dan melakukan normalisasi terhadap kumpulan data hingga menghasilkan mass aray berupa tabel puncak yang merupakan matriks data berukuran besar. Tahap berikutnya yaitu pengolahan data mass array secara statistika menggunakan teknik PCA atau teknik statistika lainnya. Penggunaan perangkat lunak dalam menemukan puncak dan penyusunan data merupakan langkah yang penting karena hal tersebut sangat berpengaruh terhadap kualitas hasil akhir analisis. Beberapa percobaan menunjukkan bahwa penggunaan perangkat lunak berbeda dapat menghasilkan simpulan yang berbeda dari kumpulan data yang sama. Tujuan akhir pada proses ini adalah mengidentifikasi ion dari komponen tertentu yang menjadi fokus penelitian yang dapat memberikan informasi mengenai biomarker yang terkandung dalam sampel (Theodoridis et al. 2008). Deteksi metabolit penciri menggunakan LC-MS lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan identifikasi. Hal ini disebabkan oleh database LC-MS masih dalam tahap pengembangan. Identifikasi sementara dapat dilakukan dengan menggunakan informasi yang dihasilkan spektra massa melalui formulasi derivat massa atomik, fragmentasi data, pencarian pada database metabolit, maupun menggunakan standar metabolit yang tersedia. (Theodoridis et al. 2008).

Analisis Multivariat PCA

(14)

eksplorasi (EDA) yang terdiri dari PCA dan analisis faktor; pengenalan pola tak terpadu; dan pengenalan pola terpadu (Brereton 2003).

Analisis multivariat PCA dilakukan untuk mereduksi dimensi data dan memberi gambaran pengelompokan data melalui penentuan komponen utama (PC), sehingga visualisasi pengelompokkan data dan evaluasi kesamaan antar kelompok menjadi lebih mudah (Theodoridis et al. 2012). Selain itu, dapat digunakan untuk menemukan faktor atau alasan di balik pola yang teramati melalui korelasi berdasarkan sifat kimia atau fisika-kimia sampel. Secara keseluruhan, kegunaan PCA ialah mengklasifikasi sampel menjadi grup yang umum, mendeteksi adanya pencilan (outliers), melakukan pemodelan data, serta menyeleksi variabel untuk klasifikasi maupun untuk pemodelan (Brereton 2003).

Penyederhanaan peubah dilakukan dengan menghilangkan korelasi di antara peubah bebas melalui transformasi peubah bebas asal ke peubah baru yang tidak berkorelasi sama sekali atau biasa disebut dengan PC. Pemilihan PC dilakukan sehingga PC 1 memiliki variasi terbesar dalam kumpulan data, sementara PC 2 tegak lurus terhadap PC 1 dan memiliki variasi terbesar selanjutnya (Miller dan Miller 2000). Dua PC ini kemudian digunakan sebagai bidang proyeksi untuk visualisasi data. Berdasarkan dekomposisi matriks data X (N×K), teknik PCA terbagi menjadi matriks T (N×A) dan matriks P (K×A) yang saling tegak lurus (Gambar 4). Matriks T merupakan matriks skor yang menggambarkan keragaman dalam objek, sementara P merupakan matriks loading, yang menjelaskan pengaruh peubah terhadap komponen utama, yang terdiri atas data asli dalam sistem koordinat baru. E merupakan galat, sementara A adalah jumlah PC yang digunakan untuk membuat model (Brereton 2003).

X = T.PT + E

Uji Toksisitas Ekstrak Temu Lawak

Uji toksisitas suatu bahan alam dapat dilakukan dengan berbagai metode, seperti metode BSLT, inhibisi sel tumor pada kentang, serta uji toksisitas terhadap jentik nyamuk Aedes aegypti. Uji bioaktivitas menggunakan metode BSLT merupakan salah satu metode umum yang digunakan untuk penentuan toksisitas dari senyawa kimia berdasarkan nilai LC50, yang berkaitan dengan potensi

suatu bahan alam sebagai antikanker. Nilai LC50 menggambarkan konsentrasi ekstrak

yang mampu menyebabkan kematian terhadap 50% populasi hewan uji. Nilai LC50

dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain umur, suhu, jumlah hewan uji, dan jenis galur (Kurniawan 2011). Uji toksisitas terhadap larva udang merupakan uji yang cepat, sederhana, dan relatif murah. Hasil uji toksisitas dapat dikorelasikan dengan sifat antitumor dari tanaman tersebut (Ogunnusi dan Dosumu 2008).

Larva udang (Artemia salina) merupakan fauna invertebrata akuatik berukuran sekitar 1 mm, yang memegang peranan penting dalam rantai makanan dan dapat digunakan sebagai hewan uji estimasi toksisitas suatu senyawa kimia, aktivitas gastro-protektif, dan bioaktivitas lainnya (Kanwar 2007). Larva udang memiliki distribusi geografis yang luas dan memiliki kemampuan adaptasi yang baik pada kisaran salinitas yang luas (5 250 g L-1), memiliki ukuran tubuh yang kecil, memiliki sensitivitas yang baik, serta mampu bertahan di lingkungan yang ekstrem, bahkan di bawah kondisi konsentrasi oksigen yang ekstrem (Nunes et al. 2006). Selain itu, telur Artemia memiliki daya tahan yang lama (dapat hidup dalam kondisi kering), lebih cepat dan mudah menetas dalam waktu 48 jam, sehingga mampu menghasilkan jumlah larva udang (nauplius) dalam jumlah besar yang siap untuk diuji. Larva udang memiliki membran kulit yang tipis, sehingga kematian suatu larva akibat efek sitotoksik dari senyawa bioaktif dapat dianalogikan dengan kematian sebuah sel dalam organisme (Meyer et al. 1982).

