• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor-Faktor Produksi Gula di Pabrik Gula Industri Gula Nusantara, Kecamatan Cepiring, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Faktor-Faktor Produksi Gula di Pabrik Gula Industri Gula Nusantara, Kecamatan Cepiring, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI GULA DI PABRIK

GULA CEPIRING, KABUPATEN KENDAL, JAWA TENGAH

AHMAD ZAKI RAHMAN

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Faktor-Faktor Produksi Gula di Pabrik Gula Cepiring, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah adalah benar karya saya denganarahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013

Ahmad Zaki Rahman

(4)

ABSTRAK

AHMAD ZAKI RAHMAN. Analisis Faktor-Faktor Produksi Gula di Pabrik Gula Cepiring, Kabupaten Kendal Jawa Tengah. Dibimbing oleh RACHMAT PAMBUDY.

Revitalisasi pabrik gula menjadi kunci utama untuk mencapai swasembada gula. PG Cepiring yang baru direvitalisasi pada 2008 menjadi andalan untuk mencapai swasembada gula di Jawa Tengah. Sejak direvitalisasi PG Cepiring belum mampu memenuhi target produksi perusahaan dan pemerintah. Hal ini mengindikasikan adanya inefisiensi dalam operasional pabrik. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh faktor-faktor produksi terhadap produksi gula, serta menganalisis tingkat efisiensi alokatif faktor-faktor produksi gula di PG Cepiring. Analisis data menggunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas yang diolah dengan pendugaan OLS (Ordinary Least Square). Analisis efisiensi alokatif dilakukan dengan menggunakan rasio NPM dan BKM. Berdasarkan hasil analisis, variabel yang berpengaruh nyata terhadap produksi gula adalah raw sugar, rendemen raw sugar, jumlah tebu, dan rendemen tebu di musim giling tebu. Sedangkan diluar musim giling variabel yang berpengaruh adalah rendemen

raw sugar dan raw sugar. Hasil analisis juga memperlihatkan PG Cepiring akan lebih efisien jika mengolah raw sugar dibandingkan dengan mengolah tebu. Kata kunci: Gula, PG Cepiring, Faktor-faktor produksi gula, Efisiensi alokatif

ABSTRACT

AHMAD ZAKI RAHMAN. Factors Analysis Of Sugar Production In Sugar Mills Cepiring, Kendal Regency Central Java. Supervised by RACHMAT PAMBUDY.

Revitalization of the sugar mills is one of the key factor to achieve sugar self-sufficiency. Cepiring Sugar Factory (PG Cepiring) which newly revitalized in 2008 become a mainstay to achieve sugar self-sufficiency in Central Java. Since revitalized, PG Cepiring has not been able to fulfill the production target from companies and the government. This case indicates that the factory has an inefficiencies problems in manufacturing operation. The aim of this research is to analyze the influence of production factors on sugar production, and analyze the allocative efficiency of sugar production factors in PG Cepiring. Data were analyzed using the model of Cobb-Douglas production function that is processed with OLS estimation (Ordinary Least Square). Allocative efficiency analysis performed by using the ratio of NPM and BKM. Based on the analysis, variables that significantly affect to sugar production is raw sugar, raw sugar yield, the amount of sugar cane, and cane yield in sugar cane milling season. On the other side, the most significant variables outside the miling season are yield of raw sugar and raw sugar. The result of this analysis also showed that PG Cepiring would be more efficient to processing raw sugar than processing sugar cane.

(5)
(6)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Agribisnis

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI GULA DI PABRIK

GULA CEPIRING, KABUPATEN KENDAL, JAWA TENGAH

AHMAD ZAKI RAHMAN

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

Judul Skripsi : Analisis Faktor-Faktor Produksi Gula di Pabrik Gula Industri Gula Nusantara, Kecamatan Cepiring, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah

Nama : Ahmad Zaki Rahman NIM : H34090142

Disetujui oleh

Dr Ir Rachmat Pambudy, MS Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Nunung Kusnadi, MS Ketua Departemen

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini berlangsung sejak bulan April sampai Mei 2013 dengan judul Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Gula di Pabrik Gula Cepiring, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Rahmat Pambudy, MS selaku dosen pembimbing, dan Ibu Ir. Harmini, M.Si yang telah banyak memberi saran kepada penulis. Di samping itu terima kasih penulis sampaikan kepada saudari Nora Asfia, Qisthy Nur Fathia, dan Irva Mavrudah. Juga tak lupa, terima kasih penukis ucapkan kepada Bapak Arthur, Saudara Hariatmoko, Bapak Agus, Saudara Suharmono sebagai pihak PT IGN Pabrik Gula Cepiring yang telah memberikan izin penelitian, para karyawan PT IGN, yang telah banyak membantu sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar. Ungkapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada ayah, ibu, seluruh keluarga, serta para sahabat atas doa, semangat, dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini dapat menjadi sumber ilmu dan informasi yang bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Agustus 2013

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN ix

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 6

Tujuan Penelitian 8

Manfaat Penelitian 9

Ruang Lingkup Penelitian 9

TINJAUAN PUSTAKA 9

Pengusahaan Tebu 9

Pengusahaan Pabrik Gula 12

Rendemen 12

Kebijakan Tataniaga Impor Raw Sugar (Gula Mentah) 14 Faktor-Faktor Produksi dan Efisiensi Produksi Gula 15

KERANGKA PEMIKIRAN 18

Kerangka Pemikiran Teoritis 18

Kerangka Pemikiran Operasional 23

METODE PENELITIAN 25

Model Fungsi Produksi Gula 25

Lokasi Penelitian Dan Waktu Penelitian 26

Jenis Dan Sumber Data 26

Pengukuran Variabel 27

Metode Pengolahan dan Analisis Data 29

GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 36

Sejarah Perusahaan 36

Struktur Organisasi Perusahaan 36

Tinjauan Geografi dan Iklim 37

Kemitraan Petani Dengan PG 37

(11)

Agribisnis Gula 41

Pengolahan Tebu dan Raw Sugar 42

Distribusi Gula 46

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI GULA PASIR 47

Pemilihan Model Fungsi Produksi 47

Analisis Elastisitas Produksi 55

Analisis Efisiensi 58

KESIMPULAN DAN SARAN 62

Kesimpulan 62

Saran 63

DAFTAR PUSTAKA 64

(12)

DAFTAR TABEL

1 Luas areal tanam tebu dan produksi gula di Indonesia tahun 1995 – 2011 2 2 Konsumsi, produksi, dan impor gula nasional tahun 1995 – 2010 3

3 Proyeksi sasaran produksi gula 2011 – 2014 3

4 Luas panen tebu, produksi, produktivitas, dan rendemen gula 4 5 Perbandingan rata-rata *) produktivitas gula serta rendemen antar 5

6 Produksi gula di Jawa dan Luar Jawa Tahun 2007 5

7 Beberapa indikator efisiensi teknis PG di Indonesia tahun 2003 6

8 Target dan Realisasi Produksi PG Cepiring 7

9 Jenis dan sumber data penelitian 27

10 Karyawan PT IGN 2012 40

11 Standarisasi mutu Gula Kristal Putih 46

12 Hasil pendugaan fungsi produksi gula dengan bahan baku raw sugar dan

tebu memanfaatkan delapan faktor produksi 48

13 Hasil pendugaan fungsi produksi gula dengan bahan baku Raw Sugar

dan Tebu memanfaatkan enam faktor produksi 50

14 Hasil pendugaan fungsi produksi gula dengan bahan baku raw sugar

dengan memanfaatkan enam faktor produksi 52

15 Hasil pendugaan fungsi produksi gula dengan bahan baku raw sugar

dengan memanfaatkan empat faktor produksi 54

16 Analisis elastisitas produksi 58

17 Rasio Nilai Produk Marjinal (NPM) dengan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) Kegiatan Produksi Gula pada Pabrik Gula Cepiring saat Musim

Giling Tebu 59

18 Rasio Nilai Produk Marjinal (NPM) Dengan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) Kegiatan Produksi Gula Pada Pabrik Gula Cepiring Diluar Musim Giling Tebu 61

DAFTAR GAMBAR

1Grafik Fungsi Produksi 20

2 Return to Scale 21

3 Bagan Kerangka Pemikiran Operasional 24

4 Bagan Pemasaran Gula Pabrik Gula Cepiring 46

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data produksi gula di Pabrik Gula Cepiring per periode tahun 2010 – 2012 67 2 Hasil Analisis Regresi Dengan Memanfaatkan Delapan Faktor Produksi

Saat Musim Giling Tebu 69

(13)

4 Hasil Visualisasi Asumsi Homoskedastisitas Analisis Regresi Dengan

Delapan Variabel 72

5 Hasil Analisis Regresi Dengan Memanfaatkan enam Faktor Produksi 73 6 Hasil Visual Uji Normalitas Analisis Regresi Dengan Enam Variabel 75 7 Hasil Visualisasi Asumsi Homoskedastisitas Analisis Regresi Dengan

Enam Variabel 75

8 Hasil Analisis Regresi Dengan Memanfaatkan enam Faktor Produksi 76 9 Hasil Visual Uji Normalitas Analisis Regresi diluar musim giling Dengan

Enam Variabel 78

10 Hasil Visualisasi Asumsi Homoskedastisitas Analisis Regresi diluar

musim giling Dengan Enam Faktor Produksi 78

11 Hasil Analisis Regresi Dengan Memanfaatkan empat Faktor Produksi

diluar Musim Giling Tebu 79

12 Hasil Visual Uji Normalitas Analisis Regresi diluar musim giling

Dengan Empat Variabel 81

13 Hasil Visualisasi Asumsi Homoskedastisitas Analisis Regresi diluar

musim giling Dengan Enam Faktor Produksi 81

14 Bagan Proses Produksi PG Cepiring 82

15 Struktur Organisasi PG Cepiring 83

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kemandirian pangan merupakan hal yang penting bagi negara berkembang yang berpenduduk besar dengan daya beli yang masih rendah, seperti Indonesia. Hasil sensus BPS pada 2010 yang menyatakan jumlah penduduk Indonesia mencapai 237 641 326 orang menjadi titik kritis ketika kebutuhan pokok negara tidak dapat dipenuhi secara mandiri. Kemandirian pangan tersebut utamanya harus dipenuhi untuk bahan-bahan pangan pokok yang menjamin ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan masyarakat. Salah satu bahan pangan pokok utama yang memegang peran penting adalah gula. Sebagaimana tercermin dari kebijakan pemerintah yang menetapkan gula sebagai salah satu dari sembilan bahan pokok kebutuhan masyarakat1.

