• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn.) dan Longkida (Nauclea orientalis Linn.) pada Kondisi Tergenang Air Asam Tambang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertumbuhan Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn.) dan Longkida (Nauclea orientalis Linn.) pada Kondisi Tergenang Air Asam Tambang"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

PERTUMBUHAN KAYU PUTIH (Melaleuca leucadendron Linn.)

DAN LONGKIDA (Nauclea orientalis Linn.) PADA KONDISI

TERGENANG AIR ASAM TAMBANG

MIFTAHUL MAWADDAH

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERTUMBUHAN KAYU PUTIH (Melaleuca leucadendron Linn.)

DAN LONGKIDA (Nauclea orientalis Linn.) PADA KONDISI

TERGENANG AIR ASAM TAMBANG

MIFTAHUL MAWADDAH

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Insitut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

RINGKASAN

MIFTAHUL MAWADDAH. Pertumbuhan Kayu Putih (Melaleuca leucadendron

Linn.) dan Longkida (Nauclea orientalis Linn.) pada Kondisi Tergenang Air Asam Tambang. Di bawah bimbingan: IRDIKA MANSUR dan LANA SARIA.

Sebagian besar metode penambangan batubara di Indonesia menggunakan sistem penambangan terbuka yang menyebabkan tereksposenya mineral sulfida, sehingga memicu timbulnya Air Asam Tambang (AAT) bila teroksidasi dengan O2 dan bertemu dengan H2O. Permasalahan tersebut dialami oleh setiap perusahaan yang bergerak dalam bidang pertambangan batubara, termasuk PT Mandiri Intiperkasa. Penanganan AAT yang sudah dilakukan adalah dengan pemberian kapur guna menetralkan pH sebelum dilepas ke perairan umum. Akan tetapi, hal ini hanya dapat dilakukan bila perusahaan masih aktif beroperasi. Oleh karena itu, AAT juga perlu ditangani secara pasif, yang akan terus bekerja meski perusahaan sudah berhenti beroperasi. Penanganan AAT secara pasif dilakukan dengan pembuatan kolam pengendapan (settling pond) yang biasanya ditanami dengan rumput tifa (Typha angustifolia). Teknik ini juga dikenal dengan istilah

wetland. Meskipun teknik ini mampu menyelesaikan masalah AAT, namun dapat menyebabkan lahan menjadi tidak produktif karena hanya ditumbuhi jenis rumput saja. Oleh karena itu, perlu ditambahkan jenis-jenis pohon komersial yang mampu bertahan dan tumbuh dengan baik pada kondisi genangan AAT, sehingga suatu saat nanti dapat memberikan nilai tambah dari kayu maupun non-kayunya. Pemilihan jenis pohon didasarkan pada hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa kayu putih (Melaleuca leucadendron) dan longkida (Nauclea orientalis) mampu bertahan pada kondisi genangan air. Kedua jenis itu pula yang dipilih pada penelitian ini, namun air yang digunakan untuk penggenangan adalah AAT. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya hidup dan pertumbuhan kayu putih dan longkida pada genangan AAT, serta pengaruh kedua jenis tersebut terhadap peningkatan pH AAT.

Penelitian dilakukan di persemaian milik PT Mandiri Intiperkasa, Kalimantan Timur pada Mei–Juli 2011. Penelitian dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan berupa kombinasi jenis tanaman, yaitu tifa dan kayu putih, tifa dan longkida, serta tifa saja. Masing-masing diulang sebanyak tiga kali, sehingga terdapat sembilan unit percobaan. Pengamatan bibit dilakukan selama empat minggu dengan peubah yang diamati ialah pertumbuhan diameter dan tinggi, pH AAT, berat kering tanaman, nisbah pucuk akar, analisis organ vegetatif tanaman, dan analisis lumpur. Perolehan data diolah menggunakan Microsoft Excel dan Minitab 14.

Hasil penelitian menyatakan bahwa setiap unit percobaan mengalami peningkatan pH AAT, dengan pH awal sebesar 2,8 dan di akhir pengamatan naik menjadi 6,6. Akan tetapi, kenaikan pH AAT tersebut tidak dipengaruhi oleh jenis tanaman. Adapun kedua jenis pohon, baik kayu putih maupun longkida mampu bertahan dan tumbuh dengan baik selama empat minggu pada kondisi genangan AAT.

(4)

SUMMARY

MIFTAHUL MAWADDAH. The Growth of Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn.) and Longkida (Nauclea orientalis Linn.) in Acid Mine Drainage Puddle Conditions. Under supervision of: IRDIKA MANSUR and LANA SARIA.

Most of the coal mining operations in Indonesia use open mining systems that could expose sulfide minerals, so cause Acid Mine Drainage (AMD) surface if oxidized with O2 and met H2O. The problems experienced by each company which is active in mining coal, including PT Mandiri Intiperkasa. Handling of AMD that has been done is the provision of lime to neutralize the pH before being released into public waters. However, this can only be done if the company is still actively operating. Therefore, the AMD also need to be addressed passively, which will continue to work even though the company has stopped operating. Handling AMD passively conducted with make a pond sedimentation (settling pond) which is usually planted with grass tifa (Typha angustifolia). This technique is also known as wetland. Although this technique is capable of resolving the problem AMD, but can cause land becomes unproductive because overgrown grass species only. Therefore, it is necessary to add commercial tree types that can survive and grow well in a pool of AMD condition, so that someday can provide the added value of wood and non-wood. The selection of tree species based on the results of previous research that states that the kayu putih (Melaleuca leucadendron) and longkida (Nauclea orientalis) is able to survive in conditions of puddle water. The both types were also selected in this research, but the water used for flooding is the AMD. This research aims to know the viability and growth of kayu putih and longkida in a puddle of AMD, and the influence of both types are on the increase in pH AMD.

The research conducted in the nursery PT Mandiri Intiperkasa, East Kalimantan in May–July 2011. The research conducted using Completely Randomized Design (CRD) by treatment with a combination of plants, namely tifa and kayu putih, tifa and longkida, as well as the tifa alone. Each experiment repeated three times, so there are nine units of the experiment. The observations of seedlings conducted during the four-week with the observed variables are the diameter and height growth, the pH of the AMD, plant dry weight, root shoot ratio, analysis of the vegetative organs of plants, and sludge analysis. The acquisition of data processed using Microsoft Excel and Minitab 14.

The research states that each unit experiment increase in pH AMD, with first pH of 2.8 and at the end of the observation of up to 6.6. However, the increase in pH of the AMD was not influenced by the type of plant. The both types of trees, both kayu putih and longkida able to survive and to grow well for four weeks on puddle AMD condition.

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pertumbuhan Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn.) dan Longkida (Nauclea orientalis Linn.)

pada Kondisi Tergenang Air Asam Tambang” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri di bawah bimbingan Dr. Ir. Irdika Mansur, M. For. Sc dan Dr. Lana Saria

serta belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau

lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2012

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Pertumbuhan Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn.) dan Longkida (Nauclea orientalis Linn.) pada Kondisi Tergenang Air Asam Tambang

Nama : Miftahul Mawaddah NIM : E44070014

Menyetujui:

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Irdika Mansur, M. For. Sc Dr. Lana Saria

NIP. 19660523 199002 1 001 NIP. 19681013 199803 2 006

Mengetahui:

Ketua Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB

Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS NIP. 19601024 198403 1 009

(7)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT atas limpahan

kasih dan sayangNya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Skripsi dengan judul “Pertumbuhan Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn.) dan Longkida (Nauclea orientalis Linn.) pada Kondisi Tergenang Air Asam Tambang” merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada Mei hingga Juli 2011 di persemaian milik PT. Mandiri Intiperkasa, Kalimantan Timur guna

memperoleh gelar Sarjana Kehutanan.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Ir. Irdika Mansur, M. For. Sc dan Dr. Lana Saria atas perhatian dan

bimbingannya kepada penulis.

2. Pimpinan PT. Mandiri Intiperkasa beserta staf yang telah

memperkenankan dan membantu penulis dalam melakukan penelitian.

3. Ayahanda dan Ibunda tercinta atas do’a dan kasih sayangnya yang tak berhingga kepada penulis.

4. Uda Irsyadinnas, Adek Mahmudah El Gumeri, dan Adek Ihzam Hifshin atas do’a dan semangat yang senantiasa diberikan kepada penulis.

5. Rekan satu bimbingan, yaitu Rovan, Pita, Yani, dan Kak Reytha atas

bantuan dan semangatnya kepada penulis.

6. Kawan-kawan seperjuangan SVK’44 atas perhatian dan dukungannya kepada penulis.

7. Kawan-kawan seperjuangan de’AsBeL atas tawa dan candanya untuk menghibur serta penyemangat bagi penulis.

8. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuannya

hingga penelitian dan penyusunan skripsi ini selesai.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam

penulisan skripsi ini, karenanya penulis mengharapkan kritik dan saran yang

bersifat membangun sebagai cambuk agar dapat berkarya lebih baik lagi. Penulis

juga berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Februari 2012

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Belitung pada 28 Januari 1990 dari Ayahanda Wardi

A. dan Ibunda Dian R. Misba. Penulis merupakan anak kedua dari empat

bersaudara.

