• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Pengendalian Konflik Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) Di Provinsi Aceh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi Pengendalian Konflik Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) Di Provinsi Aceh"

Copied!
183
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENGENDALIAN KONFLIK GAJAH SUMATERA

(

Elephas maximus sumatranus

) DI PROVINSI ACEH

KANIWA BERLIANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Strategi Pengendalian Konflik Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di Provinsi Aceh adalah benar karya saya denganarahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2017

Kaniwa Berliani

(4)

RINGKASAN

KANIWA BERLIANI. Strategi Pengendalian Konflik Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di Provinsi Aceh. Dibimbing oleh HADI S. ALI KODRA,

BURHANUDDIN MASY’UD dan MIRZA DIKARI KUSRINI.

Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) termasuk ke dalam daftar merah IUCN dengan kategori Kritis Terancam Punah (Critically Endangered -CR), sehingga menjadi prioritas tinggi untuk dilindungi. Gajah tersebut masuk ke lahan pertanian/perkebunan dan merusak tanaman masyarakat, sehingga menimbulkan konflik dengan manusia. Upaya pengendalian konflik yang dilakukan selama ini banyak terarah untuk mencari teknik baru yang bertujuanuntuk mengusir gajah dari lahan budi daya masyarakat. Upaya yang dilakukan selama ini belum menghasilkan solusi yang efektif dan efisien untuk jangka panjang. Oleh sebab itu, perlu dicari solusi melalui pendekatan baru yang holistik dan integratif yang memadukan aspek ekologi, ekonomi dan sosial masyarakat. Hal tersebut tidak hanya menjawab permasalahan perlindungan gajah, namun secara bersamaan menjadi solusi dari permasalahan perekonomian masyarakat yang terkait dengan konflik manusia-gajah secara proporsional.

Penelitian dilakukan di lima kecamatan di Provinsi Aceh yaitu Kecamatan Cot Girek, Kecamatan Mane, Kecamatan Meureudu, Kecamatan Sampoiniet dan Kecamatan Pante Ceureumen. Pilihan strategi pemanfaatan lahan yang berkesesuaian dengan memperhatikan preferensi dan palatabilitas gajah terhadap jenis tanaman pertanian/perkebunan yang dibudidayakan masyarakat, belum banyak mendapat perhatian. Jenis tanaman yang paling banyak dirusak gajah, berturut-turut di ranking dari yang tertinggi yaitu 18.28% pinang (Areca catechu), 17.45% pisang (Musa sp), 16.34% kelapa sawit (Elais gueenensis), 12.74% padi (Oryza sativa) dan 10.80% karet (Havea brassiliensis). Tanaman tersebut termasuk dalam kategori rentan terhadap gangguan gajah. Sebaliknya, lima jenis tanaman rendah resiko atau tidak dirusak gajah yaitu 32.16% coklat (Theobroma cocoa), 12.78% kopi (Coffea arabica), 10.57% kemiri (Aleurites moluccana), 7.05% cabe (Capsicum frutescens) dan 6.17% nilam (Pogostemon cablin). Tanaman tersebut merupakan jenis tanaman budi daya yang berpotensi dikembangkan pada sistem tanam monokultur dan polikultur di daerah yang berbatasan dengan habitat gajah. Selanjutnya, gajah sangat selektif dalam memilih jenis dan bagian tanaman pakan untuk dikonsumsi. Gajah menyukai tanaman padi (Oryza sativa) dan pisang (Musa sp) dengan nilai indeks electivity mendekati 1, sedangkan tanaman coklat Theobroma cocoa) merupakan tanaman yang tidak disukai dengan nilai mendekati -1. Selain itu, tanaman yang tidak disukai bahkan cenderung dihindari oleh gajah adalah jenis tanaman cabe (Capsicum frutescens), kemiri (Aleurites moluccana), kopi (Coffea arabica) dan nilam (Pogostemon cablin) dengan nilai-1.

(5)

liar.Upaya yang paling sering dilakukan dengan menghidupkan mercon, meriam atau obor. Walaupun demikian peran serta aktif masyarakat bersama pemerintah, instansi terkait dan lembaga swadaya masyarakat diperlukan untuk mengurangi konflik manusia-gajah. Secara keseluruhan, penelitian ini menyimpulkan bahwa strategi pengaturan tanaman komoditi untuk pengendalian konflik gajah sumatera memungkinkan untuk dilakukan. Jenis tanaman yang tidak disukai gajah yaitu coklat (Theobroma cocoa), kopi (Coffea arabica), kemiri (Aleurites moluccana), cabe (Capsicum frutescens) dan nilam (Pogostemon cablin) memiliki kerentanan yang rendah terhadap gangguan atau kerusakan yang dilakukan gajah. Oleh sebab itu, jenis tanaman budi daya alternatif tersebut dapat diatur budidayanya di daerah konflik manusia-gajah. Hal tersebut merupakan salah satu upaya jangka panjang dalam upaya pengendalian konflik manusia-gajah di Provinsi Aceh.

(6)

SUMMARY

KANIWA BERLIANI. Management Strategies of Sumatran Elephant (Elephas maximus sumatranus) Conflict in Aceh Province . Supervised by HADI S. ALI

KODRA, BURHANUDDIN MASY’UD and MIRZA DIKARI KUSRINI.

Sumatran elephant (Elephas maximus sumatranus) is listed in the IUCN Redlist under Critically Endangered (CR) category, therefore the sumatran elephant is given higher priority for protection. More elephants enter the agricultural land/ plantation and destroy the crops. There is an urgent need to seek a new technique to repel elephants from land cultivation. So far, the mitigation effort of human-elephant conflict is not very effective and efficient. New solutions should be assessed through a holistic and integrated approach by considering the ecological, economic and social aspects that does not only address the issues of elephant conservation but also simultaneously solve the problems related to the economy of the community and human-elephant conflict. The conditions of socio-economic and culture have an important role in establishing community perception in the area of human-elephant conflict.

Research has been carried out in five districts in Aceh Province, i.e. the District of Cot Girek, Mane, Meureudu, Sampoiniet and Pante Ceureumen.There are five cropsare mostly destroyed by elephants including Areca or Areca catechu

(18.28%), banana or Musa sp (17.45%), palm oil or Elais gueenensis (16.34%), paddy or Oryza sativa (12.74%) and rubber or Havea brassiliensis (10.80%). Conversely, five low-risk plant species or not disturbed by elephant are cocoa or

Theobroma cocoa (32.16%), coffee or Coffea arabica (12.78%), candle nut or

Aleurites moluccana (10.57%), chilli or Capsicum frutescens (7.05%) and patchouli or Pogostemon cablin (6.17%). These plants could potentially be developed in monoculture and polyculture systems in areas adjacent to elephant habitat. Elephants are very selective in choosing the type and part of crops for consumption. Elephant preference of paddy (Oryza sativa) and banana (Musa sp) reaches an Electivity Index value close to 1. The cocoa plant (Theobroma cocoa) has the preference value of -1 as elephants does not like the plant. In addition, elpahants are also tend to avoid chilli (Capsicum frutescens), candle nut (Aleurites moluccana), coffee (Coffea arabica) and patchouli (Pogostemon cablin) with a preference value of -1.

(7)

candle nut (Aleurites moluccana), chili (Capsicum frutescens) and patchouli (Pogostemon cablin) have low susceptibility to be interferenced or damaged by the elephants. Therefore, this type of alternative crop combination can be promoted in the human-elephant conflict areasas one of the long-term efforts to control human-elephant conflict in Aceh province.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

STRATEGI PENGENDALIAN KONFLIK GAJAH SUMATERA

(

Elephas maximus sumatranus

) DI PROVINSI ACEH

KANIWA BERLIANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Ujian Tertutup : 7 November 2016

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc. F.Trop Dr. Ir. Bambang Supriyanto, M.Sc

Sidang Promosi Terbuka : 30 Januari 2017

(11)
(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan ridho-Nya sehingga Disertasi dengan judul “Strategi Pengendalian Konflik Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus)” ini dapat diselesaikan. Disertasi ini diajukan dalam rangka memenuhi persyaratan, sebagai syarat memperoleh gelar Doktor Konservasi Biodiversitas Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Dengan kerendahan hati dan penuhrasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof.Dr.Ir.Hadi Sukadi Alikodra, MS selaku ketua komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran, arahan, motivasi dan pengetahuan konservasi biodiversitas, strategi penanggulangan konflik satwa liar dan membantu mendapatkan informasi penting yang berkaitan dengan konservasi gajah sumatera hingga tersusunnya disertasi ini.

2. Dr.Ir.Burhanuddin Masyud, MS selaku anggota komisi pembimbing yang selalu memberikan pandangannya mengenai preferensi pakan pada gajah dan membantu dalam memahami pengaturan pengelompokan jenis tanaman yang tidak disukai gajah di lahan masyarakat hingga penulis dapat mendesainnya hingga tersusunnya disertasi ini.

3. Dr.Ir.Mirza Dikari Kusrini, M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang selalu memberikan arahan kritis mengenai perilaku makan pada gajah, bagaimana memahami konteks dan fakta dengan baik sehingga penulis memahami fenomena dilapangan yang berkaitan dengan perilaku sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.