Gula adalah hasil pengolahan tebu yang merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Dengan luas areal sekitar 425 ribu ha pada periode 2007-2011, agribisnis gula berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu petani dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat mencapai 1.3 juta orang (Mardianto 2005). Kedudukan gula sebagai bahan pemanis utama di Indonesia belum dapat digantikan oleh bahan pemanis lainnya. Hal ini disebabkan gula masih merupakan bahan pemanis dominan yang digunakan baik oleh rumah tangga maupun industri makanan dan minuman.

Setelah 83 tahun lamanya mengalami berbagai pasang-surut, pada periode 1995-2013, industri gula Indonesia menghadapi berbagai masalah yang cukup kompleks. Akibatnya, kinerja industri gula Indonesia mengalami penurunan. Penurunan produksi gula tersebut setidaknya disebabkan oleh: 1) Penurunan areal dan peningkatan proporsi areal tebu tegalan; 2) penurunan produktivitas lahan; dan 3) penurunan efisiensi di tingkat pabrik (Susila 2005). Data luas areal dan produksi gula dari tahun 1995-2011 disajikan dalam Tabel 1.

Pertumbuhan rata-rata produksi gula di Indonesia adalah 0,71 persen per tahun. Produksi gula mengalami penurunan pada tahun 1998-2003 yang disebabkan penurunan luas areal tanaman tebu akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Hal tersebut menyebabkan petani tebu beralih ke komoditas lain yang lebih menguntungkan secara ekonomi, sehingga pabrik gula kekurangan pasokan tebu untuk berproduksi.

Keadaan tersebut semakin diperburuk dengan produktivitas tebu yang cenderung tetap bahkan menurun. Rendahnya produktivitas tebu disebabkan oleh rendemen yang dihasilkan tebu. Ketidakpaduan jadwal tanam dan tebang antara petani tebu dan PG serta inefisiensi di tingkat pabrik turut berperan dalam hal ini. Selain itu umur pabrik gula yang sudah tua terutama di pulau jawa menyebabkan produksi gula pada pabrik-pabrik tersebut tidak efisien.

1

(15)

2

Tabel 1 Luas areal tanam tebu dan produksi gula di Indonesia tahun 1995 – 2011a Tahun Luas areal

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2013 (Diolah)

Kekurangan gula dalam negeri mendorong pemerintah untuk melakukan impor gula. Impor gula semakin meningkat sejak tahun 2006-2010 dengan rata-rata tumbuh 19.63 persen per tahun. Membiarkan impor terus meningkat berarti membiarkan industri gula terus mengalami kemunduran yang akan menimbulkan masalah bagi Indonesia. Pertama, industri gula melibatkan sekitar 1.3 juta petani dan tenaga kerja (Mardianto 2005). Kedua, kebangkrutan industri gula juga berkaitan dengan aset yang sangat besar dengan nilai sekitar Rp 50 triliun . Ketiga, gula merupakan kebutuhan pokok yang mempunyai pengaruh langsung terhadap inflasi (Pakpahan 2000). Selanjutnya, beban devisa untuk mengimpor akan terus meningkat. Tabel 2 menunjukan bahwa produksi gula lebih rendah dari konsumsi gula.

Keadaan dan kenyataan bahwa Indonesia menjadi negara pengimpor gula utama di dunia cukup memprihatinkan. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, pemerintah berupaya meningkatkan produksi dalam negeri dengan mencanangkan target swasembada gula2.

Pemerintah berupaya untuk mewujudkan swasembada gula di Indonesia yang akan ditempuh melalui tiga tahap, yaitu: 1) Tahap Jangka Pendek (sampai dengan 2009), pencapaian swasembada ditujukan untuk memenuhi konsumsi langsung rumah tangga (swasembada gula konsumsi), sedangkan kebutuhan gula industri sepenuhnya dipasok dari gula impor. 2) Tahap Jangka Menengah (2010-2014), pada tahap ini produksi gula dalam negeri sudah dapat memenuhi konsumsi gula dalam negeri, baik untuk konsumsi langsung rumah tangga, industri, dan sekaligus dapat menutup neraca perdagangan gula nasional

2

Bustanul Arifin.2008. Ekonomi Swasembada Gula Indonesia.

(16)

3 (swasembada gula nasional). 3) Tahap Jangka Panjang (swasembada gula berdayasaing) mulai tahun 2015 sampai dengan 2025, difokuskan pada modernisasi industri berbasis tebu melalui pengembangan industri produk pendamping tebu (PPGT) yang memiliki nilai tambah (Direktorat Jenderal Perkebunan 2006).

Tabel 2 Konsumsi, produksi, dan impor gula nasional tahun 1995 – 2010a

Tahun Konsumsi

Sumber: Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2011 (diolah)

Guna mendukung swasembada gula, pemerintah melaksanakan program revitalisasi Industri Gula. Revitalisasi industri gula BUMN dan BUMS 2009-2014 diperlukan guna mendukung pencapaian produksi gula pada 2014 sebanyak 3.41 juta ton dari total kebutuhan sebanyak 5.7juta ton. Tabel 3 menjelaskan sasaran produksi gula 2011-2014.

Tabel 3 Proyeksi sasaran produksi gula 2011 – 2014a

a

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010

Upaya revitalisasi ini mengalami berbagai masalah dalam perjalanannya. Menurut Susila (2005) Setidaknya ada 3 masalah utama yang memiliki potensi untuk menghambat pencapaian target revitalisasi PG, yaitu; 1) Keterbatasan bahan baku dalam hal ini tebu, 2) distorsi pasar gula dalam negeri dan luar negeri yang melemahkan daya saing industri gula, dan 3) Rendahnya efisiensi PG.

Masalah pertama terjadi karena menurunnya tingkat rendemen dan liberalisasi pertanian atas desakan IMF (International monetary fund). Disatu sisi petani memiliki keleluasaan untuk memilih tanaman yang akan ditanam, namun disisi lain hal ini menyebabkan konversi lahan kepada tanaman lain yang lebih menguntungkan.

(17)

4

Tabel 4 Luas panen tebu, produksi, produktivitas, dan rendemen gula nasional tahun 2005-2010a

Berbagai kebijakan pemerintah dalam agribisnis gula pasca krisis 1998 setidaknya mampu memulihkan kondisi pergulaan nasional. Luas areal pertanaman tebu di Indonesia antara tahun 2007-2010 kembali seperti sebelum krisis yang berkisar antara 420 – 430 ribu ha/tahun (Tabel 4). Demikian halnya dengan produktivitas gula hablur dan rendemen yang masing-masing ada pada kisaran 5 ton/ha dan 7 persen. hal ini tidak lepas dari pengaruh kebijakan harga lelang dan bongkar ratoon yang dilaksanakan. Namun hal ini masih jauh dari target swasembada pada 2014. Target pemerintah pada 2014 luas areal tebu mencapai sekitar 767 ribu ha, rendemen 8.5 persen, dan produktivitas hablur 7.4 ton/ha.

Setelah keterbatasan bahan baku masalah inefisiensi PG merupakan suatu hal yang kritis. Perbandingan produktivitas tebu dan produksi gula antara negara dunia pada Tabel 5 berikut bisa menjadi suatu indikasi tidak efisiennya PG di Indonesia. Masalah inefisiensi pabrik tersebut baik dari sisi manajemen, teknologi, sumber daya manusia, dan lain-lain. Proses produksi di pabrik ini berpotensi menghilangkan 5-10 persen gula kristal putih (Arkeman et al. 2002).

Padahal rata-rata produktivitas tebu Indonesia relatif tinggi, mendekati produktivitas Amerika jika dibandingkan dengan negara penghasil gula di Asia lainnya. Namun dalam rata-rata rendemen dan produktivitas gula, Indonesia menempati posisi terendah. Rendahnya rendemen gula yang bersumber dari pabrik gula yang tidak efisien mempunyai kontribusi 25-40 persen terhadap berkurangnya hasil produksi (Lembaga Riset perkebunan Indonesia 2004). Sehingga meningkatkan efisiensi di pabrik gula merupakan suatu keharusan.

Besarnya proteksi yang diberikan pemerintah terhadap industri gula telah dijadikan tameng untuk menutupi ketidak-efisienan PG, karena petani tebu tidak sepenuhnya merasakan kenaikan pendapatan dari proteksi yang diberikan oleh pemerintah. Produktivitas dan rendemen tebu yang diterima petani dari PG umumnya masih rendah terutama untuk wilayah jawa, dan sampai saat ini masih menjadi faktor utama belum bersinerginya hubungan antara petani tebu dan PG.