Pendidikan formal ditempuh penulis di tempat kelahirannya, yaitu

Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang diawali dengan

bersekolah di TK Perwanida (1994–1995). Penulis kemudian melanjutkan ke SDN No. 16 Tanjungpandan (1995–2001). Setelah itu, penulis melanjutkan ke SMPN No. 03 Tanjungpandan (2001–2004) dan dilanjutkan ke SMAN No. 01 Tanjungpandan (2004–2007).

Pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswi Departemen

Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur

Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama berkuliah di IPB, penulis telah

mengikuti beberapa kegiatan praktek lapang, diantaranya Praktek Pengenalan

Ekosistem Hutan (PPEH) di Cikeong–Burangrang pada Juli 2009, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) pada

Juli–Agustus 2010, dan Praktek Kerja Profesi (PKP) pada Mei–Agustus 2011 di PT. Mandiri Intiperkasa, Kalimantan Timur.

Pada tahun 2011, penulis memperoleh dana DIKTI untuk melaksanakan

Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dalam bidang Penelitian dengan judul

Pemanfaatan dan Pengembangan Jamur Cantharellus cibarius sebagai Bahan

Pangan Baru. Selain itu, penulis juga berperan aktif dalam keanggotaan Ikatan

Keluarga Pelajar Belitung (IKPB) Cabang Bogor. Penulis melakukan penelitian

dan menyusun skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Kehutanan pada Fakultas Kehutanan IPB, dengan judul “Pertumbuhan Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn.) dan Longkida (Nauclea orientalis Linn.) pada

(9)
(10)

3.5.7 Analisis Lumpur ... 18

3.6 Analisis Data ... 18

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

4.1 Hasil ... 19

4.1.1 Pertumbuhan Diameter dan Pertumbuhan Tinggi ... 19

4.1.2 Kondisi pH Air Asam Tambang ... 20

4.1.3 Berat Kering Total ... 21

4.1.4 Nisbah Pucuk Akar ... 22

4.1.5 Analisis Organ Vegetatif Tanaman... 22

4.1.6 Analisis Lumpur ... 23

4.2 Pembahasan ... 24

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 30

5.1 Kesimpulan ... 30

5.2 Saran ... 30

DAFTAR PUSTAKA ... 31

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Pengaruh kombinasi jenis tanaman terhadap kenaikan pH air asam

tambang menurut hasil uji F ... 20

2 Konsentrasi dan kandungan unsur N, P, K, dan Fe pada kayu putih ... 23

3 Konsentrasi dan kandungan unsur N, P, K, dan Fe pada longkida ... 23

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Pertumbuhan diameter kayu putih dan longkida yang ditanam bersama

rumput tifa pada kondisi genangan air asam tambang ... 19

2 Pertumbuhan tinggi kayu putih dan longkida yang ditanam bersama rumput tifa pada kondisi genangan air asam tambang ... 20

3 Kenaikan pH air asam tambang pada setiap unit percobaan ... 21

4 Berat kering total kayu putih dan longkida... 21

5 Nisbah pucuk akar kayu putih dan longkida ... 22

6 Bak yang ditanami rumput tifa dan kayu putih ... 35

7 Bak yang ditanami rumput tifa dan longkida... 35

8 Bak yang hanya ditanami rumput tifa saja ... 35

9 Tumbuhnya akar sebagai adaptasi kayu putih pada kondisi genangan air asam tambang... 36

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Kombinasi jenis tanaman yang diberikan sebagai perlakuan ... 35

2 Akar kayu putih dan longkida sebagai bentuk adaptasi terhadap kondisi

genangan air asam tambang ... 36

3 Hasil uji F mengenai pengaruh kombinasi jenis tanaman terhadap

kenaikan pH air asam tambang ... 37

4 Hasil uji laboratorium terhadap organ vegetatif tanaman kayu putih dan

longkida ... 39

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di Indonesia, sebagian besar penambangan batubara dilakukan dengan

sistem terbuka (open pit mining). Hal ini menimbulkan kekhawatiran bila tidak

dilaksanakan dan dikelola dengan baik karena dapat berakibat pada munculnya

kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu

kerusakan iklim mikro setempat (klimatis) dan kerusakan tanah (edafis). Widyati

(2006) menyatakan bahwa permasalahan yang paling berat akibat penambangan

terbuka adalah tereksposenya lapisan batuan yang tersusun atas senyawa sulfida,

misalnya pirit, markasit, dan kalkopirit. Lapisan yang tersingkap ini akan

teroksidasi, sehingga melepaskan ion sulfat dan ion hidrogen yang dapat

menurunkan pH air dan tanah. Jika bertemu dengan air, peristiwa oksidasi ini

menghasilkan air yang bersifat asam atau lebih dikenal dengan sebutan Air Asam

Tambang (AAT). Dalam istilah Inggris disebut Acid Mine Drainage (AMD) atau

Acid Rock Drainage (ARD).

PT. Mandiri Intiperkasa (PT MIP) adalah salah satu dari sekian banyak

perusahaan pertambangan batubara yang memiliki permasalahan dengan air asam

tambang. Penanganan yang telah dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut

adalah dengan penanganan secara aktif dan pasif. Penanganan secara aktif

dilakukan melalui pemberian kapur pada air asam tambang untuk menetralkan pH

sebelum air dilepas ke perairan umum. Penanganan aktif ini hanya dapat

dilakukan pada saat perusahaan masih aktif beroperasi serta membutuhkan biaya

yang tidak sedikit. Kleinman (1990) dan Evangelou (1995) dalam Munawar

(2007) menyatakan bahwa di Amerika Serikat (USA), industri pertambangan

menghabiskan $1 juta dolar per hari untuk perlakuan aktif ini. Oleh karena itu, air

asam tambang juga perlu ditangani secara pasif, yang akan terus bekerja meski

perusahaan sudah berhenti beroperasi. Selain itu, Skousen dan Ziemkiewicz

(1996) dalam Munawar (2007) menyatakan bahwa perlakuan pasif lebih murah

dan tidak memerlukan perawatan intensif.

Penanganan air asam tambang secara pasif dilakukan menggunakan teknik

(15)

2

kolam-kolam atau lebih dikenal dengan istilah settling pond. Kolam-kolam

tersebut ditanami dengan rumput tifa (Typha angustifolia Linn.). Munawar (2007)

mengemukakan bahwa tifa merupakan tumbuhan yang mampu tumbuh bagus

pada media yang diairi air asam tambang. Teknik penanganan secara pasif ini,

meskipun dapat menyelesaikan masalah air asam tambang, tetapi menyebabkan

lahan menjadi tidak produktif karena hanya ditumbuhi oleh jenis rumput saja.

Oleh karenanya, perlu ditambahkan jenis-jenis pohon komersial yang tidak hanya

mampu bertahan, tapi juga dapat tumbuh dengan baik pada kondisi genangan air

asam tambang, sehingga suatu saat nanti dapat memberikan nilai tambah, baik itu

dari hasil kayu maupun non-kayunya.

Kayu putih (Melaleuca leucadendron Linn.) dan longkida (Nauclea

orientalis Linn.) merupakan jenis tanaman yang tahan terhadap genangan

(Handayani 2011). Jenis kayu putih dapat beradaptasi dengan tanah yang sangat

masam, tergenang sampai tanah kering, dan daunnya dapat disuling untuk

menghasilkan minyak kayu putih (Mansur 2010). Longkida disebut sebagai

tanaman perintis, biasanya hidup di sepanjang sungai ataupun dekat sungai

(Kurniawati 2011). Kedua jenis tanaman itu pula yang dipilih dalam penelitian ini,

namun air yang digunakan untuk penggenangan adalah air asam tambang yang

memiliki keasaman lebih tinggi dibandingkan dengan air pada umumnya.

Munawar (2011) menyatakan bahwa keasaman air asam tambang dapat mencapai

pH 2–3.

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui pengaruh air asam tambang terhadap pertumbuhan kayu putih

dan longkida.

2. Mengetahui ada tidaknya pengaruh kayu putih dan longkida terhadap

peningkatan pH air asam tambang.

1.3 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

jenis-jenis pohon kehutanan yang dapat ditanam pada areal wetland guna menambah

(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kayu Putih (M. leucadendron)

Klasifikasi ilmiah kayu putih yang dinyatakan oleh USDA (2011) adalah

sebagai berikut:

Kerajaan : Plantae

Subkerajaan : Tracheobionta

Superdivisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Subkelas : Rosidae

Ordo : Myrtales

Famili : Myrtaceae

Genus : Melaleuca

Spesies : M. leucadendron Linn.

Lutony dan Rahmayati (1994) mengemukakan mengenai nama daerah di

Indonesia untuk kayu putih, antara lain: inggolom (Batak), gelam (Sunda, Jawa),

ghelam (Madura), ngelak (Roti), calam (Dayak), baru galang (Makasar), waru

galang (bugis), ilen sakeran (Piru), irano (Amahai), ai kelano (Hila), irono

(Haruku), ilano (Nusa Laut, Saparua), elan (Buru), danruk (Merauke).