4. Dr.Ir.Rinekso Soekmadi, M.Sc.F dan Dr.Ir. Bambang Supriyanto, M.Sc selaku penguji luar komisi pada Ujian Tertutup dan Prof.Dr.Sambas Basuni dan Dr.Ir. Bambang Supriyanto, M.Sc pada Sidang Promosi yang memberikan pandangan lain berkaitan dengan kejelasan alur permasalahan penelitian dan arahannya mengenai implikasi konservasi pada penelitian ini. 5. Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Praseyto, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Ervizal AM Zuhud,

M.S selaku penguji luarkomisi pada ujian prelim lisan yang memberikan arahan mengenai pengambilan sampel di lapangan saat melakukan penelitian ini.

6. Pimpinan dan staf Sekolah Pascasarjana IPB yaitu Dr.Ir.Dahrul Syah, M.Sc.Agr selaku Dekan Sekolah Pascasarjana, Prof. Dr.Ir.Marimin,MS selaku sekretaris Program Doktor Sekolah Pascasarjana IPB, Dr.Ir.Rinekso SoekmadiM.Sc.F selaku Dekan Fakultas Kehutanan IPB, Dr.Ir.Burhanuddin Masyud selaku Ketua Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika IPB yang telah memberikan layanan akademikyang baik dan motivasi sehingga penulis menyelesaikan program doktor.

7. Rektor Universitas Sumatera Utara beserta jajarannya atas kesempatan dan izin yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Strata 3 di Sekolah Pascasarjana IPB.

(14)

9. Genman Suhefti Hasibuan, S.Hut.,M.M selaku Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Aceh yang memberikan izin penelitian di Pusat Konservasi Gajah Aceh.

10.Direktur dan staf Aceh Climate Change Initiative yang membantu dalam penentukan lokasi penelitian konflik manusia-gajah.

11.Kepala Conservation Respon Unit dan semua Mahout Aceh yang mencurahkan tenaga dan waktunya saat penulis melakukan penelitian di lapangan.

12.Teman-teman KVT angkatan 2011 yaitu Fifin Nopiansyah, Nurul Qomar, Zeth Parinding, Sri Soegiharto, Tuah Malem Bangun, Toto Supartono, Iing Nasihin, Asvic Helida, Liza Niningsing dan Hotnida Siregar (Alm) atas waktu untuk berdiskusi, bertukar pendapat,dukungan, motivasi, kebersamaan dan keceriaan selama ini.

13.Keluarga penulis, yaitu kedua orang tua penulis, bapak H. Miwardjo dan ibu Hj. Sumini (Almh), mertua penulis, bapak H. Drs Syakura Ahmad (Alm) dan Hj. ibu Sukmawati, suami penulis Drh. Wahdi Azmi, anak-anak penulisZulfaqar Abdillah dan Rakha Ali Amanullah serta keluarga besar tercinta yang memberikan doa, semangat, kasih sayang dan dukungan moral secara terus menerus dalam penyelesaian pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB.

14.Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu dalam rangka penyediakan kelengkapan data, wawancara, informasi mendukung dan literatur lainnya selama penelitian dan penulisan disertasi, serta semua dukungan yang telah diberikan kepada penulis adalah bagian penting dari penyelesaian disertasi ini. Semoga Allah SWT akan membalas jasa dan budi baik kita semua. Aamiin YRA.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak untuk menyempurnakannya. Akhirnya, penulis berharap semoga disertasi ini dapat memberikan manfaat dalam pengendalian konflik manusia-gajah di provinsi Aceh.

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xxi

DAFTAR GAMBAR xxi

DAFTAR LAMPIRAN xxii

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 5

Tujuan Penelitian 8

Manfaat Penelitian 8

Ruang Lingkup Penelitian 9

Kerangka Pemikiran 9

Kebaruan (Novelty) 11

2 KERENTANAN

BUDIDAYAPERTANIANTERHADAPGANGGUANGAJAH

SUMATERA DI DAERAH KONFLIK MANUSIA-GAJAHDI PROVINSI ACEH

Pendahuluan 13

Metode 14

Hasil dan Pembahasan 16

Simpulan 25

3 PREFERENSI PAKAN DAN PERILAKU GAJAH

SUMATERATERHADAP TANAMAN BUDI DAYA

PERTANIAN DI PROVINSI ACEH

Pendahuluan 27

Metode 28

Hasil dan Pembahasan 31

Simpulan 48

4 SOSIALEKONOMIMASYARAKAT DI DAERAH KONFLIK MANUSIA-GAJAH PROVINSI ACEH

Pendahuluan 51

Metode 52

Hasil dan Pembahasan 53

Simpulan 83

5 STATUS KEBERLANJUTAN TANAMAN BUDIDAYA ALTERNATIF DI DAERAH KONFLIK MANUSIA-GAJAH PROVINSI ACEH

Pendahuluan 85

Metode 86

Hasil dan Pembahasan 89

(16)

6 PEMBAHASAN UMUM

A. Penanggulangan konflik manusia-gajah 105

B. Implikasi Konservasi 110

8 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 117

Saran 117

DAFTAR PUSTAKA 119

(17)

DAFTAR TABEL

2.1 Jenis tanaman semusim yang ditanam masyarakat Aceh di daerah konflik manusia-gajah

20 2.2 Jenis tanaman tahunan yang ditanam masyarakat Aceh di

daerah konflik manusia-gajah

20 2.3 Kategori kerentanan jenis tanaman oleh gangguan gajah di

wilayah konflik manusia-gajah Propinsi Aceh.

24 3.1 Bagian-bagian tanaman yang dikonsumsi gajah 32 3.2 Rataan konsumsi pakan (dalam berat basah) pada pagi hari 33 3.3 Rataan konsumsi pakan (dalam berat basah) pada sore hari 33 3.4 Indeks preferensi pakan terhadap beberapa jenis pakan pada pagi

hari

38 3.5 Indeks preferensi gajah terhadap beberapa jenis pakan pada sore

hari

38 3.6 Frekuensi perilaku makan pada gajah pada pagi dan sore 45

3.7 Durasi dalam memilih jenis pakan 47

4.1 Jumlah penduduk, persentase penduduk dan kepadatan penduduk tahun 2015

54

4.2 Luas Provinsi Aceh menurut penggunaan lahan 2014 55 4.3 Persentase upayamasyarakat menghadapi gajah liar 75 4.4 Persentase peran serta masyarakat menanggulangi konflik gajah 79 5.1 Kategori status keberlanjutan jenis tanaman alternatif budi daya

nilai indeks hasil analisis RAP-ES

(18)

DAFTAR GAMBAR

1.1 Diagram alir kerangka pemikiran (modifikasiAnderson 1985; Alikodra 2012)

11

2.1 Peta lokasi penelitian 15

2.2 Persentase jenis tanaman budi daya yang banyak ditanam di 5 kecamatan Propinsi Aceh.

21

2.3 Sistem tanam tanaman budi daya oleh masyarakat Aceh di daerah konflik manusia-gajah

3.1 Sketsa disain penelitian pemberian pakan pada gajah 30 3.2 Konsumsi jenis pakan gajah betina pada pagi hari 35 3.3 Konsumsi jenis pakan gajah jantan pada pagi hari 35 3.4 Konsumsi jenis pakan gajah betina pada sore hari 36 3.5 Konsumsi jenis pakan gajah jantan pada sore hari 36 3.6 Konsumsi jenis pakan gajah jantan dan betina pada pagi hari 37 3.7 Konsumsi jenis pakan gajah jantan dan betina pada sore hari 37

3.8 Persentase aktivitas makan pada gajah 44

3.9 Perilaku yang ditunjukkan saat aktivitas makan 46 3.10 Persentase perilaku memilih terhadap jenis tanaman pakan 46

3.11 Frekuensi dalam memilih bagian tanaman 48

4.1 Distribusi umur petani 59

4.2 Distribusi tingkat pendidikan petani 60

4.3 Sejarah pemukiman petani mendiami lahan 60

4.4 Distribusi luas lahan garapan 61

4.5 Kawasan HTI dan perkebunan yang tumpang tindih dengan habitat gajah

64

4.6 Peta sebaran konflik manusia-gajah di Provinsi Aceh 65 4.7 Perilaku gajah saat terjadi konflik manusia-gajah 66 4.8 Gajah merusak dan memakan tanaman kelapa sawit (A), pinang

(B), karet (C) dan pisang (D)

68

4.9 Gajah merusak pondok atau rumah masyarakat di Mane (A), Pante Ceureumen (B), Sampoiniet (C) dan Cot Girek (D

70

4.10 Waktu gangguan gajah pada daerah konflik di Provinsi Aceh 72 4.11 Jenis kelamin gajah yang datang mengganggu di daerah konflik di

Provinsi Aceh

4.14 Upaya yang dilakukan masyarakat menghadapi gangguan gajah dengan membuat pagar cabe (A), meriam (B), pagar kawat berduri (C) dan parit (D)

77

(19)

Sampoiniet (A), dan Mane (B).