(18)

5 biaya produksi gula/ton pada PG berskala kecil jauh lebih tinggi dibandingkan dengan PG berskala besar atau bermesin relatif baru.

Tabel 5 Perbandingan rata-rata *) produktivitas gula serta rendemen antar negara produsena

Negara Rata-rata

produktivitas tebu (ton/ha)

Rata-rata rendemen (%)

Rata-rata produktivitas gula

(ton/ha)

Brazil 68.87 14.00 6.80

Jepang 64.09 11.53 7.41

Thailand 56.76 10.97 6.24

China 59.16 11.84 7.00

India 69.33 10.90 7.56

Philipina 60.70 8.26 5.00

Indonesia 70.13 7.05 4.95

USA 78.44 11.61 9.11

*)rata-rata dihitung dari tahun 1996/1997 sampai 2002/2003

a

Sumber : Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan, 2003 (data diolah)

Menurut data pada Tabel 6 produktivitas PG di luar Jawa relatif lebih tinggi daripada PG di Jawa. Keadaan tersebut khususnya terjadi pada PG yang dikelola oleh swasta dengan penguasaan lahan HGU (Hak Guna Usaha) yang memadai. Sebagian besar (75%) dari pabrik gula tersebut memiliki kapasitas giling lebih dari 4 000 TCD (P3GI). Pabrik Gula yang terdapat di luar Jawa tersebut mampu meningkatkan efisiensi dengan menerapkan pola pengelolaan Budidaya dan penggilingan dalam satu sistem manajemen yang sama serta mampu menerapkan peralatan modern pada kegiatan produksinnya.

Tabel 6 Produksi gula di Jawa dan Luar Jawa Tahun 2007a

Keterangan Jawa Luar Jawa Indonesia

Jumlah Pabrik Gula 46 12 58

Luas Areal (Ha) 248 398 148 884 397 282

Total Tebu (Ton) 19 918 300 10 325 660 30 243 960

Rendemen (%) 7.31 8.25 7.78

Produksi Gula (Ton) 1 455 800 852 169 2 307 969

Rata-rata produksi gula (Ton) 31 648 71 014 39 793

a

Sumber: Studi Konsolidasi Pergulaan Nasional (2007)

(19)

6

Tabel 7 Beberapa indikator efisiensi teknis PG di Indonesia tahun 2003a

Komponen Efisiensi PG (%) Efisiensi Normal (%)

Mill extraction (ME) 84 – 85 95

Boiling house recovery (BHR) 70 – 80 90

Overall recoverry (OR) 59 – 79 85

Pol tebu 8 – 11 14

Rendemen 5 - 8.5 12

a

Sumber : Studi Konsolidasi Pergulaan Nasional. Kerjasama Ditjen Bina Produksi Perkebunan dengan P3GI

Berbagai masalah dalam pergulaan nasional tersebut menjadi tantangan bagi industri gula nasional yang salah satunya adalah PT IGN. Sebagai perusahaan

joint venture antara pemerintah dan swasta yang baru saja direvitalisasi pada tahun 2008 dituntut untuk terus berkembang dan meningkatkan produktivitasnya. Sebagai pabrik yang baru direvitalisasi, PG Cepiring di bawah PT IGN memiliki potensi untuk mengoptimalkan penggunaan sumberdayanya, oleh karena itu penting untuk meningkatkan efisiensi kegiatan produksi gula di PG Cepiring milik PT IGN yang diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi industri gula nasional khususnya untuk wilayah Jawa Tengah. Langkah tersebut dapat diawali dengan menganalisis faktor-faktor produksi gula sehingga mengetahui kekurangan atau kelebihan dalam penggunaan faktor produksi yang akan mampu meningkatkan produktivitas pabrik gula. Sehingga dalam jangka pnjang akan mampu berkembang dan memberikan kesejahteraan bagi petani.

Perumusan Masalah

Industri gula merupakan salah satu industri perkebunan tertua dan terpenting yang ada di Indonesia. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia pernah mengalami era kejayaan industri gula pada tahun 1930-an dimana jumlah pabrik gula yang beroperasi adalah 179 pabrik gula, produktivitas sekitar 14.8 persen dan rendemen mencapai 11.0 persen - 13.8 persen. Dengan produksi puncak mencapai sekitar 3 juta ton, dan ekspor gula pernah mencapai sekitar 2.4 juta ton. Hal ini didukung oleh kemudahan dalam memperoleh lahan yang subur, tenaga kerja murah, prioritas irigasi, dan disiplin dalam penerapan teknologi (Simatupang et al. 2000).

Industri gula Indonesia sekarang hanya didukung oleh 58 pabrik gula (PG) aktif, 46 PG dikelola oleh BUMN dan 12 PG dikelola oleh swasta. Luas areal tebu yang dikelola umumnya terkonsentrasi di Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, dan Sulawesi Selatan (Studi Konsolidasi Pergulaan Nasional P3GI 2006).

Kondisi pergulaan Indonesia saat ini tidak terlepas dari beragam permasalahan. Permasalahan tersebut berasal dari sisi onfarm, pabrik, dan sosial ekonomi. Hal ini juga yang terjadi di Jawa, sejak tahun 1993 industri gula di Jawa mengalami penurunan secara besar-besaran. Luas areal menurun sebesar 32.62 persen dari 310.2 ribu hektar menjadi 209 ribu hektar dan produktivitas menurun sebesar 27.33 persen dari 6.22 ton/hektar menjadi 4.52 ton/hektar (Arkeman et al.

2002).

(20)

7

dekade terakhir, kinerja PG cenderung menurun. Disamping disebabkan oleh umur pabrik yang sudah tua, kapasitas dan hari giling PG cenderung tidak mencapai standar (Dewan Gula Indonesia 2012). Sebagai contoh, PG yang ada di Jawa mempunyai kapasitas giling 23.8 juta ton tebu per tahun (180 hari giling). Bahan baku yang tersedia hanya sekitar 12.8 juta ton sehingga PG yang berada di Jawa mempunyai idle capacity sekitar 46.2persen. Selanjutnya, PG diluar Jawa yang mempunyai kapasitas 14.2 juta ton, hanya memperoleh bahan baku sebanyak 8.6 juta ton, sehingga idle capacity mencapai 39.4persen (Dewan Gula Indonesia 2012). Hal ini memberikan indikasi bahwa PG yang berada di Jawa perlu melakukan konsolidasi dan rehabilitasi.

Perusahaan pabrik gula berbeda dengan perusahaan industri non pertanian, pabrik gula pada umumnya sangat tergantung pada ketersediaan bahan baku tebu (Suratiyah et al. 2004). Suatu sektor industri dapat berjalan dengan baik dan bertambah besar bila nilai tambah, input, maupun outputnya meningkat. Untuk dapat meningkatkan output tersebut, faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi pabrik gula harus dimanfaatkan secara optimal.

Salah satu produsen gula di pulau Jawa adalah PT Industri Gula Nusantara yang mengelola PG di Cepiring Kendal. Semakin tingginya konsumsi gula masyarakat merupakan peluang bisnis sekaligus tantangan bagi pabrik gula. Peluang untuk meningkatkan produksi guna untuk memenuhi permintaan masyarakat dan tantangan terhadap peningkatan jumlah perusahaan yang bergerak dalam bidang yang sama. Dengan kata lain tingkat persaingan menjadi lebih tinggi. PG Cepiring juga harus bersaing untuk mendapatkan sumberdaya terbaik, baik persaingan dalam mendapatkan sumber bahan baku, tenaga kerja, maupun bahan pembantu yang digunakan dalam kegiatan produksi gula.

Tabel 8 Target dan Realisasi Produksi PG Cepiringa

Uraian 2010 2011 2012

Target Realisasi Target Realisasi Target Realisasi Jumlah

Sumber : PT IGN Pabrik Gula Cepiring

(21)

8

yang sangat distortif juga turut melemahkan dayasaing PG Cepiring. indikator efisiensi lainnya dapat dilihat dari perbandingan antara target dan realisasi pada Tabel 8.

Belum optimalnya PG Cepiring dapat dilihat dari perbandingan target dan realisasi pada Tabel 8. Dari tabel tersebut dapat diketahui jumlah tebu yang diperoleh pada tahun 2012 tidak mencapai target. Jumlah raw sugar tahun 2011 dan gula kristal putih pada tahun 2012 juga mengindikasikan inefisiensi pabrik. Padahal pihak perusahaan telah menetapkan target berdasarkan batas bawah yang bisa dicapai.

Jika dilihat tercapainya kapasitas terpasang pabrik. PG Cepiring memiliki kapasitas giling 22 423 ton per tahun yang masih lebih rendah dibandingkan kapasitas giling rata-rata pabrik gula di Jawa yaitu 31 648 ton per tahun. Hal tersebut disebabkan jumlah pasokan tebu yang masih dibawah kapasitas giling pabrik maupun tingkat rendemen yang masih rendah dimana data pada 2010 dan 2011 tingkat rendemen PG masing-masing adalah 5.37 persen, dan 5.79 persen, serta pada 2012 sebesar 7.05 persen. Angka ini masih dibawah angka rendemen target pada 2010-2011, sedangkan pada 2012 masih dibawah angka rata-rata nasional yaitu 7.35 persen.