Selama proses inkubasi selama 24 jam, larva udang membutuhkan proses aerasi menggunakan aerator. Aerasi merupakan proses terjadinya kontak antara air dan udara. Proses aerasi dapat meningkatkan jumlah O2

di dalam air, menghilangkan CO2, H2S, dan

(15)

sejumlah larutan uji pada media hidupnya. Kematian tersebut terjadi karena larva udang mengalami keracunan (toksisitas) akibat keberadaan senyawa bioaktif yang masuk ke dalam tubuhnya. Selain itu, sistem pertahanan tubuh (imunitas) yang dibentuk larva udang masih belum mampu menghambat dan menoleransi senyawa bioaktif yang terdapat pada media hidupnya. Kematian larva udang dinyatakan berdasarkan hasil pengamatan menggunakan kaca pembesar dan ditunjukkan dengan tidak adanya motilitas (pergerakan) dari larva udang. Selanjutnya, dapat dihitung efek farmakologis berdasarkan nilai LC50

(Kurniawan 2011).

Nurcholis (2008) meneliti profil senyawa penciri dan bioaktivitas tanaman temu lawak pada agrobiofisik berbeda. Berdasarkan penelitian tersebut, temu lawak yang diambil dari tiga daerah berbeda (Cileungsi, Sumedang, dan Boyolali) menghasilkan nilai LC50 berbeda, yang berkisar antara 60 dan 180

µg/mL karena komponen metabolit penyusun temu lawak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, salah satunya adalah kondisi agrobiofisik tumbuhnya tanaman tersebut. Prasetyorini et al. (2009) meneliti pengaruh teknik ekstraksi maserasi, soxhletasi, dan refluks terhadap toksisitas ekstrak etanol rimpang temu lawak. Berdasarkan penelitian tersebut, teknik maserasi menghasilkan ekstrak dengan aktivitas tertinggi karena metode ini merupakan metode ekstraksi dengan cara dingin sehingga hampir semua komponen bioaktif terbawa dalam ekstrak.

METODE

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain serbuk simplisia dan ekstrak etanol rimpang temu lawak yang diperoleh dari 5 daerah (Tabel 1), kromatogram ekstrak etanol rimpang temu lawak menggunakan LC-ESI-TOF MS, spektrum massa atom negatif, akuades, air laut, dan telur A. salina. Sampel rimpang temu lawak yang digunakan pada penelitian ini dipanen pada umur tanam 12 bulan.

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain peralatan kaca, neraca analitik, oven, tanur, aerator, multiwell, mikropipet berukuran 200 µL, kaca pembesar, perangkat keras komputer, serta perangkat lunak MZmine, The Unscrambler, CorelDraw, dan SPSS versi 16.

Tabel 1 Informasi rimpang temu lawak No Nama sampel Asal Daerah

1 Sragen 1

JawaTengah 2 Sragen 2

3 Sragen 3

4 Bogor 1

Jawa Barat 5 Bogor 2

6 Bogor 3 7 Sukabumi 1

Jawa Barat 8 Sukabumi 2

9 Sukabumi 3 10 Karanganyar 1

Jawa Tengah 11 Karanganyar 2

12 Karanganyar 3 13 Wonogiri 1

Jawa Tengah 14 Wonogiri 2

15 Wonogiri 3

Lingkup Penelitian

Metode keseluruhan pada penelitian ini diacu dari penelitian Tanaka et al. (2011) melalui beberapa tahap, yang digambarkan pada Lampiran 1. Penelitian dilakukan dalam 2 tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan telah dilakukan oleh Ambarsari et al. (2012), mencakup preparasi sampel, pembuatan ekstrak etanol rimpang temu lawak dengan teknik maserasi, dan analisis ekstrak etanol temu lawak menggunakan LC-ESI-TOF MS. Sementara penelitian utama mencakup (1) konstruksi dan reduksi data mass array untuk mengubah hasil analisis LC-MS menjadi data yang dapat diolah secara statistika, (2) identifikasi profil metabolit dengan membandingkan data mass array terhadap literatur kandungan metabolit genus Curcuma, serta (3) evaluasi metabolit penciri melalui integrasi kemometrik PCA yang dikaitkan dengan hasil uji bioaktivitas ekstrak etanol temu lawak melalui metode BSLT untuk mengelompokkan dan membandingkan kualitas rimpang temu lawak berdasarkan keterkaitan diferensiasi kandungan metabolit terhadap bioaktivitas dan daerah asalnya.

Analisis Kadar Air (AOAC 2007)

(16)

sebanyak 2 g ke dalam cawan porselen. Contoh beserta cawannya dipanaskan dalam oven pada suhu 105 °C selama 5 jam kemudian dimasukkan ke dalam eksikator selama 30 menit dan ditimbang. Prosedur dilakukan berulang kali hingga diperoleh bobot konstan dengan selisih kurang dari 1 mg. Pekerjaan dilakukan triplo. Persen kadar air serbuk rimpang temu lawak dihitung dengan persamaan:

Kadar air = × 100% dengan

a= bobot sampel sebelum dikeringkan (g) b= bobot sampel setelah dikeringkan (g)

Analisis Kadar Abu (AOAC 2007)

Cawan porselen yang bersih dan kering dimasukkan dalam tanur pada suhu 600 °C selama 30 menit untuk menghilangkan sisa kotoran yang menempel di cawan, lalu didinginkan dalam eksikator dan ditimbang. Setelah itu, serbuk rimpang temu lawak ditimbang sebanyak 2 g ke dalam cawan porselen. Contoh beserta cawannya dipijarkan dengan nyala bunsen sampai tidak berasap, lalu dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 °C selama 2 jam. Setelah diabukan di dalam tanur, dimasukkan ke dalam eksikator kemudian ditimbang. Prosedur dilakukan berulang kali hingga diperoleh bobot konstan dengan selisih kurang dari 1 mg. Pekerjaan dilakukan triplo. Persen kadar abu serbuk rimpang temu lawak dihitung dengan persamaan:

Kadar abu = × 100% dengan

a= bobot abu (g) b= bobot contoh (g)

Preparasi dan Ekstraksi Temu Lawak (Ambarsari et al. 2012)

Rimpang dikeringkan, dibuat dalam bentuk serbuk, dan diayak dengan penyaring berukuran 200 mesh. Serbuk kering yang diperoleh ditimbang sebanyak 50 g dan diekstraksi dengan merendam sampel dalam etanol 70% sebanyak 500 mL pada suhu ruang selama semalam. Selanjutnya, ekstrak disaring sehingga diperoleh maserat dan residu. Residu yang tersisa direndam kembali dengan etanol 70% melalui prosedur yang sama, hingga diperoleh proses ekstraksi sebanyak 3 kali. Ekstrak dari 3 kali perendaman digabungkan kemudian dipekatkan menggunakan penguap putar. Pekerjaan dilakukan triplo.