5.1 Tahapan analisis keberlanjutan (dimodifikasi Fauzi dan Anna 2005)

89 5.2 Disain alternatif pola pengaturan penanaman jenis-jenis tanaman

budidaya

90 5.3 Diagram layang-layang (kites diagram) analisis keberlanjutan

kombinasi tanaman alternatif budi daya pertanian

92 5.4 Analisis RAP-ES indeks keberlanjutan dimensi ekologi 94 5.5 Peranan atribut dimensi ekologi terhadap perubahan RMS RAP-

ES

94 5.6 Analisis RAP-ES indeks keberlanjutan dimensi ekonomi 97 5.7 Peranan atribut dimensi ekonomi terhadap perubahan RMS

RAP-ES

97 5.8 Analisis RAP-ES indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya 100 5.9 Peranan atribut dimensi sosial budaya terhadap perubahan RMS

RAP-ES

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

daerah konflik manusia-gajah Provinsi Aceh

134 4 Konsumsi pakan (dalam berat basah) gajah betina pada pagi hari 135 5 Konsumsi pakan (dalam berat basah) gajah betina pada sore hari 137 6 Konsumsi pakan (dalam berat basah) gajah jantanpada pagi hari 139 7 Konsumsi pakan (dalam berat basah) gajah jantanpada sore hari 141 8 Indeks preferensipakan pada gajah betina terhadap beberapa 10 Indeks preferensipakan pada gajah jantan terhadap beberapa jenis

pakan pada pagi hari

147 11 Indeks preferensipakan pada gajah jantan terhadap beberapa jenis

pakan pada sore hari.

149 12 Penilaian atribut dimensi ekologi kombinasi tanaman

alternatif berkelanjutan di daerah konflik manusia-gajah

151 13 Penilaian atribut dimensi ekonomi kombinasi tanaman

alternatif berkelanjutan di daerah konflik manusia-gajah

153 14 Penilaian atribut dimensi sosial budaya kombinasi

tanaman

alternatif berkelanjutan di daerah konflik manusia-gajah

154

15 Temperatur dan kelembaban udara selama penelitian preferensi dan perilaku aktivitas makan gajah sumatera di Pusat Konservasi Gajah Provinsi Aceh

156

16 Kuisioner penelitian jenistanamankomoditi dan ekologi gajah di daerah konflik manusia-gajah Provinsi Aceh

157 17 Kuisioner penelitiansosial budaya dan ekonomi masyarakat jenis

di daerah konflik manusia-gajah Provinsi Aceh

159 18 Surat Keterangan selesai melakukan penelitian 162

(21)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk yang memiliki keinginan untuk berinteraksi dengan sesamanya serta alam lingkungan di sekitarnya dalam sebuah hubungan timbal balik baik positif maupun negatif. Manusia juga sebagai makhluk sosial yang saling berhubungan dan keterkaitannya dengan lingkungan dan tempat tinggalnya (Gifford 1997). Pada umumnya, di dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam di lingkungan atau di ekosistemnya, dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial ekonomi budaya dan faktor ekologi. Semua faktor-faktor tersebut secara bersama-sama dapat menentukan suatu keputusan individu manusia dalam memperlakukan sumber daya alam (Iskandar 2015). Menurut Hadi (2000) bahwa keberadaan manusia di muka bumi memiliki dimensi ganda, sebagai perusak dan pemelihara. Daya nalar manusia mampu menciptakan keserasian dengan lingkungannya, tetapi di lain pihak dengan daya nalarnya pula manusia memiliki potensi besar merusak lingkungan.

Pertumbuhan penduduk terutama migrasi untuk mendukung pembangunan di pulau Sumatera meningkat dengan pesat. Pertumbuhan penduduk akan meningkat dari 20.7% pada tahun 2000 hingga 22.7% tahun 2025 di Sumatera (BPS 2007). Kepadatan penduduk meningkatkan permintaan kebutuhan terhadap sumber daya alam dan semakin mempengaruhi berkurangnya produktifitas sumber daya alam (Wijono 1998). Kebutuhan penduduk yang meningkat memungkinkan masyarakat melakukan kegiatan pembangunan, baik itu pembangunan kehutanan dan non kehutanan. Laju pertumbuhan penduduk yang meningkat mendorong manusia mengeksploitasi sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini menyebabkan terjadinya deforestasi yang tinggi pada tutupan hutan, fragmentasi habitat menjadi habitat yang sempit dan degradasi hutan yang tidak lagi memberikan fungsi optimal sebagai habitat satwamisalnya mamalia besar seperti gajah sumatera (DEPHUT 2007).

(22)

2

akan habis, termasuk provinsi-provinsi di Sumatera yaitu Riau, Kepulauan Riau, Jambi dan Sumatera Selatan (FWI 2014).

Habitat merupakan tempat tinggal mahluk hidup baik itu manusia, satwa dan tumbuhan yang melakukan berbagai aktivitas termasuk berkembangbiak. Suatu spesies tertentu mendiami tipe habitat tertentu atau lanskap tertentu (Mardiastuti 2015). Habitat gajah sumatera meliputi seluruh ekosistem yang beragam di Pulau Sumatera dari Provinsi Lampung sampai Aceh (DEPHUT 2007). Umumnya gajah menempati daerah sungai, rawa, gambut, padang rumput, semak berduri, hutan basah berlembah, hutan payau di dekat pantai, dataran rendah dan tinggi kawasan hutan hujan tropik. Tingginya kerusakan hutan di Indonesia (khususnya di Sumatera) mengakibatkan hilangnya sebagian besar hutan dataran rendah yang juga merupakan habitat potensial bagi gajah. Sejak 25 tahun terakhir, Pulau Sumatera telah kehilangan 70% luas hutan tropis yang menjadi habitat gajah (WWF 2005). Fragmentasi dan konversi habitat menjadi lahan pertanian, perkebunan dan transmigrasi maupun industri kehutanan merupakan ancaman serius terhadap kehidupan gajah dan ekosistemnya (Hill et al. 2002; Blair 2008; Mwamidi et al. 2012). Kondisi seperti ini terjadi hampir di semua kawasan hutan sumatera (Nyhus et al. 1999).

Konflik merupakan pertentangan antara banyak kepentingan, nilai, tindakan atau arahan, serta sudah merupakan bagian yang menyatu sejak kehidupan ada (Johnson dan Duinker 1993). Menurut Surono (2008) bahwa konflik adalah perwujudan cara pandang antara berbagai pihak terhadap obyek yang sama. Konflik antara manusia dan satwa liar terjadi ketika salah satu kebutuhan atau perilaku satwa liar yang memberi dampak negatif pada kehidupan manusia(IUCN 2005; Makindi et al. 2014). Selain itu, konflik manusia-satwa liar merupakan interaksi antara manusia dan satwa liar yang mengakibatkan efek negatif kepada kehidupan sosial manusia, ekonomi, budaya dan pada keberlangsungan hidup (PHKA 2008).

Konflik manusia-satwa liar merupakan ancaman yang serius terhadap kelestarian jenis satwa terancam punah. Konflik ini pernah dilaporkan mengakibatkan 95% kerusakan tanaman pertanian, cedera atau kematian pada ternak, merusak tempat tinggal dan mengancam atau membunuh manusia (Peterson et al. 2010). Konflik manusia-satwa liar secara langsung terjadi di daerah perkotaan maupun pedesaan. Akan tetapi, konflik secara umum lebih sering terjadi di dalam atau di sekitar kawasan lindung. Kerusakan hutan dan fragmentasi habitat satwa untuk perluasan pertanian/perkebunan, pertambangan dan perumahan merupakan penyebab konflik manusia-satwa liar (Jones 2012). Oleh sebab itu, degradasi habitat menyebabkan satwa tersebut masuk ke lahan pertanian/perkebunan yang berdekatan dengan kawasan hutan (Distefano 2009), sehingga satwa liar merusak tanaman budi daya masyarakat.

(23)

3 bahwa satwa liar akan tetap menganggap kawasan hutan yang dibuka manusia merupakan bagian dari wilayah jelajah karena satwa tidak punya alternatif lain. Perilaku Philopatric pada satwa akan mendorong satwa tersebut untuk kembali ketempat semula setelah terdispersi (Waser 1988). Seperti halnya, pada beberapa satwa liar memiliki fidelity site (kesetiaan pada tempat) wilayah jelajah yang tepat dalam jangka waktu sangat panjang yang diturunkan dari generasi ke generasi (Fishlock 2015). Perilaku tersebut menyebabkan satwa akan tetap mengikuti wilayah jelajah walaupun wilayah tersebut sudah berubah menjadi lahan pertanian, perkebunan dan pemukiman karena sejarah wilayah jelajah yang dimiliki oleh satwa liar (Rood et al 2008).

Gajah asia (Elephas maximus) di Indonesia hanya ditemukan di Sumatera dan Kalimantan bagian timur. Gajah asia memiliki empat sub-spesies, yaitu

Elephas maximus maximus, Elephas maximus indicus, Elephas maximus sumatranus dan Elephas maximus borneensis (Shoshani dan Eisenberg 1982; Santiapillai dan Jackson 1990). Sejak tahun 1990, CITES (Convention on International Trade of Endangered Species of Fauna and Flora, konvensi tentang Perdagangan International Flora dan Fauna terancam punah) telah mengategorikan gajah asia dalam kelompok Appendix I di Indonesia (WCMC 2011). Secara tidak spesifik, karena gajah sumatera menjadi bagian dari spesies gajah asia, maka pada tahun 1994, gajah sumatera telah dimasukan ke dalam kategori jenis terancam punah (IUCN 1994), akan tetapi pada bulan November 2011, Elephas maximus sumatranus untuk pertama kali secara spesifik masuk ke dalam daftar Jenis Kritis (Critically Endangered-CR). Status ini berada satu tingkat sebelum status punah di alam (IUCN 2011).