Jika PG PT IGN mampu memanfaatkan faktor-faktor produksinnya secara optimal maka akan dapat mencapai tujuan perusahaan untuk memperoleh profit yang maksimal atau setidak-tidaknya terhindar dari kerugian (normal profit) dan mensejahterakan petani. Namun demikian kendala yang dihadapi oleh pabrik gula ini semakin berat karena berkurangnya sumberdaya yang tersedia. Oleh karena itu, perlu ditelaah mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula serta efisiensi penggunaannya agar target PG dalam memenuhi kapasitas giling terpasang dapat terwujud. Dengan mengetahui tingkat efisiensi penggunaan faktor produksi, maka perusahaan akan memperoleh gambaran mengenai faktor-faktor produksi yang menghambat pencapaian kondisi efisien dalam kegiatan produksi gula. Sehingga dapat digunakan sebagai salah satu alat pertimbangan dalam melakukan evaluasi terhadap kegiatan produksi perusahaan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan dan mampu bersaing dengan produsen lain.

Oleh karena itu salah satu hal yang sangat penting adalah efisiensi produksi berdasarkan pada hasil analisis kuantitatif, dengan kata lain sangat diperlukan analisis untuk menjawab beberapa pertanyaan:

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi gula di Pabrik Gula PT. IGN Cepiring?

2. Apakah kegiatan produksi gula di Pabrik Gula PT. IGN Cepiring dijalankan secara efisien?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula di Pabrik Gula

PT. IGN Cepiring

(22)

9

Manfaat Penelitian

1. Bagi pihak perusahaan, hasil penulisan penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan masukan dan pemikiran dalam pengambilan keputusan untuk merumuskan strategi dalam meningkatkan produksi dan efisiensinnya di dalam mengembangkan PG.

2. Bagi pihak perusahaan atau PG lain, hasil penulisan penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan masukan dan pemikiran dalam pengambilan keputusan untuk merumuskan strategi untuk meningkatkan produksi dan efisiensi di dalam mengembangkan PG terutama di wilayah Jawa.

3. Bagi penulis, hasil penulisan penelitian ini sebagai aplikasi dari ilmu yang diperoleh selama masa perkuliahan.

4. Bagi peneliti lain, hasil penulisan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya tentang upaya pengembangan pabrik gula.

5. Bagi Pemerintah, penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi dan bahan masukan dalam strategi pengembangan pabrik gula dan revitalisasi pabrik gula di wilayah lain. Terutama terkait dengan kebijakan untuk meningkatkan efisiensi produksi gula di pabrik gula.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini dibatasi hanya dalam pabrik dan produksi gula tanpa membahas dan menganalisis hasil sampingan produksi gula. Penelitian ini hanya menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula Pabrik Gula Cepiring PT IGN pada saat musim giling dan diluar musim giling. Variabel yang dibahas saat musim giling ada delapan variabel bebas. Sedangkan saat diluar musim giling variabel yang digunakan ada enam. Selain itu penelitian juga menganalisis efisiensi produksi secara alokatif dengan menggunakan rasio NPM (Nilai produk Marjinal) dan BKM (Biaya Korbanan Marjinal) sehingga tidak semua kombinasi optimal dari input diketahui. Penelitian ini menggunakan fungsi Cobb Douglas dengan metode pendugaan OLS (Ordinary Least Square)

yang diolah menggunakan software SPSS 20.

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data perusahaan terutama produksi dari masa giling tahun 2010 – 2012 (per periode). Produksi gula yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gula konsumsi atau gula putih, dan tidak mencakup hasil sampingan produksi seperti tetes. Selain itu penelitian ini hanya mengenai produksi gula pada bagian industri pengolahan atau off-farm dan pengaruh kebijakan tataniaga impor gula mentah. Penelitian ini tidak membahas pengaruh kebijakan pemerintah lainnya terhadap produksi gula pabrik.

TINJAUAN PUSTAKA

Pengusahaan Tebu

Menurut Supriyadi (1992) tanaman tebu (Saccharum Officinarum L)

(23)

10

kehidupan tanaman tebu dimulai dari fase perkecambahan, fase pertunasan, fase pemanjangan batang, fase kemasakan dan diakhiri dengan fase kematian3 komoditas tebu di Indonesia.

Pada masa penjajahan Belanda, di tahun 1930 Indonesia pernah menjadi negara pengekspor gula terbesar kedua di Dunia setelah Kuba (Mubyarto 1984). Pada saat itu Indonesia mampu memproduksi gula sebesar 3 juta ton dengan luas lahan sekitar 200 000 hektar, dan rendemen mencapai 13.8 persen (Mubyarto, 1984 dan Sabrina 2011). Keberhasilan tersebut salah satunnya bersumber pada kemudahan pabrik-pabrik gula dalam memanfaatkan lahan yang subur untuk pertanaman tebu dengan sistem sewa paksa dari petani. Kemudahan itu dijamin dalam UU Agraria 1870 (Agrarische Wet 1870) dan UU sewa tanah (Grondhuur Ordonantie 1918).

Sistem pola tanam tebu di Indonesia setidaknya mengalami empat kali pergantian. Pertama, pada saat pemerintahan Hindia Belanda sistem pola tanam yang berlaku adalah glebagan atau perguliran komoditas yang ditanam. Kedua, pada saat pemerintahan Presiden Soeharto berlaku sistem Tebu Rakyat Intensif (TRI) dengan Inpres No. 9 Tahun 1975 (Asnur, 1999 dan Mardianto dkk, 2005). Ketiga, berlakunya Inpres No. 5 Tahun 1998 petani bebas menentukan jenis komoditas yang akan ditanamnya, yang memberikan keuntungan bagi petani (Pakpahan, 2003). Keempat, sistem pola tanam yang berlaku sampai saat ini adalah pola tanam tetap (Nuryanti, 2007).

Ketika transisi kekuasaan dari Belanda ke Indonesia banyak pabrik-pabrik gula yang dinasionalisasi. Walaupun pemerintah telah mengambil alih pabrik-pabrik gula tersebut tetapi sistem sewa tetap digunakan, yaitu pabrik-pabrik gula menyewa lahan milik petani lalu mengusahakannya sendiri. Dengan sistem sewa tersebut petani hanya memperoleh pendapatan dari sewanya dan petani tidak memperoleh kesempatan untuk meningkatkan pendapatannya.

Berdasarkan hal-hal di atas, maka pada tahun 1975 dikeluarkan Inpres No.9 Tahun 1975 mengenai Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalamnya dapat diringkas sebagai berikut:

1) Mengganti sistem sewa yang biasa dijalankan oleh pabrik gula dengan sistem tebu rakyat. Petani melakukan usaha budidaya di lahannya sendiri dengan menerapkan teknologi yang telah dianjurkan. Dalam pengelolaan usahatani tebu dilakukan dalam satuan kelompok hamparan. Sedangkan pabrik gula berperan sebagai perusahaan pengelola, yaitu bertanggung jawab secara operasional dan sebagai pimpinan kerja pelaksana budidaya tanaman tebu diwilayah kerjanya, serta menyusun perencanaan areal, melaksanakan bimbingan teknis, menyediakan dan menyalurkan bibit.

2) Melaksanakan program intensifikasi tebu dengan sistem BIMAS (Bimbingan Masyarakat).

3) Mendudukkan pabrik gula sebagai penggiling tebu yang dihasilkan oleh rakyat hingga menjadi gula pasir dengan sistem bagi hasil.

Program TRI ini sebenarnya telah berhasil meningkatkan luas areal tebu,yaitu mencapai 428 000 hektar pada tahun 1994. Namun perluasan luas areal tanaman tebu tidak diikuti dengan peningkatan produktivitas karena sebagian besar perluasan areal tebu dilakukan di lahan kering tanpa irigasi. Kemudian kebijakan ini dihapuskan pada tahun 1997 menjadi Inpres No. 5 Tahun 1998,

3

(24)

11 petani bebas menentukan jenis komoditas yang akan ditanamnya. Hal ini dilakukan untuk mengikuti persyaratan IMF (International Monetary Fund)

sehingga menurunkan luas areal produksi yang telah ada. Akibatnya produksi tebu yang dihasilkan juga rendah dan menurun.

Pada tahun 2002, Departemen Pertanian menerapkan Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional, yang meliputi kegiatan rehabilitasi atau peremajaan perkebunan tebu (bongkar ratoon). Program ini bertujuan memperbaiki komposisi tanaman dan varietas sehingga produktivitasnya mendekati produktivitas potensial. Selain itu, program ini diperkirakan dapat memberikan peningkatan hasil pada tahun-tahun mendatang. Hal ini disebabkan oleh adanya pergantian ratoon seluas 7000 hektar, peningkatan produktivitas lahan dengan adanya penggunaan bibit berkualitas, dan peningkatan modal usahatani tebu melalui Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E), serta pengendalian harga melalui implementasi kebijakan tata niaga pergulaan nasional. Selain itu bongkar ratoon ini diharapkan dapat meningkatkan tingkat rendemen tebu nasional dari 7.6 persen pada tahun 2007 menjadi delapan persen di tahun 2008. Sehingga pada tahun 2008 ditargetkan akan terjadi peningkatan produksi gula nasional menjadi sebesar 2.6 juta – 2.7 juta ton4. Pemerintah sendiri menargetkan Indonesia mampu swasembada Gula konsumsi dan industri mencapai 5.2 juta ton pada 2014.

Dalam mekanisme pembentukan harga lewat dorongan dari APTRI telah disepakati formula penentuan harga untuk petani, yaitu HPT=HT+a(HL-HT); dimana HPT=harga penerimaan petani, HT= Harga Talangan atau HPP, a=koefisien bagi hasil, dan HL=harga lelang (Khudori 2005). Negosiasi yang dilakukan APTRI termasuk dalam menentukan besarnya koefisien bagi hasil 50-60 persen untuk petani dari selisih HL dengan HT. Sehingga apabila harga gula lebih rendah dari harga lelang maka para investor yang menanggung resiko kerugiannya.