Uji Toksisitas Ekstrak Temu Lawak

Penetasan telur A. salina. Telur A. salina

dimasukkan ke dalam labu erlen meyer yang berisi air laut dengan suhu penetasan ±25–30

o

C dan diberi aerator. Setelah 48 jam, telur tersebut akan menetas menjadi larva udang yang disebut nauplius dan siap digunakan untuk pengujian.

Uji Toksisitas Ekstrak. Larutan stok ekstrak rimpang temu lawak disiapkan dengan konsentrasi 1000 µg/mL. Ekstrak diencerkan pada konsentrasi tertentu dan kontrol disiapkan tanpa penambahan sampel. Pengujian dilakukan dengan mengambil larva Artemia salina menggunakan pipet mikro sebanyak 15 ekor ke dalam masing-masing sumur bervolume 2 mL pada multiwell yang telah berisi air laut, kemudian ditambahkan larutan ekstrak hingga terbentuk variasi konsentrasi 10, 25, 50, 75, 100, 125, 150, 175, 200, dan 250 µg/mL. Selain itu, dibuat pula blanko sebagai kontrol. Masing-masing perlakuan dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan. Selanjutnya, dilakukan penentuan jumlah larva udang yang hidup dan yang mati setelah 24 jam. Kematian larva udang dinyatakan berdasarkan hasil pengamatan menggunakan kaca pembesar dan ditunjukkan dengan tidak adanya pergerakan dari larva udang. Persen kematian larva dirumuskan sebagai:

% kematian larva =

× 100%

dengan

T = jumlah larva mati (ulangan 1, 2, dan 3) K = jumlah larva mati pada kontrol 15 = jumlah larva uji.

Nilai LC50 ditentukan dari persamaan

regresi kurva hubungan antara nilai logaritma dari konsentrasi dan angka probit. Angka probit ditentukan melalui tabel probit berdasarkan persen kematian larva pada setiap perlakuan. Hasil uji bioaktivitas dengan metode BSLT kemudian diolah melalui analisis keragaman (ANOVA) satu arah. Selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan dengan perangkat lunak SPSS versi 16.

Analisis LC-ESI-TOF MS (Ambarsari et al. 2012)

(17)

terlarut kemudian disaring menggunakan milipore filter unit dengan ukuran 0.45 mikron. Sebanyak 1 µL filtrat sampel diinjeksikan ke dalam sistem instrumen LC-ESI-TOF MS sebanyak 3 kali ulangan untuk setiap sampel.

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini ialah Shimadzu LC-ESI-TOF MS. Parameter ESI yang digunakan meliputi sumber tegangan sebesar +4.5 kV, suhu kapiler 200 ºC, dan gas pengabut 1.5 L/menit. Spektrometer massa dioperasikan pada modus pemayaran ion positif dengan kisaran m/z 200 hingga 2000. Kolom yang digunakan ialah Water Atlantis T3 dengan dimensi 2.1 mm ×

150 mm dan suhu kolom diatur pada 40 ºC. Fase gerak yang digunakan berupa eluen biner, yaitu larutan (NH4)OAc 5 mM dan CH3CN,

menggunakan metode elusi gradien: 0 30 menit gradien linear dengan komposisi fase gerak 10 hingga 100% CH3CN, 30 40 menit

isokratik dengan komposisi fase gerak 100% CH3CN. Laju alir yang digunakan sebesar 0.2

mL/menit.

Pemrosesan Data Kromatogram LC-MS

Pemrosesan data kromatogram ekstrak temu lawak dilakukan melalui konstruksi mass array menggunakan perangkat lunak MZmine (Lampiran 2). Kromatogram LC-MS yang diperoleh dikonversi menjadi data dalam bentuk NetCDF agar lebih mudah diolah. Puncak kromatogram yang diperoleh dari 3 kali ulangan untuk setiap sampel dikumpulkan dan diolah sesuai bagan alir yang ditunjukkan pada Gambar 5 (Castillo et al. 2011).

Hasil pemrosesan data kromatogram LC-ESI-TOF MS berupa matriks data tabel spektra mass array yang mengandung informasi mengenai massa akurat dari puncak yang terdeteksi, waktu retensi, dan intensitas puncak ternormalisasi.

Identifikasi Senyawa Metabolit dan Analisis Multivariat

Identifikasi metabolit dugaan dari kromatogram LC-MS dilakukan dengan mencocokkan nilai m/z pada tabel mass array dengan massa akurat senyawa metabolit genus Curcuma pada DNP (dnp.chemnetbase.com). Data tabel mass array kemudian dianalisis dengan metode PCA menggunakan perangkat lunak The Unscrambler (Lampiran 3) untuk menentukan komponen metabolit penciri pada masing-masing sampel, sehingga dapat dilakukan klasifikasi kualitas sampel rimpang temu lawak yang dikaitkan terhadap sifat bioaktivitas dan daerah asalnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Toksisitas Ekstrak Etanol Rimpang Temu Lawak

Rimpang berasal dari 5 daerah sentra penanaman temu lawak di pulau Jawa, yaitu Sragen, Bogor, Sukabumi, Karanganyar, dan Wonogiri yang memiliki kondisi geografis dan lingkungan berbeda (Tabel 2). Sampel dikeringkan dan diubah menjadi serbuk berukuran 200 mesh. Pengeringan bertujuan mendapatkan kadar air yang tidak terlalu tinggi, karena sampel dengan kadar air tinggi akan mudah rusak dalam penyimpanannya. Pengecilan ukuran rimpang bertujuan memperluas permukaan sampel sehingga tahap ekstraksi menjadi lebih efisien (Supriadi 2008).