2.1.1 Morfologi Kayu Putih

Suatu perdu atau pohon yang dapat mencapai ketinggian hampir 14 m

(Guenther 1990) dengan batang berwarna abu-abu keputih-putihan yang

kerak-keraknya terkelupas-kelupas dalam bentuk lembaran-lembaran agak tebal dan

bersifat seperti sepon. Daun tunggal, bertangkai pendek, bangun jorong atau

memanjang. Bunga berwarna kuning gading, merah jambu, atau lembayung yang

tersusun dalam bulir yang keluar dari ketiak-ketiak daun (Tjitrosoepomo 2005).

Buahnya berbentuk kotak dan bijinya halus seperti sekam (Lutony dan Rahmayati

(17)

4

2.1.2 Syarat Tempat Tumbuh Kayu Putih

Kayu putih tidak memerlukan syarat tumbuh yang spesifik, dari ketinggian

tempat antara 5–450 m dpl, terbukti bahwa tanaman ini memiliki toleransi yang cukup baik untuk berkembang. Sebagai contoh, di daerah Sukaraja, Jawa Barat,

yang berketinggian tempat 340–380 m dpl dengan curah hujan 2.000–3.000 mm per tahun dan kondisi tanahnya yang miskin unsur mineral yang terdiri dari laterit

merah dan sebagian berbatu kapur tertier, masih dapat menghasilkan minyak kayu

putih yang bermutu baik (kadar sineol lebih dari 60%). Keistimewaan dari

tumbuhan ini adalah mampu bertahan hidup di tempat yang kering, di tanah yang

berair, atau di daerah yang banyak memperoleh guncangan angin atau sentuhan

air laut (Lutony dan Rahmayati 1994). Pohon tanaman ini sangat kuat dan

resisten, serta dapat mematikan tanaman lainnya dan tidak dapat dimusnahkan

dengan cara ditebang atau dibakar. Hutan-hutan kayu putih sering dimusnahkan

oleh api, namun dapat segera tumbuh kembali (Guenther 1990).

2.1.3 Budidaya Kayu Putih

Dalam dunia perdagangan, minyak kayu putih dikenal dengan nama

cajeput oil atau melaleuca oil yang diperoleh dari hasil penyulingan daun. Daun

kayu putih yang akan disuling minyaknya mulai bisa dipangkas atau dipungut

setelah berumur lima tahun. Seterusnya dapat dilakukan pemangkasan setiap

enam bulan sekali sampai tanaman berusia 30 tahun. Di beberapa daerah yang

Minyak kayu putih banyak digunakan dalam industri farmasi. Penduduk

Indonesia telah mengenal minyak kayu putih sejak berabad-abad serta

mempergunakannya sebagai obat gosok dan obat masuk angin untuk dewasa

maupun anak-anak (Lutony dan Rahmayati 1994). M. leucadendron var. latifolia

mengandung 98% metileugenol yang bersifat sebagai attractant atau penarik lalat

(18)

5

Guenther (1990) menyatakan bahwa penduduk pribumi di Malaya

menggunakan minyak kayu putih untuk obat sakit perut dan saluran pencernaan

(internal), serta sebagai obat kulit (luar). Khasiatnya sebagai obat oles bagi

penderita sakit kepala, kemungkinan disebabkan karena memiliki cooling effect.

Akan halnya sebagai obat internal, minyak ini berfungsi sebagai anthelmintic,

terutama efektif sebagai obat demam. Jika diteteskan ke dalam gigi, dapat

mengurangi rasa sakit gigi. Menurut penduduk pribumi, minyak ini sangat efektif

sebagai insektisida. Kutu (bukan kuman) pada anjing dan kucing, akan mati jika

diolesi minyak kayu putih. Di Malaya, minyak kayu putih ini digunakan untuk

membasmi kutu busuk dan berbagai jenis serangga.

2.2 Longkida (N. orientalis)

Turner dan Wasson (1997) menyatakan klasifikasi ilmiah longkida sebagai

berikut:

diantaranya yellow cheesewood atau leichhardt pine (English) dan kanluang

(Thai). Longkida merupakan jenis asli Australia, Indonesia, Malaysia, dan

Thailand.

2.2.1 Morfologi Longkida

Longkida memiliki tinggi pohon yang bervariasi dengan ketinggian

(19)

6

berwarna abu-abu, halus, pecah-pecah, dan bersisik. Daunnya berbentuk hati

dengan bagian atas daun berwarna hijau tua dan mengkilap. Sedangkan sisi bawah

daun berwarna kekuningan. Buahnya berdaging, berbentuk bulat tidak teratur,

massal, dan berbiji banyak, serta berwarna coklat kemerahan (Orwa et al. 2009).

2.2.2 Syarat Tempat Tumbuh Longkida

Longkida biasanya tumbuh pada jenis tanah alluvial di sepanjang

pinggiran sungai. Jenis ini juga dapat tumbuh dengan baik pada daerah yang

sering terjadi banjir. Longkida termasuk jenis pionir, tumbuh pada ketinggian

tempat 0–500 m dpl, suhu tahunan rata-rata 25 °C, dan rata-rata curah hujan tahunan sebesar 800–3.800 mm (Orwa et al. 2009).

2.2.3 Kegunaan Longkida

Longkida dibudidayakan karena kayunya dapat digunakan sebagai bahan

ukiran, bahan baku pembuatan kertas, serta dapat digunakan untuk kebutuhan

interior bangunan, seperti kusen dan lantai. Kayunya mudah dipotong

(cheesewood), tetapi tidak tahan terhadap paparan cuaca dalam waktu yang lama.

Selain itu, kayu longkida telah terbukti dapat menjadi racun bagi rayap

Cryptotermes domesticus. Akan tetapi, kayu gubalnya rentan terhadap serangan

Lyctus. Daun dan kulit batangnya digunakan sebagai obat sakit perut, gigitan

binatang, dan luka. Bunga-bunganya yang berwarna kuning merupakan sumber

nektar untuk pemeliharaan lebah. Di Malaysia, buah longkida dimanfaatkan

sebagai sumber makanan bekantan (Nasalis larvatus). Buahnya juga dimakan oleh

penduduk asli Australia, rubah terbang, dan burung, meskipun terasa pahit (Orwa

et al. 2009).

1. Penghindaran (escape) fenologis, apabila stress yang terjadi pada tanaman

bersifat musiman, tanaman menyesuaikan dengan siklus hidupnya,

(20)

7

2. Eksklusi, dengan cara mengenali ion yang toksik dan mencegah agar tidak

terambil, sehingga tidak mengalami toksisitas.

3. Penanggulangan (ameliorasi), dengan cara mengabsorbsi ion tersebut,

tetapi bertindak sedemikian rupa untuk meminimumkan pengaruhnya.

Jenis ini meliputi pembentukan kelat (chelation), pengenceran, lokalisasi

atau bahkan ekskresi.

4. Toleransi, dengan cara mengembangkan sistem metabolis yang dapat

berfungsi pada konsentrasi toksik yang potensial, mungkin dengan

molekul enzim.

Adanya berbagai alasan, tidaklah mungkin satu tanaman menyingkirkan

ion toksik. Jika konsentrasi internal harus dihadapi, ion-ion akan dipindahkan dari

tempat sirkulasi dengan beberapa jalan atau menjadi toleran di dalam sitoplasma.

Bentuk preoses yang pertama tersebut didefinisikan di sini sebagai ameliorasi.

Terdapat empat pendekatan, yaitu:

1. Lokalisasi, intra atau ekstra seluler dan biasanya di dalam akar.

2. Ekskresi, secara aktif melalui kelenjar pada tajuk, atau secara pasif dengan

akumulasi pada daun-daun tua yang diikuti dengan absisi daun (lepasnya

daun).

3. Dilusi (melemahkan), terutama penting dalam kaitan dengan salinitas.

4. Inaktivasi secara kimia, sehingga ion ada dalam bentuk kombinasi dengan

toksisitas yang berkurang.

2.4 Air Asam Tambang

Air Asam Tambang (AAT) atau Acid Mine Drainage (AMD) adalah air

yang terdapat atau berasal dari areal pertambangan yang bersifat asam sebagai

hasil reaksi oksidasi antara batuan yang mengandung mineral sulfida seperti pirit

(FeS2) dan pirotit (FeS) dengan udara dan air, yang dikatalisasi oleh bakteri

Thiobacillus ferrooxidans (Johnson dan Hallberg 2005). Nugraha (2010)

menyatakan ada beberapa mineral sulfida yang umum ditemukan pada kegiatan

pertambangan, yaitu pyrite (FeS2), chalcocite (Cu2S), cuvellite (CuS),

chalcopyrite (CuFeS2), molybdenite (MoS2), millerite (NiS), galena (PbS),

(21)

8

Wahyuni (2008) menyatakan bahwa pirit (FeS2) merupakan penghasil air asam tambang yang paling signifikan di areal pertambangan batubara.