Penelitian terdahulu oleh Dita dan Waridin (2012) mengenai usahatani tebu di PT.IGN Cepiring Kendal menjelaskan bagaimana pengusahaan tebu di PT. IGN Cepiring Kendal. Sampel yang diambil adalah petani yang bermitra dengan PG yang berjumlah 52 Orang dari 6 Kabupaten di Jawa Tengah. Karekteristik pengambilan sampel didasarkan kepada empat karakteristik yaitu, usia, luas lahan, lama bertani tebu, dan pendidikan. Penelitian ini membagi Usahatani tebu di PT IGN menjadi 2 yaitu petani tebu dengan kontrak giling dan petani tebu dengan kontrak kredit.

Dalam pembahasannya penelitian tersebut menghasilkan empat hal. Pertama, biaya usahatani petani tebu yang memiliki kontrak penggilingan ternyata lebih besar dibandingkan dengan petani tebu yang memiliki kontrak kredit. Kedua, penerimaan petani tebu dengan kontrak kredit lebih besar dibandingkan dengan petani tebu yang memiliki kontrak penggilingan, begitu pula pendapatannya. Ketiga, terdapat perbedaan yang signifikan antara pendapatan atau laba bersih yang diperoleh petani tebu yang memiliki kontrak kredit dengan petani tebu yang memiliki kontrak penggilingan. Keempat, kemitraan antara petani tebu dengan PT IGN Cepiring lebih menguntungkan apabila membuat kontrak kredit.

4

(25)

12

Hasil penelitian Dita dan Wardani dapat menjadi salah satu rumusan strategi pada penelitian ini jika terjadi Inefisiensi terkait kurangnya pasokan tebu. Sehingga langkah yang diambil dari penelitian efisiensi produksi PG bisa dikombinasikan dengan penelitian yang terlebih dahulu dilakukan mengenai usahatani PG Cepiring.

Pengusahaan Pabrik Gula

Sejak tahun 1975 pabrik gula telah dinyatakan secara resmi sebagai usaha pemroses atau pengolah tebu menjadi gula pasir. Pabrik gula juga berperan sebagai pembimbing petani dalam budidaya tebu. Kerja sama tersebut dilakukan untuk memperoleh jumlah dan kualitas tebu sesuai harapan. Sebagai imbalan atas

pemrosesan tebu menjadi gula pasir, pihak pabrik gula menerima “ongkos giling”yang dinyatakan dalam persen dari keseluruhan hasil giling. Sistem pembagian hasil ini ditetapkan oleh pemerintah. Prinsip dasar pembagian adalah semakin tinggi rendemen tebu yang digilingkan semakin tinggi pula persentase bagian yang diterima petani. Dengan demikian, semakin banyak hasil gula semakin rendah ongkos gilingnya. Walaupun telah beberapa kali dilakukan peninjauan, ketentuan bagi hasil ini tidak banyak berubah. Ketentuan bagi hasil yang tercantum dalam SK Mentan No.03/SK/Mentan/BIMAS/VI/187 menyatakan bahwa:

1) Petani tebu akan mendapatkan 62 persen gula yang dihasilkan dari tebu yang nilai rendemennya sampai dengan delapan persen, bila rendemen melampaui delapan persen maka petani mendapatkan tambahan hasil.

2) Petani tebu akan mendapatkan bagian tetes sebanyak 4,5 kilogram untuk setiap kuintal tebu yang digilingkan.

Berdasarkan kepemilikannya sebagian besar pabrik gula di Indonesia adalah BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan sisanya adalah BUMS (Badan Usaha Milik Swasta). Pada tahun 1930, Indonesia memiliki 179 pabrik gula (PG). Saat ini Indonesia hanya memiliki 62 pabrik gula yang aktif berproduksi dengan total kapasitas mencapai 200 000 TCD. Pabrik-pabrik tersebut mampu memroduksi 2.3 juta ton gula dari total kapasitas produksi 3.45 juta ton. Kebutuhan gula yang tidak mampu dipenuhi dari produksi domestik diperoleh dari impor gula yang berasal dari Thailand, Brazil, dan Amerika (Dewan Gula Indonesia, 2012).

Pada umumnya pabrik-pabrik yang ada beroperasi dibawah kapasitas giling dan memiliki indikasi inefisiensi. Hal ini terutama terjadi pada PG yang berada di Jawa dan dikelola BUMN. Kerugian akibat inefisiensi ini diperkirakan mencapai 4.2 Triliun5. Sebagian besar PG mempunyai kapasitas giling yang kecil (kurang dari 3 000 TCD) karena mesin yang sudah tua serta tidak mendapat perawatan yang memadai yang menyebabkan biaya produksi per kilogram gula tinggi.

Pemenuhan bahan baku pabrik gula di Indonesia dapat di tempuh dengan 2 cara yaitu melalui pengusahaan tebu dan impor gula mentah. Khusus untuk pemenuhan bahan baku melalui impor telah diatur oleh pemerintah melalui

5

(26)

13 Keputusan (SK 643/2002) yang dikeluarkan oleh menteri perindustrian dan perdagangan, Rini Soewandi pada 2002. Pada 2004, memperindag penggantinya Mari E. Pangestu menyempurnakan menjadi SK 527/2004. Komponen utama kebijakan tersebut menyangkut kuota impor, hingga pengaturan distribusi gula impor. SK inilah yang menjadi acuan dalam impor gula yang berlaku hingga sekarang.

Pada mulanya Berdirinya PT IGN Cepiring ditujukan untuk membantu pemerintah dalam Program Swasembada Gula di Jawa Tengah. Dimana konsumsi gula Jawa tengah sebesar 360 000 ton dan produksi gula 260 000 (tidak termasuk PT IGN). Dengan berdirinya PT. IGN diproyeksikan produksi gula di Jawa Tengah mencapai 380 000 ton. PT IGN Cepiring diperkirakan mampu menyerap produksi petani di sekitar lokasi kurang lebih 3 200 ha tanaman tebu dan tenaga kerja yang mampu diserap sekitar 6 000 orang (Suprayoga 2007). Kapasitas giling tebu sebesar 1 800 ton per hari.

Kenyataan yang ada di lapangan, kapasitas giling maupun penyerapan produksi tebu PT IGN Cepiring belum terpenuhi oleh hasil panen tebu lokal. Berdasarkan data dari PT IGN Cepiring (2012), PT IGN Cepiring hanya menyerap produksi tanaman tebu dari lahan seluas 2 471 ha pada tahun 2011. Luas areal tersebut belum mampu memaksimalkan kinerja PT IGN Cepiring yang kapasitas gilingnya sebesar 1 800 ton per hari. Keenganan petani untuk melakukan usahatani tebu merupakan salah satu penyebab kapasitas giling PT IGN Cepiring belum terpenuhi.

Pada penelitian ini analisis efisiensi produksi diperlukan untuk mengetahui apakah benar pabrik gula PT.IGN telah berproduksi secara optimal. Diharapkan hasil tersebut akan memotivasi petani untuk menanam tebu lebih baik dengan kondisi pabrik yang semakin baik.

Rendemen

Rendemen tebu adalah kandungan gula di dalam batang tebu yang dinyatakan dengan persen. Rendemen tebu yang ideal sekitar 7 – 9 persen. Rendemen tebu berpengaruh terhadap produktivitas, dengan semakin kecilnya rendemen akan menyebabkan produktivitas semakin menurun.

Penyebab kecilnya rendemen tebu adalah (a) kurang terpadunya jadwal tanam dan panen, (b) lamanya perjalanan dari kebun ke pabrik pengolahan, (c) kondisi mesin yang sudah tua/usang. Berkaitan dengan rendemen terdapat tiga macam rendemen, yaitu:

1. Rendemen Contoh

Rendemen ini merupakan contoh yang dipakai untuk mengetahui apakah suatu kebun tebu sudah mencapai masak optimal atau belum. Rendemen contoh adalah untuk mengetahui gambaran suatu kebun tebu berapa tingkat rendemen yang sudah ada. Melalui rendemen contoh ini akan diketahui kapan saat tebang yang tepat dan kapan tanaman tebu mencapai tingkat rendemen yang optimal.

(27)

14

kemudian dikalikan dengan faktor rendemen, maka akan diperoleh tingkat rendemennya. Rumusnya adalah sebagai berikut:

Rendemen = Nilai Nira x Faktor Rendemen

Dari hasil analisis rendemen contoh ini, dapat diketahui tingkat rendemen tebu saat ini. Faktor-faktor lain yang perlu diamati adalah faktor kemasakan, faktor koefisien daya tahan, dan faktor koefisien peningkatan.

2. Rendemen Sementara

Perhitungan rendemen sementara perlu dilaksanakan untuk menentukan bagi hasil gula, tetapi sifatnya masih sementara. Sedangkan penentuan bagi hasil yang benar akan diperhitungkan setelah rendemen nyata diketahui. Cara mendapatkan rendemen sementara ini adalah dengan mengambil nira perahan pertama tebu yang akan digiling untuk dianalisis di laboratorium untuk mengetahui seberapa besar rendemen sementara tersebut. Hasil perhitungan antara rendemen sementara dengan rendemen nyata perbedaannya biasanya hanya kecil, atau hampir sama. Rumus yang digunakan untuk menghitung rendemen sementara adalah sebagai berikut:

Rendemen Sementara = Faktor Rendemen x Nilai Nira

Faktor Rendemen (FR) merupakan hasil dari prestasi tanaman, prestasi hasil gilingan, dan prestasi pengolahan gula di pabrik. Prestasi tanaman dapat dilihat dari besar kecilnya jumlah nira yang didapat. Hasil perahan brix (HPB) dan perbandingan antara hasil bagi kemurnian (PSHK) merupakan indikator dari prestasi gilingan. Sedangkan besar kecilnya nilai nira merupakan suatu petunjuk atas prestasi dalam bidang pengolahan.