Tabel 2 Kondisi daerah asal sampel

Nama sampel Ketinggian (dpl) Suhu (°C) Curah hujan (mm/tahun)

Sragen 109 19-31 ≤ 3000

Bogor 190-330 21-30 3500-4000

Sukabumi 584 15-30 109-747

Karanganyar 511 22-31 2601

Wonogiri 235 24-32 300-500

(18)

dan dipekatkan harus segera dianalisis dengan memperhatikan faktor koreksi. Ekstraksi serbuk rimpang temu lawak dilakukan oleh Ambarsari et al. (2012) dengan teknik maserasi menggunakan pelarut etanol. Teknik maserasi merupakan metode ekstraksi dengan cara dingin sehingga hampir semua komponen bioaktif terbawa dalam ekstrak. Selain itu, penggunaan etanol dapat melarutkan secara keseluruhan semua zat aktif yang terkandung dalam simplisia, baik yang bersifat polar maupun kurang polar (Prasetyorini et al. 2011).

Kadar abu (Lampiran 5) menunjukkan banyaknya kandungan mineral yang terdapat pada rimpang temu lawak. Kandungan mineral tertinggi dimiliki oleh rimpang Sragen dengan nilai 7.37% pada Tabel 3. Rendemen ekstrak etanol rimpang temu lawak (Lampiran 6) tertinggi diperoleh rimpang Wonogiri dengan nilai 11.69%. Kadar air, kadar abu, dan rendemen yang diperoleh memiliki nilai berbeda yang dipengaruhi kondisi geografis dan lingkungan tempat tumbuhnya tanaman, seperti yang dijelaskan pada Tabel 2.

Uji bioaktivitas ekstrak etanol rimpang temu lawak dengan metode BSLT bertujuan menentukan keragaman komposisi metabolit temu lawak dari lima daerah berbeda berdasarkan toksisitasnya, yang berkaitan dengan potensinya sebagai antikanker. Toksisitas ekstrak etanol rimpang temu lawak dinyatakan dengan nilai LC50 pada Tabel 3.

Nilai LC50 (Lampiran 7 dan 8) ditentukan

melalui analisis probit dengan membuat hubungan linear antara nilai logaritma konsentrasi sampel dan angka probit kematian larva udang. Suatu zat dikatakan memiliki potensi antikanker bila memiliki nilai LC50≤

1000 µg/mL untuk ekstrak, sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh sampel rimpang temu lawak memiliki potensi sebagai antikanker, namun potensi terbaik dimiliki oleh rimpang temu lawak Karanganyar dengan LC50 25.04 µg/mL. Artinya, dengan

konsentrasi yang kecil (25.04 µg/mL), ekstrak etanol rimpang temu lawak Karanganyar

dapat menyebabkan 50% kematian populasi larva udang, yang menunjukkan tingginya potensi ekstrak tersebut sebagai antikanker.

Meyer et al. (1982) menyatakan bahwa ekstrak dengan LC50 ≤ 30 µg/mL tergolong

kategori sangat toksik, sedangkan 31 µg/mL ≤ LC50≤ 1000 µg/mL tergolong kategori toksik.

Dengan demikian, ekstrak etanol Sukabumi dan Karanganyar dikategorikan sangat toksik dan memiliki potensi antikanker yang lebih baik dibandingkan dengan sampel lainnya. Sementara rimpang temu lawak Sragen, Bogor, dan Wonogiri dikategorikan toksik. Hasil ini didukung oleh analisis statistika ANOVA yang menunjukkan bahwa kelima sampel rimpang temu lawak berbeda nyata (p value < 0.05) berdasarkan toksisitasnya (Lampiran 9). Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan daerah asal tumbuh tanaman berpengaruh terhadap diferensiasi kandungan metabolit, yang tercermin dari bioaktivitasnya. Hasil uji Duncan (α = 0.05) terhadap toksisitas ekstrak etanol rimpang temu lawak (Lampiran 9) menunjukkan bahwa terdapat 2 kelompok: (1) sampel Sragen dan Bogor; (2) Sukabumi, Karanganyar, dan Wonogiri; yang terkelompok berdasarkan kedekatan nilai LC50

yang diperoleh.

Identifikasi Profil Metabolit Rimpang Temu Lawak

Pengumpulan informasi banyaknya komponen kimia yang terdapat dalam ekstrak etanol rimpang temu lawak menggunakan LC-ESI-TOF MS pada penelitian ini dilakukan oleh Ambarsari et al. (2012). Informasi tersebut digunakan untuk mengidentifikasi kandungan metabolit rimpang temu lawak yang diperoleh dari lima daerah berbeda. Gambar 6 menunjukkan kromatogram ion total dari rimpang temu lawak, dengan waktu retensi sebagai sumbu x dan intensitas ion sebagai sumbu y. Kromatogram yang dihasilkan oleh masing-masing sampel memiliki kemiripan pola dan secara umum ditunjukkan pada Gambar 6 yang dipilih Tabel 3 Kadar air, kadar abu, rendemen, dan toksisitas rimpang temu lawak

Sampel Kadar air (%) Kadar abu (%) Rendemen* (%) LC50 (µg/mL)

Sragen 16.89 ± 0.12 7.37 ± 0.02 10.80 ± 3.15 54.02 ± 2.88b Bogor 17.03 ± 0.19 4.50 ± 0.09 8.55 ± 1.63 57.42 ± 5.51b Sukabumi 19.54 ± 1.77 5.43 ± 0.14 9.91 ± 3.20 26.24 ± 2.13a Karanganyar 19.95 ± 1.45 5.47 ± 0.05 9.68 ± 5.75 25.04 ± 2.82a Wonogiri 17.97 ± 0.17 6.08 ± 0.10 11.69 ± 3.63 39.03 ± 4.01a *Data rendemen merupakan data yang diperoleh dari Ambarsari et al. (2012).

Kadar air, kadar abu, dan nilai LC50 merupakan nilai rerata yang diperoleh dari tiga kali ulangan.

(19)

secara acak. Kromatogram yang dihasilkan oleh ekstrak etanol rimpang temu lawak membutuhkan waktu elusi selama 50 menit dan menghasilkan puncak yang hampir sama untuk setiap sampel.