Nugraha (2010) mengemukakan bahwa penanganan masalah air asam

tambang dibagi menjadi dua, yaitu pencegahan pembentukan air asam tambang

dan penanganan air asam tambang yang telah terbentuk, khususnya yang akan

keluar dari lokasi kegiatan penambangan. Pencegahan pembentukan air asam

tambang dapat dilakukan dengan mengurangi kontak antara mineral sulfida

dengan air dan oksigen di udara. Ada dua cara untuk melakukan hal tersebut, yaitu

menempatkan batuan PAF (Potentially Acid Forming) di bawah permukaan air,

dengan penetrasi oksigen terhadap lapisan air yang sangat rendah atau dikenal

dengan istilah wet cover systems, atau di bawah lapisan batuan/material tertentu

dengan tingkat infiltrasi air dan difusi/adveksi oksigen yang rendah, umumnya

disebut sebagai dry cover system. Dengan menerapkan metode ini, diharapkan

pembentukan air asam tambang dapat dihindari.

Penanganan air asam tambang yang telah terbentuk, yang berpotensi

keluar dari lokasi penambangan, dilakukan untuk mencapai kondisi kualitas air

seperti yang disyaratkan dalam peraturan pemerintah tentang kualitas air (Nugraha

2010). Pengolahan air asam tambang bertujuan untuk menghilangkan kandungan

logam terlarut dan meningkatkan pH ke kondisi netral (Skousen et al. 1998 dalam

Kirby dan Cravotta 2005 dalam Fajrin 2006). Teknik pengendalian air asam

tambang secara garis besar dibedakan menjadi dua, yakni perlakuan aktif (active

treatment) dan perlakuan pasif (passive treatment). Perlakuan aktif dilakukan

dengan pemberian kemikalia alkalin untuk meningkatkan pH dan menurunkan

kelarutan logam (Skousen et al. 1990 dalam Munawar 2007). Prinsip perlakuan

pasif adalah membiarkan reaksi kimia dan biologi berlangsung secara alami

(Munawar 2007). Skousen dan Ziemkiewicz (1996) dalam Munawar (2007)

menyatakan bahwa perlakuan pasif lebih murah dan tidak memerlukan perawatan

intensif. Faulkner dan Skousen (1994) dalam Munawar (2007) menyatakan bahwa

pengendalian pasif air asam tambang juga sangat beragam, di antaranya adalah

lahan basah buatan (constructed wetland). Munawar (2007) menyatakan bahwa

pada teknik ini bahan/substrat, tumbuhan air, dan mikrobia memegang peranan

(22)

9

tumbuhan air pada lahan basah mempunyai beberapa fungsi atau manfaat penting,

seperti:

1. Konsolidasi substrat oleh akar tanaman dengan cara memegang substrat

bersama-sama dan meningkatkan waktu tinggal air dalam wetland.

2. Stimulasi proses jasad renik melalui penyediaan tapak (site) oleh tanaman

untuk menempelnya mikroba, mengeluarkan oksigen dari akarnya,

menyediakan sumber bahan organik untuk mikroba heterotrof.

3. Tanaman memasok pakan dan perlindungan bagi satwa liar, sehingga

dapat membentuk habitat satwa liar.

4. Lahan basah dengan tanamannya lebih enak dipandang mata (estetika).

5. Akumulasi logam.

Keppler dan McClearly (1994) dalam Johnson dan Hallberg (2005)

menyatakan bahwa secara umum terdapat empat metode penanganan air asam

tambang secara pasif. Masing-masing metode memiliki keunggulan serta

kelemahan, sehingga perlu dikombinasikan untuk mendapatkan hasil yang

optimum. Metode-metode tersebut adalah:

1. Aerobic Wetland, umumnya digunakan dalam penanganan air asam

tambang tipe net alkalin. Hal ini disebabkan karena ion H+ yang dihasilkan dari reaksi oksidasi Fe2+ dan hidrolisis Fe3+ dalam proses remediasi pada sistem akan menurunkan pH air asam tambang. Air asam tambang

dialirkan pada permukaan wetland yang biasanya ditumbuhi oleh tanaman

sejenis cat tail (Typha sp.) yang tumbuh di atas tanah atau substrat

organik.

2. Organic Substrate Wetland, juga disebut dengan istilah kompos wetland.

Pada wetland jenis ini, air asam tambang mengalir melalui lapisan organik

yang relatif tebal. Lingkungan anaerobik yang terbentuk dalam lapisan

organik tersebut menstimulasi terjadinya proses mikrobiologis yang

menghasilkan alkalinitas dan sulfida yang mampu meningkatkan pH dan

mengendapkan logam. Oleh karena itu, sistem ini tepat digunakan dalam

pengolahan air asam tambang net acid dengan konsentrasi logam yang

(23)

10

3. Anoxic Limestone Drainage (ALD) adalah pengolahan air asam tambang

dengan memanfaatkan batu gamping dalam sebuah konstruksi yang

tertutup untuk membentuk kondisi aerobik. Hal ini bertujuan untuk

mencegah terjadinya filtrasi oksigen yang menyebabkan timbulnya

armoring pada batu gamping. Peningkatan pH air asam tambang pada

sistem tersebut berlangsung melalui reaksi keterlarutan CaCO3 batu gamping yang menghasilkan alkalinitas.

4. Successive Alkalinity Producing System (SAPS) adalah sistem pengolahan

yang mengkombinasikan penggunaan kompos wetlanddan ALD.

2.5 Rawa Buatan untuk Reklamasi Daerah Pertambangan

Tujuan utama membangun rawa buatan sekitar tambang adalah

menampung limpahan air hujan yang menghanyutkan tanah galian tambang

beserta dengan senyawa logam belerang, seperti pirit (FeS2) yang dapat menghasilkan asam sulfat dalam keadaan basah dan sisa-sisa bijih logam. Bila

tanah dan batuan di sekitar tidak mampu menetralisirnya, maka asam sulfat

tersebut akan memasuki perairan. Limpahan air hujan dari galian tambang yang

mengandung asam sulfat sangat berbahaya bagi perairan karena dapat mematikan

flora dan fauna air yang peka terhadap pH yang rendah. Kadar logam yang tinggi

dalam limbah tambang juga meracuni tanaman dan karena senyawa logam

bertahan lama di alam, tanah di sekitar tambang tidak dapat ditumbuhi oleh

tanaman yang peka terhadap senyawa logam dalam waktu yang panjang.

Penciptaan rawa buatan di sekitar tambang dilakukan dengan cara

mengeruk tanah untuk membentuk kolam-kolam dangkal (0,3–0,5 m) dan membangun tanggul di sekelilingnya sehingga cukup kuat untuk menampung air

dalam volume yang besar ketika hujan turun sewaktu-waktu. Air tampungan

tersebut kemudian dilepas sedikit demi sedikit ke dalam rawa buatan yang

selanjutnya melepaskan lagi ke saluran umum. Flora yang toleran terhadap

lingkungan asam dan kadar logam yang tinggi ditanam di dasar kolam, di lahan

basah dan di lahan kering di sepanjang tanggul. Untuk memudahkan kehidupan

tanaman pada tahap pendahuluan, lahan yang bersifat asam tersebut sering diolah

lebih dahulu dengan cara menebari kapur dan pupuk alami. Jenis tanaman yang

(24)

11

merupakan tanaman yang mencuat di atas permukaan air. Ada beberapa jenis tifa

yang digunakan, diantaranya Typha domingensis, Typha latifolia, dan Typha

orientalis (Khiatuddin 2003).

2.5.1 Tifa (T. angustifolia)

Klasifikasi ilmiah rumput tifadalam USDA (2011) adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Plantae

Spesies : T. angustifolia Linn.

Don et al. (2000) menyatakan bahwa di kedai bunga potong, bunga

tanaman ini lebih populer dengan nama stok. Di penjual tanaman hias disebut tifa.

2.5.1.1 Morfologi Tifa

Ciri khas tanaman ini adalah munculnya bunga berbentuk silindris mirip

cerutu yang bertengger tegak di ujung tangkai tanaman. Sebenarnya bunga

tersebut adalah bunga betina yang berwarna coklat tua. Panjangnya 7–20 cm, jika sudah matang tebalnya 2 cm. Bunga jantan terletak tepat di atasnya. Keduanya

dipisahkan oleh tangkai sepanjang 1–8 cm. Panjang bunga jantan tersebut berbeda jauh dengan bunga betinanya, tetapi ukurannya lebih kecil dan ramping.

Seperti julukannya, narrow leaf, tanaman ini tumbuh merumpun dengan

daun sempit, tipis, dan tumbuh dalam seludang (daun pelindung). Tinggi daun dan

tangkai bunganya hampir sama, 0,6–1,5 m.

Akar tifa berupa rimpang yang rebah horizontal dari dasar daun. Di habitat

(25)

12

biji-bijinya yang ringan diterbangkan angin sehingga tersebar dan tumbuh menjadi

tanaman baru.