Gajah memiliki feeding rate yang tinggi sesuai dengan ukuran tubuh, umur dan jenis kelamin (Poole 1996) tergantung pada daerah, cuaca dan ekosistem (Fowler dan Mikota 2006). Gajah merupakan satwa yang memiliki wilayah jelajah (home range) yang tetap di habitatnya sehingga akan terus berada pada habitat yang sempit dan mempertahankan wilayah jelajahnya (Oliver 1980; Rood et al.

2008). Akhirnya, terjadi kehilangan habitat gajah secara nyata sejak tahun 1993, sehingga gajah mulai mengeksplorasi keberadaan sumber pakan yang baru yang berdekatan dengan wilayah jelajahnya ke lahan pertanian atau perkebunan masyarakat (Santiapillai dan Widodo 1993; Nyhus et al. 2000; Sinaga 2000; Sitompul et al. 2004). Kerusakan tanaman yang disebabkan oleh gajah diduga karena tingginya tingkat kesukaan terhadap jenis tanaman yang ditanam petani (Sukumar 2003). Kesukaan terhadap jenis tanaman tersebut di sertai dengan sifat gajah yang selektif dalam memilih makanannya dan akan memakan beberapa taxa dari tumbuhan yang sangat berbeda(Fowler dan Mikota 2006). Hal ini untuk mencukupi kebutuhan energi dengan melakukan strategi optimal mencari pakan (Sukumar 1990). Keadaan ini dapat menimbulkan peningkatan intensitas konflik antara gajah dengan para petani.

(24)

4

pertanian di Cameroon (Weladji dan Tchamba 2003), merusak lahan pertanian rata-rata 0.98 ha pertahun di Ghana (Adjewodah at al. 2005), kerugian mencapai 14% pertahun dari total produksi pertanian di Karnatake India (Madhusudan 2003), dan kerugian ekonomi mencapai US$ 314000 dari tahun 1996-1999 di Samao China. Gajah ke luar dari kawasan hutan dan masuk ke dalam areal pertanian (Yogasara et al. 2012) menyebabkan kerusakan rumah penduduk, tanaman budi daya, melukai dan membunuh orang (Nyhus et al. 2000; Sitompul 2004; Woodroffe et al. 2005), mengganggu aktivitas masyarakat sehari-hari (Hoare 2000), yang mengakibatkan tingginya biaya ekonomi (Kiringe dan Okello 2007). Oleh sebab itu, kerusakan pada komoditi tanaman mengakibatkan kerugian sosial ekonomi masyarakat (Hoare 1992) dengan nilai kerusakan terlihat bervariasi di setiap daerah, sesuai dengan luas lahan yang dimiliki dan ekonomi masyarakat yang tergantung pada aktivitas pertanian di pedesaan (Messmer 2000). Selama tiga tahun terakhir sejak tahun 2000, kerugian ekonomi yang disebabkan oleh konflik Gajah di Riau mencapai sekitar 1.99 milyar (Fadhli 2004). Pada tahun 2013 kerugian ekonomi di Jambi mencapai sekitar 13.65 miliar (FZS 2013), belum lagi jika ditambahkan dengan angka keseluruhan konflik gajah di Sumatera. Kerugian ini belum termasuk kerugian secara psikhis yang dialami masyarakat saat berkonflik.

Konflik manusia-gajah juga dapat diindikasikan dengan meningkatnya kematian gajah karena jeratan, racun dan perburuan (Ogada et al. 2003). Menurut Azmi et al. (2012) bahwa dari bulan Maret sampai bulan Juli 2012, ditemukan kasus kematian gajah karena diracun di beberapa tempat di Aceh dan Riau. Jumlah gajah yang mati mencapai 17 ekor, teridentifikasi mati karena racun. Hasil penyelidikan awal menunjukkan adanya hubungan antara kematian gajah di Aceh dan Riau, dengan pengembangan perkebunan kelapa sawit. Pada tahun 2000 sampai 2007 tercatat terjadi kasus kematian gajah diberbagai daerah di Aceh berjumlah 71 ekor, gajah yang ditangkap 221 ekor, dan manusia yang meninggal dunia akibat konflik sebanyak 25 jiwa. Selanjutnya beberapa kasus konflik manusia-gajah di Provinsi Aceh dari tahun 2007 sampai 2008 ditemukan adanya ganggu tanaman komoditi 18 kasus, kerusakan tempat tinggal 4 kasus dan adanya terluka dan meninggal dunia 4 kasus. Konflik ini terus meningkat pada tahun 2011 sampai 2012 kerusakan pada tanaman komoditi tercatat 38 kasus dan korban terluka atau meninggal dunia 5 kasus.

(25)

5 manusia-gajah, agar tercipta keseimbangan antara kepentingan kelestarian gajah dan tetap terjamin kepentingan sosial ekonomi masyarakat pada kondisi yang terbaik (optimum) di daerah konflik manusia-gajah.

Strategi merupakan suatu cara mencapai tujuan-tujuan, sesuai dengan peluang-peluang dan ancaman-ancaman lingkungan eksternal yang dihadapi serta sumber daya dan kemampuan internal. Berdasarkan pada definisi tersebut, terdapat tiga faktor yang mempunyai pengaruh penting pada strategi, yaitu lingkungan eksternal, sumber daya dan kemampuan internal, serta tujuan yang akan dicapai (Jatmiko 2003). Jauch dan Glueck (2000) menyatakan bahwa strategi adalah rencana yang disatukan, menyeluruh dan terpadu yang mengaitkan keunggulan strategi dengan tantangan lingkungan yang dirancang untuk memastikan bahwa tujuan utama dapat dicapai melalui pelaksanaan yang tepat. Jadi, strategi pengendalian konflik manusia-gajah merupakan suatu cara atau upaya terencana yang terpadu mengaitkan dimensi ekologi, ekonomi dan sosial budaya pada kedua belah pihak dengan pengaturan tanaman budi daya masyarakat untuk mengurangi konflik manusia-gajah. Strategi ini dapat diterapkan bila ada kerja sama secara terbuka dan partisipasi antara agen pembangunan, para pemegang keputusan pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten, para pihak yang terkait dan peduli terhadap konflik manusia-gajah (DEPHUT 2007). Prinsipnya semua pihak berharap agar populasi gajah di Sumatera dapat hidup berdampingan dengan manusia dan juga dengan aktivitas pembangunan.

Perumusan Masalah

Kepadatan penduduk meningkatkan deforestrasi dan fragmentasi habitat gajah sumatera. Laju perluasan pertanian, perkebunan, pemukiman dan perindustrian kehutanan yang cepat akan menurunkan daya dukung habitat sehingga tidak lagi memberikan fungsi optimal sebagai habitat gajah. Habitat tersebut tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pakan gajah secara kualitatif dan kuantitatif sehingga gajah masuk ke lahan pertanian kemudian merusak tanaman budi daya masyarakat. Gajah melakukan pergerakan yang tetap secara periodik pada wilayah jelajahnya. Oleh sebab itu, terkadang gajah menemukan tanaman budi daya pertanian yang sebelumnya belum ditanam di dalam atau di dekat wilayah jelajah gajah, kemudian merusak dan memakan tanaman tersebut. Kerusakan tanaman tersebut menyebabkan kerugian ekonomi pada petani. Disamping itu, juga mengancam kelestarian gajah karena tindakan petani yang detrimental terhadap gajah. Kerugian kedua belah pihak inilah yang menyebabkan konflik antara manusia dan gajah.

(26)

6

adanya hubungan antara kematian gajah dengan pengembangan perkebunan kelapa sawit. Hal ini disebabkan gajah merusak dan memakan tanaman kelapa sawit. Kerusakan tanaman tersebut diduga tingginya tingkat kesukaan (palatability) gajah terhadap jenis budi daya yang ditanam petani (Sukumar 2003). Menurut DEPHUT (2007) bahwa kerusakan tanaman yang ditimbulkan oleh gajah dapat dikategorikan menjadi dua bagian yaitu kerusakan tanaman yang terjadi akibat gajah kebetulan menemukan lahan pertanian yang berada di dalam atau berdekatan dengan daerah jelajahnya (opportunistic raiding) dan kerusakan tanaman yang diakibatkan oleh gajah yang keluar dari habitatnya akibat kerusakan habitat, fragmentasi habitat ataupun degradasi habitat yang parah (obligate raiding).

Konflik manusia-gajah terjadi bervariasi dan meluas di daerah jelajah gajah (Seidensticker 1984) dan meningkat karena gajah keluar dari kawasan hutan dan masuk ke dalam areal pertanian (Yogasara et al. 2012), sehingga menyebabkan kerusakan rumah penduduk, tanaman budi daya, melukai, membunuh orang (Nyhus et al. 2000; Sitompul 2004), mengganggu aktivitas masyarakat sehari-hari (Hoare 2000), yang mengakibatkan tingginya biaya keuangan perorangan (Kiringedan Okello 2007). Kerusakan tanaman budi daya yang ditanam petani mengakibatkan kerugian sosial ekonomi (Hoare 1992) dengan nilai kerusakan terlihat bervariasi di setiap daerah (Fadhli 2004), sesuai dengan jumlah lahan yang dimiliki dan ekonomi masyarakat yang tergantung pada aktivitas di pedesaan (Messmer 2000).