3. Rendemen Efektif

Rendemen efektif disebut juga rendemen nyata atau rendemen terkoreksi. Rendemen efektif adalah rendemen hasil perhitungan setelah tebu digiling habis dalam jangka waktu tertentu. Rumus untuk menentukan rendemen nyata adalah :

Peningkatan produktivitas pabrik gula dapat diperoleh melalui peningkatan rendemen. Rendemen sangat dipengaruhi teknik budidaya dan pemeliharaan yang dilakukan petani tebu dan kondisi fisik mesin produksi gula di pabrik gula. Beberapa hal yang mempengaruhi rendemen meliputi: 1)

penataan varietas dan pembibitan; 2) Waktu tanam dan Pengaturan kebutuhan air; 3) Pemupukan berimbang; 4) Pemeliharaan tanaman tebu; 5)Tebang muat dan angkut tebu.

Kebijakan Tataniaga Impor Raw Sugar (Gula Mentah)

Gula mentah atau raw sugar adalah gula setengah jadi berbentuk kristal berwarna kecoklatan dengan bahan baku dari tebu. Untuk mengasilkan raw sugar

perlu dilakukan proses seperti berikut : Tebu Giling Nira Penguapan Kristal Merah (raw sugar)6. Raw Sugar ini memiliki nilai ICUMSA sekitar 600 - 1200 IU. Gula tipe ini adalah produksi gula “setengah jadi” dari pabrik-pabrik

6

http://disbun.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/informasi/berita/detailberita/45“Gula

(28)

15 penggilingan tebu yang tidak mempunyai unit pemutihan yang biasanya jenis gula inilah yang banyak diimpor untuk kemudian diolah menjadi gula kristal putih maupun gula rafinasi.

Pada tingkat pusat Kemendag/Kemenkeu menggunakan instrumen impor dan bea masuk untuk tujuan stabilisasi harga dan pemenuhan bahan baku gula mentah (GM) untuk pabrik Gula dan Pabrik Gula Rafinasi. Agar impor dapat dikelola maka pemerintah menetapkan kuota impor, waktu impor, dan menunjuk importir khusus yaitu importir terdaftar (IT) dan importir produsen (IP).

Untuk impor Gula Putih, perusahaan BUMN seperti PTPN/RNI, PPI, dan BULOG dengan kriteria tertentu ditetapkan sebagai IT. Sama halnya dengan gula putih untuk Gula Mentah. Izin impor GM hanya untuk IP, yaitu untuk PGR, dan sejumlah PGP ( Pabrik Gula Putih), dan perusahaan penghasil MSG (Monosodium Glutamat). Dalam waktu yang sama pemerintah juga mengalokasikan kuota impor GR untuk perusahaan Mamin besar dan farmasi akibat kuatnya lobi pengusaha.

Acuan kebijakan impor gula ini mengunakan Keputusan (SK 643/2002) yang dikeluarkan oleh menteri perindustrian dan perdagangan, Rini Soewandi pada 2002. Kemudian, tahun 2004, memperindag penggantinya Mari E. Pangestu menyempurnakan menjadi SK 527/2004. Komponen utama kebijakan tersebut menyangkut kuota impor, hingga pengaturan distribusi gula impor. Untuk IP Gula mentah terdapat 9 importir yang merupakan PGP dan 12 importir yang merupakan PGR.

Pemerintah Jawa Tengah memiliki otonomi untuk memberikan izin bongkar muat impor gula di pelabuhan. Melalui rekomendasi bongkar muat oleh Gubernur ini Pemerintah Jawa Tengah mampu mengatur waktu masuknya gula impor dari pelabuhan ke pabrik yang menyesuaikan musim panen tebu petani dan musim giling, baru setelah musim panen akan selesai PG bisa memperoleh jatah GM atau

raw sugar yang telah diimpor. Diharapkan dengan kebijakan ini Pabrik dapat menggiling tebu petani lebih banyak dari gula mentah dengan minimal 20 persen gula berasal dari tebu. Jawa Tengah memiliki 2 IP yang mendapat jatah impor GM. Untuk keperluan industri ada satu PGR yang berlokasi di Cilacap, dan GM untuk keperluan gula putih izin dikeluarkan kepada PT IGN.

Faktor-Faktor Produksi dan Efisiensi Produksi Gula

Secara umum untuk menghasilkan suatu output industri pengolahan diperlukan input atau faktor-faktor produksi. Input atau faktor-faktor produksi yang digunakan berbeda untuk setiap komoditi. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi di suatu komoditi di pabrik pengolahan antara lain faktor bahan baku, tenaga kerja bahan pembantu, tahapan proses produksi, mesin, dan rendemen. Faktor- faktor produksi tersebut dapat sebagian atau seluruhnya berpengaruh secara nyata terhadap kegiatan industri. Agar proses produksi berjalan secara kontinyu maka pengadaan faktor produksi sangat dibutuhkan baik secara kuantitas, kualitas, maupun kontinuitas.

(29)

16

ditambahkan untuk mengetahui pengaruh dari kebijakan tataniaga gula dan tataniaga impor terhadap produksi gula. Setelah dilakukan analisis regresi dihasilkan lima variabel yang berpengaruh nyata, yaitu jumlah tebu, rendemen,jam mesin, tenaga kerja tetap, dan tenaga kerja musiman serta variabel dummy.Analisis efisiensi yang dilakukan dengan membandingkan antara NPMxi dengan BKMxi hanya dapat menilai tiga faktor produksi, yaitu tebu, tenaga kerja tetap, dan tenaga kerja musiman yang ketiganya dinyatakan belum efisien secara ekonomis. Sedangkan dua faktor produksi lainnya, yaitu rendemen dan jam mesin tidak dapat dilihat efisiensinya karena tidak dapat diukur tingkat harganya.

Nurrofiq (2005), menganalisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula di PG Djatiroto. Dalam analisisnya terdapat enam faktor produksi yang diduga berpengaruh terhadap produksi gula di PG Djatiroto, yaitu jumlah tebu, rendemen, tenaga kerja tetap, tenaga kerja musiman, bahan pembantu, dan lama giling. Dari keenam peubah tersebut hanya lima faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap model produksi gula di PG Djatiroto, yaitu jumlah tebu, rendemen, tenaga kerja tetap, tenaga kerja musiman, dan lama giling. Pengolahan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan model regresi yang menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula di PG Djatiroto serta rasio NPM dan BKM untuk melihat efisiensi alokatif pabrik tersebut. Untuk perumusan model produksi gula dipergunakan model fungsi produksi linier berganda.

Wahyuni (2007), di dalam penelitiannya terdapat lima faktor produksi yang diduga mempengaruhi produksi gula di PG Madukismo, Yogyakarta. Faktor-faktor produksi tersebut antara lain: tenaga kerja tetap, tenaga kerja tidak tetap, jumlah tebu, lama giling, dan jam mesin. Penelitian ini menggunakan fungsi linear berganda dengan taraf nyata lima persen. hasil dari penelitian ini elastisitas dari tenaga kerja tetap dan musiman bernilai negatif. Sedangkan elastisitas dari jumlah tebu, jam mesin, dan lama giling bernilai positif.

Menurut Widawarti (2008) dalam Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Gula di PG Pagottan ada empat faktor yang berpengaruh terhadap proses produksi gula, yaitu jumlah tebu, rendemen, jam mesin, tenaga kerja. Semua faktor tersebut berpengaruh positif terhadap produksi gula di PG Pagottan. Fungsi produksi yang digunakan adalah fungsi produksi Cobb Douglas

dengan taraf nyata lima persen.

Menurut Savitri (2010) dalam Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula PTPN VII (Persero) PG Cinta manis ada empat faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi gula, antara lain tingkat rendemen, tenaga kerja, jumlah penggunaan bahan pembantu, dan lama giling. Penelitian ini menggunakan fungsi produksi Cobb Douglas dengan taraf nyata lima persen.

Menurut Wardani (2012) dalam Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula di PTPN IX Unit PG Mojo-Jawa Tengah ada empat faktor yang diduga berpengaruh terhadap produksi gula antara lain jumlah tebu, rendemen, lama giling, bahan pembantu. Penelitian ini menggunakan fungsi produksi Cobb Douglas dengan taraf nyata lima persen.

(30)

17 harga gula di pasar serta kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tentang gula. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, dalam penelitian ini akan dibahas apakah faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula yang telah diuraikan dalam penelitian terdahulu yang mempengaruhi produksi gula di Pabrik Gula Cepiring PT IGN. Faktor-faktor tersebut adalah jumlah bahan baku tebu, gula mentah atau raw sugar, tenaga kerja (tetap dan musiman), bahan pembantu, rendemen, jam mesin, bahan bakar, lama giling, dan rendemen raw sugar.

Efisiensi merupakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam peningkatan produksi gula nasional. Ada beberapa macam efisiensi yaitu efisiensi ekonomis, efisiensi alokatif, dan efisiensi teknis (Suratiyah 2008). Efisiensi ekonomis dapat dilihat dari persentase harga pokok dengan persentase harga provenue, nilai titik impas serta kemampuan laba. Efisiensi alokatif dapat diukur dengan membandingkan antara NPM dan BKM. Sedangkan efisiensi teknis diukur dengan melihat perbandingan antara persentase kapasitas giling dengan kapasitas terpasang serta dapat mengukur antara rasio bahan baku dengan gula yang dihasilkannya (Suratiyah 2008). Dari hasil pembahasan dengan dua variabel pemakaian bahan pembantu telah melebihi batas dan jumlah tebu masih dapat ditingkatkan atau kedua variabel belum efisien.