Selain T. angustifolia masih ada lagi satu spesies yang serupa tapi tak

sama, yakni T. latifolia. Pada jenis ini, ukuran daun dan bunganya lebih lebar,

lebih gemuk, dan lebih berisi. Tidak seperti narrow leaf, tepat di atas bunga betina

yang berwarna coklat tua tidak ada tangkai yang menyangga bunga jantan.

Namun, bunga-bunga jantan yang berwarna coklat muda dan lembut tersebut

langsung menempel pada ujung bunga betina (Marianto 2001). T. latifolia dan T.

angustifolia merupakan jenis-jenis cat tail yang mudah dijumpai (Don et al.

2000).

2.5.1.2 Syarat Tempat Tumbuh Tifa

Sesuai dengan namanya, tanaman jenis ini habitat aslinya daerah

berlumpur dan sedikit digenangi air (Marianto 2001). Tanaman ini membutuhkan

cahaya matahari penuh. Tanah liat merupakan media tanam yang sangat bagus

untuk pertumbuhannya (Prayugo 2006).

2.5.1.3 Kegunaan Tifa

Selain untuk penghias kolam, tanaman keluarga Typhaceae ini juga

banyak digunakan sebagai ornament rangkaian bunga potong (Marianto 2001). Di

Brazil, daun Typha juga digunakan untuk membuat sejenis tikar atau kerajinan

(26)

BAB III METODOLOGI

3.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan di persemaian milik PT MIP site Krassi, Kecamatan

Sembakung, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur. Adapun

pengecambahan benih dilakukan di rumah kaca Departemen Silvikultur, Fakultas

Kehutanan IPB. Waktu penelitian dimulai dari Mei hingga Juli 2011.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain: bak berukuran 1 m x 1

m x 0,5 m sebanyak 9 buah, plastik untuk melapisi bak, mistar, jangka sorong, pH

meter digital, spidol, dan kamera digital untuk dokumentasi. Sedangkan bahan

yang digunakan adalah air asam tambang batubara, 27 bibit kayu putih berumur ±

3 bulan, 27 bibit longkida berumur ± 8 bulan, dan rumput tifa sebanyak 144 bibit,

serta lumpur atau endapan settling pond sebagai media tanam.

3.3 Rancangan Penelitian

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu perlakuan yang berupa kombinasi

jenis tanaman, yaitu rumput tifa dan kayu putih, rumput tifa dan longkida, serta

rumput tifa saja. Masing-masing diulang sebanyak tiga kali. Dengan demikian,

dalam percobaan terdapat 3 x 3 = 9 unit percobaan.

Pengaruh perlakuan, yaitu kombinasi jenis tanaman terhadap kenaikan pH

air asam tambang diduga dengan model rancangan yang sesuai dengan Mattjik

dan Sumertajaya (2006).

Yij = µ + σi + εij Keterangan:

Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = Rataan umum

σi = Pengaruh perlakuan ke-i

εij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j i = 1,2,3

(27)

14

3.4 Tahapan Penelitian

Pada penelitian ini terdapat sembilan unit percobaan yang berupa bak.

Tiga bak ditanami rumput tifa dan kayu putih, tiga bak ditanami rumput tifa dan

longkida, serta tiga bak lainnya hanya ditanami rumput tifa saja. Adapun tahapan

kerjanya sebagai berikut:

3.4.1 Penyiapan Bibit

Bibit longkida yang digunakan memiliki ukuran tinggi ± 1 m dan kayu

putih berukuran ± 30 cm. Kedua bibit, baik kayu putih maupun longkida berasal

dari benih yang disemai. Benih kayu putih berasal dari Jawa Timur, sedangkan

benih longkida diperoleh dari Kendari, Sulawesi Tenggara. Tepatnya diunduh dari

pohon-pohon longkida yang tumbuh di rawa sekitar kampus Universitas Haluoleo.

3.4.1.1 Kayu Putih

Pembibitan kayu putih dilakukan di rumah kaca Departemen Silvikultur,

Fakultas Kehutanan IPB. Media yang digunakan untuk pengecambahan benih

kayu putih ialah pasir yang sudah diayak dan disterilisasi dengan cara disangrai

selama ± 1 jam. Pasir yang steril, kemudian dimasukkan ke dalam tempat kue

berbahan mika dengan ukuran 20 cm x 20 cm x 5 cm yang sebelumnya sudah

diberi lubang. Setelah itu, dilakukan penyemprotan dengan air agar kelembaban

media tetap terjaga. Sebelum ditabur, benih kayu putih terlebih dahulu dicampur

pasir halus dengan komposisi 2:3. Saat penaburan benih, jarak tanam tidak

diperhatikan. Hal ini mengingat ukuran benih kayu putih yang sangat kecil.

Penyiraman rutin dilakukan setiap hari selama proses perkecambahan. Kecambah

kayu putih muncul ± 1 minggu setelah benih ditabur. Kecambah siap disapih bila

sudah memiliki 1–2 pasang daun.

Media sapih yang digunakan adalah campuran tanah, pasir, dan kompos

dengan perbandingan 2:1:1. Media tersebut dimasukkan ke dalam pot tray.

Kecambah yang siap sapih terlebih dahulu dipindahkan ke pot tray sebelum

ditanam dalam polybag. Pemindahan ini dilakukan dengan cara dicungkil.

Sebelum dicungkil, media sebaiknya disiram terlebih dahulu guna mempermudah

(28)

15

akar tetap utuh. Pemindahan ke dalam polybag dilakukan bila longkida sudah

memiliki tinggi ± 6 cm dan jumlah daun sebanyak 10–12 helai.

3.4.1.2 Longkida

Pembibitan longkida dilakukan di rumah kaca Departemen Silvikultur,

Fakultas Kehutanan IPB. Media yang digunakan untuk pengecambahan benih

longkida ialah pasir yang sudah diayak dan disterilisasi dengan cara disangrai

selama ± 1 jam. Pasir yang sudah steril, kemudian dimasukkan ke dalam tempat

kue berbahan mika dengan ukuran 20 cm x 20 cm x 5 cm yang sebelumnya sudah

dilubangi. Setelah itu, dilakukan penyemprotan dengan air agar kelembaban

media tetap terjaga. Sebelum ditabur, benih longkida terlebih dahulu dicampur

pasir halus dengan komposisi 2:3. Saat penaburan benih, jarak tanam tidak

diperhatikan. Hal ini mengingat ukuran benih longkida yang sangat kecil.

Penyiraman rutin dilakukan setiap hari selama proses perkecambahan. Kecambah

longkida muncul ± 1 minggu setelah benih ditabur. Kecambah siap disapih bila

sudah memiliki 1–2 pasang daun.

Media sapih yang digunakan adalah campuran tanah, pasir, dan kompos

dengan perbandingan 2:1:1. Media tersebut dimasukkan ke dalam pot tray.

Kecambah yang siap sapih terlebih dahulu dipindahkan ke pot tray sebelum

ditanam dalam polybag. Pemindahan ini dilakukan dengan cara dicungkil.

Sebelum dicungkil, media sebaiknya disiram terlebih dahulu guna mempermudah

proses pencungkilan. Saat pencungkilan, media diusahakan ikut terbawa supaya

akar tetap utuh. Pemindahan ke dalam polybag dilakukan bila longkida sudah

memiliki tinggi ± 3 cm dan jumlah daun sebanyak 5–6 helai.

3.4.2 Pengemasan Bibit

Pengemasan bibit perlu dilakukan untuk keperluan pengiriman bibit dari

persemaian Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor ke

persemaian milik PT. MIP di site Krassi, Kecamatan Sembakung, Kabupaten

Nunukan, Kalimantan Timur. Pengiriman ini dilakukan menggunakan jasa Titipan

Kilat (TIKI). Sebelum dikemas, akar tanaman kayu putih dan longkida dibebaskan

dari media tanamnya, sehingga akar tersebut benar-benar berada dalam kondisi

(29)

16

efisiensi biaya pengiriman. Selain itu, daunnya juga dipotong untuk mengurangi

penguapan. Selanjutnya, kedua bibit tersebut dibungkus plastik secara terpisah

dan dimasukkan ke dalam kotak berukuran 1 m x 0,5 m x 0,2 m.

3.4.3 Aklimatisasi Bibit

Proses pengiriman bibit hingga sampai di lokasi penelitian membutuhkan

waktu ± 5 hari. Sesampainya di lokasi penelitian, bibit kayu putih dan longkida

dipindahkan ke dalam polybag. Media tanam yang digunakan berupa campuran

tanah dan kompos dengan perbandingan 1:1. Penambahan pasir tidak diperlukan

lagi karena kondisi tanah yang sudah mengandung pasiran. Selanjutnya dilakukan

pemeliharaan berupa penyiraman rutin setiap hari selama ± 6 minggu untuk proses

aklimatisasi bibit. Namun, selama pemeliharaan, bibit kayu putih tidak dapat

bertahan dan mati. Oleh karena itu, kebutuhan bibit kayu putih diganti dengan

bibit yang sudah ada milik persemaian PT. MIP, tetap dengan jenis yang sama.