Penelitian konflik manusia-gajah selama ini banyak terarah untuk mencari teknik baru yang bertujuan untuk mengusir gajah atau memisahkan gajah dengan lahan budi daya manusia dengan berbagai metode (Nyirendra et al. 2012; Lenin dan Sukumar 2011; Monney et al. 2010). Metode mitigasi konflik manusia-gajah dilakukan masyarakat secara perorang atau perkelompok saling bekerja sama menghalau gajah keluar dari lahan pertanian atau pemukiman. Respon yang dilakukan masyarakat sesuai dengan peraturan untuk mengurangi konflik manusia-gajah. Pemerintah Indonesia mengembangkan peraturan P.48/Menhut-II/2008 untuk mengurangi konflik manusia-gajah. Respon pertama, menghalau gajah dari daerah pertanian dengan menggunakan metode tradisional dan penjagaan untuk mendeteksi serta mencegah gajah memasuki lahan pertanian. Peraturan ini mengharuskan metode tersebut untuk diterapkan terlebih dahulu sebelum menangkap atau memindahkan gajah (MENHUT 2008).

(27)

7 McWilliam 2008). Pembuatan pagar listrik, parit dan pengayaan pakan di habitat gajah di China (Luo 2007) dan di Nepal (Yadav 2004). Menjaga tanaman budi daya dengan membuat pagar dari listrik, pagar cabe, dan tower pengintai kawanan gajah di Kenya (Sitati dan Walpole 2006). Pemagaran tanaman dengan kawat berduri dan menggantungkan lempengan logam di pagar tersebut untuk memisahkan tanaman budi daya dengan gajah yang datang di Sri Lanka (Perera 2007; Perera et al. 2007). Mitigasi yang dilakukan dengan menghalau gajah ke habitatnya atau mentranslokasikan ke daerah lain atau dijinakkan gajah liar pernah dilakukan di Myanmar, (Kyaw dan Cho 2004).

Penanggulangan konflik manusia-gajah memerlukan pembiayaan dalam menjalankan upaya tersebut. Masyarakat di daerah konflik harus menyediakan anggaran tambahan (cost center) baru di luar investasi normal pengembangan budi daya pertanian/perkebunan. Hal tersebut menambah beban ekonomi bagi petani sebagai konsekuensi menerapkan skema mitigasi konflik. Begitu juga bagi otoritas pengelola gajah dalam hal ini Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam dan pemerintah kabupaten serta para pemukim yang terlibatkonflik tersebut sudah sangat dirasakan kesulitan dan menjadi beban yang berkepanjangan (DEPHUT 2007). Upaya yang dilakukan selama ini belum menghasilkan solusi yang efektif dan efisien karena hanya bersifat penanggulangan konflik jangka pendek.

Metode penanggulangan konflik manusia-gajah yang dilakukan hanya bertujuan untuk mencegah gajah masuk ke lahan pertanian masyarakat, tanpa melihat perilaku gajah ketika merusak tanaman budi daya. Prinsipnya, gajah yang pernah masuk ke dalam areal perkebunan akan terus mencoba kembali ke lokasi tersebut. Karena mereka menemukan sumber makanan yang baru dan tidak tersedia atau berbeda dengan sumber makanan di habitatnya. Oleh sebab itu, perlu dicarikan suatu strategi untuk pengendalian konflik manusia-gajah dengan pendekatan sosial ekonomi masyarakat berdasarkan kerentanan tanaman terhadap gangguan gajah, preferensi gajah terhadap tanaman budi daya masyarakat, persepsi masyarakat terhadap konservasi dan status keberlanjutan pengelompokan tanaman budi daya yang rendah resiko terhadap gangguan gajah.

(28)

8

masyarakat yang terkait dengan konflik masyarakat dengan gajah secara proporsional.

Sesuai dengan rumusan masalah maka pertanyaan penelitian yang diajukan adalah:

1. Bagaimana kerentanan budi daya pertanian terhadap gangguan gajah sumatera di daerah konflik manusia-gajah Provinsi Aceh.

2. Bagaimana tingkat preferensi pakan dan perilaku gajah terhadap tanaman budi daya pertanian di Provinsi Aceh.

3. Bagaimana kondisi sosial ekonomi masyarakat di daerah konflik manusia-gajah Provinsi Aceh.

4. Bagaimana status keberlanjutan tanaman budi daya alternatif di daerah konflik manusia-gajahProvinsi Aceh.

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk merumuskan strategi pengaturan tanaman budi daya untuk mengendalikan konflik manusia-gajah. Dalam rangka mencapai tujuan umum tersebut, kegiatan penelitian ini dibagi menjadi beberapa tujuan antara yaitu:

1. Menganalisis kerentanan budi daya pertanian terhadap gangguan gajah sumatera di daerah konflik manusia-gajahProvinsi Aceh.

2. Menganalisis tingkat preferensi pakan dan perilaku makan gajah terhadap tanaman budi daya pertanian di Provinsi Aceh.

3. Menganalisis sosial ekonomi masyarakat di daerah konflik manusia-gajah Provinsi Aceh.

4. Menganalisis status keberlanjutan tanaman budi daya alternatif di daerah konflik manusia-gajah Provinsi Aceh.

Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah untuk :

1. Memberikan persepsi yang sama pada seluruh pihak terkait, mulai dari tingkat desa sampai provinsi terhadap konflik manusia-gajah.

2. Sebagai dasar untuk menentukan kebijakan konservasi gajah sumatera di luar kawasan konservasi yang sering terjadi konflik manusia-gajah.

3. Sebagai pola penanganan konflik manusia-gajah secara efektif dan efisien yang tidak hanya sekedar meredakan konflik secara singkat, tetapi berdampak lebih lama dengan memperhatikan kebutuhan konservasi gajah sebagai kesatuan populasi yang viable (dapat hidup terus) di Sumatera.

4. Mempromosikan konsep hidup berdampingan antara manusia-gajah dengan cara memilih budi daya jenis tanaman budi daya yang tidak beresiko dengan gajah (Human-elephant co-existence).

5. Memberikan manfaat bagi nilai pendidikan dan pengetahuan mengenai konservasi gajah sumatera terutama yang berkaitan dengan preferensi pakan dan perilaku makan gajah.

(29)

9 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian untuk memenuhi tujuan penelitian sebagaimana diatas, maka dilakukan beberapa tahapan sebagai berikut :

1. Penelitian Pertama, tentang kerentanan budidaya pertanian/perkebunan yang ditanam masyarakat serta alternatif pola penanaman tanaman tersebut di daerah konflik manusia-gajah, mencakup jenis tanaman budi daya yang dirusak/dimakan dan yang tidak dirusak/dimakan gajah.

2. Penelitian Kedua, tentang preferensi pakan dan perilaku makan gajah terhadap tanaman budi daya pertanian dan perkebunan. Penelitian ini berhubungan dengan penelitian sebelumnya, sebagai langkah untuk memperkuat asumsi tentang adanya preferensi dan perilaku selektivitas gajah dalam memakan tanaman budi daya sebagai pakannya.

3. Penelitian Ketiga, tentang sosial ekonomi masyarakat di daerah konflik manusia-gajah dengan fokus pada persepsi masyarakat tentang koservasi gajah. 4. Penelitian Keempat, tentang strategi pengaturan tanaman budi daya sebagai alternatif solusi konflik dan tingkat keberlanjutannya baik dilihat dari dimensi bioekologi, ekonomi dan sosial budaya.

Secara teknis, dalam penulisan disertasi ini setiap aspek penelitian tersebut di atas disajikan secara terpisah menjadi bab tersendiri, kemudian disintesis pada bagian akhir melalui pembahasan umum yang menekankan pada dua bahasan utama yang dipandang penting terkait dengan mitigasi konflik gajah-manusia, yakni strategi pengaturan tanaman budi daya pertanian dan implikasi konservasi dari temuan dalam penelitian ini.

Kerangka Pemikiran

Pertambahan penduduk mengakibatkan peningkatan kebutuhan manusia terutama pangan. Kenaikan kebutuhan pangan dapat dipenuhi dengan ekstensifikasi lahan pertanian/perkebunan. Seiring dengan pertambahan penduduk, kebutuhan akan lahan pertanian juga meningkat. Oleh sebab itu, eksploitasi hutan untuk membuka lahan pertanian/perkebunan baru banyak dilakukan masyarakat. Laju perluasan lahan pertanian, perkebunan, pemukiman serta industri kehutanan secara langsung telah memberikan pengaruh terhadap berkurangnya habitat gajah. Menurut Mardiastuti (2015) bahwa perlu diingat kembali, bahwa deforestasi, degradasi hutan, fragmentasi hutan, dan perubahan tata guna lahan terjadi pada skala yang luas, yaitu skala lanskap. Walau masing-masing dapat terjadi secara independen (terpisah), pada suatu lanskap, pada prakteknya keempatnya terjadi pada saat bersamaan; hutan menjadi berkurang (deforestasi) untuk diubah menjadi peruntukan lain (tata guna lahan) yang lain, sisa hutan terpecah menjadi fragmen kecil-kecil (fragmentasi), sementara sebagian hutan yang tersisa lebih banyak ditebang secara terpilih (degradasi).

(30)

10

wilayah jelajah yang tetap, sehingga pergerakannya mengikuti rute jelajah secara periodik (berulang setiap periode tertentu). Gajah akan tetap melintas di wilayah jelajahnya meskipun sudah berubah menjadi areal pertanian/perkebunan. Saat gajah melintas di wilayah jelajahnya secara kebetulan menemukan lahan pertanian/perkebunan yang berada di dalam atau berdekatan dengan wilayah jelajahnya (opportunistic raiding). Kemudian memakan dan merusak tanaman budi daya masyarakat. Hal inilah merupakan faktor permasalahan utama terjadinya konflik manusia-gajah.