Data hasil analisis LC-ESI-TOF MS memiliki perbedaan dengan data GC-MS. Puncak kromatogram pada waktu retensi tertentu yang dihasilkan oleh GC-MS mewakili satu senyawa, sehingga lebih mudah diidentifikasi. Sementara pada LC-MS, satu puncak kromatogram pada waktu retensi tertentu mewakili ion molekul dari berbagai senyawa. Pemrofilan metabolit rimpang temu lawak dengan LC-ESI-TOF MS menghasilkan matriks data tiga dimensi yang berukuran sangat besar dan kompleks, meliputi nilai rasio massa terhadap muatan (m/z), waktu retensi, dan intensitas puncak. Kompleksitas data tersebut dapat ditangani dengan pemrosesan data menggunakan perangkat lunak MZmine (Lampiran 2) menghasilkan tabel mass array sehingga dimensi data menjadi lebih sederhana (Theodoridis 2008). Perlakuan pendahuluan ini dapat menghindari masalah akibat geseran garis dasar (background) dan mengurangi derau (noise) acak pada kromatogram awal, sehingga akan meningkatkan hasil analisis kemometrik (Darusman et al. 2007).

Kromatogram LC-MS yang diperoleh dikonversi menjadi data dalam bentuk NetCDF agar lebih mudah diolah. Selanjutnya, kumpulan data tersebut diproses lebih lanjut untuk memisahkan puncak kromatogram yang berupa sinyal dan noise

(pengganggu) dengan melakukan koreksi baseline. Tahap berikutnya, yaitu deteksi puncak untuk mengidentifikasi dan kuantifikasi sinyal yang terkait dengan molekul dalam sampel, serta mereduksi kompleksitas data, sehingga analisis data tersebut menjadi lebih mudah. Tahap deisotop bertujuan menyederhanakan matriks data untuk tahap analisis berikutnya, dengan cara menyederhanakan informasi yang melimpah. Tahap alignment merupakan tahap yang penting untuk membandingkan sifat metabolit di antara sampel yang dianalisis dengan cara mencocokkan dan mengelompokkan puncak yang dihasilkan sampel, sebelum memasuki tahap analisis secara statistika. Tahap gap filling diperlukan untuk mendeteksi puncak dengan intensitas yang sangat rendah, kualitas bentuk yang kurang baik, atau adanya kesalahan dalam mendeteksi puncak, sehingga dapat mencegah terjadinya penarikan simpulan yang kurang tepat. Data yang telah diidentifikasi mengalami normalisasi untuk mengoreksi dan menyempurnakan data. Normalisasi dapat dilakukan melalui menghilangkan bias sistematik yang tidak diinginkan dalam pengukuran (Castillo et al. 2011).

(20)

terhadap hasil akhir analisis. Perlakuan perangkat lunak berbeda untuk kumpulan data yang sama dapat menyebabkan hasil akhir analisis yang berbeda pula (Theodoridis 2008). Deteksi puncak dengan teknik analisis LC-MS lebih mudah dilakukan dibanding tahap identifikasi senyawa metabolit. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya database LC-MS dan masih dalam tahap perkembangan (Theodoridis 2008). Dugaan komposisi senyawa metabolit yang terdapat pada ekstrak etanol rimpang temu lawak dilakukan dengan mencocokkan nilai m/z pada tabel spektra mass array terhadap massa akurat metabolit genus Curcuma pada DNP.

Hasil identifikasi senyawa metabolit dugaan yang terkandung pada ekstrak etanol rimpang temu lawak (Lampiran 10) menunjukkan sekitar 125 senyawa yang teridentifikasi. Rimpang temu lawak Sragen, Bogor, Sukabumi, Karanganyar, dan Wonogiri diduga mengandung 95, 94, 95, 106, dan 94 total metabolit. Terdapat kemiripan komposisi metabolit pada masing-masing sampel, namun memiliki %area relatif yang bervariasi. Hal ini menunjukkan bahwa asal geografis dan faktor lingkungan tumbuh tanaman (Tabel 2) berpengaruh terhadap komposisi kimianya. Metabolit rimpang temu lawak pada Lampiran 10 terbagi menjadi 4 kelompok besar, yaitu difenil-alkanoid, turunan fenilpropanoid, terpenoid, dan senyawa lain; yang struktur molekulnya dapat dilihat pada peta metabolit (Lampiran 11). Kelompok seskuiterpena teridentifikasi paling banyak dibanding kelompok metabolit lainnya.

Tabel 4 menunjukkan senyawa dominan yang terkandung pada rimpang temu lawak. Sinyal pada nilai m/z 338.111; 368.115; dan

218.161 memiliki %area relatif yang melimpah dibanding metabolit lainnya. Nilai tersebut diduga sebagai sinyal senyawa desmetoksikurkumin, kurkumin, siklokurkumin, α-atlanton; β-atlanton; bisakumol; 1,3,5,10-bisabolapentaen-9-ol; kurlon; turmeron; α-turmeron; β-turmeron; xantorizol; β-elemenon; dan germakron, yang strukturnya dapat dilihat pada peta metabolit (Lampiran 11). Gambar 7 menunjukkan pola %area relatif dari senyawa dominan. Biru untuk sinyal m/z 338.111; kuning untuk m/z 368.115; dan merah untuk m/z 218.161. Pola yang dihasilkan hampir sama untuk setiap sampel. Metabolit dominan dengan sinyal m/z 368.115 (kuning) memiliki porsi yang paling tinggi pada sampel. Sementara metabolit dengan sinyal m/z 338.115 dan 218.161 memiliki porsi yang lebih sedikit, menempati urutan kedua dan ketiga terbanyak.