3.4.4 Penyiapan Media Tanam

Media tanam yang digunakan berupa lumpur atau endapan settling pond

yang ditempatkan dalam bak berukuran 1 m x 1 m x 0,5 m. Lumpur tersebut

dimasukkan ke dalam bak dengan ketinggian 20 cm dari dasar bak.

3.4.5 Penanaman

Penanaman bibit dilakukan pada bak yang sudah berisi lumpur, setelah itu

digenangi dengan air asam tambang setinggi 10 cm dari permukaan lumpur. Pada

bak yang ditanami kayu putih dan rumput tifa, antar bibit kayu putih ditanam

dengan jarak 30 cm x 30 cm. Sedangkan penanaman rumput tifa dilakukan di

sela-sela bibit kayu putih. Selanjutnya, pada bak yang ditanami longkida dan

rumput tifa, antar bibit longkida juga ditanam dengan jarak 30 cm x 30 cm. Sama

halnya dengan penanaman sebelumnya, penanaman rumput tifa juga dilakukan di

sela-sela bibit longkida. Adapun yang berperan sebagai kontrol adalah bak yang

(30)

17

3.5 Pengamatan dan Pengambilan Data

Peubah yang diukur pada penelitian ini adalah pertumbuhan diameter

bibit, pertumbuhan tinggi bibit, pH air asam tambang, berat kering tanaman,

nisbah pucuk akar, analisis organ vegetatif tanaman, dan analisis lumpur.

3.5.1 Diameter Bibit (mm)

Pengukuran diameter bibit dilakukan menggunakan jangka sorong dan

diukur pada batang dengan ketinggian 5 cm di atas permukaan air yang

sebelumnya sudah diberi penanda untuk mempermudah pengukuran selanjutnya.

Pengukuran diameter bibit dilakukan sekali dalam seminggu selama satu bulan.

3.5.2 Tinggi Bibit (cm)

Pengukuran tinggi bibit dimulai dari 5 cm di atas permukaan air hingga

pucuk tanaman menggunakan mistar. Pengukuran dilakukan setiap minggu selama

satu bulan.

3.5.3 pH Air Asam Tambang

Pengukuran pH air asam tambang dilakukan setiap minggu selama satu

bulan menggunakan pH meter digital. Alat dicelupkan ke dalam air, kemudian

tombol power ditekan untuk mengaktifkan. Selanjutnya ditunggu hingga angka

yang ditampilkan pada layar berhenti.

3.5.4 Berat Kering Tanaman (g)

Pengukuran berat kering tanaman dilakukan pada akhir pengamatan

dengan cara memotong sampel menjadi dua bagian, yaitu bagian akar dan bagian

pucuk (batang dan daun). Kemudian, kedua bagian tersebut dibungkus koran

secara terpisah, selanjutnya dilakukan pengovenan pada suhu 60°C selama 48

jam. Setelah tercapai berat kering yang konstan, dilakukan penimbangan.

Penimbangan tersebut menghasilkan data berat kering akar dan berat kering

pucuk.

3.5.5 Nisbah Pucuk Akar

Nisbah pucuk akar diperoleh dengan membandingkan berat kering pucuk

(31)

18

3.5.6 Analisis Organ Vegetatif Tanaman

Analisis organ vegetatif dilakukan pada akhir pengamatan untuk

mengetahui kemampuan bibit dalam menyerap unsur-unsur N, P, K, dan Fe dari

media tanam yang digunakan. Ada dua sampel yang diambil dari masing-masing jenis

bibit, yaitu akar dan pucuk (batang dan daun). Analisis ini dilakukan di Services

Laboratory SEAMEO BIOTROP Bogor.

3.5.7 Analisis Lumpur

Analisis lumpur dilakukan pada akhir pengamatan untuk mengetahui

unsur-unsur yang terkandung didalamnya, seperti N, P, K, Fe, dan S. Ada dua

sampel yang diambil untuk dianalisis, yaitu lumpur yang berasal dari semua

perlakuan yang dikompositkan dan lumpur yang diambil dari bak yang tanpa

ditanami apa-apa. Analisis ini juga dilakukan di Services Laboratory SEAMEO

BIOTROP Bogor.

3.6 Analisis Data

Data yang diperoleh, kemudian dianalisis menggunakan Microsoft Excel

2007 dan Minitab 14. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan, yaitu kombinasi

jenis tanaman terhadap kenaikan pH air asam tambang dilakukan analisis

keragaman dan kemudian diuji dengan uji F. Setelah data dianalisis, kemudian

dibuat daftar sidik ragam (Analysis of Variance/ANOVA), sehingga dapat

diketahui besarnya Fhitung. Dengan demikian, dapat dilakukan pengujian perlakuan dengan kriteria uji:

Jika Fhitung ≥ Ftabel  tolak H0 Fhitung < Ftabel  terima H0

Hipotesis yang digunakan dalam pengujian tersebut adalah:

H0 : perlakuan berupa kombinasi jenis tanaman tidak memberikan pengaruh terhadap kenaikan pH air asam tambang.

(32)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah pertumbuhan diameter,

pertumbuhan tinggi, pH air asam tambang, berat kering tanaman, nisbah pucuk

akar, analisis organ vegetatif tanaman, dan analisis lumpur.

4.1.1 Pertumbuhan Diameter dan Pertumbuhan Tinggi

Respon pertumbuhan bibit terhadap kondisi genangan air asam tambang

dapat dilihat dari besarnya pertambahan diameter dan tinggi bibit pada setiap

minggu selama waktu pengamatan. Besarnya pertumbuhan diameter dan tinggi

kedua bibit, baik kayu putih maupun longkida yang ditanam bersama rumput tifa

dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.

Gambar 1 Pertumbuhan diameter kayu putih dan longkida yang ditanam bersama rumput tifa pada kondisi genangan air asam tambang

Selama satu bulan pengamatan, kayu putih yang ditanam bersama rumput

tifa pada kondisi genangan air asam tambang mengalami pertumbuhan diameter

sebesar 1,02 mm. Longkida yang juga ditanam bersama rumput tifa pada kondisi

(33)

20

Gambar 2 Pertumbuhan tinggi kayu putih dan longkida yang ditanam bersama rumput tifa pada kondisi genangan air asam tambang

Kayu putih yang ditanam bersama rumput tifa pada kondisi genangan air

asam tambang memiliki pertumbuhan tinggi sebesar 19,70 cm selama satu bulan

pengamatan. Longkida yang juga ditanam bersama rumput tifa pada kondisi

genangan air asam tambang hanya memiliki pertumbuhan tinggi sebesar 1,33 cm.

4.1.2 Kondisi pH Air Asam Tambang

Ada tidaknya pengaruh jenis tanaman terhadap kondisi pH air asam

tambang dapat dilihat pada perubahan pH air asam tambang tersebut. Hasil uji F

menyatakan bahwa perlakuan berupa kombinasi jenis tanaman tidak memberikan

pengaruh terhadap kenaikan pH air asam tambang, seperti yang ditunjukkan oleh

Tabel 1.

Tabel 1 Pengaruh kombinasi jenis tanaman terhadap kenaikan pH air asam tambang menurut hasil uji F

Keterangan : tn = tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Meski kondisi pH air asam tambang tidak dipengaruhi oleh adanya

perlakuan, akan tetapi kenaikan pH air asam tambang terjadi setiap minggu pada

semua unit percobaan, baik itu pada bak yang ditanami rumput tifa dan kayu

putih, rumput tifa dan longkida, maupun pada bak yang hanya ditanami rumput

tifa saja. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3. 0,00

Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu

ke-0 ke-1 ke-2 ke-3 ke-4

pH air asam tambang tn tn tn tn tn

(34)

21

Gambar 3 Kenaikan pH air asam tambang pada setiap unit percobaan

Air asam tambang mengalami kenaikan pH dengan pH awal sebesar 2,8.

Setelah empat minggu, pH pada bak yang ditanami rumput tifa dan kayu putih

naik menjadi 6,6. Pada bak yang ditanami rumput tifa dan longkida pH-nya naik

menjadi 6,0. Serta pada bak yang hanya ditanami rumput tifa saja naik menjadi

6,6.

4.1.3 Berat Kering Total

Perhitungan berat kering total dilakukan guna mengetahui baik tidaknya

pertumbuhan tanaman, sebab berat kering total dapat menggambarkan efisiensi

proses fisiologis dalam tanaman dengan interaksi lingkungan tempat tumbuh.

Besarnya berat kering total kedua bibit, baik kayu putih maupun longkida dapat

dilihat pada Gambar 4.

(35)

22

Kayu putih yang ditanam bersama rumput tifa pada kondisi genangan air

asam tambang memiliki berat kering total sebesar 4,40 g dan longkida yang juga

ditanam bersama rumput tifa pada kondisi genangan air asam tambang memiliki

berat kering total sebesar 61,60 g. Berat kering total merupakan penjumlahan

antara berat kering akar dengan berat kering pucuk.

4.1.4 Nisbah Pucuk Akar

Informasi mengenai nisbah pucuk akar diperlukan untuk mengetahui

keseimbangan antara pertumbuhan pucuk tanaman sebagai tempat terjadinya

proses fotosintesis dengan pertumbuhan akar sebagai bidang serapan hara dan air.