Konflik manusia-gajah diawali dari deforestasi yang mengakibatkan terfragmentasinya habitat gajah. Gajah memiliki wilayah jelajah yang luas dan pola persebaran yang berada lebih banyak diluar kawasan konservasi. Hingga saat ini diketahui 85% populasi gajah di Sumatera berada diluar kawasan konservasi (DEPHUT 2007). Habitat alami gajah di luar kawasan konservasi rentan untuk difragmentasi dan dikonversi. Konflik manusia-gajah terjadi ketika tidak ada keseimbangan antara kesejahteraan antara kesejahteraan manusia dan gajah, sehingga mengakibatkan kerugian kedua belah pihak. Dampak yang dialami manusia terhadap konflik tersebut yaitu kerusakan tanaman budi daya pertanian/perkebunan, kerusakan tempat tinggal, cidera/ luka dan korban jiwa. Bahkan kerugian phsikis secara tidak langsung pada masyarakat, sehingga masyarakat merasa takut. Mereka tidak berani beraktivitas dan bekerja di luar rumah dan tidak dapat pergi kesekolah. Sebaliknya gajah juga mengalami kerugian dampak konflik manusia-gajah yaitu banyak gajah yang terluka dan mati akibat ditembak, jeratan, dan racun.

Konfik manusia-gajah semakin mengikat dan rumit (DEPHUT 2007), walaupun masyarakat sudah melakukan berbagai upaya untuk menghalau gajah dari lahan pertaniannya sesuai dengan tindakan pencegahan konflik manusia-gajah yang tercantum pada permenhut P.48/Menhut-II/2008. Upaya yang dilakukan masyarakat seperti melakukan penghalauan dengan membuat suara gaduh yang berasal dari drum bekas, menghidupkan obor/meriam/petasan, membuat pagar dari cabe/kawat berduri, dan membuat parit. Akan tetapi, upaya pengendalian konflik yang dilakukan masyarakat selama ini belum menghasilkan solusi yang efektif dan efisien secara jangka panjang. Karena masyarakat cenderung melakukan upaya mitigasi secara parsial, tidak menyentuh aspek ekologi, sosial ekonomi masyarakat dan bertujuan menjauhkan gajah dari tanaman budi daya. Oleh sebab itu, perlu dicari strategi melalui pendekatan baru yang holistik dan integratif yang memadukan tiga aspek tersebut, sehingga dapat mengurangi konflik manusia-gajah.

(31)

11 berkelanjutan (sustainable). Secara keseluruhan, penelitian tentang strategi pengaturan tanaman budi daya untuk pengendalian konflik gajah sumatera memungkinkan untuk dilakukan. Jenis tanaman budi daya alternatif tersebut dapat diatur penanamannya didaerah konflik manusia-gajah. Hal tersebut tidak hanya menjawab permasalahan konservasi gajah, namun secara bersamaan menjadi solusi dari permasalahan perekonomian masyarakat yang terkait dengan konflik masyarakat dengan gajah secara proporsional. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1 Diagram alir kerangka pemikiran (modifikasi Anderson 1985; Alikodra 2012).

Kebaruan (Novelty)

Konflik manusia-gajah terjadi hampir di berbagai wilayah dimana terdapat penyebaran gajah (Zhang dan Wang 2003 ; Sitati et al. 2003; Gubbi et al. 2014). Menurut Perera (2009) bahwa konflik terjadi di beberapa negara yaitu Bangladesh, Bhutan, Cambodia, China, India, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Nepal, Sri Lanka, Thailand, Vietnam dan Afrika. Fenomena konflik manusia-gajah di Indonesia semakin meningkat setiap tahun. Untuk mengatasi

Gajah Lestari

Gajah Habitat

Manusia

Konflik

(32)

12

(33)

13

2

KERENTANAN BUDIDAYA PERTANIAN TERHADAP

GANGGUAN GAJAH SUMATERA DIDAERAH KONFLIK

MANUSIA-GAJAH PROVINSI ACEH

Pendahuluan

Salah satu permasalahan konflik yang banyak menarik perhatian masyarakat, dunia usaha maupun pemerintah terkait dengan konservasi gajah di banyak wilayah penyebaran gajah adalah konflik manusia dan gajah (Zhang dan Wang 2003 ; Sitaati et al. 2003; Gubbi et al. 2014). Fenomena konflik ini juga telah banyak terjadi di Indonesia antara manusia dan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) di wilayah-wilayah penyebarannya yakni provinsi Sumatera Selatan, Lampung bagian selatan, Bengkulu bagian selatan, Jambi bagian selatan, Aceh bagian utara dan provinsi Riau bagian timur.

Konflik terjadi karena adanya fragmentasi habitat gajah sehingga gajah keluar dari kawasan hutan, sebagai habitat utamanya lalu melakukan pergerakan masuk ke areal pertanian, perkebunan dan permukiman masyarakat yang menimbulkan kerusakan yang berdampak kerugian sosial ekonomi. Konflik timbul karena secara ekologis gajah sebagai satwa dilindungi yang harus dijaga kelestariannya, sementara pada saat yang bersamaan ada kepentingan sosial ekonomi masyarakat yang juga harus dijamin terjaga dari kemungkinan kerusakannya akibat pergerakan gajah tersebut. Beberapa peneliti dan penggiat konservasi menyatakan bahwa populasi gajah kini terancam karena hilangnya habitat, perburuan dan konflik secara langsungdengan manusia (Santiapillai dan Jackson 1990; Leimgruber et al. 2003; Nyhus dan Tilson 2004; Hedges et al. 2005). Penelitian di Sumatera telah mencatat bahwa konflik gajah dengan manusia ini sudah terjadi sejak tahun 1982 (Haris 1988) bahkan cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun. Rood et al. (2008) melaporkan bahwa antara tahun 1985 dan 1997 tercatat 62 kasus konflik manusia dan gajah di seluruh Aceh, dan meningkat menjadi 316 kasus pada tahun 2000-2006. Secara spesifik diidentifikasi bahwa dari kasus konflik tersebut hanya 120 kasus konflik yang terjadi tahun 2000 sampai 2007 yang berhubungan dengan serangan gajah terhadap tanaman masyarakat. Selain itu, informasi dari ACCI (2014) bahwa selama 2008-2014 tercatat 143 kasus konflik gajah-manusia yang terjadi di seluruh Aceh.

(34)

14

nyata terhadap jumlah gajah karena hilangnya habitat melampaui batas. Oleh karena itu Elephas maximus sumatranus memenuhi kriteria A2c untuk Critically Endangered-CR (IUCN 2011). Kondisi ini menuntut perhatian dan penanganan mitigasi konflik yang tepat, agar kepentingan pelestarian gajah disatu pihak tetap terjamin sementara pada saat yang bersamaan juga ada jaminan amannya kepentingan sosial ekonomi masyarakat pada kondisi yang terbaik (optimum).

Berdasarkan informasi umum dari masyarakat, laporan dari beberapa hasil penelitian maupun pengamatan penggiat konservasi gajah, serta pengamatan pendahuluan di beberapa lokasi konflik menunjukkan bahwa ada fenomena kerentanan jenis dan sistem tanam budi daya yang berbeda. Kondisi ini diduga kuat sebagai akibat dari adanya selektifitas gajah dalam pola pergerakan dan pemilihan jenis tanaman budi daya sebagai pakannya. Gajah diketahui mengkonsumsi segala tumbuhan dan diperkirakan mengkonsumsi lebih dari 400 spesies tumbuhan yang berbeda di alam, namun sangat selektif dalam memilih pakannya. Gajah akan memakan beberapa taksa dari tumbuhan yang sangat berbeda tersebut tergantung pada daerah, cuaca dan ekosistem (Fowler dan Susan 2006). Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa gajah cenderung memilih tanaman budi daya tertentu (Nyhus et al. 2000; Azmi et al. 2012; Sitompul 2004; Yogasara et al. 2012). Fenomena ini kembali menegaskan dugaan kuat adanya perbedaan tingkat kerentanan jenis tanaman budi daya masyarakat terhadap kerusakan oleh gajah di daerah-daerah konflik, karena terkait dengan perbedaan preferensi atau tingkat kesukaan gajah terhadap jenis-jenis tanaman sebagai pakannya. Walaupun demikian, sejauh ini belum ada data dan informasi komprehensif mengenai lokasi terjadinya konflik manusia-gajah dan informasi berdasarkan persepsi dan penilaian masyarakat yang menunjukkan jenis-jenis tanaman budi daya apa saja yang ditanam masyarakat, jenis tanaman yang dirusak dan tidak dirusak, dan bagaimana tingkat kerentanannya, serta bagaimana alternatif pengaturan pola budidaya tanaman untuk memperkecil resiko perusakan oleh gajah. Berdasarkan pemikiran tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan: (1) menganalisis kondisi umum daerah konflik manusia-gajah di Provinsi Aceh, (2) mengidentifikasi jenis tanaman budi daya yang ditanam dan sistem tanam yang dilakukan masyarakat, (3) mengidentifikasi jenis-jenis tanaman budi daya yang dirusak dan tidak dirusak gajah, (4) menganalisis dan mengkategorisai kerentanan kerusakan tanaman budidaya oleh gajah, dan (5) menganalisis pengaturan budidaya tanaman untuk memperkecil resiko kerusakan oleh gajah.