Secara keseluruhan, rimpang temu lawak Karanganyar memiliki jumlah metabolit paling banyak dibandingkan dengan rimpang lainnya. Banyaknya variasi metabolit yang terkandung pada sampel tersebut berpengaruh Tabel 4 Komposisi metabolit dominan rimpang temu lawak

Golongan senyawa

m/z

Senyawa dugaan

%Area

terukur teoritis Sragen Bogor

Suka-bumi Karang-anyar Wono- Giri Diphenyl-alkanoids

338.111 338.115 [2] Demethoxycurcumin 6.9640 5.5677 6.0529 7.1976 6.8606 368.115 368.126 [1] Curcumin 6.9139 6.4340 8.6513 11.5928 12.0408

368.126 [9] Cyclocurcumin

Sesqui-terpenes

218.161 218.167 [65] α-Atlantone 2.2151 2.3181 1.9963 2.3779 2.2053 218.167 [66] -Atlantone

218.167 [73] Bisacumol 218.167 [77]

1,3,5,10-Bisabolapentaen-9-ol 218.167 [90] Curlone

218.167 [91] Turmerone 218.167 [93] α-Turmerone 218.167 [94] -Turmerone 218.167 [97] Xanthorrhizol 218.167 [119] -Elemenone 218.167 [138] Germacrone

Keterangan: Nomor dalam tanda [ ] menunjukkan nomor senyawa pada peta metabolit (Lampiran 11). Nilai %area relatif terhadap total 364 puncak yang terdeteksi oleh instrumen LC-ESI-TOF MS.

Gambar 7 Grafik metabolit dominan

0 2 4 6 8 10 12 14

Srg Bgr Skb KA Wgr

6.964

5.5677 6.0529

7.1976 6.8606 6.9139 6.434

8.6513

11.5928 12.0408

2.2151 2.3181 1.9963 2.3779 2.2053

%A

(21)

terhadap bioaktivitas, sehingga menghasilkan nilai LC50 yang rendah pada Tabel 3.

Rendahnya nilai LC50 menunjukkan bahwa

rimpang Karanganyar memiliki potensi antikanker paling baik, yang dipengaruhi oleh keragaman metabolit yang terkandung di dalamnya. Rimpang Karanganyar memiliki %area relatif yang cukup besar pada sinyal metabolit dominan. Kandungan desmetoksikurkumin paling tinggi dimiliki oleh sampel tersebut, dengan area relatif sebesar 7.1976%. Selain itu, juga mengandung α-atlanton, β-atlanton, bisakumol 1,3,5,10-bisabolapentaen-9-ol, kurlon, turmeron, α-turmeron, β-turmeron, xantorizol, β-elemenon, dan germakron paling banyak, dengan area relatif sebesar 2.3779%. Sementara luas area relatif senyawa kurkumin dan siklokurkumin pada rimpang Karanganyar menempati posisi terbanyak kedua setelah sampel Wonogiri, dengan nilai 11.5928%.

Pengenalan Pola Pengelompokan Metabolit dengan PCA

Diferensiasi komposisi metabolit yang signifikan dari sampel rimpang temu lawak berdasarkan asal geografisnya dilakukan dengan teknik analisis multivariat PCA. Teknik PCA merupakan suatu metode analisis peubah ganda yang betujuan menyederhanakan peubah yang diamati dengan cara mereduksi dimensinya, sehingga visualisasi pengelompokan data dan evaluasi kesamaan antar kelompok menjadi lebih mudah. Pendekatan kemometrik PCA diaplikasikan terhadap tabel mass array ekstrak etanol rimpang temu lawak. Teknik PCA dilakukan untuk mereduksi dimensi data dan memberi gambaran pengelompokan data

melalui penentuan komponen utama (PC), yakni PC 1, PC 2, PC 3, dan seterusnya (Theodoridis et al. 2012).

Hasil analisis PCA ditampilkan sebagai plot skor yang mengindikasikan sebaran sampel. Plot skor PCA digunakan untuk menentukan apakah profil metabolit masing-masing sampel rimpang temu lawak cukup unik untuk terbedakan berdasarkan asal geografisnya untuk masing-masing sampel. Setiap titik pada plot skor (Gambar 8) mewakili sampel tunggal, dan sampel yang menunjukkan kemiripan akan terkelompok menjadi satu (Kim et al. 2011). Hasil analisis PCA dikatakan baik bila dengan jumlah komponen utama yang sedikit mampu menggambarkan total variasi yang besar. Plot skor yang diperoleh dari data mass array hasil analisis dengan LC-MS menjelaskan 95% keragaman total (PC 1 = 83%, PC 2 = 8%, dan PC 3 = 4%). Gambar 8 menjelaskan pengelompokan sampel rimpang temu lawak berdasarkan daerah asalnya. Sampel dengan label yang sama terkelompok dengan posisi berdekatan. Beberapa sampel tunggal tidak memberikan gambaran pengelompokan yang baik, sehingga data sampel tersebut dideteksi sebagai data pencilan (outlier), seperti data Bogor 1, Sukabumi 2, Karanganyar 1, dan Wonogiri 3.

Reduksi outlier dilakukan agar visualisasi pengelompokan data menjadi lebih baik. Reduksi outlier meghasilkan pengelompokan pada Gambar 9, dengan peningkatan nilai PC2 sebesar 1% tanpa mengurangi nilai keragaman total (PC 1 = 83%, PC 2 = 9%, dan PC 3 = 3%). Hasil plot skor yang diperoleh pada Gambar 9 menjelaskan bahwa profil metabolit rimpang temu lawak terbedakan menjadi tiga kelompok berdasarkan asal geografisnya:

(22)

kelompok 1 (Sragen dan Bogor), kelompok 2 (Sukabumi dan Wonogiri), dan kelompok 3 (Karanganyar). Pengelompokan ini didukung oleh hasil analisis statistika terhadap toksisitas ekstrak etanol rimpang temu lawak (Lampiran 9).

Berdasarkan plot skor PCA (Gambar 9), karakteristik metabolit rimpang temu lawak Sragen dan Bogor memiliki kemiripan. Hal tersebut tercermin dari sifat bioaktivitasnya, dengan nilai LC50 yang berdekatan dan

toksisitas yang paling rendah dibanding sampel lainnya (Tabel 3), yaitu 54.02 dan 57.42 µg/mL. Sampel rimpang temu lawak Wonogiri dan Sukabumi terkelompok menjadi satu, sementara sampel Karanganyar terpisah dari sampel lainnya, yang menunjukkan adanya perbedaan komposisi metabolit dengan sifat bioaktivitas tertinggi dibanding sampel lainnya, dengan nilai LC50 sebesar

25.04 µg/mL. Hasil pengelompokan ini agak berbeda dibanding pengelompokan toksisitas yang menyatakan bahwa sampel Sukabumi, Karanganyar, dan Wonogiri terkelompok menjadi satu. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya perbedaan variasi metabolit dan

kelimpahan ion molekul yang terdeteksi oleh instrumen LC-MS, sehingga terjadi pemisahan kelompok di antara ketiga sampel tersebut.