Nisbah pucuk akar kedua bibit, baik kayu putih dan longkida dapat dilihat pada

Gambar 5.

Gambar 5 Nisbah pucuk akar kayu putih dan longkida

Kayu putih yang ditanam bersama rumput tifa pada kondisi genangan air

asam tambang memiliki nisbah pucuk akar sebesar 3,89. Nisbah pucuk akar yang

dimiliki oleh longkida yang juga ditanam bersama rumput tifa pada kondisi

genangan air asam tambang adalah sebesar 2,26.

4.1.5 Analisis Organ Vegetatif Tanaman

Analisis organ vegetatif tanaman dilakukan guna mengetahui unsur-unsur

yang terkandung dalam suatu tanaman. Banyaknya unsur N, P, K, dan Fe yang

terdapat dalam bibit kayu putih dan longkida dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel

3. Kandungan ini diperoleh dari perkalian antara konsentrasi unsur dengan berat

(36)

23

Tabel 2 Konsentrasi dan kandungan unsur N, P, K, dan Fe pada kayu putih

**Sumber: Services Laboratory SEAMEO BIOTROP, 14 September 2011

Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa kayu putih memiliki kandungan unsur N,

P, K, dan Fe yang lebih banyak di bagian pucuk dibandingkan dengan akar.

Demikian halnya pada longkida, seperti yang terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Konsentrasi dan kandungan unsur N, P, K, dan Fe pada longkida

**Sumber: Services Laboratory SEAMEO BIOTROP, 14 September 2011

Longkida juga memiliki unsur N, P, dan K yang lebih banyak terdapat di

bagian pucuk daripada akar. Namun demikian, tidak dengan Fe. Unsur Fe pada

longkida lebih banyak terdapat di bagian akar dibandingkan pucuk.

4.1.6 Analisis Lumpur

Adapun kandungan hara yang terdapat di dalam lumpur dapat dilihat pada

Tabel 4. Lumpur ini digunakan sebagai media tanam.

Tabel 4 Kandungan hara lumpur***

***Sumber: Services Laboratory SEAMEO BIOTROP, 14 September 2011

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa unsur N, P, K, dan Fe pada lumpur yang

diberi perlakuan, yaitu berupa tanaman memiliki kadar yang lebih rendah

dibandingkan pada lumpur tanpa adanya perlakuan atau tanpa adanya tanaman. Konsentrasi (%)** Kandungan (mg) Konsentrasi (%)** Kandungan (mg)

N 0,18 1,62 1,04 36,40

Konsentrasi (%)** Kandungan (mg) Konsentrasi (%)** Kandungan (mg)

(37)

24

Namun demikian, lumpur dengan tanpa ditanami memiliki kadar S yang lebih

rendah dibandingkan dengan lumpur yang ditanami.

4.2 Pembahasan

Kayu putih dapat dijumpai dari dataran rendah hingga ketinggian tempat

400 m dpl, dapat tumbuh di dekat pantai di belakang hutan bakau, di tanah berawa

atau membentuk hutan kecil di tanah kering sampai basah. Longkida biasanya

dijumpai di sepanjang sungai ataupun dekat sungai. Hal ini menunjukkan bila

kedua jenis tersebut mampu tumbuh pada kondisi genangan. Kayu putih

menghasilkan minyak atsiri melalui proses penyulingan yang telah dipercaya oleh

masyarakat memiliki manfaat sebagai obat. Lain halnya dengan longkida.

Tanaman ini belum banyak dikenal, sehingga pemanfaatannya pun masih terbatas.

Penelitian ini merupakan penelitian yang pertama kali dilakukan dengan menanam

kayu putih dan longkida pada kondisi genangan air asam tambang, sehingga

penting untuk dilakukan guna mengetahui daya tahan sekaligus pertumbuhan

kedua jenis pada kondisi tersebut yang nantinya diharapkan dapat diterapkan pada

areal wetland.

Sitompul dan Guritno (1995) menyatakan bahwa pertumbuhan adalah

suatu proses yang dilakukan tanaman hidup pada lingkungan tertentu dan dengan

sifat-sifat tertentu untuk menghasilkan kemajuan perkembangan dengan

menggunakan faktor lingkungan. Pada penelitian ini, parameter yang dijadikan

sebagai tolak ukur adanya pertumbuhan adalah diameter dan tinggi bibit, serta

berat kering dan nisbah pucuk akar, seperti yang dikemukakan oleh DIKTI (1991)

bahwa pertumbuhan dapat diukur dengan istilah-istilah berat kering, panjang

(panjang lamina daun misalnya), tinggi tanaman atau diameter batang dan

lain-lain.

Pertambahan diameter merupakan pertumbuhan sekunder pada tanaman.

Pertumbuhan sekunder dimulai oleh kambium yang terdapat dalam jaringan

pembuluh. Kambium ini secara terus-menerus menghasilkan jaringan pembuluh,

yaitu xylem dan floem (Heddy 1986). Tinggi tanaman merupakan ukuran tanaman

yang sering diamati, baik sebagai indikator pertumbuhan maupun sebagai

parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan atau perlakuan

(38)

25

ukuran pertumbuhan yang paling mudah dilihat (Sitompul dan Guritno 1995).

Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa kayu putih menunjukkan respon pertumbuhan

diameter yang lebih lambat dibandingkan dengan longkida. Berbanding terbalik

dengan pertumbuhan tingginya, seperti yang terlihat pada Gambar 2. Respon

pertumbuhan tinggi yang dimiliki oleh kayu putih terjadi lebih cepat daripada

longkida. Hal ini dikarenakan kayu putih berupaya untuk memenuhi

kebutuhannya akan cahaya matahari, sehingga hal tersebut memicu kayu putih

untuk mempercepat pertumbuhan tingginya, seperti yang dikemukakan oleh

Gardner et al. (1991) bahwa cahaya mempunyai pengaruh nyata terhadap

pertumbuhan batang. Ruas tanaman yang ternaung lebih terentang/lebih panjang.

Perlu diketahui, kedua jenis, baik kayu putih maupun longkida ditanam di bawah

naungan. Pengaruh naungan itu dianggap disebabkan oleh peningkatan auksin,

yang mungkin bekerja secara sinergis dengan gibberellic acid (GA). Secara

teoritis, perusakan auksin karena cahaya lebih sedikit pada tegakan ternaung,

karena penyinaran kuat menurunkan auksin dan mengurangi tinggi tanaman.

Masing-masing jenis, baik kayu putih maupun longkida ditanam bersama

rumput tifa pada kondisi genangan air asam tambang yang mengandung pirit

(FeS2). Keberadaan mineral pirit dengan mudah dapat dijumpai pada lahan pascatambang batubara, seperti yang kemukakan oleh Gautama et al. (2003)

dalam Wahyuni (2008) bahwa pirit (FeS2) merupakan penghasil air asam tambang yang paling signifikan di areal pertambangan batubara. Bila material berpirit ini

terekpose ke udara dan air, maka akan teroksidasi menghasilkan asam sulfat dan

mengakibatkan kemasaman yang sangat tinggi pada air sekaligus tanah. Munawar

(2011) menyatakan bahwa mineral sulfida, seperti pirit (FeS2) jika teroksidasi akan menghasilkan kemasaman yang sangat luar biasa (dapat mencapai pH 2–3). Tingkat kemasaman yang tinggi ini juga meningkatkan kelarutan logam-logam di

dalam tanah dan air sampai tingkat meracun, sehingga dapat membatasi

keberhasilan revegetasi lahan pascatambang dan merusak kehidupan pada

ekosistem akuatik.

Pada penelitian ini, air asam tambang yang digunakan untuk menggenangi

tanaman memiliki pH sebesar 2,8. Namun, selama pengamatan satu bulan, pH-nya

(39)

26

tanaman, seperti yang dikemukakan oleh Fitter dan Hay (1991). Keduanya

menyatakan bahwa tanaman barangkali mengabsorbsi ion toksik, akan tetapi

tanaman bertindak sedemikian rupa untuk meminimumkan pengaruhnya. Adapun

ion toksik yang dimaksud adalah unsur Fe sebagai pembentuk pirit (FeS2). Unsur Fe merupakan unsur hara mikro. Akan tetapi, unsur ini dapat manjadi toksik bagi

tanaman bila terdapat dalam jumlah yang berlebih. Unsur Fetersebut diserap oleh

akar tanaman, seperti yang dikemukakan oleh DIKTI (1991) bahwa besi dalam

bentuk kation Fe2+ dan Fe3+ serta senyawa Fe-kelat dapat disuplai ke akar tanaman (DIKTI 1991), tetapi tanaman lebih banyak menyerap bentuk Fe2+. Hubungan antara Fe2+ dan Fe3+ di dalam larutan tanah tergantung kepada kondisi oksidasi dan reduksi (redoks). Pada kondisi reduktif, maka Fe2+ dominan dan mudah tersedia bagi tanaman (Munawar 2011). Dalam hal ini, kondisi reduktif

disebabkan oleh adanya genangan.