Metode Waktu dan Lokasi penelitian

(35)

15 yang memiliki organisasi pengusiran gajah, Unit Respon Konservasi (Conservation Respon Unit-CRU).

Gambar 2.1 Peta lokasi penelitian Pengambilan Data

Metode penelitian menggunakan cara wawancara dan pengisian kuesioner. Data mengenai kondisi daerah konflik manusi-gajah diperoleh melalui berbagai sumber sekunder dan wawancara masyarakat di daerah konflik manusia-gajah. Data diperoleh dari masyarakat sebagai subjek utama penelitian, yakni masyarakat yang secara langsung mengalami konflik atau terkena dampak gangguan gajah karena lahan dan tanaman budidayanya dilewati, dimakan dan/atau dirusak gajah, juga kepada tokoh-tokoh adat dan aparat pemerintah daerah di lima wilayah kecamatan konflik. Setiap wilayah kecamatan diwakili oleh 30 orang responden (Nazir 2003), sehingga total responden di lima wilayah sebanyak 150 responden. Data yang dikumpulkan meliputi;jenis tanaman budi daya dan sistem tanam yang dilakukan masyarakat, jenis tanaman yang dirusak dan tidak dirusak gajah, dan jumlah persentase kerusakan tanaman budidaya.

Analisis Data

(36)

16

budidaya didasarkan pada besarnya persentase kerusakan tanaman oleh gajah menurut penilaian masyarakat. Ada tiga kategori kerentanan menurut penilaian masyarakat yang digunakan untuk mengklasifikasi kerentanan jenis tanaman budidaya, yakni tinggi apabila persentase kerusakan >15%, sedang apabila persentase kerusakan 5-14%, dan rendah apabila persentase kerusakan <5%.

Hasildan Pembahasan Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Provinsi Aceh terletak antara 01o58’37,2” – 06o04’33,6” Lintang Utara dan 94o57’57,6” – 98o17’13,2” Bujur Timur dengan ketinggian rata-rata 125 meter diatas permukaan laut. Pada tahun 2013 Provinsi Aceh terletak atas 18 kabupaten dan 5 kota, 289 kecamatan, 779 mukim dan 6474 gampong atau desa. Batas-batas wilayah provinsi Aceh, sebelah Utara dan Timur berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara dan sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Selatan Indonesia. Luas Provinsi Aceh 5 677 081 hektar dengan hutan sebagai lahan terluas yang mencapai 2 270 080 hektar, diikuti lahan perkebunan rakyat seluas 700350 hektar, sedangkan lahan industri mempunyai luas terkecil yaitu 2 096 hektar.

Konflik manusia-gajah di Provinsi Aceh terjadi di daerah-daerah yang terdapat populasi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus). Gajah memiliki wilayah jelajah yang luas dan pola persebaran yang berada lebih banyak diluar kawasan konservasi. Hingga saat ini diketahui 85% populasi gajah di Sumatera berada diluar kawasan konservasi (DEPHUT 2007). Berdasarkan laporan dari masyarakat, penggiat konservasi dan media massa bahwa lokasi penelitian ini merupakan daerah yang sering terjadi konflik sejak tahun 2005 sampai 2014. Selain itu beberapa dari daerah ini memiliki organisasi pengusiran gajah, Unit Respon Konservasi (Conservation Respon Unit-CRU). Daerah konflik gajah ini hanya merupakan perwakilan dari beberapa daerah konflik manusia-gajah di Provinsi Aceh. Daerah tersebut adalah Kecamatan Cot Girek, Kecamatan Mane, Kecamatan Meureudu, Kecamatan Sampoiniet dan Kecamatan Pante Ceureumen.

Kecamatan Cot Girek, Kabupaten Aceh Utara

(37)

17 tersebut terdapat perkebunan sawit, coklat, karet dan pinang yang lebih luas dari pada desa lainnya, sehingga gajah merusak tanaman budi daya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pakan. Gangguan gajah tersebut mengakibatkan ekonomi masyarakat sekitar semakin terpuruk, karena sekitar 2000 ha lahan yang telah ditanami ratusan pohon sawit, coklat dan pinang, dirusak dan dimakan gajah. Kerugian secara tidak langsung juga dirasakan masyarakat di Cot Girek seperti ketakutan tidak berani untuk beraktivitas diluar rumah, tidak dapat bersekolah atau mengaji. Selanjutnya terdapat 22 kepala keluarga yang meninggalkan kebun mereka yang ditanami pisang, coklat, dan pinang untuk mengungsi dari gangguan gajah.

Kecamatan Mane, Kabupaten Pidie

Mane merupakan kecamatan di Kabupaten Pidie dengan luas wilayah 57.19 km2 yang terdiri dari 34 desa dengan jumlah penduduk 8 181 jiwa. Kecamatan ini berbatasan di sebelah utara dengan Kecamatan Meureudu Kabupaten Pidie Jaya, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Tenom Kabupaten Aceh Jaya dan Kecamatan Sungai Mas Kabupaten Aceh Barat, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Tangse dan Krueng Sabe Aceh Barat, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Geumpang Kabupaten Pidie, Kecamatan Meureudu Kabupaten Pidie Jaya dan Kecamatan Tenom Kabupaten Aceh Jaya. Keadaan hutan primer di Kecamatan Mane sangat luas di bandingkan dengan hutan sekunder. Berdasarkan laporan dari masyarakat setempat gajah masuk ke areal perkebunan, kemudian memakan dan merusak tanaman lebih kurang 50 ha serta mengakibatkan warga luka-luka dan dua orang koban jiwa,tewas di amuk gajah saat bekerja di kebunnya, satu orang korban jiwa saat melakukan pengusiran gajah. Tanaman yang dirusak dan dimakan gajah yaitu berbagai tanaman warga, berupa pisang, pinang, durian, coklat dan padi. Selain kerugian yang dirasakan masyarakat, gajah juga mengalami kerugian yaitu terdapat seekor gajah jantan berumur sekitar 10 tahun mati yang diduga akibat kena setrum. Sumber listrik yang membunuh hewan dilindungi tersebutberasal dari kabel listrik di kolam ikan lele milik warga gampong setempat. Oleh karena seringnya gajah turun kepemukiman, warga dan pemerintah kabupaten segera membangun unit patroli gajah untuk mengatasi konflik manusia-gajah.

Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya

(38)

18

perkebunan yang diganggu gajah semakin meluasdi kawasan Krueng Tijee, sehingga masyarakat melaksanakan doa bersama berharap gajah menjauh dan berhenti merusak tanaman perkebunan.

Kecamatan Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya

Kecamatan Sampoiniet terdiri dari 37 desa yang tersebar di daerah pesisir dan di sekitar kawasan hutan dengan luas 1011 km2 atau 101100 ha. Kecamatan Sampoiniet merupakan wilayah terluas di Kabupaten Aceh Jaya (30% dari luas seluruh Kabupaten) dengan jumlah penduduk 7 007 jiwa. Secara administratif Kecamatan Sampoiniet sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Jaya dan Kabupaten Kota Jantho, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Setia Budi, dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Tangse Kabupaten Pidie. Terdapat Gunung Ulu Masen yang memiliki hutan primer yang melingkup hutan daratan rendah dan hutan daratan tinggi. Wilayah ini merupakan salah satu habitat gajah terbesar di Aceh. Hadirnya perkebunan kelapa sawit diduga memunculkan konflik manusia-gajah yang komplek pada warga pedalaman Aceh Jaya. Kawanan gajah masuk ke lahan perkebunan dekat dengan permukiman penduduk karena habitat mereka dirusak. Hutan adat dan tanah warga hampir semuanya menjadi perkebunan kelapa sawit, sehingga semakin mempersempit habitat alami gajah. Berdasarkan laporan masyarakat, gajah telah mengganggu aktivitas masyarakat sehari-hari sehingga mereka tidak berani pergi ke kebun dan mengungsi di mesjid. Hal ini disebabkan karena selompok gajah masuk ke lahan pertanian sekitar puluhan ekor sehingga situasi semakin mencekam. Selain itu, saat 16 orang petani sedang menuai padi di areal persawahan seluas dua ha, mereka dikepung oleh gajah mencari pakan di sawah. Oleh sebab itu, warga tidak berani ke kebun untuk melakukan aktivitas dalam mencari nafkah.Padahal petani hanya mengandalkan hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.Sejak gajah datang ke lahan pertanian masyarakat, mengganggu di sejumlah desa pedalaman di Kabupaten Aceh Jaya dinilai telah menyebabkan rakyat daerah tersebut sengsara. Betapa tidak, satwa yang dilindungi itu dengan leluasa merusak tanaman padi, sawit, karet, coklat, singkong, sagu pisang, karet dan sejumlah tanaman lainnya.Musibah terjadi saat petani berusaha untuk mengusir gajah dari lahan perkebunan, dua orang tewas diinjak gajah saat berada di lahan pertanian. Selain itu, gajah juga mengalami kematian sehingga semakin berkurangnya jumlah populasi di alam. Seekor gajah betina liar ditemukan mati diracun di areal perkebunan kelapa sawit Desa Krueng Ayon, Kecamatan Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya. Selanjutnya ditemukan juga seekor gajah berusia sekitar 20 tahun, mati diracun di sungai dekat permukiman warga. Konflik manusia-gajah makin sering terjadi, sehingga masyarakat melakukan operasi pengusiran gajah. Operasi ini dilakukan secara estapet yakni setiap desa diwakili oleh 45 orang warga masyarakat dan lima unit meriam bambu serta sejumlah kentongan. Pengusiran di koordinir Muspika setempat. Usaha penghalauan gajah dengan meriam yg pernah dicoba ternyata tidak efektif.