Menurut Wardani (2012), untuk mengetahui efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi pada kegiatan produksi gula dapat dilihat dari perbandingan antara Nilai produk Marginal (NPM) dan Biaya Korbanan Marjinal (BKM). Dalam penelitian ini, faktor-faktor produksi yang diukur tingkat efisiensinya adalah jumlah tebu, bahan pembantu, dan lama giling karena ketiga faktor produksi tersebut dapat diukur tingkat harganya. Dari nilai NPM dan BKM dari setiap faktor produksi dapat dijelaskan bahwa pengalokasian sumberdaya dari ketiga faktor produksi di PG Mojo belum efisien secara alokatif. Kondisi tersebut disebabkan pengalokasian sumberdaya atau faktor-faktor produksi yang masih bisa ditambah.

Menurut Widawarti (2008), kegiatan produksi gula di PG Pagottan belum mencapai kondisi efisien. Faktor produksi yang dinilai tingkat efisiensinya adalah jumlah tebu karena faktor produksi tersebut dapat diukur tingkat harganya dan memenuhi syarat Cobb Douglas yaitu koefisien regresinya bernilai positif. Perhitungan rasio antara NPM dan BKM sebesar 0,01 menunjukkan bahwa penggunaan bahan baku tebu telah melebihi batas kondisi efisien sehingga penggunaan faktor produksi tersebut harus dikurangi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat efisiensi pada pabrik gula juga dipengaruhi oleh kegiatan budidaya tebu di kebun. Efisiensi budidaya tebu dapat diketahui dengan analisis dari faktor-faktor produksi yang dapat diketahui biayanya. Menurut Lestari (2008), efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi pada usahatani tebu di lahan kering dapat dilihat dari rasio Nilai Produk marginal dengan Biaya Korbanan marginal. Jika rasio NPM dan BKM lebih besar dari satu maka penggunaan faktor-faktor produksi perlu ditingkatkan untuk mencapai kondisi optimal dimana rasio NPM dan BKM sama dengan satu. Apabila rasio NPM dan BKM kurang dari satu maka penggunaan faktor-faktor produksi harus dikurangi karena telah melebihi batas optimal.

(31)

18

lebih kecil dari satu. Hal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan faktor produksi melebihi batas optimal sehingga jumlah penggunaannya harus dikurangi. Sedangkan nilai rasio antara NPM dengan BKM untuk faktor produksi pupuk ZA dan pupuk Ponska lebih besar dari satu. Hal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan pupuk ZA dan Ponska masih kurang dan harus ditingkatkan untuk mencapai tingkat penggunaan yang optimal.

Dalam penelitian di PG Cepiring PT IGN ini akan dicari tingkat efisiensi alokatifnya untuk mengetahui efisiensi dari faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap produksi gula. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat efisiensi pada pabrik gula antara lain faktor-faktor yang dapat diketahui biaya dalam pengadaan faktor produksi tersebut.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Fungsi Produksi

Produksi merupakan kegiatan menghasilkan barang dan jasa. Menurut Beattie dan Taylor (1996), produksi adalah proses kombinasi dan koordinasi beberapa material serta beberapa input (faktor, sumberdaya atau jasa-jasa produksi) dalam pembuatan suatu barang atau jasa (output atau produk). Sedangkan fungsi produksi merupakan gambaran secara matematis dari berbagai kemungkinan produksi secara teknis yang dihadapi oleh suatu perusahaan. Dalam masalah produksi tidak bisa dilepaskan dari prinsip ekonomi yang berlaku dalam hal ini untuk menghasilkan barang dan jasa dengan kombinasi input yang dimiliki. Prinsip ekonomi adalah tindakan dengan menggunakan pengorbanan sekecil-kecilnya untuk mendapat hasil tertentu. Dimana prinsip ekonomi tersebut dibatasi oleh kelangkaan atau keterbatasan dalam penggunaan seluruh faktor produksi. Oleh karena itu dalam melakukan produksi harus melakukan pilihan-pilihan terhadap kombinasi input terbaik agar dihasilkan hasil yang maksimal.

Faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal sangat berpengaruh terhadap besarnya produksi yang dihasilkan. Dalam proses produksi terdapat pilihan-pilihan sumberdaya yang dikombinasikan untuk mencapai suatu tujuan, yaitu output maksimal dengan kinerja dan biaya yang efektif dan efisien (Nicholson 1999). Hubungan antara input yang digunakan dalam proses produksi dengan kuantitas output yang dihasilkan dinamakan fungsi produksi (Lipsey et al 1995).

Fungsi produksi memperlihatkan jumlah maksimum sebuah barang yang dapat diproduksi dengan menggunakan kombinasi alternatif sejumlah input tertentu (Nicholson 1999). Beattie dan Taylor (1996) mendefinisikan fungsi produksi sebagai hubungan teknis antara variabel faktor produksi dengan output. Bentuk umum fungsi produksi secara matematis dinotasikan sebagai berikut:

Y= f (X1,X2,X3,...,Xn)

Dimana, Y : Jumlah Output

X1,X2,X3,...,Xn : Variabel input dalam proses produksi f : bentuk hubungan yang mentransformasikan

(32)

19 Bentuk fungsi produksi dipengaruhi oleh hukum ekonomi, yaitu “Hukum

Kenaikan Hasil yang Semakin Berkurang” (The Law of Diminishing Return) dan dapat digambarkan dengan grafik yang memperlihatkan peningkatan dan penurunan output. Hukum ini menjelaskan bahwa jika faktor produksi dengan jumlah tertentu ditambahkan terus-menerus dalam proses produksi sedangkan sejumlah faktor produksi lainnya tetap, maka akhirnya akan dicapai suatu kondisi dimana setiap penambahan satu faktor produksi akan menghasilkan tambahan produksi yang besarnya semakin berkurang (Doll dan Orazem 1984). Dari fungsi produksi tersebut dapat diketahui bahwa output yang dihasilkan secara fisik sangat dipengaruhi oleh jumlah input yang digunakan, dalam hal ini output sebagai variabel terikat merespon setiap perubahan input sebagai variabel bebasnya.

Menurut Doll dan Orazem (1984) fungsi produksi klasik dapat dibagi menjadi tiga daerah, masing-masing daerah tersebut penting dari segi efisiensi penggunaan sumberdaya. Daerah I terjadi ketika produk marjinal (MP) lebih besar dari produk rata-rata (AP). Pada kondisi ini produk rata-rata (AP) meningkat hingga kondisi maksimalnya pada akhir tahap I. Kegiatan produksi pada tahap ini secara ekonomi tidak rasional karena input-input belum digunakan secara efisien, jadi sebenarnya tingkat produksi masih dapat ditingkatkan dengan melakukan penambahan penggunaan input.

Daerah II terjadi ketika produk marjinal (MP) mengalami penurunan hingga besarnya lebih kecil dari produk rata-rata (AP) tapi masih lebih besar dari nol. Daerah ini merupakan daerah rasional bagi kegiatan produksi, karena pada daerah ini kegiatan produksi sudah efisien. Efisiensi penggunaan input variabel mencapai puncaknya pada awal tahap II, yaitu ketika produk rata-rata (AP) sama dengan produk marjinalnya (MP). Efisiensi penggunaan input tetap mencapai puncaknya pada akhir tahap II, yaitu ketika produk marjinal sama dengan nol.

Daerah III terjadi ketika produk marjinal (MP) lebih kecil dari nol. Kegiatan produksi yang dilakukan pada daerah ini, secara ekonomi tidak rasional karena setiap penambahan input yang dilakukan terhadap input tetap akan diperoleh output yang semakin menurun.

Dalam proses produksi, jumlah input yang digunakan cenderung berubah-ubah. Perubahan tersebut disebabkan adanya elastisitas produksi dari input yang digunakan. Elastisitas produksi (Ɛp) adalah persentase perubahan jumlah output

sebagai akibat dari persentase perubahan jumlah input.

Soekartawi (2003), mendefinisikan skala usaha (return to scale) sebagai penjumlahan dari semua elastisitas faktor produksi. Berdasarkan tingkat elastisitas tersebut, suatu fungsi produksi memiliki tiga daerah, antara lain :

1. Daerah I

Ɛp>1 artinya setiap perubahan faktor produksi sebesar satu persen maka akan

(33)

20

2. Daerah II

0<Ɛp<1 artinya setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen maka

akan menyebabkan penambahan produksi paling rendah 0 persen dan paling tinggi 1 persen. Jadi pada daerah ini penambahan input tidak diimbangi dengan penambahan jumlah output secara proporsional. Daerah ini memperlihatkan penurunan MP dan AP. Sedangkan TP tetap mengalami peningkatan pada tahap decreasing rate karena setiap penambahan input maka peningkatan jumlah output semakin lama akan semakin berkurang. Hal ini menandakan penggunaan faktor produksi telah optimal sehingga disebut juga daerah rasional.

3. Daerah III

Ɛp< 0 artinya setiap penambahan faktor produksi akan menyebabkan

penurunan jumlah penambahan output yang dihasilkan. Pada daerah ini TP, MP, dan AP mengalami penurunan atau bahkan bernilai negatif untuk MP sehingga penambahan input justru akan menyebabkan penurunan jumlah output. Daerah ini termasuk daerah irrasional atau tidak diinginkan oleh perusahaan.