Tujuan akhir dari proses ini, yaitu mengidentifikasi ion-ion yang dapat memberikan informasi mengenai senyawa penciri (biomarker). Dalam analisis kemometrik, puncak-puncak dengan nilai loading yang besar dapat dipertimbangkan sebagai senyawa penciri yang berperan penting untuk mengklasifikasikan sampel dengan PCA (Theodoridis 2008). Plot loading (Gambar 10) menunjukkan variabel yang paling berpengaruh terhadap pengelompokan rimpang temu lawak berdasarkan daerah asalnya.

Hasil plot loading yang digambarkan pada Gambar 10 menjelaskan bahwa klasifikasi rimpang temu lawak berdasarkan daerah asalnya dipengaruhi oleh variasi metabolit yang terkandung dalam masing-masing sampel. Kelompok rimpang temu lawak 2 (Sukabumi dan Wonogiri) dan 3 (Karanganyar) terbedakan dari kelompok sampel lainnya akibat adanya pengaruh variabel nilai m/z 368.115, yang diduga

Gambar 10 Plot loading analisis multivariat PCA.

(23)

sebagai sinyal dari senyawa kurkumin dan siklokurkumin (Tabel 4). Kedua kelompok tersebut memiliki senyawa penciri yang sama, namun terbedakan satu sama lain akibat adanya perbedaan jumlah keragaman metabolit dan %area relatif puncak kromatogram. Sementara sampel kelompok 1 (Sragen dan Bogor) terbedakan akibat adanya metabolit dengan nilai m/z 249.964 yang belum dapat teridentifikasi akibat keterbatasan database.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pendekatan metabolomik menggunakan LC-ESI-TOF MS dan integrasi statistika multivariat dapat digunakan untuk diferensiasi keragaman metabolit rimpang temu lawak berdasarkan daerah asalnya. Kualitas metabolit rimpang temu lawak dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan tempat tumbuh tanaman tersebut. Hasil identifikasi senyawa menunjukkan sekitar 125 senyawa yang terdeteksi. Analisis multivariat PCA menghasilkan tiga pengelompokan keragaman metabolit berdasarkan daerah asalnya, yaitu kelompok 1 (Sragen dan Bogor); kelompok 2 (Sukabumi dan Wonogiri); dan kelompok 3 (Karanganyar). Hal ini didukung oleh hasil uji bioaktivitas (BSLT) melalui uji statistika Duncan yang mengelompokkan berdasarkan potensinya sebagai antikanker. Rimpang temu lawak kelompok 1 memiliki nilai LC50

tertinggi, sehingga terkelompok sebagai sampel dengan potensi antikanker terendah. Sampel kelompok 1 memiliki senyawa penciri pada sinyal m/z 249.964 dan belum dapat diidentifikasi akibat keterbatasan database. Nilai LC50 terendah dimiliki oleh kelompok 3,

sehingga dapat dikatakan bahwa rimpang temu lawak yang berasal dari Karanganyar memiliki potensi antikanker dan kualitas yang lebih baik dibanding sampel lainnya. Sampel kelompok 2 dan 3 mengandung senyawa penciri pada m/z 368.115 yang diduga sebagai senyawa kurkumin dan siklokurkumin.

Saran

Identifikasi kandungan metabolit rimpang temu lawak pada penelitian ini dilakukan dengan membandingkan nilai m/z terhadap massa akurat senyawa yang diperoleh dari literatur, sehingga sifatnya hanya sebagai dugaan. Perlu dilakukan analisis lebih lanjut

menggunakan LC-MS/MS sehingga fragmentasi ion molekul lebih jelas terlihat. Selain itu, perlu dilakukan pengembangan database metabolit genus Curcuma dan penelitian lebih lanjut terkait potensi rimpang temu lawak sebagai antikanker. Penggunaan analisis multivariat PLS juga perlu dilakukan untuk mengetahui korelasi antara toksisitas dengan hasil pengelompokan PCA.

DAFTAR PUSTAKA

Ambarsari L et al. 2012. Laporan Penelitian Perguruan Tinggi: Produksi nanokurkuminoid berbasis bahan baku terstandar secara genetik dan metabolit untuk meningkatkan nilai tambah biodiversitas lokal demi kemandirian bangsa. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2007. Official Methods of AOAC International. Revisi ke-2. Volume ke-1. Maryland: AOAC International.

Brereton RG. 2003. Chemometrics: Data Analysis for The Laboratory and Chemical Plant. England: John Willey & Sons.

[BPS] Badan Pusat Statistika. 2011. Keadaan Geografis Karanganyar [terhubung berkala]. http://Karanganyarkab.bps.go.id. [2 September 2012].

[BPS] Badan Pusat Statistika. 2011. Keadaan Geografis Sukabumi [terhubung berkala]. http://sukabumikota.bps.go.id. [2 September 2012].

Castillo S, Gopalacharyulu P, Yetukuri L, Oresic M. 2011. Algorithms and tools for the preprocessing of LC-MS metabolomics data. Chemometrics and Intelligent Laboratory Systems 108: 23-32.

Choi MY, Choi W, Park JH, Lim J, Kwon SW. 2010. Determination of coffee origins by integrated metabolomic approach of combining multiple analytical data. Food Chemistry 121: 1260-1268.

(24)

Kanwar AS. 2007. Brine shrimp (Artemia salina) – a marine animal for simple and rapid biological assay. Journal of Chinese Clinical Medicine 2(4): 236-240.

Keadaan Geografis Bogor [terhubung berkala]. http://www.kotabogor.go.id. [2 September 2012].

Keadaan Geografis Sragen [terhubung berkala]. http://www.sragenkab.go.id. [2 September 2012].

Keadaan Geografis Wonogiri [terhubung berkala]. http://www.wonogirikab.go.id. [2 September 2012].

Kim EJ et al. 2011. Metabolite profiling of Angelica gigas from different geographical origins using 1H NMR and UPLC-MS analyses. Journal of Agricultural and Food Chemistry 59: 8806-8815.