Kecamatan Pante Ceureumen, Kabupaten Aceh Barat

(39)

19 sebelah selatan dengan Kecamatan Meurebo, sebelah timur dengan Kabupaten Nagan Raya dan sebelah barat dengan Kecamatan Kaway XIV. Kecamatan Pante Ceureumen memiliki ketinggian 0 sampai 1.721 m diatas permukaan laut, kemiringan lereng < 2% sampai > 40% dan sungai Krueng Meurebo yang mengaliri wilayah kecamatan ini. Kecamatan Pante Ceureumenterdapat hutan produksi kayu, kawasan budi daya dan areal penggunaan lain. Vegetasinya berupa vegetasi hutan primer, hutan sekunder, hutan rusak, perladangan, kebun kelapa sawit dan sedikit tanah terbuka. Kawasan hutan primer di kabupaten ini lebih kecil daripada areal hutan rusak padahal keanekaragaman hayati terbanyak di Kabupaten Aceh Barat terdapat di Kecamatan Pante Ceureumen bagian utara yang berbatasan dengan Kecamatan Sungai Mas. Berdasarkan laporan masyarakat, gajah liar sering muncul dan menggangu ketentraman, membuat kecemasan masyarakat. Penduduk Desa Seukundo sudah berencana akan meninggalkan desa jika upaya penanggulangan tidak segera dilakukan, bahkan seluruh penduduk desa pedalaman itu sempat mengungsi dan bermalam di masjid. Selain itu, masyarakat Dusun Krueng Meulaboh, Desa Pante Ceureumen, Kecamatan Pante Ceureumen, Aceh Barat, berjumlah 54 kepala keluarga terpaksa mengungsi ke dusun lain karena takut diamuk kawanan gajah liar. Hal ini dikarenakanada kejadian pada seorang ibu dan anaknya yang menetap di dusun kawasan pedalaman ini yang cedera akibat diamuk gajah liar. Kejadian gajah mengamuk di desa yang lainmengakibatkan lima orang terluka dan kritis dengan korban jiwa tiga orang dekat perkebunan. Gajah masuk ke lahan pertanian dan perkebunanlebih kurang puluhan ekor, memakan dan merusak tanaman budi daya, yaitu tanaman durian, padi, karet, sawit, pisang, dan tanaman kacang. Pemerintah kabupaten sudah pernah mendatangkan pawang gajah termasuk gajah jinakdengan menelusuri hutan Seukundo guna mengatasi gangguan sekawanan gajah liar yg selama ini meresahkan warga.Hal ini diprakarsai oleh Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (Satlak PBP) Pemkab Aceh Barat.Upaya mendatangkan pawang gajah kembali akan dilakukan, sehingga ketentraman masyarakat dapat tenang kembali.

Lokasi penelitian yang paling sering mendapat gangguan yaitu Kecamatan Sampoiniet, Aceh Jaya. Hal ini disebabkan karena kecamatan tersebut terdapat Gunung Ulu Masen yang memiliki hutan primer yang melingkup hutan daratan rendah dan hutan daratan tinggi. Wilayah ini merupakan salah satu habitat gajah terbesar di Aceh. Tingginya tingkat perluasan perkebunan kelapa sawit diduga memfragmentasi wilayah jelajah gajah sehingga mempersempithabitat gajah tersebut. Akibatnya habitat alami gajah rusak sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pakan kawanan gajah. Oleh sebab itu gajah mulai masuk ke lahan perkebunan kelapa sawit tersebut sehingga memunculkan konflik manusia-gajah yang komplek pada warga pedalaman Aceh Jaya.

Jenis Tanaman Budi Daya yang Ditanam Masyarakat

(40)

20

mangga, rambutan, durian). Rata-rata persentase responden yang menyatakan tentang jenis tanaman yang dibudidayakan masyarakat seperti disajikan pada Gambar 2.2.

Tabel 2.1 Jenis tanaman semusim yang ditanam masyarakat Aceh di daerah konflik manusia-gajah

No Nama Jenis Nama Ilmiah Famili %

1 Timun Cucumis sativus Cucurbitaceae 0.34

2 Singkong Manihot esculenta Euphorbiaceae 0.34

3 Kacang tanah Arachis hipogea Fabacea 1.87

4 Kacang kuning Glicyne max Fabacea 0.17

5 Nilam Pogostemon cablin Lamiaceae 2.38

6 Pisang Musa sp Musaceae 11.05

7 Padi Oryza sativa Poaceae 8.16

8 Tebu Sacharum officinarum Poaceae 1.02

9 Jagung Zea mays Poaceae 0.68

10 Cabe Capsicum frutescens Solanaceae 3.57

Tabel 2.2 Jenis tanaman tahunan yang ditanam masyarakat Aceh di daerah konflik manusia-gajah.

No Nama Jenis Nama Ilmiah Famili %

1 Mangga Mangifera indica Anocordiaceae 1.70

2 Pinang Areca catechu Arecaceae 12.76

3 Kelapa Cocos nucifera Arecaceae 1.19

4 Sawit Elais gueenensis Arecaceae 10.03

5 Sagu Metroxylon sago Arecaceae 1.02

6 Kemiri Aleurites moluccana Euphorbiaceae 4.08

7 Karet Havea brassiliensis Euphorbiaceae 7.82

8 Sengon Albizia chinensi Fabacea 0.51

9 Jati Tectona grandis Lamiaceae 0.85

10 Durian Durio zibethinus Malvaceae 3.40

11 Langsat Lansium domesticum Meliaceae 1.53

12 Mahoni Swietiniamahagoni Meliaceae 0.17

13 Coklat Theobroma cocoa Meliaceae 15.82

14 Nangka Arthocarpus heterophyllus Moraceae 1.36

15 Pala Myristica fragrans Myristicaceae 0.68

16 Jabon Arthocephalus cadamba Rubiaceae 0.34

17 Kopi Coffea arabica Rubiaceae 5.61

18 Jeruk nipis Citrus aurantifolia Rutaceae 1.02

19 Rambutan Nephellium lappacium Sapindaceae 0.51

(41)

21 Berdasarkan sistem tanam yakni monokultur atau polikultur, hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir di semua kecamatan contoh diterapkan kedua sistem tanam tersebut, namun yang dominan (70-90%) adalah sistem polikultur sedangkan monokultur hanya sekitar 10-30 % (Gambar 2.3). Hal ini disebabkan keinginan dari petani untuk menanam beberapa jenis tanaman untuk kebutuhan hidup harian ataupun untuk menabung dari hasil yang akan diperoleh dari budi daya polikultur di lahan pertaniannya.

Gambar 2.2Persentase jenis tanaman budidaya yang banyak ditanam dilima kecamatan Propinsi Aceh

Gambar 2.3 Sistem tanamtanaman budi dayaoleh masyarakat Aceh di daerah konflikmanusia-gajah.

Jenis Tanaman Budi Daya yang Dirusak dan Tidak Dirusak Gajah

Hasil wawancara dengan responden di lima kecamatan diketahui bahwa berdasarkan penilaian masyarakat dari 29 jenis tanaman budidaya yang ditanam masyarakat, maka ada 20 jenis tanaman yang dirusak gajah, lima diantaranya berturut-turut adalah 18.28% pinang (Areca catechu), 17.45% pisang (Musa sp),

Gambar

Gambar 1.1 Diagram alir kerangka pemikiran (modifikasi Anderson 1985;
Gambar 2.1  Peta lokasi penelitian
Gambar 2.2.
Gambar 2.2Persentase jenis tanaman budidaya yang banyak ditanam  dilima
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan di CRU (Conservation Response Unit) Trumon Kecamatan Trumon Tengah Kabupaten Aceh Selatan, gajah yang diamati sebanyak lima ekor dengan

Penelitian dilakukan dengan pengamatan perilaku makan empat ekor gajah yang terdiri dari dua ekor gajah dewasa dan dua ekor gajah anakan yang meliputi: waktu aktivitas makan,

Strategi konservasi gajah sumatera di SM Padang Sugihan yaitu pembuatan koridor satwa terutama di luar kawasan yang terdapat kelompok satwa gajah, manajemen populasi gajah di

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden masyarakat di tiga desa yaitu Desa Gajah Mati, Desa Gajah Mukti dan Desa Gajah Mulya, diketahui bahwa manfaat kawasan hutan

Keamanan dan Kenyamanan Lokasi Pusat Latihan Gajah (PLG) Minas ± 2 km dari jalan lintas Minas ini menguntungkan dari sisi keamanan dan kenyamanan bagi gajah

Setiap kelompok gajah sumatera dipimpin oleh induk betina yang paling besar, sedangkan gajah jantan dewasa tinggal pada waktu tertentu pada suatu kelompok untuk kawin

Perbedaan waktu pengambilan dan lokasi sampel juga dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan, dimana pengambilan sampel di CRU Sampoiniet, Aceh Jaya tiga bulan pasca

Hal ini dapat dibuktikan dengan akan adanya pembesaran serta pengeluaran dari penis (jika anda mengawasi tahapan ini secara mendetail pada seekor gajah yang liar dimana posisi