Skala hasil usaha (return to scale) menunjukkan kondisi yang terjadi pada output jika terjadi peningkatan seluruh faktor produksi pada skala yang sama. Konsep skala usaha merupakan konsep yang akan terjadi dalam jangka panjang dimana semua faktor produksi dianggap variabel. Ada tiga macam skala hasil usaha yaitu Constant Return to Scale (CRTS), Increasing return to Scale (IRTS),

dan Decreasing Return to Scale (DRTS).

(34)

21

Efisiensi Produksi

Pada umumnya efisiensi diartikan sebagai perbandingan antara nilai hasil atau output terhadap nilai masukan atau input (Lipsey et al 1995). Suatu metode produksi dikatakan lebih efisien daripada metode produksi lainnya apabila menghasilkan produk yang lebih tinggi nilainya untuk nilai tingkat korbanan yang sama atau dapat mengurangi korbanan untuk memperoleh produk yang sama. Jadi, konsep efisiensi merupakan konsep yang bersifat relatif (Soekartawi 2003).

Konsep efisiensi mempunyai tiga pengertian, yaitu efisiensi teknis, efisiensi alokatif, dan efisiensi ekonomi. Efisiensi teknis menyatakan sejumlah produk yang dapat diperoleh dengan penggunaan kombinasi masukan yang paling sedikit. Efisiensi teknis akan tercapai apabila dalam mengalokasikan sumber-sumber produksi tidak terdapat barang yang diproduksi tanpa keharusan untuk mengurangi produksi barang lainnya. Efisiensi alokatif menyatakan nilai produk marjinal sama dengan oportunitas dari masukan yang berarti setiap tambahan biaya yang dikeluarkan sama dengan tambahan biaya. Produksi output dikatakan efisien secara alokatif jika tidak ada cara lain untuk memproduksi output yang dapat menggunakan seluruh nilai input dengan jumlah yang lebih sedikit. Efisiensi teknis dan efisiensi alokatif merupakan komponen dari efisiensi ekonomi (Semaoen 1992 dalam Widarwati 2008).

Menurut Doll dan Orazem (1984) efisiensi ekonomi adalah kombinasi input-input yang memaksimalkan tujuan individu atau sosial. Efisiensi ekonomi ditentukan dalam dua syarat, yaitu syarat kebutuhan dan syarat kecukupan. Syarat kebutuhan ditemukan pada proses produksi ketika: pertama, tidak mungkin memproduksi output dalam jumlah yang sama dengan input yang lebih sedikit dan kedua, tidak mungkin memproduksi lebih banyak output dengan input yang sama. Dalam analisis fungsi produksi, syarat ini ditemukan jika elastisitas produksi sama

(35)

22

dengan atau lebih dari nol dan sama dengan atau kurang dari satu (0≤Ɛp≤1).

Berbeda dengan syarat kebutuhan yang objektif, syarat kecukupan untuk efisiensi meliputi tujuan-tujian individu atau sosial.

Kondisi efisien pada suatu perusahaan terkait dengan tujuan perusahaan pada umumnya, yaitu memaksimumkan keuntungan. Syarat mencapai keuntungan maksimal adalah turunan pertama dari fungsi keuntungan terhadap masing-masing faktor produksi sama dengan nol (Doll dan Orazem 1978). Fungsi keuntungan yang dapat diperoleh dinyatakan dengan persamaan berikut:

Dimana:

: Keuntungan

Py : harga per unit produksi

Px : harga pembelian faktor produksi ke-i Y : hasil produksi

Xi : input ke-i

TFC : Biaya input total (Total Fixed Cost)

Dengan demikian, untuk memenuhi syarat tercapainya keuntungan maksimum, maka turunan pertama dari fungsi keuntungan adalah:

Dari persamaan tersebut dapat diketahui bahwa level penggunaan faktor produksi ke-i yang efisien merupakan fungsi dari harga output, harga faktor produksi ke-i dan jumlah output yang dihasilkan, atau secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:

Xi = f (Py,Px,Y) Dengan persamaan

sebagai produk marjinal (Mpxi) faktor produksi ke-i, maka persamaan diatas menjadi:

Py.MPx = Px

Sesuai dengan prinsip keseimbangan marjinal, bahwa untuk mencapai keuntungan maksimal, tambahan nilai produksi akibat tambahan penggunaan faktor produksi ke-i (Py . Mpxi) harus lebih besar dari tambahan biaya yang dikeluarkan untuk faktor produksi ke-i tersebut (Pxi), penambahan penggunaan faktor produksi berhenti ketika Py . Mpxi = Pxi pada saat inilah keuntungan maksimum dapat dicapai.

Secara sistematis keuntungan maksimum dari penggunaan faktor produksi ke-i dapat dinyatakan sebagai berikut :

Dimana:

Py.Mpxi : Nilai produk marjinal (NPM) faktor produksi ke-i Pxi : Biaya Korbanan Marjinal (BKM) faktor produksi

(36)

23 Artinya keuntungan maksimum tercapai pada saat tambahan nilai produksi akibat penambahan penggunaan faktor produksi ke-i tersebut atau resiko keduanya sama dengan satu. Jadi secara umum keuntungan maksimum dari penggunaan faktor produksi akan diperoleh pada saat:

mengalami perubahan. Ketika Py.Mpxi > Pxi, maka penggunaan faktor produksi harus ditambah agar tercapai keuntungan maksimum. Sebaliknya jika Py. Mpxi < Pxi, maka penggunaan faktor produksi harus dikurangi.

Kerangka Pemikiran Operasional

Dalam rangka mencapai keuntungan optimal pabrik gula PT IGN perlu membuat perencanaan produksi untuk dijadikan pedoman dalam pengambilan keputusan. Salah satu perencanaan produksi adalah perencanaan faktor-faktor produksi yang digunakan. Analisis faktor-faktor produksi yang digunakan bertujuan untuk mengetahui faktor produksi mana yang berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan maupun penurunan produksi gula sehingga dapat memberikan keuntungan optimal bagi perusahaan. PG PT IGN merupakan pabrik gula yang diproyeksikan akan mampu mendukung swasembada gula 2014 di Jawa Tengah.

Kegiatan produksi gula di Pabrik Gula PT IGN diindikasikan mengalami masalah dalam penggunaan faktor-faktor produksi. Untuk mencapai kondisi efisien maka sudah selayaknya dilakukan analisis efisiensi produksi dengan menggunakan fungsi produksi Cobb Douglas data diolah dengan pendugaan OLS sehingga diperoleh beberapa alternatif dan tindakan yang dapat diambil perusahaan untuk mencapai kondisi efisien perusahaan.

Analisis permasalahan dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan memberikan gambaran secara umum mengenai gambaran produksi gula di PG PT IGN Cepiring. sedangkan secara kuantitatif dilakukan dengan penentuan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula yang kemudian akan dianalisis dengan analisis regresi untuk memperoleh faktor produksi yang berpengaruh secara nyata terhadap produksi gula. Efisiensi produksi dapat juga diukur dengan membandingkan Nilai Produk marginal (NPM) dengan Biaya Korbanan Marginal (BKM) untuk mengetahui kondisi faktor produksi sudah dalam kondisi efisien sehingga dapat memaksimalkan keuntungan kegiatan produksi gula di PG PT IGN Cepiring. selain itu akan diketahui faktor-faktor produksi mana yang mempengaruhi produksi gula secara signifikan maupun tidak.

Dalam penelitian ini digunakan dua fungsi produksi Cobb Douglas pada fungsi pertama yang dilakukan saat musim giling variabel bebas (independent variabel) yang diduga berpengaruh terhadap variabel dependent yaitu produksi gula (Y) adalah jumlah tebu (X1), rendemen tebu (X2), Jumlah raw sugar (X3),

rendemen raw sugar(X4) lama melting (X5), tenaga kerja total (X6), Bahan

Gambar

Tabel 1 Luas areal tanam tebu dan produksi gula di Indonesia tahun 1995 – 2011a
Tabel 2 Konsumsi, produksi, dan impor gula nasional tahun 1995 – 2010a
Tabel 5 Perbandingan rata-rata *) produktivitas gula serta rendemen antar negara
Tabel 8 Target dan Realisasi Produksi PG Cepiringa
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam metode ini, siswa diberi tanggung jawab untuk mempelajari materi dalam sebuah kelompok tanpa adanya campur tangan dari guru (Melvin L. Prosedur dari teknik

Dari hasil buku dan beberapa skripsi di atas, dapat diketahui yang menjadi perbandingan dengan penelitian saya adalah perkembangan fisik Kota dari tahun 1993-2018,

Riwayat keluarga merupakan faktor yang paling dominan dalam mempengaruhi kejadian kekambuhan asma dengan nilai Hazard Ratio 2,268.. Kesimpulan: Riwayat keluarga merupakan

1 Persentase jumlah guru mata pelajaran yang memiliki dokumen perencanaan proses pembelajaran yang sesuai dengan roh KTSP (berbasis kompetensi, menganut paham konstruktivis,

12 M. Nu’am Yasin, Fikih Kedoktern di terjemahkan oleh Munirul Abidin, h.194.. bagi Donor yang hidup adalah bahwa organ yang disumbangkan bukan merupakan organ vital

(2) Kemampuan Guru dalam melaksanakan pembelajaran Bahasa Indonesia menggunakan media teks dialog sudah sesuai dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang

Pada tahun 2010, Pemerintah Kota Tangerang merencanakan penggusuran terhadap 350 keluarga warga Kampung Neglasari di tepi Sungai Cisadane yang nota bene adalah

Hasil penelitian yang telah disebutkan serta dijabarkan diatas, dapat disimpulkan sesuai dengan gelaja atau bentuk perilaku hopelessness yang dikemukakan oleh