Adanya penyerapan unsur Fe oleh akar ditunjukkan melalui analisis

terhadap organ vegetatif tanaman, seperti yang terlihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.

Tabel 3 menunjukkan jumlah unsur Fe yang terkandung dalam akar kayu putih,

yaitu sebesar 8,37 mg. Adapun kandungan unsur Fe yang terdapat di dalam akar

longkida ditunjukkan oleh Tabel 4, yaitu sebesar 963,90 mg. Jumlah ini jauh lebih

banyak dibandingkan yang terdapat di bagian pucuk. Ini merupakan cara bagi

tanaman untuk meminimumkan pengaruh ion toksik tersebut, yaitu hanya

menyimpan unsur yang diserap pada bagian tertentu saja, yang disebut dengan

istilah lokalisasi, seperti halnya yang dikemukakan oleh Fitter dan Hay (1991).

Lokalisasi dilakukan pada intra dan ekstra seluler dan biasanya di dalam akar.

Akar adalah bagian yang tidak terpisahkan dari tanaman dan mempunyai

fungsi yang sama pentingnya dengan bagian atas tanaman. Kalau tajuk khususnya

jaringan fotosintesis berfungsi menyerap CO2, maka akar berfungi menyerap air dan unsur hara (Sitompul dan Guritno 1995). Adaptasi kedua jenis, baik kayu

putih dan longkida terhadap genangan ditunjukkan melalui kondisi akarnya.

Tumbuhnya akar pada bagian pangkal batang yang terendam air, seperti yang

terlihat pada Lampiran 2, diduga untuk memenuhi perolehan oksigen bagi

tanaman. Perlu diketahui, pada penelitian ini tanaman digenangi dengan air asam

(40)

27

Meskipun kenaikan pH air asam tambang diduga akibat adanya tanaman,

akan tetapi kenaikan tersebut tidak dipengaruhi oleh jenis tanaman, seperti yang

terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan berupa kombinasi

jenis tanaman tidak memberikan perbedaan yang nyata pada selang kepercayaan

95% terhadap kenaikan pH air asam tambang setiap minggunya. Hal ini berarti

kedua jenis, baik kayu putih maupun longkida yang ditanam bersama rumput tifa

tidak memberikan pengaruh terhadap kenaikan pH air asam tambang tersebut.

Berat kering total merupakan indikator yang umum digunakan untuk

mengetahui baik atau tidaknya pertumbuhan bibit karena berat kering total dapat

menggambarkan efisiensi proses fisiologis di dalam tanaman. Semakin baik atau

semakin efisiensi proses fisiologis suatu tanaman, maka berat kering tanaman

akan semakin besar, artinya tanaman mampu menyerap unsur hara yang tersedia

untuk digunakan dalam proses pertumbuhan (Salisbury dan Ross 1995). Pada

Gambar 4 dapat dilihat bahwa kayu putih memiliki nilai berat kering total sebesar

4,40 g dan longkida sebesar 61,60 g. Hal ini dikarenakan longkida memiliki umur

yang lebih tua dibandingkan kayu putih, sehingga memiliki biomassa yang lebih

banyak dibandingkan kayu putih. Sitompul dan Guritno (1995) menyatakan

bahwa berat kering tanaman atau biomassa tanaman meliputi semua bahan

tanaman yang secara kasar berasal dari hasil fotosintesis, serapan unsur hara, dan

air yang diolah melaui proses biosintesis. Nilai berat kering total sekaligus

menunjukkan nilai biomassa suatu tanaman. Semakin besar nilai berat kering

total, maka semakin besar nilai biomassanya. Dengan demikian, semakin besar

nilai biomassa, maka akan semakin baik pula pertumbuhan bibit, hal ini

dikarenakan tanaman selama hidupnya atau selama masa tertentu membentuk

biomassa yang mengakibatkan pertambahan berat dan diikuti dengan pertambahan

ukuran lain yang dapat dinyatakan secara kuantitatif.

Pada penelitian ini, diperoleh nisbah pucuk akar kayu putih dan longkida

berturut-turut adalah 3,89 dan 2,26. Perolehan nilai tersebut masih tergolong baik,

seperti yang dikemukakan oleh Duryea dan Brown (1984) bahwa kemampuan

hidup semai terbaik pada umumnya terjadi pada nisbah pucuk akar 1–3. Kedua jenis, baik kayu putih maupun longkida memiliki nisbah pucuk akar yang tinggi.

(41)

28

tanaman lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan akarnya. Salisbury dan

Ross (1995) menyatakan bahwa lebih besarnya biomassa tajuk dibandingkan

dengan biomassa akar dapat memungkinkan terjadinya pengendalian penyerapan

hara oleh tajuk. Tajuk akan meningkatkan penyerapan hara oleh akar secara cepat

dan menggunakan hara tersebut dalam bentuk produk pertumbuhan (asam nukleat,

protein, dan klorofil). Selain itu juga, tajuk dapat memasok karbohidrat yang

digunakan akar dalam proses respirasi untuk menghasilkan ATP yang digunakan

dalam penyerapan hara.

Banyak unsur di dalam tanah mengalami perubahan bentuk akibat

perubahan reaksi di dalam tanah. Hal ini terkait dengan perubahan tingkat

kelarutan senyawa dari unsur-unsur tersebut di dalam tanah dengan pH

lingkungan di dalam tanah. Oleh karena itu, pH tanah bertanggung jawab terhadap

ketersediaan hara bagi tanaman. Pengaruh pH tanah terhadap ketersediaan N lebih

bersifat tidak langsung, yakni melalui pengaruh pH terhadap aktivitas jasad renik

yang terlibat dalam ketersediaan N. Ketersediaan P paling tinggi berkisar pada pH

5,5–6,8. Jika pH tanah turun di bawah 5,8, P akan bereaksi dengan Fe dan Al membentuk senyawa-senyawa fosfat Fe dan Al yang tidak larut, sehingga tidak

tersedia bagi tanaman (Munawar 2011). Pengaruh pH terhadap ketersediaan K

bersifat tidak langsung, yaitu melalui pengaruh pH terhadap jenis kation dominan

pada kompleks jerapan tanah dan ruang antarlapisan mineral liat. Tanah masam

dengan kompleks jerapan tanah akan didominasi oleh Al3+ tinggi, dan ion Al-hidroksil akan mengumpul pada ruang antarlapisan mineral liat (Havlin et al.

2005 dalam Munawar 2011). Akibatnya, K cenderung akan berada di dalam

larutan tanah, sehingga mudah tersedia bagi tanaman (Munawar 2011).

Kebanyakan unsur hara mikro logam terpengaruh langsung oleh pH tanah.

Jika pH turun, ketersediaan Fe, Mn, Zn, B, dan Cu meningkat. Pada pH kurang

dari 5, Al, Fe, dan Mn menjadi sangat larut bahkan sampai pada konsentrasi

meracun terhadap beberapa jenis tanaman (Munawar 2011). Spesies tumbuhan

secara genetis sangat beragam dalam kemampuannya untuk toleran atau tidak

toleran terhadap unsur tak esensial: timbel, kadmium, perak, aluminum, raksa,

timah, dan sebagainya, dalam jumlah yang meracuni (Woolhouse 1983 dalam

Gambar

Gambar 2   Pertumbuhan tinggi kayu putih dan longkida yang ditanam bersama  rumput tifa pada kondisi genangan air asam tambang
Gambar 3  Kenaikan pH air asam tambang pada setiap unit percobaan
Gambar 5.
Tabel 2  Konsentrasi dan kandungan unsur N, P, K, dan Fe pada kayu putih
+2

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menunjukkan bahwa minyak atsiri daun kayu putih mempunyai aktivitas antibakteri lebih tinggi dari pada minyak atsiri daun bawang putih anggur baik terhadap bakteri S..

Berdasarkan sidik ragam dapat diketahui bahwa perlakuan mikoriza pada kondisi tidak tergenang berpengaruh nyata terhadap berat basah pucuk, berat basah total, berat kering

Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa jenis kayu putih dan longkida dapat bertahan pada kondisi tergenang, dilihat dari pertumbuhan tinggi, diameter, berat basah akar, berat

Strategi yang dilakukan adalah melalui pengkayaan lahan basah buatan dengan memanfaatkan Bakteri Pereduksi Sulfat (BPS) dan biomassa daun kayu putih, baik

Perhitungan koefisien korelasi menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara peningkatan dosis fraksi air ekstrak buah kayu putih terhadap penurunan nafsu makan dan berat badan

Angka ini menunjukkan bahwa struktur pasar minyak kayu putih yang terjadi adalah pasar persaingan sempurna, hal ini diperkuat dengan kondisi di lapang bahwa tidak ada kegiatan

Alat yang digunakan pada pengujian minyak kayu putih adalah gelas ukur. 10 ml (pyrex), lampu uap natrium, neraca analitik (mattle toledo),

Daun kayu putih yang direbus dapat digunakan sebagai obat sakit perut, rematik, nyeri pada tulang dan saraf (neuralgia), radang, usus, diare, batuk, demam, sakit kepala dan sakit