Krastanov A. 2010. Metabolomics- the state of art. Biotechnol. and Biotechnol. Eq. 24(1): 1537-1543.

Kurniawan A. 2011. Aktivitas antioksidan dan potensi hayati dari kombinasi ekstrak empat jenis tanaman obat Indonesia [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor.

Meyer BN et al. 1982. Brine shrimp: a convenient general bioassay for active plant constituents. Journal of Medicinal Plant Research 45:31-34.

Miller JN, Miller JC. 2000. Statistics and Chemometrics for Analytical Chemistry, 4th Edition. England: Pearson Education.

Nunes BS, Carvalho FD, Guilhermino LM, Stappen GV. 2006. Use of the genus Artemia in ecotoxicity testing. Environmental Pollution 144:453-462.

Nurcholis W. 2008. Profil senyawa penciri dan bioaktivitas tanaman temu lawak pada agrobiofisik berbeda [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ogunnusi TA, Dosumu OO. 2008. Bioactivity of crude extracts of Euphorbia kamerunica Pax. using brine shrimp (Artemia salina)

lethality assay. Journal of Medicinal Plants Research 2(12): 370-373.

Pandiangan M. 2009. Stabilitas antimikroba ekstrak temu lawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) terhadap mikroba patogen. Medika Unika 73(4): 365-373.

Paryanto I, Srijanto B. 2006. Ekstraksi kurkuminoid dari temu lawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) secara perkolasi dengan pelarut etanol. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 4(2): 74-77.

Patnaik P. 2004. Dean’s Analytical Chemistry Handbook, 2nd Edition. New York: McGraw-Hill.

Prasetyorini, Wiendarlina IY, Peron AB. 2011. Toksisitas beberapa ekstrak rimpang cabang temu lawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) pada larva udang (Artemia salina Leach.). Fitofarmaka 1(2):14-21.

Ravindran PN, Babu NK, Sivaraman K. 2007. Turmeric: The Genus Curcuma. Boca Raton: CRC Press.

Rouessac F, Rouessac A. 2007. Chemical Analysis: Modern Instrumentation Methods and Techniques, 2nd Edition. England: John Wiley & Sons.

Sun H et al. 2012. Metabolomics study on Fuzi and its processed products using ultra-performance liquid-chromatography/electrospray-ionization synapt high definition mass spectrometry coupled with pattern recognition analysis. Analyst 137: 170-185.

Supriyadi D. 2008. Optimalisasi ekstraksi kurkuminoid temu lawak (Curcuma xathorrhiza Roxb.) [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Tanaka K, Li F, Morikawa K, Nobukawa T, Kadota S. 2011. Analysis biosynthetic fluctuation of cultured taxus seedlings using a metabolomic approach. Phytochemistry 72: 1760-1766.

(25)

metabonomics/metabolomics. Trends in Analytical Chemistry 27(3):251-260.

Theodoridis GA, Gika HG, Want EJ, Wilson ID. 2012. Liquid chromatography-mass spectrometry based global metabolite profiling: a review. Analytica Chimica Acta 711: 7-16.

(26)
(27)

Lampiran 1 Bagan alir penelitian

Sampel rimpang temu lawak

Serbuk rimpang temu lawak

Ekstrak etanol rimpang temu lawak

Penentuan

kadar air dan

kadar abu

BSLT

Analisis dengan LC-ESI-TOF MS

Kromatogram LC-MS

Tabel kompilasi

mass array

Analisis PCA

Interpretasi profil metabolit

Penentuan metabolit penciri

Peta metabolit;

DNP

Maserasi;

Etanol 70%

Identifikasi

MZmine

(28)

Lampiran 2 Tahap pemrosesan kromatogram LC-MS dengan MZmine

Program MZmine yang telah terinstal dibuka dan dilakukan import data LC-MS

yang telah tersimpan dalam bentuk NetCDF.

1.

Data dibuka dengan memilih Raw

data methods, kemudian dipilih Raw

data import.

2.

Dari pilihan data yang tersedia,

pilihlah data yang ingin dibuka,

kemudian klik import.

.

Tahap selanjutnya, dilakukan deteksi puncak dan konstruksi kromatogram

1.

Dipilih Raw data methods,

kemudian pilih peak detection dan

chromatogram builder.

2.

Kotak dialog akan keluar dan dipilih

parameter seperti pada gambar,

kemudian pilih OK.

(29)

Tahap koreksi baseline dan penghilangan noise dilakukan dengan:

Gambar

Gambar 2  Struktur kurkuminoid
Tabel 1  Informasi rimpang temu lawak
Tabel 2  Kondisi daerah asal sampel
Tabel 3  Kadar air, kadar abu, rendemen, dan toksisitas rimpang temu lawak
+6

Referensi

Dokumen terkait

Dampak terhadap lingkungan adalah dampak penyalahgunaan narkoba pada remaja di Kelurahan Kalabbirang terhadap pergaulan dan perubahan jiwa sosialnya menjadi anti

Bentuk perlindungan yang diberikan oleh lembaga penegak hukum di indonesia seharusnya dengan mengadopsi kebaikan-kebaikan yang ada d negara-negara yang menjadi acuan

Tugas guru dalam pembelajaran tidak terbatas pada penyampaian materi pembelajaran, tetapi lebih dari itu guru harus membentuk kompetensi dan pribadi peserta didik. Oleh karena

Kompetensi Dasar Pembelajaran Materi Kegiatan Pembelajaran 1.1 Menerima gambar  (bintang segi lima,  rantai, pohon  beringin, kepala  banteng, dan padi 

[r]

Pengguna Anggaran Badan Kesatuan Bangsa Politik Perlindungan Masyarakat dan Penanggulangan Bencana Kota Banda Aceh. Nyak

Pada t ahap aw al Pokja Pengadaan Barang/ Jasa pada Dinas Bina M arga Kabupat en Kuningan t elah memberikan penjelasan kepada pesert a lelang mengenai hal-hal yang perlu disampaikan

1) Nyatakan situasi yang ditemukan dalam penelitian: bisa memuaskan atau tidak memuaskan. Misalnya: guru kelas SD belum memenuhi standar minimal kompetensi